Anda di halaman 1dari 21

Kata pengantar

Puja-puji dan syukur kami panjatkan pada Allah SWT. Hanya kepada-Nya lah kami
memuji dan hanya kepada-Nya lah kami memohon pertolongan. Tidak lupa shalawat serta
salam kami haturkan pada junjungan nabi agung kita, Nabi Muhammad SAW. Risalah beliau
lah yang bermanfaat bagi kita semua sebagai petunjuk menjalani kehidupan.
Dengan pertolongan-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah berjudul “Tahapan-
tahapan Dalam Penelitian Sejarah”. Pada isi makalah akan diuraikan bagaimana tahapan-
tahapan dalam penelitian sejarah dari mulai penentuan topik hingga ke penulisan sejarahnya.
Makalah “……………………………………” disusun sebagai tugas mata kuliah
………………….. di Akademi Komunitas Darussalam. Kritik dan saran yang membangun
dari setiap pembaca agar perbaikan dapat dilakukan sangat diharapkan. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para siswa umumnya dan saya pribadi khususnya.

Banyuwangi, ………………..

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG .......................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ..................................................................... 3
C. TUJUAN PENULISAN........................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
A. SEJARAH BRAND A....................................4
B. PERKEMBANGAN BRAND A.............................................................6
C. PRODUK YANG DI PRODUKSI BRAND A..........................9
D. KOLEKSI YANG DI FAHION SHOW KAN DARI TAHUN KE TAHUN .....10
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN .......................................................................... 24
B. KRITIK DAN SARAN.............................................................. 25
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Seorang desainer selayaknya memiliki pengetahuan yang mencukupi tentang
sejarah fashion. Bukan untuk menghapalkan peristiwa-peristiwa masa lalu, tetapi
memahami pengaruh peristiwa-peristiwa tersebut terhadap perubahan fashion dari
waktu ke waktu. Bukan hanya perubahan desain, siluet, estetika, material, warna dan
hal-hal yang berhubungan langsung dengan pakaian (bentuk konkret fashion), juga
konteks jaman yang memengaruhinya—sosial, budaya, ekonomi dan politik. Melalui
sejarah kita bisa memahami fashion cycle—fad, trend, classic—dari waktu ke
waktu, serta faktor-faktor yang membentuknya.Inspirasi yang mendasari kerja
kreatif seorang desainer bukan datang dari langit, tapi lahir dari pengalaman
pancaindra. Baik pengalaman langsung maupun tidak.

Sejarah adalah sumber inspirasi yang sangat kaya. Dengan melihat sejarah,
kita bisa terhindar dari pengulangan sia-sia—membuat hal yang sama. Kita justru
ditantang untuk mengembangkan sesuatu yang baru. Jika Anda mengambil inspirasi
pakaian tradisional Jepang (kimono) misalnya, maka yang selayaknya Anda kerjakan
bukan menjiplaknya sedemikian rupa, tetapi mengembangkannya menjadi sesuatu
yang baru. Anda ditantang untuk menampilkan inspirasi yang mendasari karya
Anda, sekaligus ide-ide baru yang dituangkan dalam karya Anda itu. Tanpa
kebaruan, tak ada artinya.

Seiring dengan meningkatnya jumlah manusia serta kemajuan ekonomi dan


hubungan perdagangan yang kian meluas—ditopang kemajuan teknologi dan alat
transportasi—pembuatan pakaian pun mengalami perubahan dan jangkauan
pemasaran yang kian meluas. Pembuatan pakaian tidak lagi ditujukan untuk
melayani permintaan perorangan, tetapi untuk kebutuhan banyak orang. Muncullah
apa yang disebut ready-to-wear. Pakaian yang diproduksi secara massal dalam
berbagai ukuran seperti yang biasa kita kenakan sekarang. Diikuti dengan
berkembangnya toko-toko pakaian yang menjual berbagai jenis dan merek pakaian.
Sampai di sini cukup jelas kiranya mengapa seorang desainer perlu memahami
sejarah fashion.

Sebagai hasil dari perkembangan masyarakat, fashion senantiasa


mengandung perubahan, kebaruan, serta konteks waktu, tempat, dan pemakainya
(Blumer, 1969). Aspek-aspek itulah yang sebaiknya dipelajari dan dikaji secara
mendalam sebagai bahan menghadapi berbagai peluang dan tantangan
bisnis fashion saat ini dan di masa yang akan datang. Sebagai contoh, jika Anda
menyukai Chanel atau Dior, maka yang penting Anda pelajari, bukan hanya
rancangan dan perkembangan desainnya, juga pasang-surut bisnisnya dari masa ke
masa.

Melalui sejarah, kita bisa belajar tentang keberhasilan dan kegagalan di masa
lalu, yang berguna sebagai cermin dalam menghadapi tantangan dan peluang
bisnis fashion saat dan di masa yang akan datang. Apa yang dilakukan dan tidak
dilakukan sebuah brand sehingga mampu bertahan, atau sebaliknya, adalah sumber
pengetahuan yang berguna bagi seorang desainer hendak
mengembangan brand sendiri dan salah satunya adalah brand fandi.
1.1 Rumusan Masalah

1) Bagaimanakah sejarah brand Fendi?


2) Bagaimanakah perkembangan Brand Fendi?
3) Apakah jenis produk yang di produksi Fendi?
4) Koleksi apasajakah yang di fashion show kan dari tahun ke
tahun?

1.2 Tujuan

1) Untuk mengetahui sejarah Brand fendi


2) Untuk Mengetahui Perkembangan brand Fendi
3) Untuk mengetahui jenis produk yang di produksi fendi
4) Untuk mengetahui koleksi yang di fashion show kan dari tahun ke
tahun
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. SEJARAH BRAND FENDI


siapa yang tidak mengenal label mewah Fendi? Dari mulai aksesori dan
busana berhiaskan logo FF, tas Peekaboo dan Baguette yang menjadi favorit
selebriti hingga sempat menjalin kerja sama dengan label Fila menjadikannya
sebagai salah satu label mewah yang disegani. Fendi telah menjadi bagian dari
sejarah panjang perjalanan industri fashion. Bermula sebagai bisnis keluarga
di Roma, Italia kini bernaung di bawah grup perusahaan fashion terbesar
LVMH
Adele dan Edoardo Fendi ialah pasangan suami-istri yang mendirikan label
fashion Fendi di Roma, Italia. Berawal dari pembuatan tas bermaterial kulit,
mereka juga bereksplorasi dengan penggunaan fur atau bulu. Adele dan
Edoardo pun membuka butik Fendi pertamanya di Via del Plebiscito
serta workshop fur dan leather. Hanya butuh waktu satu tahun untuk Fendi
mencapai popularitas berkat kedua material andalannya hingga saat ini.
Meninggalnya Edoardo Fendi pada tahun 1946 menjadikan kelima putrinya
penerus rumah mode yakni Paola, Anna, Franca, Carla, dan Alda. Inovasi baru
pun dihadirkan dengan tetap menjaga kualitas dan nilai estetis yang menjadi
ciri khas Fendi. Masing-masing dari mereka terspesialisasi di sektor kreasi fur,
leatherwear, public relation, hingga sales.
Setelah bergabungnya Karl Lagerfeld, seorang desainer asal Jerman, dengan
Fendi, Fendi semakin berani berinovasi, terutama sebagai bentuk adaptasi
dengan perubahan sosial yang terjadi. Interpretasi dan desain baru
material fur serta studi teknik pengelolaan material kulit juga menjadi langkah
revolusi yang dibawa Karl untuk rumah mode Fendi. Sebut saja
penggunaan fur sebagai aksesori dan pakaian ready-to-wear yang membuat
material bulu ini semakin mudah diakses banyak orang. Selain itu, logo double
F (singkatan dari 'Fun Furs') yang hingga saat ini menjadi ciri khas Fendi.
Terkenal akan kualitasnya yang tinggi dan inovasinya, Fendi berhasil naik
daun sebagai brand mewah asal Italia yang disegani. Apalagi di setiap
departemen dipegang oleh keluarga sendiri: Paola di bagian fur, Anna
memegang sektor kulit, Franca bagian customer relations, Carla bertanggung
jawab di bidang bisnis, dan Alda dalam sales. Membuat Fendi tak hanya
memiliki ciri desain yang kuat tapi juga bisnis internal.
Pada sekitar era '80an Fendi berhasil membuka butiknya di beberapa negara,
termasuk Amerika Serikat. Bukan cuma itu, mereka juga dipercaya untuk
membuat seragam kepolisian Roma. Berkembangnya bisnis rumah mode
Fendi juga ditunjukkan dengan pembuatan parfum untuk perempuan dan laki-
laki. Dinasti Fendi tetap berlanjut dengan bergabungnya Silvia Venturini
Fendi sebagai Artistic Director kedua, setelah Karl Lagerfeld. Kreativitas putri
dari Anna Fendi tersebut berhasil membawa perubahan bagi bisnis
keluarganya. Misalnya, diluncurkannya tas Fendi Baguette tahun 1997 dan
Fendi Peekaboo tahun 2008 yang menjadi tas ikonis nan timeless. Tahun 1999
menjadi tahun di mana Fendi diambil alih oleh perusahaan LVMH. Walaupun
begitu, manajemen bisnis dari brand mewah tersebut tetap dipegang oleh
generasi ketiga keluarga Fendi hingga sekarang. Perancang busana asal
Inggris, Kim Jones juga ikut bergabung dalam tim pada September 2020
menggantikan Karl Lagerfeld yang wafat tahun 2019 lalu. Ia bertanggung
jawab sebagai Artistic Director untuk Haute Couture, Ready-to-Wear, dan Fur
Collections for Women.
Dimitrie Hardjo | Beautynesiahttps://www.beautynesia.id/fashion/mengenal-
sejarah-dari-fendi-rumah-mode-asal-roma-yang-sempat-dipimpin-5-kakak-
adik-perempuan/b-238418 (14/11/22)

2.2. PERKEMBANGAN BRAND FENDI


Pada sekitar era '80an Fendi berhasil membuka butiknya di beberapa
negara, termasuk Amerika Serikat. Bukan cuma itu, mereka juga dipercaya
untuk membuat seragam kepolisian Roma. Berkembangnya bisnis rumah
mode Fendi juga ditunjukkan dengan pembuatan parfum untuk perempuan dan
laki-laki. Dinasti Fendi tetap berlanjut dengan bergabungnya Silvia Venturini
Fendi sebagai Artistic Director kedua, setelah Karl Lagerfeld. Kreativitas putri
dari Anna Fendi tersebut berhasil membawa perubahan bagi bisnis
keluarganya. Misalnya, diluncurkannya tas Fendi Baguette tahun 1997 dan
Fendi Peekaboo tahun 2008 yang menjadi tas ikonis nan timeless. Tahun 1999
menjadi tahun di mana Fendi diambil alih oleh perusahaan LVMH. Walaupun
begitu, manajemen bisnis dari brand mewah tersebut tetap dipegang oleh
generasi ketiga keluarga Fendi hingga sekarang. Perancang busana asal
Inggris, Kim Jones juga ikut bergabung dalam tim pada September 2020
menggantikan Karl Lagerfeld yang wafat tahun 2019 lalu. Ia bertanggung
jawab sebagai Artistic Director untuk Haute Couture, Ready-to-Wear, dan Fur
Collections for Women.

Pada masa ini, Karl Lagerfeld tidak lagi menjadi kepala dari semua desain
Fendi. Silvia Fendi, salah seorang dari lima bersaudara Fendi mengambil posisi
tersebut. Koleksi Fendi Baguette pun diluncurkan. Koleksi ini memadukan bahan
utama yang digunakan oleh Fendi, kulit dan bulu, dengan berbagai bahan lainnya
yang tidak umum juga dengan desain yang cenderung nyentrik untuk produk tas.
Tentu saja, koleksi Fendi Baguette kembali menarik perhatian pada pencinta fashion.
Bahkan hingga saat ini, koleksi Fendi Baguette adalah salah satu koleksi yang
dikultuskan oleh pencinta fashion dan digaung-gaungkan sebagai koleksi yang harus
dimiliki dari Fendi.

Fendi SekarangSeolah tidak kehilangan pesonanya setelah berada di dunia


fashion selama beberapa dekade, Fendi di masa kini pun tetap menjadi salah satu
brand terdepan untuk fashion. Di Indonesia sendiri, Fendi pun memiliki
penggemarnya sendiri, terutama untuk sunglasses. Mungkin karena sunglasses Fendi
adalah salah satu item yang masuk sejak lama di pasaran Indonesia, sehingga
sunglasses Fendi menjadi lebih terkenal dibanding produk Fendi lainnya. Kini, mulai
dari sepatu hingga produk kesehatan & kecantikan dari Fendi dapat dengan mudah
ditemui di pasaran. Selain itu, produk Fendi yang ada di pasaran pun tersedia untuk
pria dan wanita.
Belakangan, Fendi pun meluncurkan koleksi terbarunya bersama dengan
partner lamanya, mungkin partner terlama dari Fendi, Karl Lagerfeld. Fendi X Karl
Lagerfeld ini tetap mengutamakan identitas Fendi yang dibangun bersama Karl di
masa lalu, praktis dan nyaman untuk digunakan sehari-hari, namun penuh dengan
kesan glamor dan juga cutting yang tidak biasa.

2.3. PRODUK YANG DI PRODUKSI BRAND FENDI


Fendi mengeluarkan berbagai produk pakaian, aksesoris baik untuk wanita,
pria,
dan anak-anak, seperti parfum, kacamata, jam tangan, dan CASA.

