Anda di halaman 1dari 226

Piranti Kata

Pusparagram
Puisi, Esai,
dan Cerpen

Pengantar
Prof. Suminto A. Sayuti
PIRANTI KATA

Penulis:
Frans Apriliadi, dkk

Penyerasi aksara:
Oktavia Fitriani
Arief Kurniatama
Faozan Tri Nugroho

Pracetak:
Shalakhudin Rahmat
Erlina Hidayati

Tata isi:
Mawaidi D. Mas

Diterbitkan oleh:
CV. Nakomu
Cangkring Malang, RT/RW 01/05, Sidomulyo
Megaluh, Jombang
E-Mail: kertasentuh@gmail.com
WA: 085-850-5857-00

Ukuran : 14 cm x 20 cm, 225 halaman


Cetakan 1 : 2020
ISBN : 978-623-7934-45-5

Kumpulan Pusparagram Alumni PBSI A 2012


Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta
Piranti Kata:
Teks Kreatif di Tengah Sergapan
Budaya Teknologis

Catatan Pengantar:
Suminto A. Sayuti

Apapun bentuk dan genrenya: puisi, cerpen, esai; kehadiran


teks-teks kreatif di tengah masyarakat selalu diterima dan
diakui karena berfungsi kontributif bagi terjaganya kehidupan
budaya yang dinamis dan demokratis. Karena nilai-nilai yang
dikandungnya, teks-teks kreatif pun diperhitungkan sebagai
penggerak yang mampu mendinamisasikan kehidupan dalam
keseluruhannya: menjadi medan reflektif nilai kehidupan dan
sebagai sumber kesenangan. Akan tetapi, dalam konstelasi
kehidupan yang makin teknologis, peran dan sumbangsih
teks-teks kreatif dalam membangun budaya bangsa boleh jadi
diragukan oleh sejumlah kalangan. Dengan demikian, dalam
sejumlah hal pun masa depan teks-teks kreatif menjadi layak
untuk dicermati kembali. Kehadiran kumpulan yang
menghimpun kreasi para mahasiswa ini lebih dimaksudkan
sebagai “penebaran benah,” penyemaian, dalam kerangka
tersebut.
Harus diakui bahwa capaian budaya digital berikut piranti
audio-visualnya telah memberikan beragam keuntungan: lebih
efektif, efisien, dan universal. Tidaklah mengherankan jika
terdapat kecenderungan bahwa sebagian dari kita begitu
bergantung kepadanya. Tidak mustahil apabila budaya alfabetik
yang salah satu perwujudannya berupa teks-teks kreatif akan
dipandang sebagai sesuatu yang anakronistik. Buku-buku puisi,
cerpen, dan esai makin jarang yang dibaca secara individual.
Beragam “narasi pemikiran,” kini, yang bersandar pada
pengalaman hidup kemanusiaan tidak lagi disimpan dalam dan
dipindahkan melalui jagat kreatif yang dibukukan, tetapi
disimpan dalam beragam piranti, yang satuan-satuan lingualnya
“berbeda” dengan yang selama ini umum dikenal sebagai
sarananya: perkakas-perkakas praktislah yang kini kian
diutamakan. Proyektor, layar monitor, speaker, dan tape kini
menjadi sesuatu yang diutamakan oleh hampir semua orang,
terlebih-lebih bagi anak-anak dan remaja. Terkikisnya budaya
alfabetik dalam sejarah peradaban manusia bisa saja menjadi
singkat hidupnya. Padahal, tingkat literasi suatu masyarakat akan
terbentuk dengan baik apabila dimulai dengan memperkenalkan
hal-hal yang menjadi sumber pengetahuan: buku, termasuk buku
sejenis ini. Karenanya, kehidupan “tanpa teks kreatif” bisa saja
terjadi, tetapi harus diyakini juga bahwa teks-teks kreatif akan
hidup terus di kantong-kantong budaya tertentu. Untuk itu,
upaya penerbitan terhadapnya, apapun bentuknya, berapapun
skop cakupannya, selalu memiliki relevansi dan signifikansi
kultural.
Di satu sisi, upaya penerbitan buku ini dapat diperhitungkan
sebagai upaya membendung proses pengikisan yang bisa
berakibat hilangnya budaya alfabetik sebagai salah satu
“bencana kemanusiaan.” Dalam kaitannya dengan begitu
dahsyatnya sergapan budaya piranti teknologis, anggapan ini
tidak berlebihan dan cukup beralasan. Piranti dan perkakas
teknologis berikut nilai-nilai kultural yang inheren di
dalamnya lebih mudah dikendalikan, dimanipulasikan, dan
didegradasikan. Di “istana piranti,” ruang dan peluang
melakukan perlawanan budaya begitu sempit. Akibatnya,
prakarsa-prakarsa kultural menjadi begitu mudah dan cepat
diganti dengan sesuatu yang akhirnya menggelincirkan
pikiran-pikiran kita menjadi budaknya: terbatasinya imajinasi,
majalnya sensibilitas, dan pasifnya pikiran.
Kata-kata dalam teks-teks kreatif, pada sisi lain, mampu
menyampaikan pesan-pesan dan tanda-tanda keabadian
mengenai hati nurani manusia lewat imaji-imaji dan simbol-
simbol kreatif. Bahkan, ketika terjadi penelikungan pikiran
yang harus tunduk-patuh secara total pada kekuasaan politik,
teks-teks kreatif pun mewujudkan dirinya sebagai benteng
terakhir kebebasan dan kemerdekaan: dalam teks-teks kreatif,
kedirian manusia hadir sebagai sosok manusia yang memiliki
kedaulatan penuh atas dirinya.
Dalam konteks yang bersifat strategis, sudah sewajarnya
kalau ruang dan peluang bagi generasi muda kita untuk tetap
menaruh peduli pada teks-teks kreatif, tetap disediakan agar
orientasi mereka tidak melulu pada piranti-piranti praktis.
Pembelokan orientasi yang hanya bersandar pada alasan
kemajuan Iptek, yang secara eksklusif cenderung membuang
teks kreatif dan meletakkannya pada peranan sekunder dan
subordinat belaka, niscaya penting untuk diluruskan dengan
sejumlah alternatif yang dimungkinkan. Teks-teks kreatif juga
merupakan ujaran-ujaran indah yang membagikan kepada
kita, sejumlah “makanan spiritual” yang penting. Teks-teks
kreatif juga merupakan sebuah “rumah” tempat manusia
secara bahagia mengistirahatkan jiwanya: dalam teks-teks
kreatif, pengalaman-pengalaman kemanusiaan kita
dirumahkan, “piranti kata,” dan dalam kabut ambiguitasnya,
teks-teks kreatif juga menawarkan efek katarsis.

Kertodadi-Pakembinangun, 2020
DAFTAR ISI

Halaman Depan ........................................................................................ i


Halaman Penerbitan ................................................................................ ii
Kata Pengantar ......................................................................................... iii
Daftar Isi .................................................................................................. vi

Pusparagram
Puisi .......................................................................................................... 1
Esai .......................................................................................................... 35
Cerpen ..................................................................................................... 106

Epilog
Puisi dan Moment .................................................................................... 196
Esai dan Hampa yang Pemalas ................................................................. 199
Presensi,Godaan Imajinasi dan Dosa Bersama .......................................... 204

“Piranti Kata menjadi medan pertempuran melawan propaganda


pikiran” Frans Apriliadi, 2020
Puisi
2

AZIZI

Hujan di Bulan Januari

Hujan di bulan Januari, aku melihat Ada yang


melipat tangis di balik baju
Ada yang mencari rindu dalam buku diary Ada yang
bermain luka di antara kenangan Ada yang bertukar
sunyi setengah malam

Saat hujan di bulan Januari, aku kesana Ada yang


memilih diam dalam kelam Ada yang menyesal di
antara kesal Ada yang meninggal ketika ditinggal
Ada yang angkuh sewaktu selingkuh

Saat hujan di bulan Januari, aku bertemu Ada


yang pulang setelah datang
Ada yang rapuh sesudah runtuh Ada yang
jauh sehabis jenuh Ada yang pergi
sebelum pagi

Saat hujan di bulan Januari, aku


kehilangan segalanya
3

AZIZI

Saat Aku Lanjut Usia

Senja makin menua


Ketika tersadar,
ternyata kita sudah menari cukup lama

Mungkin pesta ini sedetik lagi usai


Tak lagi ramai
Mulai berkabut

Sini ...
Duduk sebentar
Secangkir lemon hangat
Buat singkat terpaan dingin yang mengoyak kemudaan

Lelah adanya
Renta memeluk
Pembaringan kita mulai rindu
Menjamah hasrat kita yang linu

Cukuplah menari
Mari berbaring
4

Sini ...
Dekat-dekat biar hangat
Dingin malam kian melekat
Sayang, lebih merapat
agar jelas rautmu kulihat

Bila esok tak datang


untukku Dinda ...
Biar kukecup hidungmu untuk
terakhir Tetap dekap Cintaku

Sampai tubuh ini menyerpih


Dan terbang jadi debu

Kita hanya bualan waktu


Tak perlu mencinta
Akhirnya pun akan terpisah
Lenyap bersama alunan lagu

Jangan percaya keabadian

Tak ada keabadian


5

JULI ISLAMIYATI MAWARSARI

Kopi Pahit

secangkir kopi yang pekat itu sedang diam menatapku


kutuang gula satu sendok, lalu ku aduk perlahan
tak kucicipi sebab kutahu ia tetap pahit kutuang
kembali gula satu sendok, lalu ku aduk perlahan
tak kucicipi sebab ku tahu ia masih pahit
kutuang sekali lagi gula satu sendok, lalu ku aduk perlahan
kali ini lidahku ingin mencicipinya, meski kutahu ia masih
saja pahit mataku terpejam ketika cairan hitam itu masuk ke
mulutku mengaliri tenggorokan yang kering
lalu memutari jantung, hati, serta paru-paru
terasa hangat ketika ia sampai di lambungku
namun ternyata, terasa amat pahit ketika aku membuka mata
6

JULI ISLAMIYATI MAWARSARI

Menyambut Kedatanganmu

begitu kencang sang waktu berlari


hingga aku tak mampu mengikuti
dan kau pun tak bisa menyertai
lonceng malam telah berdentang
pertanda yang dinanti telah datang
kau dan aku pun ucapkan selamat datang

tidaklah berupa rangkaian bunga


ataupun sepotong kue cinta buatanku
tuk menyambut kedatangannya
tidak pula sebait puisi dengan pena penuh puji
puja sungguh itu bukan caraku tuk menyambutnya

aku hanya akan berada di sini, dengan hati yang terisi


penuh menemanimu setelah ia datang menghampirimu
mengiringi kasih kita dari waktu ke waktu
berharap aku masih bersamamu ketika ia datang di lain waktu
7

DYAH RETNA PALUPI

Jika #1

Jika cinta adalah luka


maka akan kubiarkan kesakitan ini mengantarkan rindu yang
ada Jika rindu adalah pedang
maka aku memilih untuk
berperang Jika rindu adalah belati
Biarkanlah aku mati berkali-kali
Jika kelak aku dipertemukan cinta
maka aku harap cinta itu kamu
8

DYAH RETNA PALUPI

Jika #2

Jika ini cinta


Mengapa harus terluka
Jika cinta adalah luka
Mengapa bukan kau obatnya Jika
obat rindu adalah bertemu
Mengapa kau dan aku tak bersatu
Jika mencintaimu adalah kesalahan Mengapa
takdir tak selalu berarti kebenaran
9

RISA HAFIDA INDRADINI

Wayang

Aku, kamu, dia, dan


mereka adalah kita
Kita adalah teman
di dunia yang gemerlap
ini Hanya wayang!
Berlakon sesuai
skenario Hanya wayang!
yang dirancang Dhalang
10

RISA HAFIDA INDRADINI

Darulfana

Kudapati diriku berada dalam


darulfana Kususuri jalan yang
ada Kudapati diriku berada di
ujung jalan Bercabang!
Tanpa utara, selatan, timur, bahkan barat
Angin buritan yang kugenggam Berbisik
kepadaku untuk memilih jalan yang kanan
Kususuri jalan yang penuh kerikil dan
kelokan Ditemukanlah suka duka! Batu-
batu sandungan, virus, polusi, topeng!
Kususuri jalan-jalan darulfana sampai
bertemu Al Quddus
11

NURI HANDIYANI

Sepi Benar-Benar Sepi

Dia adalah apa yang dia inginkan


Sebab sepi benar-benar menjadi rumah dan bayang-
bayang Pada saat seperti itu
Semuanya akan menjadi hasrat dan juga
syariat Kembali juga reranting dingin
Semakin menambah dosa melebur jauh
Kilau gelap tuntas di atas kepala yang risau
Dan angslup diantara dada dan pusar
Sama-sama kembali untuk keinginan yang tak usai
12

Lagu-lagu semakin saja keras berdentum


Menambah hiruk pikuk meluas sampai
ke ujung Lalu, setelah semuanya menyatu
Maka desir kenikmatan mengerat hati
Dan lupa adalah jalan yang menjadi pintas pun
pantas Seribu kenangan kini mengendap di jantung
hari Sebagai isyarat yang hilang dari apa yang tiada
Rumahpun bukan tujuan
Karenanya pilihan memang tak tampak Sebab
semuanya hanya mimpi yang lusuh dan kusut
Dan dimana-mana ada yang tak sempat
dijahit Apalagi untuk melipatnya

Subuh menjadi tempat paling akhir untuk sepi


Sebab hanya dia ibu terakhir dari segala sepi
13

NURI HANDIYANI

Sekapan Pembodohan

Di sepanjang lengan waktu


Langkah pasrah berserah
Menuntun arah yang menjarah isi kata

Kita hanya kerumunan


Berjejal titel mengungkang
Harga kerjapun setinggi
akademisi Tak jamin konpensasi
pula Adakah makna setelah Saat
bendera dikibar
Dengan tubuh renta berdiri dihadapnya
Tak ada yang bisa diucap Sekian umur
disekap dalam pembodohan Menunggu
pintu waktu ke waktu Hingga uzur
14

LUTFI AFRIZAL YUNANTA

Kesombongan

Tentang benda-benda yang engkau punya,


Dan kau banggakan
Tentang gaya hidup yang kau kenakan
Dan kau tuhankan

Tentang kekinian yang selalu saja kau bicarakan


Tentang status dan jabatanmu di penglihatan orang-orang

Seakan dunia ini akan engkau genggam Tapi,


jangan harap itu bisa mengesankanku ...
15

LUTFI AFRIZAL YUNANTA

Tetaplah Berhati Nyaman

Engkau selalu menjadi tujuan


Tujuan orang untuk bergelut dengan ilmu
Dari berbagai pelosok kota, semua ingin memadatimu
Bak kutub magnet, engkau punya daya tarik tersendiri

Namun kini
Engkau menjadi tujuan dari anjing-anjing asing
Yang perlahan mulai menggerogoti sudut-sudut keindahanmu

Barisan beton tebal memenuhi setiap sudutmu


Lautan hijau kini disulap menjadi hunian

Satu pintaku,
Tetaplah berhati nyaman
Agar kelak anak cucuku dapat menikmati kenyamanan
ini Kenyamanan yang perlahan mulau memudar ...
16

IKA NAFISATUR R

Lelaki itu Pacarku

Parasnya tak begitu tampan, namun selalu


membuatku nyaman setiap menatapnya
Tubuhnya kurus, tinggi, dengan rambut ikal
dan hidung mancung
Sosok laki-laki yang selalu membuatku rindu
Walau tak semua orang suka dengannya
Laki-laki itu yang selalu kusebut dalam setiap
sujudku Walau tak semua orang bisa menerima
Dialah yang selalu membuatku tertawa Laki-
laki itu yang kusebut sebagai kekasihku Yang
selalu membuatku ingin bersamanya Walau
terkadang orang sering mencaci Dialah lelaki
yang aku cintai
Iya, selalu kubilang hidupnya
kelabu Laki-laki itu masa depanku
Iya, laki-laki itu kekasihku
Walau ia sering terabaikan, laki-laki itu yang selalu
aku banggakan
Karenanya ku tersenyum
Walau terkadang orang enggan menatapnya
Aku yang selalu ada dihadapannya
Iya, lelaki itu pacarku
17

IKA NAFISATUR R

Asu, Bajingan, Kata Romantismu

Layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk


asmara Hanya ada kata kasih, cinta, rindu dan
sayang untuk menggambarkannya
Tetapi tidak untukmu, tiada pula untukku
Asu, bajingan, terdengar setiap saat di kedua daun telingaku
Asu, bajingan, kata romantis yang selalu kau berikan di
depan mataku
Iya, kau kekasih paling romantis yang pernah kucintai
Tiada kata “I Love You” sebagai pengantar tidurku
Tiada kata “Aku kangen kamu” sebagai pelepas rindu
Asu, bajingan, selalu itu yang kau ucapkan
Asu, bajingan, kata-kata indah yang selalu memenuhi
rongga kepalaku
Asu, bajingan, kata yang selalu menyambut
setiap aku terbangun
Asu, bajingan, itulah caramu mencintaiku
Asu, bajingan, itulah caramu memelukku
Iya, karena kau kekasih yang selalu membuatku kagum
Asu, bajingan, dengan kata itu kita bertemu Asu,
bajingan, kata-kata darimu yang akan selalu menjagaku
Karena kau kekasih terindah dalam hidupku
Asu, bajingan, dengan itu kau merindukanku
Asu, bajingan, kata cintamu untukku
Iya, karena kau kekasihku
18

MELANI YULIAWATI

Seikat Puisi Ulang Tahun

Seikat puisi ulang tahun Dapat


dipesan pada para pengrajin Di
tepi Jalan Malioboro Bersebelahan
dengan pedagang anyaman Dan
cindera warna-warni

Pagi ini kupesan seikat puisi ulang


tahun Untuk yang teristimewa
Yang selalu memberikan keindahan
Kenyaman dan semuanya
Tempat pertama aku melihat
dunia Untukmu, Yogyakarta

Seikat puisi itu akan aku bawa


Dengan bingkisan kecil Saat
pesta rakyat dirayakan
Akan aku beri untuk semua rakyatmu
Selamat ulang tahun Yogyakarta
19

MELANI YULIAWATI

Waktu

Di sebuah negeri
Waktu berhenti
berputar Jam dinding
meleleh Sebab
Setiap nafas tanpa masa lampau
Setiap sukma tanpa masa depan

Lihatlah!
Bandit, copet, maling dan
penipu Berbedak gincu
Di istana mewah berkuasa
Bersulang anggur pembesar
negeri Serupa zaman purba
Rakyat dipaham maknakan
Ulat, cacing, dan belalang
20

Di sebuah negeri
Waktu berhenti berputar
Jam dinding meleleh
Sebab
Pembesar negeri pesta pora tanpa henti
Kala rakyat terbenam genangan air mata

Sebab
sekerat kemanusiaan segumpal
kerakyatan dimuliakan dengan
kepalsuan dan engkau para
pujangga
tertusuk labirin peradaban hantu
dan kaum intelektual dibisukan
takdir kuasa dunia hitam
dan para agamawan terhampar tsunami kemunafikan

Begitu perih,
ternyata ini Indonesia, tanah yang sangat aku
banggakan Oh begitu perih
21

YUNIA TRI MAWARNI

Hari Tuamu

Aku sering mencium tanganmu, terlampau sering


Hingga aku tak sadar, tanganmu tak sekuat dulu
Aku sering melihatmu tersenyum Namun aku tak
tahu lelah yang kau sembunyikan

Dan rambut putih mulai tumbuh


Tahun demi tahun tumbuh semakin banyak
Kerutan wajahmu pun juga mulai menghiasi
wajahmu Namun kau masih tetap cantik, Bu
Dan aku masih menjadi orang yang kau
lindungi Dengan sisa tenagamu
Aku masih menjadi orang yang
belum dapat membahagiakanmu Di
hari tuamu
22

YUNIA TRI MAWARNI

Tentang Hujan

Aku butuh kamu


Aku menginginkanmu
Karena debu melekat di
hidung Dan di bulu mataku

Kering telah meretakkan


bibir Juga hati-hati dehidrasi
Hujanlah sejenak
Mandikanlah asaku
23

FAOZAN TRI NUGROHO

Suara Bumi #2

Alam menangis sendu


Udara campur debu dan racun
Nyiur tak ada lagi yang melambai
Utuh dirusak oleh manusia

Rimbunan pohon rindang jadi tandus


Bangunan tinggi pencakar langit mulai menyeruak
Qalbu manusia yang merusak, tertutup nafsu
serakah Adakah yang bisa bertanggungjawab?

Filosofi leluhur kami terinjak


Warisan untuk anak cucu tak ada
Indah harmoni alam sirna
Bumi pun siap untuk berteriak
24

FAOZAN TRI NUGROHO

Alam

Ku buka mata
cahaya pagi menembus kaca
jendela Kubuka jendela
Kuhirup udara segar

Melihat kabut tebal masih menyelimuti


bumi Setetes embun membasahi daun
Kicauan indah terdengar di telinga
Angin berhembus halis menembus kulit

Kulihat awan seputih melati


Juga langit, sebiru lautan samudra
Kini kusiap menghadapi hari yan
baru Dan indahnya bumi
25

SRI SUNDARTI

Waktumu

Sembilan bulan sepuluh


hari Kelahiranmu tlah tiba
Berbalut dalam kesucian
Hidup di jalan duniamu

Langkah demi langkah tumbuh


Dalam tanjakkan kedewasaan Kau
pun berani memilih hidupmu
Menemukan cinta kasihmu

Waktu tlah membawamu


Waktu tlah memberi waktu Di
mana ruang yang kosong Tlah
kau isi di dalam waktumu

Waktu rentang usiamu Membawa


renungan dalam hidupmu Waktu
yang berjalan Sampai waktu
menghentikanmu
26

SRI SUNDARTI

Jejak Kekasih

Sepi telah lama kehilangan


Begitu pedihnya
Juga rindunya tak lagi
Mengharap sebuah muara

Hanya mengikuti jejak


Yang tertinggal direlung jiwa Di
mana seluruh rasa telah terbelenggu
Sakral di ujung bayang

Tiada terpangkut angan yang pernah


ada Meluruh bersama bait Kisah
yang tertinggal

Hanya gema kenangan


Yang menggaung riuh
Menyulam sisa keindahan
Yang enggan terhapus

Meski hasrat telah gugus


Di bawah reruntuhan duka
Namun keindahan dirimu
Tak pernah pupus di mata jiwa
27

SYAFIRA MAHFUZI

Alunan Asmara

Wahai kamu yang lembut


hatinya Rasakan alunan asmara
Tenang, membawa kedamaian
Rasakan alunan denyut nadi ini,
Secepat mobil yang melaju ketika ada tatapan itu

Pesona telah membuatku tersihir


Tersihir dalam alunan asmara
Alunan cinta ini begitu indah awal kurasa
Tidak ingin aku kehilangan setiap denting alunan ini

Wahai kamu yang ada di sana


Harapku, kau rasakan alunan yang
sama Menjaga seutuhnya hati
Hingga waktu yang menemui bisa menyatukan
28

SYAFIRA MAHFUZI

Selamat Tidur

Mimpinya sudah di ujung rambut


Yang berjuntaian dan berkabut
Mata yang lelah dan jiwa yang beribut
Sebentar lagi terpejam lembut

Selamat tidur, katanya lembut


Namun segala tanya mulai berebut
Segala salahnya disebut-sebut Dan
kedamaian perlahan disebut

Maka secarik dua da sebut Demi


satu malam yang berkabut
Memohon risaunya dicabut Dan
lelap pun menyambut
29

ANASTASIA SISKA B

Di Atas Kasur

hari ini adalah


aku karenanya
sebelum ngantuk
berjaya aku melihat
pada cermin matahari
30

ANASTASIA SISKA B

Waktu Yang Kutinggalkan

Aku bukan daun yang layu


Aku bukan tangkai yang tumbang
Aku bukan pula kelopak yang jatuh begitu saja
Aku ingin menjadi karang yang tak akan terkikis
oleh badai ombak
Aku ingin menjadi mentari yang tak pernah lelah menyinari
Aku ingin menjadi hujan yang menyejukkan setiap hamba-
Nya Aku ingin menjadi air, sumber hidup bagi segala makhluk

Tapi ...
Aku takut
Akan waktu yang tak sampai pada inginku
Akan waktu yang tak akan menemaniku
Akan waktu yang hilang dariku
Jikalau ia hilang
Aku ingin terukir disetiap waktu, ketika aku tak
dapat lagi menemui waktu
Aku ingin terukir indah, disetiap mata dan jiwa yang kutemui
Bantu aku untuk mengukir setiap waktu yang tak akan kutemui
31

RATNA TRI PALUPI

Bila Nanti

Bila nanti impianku tak kekal abadi Bila


nanti asaku tak lagi ada Bila nanti
tubuhku tak sanggup menyangga Bila
nanti ku tak ada untukmu Simpan sisa
nama baikku dalam hatimu
32

RATNA TRI PALUPI

Yogyakarta

Saat kudengar namamu


Terkadang aku bertanya
Apakah aku akan tetap di
sini? Menjalani hariku di sini?
Menghabiskan waktu
Dengan segala
kenyamananmu Entah ...
Hatiku tak sanggup menjawab
Kota yang banyak menyimpan
perjalanan Hari-hariku
Sahabatku
Cintaku
Semua begitu istimewa
kurasa Seperti kau ...
Ya, Yogyakarta
33

ADI S. SOEJARWADI

Fase

kanak-
kanak muda
dewasa
tua
belum tentu mengalami semuanya......
34

ADI S. SOEJARWADI

Lelaki

Kemarin baru saja kubacakan sajak


untukmu, Sajak rindu seoarang perjaka..
kini ingin lagi ku ulang sajak itu untukmu,
rasanya kau tak mengerti gejolak dalam batinku ini.

Aku tau setelah perpisahan itu, kau


dan aku menjadi sulit untuk bertemu,
kita hanya bisa bertemu lewat suara,
hanya suara pasti belum cukup.

sebenarnya mudah saja bagiku untuk sejenak


singgah di Istanamu itu..
untuk menemuimu....
tapi, lihatlah cincin yang melingkar di jarimu itu,

Aku harus menghargai itu,


aku harus menghargai lelakimu,
bagaimanapun juga aku ini lelaki.
Esai
36

Menembang Asmaradhana sebagai


Refleksi Diri dalam Puisi “Asmaradana”

Kurniani Oktaviani

Asmarandhana, merupakan filosofis cinta dalam tembang


Jawa. Nama tersebut begitu melekat dalam khazanah Jawa. Dalam
dunia sastra, nama tersebut mengilhami terciptanya puisi yang
berjudul “Asmarandana” karya Goenawan Mohamad.
Asmarandhana dalam nyanyian Jawa dikenal sebagai tembang
macapat. Seperti yang diketahui, tembang macapat mengenal
aturan guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Aturan tersebut
ternyata dapat menambah nilai keindahan makna yang
disampaikan dalam suatu jenis tembang macapat. Asmarandhana
terdiri dari dua kata, yakni asmara yang berarti asmara atau cinta
dan dahana yang artinya api. Jadi tembang asmarandhana dapat
diartikan sebagai suatu perasaan suka, cinta, sayang dari seorang
pria kepada wanita atau sebaliknya, yang semuanya itu
merupakan suatu kodrat dari Tuhan.
37

Tembang asmaradhana terdiri dari 7 gatra dengan guru


wilangan dan guru lagu 8-i, 8-a, 8-é, 8-a, 7-a, 8-u, 8-a. Dalam
poses analisis puisi yang berjudul “Asmarandana” karya
Goenawan Mohamad, dipakai pemikiran secara intertekstual.
Pemilihan judul “Asmarandana” jelas mempunyai tujuan
sendiri, yakni dapat terkait dengan isi dari puisi tersebut yang
sesuai dengan isi dari tembang asmaradhana. Isi dari tembang
asmaradhana adalah kisah cinta Damarwulan dengan
Anjasmara. Sebab lain mungkin penulis ingin melestarikan
salah satu budaya Jawa klasik, yakni menembang melalui puisi.
Baris pertama sampai keempat terdapat suasana yang
mendukung kesunyian dan kesepian. Hal ini terbukti dari
iadengar kepak sayap kalelawar dan guyur sisa hujan dari/ daun/
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta/ langkah/
yang jauh. Jelas dalam baris tersebut suasana sunyi dan sepi
begituterasa sampai ia dalam puisi tersebut yang menggambarkan
Damarwulan dapat mendengarkan suara selirih kepak sayap
kelelawar, dinginnya guyur hujan, suara angin, resah kuda yang
seakan ikut merasakan kesedihan tuannya, hingga langkah yang
jauh sekalipun. Baris kelima, Tapi di antara mereka berdua,tidak
ada/ yang berkata-kata/ Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian
itu. Ia melihat/ peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan
yang tak/ semuanya disebutkan/ menggambarkankisah
Damarwulan yang akan berperang melawan Minak Jinggo, yang
merupakan pengkhianat kerajaan Majapahit. Damarwulan adalah
seorang ksatria yang amat cinta pada negerinya sendiri, yakni
Majapahit. Dia harus memilih untuk membela Majapahit dalam
peperangan. Keputusan ini menandakan sebuah perpisahan
dengan kekasihnya yang sangat dicintainya, yakni
38

Anjasmara.
Damarwulan sebenarnya tahu nasibnya bagaikan buah
simalakama. Jika ia menang melawan Minak Jinggo, maka ia
akan dianugerahi jabatan dan ia akan menjadi kaum elit
kerajaan Majapahit. Ia pun akan diminta menikah dengan
perempuan lain yang lebih elit. Akan tetapi, pilihan itu terasa
absurd karena Minak Jinggo sangat tangguh dan sakti.
Kemungkinan yang paling besar adalah Damarwulan dan
Minak Jinggo akan bertarung sampai mati. Damarwulan yang
telah beristrikan Anjasmara berhasil mengalahkan Minak
Jinggo sehingga dinobatkan menjadi Raja Majapahit dan
menikah dengan Ratu Kenconowungu. Kekalahan Minak
Jinggo ini berkat petunjuk dua istri Minak Jinggo yang
kemudian juga menjadi istri Damarwulan. Maka, pertemuan
ini adalah pertemuan yang terakhir bagi dua kekasih itu.
Selanjutnya, pada baris selanjutnya adalah lalu ia
tahuperempuan itu tak akan menangis/ Sebab bila esok pagi
pada rumput halaman ada tapak yang menjauh/ ke utara,/ ia
tak akan mencatat yang telah lewat dan yang/ akan tiba,/
karena ia tak berani lagi/. Damarwulan (ia) tahu bahwa
Anjasmaraadalah seorang gadis yang tegar sehingga dia tidak
akan menangis sekalipun nanti pagi ada tapak kaki diri
Damarwulan yang menuju utara, menuju medan perang. Dia
(Anjasmara) membuang semua masa lalu dalam kepalanya
hingga dia tidak mempunyai lagi alasan untuk bersedih.
Akhirnya dalam baris terakhir Anjasmara, adikku,tinggallah,
seperti dulu/ Bulan pun lamban dalam anginnya, abai dalam
waktu/ Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan/ Wajahku/
Kulupakan wajahmu/. Damarwulan meminta agar
39

Anjasmara menjalani hidup seperti biasa, seperti dahulu.


Dalam remang-remang malam dikelilingi puluhan kunang-
kunang, dan seakan mengabaikan waktu esok, Damarwulan
meminta Anjasmara untuk melupakannya, karena ia pun akan
melupakan Anjasmara. Damarwulan meminta Anjasmara agar
berpasrah pada takdir.
Berikut puisi “Asmarandana” karya Goenawan Mohamad.

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur


sisa hujan dari daun
karena angin pada kemuning, ia dengar resah kuda
serta langkah
pedati ketika langit bersih kembali menampakkan
bimasakti yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak
ada yang yang berkata-kata
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu, ia
melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan
yang tak semuanya disebutkan
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok
pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,
ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba,
karena ia tak berani lagi
Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu
Bulan pun lamban dalam anginya, abai dalam
waktu Lewat remang dan kunang-kunang,
kaulupakan Wajahku
Kulupakan wajahmu
40

Puisi yang dikarang oleh Goenawan Mohamad ini


bertemakan romantik karena berisi perpisahan antara
Damarwulan dengan Anjasmara. Biasanya puisi-puisi Goenawan
Mohamad banyak bertemakan politik dan sosial, tetapi dalam
puisi tersebut ditemukan unsur kebudayaan Jawa, yakni melalui
isi tembang macapat asmaradhana. Isi secara keseluruhan dalam
puisi tersebut juga sesuai dengan isi tembang asmaradhana, yakni
sama-sama menceritakan tokoh Damarwulan dengan Anjasmara.
Selain bertemakan romantik yang berakhir dengan kesedihan,
tetapi terdapat unsur kehidupan di dalamnya. Damarwulan
seperti yang diceritakan dalam puisi tersebut merupakan sosok
ksatria yang rela mengorbankan apapun demi Majapahit. Dia
berani mengambil keputusan untuk berperang melawan musuh
Majapahit dan meninggalkan keluarga dan kekasihnya,
Anjasmara. Sifat dari Damarwulan yang berani dan rela
berkorban demi negara dapat dijadikan nilai yang berharga,
khususnya bagi kaum laki-laki untuk bersikap berani, tanggung
jawab, dan mengutamakan kepentingan umum daripada pribadi.
Dalam hal ini berkaitan dengan rasa nasionlisme dan bela negara
terhadap negaranya sendiri, walaupun harus tewas dan
meninggalkan keluarganya yang tenang tenteram.
Puisi ini juga memberi pesan untuk para istri agar rela
melepas suaminya untuk berjuang, walaupun dia harus siap
mendengar kabar kematian atau suaminya menikah dengan
perempuan lain. Selain itu, puisi Asmarandana juga menyorot
pada takdir bahwa hidup itu tidak selamanya berjalan mulus dan
lurus saja, akan tetapi terkadang di atas dan di bawah. Saat kita
berada di bawah dan dalam kondisi buruk pun kita harus tetap
sabar dan tegar melewatinya dengan hati yang lapang. Kita
41

harus mengisi hidup ini dengan baik sampai kita mati. Secara
tersirat puisi tersebut mengajarkan pada pembaca tentang arti
kehidupan, perpisahan, keluarga, dan rasa kasih sayang.

Daftar Pustaka

Anonim. 2012. “Analisis Puisi Asmaradana Karya Goenawan


Mohamad”, dalam http://kampusmaya.org. Diunduh
pada tanggal 22 November 2015.
Esamahadewa. 2012. “Macapat Asmaradhana”, dalam http://
esamahadewa.blogspot.com. Diunduh pada tanggal 23
November 2015.
Rif’an, Mochammad. 2012. “Cerita Damarwulan”, dalam http://
sejarah.kompasiana.com. Diunduh pada tanggal 24
November 2015.
Ryuliana. 2013. “Analisis puisi Asmarandana dan Penerimaan”,
dalam http://ryuliana111.wordpress.com. Diunduh pada
tanggal 22 November 2015.
42

Viktimologi Pelacur Lesbian


Novel Maman Suherman

Arief Kurniatama

Tanggal 27 November 2015 kemarin saya berkunjung ke sebuah


toko buku di bilangan Kotabaru, Yogyakarta. Awalnya saya
hendak mencari buku pembelajaran bahasa Indonesia untuk
SMA kelas XI sebagai materi skripsi, tetapi buku itu sudah
tidak ada dalam penyimpanan. Akhirnya saya membeli novel
berjudul Re:. Sekilas novel ini hampir sama seperti novel-novel
lainnya. Namun, pada bagian cover depan bagian kanan bawah
tertulis peringatan “Khusus Dewasa 18+”. Rupanya, novel ini
mengulik tentang kisah pelacur lesbian yang belum diketahui
oleh sebagian besar masyarakat.
Berlanjut pada persoalan karya, novel terbitan
Kepustakaan Propuler Gramedia ini termasuk dalam kategori
bergenre LGBT (Lesbian, Gay, Bisex, Transgender). Alumni
Kriminologi UI yang juga kreator acara Indonesia Lawak Klub
Trans TV inilah yang mengemas novel setebal 160 halaman
dari skripsi 400 halaman. Novel ini dibuat berdasarkan
kejadian yang ada (kisah nyata). Maman Suherman dengan
sengaja masuk dalam dunia malam kepelacuran.
43

Bukti novel ini bergenre LGBT terlihat pada setting tempat


yang digunakan penulis seperti lapangan Banteng (Jakarta
Pusat), Taman Lawang, dan lain sebagainya. Misalnya, di
lapangan Banteng terdapat pria yang mejeng dan kerap disebut
‘balola’ singkatan dari ‘barisan lonte lanang’. Kemudian (hal.
113), adanya karakter pelacur lines, hetero, atau juga lekong
(anak laki-laki berpenampilan kemayu seperti perempuan)
yang mencari om-om penyuka sesama.
Novel ini dibuat memiliki maksud yang jelas, yakni
membuka pemikiran orang-orang yang memandang bahwa
pelacur adalah sampah yang dicap kotor. Padahal pada
permasalahannya bukan apa pekerjaan mereka, tetapi
mengapa mereka jadi pelacur atau siapa otak kriminalitas
dalam kepelacuran ini. Pelacur juga memiliki kehidupan yang
sama seperti orang-orang pada umumnya. Mereka memiliki
keluarga, anak, orang tua, dan cita-cita.

Hampir setengah jam menanti, kami berdua


serempak melihat satu motor bebek merah
berhenti, tepat di depan pintu pagar sekolah.
Semula yang tampak hanya dua orang dewasa.
Lelaki di depan, perempuan di belakang. Ternyata
di tengah mereka terselip anak kecil. Buah hati Re:.
Nadi kehidupan Re:.
“Itu Melur,” ujarnya setengah berteriak. (hal.
137)

Melur adalah anak Re:, hasil dari perbuatan di luar nikah


bersama dua orang lelaki, yakni teman dan gurunya. Melur lahir
44

tak berbapak, sama seperti Re: yang ketika lahir tak memiliki
ayah. Melur dititipkan pada Bu Marlina dan Pak Sutadi yang
merupakan tetangga Shinta, sahabat Re: di pelacuran Mami
Lani. Shinta telah meninggal beberapa minggu yang lalu,
kabarnya dia ditabrak oleh mobil di depan lobi hotel.

