Anda di halaman 1dari 95

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/373296561

PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GURU PEMBIMBING KHUSUS DI INDONESIA

Book · August 2021

CITATIONS READS

0 505

3 authors:

Ediyanto Ediyanto Asep Sunandar


State University of Malang State University of Malang
82 PUBLICATIONS 239 CITATIONS 49 PUBLICATIONS 54 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Ahsan Romadlon Junaidi


State University of Malang
25 PUBLICATIONS 46 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ediyanto Ediyanto on 23 August 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GURU
PEMBIMBING KHUSUS
DI INDONESIA
PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GURU
PEMBIMBING KHUSUS
DI INDONESIA

Ediyanto, M.Pd. Ph.D.


Dr. Asep Sunandar, S.Pd. M.AP.
Dr. Ahsan Romadlon Junaidi, M.Pd.

Universitas Negeri Malang


Anggota IKAPI No. 059 / JTI / 89
Anggota APPTI No. 002.103.1.09.2019
Jl. Semarang 5 (Jl. Gombong 1) Malang, Kode Pos 65145
Telp. (0341) 562391, 551312 psw 1453
Ediyanto., dkk.
Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia – Oleh:
Ediyanto, Asep Sunandar & Ahsan Romadlon Junaidi –Cet. I– Universitas
Negeri Malang, 2021.

x, 84 hlm; 15,5 x 23 cm
ISBN: 978-602-470-524-4

PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GURU PEMBIMBING KHUSUS DI INDONESIA


Ediyanto, M.Pd. Ph.D.
Dr. Asep Sunandar, S.Pd. M.AP.
Dr. Ahsan Romadlon Junaidi, M.Pd.

Layout & Cover : Nia Windyaningrum, S.Sn

• Hak cipta yang dilindungi:

Undang-undang pada : Pengarang


Hak Penerbitan pada : Universitas Negeri Malang
Dicetak oleh : Universitas Negeri Malang

Dilarang mengutip atau memperbanyak dalam bentuk apapun


tanpa izin tertulis dari penulis. Isi diluar tanggung jawab Penerbit.

• Universitas Negeri Malang


Anggota IKAPI No. 059 / JTI / 89
Anggota APPTI No. 002.103.1.09.2019
Jl. Semarang 5 (Jl. Gombong 1) Malang, Kode Pos 65145
Telp. (0341) 562391, 551312 psw 1453

• Cetakan I : 2021
KATA PENGANTAR

Pendidikan merupakan hak asasi yang dimiliki semua orang. Dalam


implementasinya tidak semua anak mendapatkan hak tersebut. Anak
Berkebutuhan Khusus merupakan kelompok yang masih perlu perhatian
dalam pemenuhan hak tersebut.
Sejauh ini, pemenuhan hak pendidikan anak berkebutuhan khusus
terletak di sekolah luar biasa. Namun di Indonesia, keberadaan pendidikan
inklusi tidak mampu menampung kuantitas anak berkebutuhan khusus.
Tercatat hanya sekitar tidak lebih dari 30% saja anak berkebutuhan
khusus yang mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa. Kemudian,
pendidikan inklusi muncul sebagai sebuah solusi untuk mengatasi
permasalahan hak pemenuhan pendidikan untuk anak berkebutuhan
khusus.
Pendidikan inklusi muncul dan berkembang dengan tantangan
yang cukup berat. Salah satunya penyediaan guru pendamping khusus.
Buku ini dikembangkan sebagai bentuk perwujutan permasalahan
dalam pendidikan inklusi dan guru pendamping khusus. Buku ini secara
jelas memberikan pemahaman tentang pendidikan inklusi, beberapa
pandangan tentang guru pendamping khusus serta penyediaan program
pelatihan bagi mereka.

Malang, Agustus 2021

Penulis

v
vi
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................... v


Daftar Isi .................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN .................................................. 3

BAB II DASAR HUKUM PENDIDIKAN INKLUSI DAN GURU


PEMBIMBING KHUSUS ........................................... 9
A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional .............. 9
B. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang
Pendidikan Luar Biasa ..................................... 10
C. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang
Guru .......................................................... 10
D. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16
Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru ........................................... 11
E. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 32
Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru Pendidikan Khusus .................... 11
F. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun
2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan
dan/atau Bakat Istimewa .................................. 11
G. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005
Tentang Standar Pendidikan Nasional Pendidikan ..... 12
H. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan ........................................ 12

vii
I. Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (Permen Pan-Rb) No. 16 Tahun 2009
Tentang Profesi Guru dan Angka Kreditnya ............. 13

BAB III PEMAHAMAN TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF ............. 17


A. Konsep Pendidikan Inklusif ................................ 17
B. Pendidikan Inklusif di Indonesia .......................... 19

BAB IV PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI INDONESIA ...... 25


A. Kesadaran Untuk Bersekolah .............................. 25
B. Pengelompokan Siswa Berkebutuhan Khusus di Kelas 27
C. Penyebaran Sekolah ........................................ 28
D. Sarana dan Prasarana ...................................... 28
E. Guru .......................................................... 32
F. Kegiatan Pembelajaran .................................... 33
G. Siswa ABK Setelah Lulus ................................... 34
H. Upaya Pemerintah ........................................... 36

BAB V TANTANGAN GURU DALAM MENGAJAR SISWA


BERKEBUTUHAN KHUSUS ...................................... 41
A. Kurikulum Yang Sering Berubah ........................... 41
B. Siswa Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif Sangat
Beragam ...................................................... 43
C. Karakteristik Belajar Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus 45

BAB VI ANALISIS KEBUTUHAN GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK) 51

BAB VII PEMAHAMAN TENTANG GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK) 55

BAB VIII PROGRAM PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU


PEMBIMBING KHUSUS ........................................... 61
A. Sasaran dan Peserta Program ............................. 61
B. Tujuan Program ............................................. 62
C. Manfaat Program ........................................... 63
D. Standar Kompetensi Guru (SKG) Pembimbing Khusus 64
E. Pendekatan dan Metode Program ......................... 64
F. Komponen dan Alur Kegiatan Program ................... 65
G. Struktur dan Deskripsi Pelaksanaan Program ........... 66

viii
H. Narasumber dan Fasilitator ............................... 76
I. Pendanaan .................................................. 76

BAB IX PENUTUP DAN TINDAK LANJUT .............................. 79

Daftar Pustaka ........................................................... 83

ix
x
B
A
PENDAHULUAN
B

I
1
2
BAB I
PENDAHULUAN

P endidikan merupakan hak dasar setiap anak. Hak dasar ini telah diakui
dunia pada berbagai konvensi maupun perundang-undangan. Untuk
pemenuhan hak dasar anak tersebut, Dunia melakukan penanganan
serius untuk mengantarkan anak usia sekolah menyelesaikan pendidikan
dasar. Aksi tersebut merupakan tujuan dari “Millennium Development
Goals” (MDGs) dan “Education for All“ (EFA) (Slavin, 2996; WHO, 2008;
Rieser, 2012). Pemerintah Indonesia pun membuat komitmen politik
di “World Education Forum” (2000) untuk mencapai Pendidikan Dasar
untuk Semua. Sebagai implementasi untuk ikut aktif dalam kegiatan
dunia, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Undang-Undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU No.20/2003) yang berdasar
pada Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 31 ayat (1)
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
dan ayat (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang-undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional, hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan
khusus memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan

3
yang layak tanpa kecuali. Salah satu upaya untuk memfasilitasi anak
berkebutuhan khusus adalah sekolah luar biasa. Namun demikian
menurut data Kemdikbud dan BPS , anak berkutuhan khusus usia sekolah
lebih dari 1.6 juta jiwa tidak memiliki kesempatan untuk bersekolah.
Dari lebih dari 32 ribu sekolah, hanya dapat menampung kurang dari
300 ribu siswa (Maulipaksi, 2017; kemdikbud.go.id, bps.go.id). Sehingga
lebih dari 1.3 juta jiwa anak berkebutuhan khusus tidak memiliki
kesempatan untuk sekolah. Untuk memberikan hak yang sama untuk
mendapatkan pendidikan yang layak, Indonesia telah mengembangkan
sistem pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif di Indonesia dimulai ketika isu dunia berkomitmen
pada gerakan Pendidikan untuk Semua (Education for All/EFA). Selain
itu, mengacu pada “Salamanca Statement and Framework for Action
UNESCO” (1994) yang menyatakan bahwa hak setiap anak harus dididik
dan diakui tentang perbedaan minat, kemampuan, dan kebutuhan belajar.
Namun dalam implementasinya, bahkan setelah Deklarasi bandung 2004
dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70
Tahun 2009 yang menegaskan komitmen semua pihak terkait di Indoensia
terhadap pendidikan Inklusif, sampai sekarang jumlah sekolah inklusif di
Indonesia kurang dari 1000 sekolah dari berbagai jenjang dan kurang
dari 16 ribu siswa berkebutuhan khusus terakomodasi (Maulipaksi, 2017;
kemdikbud.go.id, bps.go.id).
Efek domino yang muncul dari masalah ketersediaan sekolah
pendidikan inklusif untuk mengakomodasi anak berkebutuhan khusus
adalah pemenuhan semua aspek sistem pendidikan inklusif seperti
kurikulum, sarana dan prasarana, guru, dan pembelajaran yang sesuai
dengan prinsip-prinsip pendidikan inklusif. Pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus, mememiliki karakteristik unik sebagai dampak dari
kondisi fisik, psikologis, mental, dan sosial anak berkebutuhan khusus.
Oleh karena itu, menjadi guru anak berkebutuhan khusus memerlukan
kompetensi yang memadai. Undang-undang guru dan dosen, menegaskan
ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, yaitu: kompetensi
pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi personal, dan
kompetensi sosial.
Profil kompetensi guru pada sistem pendidikan inklusif, di samping
memiliki kompetensi umum, juga harus memiliki kompetensi kekhususan
dalam pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Pemahaman sosok anak
berkebutuhan khusus, telaah kurikulum dan asesmen anak berkebutuhan

4 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


khusus, strategi pembelajaran dan evaluasi, serta pelaporan hasil
belajar, merupakan kompetensi kekhususan yang harus dimiliki oleh guru
anak berkebutuhan khusus. Upaya meningkatkan kompetensi guru anak
berkebutuhan khusus, dapat dilakukan mulai dari kegiatan preservice
learning, sampai pada kegiatan inservice learning. Kegiatan inservice
learning, salah satunya dilakukan melalui kegiatan program peningkatan
kompetensi guru pada pendidikan inklusif. Buku ini memberikan
gambaran yang jelas tentang pendidikan inklusif di Indonesia yang
disertai penjelasan tentang tantangan guru dalam pendidikan inklusif.
Selain itu dibahas juga tentang kompetensi guru pembimbing khusus dan
rekomendasi program pengembangan kompetensinya dapat ditingkatkan
sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

Bab I. Pendahuluan 5
6 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia
B
DASAR HUKUM A
PENDIDIKAN
INKLUSI & GURU B
PEMBIMBING
KHUSUS

II
7
8
BAB II
DASAR HUKUM
PENDIDIKAN INKLUSI DAN
GURU PEMBIMBING KHUSUS

D ukungan terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusi sebagai salah


satu upaya pemerataan pendidikan dan meningkatkan partisipasi
anak bersekolah dalam bentuk undang-undang telah dibuat. Undang-
undang di Indonesia secara umum sudah sejalan dengan rekomendasi
Internasional.

A. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN


2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan


tentang penyelenggaraan pendidikan khusus. Pada pasal 5 ayat (2)
mengemukakan bahwa “Warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial, berhak memperoleh
pendidikan khusus.” Selain pada pasal 5 ayat (2), Pasal 15 menyebutkan
bahwa “Jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi,
keagamaan, dan khusus.” Lebih lanjut, Pendidikan khusus dijelaskan
pada Pasal 32 yaitu “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau

9
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.” Undang-undang ini
menunjukkan bahwa sistem Segregasi Pendidikan Khusus dan Reguler.

B. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 1991 TENTANG


PENDIDIKAN LUAR BIASA

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan


Luar Biasa merupakan peraturan yang mengatur penyelenggaraan
pendidikan luar biasa di Indonesia. Pada Pasal 1 ayat (1) menyatakan
tentang pengertian pendidikan luar biasa yaitu “pendidikan yang khusus
diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik
dan/atau mental. Selanjutnya pada pasal 3 menjelaskan jenis kelainan
peserta didik yang terdiri atas kelainan fisik (tuna rungu, tuna netra, dan
tuna daksa), kelainan mental (tuna grahita ringan dan sedang), kelainan
perilaku (tuna laras) dan kelainan ganda. Peraturan ini merupakan dasar
legalitas yang memberikan hak setiap anak berhak pendidikan yang layak.

C. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 74 TAHUN 2008 TENTANG


GURU

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru sudah


mengatur tentang Guru pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan
Pendidikan Inklusi. Guru pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan
Pendidikan Inklusi disebut Guru Pembimbing Khusus. Peraturan yang
membahas tentang Guru Pembimbing Khusus ini terdapat pada Pasal 15
ayat (3) poin (g) yaitu “pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan inklusi atau pendidikan terpadu dengan
beban kerja sesuai dengan beban kerja pembimbing khusus pada satuan
pendidikan.”

10 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


D. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 16
TAHUN 2007 TENTANG STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK
DAN KOMPETENSI GURU

Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007


tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru menyebutkan
pada pasal 1 ayat (1) yaitu “Setiap guru wajib memenuhi standar kualifikasi
akademik dan kompetensi guru yang berlaku secara Nasional.” Lebih
lanjut dijelaskan pada lampiran peraturan ini, Standar Kompetensi Guru
PAUD/TK/RA pada Kompetensi Pedagogik poin (4.5) menyebutkan bahwa
dalam menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik harus
dapat menciptakan suasana bermain yang menyenangkan, inklusif, dan
demokratis. Kemudian pada Kompetensi Sosial Guru setiap tingkatan
poin (16.) Guru harus bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak
diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi
fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.

E. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 32


TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK
DAN KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN KHUSUS

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 32 Tahun 2008 tentang


Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus
pada Pasal 2 ayat (1) menyebutkan “Penyelenggara pendidikan khusus
wajib mempekerjakan guru yang memenuhi standar kualifikasi akademik
dan kompetensi guru pendidikan khusus yang berlaku secara nasional.”

F. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 70


TAHUN 2009 TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA
DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI
KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA

Peraturan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun


2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki
Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa sudah
mengatur tentang penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Indonesia. Pasal

Bab II. Dasar Hukum Pendidikan Inklusi dan Guru Pembimbing Khusus 11
10 ayat (1) mengemukakan bahwa setiap Pemerintah Kabupaten/Kota
wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) Guru Pembimbing Khusus pada
satuan pendidikan yang di tunjuk untuk menyelenggarakan Pendidikan
Inklusif. Lebih jelas pada Pasal 6 ayat (1), (2), dan (3) menyebutkan bahwa
Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan
inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik, menjamin tersedianya
sumber daya pendidikan inklusif pada satuan pendidikan yang ditunjuk,
dan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi membantu tersedianya sumber
daya pendidikan inklusif.

G. PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 19 TAHUN 2005


TENTANG STANDAR PENDIDIKAN NASIONAL PENDIDIKAN

Pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 terdapat


aturan yang berkaitan dengan tenaga pengajar untuk Pendidikan Inklusif.
Tenaga pengajar pada Pendidikan Inklusif yaitu Guru Pembimbing Khusus
(GPK). Dalam peraturan ini, Guru Pembimbing Khusus disebutkan dalam
Pasal 41 ayat (1) yaitu “Setiap satuan pendidikan yang melaksanakan
pendidikan inklusif harus memiliki tenaga pendidikan yang mempunyai
kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan
kebutuhan khusus.”

H. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 32 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19 TAHUN
2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013


masih menempatkan siswa berkebutuhan khusus secara terpisah dari
pendidikan reguler. Misalnya pada pasal 77H ayat (2), disebutkan bahwa
Struktur Kurikulum Pendidikan Dasar masih dipisahkan antara Sekolah
Luar Biasa dan Sekolah Reguler.

12 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


I. PERATURAN MENTERI PEMBERDAYAAN APARATUR NEGARA
DAN REFORMASI BIROKRASI (PERMEN PAN-RB) NO. 16
TAHUN 2009 TENTANG PROFESI GURU DAN ANGKA
KREDITNYA

Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi


Birokrasi (Permen PAN-RB) No. 16 Tahun 2009 tentang Profesi Guru
dan Angka Kreditnya meletakan Guru Pembimbing Khusus sebagai
tugas tambahan. Pernyataan Guru Pembimbing Khusus sebagai tugas
tambahan terdapat pada Pasal 13 ayat (4) point (f) yaitu “Guru selain
melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2), atau
ayat (3) dapat melaksanakan tugas dan/atau tugas lain yang relevan
dengan fungsi sekolah/madrasah sebagai: … f. pembimbing khusus pada
satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi.”

Bab II. Dasar Hukum Pendidikan Inklusi dan Guru Pembimbing Khusus 13
14 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia
B
PEMAHAMAN A
TENTANG
PENDIDIKAN B
INKLUSIF

III
15
16
BAB III
PEMAHAMAN TENTANG
PENDIDIKAN INKLUSIF

P endidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang memberikan


kesempatan semua anak belajar bersama tanpa memandang latar
belakang anak. Artinya, semua anak memiliki hak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak termasuk anak yang memiliki kebutuhan
khusus seperti disabilitas, kesulitan ekonomi, permasalahan sosial,
permasalahan geografis, dan lain-lain.

A. KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF

Mahat (2008) menjelaskan bahwa Pendidikan inklusif adalah bagian


dari sistem pendidikan yang menempatkan semua siswa termasuk
mereka yang memiliki disabilitas (terlepas dari tingkat atau tingkat
keparahan disabilitas mereka), di ruang kelas reguler yang sesuai
dengan usia. Sejalan dengan pemahaman di atas, Pendidikan inklusi
merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak yang
memiliki keterbatasan tertentu dan anak-anak lainnya yang disatukan
dengan tanpa mempertimbangkan keterbatasan keterbatasan masing-
masing (Garnida, 2015). Menurut Direktorat Pembinaan Sekolah
Luar Biasa (dalam Garnida, 2015), pendidikan inklusif adalah sistem

17
layanan pendidikan yang memberikan kesempatan semua anak belajar
bersama-sama di sekolah umum dengan memperhatikan keragaman
dan kebutuhan individual, sehingga potensi anak dapat berkembang
secara optimal. Semangat pendidikan inklusif adalah memberi akses
seluas-luasnya kepada semua anak, termasuk anak berkebutuhan
khusus, untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan memberikan
layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannnya (Granida, 2015).
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menyertakan semua anak
secara bersama-sama dalam suatu iklim dan proses pembelajaran dengan
layanan pendidikan yang layak dan sesuai dengan kebutuhan individu
peserta didik tanpa membeda-bedakan anak yang berasal dari latar suku,
kondisi sosial, kemampuan ekonomi, politik, keluarga, bahasa, gografis
(keterpencilan) tempat tinggal, jenis kelamin, agama, dan perbedaan
kondisi fisik atau mental (Ni’matuzahroh & Nurhamida, 2016).
Pendidikan inklusif merupakan wadah yang ideal untuk semua anak
(Garnida, 2015) tanpa memandang kebutuhan khusunya. Karakteristik
pendidikan inkusif memiliki 4 makna yaitu:
1. Pendidikan inklusif adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya
menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak,
2. Pendidikan inlusif berarti memperoleh cara-cara untuk mengatasi
hambatan-hambatan dalam belajar,
3. Pendidikan inklusif membawa makna bahwa anak mendapat
kesempatan untuk hadir di sekolah, berpartisipasi dan mendapatkan
hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya, dan
4. Pendidikan inklusif diperuntukan bagi anak-anak yang tergolong
marginal, eksklusif dan membutuhkan layanan pendidikan khusus
dalam belajar.

Tujuan utama dari pendidikan inklusif adalah untuk mendidik anak


berkebutuhan khusus dikelas reguler secara bersama-sama dengan anak
normal dengan dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya disekolah
yang terdekat dengan tempat tinggalnya dan tanpa adanya diskriminatif
(Stubbs, 2008). Selain itu, pendidikan inklusif akan meminimalkan
keterbatasan kondisi pertumbuhan dan perkembangan anak dan untuk
memaksimalkan kesempatan anak berkebutuhan khusus terlibat dalam
lingkungan sosial yang sama dengan anak pada umumnya. Pendidikan
inklusif juga memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya kondisi yang
lebih parah dan ketidakteraturan perkembangan yang membuat anak

18 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


semakin tidak berdaya serta mencegah bertambahnya ketidakberdayaan
anak pada aspek lain karena diakibatkan keterbatasannya (Ni’matuzahroh
& Nurhamida, 2016).

B. PENDIDIKAN INKLUSIF DI INDONESIA

Sejarah pendidikan inklusif di Indonesia dimulai dengan tersedianya


pendidikan khusus dimana siswa dengan SEN ditempatkan di sekolah
luar biasa yang terpisah dari sekolah biasa. Pendidikan luar biasa di
Indonesia dirancang dengan program pada tahun 1980, “Pola Dasar
Umum Penyelenggaraan Pendidikan Luar Biasa Dalam Rangka Kewajiban
Belajar, BP3K, 1980” (Sutratinah, 1984). Program ini membahas tentang
perencanaan pendidikan khusus untuk siswa berkebutuhan khusus (saat
itu disebut siswa “cacat”). Melalui program BP3K di Indonesia, sekolah
luar biasa menerima hampir semua siswa dengan SEN - seperti tunanetra,
tunarungu dan gangguan pendengaran, cacat intelektual, autisme, dan
gangguan emosi. Pembagian SLB berdasarkan jenis kebutuhan khusus
dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) yaitu SLB A, SLB B, SLB C, SLB
D, dan SLB E. SLB A menangani siswa tunanetra, SLB B menangani siswa
tunarungu, SLB C menangani siswa tunagrahita. SLB D menangani siswa
tunadaksa. SLB E menangani siswa tunalaras. ( Sutratinah, 1984; Alfian,
2013), dan siswa berbakat adalah SLB F (Sutratinah, 1984).
Pendidikan inklusif adalah praktik yang menempatkan siswa
berkebutuhan khusus dan siswa normal dalam kelas yang sama (Stubbs,
2002). Sejak tahun 2003, sekolah inklusif di Kota Yogyakarta, Indonesia,
mulai bermunculan (Purbani, 2013). Pada tahun 2008, sekolah inklusi
mendapat dukungan dari Peraturan Pemerintah Kota Yogyakarta
Nomor 47 Tahun 2008 tentang “Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi”
Pasal 1 Bab 1 (Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 47 Tahun 2008).
Pasal ini menyatakan bahwa pendidikan inklusif harus mencakup
semua anak dalam satu iklim belajar di mana mereka dibekali dengan
pendidikan dan layanan yang sesuai berdasarkan potensi, kapasitas,
kondisi, dan kebutuhan individu peserta didik tanpa membedakan atau
mendiskriminasi mereka berdasarkan sosial, ekonomi, faktor politik,
etnis, bahasa, jenis kelamin, agama, atau kepercayaan atau perbedaan
kondisi fisik dan mental mereka.

Bab III. Pemahaman Tentang Pendidikan Inklusif 19


Sejak tahun 2009, Pemerintah Indonesia telah memfokuskan pada isu-
isu yang terkait dengan penerimaan siswa dengan SEN di sekolah reguler
(Ediyanto, Atika, Kawai, & Prabowo, 2017). Selain itu, mereka mengacu
pada Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs
Education (UNESCO, 1994), yang menyatakan bahwa setiap anak berhak
untuk dididik dan perbedaannya diakui dalam hal minat, kemampuan,
dan kebutuhan belajar mereka. Apalagi, pada tahun 2004 pemerintah
membuat Deklarasi Bandung yang menyatakan komitmennya terhadap
pengembangan pendidikan inklusif. Lokakarya Nasional Pendidikan
Inklusif memberikan tujuh poin terkait dengan keikhlasan dan tanggung
jawab yang tulus dalam pendidikan inklusif yang harus diikuti oleh
pemerintah, LSM, dan dosen akademik di Indonesia. Dalam Deklarasi
Bandung (2004), peserta Lokakarya Nasional tentang pendidikan inklusif
menyatakan poin-poin tersebut sabagai berikut.
1. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus
lainnya mendapatkan kesamaan akses dalam segala aspek kehidupan,
baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, kesejahteraan,
keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi
penerus yang handal.
2. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus
lainnya, sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan
perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai
dengan potensi dan tuntutan masyarakat, tanpa perlakuan
deskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik secara
fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hukum, politis maupun
kultural.
3. Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan
inklusif yang ditunjang kerja sama yang sinergis dan produktif
di antara para stakeholders, terutama pemerintah, institusi
pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri, orang tua
serta masyarakat.
4. Menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pemenuhan anak
berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya, sehingga
memungkinkan mereka dapat mengembangkan keunikan potensinya
secara optimal.
5. Menjamin kebebasan anak berkelainan dan anak berkebutuhan
khusus lainnya untuk berinteraksi baik secara reaktif maupun
proaktif dengan siapapun, kapanpun dan di lingkungan manapun,

20 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


dengan meminimalkan hambatan.
6. Mempromosikan dan mensosialisasikan layanan pendidikan inklusif
melalui media masa, forum ilmiah, pendidikan dan pelatihan, dan
lainnnya secara berkesinambungan.
7. Menyusun Rencana Aksi (Action Plan) dan pendanaannya untuk
pemenuhan aksesibilitas fisik dan non-fisik, layanan pendidikan yang
berkualitas, kesehatan, rekreasi, kesejahteraan bagi semua anak
berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya.

Setelah Deklarasi Bandung (2004) tersebut, Pemerintah Indonesia


mulai menggalakkan pendidikan inklusif untuk memberikan pendidikan
yang sama kepada seluruh siswa. Pemerintah Indonesia telah
menyelenggarakan seminar dan pelatihan di bidang pendidikan inklusi
serta program kementerian pendidikan yang memberikan materi tentang
pendidikan inklusif dan perlindungan anak (Ediyanto et al., 2017). Selain
memperkenalkan Deklarasi Bandung, Pemerintah Indonesia juga telah
menyatakan komitmennya terhadap pengembangan pendidikan inklusif.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70
Tahun 2009 mengatur tentang pendidikan inklusif bagi siswa penyandang
disabilitas, kecerdasan khusus, dan / atau bakat. Salah satu ketentuan
tersebut ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut:

“Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya


pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik.”

Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan sebagai berikut:

“Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional,


mental, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif
pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya.”

Meski Indonesia termasuk negara berkembang, masyarakatnya sadar


akan pendidikan inklusif. Sistem Pendidikan Nasional Indonesia diatur
dalam Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Sebagai
bagian dari pelaksanaan program wajib belajar, pendidikan inklusif
diatur sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

Bab III. Pemahaman Tentang Pendidikan Inklusif 21


47 Tahun 2008. Peraturan tentang wajib belajar warga negara Indonesia
ini harus diikuti oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Peraturan ini menunjukkan komitmen pemerintah di bidang pendidikan.
Pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar merupakan bagian
dari kebijakan pendidikan di Indonesia yang berupaya mewujudkan
pendidikan untuk semua.
Ayat (1) sampai dengan ayat (4) dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar
menjelaskan bahwa anak usia tujuh sampai dengan 15 tahun berhak
memperoleh pendidikan. Artikel ini juga menjelaskan bahwa anak-
anak yang orang tuanya / wali tidak mampu membiayai pendidikannya
dibebaskan dari biaya sekolah. Di Indonesia, anak-anak yang berusia
tujuh hingga 15 tahun harus mengikuti pendidikan formal di sekolah dasar
(atau sederajat) selama enam tahun dan sekolah menengah pertama
(atau sederajat) selama tiga tahun. Pendidikan wajib berupaya untuk
memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara Indonesia
untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, setiap
warga negara Indonesia harus dibekali dengan tingkat pendidikan yang
memungkinkan mereka mengembangkan potensinya untuk hidup mandiri
di tengah masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi.
Menurut Irwanto, Fransiska, Lusli, dan Siradj (2010), partisipasi
siswa - termasuk penyandang disabilitas - dalam pendidikan diperkuat
dengan diberlakukannya kebijakan yang mendorong pendidikan inklusif.
Ketentuan lain yang menjadi dasar pendidikan inklusif antara lain 1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas, 3) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, 4) Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pendidikan Bertaraf Nasional,
dan 5) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 34 Tahun 2006,
yang mengidentifikasikan anak-anak yang berpotensi. Di Indonesia,
terdapat sebanyak 338.328 (21,42%) anak usia 5--18 tahun bersekolah
di SLB; Sebanyak 15.144 anak dengan SEN terdaftar di kelas reguler di
salah satu dari 811 sekolah inklusif di Indonesia (Irwanto et al., 2010).

22 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


B
PELAKSANAAN A
PENDIDIKAN
INKLUSIF B
DI INDONESIA

IV
23
24
BAB IV
PELAKSANAAN PENDIDIKAN
INKLUSIF DI INDONESIA

P elaksanaan Pendidikan Inklusif di Indonesia pada buku ini terdapat


8 (delapan) aspek yaitu 1) kesadaran untuk bersekolah, 2)
pengelompokan siswa berkebutuhan khusus di kelas, 3) penyebaran
sekolah, 4) sarana dan prasarana, 5) guru, 6) kegiatan pembelajaran, 7)
Siswa ABK setelah lulus, dan 8) upaya pemerintah.