2.4. KOLEKSI YANG DI FAHION SHOW KAN DARI TAHUN KE TAHUN


1. 2018
Between Karl Lagerfeld, Silvia Venturi Fendi, and whoever
orchestrates the accessories at Fendi, it’s all flowing together in a hard-to-
achieve way that balances high fashion and cleverly coded items with a
sense of fun. At today’s show, for a start, there were the neat boxy-
shouldered dresses and coats which Venturi Fendi described as “a
romantic uniform for a strong and powerful woman of today.” And then
there was Karl Lagerfeld, talking in a pre-chat about his vast collection of
antique table linen and bed linen: “Since a boy, I always thought it was the
top of luxury to have clean, white cotton sheets.” Out of that Lagerfeld
treasure chest came the inspiration behind the finely scalloped-edged and
embroidered silk neckerchiefs and white collars.
For a general comparison, you might flick over to search Sean Young’s
deathlessly chic fitted suits and dresses as the office replicant in the
original Blade Runner. That movie was released in 1982, when there was
also a pop-cultural craze for the ’40s going on. Somehow, all those
ingredients feel spot-on now—’40s, ’80s, a touch of film noir, a pinch of
sci-fi. But it needs something else to separate it from appropriation;
something to throw it a bit off the obvious—although, if you please, not
something just for the sake of randomness. The job was efficiently done
through the styling of classily minimal cowboy boots throughout the show.
So it became a look that was not to do with costume; rather it was
something contemporary.
With the clarity and playfulness of the way Fendi double-F beige-
brown logo patterns were deployed over everything from tights to fur
sweatshirts to flocked trenchcoats and baguette bags, there was a lot to see
—and a lot for young fashion fanatics, and the super-wealthy, to aspire to.
And that has to be healthy for this brand’s fortunes.
Terjemah:
Antara Karl Lagerfeld, Silvia Venturi Fendi, dan siapa pun yang
mengatur aksesori di Fendi, semuanya mengalir bersama dengan cara
yang sulit dicapai yang menyeimbangkan item mode kelas atas dan kode
cerdik dengan rasa kesenangan. Pada pertunjukan hari ini, sebagai
permulaan, ada gaun dan mantel berbahu kotak yang rapi yang
digambarkan Venturi Fendi sebagai "seragam romantis untuk wanita yang
kuat dan berkuasa saat ini." Dan kemudian ada Karl Lagerfeld, berbicara
dalam pra-obrolan tentang koleksi taplak meja dan sprei antiknya yang
sangat banyak: "Sejak kecil, saya selalu berpikir bahwa memiliki seprai
katun putih yang bersih adalah kemewahan tertinggi." Dari peti harta
karun Lagerfeld itu muncul inspirasi di balik syal sutra dan kerah putih
yang bertepi halus dan bersulam.
Untuk perbandingan umum, Anda dapat menelusuri untuk mencari
setelan dan gaun Sean Young yang sangat chic sebagai replika kantor di
Blade Runner asli. Film itu dirilis pada tahun 1982, ketika ada juga
kegemaran budaya pop untuk tahun 40-an. Entah bagaimana, semua bahan
itu terasa pas sekarang—'40-an, '80-an, sentuhan film noir, sejumput sci-
fi. Tetapi ia membutuhkan sesuatu yang lain untuk memisahkannya dari
apropriasi; sesuatu untuk membuangnya sedikit dari yang sudah jelas —
meskipun, jika Anda mau, bukan sesuatu hanya demi keacakan. Pekerjaan
itu dilakukan secara efisien melalui gaya sepatu bot koboi minimalis
berkelas selama pertunjukan. Jadi itu menjadi tampilan yang tidak ada
hubungannya dengan kostum; melainkan sesuatu yang kontemporer.
Dengan kejernihan dan keceriaan dari cara logo Fendi double-F beige-
brown logo diterapkan pada segala hal mulai dari celana ketat hingga kaus
bulu hingga trenchcoat dan tas baguette, ada banyak hal yang bisa dilihat
—dan banyak hal untuk para fanatik mode muda, dan super kaya, untuk
dicita-citakan. Dan itu harus sehat untuk kekayaan merek ini.
Jumlah outfit yg di showkan : 35 outfit
Gambar koleksi yang di showkan :
2. 2020
`“He used to call me ‘la petite fille triste,’” remembered Silvia
Venturini Fendi in an emotional backstage scene at the elegiac Fendi
show, the last designed by the late Karl Lagerfeld, whom she first met
when she was four years old. “Now is not the time to be sad,” she added,
noting that Lagerfeld supervised every look in the focused collection that
revealed what she called “those facets of him”—the signatures that he had
embedded into the brand’s DNA since he first met the quintet of Fendi
sisters, including Venturini Fendi’s mother, Anna, in Rome in 1965.
Those signature touches included the stiff, high Edwardian collars that
Lagerfeld himself wore and riffs on the scissor-sharp tailoring with
geometric seams that he returned to every season. This time, those seams
defined a strong, sharp pagoda shoulder line or the A-line panels in a
perfectly fitted coat. There was also a play of layers and translucency that
included laser-perforated “fishnet” leather. The interlinked double F logo
(dubbed “Karligraphy”) that Lagerfeld himself invented in 1981 was
reimagined in the copperplate font of his own handwriting and woven into
hosiery or used as an intarsia on shearling. (The classic Fendi brown-and-
beige stripe, worked in shearling for an overscale frame-handle bag, was
one of the accessory hits of the collection.)
The furs, a category that Lagerfeld redefined with soaring imagination
and invention as a seasonless contemporary fashion item for Fendi,
included an overscale mink shirt with contrast intarsia suggesting the
shadow of the collar and pocket flaps; an amazing tone-on-tone effect of
Art Deco palm fronds worked into a black suit with a trim, ’40s silhouette;
and a perforated trenchcoat, the soft buff fur punctured to reveal flashes of
pale gold beneath the surface. “The last touch was the scarf,” said
Venturini Fendi, referring to the unexpected flourish of broad ribbon
threaded as a belt in back, ends fluttering, on many of the dresses and
coats, which lent a touch of disheveled romance to the clear-cut
silhouettes.
Lagerfeld’s longtime music collaborator Michel Gaubert, working with
Ryan Aguilar, set the show to a poignant biographical soundtrack that
began with Lou Reed and John Cale’s “Small Town,” a brilliant ode to
Andy Warhol (“No Michelangelo came out of Pittsburgh,”) via Stravinsky
and Ornella Vanoni’s lament “Sono Triste,” and ended in a finale file-past
to David Bowie’s “Heroes”—paralleling Lagerfeld’s own remarkable arc
from his childhood in Hamburg to his hard-earned position as an
internationally recognized and revered cultural icon. An icon, let it be said,
who never once contemplated retiring from the job that began seven
decades ago as a studio assistant with the thoroughly Parisian couturier
Pierre Balmain.
In the weeks before his death, Venturini Fendi remembered,
Lagerfeld’s mantra remained: “I have to work on my collections.” During
the fittings, he would interrupt his stream-of-consciousness observations
and bon mots to politely admonish the tailors and dressmakers, explaining
that the garment in front of him was not exactly like his sketch; “I’m
sorry,” he would say, “but it’s a millimeter off just there . . .”
As Gigi Hadid closed the show in her diaphanous buttercup-yellow
dress, the crowd rose to their feet—just in time for a short movie clip of
Karl Lagerfeld, who was asked by filmmaker Loic Prigent to sketch his
look the day he arrived in Rome to work for Fendi. Lagerfeld, of course,
remembered it perfectly as he sketched with the effortless panache with
which he imagined thousands upon thousands of amazing pieces of
clothing. In this instance, a fedora from Cerruti to cover his long hair, a
Norfolk jacket in yellow-and-red English tweed, a printed Lavalliere
cravat, French knickerbockers, and dark glasses—a look he described 54
years later as “mauvais gen” [disreputable].
Backstage, Lagerfeld’s longtime collaborators and the models whose
careers he had helped nurture were all in tears. “I just feel so lucky I got to
meet him and be a part of it,” said Bella Hadid, who, like many other girls,
had to fight back her emotions on the runway.
After the traditional viewing of the runway video, Venturini Fendi,
thanking her distraught team, punched the air and echoed the words that
Lagerfeld repeated after every collection: “And now, the next!”
Terjemah;
Dia biasa memanggil saya 'la petite fille triste,'” kenang Silvia
Venturini Fendi dalam adegan emosional di belakang panggung di
pertunjukan elegiac Fendi, yang terakhir dirancang oleh mendiang Karl
Lagerfeld, yang pertama kali dia temui ketika dia berusia empat tahun.
“Sekarang bukan waktunya untuk bersedih,” tambahnya, mencatat bahwa
Lagerfeld mengawasi setiap tampilan dalam koleksi terfokus yang
mengungkapkan apa yang disebutnya “faset dirinya”—tanda tangan yang
telah dia tanamkan ke dalam DNA merek sejak dia pertama kali bertemu.
kwintet saudara perempuan Fendi, termasuk ibu Venturini Fendi, Anna, di
Roma pada tahun 1965.
Sentuhan khas itu termasuk kerah Edwardian yang kaku dan tinggi
yang dikenakan Lagerfeld sendiri dan riff pada penjahitan setajam gunting
dengan jahitan geometris yang ia kembalikan ke setiap musim. Kali ini,
keliman tersebut membentuk garis bahu pagoda yang kuat dan tajam atau
panel A-line dalam mantel yang sangat pas. Ada juga permainan lapisan
dan tembus cahaya yang mencakup kulit "jala" berlubang laser. Logo F
ganda yang saling terkait (dijuluki "Karligraphy") yang Lagerfeld sendiri
temukan pada tahun 1981 ditata ulang dalam font pelat tembaga tulisan
tangannya sendiri dan ditenun menjadi kaus kaki atau digunakan sebagai
intarsia pada shearling. (Garis coklat-dan-krem Fendi klasik, dikerjakan
dengan mencukur untuk tas pegangan bingkai yang terlalu besar, adalah
salah satu koleksi aksesori yang hits.)
Furs, kategori yang didefinisikan ulang oleh Lagerfeld dengan
imajinasi dan penemuan yang melonjak sebagai barang fesyen
kontemporer tanpa musim untuk Fendi, termasuk kemeja cerpelai
berukuran besar dengan intarsia kontras yang menunjukkan bayangan
kerah dan penutup saku; efek tone-on-tone yang luar biasa dari daun palem
Art Deco bekerja menjadi setelan hitam dengan siluet tahun 40-an yang
ramping; dan jas parit berlubang, bulu buff lembut tertusuk untuk
memperlihatkan kilatan emas pucat di bawah permukaan. “Sentuhan
terakhir adalah syal,” kata Venturini Fendi, mengacu pada hiasan tak
terduga dari pita lebar yang dililitkan sebagai ikat pinggang di belakang,
ujungnya berkibar, pada banyak gaun dan mantel, yang memberikan
sentuhan asmara acak-acakan. potong siluet.
Kolaborator musik lama Lagerfeld, Michel Gaubert, bekerja dengan
Ryan Aguilar, mengatur pertunjukan menjadi soundtrack biografi yang
menyentuh yang dimulai dengan “Kota Kecil” karya Lou Reed dan John
Cale, sebuah syair brilian untuk Andy Warhol (“Tidak ada Michelangelo
yang keluar dari Pittsburgh,”) melalui ratapan Stravinsky dan Ornella
Vanoni "Sono Triste," dan diakhiri dengan file terakhir dari "Pahlawan"
David Bowie—paralel busur luar biasa Lagerfeld sendiri dari masa
kecilnya di Hamburg ke posisinya yang diperoleh dengan susah payah
sebagai ikon budaya yang diakui dan dihormati secara internasional .
Seorang ikon, biarlah dikatakan, yang tidak pernah berpikir untuk pensiun
dari pekerjaan yang dimulai tujuh dekade lalu sebagai asisten studio
dengan couturier Paris Pierre Balmain.
Dalam minggu-minggu sebelum kematiannya, Venturini Fendi
mengenang, mantra Lagerfeld tetap ada: "Saya harus mengerjakan koleksi
saya." Selama pemasangan, dia akan menghentikan pengamatan aliran
kesadarannya dan bon mots untuk dengan sopan menegur para penjahit
dan penjahit, menjelaskan bahwa pakaian di depannya tidak persis seperti
sketsanya; “Maaf,” dia akan berkata, “tapi jaraknya satu milimeter saja. . .”
Saat Gigi Hadid menutup pertunjukan dengan gaun kuning
buttercupnya yang hening, penonton berdiri—tepat pada waktunya untuk
klip film pendek Karl Lagerfeld, yang diminta oleh pembuat film Loic
Prigent untuk membuat sketsa penampilannya pada hari dia tiba di Roma
bekerja untuk Fendi. Lagerfeld, tentu saja, mengingatnya dengan
sempurna saat dia membuat sketsa dengan kepanikan tanpa usaha yang dia
bayangkan ribuan potong pakaian yang menakjubkan. Dalam contoh ini,
fedora dari Cerruti untuk menutupi rambutnya yang panjang, jaket Norfolk
dengan wol Inggris kuning-merah, cravat Lavalliere yang dicetak, celana
dalam Prancis, dan kacamata hitam — tampilan yang dia gambarkan 54
tahun kemudian sebagai "gen mauvais" [jelek].
Di belakang panggung, kolaborator lama Lagerfeld dan para model
yang kariernya dia bantu pelihara semuanya menangis. “Saya merasa
