Oleh :
DIMAS SENO WIJAYANTO
NIM D1101211019
2024
1
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui Disahkan
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
3
ABSTRAK
4
DAFTAR ISI
5
DAFTAR TABEL
6
DAFTAR GAMBAR
7
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bauksit adalah biji utama aluminium terdiri dari hydrous aluminium oksida dan
aluminium hidroksida yakni dari mineral gibbsite 𝐴𝑙(𝑂𝐻)3 , boehmite y-ALO
(OH), dan diaspore a-ALO (OH), bersama-sama dengan oksida besi gocthite dan
bijih besi, mineral tanah liat kaolinit dan sejumlah kecil anatase Tio2. Dalam hal
tampilan fisiknya, bauksit biasanya memiliki berbagai warna, termasuk putih, abu-
abu, dan kadang-kadang kuning, jingga, merah, merah muda, dan coklat. Bauksit
ini kemudian diolah menjadi aluminium. Aluminium adalah logam yang lunak
dalam bentuk murni namun keras seperti baja jika padat, ringan, tahan terhadap
korosi dan merupakan konduktor listrik yang baik. Keunggulan tersebut membuat
aluminium sangat diperlukan sebagai bahan baku dalam industri seperti komponen
otomotif, bahan konstruksi, peralatan rumah tangga dan sebagainya. PT. Cita
Mineral Investindo, Tbk Site Air Upas merupakan perusahaan swasta yang bergerak
dalam bidang pertambangan. Lokasi daerah penambangan bijih bauksit terletak di
Dusun Batang Belian Desa Karya Baru Kecamatan Marau Kabupaten Ketapang
Provinsi Kalimantan Barat.
Dalam kegiatan penambangan bijih bauksit, PT. Cita Mineral Investindo, Tbk
Site Air Upas menggunakan metode penambangan open shaft/backfilling dengan
pengoperasian peralatan mekanis seperti excavator untuk pemuatan dan dump truck
untuk pengangkutan. Salah satu penentu keberhasilan penambangan ini adalah
seberapa besar produksi peralatan mekanis tersebut dapat dimanfaatkan seefektif
dan seefesien mungkin dalam melakukan pekerjaanya agar hasil yang diperoleh
maksimal.
1
2
Persiapan
Pengambilan Data
Pengolahan Data
Analisis Data
Gambar 1.1
Diagram Alir Penelitian
BAB II
Sejarah singkat PT. Cita Mineral Investindo, Tbk Site Air Upas bermula
didirikan dengan nama PT. Cita Panel Utama pada tahun 1992 dan pada tahun
tersebut memulai kegiatan komersilnya. Pada tahun 2002 perusahaan tersebut
mencantumkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode “CITA”.
Dalam perkembangannya PT Cita Mineral Investindo mengembangkan usahanya
pada sektor pertambangan melalui investasi pada PT. Harita Prima Abadi Mineral
(HPAM). Sejalan dengan berkembangnya bidang usaha tersebut, pada 2 Mei 2007,
secara resmi mengubah nama perusahaan yang semula bernama PT. Cita Panel
Utama menjadi PT. Cita Mineral Investindo, Tbk.
PT. Cita Mineral Investindo, Tbk Site Air Upas mengantongi izin untuk
melakukan kegiatan pertambangan dan penggalian biji logam. Kegiatan utama PT.
CMI bergerak di bidang investasi pertambangan dan kegiatan pertambangan
bauksit yang menghasilkan Metallurical Grade Bauxite (MGB) melalui anak usaha
dan memproduksi Smelter Grade Alumina (SGA) melalui entitas asosiasi (investasi
asing) PT. Well Harvest Winning Alumina Refinery (PT. WHW) pada tahun 2013
di Kalimantan Barat untuk menigkatkan nilai tambah produksi bauksit, dalam
upaya mendukung pemerintah meningkatkan nilai tambah bauksit.78 Fasilitas
produksi SGA kemudian beroperasi pada tahun 2016 dan menjadikannya sebagai
perusahaan penghasil SGA pertama di Indonesia, melalui Asosiasi PT Well Harvest
Winning Alumina Refinery (WHW). Dalam hal ini Pt. Cita Mineral Investindo,
memiliki sekitar 30% saham di WHW, sementara 56% dipegang oleh China
Hongqiao Group Limited, 9% dipegang oleh Winning Investment (HK) Company,
6
7
dan 5% dipegang oleh Shandong Weiqiao Aluminium and Electricity Co., Ltd.
Selain itu dalam menjalankan usahanya PT Cita Mineral Investindo mengantongi
Perizinan Dasar dan Izin Operasional dengan mengantongi Izin Lingkungan dan
Izin Usaha Pertambangan (IUP) termasuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi
Produksi dengan IUP OP total seluas 26.245 Ha yang terdiri 3 IUP OP yaitu :
d. Keputusan Kepala Dinas Penamaan Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Provinsi Kalimantan Barat Nomor 503/109/MINERBA/DPMPTSP.C/2017 tanggal
3 Agustus 2017 secara afiliasi kepada PT. Cita Mineral Investindo, Tbk. Dengan
Luas 2.742 Ha.
Selanjutnya PT. Cita Mineral Investindo, Tbk Site Air Upas juga mengantongi
SKKL dan SKIL yang diterbitkan oleh Bupati Ketapang dengan nomor :81
Kantor perwakilan PT. Cita Mineral Investindo Tbk. di ketapang terletak di Jl.
Kolonel Sugiono No. 55 Ketapang, Kalimantan Barat.
Secara administratif PT. Cita MineralInvestindo, Tbk Site Air Upas berada di
Dusun Batang Belian, Desa Karya Baru, Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang,
Provinsi Kalimantan Barat. Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) di PT. Cita
Mineral Investindo, Tbk secara geografis terletak pada posisi 110˚ 42ʹ 01ʺ sampai
110˚ 53ʹ 03ʺ BT dan 2˚ 07ʹ 09ʺ sampai 2˚ 24ʹ 02ʺ LS. Secara umum wilayah PT.
Cita Mineral Investindo, Tbk dapat dicapai melalui beberapa route dari Pontianak
sebagai berikut:
1. Transportasi Udara dari Pontianak ke Ketapang selama kurang lebih 35
menit.
2. Transportasi air dari Pontianak ke Ketapang selama kurang lebih 4 jam
menggunakan kapal express
3. (A) Transportasi darat dari ketapang menuju Dusun Batang Belian dengan
kondisi jalan yang kurang baik mungkin dapat ditempuh selama kurang
lebih 5 jam, atau transportasi darat dari Ketapang ke Kendawangan selama
kurang lebih 3 jam, dilanjutkan dengan transportasi air dari Kendawangan
ke Kedondong (Kelampai) selama kurang lebih 30 menit lalu dilanjutkan
lagi dengan transportasi darat dari desa Kelampai ke Dusun Batang Belian
melalui Hauling Road HG selama kurang lebih 1 jam.
(B) Transportasi darat dari Pontianak langsung ke dusun batang belian
dengan menggunakan jalur Provinsi selama kurang lebih 12 jam perjalanan.
9
Gambar 2.1
Peta Kesampian Daerah
10
(Sumber: Peta Konsesi PT. Cita Mineral Investindo, Tbk site Air Upas)
Gambar 2.2
Peta Konsesi Daerah Penelitian
Gambar 2.3
Perbukitan Lembah-sedang
2.3.2 Stratigrafi
Secara regional di daerah penyelidikan termasuk dalam Peta Geologi Bersistem
Lembar Ketapang 1411, di mana formasi batuan penyusun dari muda ke tua adalah
sebagai berikut (E.Rustandi (GRDC) & F. De Keyser (AGSO), 1993):
1) Endapan Aluvium (Qa)
Merupakan endapan permukaan Kuarter yang terdiri dari kerikil, pasir, lanau,
kadangkadang gambut. Bersifat lepas. Umumnya mengisi daerah pantai dan daerah
aliran sungai besar.
2) Rombakan Lereng, Talus (Qs)
Berupa rombakan kerakal dan bongkah batuan yang kasar, berumur Kuarter,
menjemari dengan alluvium dan endapan rawa.
3) Basal Bunga (Kubu)
Terdiri dari batuan basal berwarna hitam sampai kelabu tua dan pejal, selain itu
terdapat dasit, andesit kelabu kehijauan, lava, tufa litik-kristal dan breksi gunungapi
dimana pada alasnya terdapat batupasir sedang sampai halus, diperkirakan berumur
Kapur Akhir Paleosen. Batuan ini tidak selaras diatas Komplek Ketapang, Batuan
Gunung api Kerabai dan Granit Sukadana serta menindih Granit Sangiyang.
12
berbutir halus. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas dan setempat-
setempat berjemari dengan Komplek Ketapang; tidak selaras dengan Formasi
Granit Laur, diterobos dan menindih Formasi Granit Sukadana yang terlihat
berkerabat; diterobos Granit Sangiyang; ditindih oleh Basal Bunga. Sebagian sama
dengan Basal Bunga. Terbentuk oleh proses gunungapi subaerial yang berumur
Kapur akhir-Paleosen; Ketebalan Tidak diketahui; Penyebarannya meliputi seluruh
bagian dataran lembar peta membentuk dataran rendah diselatan tetapi naik sampai
>1000 mdpl di bagian utara. (Pieters & Sanyoto, 1987; Komplek Mantan de Kenser
& Rustandi, 1989).
7) Komplek Ketapang (JKke)
Tersusun dari Batuan pesamit dan terlapis secara pelitik, terlapis sedang sampai
tipis, terubah secara beraneka ragam oleh malihan termal dan ubahan hidrotermal:
batulempung, batupasir halus-kasar dan lepungan yang serisitan (setempat-
setempat lanauan dan bersilang siur), arenit litik (Beberapa tufaan atau mengandung
pecahan batuan gunung api hasil 'rework'). Serpih (setempat- setempat pasiran), dan
batusabak; Kadang-kadang gampingan membentuk batuan kalk-silikat. Batuan
terangkat dan terlipat, umumnya dengan kemiringan antara 30 derajat sampai tegak.
Terdapat fosil Mikroflora Lanjut Caytonipollenites (Muller, 1968; Albian Akhir-
Cenomanian), dan satu conto terlihat kaya akan sepon litistid yang mungkin
berumur Jura. Satuan ini terbentuk secara tidak selaras di atas Malihan Pinoh tetapi
tak terlihat kontaknya; Tidak selaras dan setempat-setempat berjemari dengan
batuan Gunugapi Kerabai; Tidak selaras di bawah Basal Bunga; Diterobos oleh
Granit Sukadana dan Granit Sangiyang; kontak dengan Granit Belaban tidak
terlihat. Mungkin dapat disebandingkan dengan batupasir Kempari di Ngataman.
Berumur Jura- Kapur Akhir. Ketebalan tidak diketahui; Penyebarannya meliputi
wilayah tanah rendah yang secara topografi tidak jelas bentuknya, tersebar di
banyak wilayah lembar peta, termasuk Pulau Cempedak, (van Bemmelen, 1939; de
Keyser & Rustandi, 1989).
8) Batuan Malihan Pinoh (PzTRp)
Terdiri batuan kuarsit berwarna kelabu tua, terhablur ulang mengandung
anortit, kaya turmalin, genes klinopiroksin-hornblende, mengandung klinozoisit
dan skapolit, dan batuan migmatik; sekis mika dan kuarsit mika dengan biotit
14
Tabel 2.1
Stratigrafi Lembar Air Upas
(Sumber: Stratigrafi lembar air upas oleh , E Rustandi dan F. DE Keyser 1993)
3. Kripto bauksit
Kripto bauksit merupakan endapan bauksit laterit yang tertutupi oleh lapisan
lempung tebal. Sangat jarang ditemui di daerah pelapukan tropis serta jarang juga
membentuk endapan yang ekonomis utuk ditambang. Kriptobauksit dicirikan oleh
fase mikro-agregat yang berkomposisi kaolinit yang mengandung gibsit dan
goethit. Kripto bauksit tersebar sangat banyak di daerah Amazonia.( Lihat tabel 2.2
Tabel 2.2
Klasifikasi endapan bauksit laterit
Harder And Greig Hose(1960) Valeton(1972) Grabb(1973) Hutchison
(1960) (1983)
Surface Blanket Bauxites Formed Bauxites overlying High-level or Lateritic crusts
Deposits On Peneplains igncous and upland bauxites
metamorphic rocks: 1.
Slope type 2. Plateau
type anabasic ignecous
rocks 2i, plateau type on
variable rock types
Sumber: Ore Deposite Geology And Its Influence On Mineral Exploration (Richard, 1986)
geokimiadari bauksit laterit dapat ditemukan dalam penjelasan dari Maynard (1983)
yaitu sebagai berikut,
1) High level or upland bauksit
Bauksit ini biasanya terjadi pada batuan beku atau vulkanik yang
membentuk lapisan tebal dengan ketebalan mencapai 30 m. Lapisan ini menutup
zona plato di daerah iklim tropis dan subtropis. Contoh dari bauksit jenis ini adalah
di Deccan traps (India), Quessland, Ghana, dan Guinea. Bauksit jenis ini memiliki
kenampakan yang berpori dan rapuh menunjukkan tekstur 14 batuan asal dan
didominasi oleh gibbsitic. Pembentukan bauksit laterit sebagian besar dikontrol
oleh pola kekar pada batuan asal.
2) Low level peneplain-type bauksit
Bauksit jenis ini biasanya terjadi pada level yang rendah di sepanjang garis
pantai tropis, misalnya di daerah Amerika Selatan, Australia dan Malaysia. Mereka.
dibedakan oleh perkembangan dari tekstur pisolitic dan mempunyai komposisi
boehmitic. Deposit yang bertipe peneplain biasanya mempunyai ketebalan kurang
dari 9m dan biasanya dipisahkan oleh kaolinitic underclay dari batuan asalnya.
Mereka biasanya sering berasosiasi dengan detrital bauksit horizon yang diproduksi
oleh aktivitas sungai dan laut.
3) Karst bauksit
Jenis ini termasuk jenis bauksit laterit yang tertua yang pernah diketahui.
Ditemukan di daerah Mediterania, Jamaika, dan Hispaniola. Bauksit laterit jenis ini
berada pada permukaan karst batu gamping dan dolomit yang tidak teratur.
Tekstur karst bauksit laterit cukup bervariasi.
4) Transported or sedimentary bauksit
Bauksit jenis ini merupakan kelas yang kecil dari bauksit laterit non residual
yang dibentuk oleh erosi dan redeposit dari material bauksit.
2.4.3 Bentuk Endapan Bauksit Laterit
Bauksit laterit merupakan endapan sekunder berupa residual. Bauksit laterit
mengganti dan terakumulasi di atas batuan asal nya yang telah terlapukkan , oleh
karena itu, endapan bauksit laterit terakumulasi relatif datar sesuai dengan relief
batuan asal nya yang berupa permukaan datar pada saat sebelum terjadi proses
pelapukan dan leaching. Dataran tingghi bauksit laterit yang ditemukan sekarang
21
merupakan sisa dari permukaan datar pada masa lampau yang memiliki kemiringan
1˚-5˚, sehingga secara regional paleo-surface yang sama mungkin terbentuk pada
ketinggian yang berbeda.
2.4.4 Zona Endapan Bauksit Laterit
Endapan bauksit laterit dapat dibagi menjadi beberapa zona lapisan. Yaitu
tanah penutup, pisolitic, nodular ironstone dan zona lempung. Kadar alumina
terbanyak berada pada zona pisolitic yang kadar alumina nya di atas 45%. Zona lain
yang memiliki kadar alumina rendah akan dibuang dan menjadi overburden dan
waste.( Lihat gambar 2.5)
ROM
MONITOR 1 MONITOR 2
HOPPER
BELT
(BOULDER)
BELT CONVEYOR
(MGB)
(Sumber: Alur Proses pencucian bauksit PT. Cita Mineral Investindo, Tbk site Air Upas)
Gambar 2.12
Bagan Alir Proses Pencucian Bauksit PT. Cita Mineral Investindo, Tbk
30
Gambar 2.13
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1 Metode Penambangan Bauksit
Sistem penambangan bauksit dilakukan dengan sisitem penambangan
terbuka (Open Pit) sebab kita dapat ketahui bahwa endapan bauksit berada pada
permukaan dengan overburden yang tidak terlalu tebal sehingga dibuat beberapa
shaft untuk mengumpulkan overburden di shaft yang belum di tambang agar
mempermudah proses penambangan, setelah selesai ditambang kemudian tanah
penutup (overburden) ditimbunkan kembali ke lahan bekas tambang dengan
metode backfilling.
Dalam sistem penambangan dibatasi oleh beberapa faktor-faktor kendala
antara lain:
a. Faktor teknik – ekonomi yang diwujudkan dalam usaha mendapatkan
perolehan tambang semaksimal mungkin dengan biaya yang sekecil
mungkin.
b. Faktor keamanan dan keselamatan kerja yang diwujudkan dalam usaha
memperkecil kemungkinan terjadinya kecelakaan dalam melaksanakan
kegiatan penambangan.
c. Faktor keserasian lingkungan hidup yang diwujudkan dalam usaha
mencegah terjadinya perusakan alam, serta pencemaran lingkungan yang
diakibatkan oleh kegiatan penambangan.
3.1.1 Kondisi Fornt kerja
Pada area kerja di perusahaan pertambangan, tidak hanya harus memenuhi
syarat bagi pencapaian produksi, tetapi juga harus aman bagi penempatan alat
beserta mobilitas pekerja yang berada di sekitar tempat kerja, tempat kerja yang
memiliki area luas akan memperkecil waktu edar alat karena ada cukup tempat
untuk berbagai kegiatan, seperti keleluasaan tempat berputar bagi alat muat
excavator, serta manufer unit pengangkut yaitu dump truk sebelum dilakukan
proses loading ore.
32
𝑉 𝑖𝑛𝑠𝑖𝑡𝑢
Swell Factor = 𝑉 𝑙𝑜𝑜𝑠𝑒
x 100%
Kalau angka untuk shrinkage factor tidak ada biasanya di anggap sama
dengan percent swell. Beberapa istilah penting yang berkaitan dengan kemampuan
penggalian yaitu:
a. Faktor Bilah (blade factor), yaitu perbandingan antara volume material
yang mampu ditampung oleh bilah terhadap kemampuan tampung bilah
secara teoritis.
b. Faktor Mangkuk (bucket factor), yaitu perbandingan antara volume
material yang dapat ditampung oleh mangkuk terhadap kemampuan
tampung mangkuk secara teoritis.
c. Faktor Muatan (payload factor), yaitu perbandingan antara volume
material yang dapat ditampung oleh bak alat angkut terhadap bak alat
angkut menurut spesialisasi teknisnya.
3.3.3 Berat Jenis Material
Berat Jenis (density) material adalah suatu sifat yang dimiliki oleh setiap
material. Dimana kemampuan suatu alat untuk mendorong, mengangkat, dan
melakukan pekerjaan lainnya, akan sanggat dipengaruhi oleh berat jenis material
tersebut. Berat material yang akan di angkut oleh alat-alat dapat mempengaruhi:
a. Kecepatan kendaraan dengan HP mesin yang di milikinya.
b. Membatasi kemampuan kendaraan untuk mengatasi tahanan kemiringan
dan tahanan gulir dari jalur yang dilaluinya.
c. Membatasi volume material yang dapat di angkut.
Oleh sebab itu berat jenis material harus diperhitungkan pengaruhnya terhadap
kapasitas alat muat maupun alat angkut.
37
Tabel 3.1 Bobot isi dan faktor pengembangan dari berbagai material
Bobot isi Swell factor
Macam Material (density)
Lb/cu yd (in bank
insitu correction factor)
1. Bauksit 2.700-4.325 0,75
2. Tanah liat, kering 2.300 0,85
3. Tanah liat, basah 2.800-3.000 0,82-0,80
4. Antrasit (anthracite) 2.200 0,74
5. Batubara bituminous (bituminoud coal) 1.900 0,74
6. Tanah biasa, kering 2.800 0,85
7. Tanah biasa, basah 3.370 0,85
8. Tanah biasa bercampur pasir dan kerikil 3.100 0,90
(gravel
9. Kerikil kering 3.250 0,89
10. Kerikil basah 3.600 0,88
11. Batu kapur, pecah-pecah 2.500-4.200 0,60-0,57
(Sumber: Ir. Sahruddin Sahminan)
3.3.7 Rimpull
Rimpull yaitu besarnya kekuatan tarik (pulling force) yang dapat diberikan oleh
mesin suatu alat mekanis kepada permukaan roda atau ban penggeraknya yang
menyentuh permukaan jalur jalan. Jika koefisien traksi cukup tinggi untuk
menghindari terjadinya selip, maka rimpull maksimum adalah fungsi dari tenaga
mesin (horse power) dan gear ratio antara mesin dengan roda penggerak alat
mekanis. Tetapi jika terjadi selip maka rimpull maksimum akan sama dengan
besarnya tenaga pada roda penggerak dikalikan koefisien traksi.
𝐻𝑃 𝑥 375 𝑥 𝑛
RP =
𝑣
Dimana:
RP = rimpull atau kekuatan tarik (lb)
HP = tenaga mesin, HP
V = kecepatan, mph
375 = angka konversi
N = efisiensi mesin
39
Gambar 3.3
Rimpull Table (Caterpillar 793)
3.3.8 Tahanan Gulir
Tahanan gulir (rolling resistance) merupakan seluruh gaya-gaya luar seperti
gaya gesek antara bagian luar ban kendaraan dengan permukaan tanah yang bersifat
menahan dan berlawanan arahnya dengan penggerak alat berat diatas jalur jalan
atau permukaan tanah. Adapun gaya-gaya yang bekerja tersebut.
P
RR
𝑃
RR = 𝑊
Dimana:
RR = Tahanan gulir, lb/gross ton (%)
P = Gaya tarik, lb
W = Berat kendaraan, gross ton
Besarnya RR dinyatakan dalam "pounds" (lbs) dari tractive pull yang
diperlukan untuk menggerakan tiap gross ton berat kendaraan berserta muatannya
pada jalur mendatar dengan kondisi jalur jalan tertentu.
Keadaan bagian kendaraan yang berkaitan dengan permukaan jalur jalan :
a. Kondisi jalan, yaitu kekerasan dan kemulusan permukaannya. Semakin keras dan
mulus, maka akan semakin kecil tahanan gulirnya.
b. Kalau memakai ban karet yang akan berpengaruh adalah ukuran ban, tekanan
dan keadaan permukaan bannya apakah masih baru atau gundul dan macam
kembangan pada ban tersebut. Jika memakai crawler track maka keadaan dan
macam track kurang berpengaruh tetapi yang lebih berpengaruh adalah keadaan
jalan.
Tabel 3.2 Nilai Tahanan gulir untuk berbagai macam jalan
Ban Karet
Crawler Type
Macam Jalan Tek. Ban Tek. Ban
(Lb/Ton) Rata – Rata
Tinggi Rendah
1. Smooth coccrete 55 35 45 40
2. Good aspalt 60-70 40-65 50-60 45-60
3. Hard earth, smooth, well maintenance 60-80 40-70 50-70 45-70
4. Drit road, average construction road, 70-100 90-100 80-100 85-100
little maintenance
5. Dirt road, soft, rutted, poorly 80-110 100-140 70-100 85-100
maintenaned
6. Earth, muddy, rutted, No. 140-180 180-220 150-220 165-210
maintenance
7. Loose sand and gravel 160-200 260-290 220-260 240-275
8. Earth, very muddy & soft 200-240 300-400 280-340 290-370
Sumber: Ir. Sahruddin Sahminan
41
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rolling resistance, bahwa
nilai rolling resistance dapat bervariasi walaupun pada kondisi jalan yang sama dan
tingkat kekerasan yang sama. Hal ini disebabkan karena nilai rolling resistance juga
dipengaruhi oleh cuaca, hujan akan menyebabkan jalan becek, terutama jalan yang
memiliki kekerasan kurang baik.
Hal lain yang dapat menyebabkan variasi rolling resistance adalah kondisi ban,
pada kondisi jalan yang baik maka tekanan yang baik akan menghasilkan rolling
resistance yang lebih rendah dari pada tekanan ban yang rendah. Namun pada
kondisi perkerasan jalan yang baik, tekanan ban yang rendah menghasilkan rolling
resistance lebih rendah dari pada tekanan ban yang tinggi.
∆ℎ
Grade = x 100%
∆𝑥
Dimana:
∆h = beda tinggi antara dua titik yang diukur
∆x = jarak datar antara dua titik yang diukur
42
3.3.10 Percepatan
Percepatan adalah waktu yang diperlukan untuk mempercepat kendaraan
dengan memakai kelebihan rimpull yang tidak digunakan untuk menggerakan
kendaraan pada jalur jalan tertentu. Waktu yang dibutuhkan untuk mempercepat
kendaraan tergantung dari beberapa faktor yaitu:
a. Berat kendaraan, semakin berat suatu kendaraan maka akan semakin lama
waktu yang diperlukan untuk mempercepat kendaraan.
b. Semakin besar rimpull yang berlebih maka semakin cepat kendaraan untuk
mengalami percepatan. Sedangkan bila kelebihan rimpull tidak ada, maka
percepatan tidak terjadi, artinya kendaraan tersebut tidak dapat dipercepat.
43
fxg
𝛼=
w
Dimana:
𝛼 = Percepatan (ft/sec2)
F = Kelebihan rimpull (lbs)
W = Berat alat yang harus dipercepat (lbs)
G = Percepatan karena gaya gravitasi (32,2 ft/sec 2)
Cara lain untuk menghitung percepatan secara tidak langsung adalah dengan
menghitung kecepatan rata-ratanya. Rumus sederhana yang dipakai adalah:
Dimana:
Lmin = Lebar jalan angkut minimum (meter)
n = Jumlah lajur
Wt = Lebar alat angkut (meter)
Wmin = 𝑛 (𝑈 + 𝐹𝑎 + 𝐹𝑏 + 𝑍) + 𝐶 )
U + Fa + Fb
Z=
2
Dimana:
Wmin = lebar jalan angkut pada belokan
n = jumlah jalur
U = lebar jejak roda kendaraan
46
W
MA = x100%
W+R
Dimana:
W = jumlah jam kerja alat
R = waktu untuk melakukan perbaikan dan waktu yang hilang
2. Physical availability
Merupakan catatan mengenai keadaan fisik dari alat yang digunakan
W+S
PA = x100%
W+R+S
Dimana:
S = stanby hours
W+R+S = Jumlah jam kerja yang dijadwalkan
48
3. Use Of Availability
Menyatakan berapa persen waktu yang dipergunakan oleh suatu alat untuk
beroperasi pada saat alat tersebut dapat dipergunakan. Nilai parameter ini
biasanya dapat memperlihatkan seberapa efektif suatu alat yang sedang
tidak rusak dapat dimanfaatkan. Hal ini dapat menjadikan ukuran seberapa
baik pengelolaan (manjemen) peralatan yang dipergunakan.
W
UA = x100%
W+S
4. Menunjukkan seberapa besar dari seluruh waktu kerja yang tersedia dapat
dimanfaatkan untuk bekerja secara produktif (efisiensi kerja)
W
EU = x100%
W+R+S
We = Wt+(Wtd+Whd)
Ek = (We/Wt) x 100%
Dimana:
We = waktu kerja efektif (menit)
Wt = waktu kerja tersedia (menit)
Whd = waktu hambatan dapat dihindari (menit)
Wtd = waktu hambatan tidak dapat dihindari (menit)
Ek = Efisiensi kerja (%)
Tabel 3.6 Efisiensi kerja
Kondisi Kondisi manajemen
kerja Baik sekali Baik Sedang Buruk
Baik sekali 0,84 0,81 0,76 0,70
Baik 0,78 0,75 0,71 0,65
Sedang 0,72 0,69 0,65 0,60
Buruk 0,63 0,61 0,57 0,52
Sumber: Prodjosumarto, 1995
Beberapa faktor yang mempengaruhi penilaian terhadap efisiensi kerja antara lain:
• Waktu kerja sesungguhnya Waktu kerja penambangan adalah waktu yang
digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan yang meliputi penggalian,
pemuatan, dan pengangkutan. Efisiensi kerja akan semakin besar apabila
banyaknya waktu kerja nyata untuk penambangan semakin mendekati jumlah
waktu yang tersedia.
• Hambatan-hambatan yang terjadi
Dalam kenyataan di lapangan akan terjadinya hambatan-hambatan baik yang
dapat dihindari maupun yang tidak dapat dihindari, sehingga akan berpengaruh
terhadap besar kecilnya efisiensi kerja. Jika jumlah jam kerja dapat
dimanfaatkan secara efektif, maka diharapkan produksi dari alat muat dan alat
angkut dapat optimal.
50
Akan memiliki bucket fill factor yang rendah sehingga produksi alat muat
akan rendah
c. Keterampilan dan kemampuan operator, dimana operator yang
berpengalaman dan terampil dapat memperbesar faktor pengisian mangkuk.
Vn
F= x100%
Vt
Dimana:
F = Faktor pengisian mangkuk (%)
Vn = volume nyata atau kapasitas nyata mangkuk (m3 )
Vt = volume munjung teoritis mangkuk (m3 )
Produksi alat muat dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut:
3600
𝑃𝑚 = 𝑥 𝑘𝑏 𝑥 𝐹𝑓 𝑥 𝑆𝑓 𝑥 𝑓𝑘
𝐶𝑡𝑚
Dimana:
Pm = produksi alat muat ( bcm/jam)
Ctm = waktu edar alat muat (detik)
Kb = kapasitas munjung mangkuk alat muat (m3 )
Ff = bucket fill factor (%)
Sf = swell factor
Fk = faktor koreksi
53
Dimana:
Cta = cycle time of haul unit ( waktu edar alat angkut)
STL = spot time at loader (waktu pengambilan posisi pemuatan)
LT = loading time ( waktu pemuatan)
LTT = load travel time ( waktu pengangkutan bermuatan )
STD = spot time at dump (waktu spot di tempat penimbunan)
DT = dumping time ( waktu penumpahan muatan )
ETT = empty travel time ( waktu angkut kosong)
Qe = queuing time ( waktu menunggu pemuatan )
Waktu isi dan kosong (load and empty travel time) dapat dirumuskan sebagai
berikut:
54
𝐻𝐷 𝐻𝐷
𝐿𝑇𝑇 = 𝐸𝑇𝑇 =
𝑉𝐿 𝑉𝑒
Dimana:
HD = jarak dari area pemuatan hingga area penumpukan (km)
VI = kecepatan rata-rata alat angkut saat bermuatan (km/jam)
Ve = kecepatan rata-rata alat angkut pada saat kosong (km/jam)
Produksi alat angkut dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut:
3600
𝑃𝛼 = 𝑥 𝑛 𝑥 𝑘𝑏 𝑥 𝐹𝑓 𝑥 𝑆𝑓 𝑥 𝑓𝑘
𝐶𝑡𝑎
Dimana:
P𝛼 = produksi alat angkut (bcm/jam)
Ctm = waktu edar alat muat (detik)
Kb = kapasitas munjung mangkuk alat muat (m^3)
Ff = bucket fill factor (%)
Sf = swell factor
Fk = faktor koreksi
Jumlah pengisian mangkuk kedalam alat angkut (n) dapat dirumuskan sebagai
berikut:
𝐾𝛼
𝑛=
𝐾𝑏 𝑥 𝐹𝑓
Sedangkan jumlah trip (jt) yang dilakukan alat angkut dalam waktu satu jam adalah:
3600
𝐽𝑡 =
𝐶𝑡𝑎
55
Dimana:
Ka = kapasitan munjung bakn truk (m3 )
Jt = jumlah trip/jam
3.6 Faktor kesesuaian Alat (Match Factor)
Kombinasi effesiensi kerja alat angkut dan alat muat yang tertinggi dipilih untuk
dipakai. Keserasian kerja antara alat muat dan alat angkut dapat ditentukan dengan
menghitung faktor keserasian (match factor) melalui persamaan sebagai berikut:
𝑁𝛼 𝑥 𝐶𝑡𝑚 𝑥 𝑛
𝑀𝐹 =
𝑁𝑚𝑥 𝐶𝑡𝛼
Dimana:
Na = jumlah alat angkut
Nm = jumlah alat muat
Ctm = waktu edar alat mjuat (detik)
Cta = waktu edar alat angkut (detik)
n = jumlah penggisian bucket
kriteria faktor keserasian yaitu:
1. Faktor keserasian <1, berarti alat muat lebih sering menunggu dibandingkan
dengan truk, besarnya waktu tunggu alat muat (Dm) dapat dinyatakan
dengan persamaan :
1
𝐷𝑚 = x Cta
𝑀𝐹
2. Besarnya faktor kesesuaian >1, berarti alat angkut lebih sering menunggu
dibandingkan dengan alat muat. Besarnya waktu tunggu alat angkut (Da)
dapat dinyatakan dengan persamaan:
3. Faktor keserasian, faktor keserasian =1 berarti alat muat dan alat angkut
sama-sama sibuk dalam waktu tertentu.
Nilai match factor terbaik adalah bernilai 1 tapi sangat sulit tercapai, oleh sebab itu
nilai match factor diusahakan agar dapat mendekati 1 seperti diutarakan oleh
Prodjosumarto (1995) dan Erick (2008).
3.7 Perhitungan Jumlah Alat Yang Digunakan
Untuk menghitung jumlah truck dapat dihitung berdasarkan waktu edar alat
mekanis, jadi rumusnya:
𝑇𝑡𝑐
𝑁𝑡 =
𝑇𝑡𝑙
Dimana:
Nt = jumlah truk
Ttc = total waktu edar truk,menit
Ttl = waktu pemuatan, (Ct alat muat x jumlah pass) menit