A. KESADARAN UNTUK BERSEKOLAH

Sistem Pendidikan Nasional Indonesia diatur dalam Pasal 34 ayat (4)


Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Khusus untuk penyelenggaraan
program wajib belajar diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 47 Tahun 2008. Program wajib belajar adalah pendidikan
minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung
jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. Peraturan tentang Wajib
Belajar ini menunjukkan komitmen pemerintah di bidang pendidikan.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin terlaksananya
program wajib belajar minimal di jenjang pendidikan dasar tanpa biaya.
Pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar merupakan bagian

25
dari kebijakan pendidikan di Indonesia dalam mewujudkan pendidikan
untuk semua.
Pasal 9 ayat (1) sampai dengan ayat (4) dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar menjelaskan
bahwa anak usia 7 sampai dengan 15 tahun (9 tahun) dijamin untuk
mengikuti program wajib wajib. Peraturan tersebut juga menjelaskan
tentang pembebasan SPP pada program wajib belajar bagi anak yang
orang tua / wali tidak mampu membiayai pendidikan. Di Indonesia, usia
7 sampai 15 tahun harus menempuh pendidikan formal di sekolah dasar
(termasuk sederajat) selama 6 tahun dan sekolah menengah pertama
(termasuk sederajat) selama 3 tahun. Wajib belajar berfungsi untuk
mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang berkualitas bagi setiap warga negara Indonesia dan
program wajib belajar bertujuan untuk memberikan pendidikan minimal
bagi warga negara Indonesia agar dapat mengembangkan potensinya
untuk dapat hidup mandiri di tengah masyarakat atau melanjutkan
pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Peraturan ini menjadi salah satu
aspek untuk meningkatkan kesadaran bersekolah. Menurut Irwanto (2010)
partisipasi siswa dan siswa difabel diperkuat dengan diberlakukannya
kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Tingkat partisipasi ABK dapat dilihat dari Angka Partisipasi Sekolah
(APS), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Angka Partisipasi Murni (APM).
Angka Partisipasi Sekolah (APS) adalah proporsi seluruh anak usia sekolah
dalam kelompok umur tertentu dengan kelompok umur yang sesuai1.
Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah proporsi anak sekolah pada tingkatan
tertentu terhadap jumlah penduduk pada kelompok umur tertentu2. APK
tinggi menunjukkan tingkat pendaftaran sekolah yang tinggi, terlepas
dari usia sekolah di tingkat pendidikan. Jika nilai APK mendekati atau
lebih dari 100 persen menandakan ada penduduk yang usia sekolahnya
tidak mencukupi dan / atau di atas usia yang dipersyaratkan. Hal
tersebut juga dapat menunjukkan bahwa wilayah tersebut mampu
menampung penduduk usia sekolah lebih dari target yang sebenarnya.
Angka Partisipasi Murni (APM) adalah proporsi penduduk pada kelompok
umur pendidikan tertentu yang masih bersekolah pada penduduk pada
kelompok umur tersebut3. APM menunjukkan berapa banyak penduduk
usia sekolah yang telah mampu memanfaatkan fasilitas pendidikan
1 https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=10
2 https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=8
3 https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=9

26 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


sesuai dengan jenjang pendidikannya. Jika APM = 100, maka semua anak
usia sekolah dapat bersekolah tepat waktu.

Tabel 1. Percentage of APS, APK and APM Indonesia Year 2015


NO Kategori Persetase
7 – 12 Tahun 99.09
13 – 15 Tahun 94.72
1 APS
16 – 18 Tahun 70.61
19 – 24 Tahun 22.95
SD 110.50
2 APK SMP 91.17
SMA 78.02
SD 96.70
3 APM SMP 77.82
SMA 59.71
Sumber : https://data.go.id

B. PENGELOMPOKAN SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS DI KELAS

Pembagian SLB berdasarkan jenis kebutuhan khusus dapat


dikelompokkan menjadi 5 (lima) yaitu SLB A, SLB B, SLB C, SLB D,
dan SLB E. SLB A menangani siswa tunanetra, SLB B menangani siswa
tunarungu, SLB C menangani siswa tunagrahita. SLB D menangani siswa
tunadaksa. SLB E menangani siswa tunalaras. Kemudian khusus untuk
siswa autis dikelompokkan lagi ke dalam kelompok SLB F. Namun untuk
kasus SDLB, SMPLB, SMALB didalamnya terdiri dari beberapa kebutuhan
khusus. Adapun sekolah inklusi merupakan sekolah negeri yang melayani
anak berkebutuhan khusus yang belajar bersama dengan siswa normal.
Di beberapa kasus SLB C terlihat bervariasi ada siswa penyandang
disabilitas dan down syndrome. Pengelompokan anak berkebutuhan
khusus yang sudah baik di kota besar seperti Bandung, Jakarta dan
Surabaya. Sedangkan di beberapa daerah lain masih terkendala dengan
keterbatasan jumlah sekolah, ruang kelas dan tenaga pengajar.
Sekolah Reguler yang menyelenggarakan pendidikan inklusif dapat
memberikan lingkungan kepada ABK untuk bisa bergaul dengan anak

Bab IV. Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Indonesia 27


normal. Ini bisa menjadi wadah untuk berlatih dan bersosialisasi di
masyarakat. Saat bersekolah biasa, ABK menunjukkan perilaku yang baik.
Perbedaan ABK di sekolah inklusif swasta dan negeri. Sekolah
inklusif swasta (misalnya sekolah Mutiara Bunda, Sembilan Mutiara
dan Gagas Ceria) dengan biaya sekolah menengah dapat menyediakan
pendidikan inklusif dengan baik. Mulai dari fasilitas, guru dan layanan.
Di sekolah swasta ini kapasitas ABK dibatasi hanya 2-3 anak dengan 4
orang guru dengan komposisi guru kelas, guru pendamping khusus, guru
orthopedagogik, dan guru pendamping sebagai asisten pengajar. Namun
yang menjadi permasalahan adalah mahalnya biaya harus ditanggung oleh
orang tua/wali siswa. Uang sekolah inklusif swasta di atas 20 juta rupiah
dan biaya Sumbangan Pendidikan (SPP) di atas 2 juta rupiah per bulan.
Berbeda dengan sekolah inklusi negeri terdapat kasus, pada tingkat SD,
satu kelas dapat memiliki rasio 60:40, ABK 60, dan siswa normal 40.

C. PENYEBARAN SEKOLAH

Penyebaran SLB di Indonesia belum merata. Menurut peraturan di


Indonesia (Permendiknas No. 70 Tahun 2009), kewajiban penyelenggaraan
sekolah inklusi hanya untuk tingkat perkotaan. Di setiap kelurahan
diwajibkan memiliki 1 sekolah inklusif pada jenjang SD dan SMP.
Sedangkan untuk SMA diwajibkan untuk provinsi. Di tingkat pedesaan,
pendidikan inklusif diselenggarakan secara nonformal oleh masyarakat.
Penyebaran sekolah inklusi terkonsentrasi di Pulau Jawa, sedangkan
untuk pulau-pulau terluar tidak ada jaminan bahwa kabupaten/kota
memiliki 1 sekolah inklusif tingkat SD dan SMP.
Berdasarkan statistik SLB yang dipublikasikan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan tahun 2017, secara umum Indonesia memiliki 2.070
sekolah luar biasa yang terbagi menjadi 545 sekolah negeri dan 1.525
sekolah swasta. Sekolah luar biasa terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan
persentase lebih dari 60%.

D. SARANA DAN PRASARANA

Sistem Pendidikan Indonesia memiliki 8 standar yang termuat dalam


Standar Nasional Pendidikan yang terdiri dari 1) standar kompetensi

28 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


lulusan, 2) standar isi, 3) standar proses, 4) standar pendidikan dan
pendidik, 5) standar sarana dan prasarana, 6) standar manajemen, 7)
pembiayaan pendidikan standar, dan 8) standar penilaian pendidikan.
Ketentuan mengenai Sarana dan Prasarana pada sekolah luar biasa
dan inklusif diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2008
tentang Standar Sarana dan Prasarana SDLB, SMPLB dan SMALB. Dalam
peraturan tersebut dijelaskan standar kelayakan minimal SLB yaitu
tanah, bangunan, dan kelengkapan sarana dan prasarana. Akreditasi
berkala dilakukan untuk setiap sekolah dan sekolah yang terakreditasi
harus memenuhi standar kelayakan minimum.
Dari segi jumlah dan kondisi kelas, data Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan tahun 2017, jumlah ruang kelas yang disediakan 19.727
ruang kelas. Namun tidak semua kelas dalam kondisi baik. Dari total
kelas yang ada, hanya sekitar 35% yang dalam kondisi baik. Rincian
kondisi kelasnya yaitu dalam kondisi baik sebanyak 7.017 kelas, dalam
kondisi rusak ringan sebanyak 11.032 kelas, dalam kondisi rusak sedang
sebanyak 718 kelas, dalam kondisi rusak berat sebanyak 524 kelas dan
dalam kondisi rusak total sebanyak 436 kelas. Data lengkap tentang
kondisi kelas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah dan Kondisi Kelas di Sekolah Luar Biasa Tahun


2016/2017
No Kondis Negeri Swasta Jumlah
1 Bagus 2,753 4,264 7,017
2 Rusak Ringan 4,021 7,011 11,032
3 Rusak Sedang 265 453 718
4 Rusak Parah 146 378 524
5 Rusak Total 158 278 436
Jumlah 7,343 12,384 19,727
Sumber: Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2017
di Statistik SLB

Standar sarana dan prasarana SDLB, SMPLB, dan SMALB sebagaimana


diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2008 tentang
Standar Sarana dan Prasarana SDLB, SMPLB dan SMALB secara lengkap
dapat dilihat pada Tabel 3.
Sekolah penyelenggara program inklusi secara rutin mendapatkan
bantuan dari Direktorat PPKLK (Direktorat Pendidikan Luar Biasa dan

Bab IV. Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Indonesia 29


Pembinaan Layanan Khusus) berupa barang. Terkait pemanfaatan
bantuan tersebut, agar sekolah SLB tidak mengalami kendala. Namun
untuk sekolah inklusi, pemberian bantuan biasanya tidak sesuai dengan
kebutuhan siswa penyandang disabilitas, karena pemberian bantuan
kepada sekolah sama saja. Jika dibandingkan dengan negara maju,
Indonesia masih tertinggal jauh. Di sisi lain, belum semua sekolah inklusi
siap menerima anak berkebutuhan khusus.
Sekolah umum dituntut harus memenuhi standar nasional. Namun
pada saat yang bersamaan, fasilitas penunjang seperti laboratorium
belum dioptimalkan untuk anak berkebutuhan khusus. Sebelum sekolah
menjadi sekolah inklusi, laboratorium dibangun terlebih dahulu. Sehingga
untuk melakukan renovasi mengalami kendala dan perbaikan fasilitas
anak berkebutuhan khusus dilakukan secara berkala. Sedangkan di SLB
yang dipersiapkan untuk anak berkebutuhan khusus, lingkungan sekolah
dapat menjadi laboratorium pembelajaran. Hampir semua SLB memiliki
fasilitas laboratorium yang disesuaikan dengan kecacatan siswa.
Sarana dan prasarana baik di sekolah inklusi maupun luar biasa masih
menggunakan dan mengadaptasi perkembangan teknologi yang ada.
Siswa autis belajar komunikasi dengan alat khusus yang disebut sistem
komunikasi PECS. Siswa tunanetra disediakan komputer pribadi dengan
braille dan teknologi suara. Bagi siswa tunarungu disediakan komputer
pribadi atau telepon pribadi dengan simbol tanda. Namun pemanfaatan
teknologi tersebut masih di Pulau Jawa dan Sumatera. Sekolah swasta
yang memiliki dukungan finansial yang kuat memiliki media dan teknologi
yang baik untuk siswanya.

30 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


Tabel 3. Standar Sarana dan Prasarana SDLB, SMPLB, and SMALB
Komponen Sarana dan SDLB SMPLB SMALB
No
Prasarana A B C D E A B C D E A B C D E
1 Ruang Kelas Umum v v v v v v v v v v v v v v v
1.1 Kelas v v v v v v v v v v v v v v v
1.2 Perpustakaan*
2 Ruang Pembelajaran
Khusus
2.1 Orientation and mobility v v
room**
2.2 Development room
2.2.1 Speech development v v
room**
2.2.2 Perception and rhythm v v
room**
2.3 Self-development room** v v
2.4 Self-development and v v
activity room**
2.5 Personal and social v v
building room**
2.6 Skill room* v v v v v v v v v v
3 Supporting Room
3.1 Lead room* v v v v v v v v v v v v v v v
3.2 Teacher’s room* v v v v v v v v v v v v v v v
3.3 Administration room* v v v v v v v v v v v v v v v
3.4 Pray room* v v v v v v v v v v v v v v v
3.5 Medical room* v v v v v v v v v v v v v v v
3.6 Counseling room* v v v v v v v v v v v v v v v
3.7 Student organization v v v v v v v v v v
room*
3.8 Toilet* v v v v v v v v v v v v v v v
3.9 Warehouse* v v v v v v v v v v v v v v v
3.10 Circulation space* v v v v v v v v v v v v v v v
3.11 Play area* v v v v v v v v v v v v v v v
Information:
* One room can be used together for more than one type of disability and more
than one level of education
** One room can be used together for more than one level of education
Source: Government Regulation Number 33 Year 2008 regarding Standard of
Facilities and Infrastructure for SDLB, SMPLB and SMALB

Bab IV. Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Indonesia 31


E. GURU

Berdasarkan statistik SLB yang diterbitkan Kementerian Pendidikan


dan Kebudayaan tahun 2017, secara umum pada tahun ajaran 2016/2017
jumlah penerimaan siswa berkebutuhan khusus 121.244 orang dengan
siswa 47.399 dari sekolah negeri dan 73.845 dari sekolah swasta.
Penyebaran siswa terpusat di Pulau Jawa dengan jumlah 69.214 siswa
atau setara 57% dari total siswa. Jumlah tersebut tersebar di 6 provinsi
dengan sebaran Wilayah DKI Jakarta sebanyak 5.610 siswa; 21.042 siswa
dari Provinsi Jawa Barat; Provinsi Banten 4.765 siswa; Provinsi Jawa
Tengah sebanyak 15.488 siswa; Daerah Istimewa Yogyakarta 4.893 siswa
dan Provinsi Jawa Timur 17.416 siswa. Data lain dalam statistik SLB yang
dipublikasikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017,
menyebutkan jumlah guru yang tercatat sebagai guru di SLB sebanyak
24.657 guru dengan pembagian di sekolah negeri sebanyak 9.403 dan
15.254 guru sekolah swasta. Jika dibandingkan dengan jumlah siswa,
rasio antara guru dan siswa adalah 1: 5.
Idealnya, jumlah guru di kelas dikelompokkan menurut tingkat
disabilitas siswa. Siswa pada kelompok belajar yang memiliki disabilitas
ringan, rasio guru terhadap siswa adalah 1:10. Siswa kelompok belajar
yang memiliki kebugaran sedang maka rasio guru terhadap siswa adalah
1:5. Dan jika siswa dalam kelompok belajar yang memiliki tingkat
disabilitas yang parah, maka rasio guru terhadap siswa adalah 1:1 atau
1:2. Sedangkan jumlah guru rata-rata dalam satu sekolah, yang paling
ideal adalah minimal ada 4 guru di suatu sekolah. Guru dalam sekolah
inklusif adalah guru kelas, guru pembingbing khusus, asisten guru, dan
guru ortopedagogik.
Secara umum guru yang mengajar di SLB belum menyesuaikan dengan
jenis keterbatasan siswanya. Guru dengan latar belakang bisa menjadi
guru yang sangat baik di sekolah. Upaya PPPPTK Taman Kanak-kanak
dan PLB sebagai pelatih guru bidang pendidikan inklusif adalah dengan
memberikan pelatihan yang disesuaikan dengan bidang pengajaran di
sekolah. Guru di sekolah inklusi akan diberikan pendamping khusus jika
ada anak berkebutuhan khusus. Percepatan pelaksanaan pendidikan
inklusif sudah dilakukan Provinsi Bali. Sebagai contoh, Provinsi Bali
mengirimkan beberapa guru ke Taman Kanak-kanak PPPPTK dan PLB
untuk dilatih tentang pendidikan inklusif. Latar belakang guru dari
akuntansi, manajemen, komputer, sains dan lain-lain. Setelah dibina

32 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


oleh Widyaiswara, guru tersebut akan ditugaskan untuk mengajar di
sekolah umum yang melayani anak berkebutuhan khusus.
PPPPTK Taman Kanak-Kanak dan PLB merupakan kantor pemerintah
di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertugas
memberikan pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. PPPPTK TK
dan PLB menyelenggarakan pelatihan guru berbasis kompetensi yang
disebut Pelatihan Berbasis Kompetensi (CBT). Jenjang pelatihan dimulai
dari tingkat dasar, tingkat menengah, tingkat mahir dan tingkat tinggi.
Tujuannya agar semua guru atau pendidik anak berkebutuhan khusus
ada di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Guru yang menjadi pelatih
merupakan perwakilan masing-masing provinsi. Pelatihan ini dilakukan
secara berkala. Sedangkan di daerah tertentu seperti Bali, Riau, dan
Kalimantan Timur (daerah kampanye pendidikan inklusif) terdapat jenis
kerjasama dengan pemerintah pusat berupa penyelenggaraan diklat di
provinsi tersebut.

F. KEGIATAN PEMBELAJARAN

Sekolah inklusif yang wajib menyelenggarakan pendidikan inklusif


adalah sekolah negeri yang menerima siswa berkebutuhan khusus dengan
tanpa atau adanya penunjukkan oleh Pemerintah. Sekolah inklusif, anak
berkebutuhan khusus harus mengikuti standar kurikulum nasional. Saat
ini standar kurikulum di Indonesia adalah kurikulum K13. Kurikulum
mengacu pada empat komponen: standar proses, standar isi, standar
penilaian dan standar kelulusan. Syaratnya, siswa berkebutuhan khusus
tidak memiliki keterbelakangan mental atau disabilitas yang berat.
Jika mengalami keterbelakangan mental, siswa tidak mengikuti Ujian
Nasional. Sebagai bukti kelulusan siswanya, pihak sekolah mengeluarkan
ijazah yang bukan dari dinas pendidikan. Anak berkebutuhan khusus yang
telah mengikuti ujian nasional dan lulus berhak melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan SLB yang merupakan sekolah
khusus untuk anak berkebutuhan khusus memiliki kurikulum khusus yang
disesuaikan dengan disabilitas siswa.
Proses evaluasi dalam evaluasi sekolah inklusi harus sesuai dengan
Standar Nasional Pendidikan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 2013. Evaluasi umumnya dilakukan dengan tes dan
non tes. Tes dapat dilakukan dengan tes objektif dan esai. Evaluasi non

Bab IV. Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Indonesia 33


tes bisa melalui observasi, penilaian sejawat, penilaian diri, penilaian
portofolio atau proyek.
ABK di sekolah inklusi diberi kesempatan untuk bergaul dengan
anak normal pada umumnya. Melalui interaksi, ABK juga terlibat dalam
semua proses sosialisasi dan komunikasi. Sedangkan di SLB, ABK dinilai
berdasarkan Program Pelajaran Khusus (PPI). PPI dikembangkan dari
penilaian guru terhadap siswa kelas. Hal ini bertujuan untuk menentukan
program jangka pendek dan jangka panjang yang disesuaikan dengan
perkembangan individu anak. Program jangka pendek, prestasi bisa
diukur dalam evaluasi satu semester. Program jangka panjang, prestasi
dapat diukur dengan evaluasi pembelajaran selama satu tahun.
Pengukuran prestasi akademik ABK dengan anak normal berbeda.
Pencapaian ABK yang kecil sekalipun adalah sebuah prestasi. Bagi anak
berkebutuhan khusus, prestasi berupa perbaikan diri dilakukan secara
bertahap. Tahapan diterapkan pada keterampilan bahasa, keterampilan
komunikasi, interaksi sosial dan keterampilan akademik. Prestasi yang
sederhana misalnya hitung-hitungan dalam pembelajaran, jika ABK
dapat mengetahui bahwa berbelanja empat ribu rupiah sedangkan uang
yang dimilikinya lima ribu rupiah dan mengembalikan seribu rupiah,
maka ini adalah prestasi yang luar biasa.

G. SISWA ABK SETELAH LULUS

Setiap siswa yang berkebutuhan khusus diberi keterampilan yang


disebut kemampuan pengembangan diri. Pengembangan diri adalah
latihan yang diajarkan di sekolah agar anak berkebutuhan khusus dapat
mengatur dirinya sendiri dan mampu merawat diri secara mandiri agar
berperilaku layaknya anak normal. Dalam kegiatan pengembangan diri
siswa berkebutuhan khusus dididik untuk berkomunikasi dan bersosialisasi
(budi pekerti). Anak dengan kebutuhan khusus juga diberikan pelatihan
kejuruan atau keterampilan. Keterampilan dikembangkan secara
khusus sesuai dengan kemampuan mereka. Contoh di masyarakat, anak
tunanetra bisa menjadi tukang pijat atau pemusik. Itu telah diterima
di masyarakat. Setelah lulus, pendidikan ABK yang memenuhi standar
nasional dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Jadi tidak
menutup kemungkinan orang tunanetra bisa lulus sarjana sampai doktor.
Di Universitas Pendidikan Indonesia, Prof. Didi Tarsidi adalah seorang tuna

34 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


netra. Prof.Didi Tarsidi memiliki keunggulan dalam mengenali seseorang
dari suaranya dan dengan lancar menggunakan komputer. Komputer yang
digunakan memiliki teknologi suara. Seperti orang normal, dia sekarang
menjadi dosen.
Sekolah luar biasa atau sekolah inklusif harus lebih mengembangkan
potensi dan kemampuan kejuruan anak berkebutuhan khusus.
Tujuannya agar ABK bisa lebih mandiri. Untuk jurusan vokasi, sekolah
bisa bekerjasama dengan perusahaan yang bisa mempekerjakan anak
berkebutuhan khusus. Di Singapura, ada pusat kru. Di sini potensi ABK
akan digali dan kemudian diberikan pelatihan. Setelah terampil, pusat
tersebut menghubungi perusahaan untuk dapat mempekerjakan anak-
anak berkebutuhan khusus yang terampil. Sedangkan di Indonesia belum,
mungkin saja ada beberapa perusahaan yang sudah menyadari dan mau
melayani ABK.
Dalam pandangan payung hukum dan peraturan, Indonesia tidak
mengakui diskriminasi. Undang-Undang Penyandang Disabilitas tahun
1997 menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak mengakui
diskriminasi bagi penyandang disabilitas. Sehingga kemungkinan
kemampuan khusus akan diterima oleh semua lapangan kerja tetapi
adaptif. Seperti di London, Anak dengan disabilitas Autisme bisa diterima
di masyarakat dengan pekerjaan hanya secukupnya perangko di kantor
pos. Kemudian dia bisa bekerja di perpustakaan, dia menghafal semua
buku, dia menghafal semua buku sampai kode buku, membuat koleksi
buku dan menempatkan buku itu. Kalau di Indonesia umumnya kita
tidak mengenal diskriminasi, tapi tidak semua daerah. Sebagai contoh,
persyaratan untuk menjadi Guru harus sehat jasmani dan rohani, tetapi
ada guru yang Tunadaksa tapi bisa mengajar.
PPPPTK TK dan PLB memberikan pelatihan khusus bagi para guru
untuk meningkatkan kualitas pendidikan di bawah naungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan terkait pelatihan keterampilan
anak berkebutuhan khusus ditangani langsung oleh Kementerian Sosial.
Dinas Sosial melatih penyandang disabilitas untuk bekerja. Secara
bertahap setiap tahun, Dinas Sosial memberikan pelatihan keterampilan
berbeda yang disesuaikan dengan bakat penyandang disabilitas. Contoh
pelatihan ketrampilan yang dilaksanakan adalah pelatihan melukis,
pelatihan menjahit, pelatihan tukang pijat dan lain-lain. Jika menempuh
pendidikan di SLB, setelah para siswanya lulus, tidak ada perhatian
untuk memberdayakan ABK agar mandiri. Tapi di Australia, sekolah

Bab IV. Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Indonesia 35


sudah mempersiapkan ABK untuk siap bekerja. Setelah lulus sekolah,
ABK tetap bersekolah dan dilatih keterampilan seperti SMK.

H. UPAYA PEMERINTAH

Pemerintah memiliki program BOS. Sehingga dengan adanya program


BOS, sekolah tidak lagi memungut biaya sekolah dari siswa SD dan SMP.
Dan sekarang didukung oleh pemerintah daerah, menjadi salah satu
sasaran untuk membantu pemerintah BOS. Berdasarkan hal tersebut,
ternyata baik negeri maupun swasta telah mampu menyelenggarakan
pendidikan sesuai dengan standar nasional. Dari ukuran APK di tingkat
sekolah dasar sudah sangat baik 110% mereka bersekolah. Namun di
setiap provinsi untuk APM ada sekitar 2-3% yang tidak tamat sekolah.
Program pemerintah lainnya adalah dengan memanfaatkan program
Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk mengantarkan mereka kembali
bersekolah. Partisipasi pemerintah semakin baik dan meningkat. Namun
berdasarkan data masih ada ABK yang belum bersekolah, kendala di 512
kecamatan hanya sekitar 400 yang memiliki sekolah inklusi. Pemerintah
juga kerap menyelenggarakan seminar dan pelatihan di PPPPTK.
Kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan ABK masuk sekolah
semakin tinggi. Namun, Sekolah masih mengalami kendala untuk
menerima ABK karena belum memiliki guru pembimbing khusus (GPK.
Yang dilakukan pemerintah adalah berkomunikasi dengan pemerintah
daerah yang belum memiliki sekolah inklusif. Alasan lainnya adalah
akses ke provinsi tersebut cukup jauh. Untuk sekolah inklusi, selain
dana BOS juga diberikan dana pendukung lain untuk peningkatan
kualitas pelayanan ABK, perbaikan sarana dan prasarana. Pemberian
tunjangan khusus kepada guru untuk mengkampanyekan orang tua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus untuk bersekolah juga diberikan
oleh Pemerintah. Ketika ada anak ABK di sekitar lingkungan yang belum
bersekolah, diharapkan guru dapat membujuk orang tua dan anaknya
agar bersekolah.
Di bidang pendidikan, Kementerian Pendidikan belum memiliki
penyuluhan langsung kepada anak. Pemerintah di bidang pendidikan
melakukan pendekatan dengan sosialisasi melalui pendidik. Misalnya,
pemerintah menghimbau adanya pendidikan inklusif di suatu daerah,
pemerintah mengundang guru dan sekolah untuk diberikan pembinaan

36 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


tentang sekolah inklusif. Kemudian perangkat sekolah akan mengunjungi
masyarakat sekitar untuk mensosialisasikan keberadaan sekolah inklusi.
Melalui kepala sekolah, dewan sekolah, guru dan perangkat sekolah
lainnya. Sedangkan untuk bantuan sosial oleh Dinas atau Kementerian
Sosial langsung ke sasaran.

Bab IV. Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Indonesia 37


38 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia
B
TANTANGAN
GURU DALAM
MENGAJAR
A
SISWA
BERKEBUTUHAN
B
KHUSUS

V
39
40
BAB V
TANTANGAN GURU
DALAM MENGAJAR SISWA
BERKEBUTUHAN KHUSUS

T antangan guru dalam mengajar siswa yang memiliki kebutuhan


khusus yaitu kurikulum yang sering berubah, siswa berkebutuhan
khusus di sekolah inklusif sangat beragam, dan karakteristik belajar bagi
siswa berkebutuhan khusus.

A. KURIKULUM YANG SERING BERUBAH

Kurikulum adalah sekumpulan rencana dan pengaturan tentang


tujuan, isi dan materi pelajaran, teknik penilaian, dan metode yang
digunakan sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (BSNP, 2006). Indonesia
telah mengalami 11 kali perubahan kurikulum yang terjadi pada tahun
1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013 dan 2015
(Machali, 2014). Perubahan kurikulum Indonesia pada dasarnya untuk
memperbaiki sistem pendidikan nasional agar lebih baik dan mampu
bersaing di dunia internasional. Padahal, pemerintah melakukan
perubahan kurikulum tentunya memiliki tujuan yang sangat bagus.
Perubahan kurikulum tersebut bertujuan untuk memajukan pendidikan
di Indonesia dan melahirkan generasi yang baik, terutama pencapaian

41
tujuan pendidikan nasional bernegara Indonesia. Namun jika terlalu
sering justru akan menimbulkan masalah khususnya bagi guru sebagai
pelaksana di lapangan. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ayat keempat sebagai berikut:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah


negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Pendidikan Inklusif di Indonesia diatur dalam Sistem Pendidikan


Nasional Indonesia, Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 (BSNP, 2006). Pelaksanaan program wajib belajar khususnya diatur
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 47 Tahun 2008.
Pendidikan wajib merupakan program pendidikan minimal yang harus
diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah
dan pemerintah daerah. Peraturan ini menunjukkan komitmen
pemerintah di bidang pendidikan. Pemerintah pusat dan pemerintah
daerah menyediakan program wajib belajar gratis di tingkat dasar.
Pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar merupakan bagian
dari kebijakan pendidikan di Indonesia dalam mewujudkan pendidikan
untuk semua.
Kurikulum di Indonesia tidak dikembangkan berdasarkan Penelitian
Empiris. Menurut Guthrie (1986), kurikulum yang dikembangkan tidak
berdasarkan penelitian empiris yang sistematis dan tidak sesuai dengan
keterampilan dan kondisi dimana guru bekerja. Dengan adanya perubahan
kurikulum tersebut maka pemerintah harus mensosialisasikan kurikulum
tersebut kepada seluruh komponen pendidikan. Hambatannya adalah

42 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


kapasitas Pemerintah dalam menyelenggarakan pelatihan guru untuk
pengenalan dan implementasi kurikulum. Selain itu, guru membutuhkan
banyak waktu untuk beradaptasi dengan perubahan kurikulum.

B. SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSIF


SANGAT BERAGAM

Menurut peraturan di Indonesia (Permendiknas No. 70 Tahun 2009),


penyelenggaraan pendidikan inklusi hanya untuk tingkat kabupaten /
kota. Di setiap kabupaten, kota diwajibkan memiliki satu sekolah inklusif
untuk jenjang SD dan SMP. Di tingkat provinsi, setidaknya ada satu
sekolah inklusif di tingkat menengah atas. Sedangkan di tingkat desa,
pendidikan inklusif diselenggarakan secara nonformal oleh masyarakat
(Ediyanto dkk, 2017). Penyebaran sekolah inklusi terkonsentrasi di pulau
Jawa (Ediyanto dkk, 2017). Untuk jumlah guru di kelas, yang paling
ideal adalah minimal ada empat jenis guru di sekolah tersebut. Guru
di sekolah inklusif adalah guru kelas, guru bimbingan khusus, dan guru
orto-pedagogik.
Pasal 9 ayat (1) sampai dengan ayat (4) dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar menjelaskan
bahwa anak usia 7 sampai 15 tahun (9 tahun) dijamin untuk mengikuti
pendidikan wajib . Di Indonesia, usia 7 hingga 15 tahun harus menjalani
pendidikan formal di sekolah dasar (termasuk sekolah sederajat) dan
sekolah menengah pertama (termasuk sekolah sejenis). Wajib belajar
berfungsi untuk memajukan pendidikan dan memberikan pendidikan
minimal bagi warga negara Indonesia. Selain itu, kebijakan pendidikan
minimal adalah mengembangkan potensi mandiri di masyarakat atau
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Peraturan ini
menjadi salah satu aspek untuk meningkatkan kesadaran bersekolah.
Menurut Irwanto (2010), partisipasi siswa disabilitas diperkuat dengan
diberlakukannya kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Perkembangan kebijakan Indonesia mengarah pada pendidikan
inklusif. Pada tahun 2005, simposium internasional yang diadakan di
Bukittinggi menekankan pada pengembangan program pendidikan
inklusif sebagai cara untuk menjamin anak memperoleh pendidikan
yang berkualitas. Namun dilihat dari tingkat kesadaran siswa terhadap
sekolah, angka partisipasi sekolah di Indonesia mencapai 92% (Ediyanto

Bab V. Tantangan Guru Dalam Mengajar Siswa Berkebutuhan Khusus 43


dkk, 2017). Berdasarkan data yang ditulis Maulipaksi (2017) di laman
https://www.kemdikbud.go.id, dari 1,6 juta anak berkebutuhan khusus
di Indonesia, hanya 18 persen yang mendapatkan layanan pendidikan
inklusif. Namun, baru sekitar 115 ribu anak berkebutuhan khusus
bersekolah di sekolah luar biasa, dan sekolah inklusif berjumlah sekitar
299 ribu. Saat ini, 32 ribu sekolah reguler menjadi Sekolah Inklusif di
berbagai daerah. Gambar 1 menjelaskan tentang kondisi sekolah inklusif
di Indonesia.

Gambar 1. Data Kondisi Indonesia tentang Sekolah Inklusi


Sumber: Maulipaksi (2017), kemdikbud.go.id, bps.go.id

Siswa berkebutuhan pendidikan khusus adalah siswa yang


memiliki keterbatasan dalam fungsi kognitif, fisik atau emosional yang
menghambat kemampuan siswa untuk berkembang dengan baik dalam
kesulitan belajar, ADHD, retardasi, mental, fisik, sensorik, gangguan
bicara dan bahasa, autisme atau emosional dan gangguan perilaku
(Santrock, 2009). Siswa berkebutuhan khusus adalah siswa yang dalam
dunia pendidikan membutuhkan layanan khusus karena mengalami
hambatan dalam pembelajaran dan perkembangan (Garnida, 2015).
Tantangan bagi guru adalah siswa berkebutuhan khusus (khusus
siswa disabilitas) memiliki karakteristik yang unik sesuai dengan jenis
keterbatasannya. Siswa berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah
inklusi akan menyebabkan guru kesulitan dalam mengajar. Heterogenitas
siswa berkebutuhan khusus di dalam kelas akan membuat guru harus
siap dengan karakteristik dan kebutuhan siswa tersebut. Setidaknya ada
9 klasifikasi siswa disabilitas di Indonesia (Garnida, 2015; Ni’matuzahroh
dan Nurhamida, 2016) di antaranya Tunagrahita, Tunanetra, Tunarungu,
Tunalaras, Tunadaksa, Tunalaras, Kesulitan Belajar, Autis, dan Gangguan
Motorik. Dari sembilan jenis siswa berkebutuhan pendidikan khusus,
tidak semuanya dapat bersekolah di sekolah inklusif. Selain sembilan
kebutuhan khusus tersebut, terdapat kebutuhan khusus lain yaitu siswa
dengan masalah sosial, ekonomi, dan geografi serta siswa yang memiliki
kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
44 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia
Keterbatasan guru dalam memahami siswa berkebutuhan khusus
di kelas akan menghambat siswa dalam belajar. Di berbagai siswa
dengan kebutuhan pendidikan khusus dalam tantangan sekolah inklusif,
guru dengan sekolah berkebutuhan khusus, siswa dapat belajar dari
guru sekolah luar biasa atau menghadiri pelatihan yang dijadwalkan
pemerintah setiap tahun. Pendidikan sekolah inklusi saat ini belum
menunjukkan hasil yang positif, namun seiring berjalannya waktu dan
komitmen semua pihak, guru di sekolah inklusi harus mendidik siswa
berkebutuhan pendidikan khusus dengan cara yang benar. Masalah lainnya
adalah jumlah guru pembimbing khusus yang masih sedikit. Setidaknya
dibutuhkan tidak kurang dari 250 ribu guru pembimbing khusus untuk
setiap sekolah inklusi di Indonesia (Ediyanto dkk, 2018).

C. KARAKTERISTIK BELAJAR BAGI SISWA BERKEBUTUHAN


KHUSUS.

Faktor yang ada dalam kelas inklusif adalah banyak perbedaan


karakteristik siswa. Artinya, diperlukan metode pembelajaran yang
tepat di setiap kelas untuk setiap jenis siswa berkebutuhan pendidikan
khusus. Pada buku ini, dipaparkan untuk pembelajaran IPA (mencakup
Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi). Kurikulum 2013 memberikan
penjelasan tentang tujuan pembelajaran IPA yang menuntut siswa untuk
menumbuhkan sikap ilmiah yang jujur, obyektif, berpikiran terbuka, ulet
dan kritis, serta dapat bekerjasama dengan orang lain, mengembangkan
pengalaman untuk dapat merumuskan masalah (Nuh, 2013). Selain itu,
dalam kurikulum 2013 juga disebutkan tentang kemampuan siswa untuk
mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan, merancang dan
merakit percobaan, mengumpulkan, mengolah dan menginterpretasikan
data, serta mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis
(Nuh, 2013). Mengembangkan kemampuan penalaran dalam berpikir
analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip
fisika untuk menjelaskan kejadian alam dan menyelesaikan masalah
baik secara kualitatif maupun kuantitatif, konsep dan prinsip fisika serta
memiliki keterampilan mengembangkan pengetahuan, dan kepercayaan
diri sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih
tinggi dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bab V. Tantangan Guru Dalam Mengajar Siswa Berkebutuhan Khusus 45


Pendidikan IPA harus memungkinkan siswa untuk mengetahui fakta
empiris dan prinsip-prinsip penerapannya, sesuai dengan langkah
perkembangan kognitif, memperoleh keterampilan pengetahuan
ilmiah (Harlen dan Elstgeest, 1992). Dalam kegiatan pembelajaran IPA,
pengembangan keterampilan proses sains sangat penting dilakukan
untuk memastikan siswa menguasai konsep yang diajarkan dengan baik
(Sukarno, Permanasari, dan Hamidah, 2013; Supriyatman dan Sukarno,
2014). Mahasiswa yang memiliki kualitas keterampilan proses sains yang
baik, maka siswa mampu menjadikan proses sains yang berkualitas dan
akan menghasilkan produk yang berkualitas. Keterampilan proses sains
dikenal sebagai keterampilan prosedural, eksperimental, dan investigasi
kebiasaan sains dari pikiran atau kemampuan penyelidikan ilmiah
(Harlen, 1999; Rezba, Sprague, dan Fiel, 2003). Keterampilan proses
sains dijelaskan pada Gambar 2.
Berbagai metode pembelajaran dapat digunakan agar siswa
memiliki keterampilan proses sains yang baik. Metode pembelajaran
yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan simulasi komputer
interaktif (Supriyatman dan Sukarno, 2014) dan pembelajaran berbasis
proyek (Yalqin, Turgut, dan Buyukkasap, 2009; Ozer dan Ozkan, 2012;
Omar, Puteh, dan Ikhsan, 2014). Model pembelajaran inkuiri dengan
menggunakan simulasi komputer interaktif dapat secara signifikan
meningkatkan keterampilan proses sains dan penguasaan konsep
rangkaian arus searah (Supriyatman dan Sukarno, 2014). Keterampilan
proses sains yang ditingkatkan dengan model pembelajaran inkuiri
adalah observasi, inferensi, prediksi, komunikasi, hipotesis, desain
eksperimen, dan implementasi. Apabila model pembelajaran inkuiri
IPA menggunakan simulasi komputer interaktif diterapkan pada
pembelajaran IPA pada siswa tunarungu dan tunarungu, siswa tersebut
cenderung menguasai keterampilan proses sains, karena siswa tunarungu
dan tunarungu mampu dengan baik dalam memvisualisasikan teks
(Zainuddin, Zaman, dan Ahmad, 2009). Di sisi lain, dengan menggunakan
pendekatan pembelajaran Sains, Teknologi, dan Masyarakat (STS), siswa
memungkinkan menghafal konsep, menganalisis informasi ilmiah untuk
situasi kehidupan nyata mereka, dan diatur ke pembelajaran umur
panjang (Atika, Ediyanto, Hayashida, dan Kawai, 2018). Dalam tinjauan
pustaka yang menyebutkan model pembelajaran yang tepat dan fasilitas
yang baik, siswa tunarungu dan kesulitan mendengar memungkinkan
penguasaan keterampilan proses sains dasar dan membangun sikap yang
lebih positif terhadap sains (Ediyanto dan Kawai, 2019).
46 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia
Gambar 2. Keterampilan proses sebagai dasar untuk peningkatan
pemahaman sains, Sumber: Rezba dkk., 2003

Pada siswa ABK lainnya seperti siswa tunanetra (VI) dimungkinkan


belajar belajar IPA dengan baik apabila menggunakan metode dan fasilitas
yang baik. Fasilitas atau media pembelajaran yang dapat membantu
para siswa tersebut antara lain teknologi asistif berbasis komputer
(Azeta, Inam, dan Daramola, 2018; Eligi dan Mwantimwa, 2017; Beal
dan Rosenblum, 2015), komunikasi verbal dan bantuan fisik (Suveren-
Erdogan dan Suveren, 2018), keterampilan orientasi dan mobilitas
(Arslantekin, 2017), dan Braille (Mobaraki, Nazarloo, dan Toosheh, 2017;
Nannemann dkk, 2017). Sedangkan metode pembelajaran yang dapat
digunakan pada siswa tunanetra adalah pendekatan berpusat pada siswa
(Betts dan Cross, 2010) dan model 3-D (Urquhart, 2012). Selain itu, siswa
dengan gangguan spektrum autisme (GSA) juga dapat mempelajari sains
dengan baik. Metode yang dapat digunakan adalah matematika strategis
efektif (Su, Lai, dan Rivera, 2012), intervensi Berbasis Komputer (Aliee,
Jomhari, Rezaei, dan Alias, 2013), Science eText (Knight dkk, 2015) dan
teknik matematika Sentuh (Yikmis, 2016). Jelas terlihat bahwa siswa
berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusi dapat belajar IPA dengan
baik. Tantangan bagi guru adalah guru dapat memodifikasi pembelajaran
yang baik agar sesuai dengan kebutuhan siswa di kelas. Makalah ini hanya
membahas pembelajaran untuk tiga jenis kebutuhan pendidikan khusus
(kesulitan mendengar, tunanetra, dan gangguan spektrum autisme)
dan belum membahas pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus
lainnya.

Bab V. Tantangan Guru Dalam Mengajar Siswa Berkebutuhan Khusus 47


48 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia
B
ANALISIS
KEBUTUHAN
A
GURU
PEMBIMBING
B
KHUSUS (GPK)

VI
49
50
BAB VI
ANALISIS KEBUTUHAN GURU
PEMBIMBING KHUSUS (GPK)

E diyanto, Atika, Kawai & Prabowo (2017) dalam penelitiannya


menyebutkan bahwa dalam pembelajaran di kelas inklusif tidak
mungkin hanya terdapat satu guru kelas. Setidaknya terdapat guru
kelas dan guru pembimbing khusus. Guru kelas yang mengerti tentang
konten pembelajaran dan guru pembimbing kelas yang mengerti cara
siswa berkebutuhan khusus belajar. Kolaborasi guru kelas dan guru
pembimbing khusus akan membawa kelas inklusif menuju ideal. Namun
demikian, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif pada pasal 10 yang
mewajibkan pemerintah kabupaten/kota menyediakan paling sedikit
satu GPK pada satuan pendidikan yang ditunjuk. Selain itu, pemerintah
provinsi wajib membantu tugas-tugas untuk meningkatkan kompetensi
di bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan serta penyelenggara pendidikan inklusif.
Handayani & Rahadian (2013) mengemukakan bahwa masih terdapat
kekurangan guru dalam implementasi dari pelaksanaan pendidikan
inklusif terutama Guru Pembimbing Khusus (GPK). Keberadaan GPK
menjadi masalah utama bagi sekolah inklusif yang lokasinya berjauhan
dengan sekolah luar biasa (SLB). Berdasarkan data sekunder dari Hellen
Keller Foundation – Indonesia, jumlah GPK yang pernah dilatih mencapai

51
281 orang. Idealnya, satu GPK untuk satu sekolah dengan keahlian untuk
semua kecacatan.
Penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kebutuhan jumlah Guru
Pembimbing Khusus sebagai berikut.

