Anda di halaman 1dari 6

Laporan Museum Taura Muhammad Sarkis XI.

SC

Pameran Tetap Koleksi Galeri Nasional menyajikan karya-karya seni rupa modern
dan kontemporer mulai tahun 1800-an hingga sekarang. Karya-karya pameran
ini ditata berdasarkan periodisasi perjalanan seni rupa Indonesia. Sejumlah karya
penting yang ditampilkan juga merupakan koleksi negara.

Untuk mengapresiasi karya-karya Pameran Tetap, tak perlu lagi datang ke ruang
pameran, karena kini detail setiap karya disajikan melalui media daring sehingga
dapat dinikmati dari rumah. Salah satunya adalah karya Dullah (1919 – 1996)
berjudul “Istriku”. Karya ini dibuat pada tahun 1953 dengan menggunakan media
cat minyak pada kanvas berukuran 102 x 83 senitmeter.

Lukisan “Istriku” merupakan salah satu karya Dullah yang menunjukkan


kecenderungan pada keindahan sosok-sosok wanita. Dullah sebenarnya memiliki
perhatian yang kuat terhadap wacana perjuangan bangsa. Selain itu, ia juga
kerap menampilkan semangat humanisme kerakyatan dan nilai-nilai lokal.
Namun di samping itu, Dullah juga merupakan pelukis romantis yang begitu setia
mengabadikan nilai-nilai ideal lewat kecantikan atau juga keindahan alam.
Seperti itulah yang dimunculkan dalam lukisan “Istriku” ini.
Sejumlah karya penting koleksi Galeri Nasional Indonesia yang juga merupakan
koleksi negara dipamerkan dalam Pameran Tetap Koleksi Galeri Nasional
Indonesia. Karya-karya tersebut ditata berdasarkan periodisasi perkembangan
sejarah seni rupa modern dan kontemporer Indonesia, mulai era 1800-an hingga
sekarang. Dalam karya-karya dalam Pameran Tetap itu, selain tersimpan nilai
sejarah yang terkait dengan berbagai hal, mulai dari kondisi sosial, budaya,
ekonomi, politik, dan sebagainya, juga menunjukkan ciri ekspresi seni seorang
seniman.

Salah satunya adalah karya Soenarto Pr berjudul “Potret Diri”. Karya ini
menunjukkan ciri khasnya sebagai seniman yang telah menghasilkan sekian
banyak lukisan yang mengungkap wajah manusia. Dengan menggunakan media
pastel pada kertas berukuran 50 x 35 sentimeter, karya yang dibuat tahun 1957
ini menampilkan bentuk-bentuk realistik potret dirinya semasa muda dengan
goresan pastel halus dan tegas.

Soenarto Pr yang pernah menjadi ketua Sanggar Bambu di Yogyakarta ini,


seringkali menggambar menggunakan model. Ia piawai menangkap ekspresi
wajah serta menghadirkan karakter model secara kuat, yaitu melalui garis,
warna, dan komposisi.
Pameran Tetap Koleksi Galeri Nasional Indonesia memamerkan sejumlah karya
penting koleksi Galeri Nasional Indonesia yang juga merupakan koleksi negara.
Sebagai museum/galeri seni rupa modern dan kontemporer, Galeri Nasional
Indonesia melalui Pameran Tetap menyajikan karya-karya seni rupa yang
menandai setiap era mulai tahun 1800-an hingga sekarang. Menjadi hal menarik
untuk mengparesiasi karya-karya tersebut, karena selain mendapatkan sajian
visual, pengunjung juga dapat turut merasakan pikiran dan perasaan sang
seniman melalui karya-karyanya, bahkan menelisik kembali sejarah bangsa
Indonesia.

Seperti pada karya Raden Saleh berjudul Kapal Karam Dilanda Badai (c. 1840).
Dalam lukisan dengan media cat minyak pada kanvas berukuran 74 x 98
sentimeter ini, dapat dilihat bagaimana Raden Saleh mengungkapkan perjuangan
dramatis dua buah kapal dalam hempasan badai dahsyat di tengah lautan.
Suasana mencekam diekspresikan lewat awan tebal yang gelap dan ombak-
ombak tinggi yang menghancurkan salah satu kapal. Dari sudut atas, secercah
sinar matahari tampak memantul ke gulungan ombak—menambah kesan
dramatis.

Layaknya karya-karya bercorak Romantisisme, melalui lukisan ini Raden Saleh


mengungkapkan gejolak jiwanya yang terombang-ambing antara keinginan
menghayati dunia imajinasi dan menyatakan dunia nyata. Perpaduan keduanya
terwujud dalam ekspresi visual yang dramatis, emosional, sekaligus misterius.
Meski demikian, para seniman romantisis—Raden Saleh salah satunya— sering
juga berkarya berdasarkan pada kenyataan aktual
Karya-karya Pameran Tetap Koleksi Galeri Nasional Indonesia kini dapat dinikmati dari rumah.
Salah satunya karya Ivan Sagita berjudul “Meraba Diri”. Lukisan ini dibuat pada tahun 1988
dengan media cat minyak pada kanvas berukuran 72 x 90 sentimeter.

Lukisan ini mempunyai kecenderungan surealistik dengan menekankan pengungkapan problem-


problem psikologis lewat tanda-tanda yang bersifat simbolis. Dalam karya-karyanya yang lain,
Ivan Sagita juga sering mengangkat persoalan pencarian nilai-nilai kemanusiaan dengan
menggunakan simbol-simbol atau atribut-atribut sosiokultural yang ada. Tema-tema kemanusiaan
tersebut sering muncul dalam penggambaran yang absurd, karena sering muncul dalam
juxtaposition atau penjajaran bentuk-bentuk yang irasional seperti dalam tiga figur kosong yang
berjajar dalam lukisan ini. Dengan teknik realisme yang kuat dan warna-warna cenderung berat,
karya-karya Ivan semakin kental dengan suasana misteri.

Dalam lukisan ini secara simbolis dapat dilihat bahwa ada proses pada tiga figur yang berusaha
mengidentifikasi jati dirinya. Padahal secara kontradiktif tubuh dan muka figur-figur itu
sebenarnya kosong. Dalam kekosongan figur-figur itu hanya ada awan berarak yang memunculkan
tangan-tangan meraba muka. Figur di tengah tersemat atribut sanggul dan telinga wanita, yang
memberi gambaran proses pencarian identitas dan jati diri kewanitaan. Akan tetapi, figur-figur
berjajar itu juga bisa diinterpretasikan sebagai proses introspeksi dan pencarian diri dalam
kekosongan.
Menikmati karya seni tak harus datang ke galeri seni. Kini hal itu bisa dilakukan dari rumah.
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk menutup sementara tempat-tempat publik termasuk galeri
seni sebagai antisipasi penyebaran Covid-19 menginsiprasi Galeri Nasional Indonesia untuk
menyediakan informasi tentang karya seni secara kontinyu di laman dan media sosial. Hal ini
memudahkan publik untuk tetap mendapatkan pengetahuan tentang seni rupa sekaligus menikmati
waktu bersama keluarga tercinta.

Selayaknya banyak orang, seniman juga memiliki keluarga tercinta yang menjadi sumber
inspirasinya. Salah satunya adalah Affandi. Maestro lukis ini menjadikan ibunya sebagai tokoh
utama pada lukisan berjudul “Ibu”. Lukisan yang dibuat pada tahun 1941 dengan media cat minyak
pada kanvas berukuran 52 x 43 sentimeter ini merupakan salah satu dari karya awal yang diakusisi
menjadi koleksi Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (kini Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan) pada tahun 1948.

Affandi menampilkan kemahirannya dalam melukis potret realis di awal karirnya sebelum beralih
menuju impresionisme dan ekspresionisme. Pada lukisan “Ibu” ini tampak sapuan kuas dan detail-
detail kecil yang berhasil membentuk figur seorang ibu yang tampak berusia lanjut, menyilangkan
tangan di pundaknya dengan tatapan dan raut wajah yang cenderung bersedih. Rambutnya sedikit
menjuntai dan tidak tampak senyum dari bibirnya, memperlihatkan potret ini dibuat dalam pose
dan sudut pandang yang natural. Affandi memiliki perhatian besar dan kecintaan kepada ibunya,
ia kerap melukis sosok ibunya dalam beberapa karya lainnya seperti “Ibu di Dalam Ruangan”
(1949), dan “Ibu Marah” (1960)

Anda mungkin juga menyukai