Di bagian kepala korban tampak ceceran serpihan


putih bersaput darah. Sebagian rambutnya yang panjang
tercabut dari batok kepala dan menempel di jalan,
mungkin saking kerasnya hantaman mobil. Wajah dan
sekujur tubuh perempuan berkulit bening itu terkelupas
hingga ke tulang, tergerus lapisan batu dan aspal yang
setajam parutan kelapa. (hal. 6-7)

Pemberitaan kasus pelacur meninggal tidak saja terjadi


sekali ini, tetapi lebih dari itu. Sebenarnya, para pelacur yang
meninggal itu ada sebabnya, biasanya disengaja oleh bos
(germo) mereka yang tidak ingin jika anak emas yang
menghasilkan jutaan rupiah atau milyaran itu pergi berpindah
ke pelacuran lain.
Di pertengahan novel ini, Maman Suherman pernah diteror
oleh Mami Lani, jikalau Maman berani mengelabui Mami Lani dia
juga akan dibunuh. Artinya, berita pelacur meninggal semata-
mata bukan karena ulah nakal dari pelacur sendiri, melainkan
ulah dari bos mereka yang kerap kali mengintimidasi untuk tidak
pergi begitu saja. Dalam talkshow Maman yang diadakan di TB
Gramedia Depok, sebanyak 15 orang pelacur, 13 orang diantaranya
harus meregang nyawa di depan mata. Perut mereka dicutter oleh
germo-germonya (Kompasiana, 2015).
45

Kehidupan mereka di pondok (kos-kosan) juga sudah dijamin,


mulai dari makan, tempat tinggal, dan kesehatan.
Tingkah pelacur lesbian yang digambarkan Re: pada
novel ini terbaca pada hal. 106, bahwa:

...Re: pernah threesome bersama perempuan.


Tugasnya adalah mandi kucingin dua-duanya.
Ngejilatin seluruh badannya termasuk putingnya.
Lalu main pakai dildo atau pakai tangan.

Selain itu, Re: juga pernah diundang oleh perempuan yang


merupakan pelanggannya. Saat itu dia harus bersama Herman,
nama samaran dari Maman, karena permintaan Re:. Namun,
ketika bermain di ranjang, Herman tidak diperbolehkan ikut, ia
harus menunggu di ruang tamu sambil menonton TV. Bahkan
lanjutnya, tidak cuma threesome. Di satu kamar Re: pernah kerap
diundang untuk bermain empat pasang sekaligus. Setelah itu,
mereka tukar-tukaran pasangan satu sama lain.
Benjamin Mendelsohn, sang penulis Viktimologi,
menyoroti secara mendalam hubungan antara korban dan
pelaku kriminal. Ia menciptakan istilah ‘viktimal’ sebagai
lawan dari ‘kriminalitas’. Mendelsohn membahas dan memberi
contoh-contoh bagaimana seseorang kerap tak sadar bersikap
dan berperilaku yang menyebabkan dirinya menjadi korban
kejahatan.
Dalam novel ini, dapat digaris bawahi bahwa Re: merupakan
korban kejahatan di mana awalnya dia diajak oleh Mami Lani
untuk menginap di rumahnya. Kala itu, Mami Lani melihat Re:
tidur di depan lobi hotel di daerah Jakarta dengan perut
46

membuncit (hamil). Re: berpikir bahwa Mami Lani orang baik,


ternyata ada maksud dibalik kebaikan yang dilakukan Mami
Lani. Jadi, pekerjaan yang dilakukan oleh Re: lebih kepada
pelunasan hutang-hutang kepada Mami Lani. Jika tidak begitu,
Re: akan dibunuh, seperti Shinta dan teman-teman lainnya.
Pada November 1989, Re: memberikan tugas khusus
kepada Herman untuk mengirim berbagai macam mainan
kepada Melur, anak semata wayangnya. Tak cuma itu, dia juga
menitipkan long dress untuk Bu Marlina dan segepok uang
yang tidak sedikit sebesar Rp 5,25 juta.

“Bilang sama Bu Marlina, jangan ditolak. Tolong


ditabung untuk bantu-bantu biaya sekolah Melur.”
“Kamu kuras semua tabunganmu? Lalu untuk
kamu?”
“Aku hidup untuk Melur. Nasibnya harus lebih
baik dari nenek dan ibunya...” Re: berkata lirih.
“Kamu kan juga butuh uang?” tanyaku.
“Man, aku sudah bilang kan, aku itu bekerja
untuk Melur. Sebentar lagi aku gak butuh duit...
Aku sudah tua...” (hal. 143)

Percakapan itu adalah percakapan terakhir Herman


dengan Re:. Dalam headline sebuah koran sore, Herman
mendapati judul “Seorang Pelacur Tewas Tersalib di Tiang
Listrik Jalan Blora. Tubuhnya Penuh Sayatan!”

“Menurut tukang ojek yang biasa mangkal di


depan kafe dangdut itu, mayat ditemukan sekitar
47

02.30-an, tak lama setelah kafe itu tutup.” “Menurut


tukang ojek yang bernama Rohim itu,
perempuan yang tewas mengenaskan itu bernama
Rere, dan dikenal sebagai pelacur.” (hal. 148)

Sikap yang dilakukan Re: termasuk terpuji meski orang-


orang mengecapnya sebagai pelacur lesbian. Re: tidak pernah
memaki takdirnya, Re: tetap bertanggung jawab terhadap bayi
yang dikandungnya, Re: tipe orang yang tidak suka mengeluh,
dan Re: sosok perempuan yang selalu memberikan
kebahagiaan pada anaknya. Hal itu sejalan dengan pendapat
Endraswara (2003: 79), bahwa sastra sering memperjuangkan
umat manusia dalam menentukan masa depannya,
berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi.
Novel Re: bukan novel yang mengumbar undercover
adegan seks bebas atau kegiatan melacur, tetapi kita sebagai
pembaca dihadapkan pada perjuangan Re:. Tidak ada yang rela
ikhlas menjadi pelacur secara lahir-batin, melainkan pelacur
berharap bagaimana caranya berhenti menjadi pelacur.
48

Seni Karawitan: Mengungkap


Budaya dan Moral

Oktavia Fitriani

Kebudayaan Indonesia beraneka ragam dan mempunyai ciri khas


tersendiri pada masing-masing daerah atau lokal. Kekayaan
budaya dalam kearifan lokal inilah yang harus dikembangkan
untuk terus melestarikan kebudayaan Indonesia. Salah satu
budaya kearifan lokal di Jawa ialah seni karawitan. Seni Karawitan
adalah seni pertunjukan yang di dalamnya banyak mengandung
nilai, baik nilai budaya maupun nilai karakter. Nilai karakter atau
moral tersebut dapat ditanamkan melalui nilai-nilai yang
terkandung saat bermain karawitan atau gamelan. Oleh karena
itu, tulisan ini akan membahas tentang nilai karakter di
Indonesia, kesenian karawitan, nilai-nilai karakter dalam seni
karawitan, dan metode penerapannya.
Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan
keramahan dan budayanya. Orang dari luar negeri ketika
berkunjung ke Indonesia mengatakan bahwa rakyatnya ramah
tamah dalam bersikap dan menghargai orang lain. Saat
Indonesia dalam masa penjajahan, karakter bangsa jauh lebih
baik daripada sekarang ini. Rakyatnya saling menghormati,
49

membantu sesama, dan bersikap ramah kepada orang lain.


Dipandang dari segi budayanya pun, Indonesia merupakan
negara yang multikultural. Budaya tersebut juga merupakan
faktor pembentuk kepribadian seseorang yang lebih baik.
Namun demikian, sekarang ini telah masuk dalam
modernisasi. Masyarakat Indonesia dihadapkan dengan arus
globalisasi yang mendunia sehingga masuknya budaya barat
dalam hal ekonomi, teknologi, sosial, politik, bahkan budaya.
Basrowi (2005: 173) menyatakan:
Modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang
biasanya merupakan perubahan sosial yang terarah yang
didasarkan pada suatu perencanaan, yang dinamakan
socialplanning. Proses modernisai meliputi bidang-bidang
yangluas, menyangkut proses disorganisasi, problem sosial,
konflik antarkelompok, dan hambatan-hambatan terhadap
perubahan.
Masuknya aspek modernisasi bagi Indonesia membawa
dampak positif maupun negatif. Positifnya, Indonesia
mengalami kemajuan dalam berbagai bidang. Misalnya
kemajuan teknologi, dulu masih menggunakan mesin ketik
dalam menghasilkan tulisan, sekarang orang sudah banyak
yang menggunakan laptop. Akan tetapi, juga terdapat dampak
negatif. Apabilamasyarakat tidak dapat memfilter kebudayaan
barat, maka akan menghilangkan jati diri bangsanya.
Contohnya, sekarang ini merosotnya nilai-nilai moral
masyarakat, sopan santun, perilaku bahkan nilai karakter.
Nilai karakter merupakan karakteristik atau watak pada
seseorang. Masing-masing orang mempunyai karakter yang
berbeda-beda sesuai dengan kepribadiannya. Ahli pendidikan
nilai, Zuchdi (via Sutarjo, 2012: 39) memaknai bahwa watak
50

(karakter) sebagai seperangkat sifat-sifat yang selalu dikagumi


sebagai tanda-tanda kebaikan, kebijakan, dan kematangan
moral seseorang. Diharapkan dengan adanya pendidikan
karakter mampu mengubah seseorang memiliki sifat-sifat yang
baik, bijaksana, dan memiliki kematangan moral. Oleh karena
itu, diperlukan suatu media sebagai penyaluran penanaman
nilai karakter tersebut.
Dengan demikian, melalui budaya yang sesuai jati diri
bangsa Indonesia, diharapkan mampu memberi penanaman
moral yang baik. Budaya dapat kita ambil dari kesenian
tradisonal, yang merupakan sarana yang baik untuk
memberikan pendidikan karakter pada masyarakat, terutama
pada generasi muda. Kesenian tradisional mangandung nilai
luhur, selain itu diciptakan oleh nenek moyang kita dengan
tujuan tertentu. Banyak leluhur kita mengajarkan sesuatu
dengan bentuk kesenian agar diminati oleh masyarakat, salah
satunya seni karawitan.
Seni karawitan terkenal di kalangan Jawa Tengah maupun
Yogyakarta dengan istilah ngrawit. Kata ngrawit artinya, suatu
karya seni yang memiliki sifat-sifat yang halus, rumit, dan
indah (Purwadi dan Afendy, 2006: 78). Jadi, dapat diartikan
bahwa seni karawitan adalah seni pertunjukan atau gamelan
yang rumit dalam memainkannya, tetapi halus dan indah
dalam alunan iramanya. Memang tidak mudah memainkan
karawitan, karena harus mempelajari banyak teknik tersendiri.
Justru teknik-teknik yang terdapat di dalamnya terkandung
nilai-nilai karakter yang baik.
Terkait dengan memainkan seni karawitan, terdapat dua
aspek nilai. Pertama, nilai-nilai karakter terkait menabuh
51

instrumen gamelan. Instrumen gamelan terdapat nilai


kebersamaan, nilai kepemimpinan, nilai kesabaran, nilai
kreativitas, dan nilai tanggung jawab. Nilai kebersamaan timbul
karena saat bermain karawitan harus ada kebersamaan dalam
memainkan gamelan. Antara alat musik yang satu dengan yang
lain harus ada kesatupaduan untuk membentuk instrumen yang
bagus. Seperti manusia, harus berjalan bersama agar membentuk
kehidupan yang padu. Nilai kepemimpinan timbul pada alat
musik gendang, karena gendang mengawali permaianan musik
dalam karawitan. Hal ini sesuai dengan karakteristik pemimpin,
yang dapat memberikan permulaan positif bagi yang dipimpin.
Nilai kreativitas yang muncul ketika memainkan gamelan
yaitu, mengaransemen musik gamelan dengan nada yang berbeda
ataupun dengan memadukan dengan alat musik lain. Dengan
demikian, dapat terbentuknya nilai karakter yang kreatif dalam
menyikapi kehidupan. Selanjutnya, nilai tanggung jawab dalam
memainkan gamelan. Masing-masing pemain mempunyai
tanggung jawab dalam memainkan alat musik gamelan sesuai
dengan tugas dari alat tersebut. Contohnya, gendang dipukul
untuk mengawali karawitan, gong dipukul sebagai pamungkas
nada, dan lain sebagainya. Tujuan ini adalah membentuk karakter
manusia agar bertanggung jawab atas perannya masing-masing
dalam kehidupan.
Kedua, nilai-nilai karakter terkait dengan tembang yang
dilantunkan. Tembang dalam karawitan mempunyai nilai
persatuan, nilai patriotisme, nilai cinta tanah air, dan nilai
kelembutan. Tembang-tembang tersebut memiliki nilai karakter
sesuai judul tembang yang dinyanyikan. Contohnya, lagu lirilir
terdapat nilai cinta tanah air dan kelembutan. Hal tersebut
52

dapat dibuktikan dengan syair di dalamnya yang menceritakan


tentang kehidupan orang desa yang tentram, yang merupakan
gambaran orang cinta tanah air. Nilai kelembutan juga muncul
karena dalam menyanyikan lagu tersebut dengan nada atau
intonasi yang lemah lembut, sesuai dengan syairnya. Semua
nilai-nilai positif dapat diperoleh dalam bermain karawitan,
baik dari segi gamelannya maupun tembangnya.
Selanjutnya, untuk menerapkan seni karawitan ini sebagai
pendidikan karakter harus dimulai mengajarkan pada anak
usia dini. Caranya menjadikan seni karawitan menjadi
ekstrakurikuler di sekolah. Akan tetapi, karawitan juga dapat
menggantikan musik drum band. Unsur antara karawitan dan
drum band sebenarnya hampir sama, tetapi siswa biasanya
lebihberminat ke musik drum band karena mereka akan
bangga ketika memainkan musik dari negara lain yang lebih
terlihat modern. Oleh karena itu, peran guru sangatlah
penting dengan mengajarkan karawitan daripada drum band.
Anak-anak akan terbiasa dengan karawitan apabila dari awal
mereka telah dikenalkan dengan karawitan.
Selain menjadikan karawitan sebagai ekstrakurikuler,
metodepenerapannyajugadapatdilakukandenganmemasukkan
seni karawitan dalam mata pelajaran bahasa daerah ataupun seni
budaya. Di dalam mata pelajaran bahasa daerah, seni karawitan
dapat digabungkan dengan topik pembahasan nembang Jawa,
yaitu mengajari siswanya dalam menyanyikan lagu Jawa, tentu
saja beserta mengenal alat musiknya (gamelan). Lalu yang kedua
adalah mengajarkan seni karawitan dalam mata pelajaran seni
budaya. Biasanya dalam seni budaya terdapat pelajaran tentang
musik tradisional, di sini dapat dikenalkan untuk siswa
53

mengenai seni karawitan dan cara memainkannya.


Solusi lain yaitu dengan membuat sebuah wisata budaya
yang mengenalkan budaya Jawa, salah satunya adalah
karawitan. Konsep dari wisata budaya ini adalah suatu wadah
yang menyajikan budaya-budaya daerah (Jawa) yang menarik
agar anak-anak menyukainya. Seni karawitan disajikan dengan
komplit seluruh alat musiknya, dicantumkan juga nama-
namanya agar anak-anak yang datang dapat mengenalinya.
Selain itu, ada alat musik yang dimainkan beserta sinden yang
menyanyikan tembangnya, sehingga anak-anak mengetahui
iramanya.
Mengenai metode penerapan dalam mengimplementasikan
nilai-nilai karakter seni karawitan, merupakan berbagai upaya
yang dapat dilakukan untuk membentuk moral bangsa Indonesia
agar lebih baik. Diharapkan dengan upaya ini dapat bermanfaat
untuk masyarakat, terutama generasi muda agar ke depan jauh
lebih baik. Arus modernisasi bukan penghalang atau kondisi
negatif, tetapi kita dapat memfilternya untuk mengambil nilai
positif dan membuang nilai negatif. Agar bangsa kita tidak
kehilangan jati dirinya, yaitu bangsa yang bermoral dan
bermartabat.

Daftar Pustaka
Adisusilo, Sutarjo. 2012. Pembelajaran Nilai
Karakter:Konstruktivisme dan VCT sebagai Inovasi
Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Rajawali
Pers.
Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Purwadi dan Afendy Widayat. 2006. Seni Karawitan Jawa:
Ungkapan Keindahan dalam Musik Gamelan.
Yogyakarta:Hanan Pustaka.
54

Yang Tak Sekadar Bercerita

Risma Erniyati

Banyak orang yang pintar bercerita, tetapi tidak menjadi


pendengar baik sebuah cerita. Tak lantas bercerita hanya
dengan mulut semata, lewat bahasa, susunan kata yang ditata
menjadi sebuah karya sastra juga bisa. Sekarang pahamkan,
jika kita membaca sebuah karya sastra lewat mulut kita
sendirilah kita mendengarnya, bukan? Dan dari diri kita
sendiri pula lah kita memaknai inti ceritanya. Tapi ingat! Tidak
akan ada gunanya apabila hati tak terasa ternasihati setelah
membaca sebuah karya sastra. Merasa berdosalah jika yang
kau dapat hanyalah hiburan semata.
Jika ada yang bertanya, apa yang Anda tahu tentang
hidup? Maka jangan asal jawab atau bahkan bercanda dalam
menjawabnya. Sebab, hidup kita di dunia akan menentukan
hidup kita di akhirat. Bicara tentang sebuah kehidupan, Anda
harus setuju jika fragmen-fragmen kehidupan lebih mudah
dipelajari lewat kemasan manis sebuah karya sastra. Tentunya,
hidup yang memang tidak sederhana, akan dimaknai sebegitu
dahsyat setelah memahaminya.
55

Dalam hal ini, Seno Gumira Ajidarma (SGA) adalah salah


satu pengarang yang cukup saya kagumi. Lewat karya-karyanya,
SGA telah mengajari saya banyak hal tentang cara-cara
menghayati kehidupan. Melalui Kitab Omong Kosong, dia
mengajari saya lebih banyak lagi. Apa itu Kitab Omong Kosong?
Oke, kita sepakati menyebut karya ini dengan kata “kitab”. Kitab
ini berisi tentang sebuah refleksi atas kisah Ramayana, baik versi
asli karangan Walmiki maupun versi saduran ala dalang-dalang
Jawa. Namun ada bedanya, dalam kitab ini, Anda akan merasa
mendapat pengayaan yang menyegarkan.
Kitab ini awalnya hanyalah cerita bersambung di Koran
Tempo pada tahun 2001 hingga akhirnya dibukukan dan dinamai
Kitab Omong Kosong. Omong Kosong karena ia tidak berisi
pengetahuan purna tentang segala hal, yang ada hanya
penghampiran dan pendekatan. Ilmu pengetahuan bukanlah
sebuah kebenaran, tetapi usaha manusia untuk terus menerus
mendekati kebenaran. Kitab ini berisi sebuah metacerita: cerita di
dalam cerita. Banyak hal yang bisa dibicarakan tentang novel
Kitab Omong Kosong ini. Akan tetapi, diperlukan telaah tersendiri
untuk mengungkap semua aspek itu.
Kitab ini sebelumnya berjudul Rama-Sinta. Tentu dari
judulnya, kitab ini memiliki hubungan dengan kisah
Ramayana.Ramayana adalah cerita asal India yang dikarang oleh
Walmiki. Ramayana berisi tentang pelajaran hidup dan kisah
cintaRama dan Sinta. Kitab Omong Kosong karya SGA merupakan
deskontruksi Ramayana karya Walmiki tersebut. Walmiki yang
ahli membuat cerita, oleh SGA dimasukkan sebagai tokoh dalam
cerita. Digambarkan bahwa Walmiki kebingungan ketika tokoh-
tokoh dalam ceritanya satu per satu berdatangan, menggugat,
56

memprotes, dan menginginkan keluar dari cerita untuk


memilih kisah kehidupannya sendiri.
Seperti yang dikatakan sebelumnya, SGA mengemas cerita
ini menjadi lain. Lewat kitab ini, SGA berusaha
mendekonstruksi teks aslinya. Ada tiga hal yang
didekonstruksi oleh SGA dari Ramayana karya Walmiki.
Pertama, karakter Sri Rama yangmerupakan titisan Dewa
Wisnu, digambarkan sebagai tokoh agung dalam Ramayana,
berubah menjadi tokoh yang bengis, tidak mengenal rasa peri
kemanusiaan. Oleh SGA, Rama diceritakan telah terpengaruh
oleh “gelembung Rahwana”. Kedua, SGA menggunakan
perspektif baru dalam melihat persoalan kehidupan. Suara-
suara yang selama ini terpinggirkan atau tersubordinasikan
dimanfaatkannya dengan baik. Ketiga, terkait dengan gugatan
dari kaum pinggiran misalnya, seperti Maneka (pelacur) dan
Satya (penggembala) sebagai tokoh utama dalam kitab ini.
Bagian yang mungkin sedikitnya membuat saya tersenyum
adalah perihal jatah tokoh Sinta. Tokoh Sinta diberi kesempatan
untuk mengekspresikan perasaan dan sikapnya. Sinta, dalam
Ramayana dari India digambarkan dengan karakter seorangistri
yang patuh dan taat kepada suaminya, dalam Kitab
OmongKosong digambarkan sebagai perempuan yang
mengritikperilaku Rama, dan meragukan cinta Rama kepadanya.
Satu kalimat yang sampai sekarang masih saya ingat, bahkan saya
tulis sebagai status di dalam media sosial saya. “Tidak jugaRama,
titisan Batara Wisnu yang mahaperkasa dan maha
menghancurkan itu bisa menentukan nasibku. Apakah cinta bagi
Rama memerlukan syarat?” (Kitab Omong Kosong,
2013:17).Kalimat yang menurut saya memiliki kekuatan dan
makna yang
57

hebat. Entah dari sudut pandang apa saya menyatakannya,


yang pasti satu kalimat itu seakan maha perkasa bagi saya.
Dari situ, menurut saya (pribadi) Kitab Omong kosong
memberikan makna penting terhadap perempuan. Perempuan
dari perspektif laki-laki adalah peran perempuan didominasi
oleh laki-laki. Peran perempuan adalah menjadi bawahan dan
berada dalam perlindungan laki-laki. Akan tetapi, Sinta dalam
kitab ini menepis semua teori tentang perempuan tersebut.
Teori yang memandang perempuan adalah kaum lemah, kaum
yang tertindas. Inilah ucapan Sinta, yang saya kagumi, hasil
gagasan seorang lelaki “Aku Seorang Perempuan yang
mempunyaikehormatan, tidak membutuhkan perlindungan
maupun belas kasihan” (Kitab Omong Kosong, 2013: 17).
Kitab Omong Kosong juga berisi beberapa aliran filsafat.
Lewat lima bagian Kitab Omong Kosong, SGA menerangkan alur
pemikiran manusia atas dunia. Pertama, menjelaskan bahwa
“DuniaSepertiAdanyaDunia”. Bagianitumemberikanpengertian
seperti manusia menguraikan pohon kelapa, memisahkan
tempurungnya, memisahkan sabutnya, memisahkan airnya, dan
memisahkan daunnya. Kitab kedua berjudul “Dunia dalam
Pandangan Manusia” yang berarti seluruh bentuk yang ada itu
karena manusia bisa merasakan melalui panca indranya. Adanya
pohon kelapa karena kita (manusia) melihat pohon tersebut.
Adanya langit karena kita bisa menangkap gerak dan bentuknya.
Kalau langit tidak dapat dirasai oleh manusia, maka langit itu
tidak ada. Adanya kesadaran sebagai tolak ukur. Pada kitab ketiga
berjudul “Dunia yang Tidak Ada”. Bagian ketiga ini menerangkan
mengenai penggambaran manusia terhadap dunia. Angka dan
bahasa merupakan penggambaran dunia
58

yang dilakukan manusia. Kemudian kitab keempat berjudul


“Mengadakan Dunia”. Pengertian dari kitab keempat merupakan
cara manusia dalam memaknai dan menentukan guna dalam
segala hal. Selanjutnya, kitab kelima yaitu “Kitab Keheningan”,
kesimpulan dari kitab sebelumnya bahwa tidak ada yang
sepatutnya diperbincangkan. Semua hanya omong kosong.
Bagi saya, keomong-kosongan Kitab Omong Kosong ini akan
jadi rumit bila pembaca belum mengenal sama sekali Ramayana.
Selain itu, SGA sepertinya terlalu ingin menyampaikan cerita
yang sangat kompleks dengan 446 halamannya. Pembaca tidak
hanya diajak untuk mengilhami dunia melalui pembelajaran ilmu
filsafat, tetapi juga memberikan kesempatan pembaca untuk
menghidupkan sebuah fantasi. Akan tetapi, kepadatan atau
kekompleksan sampaian SGA terimbangi dengan kelincahan
berkisahnya. Tentu sebagai penggemar SGA harus tahu bahwa
berbagai gaya penulisan dan aliran telah ia jelajahi. Mulai dari
realisme, jurnalisisme, surealisme, absurdisme, sampai dongeng
dan cerita silat telah dia coba dengan hasil terbaik. Yang saya
tahu juga, SGA sangat obsesif dengan latar senja. Cerpen-
cerpennya banyak yang bicara tentang senja, seperti “Sepotong
Senja untuk Pacarku” (cerpen yang paling kusukai), “Peselancar
Agung”, “Tujuan: Negeri Senja”, “Negeri Senja”, dan lain-lain.
Lewat senja, dia mengungkap banyak hal: keindahan,
kebahagiaan, kesepian, penderitaan, hingga kematian.
Kembali lagi pada Kitab Omong Kosong, pada bagian akhir,
saya sempat bingung dan sulit memaknai maksud tindakan
SGA yang mengidentifikasikan dirinya sebagai Togog. Bagian ini
adalah bagian yang paling berat bagi saya. Ia menuliskan sebuah
pengakuan yang diberinya judul Pengakuan Togog, bunyinya
59

seperti ini “Saya Togog, penulis cerita ini . . . tahu diri betapacerita
ini tidak menarik, dibuat dengan ngawur, tergesa-gesa, terkantuk-
kantuk, berlari dari kota ke kota, tanpa pernah mau belajar, ditulis
tanpa perenungan, berpura-pura pintar, padahal tidak ada isinya
sama sekali . . ., Tolong sampaikan agar cerita ini tidak usah
dibaca, karena membuang waktu, pikiran, dan tenaga. Sungguh
hanya suatu omong kosong belaka . . . (Kitab OmongKosong, 2013:
442-444). Sebuah epilog yang nakal, dalam, dan membutuhkan
pemikiran yang dalam untuk memahaminya.
Pertanyaan terakhir saya adalah “mengapa setiap selesai
membaca karya sastra selalu menyisakan banyak tanya? Maka
dari situ saya akan melahirkan tradisi kritik tanpa ingin disela.
Mengapa cerita dalam karya sastra tidak ditulis ringkas agar
tidak terkesan nyinyir dan menggurui? Maka jawabnya, sebab,
hidup adalah kita sendiri yang menentukan. “Tulislah
ceritamusendiri, maka engkau akan menjadi sebuah pribadi”
(KitabOmong Kosong, 2013: 369). Jika benar kau pintar
bercerita, pastikan bahwa kau jadi pendengar yang baik pula
pada setiap cerita. Siapkan seluruh indera, ambillah sebuah
makna, pahami, dan ketahuilah kebenarannya.

Referensi

Ajidarma, Seno Gumira. 2013. Kitab Omong Kosong.


Yogyakarta: Bentang Pustaka.
60

Butuh Apresiasi, Pemerintah Juga Manusia


(Kesejahteraan Berawal dari Kepercayaan)

Muharromatus Saadah

Pemerintahan yang dapat menyejahterakan masyarakatnya


memang selalu menjadi cita-cita setiap negara. Rakyat makmur,
pembangunan berjalan lancar, dan harga sembako murah,
menjadi tolok ukur untuk hal ini. Namun demikian, benar kata
pepatah “Seperti burung dalam sangkar emas”. Hal ini menjadi
salah satu gambaran dari suatu masa pemerintahan Orde Baru
yang ada di Indonesia. Pada masa itu pemerintah begitu takut
rakyat akan miskin, pemerintah begitu takut rakyat akan
sengsara, pemerintah begitu takut rakyat akan mengeluh. Oleh
karena itu, mungkin pemerintah pada masa ini pun takut dan
tidak percaya akan menyerahkan kursi pemerintahan kepada
pemimpin lainnya. Indonesia yang katanya demokrasi ini berada
dalam sangkar emas di mana rakyatnya hanya bisa menurut
kepada pemerintahan yang diktator. Hak untuk berpendapat
sangat dibatasi. Demikian pesan yang ingin disampaikan W.S.
Rendra dalam kumpulan puisinya yang berjudul Potret
61

Pembangunan dalam Puisi.


Kumpulan yang terdiri dari 24 puisi ini banyak berisi kritikan
terhadap pemerintah Orde Baru. Rendra menggambarkan betapa
kejayaan Orde Baru bukanlah sekedar kejayan, melainkan sumber
kesengsaraan pula. Perjuangan para mahasiswa untuk
menyuarakan tuntutan masyarakat menjadi celah untuk
mendapatkan kebebasan, banyak menjadi topik dari beberapa
puisi dalam kumpulan puisi ini. Diantaranya puisi berjudul “Sajak
Pertemuan Mahasiswa” dan “Aku Tulis Pamflet ini”.
Pada puisi berjudul “Sajak Pertemuan Mahasiswa”, begitu
terlihat jelas Rendra ingin menunjukkan bahwa ketika rakyat
bertanya kepada pemerintah tentang janji-janji pemerintah,
dalam hal ini Rendra menyebutnya “niat baik”. Rakyat tidak
pernah mendapatkan jawaban atas itu semua, melainkan
hanya mendapat omongan-omongan kosong. Hal ini dapat
dilihat dalam bait-bait berikut.

Orang berkata “Kami ada maksud baik”


Dan kita bertanya: “Maksud baik untuk siapa?”
Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina Ada
yang bersenjata, ada yang terluka. Ada
yang duduk, ada yang diduduki. Ada
yang berlimpah, ada yang terkuras. Dan
kita di sini bertanya:
“Maksud baik saudara untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan
tanahnya.
62

....
Tentu kita bertanya:
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa?”
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala. Dan
di dalam udara yang panas kita juga bertanya: Kita
ini dididik untuk memihak yang mana? Ilmu-ilmu
yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan?

Dari kutipan tersebut juga dapat dilihat betapa


pemerintah memberikan pendidikan pun masih saja terdapat
penindasan. Selain itu, dalam puisi ini juga diperlihatkan pula
bahwa rakyat tetap menanti sebuah masa di mana “niat baik”
pemerintah akan benar-benar rakyat dapatkan.
Dalam kumpulan ini, Rendra juga banyak memperlihatkan
bagaimana keadaan masyarakat yang benar-benar menderita
dan serba kekurangan, di mana pada kondisi yang lain
pemerintah justru hidup dalam kemewahan dan serba
berkecukupan. Beberapa puisi Rendra yang mengangkat
peristiwa ini adalah puisi “Sajak Orang Kepanasan”, “Sajak
Matahari”, dan “Sajak Sebatang Lisong”.
Ketika membaca puisi-puisi Rendra, mungkin kebanyakan
orang akan berpikir bahwa selama ini hubungan antara rakyat
dan pemerintah tidak pernah baik. Rakyat memang selalu
menderita, rakyat selalu berada di pihak yang tertindas dan
rakyat selalu dirugikan. Di sisi lain, pemerintah selalu dalam
kemewahan. Namun demikian, perlu disadari juga bahwa suatu
63

kesejahteraan masyarakat akan terwujud melalui kepercayaan


dari rakyat kepada pemerintahnya. Puisi W.S. Rendra masih
banyak yang memang terfokus untuk mengkritik pemerintah,
bahkan tidak sedikit pula yang justru tampak begitu
menjatuhkan pemerintah. Contohnya saja dalam puisi yang
berjudul “Sajak Mata-Mata”, “Sajak Peperangan Abimanyu”,
dan “Sajak Kenalan Lamamu”. Dalam puisi-puisi tersebut
pemerintah digambarkan banyak memiliki kesalahan dan
seolah-olah memang selalu pemerintah yang benar. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan berikut.

.....dan lalu sama-sama kaget,


ketika truk tiba-tiba terhenti
kerna distop oleh polisi,
yang menarik pungutan tidak resmi. Ya,
saudara, kita sudah sering berjumpa,
kerna sama-sama anak jalan raya. (Sajak
Kenalan Lamamu)

Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk.


Mata pemerintah juga diancam bencana.
Mata pemerintah memakai kacamata hitam.
Terasing di belakang meja kekuasaan. Mata
pemerintah yang sejati
sudah diganti mata-mata.
Barisan mata-mata mahal biayanya.
Banyak makannya.
Sukar diaturnya.
(Sajak Mata-Mata)
64

Dari kutipan puisi di atas pemerintah tampak begitu


banyak kesalahannya. Bahkan dalam “Sajak Peperangan
Abimanyu”, pemerintah digambarkan pula sebagai sosok
ksatria yang wafat dengan begitu damai dan tenang tanpa
memikirkan rakyatnya yang menderita.
Berkaca dari beberapa hal tersebut, memang tidak salah
ketika Rendra memilih untuk hanya mengkritik pemerintah.
Namun alangkah baiknya jika kita juga membuat karya yang
tentunya juga bisa meningkatkan rasa percaya masyarakat
kepada pemerintah. Dengan demikian, rakyat pun tidak serta
merta hanya menyalahkan pemerintah tetapi juga dapat
mengapresiasi pemerintah.
Bukan berarti ketika menulis tulisan ini kemudian saya
mengikrarkan diri sebagai pihak yang membenci atau bersikap
kontra terhadap Rendra, tetapi ini lebih didasari atas
keprihatinan saya atas sikap masyarakat Indonesia sekarang
ini yang sangat mudah terbawa isu tanpa mengkajinya terlebih
dahulu. Misalnya saja ketika muncul isu perubahan kurikulum
dari KTSP menjadi Kurikulum 2013, kemudian kembali lagi
menjadi KTSP di awal masa pemerintahan kabinet “Ayo Kerja”
Presiden Jokowi. Banyak sekali masyarakat kala itu yang
menunujukkan sikap antipati, mengecam dan bahkan
menyatakan bahwa pemerintah adalah sosok yang plinplan.
Melihat sikap masyrakat Indonesia yang demikian ini,
hendaknya kita sebagai seorang yang bijak tidak hanya
bersikap kritis kepada pemerintah saja. Kita juga perlu
mengupayakan supaya masyarakat dapat pula memiliki
kepercayaan
65

kepada pemerintah, bukan justru membangun citra buruk


pemerintah. Dengan demikian, ketika kepercayaan antara
masyarakat dan pemerintah dapat terbangun, maka
pemerintahan akan berjalan dengan baik dan seimbang.
66

Guru: Kunci Keberhasilan


Pembelajaran Sastra di Sekolah

Tantri Darmayanti

Karya sastra adalah karya imajinatif yang bermedium bahasa


yang fungsi estetiknya dominan (Wellek dan Warren via
Pradopo, 1997: 38). Muljana (via Pradopo, 1997: 38)
menyatakan bahwa, bahasa sastra disebut kata berjiwa yang
telah mengandung perasaan pengarangnya dan berbeda
dengan arti kamus. Dalam kamus, kata-kata itu masih berupa
bahan mentah yang masih menunggu pengolahan, menunggu
tugas dalam bahasa. Berkaitan dengan pengertian tersebut,
sastra dapat bersifat konotatif, menimbulkan efek estetik, dan
merupakan ekspresi tak langsung dari pengarang yang
disampaikan kepada pembacanya (Pradopo, 1997: 38). Dari
sifat-sifat tersebut, pembelajaran sastra akan memberikan
dampak yang baik bagi pembentukan karakter siswa apabila
diarahkan dengan baik pula.
67

Sayangnya, pembelajaran sastra di lembaga pendidikan


formal dari waktu ke waktu semakin sarat dengan
permasalahan. Keluhan-keluhan para guru, siswa, maupun
sastrawan tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra menjadi
bukti konkret adanya kesalahan dalam sistem pembelajaran
sastra. Sastra belum mendapatkan porsi yang sesuai dalam
pembelajaran bahasa Indonesia.
Penetapan Kurikulum 2013 beberapa tahun terakhir juga
memunculkan krisis dan kekhawatiran di kalangan guru. Karya
sastra dipelajari dengan tidak menyeluruh dalam kurikulum baru
tersebut. Siswa juga tidak diperkenalkan dengan semua jenis
karya sastra. Inilah yang membuat guru harus pintar
menyiasatinya, misalnya dengan memunculkan kegiatan
membaca sastra dalam tahapan apersepsi dan mengamati.
Eksistensi karya sastra akan semakin lemah, apabila guru tidak
memiliki kompetensi untuk mengaitkan pembelajaran bahasa
dengan sebuah karya sastra. Padahal pembelajaran bahasa dan
linguistik yang selama ini diremehkan serta dianggap sebagai
mata pelajaran yang tidak menarik, akan lebih menyenangkan
apabila dikemas dalam sebuah pembelajaran sastra.
Proses pembelajaran, dalam hal ini sastra, dipengaruhi
oleh berbagai aspek, seperti metode mengajar, sarana
prasarana, materi pembelajaran, kurikulum, dan lain-lain. Dari
berbagai aspek itu, yang memegang peranan penting PBM
adalah guru. Selengkap apa pun sarana-prasarana, buku-buku
sastra, dan fasilitas lain yang memudahkan, pembelajaran
sastra tetap hanya akan tetap tertinggal kalau tidak ditunjang
oleh kompetensi guru terhadap pemahaman wawasannya
tentang sastra (Barlian, 2009).
68

Pembelajaran sastra merupakan pembelajaran yang


seharusnya mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan
bermasyarakat. Sebagian besar pembelajaran sastra
mempunyai hubungan dengan masalah-masalah dunia nyata.
Oleh karena itu, pembelajaran sastra diharapkan dapat
memberikan impulsif positif terhadap kehidupan siswa.
Sehubungan dengan masalah tersebut, pembelajaran sastra
seharusnya dilakukan dengan tepat oleh guru.
Guru memegang peranan penting sebagai model atau figur
teladan pada proses pembelajaran dalam rangka memunculkan
dan mempertahankan eksistensi sastra. Bila murid mengakui
gurunya sebagai model atau sosok teladan, guru akan memiliki
dampak pada apa yang dipelajari siswa dalam pembelajaran, yang
selanjutnya memanfaatkan dampak positifnya dalam penciptaan
atmosfir sastra di masyarakat. Banyak guru tidak bisa menjadi
model yang baik saat ia membina budaya baca sastra karena guru
sendiri tidak pernah membaca karya sastra. Begitu pun dalam
mengajarkan menulis, guru tidak memiliki karya dan pengalaman
menulis. Ada juga guru yang menyuruh muridnya menyaksikan
pertunjukan karya sastra sementara ia sendiri tidak tertarik
menyaksikannya.
Sastra yang dapat menjadi hiburan maupun pendidikan ini
harus bisa diarahkan sebagai suatu kegiatan yang menyenangkan
bagi siswa, yang membuat mereka antusias, dan menemukan
pengetahuan-pengetahuan baru yang belum ia ketahui
sebelumnya. Siswa harus dibiasakan membaca karya sastra,
seperti puisi, cerita pendek, novel, drama, dan esai. Menurut
Kurniawan (2011: 2), pengetahuan tentang sastra (teori, definisi,
sejarah) tidak utama dalam pengajaran sastra, cukup sebagai
69

informasi sekunder ketika membicarakan karya sastra. Bahasa


ragam sastra (puisi, prosa, dan drama) disusun sedemikian
rupa, sehingga dapat menimbulkan berbagai efek emosional,
imajinatif, estetik, dan artistik, yang dapat membangkitkan
rasa haru baik bagi penulis maupun pembaca, sehingga
diharapkan pembelajaran sastra dapat menyemaikan nilai-nilai
positif dalam batin siswa.
Untuk melaksanakan paradigma baru dan keluar dari
pembelajaran sastra yang monoton, guru harus menjadi model
penikmat karya sastra, dengan menceritakan pengalamannya
menikmati bahasa, isi sastra, sehingga kegemarannya membaca
karya sastra tergambar dalam dirinya. Pada akhirnya, semangat
membaca sastra tersebut bisa tersampaikan dan memberi
dampak bagi siswa untuk turut membaca sastra. Nilai positif
dalam karya sastra dipraktikkan oleh guru dalam sikap dan
perilaku sehari-hari sehingga dapat menjadi contoh bagi siswa.
Sebelum siswa membacakan puisi, guru harus terlebih
dahulu membaca puisi di depan para siswanya dengan suara,
sikap, dan penjiwaan yang baik. Guru juga harus mampu
membacakan cerita dengan intonasi dan bahasa yang tepat
sehingga tokoh-tokohnya hidup dan mampu menarik
perhatian siswa. Guru pun harus terampil menulis, menyajikan
karya tulisnya. Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia
menyangkut empat aspek yaitu keterampilan menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis. Dalam menyampaikan
empat aspek keterampilan tersebut, guru dituntut untuk lebih
dulu terampil berbahasa. Jangan sampai guru bahasa hanya
bisa menyuruh siswa membaca, menulis, dan mengapresiasi
sastra, sedangkan ia sendiri tidak pernah melakukannya.
70

Daftar Pustaka

Barlian, Neulis Rahmawati. 2009. “Guru Sebagai Model dalam


Pembelajaran Bahasa Indonesia”, dalam http://
duniaguru.com. Diunduh pada tanggal 15 Desember
2015.
Kurniawan, Khaerudin. 2011. “Bahasa Indonesia dalam
Komunikasi Ilmiah”, dalam file.upi.edu. Diunduh pada
tanggal 10 Maret 2015.
Nurgiyantoro, Burhan. 2014. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1997. “Ragam Bahasa Sastra”.
JurnalHumaniora. Volume IV.
http://jurnal.ugm.ac.id.Diunduh pada tanggal 10 Maret
2014.
71

Pertentangan Ideologi
dalam Cerpen “Ikan Kaleng”

Maratul Azizah

Indonesia memang benar sudah merdeka, tetapi belum


sepenuhnya masyarakat Indonesia merasakan kemerdekaan.
Sejak zaman pemerintahan Soeharto telah digencarkan program
pembangunan sarana prasarana untuk bangsa, kenyataannya
hingga saat ini pembangunan di Indonesia belum sepernuhnya
merata. Wajib belajar sembilan tahun guna memberantas buta
akasara anak bangsa belum menyeluruh menyapu pelosok negeri.
Zaman telah modern, tetapi belum juga semua anak bangsa
memiliki pemikiran yang modern. Semua ini dapat kita temui
dalam sepenggal kisah replika pelosok negeri dari cerpen “Ikan
Kaleng” yang ditulis oleh Eko Triono.
Cerpen yang mengangkat latar sosial ekonomi masyarakat
pelosok Papua ini menyadarkan kepada pembaca, terutama saya
sendiri, untuk merasakan keprihatinan atas nasib anak bangsa
yang masih terbelenggu keprimitifan di zaman yang telah
melampaui era millenium ini. Kenny (via Nurgiyantoro, 2012:
72

219) mengatakan bahwa, latar dalam karya fiksi tidak terbatas


pada penempatan lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu yang
bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara,
adat istiadat, kepercayaan, nilai-nilai yang berlaku di tempat
yang bersangkutan. Eko Triono tidak hanya melukiskan latar
fisik saja, juga adanya deskripsi latar spiritual yang
menyebabkan latar tempat tertentu, seperti halnya Papua,
dapat dibedakan dengan tempat-tempat yang lain.
Ketika kita membaca cerpen ini, akan dikejutkan dengan
hadirnya tokoh pemimpin suku Lat yang tidak mau
menyekolahkan anak-anaknya di sekolah formal. Pola pikir
yang masih primitif dan sempit. Orientasi hidup adalah untuk
mencari uang dan bekerja seperti orang tuanya. Namun
demikian, ide pemikiran dia menurut saya patut untuk
diapresiasi ketika ia mencetuskan sekolah Lat yang basisnya
nonformal, yang mengajarkan kepada anak-anak tentang
bagaimana menangkap ikan di laut. Ideologi tokoh pemimpin
suku Lat ini tergambar jelas dari penggalan berikut ini.

“Ko pasti bisa! Ko dilahir atas laut, makan ikan


laut, garam laut, ko anak laut! Laut ibu torang.
Kitorang cintai dayungi dan ciumi angin asin ini.
Laut tempat ko makan, laut tempat ko besar nanti,
ko paham sa pu nasehat? Ini tujuan ko sekolah di
Lat, ko belajar hidup bukan cuma omong kosong
menggambar. Ko dititipi laut bapa kitorang”.

Tokoh Sam yang berprofesi sebagai guru ikatan dinas


yang berasal dari Jawa, patut kita acungi jempol atas tekad
73

dan kegigihannya untuk mencerdaskan aset bangsa di daerah


pinggiran seperti Papua. Semangat guru Sam ini menurut saya
dapat memberikan motivasi kepada pembaca khususnya para
pendidik atau calon pendidik yang memiliki tekad untuk
mengikuti program SM3T, salah satu program pemerintah
untuk memajukan pendidikan di Indonensia.

“Di meja kelas ketika kini dia mengadapi


pesanpendek berisi keluh dari sejumlah kawan di
Jogja yang belum juga mendapat kerja. Dia menarik
nafas. Untung dia dapat ikatan dinas, meski jauh
seperti ini, terpisah dari keluarga”.

Pada ending cerita ini kita akan dibuat kagum oleh tekad
sosok pemimpin suku Lat yang tidak mau menyekolahkan
anaknya di sekolah formal, tetapi bersemangat untuk bisa
membuat ikan kaleng (sarden). Dia akan mengarungi
samudera menuju Jawa Timur tempat memproduksi ikan
kaleng. Pemikiran dia patut untuk diapresiasi karena ingin
memajukan perekonomian dengan cara meningkatkan nilai
jual ikan laut. Sebenarnya potensi untuk maju dan berpikir
cedas sudah ada dalam pikiran tokoh ini. Seandainya ditambah
dengan polesan pedidikan formal tentu tidak akan kalah
dengan pengusaha-pengusaha sukses di negeri ini. Ideologi
tokoh pemimpin suku Lat ini menurut saya adalah hidup
untuk mencari uang, tak perlu mengenyam pendidikan formal
yang hanya pamer angka namun tak mahir menangkap ikan.
Setelah membaca cerpen ini saya menjadi sadar, bahwa
sebenarnya keberadaan sekolah nonformal memang perlu,
74

tetapi bagaimanapun juga kita tetap tidak boleh meninggalkan


sekolah formal. Melalui sekolah formal anak bangsa bisa lebih
maju, setidaknya masa depan mereka tidak harus sama dengan
nasib orang tua. Melalui sekolah formal pula, anak bangsa
akan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di zaman
yang semakin modern ini. Akan tetapi, jika hanya mengenyam
sekolah nonformal seperti ideologi tokoh pemimpin suku Lat
tersebut, selamanya mereka tidak akan maju dan akan terus
terkurung dalam dunia mereka sendiri.

Referensi:

Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:


UGM Press.
75

Arok Dedes, Pram,dan


Karya-karya Lainnya

Ayu Chandra S.

Sekilas tentang Arok Dedes


Novel Arok Dedes merupakan salah satu buah tangan Pram
selama di Pulau Buru, selain Tretalogi Bumi Manusia yang
sangat popular. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa Arok
Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, dan Mangir merupakan
Tretalogi lain yang terlahir selama Pram di Pulau Buru. Secara
garis besar novel ini mengisahkan tentang kisah rumit antara
Dedes, Arok, dan Tunggul Ametung. Juga seputar trik dan
jerat untuk saling menggulingkan kekuasaan.
Penguasa Kediri berupaya menyakralkan raja Erlangga guna
memperkokoh kekuasaan. Ini dilakukan melalui perintah pada
rakyat untuk memuja Dewa Wisnu. Pada saat yang sama, rakyat
juga harus meninggalkan pemujaannya terhadap Dewa Syiwa dan
Dewi Durga. Karena kedua dewa terakhir itu merupakan pujaan
kasta brahmana, lahirlah perlawanan mereka terhadap
76

kasta ksatria. Apalagi aturan triwangsa dilanggar oleh


penguasa. Seorang berstatus sudra bisa naik ke kasta ksatria
jika dia dianggap berjasa oleh penguasa. Hal ini dialami sendiri
oleh Tunggul Ametung (ini nama jabatan yang disandang oleh
orang yang memimpin suatu daerah, bukan nama orang). Dia
semula hanyalah sudra yang gemar merampok harta orang
lain. Berkat keberaniannya, dia dipercaya penguasa Kediri
untuk menjadi tunggul ametung. Selama menjabat ia banyak
melakukan kekejaman dan ketidakadilan. Bahkan dengan
sengaja ia menculik seorang Brahmani bernama Dedes untuk
menjadi Paramesywarinya. Padahal pada saat itu tidak
diperkenankan seorang satria menikahi dari kasta brahmana.
Dedes bukanlah wanita lemah walaupun gagal melawan
saat diculik Tunggul Ametung. Sebagai seorang keturunan
brahmana, Dedes mendapat didikan baik yang ditanamkan
bapaknya, termasuk bibit kebencian terhadap para ksatria.
Dengan mengandalkan pesona pribadinya, Dedes membalut
tipu daya guna mengurangi kekuasaan Tunggul Ametung dari
dalam. Sementara itu, para kaum brahmana telah
mempersiapkan Arok sebagai Garuda Brahmana untuk
melwan kekuasaan Tunggul Ametung. Arok adalah jagoan
para brahmana dalam menghancurkan Tunggul Ametung,
yang mewakili kekuasaan Kediri di Tumapel. Walaupun asal
usulnya tidak jelas, Arok telah membuktikan dirinya sebagai
murid yang cerdas. Dia berguru ke sejumlah guru terkemuka.
Sejak remaja dia dan gerombolannya sering merampas upeti
yang akan dikirim Tumapel ke Kediri. Berkat reputasi tadi,
para brahmana mempercayainya mengemban tugas suci tadi.
Koalisi antara Tunggul Ametung dan Belakangka (penasihat
77

pemerintahan, utusan dari Kediri) dengan para prajurit


ternyata rapuh. Upeti yang gagal sampai ke Kediri membuat
Tunggul Ametung dipertanyakan kesetiaannya oleh Kediri.
Bayang-bayang serbuan tentara Kediri membuat sebagian
panglima desertir dan bergabung dengan Kediri. Kondisi
lemah itu mengobarkan keberanian kelompok empu Sendok
untuk merebut kekuasaan. Di bawah pimpinan Kebo Ijo,
panglima dan prajurit yang bergabung dalam kelompok empu
Sendok merampok rakyat dan merayakan kemenangannya
atas Tunggul Ametung. Akan tetapi, kemenangan itu hanya
berlangsung sekejap. Pasukan Arok segera menggulung
kelompok empu Sendok.
Situasinya menjadi rumit. Ada Tunggul Ametung. Ada Arok
dengan pasukannya yang sedang naik daun. Ada Brahmana
Belakangka, wakil Kediri di Tumapel. Ada Kebo Ijo perwira berani
namun tolol, yang berambisi menjadi akuwu karena merasa lebih
berhak akibat darahnya yang berkasta satria. Ada Empu
Gandring, pemilik pabrik senjata yang mempunyai agenda meraih
tahta juga. Ada Dedes yang berniat mengkhianati Tunggul
Ametung dan mulai jatuh cinta pada Arok. Dan tentu saja
Lohgawe pemimpin kaum brahmana yang mendalangi aksi Arok.
Begitulah intrik-intrik yang terjadi, hingga diakhiri dengan
terbunuhnya Tunggul Ametung oleh Kebo Ijo dengan imimg-
iming cinta dari Dedes. Satu persatu calon penguasa, Belakangka,
bahkan empu Gandring mulai disapu. Tinggallah Arok yang
melenggang menjadi akuwu dan menikahi Dedes.

Sekilas tentang Pram


Arok Dedes merupakan salah satu karya Pram, seorang pemuka
78

Lekra yang sering dicap kiri atau berpihak pada PKI.


Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925.
Ayahnya bernama Mastoer dan ibunya bernama Oemi Saidah.
Sebagai putra sulung tokoh Institut Boedi Oetomo, Pram kecil
malah tidak begitu cemerlang dalam pelajaran di sekolahnya.
Tiga kali tak naik kelas di Sekolah Dasar, membuat ayahnya
menganggap dirinya sebagai anak bodoh. Akibatnya, setelah
lulus Sekolah Dasar yang dijalaninya di bawah pengajaran
keras ayahnya sendiri. Sang ayah, Pak Mastoer, menolak
mendaftarkannya ke MULO (setingkat SLTP). Ia pun
melanjutkan pendidikan di sekolah telegraf (Radio Vakschool)
Surabaya atas biaya ibunya. Biaya pas-pasan selama bersekolah
di Surabaya juga hampir membuat Pram gagal di ujian praktik.
Ketika itu, tanpa mempunyai peralatan, ia tetap mengikuti
ujian tersebut namun dengan cara hanya berpura-pura sibuk
di samping murid yang terpandai. Walau begitu, secara umum
nilai-nilai Pram cukup baik dan ia pun lulus dari sekolah. Akan
tetapi, karena meletusnya perang dunia II di Asia, ijazahnya
yang dikirim dari Bandung tak pernah ia terima.
Pada tanggal 3 Juni 1942 ibunya meninggal karena penyakit
TBC. Semenjak itu Pram meninggalkan Blora menuju Jakarta. Di
sana ia sempat menjadi juru ketik kantor berita Jepang, Domei.
Pada saat proklamasi kemerdekaan, keadaan Jakarta masih kacau
balau. Pram pun ikut menggabungkan diri dalam pertahanan
kampung dan BKR (Badan Keamanan Rakyat). Pada tanggal 1
Januari 1947, Pram berhenti menjadi tentara. Ia menikah dengan
istri pertamanya, seorang gadis yang dilamarnya selama masih di
penjara pada tanggal 13 Januari 1950. Namun pernikahan itu
berakhir dengan perceraian. Pada September 1954 ia berkenalan
79

dengan Maimunah, yang akhirnya menjadi istrinya yang


sangat setia.
Penjara adalah tempat yang cukup akrab dengan kehidupan
Pram. Dalam tiga periode (zaman Belanda, Orde Lama, dan Orde
Baru), ia selalu sempat mencicipi penjara. Alasannya pun
beragam, mulai dari keterlibatannya dalam pasukan pejuang
kemerdekaan pada zaman penjajahan Belanda, masalah bukunya
Hoa Kiau di Indonesia yang merupakan pembelaan terhadap nasib
kaum Tionghoa di Indonesia yang tidak disukai pemerintah Orde
Lama, sampai akibat tuduhan terlibat dalam Gerakan 30
September 1965 oleh rezim Orde Baru yang dijalani tanpa
melewati proses peradilan. Akan tetapi, justru di dalam penjara
itulah lahir beberapa karyanya yang termasuk masterpiece, yaitu
Tetralogi Buru dan juga roman Arus Balik.

Pengaruh Pram terhadap Sastra Indonesia


Pram tidak pernah bergabung dengan kelompok Chairil dan
kawan-kawannya, tetapi gaya prosanya dapat digolongkan
sebagai angkatan 45. Mula-mula ia hanya mengagumi
kesederhanaan baru Idrus, tetapi jelas Pram memiliki gaya
sastra sendiri. Banyak karya sastranya yang berkisah tentang
revolusi, termasuk novel Arok Dedes yang sering dikaitkan
dengan peristiwa pada tahun 1965, yaitu peralihan kekuasaan
dari Soekarno ke Soeharto. Sebagian besar dari novel-novel
dan cerpen-cerpennya bersifat autobiografis.
Berbeda dengan pemerintah Orde Baru yang menudingnya
sebagai komunis, Pram sendiri mengaku bahwa ia tak pernah
memihak ideologi apapun. Ia selalu mengatakan bahwa ia hanya
berpihak pada keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan.
80

Pramisme, demikian katanya jika ditanya tentang ideologi


yang dianutnya. Perhatian Pram pada masalah kemanusiaan,
dalam hal ini membawa karya-karyanya memenuhi dalam
Humanisme Universal dan Human Dignity (kemuliaan
manusia) dari kaum angkatan 45. Dengan demikian, banyak
novel dan cerpennya yang abadi sebagai karya sastra.
Dalam karya-karya Pram dapat ditemukan gambaran nyata
masyarakat Indonesia yang jejaknya dapat ditelusuri sejak ratusan
tahun silam. Di dalamnya ternyata ada banyak ketimpangan
namun Pram menggambarkan bagaimana di setiap zaman ada
saja orang-orang yang bertekad kuat dan berjuang memperbaiki
ketimpangan tersebut. Beberapa di antaranya kalah dan tak
berhasil, sedang beberapa yang lain mampu membawa
masyarakat zamannya merasakan perbedaan yang selangkah
lebih maju, meskipun semuanya telah mencoba. Tidak ada tokoh-
tokoh utama Pram yang pasif dengan keadaan sekitar. Dinamika
sejarah Indonesia memang dibentuk oleh orang-orang bertekad
kuat seperti tokoh-tokoh Pram. Oleh karenanya, novel-novel
Pram dapat dikatakan sebagai representasi masyarakat Indonesia
dari zaman ke zaman.

Arok Dedes di antara Karya-karya Sastra Lainnya


Banyak karyanya seperti novel Arok Dedes, Tetralogi Buru,
Di Tepi Kali Bekasi, Jalan Raya Pos Jalan Daendels, dan
lainsebagainya, Pram terbukti sebagai seorang sejarawan
handal yang menawarkan cara pandang sejarah yang berbeda.
Sementara sejarah yang ada selama ini menurutnya hanyalah
sejarah para penguasa dan peperangan. Ia pun selalu berusaha
memotret dan menggali sejarah dari sudut pandang rakyat dan
81

kaum jelata.
Dalam menyikapi novel sejarah, pembaca besar
kemungkinannya tidak menemukan cerita yang sama persis
dengan fakta sejarah karena novel sejarah tetaplah sebuah novel
yang memuat sebuah alur cerita fiksi. Penulis bebas untuk
menyajikan tokoh-tokoh rekaan yang sesuai dengan zaman
tersebut ataupun tokoh-tokoh nyata dari zaman tertentu. Akan
tetapi, penulis tetaplah memiliki misi yang ingin disampaikannya.
Begitu pula Pram dan novel-novel sejarahnya. Hal terpenting
dalam novel sejarah adalah ceritanya mampu membawa pembaca
seolah-olah merasakan masa atau zaman di mana cerita tersebut
menjadi latar belakang. Dalam ArokDedes, Pram menyoroti
proses penggulingan kekuasaan AkuwuTumapel Tunggul
Ametung oleh Ken Arok. Kisah tersebut menurut Pram adalah
kudeta pertama dalam sejarah Indonesia. Lewat kelicikan dan
pengorganisasian masa, Ken Arok menggulingkan sang Akuwu
lewat tangan Kebo Ijo. Sang Akuwu tewas di tangan Kebo Ijo.
Apabila dilihat lebih seksama, cerita Arok Dedes adalah
representasi dari kudeta September 1965ketika kekuasaan beralih
dari Soekarno ke Soeharto. Adanya kelicikan, strategi,
pengorganisasian masa, dan pertumpahan darah sama dengan
peristiwa September 1965.
Memang novel Arok Dedes ini tidak sepopuler karya Pram
dalam Tretalogi Bumi dan Manusia yang mengisahkan tentang
Minke sebagai perwujudan Tirto Adhi Suryo, meskipun sama-
sama diciptakan semasa Pram ditahan di Pulau Buru. Berbeda
dengan Tretalogi Bumi dan Manusia, novel Arok Dedes ini lebih
mengedepankan unsur dari cerita sejarah. Novel ini merupakan
cara baru Pram dalam mengkritisi kekacauan politik yang terjadi
82

pada tahun 1965 karena banyaknya kemiripan antara kudeta


Arok sekitar tahun 1220an dengan kudeta Harto sekitar 1965.
Selain itu, jika ditilik lebih dalam novel Arok Dedes ini
memiliki satu permasalahan yang sama dengan novel karya Pram
yang lain, yaitu Gadis Pantai. Gadis Pantai merupakan sebuah
novel yang terinspirasi dari perjalanan hidup nenek Pram, yang
menjadi korban perkawinan percobaan. Dari perkawinan
percobaan tersebut lahirlah bayi perempuan yang kelak menjadi
ibu Pram. Gadis Pantai ini memiliki kehebatan dalam
memperjuangkan bayinya dan berani menentang kehendak
suaminya yang masih menganut kebiasaan feodal. Suatu
kebiasaan yang mengakibatkan wanita miskin menjadi korban.
Kasus tersebut memiliki kemiripan dengan nasib Dedes yang
menjadi istri paksa Tunggul Ametung, yang akhirnya menjadi
penentang kekejaman suaminya sendiri. Perbedaannya terletak
pada asal tokoh perempuan yang menjadi korban. Gadis Pantai
berasal dari keluarga miskin, sedangkan Dedes berasal dari kaum
brahmana yang pasa masa itu dipandang berbeda aliran dengan
kaum ksatria. Namun yang diperjuangkan adalah masalah yang
sama, yaitu pemulihan martabat.

Di Balik Arok Dedes


Arok Dedes adalah karya Pram yang ia ciptakan selama di
PulauBuru. Pada bulan Mei 1998 novel ini baru diterbitkan oleh
penerbit Hasta Mitra, setelah kesulitan dana akibat bertubi-tubi
diberangus oleh kekuasaan represif renzim Orde Baru. Novel
yang ditulis sekitar 40 tahun yang lalu itu dalam satus tahanan
saat renzim Soeharto sedang jaya-jayanya. Namun Pram selalu
memiliki gaya untuk menyampaikan kepada bangsa Indonesia
83

mengenai nasib bangsanya. Pram pernah mengatakan bahwa


kudeta pertama dilakukan ketika Arok tampil merebut kekuasaan
Tumapel. Pram berhasil merawikan novel Arok Dedes ini yang
sangat khas dengan kudeta feodal Jawa, sehingga pembaca tanpa
disuruh akan mengasosiasikannya dengan kudeta yang terjadi
pada abad 20, tepatnya tahun 1965. Di mana pada saat itu terjadi
pengalihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Terlepas dari anggapan semua itu, Arok Dedes ini tetaplah
sebuah karya sastra yang terlahir dari budaya pada masa itu.
Novel ini merupakan bentuk komunikasi Pram kepada bangsa
Indonesia tentang keadaan bangsa pada masa itu menurut
pemahaman seorang Pram. Pada saat ini, tetap saja
dibutuhkan apresiasi terhadap karya-karya yang tak lekang
zaman dari Pram, seorang berhaluan kiri yang selalu konsisten
memperhatikan masalah kemanusiaan, menentang
imperialism, dan neokolonialisme.

Daftar pustaka

Bandel, Katrin. 2012. “Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam


Ideologi” boemipoetra.wordpress.com. Diunduh pada
tanggal 8 Juni 2015.
Nonick. 2013. “Pramoedya Menggugat Melacak Jejak
Indonesia” nonickthephilogynik.blogspot.com. Diunduh
pada tanggal 8 Desember 2015.
Nugraha, Esa. 2012. “Arok Dedes 1999”, dalam boemipoetra.
wordpress.com. Diunduh pada tanggal 8 Desember 2015.
Toer, Pramoedya Ananta. 2002. Arok Dedes. Yogyakarta :
Hasta Mitra.
84

_____2012. “Biografi Pramoedya Ananta Toer”, dalamwww.


sarjanaku.com. Diunduh pada tanggal 8 Desember 2015.

_____. 2011. “Sepintar Arok Selicin Dedes”, dalam rumahdzaky.


wordpress.com. Diunduh pada tanggal 8 Desember 2015

Situs Internet:
Utomo, Ari Cahya. 2011. “11 Fakta Pramoedya Ananta Toer”,
dalam Nonickthephilogynik.blogspot.com. Diunduh pada
tanggal 8 Desember 2015.
85

Luapan Emosi di Balik Goresan Tinta

Najmi Fajria

Saat perjalanan pulang dari rumah salah seorang dosen yang


berada di kawasan ringroad Maguwoharjo, tanpa disengaja
tiba-tiba muncul bayangan seorang lelaki paruh baya yang
berjalan dalam gelap, ditemani oleh suara-suara jangkrik.
Bukan kemunculannya secara tiba-tiba yang mengagetkan,
tetapi karena siapa sebenarnya lelaki paruh baya itu, dan apa
yang dia lakukan. Ternyata dia adalah seorang lelaki yang
hilang kewarasannya. Akan tetapi, yang membuat tercengang
dan merasa risih adalah lelaki tersebut tidak memakai sehelai
kain pun, lelaki itu tanpa celana. Teringat cerpen Joko
Pinurbo, “Lelaki Tanpa Celana”. Berulang kali membaca
cerpen tersebut tidak lantas membuat saya menjadi mengerti
akan tetapi semakin bingung. Sebenarnya apa yang ingin
diutarakan oleh Joko Pinurbo.
Setelah membaca beberapa referensi tentang Joko Pinurbo,
Sapardi Djoko Damono, dan masa Orde Baru, sedikit celah
86

bagi saya untuk tahu apa yang maksud Jokpin menulis cerpen
“Lelaki Tanpa Celana”. Cerpen karya Jokpin ini menyinggung
tentang para sastrawan dan kritikus di masa Orde Baru. Dapat
dibuktikan, hampir semua isi dari cerpen tersebut berhubungan
dengan puisi-puisi sastrawan terkenal alumni Universitas Gadjah
Mada, Sapardi Djoko Damono. Sapardi adalah salah satu
sastrawan yang eksis di masa Orde Baru. Untuk memperkuat
bahwa setting yang digunakan oleh Joko Pinurbo adalah masa
Odre Baru, tergambar dari potongan cerpen berikut.

“Konon ayah saya seorang penyair


pemberanimeskipun karyanya biasa-biasa saja.
Saya tak tahu bagaimana persisnya, tapi saya
pernah mendengar cerita orang-orang tentang
seniman dan demonstran yang diculik, kemudian
disiksa, bahkan konon ada yang dikerat
kemaluannya”.

Pada masa itu, baik sastrawan, penulis, wartawan, dan


seniman-seniman lain banyak yang dicekal dan bahkan diculik
hingga hilang secara misterius. Jika dilihat dalam realitasnya,
Joko Pinurbo juga merupakan seorang redaktur di beberapa
majalah maupun surat kabar lokal di Yogyakarta pada masa
itu. Selain berkaitan dengan pendekatan ekspresif, hal tersebut
juga dapat dimasukkan dalam pendekatan mimetik karena
penulis mencoba memahami hubungan karyanya dengan
realitas yang ada, yaitu saat masa Orde Baru.
Seperti terlihat pada tokoh “Lelaki Tanpa Celana”, yang
merupakan penggambaran atau lambang dari penulis atau
sastrawan pada masa Orde Baru yang dicekal dan ditelanjangi.
Selain itu, saat tokoh “Lelaki Tanpa Celana” meneriakkan “sakit
87

jendral”, merupakan penggambaran masa Orde Baru yang


dipimpin oleh seorang jendral. Serta, saat tokoh lelaki tanpa
celana membantu menulis cerpen dengan tinta darah yang
keluar dari kelaminnya, merupakan simbol pemberontakan
dari para penulis pada masa itu.
Cerpen ini adalah luapan emosi dan kritikan Joko Pinurbo
terhadap pemerintahan Orde Baru yang beliau kemas dalam
sebuah goresan tinta hitam dan bahasa yang wow, dengan
penggambaran yang sedemikian rupa sehingga wajar jikalau
sulit untuk memahami cerpen ini.

“Ketika novel yang sedang saya tulis mulai


terancam macet, laki-laki tanpa celana itu muncul
lagi. Ia sering datang lewat tengah malam ketika saya
sudah lelap di pembaringan. Ia duduk di kursi yang
biasa saya duduki, mencelupkan pena pada darah
yang menyembul dari kelaminnya, lalu menuliskan
kata-kata di atas halaman-halaman buku yang
terbuka di atas meja kerja saya. Sesekali, saat terjaga,
saya dengar ia mengerang, Sakit Jenderal! Ah, laki-
laki tanpa celana itu, dengan caranya sendiri, telah
membantu saya menyelesaikan novel saya”.

Cerpen ini benar-benar berhasil menguak eksistensi


penulis ataupun sastrawan pada masa Orde Baru yang serba
dicekal. Cerpen ini juga merupakan cerpen yang berani, karena
berani menyinggung masalah Orde Baru yang sudah lama
terjadi. Akan tetapi, penulis berhasil mengemasnya dengan
baik dan menjadi cerpen yang menarik dibaca.
88

Representasi Seks, Perempuan


Membungkam Lelaki

Frans Apriliadi

Tema seksualitas menjadi salah satu isu terhangat dalam


kesastraan Indonesia. Hal ini secara tidak langsung,
memunculkan banyak polemik dalam pikiran pembaca.
Terlebih ketika masalah seks dibicarakan secara vulgar oleh
perempuan, yang akhir-akhir ini menimbulkan perspektif pro
dan kontra. Sebut saja karya Ayu Utami (Saman dan Larung),
Dinar Rahayu (Leopold Von Sacher Mosoch), Djenar Maesa
Ayu (Mereka BilangSaya Monyet, Jangan Main-Main dengan
Kelamin, Nayla), NovaRiyanti Yusuf (Mahadewa Mahadewi,
Imipramine), Herlinatiens (Garis Tepi seorang Lesbian), dan
masih banyak lagi sastrawan perempuan lainnya.
Ketika unsur seksualitas dikaitkan dengan nilai, paham
atau ideologi tertentu, maka menjadi hal yang wajar jika
memunculkan banyak penolakan. Namun, jika dilihat dari
89

perspektif sastra maka menjadi hal yang diterima dan dianggap


sebagai perkembangan baru genre kesastraan di Indonesia. Akan
tetapi, yang menjadi permasalahan adalah unsur-unsur
seksualitas dalam karya sastra tersebut didominasi oleh penulis
perempuan. Ketika unsur seks tersebut diungkapkan secara
eksplisit oleh perempuan, muncul banyak pencibiran dari para
pembaca. Penolakan tersebut tidak hanya menyudutkan
karyanya, tetapi juga penulisnya.
Jika melihat ke belakang, sebelum unsur seksualitas menjadi
topik perbincangan saat ini. Sebenarnya sudah banyak sastrawan
dari masa Balai Pustaka yang juga membicarakan masalah
seksualitas. Sebut saja novel karya Ahmad Tohari
(RonggengDukun Paruk), Pramoedya Ananta Toer (Gadis Pantai),
LinusSuryadi (Pengakuan Pariyem), Asbari Nurpatria Krisna
(Gigolo) atau novel karya Motinggo Busye (Cross Mama) yang
juga berisi unsur-unsur seksualitas dan membicarakan masalah
perselingkuhan. Atau buku Kuda Ranjang yang sekarang sudah
ditarik dari peredaran. Begitupun W.S. Rendra yang
mengeluarkan puisi-puisi berbumbu seks tetapi mengandung
kritik sosial. Atau juga Mochtar Lubis yang juga memasukkan
seks sebagai bumbu karyanya meski tidak detil.
Lantas yang menjadi pertanyaan adalah kenapa novel-novel
atau penulis karya tersebut tidak mendapatkan pencekalan pada
zamannya? Mengapa penulis laki-laki tidak seterkenal penulis
perempuan ketika membuat sastra berbumbu seks? Apakah
unsur seks memang menjadi ranah laki-laki? Sehingga menjadi
hal yang wajar jika sastrawan laki-laki membicarakan hal yang
tabu. Jika ingin melihat dari kesetaraan genre, maka sastrawan
laki-laki seharusnya juga mendapatkan pencekalan
90

terhadap karya-karyanya. Akan tetapi, pada kenyataannya


tidaklah demikian. Hal ini seolah membuat publik bungkam
ketika karya-karya tersebut diluncurkan di khalayak ramai.
Seks dalam suatu karya sastra cenderung dianggap sebagai
ranah laki-laki. Jika melihat dari kesetaraan, pada dasarnya seks
yang bertempat dalam pikiran, perasaan dan perilaku manusia
merupakan kesatuan yang dimiliki laki-laki dan perempuan.
Intinya jika sastrawan perempuan mendapatkan penolakan ketika
menjelajah bagian tubuh, kelamin dan perselingkuhan, maka
sastrawan laki-laki harus diperlakukan hal yang sama. Sehingga
sastrawan perempuan juga mempunyai kesempatan untuk
mengajukan perotes yang dialami atas karya-karyanya, jika ingin
melihat dari sisi kesetaraan.
Melihat dari pergeseran cara pandang tokoh perempuan
terhadap eksistensi laki-laki. Dirasa penulis perempuan
mempunyai pandangan tersendiri, terkait polemik yang terjadi
pada karya-karyanya dan tidak dialami oleh sastrawan laki-
laki. Secara tidak langsung, dibalik diamnya publik atas
ketidakadilan ini, pembaca dapat menilai bahwa sebenarnya
karya-karya sastra penulis perempuan mempunyai arti lebih.
Mereka lebih memilih untuk memberontak melalui tulisan-
tulisannya yang vulgar ketimbang memprotes secara nyata.
Melalui tulisan berbau seks, perempuan tidak lagi dianggap
sebagai makhluk lemah. Perempuan mampu membungkam
pembaca dan seolah ikut menyindir penulis laki-laki atas revolusi
yang tidak bisa mereka lakukan. Terkait akan makna dan resepsi
yang muncul, baik berupa tanggapan penerimaan atau penolakan.
Semuanya dikembalikan kepada pembaca sebagai penilai yang
sebenarnya. Sastra dan segala macam bentuk
91

revolusinya, mencoba mengangkat dan berbicara atas topik yang


tidak bisa dibicarakan secara langsung. Pada satu sisi, sastra
mencoba mendobrak ketidakadilan yang selama ini dibayangi
oleh kata laki-laki dan segala sifat yang mendominasinya.
92

Kedok sebuah Amoralitas dan Gangguan sebuah


Era dalam Cerpen “Lelaki Tanpa Celana”

Muhammad Mabdaus Salam

Joko Pinurbo (lahir di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat,


11 Mei 1962) adalah penyair Indonesia. Karya-karya puisinya
merupakan campuran antara naratif, ironi, dan refleksi diri.
Ia lulus dari jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata
Dharma, Yogyakarta. Ia pernah menjadi redaktur Basis, Gatra,
dan Sadhar terbitan IKIP Sanata Dharma, mengajar di
almamaternya, dan terakhir bekerja di PT Grasindo cabang
Yogyakarta (wikipedia.com).
Menulis puisi memang menjadi keahlian sang penyair Joko
Pinurbo. Sebagai apresiasi untuk karya-karyanya, Joko Pinurbo
mendapatkan banyak penghargaan. Akan tetapi, Joko Pinurbo
tidak hanya menulis puisi. Ia juga menulis beberapa esai dan
cerpen yang dimuat surat-surat kabar di Indonesia. Salah satu
cerpennya yang diterbitkan oleh KOMPAS hari Minggu, 8
September 2013 berjudul “Lelaki Tanpa Celana”. Cerpen ini
merupakan cerpen yang gampang-gampang sulit untuk
93

dipahami. Bahasa cerpen ini puitis dan susah dipahami, juga


terdapat kata-kata yang tidak sepantasnya dibaca oleh anak-anak
yang belum berkecukupan umurnya. Di dalamnya banyak kata
puitis sehingga bagi orang awam yang belum biasa dengan karya
Joko Pinurbo ini, harus berkali-kali membacanya.
Joko Pinurbo merupakan penyair yang mungkin terinspirasi
dari seorang sastrawan Sapardi Djoko Damono. Kita bisa lihat
dalam cerpen ini berkali-kali seorang Joko Pinurbo menyebutkan
dan mengaitkan cerita yang ada dengan beberapa karya-karya
puisi Sapardi Djoko Damono yang amat pupuler, seperti: “Hujan
Bulan Juni”, “Pada Suatu Pagi Hari”. Puisi-puisi itu dikemas dan
dimasukan ke dalam sebuah cerita pendek yang memang terkait
dengan ceritanya. Bisa dilihat dalam salah satu bait.

Dari jauh samar-samar saya mendengar ia


menyanyikan puisi Sapardi Djoko Damono, “Hujan
Bulan Juni”: tak ada yang lebih tabah /dari hujan
bulan juni/ dirahasiakannya rintik rindunya kepada
pohon berbunga itu/ . . .

Kita tahu jika lelaki tanpa celana itu amoral bukan? Cerpen
ini bukan hanya mengenalkan Sapardi Djoko Damono dan karya
puisinya. Akan tetapi, juga mengingatkan pembaca pada sebuah
tragedi yang sekitar tahun 1960an. Sastra seperti cerpen ini bisa
dijadikan sebuah sarana menceritakan sebuah sejarah yang
hilang, maupun mengingatkan kita. Di mana pada masa presiden
Soekarno, setiap kebijakannya didukung oleh sebuah partai, yaitu
PKI. PKI merupakan singkatan dari Partai Komunis Indonesia.
Seperti yang kita ketahui PKI menggunakan cara
94

radikal/ kekerasan untuk mencapai kesejahteraan buruh dan


petani. Kekuasaan Soekarno dirong-rong oleh dua kubu, yaitu
tentara angkatan darat dan PKI. Dua kubu tersebut
menginginkan kursi kekuasaan Soekarno demi kepentingan dan
tujuannya masing masing. Jika tentara angkatan darat menguasai,
maka negara akan menjadi militer. Lalu PKI akan dikerdilkan
bahkan dihilangkan, dan jika PKI menguasai maka sebaliknya.
Berawal dari G 30 S PKI di mana kejadian-kejadian
penculikan jendral-jendral. PKI dituduh sebagai dalang dari
penculikan itu yang bekerjasama dengan Gerwani. Gerwani
merupakan organisasi perempuan yang erat kalitannya dengan
PKI. Gerwani dalam cerpen ini digambarkan dalam paragraf.

Banyak orang heran, bagaimana mungkin


perempuan selembut saya (padahal sebenarnya saya
agak bawel dan keras kepala) bisa betah dan tenang
tenang saja tinggal di rumah terpencil yang menurut
mereka sangat menakutkan. Mereka kemudian
menyebut saya perempuan sakti karena dianggap
mampu mengusir jin laki-laki tanpa celana yang
konon sudah mengganggu banyak orang.

Menurut sumber yang ada, Soeharto mengecam Gerwani


yang telah melakukan penyiksaan, kebiri, dan memotong
kelamin para jendral. Akan tetapi, sebenarnya Suharto lah
yang menginginkan PKI dihapuskan. Akibat kejadian tersebut,
akhirnya Soeharto menjadi pengganti kekuasaan.
Masa kekuasaan Soeharto atau Orde Baru, semua yang
berkaitan dengan organisasi serta yang mengancam keutuhan
95

negara dilenyapkan secara sepihak. Pada masa itu juga, para


sastrawan, seniman, dan demonstran menjadi korban keganasan
Orde Baru. Semua kebebasan berpendapat, meraih ilmu, dan
berpolitik dikendalikan dan dibatasi secara tegas. Dari sinilah
para pemuda mulai mengungkapkan kebebasannya atau
menceritakan sebuah cerita melalui karya sastra.
Cerpen ini bukan hanya menyuruh kita untuk mempelajari
sebuah sejarah secara seksama. Akan tetapi, melalui karya sastra
banyak kehidupan sehari-hari yang dapat dituangkan untuk
sebuah kritik mapun sebuah artefak, yang nantinya dibaca oleh
anak cucu kita. Dengan demikian, anak cucu kita bisa belajar dari
sejarah. Dari cerpen inilah kita dapat mengetahui amoralitas
seorang pemimpin dan buruknya sebuah era.
96

Tragedi Sejarah yang Terlupakan

Rizki Ariviana

Kubah adalah novel pertama karya Ahmad Tohari


yangmengisahkan masalah kehidupan tokoh Karman dengan
latar belakang peristiwa 30 September 1965. Dalam novel ini
Ahmad Tohari melukiskan penderitaan, pengalaman lahir
batin, serta kehidupan religi tokoh Karman ketika bergabung
dengan partai komunis. Novel Kubah sudah mengalami tiga
kali cetakan yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, dimulai dari tahun 1995, tahun 2001, dan tahun 2005.
Novel yang penulis gunakan adalah novel cetakan III, tahun
2005. Novel Kubah juga pernah diterbitkan oleh penerbit
Pustaka Jaya, Jakarta, pada tahun 1980. Novel ini pernah
mendapat penghargaan Yayasan Buku Utama pada tahun 1981.
Sudah diterbitkan dalam edisi bahasa Jepang.
Novel Kubah karya Ahmad Tohari ini berkisah tenang
seorang pria miskin bernama Karman yang menjadi anggota
97

Partai Komunis akibat pergolakan politik Indonesia pada tahun


1960an. Pada tahun 1965 terjadi pembantaian, yang menjadi
korbannya adalah orang-orang yang menjadi bagian dari Parta
Komunis. Sebagian besar anggotanya dikubur hidup-hidup dan
sebagiannya lagi diasingkan selama 12 tahun. Karman termasuk
dalam orang yang diasingkan. Setelah diasingkan selama
bertahun-bertahun, Karman mendapatkan surat dari istrinya di
desa. Surat iu berisi izin untuk menikah lagi. Hal ini membuat
hati Karman bergejolak. Runtuh rasanya perasaan dan hati
seorang Karman. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Jauh dari
sanak saudara kemudian ditinggal menikah lagi oleh istrinya.

“Perasaan Karman semakin tak karuan.


Keseimbangan batin Karman terguncang keras.
Semangat hidupnya nyaris runtuh” (Tohari,
2005:15.)

Pada masa pemerintahan Jepang, Indonesia mengalami


masa yang sulit. Hasil panen penduduk pribumi dirampas
semuanya oleh Jepang. Kemarau panjang menambah
kesengsaraan yang dialami penduduk pribumi. Kekurangan
pangan terjadi di mana-mana. Bencana kelaparan merajalela.
Mereka yang sudah tidak memiliki padi sama sekali hanya
makan ubi-ubian. Keadaan mulai berubah sejak Indonesia
merdeka, Jepang mulai tercepit keadaannya di Indonesia.
Penderitaan masyarakat pribumi masih belum usai. Setelah
kemerdekaan Indonesia, Belanda kembali mencoba menegakkan
kekuasaannya. Pada tahun 1948 terjadi kekerasan oleh tentara
Belanda. Belanda menyerang pangkalan udara Maguwo hingga
98

ia berhasil menguasainya. Sasaran beralih langsung ke Ibu kota RI


di Yogyakarta. Dalam serangan itu, Belanda berhasil membawa
presiden, wakil presiden, dan pejabat lainnya. Setelah berhasil,
Belanda kemudian menyiarkan ke dunia internasional bahwa
Indonesia sudah tidak ada. Hal ini sangat memojokkan Indonesia.
Pemerintah geram akan ulah Belanda. Belanda terus mendapat
tekanan politik dari dunia internasional karena perlakuannya
terhadap Indonesia. Pasukan RI semakin gencar melakukan
serangan terhadap Belanda. Akhirnya, dengan bantuan PBB,
Belanda mengakhiri aksinya.
Karman terlahir dari keluarga Mantri. Di desanya ayah
Karman lah yang menjadi Mantri. Kehidupan keluarga Karman
tercukupi dengan gaji ayahnya. Pada masa pemerintahan Jepang,
rakyat mengalami masa yang sangat sulit. Semua hasil panen
dirampas. Rakyat hanya memakan ubi-ubian, terkecuali keluarga
Karman. Menurut ayahnya, seorang mantri hanya pantas makan
nasi. “Menurut keyakinannya,seorang mantri hanya pantas makan
nasi dan beras kualitas terbaik” (Tohari, 2005: 55). Selama hasil
panen masih dikuasaiJepang, Pak Mantri sangat kebingungan
mencari beras. Ia rela menukarkan sebagian sawahnya kepada
Haji Bakir demi nasi. Haji Bakir sempat menolak, tetapi ia
berpikir kalau menolak nanti Pak Mantri melaporkan penduduk
Jepang kalau ia masih menyimpan cadangan padi. Sawah Pak
Mantri habis hanya untuk menukarkan nasi hingga pendudukan
Jepang berhenti merampas hasil panen rakyat. Tiga tahun setelah
kemerdekaan terjadi kekerasan oleh tentara Belanda. Hal ini
membuat rakyat ketakuatan dan akhirya pergi mengungsi
mencari tempat yang lebih aman. Setelah merasa aman rakyat
mulai kembali lagi.
99

Akan tetapi, masalah belum berakhir karena kelaparan masih


terjadi akibat ulah Jepang.
Pada bulan September 1948 di Madiun terjadi
pemberontakan besar. Pemberontakan ini bertujuan
menghancurkan Republik Indonesia dan menggantinya dengan
pemerintahan komunis. Tokoh Musso sebagai penggerak
komunis. Kekejaman PKI ketika melakukan pemberontakan
mengakibatkan kemarahan rakyat. Oleh karena itu, pemerintah
dengan dibantu rakyat mengambil keputusan tegas terhadap
kaum pemberontak. Panglima Jenderal Sudirman mengerahkan
kekuatan TNI dan Polri untuk menumpas kaum pemberontak.
Pada akhir bulan September 1948, seluruh kota Madiun dapat
direbut kembali oleh TNI. Musso yang melarikan diri ke luar kota
dapat dikejar dan ditembak oleh TNI. Musso kemudian dihukum
mati. Akhirnya, pemberontakan di Madiun dapat dipadamkan
meskipun banyak memakan korban.
Pada novel Kubah tokoh Musso ditemani Margo dan Triman.
Triman gencar sekali mencari pengikut di daerah Pegaten.
Sasaran mereka adalah tokoh utama pada novel ini, yaitu
Karman. Mereka sangat pandai menarik simpati Karman. Karman
yang membutuhkan pekerjaan diiming-imingi bekerja di kantor
kecamatan. Tanpa berpikir lama Karman langsung menerimanya.
Pada ujian pertama, ia tidak diloloskan karena kelicikan sang
kepala Partai Komunis. Akhirnya Karman mengikuti ujian
selanjutnya, dan ia lulus. Karman terus diberi pengetahuan-
pengetahuan tentang komunisme tanpa ia sadari.

“Gerak alam bawah sadarnya telah dibelokkan


kea rah meyakini komuisme yang secara sabar dan
100

teratur diajarkan oleh kelompok


Margo” (Tohari,2005: 89).

Pada pemilihan umum pertama tahun 1955, PKI mendapat


tempat dan posisi keempat setelah Partai Nasional Indonesia,
Masyuni, dan Nahdathul Ulama. Hasil tersebut sangat
mengejutkan d imana PKI mengalahkan partai lain. Citra
negatif PKI akibat tragedi Madiun 1948 sudah menjadi angin
lalu. Pemberontakan yang mengakibatkan banyak rakyat
meninggal tak berarti bagi pendukungnya. Dukungan terus
mengalir deras hingga mengantarkan PKI pada urutan
keempat. Para kader PKI sangat pintar mengambil hati rakyat.
Sasaran PKI adalah pedesaan, di mana desa-desa dijadikan
tempat dalam menyusun kekuatan yang telah runtuh.
Puncak pemberontakan terjadi pada tahun 1965. Di mana
Presiden RI masih Soeharto. Soeharto berniat melakukan
pembersihan pada orang-orang Partai Komunis Indnesia (PKI).
Mereka yang dianggap simpatisan atau hanya mendukung pun
dibantai. Pembersihan dimulai di Jakarta, menyebar ke Jawa
Tengan, Jawa Timur, dan Bali. Pembantaian skala kecil juga
dilancarkan di sebagian Sumatera. Tentara atau ormas mencari
orang-orang komunis. Sebagian ditangkap, sebagian lagi dibantai
dengan kejam. Orang-orang dibunuh dengan cara tidak wajar,
digorok, dipotong-potong atau dipukul kepalanya hingga tewas.
Sementara wanita-wanita yang dituduh PKI diperkosa dan
mengalami kekerasan seksual. Warga keturunan Tionghoa pun
ikut dibunuh dan dijarah hartanya. Warga sipil juga banyak yang
meninggal dibunuh. Pada tanggal 30 September dan 1 Oktober
1965, enam jenderal dibunuh oleh kelompok yang
101

menyebut diri mereka Gerakan 30 September. Pemimpin-


pemimpin utama militer Indonesia tewas atau hilang, sehingga
Soeharto mengambil alih kekuatan angkatan senjata. Soeharto
mengendalikan Ibu kota. Angkatan bersenjata menuduh PKI
sebagai dalang peristiwa tersebut.
Karman salah satu orang yang lolos dari pembantaian
simpatisan atau pendukung Partai Komunis. Ia hanya diasingkan
selama 12 tahun di Pulau B. Karman tidak sepenuhnya tahu
tentang Partai Komunis. Margo dan Triman yang sudah
menjerumuskan dia ke dalam Partai Komunis. Setelah 12 tahun
diasingkan akhirnya Karman dibebaskan. Perubahan sudah
banyak yang terjadi di luar tempat pengasingan. Kehidupan
rumah tangga Karman pun sudah banyak berubah. Ia
memutuskan untuk pulang ke rumah di Pegaten. Dia telah
berubah dan sadar untuk kembali seperti dulu. Penduduk desa
Pegaten menerimanya tanpa dendam. Penerimaan itu semakin
nyata ketika anaknya Tini menikah dengan Jabir, putra dari Rifah,
cucu Haji Bakir. Sebagai bukti rasa syukurnya pada Sang Pencipta
Alam Semesta dan sekaligus rasa terima kasihnya pada
masyarakat desa Pagetan, Karman mempersembahkan sebuah
kubah masjid untuk masjid di desanya. Kubah tersebut dihiasi
kaligrafi dengan teralis yang berisi potongan dari Surat Al Fajr.
Mantan presiden Indonesia Abdurrahman Wahid mencatat
Kubah sebagai novel pertama yang mengangkat
masalahperbaikan hubungan antara eks-anggota PKI dengan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Mahayana menemukan
suatu pesan religius dalam Kubah yang didapat dari awal cerita,
ketika Ahmad Tohari menyediakan kutipan empat baris dari
suatu teks Jawa mengenai kepercayaan. Semakin lama pesan ini
menjadi
102

semakin eksplisit, sehingga Karman bertemu dengan tukang


rakit Kastagethek, saat melarikan diri. Adegan yang paling
eksplisit ini, menurut Mahayana, membandingkan Karman
dengan Kastagethek yang saleh tetapi sederhana, yang bahagia
dalam kemiskinan, sehingga Karman harus mempertanyakan
pengertiannya sendiri dan akhirnya menemukan suatu
identitas dalam agama Islam. Oleh karena itu, Mahayana
berpendapat bahwa Kubah merupakan suatu usaha dakwah,
dengan pesan bahwa manusia harus mengakui keberadaannya
sebagai makhluk Allah disampaikan melalui dialog dan
perilaku tokoh (www.wikipediaindonesia.com, 2013).

Daftar Pustaka

Anonim. 2012. “Inilah Detik-detik Pembantaian Massal Tahun


1965-1966”, dalam www.lensaindonesia.com. Diunduh
pada tanggal 10 Desember 2015.
Anonim. 2013. “Kubah”, dalam www.wikipediaindonesia.com.
Diunduh pada tanggal 24 Desember 2015.
Sofyan. 2003. IPS Sejarah. Jakarta: Yudhistira.
Tohari, Ahmad. 2005. Kubah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
103

Emansipasi dalam Naskah Drama Sampek


dan Engtay Karya N. Riantiarno:
Dulu Sampai Saat Ini

Siska Kartikasari

Emansipasi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan


sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun hak
kesamaan derajat. Emansipasi wanita adalah proses pelepasan
diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah
atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan
untuk berkembang dan maju. Berbicara tentang emansipasi
pasti membicarakan seorang Kartini, yaitu seorang wanita
priyayi Jawa yang memiliki pemikiran maju di masanya, yang
kemudian diangkat namanya menjadi penggerak emansipasi
wanita Indonesia. Berkat surat-surat koresponden pada
sahabat Belandanya, kemudian diangkat menjadi sebuah buku
yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Emansipasi tentu tak dapat dipisahkan dari R.A. Kartini. Bisa
dikatakan beliau adalah tombak perubahan bangsa ini dalam
emansipasi wanita. Akan tetapi, dalam cerita dari China ternyata
104

juga terdapat emansipasi. Sama halnya dengan perjuangan


Kartini, dalam cerita Sampek dan Engtay juga memperjuangkan
hak-hak wanita. Hak-hak yang diperjuangkan yaitu tentang
pendidikan dan hak dalam menentukan jodohnya sendiri.
Terdapat kemiripan antara budaya Jawa dan cerita dari
China ini, yaitu dari segi keadaan sosial. Dikisahkan Engtay
telah dijodohkan dengan putra Tuan Liong, yang bernama
Macun. Hal ini dikarenakan Tuan Ciok telah berhutang budi
padanya, Liong menutup semua hutang-hutang Ciok. Selain
itu, ketika Engtay meminta untuk bersekolah, ayah dan ibunya
melarangnya. Dengan kata lain perempuan dapat dibeli jiwa,
raga, dan perasaannya dengan materi. Sampai saat ini, di era
modern kasus serupa masih banyak dijumpai.

“… coba pikir sekali lagi. Untuk apa sekolah?


Sekolah hanya untuk kaum lelaki. Dunia wanita
hanya sebatas pagar rumahnya. Jangan kamu coba-
coba mengubah kebiasaan itu. Nanti bisa buruk
akibatnya. Benar kamu pintar menyamar. Tapikan
bias saja kamu alpa. Sekarang kamu niat masuk
sekolah. Dari rumah bawa banyak buku. Apa nanti
pulangnya kamu bawa lebih banyak lagi? Kalau kamu
nanti pulangnya membopong bayi, bagaimana? Di
mana bakal ditaruh muka ayah dan ibumu?”
(petikanadegan yang dikatakan oleh ibunda Engtay).

Dahulu banyak orang tua yang menganggap sekolah tidaklah


penting bagi kaum perempuan. Indonesia merupakan salah satu
negara yang menganggap bahwa pendidikan hanya untuk kaum
105

laki-laki. Segala bentuk kepemimpinan pun dipegang oleh


laki-laki, tak heran bahwa Indonesia disebut negara patriarki.
Akan tetapi, anggapan bahwa perempuan hanya dipekerjakan
di rumah dan mengurus keluarga mulai ditepis oleh kaum-
kaum perubahan. Mereka melakukan segala cara agar
perempuan setara dengan kaum laki-laki dan juga bisa
bersekolah layaknya kaum laki-laki.
Saat ini perempuan Indonesia dengan mudah merasakan
pendidikan, bahkan menjadi seorang pemimpin. Akan tetapi,
itu hanya untuk beberapa orang saja. Faktanya masih banyak
perempuan Indonesia yang masih dipasung dengan keadaan.
Masih banyak ibu yang menjadi tulang punggung keluarganya.
Sebagian dari mereka rela menjadi tukang parkir dan beberapa
pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh kaum lelaki, demi
menghidupi hingga menyekolahkan anaknya.
Mudahnya perempuan untuk bersekolah ternyata tidak
diimbangi dengan perlindungan bagi kaum perempuan. Buktinya
perempuan Indonesia masih banyak yang menjadi korban human
trafficking dengan iming-iming diberikan pekerjaan di luar
negeri. Alasan bekerja menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) di
luar negeri tak jarang menjadikan mereka budak seks bagi kaum-
kaum nakal. Lalu masihkah emansipasi berlaku di negeri ini?
Emansipasi seharusnya masih terus diperjuangkan oleh siapapun
dan di manapun. Tak hanya dibidang pendidikan, tetapi juga
perlindungan terhadap hak-hak perempuan, dan kesempatan
bagi perempuan untuk mengembangkan dirinya.
Cerpen
107

Yang Ditunggu

Kurniawan Haryo S

Warna merah menyala tak dapat terhindarkan


dari tatapan setiap mata yang menyala di
ruangan pengap berpintu ganda itu. Nasehat dan
petuah seakan hanya lewat di atas kepala mereka.
Saf-saf depan selalu kosong tak berpenghuni,
sarang laba-laba menggantung di sana-sini.
Detak jantung berdentum bak bom atom yang
meledak berkali-kali di dalam dada. Pena yang
keluar selalu menjadi rebutan. Hanya ketika
sudah selesai pena itu hilang entah kemana.
Sang penjaga pun tak dapat melakukan apa-
apa, hanya melongo tanpa ekspresi ketika kertas
merah itu berada di tengah rebutan seperti
daging yang di masukkan ke dalam kolam
piranha. Satu mata kuliah telah usai, semua
108

mahasiswa kembali ke aktivitas masing-masing. Semua senang


semua riang dengan senyum menempel di bibir. Beberapa jam
setelah mereka bersantai kini tiba saatnya untuk melanjutkan
perkuliahan. Satu demi satu para mahasiswa menempati
bangku-bangku yang masih kosong. Seperti sebelumnya
mereka selalu menantikan kertas merah presensi yang selalu
ditenteng oleh dosen. Sambil menunggu mereka bercanda ria
sambil tertawa keras seperti biasanya.
Menit demi menit mereka menunggu hingga waktunya
perkuliahan dimulai, mereka menyiapkan diri untuk
menerima perkuliahan. Beberapa menit sebelum dosen masuk,
mereka merapihkan wajah yang semula jengkel dan memasang
senyum manis untuk sang dosen. Setelah dosen masuk
semuanya tenang dan menunggu dosen memulai
perkuliahannya. Tidak terlewatkan tatapan mata mereka dari
kertas presensi yang belum diletakkan di meja. Sambil
mendengarkan kuliah beberapa mahasiswa ada yang tidur,
ngobrol, bahkan bermain game di hp mereka masing-masing.
Semua menahan rasa ingin mengambil presensi dan keluar
dari ruangan agar bisa pulang dan pergi nongkrong seperti
biasanya. Hari itu juga mendung sehingga wajah mereka tampak
gelisah memikirkan jemuran yang masih di luar. Suasana kelas
menjadi tidak kondusif sehingga perkuliahan hanya seperti asal-
asalan. Tak berapa lama kemudian hujan lebat dan semuanya
menjadi mengantuk karena hawa dingin dan bau dari hujan yang
sebenarnya membuat nyaman suasana.
Obrolan tentang makanan dan minuman hangat pun tidak
terelakkan bahkan ada yang membicarakan tentang selimut.
109

Beberapa mahasiswa jadi sering ke toilet karena cairan yang


seharusnya menjadi keringat berubah menjadi urin yang harus
dikeluarkan. Suasana di kelas sudah seperti pasar karena suara
hujan yang lebat membuat omongan dari dosen tidak sampai
ke belakang. Mereka pun ngobrol dengan suara yang keras.
Satu persatu mahasiswa membuka mulut karena menguap
dengan lebar sehingga bau nafas menjadi terdorong keluar
mulut. Waktu perkuliahan hampir habis, semua mahasiswa
berkemas sebelum waktunya sehingga semuanya menjadi
terburu-buru. Tidak tahan dengan kondisi itu, sang dosen pun
menyodorkan kertas presensi itu kepada salah satu mahasiswa
terdekat. Mata mereka kembali melotot melihat presensi yang
sedang berputar. Setelah dosen menutup perkuliahan,
mahasiswa yang belum presensi langsung berdiri dan berebut
seperti melemparkan jagung kepada ayam saat sore hari. **
110

Cerita

Santi Hadi Saputri

Darah mengalir lancar keluar dari pembuluh


darah yang sudah robek. Merah. Masih segar.
Nyeri yang luar biasa menjalar ke setiap senti
tubuhku. Gadis itu masih terduduk lemas kira-
kira tiga langkah dariku. Menangis tanpa suara.
Tak menyentuhku sama sekali.
***
Sore itu kuputuskan untuk beranjak dari rumah
Margaret. Tiga hari yang lalu kulihat mereka
berkemas. Entah kemana tujuan mereka. Kukira
mereka akan pulang, tapi ternyata sampai
sekarang mereka tak kunjung datang. Kemarin
ada seorang laki-laki datang ke rumah dan
memasang spanduk besar berwarna kuning
dengan tulisan merah menyala. Ia memasangnya
111

di pagar depan. Baru tadi pagi kutahu bahwa tulisan itu


berbunyi “DIJUAL” dari percakapan dua bapak-bapak yang
lewat depan rumah. Kupikir, lebih baik aku pergi dari pada
menunggu tanpa kepastian.
Aku berjalan keluar kompleks dan berhenti di depan pos
satpam. Aku bingung harus ke mana. Aku tak punya keluarga
di sini. Sampai akhirnya aku melihat seorang gadis turun dari
bis. Usianya kira-kira dua puluh tahun. Seusia Margaret,
namun penampilannya berbeda. Gadis itu mengenakan jilbab.
Entah mengapa aku tertarik padanya. Kuputuskan untuk
mengikutinya. Ia berjalan ke barat melewati jalan yang di tepi
kirinya tersisa dua petak sawah. Baru sekitar dua bulan lalu
tiga petak yang lain diuruk untuk dijadikan swalayan mini
ternama yang cabangnya sampai ke desa-desa pinggir kota.
Gadis itu terus berjalan hingga sampai di perkampungan.
Langkahnya santai teratur, mungkin karena dia tidak sadar
bahwa aku berjalan di belakangnya. Ia baru tahu ketika sudah
sampai di rumahnya. Begitu melihatku dia langsung
mengusirku dan bergegas masuk rumahnya.
Tapi aku tertarik padanya. Sepertinya hidup di sekitar sini
adalah pilihan yang baik. Aku bisa sesekali lewat bahkan main
ke rumahnya. Akhirnya kuputuskan rutin menyambangi
kediamannya. Menunggu Gadisku keluar rumah dan
menyapanya walaupun dia sepertinya tidak suka.
“Astaghfirullah, kenapa kamu jadi sering sekali ke sini?”
tanya gadis itu dengan nada marah.
“Siapa Ndhuk?” tanya seorang laki-laki yang sepertinya
adalah ayah si gadis.
112

“Itu!” sahut si gadis sambil menunjukku.


“Oalah, dia. Biarkan saja Ndhuk. Dia mungkin senang ada
di sini,” jawab ayah si gadis.
Gadis itu pun masuk ke rumahnya. Tidak ingin berdebat
dengan ayahnya. Begitulah. Setiap hari aku sempatkan untuk
lewat halaman rumahnya yang lumayan luas dan berhenti di
sana jika si Gadis sudah pulang. Kadang ayah si gadis
memberiku makanan atau minuman. Akan tetapi, gadis itu
tetap tidak memedulikanku. Sering kali dia malah terlihat
sebal jika melihatku. Jika kebetulan dia pulang dan aku berada
di halaman rumahnya, dia akan memilih untuk lewat pintu
samping. Menjauhiku.
Kemarin aku mendengar gadis itu mengeluh lagi pada
ayahnya.
“Ayah sebaiknya tidak perlu memberinya makanan atau
minuman. Dia sekarang jadi makin rajin duduk-duduk di
halaman rumah kita,” kata gadis itu.
“Loh, dia kan tidak mengganggumu Ndhuk. Dia hanya
duduk di halaman. Bukankah selama ini dia tidak pernah
mendekatimu?”
“Astaghfirullah, Ayah. Dia bisa saja tiba-tiba naik ke teras
atau bahkan masuk ke rumah. Apa ayah mau itu terjadi?”
sahut si gadis.
“Ndhuk, dia sudah beberapa minggu sering duduk di
halaman kita tiap sore. Dia tidak pernah mencoba masuk
rumah kita bukan? Biarkan saja, dia tidak mengganggu kita,”
jawab si Ayah sambil tersenyum sabar.
Ah, ayah selalu membelaku. Dia sepertinya tahu bahwa aku
113

memang hanya ingin duduk di halaman dan melihat putrinya.


Sebenarnya sangat aneh. Gadis itu terlihat sangat
membenciku, namun rasanya aku ingin di dekatnya. Hatiku
seperti tergerak untuk turut melindunginya. Sampai akhirnya
terjadi peristiwa tak terduga ini.
***
Kamis pagi. Aku baru saja mencari makan untuk sarapan.
Tiba-tiba rasanya ingin sekali ke rumah gadis itu, maka
berangkatlah aku ke sana. Ternyata ayah dan ibu si gadis
hendak pergi. Melihatku, ayah langsung menghampiri dan
memberikan sepotong roti.
“Hari ini kami akan ke luar kota, tetapi putriku tidak ikut.
Selama dua hari mungkin dia akan sendirian di rumah. Tetap
mainlah ke sini meski aku tidak di rumah. Aku butuh
bantuanmu untuk menjaga rumah dan anak perempuanku
satu-satunya,” pesan si ayah sambil tertawa.
Mungkin dia merasa aneh mengajakku bicara padahal ia
sendiri tidak yakin aku bisa memahami ucapannya, apalagi
menjawab. Aku tidak bisa mengiyakan, tapi aku mengerti.
Akhirnya pergilah ia bersama istrinya, ibu si gadis. Kutunggui
gadis itu di halaman rumahnya. Sebenarnya sempat gerimis, tapi
aku tidak berminat naik ke teras untuk berteduh. Aku tahu si
gadis tidak suka aku melakukan hal itu. Matahari sudah berganti
bulan, tapi gadis itu tak juga pulang. Dua adzan petang sudah
dikumandangkan, tapi gadis itu belum juga kelihatan. Sampai
akhirnya menjelang tengah malam aku melihatnya berjalan dari
ujung gang. Mungkin dia naik bis terakhir hari itu.
Kusambut dia dengan menyingkir dari pintu utama.
114

Aku tidak ingin dia repot karena harus lewat pintu samping
untuk menghindariku. Pelan-pelan dia mendekat. Eh, tapi
sepertinya dia tidak sendirian. Ada seorang lelaki berbadan
tegap yang berjalan di belakangnya. Ketika hampir memasuki
halaman, tiba-tiba lelaki itu membungkam mulut gadis itu dan
membopongnya dengan paksa. Si gadis meronta tapi terlihat
lemah. Mungkin tenaganya sudah habis karena aktivitasnya
seharian. Aku tak bisa membiarkan hal buruk terjadi pada
gadis itu. Aku berlari kencang-kencang dan kugigit kaki
pemuda itu hingga tanganya alpa memegangi gadisku.
Pemuda itu menghentakkan kakinya dan menendangku
hingga aku tersungkur. Tapi aku benar-benar tak akan
membiarkannya menyakiti gadisku. Kukejar lagi ia dan kugigit
tubuhnya, kucakar semua bagian yang bisa kulukai dengan kuku.
Aku menggonggong sekeras yang aku bisa. Memanggil agar
tetangga si gadis keluar dan membantuku mengalahkannya. Tak
kusangka pemuda itu meraih sebuah kayu dan memukulku
sekuat tenaga hingga aku kembali jatuh. Aku belum sempat
berdiri, tapi pemuda itu sudah menyerangku dengan pukulan
bertubi. Aku benar-benar tidak kuasa bangkit lagi. Beruntung
tetangga si gadis segera datang. Pemuda yang masih bernafsu
menyerang itu panik dan lari menyelamatkan diri.
Warga mengejar pemuda kurang ajar itu. Tidak
mengacuhkanku yang terkulai bersimbah darah. Beberapa ibu
tetangga punkeluar untuk menenangkan gadisku. Tapi gadis
itu tetap menangis. Isaknya tak kunjung berhenti. Samar-
samar kulihat ia menghampiriku. Terduduk kira-kira tiga
langkah di depanku. Dia menangis. Tangisnya sesenggukan.
115

“Maaf,” katanya di sela isak.


Perlahan kurasakan dingin merambat pelan di sela nyeri
setiap senti tubuhku. Seandainya aku mati malam ini,
setidaknya aku sudah berarti.

19 November 2015
116

Sandera

Ulfa Windarti

Kala itu dia duduk termangu di sisi bangku


pada tempat itu. Aku di sini menatapnya
dengan penuh harap. Aku tak bisa berkata apa-
apa lagi. Semua sedang di jalaninya. Mereka
mondar-mandir di depanku. Kursi roda dan
tabung didorongnya ke sebuah ruangan.
Saat itu langit mendung, tak ada sinar
matahari yang menghampiri. Tepat pukul
09.30 dan suasana berubah menjadi berselimut
kelabu. Suara tik tok jam pun terus berjalan,
sementara mereka masih bersiap dengan jas
dan segala perlengkapannya.
“Sepuluh menit lagi,” katanya.
117

Semua muka orang-orang di situ menjadi memerah bak


buah Mahkotadewa. Kini saatnya aku menengok ke jendela
yang ditutupi tirai putih itu dan dia masih memejamkan
matanya. Sementara, lonceng pun ikut berbunyi.
***
“Ya, kami akan segera membawanya sekarang,” ujar mereka.
Sebuah suara yang mengagetkanku. Mereka masuk lewat pintu
kaca dan membawanya keluar. Semua alat sudah melekat di
tubuhnya yang renta itu.
Mereka ikut berjalan di samping dan belakang menelusuri
jalan menuju ke sana. Tiada henti pula mereka terus
merapikan dan mempersiapkan segalanya. Ibu
mencemaskannya dan aku mendoakannya. Dia sudah masuk
dengan mereka, kemudian aku pun duduk di kursi yang
memanjang di depan ruangan itu. Muka ibu sudah terlalu
berkerut untuk kuajak bicara, pikirannya semrawut. Kucoba
untuk mengalihkan pandangan dan pikirannya, namun
usahaku tidak berhasil. Mungkin satu jam lagi mereka akan
membawanya keluar dengan senyuman di wajah mereka.
Orang-orang lalu lalang di depanku. Kucoba untuk
menghiraukannya, tapi pikirku semakin semrawut sama
seperti ibu. Kulihat papan putih yang tertera nama-nama
seperti sebuah presensi. Dari mulai anak-anak sampai orang
tua tertera di situ. Terus kupandangi papan itu. Seperti ada
yang janggal di situ. Kubaca terus nama itu berulang-ulang
namun tak ada yang bisa kuingat. Siapa dia? Aku bertanya
dalam hati. Nama belakang ia sama dengan nama belakangku.
Tapi aku hanya berpikir itu hanya sebuah kebetulan.
118

Satu jam pun berlalu. Aku dan ibu hanya mondar-mandir


di depan pintu menunggu mereka keluar. Orang-orang
berseragam hijau pun keluar satu persatu.
Rupanya mereka sudah melakukan yang terbaik untuk
membantu kesembuhannya. Ia akan segera pulih setelah dua
jam nanti. Aku melangkah menengok dari balik jendela. Ia
masih memejamkan mata seperti yang kulihat tadi.
Dua jam berlalu. Malam ini akan kutemui dia. Aku masuk
ke ruangan itu dengan penuh suka cita. Dari kejauhan ia
tampak melihatku dengan tatapan yang agak aneh. Aku
melangkah mendekatinya sambil membawakan sekeranjang
buah. Aku meletakkan buah itu lalu mencium tangannya.
Sementara ia meneteskan air mata.
“Sehat ya nek,” kataku.
Semua alat masih terlekat di badannya. Kulihat kanan
kiriku semerbak aroma kimia. Ibu dan aku duduk bersamanya
dan berusaha mengalihkan suasana yang ada agar menjadi
bersahabat dengan kami.
Keheningan malam semakin terasa di tempat itu. Aku pamit
kepada ibu untuk pulang dan kembali lagi esok hari. Pergilah aku
keluar dari tempat itu, karena memang dasarnya aku tak suka
dengan hal-hal yang berbau kimia, apalagi harus bermalam di
tempat itu. Rasanya pusing dan ingin muntah jika kuhirup aroma
kimia itu. Di sela perjalanan aku hanya bisa termangu sambil
menancap gas lebih cepat dari biasanya karena jalanan tidak
terlalu macet. Sesampai di rumah aku segera mandi dan
merebahkan badanku yang sudah terlalu lelah. Masih terbesit
dalam pikiranku tentang nama anak kecil tadi. Aku semakin
119

penasaran. Malam semakin malam, aku tertidur begitu saja


bersama rasa penasaran itu.
***
Alarm sudah berbunyi. Aku segera bangun dan bersiap menuju
ke rumah sakit menemui ibu dan nenekku. Mampirlah aku ke
sebuah warung bubur dekat rumah untuk mereka. Biasanya
aku bersama ayah yang menemaniku ngobrol di mobil ketika
aku menyetir. Namun, ayah sedang ke luar kota maka aku
harus menyetel musik sebagai teman di perjalananku.
Ramai sekali. Aku merasakan hal itu. Hiruk pikuknya
seperti pasar malam tapi di siang hari. Sungguh aneh, batinku.
Tak seperti biasanya. Aku segera masuk ke sudut ruangan
menemui mereka. Sayangnya, lonceng berbunyi pertanda
ruangan sedang dibersihan. Apa boleh buat, aku duduk saja di
sekitaran taman agar aku lupa bahwa aku tidak merasa berada
di tempat ini. Tempat yang aku benci selama ini. Papan
pengumuman di sana sepertinya mengalihkan pandanganku
sejenak. Aku tergerak untuk melihat-lihat saja.
Foto perempuan berusia sekitar 25 tahun an tertempel di
sana. Aku membaca semua pengumuan yang tertera di papan
itu. Tertuliskan bahwa perempuan itu membutuhkan donor
darah segera karena penyakit yang dideritanya. Seketika
badanku menjadi tremor. Dia adalah perempuan yang
mempunyai nama belakang sama denganku. Tertera di sana
Rany Yunis Sanjaya. Sementara namaku Reihan Yudis Sanjaya.
Aku semakin penasaran dengannya. Terbersit dalam
pikiranku, tidak mungkin namaku nyaris sama dengannya.
Aku berlari menuju ruang administrasi. Aku menemui
120

pegawai di sana dan meminjam buku presensi pasien yang


diopname di rumah sakit itu. Aku langsung memicingkan
mataku untuk nama perempuan itu, Rany Yunis Sanjaya.
Kubuka dan kucari informasi tentangnya. Dengan segala
kesadaranku, aku melihat bahwa ia adalah perempuan di salah
satu panti asuhan di pusat kota. Pikiranku semakin buyar
memikirkan siapa sebenarnya perempuan itu. Aku terus
bertanya ke sana kemari mengenai pasien perempuan itu.
Lonceng sudah berbunyi lagi. Aku pergi ke ruangan
nenekku dirawat untuk memberikan bubur itu. Ibu telah
tertidur pulas di dekat nenek. Mungkin ia kelelahan, pikirku.
Kondisi nenek sepertinya semakin membaik. Ia sudah bisa
menggerak-gerakkan badannya setelah operasi ginjal yang
dilakukannya kemarin. Kusuapi ia dengan penuh kasih. Nenek
sudah terlalu renta, matanya sudah sayu. Aku kasihan
kepadanya. Aku bisa membayangkan apabila kakek masih ada,
pasti ia menungguinya di sini. Sebagai tanda sayangku
kepadanya, sekarang aku yang menjaganya di sini.
Nenek tersenyum manja ketika aku suapi bubur itu, namun
tertangkap di raut mukanya sepertinya ada sesuatu yang sedang
ia pikirkan. Aku terceletuk, “Nek cepat sembuh ya, kalau nenek
sudah sembuh, nenek tinggal bersama kami saja.”
Nenek tersenyum simpul sambil meneteskan air mata.
Sambil terbata-bata ia menjawab, “Iya nenek pasti akan segera
sembuh Yunis.”
Aku terkaget dengan jawaban nenek. Ia memanggilku Yunis,
bukan Yudis. Tapi aku hanya berpikir pendek, mungkin nenek
sedang dalam proses penyembuhan sehingga sering kurang jelas
121

dalam berbicara.
“Yunis, ibumu mungkin terlalu kelelahan mengurus
nenekmu ini, nenek ingin pulang saja,” katanya.
Aku terkaget lagi. “Nenek ini Yudis. Siapa sebenarnya
Yunis? Nenek baik-baik saja kan?” tanyaku.
Nenek meneteskan air mata. Kemudian ia memanggil lagi.
“Yunis........”
Aku tak mengerti harus mengatakan apa. Aku bertanya
lagi, “Siapa Yunis nek? Katakan padaku, nek.” Aku semakin
bertanya-tanya dalam hati. Siapakah Yunis. Apakah dia
saudaraku? Bukankah dia perempuan itu?
Semakin berkecamuk dalam pikiranku. Apakah aku
sebenarnya bukan anak tunggal? Lantas mengapa ibu selalu
berbicara kepadaku kalau aku anak tunggal keluarga Sanjaya?
Nenek terus menangis. Dia mengatakan bahwa ia rindu.
Kubangunkan ibu. Kutanyakan siapa sebenarnya Yunis. Ibu hanya
bisa manjawab, “Bukan siapa-siapa.” Mungkin nenekmu sedang
lelah setelah operasi sehingga salah memanggil kamu,” ujar ibu
dengan muka memerah sambil meneteskan airmatanya. Aku tak
mau basa-basi lagi dengan ibu. Aku lari keluar ruangan.
Aku lewati ruangan tempat perempuan itu dirawat. Di
depan ruangan itu, ada seorang perempuan setengah baya
tengah duduk di kursi tunggu. Aku mencoba untuk duduk di
sampingnya dan mencoba bertanya kepadanya.
“Permisi ibu, apakah ibu keluarga dari pasien
di dalam?” “Iya benar,” katanya dengan singkat.
Aku memperkenalkan diri. “Saya Reihan Yunis Sanjaya, saya
akan mendonorkan darah untuk dia.” Seketika perempuan itu
122

sungguh terkaget. Aku tau akan respon perempuan itu ketika aku
menyebutkan namaku. Yang aku inginkan kini ibu itu mau
bercerita kepadaku siapa perempuan di dalam ruangan itu.
Mengapa nama kita sama, itu saja. Emosiku semakin meluap
diikuti rasa iba, penasaran dan bergemetar. Aku mencoba
menanyakan hal itu secepatnya. Aku sudah tak kuasa tenggelam
dalam rasa penasaranku ini dan aku ingin ia sembuh dari
komanya agar aku bisa menanyakan langsung padanya.
Akhirnya perempuan itu menceritakan semuanya padaku.
Tentang semua kehidupanku. Tentang semua keluargaku.
Tentang semua perempuan itu. Aku laki-laki dan saat itu aku
hanya bisa meneteskan air mata. Bukan air mata buaya. Bukan
pula air mata haru. Kala itu aku benar-benar sengsara.
Sengasara yang tak pernah aku rasakan dalam hidupku
sebelumnya. Aku tergolek letih. Aku masuk ke ruangan itu.
Terbaring seorang perempuan nan ayu tanpa mahkota kepala.
Ya...tanpa mahkota kepala. Dia tergolek lesu dan memejamkan
matanya. Sama sepertiku, dia tinggi. Sama sepertiku juga nama
belakangnya, San-ja-ya. Ya dia saudara perempuanku yang tak
pernah aku kenali sedari aku dilahirkan di dunia ini.
Orang tuaku memisahkan kami dari kecil. Ketika ia divonis
lumpuh seumur hidup. Dia tak bisa berjalan dan diapun tak
merasakan kasih sayang dari orang tuaku. Tujuan kami
dipisahkan dan tidak saling mengenal hanyalah sepele. Yaitu
karena keluarga Sanjaya (keluarga pihak ayah) tidak mau
merawat saudaraku itu karena dia lumpuh dan hanya
menginginkan aku sebagai anak tunggal penerus keturunannya.
Ini adalah kemauan ayah bukan ibu. Bukankah hidupku terlalu
123

lucu untuk dilihat, apalagi dirasakan. Sadis! Tragis!


Kini aku marah besar kepada orang tuaku yang tak pernah
menceritakan bahwa aku mempunyai saudara. Aku kesal
kepada mereka. Rindu nenek pun sudah tak bisa diobati.
Nenek menghembuskan napas terakhir setelah kondisinya
semakin menurun setelah operasi ginjal itu dilakukan. Pada
hari yang sama pula, saudara perempuanku meningglkanku
untuk selama-lamanya. Aku kehilangan dua perempuan yang
aku cintai. Bukankah hidup ini tak adil?
Tuhan menitipkan perempuan-perempuan untukku.
Namun kini Tuhan mengambilnya pula dariku. Hidup ini
terlalu perih untuk kurasakan. Kebohongan selama dua puluh
lima tahun kini telah terungkap. Layaknya sebuah presensi
yang selalu alpa dan kini bukan hanya ‘layaknya’ tapi sudah
benar-benar alpa dari kehidupanku. Saudara perempuanku,
saudara sekandungku kini telah tiada tanpa aku bisa
mengenalnya lebih dulu. Sungguh hal yang miris!
Kepergian mereka dariku, memutuskanku untuk
menghirup udara bebas ke negeri tetangga. Aku ingin bebas.
Aku ingin terasingkan dari keluarga, seperti apa yang
dirasakan saudara perempuanku selama hidupnya. Aku ingin
bebas. Aku ingin Yudis dan Yunis dalam diriku. **
124

Pilu

Septi Wuryani

Hari kian meredup karena ditinggalkan matahari.


Para ternak gembala berbondong-bondong
pulang menuju kandangnya, terlihat tertib dan
kompak. Di atas sana kawanan burung emprit
dan burung gelatik mempercepat kepak sayapnya
untuk segera kembali ke sarang yang mereka
buat dari tangkai-tangkai daun rumput liar. Di
dalam sarang itu biasanya ada riuh cicitan bayi
burung yang hendak meminta makanan hasil dari
sang induk mencari makanan siang tadi.
Sedangkan dari jauh terlihat seseorang yang
dengan tubuh membungkuk membawa beban
berat berupa rumput-rumput sebagai pakan
ternak. Semakin dekat sosok itu semakin ku
125

kenal. Perawakan tubuhnya kecil tapi terlihat kuat karena


otot-ototnya yang timbul menegaskan bahwa ia selalu bekerja
setiap hari. Seperti hari ini, dipunggungnya ia selalu
menggendong pakan untuk sapi ternaknya. Sepulangnya ia
dari mencari pakan, kemudian ia akan mulai mengurus rumah
luas di belakangku berdiri saat ini dan menanam singkong di
halaman rumah keesokan harinya.
Wanita tua perkasa yang oleh penduduk sekitar sering
dipanggil Mbah Mo itu nama aslinya Darmo. Dulu saat aku
masih senang memainkan tanah becek sehabis hujan di
belakang rumahnya, Mbah Mo sering memanggilku dan
menceritakan kisah masa mudanya dulu. Kebahagiaannya
adalah dapat menceritakan keadaan zaman dulu yang terlalu
mengerikan untuk di dengar, sekaligus kisah-kisah tentang
kebahagiaan yang hadir setelah kemerdekaan Indonesia. Mbah
Mo juga yang selalu mengajariku bagaimana cara memilih
singkong yang telah siap panen, memetikkan jeruk-jeruk
manis yang tumbuh di depan rumahnya, dan ia pula lah yang
mengajarkanku bagaimana memperlihatkan rona bahagia
dalam wajahnya meskipun ia sedang merasa sedih.
Di waktu senja seperti ini, keadaan sekitar rumah Mbah Mo
memang terkesan sunyi, hal ini dikarenakan rumahnya yang
terletak di pinggir Sungai Progo. Aktivitas di sungai memang
hanya terjadi di siang hari sampai senja datang, kebanyakan dari
mereka adalah pencari pakan ternak untuk sapi atau kambing.
Jadi sangat wajar bila senja telah datang, mereka akan segera
pulang, orang-orang itu masih percaya bahwa di sungai ada
penunggunya sehingga jika tidak ingin diganggu dan bertemu
126

bahaya mereka harus pulang sebelum langit menggelap.


Karena terlalu sunyi daun yang jatuh pun seakan berusaha
untuk turun dengan sangat hati-hati. Yang terdengar hanyalah
gemericik air yang mengalir terdorong angin malam, bahkan
suara jangkrik pun hanya akan terdengar samar.
“Baru pulang Mbah?” tanyaku yang kala itu baru saja
selesai menanti indah tenggelamnya raja siang.
Ketika aku kembali dari Jakarta, aku selalu menyempatkan
diri datang kerumah Mbah Mo untuk sekedar melihat bulat
sempurnanya mentari yang hendak tenggelam. Selain itu, di
tempat ini pulalah aku dapat mengingat masa kecilku yang
penuh keceriaan bersama kedua anak Mbah Mo, Mas Aryo dan
Nur.
“Eh iya nduk, masuklah dulu,” jawabannya seperti
mengisyaratkan keterkejutan atas kedatanganku.
Selesai membersihkan diri, wanita tua itu lalu menyeduh teh
melati. Teh panas adalah satu-satunya gizi terbaik yang ia miliki
sebagai penghilang rasa letih yang ia rasakan setelah beraktivitas
seharian. Sebenarnya kedatanganku selalu membuatnya terkejut,
mungkin karena senang akan kedatanganku dan sedih atas
ketidakhadiran kedua buah hatinya. Jika aku datang, dengan
takut ia akan menanyakan apakah Mas Aryo akan datang
menjenguknya, atau apakah Nur akan kembali ke desa ini untuk
menemani hari tuanya. Ia tak pernah lelah melakukan presensi
atas ketidakhadiran kedua anaknya tersebut, walaupun ia tahu
mungkin akan kecewa mendengar jawabanku tetapi pertanyaan
tersebut selalu berulang selama sepuluh tahun terakhir ini.
“Maaf Mbah. Mungkin mereka belum bisa datang sekarang
127

karena banyak pekerjaan,” kataku lirih penuh penyesalan.


Jika boleh memilih aku tidak ingin membahas hal ini
bersamanya, aku tahu ia akan terluka mendengar jawabanku.
Mbah Mo memang hanya memiliki 2 orang anak yang saat ini
hidup di Jakarta. Mas Aryo putra pertamanya bekerja menjadi
teknisi mesin di sebuah perusahaan di sana, ia lebih tua lima
tahun dariku. Sedangkan Nur yang sebaya denganku juga
memilih tinggal bersama kakaknya itu di Jakarta, ia bekerja
sebagai penjual nasi uduk kecil-kecilan di depan rumah. Sebelum
mereka berdua ke Jakarta, mereka bekerja dan hidup bahagia di
sini. Alasan mereka pergi adalah Mbah Mo muda yang ditinggal
suaminya meninggal ingin menikah kembali. Sebenarnya, niat itu
sudah diurungkan sebelum Mas Aryo dan Nur pergi ke Jakarta,
akan tetapi entah karena hal apa mereka memutuskan untuk
pindah dan memulai hidup baru di Jakarta sepuluh tahun yang
lalu. Seingatku dalam waktu sepuluh tahun mereka baru pulang
beberapa kali, setahun sekali pun jarang. Sekarang di rumah
sebesar ini Mbah Mo hanya tinggal seorang diri. Menghabiskan
masa tua dengan selalu menanyakan kehadiran kedua anaknya
dengan penuh penyesalan.
Sebenarnya aku tahu betul bahwa Mbah Mo selalu kesepian,
hidupnya akan sesunyi waktu senja di Sungai Progo. Pernah suatu
malam saat aku masuk kerumahnya untuk memberikan makanan
selepas acara di rumahku, aku melihat wanita tua itu terbaring di
atas tempat tidurnya dan hanya berkedip-kedip menatap kosong
pada atap rumah. Sesaat ku perhatikan raut wajahnya dari balik
pintu, kulihat setetes air mata turun secara perlahan dari pelipis
matanya, aku yakin wanita tua itu sedang
128

merasa rindu. Rindu saat-saat bahagia waktu suami dan kedua


anaknya masih ada dalam satu rumah, ramai, dan penuh
canda. Tetapi jika dibandingkan sekarang? Kosong.
Setelah lama sekali aku mencoba menebak-nebak apa yang
sedang dipikirkannya, kulihat air mata Mbah Mo pun sudah tidak
jatuh lagi. Ia tidak tahu sedari tadi aku memperhatikannya dari
balik pintu dan aku juga tidak ingin ia tahu bahwa aku
melihatnya menangis. Dengan hati-hati aku menutup kembali
pintu yang tak pernah terkunci ini dari luar, kemudian dengan
pura-pura aku mengetuk lembut daun pintu yang sebenarnya
sudah ku buka tadi. Kali ini, daun pintu tersebut terbuka oleh
sebuah tangan keriput milik wanita tua yang begitu tegar dan
muda hatinya. Seperti biasa, seolah tidak ada yang terjadi,
senyum wanita tua itu menyambutku dengan hangat.
Sebulan kemudian, saat aku sedang merebahkan tubuh
sehabis bekerja seharian handphone ku berbunyi. Pada
layarnya tertulis “ibu calling”, pikirku adalah bahwa ibu di
kampung menelfon karena merindukanku, hal ini sering ia
lakukan. Pikiran ini menguap seiring dengan percakapan
singkatku dengan ibu. Berita siang itu membuat air mataku
menetes dan melunturkan perona pipiku. Wanita tua yang di
waktu senja selalu kesepian, atau wanita tua yang di hari
senjanya selalu mempresensi kehadiran putra putrinya, kini
telah absen dari tempat kecil yang disebut dunia. Absen dari
senjanya yang memilukan.**
129

Babi Teriak Anjing

Fitriani Widyo Putri

Si Kingkong kala itu tak menampakkan batang


hidungnya. Seperti biasa, perkumpulan para
binatang pun masih terasa sama. Mayoritas
hanya kaum anjinglah yang memenuhi ruangan
berukuran 8 x 5 meter. Bosan melihat mereka
menggonggong. Seolah hanya dari kaum mereka
sajalah yang ada di ruangan ini. Ah sial, suaraku
kalah dengan gonggongan mereka. Memang
mereka ASU, egois, tak mau mengalah dengan
kaum minoritas. Percuma aku berteriak, Gajah
yang menjadi pemimpin saja tak menghiraukan
suaraku. Su, Asu diamlah suuuuu budheg ini aku.
Sialan dimana si Bajing berada? Ekornya pun tak
terlihat. Sial, aku sekarang sendirian. Kurang ajar
mereka absen tanpa woro-woro
130

sama aku dulu.


“Selamat pagi anak-anak.” Gajah mulai membuka
perkumpulan kala itu.
“Guk, guk, guk, pagi Pak.” Sekumpulan Anjing menjawab. Aku
hanya diam saja, tak ada gunanya untuk menyamakan suara
mereka. Toh aku, hanya seekor Babi dengan moncong lebar
dan badan kotor, teriakpun tetap kalah karena mereka hanya
memandangku seekor Babi. Persetan dengan mereka semua!
Kalau tak ada titah dari sang Raja Singa, aku tak mau
berkumpul di sini. Apa ini yang dinamakan perkumpulan
binatang namun isinya mayoritas hanya Anjing saja. Dimana
binatang-binatang lainnya? Sepanjang penglihatan yang
kudapati hanyalah Anjing, Anjing, dan Anjing. Sesekali
melihat Gajah pemimpin perkumpulan binatang, ia terlihat
pandai, bijak, namun kadang tak menghiraukan kami kaum
minoritas. Ah sudahlah, aku muak.
“Sebelum kita memulai pembelajaran alam kita, bapak
akan mengabsen kalian dulu.” Kata Gajah
“Siap Pak, lapor kami kaum Anjing sudah lengkap tanpa
ada yang bolos seekor pun.” Ketua Anjing pun menyampaikan
laporannya dengan sigap.
Apa-apaan ini, laporan saja seperti militer. Dasar Anjing
bermuka dua, suka cari muka sama Gajah.
“Iya, terima kasih Anjing. Tolong nanti kalian isi presensi
ini ya.” Gajah menanggapi.
“Selanjutnya mari kita lanjutkan materi alam sebelumnya.”
Gajah menambahkan.
Perkumpulan kala itu, tak membuatku fokus pada materi,
131

yang aku pikirkan hanyalah keberadaan Kingkong dan Bajing.


Kulihat jam di tangan masih menunjukkan pukul 08.00 pagi.
Masih terhitung lama untuk selesai dan masih membuatku
penasaran akan keberadaan mereka berdua. Sesekali kulihat para
kaum njegog saat memperhatikan penjelasan materi alam dari
Gajah, mereka benar-benar fokus dan tenang. Terkadang mereka
juga menggonggong kala Gajah memberikan pertanyaan. Seakan
mereka berlomba menaruh perhatian kepada Gajah. Mereka
memang ingin bersaing mendapatkan perhatian dari Gajah,
karena yang mereka incar adalah piala penghargaan dari Gajah
untuk binatang yang aktif, teladan, jujur, dan disiplin.
Tibalah presensi itu di mejaku, segera aku menandatangi
bagianku. Aku melihat bagian presensi Kingkong dan Bajing tidak
kosong namun ada coretan di bagian presensi mereka. Aku
bingung siapa yang mencoreti presensi teman seperkumpulanku.
Kalau Gajah yang mencoreti presensi Kingkong dan Bajing itu
tidak mungkin dan tidak akan pernah terjadi, karena aku tahu
benar watak Gajah yang tidak pernah mempermasalahkan soal
presensi. Gajah hanya mempermasalahkan soal padatnya jadwal
Gajah yang selalu mengisi materi alam dimana-mana hingga
kadang perkumpulan bintatang ini libur dikarenakan jadwal
Gajah yang padat.
“Njing anjing, kau tau siapa yang mencoret presensi
Kingkong dan Bajing?” tanyaku
“Aku yang mencoret kenapa?” jawab Anjing
“Woo... kau asu tenan. Berhak apa kau mencoreti presensi
temanku?”
“Apa kau tak terima bi? Temanmu itu sudah membolos, apa
132

salah aku yang mencoret?”


“Njing, asal kau tahu saja. Mau temanku bolos atau tidak
itu bukan urusanmu ya. Dan yang berhak mencoret itu Gajah.
Karena Gajah adalah pemimpin kita, sementara kau hanya
kaum njegog yang gila perhatian Gajah dan selalu bersaing
demi pialatapi sama saja menjegog kaummu sendiri.”
“Kau ajak ribut ya. Dasar Babi kotor, Babi cengoh. Kerjaan
kau hanya tidur saja di perkumpulan. Tak berguna kau. Nanti
kalau teman kau masuk bisa double presensi mereka. Kan itu
sama saja tak jujur. Itu mematikan kita yang selalu datang
perkumpulan binatang tanpa absen satupun.”
Akupun tak mau kalah. Sudah muak aku melihat tingkah
laku mereka. Meja dan kursi yang ada di depanku tak ayal
menjadi sasaran amarahku. Aku mendorong meja dan kursi
hingga terbalik. Suasana yang tadinya tenang kini mulai keruh.
Gajah langsung turun tangan melihat hal ini. Aku sudah muak
dengan gonggongan mereka. Mereka itu Anjing tapi bukan
Anjing yang sebenarnya. Mereka itu pantas dipanggil ASU
bukan Anjing.
“Tenang-tenang. Apa yang kalian ributkan?” Gajah
mencoba untuk menengahi.
“Babi Pak, hanya soal presensi saja dia ajak ribut.” Sahut
Anjing diikuti gonggongan anjing lain. “Guk, guk, guk, benar
Pak yang dikatakan ketua.”
“Su.. tak usah kalian ikut campur. Dasar asu bermuka dua. Apa
kalian mau seperti itu terus. Kalian hanya cari muka untuk
mendapatkan piala dari Gajah.” Aku tak mau mengalah.
“Sudah-sudah kalian tak usah meributkan presensi. Nanti
133

saya saja yang mempresensi kalian. Itu sudah adil kan?


Sekarang bisa tenang?” Gajah memberi solusi.
“Guk, guk, guk saya setuju Pak.” Kaum njegog mengiyakan. Tanpa
berpikir panjang, aku langsung melenggak ke depan podium
mencari tempat piala itu disimpan. Piala itu berdiri tegak dan
anggun berada di dalam lemari kaca. Aku berusaha menggapai
namun tubuh mungilku tak mampu meraihnya. Aku tak putus
asa, aku dorong kursi dan meja Gajah mendekat ke lemari itu.
Lalu aku loncat ke dalam lemari dengan bantuan kursi meja
Gajah. Piala itu masih berdiri tegak dan anggun, sesaat aku
terpana melihat keindahan piala yang terbuat dari kaca yang
dibaluti emas 24 karat bermatakan batu permata. Tidak, jangan
terpesona piala ini yang membuat semua menjadi kacau. Lantas
aku dengan sengaja menjatuhkan piala itu di depan mereka.
“Guk, guk, guk, Anjing makan ini semua. Hahaha aku bisa
seperti kalian menggonggong. Ini kan yang kalian inginkan.
Mampus sekarang hancur.” Kataku.
Sesaat mereka semua terpaku melihatku. Pyarrrr
pyarrkompyarrr. Akhirnya piala itu jatuh berkeping-keping.
“Hahaha aku tertawa puas.”
“Dasar kau ASU bi. Babi asuuuu, guk, guk, guk.” Teriak
Anjing tak terima.
“Guk, guk, guk, awas kau Babi cengoh.” Sahut Anjing
lain. “Kau yang Anjing ASU. Guk, guk, guk.” Teriakku.
“Babi, silahkan kau keluar dari perkumpulan ini.” Gajah
menambahkan.
“Tanpa kau persilahkan aku akan keluar dengan senang
hati.”
134

Aku pun keluar dari perkumpulan kumuh itu, banyak


orang munafik di sana. Takut terkena virus munafik nanti
kalau lama-lama aku masih berkumpul dengan mereka.
Hahahaha guk, guk, guk.
Perhatian!!!
Jauhi ANJING ASU sekarang, atau kalau tidak siap-
siap digigit mereka!!!!
135

Senyum Adelia

Hiqmah Apriliyani

Ruang itu tidak lebar, mungkin hanya 2,5 X 3


meter tapi apapun yang ada di dalamnya
menjadi saksi saat pemiliknya masuk dengan
raut bahagia, sedih, menyesal, dan kecewa.
Dindingnya bercat biru meneduhkan, mampu
membuat si empunya cepat terlelap di atas
busa persegi panjang 2x1 meter. Di dalam
ruang itu ada cermin, benda yang juga menjadi
saksi bayang pemilik atau setiap orang yang
sengaja berdiri di depannya.
Ruang itu berantakan. Baju berserakan,
kertas dan tumpahan tinta memenuhi lantai
membentuk perpaduan warna yang unik. Di
sela cermin berbagai macam tempelan
136

kertas berwarna warni sekadar pengingat atau curhat pendek-


pendeknya. Bahkan foto orang yang sangat dikasihinya juga
seperti melihatnya dari jarak jauh. Gorden yang dipasang
sangat lusuh menunjukan waktu yang tidak sebentar ruang itu
ditinggal.
***
“Aku hanya manusia biasa,” kata Adelia pada sahabatnya. Sasi,
sahabat Adelia hanya tersenyum singkat. Adelia hanya diam. Ia
tahu apa yang terjadi padanya bukan hanya salah dirinya tapi
juga salah Al yang sudah pergi begitu saja tanpa meninggalkan
kata-kata yang mampu mendamaikan hatinya. Al pergi saat ia
sedang bahagia selalu dibersamai. Al pergi saat ia merasa itu
waktu yang tepat untuk memutuskan selalu bersama.
Kedua sahabat itu memandang layar handphonenya
masing-masing. Terlihat air mata menggenang di pelupuk
matanya. Ia tak sanggup lagi melihat senyum itu. Senyum yang
mendamaikan hatinya. Sasi memandang dengan gemas, game
yang dimainkannya game over. Sesaat ia memandang Adelia
sahabatnya. Ia merasa kehidupan sahabatnya seperti game
yang baru saja dimainkannya.
***
Adelia mengenal Al melalui temannya, Dika saat pertunjukan
musik di kampusnya. Al seorang pemain biola yang tiba-tiba
menyentuh hati Adelia begitu saja tanpa permisi. Saat pertama
kali bertemu, Adelia berusaha biasa saja, meski sikapnya tidak
dapat dibohongi bahwa ia sangat gugup. Pipi merah merona saat
berjabat tangan dengan Al. Begitu pun Al, ia gugup malam itu ia
berkenalan dengan seorang perempuan imut, walaupun Adelia
137

seorang mahasiswa tigkat akhir, ia terlihat seperti mahasiswa


baru.
Perkenalan Al dan Adelia berlanjut hingga tak terasa
sudah empat tahun sejak malam pertunjukan itu. Kini mereka
telah sama-sama berkarir. Adelia sebagai salah satu editor di
majalah wanita sedangkan Al kini sukses pentas ke berbagai
pertunjukan yang membuat namanya terkenal. Mereka saling
mendukung satu sama lain. Al mendukung Adelia untuk
berkarir begitu juga Adelia sangat mendukung Al dalam
mendalami kemampuan bermusiknya.
Sampai akhirnya suatu hari Al berniat melamar Adelia. Ia
mempersiapkan rencana lamarannya dengan sempurna
bersama teman-temannya. Teman-teman Al bahagia
mendengar kabar bahwa mereka akan meresmikan hubungan
mereka. Mereka tidak sabar karena teman-teman Al sudah
lama menunggu momen ini.
Akhirnya waktu yang direncanakan telah tiba. Al dan
teman-teman mempersiapkan semuanya dan bersiap menuju
kontrakan Adelia. Jalanan begitu ramai sore itu. Mobil yang
mereka naiki ikut terjebak dalam kemacetan. Al merasakan
detak jantungnya yang berdebar lebih cepat dari biasanya.
Tiba-tiba handphonenya berdering, nama “Mama” muncul di
layar, segera ia tekan tombol hijau pada layarnya.
“Halo, Ma. Ada apa, Ma?” tanya Al terlebih dahulu.
“Al, Mama minta kamu segera pulang, Nak,” Jawab Mama
dari seberang.
“Tapi Ma, Al belom bisa balik, besok ya, Ma” sahut
Al. “Nak, Mama minta kamu pulang sekarang.”
138

“Baiklah, Ma.” Sahut Al.


Akhirnya Al pulang ke rumah menemui Mama yang sudah
menunggu.
Al pulang berpisah dari teman-temannya. Ia pulang
mengendarai motornya sendiri. Ia memacu kendaraannya
kencang. Ia takut mamanya benar-benar membutuhkannya saat
itu juga. Di setengah perjalanan, ia ingin memutar balik. Ingin
rasanya ia melanjutkan misinya melamar Adelia. Tapi pikirannya
mengatakan mamanya membutuhkan dirinya sekarang. Jalanan
yang semakin ramai serta pikiran yang berkecamuk membuat
konsentrasinya sedikit buyar. Hampir saja ia menabrak mobil di
depannya. Ia berdoa. Ia berharap Tuhan masih berbelas kasihan
padanya melanjutkan misinya melamar Adelia.
Beberapa detik kemudian, ia seperti dalam tempat yang
baru ia temui. Padang hijau yang luas. Lalu ia melihat sesosok
perempuan yang tersenyum padanya. Tangannya seolah
hendak menggapainya. Tapi tak sampai. Ia tak mampu
menggapainya. Akhirnya ia merasa dirinya terbang ke awan.
Meninggalkan perempuan mungil itu sendiri.
Ternyata Tuhan mengabulkan Al untuk melanjutkan
misinya. Hanya saja ia harus melanjutkan misinya di
kehidupan lain. Ia merasa bersalah. Tapi Tuhan berkehendak
lain. Al tak mampu lagi membuat Adelia tersenyum
karenanya. Ia hanya mampu menatap Adelia dari kejauhan.
Dan berharap Adelia bahagia di dunia.

***
139

Adelia menatap foto yang ada di ruang itu. Di sana ada


senyum yang menandakan kebahagiaan. Itu foto dirinya dan
Al. Ia tersenyum melihat foto itu. Ia menatap sisa-sisa tinta
yang mengering yang membentuk campuran warna yang
indah. Ia tersenyum. Dia yakin Al juga sedang tersenyum di
sana. Baginya, Al yang telah hadir di kehidupannya adalah
anugrah terindah. Ia telah memberikan kehadiran di
hidupnya. Mengisi kolom kosong hidupnya dengan tawa, suka,
duka, dan air mata. Atau bahkan mengisi kolom kosong
dengan kealpaan yang tak sengaja dibuatnya. Kolom terakhir
dengan nama Algifran Pribadi Putra telah terisi penuh. Pemilik
nama itu telah selesai mengisi kekosongan kolom dalam hidup
Adelia. Kini, Algifran Pribadi Putra telah mengisi kolom baru
di hadapan Tuhan dengan senyuman meneduhkannya. Dan
Adelia berusaha menerimanya. Ia tidak tahu, apakah nanti
akan ada kolom lagi ataukah itu kolom terakhir dalam
hidupnya yang dapat diisi oleh orang lain.**
140

Kolom Presensi

Angela Merici Reni P

Para pelayat tak kuasa menahan tangis. Mereka


silih berganti mendekati dua buah peti untuk
memanjatkan doa. Tak seorang tetangga pun
melewatkan prosesi itu. Dua mayat terbujur kaku
di dalam peti. Para pelayat seolah melihat raut
muka yang tenang dan tersenyum penuh
kelegaan. Mereka tak henti-hentinya
membicarakan penyebab meninggalnya Tilla dan
ibunya. Banyak yang tidak menyangka ternyata
kehidupan yang harus di jalani Tilla begitu berat.
Mereka sungguh iba setelah mendengar banyak
cerita mengenai Tilla. Gadis ceria dan pintar yang
selama ini dikenal ternyata menyimpanan
kesesakan di dalam hatinya.
141

***
“Ibu, aku sudah selesai sarapannya. Aku berangkat dulu ya.” “Iya,
Nak. Hati-hati ya. Nanti pulang sekolah jangan mampir,
langsung pulang
ya.” “Iya, Bu.”
Tilla pamit kepada ibunya untuk berangkat ke sekolah. Ia
tidak pernah lupa untuk mencium tangan ibunya. Ia juga
selalu pamit kepada ayahnya meskipun ayahnya sangat tidak
acuh kepadanya. Tilla adalah seorang gadis yang cantik, ceria,
dan pandai. Ia selalu menghormati dan patuh kepada orang
tuanya. Kini ia duduk di bangku SMA kelas XII. Di sekolah ia
dikenal sebagai siswa yang berprestasi dan banyak disukai oleh
para guru karena kepandaiannya. Tilla selalu menjadi juara
kelas, bahkan ia selalu menduduki rangking pertama paralel.
Kepandaiannya tidak menjadikannya tinggi hati. Ia juga sangat
disukai oleh teman-temannya.
Keluar dari rumah, Tilla berjalan sekitar 200 meter untuk
menunggu angkot langganannya. Sopir angkot langganannya
pun menyukai Tilla karena keramahannya. Tilla selalu duduk
di bangku sebelah sopir bersama teman akrabnya, Lani. Tilla
dan Lani adalah teman akrab sejak kecil. Dari Taman Kanak-
kanak hingga SMA mereka bersekolah di tempat yang sama.
Rumah mereka pun juga tidak jauh, hanya selisih dua rumah.
Setiap pagi Tilla melewati rumah Lani untuk berangkat
bersama. Jika tidak sedang kesiangan, Lani sudah siap di depan
rumahnya untuk menunggu Tilla.
“Tumben kamu udah cantik? Biasanya masih dandan?”
canda Tilla kepada Lani.
142

“Iya dong. Semalam aku tidur jam delapan. Eeitzz, jangan


tanya aku udah ngerjain PR apa belum. Aku udah ngerjain
sorenya karena memang niat mau tidur jam delapan biar
tidurku maksimal dan tidak mengurangi kecantikan,” Lani
menjawab dengan panjang lebar.
Lani gadis yang cerewet dan sangat memperhatikan
penampilan, berbeda dengan Tilla yang cenderung lebih
pendiam dan sederhana. Bukan berarti dia cuek masalah
penampilan, tetapi lebih terlihat natural dan berpenampilan
layaknya anak seusianya. Mereka berjalan menuju tempat yang
biasa mereka tempati untuk menunggu angkot. Ketika angkot
sudah tiba, mereka selalu menyapa sopir angkot.
“Selamat pagi, Pak!” mereka mengucapkan dengan
serempak.
“Selamat pagi! Kalian sudah menunggu lama ya?” tanya
sopir angkot.
Tilla dan Lani langsung membuka pintu angkot dan duduk di
sebelah sopir angkot, Pak Priyo. Sepanjang jalan sampai ke
sekolah mereka selalu dipenuhi dengan obrolan. Pak Priyo sudah
sangat akrab dengan mereka karena rumah mereka hanya
bersebelahan desa dan Pak Priyo mengenal orang tua mereka.

***
Akhirnya mereka sampai di depan gerbang sekolah dan
berpamitan kepada Pak Priyo. Di depan gerbang mereka selalu
ditunggu oleh Raka, teman akrab mereka berdua di sekolah.
Tilla, Lani, dan Raka menuju kelas bersama. Raka merupakan
salah satu saingan Tilla dalam mendapatkan ranking di kelas,
143

tetapi Raka mengakui memang ia kalah tekun dengan Tilla.


Bel berbunyi, tanda pembelajaran akan segera dimulai.
Pelajaran pertama adalah Matematika. Guru yang masuk
pertama di kelas wajib mempresensi siswa-siswanya. Guru
tersebut memanggil murid satu per satu. Hari ini semuanya
masuk. Jam demi jam pelajaran berganti. Waktu menunjukkan
saatnya pulang sekolah.
“Tilla, pulang sekolah makan yuk!” Raka mengajaknya.
“Cuma Tilla nih yang diajak?” canda Lani.
“Enggaklah, kita bertiga.”
“Duh, maaf, Ka, aku harus langsung pulang. Tadi ibu
memesanku begitu. Lain waktu ya.”
“Ohh, oke. Kalian hati-hati ya.” “Siap.”
Jawab Tilla dan Lani serempak.

***
Tilla sampai di depan rumahnya, tetapi ia ragu untuk masuk.
Ia melihat sekeliling rumah dengan teliti, melihat apakah
ayahnya ada di rumah atau tidak. Tiba-tiba ia mendengar ada
suara seperti orang menggeser suatu barang dari rumahnya.
Tilla bergegas pergi dari situ karena pertanda ayahnya di
rumah. Tilla memilih untuk pulang ke warung ibunya yang
tidak jauh dari rumahnya.
“Lho, kamu belum ganti baju kok sudah kesini?” tanya
ibunya.
“Iyaa, Bu, aku tadi pulang sekolah langsung kesini. Aku
tidur siang di sini saja ya, Bu. Aku ngantuk sekali.”
“Ya sudah, kamu makan dulu.”
144

“Iya, Bu.”
Tilla tidak pernah menceritakan ketakutannya terhadap ayah
tirinya kepada ibunya. Tilla memiliki trauma tersendiri kepada
ayah tirinya karena perlakuan yang kurang baik terhadapnya.
Terkadang pada malam-malam tertentu Tilla harus menjadi
pelayan kafe dengan alasan untuk membantu ekonomi keluarga.
Tilla mengatakan kepada ibunya itu adalah kemauannya, padahal
sebenarnya ayah tirinyalah yang memaksanya. Ibunya percaya
karena kafe tersebut tempat ayahnya bekerja.

***
Malam ini adalah waktu bagi Tilla untuk bekerja. Jam 6 sore ia
berangkat bersama ayahnya. Sepanjang jalan tidak pernah terjadi
obrolan antara Tilla dan ayahnya. Tilla merasa kurang nyaman
bila bersama dengan ayahnya. Sampai di kafe ia dan ayahnya
langsung ganti baju. Ayahnya bekerja sebagai tukang cuci piring
di tempat itu, sedangkan Tilla menjadi pelayan. Ia tidak pernah
suka dengan tempat seperti itu. Tempat yang penuh sesak dengan
orang, musik yang memekakkan telinga dan tidak jarang berbau
alkohol. Hal yang paling ia takutkan adalah pria-pria yang tidak
memiliki sopan santun dan menggodanya.
Malam ini kafe sangat penuh, tidak seperti biasanya, kafe
tersebut sedang disewa. Tilla harus bekerja lebih keras dari
biasanya. Ia mondar-mandir dari dapur menuju tempat orang
yang memesan menu. Tilla membawa dua gelas minuman dan
dua menu makanan. Makanan ia letakkan di meja pemesan.
Tiba-tiba tangannya diraih oleh seorang pria dan pria itu
membisikkan sesuatu di telinganya.
145

“Masih sekolah ya? Kelas berapa? Besok tidak usah


berangkat. Temani aku sampai pagi di sini. Oke?” kata pria itu
sambil tertawa lepas.
Tilla begitu ketakutan. Baru sekali ini ia diperlakukan seperti
itu oleh pelanggan. Tilla segera menghampiri ayahnya dengan
maksud untuk meminta perlindungan, tetapi yang dikatakan
ayahnya justru seperti batu besar yang menghantam kepalanya.
Ayahnya menyuruhnya untuk menemani pria itu dengan alasan
agar uang yang ia dapatkan bisa lebih. Sebenarnya ia hanya
diminta untuk menemani minum tanpa melakukan apa pun,
tetapi ia tidak pernah menginginkannya. Tilla menangis di kamar
mandi. Rasanya ia ingin pulang dan memeluk ibunya, tetapi tidak
ada pilihan lain, ia harus menuruti kata-kata ayahnya karena
selalu diancam akan dipisahkan dengan ibunya.
Malam telah larut. Tilla benar-benar tertekan. Sepanjang
malam ia menemani pria yang kira-kira berumur 30 tahun itu.
Awalnya pria tersebut mengajak ngobrol biasa, tapi lama-lama
setelah ia mabuk ia mulai merangkul dan memeluk Tilla. Tilla
dengan segera menepis tangan itu, tetapi hal tersebut
membuat pria itu marah.
“Hei, anak SMA, kamu jangan belagu, aku membayarmu
untuk menemaniku minum sampai pagi. Jangan pernah
menolak perlakuanku.”
Air mata Tilla tak bisa ditahan lagi. Ia menangis. Tidak ada
hal lain yang bisa ia lakukan selain mematuhi pria itu. Uang
yang diberikan pria itu diterima oleh ayahnya. Ia tidak
memegang sepeser pun.
***
146

Waktu menunjukkan pukul 05.00. Tilla dan ayahnya baru sampai


rumah. Ia terlihat sangat lelah dan langsung mandi. Setelah
mandi ia menuju kamar ibunya. Tilla kaget karena melihat ibunya
pucat dan lemas. Ibunya demam. Tilla langsung memberikan obat
demam kepada ibunya. Ia memutuskan untuk tidak masuk
sekolah hari ini. Ia memberi kabar Lani untuk mengijinkannya.
Meski lelah, Tilla tidak tega membiarkan ibunya sendiri, sehingga
ia mengurusi segala keperluan ibunya.
“Tilla, kamu berangkat sekolah saja. Ibu tidak apa-apa.
Setelah minum obat pasti sembuh.” pinta ibunya kepada Tilla.
“Tidak, Bu. Demamnya tinggi. Aku sudah meminta
Lani untuk mengijinkanku hari ini.”
***
“Lani, di mana Tilla?” tanya Raka yang sudah
menunggu di depan gerbang sekolah.
“Dia tidak masuk. Ibunya sakit.” Lani
menjawab dengan singkat.
Seperti biasa saat pelajaran pertama guru mempresensi para
siswa. Kali ini keterangan pada kolom presensi Tilla adalah “I”
tanda bahwa ia ijin. Di sekolah semua guru mata pelajaran yang
masuk kelas Tilla menanyakan alasan Tilla tidak masuk sekolah
hari ini. Lani selalu memberikan jawaban yang sama. Pulang dari
tutor tambahan di sekolah Lani berencana ke rumah Tilla untuk
meminjami catatan. Raka pun tidak ingin ketinggalan.
Sesampainya di rumah Tilla, Lani dan Raka masuk kamar
untuk melihat keadaan ibunya. Tilla hanya sedikit bicara
dengan teman-temannya. Ia sudah mandi dan berpakaian rapi.
Lani dan Raka heran.
147

“La, kamu mau kemana? Rapi bener?” tanya Lani


“Mmm, aku mau kerja di tempat ayah bekerja. Ibuku
sudah tidak bekerja lagi, jadi sebisa mungkin aku
membantunya sedikit.”
Tidak lama kemudian Tilla dan ayahnya berangkat menuju
tempat kerja. Lani dan Raka pun pamit pulang.
Seperti biasa, Tilla langsung berganti pakaian dan
melayani para tamu yang datang. Tilla sadar, ia harus
mendapatkan uang lebih dari biasanya. Ia rela bekerja hingga
dini hari lagi, tetapi tanpa kejadian seperti hari sebelumnya.
Tilla merasa lelah setelah seharian mengurusi ibunya dan kini
ia harus bekerja lebih keras. Ia merasa sedikit pusing. Tanpa
sengaja, Tilla menumpahkan minuman di celana pelanggan.
“Maaf, maaf, Pak, saya tidak sengaja.”
Pria itu tidak marah. Ia melihat Tilla dengan terperangah
dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tilla masuk ke dapur.
Tidak lama kemudian ia dipanggil oleh ayahnya. Pekerjaan
yang menghasilkan uang lebih banyak telah menunggu Tilla.
Ayahnya sudah menerima uang dari pelanggan itu. Ia dibayar
cukup mahal malam ini. Tilla menolak dengan keras, tetapi
ayahnya justru lebih keras. Tilla segera menuju ke bar. Tilla
sangat kaget, ternyata pria yang ingin ia temani minum adalah
pria yang ia tumpahi minuman tadi. Tilla sedikit canggung.
Tengah malam sudah lewat, para pengunjung mulai banyak
yang mabuk. Tiba-tiba Tilla tersentak. Pria itu melakukan
perbuatan yang melecehkannya. Tanpa pikir panjang Tilla
langsung menamparnya dan ia lari menuju dapur. Ayah Tilla
dipanggil oleh pria tadi dan menghendaki agar Tilla meminta
148

maaf padanya. Tilla dengan tegas menolak, tetapi ayahnya


menyeretnya sampai di depan pria tadi. Ia tak memiliki pilihan
lain. Sampai dini hari Tilla menemani pria itu. Tidak hanya satu
pria, ia banyak digodai oleh para pria. Dalam hati ia menangis.
Akan tetapi, ia mengingat bahwa ibunya memerlukan pengobatan
dengan uang yang lebih karena sakit TBC. Tilla bingung antara
yang benar dan salah. Ia hanya bisa diam di tengah para pria yang
berbuat kelewat batas terhadapnya.

***
Sudah tiga hari Tilla mengabaikan presensinya di kelas.
Disamping harus mengurusi ibunya, ia harus bekerja hingga
dini hari. Semakin lama Tilla semakin sering membolos. Lani
dan Raka sangat penasaran dengan yang dilakukan Tilla tiga
minggu terakhir. Dalam satu minggu Tilla hanya masuk
sekolah tiga hari. Kolom presensinya berisi “A” bukan “I” lagi.
Rasa penasaran Lani dan Raka berlanjut dengan mengikuti
Tilla secara diam-diam. Lani dan Raka memutuskan untuk
membolos. Mereka mengikuti Tilla. Mereka kaget ternyata
siang malam Tilla bekerja di kafe itu. Tilla telah berbohong
kepada ibunya, juga pada teman-temannya. Kepada ibunya ia
bilang untuk sekolah, kepada teman-temannnya ia bilang
mengurusi ibunya. Lani dan Raka sangat heran. Mereka
merasa ini bukan seperti diri Tilla yang biasanya.
Di sekolah, Lani dan Raka bertanya secara langsung
kepada Tilla. Mereka mengatakan bahwa mereka sudah tahu
apa yang dilakukan Tilla selama ini.
“Aku mohon pada kalian berdua jangan biarkan orang lain
149

tahu tentang hal ini, pada teman-teman, guru, dan ibuku. Aku
ikhlas melakukan semua ini. Kalian tahu ibuku harus berobat
dengan uang yang tidak sedikit. Hanya ini yang bisa aku
lakukan untuk membantunya.”
Tilla menangis di depan mereka. Air mata Lani juga
hampir tumpah, tetapi ia menahannya karena ia tak mau Tilla
akan menjadi semakin lemah. Ia hanya bisa memeluk Tilla.
Raka merasa tidak rela jika Tilla harus melakukan hal itu.
“La, kamu bisa kan kerja malam hari dan paginya kamu
sekolah? Jika ibumu tahu pasti kamu tidak akan diijinkan.
Lagian ini tanggung jawab ayahmu. Seharusnya kamu tidak
perlu bekerja.”
Raka sedikit kesal, tetapi ia menyesali perkataan yang
keluar dari mulutnya. Baginya ini terlalu kasar untuk
perempuan yang selalu ia khawatirkan.
***
Tilla bekerja keras di kafe. Semakin lama ia semakin terbiasa
dengan para pria yang ada di tempat itu. Dalam hati ia sungguh
menolak, tetapi semua ia lakukan demi ibunya. Sebenarnya ia
sangat merasa bersalah kepada ibunya karena tidak pernah
menceritakan apa yang terjadi pada dirinya selama ini. Suatu
malam Tilla diminta untuk menemani pria yang lebih muda
dibandingkan para pria yang biasanya. Pria itu berumur 23 tahun.
Ia mendengar bahwa di kafe itu ada seorang pelayan yang cantik
dan sangat polos. Ia datang dan meminta Tilla menemaninya
minum. Pria itu tidak menyentuh Tilla sama sekali. Tilla merasa
sedikit lega dan nyaman. Meskipun selalu menemani minum para
pria, Tilla tidak pernah sedikit pun minum.
150

“Kamu sudah lama bekerja di sini, tetapi kamu belum


pernah minum di sini bukan? Anggap saja aku sebagai teman
baru. Silahkan diminum.”
Pria itu memberikan gelas minuman kepada Tilla. Tilla
hanya tersenyum dan meminumnya karena ia tahu minuman
itu bukan minuman beralkohol. Mereka berdua banyak
mengobrol. Lama-lama Tilla merasa sedikit mual dan pusing.
Ia izin ke toilet. Pria tersebut menawarkan diri untuk
mengantarnya, tetapi Tilla menolak.
Tilla berlari ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh
isi perutnya. Ia merasa semakin pusing. Tilla keluar dari kamar
mandi. Bruuukkk, Tilla jatuh pingsan di pangkuan pria tadi
yang ternyata menunggunya di depan toilet.

***
Waktu menunjukkan pukul 05.00. Tilla bangun dari pingsannya.
Ia membuka mata tetapi ruangan itu sangat gelap. Ia meraba-raba
lampu yang ada di dekatnya. Sungguh kaget saat ia melihat ada
seorang pria yang tidur di sampingnya. Itu adalah pria yang ia
temani semalam. Ia segera lari dan beranjak dari tempat tidur,
tetapi tangannya dipegang kuat oleh pria itu.
“Terima kasih.” kata pria itu dengan senyum di wajahnya. Tilla
mengangis sejadi-jadinya. Ia bergegas keluar dan ingin
pulang. Sampai di rumah ia dikejutkan dengan para tetangga
yang mengerumuni rumahnya. Ia masuk. Ternyata ibunya
pingsan dan hendak dibawa ke rumah sakit. Tilla ikut
mengantar ibunya.
Di rumah sakit ia hanya diam. Ia terus memikirkan hal
151

yang terjadi semalam hingga dini hari tadi. Pikirannya kacau.


Ia merasa seakan dunia sudah tidak memihak kepada dirinya.
Hal yang menimpa dirinya dan ibunya menjadi beban berat
yang harus ditanggungnya. Tilla masuk ke ruangan tempat
ibunya dirawat. Ibunya belum sadarkan diri hingga siang.
Pintu ruangan itu diketok. Lani dan Raka masuk. Tanpa
berkata apa pun Lani langsung memeluk Tilla.
“Kamu yang sabar ya. Kamu pasti kuat,” kata Lani
“Sabar, La. Aku yakin kamu kuat,” kata Raka sambil
menepuk pundak Tilla.
“Terima kasih, Lan, Ka, kalian memang sahabat baikku.
Jika aku tidak bisa kuat, tolong maafkan aku.”
Perkataan Tilla membuat Lani dan Raka merasa aneh,
tetapi mereka berdua mengabaikannya. Lani dan Raka
menghibur Tilla. Waktu telah cepat berlalu. Lani dan Raka
pamit saat ibu Tilla sudah sadarkan diri.
“Tilla, maafkan ibu ya merepotkanmu. Ibu tidak bisa
bekerja lagi, tapi kamu harus tetap sekolah dan menjadi
kebanggaan ibu seperti biasanya.”
Air mata Tilla tak bisa ia tahan. Ia menangis sambil
memeluk ibunya. Tilla menyuapi ibunya. Mengelap badan
ibunya dengan handuk hangat karena ibunya tidak bisa
bangun dari tempat tidur.
Waktu menunjukkan pukul 22.00. Tilla pergi ke toilet rumah
sakit sedikit lama. Saat ia kembali, ia kaget karena beberapa
perawat mengerumuni ibunya. Tilla mendekat. Salah satu
perawat mengatakan kepada Tilla bahwa ibunya sudah tidak ada.
Tangisnya pecah. Ia tidak dapat berpikir. Baginya dunia
152

semakin kejam terhadapnya. Ia memandangi ibunya begitu lama.


Kemudian ia menuju toilet dengan membawa tasnya. Di toilet ia
merenung. Ia menyesali tidak pernah mengatakan dengan jujur
kepada ibunya yang selama ini dia alami. Ia juga menyesal karena
belum sempat meminta maaf karena sudah berbohong kepada
ibunya. Baginya dunia tidak bersahabat lagi dengannya. Ia
mengeluarkan gunting yang selalu ia bawa di kotak pensilnya.
Tilla merasa lebih baik jika ia menyusul ibunya. Bruukk, Tilla
rebah di toilet dan ditemukan oleh seorang perawatyang
kebetulan baru saja masuk kamar mandi.

***
Rumah Tilla penuh dengan para tetangga yang melayat. Tidak
ketinggalan Lani dan Raka. Mereka begitu kehilangan teman
yang selama ini menjadi semangat mereka dalam belajar. Lani
tak bisa menghentikan air matanya. Raka pun meneteskan air
matanya. Ia tak menyangka Tilla akan pergi secepat ini.
Seluruh guru sekolah Tilla mendatangi rumahnya untuk
melayat. Murid yang membanggakan sekolah selama ini telah
pergi untuk selamanya. Semua hening mengiringkan doa
untuk Tilla dan ibunya.
***
Lani dan Raka merasa kesepian di sekolah. Kini mereka hanya
tinggal berdua. Guru masih selalu mempresensi kehadiran
para murid. Nama Tilla masih tertulis di sana, tetapi tanpa
keterangan “I” atau “A” lagi. Kolom presensinya digaris
panjang hingga akhir.**
153

Presensi Kosong

Putri N. Wulandari

Lagi-lagi kulihat presensi itu kosong. Tidak ada


tanda sebagai petunjuk. Kulihat kolom-kolom
tanda kehadiran sebelumnya juga kosong. Dia
tidak pernah hadir. Dimanakah dia? Tak ada
jejak yang membekas. Hilang. Aku kehilangan
sorot mata yang menentramkan sekaligus
mendebarkan detak-detak jantungku. Aku
kehilangan aroma nafasnya yang menciptakan
gemuruh darah dalam tubuhku. Aku
kehilangan sosok dia yang telah menyatu
dalam jiwaku. Aku rindu.
Sudah lama aku tak mendengar kabarnya. Ia
hilang tak berjejak. Bukan hanya meninggalkan
aku. Ia juga meninggalkan rasa dan kenangan
154

kita. Walau begitu aku tak pernah menganggapnya pergi. Ia


masih di sini. Di dalam hatiku. Menemani hari-hariku. Meski
hanya sebagai bayang-bayang yang tak dapat aku sentuh dan
kurasakan.
Aku adalah wanita biasa yang mengharap cinta yang luar biasa
darinya. Berharap kerinduan akan diriku terus menghantuinya.
Berharap hembusan nafasnya terus melantunkan namaku. Berharap
kehadirannya hanya untukku. Aku ingin memilikinya. Memiliki dia
seutuhnya. Jangan pernah ada yang memilikinya selain diriku. Jangan
pernah ada yang menggenggam tangannya selain tanganku yang
selalu dan akan menggenggam erat tangannya. Aku adalah wanita
biasa yang selalu merindukannya.
Aku rindu yang teramat perih kepadanya. Rindu yang tak
pernah bertemu dengan si tuan. Rindu yang tak pernah memiliki
dermaga. Aku terus berlayar tanpa pernah bersandar. Tujuanku
hanya satu. Kerinduan kan bertemu daratan. Karena suatu ketika
aku akan lelah. Lelah berlayar hanya untuk menemukan daratan.
Namun, samudra ini terlalu luas atau mungkin bumi sudah tak
berpulau. Sebab aku tak kunjung menemukan pantai untuk
bersandar. Akhirnya nanti aku pasti tenggelam dan mati bersama
rindu yang tak sempat terucapkan.
Pagi itu, aku berdoa kepada Tuhan. Semoga hari ini Tuhan
menjawab segala permohonanku yang tak pernah lelah aku
serukan. Aku ingin bertemu dengnnya walau sedetik. Tiap
desahan nafasku selalu terurai namanya. Tiap arus darah
dalam tubuhku mengalir cinta yang murni untuknya. Aku
mencintainya. Bahkan setelah kejadian malam itu. Aku tetap
mencintainya.
155

Malam yang menjadi pertemuan terakhir kita. Walau aku


tidak pernah berharap malam itu menjadi malam terakhir. Aku
tak pernah tahu bagaimana perasaannya kepadaku. Namun aku
tetap mencintainya. Aku menyayanginya melebihi apa pun. Rasa
sayang yang tulus dan suci tanpa memaksa ia untuk membalas.
Walau sejujurnya aku ingin. Aku ingin ia membalas ketulusan
cintaku yang telah kulimpahkan untuknya. Seluruhnya.
Ia seperti angin yang tiba-tiba datang ketika gerah
melanda. Meniupkan bulu-bulu tipis pada tengkukku. Semilir
menyerbunya membawa kenikmatan. Ia hadir meramaikan
hati yang sedang kosong. Membawa warna-warni pelangi
menggantikan awan gelap yang sudah lama menyelimuti
hidupku. Hingga aku mampu melupakan dia. Melupakan
seseorang yang mengkhianati kisah percintaanku dulu. Aku
bahagia ketika ia membagikan warna-warni pelanginya
untukku. Terimakasih sayang. Terimakasih untuk merah,
kuning, hijaumu untukku.
Ternyata ia benar-benar menjadi pelangi. Hadirnya hanya
sebentar. Keindahannya hanya sekejap. Lalu hilang. Ia pergi.
Pelangi itu telah memudar warnanya dan lenyap tanpa bekas.
Keindahan yang membahagiakan itu kini tiada lagi. Untuk apa
ada pelangi bila hadirnya hanya sekejap? Lebih baik terus saja
awan gelap itu menyelimuti hidupku. Tanpa mentari. Tanpa
pelangi. Tanpa hujan. Hanya abu-abu. Tak bahagia. Tak jua
merana.
Tuhan, aku sudah terlanjur bahagia dan menuliskan harapan-
harapanku bersamanya. Aku sudah terlanjur menyayanginya. Tapi
mengapa Engkau malah melenyapkan pelangi itu lagi?
156

Engkau malah mengijinkan ia pergi meninggalkanku. Apakah


aku tak pantas bahagia Tuhan? Hari ini ternyata Engkau
belum juga mengabulkan permohonanku untuk melihat
wajahnya. Aku sudah teramat rindu. Ingin sekali walau hanya
sedetik aku melihat wajahnya. Bertemu dengan pujaan hati.
Menatap pemilik mata yang indah itu. Tuhan, kapan Engkau
mengabulkannya? Aku sudah hampir lelah menunggu. Aku
sudah tidak tahan dengan jerat rindu yang mencekik leherku.
Apakah hidupku akan berakhir akibat jeratan rindu ini Tuhan?

***
Sore itu hujan turun sangat lebat. Aku memarkirkan motorku di
depan sebuah toko untuk berteduh. Aku berlari mencari tempat
teduh. Aku berdiri menunggu hujan sedikit reda. Pandanganku
tiba-tiba terhenti pada sebuah motor yang terparkir di depanku.
Tepat di hadapanku. Jantungku seketika berdenyut sangat dalam.
Lalu detaknya melaju sangat cepat. Motor yang tak asing di
mataku. Aku sebar pandanganku ke sekeliling tempat itu mencari
pemilik motor ini. Namun tak juga aku temukan. Ternyata bukan
dia yang membawa motor ini. Kakaknya dan teman
perempuannya yang membawa motor ini.
Aku menundukkan pandanganku. Lalu ku lihat tetesan air
dari atas menyentuh genangan air di bawahnya. Membentuk
lingkaran-lingkaran kecil lalu membesar. Jantungku sudah
kembali berdenyut normal. Aku teramat rindu ingin bertemu
dengannya. Akankah rinduku bertemu dan menyentuh seperti
tetesan air itu dan menciptakan gelombang-gelombang cinta?
Hujan sudah mulai reda. Aku melangkahkan kakiku
157

meninggalkan tempat itu. Aku kembali menempuh perjalanan


ke kos.
***
Sayang, aku rindu ucapan itu. Aku rindu membaca kata-kata
itu. Aku rindu mendengar kata-kata itu. Dimana kamu
sekarang? Apakah kau tak pernah merindukanku? Apakah kau
tak pernah menyebut namaku di sela-sela nafasmu? Apakah
kau telah melupakan janji yang pernah kau ucapkan? Apakah
kau telah mengubur semua yang pernah terjadi di antara kita?
Tidak demikian denganku. Sampai detik ini aku masih
menyimpan semuanya. Aku masih mengingat semua yang
sudah terjadi di antara kita. Rasa sayang yang akhirnya
tumbuh di dalam hatiku kini telah berkembang biak.
Melahirkan beribu sayangku kepada dirimu yang entah
dimana sekarang berada. Aku selalu memanggil namamu
dalam diam maupun dalam teriakan. Dalam tawa maupun
dalam tangisan. Dalam kegelisahan maupun dalam damai. Aku
selalu menyebut namamu, sayang.
Sentuhlah jemariku lagi seperti malam itu. Genggamlah
tangan ini dan pautkanlah dalam dadamu. Agar aku bisa
merasakan detak jantungmu. Jangan pernah engkau lepaskan.
Jangan pernah engkau tinggalkan. Aku menyayangimu. Kau tahu
itu. Kau mengerti itu. Karena aku sudah mengatakannya berulang
kali tentang perasaanku kepadamu. Aku teramat sayang. Apakah
kau masih ragu? Apakah kau pikir aku berbohong kepadamu?
Aku mengatakan sejujurnya. Sayangku tulus kepadamu. Ku
mohon, jangan biarkan aku menjadi pengemis cinta kepadamu.
Aku menyayangimu. Aku merindukanmu. Tapi aku tidak pernah
158

tahu bagaimana aku harus mengungkapkannya kepadamu lagi.


Kau telah pergi. Kamu tega meninggalkan cintaku yang tulus
ini kepadamu. Bajingan!
Puas! Aku umpat dirimu untuk pertama kali. Setelah
berbulan-bulan aku puja dirimu. Kau begitu jahat kekasih
bajinganku. Kau telah umbar janji-janji palsumu! Kau
membawaku terbang ke awan lalu kau jatuhkan aku. Sakit. Itu
yang kurasakan. Harusnya kamu tikam aku saja dari pada kau
pergi meninggalkanku tanpa kejelasan. Harusnya aku mati saja
malam itu di tanganmu sendiri. Lalu aku akan tertidur
berbeda alam denganmu. Dengan begitu sudah jelas rasanya
bahwa aku tak bisa bersatu denganmu. Bukan seperti ini.
Hidup di dunia yang sama tapi tak bisa menyatu denganmu.
Alam tidak pernah adil denganku.
Satu malam yang masih kuingat dan terus akan kuingat.
Sorot matanya. Bibirnya. Dan kata-kata yang keluar dari
mulutnya. Masih terngiang di telingaku. Masih hafal kuingat.
Tidak pernah aku duga bahwa malam itu mungkin menjadi
malam terakhir untuk kita berdua. Karena setelah malam itu
dia tak pernah lagi menemuiku. Walaupun aku tersiksa akan
rinduku padanya, dia tak akan pernah tahu. Atau memang dia
tak akan pernah peduli.
“Hanya Tuhan dan aku yang tahu,” ucapnya sebelum ia pergi. Aku
butuh jawaban yang jelas. Bukan menggantung seperti ini.
Apakah aku harus menemui Tuhan lalu aku bertanya apakah dia
mencintaiku? Kepada siapa lagi aku bertanya selain kepadanya
dan kepada Tuhan? Sedang dia sudah tak pernah lagi
menunjukkan presensi kepadaku.
159

Perih. Kau tahu rasanya begitu perih. Aku sudah terlanjur


mencintaimu. Aku sudah terlanjur menyayangimu. Tapi
sekarang kau malah pergi. Pergi meninggalkanku yang setiap
detik selalu merindukanmu. Tuhan, aku tunggu jawabanmu
dan presensi itu tak lagi kosong!**
160

Presensi Hitam!

Isnaini

Ia melihatnya! Ketika lelaki yang masih berusia


baya itu menenangkan hati seorang ibu yang
tak beranak. Lelaki itu mengusap air mata yang
terus bercucuran dari mata seorang istri yang
kosong. Tangis wanita itu ia saksikan memang
tak bersuara, bahkan saat tubuhnya digigit-
gigit jarum berkali dua puluh lima dari
tangannya. Ia tau pasti ibu itu kesakitan, tapi ia
juga paham bahwa pukulan di hatinya lebih
sakit dari tusukan seribu jarum yang merakit
tubuhnya. Tak jauh dari pandangannya juga
terlihat betapa lelaki yang berada di dekatnya
pura-pura kuat di depan istrinya.
161

“Sudah nduk ikhlaskan saja anak kita sudah tenang di


surga,” ia dengar lelaki itu terus berbisik dan berbisik pada
telinga kekasihnya.
Ia juga mendengar ketika suara wanita yang sedang
digarapnya itu bergetar menumpahkan harapan terakhirnya
menyentuh wajah buah hati. Pada seluruh orang yang ada di
ruangan itu, termasuk ia wanita yang mengenakan baju putih
seperti penentu takdir dalam ruangan itu, ibu itu mengiba.
“Mas tinggalkan wajah anakku,” lemah ibu itu berkata.
“Iya nanti akan aku foto bayi kita itu, tapi tenanglah,
ikhlaskan dia, karena dia ingin pergi ke surga dengan bahagia.
Aku pulang dulu mengantar jenazah anak kita, berhentilah
menangis.”
Wanita berbaju putih itu semakin berkecamuk hatinya
mendengar percakapan suami istri itu, ia ketakutan dan
badannya sudah penuh keringat bercucuran maka cepat-cepat
ia selesaikan pekerjaannya itu. Ia keluar dengan tergesa-gesa
apalagi ketika ia berpapasan dengan bayi-bayi kecil yang
menggeliat, seluruh tubuhnya lalu merinding membayangkan
kecerobohannya. Kakinya semakin kaku ketika di ujung lorong
rumah sakit ia bertemu dengan lelaki yang seruangan
dengannya tadi. Lelaki itu lemas dengan bayi tak bernyawa
dalam gendongannya. Ia melihat lelaki itu menangis sehabis-
habisnya sambil memeluk buah hatinnya yang tak bergerak. Ia
mencoba mendekatinnya dengan sisa-sisa kemampuannya.
“Saya mohon maaf Pak, tidak bisa bekerja dengan baik, tapi
semua sudah kehendak tuhan, bersabarlah! tempat bayi ini sudah
baik dan bahkan jauh lebih baik.” Bentuk penyabaran hati
162

yang lebih tepat sebuah pembelaan diri bahwa semua adalah


takdir yang sudah tertulis dalam kitab hidup manusia
mencoba ia gunakan sebagai senjata penyelamat kesalahannya.
“Iya Bu,” lelaki itu hanya mampu mengeluarkan kata-kata
itu pada wanita itu.
“Wujud maaf kami Pak, bawalah kesini sebutuh ibu
melahirkan kembali, kami tidak akan meminta bayaran
berapapun Pak, dan untuk semua biyaya kelahiran sekarang
juga tidak usah dipikirkan. Semoga saja Tuhan segera
memberikan momongan kepada bapak dan ibu secepatnya”
“Terima kasih Bu,” hanya itu jawaban yang ia dapat dari
lelaki itu sementara ia melihat ada sorot kekecewaan yang
menghardiknya dan rasa kebencian yang terpancar padanya.

***
Siang itu ia masih saja tak bisa tenang hatinya, meskipun semalaman
ia terus mencari cara agar hatinya berhenti bergejolak. Bayangannya
akan jeruji besi terus menghantui apalagi ketika ia mendengar suara
bayi yang menangis seluruh tubuhnya sontak merinding. Seluruh
kegiatan pelayanannya hari ini pun sengaja ia kosongkan. Ia tak mau
berbuat banyak. Ia sudah menyerahkan seluruh pekerjaannya hari ini
pada pekerjanya dan rekan yang sedia membantu, sementara ia pergi
bertakziah sambil mencari celah keamanan nasib hidupnya sendiri.

“Bapak dan ibu sekeluarga saya mengucapkan turut


berbela sungkawa sebesar-besarnya, saya juga mohon maaf
atas kekurangan saya dan pihak rumah sakit dalam melakukan
pelayanan. Saya juga meminta agar tidak dilakukan tuntutan
163

hukum, apapun syaratnya saya akan coba penuhi, meskipun


semua tau bahwa ini adalah kehendak Tuhan dan mungkin
melalui tangan saya kehendak itu dititahkan. Sekali lagi saya
mohon maaf,” wanita itu mengiba di depan keluarga besar
seorang yang baru saja kehilangan tunas dalam hidupnya.
“Sudah Bu, semua sudah takdir dan kami sudah ikhlas tak
akan menuntut apapun dan kepihak manapun. Kami
berterima kasih atas bantuan ibu dan semoga istri saya cepat
pulih,” kembali lelaki itu ia lihat bijaksana tuturnya, namun
masih juga terasa di hatinya bahwa tersimpan juga kebencian
yang tak bisa hilang pandangnya.
***
Belum pernah ada ketakutan sekian dalam pada hidupnya, ia
terlahir dari seorang keluarga yang serba manis. Jalan hidupnya
juga manis. Ia adalah propesionalis yang selalu mendapatkan
penghargaan dari semua orang. Kecintaannya pada kanak-kanak
menjadikannya seseorang yang terus ingin berjuang mengulurkan
tangan pada kanak-kanak dan ia memilih jalannya untuk menjadi
seorang bidan. Sepanjang hidupnya ia telah membantu kelahiran
beratus anak dan belum ada yang alpa. Kini takdir berkata lain
bahwa ia telah menghabisi dunia yang dicintanya dan
menciptakan penjaranya sendiri.
“Permisi Bu,” suara dari balik pintu mengagetkannya.
Wanita itu tertegun, hatinya berdebar keras. Suara siapa di
balik pintu itu, apakah aparat kepolisian yang akan membawanya
ke dalam jeruji besi? Tiba-tiba ia teringat kembali kesalahan
besarnya. Sore itu sepasang suami-istri mendatanginya. Calon ibu
itu menceritakan sepertinya bayi dalam perutnya sudah
164

hendak keluar melihat dunia, ia merasakan kesakitan seperti


ingin melahirkan. Calon ibu itu juga bercerita semua
keluarganya sudah menanti kehadiran bayinya yang akan
menambah kebahagiaan dalam hidup keluarganya.
“Baiklah, silahkan rebahan dulu Bu, biar saya periksa
keadaannya” sementara calon ibu itu tiduran, ia memeriksa
dan tersenyum.
“Sudah buka satu Bu, tapi tidak apa-apa pulang dulu saja
nanti balik lagi bila sudah mau lahir,” kata wanita itu dengan
enteng karena sepertinya ia juga terlihat kelelahan.
“Loh Bu, sudah buka satu kok pulang? Saya malah takut
Bu, lebih baik saya di sini saja Bu, biar sewaktu-waktu saya
butuh bantuan langsung bisa menghubungi Ibu,” jawab calon
ibu itu dengan merasa ada keanehan, sudah benar akan
melahirkan tetapi disuruh pulang!
“Ya sudah Ibu tiduran dulu, kita nantikan buka
berikutnya,” sambil tersenyum wanita berbaju putih itu berlalu
meninggalkan calon ibu.
Sudah hampir lima jam sepasang suami-istri itu menunggu
kelahiran putranya, buka satu, buka tiga, lima, sesekali wanita itu
ditengok oleh bidannya. Tetapi setelah bayi itu bebar-benar
agaknya sudah meronta ingin keluar, calon ibu itu malah
mencari-cari sang bidan yang tak kunjung menengoknya. Tak tau
apa yang hendak dilakukan, dimasa-masa kesakitan dan
menegangkan ini, bidan itu terlihat mengabaikan. Proses
persalinan itu berlangsung sangat lama dan terkesan disepelekan.
Wanita itu mengawal begitu tak berjiwa, entah apa yang ada pada
kepalanya sehingga ia tidak dapat bekerja maksimal.
165

Karena bayi itu terlalu lama berada di tengah jalan keluar,


maka bayi itu tak sangup menahan hidupnya. Bayi itu mati!
Sepasang suami-istri itu sontak terkejut dan lemas, mereka
menangis tak berdaya. Wanita baju putih itu masih saja alpa
akan apa yang telah diperbuatnya, setelah ia menyadari
kesalahannya ia tiba-tiba ketakutan hebat.
“Maaf Bu…, Bu…, Bu bidan!!
“Bu bidan,… ini berkas kelahiran bayi yang meninggal
kemarin dan harus ibu isi juga tandatangani,” suara suster
mengulang panggilannya karena tak terdengar juga oleh bidan
itu yang sekaligus mengagetkan karena tiba-tiba saja sudah
berada di samping wanita itu.
“Oh ya… maaf… maaf… baiklah,” ia melihat buku besar
berwarna hitam disodorkan di depannya. Pikirannya kembali
tergoncang, ia berkali-kali melihat buku itu lalu berganti
melihat ke arah suster yang berada di dekatnya. Ia
mengangguk dan mempersilahkan suster itu berlalu.
Semua ketakutan kembali menghantui fikirannya. Wanita
itu kini harus menulis kesaksiannya pada kertas yang dapat
membawanya ke dalam neraka jeruji besi. Ia tak sanggup
mempertanggungkannya, ia tak sanggup menyentuh buku
kunci penjara itu. Presensi kelahiran yang selalu ia isi dengan
kebanggaan itu kini luntur dan berganti dengan kegetiran.
Penjara! Neraka! Semua akan mengakhiri hidupnya,
mengakhiri prestasinya, dan hari-harinya di dunia akan
dihentikan kecerobohannya seperti ia menghentikan
kehadiran bayi kecil itu di dunia.
“Tok..tok..tok..” suara dari balik pintu kembali terdengar
166

dan menghentikan aliran darahnya.


Wanita itu ketakutan, sangat ketakutan, ia melihat lelaki
gagah berseragam kelabu di balik pintu hendak menemuinya.
Jantung wanita itu serasa lepas, keringatnya bercucuran,
badannya lemas dan matannya berkunang-kunang. Wanita itu
ketakutan dan akhirnya terjatuh tak sadarkan diri. **
167

Presensi

Erlina Hidayati

Hari yang dinantikan para pemegang selembar


kertas bernama ijazah pun tiba. Terlihat
stadion penuh sesak dengan lautan manusia.
Mimik wajah mereka beragam, kebanyakan
mereka memasang muka berharap-harap
cemas. Beberapa diantara nampak komat-
kamit berdoa. Beberapa petugas nampak sibuk
membagikan lembaran soal. Aku dibagikan
untuk di gores sebagai bukti mereka mengikuti
seleksi bernama tes CPNS.
Beberapa jam telah berlalu. Para sarjana
keluar stadion dengan penuh harap.
“Barangkali lotre ini aku yang menang!” Kata
seorang lelaki kepada temannya.
168

“Aku sih nggak berharap banyak.” Balas temannya.


“Barangkali apa yang baru saja kita kerjakan adalah
formalitas saja.” Ucapnya dengan nada putus asa.
“Sudah pasti orang-orang kecil kayak kita gini, akan
tersingkir dengan anak-anak pemegang jabatan.” Timpal
kawannya.
“Sudahlah, kita cari makan saja. Cacing di perutku sudah
meronta.” Mereka berlalu keluar stadion.
Tubuhku terinjak-injak oleh ribuan pasang sepatu. Aku
terpisah dengan teman-temanku. Tubuh putihku kini penuh
dengan noda-noda, pasir hingga tai ayam. Jijik. Rasanya ingin
sekali aku mandi dan kembali berada di tempat yang rapi.
Berada di ruangan ber-AC seperti para pejabat negeri ini.
Mandi dengan bunga tujuh rupa seperti para simpanan bapak-
bapak berdasi. Ah… aku ingin. Lalu bagaimana dengan orang-
orang berbaju rapi tadi ? Apa mereka mencariku atau bahkan
mereka tak mempedulikanku?
Terdengar suara riuh dari dalam ruangan mereka berkumpul.
“Dia menghilang. Padahal aku ingat betul tadi kujadikan
satu dengan lembar jawaban di blok C, ucap pak Sutris gusar.
“Tak apalah. Dia tak mempunyai pengaruh banyak dengan
hasil seleksi ini.” Pak Diman mencoba menenangkan.
“Tapi Dia adalah bukti dan bentuk tanggungjawab dari
pekerjaan kita.” Jawab pak Sutris merasa bersalah.
“Sudahlah Tris, kau mau pulang sekarang lalu bisa
bertemu anak istri dengan cepat atau mau mencari Dia dulu?”
Tanya pak Diman.
“Aku pulang saja ikut denganmu, sekarang.” Jawab pak Tris.
169

***
Di sekolah. Ternyata aku kembali terabai. Kadang aku dibohongi
dengan banyak dalih. Aku melihat dua anak berseragam putih
biru menuju ruang TU. Ternyata mereka adalah ketua dan wakil
kelas delapan A. Aku heran. Seharusnya mereka berada di dalam
ruangan karena ini masih jam pelajaran. Teman-teman mereka
ada juga yang sedang di kantin dan ada yang sedang duduk di
pojok kelas ternyata mereka pacaran. Senyum malu-malu dapat
terlihat di bibir mereka. Entah sedang berbicara apa, yang pasti
bukan karena guru mereka tak ada di dalam kelas.
Di lain hari seorang kawanku bercerita bahwa Ia kemarin
melihat kawanku yang bekerja juga di sekolah. Dia menenteng tas
belanjaan lengkap dengan dompet besar. Dia berada di antara
lautan manusia yang berburu diskon awal bulan. Bahkan tak
hanya April ini. Bulan-bulan lain dia juga turut meramaikan
tempat perbelanjaan ini. Temanku bertanya apa sekolah tempat
kami bekerja libur setiap awal bulan? Jelas aku hanya tersenyum.
Barangkali aku adalah tempat berkhianat. Tapi sungguh
aku tak menyukai hal ini. Aku tak menyuruh mereka begitu.
Aku berharap tak hanya dicari saat dibutuhkan tapi juga
benar-benar dipercaya menjadi teman.**
170

Anak Sukerta

Lilik Windardi

Kiai Kolodete datang ke Dieng sekitar tahun


1628 Masehi. Ia adalah seorang raja besar di
Jawa Timur. Lalu pada peristiwa runtuhnya
Majapahit, banyak yang melarikan diri ke Bali,
sementara Kiai Kolodete bersama Kiai Karim
dan Kiai Walik lari ke Pegunungan Dieng
dimana pada saat itu Pegunungan Dieng masih
berupa hutan belantara.
“Aku bersumpah demi Sang Hyang Widhi,
aku tidak akan mencukur rambut gimbal ini
hingga kawasan Dataran Tinggi Dieng sejahtera.
Jika sumpahku ini tidak dapat terkabul, aku akan
menitiskan rohku kelak kepada anak yang baru
lahir atau anak yang sedang belajar berjalan.
171

Sebagai bukti titisanku, anak tersebut akan berambut gimbal.”


Sumpah Kiai Kolodete kepada Nyi Ratu Selatan.

***
Malam itu seakan berhenti dari putaran roda kehidupan. Hanya
terdengar suara gerimis yang memecah keheningan malam.
Tangis Ardi seketika menjaga kedua pasangan itu dari tidurnya.
Subahair dan Tuhah, mereka baru dua tahun mengucapkan janji
suci dalam sebuah pernikahan. Pasangan yang berbahagia.
Kebahagiaan mereka bertambah dengan lahirnya Ardi, anak
laki-laki pertama mereka.
“Mas, Ardi panas awakke iki. Keringette mrembes
mili.Kenang ngopo iki Mas?”
“Demam koyone nduk. Tak njukut tisu nggo ngompres
seknduk.” Bahir bergegas ke dapur mengambil tisu yang
sudahdikasih air untuk mengompres Ardi.
“Cup cup cup... sayang, wis ojo nangis. Bapak ro
simboksayang Ardi.” Bisik Tuhah menenangkan anak
kesayangannya.
Bedug subuh bersahutan di Desa Sembung. Desa yang
merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa. Tangisan Ardi masih
terdengar di sela-sela bedug itu. Tangisnya terhenti seusai
orang-orang pulang dari shalat subuh. Datanglah Hadi, kakek
Ardi dari ibunya yang kebetulan mendengar tangisan sedari
dini hari. Dia mengusap kepala Ardi. Setelah sekian lama
termenung, ia membisikkan kepada keluarga baru itu. Cucuku
adalah Anak Sukerta. Suasana yang tadinya mencekam
seketika berubah menjadi kegembiraan.
Anak sukerta merupakan anak yang sepesial yang merupakan
berkah tersendiri bagi orang tua. Karena datangnya tidak bisa
172

diminta dan tidak bisa pula ditolak, ini merupakan titipan dari
leluhur. Untuk itu, bagi orangtua yang mempunyai anak
gembel (sebutan masyarakat Dieng terhadap rambut gimbal)
harus prihatin. Bersiap-siap untuk selalu memenuhi apa yang
menjadi keinginan mereka.
Pagi itu Tuhah baru selesai memandikan Ardi. Betapa
terkejutnya dia melihat hal yang baru pertama dilihat dan
dialaminya. Rambut Ardi tumbuh gimbal. Ia baru tersadar,
ternyata tangisan Ardi tadi malam adalah tanda bahwa ia akan
tumbuh gembel. Segera ia memanggil suaminya untuk
memberikan kabar gembira tersebut.
“Mas. Mas. Ardi thukul gembel e. Ternyata ucapan bapakku
tadi pagi benar mas. Ardi Anak Sukerta,” teriak Tuhah di samping
rumah.
Mendengar kabar tersebut, Bahir melompat dari kursi.
“Ndi nduk? Alkhamdulillah,” tanyanya kepada istrinya yang
sedang menggendong anaknya.
“Ini mas. Kita harus bekerja keras Mas. Karena delapan
tahunan lagi Ardi pasti meminta dicukur gimbalnya,” jawab
Tuhah sambil memberikan Ardi dari gendongannya.
“Iya nduk. Aku akan menuruti semua yang Ardi inginkan
tanpa terkecuali.” Jawabnya sambil menciumi pipi Ardi.

***
Malam dimana Ardi tumbuh gimbalnya sekarang tujuh tahun
berlalu. Tetapi masih terngiang di telinga pasangan itu jerit
tangisnya. Mereka selalu mengingatnya. Tanggal satu Suro. Itu
adalah hari dimana gembel tersebut tumbuh di kepala Ardi.
173

Sampai detik itu, pasangan tersebut masih takut jika sewaktu-


waktu anaknya meminta gembelnya dipotong.
“Pak, Mbok. Taun ngajeng kulo nyuwun cukur gembel
nggih.Kulo nyuwun cukur gembelle pas tanggal setunggal Suro
wonten pelataran candi. Kulo nyuwun dicukur nomer setunggal.
Kulo nyuwun ingkung pitik kalkun pitu nek cukur gembel.”
Pinta Ardisaat terjaga dari tidurnya.
Kedua pasangan tersebut terbelalak. Mendengar perkataan
anaknya tersebut. Seakan mereka tak percaya. Ia pun
menanyakan sekali lagi. Apakah dia mengigau atau tidak.
Namun hal tersebut terulang di pagi berikutnya.
“Tahun depan kita harus mencukur gimbal Ardi Mas. Kita
siapkan segala keperluan sedari sekarang ya Mas.” Pinta Tuhah
kepada suaminya.
“Iya nduk. Aku usahakan.” Jawab Bahir sambil mengecup
kening istri dan anaknya.
Permintaan Ardi tentang pemotongan gimbalnya seperti
sudah terekam jelas di telinga pasangan tersebut. Karena
hampir setiap seminggu sekali saat ia bangun meminta
gembelnya dipotong dan dengan permintaan yang sama.
Malam dimana Ardi terpilih menjadi Anak Sukerta
terulang kembali. Tetapi hari ini berbeda dengan sebelumnya.
Hari ini keinginannya untuk potong gimbal akan terpenuhi.
Hari yang melelahkan akan segera terjadi.
Sebelum upacara pemotongan gimbal, ada ritual doa di
beberapa tempat agar upacara berjalan lancar. Tempat tersebut
adalah Candi Dwarawati, komplek Candi Arjuna, Sendang
Maerokoco, Candi Gatot Kaca, Telaga Balai Kambang, Candi
174

Bima, Kawah Sikidang, Komplek Pertapaan Mandalsari (gua di


Telaga Warna), Kali Pepek, dan tempat pemakaman Dieng.
Malam harinya akan diadakan upacara Jamasan Pusaka,
pencucian benda pusaka yang akan dibawa saat arak-arakan
anak gimbal.
Prosesi cukur gembel dimulai dengan napak tilas dari
ketua masyarakat Dieng, yaitu kunjungan ke duapuluh tempat
dimana Kyai Kolodete dan Ni Roro Ronce pernah berkunjung.
Pemilik rambut gimbal kemudian diarak menuju tengah
pelataran Dieng di Kompleks Candi Arjuna. Tarian-tarian
seperti Tari Rampak, Tari Yakso atau Tari Warog
dipersembahkan kepada yang maha kuasa sebelum
dilaksanakan ritual pemotongan Rambut Gimbal.
Semua yang Ardi minta sebagai syarat pencukuran gimbal
sudah dipenuhi oleh ayah dan ibunya. Tujuh ingkung ayam
kalkun sudah dipenuhi, pencukuran tanggal satu Suro yaitu
hari ini, hanya satu yang belum terpenuhi yaitu dicukur nomor
pertama dalam prosesi pencukuran hari tersebut.
Kebetulan ada sembilan anak lainnya yang mencukur
rambut pada hari itu. Mereka berjajar di pangkuan orang
tuanya. Ardi dipangku oleh ibunya. Ia berada di urutan yang
pertama, sesuai dengan permintaannya. Pemangku adat yang
menggunakan pakaian adat jawa lengkap dengan keris berdoa
di depan sumur. Di sinilah air akan diambil guna dipakai
untuk jamasan rambut anak-anak gimbal. Rambut dan wajah
mereka dibasuh dengan dedaunan yang dibasahi oleh air dari
sumur Sendang Sedayu dengan dicampur kembang 7 rupa.
Setelah proses pemandian selesai, mereka kembali diarak
175

menuju kompleks Candi Arjuna untuk segera melakukan


pemotongan rambut. Ada mahar-mahar atau sesajen yang
sudah tertata rapi. Sesajian berupa makanan tradisional Dieng,
ayam, buah-buahan, yang nantinya selesai acara akan
dibagikan kepada masyarakat yang hadir.
Pemotongan gimbal sudah dimulai. Terdapat lima sesepuh
yang memotong rambut kesembilan anak gimbal tersebut.
Begitu singkat prosesi tersebut berlangsung. Sekitar tiga puluh
menit. Akan tetapi tidak bagi yang dicukur, mereka merasa
prosesi tersebut sebagai awal dari permulaan mereka untuk
mengemban tanggung jawab yang lebih besar lagi kedepannya.
Keringat dingin menyelimuti tubuh Ardi. Tuhah
merasakan kaki anak kesayangannya mulai dingin. Ia berpikir
karena suhu Dieng yang memang dingin. Ia menanyakan
kepada sesepuh tentang hal yang terjadi dengan anaknya.
Namun sesepuh tersebut menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah sekian rangkaian acara dilalui, ada rangkaian
terakhir yang tidak kalah pentingnya dari prosesi sebelumnya.
Penutupan rangkaian acara ruwatan adalah pelarungan
rambut gimbal di Telaga warna. Airnya mengalir ke Sungai
Serayu dan berhilir di Pantai Selatan di Samudera Hindia.
Untuk dikembalikan kepada Nyi Ratu Selatan.
Setelah pelarungan rambut gimbal tersebut, seorang
sesepuh kesurupan. Bersamaan dengan hal itu Ardi yang
masih dalam gendongan ibunya meronta-ronta. Sesepuh
tersebut mengusap kepala Ardi lalu menangis.
“Keinginan apa yang belum dipenuhi anak saat pemotongan
gimbalnya?” Tanya sesepuh tersebut dengan tangan gemetaran.
176

“Mana bapaknya cucuku ini?” Tambah sesepuh meminta


Bahir mendekat.
“Saya Mbah.” Jawab Bahir canggung.
“Anda siapa?” Tanya Bahir lagi.
“Aku Kiai Kolodete. Aku kasihan sama Anak ini. Masih ada
satu keinginannya yang belum terpenuhi. Sesepuh yang kumasuki
ini, ia tidak mengindahkan keinginan anak ini. Ia tidak
memotong gimbal anakmu yang pertama. Melainkan yang kedua.
Tunggulah dua minggu lagi! Kalau anakmu tumbuh lagi
gimbalnya, maka penuhilah semua keinginannya. Jangan sampai
hal ini terulang lagi!” Jawab Kiai Kolodete melalui sesepuh yang
dirasukinya.
“Maafkan orang ini!” Tambah Kiai Kolodete kepada Bahir.
Bahir dan Tuhah tak mampu menjawab perintah dari Kiai
Kolodete tersebut. Mereka memeluk erat Ardi yang terbawa
dinginnya Dataran Tinggi Dieng. Kebekuan pecah ketika
tangisan Tuhah memecah kerumunan tersebut. **
177

Kalimat Mistis

Shalakhudin Rahmat

Sore itu masih begitu terik. Namun hati Karto tak


merasakannya. Dia justru merasakan kegelapan
sedang melanda lengkap dengan petir yang
menyambar-nyambar. Dirinya seperti masuk ke
dalam sebuah molen raksasa yang siap
mengaduknya bersama salah satu campuran
bahan sumber penyempit kampungnya. Karto
terus saja menerobos gang menuju rumahnya.
Sebuah jalan tikus yang terhimpit tembok-
tembok rumah tetangganya. Sesekali ibu-ibu
yang sedang ngerumpi di teras-teras menyapanya.
Tapi Karto tak merasakan ada yang mengajaknya
bertegur sapa. Hanya beberapa giginya yang
mampu mendobrak dominasi
178

gemeletuk di mulutnya.
Ketika memasuki bangunan sederhana yang ia rancang
bersama sang istri, hatinya sedikit tersinggung. Bau khas dari
bangunan itu membuat Karto sedikit melupakan kengerian
dari petir yang sedari tadi seakan menyambar kepalanya.
Dilemparkannya tas berisi dokumen-dokumen kantor tepat di
sudut sofa kumal pemberian orang tuanya. Dikendorkannya
beberapa kancing baju yang seakan menjerat tubuhnya. Tak
lupa sepatu pantofel pengap pemberian istri tercinta dia
lemparkan ke sudut ruangan. Kakinya seperti mendapat nafas
segar setelah lepas dari penjara sebuah ruang dari kulit yang
sebenarnya bukan kulit.
Desah nafas yang sedikit gaduh dari ruangan itu membuat
istri Karto menghentikan pekerjaannya. Istri Karto merupakan
lulusan sarjana teknik memasak. Berbagai jenis masakan
dikuasainya. Mulai dari masakan dunia barat sampai dunia
timur. Dia bekerja pada perusahaan yang didirekturi oleh
Karto. Dia adalah kepala bagian urusan paling penting bagi
setiap karyawan. Kepala bagian urusan perut yang merangkap
wakil direktur. Segera dia menghampiri sang direktur yang
terduduk lesu di sofa. Mengeluarkan jurus sakti warisan dari
guru besarnya di sebuah perguruan penakluk laki-laki yang
pernah dia enyam. Memeluk dan mengelus-elus dada Karto
yang penuh dengan bau bacin khas tubuh seorang lelaki.
“Ada masalah apa di kantor?” tanya istri Karto dengan
lembut. Istrinya sudah hafal dengan mimik muka Karto yang
ketika ada masalah berubah menjadi kusut seperti sofa yang
sedang diduduki. Kata-kata pengaduan belum mampu
179

menerobos kuatnya barisan gembok yang mengunci mulut


Karto. “Mandi dulu sana, nanti segera aku siapkan makanan
kesukaanmu,” lanjut istri Karto dengan menambah segi
kelembutannya. Dengan masih dipenuhi kegelapan, Karto
melangkahkan kakinya sesuai dengan usulan dari wakilnya
yang hampir selalu dilakukannya. Bayangan makanan yang
oleh wakilnya dinyatakan sebagai makanan kesukaannya
padahal kepala bagian urusan perutlah yang menyukainya,
sedikit demi sedikit mampu membuka kelambu kegelapan
yang seharian mengungkungnya.
Karto kembali merenung setelah melakukan hal atas
usulan wakilnya itu. Namun wajahnya sudah mulai mampu
menyikap kegelapan yang sedari tadi mengungkungnya.
Ditemani wakil direkturnya alias kepala bagian urusan
perutnya alias istri tercintanya, Karto menghabiskan sisa hari
itu berduaan. Layaknya sebuah meeting khusus, rapat penting,
atau sekedar berduaan seperti pasangan yang baru menikah.
“Sebenarnya ada masalah apa mas?” tanya istrinya kembali
dengan penuh kelembutan. Setelah menunggu momen yang
dirasa cukup tepat, Karto pun akhirnya menceritakan kejadian
hari itu di kantornya. “Aku merasa sudah tidak dihargai lagi
sebagai kepala bagian yang ditugaskan khusus oleh pak
direktur untuk mengurus masalah ketertiban,” jawab Karto
dengan nada agak meninggi. Istrinya segera mengelus dada
Karto. Istri Karto sadar suaminya adalah kepala bagian urusan
ketertiban alias ketua tim keamanan alias satpam yang
merangkap sebagai direktur ketika sudah berada di rumah
mereka. Pastilah hidupnya berat, pikir istri Karto.
180

“Banyak karyawan yang sudah mulai mempermainkan


tanggung jawab yang diberikan bos, padahal fasilitas sudah
mereka dapatkan sepenuhnya,” lanjut Karto. “Kurang apa coba?
Tiap hari kerja di tempat ber-AC, nggak perlu panas-panasan,
kerjaan cuma pake otak, nggak perlu pake tenaga, gaji tiap bulan
turun tanpa telat, eh masih juga mereka banyak yang membolos,”
kembali Karto nerocos yang hanya dijawab dengan anggukan oleh
istrinya seperti para konseling psikologi. “Memang mereka itu
manusia yang tidak tahu bersyukur, kerjaannya cuma merasa
kurang terus, nggak pernah melihat kerjaan kami? Tiap hari
panas-panasan, ruangan sempit tanpa AC, belum lagi jika terjadi
kekacauan, mana nyawa taruhannya lagi, terus kurang apa?
sampai-sampai mereka tidak mau masuk kerja dan yang sampai
hanya tanda tangannya saja,” sambung Karto.
“Apa bos sudah tahu mengenai kejadian itu mas?” kembali
istrinya bertanya. “sudah, bahkan bos sudah melakukan sidak,
tapi hasilnya tetap saja ada tanda tangan misterius yang masih
saja datang ke kantor,” jawab Karto. “Secara khusus bos bahkan
sudah menemuiku langsung di ruangan kantorku dan menyuruh
untuk memecahkan masalah itu secepatnya,” jawab Karto lagi.
“Gini aja mas, aku punya kenalan teman yang mengenal seorang
dukun di kampungnya, sakti bgt lho mas, masalah apa saja
mampu dia selesaikan. Masalah naik pangkat, masalah ingin jadi
kepala daerah, kepala sekolah, bahkan jodoh pun bisa didapatkan
dengan mengunjungi dukun itu mas,” jawab istri Karto dengan
penuh solusi. Setelah mempertimbangkan dengan penuh
pertimbangan sesuai dengan keahliannya dibidang keamanan,
saran dari istrinya dirasa-rasanya cukup
181

masuk akal dan bisa menjadi solusi masalah di kantornya. “Tapi


aku harus merapatkannya dulu dengan anak buahku, aku tidak
mau menjadi ketua yang otoriter dan hanya memutuskan suatu
keputusan secara sepihak,” sambung Karto lagi.
Esoknya sebelum jam kerja, Karto sengaja mengumpulkan
anak buahnya untuk melakukan rapat mendadak. Berbagai
saran dari istrinya dia ungkapkan pada anak buahnya dan
sebagian besar dari anak buahnya menyetujui. Malam harinya,
Karto segera mendatangi dukun atas saran istrinya. Tentu
dengan ditemani istrinya yang bertugas sebagai penunjuk
jalan. Dia utarakan maksud kedatangannya pada seorang
dukun yang di luar dugaan berpenampilan seperti bosnya.
Berjas dan berdasi, rambut klimis, sepatu penuh semir,
lengkap dengan wewangian khas parfum impor. Dengan
diliputi rasa heran, Karto menerima secarik kertas seperti
resep dokter yang harus ditebusnya di apotek.
Karto masih diliputi kebingungan yang sangat mengganggu
logika pikirannya. Bagaimana mungkin seorang dukun sakti
justru memberikan resep seperti dokter. Lalu bagaimana dengan
unsur kemistikannya? Apa sudah nggak zaman lagi seorang
dukun berteman dengan lelembut? Apa dukun itu lulusan dari
universitas perdukunan dan sudah menempuh S3? Kerjanya
hanya mendengarkan dan menulis resep lalu sudah memegang
uang merah berlembar-lembar. Pikiran itu terus saja mengaduk
pikiran Karto. Apa dukun itu benar-benar bisa dipercaya? atau
hanya seorang penipu yang sebentar lagi harus dilaporkannya ke
pihak yang berwajib atas dasar penipuan berkedok dukun palsu?
“Ah apa salahnya mencoba, toh manusia hanya bisa berusaha,
182

Tuhanlah yang berhak menentukan,” gumam Karto yang


hanya dijawab dengan senyuman oleh istrinya.
Paginya Karto sudah mendatangi tempat yang tertera pada
resep dari dukun yang kemarin didatanginya. Dia harus
mengetuk pintu karena tempat itu belum buka. Karto hanya
melihat seorang setengah baya yang masih tertidur di sebuah
kursi tua. Dia bangunkan orang itu dengan penuh sopan santun.
Setelah dikira nyawa sudah berkumpul seluruhnya di badan
orang itu, barulah Karto mengutarakan maksud kedatangannya
dan menyerahkan resep dari dukun. Tanpa menunggu lama,
orang itu menghilang dan setelah kembali sudah membawa
pesanan sesuai dengan resep. “Loh kok cepat pak?” tanya Karto
terheran-heran. “Tidak usah heran mas, kakak saya sudah
menelpon tadi malam,” jawab orang itu sambil sedikit senyum.
“Jadi dukun yang didatangi tadi malam itu kakaknya?” pikir Karto
dalam hati. Jangan-jangan orang-orang ini hanya sekongkol
untuk mendapatkan uang dari Karto. “Terus istriku apa juga
terlibat?” segera Karto membuang jauh-jauh pikirannya.
Karto langsung menuju kantornya setelah menerima
barang yang secara tidak langsung berasal dari dukun. Segera
Karto mengumpulkan semua anak buahnya. Mereka penasaran
dengan barang yang ada di dalam bingkisan koran bekas yang
masih dipegang Karto. Harapan bahwa barang itu mistis entah
bentuknya atau baunya ternyata tidak kesampaian.
“Hahahaha....... ini benar-benar dari dukun bos?” tanya salah
satu anak buah Karto. “Kok seperti gantungan di pintu toilet?”
anak buah yang lain juga ikut berkomentar. “Sudah-sudah, kita
pasang saja sesuai dengan anjuran dari dukun itu,” Karto
183

berusaha menenangkan anak buahnya. Karto segera menyuruh


salah satu anak buahnya.
Ajaibnya, setelah tulisan itu dipasang di pintu kantor,
keesokan harinya tanda tangan misterius tidak muncul lagi di
kantor. Tanda tangan misterius itu hanya mengintip dari balik
pintu dan segera meninggalkan kantor. Karto sendiri juga tidak
berani lagi masuk ke dalam ruangan kantor. Dia hanya menyuruh
anak buahnya jika ada masalah yang harus diselesaikan di dalam.
Karto ingat, dulu dirinya sering membolos sewaktu masih
sekolah. Bahkan ketika istirahat siang, Karto sampai terbawa
mimpi bahwa anaknya kelak harus mampu menempuh
pendidikan tinggi agar dapat melewati pintu dengan tulisan
“Yang Tidak Berpendidikan Dilarang Masuk”. **
184

Rumah Selalu Menjadi


Tempat Terbaik

Wida Merliana

Semua tak akan memungkiri bahwa rumah


akan selalu menjadi tempat terbaik. Dimana
dapat melepas penat, kejenuhan dan gejolak
jiwa lainnya. Rumah pun menjadi tempat yang
terbaik untuk bersantai, bersenang-senang dan
bercengkrama dengan keluarga. Bagaimanapun
bentuknya. Suatu hari, rumah akan menjadi
sangat dirindukan ketika kita mengalami ini.
Esok adalah hari terakhir aku tinggal di
rumah ini. Meninggalkan semua kebiasaan yang
aku jalani bersama keluarga. Ayah bersiap
mengantarku meski teramat berat ia melepasku
merantau ke kota pelajar. Sebelumnya, seorang
185

kawan telah standby di rumah untuk berpisah sekian ratus


bahkan ribuan hari denganku. Ia adalah pengisi hatiku. Sejak pagi
ia datang ke rumah sekedar menemaniku merapikan barang
bawaan untuk beberapa pekan pertama di tanah rantauan. Sorot
mata lelaki ini terlihat begitu berat membiarkan aku sendiri di
kota lain dan tak jauh berbeda dengan sorot mata ayah yang
terkadang ku lihat merah dan berkaca-kaca.
Si bungsu yang masih berusia belum genap setahun sedikit
memberi kehidupan pada perpisahan ini. Di usia emasnya ia
masih sangat begitu menggemaskan. Polah tingkahnya
membuat kami sekeluarga dibuat kalang kabut. Bagaimana
tidak, ia yang kami tunggu selama belasan tahun hadir
bersama keluarga kami.
Ahh.. ada satu sosok lagi yang begitu terlihat berat
melepas aku pergi. Seorang yang selalu menuruti kemauanku
dari A sampai Z. Seorang yang dengan kasihnya menemani
setiap tumbuh kembangku. Seorang yang istimewa dan terbaik
untukku.. Ya, kalian pasti tau siapa ia. Salam sayangku
untukmu selalu, Mamah..
Sudah ku cukupkan perbekalan untuk penjelajahanku
yang pertama. Satu tas besar berisi pakaian dan dokumen serta
tas selempang berisi peralatan yang sering aku gunakan.
Untuk memudahkanku meraihnya. Baiklah, kita mulai
penjelajahku saat ini.
“Jaga diri, semoga cepat lulus dengan baik.” Begitulah
pesan mereka kepadaku. Hanya dengan anggukkan aku
mampu membalas. Sedih. Aku harus meninggalkan semua
yang ada disini dan menjadi kenangan. Pengorbanan!
186

***
Tempat ini akan menjadi rumah penjelajahan pertamaku.
Asrama putri yang baru dibangun ini tidak begitu terlihat
seperti pesantren pada umumnya. Asyik juga tinggal di tempat
yang menurutku ini seperti mess pabrik di sana. Dari duapuluh
kamar yang ada akan dihuni 4-5orang perkamar.
Aaaaaaaaaaaaaaaaakkk.. pasti ramai banget ini mah. Berkat
berbagai jasa, aku tinggal di sini hanya beberapa saat.
(maklum, bukan anak pesantren :D).
Bangunan ini terletak di tengah sawah. Sering kali dikenal
dengan asrama mewah aliah mepet sawah. Perlu jarak tempuh
untuk sampai pada asrama pusat di sebrang jalan. Menikmati
setiap perjalanan di tengah sawah. Tak jarang, aku nongkrong
di pinggir sawah sekedar bersalam rindu dengan pemilik
keindahan alam ini. Cat putih tembok melambangkan
kesucian. Kesucian tempat menimba ilmu akhirat disini. Cat
luar hingga cat kamar semua berwarna putih. Warna yang
netral dan penuh energi positif.
Dipadu dengan gerbang tinggi yang menjulang berwarna
merah. Senada dengan warna kebangsaan, merah putih.
Asrama ini menjadi asrama terfavorit karena letaknya yang
strategis. Pertama, strategis mewah alias mepet sawah. Kedua,
jauh dari pusat sehingga kontrol tidak ketat dan ketiga asrama
yang masih baru membuat bangunan ini masih terlihat apik
dan kokoh. Memang harga lebih mahal, sedikit.
Loh, ke kota pelajar untuk nyantri kah? Eiits….. ini
hanyasebagian cerita atau cerita figuran. Ini nih cerita pendek
yang
187

bertema rumah.
Transit sebelum ke Jogja di Klaten. Sekedar merebahkan
diri karena hampir belasan jam aku dan ayah di dalam bus.
Ayah, cintamu ialah cinta “talk less do more”. Aku adalah saksi
bahwa cintamu tanpa banyak kata namun kau bertindak atas
dasar cinta. Terima kasih telah mengantar putri sulungmu ini.
Di dalam bus, butiran air mata terus menggenang. Inilah
perpisahan. Perjuangan!
Selama perjalanan, lelaki itu tak henti mengirimi pesan
kepadaku. Entah sekadar berucap rindu, sayang dan ucapan
mesra lainnya. Sesekali menelpon menanyakan dimana sopir
mengemudikan bus ini. Wakhid. Kau begitu meracuni aku
dengan cintamu. Andaikan waktu itu…

***
Kau tertunduk lesu dan aku menatap bisu. Pernyataan yang
telah kau ucapkan membuatku tak bisa berfikir jernih. Kau
meminta restu ibumu untuk meminangku meski tanpa
sepengetahuanku dan berakhirlah pada ketidakberterimaan
hal itu oleh sosok berpengaruh di keluargamu. Budhe.
Kau ceritakan kronologi yang terjadi dengan semua dialog
yang ada. Ku coba mengeja maksud lain yang ada. Ku
berterima akan semua bahwasannya cinta belum pada
waktunya. Kita, memulai semua kembali. Janjimu, segera akan
meminangku sebelum aku meluluskan studiku. Manis…
Kejadian itu, meski hanya sebatas membayangkan. Bagiku
sebuah mimpi buruk, yang ku harap tak akan pernah terulang.
Semua manis dan romantis hingga suatu saat kau begitu
188

cemburu dengan sosoknya, yang lain..

***
Cinta pertama begitu menggoda. Selanjutnya terserah persepsi
anda. Dengan hadirnya ia membantuku menelusuri dimana
lokasi kampus yang akan memberiku perjalanan panjang.
Samsay. Ia sosok lelaki yang ramah dan sederhana.
Kebaikannya tak diragukan. Ketika aku tak lagi menjadi
pasangan cintanya, ia masih bersedia mengantarku ke Jogja.
Mencari cerita yang ku reka. Menyusuri kota Jogja yang aku
belum pernah kesana kecuali bersamamu, dulu. Masa lalu.
Mencari tahu dimana lokasi asrama yang akan ku tinggali.
Kemudian berjalan ke toko buku hingga kau berikan aku
binder dengan cover Mickey Mouse. Kau sangat tahu yang aku
suka. Tak terhitung dulu hadiah darimu selalu bernuansa pink
ataupun Mickey Mouse. Kartun Disneyland itu memang
menjadi gambarkartun kesukaanku. Terlebih jika warna pink
mendominasi. Kau.. luar biasa..
***
Semua memang salahku. Pantas saja semua berakhir meski
janjimu akan selalu ku nanti. Di tengah hiruk-pikuk mahasiswa
baru di ospek, malamnya perselisihan itu terjadi. Keputusanku
mengakhiri yang memang tak pernah dimulai ku terima.
Lose contact…
Cinta.. Bawalah aku pulang ke rumah. Kerinduan ini
memuncak. Pada sosoknya di sana. Ijinkan aku memeluknya,
sesaat.
Kasih.. Dimanakah tempat yang nyaman. Menangisi
189

kesedihan hati yang begitu menyayat dan mengiris terasa ngilu


mati.
Sayang.. Aku akan segera pulang. Ku tunggu kau hadir di
rumah. Setiap sudut telah membekas kenangan tentangmu.
Namun, maafkan aku..
Aku gagal pulang kerumah. Aku gagal melampiaskan
rindu yang membuncah.
***
Awalnya aku asyik saja dengan suasana baru yang ada. Teman
baru, kamar baru, asrama baru, kampus baru dan serba baru.
Hanya masih ada kenangan lama. Dua minggu berlalu aku
merasakan kegundahan. Selain karena berpisah denganmu,
aku pun merasakan rindu dengan Mamah, Ayah dan Ciput.
Pantaslah tiap malam aku menangis. Di bawah atap asrama
disaksikan langit dalam sepertiga malam-Nya. Aku ingin
pulang… Aku rindu rumah… Aku ingin di rumah…**
190

Surat Pengganti

Alvionita Deny Saputri

Sejak kapan aku menjadi takut menghadapi


esok? Sejak aku mengenalmu. Ya, kau telah
merencanakan perpisahan sebelum kita sempat
bersama.
Dalam banyak hal kita berbeda, termasuk
cara kita mencinta. Kau mamahat kenangan,
aku membangun masa depan. Meskipun, selalu
aku yang kalah. Bangunan masa depanku
runtuh satu per satu oleh pahatan kenangan
milikmu. Aku memang tidak bergeming, aku
sangat menikmati pahatanmu dalam waktuku
meskipun itu melukai. Pahatanmu terlalu indah,
dan aku menyukai.
191

Mungkin serupa menulis, kita sama-sama


berkutat pada selembar kertas, menorehkan cerita
yang sama, berdua. tapi kau tidak pernah
mengizinkanku membuka lembar selanjutnya.
Kenapa kau tidak bisa mencintaiku dengan cara
yang sama dengan caraku mencintaimu? Sungguh-
sungguh dan jauh. Apakah kau menginginkanku?
Mesti dengan apa aku berharap kalau kau tidak punya
rasa ingin. Aku terlalu takut. Bagaimana jika aku
memilih mundur dari naskah kita dan membiarkan
mimpi-mimpi menua dan membusuk? Ya, sepertinya
memang begitulah takdirnya.

Seperti saat masa sekolah menengah, sebuah surat izin, tak akan
mampu menggantikan kehadiran seseorang. Meski setidaknya ia
memberikan kabar yang membantunya memenuhi presensi
dengan sebuah keterangan. Begitupun dengan surat ini, surat
yang kuberikan padamu di hari yang seharusnya kita bertemu.
Aku mengira bahwa surat itu cukup mampu menggantikanku
yang tak bisa menghadiri pertemuan kita. Kupikir kau akan
mencariku atau membalasnya. Tapi, tidak.
Aku tau, tak mungkin untuk menghadirkan kembali
kenangan yang telah lama sekali kutinggalkan. Kenangan yang
selalu akan menjadi kenangan walaupun sekian lama tetap ada
di waktu-waktu yang terlewati hingga saat ini. Kalau saja
waktu berwujud seperti sepasang jendela, akan kutanggalkan
bingkainya agar tidak lagi menyekat kita. Apa kabarmu kini?
192

Apakah waktu telah membawamu terlalu jauh sampai kau tak


dapat bersapa kembali dengan mawar yang dulu pernah kau
jaga?
Aku tidak pernah melupakan sosok sepertimu,
sebagaimana aku tidak pernah melupakan waktu ketika kita
pertama berjumpa, untuk kemudian saling mencinta. Terlalu
dini memang, di awal semester pertama, ketika nama
mahasiswa disandang baru saja, kita sudah menyemai cinta.
Kau memang pangeran. Bukan, aku bukan sedang
mewujudkan konotasi. Kau adalah pangeran. Bagaimana tidak,
kau tampan, penyayang dan taat pada Tuhan. Bahkan, tak ada
perempuan yang kau dekati enggan. Tanpa sebuah pencatatan
pendapat pun fakta sudah jelas berteriak bahwa aku perempuan
yang jauh dari ideal. Namun, pada kenyataannya kau memilihku.
Tidak, aku merasa bahwa kau tidak bermaksud mencintaiku.
Hanya saja hatimu begitu, dan itu jadi alasan kenapa kau sering
ragu. Kau sulit menerima kenyataan bahwa hatimu menunjukku.
Hingga pada semester yang terakhir kau memutuskan
membuat pernyataan pasti tentang kita. Tentang masa depan,
entah akan membawa kita bersama, atau berpisah sekian lama,
bahkan selamanya. Kau memintaku datang pada suatu waktu
untuk sebuah penentuan. Namun, takdir perempuan yang harus
mengalami masa peluruhan setiap bulannya, membuatku tak bisa
berkegiatan. Aku mengalami kesakitan yang kompleks setiap
masa itu datang. Rasa sakit yang tak mungkin dipahami oleh
lelaki, terkadang bahkan oleh sesama perempuan. Aku tak
mungkin datang di tempat pertemuan kita yang cukup jauh.
Berkali-kali kuhubungi lewat ponsel tak ada jawabanmu. Itulah
193

mengapa akhirnya kutulis sebuah surat. Sebagai pengganti


hadirku, yang kukirimkan melalui seorang teman.

***
Daun kering layu kekuningan dari pohon belimbing
disampingku berdiri, terjatuh, berputar tak beraturan tersapu
gelombang angin yang mengusap kulit ari tubuhku dan
menyadarkanku, membawa diriku dari kisah masa lalu menuju
alam sadar yang rasional. Ya. Aku menjejakkan kaki di kota
kelahiranmu. Kota yang tertera di KTP milikmu yang kulihat
sewaktu kuliah. Ini pertama kalinya aku datang. Setengah hari
perjalanan dengan bus.
Aku pikir bisa bahagia merelakanmu menempuh waktu
menuju masa depan, menyesuaikan dengan apa yang sudah
Tuhan gariskan, setelah surat yang kuberikan padamu tak ada
balasan, bahkan kau keadaanmu hingga sekarang pun tak
pernah kau kabarkan. Tapi ternyata kebahagiaanku utuh
ketika kau tersenyum bersamaku, bahagia bersamaku. Andai
bisa, ingin kupeluk bahagiamu itu agar tetap disini. Aku ingin
menggenggam rasamu kembali, rasa khusus dari hatimu yang
ditujukan padaku.
Mungkin kau sudah lupa dengan janji yang pernah kau
ucapkan padaku. Ku maksud adalah janji untuk memberitahuku
ketika kau berjumpa dengan gadis yang membuatmu mau
mengusahakannya dengan sepenuh hatimu, meski pun hanya
melalui suara lirih do’a. Mungkin kau sudah menemukannya kini.
Mungkin kau sudah bercinta di bawah atap rumah tangga. Tapi
ada satu hal yang aku tetap meyakininya. Kau lupa tidak
194

memberitahuku. Ya, kau lupa, bukannya tak peduli. Itulah


kenapa kakiku mantap menjejak di tanahmu, aku ingin tahu.
Aku ingin menemuimu dan menanyakannya langsung
padamu. Sungguh itukah tujuanku? Melihat orang-orang yang
berlalu lalang melewati jalan setapak yang tidak jauh dari
hadapanku, entah mengapa tiba-tiba terpikir olehku, mengapa
aku pergi sejauh ini sendiri hanya untuk mencarimu. Apakah
sungguh aku masih berharap bahwa Tuhan akan menyatukan
kita. Aku terlalu larut dengan harapan-harapan dongeng.
Orang-orang yang melintas tak acuh membuatku semakin
menyadari bahwa aku telah benar-benar tersesat dalam realita.
Bahwa harapan dongeng membuatku mengira bahwa aku akan
berjumpa denganmu dalam akhir bahagia yang mengharukan.
Aku berdiri bersandar pada rolling door yang sudah
digembok, memasukkan kedua telapak tanganku pada saku
jaket yang kukenakan. Mempersiapkan hati untuk perjalanan
pulang. Kau tetap tidak datang. Mungkin kau telah bahagia
bersamanya. Dongeng ini menjalani peran dengan sempurna
sebagaimana takdirnya untuk menjadi masa lalu yang tersesat
dalam kenyataan yang kusut.**
Epilog
196

EPILOG

Mawaidi D. Mas

PUISI DAN MOMEN

Ide adalahpengalamanberpikir.Begitupenyairmenuangkannya
melalui wadah bahasa, ide akan berkelit-kelindan antara
pengalaman imaji dan yang empiris. Karenanya, mendapatkan
momen puitik bagi penyair itu hal yang niscaya dan tidak
mudah mendapatkannya. Azizi jika benar-benar menulis
puisinya di bulan Januari, maka sebelum bulan tersebut,
katakanlah pada Agustus atau Desember, tidak akan pernah
terpikirkan menulis puisi “Hujan di Bulan Januari”. Hanya
pada Januari aku, kata aku lirik penyair, melihat/ada yang
melipat tangis di balik baju//ada yang mencari rindu dalam
buku diary/ada yang bermain luka di antara kenangan//ada
yang bertukar sunyi setengah malam. Saya meyakini, momen
puitik itu jika pun ada padabulan-bulan selanjutnya, akan
berbeda ruang pengalaman yang dirasakannya. Belum tentu
Azizi mendapatkan momen untuk memilih diam dalam
kelam//ada yang menyesal di antara kesal dan seterusnya.
Hal ini juga terjadi pada Julis Islamiyati Mawarsari yakni
pengalaman adalah hakim terbaik bagi setiap orang menurut
Woodhouse. Pada puisinya “Kopi Pahit” Mawarsari telah
mereduksi keinginannya kepada kopi—pada benda-benda
yang datang kepadanya. Jika Mawarsari ingin menggiring
197

puisinya pada sisi-sisi cinta kepada kebijaksanaan, tentulah puisi


tersebut tidak selesai pada rasa pahit yang ada ketika mata
dibuka. Bukankah sesuatu ada bukan soal mata dibuka atau tidak.
Kiranya perlu digali kembali momen puitik tersebut dan
melakukan penghampiran yang serius dengan bahasa.
Siapa pun boleh tidak bersepakat apakah setiap puisi harus
memakna? Kita tidak sedang mendebatkan apakah benda
semacam pisau ada kegunaannya. Tentu orang bijak akan melihat
siapakah yang memakai. Bukankah pisau tidak akan berarti bagi
seorang mahasiswa sastra ketika di dalam kelas? Bukankah pula
puisi akan dikatakan puisi bagi orang yang mengerti puisi?
Katakanlah pada puisi “Jika #1” dan “Jika #2” karya Dyah Retna
Palupi. Dalam konteks puisi Palupi remaja yang bersekolah
menengah pertama akan mengatakan puisi Palupi merupakan
puisi yang bagus. Yang lain puisi “Hari Tuamu” karya Yunia Tri
Mawarni. Pembaca dibolehkan menyeretnya ke konteks yang
diinginkan, bahwa puisi ini tidak menarik, tentu akan keliru jika
kita menyodorkannya kepada remaja sekolah dasar atau sekolah
menengah pertama, bahkan, tidak jarang orang yang sudah tua
pun bisa mengekspresikan kegelisahannya ke dalam puisi
semacam “Hari Tuamu”. Puisi yang tak jauh berbeda juga pada
“Alunan Asmara” karya Syafira Mahfuzi, “Tetaplah Berhati
Nyaman” karya Lutfi Afrizal Yuananta, “Suara Bumi #2” dan
“Alam” karya Faozan Tri Nugroho, “Waktu yang Kutinggalkan”
karya Anastasia Siska B, “Lelaki itu Pacarku” dan “Asu, Bajingan,
Kata Romantismu” karya Ika Nafisatur R, “Waktu” dan “Seikat
Puisi Ulang Tahun” karya Melani Yuliawati, “Bila Nanti” dan
“Yogyakarta” karya Ratna Tri Palupi, “Waktumu” karya Sri
198

Sundarti, “Fase” dan “Lelaki” karya Adi S. Sorjarmadi. Saya


akan mengerti kemudian, suasana dalam puisi juga akan
melempar seseorang pada waktu yang jauh, yang telah berlalu
maupun sedang akan berlangsung.
Puisi yang lain adalah “Darul Fana” karya Risa Hafida
Indradini, dalam proses yang tidak pasti, waktu telah
melemparkannya ke momen yang sedang akan berlangsung.
...tanpa utara, selatan, timur, bahkan barat//angin buritan yang
kugenggam//berbisik kepadaku untuk memilih jalan yang
kanan//. Penyair melalui bahasa bisa menafsirkan, yangtelah
terjadi maupun yang tidak. Sekali lagi, pembaca boleh
mendebatkan apakah Indradini sedang meramalkan hari
kiamat sebagai yang akan terjadi atau yang tidak. Siapa pun
juga boleh bertanya, kapan sebenarnya hari kiamat? Seperti
apa bentuk hari kiamat? Kalau kita berpendapat bahwa kiamat
adalah hari setelah waktu di dunia, mengapa kiamat sebagai
yang darul fana—rumah yang akan habis. Dengan demikian,
asumsisementara, dunia juga berarti yang kiamat, yang darul
fana? Tetapi, darul fana juga dapat sebagai sebuah mimpi,
mimpi dalam tidur, yang siapa pun dibolehkan
mendapatkannya, dan bebas mengekspresikannya.
Dan di sini, ide akan melempar ke waktu yang tetap. “Sepi
Benar-Benar Sepi” karya Nuri Handiyani. Subuh menjadi
tempatpaling akhir untuk sepi//sebab hanya dia ibu terakhir
dari segala sepi//. ***
199

ESAI DAN HAMBA YANG PEMALAS

Di manakah posisi esai? –dalam hal ini esai sastra, ia tulisan


berupa suatu bahasan mengenai sastra, teks sastra; kritik
misalnya, yang memberikan sumbangsih gagasan di dalam
materi garapan. Materi sastra, di dalamnya seni dan budaya
seperti dua kutub yang terus berhubungan, baik di wilayah
mikro ataupun yang universal. Sastra sisi lain tak ubahnya
medium, sementara seni dan budaya bebas kapan saja masuk
ke rongga gagasan pengarang. Di sini esai, baik esai sastra atau
nonsastra, jelas mementingkan subtansi daripada bentuk yang
oleh para akademikus sangat dijaga turun temurun.
Surat-surat HB. Jassin bisa saja ditolak sebagai suatu
tulisan yang tidak teruji oleh kalangan akademis. Berbeda
dengan tulisan Budi Darma, Abdul Hadi W.M, Sapardi Djoko
Damono, Suminto A. Sayuti yang oleh siapa saja akan
dianggap akademis dan teruji. Mereka seorang akademisi. Dan
Budi Darma dalam sejumlah esainya, baik di Solilokui (1993)
jauh dari istilah akademis. Nirdawat adalah seorang tokoh
dalam esai Budi Darma. Nirdawat yang oleh Budi Darma bisa
menjelma siapa saja, termasuk kritikus fiktif, atau menjadi
sosok Budi Darma sendiri. Di belahan yang lain dunia
akademiknya menuntut untuk ilmiah dan objektif. Sifat dari
esai akademis jauh dari subjektivitas seorang pengarang. Dan
buku Harmonium (1995) menunjukkan itu.
Dalam Kembali ke Akar Kembali ke Sumber (1999) Abdul
Hadi W.M membuat jarak dengan tulisan-tulisan lainnya yang
bersifat akademis. Sapardi Djoko Damono dalam salah
200

satu bukunya Politik Ideologi dan Sastra Hibrida (1999) juga


membuat jarak yang sama, begitupun dengan Suminto A.
Sayuti dalam Semerbak Sajak (2000). Hanya di dalam buku
SemerbakSajak Suminto A. Sayuti sangat cair menguraikan
pokok-pokoksoal sastra, terutama puisi yang menjadi orientasi
kritiknya. Sementara di bukunya yang lain, Berkenalan dengan
Puisi (2000), Berkenalan dengan Prosa Fiksi (2000), orientasi
penulisannyatakzim akan kode etik fakultas.
Bukan tidak mungkin, oleh para akademisi yang lain, baik
dosen atau mahasiswa, jenuh akan kode etik penulisan esai
yang pengarang harus berjarak dengan objek, dan boleh
mengintiminya melalui seperangkat metode dan teori yang
siap terhidang. Bisa saja konsep-konsep yang serba kode etik
tersebut justru menjadi sebuah jurang yang menjebak
akademikus yang melulu menghindar dari posisi subjektif.
Tapi, baiklah. Tidak ada yang salah dan tidak ada kebenaran
mutlak. Posisi esais yang menempatkan dirinya subjektif atau
objektif, yakni antara persoalan kenyamanan dan kepentingan.
Nyaman sebagai diri yang personal dan kepentingan sebagai diri
yang komunal. Yang dirasakan Budi Darma dalam esai-esainya
ialah nyaman sebagai diri yang personal. Sementara Abdul Hadi
W.M, Sapardi Djoko Damono, dan Suminto A. Sayuti
mengingatkan saya pada istilah kritik sastra akademik, kritik
sastra semi akademik, dan kritik sastra nonakademis.
Pertama, makna kritik tentu akan mengarah pada
penghakiman sebuah karya apakah baik atau apakah buruk.
Kedua, buanglah makna tersebut, dan menjelaskan sebagai yang
akademik, semi akademik, dan nonakademik lebih relevan.
201

Kritik sastra akademik yang dimaksud ialah kritik yang wilayah


bahasannya dituntun oleh kode etik fakultas yang sarat akan
konsep metode penelitian dan sebagainya. Kritik sastra semi
akademik yang dimaksud ialah kritik yang wilayah bahasannya
lebih bebas daripada kritik akademik. Apakah ada takaran? Di
antara keduanya terletak pada cara pencatutan pendapat,
penggunaan metode teoretik, dan penyantuman kutipan.
Sederhana. Kritik sastra nonakademik ialah kritik yang keluar
dari jalur akademik, dan tidak ada pengujian secara akademik
pula. Kritik sastra semacam ini katanya bisa didapatkan di koran-
koran dan ditulis oleh yang bukan akademisi.
**
Apa pun bentuknya, esai dalam buku ini sudah berusaha
tampil maksimal. Kita sadar setiap usaha yang belum maksimal
akan mendapatkan hasil yang sebanding pula. Esai sastra
memang tidak memiliki patokan dan tidak akan pernah ada
patokan. Serupa dengan cerpen atau puisi atau drama. Esai sastra
dituntut untuk terus melakukan percobaan-percobaan dalam
rangka mendapatkan sinergi dan mencari intelektualitas materi.
Hal ini bisa berupa orientasi kritik dan terapan.
Esai “Kedok Sebuah Amoralitas dan Gangguan Sebuah Era
dalam Cerpen Lelaki Tanpa Celana” yang ditulis oleh Muhammad
Mabdaus Salam menguak kembali tragedi 65. Esai ini tak jauh
berbeda dengan esai “Ungkapan Emosi di Balik Goresan Tinta”
karya Najmi Fajria yang mencomot cerpen Jokpin sebagai topik
bahasan pula. Kedua esai ini bagai makanan yang bahannya
terdiri dari sayur-mayur yang paling klasik, yang dikemasnya
kembali karena mendapatkan momentum. Dan tidak ada
202

perspektif baru, baik tinjauannya terdahap cerpen tersebut,


maupun terhadap zaman Orde Baru sendiri.
Kasus selanjutnya terjadi pada esai “Menembang
Asmaradhana sebagai Refleksi Diri dalam Puisi Asmaradhana”.
Seandainya Kurniani Oktaviani menyertakan tembang
Asmaradhana yang dimaksud, perspektif baru akan muncul
sebagai studi bandingan atau studi interteks. Selama ini, puisi
Goenawan Mohamad tersebut disebut-sebut terus
intertekstualitas dari legenda jagat pewayangan tokoh Damar
Wulan dan Anjasmara.
Esai-esai apresiatif yang lain seperti yang “Yang Tak
Sekadar Bercerita” karya Risma Erniyati, “Viktimologi Pelacur
Lesbian Novel Maman Suherman” karya Arif Kurniatama,
“Tragedi Sejarah yang Terlupakan” karya Rizki Ariviana,
“Perempuan dan Kasta dalam Novel Tarian Bumi karya Oka
Rusmini” oleh Reza Nur Dwiriastuti, “Arok Dedes, Pram, dan
Karya-karya Lainnya” karya Ayu Chandra, “Pertentangan
Ideologi dalam cerpen Ikan Kaleng” karya Maratul Azizah,
“Butuh Apresiasi, Pemerintah Juga manusia” karya
Muharromatus Saadah merupakan esai yang kita kenal dan
dapati sebagai sebuah karya ulasan, resensi atas karya sastra.
Sejauh ulasan yang dipakai bagus, dan menawarkan tinjauan
yang orisinal, akan menjadi sumbangsih pemikiran baru.
Berbeda denga esai yang tidak menjadikan karya sastra
sebagai objek kajiannya secara langsung. Esai “Representasi Seks,
Perempuan Membungkam Laki-laki” karya Frans Apriliadi yang
menawarkan wacana eksistensi laki-laki sebagai sastrawan yang
memiliki kekuasaaan tempat dalam mengeksplorasi ide
203

seksualitas. Dan ekstremnya, gagasan semacam ini tampak


menjadi salah satu gerakan politik kaum laki-laki yang
sastrawan. Berbeda dengan perempuan yang secara
eksistensial dikekang dan menurut Frans sendiri “banyak
cibiran, penolakan, bahkan penyudutan”. Kasus ini saya
teringat pada sebutan “sastrawangi” atau “sastra selangkangan”
yang diserukan oleh Taufik Ismail pada saat itu.
Selain Frans, terdapat pula esai berjudul “Guru: Kunci
Keberhasilan Pembelajaran Sastra di Sekolah” karya Tantri
Darmayanti dan karya Oktavia Fitriani berjudul “Seni Karawitan
sebagai Implementasi Nilai Karakter”. Esai Tantri Darmayanti
merupakan sebuah kritik atas fenomena para pembelajar sastra
yang gagal mendidik siswa. Tantri memaparkannya secara rinci,
mulai cara mencintai sastra, mengapresiasinya, dan
mencontohkan pembacaan puisi yang baik. Kritik ini tidak
mungkin tidak berdasar, atau tidak pernah terjadi di lingkungan
akademik. Sebagai calon pendidik, tentu ini sangat penting, dan
menjadi modal untuk menjadi pembelajar yang diimpikan. Sebab
pada mulanya, cara mencintai sastra berawal dari para guru
bahasa dan sastra, maka esai ini menjadi penting.
Esai Oktavia Fitriani sebagai refleksi atas tantangan
kehidupan kontemporer. Tinjauan ini disandarkan pada
filsafat seni karawitan masyarakat Jawa. Adalah menjadi ironi
apabila musik karawitan tidak lagi menjadi falsafah hidup
orang Jawa, dan menjadikan musik Barat sebagai seni hidup.
Kegamangan ini nyaris sebagai kekerasan epistimologi
meminjam istilahnya Edward W. Said.
Esai-esai yang saya baca, baik yang terpilih dalam buku ini
204

atau tidak, sengaja atau tidak, telah ada yang ditulis sebelum
tugas penulisan kreatif esai dimulai. Artinya, esai yang saya
baca merupakan tugas mata kuliah lain, yang oleh penulisnya,
sadar atau tidak, sesuatu yang mustahil dapat ditengarai
sebagai yang tidak kreatif dan hamba pemalas.

PRESENSI, GODAAN IMAJINASI,


DAN DOSA BERSAMA

1]
Seorang narapidana boleh saja dikurung bertahun-tahun
di sebuah kamp pembuangan. Tapi tidak jarang seorang
narapidana, yang dikurung di sebuah penjara, yang kesepian
dan rudin, tidak ada yang bisa menghalanginya menulis
sebuah catatan, novel atau puisi.
Di sebuah pesantren yang ketat, padatnya kewajiban
pesantren, tidak bisa ditolak, pelan-pelan muncul seorang santri
yang diam-diam menulis catatan tentang dirinya, baik berupa
prosa maupun puisi. Tugas-tugas kepesantrenan itu, serta akses
informasi, bacaan, dan interaksi sosial yang dibatasi adalah
kesunyian yang hanya bisa dibunuh dengan cara menulis.
Sekarang sebaliknya, di tengah banjir bandang arus
informasi, hujan deras penerbitan buku, interaksi sosial yang
kapan saja bisa dijamah, di sebuah ruang kelas yang terdiri
dari 20-an orang jumlahnya, tengah saling menyepakati ingin
menulis sebuah cerita pendek dengan tema “presensi”. Mereka
tidak akan menulis di ruang tersebut, cerita pendek bertema
205

“presensi” tersebut diselesaikan di hunian masing-masing,


dengan bacaan yang sebebas-bebasnya, dengan tanpa batasan
interaksi dan kesunyian yang bagi Chairil adalah milik mereka
masing-masing.
Diksi “presensi” bukanlah kata yang harus muncul di dalam
sebuah cerita tanpa ada persinggungan khusus dengan tema yang
dibawa. Sepintas, godaan yang muncul di pikiran masing-masing
adalah cerita pendek yang bertemakan pendidikan; kisah pada
sebuah sekolah atau kisah pada bangku kuliah. Sepintas pula
godaan yang muncul adalah cerita pendek bertemakan sosial;
kisah seorang perangkat pemerintahan dan kehadiran di ruang
kerjanya tak lebih hanya sekadar memenuhi presensi belaka.
Tema yang digali terakhir ini akan menarik bila kita kaitkan
dengan ajaran-ajaran pada kitab Hammurabi, kitab yang
mengajarkan serangkaian kesusilaan yang berasal dari zaman
kuno: berbuatlah begini atau seharusnyalah berbuat begini atau
hendaklah berbuat begini dan tidak berbuat begitu, atau:
singkirkanlah hal itu (De Vos, 1987:3).
Menurut Chairil dalam sajaknya yang berjudul Senja
diPelabuhan Kecil, “Pembatasan cuma tambah
menyatukankenang” katanya. Larik sajak Chairil
mengingatkan saya Pramoedya Ananta Toer, Salman Rushdie,
dan Anne Frank melalui catatan harian tentang dirinya yang
mengalami tekanan dan alienasi seorang bocah perempuan
pada situasi Perang Dunia II.
Kira-kira apa yang terjadi pada cerita pendek yang dibatasi
dengan tema “presensi”, apakah pembatasan cuma tambah
menyatukan kenang?
206

[2]
Suatu malam, saat di luar kamar hunian saya, dan di luar
kamar hunian warga lain yang tinggal di Papringan dan
sekitarnya, gerimis masih tak kunjung reda. Susunan lembaran
kertas saya ambil yang sudah teronggok berhari-hari lamanya
di atas rak buku. Saya menyesal tidak langsung membacanya
di hari saya mendapatkan draf cerita pendek itu. Saya
penasaran ingin membaca cerita pendek dengan tema
“presensi”. Tulisan yang bertema bukankah termasuk suatu
pembatasan? Batasan tersebut adalah penjara bagi setiap diri
mereka yang menulis. Dan batasan itu pula tidakkah
memungkinkan bagi setiap diri mereka yang menulis tidak
dapat dipenjarakan pikiran dan gagasannya?
Saya ambil dari tumpukan teratas cerita pendek berjudul
Cerita karya Santi Hadi Saputri. Ini cerita dengan tokoh
utamayang tidak mudah ditebak: siapa tokoh si aku? Tokoh si
aku muncul pertama kali dalam cerita ini di sebuah sore tepat
di depan rumah seorang tokoh lain bernama Margaret. Saat
tahu rumah itu dijual, tokoh aku pergi dan keluar dari
kompleks perumahan itu. Tokoh aku melihat seorang anak
gadis yang turun dari bus dan tertarik mengikuti anak gadis
itu hingga tiba di rumahnya. Di rumah anak gadis itu tokoh
aku berhenti di halaman rumahnya dan berteduh di sana. Tapi
anak gadis itu tidak menunjukkan rasa suka terhadap si aku.
Dan hanya ayah si gadis yang menunjukkan rasa sebaliknya;
memberi makan kepada tokoh aku dan tak pernah
mengusirnya. Tampaknya, kamu harus baca sendiri cerita
pendek yang
207

genial itu dan kerap memberikan kejutan-kejutan pada tiap


adegannya. Teknik alur yang dipakainya adalah alur mundur
dengan jalan cerita: paragraf pertama adalah penutup cerita
dari paragraf-paragraf setelahnya. Judul cerita pendek ini
memang tidak menarik. Dan si penulis memang kewalahan di
bagian itu, atawa sengaja Santi mendekonstruksi judul cerita
pendek, yang kita tahu ada banyak cerita pendek dengan judul
yang mewakili isi cerita. Dan cerita pendek Santi ini juga
mewakili isi cerita sebagai sebuah Cerita. Maka, cerita pendek
Santi tidak bisa disebut sedang mendekonstruksi.
Pada cerita pendek berjudul Senyum Adelia karya Hiqmah
Apriliyani, seandainya paragraf awal yang didaktik ini tidak
ada, akan jauh lebih menarik jika langsung cerita ini dimulai
dari paragraf kedua. Deskripsi retorik cerita ini kuat dan
penggambarannya juga rinci. Meskipun, tema utama cerita
pendek ini jatuh pada jalinan kasih antara Adelia dan Al,
pacarnya yang meninggal pada sebuah kecelakaan (kecelakaan
itu secara implisit, tidak ada adegan langsung dan tidak ada
narasi panjang bagaimana kecelakaan itu terjadi). Bukan tidak
mungkin tema seperti ini membuat satu keutuhan cerita
pendek Hiqmah menjadi buruk, hanya saja, jika kembali
kepada tema akan mendapat respons bahwa cerita pendek
semacam ini sudah klise.
Sekali lagi, dan ini yang menolong Senyum Adelia sebagai
cerita pendek yang bisa dikatakan selesai, adalah deksripsi
retorik: cara menghidupkan benda-benda mati yang
dideskripsikan menjadi bagian dari latar suasana yang seolah-
olah hidup.
208

Ini adalah cerita pendek selanjutnya, dengan awalan kisah


seperti ini: Sejak kapan aku menjadi takut menghadapi esok?
Cerita pendek ini berjudul Surat Pengganti, judul yang bagus dan
ringkas. Cerita pendek karya Alvionita Deny Saputri adalah cerita
yang kalimat-kalimat di dalamnya sarat dengan analogi filosofis.
Misalnya, ada kalimat seperti ini di dalam cerita pendek ini: Kalau
saja waktu berwujud seperti sepasang jendela, akankutanggalkan
bingkainya agar tidak lagi menyekat kita.
Kalau kita membaca Sepotong Senja untuk Pacarku karya
Seno Gumira Ajidarma, yang tertancap di kepala pembaca seperti
saya adalah kisah heroik tokoh aku untuk mendapatkan sepotong
senja dan mengirimkannya pada tokoh Alina. Cerita pendek
semacam ini sangat hidup dan membangkitkan emosi
pembacanya ketika memakai sudut pandang orang kedua: aku-
kamu, baik terbatas ataupun tidak terbatas. Kasus cerita pendek
seperti Surat Pengganti tidak jauh berbeda, dengan sudut
pandang orang kedua terbatas, Alvionita mengaduk-aduk sisi
psikologis tokoh aku di sepanjang cerita. Cerita pendek ini
bercerita soal hubungan cinta kasih antara perempuan dan laki-
laki, dan di dalam cerita pendek ini antara tokoh aku dan kamu
yang “berkhianat” dan menurut istilah anak remaja yang kekinian
“pemberi harapan palsu”.
Saya akan mengatakan cerita pendek Alvionita bisa lebih
panjang dan lebih dalam membuat konflik cerita. Jika cerita
pendek ini berhenti pada adegan tokoh aku tiba di kota tokoh
kamu, dan kemudian memutuskan pulang karena tidak datang
tokoh kamu, akan hambar dan membuat pembaca tidak
mendapat apa-apa, kecuali cara berkisah Alvionita yang puitis
209

dan filosofis. Menarik juga.


Siska Kartikasari, tampaknya penulis cerita pendek
berjudul Nomor Absen Lima ini memiliki bakat menulis cerita
pendekremaja atau novel bergenre teen literature. Membaca
cerita pendek ini saya teringat Irwan Apriansyah Solihin,
teman saya yang penyair. Ketika suatu hari teman-teman
memujinya karena karyanya bagus dan bisa membaca masa
depan, Irwan Apriansyah berkata, “Aku mah apa. Aku hanya
butiran debu.” Kita tahu itu metafor. Teman saya yang satu ini
jauh lebih ekstrem memberikan perumpamaan bahwa dia
orang yang rendah hati (low profile). Namanya Danang Setya
Budi, teman saya yang cerpenis; belajar menulis kepada Irwan
Apriansyah Solihin. Suatu hari ketika teman-teman memuji
cerpennya yang sarat dengan realisme magis, sebagaimana
kata kritikus Dr. Wiyatmi, dosen Sastra Indonesia UNY, Budi
menjawab, “Aku mah apa. Aku hanya secuil upil.”
Ternyata, dalam cerpen Nomor Absen Lima juga ada kalimat
yang tak jauh beda dengan apa yang saya dengar dari kedua teman
saya itu. Misal ada kalimat seperti ini dalam sebuah dialog: “Ya nggak
mungkinlah Ran, dia siapa, aku siapa, dia begitu jauh tak tergapai...”
Di dialog yang lain, terdapat pula kalimat semacam ini: “Aduh Rani,
dia tuh cuek banget tau, jangankan mau PDKT, nyapa aja ogah dech,
takut dianggap angin lewat aku, kan ngeri...”
Baik apa kata kedua teman saya itu, atau dialog dalam cerpen
Siska, semuanya adalah metafor, yang sama-sama memiliki
maksud baik. Model dialog yang demikian itu, dalam sebuah
genre teenlit dituntut muncul seiring kebutuhan pembaca dan
perkembangan sosialita anak muda kontemporer. Maka
210

tidak salah jika kehadiran teenlit perlu disambut baik, selama


orientasi pembacanya juga tepat. Akan salah kemudian jika
seorang mahasiswa, apalagi mahasiswa Sastra, masih doyan
membaca karya bergenre teenlit. Bukan tidak mungkin jika
mahasiswa yang demikian, mahasiswa Sastra, selain dirinya
yang bermasalah secara bacaan, atau tugas akademik yang
sedang menuntutnya membaca karya demikian.

[3]
Kini saya sepenuhnya sadar, bahwa Murhawi benar, pada
suatu saat dia mengatakan bahwa tak ada penulis pemula yang
tidak terpengaruh oleh penulis sebelumnya, dalam arti yang
lebih spesifik terpengaruh oleh karya yang disukainya. Tidak
salah kemudian jika Zaim Rofiqi, dalam pengantar buku
puisinya Lagu Cinta Para Pendosa (Pustaka Alvabet, 2009)
menulis seperti ini, “Seorang tokoh baru di bidang tertentu
harus berani bersikap kurang ajar—“berdiri di pundak tokoh-
tokoh sebelumnya”.
Seorang Tokoh Baru dimaksud di sini lebih kepada sebuah
proses untuk menjadi sebenar-benarnya Seorang Tokoh.
Walaupun, tidak ada sebenarnya Seorang Tokoh yang sebenar-
benarnya Tokoh. Seorang Tokoh yang benar-benar Tokoh,
biasanya tidak pernah menganggap bahwa dirinya adalah Seorang
Tokoh. Dan Seorang Tokoh itu tak akan pernah memaksakan
orang lain, para muridnya, untuk mengikuti Tokoh tersebut,
apalagi memaksa untuk membaca buku-buku yang ditulis oleh
Tokoh tersebut. Seorang Tokoh yang sebenarnya, sejatinya, kerap
akan selalu menganggap dirinya sebagai seorang
211

penyampai, pengantar, kepada sebuah fase yang hanya dan tak


ada seorang pun tahu kapan Petunjuk datang padanya.
Maka dalam cerita pendek berjudul Pilu karya Septi Wuryani,
tokoh Mbah Mo bukanlah sebuah tokoh seperti yang saya
katakan di atas. Mbah Mo adalah tokoh rekaan Septi yang
mengalami tekanan batin. Ketika Mbah Mo hendak memutuskan
untuk menanggalkan kejandaannya, dua anaknya tidak sepakat
dan tiba-tiba merantau ke Jakarta. Sampai Mbah Mo meninggal,
keinginan yang sangat kuat menanti kedatangan dua anaknya,
dan rasa bersalah kepada mereka, di bawa ke liang lahat yang tak
seorang pun paham soal itu.
Cerita pendek itu cara menguraikan suasana mengingatkan
saya pada Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, begitu
detail, dan saya mendapati suasana perkampungan tak bernama
itu, serasa seperti sebuah lukisan realis Basuki Abdullah, seniman
asal Surakarta tersebut. Di wilayah itu, Septi berhasil membuat
cerita pendeknya mempesona, dan bahkan, jika Septi tidak
terburu-buru menyelesaikan cerita pendek ini, saya rasa tokoh-
tokohnya tidak begitu saja dibuat menjadi mati (tokoh Mbah
Mo). Kematian di akhir sebuah cerita pendek, tak lebih dan tak
kurang hanya sebuah cara seorang pengarang yang tidak kreatif
membuat penutup sebuah cerita.—dan tidak semuanya.
Ada yang cerita pendek yang mengangkat tema sekolah.
Bukan sesuatu yang baru, beberapa cerita pendek di atas, yang
sudah saya baca itu, meletakkan tema pendidikan di lingkungan
sekolah karena tuntutan kata “presensi”. Sehingga cerita pendek
tidak murni bertemakan “presensi”, tetapi “presensi” hanya
menjadi kata yang melengkapi suatu kalimat dalam sebuah
212

paragraf. Tema yang demikian ada pada cerita pendek Jam


karya Kurniani Oktaviani. Cerita ini mengisahkan
pemberontakan batin seorang siswa karena sebuah perlakuan
guru yang tidak adil, semena-mena dan tidak pengertian.
Kasus cerita seperti ini ada pada cerita pendek Presensi karya
Erlina Hidayati. Cerita pendek ini tidak bisa saya masuki
sebagai sebuah cerita yang utuh. Ketika saya membacanya
berulang-ulang, ada banyak potongan adegan yang tidak
memiliki korelasi antaradegan. Praduga yang selanjutnya,
kasus seperti ini adalah kesalahan pembaca, atau kritikus yang
tidak memiliki kapasitas untuk memahaminya.
Tetapi, dahaga akan sebuah cerita yang selesai “bercerita”,
terobati ketika cerita pendek Sandera karya Ulfa Windarti saya
baca. Sebagai suatu cerita Ulfa selesai dalam mendongeng.
Alur, sudut pandang, penokohan; cukup jelas. Sayangnya, Ulfa
tidak membiarkan cerita pendek ini mengendap di dalam
pikirannya, untuk kemudian disentuh kembali, dengan posisi
dirinya sebagai seorang editor. Kesan yang dapat saya rasakan
ketika membaca cerita pendek ini adalah ketergesaan
memegang kendali jalannya cerita. Fase seperti ini, seorang
pengarang pemula (biasanya) seolah-olah dikejar oleh sesuatu
yang tidak jelas. Dan ini penyakit bagi pemula yang selalu
menghendaki kemudahan dalam menyelesaikan sesuatu.
Perlu kiranya memberikan sebuah tempo pada cerita
pendek yang memiliki “waktu peristiwa” yang panjang. Sebagai
sebuah misal, ada cerita pendek yang tidak perlu memakan
waktu selama berhari-hari peristiwa dalam cerita tersebut
berlangsung, bahkan bisa sehari atau beberapa jam saja. Dan
213

seterusnya, ada cerita pendek yang memakan waktu selama


berhari-hari, berbulan-bulan, dan tahun. Cerita pendek yang
demikian, potensial dapat dinovelkan karena sudah memenuhi
tempo peristiwa dalam cerita.
Dua cerita pendek selanjutnya Otak Kriminal karya Arief
Kurniatama dan Presensi Hitam karya Isnaini bergerak di wilayah
yang absurditas. Otak Kriminal menjadikan “presensi” sebagai
pokok cerita, kemudian beberapa tempelan kisah muncul sejak
dimulainya cerita tersebut. Cerita pendek ini hendak mencoba
memberikan simbol-simbol dari kata “presensi” yang oleh
pembaca dapat ditafsirkan menjadi apa saja sesuai konteks cerita.
Ada kisah tentang kehidupan birokrat yang korup; ada kehidupan
seorang politisi yang juga demikian; Arief Kurniatama juga
memasukkan ruang-ruang kelas sekolahan dalam cerita ini.
Cerita pendek ini menarik sebenarnya. Cara memberikan
simbol-simbol itu, dengan kata kunci “presensi” tersebut, yang
terkesan dipaksa, cerita ini menjadi absurd, tidak memiliki
transparansi. Kalimat ini bisa saja sedikit yang menerima. Di
banyak cerita pendek pengarang besar, semisal Danarto, juga
bergerak di wilayak absurditas, dan banyak cerpennya disebut-
sebut surealis. Tidak bermaksud membandingkan antara Arief
Kurniatama dengan Danarto, tetapi Arief, perlu membaca
karya Danarto terutama bukunya Godlob (Tikar, 2004). Arief
juga perlu mengenal cerita-cerita Indra Tranggono, yang tekun
menggarap tema-tema birokrasi yang sangat menarik.
Presensi Hitam karya Isnaini keabsurdannya
disebabkankarena Isnaini malas untuk mempermainkan
bahasa. Tak jarang di beberapa kalimat, lebih baik banyak
pantas menjadi
214

puisi daripada sebagai sebuah prosa. Yang menarik dalam cerita


pendek ini—jika diolah kembali—tokoh dokter yang
memperlakukan para pasiennya (dalam cerita ini pasiennya hanya
satu dan berkali-kali pasien tersebut yang ditangani) dengan cara
yang aneh. Sayangnya, keanehan tersebut dibunuh oleh Isnaini
dengan cara memberikan karakter kepada tokoh dokter yang
penakut karena selalu membunuh bayi yang lahir tersebut.
Artinya, jika tokoh dokter tersebut tidak demikian, pembaca jauh
akan penasaran; siapa dan ada apa dokter tersebut membunuh
setiap bayi dan hidupnya tenang-tenang saja? Saya akan langsung
teringat dengan tokoh-tokoh absurd Budi Darma. Dan dalam
posisi ini, Isnaini punya hak untuk memperlakukan tokoh-tokoh
dalam ceritanya.
Cerita yang berjudul Kolom Presensi ini tidak klise karena
memiliki teknik yang unik. Gayanya sama dengan cerita
pendek karya Septi Hadi Saputri di atas, penutup ceritanya
diletakkan di atas, dan narasi berikutnya adalah kisah latar
belakang dari penutup tersebut (flashback). Angela Merici
Reni P sangat genial mengaduk emosi pembaca melalui
napasnya yang panjang memperlakukan cerita pendek ini.
Cerita pendek Angela tampaknya adalah cerita terpanjang
yang saya baca dengan cerita yang tanpa diduga selesai begitu
saja, karena begitu penasarannya terhadap tokoh Lani yang
diperlakukan tidak wajar oleh ayah tirinya.
Tema seperti ini banyak bertebaran di sekeliling kita, dan
akan menjadi tugas Angela bahwa, lebih menarik mana cerita
pendek ini dengan sinetron yang tak jauh berbeda kisahnya
dengan ceritanya?
215

Jalan Menikung karya Oktavia Fitriani merupakan ceritayang


sedih, cerita yang tidak diinginkan terjadi oleh tokoh utama
(aku). Segi cerita tidak terlalu menarik. Membaca cerita pendek
ini kita harus melihatnya dari sisi pengarang (Oktavia) dengan
teknik penceritaan aku-an. Cerita ini bukanlah suara bawah sadar
pengarang dengan cara ber-”gumam”, tetapi lebih kepada suara
pengarang yang asli “cercaan”. Sama halnya dengan cerita pendek
Kebun Karet Bertetes Tragedi karya Frans Apriliadi.
Model cerita seperti ini biasanya menyimpang dari eufimisme,
karena tampaknya lebih nyaman membangun cerita sesuai
karakter tokoh, dan konteks cerita yang terjadi.
Lihat pada Jalan Menikung: “Mamak! Wajahmu tampak
suram sekali sepagi ini. apa mulut tetangga terlalu bising
seperti knalpot kampanye?...” Di dalam Kebun Karet Bertetes
Tragedi : “Mentang-mentang punya burung berlimpah uang,
seenaknya saja berganti liang wanita. Cuiihhhh.... Toke sialan.”
Cerita karya Frans Apriliadi menarik. Mengangkat
kekerasan, pengkhianatan, dan penindasan. Tokoh aku dalam
cerita tersebut bekerja kepada seorang tengkulak karet
bernama Toke, yang menindas pekerjanya untuk lebih banyak
mendapat getah setiap hari. Tetapi, Toke berencana lain di
belakang penindasan tersebut agar para pekerja tersebut
menjual kebun karetnya. Kebun karet milik warga tersebut
dicuri oleh maling suruhan Toke.
Pada penutup cerita, yang paling menarik juga, saat orang-
orang sudah tahu bahwa Toke adalah perancang dari peristiwa
tersebut, Sapri salah seorang warga terlebih dahulu
membunuh Toke dengan cara menggorok lehernya.
216

Cerita pendek Kolam Koi karya Ayu Chandra Sukmawati


tak kalah menarik dengan cerita Kebun Karet Bertetes Tragedi.
Cerita ini juga mengangkat penindasan, pengkhianatan, dan
kekerasan. Tetapi, teknik bercerita Ayu lebih santai dan tertata
dibanding Frans Apriliadi.
Kolam Koi bercerita tentang pertentangan antarkepala
desadengan sekretarisnya. Sekretaris tersebut, yang adalah ayah
dari tokoh aku, seorang bocah perempuan, menolak
pembangunan industri karena sawah-sawah milik warga dibeli
dengan harga murah, serta diberi janji-janji palsu. Dengan
konsekensi nyawa, ayah tokoh aku meninggal dengan cara
diracun agar tidak menghalangi proyek pembangunan industri
tersebut.

[4]
Dari sekian cerita pendek di atas, apakah pembatasan cuma
tambah menyatukan kenang? Pada cerita pendek di atas, ada
batasan yang cuma menyatukan kenang, ada cerita pendek yang
(barangkali) tidak menyatukan kenang (sama sekali). Kalau
dipandang dari luar diri pengarang, yang mengemuka dari tema
yang disepakati adalah “keterpaksaan”, “ketidakmampuan”. Dan
biarlah, ini menjadi dosa bersama, antara saya, Prof. Suminto dan
teman-teman yang menulis cerita pendek ini.
217

TENTANG PENYUSUN

PIRANTI KATA merupakan kumpulan pemikiran kreatif


teman-teman alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
kelas A angkatan 2012 yang berasal dari berbagai daerah dan
dipertemukan dalam sudut pandang yang sama. Kumpulan
tulisan yang menjadi tempat menyampaikan keluh kesah yang
mengganggu pikiran dalam balutan imajitif. Piranti kata menjadi
hasil kerjasama yang terbangun cukup lama sehingga
meninggalkan kenangan, keluh kesah, dan perjuangan. Piranti
kata menjadi hasil akhir keras yang menjadikan penyusun dalam
ikatan keluarga.

Tim Penyusun:

Puisi
Azizi – Juli Islamiyati Mawarsari – Dyah Retna Palupi Risa Hafida Indradini –
Nuri Handiyani Lutfi Afrizal Yunanta – Ika Nafisatur R – Melani Yuliawati
Yunia Tri Mawarni – Faozan Tri Nugroho – Sri Sundarti Syafira Mahfuzi –
Anastasia Siswa B – Ratna Tri Palupi – Adi S. Soejarwadi

Esai
Kurniani Oktaviani – Arief Kurniatama – Oktavia Fitriani – Risma Erniyati
Muharromatus Saadah – Tantri Darmayanti – Maratul Azizah Ayu Chandra S –
Najmi Fajria – Frans Apriliadi – Muhammad Mabdaus Salam Rizki Ariviana –
Siska Kartikasari

Cerpen
Kurniawan Haryo S – Santi Hadi Saputri – Ulfa Windarti – Septi Wuryani
Fitriani Widyo Putri – Hiqmah Apriliyani – Angela Merici Reni P
Putri N. Wulandari – Isnaini – Erlina Hidayati – Lilik Windardi
Shalakhudin Rahmat – Wida Merliana – Alvionita Deny Saputri

Epilog
Mawaidi D. Mas

Anda mungkin juga menyukai