1. Kebutuhan guru pembimbing khusus menurut Peraturan Menteri


Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan
Inklusif.
Berdasarkan jumlah kabupaten/kota, menurut data Direktorat
Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2014,
jumlah daerah otonom di Indonesia adalah 542 (34 Provinsi, 415
kabupaten dan 93 kota). Jumlah Guru Pembimbing Khusus paling tidak
berjumlah 542 guru yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

2. Kebutuhan guru pembimbing khusus menurut Jumlah sekolah


Menurut data BPS tahun 2015/2016, jumlah sekolah sebagai berikut.

Tabel 4. Jumlah kebutuhan Guru Pembimbing Khusus berdasarkan


Jumlah Sekolah
No Jenjang Jumlah
1 SMA/MA/SMK 33.191
2 SMP/MTs 53.957
3 SD/MI 172.096
4 TK 85.499
Total 344.743
Sumber: www.bps.go.id

3. Kebutuhan guru pembimbing khusus menurut Jumlah kelas


Kondisi ini merupakan kondisi yang sangat ideal untuk pendidikan
inklusif. Setiap kelas inklusif memiliki guru kelas dan guru pembimbing
khusus. Kondisi ini dapat terpenuhi melalui tahapan keterpenuhan
jumlah guru pembimbing khusus menurut kabupaten/kota dan menurut
jumlah sekolah terpenuhi.

52 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


B
PEMAHAMAN A
TENTANG GURU
PEMBIMBING B
KHUSUS (GPK)

VII
53
54
BAB VII
PEMAHAMAN TENTANG GURU
PEMBIMBING KHUSUS (GPK)

D i Indonesia, terdapat tiga peraturan perundangan yang mengatur


tentang GPK. Peraturan perundangan tersebut adalah:

1. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang


Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat istimewa.

Pasal 10
(1) Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit
1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan
yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif.
(2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak
ditunjuk oleh pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan
paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus.
(3) Pemerintah kabupaten/kota wajib meningkatkan kompetensi di
bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
(4) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu dan
menyediakan tenaga pembimbing khusus bagi satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif yang memerlukan sesuai

55
dengan kewenangannya.
(5) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu meningkatkan
kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan
tenaga kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara
pendidikan inklusif.
(6) Peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (5) dapat dilakukan melalui:
a. pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan
Tenaga Kependidikan (P4TK);
b. lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP);
c. perguruan tinggi (PT);
d. lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya di lingkungan
pemerintah daerah, Departemen Pendidikan Nasional dan/
atau Departemen agama;
e. Kelompok Kerja Guru/Kepala Sekolah (KKG, KKS), Kelompok
Kerja Pengawas Sekolah (KKPS), MGMP, MKS, MPS dan
sejenisnya.

2. Peraturan Pemerintah (PP) No.19 Tahun 2005 Tentang Standar


Pendidikan Nasional Pendidikan.

Pasal 41
(1) Setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan
inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai
kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik
dengan kebutuhan khusus.

3. Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi


Birokrasi (Permen PAN-RB) No. 16 Tahun 2009 tentang Profesi Guru
dan Angka Kreditnya.

Bab VII Rincian Kegiatan dan Unsur yang Dinilai


Pasal 13
(4) Guru selain melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud ayat
(1), ayat (2), atau ayat (3) dapat melaksanakan tugas tambahan
dan/atau tugas lain yang relevan dengan fungsi sekolah/
madrasah sebagai:

56 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


f. pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan inklusi

Berdasarkan ketiga peraturan di atas guru Pembimbing khusus


(GPK) belum didefinisikan secara khusus. Menurut laman yang membaha
tentang Guru Pembimbing Khusus (pinplb.com/gpk) adalah guru yang
bertugas sebagai konsultan pembelajaran anak berkebutuhan khusus
di lingkungan lembaga pendidikan inklusif. Adapun tugas-tugas Guru
Pembimbing Khusus sebagai berikut.
1. Memiliki tanggung jawab sebagai konsultan pelaksanaan pendidikan
inklusi di sekolah
2. Mengumpulkan data tentang siswa berkebutuhan khusus di sekolah
sebagai dasar penyusunan program pembelajaran individual dan
rencana pembelajaran individual.
3. Bekerja sama dengan guru kelas, guru BK dan pihak terkait lainnya
dalam penyusunan program pembelajaran individual dan rencana
pembelajaran individual.
4. Memodifikasi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan kelas yang
meliputi rencana pelaksanaan pembelajaran, sarana dan prasarana
dan penilaian.
5. Melakukan monitoring berkala ketercapaian pelaksanaan
pembelajaran di sekolah inklusif.

Bertolak belakang dengan pemahaman di atas bahwa guru


pembimbing khusus tidak terlibat dalam pembelajaran di kelas. Menurut
Zeiger (2018), peran dari guru pembimbing khusus terlibat dalam
pembelajaran di kelas.
1. Bersama-sama dengan guru kelas untuk merancang rencana
pembelajaran agar sesuai dengan kebutuhan siswa.
2. Mengevaluasi hasil pembelajaran dan mengembangkan materi ulasan
program pembelajaran individual yang sesuai dengan kebutuhan
siswa berkebutuhan khusus sebelum atau sesudah pembelajaran.
3. Tidak berfokus pada siswa berkebutuhan khusus saja, guru
pembimbing khusus juga bertanggung jawab untuk membantu guru
pendidikan umum mengelola kelas.
4. Membantu mengatur aturan dan rutinitas kelas, bekerja dengan
guru kelas untuk menciptakan iklim yang nyaman di kelas.

Bab VII. Pemahaman Tentang Guru Pembimbing Khusus (GPK) 57


Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat dua pemahaman terhadap
guru pembimbing khusus yaitu guru pembimbing khusus sebagai design
instruksional dan guru sebagai team teaching. Guru pembimbing
khusus sebagai design intruksional berarti guru sedikit terlibat dalam
pembelajaran di kelas. Keterlibatan guru dalam pemahaman ini adalah
mengidentifikasi kebutuhan khusus siswa berkebutuhan khusus di kelas.
Sedangkan untuk guru pembimbing khusus sebagai team teaching berarti
guru banyak terlibat langsung dalam pembelajaran dikelas bersama-
sama dengan guru kelas.

Gambar 3. Pemahaman Peran Guru Pembimbing Khusus di Sekolah


Inklusif

58 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


B
PROGRAM
PENGEMBANGAN
A
KOMPETENSI
GURU
B
PEMBIMBING
KHUSUS
VIII
59
60
BAB VIII
PROGRAM PENGEMBANGAN
KOMPETENSI GURU
PEMBIMBING KHUSUS

P rogram Pengembangan Kompetensi Guru Pembimbing Khusus (GPK)


merupakan acuan standar dalam peningkatan kompetensi Guru
Pembimbing Khusus (GPK). Adapun susunan program ini meliputi 1)
Sasaran dan Peserta Program, 2) Tujuan Program, 3) Manfaat Program,
4) Standar Kompetensi Guru (SKG) Pembimbing Khusus, 5) Pendekatan
dan Metode, 6) Komponen dan Alur Kegiatan, 7) Struktur dan Deskripsi
Pelaksanaan Program, 8) Narasumber dan Fasilitator, dan 9) Pendanaan.

A. SASARAN DAN PESERTA PROGRAM

Sasaran Program Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan Kompetensi


Guru Pembimbing Khusus ini adalah guru kelas di sekolah reguler
(sekolah inklusif), guru sekolah luar biasa, atau calon guru pembimbing
khusus yang direkrut langsung (pengangkatan dari sarjana atau umum)
di seluruh Indonesia. Jumlah peserta program untuk memenuhi jumlah
Guru Pembimbing Khusus di setiap sekolah formal yaitu 1 sekolah 1 guru
pembimbing khusus. Berdasarkan jumlah sekolah formal SD, SMP, SMA
dan sederajat, maka jumlah kebutuhan guru pembimbing khusus adalah
259.244 guru. Sedangkan untuk tingkat TK jumlah guru sebanyak 85.

61
499 guru. Sedangkan pelaksanaannya adalah bertahap yang disesuaikan
dengan metode pendekatan dan metode Program Pendidikan dan
Pelatihan Pengembangan Kompetensi Guru Pembimbing Khusus.

Gambar 4. Konsep Program Pengembangan Kompetensi GPK

B. TUJUAN PROGRAM

Tujuan Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan Kompetensi Guru


Pembimbing Khusus sebagai berikut
1. Mengembangkan pengetahuan umum tentang prinsip-prinsip
pembelajaran dalam pendidikan inklusif.
2. Meningkatkan keterampilan teknis dalam merancang pembelajaran
dalam setting kelas inklusif.
3. Mengembangkan pengalaman praktis dan pendalaman spesialisasi jenis
anak berkebutuhan khusus dalam setting pembelajaran di sekolah inklusif.

62 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


Gambar 5. Standar Kompetensi Guru

C. MANFAAT PROGRAM

Manfaat yang diharapkan setelah terlaksananya Program Pendidikan


dan Pelatihan Pengembangan Kompetensi Guru Pembimbing Khusus ini
adalah:
1. Memiliki kesepahaman yang sama tentang prinsip-prinsip
pembelajaran dalam pendidikan inklusif.
2. Meningkatnya keterampilan teknis guru pembimbing khusus dalam
merancang pembelajaran dalam setting kelas inklusif
3. Meningkatnya pengalaman praktis dan pendalaman spesialisasi jenis anak
berkebutuhan khusus dalam setting pembelajaran di sekolah inklusif.

Bab VIII. Program Pengembangan Kompetensi Guru Pembimbing Khusus 63


D. STANDAR KOMPETENSI GURU (SKG) PEMBIMBING KHUSUS

Standar Kompetensi Guru Pembimbing Khusus mengacu pada


Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 – Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru dan Permendiknas Nomor 32 Tahun 2008 – Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus. Secara
umum terdapat empat kompetensi yang harus dikuasai oleh Guru
Pembimbing Khusus yaitu Standar Kepribadian, Sosial, Pedagogik, dan
Profesional. Uraian tentang Standar Kompetensi Guru ini dapat dipahami
pada lampiran.

E. PENDEKATAN DAN METODE PROGRAM

Strategi dalam Program Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan


Kompetensi Guru Pembimbing Khusus adalah prinsip efektif, efisien dan
berkelanjutan.
Prinsip efektif dalam program ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
1. Menggunakan pendekatan pembelajaran orang dewasa dengan
metode pembelajaran aktif dan menyenangkan.
2. Memberikan berbagai aplikasi dan metode pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus.
3. Memaksimalkan penggunaan multimedia dalam pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan.
4. Menggunakan model penilaian portofolio dalam mengevaluasi hasil
diklat.

Untuk menunjang penggunaan strategi di atas, pada pelatihan ini


digunakan berbagai metode diklat diantaranya melalui input materi,
diskusi dan tanya jawab, brainstorming, games, penugasan, kerja
kelompok, peer teaching, praktik mengajar di kelas, dinamika kelompok,
dan metode-metode lainnya yang relevan.
Prinsip efisien dalam program ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
1. Memiliki laporan yang terstruktur dan dilaporkan sebagai bahan
evaluasi penyelenggaraan program selanjutnya.
2. Memiliki database yang terintegrasi secara menyeluruh dan terakses
secara terbuka dengan tujuan pemerataan program pelatihan.

64 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


Prinsip berkelanjutan dalam program ini dapat dijabarkan sebagai
berikut.
1. Memiliki monitoring yang jelas terhadap guru pembimbing khusus
yang telah mengikuti program.
2. Mengevaluasi guru pendamping khusus yang telah mengikuti program
3. Menjadi sumber pengetahuan untuk guru lain yang belum mengikuti
program

Gambar 6. Komponen dan Alur Program Pengembangan Kompetensi


GPK

F. KOMPONEN DAN ALUR KEGIATAN PROGRAM

Rangkaian kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan


Kompetensi Guru Pembimbing khusus mencakup tiga tahapan kegiatan
yaitu persiapan, pelaksanaan serta evaluasi dan rencana tindak lanjut.

Bab VIII. Program Pengembangan Kompetensi Guru Pembimbing Khusus 65


G. STRUKTUR DAN DESKRIPSI PELAKSANAAN PROGRAM

Tahap pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan


Kompetensi Guru Pembimbing khusus ini derencanakan tiga tahap yaitu
in service learning, on the job learning dan evaluasi dan sertifikasi.
Sedangkan struktur dan deskripsi tahap pelaksanaan program sebagai
berikut.

a. Struktur Program Pelaksanaan


Jumlah
Program Mata Diklat Kode
Jam
A. Umum 1. Kebijakan Kemdikbud A1 2
2. Kebijakan Pendidikan lokal A2 2
3. Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa A3 4
4. Desain dan Teknik Pelaksanaan Diklat Kompetensi Guru 2
A4
Pembimbing Khusus
B. Pokok 1. Kapita Selekta Sekolah Inklusif B1 8
2. Profil Kompetensi Guru Pembimbing Khusus B2 6
3. Psikologi Pendidikan B3 6
4. Pendidikan Inklusif B4 6
5. Identifikasi dan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus B5 10
6. Pembelajaran bagi Anak Tunanetra B6 10
7. Menulis dan Membaca Braille B7 10
8. Orientasi dan Mobilitas B8 10
9. Pembelajaran bagi Anak Tunarungu B9 10
10.Ketunarunguan, Perkembangan Bahasa dan Kebutuhan 10
B10
BKPBI
11.Prinsip, Teknik, dan Prosedur Pembelajaran BKPBI B11 10
12.Pembelajaran bagi Anak Tunagrahita B12 10
13.Program Bina Diri B13 10
14.Pembelajaran bagi Anak Lamban Belajar B14 10
15.Pembelajaran bagi Anak Tunadaksa B15 10
16.Program Bina Gerak B16 10
17.PKB (Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan) B17 10
18.Pengembangan Spiritual di sekolah inklusif B18 10
19.Pembelajaran bagi Anak Autis B19 10
20.Manajemen Perilaku Anak Autis B20 10
21.Picture Exchange Communication System (PECS) B21 10
22.Pembelajaran bagi Anak Berkesulitan Belajar B22 10

66 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


Jumlah
Program Mata Diklat Kode
Jam
23.Pembelajaran ABK berbasis ICT B23 10
24.Media Pembelajaran bagi ABK B24 10
25.Penjas Adaptif B25 10
26.Pendekatan,Strategi dan Metode Pembelajaran bagi ABK B26 20
27.Manajemen Kelas ABK B27 8
28.Pembelajaran bagi Anak CIBI B28 10
29.Vokasional Bagi ABK B29 10
30.Pengembangan Kurikulum bagi ABK B30 10
31.Silabus dan RPP/PPI bagi ABK B31 10
32.Evaluasi Pembelajaran bagi ABK B32 10
33.Penelitian Tindakan Kelas B33 10
34.Penelitian Subyek Tunggal B34 10
35.Bimbingan dan Konseling bagi ABK B35 8
36.Nutrisi dan Kesehatan pada ABK B36 6
37.Kerjasama orang tua dan Sekolah B37 6
38.Model Pembelajaran Bebasis Proyek B38 20
39.On The Job Learning B39 50
C. Penunjang 1. Dinamika Kelompok C1 4
1. Pemanfaatan Lab. ABK C2 4
3. Kebugaran Jasmani C3 6
4. Action Plan C4 2
JUMLAH 450

b. Deskripsi Program Pelaksanaan


No Mata Diklat JPL Deskripsi Mata Diklat Perolehan Kompetensi
Program Umum
1. Kebijakan 2 Menginformasikan Peserta diklat memiliki
Pemerintah kajian kebijakan dan pemahaman tentang
di Bidang isu aktual tentang kebijakan dan isu
Pendidikan kebijakan Kemdikbud aktual pengembangan
dalam pengembangan profesionalisme guru secara
profesionalisme guru nasional.
secara nasional.

Bab VIII. Program Pengembangan Kompetensi Guru Pembimbing Khusus 67


No Mata Diklat JPL Deskripsi Mata Diklat Perolehan Kompetensi
2. Kebijakan 2 Menginformasikan program Peserta Diklat memiliki
Pemerintah Dinas Pendidikan lokal pemahaman tentang program
lokal dalam dalam pembinaan dan Dinas Pendidikanlokal dalam
Pembinaan Guru peningkatan kompetensi pembinaan dan peningkatan
Pembimbing guru pembimbing khusus. kompetensi guru pembimbing
Khusus khusus.

3. Pendidikan 4 Menyajikan orientasi dan Peserta diklat memperoleh


Budaya dan konsep Pendidikan Budaya pemahaman tentang
Karakter Bangsa dan Karakter Bangsa, serta Pendidikan Budaya dan
analisis permasalahan Karakter Bangsa dan dapat
sosial dalam setting menganalisis permasalahan
Pendidikan Budaya dan sosial dalam perspektif
Karakter Bangsa. Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa.
4 Desain 2 Menjelaskan desain Peserta memiliki pemahaman
dan Teknik dan teknik pelaksanaan dan kesiapan mental-
Pelaksanaan diklat kompetensi guru akademis tentang proses
Diklat pembimbing khusus. dan tuntutan kompetensi
Kompetensi Guru yang harus dicapai selama
Pembimbing mengikuti diklat kompetensi
Khusus guru pembimbing khusus
yang dirancang dan
dilaksanakan oleh PPPPTK
TK dan PLB atau lembaga
pelatihan lain

Program Pokok
1. Kapita Selekta 8 Menjelaskan Struktur Peserta memiliki pemahaman
Pendidikan Keilmuan Pendidikan tentang struktur keilmuan
Inklusif Inklusif dan isu aktual yang pendidikan inklusif dan
menyertai perkembangan isu aktual yang menyertai
pendidikan inklusif perkembangan pendidikan
pada tataran kebijakan, inklusif, dalam tataran
konseptual, dan empiris kebijakan, konseptual, dan
sebagai kerangka pikir empiris, sebagai kerangka
pengembangan guru pikir dalam pengembangan
pembimbing khusus. kompetensi guru pembimbing
khusus.
2. Profil Kompetensi 6 Menjelaskan empat Peserta memiliki pemahaman
Guru Pembimbing kompetensi guru yang rinci tentang empat
Khusus pembimbing khusus dan kompetensi guru pembimbing
penjabarannya dalam khusus dan penjabarannya
tugas pokok sebagai dalam tugas pokok
pendidik bagi anak sebagai pendidikan anak
berkebutuhan khusus. berkebutuhan khusus.

68 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


No Mata Diklat JPL Deskripsi Mata Diklat Perolehan Kompetensi
3. Psikologi 6 Menyajikan rasional, Peserta memperoleh
Pendidikan konsep, dan manfaat pemahaman tentang latar
kajian psikologi pendidikan belakang kajian psikologi
untuk kepentingan pendidikan untuk praktik
pembelajaran ABK pendidikan, konsep dan
ruang lingkup psikologi
pendidikan, dan manfaat
psikologi pendidikan untuk
kepentingan pembelajaran
ABK.

4. Pendidikan 6 Menyajikan tinjauan Peserta diklat memperoleh


Inklusif filosofis, kebijakan, pemahaman tentang filosofis,
konseptual, manajemen kebijakan, konseptual,
penyelenggaraan manajemen penyelenggaraan
pendidikan inklusif, pendidikan inklusif,
serta analisis empirik serta analisis empirik
keterlaksanaan pendidikan keterlaksanaan pendidikan
inklusif di Indonesia. inklusif di Indonesia.

5. Identifikasi dan 10 Menyajikan konsep dasar Peserta memiliki


Asesmen Anak karakterisik ABK, konsep kompetensi untuk
Berkebutuhan identifikasi dan asesmen, memahami karakteristik
Khusus dan teknik melaksanakan ABK, menjelaskan konsep
asesmen bagi ABK. identifikasi dan asesmen,
serta dapat membuat
perangkat instrumen dalam
pelaksanaan asesmen ABK.

6. Pembelajaran 10 Menyajikan konsep anak Peserta diklat memiliki


bagi Anak tunanetra, orientasi dan kompetensi untuk
Tunanetra prinsip pembelajaran yang menjelaskan konsep
sesuai dengan kebutuhan tunanetra, dan
pengembangan potensi mengidentifikasi orientasi
anak tunanetra. dan prinsip pembelajaran
yang sesuai dengan
kebutuhan pengembangan
potensi anak tunanetra.

7. Menulis dan 10 Menyajikan konsep, prinsip Peserta diklat memiliki


Membaca Braille dan bentuk huruf braille, kompetensi untuk terampil
serta menerapkan langkah- membaca dan menulis huruf
langkah membaca dan braille.
menulis huruf braille.

Bab VIII. Program Pengembangan Kompetensi Guru Pembimbing Khusus 69


No Mata Diklat JPL Deskripsi Mata Diklat Perolehan Kompetensi
8. Orientasi dan 10 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki
Mobilitas prinsip, dan teknik kompetensi untuk
pembelajaran orientasi menjelaskan konsep dan
dan mobilitas. prinsip pembelajaran O&M,
serta dapat mensimulasikan
teknik dasar O&M.

9. Pembelajaran 10 Menyajikan konsep anak Peserta diklat memiliki


bagi Anak tunarungu, orientasi dan kompetensi untuk
Tunarungu prinsip pembelajaran yang menjelaskan konsep
sesuai dengan kebutuhan tunarungu, dan
pengembangan potensi mengidentifikasi orientasi
anak tunarungu. dan prinsip pembelajaran
yang sesuai dengan
kebutuhan pengembangan
potensi anak tunarungu.

10. Ketunarunguan, 10 Menyajikan konsep Peserta diklat memiliki


Perkembangan ketunarunguan, analisis kompetensi untuk
Bahasa dan perkembangan bahasa menjelaskan konsep
Kebutuhan BKPBI anak tunarungu, dan latar ketunarunguan, analisis
belakang pentingnya perkembangan bahasa
program BKPBI pada anak anak tunarungu, dan latar
tunarungu. belakang pentingnya program
BKPBI pada anak tunarungu.

11. Prinsip, Teknik, 10 Menyajikan prinsip, Peserta diklat memiliki


dan Prosedur teknik, dan prosedur kompetensi untuk
Pembelajaran pembelajaran BKPBI. menjelaskan prinsip BKPBI,
BKPBI dan menerapkan prosedur
dan teknik pembelajaran
BKPBI.

12. Pembelajaran 10 Menyajikan konsep anak Peserta diklat memiliki


bagi Anak tunagrahita, orientasi dan kompetensi untuk
Tunagrahita prinsip pembelajaran yang menjelaskan konsep
sesuai dengan kebutuhan tunagrahita , dan
pengembangan potensi mengidentifikasi orientasi
anak tunagrahita . dan prinsip pembelajaran
yang sesuai dengan
kebutuhan pengembangan
potensi anak tunagrahita .

70 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


No Mata Diklat JPL Deskripsi Mata Diklat Perolehan Kompetensi
13. Program Bina Diri 10 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki
prinsip, bentuk, dan teknik kompetensi untuk
pembelajaran program menjelaskan konsep,
bina diri. prinsip, dan bentuk program
pembelajaran bina diri,
serta dapat menerapkan
langkah-langah pembelajaran
program bina diri.

14. Pembelajaran 10 Menyajikan konsep anak Peserta diklat memiliki


bagi Anak lamban belajar, orientasi kompetensi untuk
Lamban Belajar dan prinsip pembelajaran menjelaskan konsep
yang sesuai dengan anak lamban belajar, dan
kebutuhan pengembangan mengidentifikasi orientasi
potensi anak lamban dan prinsip pembelajaran
belajar. yang sesuai dengan
kebutuhan pengembangan
potensi anak lamban belajar.

15. Pembelajaran 10 Menyajikan konsep anak Peserta diklat memiliki


bagi Anak tunadaksa, orientasi dan kompetensi untuk
Tunadaksa prinsip pembelajaran yang menjelaskan konsep
sesuai dengan kebutuhan tunadaksa, dan
pengembangan potensi mengidentifikasi orientasi
anak tunadaksa. dan prinsip pembelajaran
yang sesuai dengan
kebutuhan pengembangan
potensi anak tunadaksa.

16. Program Bina 10 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki


Gerak prinsip, bentuk dan teknik kompetensi untuk
pembelajaran program menjelaskan konsep,
bina gerak. prinsip, bentuk dan teknik
pembelajaran program bina
gerak

17. PKB 10 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki


(Pengembangan prinsip dan bentuk-bentuk kompetensi untuk
Keprofesian PKB (Pengembangan menjelaskan konsep,
Berkelanjutan) Keprofesian prinsip, bentuk bentuk PKB
Berkelanjutan). (Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan).

18. Pengembangan 10 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki


Spiritual di prinsip, bentuk dan teknik kompetensi untuk
Sekolah Inklusif Pengembangan Spiritual di menjelaskan konsep,
Sekolah Inklusif prinsip, bentuk dan teknik
Pengembangan Spiritual di
Sekolah inklusif

Bab VIII. Program Pengembangan Kompetensi Guru Pembimbing Khusus 71


No Mata Diklat JPL Deskripsi Mata Diklat Perolehan Kompetensi
19. Pembelajaran 10 Menyajikan konsep anak Peserta diklat memiliki
bagi Anak Autis autis, orientasi dan kompetensi untuk
prinsip pembelajaran yang menjelaskan konsep autis,
sesuai dengan kebutuhan dan mengidentifikasi
pengembangan potensi orientasi dan prinsip
anak Autis. pembelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan
pengembangan potensi anak
autis.

20. Manajemen 10 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki


Perilaku Anak bentuk, analisis kompetensi untuk
Autis manajemen perilaku menjelaskan konsep, bentuk,
anak autis, serta langkah- analisis manajemen perilaku
langkah memanajemen anak autis, serta langkah-
perilaku anak autis. langkah memanajemen
perilaku anak autis

21. Picture Exchange 10 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki


Communications bentuk, dan prosedur kompetensi untuk
System (PECS) penggunaan PECS menjelaskan konsep, bentuk
dan prosedur penggunaaan
pengembangan komunikasi
melalui Teknik PECS

22. Pembelajaran 10 Menyajikan konsep anak Peserta diklat memiliki


bagi Anak berkesulitan belajar, kompetensi untuk
Berkesulitan orientasi dan prinsip menjelaskan konsep anak
Belajar pembelajaran yang berkesulitan belajar, dan
sesuai dengan kebutuhan mengidentifikasi orientasi
pengembangan potensi dan prinsip pembelajaran
anak berkesulitan belajar. yang sesuai dengan
kebutuhan pengembangan
potensi anak berkesulitan
belajar.

23. Pembelajaran 10 Menjelaskan konsep, Peserta diklat memiliki


ABK berbasis ICT prinsip, dan bentuk kompetensi untuk
pembelajaran ABK berbasis menjelaskan konsep,
ICT serta langkah- prinsip, dan bentuk
langkah pengembangan pembelajaran ABK berbasis
pembelajaran berbasis ICT. ICT serta langkah-langkah
pengembangan pembelajaran
berbasis ICT.

72 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


No Mata Diklat JPL Deskripsi Mata Diklat Perolehan Kompetensi
24. Media 10 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki
Pembelajaran prinsip, dan bentuk media kompetensi untuk
bagi ABK pembelajaran adaptif bagi menjelaskan konsep,
ABK, serta langkah-langkah prinsip, dan bentuk media
pengembangan media pembelajaran adaptif bagi
pembelajaran adaptif. ABK, serta langkah-langkah
pengembangan media
pembelajaran adaptif.

25. Penjas Adaptif 10 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki


prinsip, dan bentuk penjas kompetensi untuk
adaptif serta langkah- menjelaskan konsep,
langkah pengembangan prinsip, dan bentuk
penjas adaptif. penjas adaptif serta dapat
menerapkan langkah-langkah
pengembangan penjas
adaptif.

26. Pendekatan, 20 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki


Strategi, prinsip, dan prosedur kompetensi untuk
dan Metode prosedur pembelajaran menjelaskan konsep dan
Pembelajaran saintifik, tematik, dan menerapkan prinsip serta
bagi ABK terpadu prosedur pembelajaran
saintifik, tematik, dan
terpadu.

27. Manajemen Kelas 10 Menjelaskan konsep, Peserta diklat memiliki


ABK prinsip, dan bentuk kompetensi untuk
manajemen kelas ABK, menjelaskan konsep, prinsip,
serta langkah-langkah dan bentuk manajemen kelas
pengembangan manajemen ABK, serta langkah-langkah
kelas ABK. pengembangan manajemen
kelas ABK.

28. Pembelajaran 10 Menyajikan konsep anak Peserta diklat memiliki


bagi Anak CIBI CIBI, orientasi dan prinsip kompetensi untuk
pembelajaran yang menjelaskan konsep CIBI, dan
sesuai dengan kebutuhan mengidentifikasi orientasi
pengembangan potensi dan prinsip pembelajaran
anak CIBI. yang sesuai dengan
kebutuhan pengembangan
potensi anak CIBI.