sangat beruntung bisa bertemu dengannya dan menjadi bagian darinya,”
kata Bella Hadid, yang, seperti banyak gadis lainnya, harus menahan
emosinya di atas panggung.
Setelah menonton video landasan pacu secara tradisional, Venturini
Fendi, berterima kasih kepada timnya yang putus asa, meninju udara dan
menggemakan kata-kata yang diulang Lagerfeld setelah setiap koleksi:
"Dan sekarang, selanjutnya!
3. Deskripsi koleksi :2019
“He used to call me ‘la petite fille triste,’” remembered Silvia
Venturini Fendi in an emotional backstage scene at the elegiac Fendi
show, the last designed by the late Karl Lagerfeld, whom she first met
when she was four years old. “Now is not the time to be sad,” she added,
noting that Lagerfeld supervised every look in the focused collection that
revealed what she called “those facets of him”—the signatures that he had
embedded into the brand’s DNA since he first met the quintet of Fendi
sisters, including Venturini Fendi’s mother, Anna, in Rome in 1965.
Those signature touches included the stiff, high Edwardian collars
that Lagerfeld himself wore and riffs on the scissor-sharp tailoring with
geometric seams that he returned to every season. This time, those seams
defined a strong, sharp pagoda shoulder line or the A-line panels in a
perfectly fitted coat. There was also a play of layers and translucency that
included laser-perforated “fishnet” leather. The interlinked double F logo
(dubbed “Karligraphy”) that Lagerfeld himself invented in 1981 was
reimagined in the copperplate font of his own handwriting and woven into
hosiery or used as an intarsia on shearling. (The classic Fendi brown-and-
beige stripe, worked in shearling for an overscale frame-handle bag, was
one of the accessory hits of the collection.)
The furs, a category that Lagerfeld redefined with soaring imagination
and invention as a seasonless contemporary fashion item for Fendi,
included an overscale mink shirt with contrast intarsia suggesting the
shadow of the collar and pocket flaps; an amazing tone-on-tone effect of
Art Deco palm fronds worked into a black suit with a trim, ’40s silhouette;
and a perforated trenchcoat, the soft buff fur punctured to reveal flashes of
pale gold beneath the surface. “The last touch was the scarf,” said
Venturini Fendi, referring to the unexpected flourish of broad ribbon
threaded as a belt in back, ends fluttering, on many of the dresses and
coats, which lent a touch of disheveled romance to the clear-cut
silhouettes.
Lagerfeld’s longtime music collaborator Michel Gaubert, working
with Ryan Aguilar, set the show to a poignant biographical soundtrack that
began with Lou Reed and John Cale’s “Small Town,” a brilliant ode to
Andy Warhol (“No Michelangelo came out of Pittsburgh,”) via Stravinsky
and Ornella Vanoni’s lament “Sono Triste,” and ended in a finale file-past
to David Bowie’s “Heroes”—paralleling Lagerfeld’s own remarkable arc
from his childhood in Hamburg to his hard-earned position as an
internationally recognized and revered cultural icon. An icon, let it be said,
who never once contemplated retiring from the job that began seven
decades ago as a studio assistant with the thoroughly Parisian couturier
Pierre Balmain.
Terjemah;
Dia biasa memanggil saya 'la petite fille triste,'” kenang Silvia Venturini
Fendi dalam adegan emosional di belakang panggung di pertunjukan elegiac
Fendi, yang terakhir dirancang oleh mendiang Karl Lagerfeld, yang pertama
kali dia temui ketika dia berusia empat tahun. “Sekarang bukan waktunya
untuk bersedih,” tambahnya, mencatat bahwa Lagerfeld mengawasi setiap
tampilan dalam koleksi terfokus yang mengungkapkan apa yang disebutnya
“faset dirinya”—tanda tangan yang telah dia tanamkan ke dalam DNA merek
sejak dia pertama kali bertemu. kwintet saudara perempuan Fendi, termasuk
ibu Venturini Fendi, Anna, di Roma pada tahun 1965.
Sentuhan khas itu termasuk kerah Edwardian yang kaku dan tinggi yang
dikenakan Lagerfeld sendiri dan riff pada penjahitan setajam gunting dengan
jahitan geometris yang ia kembalikan ke setiap musim. Kali ini, keliman
tersebut membentuk garis bahu pagoda yang kuat dan tajam atau panel A-line
dalam mantel yang sangat pas. Ada juga permainan lapisan dan tembus cahaya
yang mencakup kulit "jala" berlubang laser. Logo F ganda yang saling terkait
(dijuluki "Karligraphy") yang Lagerfeld sendiri temukan pada tahun 1981
ditata ulang dalam font pelat tembaga tulisan tangannya sendiri dan ditenun
menjadi kaus kaki atau digunakan sebagai intarsia pada shearling. (Garis
coklat-dan-krem Fendi klasik, dikerjakan dengan mencukur untuk tas
pegangan bingkai yang terlalu besar, adalah salah satu koleksi aksesori yang
hits.)
Furs, kategori yang didefinisikan ulang oleh Lagerfeld dengan imajinasi
dan penemuan yang melonjak sebagai barang fesyen kontemporer tanpa
musim untuk Fendi, termasuk kemeja cerpelai berukuran besar dengan intarsia
kontras yang menunjukkan bayangan kerah dan penutup saku; efek tone-on-
tone yang luar biasa dari daun palem Art Deco bekerja menjadi setelan hitam
dengan siluet tahun 40-an yang ramping; dan jas parit berlubang, bulu buff
lembut tertusuk untuk memperlihatkan kilatan emas pucat di bawah
permukaan. “Sentuhan terakhir adalah syal,” kata Venturini Fendi, mengacu
pada hiasan tak terduga dari pita lebar yang dililitkan sebagai ikat pinggang di
belakang, ujungnya berkibar, pada banyak gaun dan mantel, yang memberikan
sentuhan asmara acak-acakan. potong siluet.
Kolaborator musik lama Lagerfeld, Michel Gaubert, bekerja dengan Ryan
Aguilar, mengatur pertunjukan menjadi soundtrack biografi yang menyentuh
yang dimulai dengan “Kota Kecil” karya Lou Reed dan John Cale, sebuah
syair brilian untuk Andy Warhol (“Tidak ada Michelangelo yang keluar dari
Pittsburgh,”) melalui ratapan Stravinsky dan Ornella Vanoni "Sono Triste,"
dan diakhiri dengan file terakhir dari "Pahlawan" David Bowie—paralel busur
luar biasa Lagerfeld sendiri dari masa kecilnya di Hamburg ke posisinya yang
diperoleh dengan susah payah sebagai ikon budaya yang diakui dan dihormati
secara internasional . Seorang ikon, biarlah dikatakan, yang tidak pernah
berpikir untuk pensiun dari pekerjaan yang dimulai tujuh dekade lalu sebagai
asisten studio dengan couturier Paris Pierre Balmain.

Jumlah outfit yg di showkan :


Gambar koleksi yang di showkan :

1. Koleksi ke – 2019 spring


Bags of bags, pockets upon pockets, and plenty of logos: Silvia Venturini
Fendi and Karl Lagerfeld were in utility mode at Fendi today. There were
exaggerated external tan leather pockets on a transparent vinyl raincoat worn
by Adwoa Aboah: that started it. Then there were puffy poacher pockets on
silk blouses and a utility jacket and brown leather jackets, pockets that had
their own smaller pockets on top of them, and cargo pants and parkas with
multiple pockets. Buckled in there, too, was the option of a tool kit belt with
pockets hanging off it.
Fendi is witnessing a generational shift in terms of who it appeals to;
Venturini Fendi has been watching it happen on social media. “I’ve seen on
Instagram all the young kids wearing their mothers’ Baguettes, so I
thought, Well, maybe it’s time,” she said. The Baguette was born in 1997. It
started small—“we only had five stores!” said Venturini Fendi—but it was a
runaway success, a contender for the title of “Very First It Bag.” The shape
eventually came in dozens of fabrications: As with the Pokémon craze, there
were collectors who had to catch ’em all.
There are different ways young people prefer to wear bags now, though, as
Venturini Fendi has analyzed it: not tucked under the armpit as before, but
front-loaded or cross-body like a fanny pack. It’s a trend that’s been
transported across from streetwear, in fact, and the Baguette has been
adapted to it. She pointed out how the original mini-bag now has a long and
short strap, “to wear two ways.”
There was a bigger Baguette, too—the one in denim, worn center-front with
a matching denim blazer and cargo pants, looked great. There were others,
embossed with FF logos nestling on top of totes as well. There was plenty to
take in beyond bags, too: parrot prints picked out from a carpet Lagerfeld had
chosen; corset-cummerbund dresses; romantic sheer dresses embroidered
with flowers. But the takeaway from this show was the rebirth of the house It
bag. The swing toward ’90s and 2000s taste has a lot more swing in it yet.
Terjemah;
Tas tas, saku demi saku, dan banyak logo: Silvia Venturini Fendi dan Karl
Lagerfeld sedang dalam mode utilitas di Fendi hari ini. Ada kantong kulit
cokelat luar yang berlebihan pada jas hujan vinil transparan yang dikenakan
oleh Adwoa Aboah: begitulah awalnya. Lalu ada kantong pemburu bengkak
pada blus sutra dan jaket serba guna dan jaket kulit cokelat, kantong yang
memiliki kantong lebih kecil di atasnya, dan celana kargo serta parka dengan
banyak kantong. Terikat di sana, juga, adalah pilihan sabuk perkakas dengan
saku menggantungnya.
Fendi menyaksikan pergeseran generasi dalam hal siapa yang menarik;
Venturini Fendi telah menyaksikan hal itu terjadi di media sosial. “Saya telah
melihat di Instagram semua anak kecil mengenakan Baguette ibu mereka,
jadi saya berpikir, Mungkin ini saatnya,” katanya. Baguette lahir pada tahun
1997. Dimulai dari kecil— “kami hanya memiliki lima toko!” kata Venturini
Fendi—tapi itu sukses besar, penantang gelar “Very First It Bag.” Bentuknya
akhirnya dibuat dalam lusinan buatan: Seperti halnya kegemaran Pokémon,
ada kolektor yang harus menangkap semuanya.
Ada beberapa cara berbeda yang disukai anak muda sekarang untuk
memakai tas, seperti
yang telah dianalisis oleh Venturini Fendi: tidak diselipkan di bawah ketiak
seperti sebelumnya, tetapi dimuat di depan atau disilang seperti tas pinggang.
Faktanya, ini adalah tren yang dipindahkan dari streetwear, dan Baguette
telah disesuaikan dengannya. Dia menunjukkan bagaimana tas mini asli
sekarang memiliki tali panjang dan pendek, "untuk dipakai dua arah".
Ada Baguette yang lebih besar juga — yang berbahan denim, dikenakan
di bagian depan tengah dengan blazer denim dan celana kargo yang serasi,
tampak bagus. Ada juga yang lain, yang dihias dengan logo FF yang terletak
di atas tas jinjing juga. Ada banyak hal yang bisa diambil di luar tas, juga:
cetakan burung beo yang diambil dari karpet yang dipilih Lagerfeld; gaun
korset-ikat pinggang; gaun tipis romantis bersulam bunga. Tapi yang bisa
diambil dari pertunjukan ini adalah kelahiran kembali tas rumah itu. Ayunan
menuju cita rasa tahun 90-an dan 2000-an memiliki lebih banyak ayunan di
dalamnya.

Deskripsi koleksi :
Jumlah outfit yg di showkan :
Gambar koleksi yang di showkan :

2. Koleksi ke – 2021
Deskripsi koleksi :

Last month at couture the English designer Kim Jones evoked a story long
meaningful to him, cast it with those he considers friends and family, and
articulated it through his newly-assumed role at Fendi. Today that dynamic
was neatly flipped. For his first women’s ready-to-wear show Jones delved
deep into some of the stories most meaningful to the Roman house—hat-
tipping along the way the many people who previously helped shape it—and
thus began in earnest the process of adding his new voice to that narrative.

“So that was England to Rome,” said Jones of couture, “and this is
England in Rome. Where we start.” But where exactly do you start with
Fendi? Like Rome itself this house bristles with monuments of design,
historical landmarks, and beguilingly beautiful vistas. Also like Rome itself,
Fendi wasn’t built in a day: Adele and Eduardo Fendi opened their first shop
on Via del Plebiscito back in 1926, dropping their first Selleria bags and
leather goods six years later. Quite a lot has happened since.

Wisely, Jones neither committed himself to reflecting every aspect of the


Fendi story (impossible), nor contained himself to narrowly defined elements
of it (limiting). Instead he allowed the collection to unfold for the watcher as
the city unfolds for the visitor, a multitude that coalesces towards the
impression of a whole.

The models walked through a group of Damien Hirst-ish, F-shaped


vitrines in which were scattered a multitude of apparent architectural
fragments not unlike those that ornament the Roman Forum. The looks were
all in neutral shades, both to reflect the mineral colors of the city and the
organic shades that have dominated in Fendi’s history. Each evoked
fragments of the different creative voices that have filled Fendi’s own
creative forum; we were sightseeing Fendi through Jones’s eyes.

Spaghetti-fringed furs in contrasting herringbone, house Pequin striped


silk shirting, and the opening loose-sleeved suede bonded mink evoked the
period of Fendi’s first great flowering under the stewardship of the founders’
five daughters Paola, Anna, Franca, Carla, and Alda. It was they who
recruited Karl Lagerfeld in 1965, and his great influence was stamped most
clearly in a soft tote whose F-framed handle evoked his famous “Fun Fur” of
that period. It was visible too in a series of silhouettes homaging a few of the
more than 70,000 Lagerfeld sketches in the house archive that Silvia
Venturini Fendi had shown Jones during his immersion in the house.
Significantly, these were often punctuated with the 1981 “Karligraphy”
monogram. This had also featured in Jones’s couture debut and Lagerfeld’s
final, posthumously presented collection at the house for fall 2019 to act as
the punctuation mark linking two chapters in Fendi’s longer story: Ars longa,
Vita brevis.

Much of this collection was concerned with precedent represented, but


there was significant progression too. The grandest fur on show, Look 18,
was a long-haired fox whose raw material had been upcycled from previous
pieces. Jones said of upcycled fur “that it is probably more challenging to
work with for the artisans, but they enjoy being challenged.” He also pointed
to the abundance of by-product shearling—beautiful—and added that his
approach in this regard is to balance two questions: “a) What does the
customer want and b) What can we do ethically?”
“Turn the wheel and this way steer,” intoned the spoken word on Michel
Gaubert’s soundtrack, “embrace the future and kiss”: That upcycled coat
seemed to augur a direction-changing kiss upon Fendi’s tiller. And the
potential for reinvention was framed steadily within the context of continuity,
family, and history. Elements of all were embodied via the collaboration of
Silvia Venturini Fendi, Jones’s chief guide to his new domain, and her
daughter Delfina Delettrez, who is now Fendi’s creative director for jewelry.
Jones said that mother and daughter acted as both muses, and also as creative
collaborators (the Campania made, Look 35 Baguette bag in hardwood is the
latest in the Silvia-driven “hand in hand” artisan maker initiative).

On a Zoom, Silvia laughed as she recalled Lagerfeld’s insistence never to


reference his own archive. “He would always say ‘does this remind me of
something I’ve already done?’ And even if it was a yes, I always had to say,
‘Oh no!’ ”

With Jones, the story had been to understand the story; she had gone back
right to the start of the Fendi archive and traced with him its progress from
artisan store to global brand. “It’s been beautiful to see how he perceives it
with a different eye…. His background shows us he understands codes, and I
think he is the perfect person to bring Fendi to the next level.” Jones has
taken his place inside Fendi's Roman forum.

Terjemahan;

Bulan lalu di couture, desainer Inggris Kim Jones membangkitkan sebuah


cerita yang sangat berarti baginya, melemparkannya dengan orang-orang yang
dia anggap sebagai teman dan keluarga, dan mengartikulasikannya melalui
peran barunya di Fendi. Hari ini dinamika itu dibalik dengan rapi. Untuk
pertunjukan pakaian siap pakai wanita pertamanya, Jones menggali jauh ke
dalam beberapa cerita yang paling berarti bagi rumah Romawi — memberi tip
kepada banyak orang yang sebelumnya membantu membentuknya — dan
dengan demikian memulai dengan sungguh-sungguh proses penambahannya.
suara baru untuk narasi itu.

“Jadi itu Inggris ke Roma,” kata Jones dari couture, “dan ini Inggris di
Roma. Di mana kita mulai.” Tapi di mana tepatnya Anda mulai dengan Fendi?
Seperti Roma sendiri, rumah ini penuh dengan monumen desain, landmark
bersejarah, dan pemandangan yang sangat indah. Juga seperti Roma itu
sendiri, Fendi tidak dibangun dalam sehari: Adele dan Eduardo Fendi
membuka toko pertama mereka di Via del Plebiscito pada tahun 1926, menjual
tas Selleria dan barang-barang kulit pertama mereka enam tahun kemudian.
Cukup banyak yang telah terjadi sejak itu.

Dengan bijak, Jones tidak berkomitmen untuk merefleksikan setiap aspek


cerita Fendi (tidak mungkin), atau membatasi dirinya pada elemen-elemen
yang didefinisikan secara sempit (membatasi). Alih-alih, dia membiarkan
koleksi itu terungkap bagi pengamat saat kota terbentang bagi pengunjung,
banyak yang menyatu menuju kesan keseluruhan.
Model berjalan melalui sekelompok Damien Hirst-ish, vitrine berbentuk F
yang tersebar banyak fragmen arsitektur yang tampak tidak berbeda dengan
yang menghiasi Forum Romawi. Tampilannya semuanya dalam nuansa netral,
baik untuk mencerminkan warna mineral kota maupun nuansa organik yang
mendominasi sejarah Fendi. Masing-masing membangkitkan penggalan dari
berbagai suara kreatif yang mengisi forum kreatif Fendi sendiri; kami melihat-
lihat Fendi melalui mata Jones.

Bulu berpinggiran spageti dengan tulang herring yang kontras, kaus sutra
bergaris rumah Pequin, dan cerpelai berikat suede berlengan longgar
membangkitkan periode pembungaan besar pertama Fendi di bawah
pengawasan lima putri pendiri, Paola, Anna, Franca, Carla, dan Alda .
Merekalah yang merekrut Karl Lagerfeld pada tahun 1965, dan pengaruhnya
yang besar dicap paling jelas dalam tas jinjing lembut yang pegangan
berbingkai F-nya membangkitkan "Fun Fur" yang terkenal pada periode itu.
Itu juga terlihat dalam serangkaian siluet penghormatan beberapa dari lebih
dari 70.000 sketsa Lagerfeld di arsip rumah yang ditunjukkan Silvia Venturini
Fendi kepada Jones selama perendamannya di dalam rumah. Secara
signifikan, ini sering diselingi dengan monogram "Karligraphy" tahun 1981.
Ini juga ditampilkan dalam debut couture Jones dan koleksi terakhir Lagerfeld
yang disajikan secara anumerta di rumah untuk musim gugur 2019 untuk
bertindak sebagai tanda baca yang menghubungkan dua bab dalam cerita
Fendi yang lebih panjang: Ars longa, Vita brevis.

Sebagian besar dari koleksi ini berkaitan dengan preseden yang diwakili,
tetapi ada juga perkembangan yang signifikan. Bulu termegah yang
dipamerkan, Look 18, adalah rubah berambut panjang yang bahan bakunya
telah didaur ulang dari potongan sebelumnya. Jones berkata tentang bulu yang
didaur ulang "bahwa mungkin lebih menantang untuk dikerjakan oleh para
pengrajin, tetapi mereka senang ditantang." Dia juga menunjukkan banyaknya
produk sampingan pencukuran—indah—dan menambahkan bahwa
pendekatannya dalam hal ini adalah untuk menyeimbangkan dua pertanyaan:
“a) Apa yang diinginkan pelanggan dan b) Apa yang dapat kita lakukan secara
etis?”

“Putar kemudi dan arahkan ke sini,” melantunkan kata yang diucapkan di


soundtrack Michel Gaubert, “rangkul masa depan dan cium”: Mantel yang
didaur ulang itu sepertinya memberi ciuman yang mengubah arah pada anakan
Fendi. Dan potensi reinvention dibingkai dengan mantap dalam konteks
kesinambungan, keluarga, dan sejarah. Semua elemen diwujudkan melalui
kolaborasi Silvia Venturini Fendi, pemandu utama Jones ke domain barunya,
dan putrinya Delfina Delettrez, yang sekarang menjadi direktur kreatif Fendi
untuk perhiasan. Jones mengatakan bahwa ibu dan anak bertindak sebagai
renungan, dan juga sebagai kolaborator kreatif (tas buatan Campania, Look 35
Baguette berbahan kayu keras adalah yang terbaru dalam inisiatif pembuat
"bergandengan tangan" yang digerakkan oleh Silvia).

Di Zoom, Silvia tertawa saat mengingat desakan Lagerfeld untuk tidak


pernah merujuk arsipnya sendiri. “Dia akan selalu mengatakan 'apakah ini
mengingatkan saya pada sesuatu yang telah saya lakukan?' Dan bahkan jika itu
ya, saya selalu harus mengatakan, 'Oh tidak!'"

Dengan Jones, ceritanya adalah untuk memahami ceritanya; dia telah


kembali ke awal arsip Fendi dan menelusuri bersamanya kemajuannya dari
toko artisan menjadi merek global. “Sungguh indah melihat bagaimana dia
memandangnya dengan mata yang berbeda Latar belakangnya menunjukkan
kepada kita bahwa dia memahami kode, dan menurut saya dia adalah orang
yang tepat untuk membawa Fendi ke level berikutnya.” Jones telah mengambil
tempatnya di dalam forum Romawi Fendi.

Jumlah outfit yg di showkan :

Gambar koleksi yang di showkan :

3. Koleksi ke -2020

Silvia Venturini Fendi described it as “a solar mood”: that anxiety-free state


of sun-kissed, serotonin-boosted, high-summer bliss that the Italians—with
their enviably looong August holiday—know exactly how to cultivate. She
said that she gets her solar hit at the family house on Ponza. “The island
between Rome and Naples where you can see the most beautiful sunrises and
sunsets, I think, in the world . . . I think when you are in this period of year,
you feel more liberated and relaxed than at any time, and you have that
feeling of being ready for new experiences.”

Today’s theme—summer for a Spring/Summer collection—was probably


purposefully straightforward in a season that represents both a reset and a
new experience for Venturini Fendi. She has, for many years, had her hand in
the creation of Fendi womenswear, but as she said of Karl Lagerfeld, “He
was the captain! So my life has changed in the way that now I decide.
Before, there was a dialogue, a big dialogue. So today I feel the
responsibility very much because the choices are mine—no compromise.”

That is not to say she is alone. She cited her team, “who is always there.”
Charlotte Stockdale, Amanda Harlech, and Venturini Fendi’s daughters
Delfina and Leonetta are key creative counselors: “They are always tough
enough to tell me the truth. I think it is important to surround yourself with
people who don’t always say, ‘This is beautiful.’”

The sun rose on Fendi’s new day to reveal a languidly relaxed collection of
clothing into which was embedded the artisanal expertise for which the house
is renowned. A double-face, vaguely psychedelic, floral-print Lycra shirt’s
collar and cuffs were etched in mink. A long, floral Lycra robe-jacket featured
overlaid panels of dyed floral-pattern fur, which matched fur-floral beach
totes. Wide-weave bags in brown ribbons of leather were intertwined with
ribbons of yellow-dyed fur. Brown suede wrap dresses and trenches, lightly
perforated to let the breeze pass through, were engagingly loose. A long,
Fendi-brown micro-check skirt made of opaque organza was worn beneath a
wide-gauge knit racer-back tank with a dipping side-split hem.
Also opaque yet still visible was an imprint of Venturini Fendi’s own personal style in
the superlight organic washed-cotton workwear pieces—most of all the jacket worn
by Selena Forrest—which the designer said she had placed against synthetic twists
(such as Forrest’s shiny green-check organza shirt) to mirror the day-to-day yin and
yang of digital life and real. The use of some relatively humble materials—a white
terry skirt beneath that fur Lycra shirt, the quilted cotton “shower curtain” floral dress
at the end—reflected her will to make a collection that would be desired as much for
its wearability as its editorial appeal. This carried through into the wedge moccasins
—“not a single high heel in the show!”—and a slouchy, heavily textured pink
cardigan worn over a tiered organza and floral-print fur dress.

“You think of the practicality of things,” said Venturini Fendi. “I want women to feel
natural and good in these clothes.” Nobody knows Fendi like a Fendi.

Terjemah;

Silvia Venturini Fendi menggambarkannya sebagai "suasana matahari":


kebahagiaan musim panas tinggi yang dicium oleh sinar matahari, didorong oleh
serotonin, dan bebas kecemasan yang orang Italia — dengan liburan Agustus mereka
yang membuat iri — tahu persis bagaimana mengolahnya. Dia berkata bahwa dia
terkena sinar matahari di rumah keluarga di Ponza. “Pulau antara Roma dan Napoli
tempat Anda bisa melihat matahari terbit dan terbenam yang paling indah, menurut
saya, di dunia. . . Saya pikir ketika Anda berada dalam periode tahun ini, Anda merasa
lebih bebas dan santai daripada kapan pun, dan Anda merasa siap untuk pengalaman
baru
Tema hari ini—musim panas untuk koleksi Musim Semi/Musim Panas—mungkin
sengaja dibuat lugas di musim yang mewakili pengaturan ulang dan pengalaman baru
untuk Venturini Fendi. Dia telah, selama bertahun-tahun, terlibat dalam pembuatan
pakaian wanita Fendi, tetapi seperti yang dia katakan tentang Karl Lagerfeld, “Dia
adalah kaptennya! Jadi hidup saya telah berubah dengan cara yang sekarang saya
putuskan. Sebelumnya, ada dialog, dialog besar. Jadi hari ini saya sangat merasakan
tanggung jawab karena pilihan ada di tangan saya—tidak ada kompromi.”
Itu tidak berarti dia sendirian. Dia mengutip timnya, "yang selalu ada." Charlotte
Stockdale, Amanda Harlech, dan putri Venturini Fendi Delfina dan Leonetta adalah
konselor kreatif utama: “Mereka selalu cukup tangguh untuk mengatakan yang
sebenarnya. Saya pikir penting untuk mengelilingi diri Anda dengan orang-orang
yang tidak selalu berkata, 'Ini indah.'”
Matahari terbit di hari baru Fendi untuk memperlihatkan koleksi pakaian yang
santai dan santai yang tertanam keahlian artisanal yang membuat rumah itu terkenal.
Kerah dan manset kemeja Lycra bermotif bunga berwajah ganda, samar-samar
psikedelik, tergores dalam cerpelai. Jaket-jubah Lycra bermotif bunga panjang
menampilkan panel-panel bulu bermotif bunga-bunga yang dilapis, yang serasi
dengan tas jinjing bulu-bunga di pantai. Tas anyaman lebar dengan pita kulit coklat
terjalin dengan pita bulu berwarna kuning. Gaun dan parit balutan suede berwarna
cokelat, berlubang ringan agar angin sepoi-sepoi bisa lewat, sangat longgar. Rok
micro-check panjang Fendi-cokelat yang terbuat dari organza buram dikenakan di
bawah tanki racer-back rajutan ukuran lebar dengan keliman belah samping yang
mencelupkan.
Juga buram namun masih terlihat adalah jejak gaya pribadi Venturini Fendi sendiri
dalam potongan pakaian kerja katun organik super ringan — kebanyakan dari semua
jaket yang dikenakan oleh Selena Forrest — yang menurut perancang telah
ditempatkan pada lilitan sintetis (seperti warna hijau mengkilap Forrest). -periksa
kemeja organza) untuk mencerminkan yin dan yang sehari-hari dari kehidupan digital
dan nyata. Penggunaan beberapa bahan yang relatif sederhana — rok terry putih di
bawah kemeja Lycra bulu itu, gaun bunga "tirai kamar mandi" katun berlapis di
bagian akhir — mencerminkan keinginannya untuk membuat koleksi yang diinginkan
karena daya tahan pakainya seperti halnya editorialnya. menarik. Hal ini terbawa ke
dalam mokasin baji— “tidak ada satu pun sepatu hak tinggi dalam pertunjukan!” —
dan kardigan merah muda bertekstur berat yang dikenakan di atas organza berjenjang
dan gaun bulu bermotif bunga.
“Anda memikirkan kepraktisan,” kata Venturini Fendi. "Saya ingin wanita merasa
alami dan nyaman dengan pakaian ini." Tidak ada yang mengenal Fendi seperti Fendi.

Deskripsi koleksi :
Jumlah outfit yg di showkan :
Gambar koleksi yang di showkan : (minimal 80%)
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN

3.2. KRITIK DAN SARAN

Anda mungkin juga menyukai