Anda di halaman 1dari 3

1

POLICY BRIEF

MENGKAJI KEBIJAKAN HUMAN TRAFFICKING


DI INDONESIA OLEH : RIFKI MUHAMMAD (202110050311094)

M araknya kasus perdagangan orang atau “Human Trafficking” itu


tidak lepas dari permasalahan mengenai kemiskinan yang biasa
disebabkan karena lapangan pekerjaan yang sulit, sehingga hal ini
mengakibatkan banyaknya orang berinisiatif untuk mencari
pekerjaan atau penghasilan di luar negeri. Kemiskinan dan
terbatasnya kesempatan kerja ini menjadi faktor utama pemicu
seseorang menjadi buruh migran. Apalagi diiming-imingi dengan
gaji besar di luar negeri. Ini adalah modus untuk menjerat korban
dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Ditambah lagi
dengan adanya sindikat oknum dan penyalur tenaga kerja.

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia bersama Kedutaan Besar


2016

478
Amerika Serikat menghimpun data berdasarkan laporan kasus-kasus
perdagangan orang di Indonesia yang masuk ke Kemenlu RI. Data yang
2017

340
dihimpun menyebutkan, pada tahun 2016 Kemenlu menerima 478 kasus
2018

164 perdagangan manusia yang melibatkan warga Indonesia. Pada 2017, jumlah
laporan yang diterima Kemenlu turun di angka 340 kasus, kemudian kembali
2019

259
turun pada tahun 2018 menyentuh angka 164 kasus yang dilaporkan.
2020

383 Namun, angka pelaporan kasus perdagangan manusia ini kembali naik pada
tahun 2019 menjadi 259 kasus serta tahun 2020 menjadi 383 kasus
2021

361 perdagangan manusia yang dilaporkan ke Kemenlu. Sementara pada tahun


2021 sendiri mengalami penurunan hingga mencapai 361 kasus dan naik
2022

752
100% hingga mencapai total 752 kasus pada tahun 2022.

Sesuai Laporan International Organization for Migration (IOM) Indonesia yang menyatakan bahwa angka
kasus perdagangan orang tertinggi di Indonesia terjadi di daerah :
Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Nusa Tenggara Timur

Nusa Tenggara Barat Banten Kalimantan Barat Lampung


2
DILEMATIS PENANGANAN KASUS

M enanggapi hal itu, pemerintah sudah mempunyai instrumen untuk menangani TPPO, mulai dari Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sampai unsur aparatur Kepolisian Republik Indonesia
dan Badan Intelijen Negera (BIN), namun masih sulit membongkar sindikat TPPO. Dalam UU tersebut memberikan dasar hukum
bagi pemberantasan perdagangan orang dan memberikan sanksi yang tegas bagi para pelaku.
Pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga dibentuk sesuai dengan
Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 yang kemudian diberlakukan perubahan menjadi Peraturan Presiden Nomor 22
Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak
Pidana Perdagangan Orang tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Selain itu,
tentunya pemerintah melakukan kerja sama dengan pihak luar negeri dalam kasus perdagangan orang ini melalui Permintaan
Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance) yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum
Timbal Balik dalam Masalah Pidana serta Ekstradisi yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Tentunya
dengan penyelenggaraan kerja sama turut meningkatkan kerangka hukum dalam permasalahan perdagangan orang.