29. Vokasional Bagi 10 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki


ABK prinsip, dan prosedur kompetensi untuk
Vokasional Bagi ABK menjelaskan konsep dan
menerapkan prinsip serta
prosedur Vokasional Bagi
ABK

Bab VIII. Program Pengembangan Kompetensi Guru Pembimbing Khusus 73


No Mata Diklat JPL Deskripsi Mata Diklat Perolehan Kompetensi
30. Pengembangan 10 Menyajikan konsep Peserta diklat memiliki
Kurikulum bagi kurikulum, prinsip dan kompetensi untuk
ABK bentuk pengembangan menjelaskan konsep, prinsip
kurikulum bagi ABK, dan bentuk pengembangan
serta teknik modifikasi kurikulum bagi ABK,
pengembangan kurikulum serta menerapkan teknik
bagi ABK modifikasi pengembangan
kurikulum bagi ABK
.
31. Penyusunan 10 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki
Silabus dan RPP bentuk, dan langkah- kompetensi untuk
bagi ABK langkah penyusunan silabus menjelaskan konsep dan
dan RPP bagi ABK. bentuk silabus dan RPP serta
menerapkan langkah-langkah
penyusunan silabus dan RPP

32. Evaluasi 10 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki


Pembelajaran prinsip, dan prosedur kompetensi untuk
Bagi ABK Evaluasi Pembelajaran Bagi menjelaskan konsep
ABK dan menerapkan prinsip
serta prosedur Evaluasi
Pembelajaran Bagi ABK

33. Penelitian 10 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki


Tindakan Kelas prinsip, dan prosedur kompetensi untuk
Penelitian Tindakan Kelas. menjelaskan konsep dan
menerapkan prinsip serta
prosedur Penelitian Tindakan
Kelas.

34. Penelitian 10 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki


Subyek Tunggal prinsip, dan prosedur kompetensi untuk
Penelitian Subyek Tunggal. menjelaskan konsep dan
menerapkan prinsip serta
prosedur Penelitian Subyek
Tunggal.

35 Bimbingan dan 8 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki


Konseling bagi tujuan, prinsip, azas kompetensi untuk
ABK bimbingan dan konseling, menjelaskan konsep,
serta menerapkannya tujuan, prinsip, azas
untuk kepentingan bimbingan dan konseling,
pengembangan potensi serta menerapkannya untuk
ABK. kepentingan pengembangan
potensi ABK.

74 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


No Mata Diklat JPL Deskripsi Mata Diklat Perolehan Kompetensi
36. Nutrisi dan 6 Menjelaskan konsep, Peserta memiliki kompetensi
Kesehatan pada bentuk, dan prinsip-prinsip untuk menjelaskan dan
ABK nutrisi dan kesehatan pada menerapkan prinsip-prinsip
ABK. nutrisi dan kesehatan pada
ABK.

37. Kerjasama orang 6 Menjelaskan konsep, Peserta diklat memiliki


tua dan Sekolah bentuk, prinsip kerjasama kompetensi untuk
orang tua dengan sekolah, menjelaskan konsep,
serta langkah-langkah bentuk, prinsip kerjasama
pengembangan kerjasama orang tua dengan sekolah,
orang tua dengan sekolah. serta langkah-langkah
pengembangan kerjasama
orang tua dengan sekolah.

38. Model 20 Menyajikan konsep, Peserta diklat memiliki


Pembelajaran prinsip, dan prosedur kompetensi untuk
Berbasis Proyek Model Pembelajaran menjelaskan konsep
Berbasis Proyek dan menerapkan prinsip
serta prosedur Model
Pembelajaran Berbasis
Proyek.
39. Pengembangan 20 Menyajikan Konsep Peserta diklat memahami
Spiritual di pengembangan spiritual di cara mengembangan spiritual
Sekolah Inklusif Sekolah Inklusif. di Sekolah Inklusif.

40. On the job 50 Peserta akan diberikan Peserta diklat memiliki


learning dengan tugas menyusun portofolio, kompetensi untuk melakukan
pendampingan berupa tugas-tugas yang praktek mengajar dan
relevan dengan in put membuat dokumen Laporan
materi, berupa laporan yang disertai lampiran yang
praktek mengajar di relevan.
Sekolahnya masing-masing
dengan dilampirkan RPP,
Foto Kegiatan

PROGRAM PENUNJANG
1. Dinamika 4 Memberikan aktivitas Peserta diklat menunjukan
Kelompok dinamis untuk mewujudkan kesiapan mental, fisik, dan
kesiapkan mental, fisik, akademis untuk mengikuti
akademis sebagai peserta keseluruhan proses
diklat. pembelajaran.

2. Kebugaran 6 Memberikan aktivitas yang Peserta diklat menunjukan


Jasmani dapat menjaga kebugaran kebugaran jasmani untuk
jasmani untuk dapat dapat mengikuti kegiatan
mengikuti kegiatan diklat diklat secara optimal.
secara optimal.

Bab VIII. Program Pengembangan Kompetensi Guru Pembimbing Khusus 75


No Mata Diklat JPL Deskripsi Mata Diklat Perolehan Kompetensi
3. Pemanfaatan 4 Memberikan pengalaman Peserta diklat memperoleh
Lab. ABK langsung kepada peserta pengalaman langsung untuk
diklat untuk mendalami mendalami pemanfaatan
pemanfaatan laboratorium laboratorium bagi ABK.
bagi ABK.
4. Action Plan 2 Memberikan petunjuk Peserta diklat memiliki
teknis kepada peserta kompetensi untuk menyusun
diklat untuk menyusun action plan setelah mengikuti
action plan setelah diklat kompetensi guru
mengikuti diklat pembimbing khusus.
kompetensi guru
pembimbing khusus.

450

Tertapat tiga kelompok program yaitu Umum, Pokok, dan Penunjang.


Program pokok disesuaikan dengan kebutuhan anak berkebutuhan kusus
di sekolah.

H. NARASUMBER DAN FASILITATOR

Narasumber dan fasilitator untuk Program Pendidikan dan


Pengembangan Kompetensi Guru Pembimbing Khusus ini berasal dari
widyaiswara PPPPTK TK dan PLB, Akademisi Perguruan Tinggi dan Praktisi
Lapangan yang berkualifikasi kompeten.

I. PENDANAAN

Biaya pelaksanaan Program Pendidikan dan Pengembangan Kompetensi


Guru Pembimbing Khusus ini dapat berasal dari anggaran semua pihak
terkait pengembangan pendidikan inklusif seperti Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga Masyarakat, CSR, Dana
Bantuan Luar Negeri, atau Mandiri. Skema pendanaan dapat melalui
dana mandiri maupun kemitraan.

76 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


B
PENUTUP DAN
A
TINDAK LANJUT B

IX
77
78
BAB IX
PENUTUP DAN TINDAK LANJUT

B uku ini memberikan gambaran tentang pendidikan inklusi di Indonesia.


Pendidikan inklusif bukanlah nama lain dari pendidikan, pendidikan
inklusif menggunakan pendekatan yang berbeda dalam mengidentifikasi
dan mencoba memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah. Misalnya
dengan keberadaan siswa yang memiliki kebutuhan khusus (bukan
hanya disabilitas). Pemerintah Indonesia sudah memberikan prioritas
dan pelaksanaan pendidikan inklusif yang ditunjang dengan kebijakan.
Kementerian Pendidikan dalam rangka memperluas layanan pendidikan
bagi semua anak berkebutuhan khusus dengan menggunakan kurikulum
yang fleksibel dengan tetap memperhatikan kearifan lokal dan proses
pembelajaran dengan menggunakan teknologi informasi. Indonesia
mengatur pendidikan inklusi dalam Permendiknas No 70 Tahun 2009.
Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif.
Guru memiliki tantangan yang berat dalam mengimplementasikan
pendidikan inklusi di Indonesia. Tantangan tersebut adalah kurikulum
yang sering berubah, heterogenitas siswa berkebutuhan khusus, dan
penerapan model pembelajaran di kelas. Perubahan kurikulum akan
berdampak pada penyesuaian guru dengan kurikulum baru. Heterogenitas
Heterogenitas siswa berkebutuhan khusus akan berdampak pada sulitnya
guru menyesuaikan diri dengan karakter siswa berkebutuhan khusus.

79
Oleh karena itu tentunya juga berdampak pada metode pembelajaran
yang sesuai dengan siswa berkebutuhan khusus. Namun, tantangan ini
pasti akan terjadi jika semua pihak berkepentingan dengan pendidikan
inklusif dan berkomitmen untuk memajukan pendidikan inklusif secara
serius. Guru sebagai ujung tombak juga harus menjadi sosok yang selalu
belajar untuk bisa menyesuaikan diri dengan segala bentuk perubahan.
Perubahan kurikulum yang terlalu sering dapat menghambat
pencapaian pendidikan nasional. Apalagi, kurikulum yang dikembangkan
tersebut tidak berdasarkan penelitian empiris yang sistematis dan tidak
sesuai dengan keterampilan dan kondisi di lapangan. Dengan adanya
perubahan kurikulum tersebut maka pemerintah harus mensosialisasikan
kurikulum tersebut kepada seluruh komponen pendidikan. Hambatannya
adalah kemampuan Pemerintah dalam menyelenggarakan pelatihan
guru untuk pengenalan dan implementasi kurikulum. Selain itu, guru
membutuhkan banyak waktu untuk beradaptasi dengan perubahan
kurikulum.
Pada dasarnya, siswa berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif
dapat mempelajari ilmu pengetahuan dengan baik. Namun, heterogenitas
siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi dapat menyebabkan: 1)
keterbatasan siswa dalam belajar, memberikan kesulitan bagi guru untuk
menyesuaikan diri dengan siswa berkebutuhan khusus, 2) ketidakadilan
di kelas jika guru hanya berfokus pada siswa berkebutuhan khusus, dan 3)
guru harus mengembangkan sumber belajar yang sesuai dengan kondisi
kelas, yaitu terdapat siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus. Oleh
karena itu, diskusi semacam ini dapat didiskusikan dalam penelitian lain.
Dalam buku ini juga dipaparkan tentang acuan untuk Pengembangan
Kompetensi Guru Pendamping Khusus. Acuan ini dikembangkan
berdasarkan landasan teori, peraturan perundang-undangan dan
pemahaman yang menyeluruh pada pendidikan inklusif. Kebutuhan
Guru Pembinaan Khusus menurut jumlah sekolah adalah 344.743. Total
program pedoman ini memiliki 47 mata pelajaran dan 450 jam belajar
yang terbagi dalam tiga mata pelajaran utama, yaitu mata pelajaran
pelatihan umum, mata pelajaran pelatihan pokok, dan mata pelajaran
pelatihan penunjang. Melalui pedoman ini diharapkan dapat memberikan
gambaran Program Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan Kompetensi
Guru Pembimbing Khusus secara jelas dan komperhensif serta dapat
memberikan kontribusi untuk peningkatan kompetensi guru pembimbing
khusus. Semoga program ini dapat terlaksana untuk kesuksesan

80 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia


Pendidikan Indonesia secara umum dan untuk Pendidikan Inklusif
Indonesia pada khususnya.
Sebagai tindak lanjut, Program Pengembangan Guru Pembimbing
Khusus di Sekolah Inklusif Indonesia belum divalidasi dan diujicobakan
di lapangan. Pada tahap selanjutnya perlu dilakukan uji lapangan untuk
mengetahui tingkat validitas dan efektifitas program oleh para ahli.
Proses validasi dan uji lapangan bertujuan untuk mengevaluasi dan
meningkatkan program. Selain itu, berdasarkan review yang dilakukan
oleh Diklat di PPPPTK TK dan PLB (disebut WidyaIswara), perlu dilakukan
pelatihan berjenjang dalam waktu yang lebih singkat. Ini seharusnya
dibagi menjadi tahap pelatihan dasar, menengah, lanjutan, dan tinggi.
Hal ini dapat menjadi indikator tingkat kemampuan Guru Pembimbing
Khusus dan peningkatan proses sertifikasi. Selain itu, pada tahap
selanjutnya perlu dilakukan pengembangan bahan ajar dan perangkat
penilaian yang sesuai dengan pedoman program pelatihan ini.

Bab IX. Penutup dan Tindak Lanjut 81


82 Pendidikan Inklusif dan Guru Pembimbing Khusus di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Deklarasi Bandung. (2004). www.idpeurope.org.


Ediyanto, E., Atika, I. N., Kawai, N., & Prabowo, E. (2017). Inclusive
Education In Indonesia From The Perspective Of Widyaiswara In Centre
For Development And Empowerment Of Teachers And Education
Personnel Of Kindergartens And Special Education. INDONESIAN
JOURNAL OF DISABILITY STUDIES (IJDS), 4(2), 104-116.
Handayani, T., & Rahadian, A. S. (2013). Peraturan perundangan dan
implementasi pendidikan inklusif. Masyarakat Indonesia, 39(1), 27-
48.
https://kemdikbud.go.id
https://www.bps.go.id
Indonesia, U. U. D. N. R. (1945). Tahun 1945. Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Herzien Inlandsch Reglement.
Garnida, Dadang. (2015). Pengantar Pendidikan Inklusif. Bandung :
Refika Aditama.
Maulipaksi, D. (2017). Sekolah inklusi dan pembangunan SLB dukung
pendidikan inklusi. Retrieved on July, 19, 2017.
Ni’matuzahroh, & Nurhamida, Y. (2016). Individu Berkebutuhan Khusus
dam Pendidikan Inklusif. Penerbitan Universitas Muhammadiyah
Malang : Malang.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang
Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah no. 74 Tahun 2008 tentang Guru.
Permendiknas Nomor 41 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja

83
Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 32 Tahun 2008 tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Pendidikan
Khusus.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat istimewa.
Peraturan Pemerintah (PP) No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan
Nasional Pendidikan.
Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (Permen PAN-RB) No. 16 Tahun 2009 tentang Profesi Guru
dan Angka Kreditnya.
Rieser, R. (2012). Implementing inclusive education: a Commonwealth
guide to implementing Article 24 of the UN Convention on the Rights
of Persons with Disabilities. Commonwealth Secretariat.
Slavin, R. E. (1996). Education for all. CRC Press.
Stubbs, S. (2008). Inclusive Education. Where there are few resources.
Oslo, The Atlas Alliance Publ.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Unesco. (1994). The Salamanca Statement and Framework for action
on special needs education: adopted by the World Conference on
Special Needs Education; Access and Quality. Salamanca, Spain,
7-10 June 1994. Unesco.
World Health Organization. (2008). Millennium development goals.

84

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai