Pusparagram
Puisi, Esai,
dan Cerpen
Pengantar
Prof. Suminto A. Sayuti
PIRANTI KATA
Penulis:
Frans Apriliadi, dkk
Penyerasi aksara:
Oktavia Fitriani
Arief Kurniatama
Faozan Tri Nugroho
Pracetak:
Shalakhudin Rahmat
Erlina Hidayati
Tata isi:
Mawaidi D. Mas
Diterbitkan oleh:
CV. Nakomu
Cangkring Malang, RT/RW 01/05, Sidomulyo
Megaluh, Jombang
E-Mail: kertasentuh@gmail.com
WA: 085-850-5857-00
Catatan Pengantar:
Suminto A. Sayuti
Kertodadi-Pakembinangun, 2020
DAFTAR ISI
Pusparagram
Puisi .......................................................................................................... 1
Esai .......................................................................................................... 35
Cerpen ..................................................................................................... 106
Epilog
Puisi dan Moment .................................................................................... 196
Esai dan Hampa yang Pemalas ................................................................. 199
Presensi,Godaan Imajinasi dan Dosa Bersama .......................................... 204
AZIZI
AZIZI
Sini ...
Duduk sebentar
Secangkir lemon hangat
Buat singkat terpaan dingin yang mengoyak kemudaan
Lelah adanya
Renta memeluk
Pembaringan kita mulai rindu
Menjamah hasrat kita yang linu
Cukuplah menari
Mari berbaring
4
Sini ...
Dekat-dekat biar hangat
Dingin malam kian melekat
Sayang, lebih merapat
agar jelas rautmu kulihat
Kopi Pahit
Menyambut Kedatanganmu
Jika #1
Jika #2
Wayang
Darulfana
NURI HANDIYANI
NURI HANDIYANI
Sekapan Pembodohan
Kesombongan
Namun kini
Engkau menjadi tujuan dari anjing-anjing asing
Yang perlahan mulai menggerogoti sudut-sudut keindahanmu
Satu pintaku,
Tetaplah berhati nyaman
Agar kelak anak cucuku dapat menikmati kenyamanan
ini Kenyamanan yang perlahan mulau memudar ...
16
IKA NAFISATUR R
IKA NAFISATUR R
MELANI YULIAWATI
MELANI YULIAWATI
Waktu
Di sebuah negeri
Waktu berhenti
berputar Jam dinding
meleleh Sebab
Setiap nafas tanpa masa lampau
Setiap sukma tanpa masa depan
Lihatlah!
Bandit, copet, maling dan
penipu Berbedak gincu
Di istana mewah berkuasa
Bersulang anggur pembesar
negeri Serupa zaman purba
Rakyat dipaham maknakan
Ulat, cacing, dan belalang
20
Di sebuah negeri
Waktu berhenti berputar
Jam dinding meleleh
Sebab
Pembesar negeri pesta pora tanpa henti
Kala rakyat terbenam genangan air mata
Sebab
sekerat kemanusiaan segumpal
kerakyatan dimuliakan dengan
kepalsuan dan engkau para
pujangga
tertusuk labirin peradaban hantu
dan kaum intelektual dibisukan
takdir kuasa dunia hitam
dan para agamawan terhampar tsunami kemunafikan
Begitu perih,
ternyata ini Indonesia, tanah yang sangat aku
banggakan Oh begitu perih
21
Hari Tuamu
Tentang Hujan
Suara Bumi #2
Alam
Ku buka mata
cahaya pagi menembus kaca
jendela Kubuka jendela
Kuhirup udara segar
SRI SUNDARTI
Waktumu
SRI SUNDARTI
Jejak Kekasih
SYAFIRA MAHFUZI
Alunan Asmara
SYAFIRA MAHFUZI
Selamat Tidur
ANASTASIA SISKA B
Di Atas Kasur
ANASTASIA SISKA B
Tapi ...
Aku takut
Akan waktu yang tak sampai pada inginku
Akan waktu yang tak akan menemaniku
Akan waktu yang hilang dariku
Jikalau ia hilang
Aku ingin terukir disetiap waktu, ketika aku tak
dapat lagi menemui waktu
Aku ingin terukir indah, disetiap mata dan jiwa yang kutemui
Bantu aku untuk mengukir setiap waktu yang tak akan kutemui
31
Bila Nanti
Yogyakarta
ADI S. SOEJARWADI
Fase
kanak-
kanak muda
dewasa
tua
belum tentu mengalami semuanya......
34
ADI S. SOEJARWADI
Lelaki
Kurniani Oktaviani
Anjasmara.
Damarwulan sebenarnya tahu nasibnya bagaikan buah
simalakama. Jika ia menang melawan Minak Jinggo, maka ia
akan dianugerahi jabatan dan ia akan menjadi kaum elit
kerajaan Majapahit. Ia pun akan diminta menikah dengan
perempuan lain yang lebih elit. Akan tetapi, pilihan itu terasa
absurd karena Minak Jinggo sangat tangguh dan sakti.
Kemungkinan yang paling besar adalah Damarwulan dan
Minak Jinggo akan bertarung sampai mati. Damarwulan yang
telah beristrikan Anjasmara berhasil mengalahkan Minak
Jinggo sehingga dinobatkan menjadi Raja Majapahit dan
menikah dengan Ratu Kenconowungu. Kekalahan Minak
Jinggo ini berkat petunjuk dua istri Minak Jinggo yang
kemudian juga menjadi istri Damarwulan. Maka, pertemuan
ini adalah pertemuan yang terakhir bagi dua kekasih itu.
Selanjutnya, pada baris selanjutnya adalah lalu ia
tahuperempuan itu tak akan menangis/ Sebab bila esok pagi
pada rumput halaman ada tapak yang menjauh/ ke utara,/ ia
tak akan mencatat yang telah lewat dan yang/ akan tiba,/
karena ia tak berani lagi/. Damarwulan (ia) tahu bahwa
Anjasmaraadalah seorang gadis yang tegar sehingga dia tidak
akan menangis sekalipun nanti pagi ada tapak kaki diri
Damarwulan yang menuju utara, menuju medan perang. Dia
(Anjasmara) membuang semua masa lalu dalam kepalanya
hingga dia tidak mempunyai lagi alasan untuk bersedih.
Akhirnya dalam baris terakhir Anjasmara, adikku,tinggallah,
seperti dulu/ Bulan pun lamban dalam anginnya, abai dalam
waktu/ Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan/ Wajahku/
Kulupakan wajahmu/. Damarwulan meminta agar
39
harus mengisi hidup ini dengan baik sampai kita mati. Secara
tersirat puisi tersebut mengajarkan pada pembaca tentang arti
kehidupan, perpisahan, keluarga, dan rasa kasih sayang.
Daftar Pustaka
Arief Kurniatama
tak berbapak, sama seperti Re: yang ketika lahir tak memiliki
ayah. Melur dititipkan pada Bu Marlina dan Pak Sutadi yang
merupakan tetangga Shinta, sahabat Re: di pelacuran Mami
Lani. Shinta telah meninggal beberapa minggu yang lalu,
kabarnya dia ditabrak oleh mobil di depan lobi hotel.
Oktavia Fitriani
Daftar Pustaka
Adisusilo, Sutarjo. 2012. Pembelajaran Nilai
Karakter:Konstruktivisme dan VCT sebagai Inovasi
Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Rajawali
Pers.
Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Purwadi dan Afendy Widayat. 2006. Seni Karawitan Jawa:
Ungkapan Keindahan dalam Musik Gamelan.
Yogyakarta:Hanan Pustaka.
54
Risma Erniyati
seperti ini “Saya Togog, penulis cerita ini . . . tahu diri betapacerita
ini tidak menarik, dibuat dengan ngawur, tergesa-gesa, terkantuk-
kantuk, berlari dari kota ke kota, tanpa pernah mau belajar, ditulis
tanpa perenungan, berpura-pura pintar, padahal tidak ada isinya
sama sekali . . ., Tolong sampaikan agar cerita ini tidak usah
dibaca, karena membuang waktu, pikiran, dan tenaga. Sungguh
hanya suatu omong kosong belaka . . . (Kitab OmongKosong, 2013:
442-444). Sebuah epilog yang nakal, dalam, dan membutuhkan
pemikiran yang dalam untuk memahaminya.
Pertanyaan terakhir saya adalah “mengapa setiap selesai
membaca karya sastra selalu menyisakan banyak tanya? Maka
dari situ saya akan melahirkan tradisi kritik tanpa ingin disela.
Mengapa cerita dalam karya sastra tidak ditulis ringkas agar
tidak terkesan nyinyir dan menggurui? Maka jawabnya, sebab,
hidup adalah kita sendiri yang menentukan. “Tulislah
ceritamusendiri, maka engkau akan menjadi sebuah pribadi”
(KitabOmong Kosong, 2013: 369). Jika benar kau pintar
bercerita, pastikan bahwa kau jadi pendengar yang baik pula
pada setiap cerita. Siapkan seluruh indera, ambillah sebuah
makna, pahami, dan ketahuilah kebenarannya.
Referensi
Muharromatus Saadah
....
Tentu kita bertanya:
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa?”
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala. Dan
di dalam udara yang panas kita juga bertanya: Kita
ini dididik untuk memihak yang mana? Ilmu-ilmu
yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan?
Tantri Darmayanti
Daftar Pustaka
Pertentangan Ideologi
dalam Cerpen “Ikan Kaleng”
Maratul Azizah
Pada ending cerita ini kita akan dibuat kagum oleh tekad
sosok pemimpin suku Lat yang tidak mau menyekolahkan
anaknya di sekolah formal, tetapi bersemangat untuk bisa
membuat ikan kaleng (sarden). Dia akan mengarungi
samudera menuju Jawa Timur tempat memproduksi ikan
kaleng. Pemikiran dia patut untuk diapresiasi karena ingin
memajukan perekonomian dengan cara meningkatkan nilai
jual ikan laut. Sebenarnya potensi untuk maju dan berpikir
cedas sudah ada dalam pikiran tokoh ini. Seandainya ditambah
dengan polesan pedidikan formal tentu tidak akan kalah
dengan pengusaha-pengusaha sukses di negeri ini. Ideologi
tokoh pemimpin suku Lat ini menurut saya adalah hidup
untuk mencari uang, tak perlu mengenyam pendidikan formal
yang hanya pamer angka namun tak mahir menangkap ikan.
Setelah membaca cerpen ini saya menjadi sadar, bahwa
sebenarnya keberadaan sekolah nonformal memang perlu,
74
Referensi:
Ayu Chandra S.
kaum jelata.
Dalam menyikapi novel sejarah, pembaca besar
kemungkinannya tidak menemukan cerita yang sama persis
dengan fakta sejarah karena novel sejarah tetaplah sebuah novel
yang memuat sebuah alur cerita fiksi. Penulis bebas untuk
menyajikan tokoh-tokoh rekaan yang sesuai dengan zaman
tersebut ataupun tokoh-tokoh nyata dari zaman tertentu. Akan
tetapi, penulis tetaplah memiliki misi yang ingin disampaikannya.
Begitu pula Pram dan novel-novel sejarahnya. Hal terpenting
dalam novel sejarah adalah ceritanya mampu membawa pembaca
seolah-olah merasakan masa atau zaman di mana cerita tersebut
menjadi latar belakang. Dalam ArokDedes, Pram menyoroti
proses penggulingan kekuasaan AkuwuTumapel Tunggul
Ametung oleh Ken Arok. Kisah tersebut menurut Pram adalah
kudeta pertama dalam sejarah Indonesia. Lewat kelicikan dan
pengorganisasian masa, Ken Arok menggulingkan sang Akuwu
lewat tangan Kebo Ijo. Sang Akuwu tewas di tangan Kebo Ijo.
Apabila dilihat lebih seksama, cerita Arok Dedes adalah
representasi dari kudeta September 1965ketika kekuasaan beralih
dari Soekarno ke Soeharto. Adanya kelicikan, strategi,
pengorganisasian masa, dan pertumpahan darah sama dengan
peristiwa September 1965.
Memang novel Arok Dedes ini tidak sepopuler karya Pram
dalam Tretalogi Bumi dan Manusia yang mengisahkan tentang
Minke sebagai perwujudan Tirto Adhi Suryo, meskipun sama-
sama diciptakan semasa Pram ditahan di Pulau Buru. Berbeda
dengan Tretalogi Bumi dan Manusia, novel Arok Dedes ini lebih
mengedepankan unsur dari cerita sejarah. Novel ini merupakan
cara baru Pram dalam mengkritisi kekacauan politik yang terjadi
82
Daftar pustaka
Situs Internet:
Utomo, Ari Cahya. 2011. “11 Fakta Pramoedya Ananta Toer”,
dalam Nonickthephilogynik.blogspot.com. Diunduh pada
tanggal 8 Desember 2015.
85
Najmi Fajria
bagi saya untuk tahu apa yang maksud Jokpin menulis cerpen
“Lelaki Tanpa Celana”. Cerpen karya Jokpin ini menyinggung
tentang para sastrawan dan kritikus di masa Orde Baru. Dapat
dibuktikan, hampir semua isi dari cerpen tersebut berhubungan
dengan puisi-puisi sastrawan terkenal alumni Universitas Gadjah
Mada, Sapardi Djoko Damono. Sapardi adalah salah satu
sastrawan yang eksis di masa Orde Baru. Untuk memperkuat
bahwa setting yang digunakan oleh Joko Pinurbo adalah masa
Odre Baru, tergambar dari potongan cerpen berikut.
Frans Apriliadi
Kita tahu jika lelaki tanpa celana itu amoral bukan? Cerpen
ini bukan hanya mengenalkan Sapardi Djoko Damono dan karya
puisinya. Akan tetapi, juga mengingatkan pembaca pada sebuah
tragedi yang sekitar tahun 1960an. Sastra seperti cerpen ini bisa
dijadikan sebuah sarana menceritakan sebuah sejarah yang
hilang, maupun mengingatkan kita. Di mana pada masa presiden
Soekarno, setiap kebijakannya didukung oleh sebuah partai, yaitu
PKI. PKI merupakan singkatan dari Partai Komunis Indonesia.
Seperti yang kita ketahui PKI menggunakan cara
94
Rizki Ariviana
Daftar Pustaka
Siska Kartikasari
Yang Ditunggu
Kurniawan Haryo S
Cerita
Aku tidak ingin dia repot karena harus lewat pintu samping
untuk menghindariku. Pelan-pelan dia mendekat. Eh, tapi
sepertinya dia tidak sendirian. Ada seorang lelaki berbadan
tegap yang berjalan di belakangnya. Ketika hampir memasuki
halaman, tiba-tiba lelaki itu membungkam mulut gadis itu dan
membopongnya dengan paksa. Si gadis meronta tapi terlihat
lemah. Mungkin tenaganya sudah habis karena aktivitasnya
seharian. Aku tak bisa membiarkan hal buruk terjadi pada
gadis itu. Aku berlari kencang-kencang dan kugigit kaki
pemuda itu hingga tanganya alpa memegangi gadisku.
Pemuda itu menghentakkan kakinya dan menendangku
hingga aku tersungkur. Tapi aku benar-benar tak akan
membiarkannya menyakiti gadisku. Kukejar lagi ia dan kugigit
tubuhnya, kucakar semua bagian yang bisa kulukai dengan kuku.
Aku menggonggong sekeras yang aku bisa. Memanggil agar
tetangga si gadis keluar dan membantuku mengalahkannya. Tak
kusangka pemuda itu meraih sebuah kayu dan memukulku
sekuat tenaga hingga aku kembali jatuh. Aku belum sempat
berdiri, tapi pemuda itu sudah menyerangku dengan pukulan
bertubi. Aku benar-benar tidak kuasa bangkit lagi. Beruntung
tetangga si gadis segera datang. Pemuda yang masih bernafsu
menyerang itu panik dan lari menyelamatkan diri.
Warga mengejar pemuda kurang ajar itu. Tidak
mengacuhkanku yang terkulai bersimbah darah. Beberapa ibu
tetangga punkeluar untuk menenangkan gadisku. Tapi gadis
itu tetap menangis. Isaknya tak kunjung berhenti. Samar-
samar kulihat ia menghampiriku. Terduduk kira-kira tiga
langkah di depanku. Dia menangis. Tangisnya sesenggukan.
115
19 November 2015
116
Sandera
Ulfa Windarti
dalam berbicara.
“Yunis, ibumu mungkin terlalu kelelahan mengurus
nenekmu ini, nenek ingin pulang saja,” katanya.
Aku terkaget lagi. “Nenek ini Yudis. Siapa sebenarnya
Yunis? Nenek baik-baik saja kan?” tanyaku.
Nenek meneteskan air mata. Kemudian ia memanggil lagi.
“Yunis........”
Aku tak mengerti harus mengatakan apa. Aku bertanya
lagi, “Siapa Yunis nek? Katakan padaku, nek.” Aku semakin
bertanya-tanya dalam hati. Siapakah Yunis. Apakah dia
saudaraku? Bukankah dia perempuan itu?
Semakin berkecamuk dalam pikiranku. Apakah aku
sebenarnya bukan anak tunggal? Lantas mengapa ibu selalu
berbicara kepadaku kalau aku anak tunggal keluarga Sanjaya?
Nenek terus menangis. Dia mengatakan bahwa ia rindu.
Kubangunkan ibu. Kutanyakan siapa sebenarnya Yunis. Ibu hanya
bisa manjawab, “Bukan siapa-siapa.” Mungkin nenekmu sedang
lelah setelah operasi sehingga salah memanggil kamu,” ujar ibu
dengan muka memerah sambil meneteskan airmatanya. Aku tak
mau basa-basi lagi dengan ibu. Aku lari keluar ruangan.
Aku lewati ruangan tempat perempuan itu dirawat. Di
depan ruangan itu, ada seorang perempuan setengah baya
tengah duduk di kursi tunggu. Aku mencoba untuk duduk di
sampingnya dan mencoba bertanya kepadanya.
“Permisi ibu, apakah ibu keluarga dari pasien
di dalam?” “Iya benar,” katanya dengan singkat.
Aku memperkenalkan diri. “Saya Reihan Yunis Sanjaya, saya
akan mendonorkan darah untuk dia.” Seketika perempuan itu
122
sungguh terkaget. Aku tau akan respon perempuan itu ketika aku
menyebutkan namaku. Yang aku inginkan kini ibu itu mau
bercerita kepadaku siapa perempuan di dalam ruangan itu.
Mengapa nama kita sama, itu saja. Emosiku semakin meluap
diikuti rasa iba, penasaran dan bergemetar. Aku mencoba
menanyakan hal itu secepatnya. Aku sudah tak kuasa tenggelam
dalam rasa penasaranku ini dan aku ingin ia sembuh dari
komanya agar aku bisa menanyakan langsung padanya.
Akhirnya perempuan itu menceritakan semuanya padaku.
Tentang semua kehidupanku. Tentang semua keluargaku.
Tentang semua perempuan itu. Aku laki-laki dan saat itu aku
hanya bisa meneteskan air mata. Bukan air mata buaya. Bukan
pula air mata haru. Kala itu aku benar-benar sengsara.
Sengasara yang tak pernah aku rasakan dalam hidupku
sebelumnya. Aku tergolek letih. Aku masuk ke ruangan itu.
Terbaring seorang perempuan nan ayu tanpa mahkota kepala.
Ya...tanpa mahkota kepala. Dia tergolek lesu dan memejamkan
matanya. Sama sepertiku, dia tinggi. Sama sepertiku juga nama
belakangnya, San-ja-ya. Ya dia saudara perempuanku yang tak
pernah aku kenali sedari aku dilahirkan di dunia ini.
Orang tuaku memisahkan kami dari kecil. Ketika ia divonis
lumpuh seumur hidup. Dia tak bisa berjalan dan diapun tak
merasakan kasih sayang dari orang tuaku. Tujuan kami
dipisahkan dan tidak saling mengenal hanyalah sepele. Yaitu
karena keluarga Sanjaya (keluarga pihak ayah) tidak mau
merawat saudaraku itu karena dia lumpuh dan hanya
menginginkan aku sebagai anak tunggal penerus keturunannya.
Ini adalah kemauan ayah bukan ibu. Bukankah hidupku terlalu
123
Pilu
Septi Wuryani
Senyum Adelia
Hiqmah Apriliyani
***
139
Kolom Presensi
***
“Ibu, aku sudah selesai sarapannya. Aku berangkat dulu ya.” “Iya,
Nak. Hati-hati ya. Nanti pulang sekolah jangan mampir,
langsung pulang
ya.” “Iya, Bu.”
Tilla pamit kepada ibunya untuk berangkat ke sekolah. Ia
tidak pernah lupa untuk mencium tangan ibunya. Ia juga
selalu pamit kepada ayahnya meskipun ayahnya sangat tidak
acuh kepadanya. Tilla adalah seorang gadis yang cantik, ceria,
dan pandai. Ia selalu menghormati dan patuh kepada orang
tuanya. Kini ia duduk di bangku SMA kelas XII. Di sekolah ia
dikenal sebagai siswa yang berprestasi dan banyak disukai oleh
para guru karena kepandaiannya. Tilla selalu menjadi juara
kelas, bahkan ia selalu menduduki rangking pertama paralel.
Kepandaiannya tidak menjadikannya tinggi hati. Ia juga sangat
disukai oleh teman-temannya.
Keluar dari rumah, Tilla berjalan sekitar 200 meter untuk
menunggu angkot langganannya. Sopir angkot langganannya
pun menyukai Tilla karena keramahannya. Tilla selalu duduk
di bangku sebelah sopir bersama teman akrabnya, Lani. Tilla
dan Lani adalah teman akrab sejak kecil. Dari Taman Kanak-
kanak hingga SMA mereka bersekolah di tempat yang sama.
Rumah mereka pun juga tidak jauh, hanya selisih dua rumah.
Setiap pagi Tilla melewati rumah Lani untuk berangkat
bersama. Jika tidak sedang kesiangan, Lani sudah siap di depan
rumahnya untuk menunggu Tilla.
“Tumben kamu udah cantik? Biasanya masih dandan?”
canda Tilla kepada Lani.
142
***
Akhirnya mereka sampai di depan gerbang sekolah dan
berpamitan kepada Pak Priyo. Di depan gerbang mereka selalu
ditunggu oleh Raka, teman akrab mereka berdua di sekolah.
Tilla, Lani, dan Raka menuju kelas bersama. Raka merupakan
salah satu saingan Tilla dalam mendapatkan ranking di kelas,
143
***
Tilla sampai di depan rumahnya, tetapi ia ragu untuk masuk.
Ia melihat sekeliling rumah dengan teliti, melihat apakah
ayahnya ada di rumah atau tidak. Tiba-tiba ia mendengar ada
suara seperti orang menggeser suatu barang dari rumahnya.
Tilla bergegas pergi dari situ karena pertanda ayahnya di
rumah. Tilla memilih untuk pulang ke warung ibunya yang
tidak jauh dari rumahnya.
“Lho, kamu belum ganti baju kok sudah kesini?” tanya
ibunya.
“Iyaa, Bu, aku tadi pulang sekolah langsung kesini. Aku
tidur siang di sini saja ya, Bu. Aku ngantuk sekali.”
“Ya sudah, kamu makan dulu.”
144
“Iya, Bu.”
Tilla tidak pernah menceritakan ketakutannya terhadap ayah
tirinya kepada ibunya. Tilla memiliki trauma tersendiri kepada
ayah tirinya karena perlakuan yang kurang baik terhadapnya.
Terkadang pada malam-malam tertentu Tilla harus menjadi
pelayan kafe dengan alasan untuk membantu ekonomi keluarga.
Tilla mengatakan kepada ibunya itu adalah kemauannya, padahal
sebenarnya ayah tirinyalah yang memaksanya. Ibunya percaya
karena kafe tersebut tempat ayahnya bekerja.
***
Malam ini adalah waktu bagi Tilla untuk bekerja. Jam 6 sore ia
berangkat bersama ayahnya. Sepanjang jalan tidak pernah terjadi
obrolan antara Tilla dan ayahnya. Tilla merasa kurang nyaman
bila bersama dengan ayahnya. Sampai di kafe ia dan ayahnya
langsung ganti baju. Ayahnya bekerja sebagai tukang cuci piring
di tempat itu, sedangkan Tilla menjadi pelayan. Ia tidak pernah
suka dengan tempat seperti itu. Tempat yang penuh sesak dengan
orang, musik yang memekakkan telinga dan tidak jarang berbau
alkohol. Hal yang paling ia takutkan adalah pria-pria yang tidak
memiliki sopan santun dan menggodanya.
Malam ini kafe sangat penuh, tidak seperti biasanya, kafe
tersebut sedang disewa. Tilla harus bekerja lebih keras dari
biasanya. Ia mondar-mandir dari dapur menuju tempat orang
yang memesan menu. Tilla membawa dua gelas minuman dan
dua menu makanan. Makanan ia letakkan di meja pemesan.
Tiba-tiba tangannya diraih oleh seorang pria dan pria itu
membisikkan sesuatu di telinganya.
145
***
Sudah tiga hari Tilla mengabaikan presensinya di kelas.
Disamping harus mengurusi ibunya, ia harus bekerja hingga
dini hari. Semakin lama Tilla semakin sering membolos. Lani
dan Raka sangat penasaran dengan yang dilakukan Tilla tiga
minggu terakhir. Dalam satu minggu Tilla hanya masuk
sekolah tiga hari. Kolom presensinya berisi “A” bukan “I” lagi.
Rasa penasaran Lani dan Raka berlanjut dengan mengikuti
Tilla secara diam-diam. Lani dan Raka memutuskan untuk
membolos. Mereka mengikuti Tilla. Mereka kaget ternyata
siang malam Tilla bekerja di kafe itu. Tilla telah berbohong
kepada ibunya, juga pada teman-temannya. Kepada ibunya ia
bilang untuk sekolah, kepada teman-temannnya ia bilang
mengurusi ibunya. Lani dan Raka sangat heran. Mereka
merasa ini bukan seperti diri Tilla yang biasanya.
Di sekolah, Lani dan Raka bertanya secara langsung
kepada Tilla. Mereka mengatakan bahwa mereka sudah tahu
apa yang dilakukan Tilla selama ini.
“Aku mohon pada kalian berdua jangan biarkan orang lain
149
tahu tentang hal ini, pada teman-teman, guru, dan ibuku. Aku
ikhlas melakukan semua ini. Kalian tahu ibuku harus berobat
dengan uang yang tidak sedikit. Hanya ini yang bisa aku
lakukan untuk membantunya.”
Tilla menangis di depan mereka. Air mata Lani juga
hampir tumpah, tetapi ia menahannya karena ia tak mau Tilla
akan menjadi semakin lemah. Ia hanya bisa memeluk Tilla.
Raka merasa tidak rela jika Tilla harus melakukan hal itu.
“La, kamu bisa kan kerja malam hari dan paginya kamu
sekolah? Jika ibumu tahu pasti kamu tidak akan diijinkan.
Lagian ini tanggung jawab ayahmu. Seharusnya kamu tidak
perlu bekerja.”
Raka sedikit kesal, tetapi ia menyesali perkataan yang
keluar dari mulutnya. Baginya ini terlalu kasar untuk
perempuan yang selalu ia khawatirkan.
***
Tilla bekerja keras di kafe. Semakin lama ia semakin terbiasa
dengan para pria yang ada di tempat itu. Dalam hati ia sungguh
menolak, tetapi semua ia lakukan demi ibunya. Sebenarnya ia
sangat merasa bersalah kepada ibunya karena tidak pernah
menceritakan apa yang terjadi pada dirinya selama ini. Suatu
malam Tilla diminta untuk menemani pria yang lebih muda
dibandingkan para pria yang biasanya. Pria itu berumur 23 tahun.
Ia mendengar bahwa di kafe itu ada seorang pelayan yang cantik
dan sangat polos. Ia datang dan meminta Tilla menemaninya
minum. Pria itu tidak menyentuh Tilla sama sekali. Tilla merasa
sedikit lega dan nyaman. Meskipun selalu menemani minum para
pria, Tilla tidak pernah sedikit pun minum.
150
***
Waktu menunjukkan pukul 05.00. Tilla bangun dari pingsannya.
Ia membuka mata tetapi ruangan itu sangat gelap. Ia meraba-raba
lampu yang ada di dekatnya. Sungguh kaget saat ia melihat ada
seorang pria yang tidur di sampingnya. Itu adalah pria yang ia
temani semalam. Ia segera lari dan beranjak dari tempat tidur,
tetapi tangannya dipegang kuat oleh pria itu.
“Terima kasih.” kata pria itu dengan senyum di wajahnya. Tilla
mengangis sejadi-jadinya. Ia bergegas keluar dan ingin
pulang. Sampai di rumah ia dikejutkan dengan para tetangga
yang mengerumuni rumahnya. Ia masuk. Ternyata ibunya
pingsan dan hendak dibawa ke rumah sakit. Tilla ikut
mengantar ibunya.
Di rumah sakit ia hanya diam. Ia terus memikirkan hal
151
***
Rumah Tilla penuh dengan para tetangga yang melayat. Tidak
ketinggalan Lani dan Raka. Mereka begitu kehilangan teman
yang selama ini menjadi semangat mereka dalam belajar. Lani
tak bisa menghentikan air matanya. Raka pun meneteskan air
matanya. Ia tak menyangka Tilla akan pergi secepat ini.
Seluruh guru sekolah Tilla mendatangi rumahnya untuk
melayat. Murid yang membanggakan sekolah selama ini telah
pergi untuk selamanya. Semua hening mengiringkan doa
untuk Tilla dan ibunya.
***
Lani dan Raka merasa kesepian di sekolah. Kini mereka hanya
tinggal berdua. Guru masih selalu mempresensi kehadiran
para murid. Nama Tilla masih tertulis di sana, tetapi tanpa
keterangan “I” atau “A” lagi. Kolom presensinya digaris
panjang hingga akhir.**
153
Presensi Kosong
Putri N. Wulandari
***
Sore itu hujan turun sangat lebat. Aku memarkirkan motorku di
depan sebuah toko untuk berteduh. Aku berlari mencari tempat
teduh. Aku berdiri menunggu hujan sedikit reda. Pandanganku
tiba-tiba terhenti pada sebuah motor yang terparkir di depanku.
Tepat di hadapanku. Jantungku seketika berdenyut sangat dalam.
Lalu detaknya melaju sangat cepat. Motor yang tak asing di
mataku. Aku sebar pandanganku ke sekeliling tempat itu mencari
pemilik motor ini. Namun tak juga aku temukan. Ternyata bukan
dia yang membawa motor ini. Kakaknya dan teman
perempuannya yang membawa motor ini.
Aku menundukkan pandanganku. Lalu ku lihat tetesan air
dari atas menyentuh genangan air di bawahnya. Membentuk
lingkaran-lingkaran kecil lalu membesar. Jantungku sudah
kembali berdenyut normal. Aku teramat rindu ingin bertemu
dengannya. Akankah rinduku bertemu dan menyentuh seperti
tetesan air itu dan menciptakan gelombang-gelombang cinta?
Hujan sudah mulai reda. Aku melangkahkan kakiku
157
Presensi Hitam!
Isnaini
***
Siang itu ia masih saja tak bisa tenang hatinya, meskipun semalaman
ia terus mencari cara agar hatinya berhenti bergejolak. Bayangannya
akan jeruji besi terus menghantui apalagi ketika ia mendengar suara
bayi yang menangis seluruh tubuhnya sontak merinding. Seluruh
kegiatan pelayanannya hari ini pun sengaja ia kosongkan. Ia tak mau
berbuat banyak. Ia sudah menyerahkan seluruh pekerjaannya hari ini
pada pekerjanya dan rekan yang sedia membantu, sementara ia pergi
bertakziah sambil mencari celah keamanan nasib hidupnya sendiri.
Presensi
Erlina Hidayati
***
Di sekolah. Ternyata aku kembali terabai. Kadang aku dibohongi
dengan banyak dalih. Aku melihat dua anak berseragam putih
biru menuju ruang TU. Ternyata mereka adalah ketua dan wakil
kelas delapan A. Aku heran. Seharusnya mereka berada di dalam
ruangan karena ini masih jam pelajaran. Teman-teman mereka
ada juga yang sedang di kantin dan ada yang sedang duduk di
pojok kelas ternyata mereka pacaran. Senyum malu-malu dapat
terlihat di bibir mereka. Entah sedang berbicara apa, yang pasti
bukan karena guru mereka tak ada di dalam kelas.
Di lain hari seorang kawanku bercerita bahwa Ia kemarin
melihat kawanku yang bekerja juga di sekolah. Dia menenteng tas
belanjaan lengkap dengan dompet besar. Dia berada di antara
lautan manusia yang berburu diskon awal bulan. Bahkan tak
hanya April ini. Bulan-bulan lain dia juga turut meramaikan
tempat perbelanjaan ini. Temanku bertanya apa sekolah tempat
kami bekerja libur setiap awal bulan? Jelas aku hanya tersenyum.
Barangkali aku adalah tempat berkhianat. Tapi sungguh
aku tak menyukai hal ini. Aku tak menyuruh mereka begitu.
Aku berharap tak hanya dicari saat dibutuhkan tapi juga
benar-benar dipercaya menjadi teman.**
170
Anak Sukerta
Lilik Windardi
***
Malam itu seakan berhenti dari putaran roda kehidupan. Hanya
terdengar suara gerimis yang memecah keheningan malam.
Tangis Ardi seketika menjaga kedua pasangan itu dari tidurnya.
Subahair dan Tuhah, mereka baru dua tahun mengucapkan janji
suci dalam sebuah pernikahan. Pasangan yang berbahagia.
Kebahagiaan mereka bertambah dengan lahirnya Ardi, anak
laki-laki pertama mereka.
“Mas, Ardi panas awakke iki. Keringette mrembes
mili.Kenang ngopo iki Mas?”
“Demam koyone nduk. Tak njukut tisu nggo ngompres
seknduk.” Bahir bergegas ke dapur mengambil tisu yang
sudahdikasih air untuk mengompres Ardi.
“Cup cup cup... sayang, wis ojo nangis. Bapak ro
simboksayang Ardi.” Bisik Tuhah menenangkan anak
kesayangannya.
Bedug subuh bersahutan di Desa Sembung. Desa yang
merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa. Tangisan Ardi masih
terdengar di sela-sela bedug itu. Tangisnya terhenti seusai
orang-orang pulang dari shalat subuh. Datanglah Hadi, kakek
Ardi dari ibunya yang kebetulan mendengar tangisan sedari
dini hari. Dia mengusap kepala Ardi. Setelah sekian lama
termenung, ia membisikkan kepada keluarga baru itu. Cucuku
adalah Anak Sukerta. Suasana yang tadinya mencekam
seketika berubah menjadi kegembiraan.
Anak sukerta merupakan anak yang sepesial yang merupakan
berkah tersendiri bagi orang tua. Karena datangnya tidak bisa
172
diminta dan tidak bisa pula ditolak, ini merupakan titipan dari
leluhur. Untuk itu, bagi orangtua yang mempunyai anak
gembel (sebutan masyarakat Dieng terhadap rambut gimbal)
harus prihatin. Bersiap-siap untuk selalu memenuhi apa yang
menjadi keinginan mereka.
Pagi itu Tuhah baru selesai memandikan Ardi. Betapa
terkejutnya dia melihat hal yang baru pertama dilihat dan
dialaminya. Rambut Ardi tumbuh gimbal. Ia baru tersadar,
ternyata tangisan Ardi tadi malam adalah tanda bahwa ia akan
tumbuh gembel. Segera ia memanggil suaminya untuk
memberikan kabar gembira tersebut.
“Mas. Mas. Ardi thukul gembel e. Ternyata ucapan bapakku
tadi pagi benar mas. Ardi Anak Sukerta,” teriak Tuhah di samping
rumah.
Mendengar kabar tersebut, Bahir melompat dari kursi.
“Ndi nduk? Alkhamdulillah,” tanyanya kepada istrinya yang
sedang menggendong anaknya.
“Ini mas. Kita harus bekerja keras Mas. Karena delapan
tahunan lagi Ardi pasti meminta dicukur gimbalnya,” jawab
Tuhah sambil memberikan Ardi dari gendongannya.
“Iya nduk. Aku akan menuruti semua yang Ardi inginkan
tanpa terkecuali.” Jawabnya sambil menciumi pipi Ardi.
***
Malam dimana Ardi tumbuh gimbalnya sekarang tujuh tahun
berlalu. Tetapi masih terngiang di telinga pasangan itu jerit
tangisnya. Mereka selalu mengingatnya. Tanggal satu Suro. Itu
adalah hari dimana gembel tersebut tumbuh di kepala Ardi.
173
Kalimat Mistis
Shalakhudin Rahmat
gemeletuk di mulutnya.
Ketika memasuki bangunan sederhana yang ia rancang
bersama sang istri, hatinya sedikit tersinggung. Bau khas dari
bangunan itu membuat Karto sedikit melupakan kengerian
dari petir yang sedari tadi seakan menyambar kepalanya.
Dilemparkannya tas berisi dokumen-dokumen kantor tepat di
sudut sofa kumal pemberian orang tuanya. Dikendorkannya
beberapa kancing baju yang seakan menjerat tubuhnya. Tak
lupa sepatu pantofel pengap pemberian istri tercinta dia
lemparkan ke sudut ruangan. Kakinya seperti mendapat nafas
segar setelah lepas dari penjara sebuah ruang dari kulit yang
sebenarnya bukan kulit.
Desah nafas yang sedikit gaduh dari ruangan itu membuat
istri Karto menghentikan pekerjaannya. Istri Karto merupakan
lulusan sarjana teknik memasak. Berbagai jenis masakan
dikuasainya. Mulai dari masakan dunia barat sampai dunia
timur. Dia bekerja pada perusahaan yang didirekturi oleh
Karto. Dia adalah kepala bagian urusan paling penting bagi
setiap karyawan. Kepala bagian urusan perut yang merangkap
wakil direktur. Segera dia menghampiri sang direktur yang
terduduk lesu di sofa. Mengeluarkan jurus sakti warisan dari
guru besarnya di sebuah perguruan penakluk laki-laki yang
pernah dia enyam. Memeluk dan mengelus-elus dada Karto
yang penuh dengan bau bacin khas tubuh seorang lelaki.
“Ada masalah apa di kantor?” tanya istri Karto dengan
lembut. Istrinya sudah hafal dengan mimik muka Karto yang
ketika ada masalah berubah menjadi kusut seperti sofa yang
sedang diduduki. Kata-kata pengaduan belum mampu
179
Wida Merliana
***
Tempat ini akan menjadi rumah penjelajahan pertamaku.
Asrama putri yang baru dibangun ini tidak begitu terlihat
seperti pesantren pada umumnya. Asyik juga tinggal di tempat
yang menurutku ini seperti mess pabrik di sana. Dari duapuluh
kamar yang ada akan dihuni 4-5orang perkamar.
Aaaaaaaaaaaaaaaaakkk.. pasti ramai banget ini mah. Berkat
berbagai jasa, aku tinggal di sini hanya beberapa saat.
(maklum, bukan anak pesantren :D).
Bangunan ini terletak di tengah sawah. Sering kali dikenal
dengan asrama mewah aliah mepet sawah. Perlu jarak tempuh
untuk sampai pada asrama pusat di sebrang jalan. Menikmati
setiap perjalanan di tengah sawah. Tak jarang, aku nongkrong
di pinggir sawah sekedar bersalam rindu dengan pemilik
keindahan alam ini. Cat putih tembok melambangkan
kesucian. Kesucian tempat menimba ilmu akhirat disini. Cat
luar hingga cat kamar semua berwarna putih. Warna yang
netral dan penuh energi positif.
Dipadu dengan gerbang tinggi yang menjulang berwarna
merah. Senada dengan warna kebangsaan, merah putih.
Asrama ini menjadi asrama terfavorit karena letaknya yang
strategis. Pertama, strategis mewah alias mepet sawah. Kedua,
jauh dari pusat sehingga kontrol tidak ketat dan ketiga asrama
yang masih baru membuat bangunan ini masih terlihat apik
dan kokoh. Memang harga lebih mahal, sedikit.
Loh, ke kota pelajar untuk nyantri kah? Eiits….. ini
hanyasebagian cerita atau cerita figuran. Ini nih cerita pendek
yang
187
bertema rumah.
Transit sebelum ke Jogja di Klaten. Sekedar merebahkan
diri karena hampir belasan jam aku dan ayah di dalam bus.
Ayah, cintamu ialah cinta “talk less do more”. Aku adalah saksi
bahwa cintamu tanpa banyak kata namun kau bertindak atas
dasar cinta. Terima kasih telah mengantar putri sulungmu ini.
Di dalam bus, butiran air mata terus menggenang. Inilah
perpisahan. Perjuangan!
Selama perjalanan, lelaki itu tak henti mengirimi pesan
kepadaku. Entah sekadar berucap rindu, sayang dan ucapan
mesra lainnya. Sesekali menelpon menanyakan dimana sopir
mengemudikan bus ini. Wakhid. Kau begitu meracuni aku
dengan cintamu. Andaikan waktu itu…
***
Kau tertunduk lesu dan aku menatap bisu. Pernyataan yang
telah kau ucapkan membuatku tak bisa berfikir jernih. Kau
meminta restu ibumu untuk meminangku meski tanpa
sepengetahuanku dan berakhirlah pada ketidakberterimaan
hal itu oleh sosok berpengaruh di keluargamu. Budhe.
Kau ceritakan kronologi yang terjadi dengan semua dialog
yang ada. Ku coba mengeja maksud lain yang ada. Ku
berterima akan semua bahwasannya cinta belum pada
waktunya. Kita, memulai semua kembali. Janjimu, segera akan
meminangku sebelum aku meluluskan studiku. Manis…
Kejadian itu, meski hanya sebatas membayangkan. Bagiku
sebuah mimpi buruk, yang ku harap tak akan pernah terulang.
Semua manis dan romantis hingga suatu saat kau begitu
188
***
Cinta pertama begitu menggoda. Selanjutnya terserah persepsi
anda. Dengan hadirnya ia membantuku menelusuri dimana
lokasi kampus yang akan memberiku perjalanan panjang.
Samsay. Ia sosok lelaki yang ramah dan sederhana.
Kebaikannya tak diragukan. Ketika aku tak lagi menjadi
pasangan cintanya, ia masih bersedia mengantarku ke Jogja.
Mencari cerita yang ku reka. Menyusuri kota Jogja yang aku
belum pernah kesana kecuali bersamamu, dulu. Masa lalu.
Mencari tahu dimana lokasi asrama yang akan ku tinggali.
Kemudian berjalan ke toko buku hingga kau berikan aku
binder dengan cover Mickey Mouse. Kau sangat tahu yang aku
suka. Tak terhitung dulu hadiah darimu selalu bernuansa pink
ataupun Mickey Mouse. Kartun Disneyland itu memang
menjadi gambarkartun kesukaanku. Terlebih jika warna pink
mendominasi. Kau.. luar biasa..
***
Semua memang salahku. Pantas saja semua berakhir meski
janjimu akan selalu ku nanti. Di tengah hiruk-pikuk mahasiswa
baru di ospek, malamnya perselisihan itu terjadi. Keputusanku
mengakhiri yang memang tak pernah dimulai ku terima.
Lose contact…
Cinta.. Bawalah aku pulang ke rumah. Kerinduan ini
memuncak. Pada sosoknya di sana. Ijinkan aku memeluknya,
sesaat.
Kasih.. Dimanakah tempat yang nyaman. Menangisi
189
Surat Pengganti
Seperti saat masa sekolah menengah, sebuah surat izin, tak akan
mampu menggantikan kehadiran seseorang. Meski setidaknya ia
memberikan kabar yang membantunya memenuhi presensi
dengan sebuah keterangan. Begitupun dengan surat ini, surat
yang kuberikan padamu di hari yang seharusnya kita bertemu.
Aku mengira bahwa surat itu cukup mampu menggantikanku
yang tak bisa menghadiri pertemuan kita. Kupikir kau akan
mencariku atau membalasnya. Tapi, tidak.
Aku tau, tak mungkin untuk menghadirkan kembali
kenangan yang telah lama sekali kutinggalkan. Kenangan yang
selalu akan menjadi kenangan walaupun sekian lama tetap ada
di waktu-waktu yang terlewati hingga saat ini. Kalau saja
waktu berwujud seperti sepasang jendela, akan kutanggalkan
bingkainya agar tidak lagi menyekat kita. Apa kabarmu kini?
192
***
Daun kering layu kekuningan dari pohon belimbing
disampingku berdiri, terjatuh, berputar tak beraturan tersapu
gelombang angin yang mengusap kulit ari tubuhku dan
menyadarkanku, membawa diriku dari kisah masa lalu menuju
alam sadar yang rasional. Ya. Aku menjejakkan kaki di kota
kelahiranmu. Kota yang tertera di KTP milikmu yang kulihat
sewaktu kuliah. Ini pertama kalinya aku datang. Setengah hari
perjalanan dengan bus.
Aku pikir bisa bahagia merelakanmu menempuh waktu
menuju masa depan, menyesuaikan dengan apa yang sudah
Tuhan gariskan, setelah surat yang kuberikan padamu tak ada
balasan, bahkan kau keadaanmu hingga sekarang pun tak
pernah kau kabarkan. Tapi ternyata kebahagiaanku utuh
ketika kau tersenyum bersamaku, bahagia bersamaku. Andai
bisa, ingin kupeluk bahagiamu itu agar tetap disini. Aku ingin
menggenggam rasamu kembali, rasa khusus dari hatimu yang
ditujukan padaku.
Mungkin kau sudah lupa dengan janji yang pernah kau
ucapkan padaku. Ku maksud adalah janji untuk memberitahuku
ketika kau berjumpa dengan gadis yang membuatmu mau
mengusahakannya dengan sepenuh hatimu, meski pun hanya
melalui suara lirih do’a. Mungkin kau sudah menemukannya kini.
Mungkin kau sudah bercinta di bawah atap rumah tangga. Tapi
ada satu hal yang aku tetap meyakininya. Kau lupa tidak
194
EPILOG
Mawaidi D. Mas
Ide adalahpengalamanberpikir.Begitupenyairmenuangkannya
melalui wadah bahasa, ide akan berkelit-kelindan antara
pengalaman imaji dan yang empiris. Karenanya, mendapatkan
momen puitik bagi penyair itu hal yang niscaya dan tidak
mudah mendapatkannya. Azizi jika benar-benar menulis
puisinya di bulan Januari, maka sebelum bulan tersebut,
katakanlah pada Agustus atau Desember, tidak akan pernah
terpikirkan menulis puisi “Hujan di Bulan Januari”. Hanya
pada Januari aku, kata aku lirik penyair, melihat/ada yang
melipat tangis di balik baju//ada yang mencari rindu dalam
buku diary/ada yang bermain luka di antara kenangan//ada
yang bertukar sunyi setengah malam. Saya meyakini, momen
puitik itu jika pun ada padabulan-bulan selanjutnya, akan
berbeda ruang pengalaman yang dirasakannya. Belum tentu
Azizi mendapatkan momen untuk memilih diam dalam
kelam//ada yang menyesal di antara kesal dan seterusnya.
Hal ini juga terjadi pada Julis Islamiyati Mawarsari yakni
pengalaman adalah hakim terbaik bagi setiap orang menurut
Woodhouse. Pada puisinya “Kopi Pahit” Mawarsari telah
mereduksi keinginannya kepada kopi—pada benda-benda
yang datang kepadanya. Jika Mawarsari ingin menggiring
197
atau tidak, sengaja atau tidak, telah ada yang ditulis sebelum
tugas penulisan kreatif esai dimulai. Artinya, esai yang saya
baca merupakan tugas mata kuliah lain, yang oleh penulisnya,
sadar atau tidak, sesuatu yang mustahil dapat ditengarai
sebagai yang tidak kreatif dan hamba pemalas.
1]
Seorang narapidana boleh saja dikurung bertahun-tahun
di sebuah kamp pembuangan. Tapi tidak jarang seorang
narapidana, yang dikurung di sebuah penjara, yang kesepian
dan rudin, tidak ada yang bisa menghalanginya menulis
sebuah catatan, novel atau puisi.
Di sebuah pesantren yang ketat, padatnya kewajiban
pesantren, tidak bisa ditolak, pelan-pelan muncul seorang santri
yang diam-diam menulis catatan tentang dirinya, baik berupa
prosa maupun puisi. Tugas-tugas kepesantrenan itu, serta akses
informasi, bacaan, dan interaksi sosial yang dibatasi adalah
kesunyian yang hanya bisa dibunuh dengan cara menulis.
Sekarang sebaliknya, di tengah banjir bandang arus
informasi, hujan deras penerbitan buku, interaksi sosial yang
kapan saja bisa dijamah, di sebuah ruang kelas yang terdiri
dari 20-an orang jumlahnya, tengah saling menyepakati ingin
menulis sebuah cerita pendek dengan tema “presensi”. Mereka
tidak akan menulis di ruang tersebut, cerita pendek bertema
205
[2]
Suatu malam, saat di luar kamar hunian saya, dan di luar
kamar hunian warga lain yang tinggal di Papringan dan
sekitarnya, gerimis masih tak kunjung reda. Susunan lembaran
kertas saya ambil yang sudah teronggok berhari-hari lamanya
di atas rak buku. Saya menyesal tidak langsung membacanya
di hari saya mendapatkan draf cerita pendek itu. Saya
penasaran ingin membaca cerita pendek dengan tema
“presensi”. Tulisan yang bertema bukankah termasuk suatu
pembatasan? Batasan tersebut adalah penjara bagi setiap diri
mereka yang menulis. Dan batasan itu pula tidakkah
memungkinkan bagi setiap diri mereka yang menulis tidak
dapat dipenjarakan pikiran dan gagasannya?
Saya ambil dari tumpukan teratas cerita pendek berjudul
Cerita karya Santi Hadi Saputri. Ini cerita dengan tokoh
utamayang tidak mudah ditebak: siapa tokoh si aku? Tokoh si
aku muncul pertama kali dalam cerita ini di sebuah sore tepat
di depan rumah seorang tokoh lain bernama Margaret. Saat
tahu rumah itu dijual, tokoh aku pergi dan keluar dari
kompleks perumahan itu. Tokoh aku melihat seorang anak
gadis yang turun dari bus dan tertarik mengikuti anak gadis
itu hingga tiba di rumahnya. Di rumah anak gadis itu tokoh
aku berhenti di halaman rumahnya dan berteduh di sana. Tapi
anak gadis itu tidak menunjukkan rasa suka terhadap si aku.
Dan hanya ayah si gadis yang menunjukkan rasa sebaliknya;
memberi makan kepada tokoh aku dan tak pernah
mengusirnya. Tampaknya, kamu harus baca sendiri cerita
pendek yang
207
[3]
Kini saya sepenuhnya sadar, bahwa Murhawi benar, pada
suatu saat dia mengatakan bahwa tak ada penulis pemula yang
tidak terpengaruh oleh penulis sebelumnya, dalam arti yang
lebih spesifik terpengaruh oleh karya yang disukainya. Tidak
salah kemudian jika Zaim Rofiqi, dalam pengantar buku
puisinya Lagu Cinta Para Pendosa (Pustaka Alvabet, 2009)
menulis seperti ini, “Seorang tokoh baru di bidang tertentu
harus berani bersikap kurang ajar—“berdiri di pundak tokoh-
tokoh sebelumnya”.
Seorang Tokoh Baru dimaksud di sini lebih kepada sebuah
proses untuk menjadi sebenar-benarnya Seorang Tokoh.
Walaupun, tidak ada sebenarnya Seorang Tokoh yang sebenar-
benarnya Tokoh. Seorang Tokoh yang benar-benar Tokoh,
biasanya tidak pernah menganggap bahwa dirinya adalah Seorang
Tokoh. Dan Seorang Tokoh itu tak akan pernah memaksakan
orang lain, para muridnya, untuk mengikuti Tokoh tersebut,
apalagi memaksa untuk membaca buku-buku yang ditulis oleh
Tokoh tersebut. Seorang Tokoh yang sebenarnya, sejatinya, kerap
akan selalu menganggap dirinya sebagai seorang
211
[4]
Dari sekian cerita pendek di atas, apakah pembatasan cuma
tambah menyatukan kenang? Pada cerita pendek di atas, ada
batasan yang cuma menyatukan kenang, ada cerita pendek yang
(barangkali) tidak menyatukan kenang (sama sekali). Kalau
dipandang dari luar diri pengarang, yang mengemuka dari tema
yang disepakati adalah “keterpaksaan”, “ketidakmampuan”. Dan
biarlah, ini menjadi dosa bersama, antara saya, Prof. Suminto dan
teman-teman yang menulis cerita pendek ini.
217
TENTANG PENYUSUN
Tim Penyusun:
Puisi
Azizi – Juli Islamiyati Mawarsari – Dyah Retna Palupi Risa Hafida Indradini –
Nuri Handiyani Lutfi Afrizal Yunanta – Ika Nafisatur R – Melani Yuliawati
Yunia Tri Mawarni – Faozan Tri Nugroho – Sri Sundarti Syafira Mahfuzi –
Anastasia Siswa B – Ratna Tri Palupi – Adi S. Soejarwadi
Esai
Kurniani Oktaviani – Arief Kurniatama – Oktavia Fitriani – Risma Erniyati
Muharromatus Saadah – Tantri Darmayanti – Maratul Azizah Ayu Chandra S –
Najmi Fajria – Frans Apriliadi – Muhammad Mabdaus Salam Rizki Ariviana –
Siska Kartikasari
Cerpen
Kurniawan Haryo S – Santi Hadi Saputri – Ulfa Windarti – Septi Wuryani
Fitriani Widyo Putri – Hiqmah Apriliyani – Angela Merici Reni P
Putri N. Wulandari – Isnaini – Erlina Hidayati – Lilik Windardi
Shalakhudin Rahmat – Wida Merliana – Alvionita Deny Saputri
Epilog
Mawaidi D. Mas