Berdasarkan laporan kasus terjadinya perdagangan orang di Tentunya dengan belum tertanganinya faktor-faktor
Indonesia, selain faktor utama penyebab perdagangan orang ialah penyebab terjadinya perdagangan orang di Indonesia,
kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan. Penyebab lainnya seharusnya pemerintah harus lebih memperhatikan
ialah seperti rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia, mengenai permasalahan yang mengancam hak-hak
perdagangan seksual dan paksaan kekerasan. masyarakat sebagai warga negara untuk dapat
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2020 angka perlindungan. Dengan adanya Gugus Tugas Pencegahan
putus sekolah di jenjang SMA mencapai 1,38%. Angka putus dan Penanganan TPPO juga belum dapat menjamin
sekolah di jenjang SMP sebesar 1,06%. Sementara, angka putus berkurangnya perdagangan orang di Indonesia, melainkan
sekolah di jenjang SD sebesar 0,13%. Tentunya dengan adanya perlu lagi upaya peningkatan dalam pelaksanaan Gugus
tingkat pendidikan yang rendah tersebut menjadi salah satu faktor Tugas tersebut mengingat banyaknya modus perdagangan
terbesar selain kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan orang yang terjadi saat ini.
dalam kasus perdagangan orang di Indonesia. Dilihat dari sisi kebijakan, terdapat beberapa indikator
aturan yang dirasa kurang diatur secara komprehensif
mengenai aturan sesuai dengan Protokol Palermo oleh
PBB sebagai acuan mendasar sebagai Peraturan
Internasional yang membahas mengenai perdagangan
orang untuk dapat dijadikan pedoman bagi setiap negara
dalam mengatur mengenai perdagangan orang.
Dengan adanya hal tersebut, tentunya menjadi upaya
alternatif bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan
dapat menyesuaikan kembali bagaimana kebijakan
mengenai perdagangan orang kini dengan Protokol
Palermo. Sehingga harapannya dapat meminimalisir
terjadinya kasus perdagangan orang dan mampu
menyikapi permasalahan tersebut melalui kebijakan yang
mumpuni dalam penanganan kasusnya.
3
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Hal yang telah disampaikan sebelumnya dapat diperkuat melalui Laporan Tahunan Perdagangan Orang Tahun 2022 dari
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dengan melihat negara-negara yang telah sukses meminimalisir terjadinya
perdagangan orang dengan melakukan penyesuaian dengan Protokol Palermo tersebut, seperti Belanda dan Swiss yang
berada pada tingkat 1 dalam standar penanganan perdagangan orang. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan mereka
sepenuhnya memenuhi standar minimum dalam upaya pemberantasan perdagangan orang.
Oleh karena itu, berikut menjadi sebuah rekomendasi kebijakan dalam upaya penanganan dan pemberantasan
perdagangan orang di Indonesia:

PENGATURAN TINDAK PIDANA


UU PTPPO Indonesia tidak mengatur semua perbuatan/proses
perdagangan orang dalam Protokol Palermo. Keterbatasan pengaturan
ini mengakibatkan lemahnya penegakan hukum untuk kasus-kasus
tertentu di Indonesia. Sehingga perlu memperhatikan setiap kosa kata
dalam kebijakan tersebut. Sebagai contoh dalam pasal 3 dan 4 UU
No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO bahwa proses perdagangan orang
yang terjadi dengan tujuan eksploitasi terbatas yaitu hanya
“membawa” orang ke luar negeri dan “memasukkan” orang ke dalam
negeri.
MEMPERTEGAS PERSETUJUAN KORBAN TIDAK
MENGHILANGKAN TUNTUTAN PIDANA
Ketentuan ini telah dimuat dalam Pasal 26 UU No. 21 Tahun 2007
tentang PTPPO seharusnya rumusan memuat tidak hanya dalam kerangka
penuntutan, terlepas memang juga diperlukan perbaikan dalam proses
penegakan hukum. Sehingga penggalian persetujuan oleh aparat penegak
hukum yang seharusnya tidak dilakukan. Seringkali terjadi bahwa ketika
korban setuju bekerja dengan pelaku, maka hakim mendasari tidak
terpenuhinya unsur eksploitasi berdasarkan fakta hukum atas penegasan
persetujuan korban tersebut.
JAMINAN IMPLEMENTASI RESTITUSI DIPERKUAT
UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO sebenarnya lebih baik
dalam mengatur jaminan restitusi, yaitu dengan memperkenalkan
mekanisme sita aset untuk pembayaran restitusi. Namun, dalam REFERENSI :
implementasinya hal ini tidak dilakukan. Laporan TPPO Kementerin 1. Laporan MPR, Tindak Pidana
PPPA 2018 juga telah menyatakan perlu revisi peraturan terkait Perdagangan Orang “Negara Harus
TPPO, khusus kepastian pembayaran restitusi, penyitaan harta benda, Hadir Melindungi Warga dari TPPO”
dan pemberatan hukum. Selama ini ketentuan baik dalam UU PTPPO 2. Laporan IOM UN IMIGRATION,
hanya rangkaian kata, tanpa implementasi dan aturan implementasi Panduan Penanganan TPPO
yang jelas. 3. BPS, Statistik Pendidikan Indonesia
Tahun 2022
4. Institute For Criminal Justice Reform
(ICJR), Mereformasi Kebijakan
Perdagangan Orang di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai