Asep Sunandar Pend Inklusif 1
Asep Sunandar Pend Inklusif 1
net/publication/373296561
CITATIONS READS
0 505
3 authors:
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Ediyanto Ediyanto on 23 August 2023.
x, 84 hlm; 15,5 x 23 cm
ISBN: 978-602-470-524-4
• Cetakan I : 2021
KATA PENGANTAR
Penulis
v
vi
DAFTAR ISI
vii
I. Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (Permen Pan-Rb) No. 16 Tahun 2009
Tentang Profesi Guru dan Angka Kreditnya ............. 13
viii
H. Narasumber dan Fasilitator ............................... 76
I. Pendanaan .................................................. 76
ix
x
B
A
PENDAHULUAN
B
I
1
2
BAB I
PENDAHULUAN
P endidikan merupakan hak dasar setiap anak. Hak dasar ini telah diakui
dunia pada berbagai konvensi maupun perundang-undangan. Untuk
pemenuhan hak dasar anak tersebut, Dunia melakukan penanganan
serius untuk mengantarkan anak usia sekolah menyelesaikan pendidikan
dasar. Aksi tersebut merupakan tujuan dari “Millennium Development
Goals” (MDGs) dan “Education for All“ (EFA) (Slavin, 2996; WHO, 2008;
Rieser, 2012). Pemerintah Indonesia pun membuat komitmen politik
di “World Education Forum” (2000) untuk mencapai Pendidikan Dasar
untuk Semua. Sebagai implementasi untuk ikut aktif dalam kegiatan
dunia, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Undang-Undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU No.20/2003) yang berdasar
pada Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 31 ayat (1)
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
dan ayat (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang-undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional, hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan
khusus memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan
3
yang layak tanpa kecuali. Salah satu upaya untuk memfasilitasi anak
berkebutuhan khusus adalah sekolah luar biasa. Namun demikian
menurut data Kemdikbud dan BPS , anak berkutuhan khusus usia sekolah
lebih dari 1.6 juta jiwa tidak memiliki kesempatan untuk bersekolah.
Dari lebih dari 32 ribu sekolah, hanya dapat menampung kurang dari
300 ribu siswa (Maulipaksi, 2017; kemdikbud.go.id, bps.go.id). Sehingga
lebih dari 1.3 juta jiwa anak berkebutuhan khusus tidak memiliki
kesempatan untuk sekolah. Untuk memberikan hak yang sama untuk
mendapatkan pendidikan yang layak, Indonesia telah mengembangkan
sistem pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif di Indonesia dimulai ketika isu dunia berkomitmen
pada gerakan Pendidikan untuk Semua (Education for All/EFA). Selain
itu, mengacu pada “Salamanca Statement and Framework for Action
UNESCO” (1994) yang menyatakan bahwa hak setiap anak harus dididik
dan diakui tentang perbedaan minat, kemampuan, dan kebutuhan belajar.
Namun dalam implementasinya, bahkan setelah Deklarasi bandung 2004
dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70
Tahun 2009 yang menegaskan komitmen semua pihak terkait di Indoensia
terhadap pendidikan Inklusif, sampai sekarang jumlah sekolah inklusif di
Indonesia kurang dari 1000 sekolah dari berbagai jenjang dan kurang
dari 16 ribu siswa berkebutuhan khusus terakomodasi (Maulipaksi, 2017;
kemdikbud.go.id, bps.go.id).
Efek domino yang muncul dari masalah ketersediaan sekolah
pendidikan inklusif untuk mengakomodasi anak berkebutuhan khusus
adalah pemenuhan semua aspek sistem pendidikan inklusif seperti
kurikulum, sarana dan prasarana, guru, dan pembelajaran yang sesuai
dengan prinsip-prinsip pendidikan inklusif. Pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus, mememiliki karakteristik unik sebagai dampak dari
kondisi fisik, psikologis, mental, dan sosial anak berkebutuhan khusus.
Oleh karena itu, menjadi guru anak berkebutuhan khusus memerlukan
kompetensi yang memadai. Undang-undang guru dan dosen, menegaskan
ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, yaitu: kompetensi
pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi personal, dan
kompetensi sosial.
Profil kompetensi guru pada sistem pendidikan inklusif, di samping
memiliki kompetensi umum, juga harus memiliki kompetensi kekhususan
dalam pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Pemahaman sosok anak
berkebutuhan khusus, telaah kurikulum dan asesmen anak berkebutuhan
Bab I. Pendahuluan 5
6 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia
B
DASAR HUKUM A
PENDIDIKAN
INKLUSI & GURU B
PEMBIMBING
KHUSUS
II
7
8
BAB II
DASAR HUKUM
PENDIDIKAN INKLUSI DAN
GURU PEMBIMBING KHUSUS
9
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.” Undang-undang ini
menunjukkan bahwa sistem Segregasi Pendidikan Khusus dan Reguler.
Bab II. Dasar Hukum Pendidikan Inklusi dan Guru Pembimbing Khusus 11
10 ayat (1) mengemukakan bahwa setiap Pemerintah Kabupaten/Kota
wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) Guru Pembimbing Khusus pada
satuan pendidikan yang di tunjuk untuk menyelenggarakan Pendidikan
Inklusif. Lebih jelas pada Pasal 6 ayat (1), (2), dan (3) menyebutkan bahwa
Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan
inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik, menjamin tersedianya
sumber daya pendidikan inklusif pada satuan pendidikan yang ditunjuk,
dan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi membantu tersedianya sumber
daya pendidikan inklusif.
Bab II. Dasar Hukum Pendidikan Inklusi dan Guru Pembimbing Khusus 13
14 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia
B
PEMAHAMAN A
TENTANG
PENDIDIKAN B
INKLUSIF
III
15
16
BAB III
PEMAHAMAN TENTANG
PENDIDIKAN INKLUSIF
17
layanan pendidikan yang memberikan kesempatan semua anak belajar
bersama-sama di sekolah umum dengan memperhatikan keragaman
dan kebutuhan individual, sehingga potensi anak dapat berkembang
secara optimal. Semangat pendidikan inklusif adalah memberi akses
seluas-luasnya kepada semua anak, termasuk anak berkebutuhan
khusus, untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan memberikan
layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannnya (Granida, 2015).
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menyertakan semua anak
secara bersama-sama dalam suatu iklim dan proses pembelajaran dengan
layanan pendidikan yang layak dan sesuai dengan kebutuhan individu
peserta didik tanpa membeda-bedakan anak yang berasal dari latar suku,
kondisi sosial, kemampuan ekonomi, politik, keluarga, bahasa, gografis
(keterpencilan) tempat tinggal, jenis kelamin, agama, dan perbedaan
kondisi fisik atau mental (Ni’matuzahroh & Nurhamida, 2016).
Pendidikan inklusif merupakan wadah yang ideal untuk semua anak
(Garnida, 2015) tanpa memandang kebutuhan khusunya. Karakteristik
pendidikan inkusif memiliki 4 makna yaitu:
1. Pendidikan inklusif adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya
menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak,
2. Pendidikan inlusif berarti memperoleh cara-cara untuk mengatasi
hambatan-hambatan dalam belajar,
3. Pendidikan inklusif membawa makna bahwa anak mendapat
kesempatan untuk hadir di sekolah, berpartisipasi dan mendapatkan
hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya, dan
4. Pendidikan inklusif diperuntukan bagi anak-anak yang tergolong
marginal, eksklusif dan membutuhkan layanan pendidikan khusus
dalam belajar.
IV
23
24
BAB IV
PELAKSANAAN PENDIDIKAN
INKLUSIF DI INDONESIA
25
dari kebijakan pendidikan di Indonesia dalam mewujudkan pendidikan
untuk semua.
Pasal 9 ayat (1) sampai dengan ayat (4) dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar menjelaskan
bahwa anak usia 7 sampai dengan 15 tahun (9 tahun) dijamin untuk
mengikuti program wajib wajib. Peraturan tersebut juga menjelaskan
tentang pembebasan SPP pada program wajib belajar bagi anak yang
orang tua / wali tidak mampu membiayai pendidikan. Di Indonesia, usia
7 sampai 15 tahun harus menempuh pendidikan formal di sekolah dasar
(termasuk sederajat) selama 6 tahun dan sekolah menengah pertama
(termasuk sederajat) selama 3 tahun. Wajib belajar berfungsi untuk
mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang berkualitas bagi setiap warga negara Indonesia dan
program wajib belajar bertujuan untuk memberikan pendidikan minimal
bagi warga negara Indonesia agar dapat mengembangkan potensinya
untuk dapat hidup mandiri di tengah masyarakat atau melanjutkan
pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Peraturan ini menjadi salah satu
aspek untuk meningkatkan kesadaran bersekolah. Menurut Irwanto (2010)
partisipasi siswa dan siswa difabel diperkuat dengan diberlakukannya
kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Tingkat partisipasi ABK dapat dilihat dari Angka Partisipasi Sekolah
(APS), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Angka Partisipasi Murni (APM).
Angka Partisipasi Sekolah (APS) adalah proporsi seluruh anak usia sekolah
dalam kelompok umur tertentu dengan kelompok umur yang sesuai1.
Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah proporsi anak sekolah pada tingkatan
tertentu terhadap jumlah penduduk pada kelompok umur tertentu2. APK
tinggi menunjukkan tingkat pendaftaran sekolah yang tinggi, terlepas
dari usia sekolah di tingkat pendidikan. Jika nilai APK mendekati atau
lebih dari 100 persen menandakan ada penduduk yang usia sekolahnya
tidak mencukupi dan / atau di atas usia yang dipersyaratkan. Hal
tersebut juga dapat menunjukkan bahwa wilayah tersebut mampu
menampung penduduk usia sekolah lebih dari target yang sebenarnya.
Angka Partisipasi Murni (APM) adalah proporsi penduduk pada kelompok
umur pendidikan tertentu yang masih bersekolah pada penduduk pada
kelompok umur tersebut3. APM menunjukkan berapa banyak penduduk
usia sekolah yang telah mampu memanfaatkan fasilitas pendidikan
1 https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=10
2 https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=8
3 https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=9
C. PENYEBARAN SEKOLAH
F. KEGIATAN PEMBELAJARAN
H. UPAYA PEMERINTAH
V
39
40
BAB V
TANTANGAN GURU
DALAM MENGAJAR SISWA
BERKEBUTUHAN KHUSUS
41
tujuan pendidikan nasional bernegara Indonesia. Namun jika terlalu
sering justru akan menimbulkan masalah khususnya bagi guru sebagai
pelaksana di lapangan. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ayat keempat sebagai berikut:
VI
49
50
BAB VI
ANALISIS KEBUTUHAN GURU
PEMBIMBING KHUSUS (GPK)
51
281 orang. Idealnya, satu GPK untuk satu sekolah dengan keahlian untuk
semua kecacatan.
Penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kebutuhan jumlah Guru
Pembimbing Khusus sebagai berikut.
VII
53
54
BAB VII
PEMAHAMAN TENTANG GURU
PEMBIMBING KHUSUS (GPK)
Pasal 10
(1) Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit
1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan
yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif.
(2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak
ditunjuk oleh pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan
paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus.
(3) Pemerintah kabupaten/kota wajib meningkatkan kompetensi di
bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
(4) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu dan
menyediakan tenaga pembimbing khusus bagi satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif yang memerlukan sesuai
55
dengan kewenangannya.
(5) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu meningkatkan
kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan
tenaga kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara
pendidikan inklusif.
(6) Peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (5) dapat dilakukan melalui:
a. pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan
Tenaga Kependidikan (P4TK);
b. lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP);
c. perguruan tinggi (PT);
d. lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya di lingkungan
pemerintah daerah, Departemen Pendidikan Nasional dan/
atau Departemen agama;
e. Kelompok Kerja Guru/Kepala Sekolah (KKG, KKS), Kelompok
Kerja Pengawas Sekolah (KKPS), MGMP, MKS, MPS dan
sejenisnya.
Pasal 41
(1) Setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan
inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai
kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik
dengan kebutuhan khusus.
61
499 guru. Sedangkan pelaksanaannya adalah bertahap yang disesuaikan
dengan metode pendekatan dan metode Program Pendidikan dan
Pelatihan Pengembangan Kompetensi Guru Pembimbing Khusus.
B. TUJUAN PROGRAM
C. MANFAAT PROGRAM
Program Pokok
1. Kapita Selekta 8 Menjelaskan Struktur Peserta memiliki pemahaman
Pendidikan Keilmuan Pendidikan tentang struktur keilmuan
Inklusif Inklusif dan isu aktual yang pendidikan inklusif dan
menyertai perkembangan isu aktual yang menyertai
pendidikan inklusif perkembangan pendidikan
pada tataran kebijakan, inklusif, dalam tataran
konseptual, dan empiris kebijakan, konseptual, dan
sebagai kerangka pikir empiris, sebagai kerangka
pengembangan guru pikir dalam pengembangan
pembimbing khusus. kompetensi guru pembimbing
khusus.
2. Profil Kompetensi 6 Menjelaskan empat Peserta memiliki pemahaman
Guru Pembimbing kompetensi guru yang rinci tentang empat
Khusus pembimbing khusus dan kompetensi guru pembimbing
penjabarannya dalam khusus dan penjabarannya
tugas pokok sebagai dalam tugas pokok
pendidik bagi anak sebagai pendidikan anak
berkebutuhan khusus. berkebutuhan khusus.
PROGRAM PENUNJANG
1. Dinamika 4 Memberikan aktivitas Peserta diklat menunjukan
Kelompok dinamis untuk mewujudkan kesiapan mental, fisik, dan
kesiapkan mental, fisik, akademis untuk mengikuti
akademis sebagai peserta keseluruhan proses
diklat. pembelajaran.
450
I. PENDANAAN
IX
77
78
BAB IX
PENUTUP DAN TINDAK LANJUT
79
Oleh karena itu tentunya juga berdampak pada metode pembelajaran
yang sesuai dengan siswa berkebutuhan khusus. Namun, tantangan ini
pasti akan terjadi jika semua pihak berkepentingan dengan pendidikan
inklusif dan berkomitmen untuk memajukan pendidikan inklusif secara
serius. Guru sebagai ujung tombak juga harus menjadi sosok yang selalu
belajar untuk bisa menyesuaikan diri dengan segala bentuk perubahan.
Perubahan kurikulum yang terlalu sering dapat menghambat
pencapaian pendidikan nasional. Apalagi, kurikulum yang dikembangkan
tersebut tidak berdasarkan penelitian empiris yang sistematis dan tidak
sesuai dengan keterampilan dan kondisi di lapangan. Dengan adanya
perubahan kurikulum tersebut maka pemerintah harus mensosialisasikan
kurikulum tersebut kepada seluruh komponen pendidikan. Hambatannya
adalah kemampuan Pemerintah dalam menyelenggarakan pelatihan
guru untuk pengenalan dan implementasi kurikulum. Selain itu, guru
membutuhkan banyak waktu untuk beradaptasi dengan perubahan
kurikulum.
Pada dasarnya, siswa berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif
dapat mempelajari ilmu pengetahuan dengan baik. Namun, heterogenitas
siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi dapat menyebabkan: 1)
keterbatasan siswa dalam belajar, memberikan kesulitan bagi guru untuk
menyesuaikan diri dengan siswa berkebutuhan khusus, 2) ketidakadilan
di kelas jika guru hanya berfokus pada siswa berkebutuhan khusus, dan 3)
guru harus mengembangkan sumber belajar yang sesuai dengan kondisi
kelas, yaitu terdapat siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus. Oleh
karena itu, diskusi semacam ini dapat didiskusikan dalam penelitian lain.
Dalam buku ini juga dipaparkan tentang acuan untuk Pengembangan
Kompetensi Guru Pendamping Khusus. Acuan ini dikembangkan
berdasarkan landasan teori, peraturan perundang-undangan dan
pemahaman yang menyeluruh pada pendidikan inklusif. Kebutuhan
Guru Pembinaan Khusus menurut jumlah sekolah adalah 344.743. Total
program pedoman ini memiliki 47 mata pelajaran dan 450 jam belajar
yang terbagi dalam tiga mata pelajaran utama, yaitu mata pelajaran
pelatihan umum, mata pelajaran pelatihan pokok, dan mata pelajaran
pelatihan penunjang. Melalui pedoman ini diharapkan dapat memberikan
gambaran Program Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan Kompetensi
Guru Pembimbing Khusus secara jelas dan komperhensif serta dapat
memberikan kontribusi untuk peningkatan kompetensi guru pembimbing
khusus. Semoga program ini dapat terlaksana untuk kesuksesan
83
Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 32 Tahun 2008 tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Pendidikan
Khusus.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat istimewa.
Peraturan Pemerintah (PP) No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan
Nasional Pendidikan.
Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (Permen PAN-RB) No. 16 Tahun 2009 tentang Profesi Guru
dan Angka Kreditnya.
Rieser, R. (2012). Implementing inclusive education: a Commonwealth
guide to implementing Article 24 of the UN Convention on the Rights
of Persons with Disabilities. Commonwealth Secretariat.
Slavin, R. E. (1996). Education for all. CRC Press.
Stubbs, S. (2008). Inclusive Education. Where there are few resources.
Oslo, The Atlas Alliance Publ.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Unesco. (1994). The Salamanca Statement and Framework for action
on special needs education: adopted by the World Conference on
Special Needs Education; Access and Quality. Salamanca, Spain,
7-10 June 1994. Unesco.
World Health Organization. (2008). Millennium development goals.
84