Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus atau biasa dikenal oleh masyarakat awam sebagai

penyakit kencing manis merupakan penyumbang angka kematian tertinggi ke-

3 setelah hipertensi. Penyakit tidak menular ini rentan dialami oleh seseorang

yang memiliki riwayat keluarga DM, usia ≥ 45 tahun, suka merokok, pola

makan tidak sehat, adanya riwayat darah tinggi, malas berolahraga, serta IMT

yang tidak normal (Suci & Ginting, 2023).

(Bruner dalam Fatih et al., 2023) berpendapat bahwa penyakit tidak

menular ini terbagi menjadi dua tipe yaitu tipe I dan tipe II. Pada penderita DM

tipe II, respon tubuh terhadap insulin mengalami penurunan dan bahkan

pankreas tidak mampu menghasilkan insulin seperti biasanya. Keadaan tersebut

mampu memicu terjadinya hiperglikemia yang menyebabkan komplikasi

metabolic akut diantaranya yaitu diabetes ketoasidosis dan hiperglikemik

hiperosmoler nonketotik. Ketika kondisi ini terus berlanjut, maka mampu

menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh diantaranya yaitu ginjal

dan mata atau biasa disebut dengan komplikasi mikrovaskuler. Sedangkan,

kerusakan saraf termasuk dalam komplikasi neuropati pada diabetes melitus

tipe II.
Berdasarkan data dari WHO (World Health Organization) penderita

DM di dunia mencapai 171 juta jiwa dan pada tahun 2030 akan terjadi

peningkatan sampai 2 kali lipat yaitu 366 juta penderita (Lestari et al., 2021).

Hal tersebut didukung oleh data IDF (International Diabetes Federation) Atlas

2019 bahwa prevalensi diabetes Indonesia menduduki posisi tertinggi ke-7

setelah Mexico dengan angka 10.7 juta jiwa, sedangkan posisi pertama diduduki

oleh China dengan jumlah 116.4 juta jiwa (Novita & Efrarianti, 2023).

Pada skala nasional menurut Riskesdas (2019) prevalensi diabetes

melitus di Indonesia tahun 2018 mencapai 2 %, presentase tersebut didasarkan

pada diagnosa dokter untuk usia≥15 tahun dan jika dibandingkan dengan tahun

2013 telah terjadi peningkatan sejumlah 0.5% di tahun 2018. Sejalan dengan

hal tersebut, Profil Kesehatan Jawa Tengah menyatakan bahwa diabetes melitus

dengan proporsi 10.7% menduduki posisi kedua PTM setelah hipertensi dengan

presentase 76.5% (Aurorina et al., 2021).

Proporsi 10.7% diatas mewakili 618.546 penderita diabetes di Jawa

Tengah. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, terdapat beberapa kabupaten yang

sudah memberikan pelayanan terhadap penderita DM dengan presentase

melebihi 100%. Salah satu diantaranya yaitu Kabupaten Purbalingga dengan

capaian 107% sebagai terbaik kedua. Pada tahun 2021 pelayanan terhadap

penderita diabetes di Kabupaten Purbalingga mencapai 134.8% dengan

jangkauan 14.035 orang Dinkes Purbalingga (2021). Kemudian, berdasarkan

survei yang penulis dapatkan dari Puskesmas Mrebet Kabupaten Purbalingga


prevalensi penderita diabetes melitus di Wilayah Puskesmas mrebet pada tahun

2023 mencapai 904 orang.

Berdasarkan data diatas, dapat diketahui bahwa pelayanan yang

diberikan pada penderita DM mampu digunakan sebagai bentuk pengendalian

dan pencegahan terjadinya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat dari

ketidakseimbangan glukosa darah.

(Nabila& Efendi dalam Rachmawati et al., 2022) berpendapat bahwa

komplikasi yang dapat diakibatkan oleh ketidakstabilan glukosa darah yaitu

salah satunya ulkus diabetikum yang berdampak pada neuropati. Sejalan

dengan hal tersebut, (Kale&Akoit dalam R. Hidayat et al., 2023) menjelaskan

bahwa gangguan neurologis dan vaskuler pada tungkai penderita diabetes

melitus mampu mengakibatkan ulkus diabetikum. Kondisi tersebut mampu

menyebabkan perawatan lama yang berimbas pada masalah ekonomi dan

bahkan kematian menjadi resiko yang paling fatal.

Salah satu penatalaksanaan yang efektif dalam pengelolaan ulkus

diabetikum tipe II yaitu dengan perawatan luka. Sehingga, seorang perawat

dalam melakukan perawatan luka harus mampu memilih metode perawatan

luka yang tepat bagi pasien (R. Hidayat et al., 2023).

(Br. Sidabutar dkk dalam Kartika & Sukesi, 2022) berpendapat bahwa

penatalaksanaan luka diabetes dapat dilakukan dengan teknik perawatan luka

konvensional dan modern. Pada teknik perawatan luka konvensional, pencucian

luka menggunakan normal saline atau NaCl 0.9% ditambah dengan povidone

iodine, kemudian penggunaan kasa kering digunakan sebagai penutup luka.


Sedangkan, (Kartika dalam Kartika & Sukesi, 2022) berpendapat bahwa pada

metode perawatan luka modern yang merupakan hasil pengembangan metode

konvensional cenderung mengarah pada prinsip kelembaban. Kemudian,

(Rochmawati dalam Putri et al., 2023) berpendapat bahwa peningkatan proses

penyembuhan luka dengan mencegah terjadinya dehidrasi pada jaringan

merupakan tujuan dari prinsip kelembapan pada perawatan luka modern.

Kondisi lembab ini mampu mempercepat fibrinolysis, angiogenesis,

menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi, membentuk sel aktif serta growth

factor.

(Kusyati dalam Kartika & Sukesi, 2022) berpendapat bahwa selain

menurunkan resiko terjadinya komplikasi infeksi yang mampu menyebar ke

organ lain, menjaga kelembaban luka juga mampu meningkatkan proses

penyembuhan hingga 45%. Kemudian, untuk mengetahui proses penyembuhan

luka kita bisa menggunakan alat yang digunakan sebagai instrument dalam

pengkajian luka diantaranya yaitu Bates Janes Assesment Wound Tool

(BJAWT) dan Winner Scale. Pada bates jansen assessment wound tool terdapat

beberapa hal yang perlu dikaji antara lain ukuran luka, kedalaman, tepi luka,

GOA, tipe jaringan nekrosis, tipe eksudate, jumlah eksudate, warna kulit sekitar

luka, jaringan yang edema, pengerasan jaringan tepi, jaringan granulasi dan

epitelisasi (Yulyastuti et al., 2021).

Menurut Yuanda et al., (2013) penggunaan modern dressing dan

metcovazine mampu mempercepat penyembuhan luka. Sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Eneng Aminah dan Naziyah (2023)


mengungkapkan bahwa penggunaan metcovazine bersamaan dengan

penggunaan teknik modern dressing mampu mempercepat penyembuhan luka

pada responden dan lebih efektif daripada cara konvensional.

Penelitian lain yang dilakukan Pipit (2021) mengungkapkan bahwa

percepatan penyembuhan dasar luka dapat diperoleh dari penggunaan

metcovazine reguler sebagai balutan. Balutan ini diganti setiap 3 hari sekali dan

mendapatkan hasil bahwa terjadi perubahan pada kondisi luka. Rasa nyeri,

edema dan eritema mengalami penurunan dan lebih baiknya lagi jaringan baru

dapat bertumbuh dengan cepat. Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa

adanya keefektifan penggunaan metcovazine untuk luka diabetes.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk menyusun proposal

KTI berupa intervensi perawatan luka modern (metode moist wound healing)

bersamaan dengan penggunaan metcovazine reguler pada pasien dengan ulkus

diabetekum tipe II.

B. Rumusan Masalah

Dari penjabaran latar belakang tersebut, didapatkan rumusan masalah

“Bagaimana gambaran pemberian asuhan keperawatan pada ulkus diabetikum

tipe II menggunakan metode moist wound healing (Metcovazine reguler) di

Wilayah Puskesmas Mrebet Purbalingga?”


C. Tujuan Studi Kasus

1. Tujuan Umum

Mampu menjalankan asuhan keperawatan berupa perawatan luka

menggunakan metode moist wound healing (metcovazine reguler) pada

pasien dengan ulkus diabetikum tipe II.

2. Tujuan Khusus

a. Melaksanakan pengkajian terhadap pasien dengan ulkus diabetikum tipe

II

b. Menegakkan diagnosa keperawatan terhadap pasien dengan ulkus

diabetikum tipe II

c. Merumuskan intervensi keperawatan terhadap pasien dengan ulkus

diabetikum tipe II

d. Melakukan implementasi keperawatan terhadap pasien dengan ulkus

diabetikum tipe II

e. Melakukan evaluasi keperawatan terhadap pasien dengan ulkus

diabetikum tipe II

D. Manfaat Studi Kasus

1. Manfaat Teoritis

Meningkatkan pengetahuan tentang perawatan luka menggunakan

metode moist wound healing serta penggunaan metcovazine reguler pada

pasien ulkus diabetikum tipe II.


2. Manfaat Praktis

a. Bagi Puskesmas

Sebagai bahan masukan terkait dengan perawatan luka

menggunakan metode moist wound healing serta penggunaan

metcovazine reguler pada pasien ulkus diabetikum tipe II.

b. Bagi Masyarakat

Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang perawatan ulkus

diabetikum tipe II.

c. Bagi Program Studi

Mampu berkontribusi pada penambahan informasi dan mampu

digunakan sebagai bahan referensi adik tingkat terkait dengan

perawatan ulkus diabetikum tipe II.

d. Bagi Peneliti

Sebagai bentuk aplikasi ilmu yang diperoleh penulis selama

mengikuti perkuliahan program studi diploma tiga keperawatan di

Politeknik Yakpermas Banyumas.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Menurut Sulastri (2022) terdapat beberapa hal yang perlu

dikaji pada penderita DM diantaranya yaitu:

a. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik

Pengkajian terfokuskan pada manifestasi klinis dari

hiperglikemia yang berkepanjangan diantaranya yaitu ada faktor

fisik, psikologi, interaksi antar individu, hingga kemampuan

finansial yang berpengaruh pada keingintahuan serta

kemampuan merawat secara mandiri.

b. Pengkajian riwayat kesehatan

Hal yang perlu dikaji antara lain pola makan, pemenuhan

nutrisi, kegiatan fisik, status berat badan, kebiasaan merokok

serta pada pasien anak/dewasa muda kaji juga terkait dengan

tumbuh-kembangnya. Selain itu, kaji juga trias diabetes

(Poliuria, polidipsia dan polifagia), tekstur kulit cenderung tidak

lembab, penurunan fungsi pada indera penglihatan, penurunan

berat badan, daerah kewanitaan cenderung gatal dan adanya


luka. Bahkan, apabila terkena diabetes ketosiadosis mampu

menyebabkan keluhan mual muntah serta nyeri pada perut.

c. Pengkajian riwayat penyakit masa lalu dan keluarga

1) Riwayat kehamilan dengan DM, masalah endokrin, jantung,

tekanan darah yang tinggi, kelebihan lemak dalam darah,

infeksi yang berulang pada vagina, ISK, serta infeksi kulit

terutama di kaki serta riwayat operasi pada pankreas.

2) Adakah garis keturunan DM, hiperlipidemia, tekanan darah

tinggi, penyakit ginjal, kekebalan tubuh serta radang

pankreas. Hal lainnya yang harus terkaji yaitu usia pertama

kali terdiagnosa DM serta karakteristik saat onset DM.

3) Riwayat perawatan, pengobatan, penyakit penyerta

Mencakup ketika dirawat di layanan kesehatan, terapi gizi

dan medis, pemberian informasi yang telah didapatkan

terkait dengan perawatan serta pengobatan.

4) Pelaksanaan program pengobatan yang meliputi terapi

medis, pengaturan diet serta rencana aktivitas fisik.

5) Riwayat penyakit akut (diabetes ketoasidosis, hiperosmolar

hiperglikemia, dan rendahnya glukosa dalam darah)

6) Riwayat infeksi khususnya pada kulit, gigi serta tractus

urogenital.
7) Simtom dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada

ginjal, mata, jantung, dan pembuluh darah, kaki, saluran

pencernaan dan lain-lain.

8) Terapi lain yang berisiko sebagai pemicu glukosa darah naik

Kepatuhan dalam melaksanakan program diet,

latihan yang konsisten, terapi medis, gaya hidup, aturan

dalam sebuah tatanan tertentu, psikososial serta kondisi

finansial, penyakit penyerta yang mempengaruhi fisiologi

tubuh (kemampuan melihat, keseimbangan, serta fungsi

saraf).

d. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan untuk

mendeteksi adanya masalah yang ditimbulkan oleh diabetes.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan seperti pemeriksaan

tekanan darah, indeks massa tubuh, funduskopi serta

kemampuan penglihatan. Berikut ini penjabaran dari

pemeriksaan fisik pada penderita diabetes melitus:

1) Pemeriksaan kaki : Adanya lecet, tanda infeksi,

serta pulse.

2) Pemeriksaan kulit : Adanya lecet dan lokasi

penyuntikan insulin.
3) Pemeriksaan mata : Nampak sayu, cekung,

vitreus ada perdarahan dan

katarak.

4) Pemeriksaan : Kulit tidak lembab, hangat,

Integumen kaku, lecet berwarna (kaki),

luka (kaki), kerontokan pada

rambut jari kaki, kulit tampak

lebih gelap, penebalan pada

kulit, teksturnya beludru

(akantosis nigricans),

terdapat sisa luka, perubahan

pada warna kulit, kolagen

serta kandungan lemak

dibawah kulit yang berlebih

akibat DM (necrobiosis

diabeticorum), bekas injeksi

insulin, gangguan pada

vascular, neuropati serta

adanya deformitas.

5) Pernapasan : Pola napas cepat dan dalam

6) Kardiovaskular : Hipotensi, percepatan pada

nadi, lemah

7) Gastrointestinal : Mulut kering, muntah dan bau


8) Neurologi : Reflek berubah, gelisah,

bingung, stupor, koma

9) Muskuloskeletal : Massa otot menurun

2. Analisa Data

Analisa data merupakan kelanjutan dari pengkajian, yang

bertujuan untuk mengelompokkan data subyektif dan obyektif

sehingga perawat mampu memprioritaskan suatu diagnosa

keperawatan untuk tercapainya kesembuhan pada klien. Berikut ini

merupakan analisa data pada pasien diabetes melitus tipe II menurut

(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017):

Tabel 2. 1 Analisa Data

No Data Fokus Problem Etiologi


1. DS D.0129 Perubahan sirkulasi
DO Gangguan integritas
- Jaringan maupun lapisan jaringan
kulit rusak
2. DS D.0077 Agen pencedera
- Mengeluh nyeri Nyeri akut fisiologis
DO
- Tampak meringis
- Bersikap protektif (mis.
waspada, posisi
menghindari nyeri)
- Gelisah
- Peningkatan pada frekuensi
nadi
- Kesulitan tidur
3. DS D.0054 Penurunan massa
- Mengeluh anggota gerak Gangguan mobilitas otot
susah digerakkan fisik
DO
- Turunnya kekuatan otot
- Rentang gerak (ROM)
menurun

Prioritas Masalah

Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan perubahan

sirkulasi.

3. Diagnosa Keperawatan

Menurut Tampubolon (2020) diagnosa keperawatan

merupakan kelanjutan dari proses pengkajian yang kemudian

dikelompkkan melalui analisa data sehingga munculah diagnosa

keperawatan.

Berikut ini diagnosa keperawatan yang muncul pada

penderita diabetes melitus:

a. D.0129 - Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan

perubahan sirkulasi

b. D.0077 - Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera

Fisiologis

c. D.0054 - Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan

penurunan massa otot

4. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan yaitu suatu pedoman dalam

melakukan implementasi dengan tujuan untuk membantu,

memudahkan, serta menyelesaikan permasalahan dalam mencapai


pemenuhan kebutuhan pasien. Penyusunan rencana tindakan ini,

diharapkan mampu memudahkan dan membantu perawat dalam

mencapai keberhasilan dalam melakukan perawatan (Tampubolon,

2020).

Berikut ini beberapa intervensi keperawatan pada pasien

diabetes melitus menurut (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018):

Tabel 2. 2 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi


1. D.0129 L.14125 - Integritas Kulit dan Jaringan I.14564
Gangguan Setelah dilakukan intervensi selama 4x2 Perawatan Luka
integritas jam maka Integritas kulit dan jaringan Observasi
jaringan meningkat dengan kriteria hasil: 1. Monitor karakteristik
luka (mis. drainase,
Skala Skala warna, ukuran, bau)
Kriteria Hasil
Awal Akhir 2. Monitor tanda-tanda
1. Kerusakan 1 4 infeksi
jaringan Terapeutik
2. Kerusakan kulit 1 4 1. Lepaskan balutan dan
3. Kemerahan 1 4 plester secara perlahan
4. Pigmentasi 1 4 2. Bersihkan dengan
abnormal cairan NaCl atau
5. Nekrosis 1 4 pembersih nontoksik,
6. Sensasi 1 4 sesuai kebutuhan
7. Tekstur 1 4 3. Bersihkan jaringan
nekrotik
Keterangan: 4. Berikan salep yang
1. Menurun/meningkat/memburuk sesuai ke kulit/lesi, jika
2. Cukup menurun/cukup perlu
meningkat/cukup memburuk 5. Pasang balutan sesuai
3. Sedang jenis luka
4. Cukup meningkat/cukup 6. Pertahankan teknik
menurun/cukup membaik steril saat melakukan
5. Meningkat/menurun/membaik perawatan luka
7. Ganti balutan sesuai
jumlah eksudat dan
drainase
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
2. Anjurkan
mengkonsumsi
makanan tinggi kalori
dan protein
3. Ajarkan prosedur
perawatan luka secara
mandiri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu
2. D.0077 L.08066 – Tingkat Nyeri I.08238
Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi selama 4x2 Manajemen Nyeri
jam maka Tingkat nyeri menurun Observasi
dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi,
Skala Skala frekuensi, kualitas, dan
Kriteria Hasil
Awal Akhir intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri 1 4 2. identifikasi skala nyeri
2. Meringis 1 4 3. Identifikasi respon
3. Sikap protektif 1 4 nyeri non verbal
4. Gelisah 1 4 4. Identifikasi factor yang
5. Kesulitan tidur 1 4 memperberat dan
6. Frekuensi nadi 1 4 memperingan nyeri
Terapeutik
Keterangan: 1. Berikan teknik non-
1. Menurun/meningkat/memburuj farmakologi untuk
2. Cukup menurun/cukup mengurangi rasa nyeri
meningkat/cukup memburuk misalnya kompres
3. Sedang hangat, terapi music
4. Cukup meningkat/cukup 2. Kontrol lingkungan
menurun/cukup membaik yang memperberat rasa
5. Meningkat/menurun/membaik nyeri misalnya suhu
dan pencahayaan
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur
Edukasi
1. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
2. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
3. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
3. D.0054 L.05042 – Mobilitas Fisik I.05173
Gangguan Setelah dilakukan intervensi selama 4x2 Dukungan mobilisasi
mobilitas jam maka Mobilitas fisik meningkat Observasi
fisik dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi adanya
Skala Skala nyeri atau keluhan fisik
Kriteria Hasil
Awal Akhir lainnya
1. Pergerakan 1 4 2. Identifikasi toleransi
ekstremitas fisik melakukan
2. Kekuatan otot 1 4 pergerakan
3. Rentang gerak 1 4 3. Monitor frekuensi
sendi (ROM) jantung dan tekanan
4. Gerakan 1 4 darah sebelum memulai
terbatas mobilisasi
Keterangan: 4. Monitor kondisi umum
1. Menurun/meningkat selama melakukan
2. Cukup menurun/cukup meningkat mobilisasi
3. Sedang Terapeutik
4. Cukup meningkat/cukup menurun 1. Fasilitasi aktivitas
5. Meningkat/menurun mobilisasi dengan alat
bantu (mis. pagar
tempat tidur)
2. Fasilitasi melakukan
pergerakan, jika perlu
3. Libatkan keluarga
untuk membantu pasien
dalam meningkatkan
pergerakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
2. Anjurkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis. duduk
di tempat tidur, duduk
di sisi tempat tidur,
pindah dari tempat
tidur ke kursi).

5. Implementasi Keperawatan

Merupakan tindak lanjut dari intervensi keperawatan.

Perawat akan mencari cara dalam mencapai tujuan yang jelas

diantaranya mencakup kesehatan yang meningkat, mencegah


penyakit, memulihkan kesehatan, dan menyediakan koping

(Tampubolon, 2020).

6. Evaluasi Keperwatan

Merupakan kegiatan yang dilakukan secara berkala, agar

dapat menentukan rencana keperawatan yang diterapkan sudah

berhasil atau belum dan dilanjutkan atau dihentikan. Mencari

etiologi apabila tujuan tidak berhasil. Untuk mengetahui seberapa

jauh diagnosa; tindakan dan penerapannya sudah terpenuhi, seorang

perawat harus melakukan tindakan yang cerdik untuk melengkapi

proses keperawatan (Tampubolon, 2020).

B. Diabetes Melitus Tipe II

1. Definisi

(Novita Fajeriani et al., dalam Lubis et al., 2023)

berpendapat bahwa diabetes melitus merupakan keadaan

metabolisme kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar gula

darah (hiperglikemia) akibat dari tubuh yang tidak mampu

menghasilkan hormon insulin atau insulin tidak bisa dimanfaatkan

oleh tubuh dengan baik.

(Banday et al. dalam Damai Akelba et al. 2023) berpendapat

bahwa diabetes tipe II merupakan suatu kondisi yang diakibatkan

oleh resistensi insulin atau kegagalan sel 𝛽 pankreas. Turunnya


tanggapan dan kepekaan sel pada jaringan perifer utamanya jaringan

adiposa terhadap insulin, otot dan liver merupakan penyebab dari

terjadinya resistensi insulin. Hiperglikemi mampu dicegah oleh

keadaan hiperinsulinemia atau kondisi dimana kadar insulin dalam

sirkulasi semakin tinggi. Akan tetapi, penurunan respon insulin ini

tidak bisa dikompensasi oleh sekresi insulin yang meningkat dari sel

𝛽 pankreas. Kemudian, penurunan fungsi sel 𝛽 pankreas yang

mengakibatkan disfungsi memicu terjadinya defisiensi insulin

2. Etiologi

(Fadila, dalam Suryanti 2021) berpendapat bahwa pada

dasarnya pemicu terjadinya resistensi insulin dan gangguan sekresi

insulin pada DM tipe II belum ditemukan. Tetapi, resistensi insulin

dapat dipengaruhi oleh faktor keturunan.

Menurut (Decroli dalam Suryanti 2021), etiologi dari

diabetes melitus tipe II diantaranya yaitu:

a. Resistensi insulin

Resistensi insulin berhubungan dengan peningkatan

kadar glukosa darah. Dalam hal ini, kinerja dari insulin kurang

optimal terutama pada otot, lemak dan hati sehingga pancreas

bekerja dengan keras untuk melakukan kompensasi dalam

memproduksi insulin secara berlebihan.


b. Disfungsi sel 𝛽 Pankreas

Kombinasi faktor genetic dan faktor lingkungan

merupakan penyebab dari terjadinya disfungsi sel 𝛽 Pankreas.

Kerusakan sel 𝛽 Pankreas ini dibahas dalam beberapa teori

diantaranya yaitu teori glukotoksisitas (peningkatan glukosa

menahun), lipotoksisitas (akumulasi ketidaknormalan lemak

sebagai penyebab dari toksisitas sel), penumpukan amyloid

(fibril protein di dalam tubuh).

c. Faktor lingkungan

(Hardiansah dalam Suryanti 2021) berpendapat bahwa

obesitas, makan yang berlebih dan aktivitas yang minimal

merupakan pemegang peranan penting terjadinya DM tipe II.

Dalam penelitian terbaru ditemukan peranan sitokinin

proinflamasi dengan kejadian DM tipe II akibat obesitas. Dalam

hal ini ada tumor nekrosis factor alfa dan interlukin-6, resistensi

insulin, permasalahan metabolisme asam lemak, proses selular

seperti terganggunya fungsi mitokondria dan reticulum

endoplasma yang stress. Rusaknya sel 𝛽 pulau Langerhans pada

pancreas merupakan kunci dari terjadinya diabetes melitus

sehingga terjadi kendala dalam produksi insulin, dalam hal ini

menyebabkan kekurangan insulin


3. Anatomi Fisiologi

a. Anatomi fisiologi pankreas

Posisi pankreas berada dalam perut pada regio

umbilicalis dan hipokondrium kiri sedangkan bagian atasnya

berada pada daerah eoigastrum. Caput, collum, corpus, dan

cauda pankreas merupakan bagian-bagian dari pankreas yang

terletak di hilum ilenalis. Processus uncinatus merupakan bagian

dari caput pankreas yang berada pada tepi kaudal antara caput

dan corpus sebelah dorsal a.v mesentrica atas (Sofwan &

Aryenti, 2022). Berikut ini batas-batas dari pancreas:

1) Depan

Colon transversum, perlekatan mesocolon

transversum, bursa osmentalis dan lambung.

2) Belakang

Pipa saluran empedu, V. portae dan V. Lienalis, V.

cava inferior dan aorta abdominalis, pangkal A. mesenterica

superior, M. psoas sinistra, kelenjar supra renalis sinistra dan

ren sinistra dan hillus lienalis.

Gambar 2. 1 Posisi pankreas Gambar 2. 2 Bagian pankreas


Sumber: Sofwan&Aryenti (2022) Sumber: Sofwan&Aryenti (2022)
b. Bagian dari saluran kelenjar pancreas

1) Ductus pancreaticus majus

Diawali dengan penembusan pada postero medial

duodenum pars ascendens karena cauda pancreas menerima

banyak cabang, kemudian berkumpul dipertengahan dengan

ductus choledochus atau sering dikenal dengan ampula

didalam papilla duodeni major.

2) Ductus pancreaticus accessories minor (jika ada)

Mengalirkan dari atas caput pancreas berlanjut

hingga berkumpul didalam duodenum pars descendens yang

berlokasi sedikit diatas muara ductus pancreaticus majus.

c. Macam-macam sel

Terdapat empat jenis sel yang mesekresi hormon pada

setiap pulau pancreas, diantaranya yaitu:

1) 𝑆𝑒𝑙 𝛼 mencakup sekitar 17% dari sel-sel islet pancreas yang

bertugas untuk mensekresikan glukoagon.

2) 𝑆𝑒𝑙 𝛽 mencakup sekitar 70% dari sel-sel islet pancreas yang

bertugas untuk mensekresikan insuin.

3) 𝑆𝑒𝑙 ∆ mencakup 7% sel-sel islet pancreas yang bertugas

untuk mensekresikan somatostatin.

4) Sel F adalah sisa-sisa dari sel islet pancreas yang bertugas

mensekresikan polipeptida pancreas.


Pada dasarnya interaksi antar hormon tidak dapat

dipahami karena kekompleks annya. Kinerja dari glukoagon dan

insulin saling berlawanan, glukoagon meningkatkan kadar

glukosa darah sedangkan insulin menekan. Tindakan

somatostatin secara parakrin menghambat pembentukan insulin

dan glucagon dari sekitar 𝑆𝑒𝑙 𝛽 dan 𝑆𝑒𝑙 𝛼. Kondisi ini mampu

memperlambat saluran pencernaan untuk menyerap nutrisi

akibat peredaran hormon. Selain menghambat saluran

pencernaan untuk menyerap nutrisi, somastostatin juga mampu

menjadi penghambat sekresi hormon perkembangan. Pada satu

sisi, terdapat polipeptida pancreas yang berperan sebagai

penghambat sekresi somastatin, kontraksi kandung empedu dan

sekresi enzim pencernaan.

d. Fungsi Pankreas

Menurut Sofwan & Aryenti (2022) fungsi pankreas

terbagi menjadi 2 diantaranya yaitu:

1) Fungsi eksokrin

Selain kelenjar eksokrin terdapat di pankreas,

kelenjar ini juga ada di kelenjar saliva, kelenjar keringat,

usus dan lambung. Fungsi dari kelenjar ini yaitu

menciptakan enzim pencernaan yang didistribusikan pada

saluran cerna.
Fungsi dari enzim tersebut diantaranya yaitu:

a) Enzim lipase berperan pada penguraian lemak

b) Enzim protease meliputi kemotripsin dan tripsin

berperan dalam pengubahan protein menjadi asam amino

c) Enzim lipase berperan pada penguraian karbohidrat

menjadi glukosa

2) Fungsi endokrin

Kelenjar endokrin berperan pada pendistribusian zat

tertentu yang ditujukan pada peredaran darah. Sedangkan,

pada pankreas kelenjar endokrin berperan pada

pembentukan insulin dan glukagon. Penyaluran produk

enzim dari pankreas menuju duodenum melibatkan saluran

pankreas utama yang berperan sebagai peghubung dari

keduanya. Pengaturan kadar gula dalam darah dengan cara

mengeluarkan glukogen mampu menigkatkan kadar gula

dalam darah dengan meningkatkan tingkat pelepasan dari

hati. Pengeluaran insulin mampu mengurangi kadar gula

dalam darah sehingga pendistribusian glukosa ke dalam sel

tubuh terutama otot menjadi lebih cepat. Selain itu, insulin

juga mampu menjadi perangsang hati untuk mengubah

glukosa menjadi glikogen yang kemudian disimpan di dalam

sel-sel nya.
Pankreas mempunyai peranan penting pada sistem

pencernaan dan metabolisme. Peranan penting ini yaitu

mampu menghasilkan enzim yang digunakan sebagai

penghancur dan pencerna makanan di dalam perut. Dengan

ukurannya yang cukup panjang yaitu sekitar 12-18 cm,

pankreas bisa saja mengalami permasalahan. Ketika fungsi

pankreas mengalami gangguan, maka mampu

mengakibatkan permasalahan pada pencernaan dan penyakit

lain seperti diabetes.

Hormon insulin berfungsi sebagai pengikat glukosa

dari darah untuk didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh

sehingga nantinya bisa dimanfaatkan sebagai sumber

kekuatan. Ketika kadar glukosa naik, pancreas akan

mengeluarkan hormon insulin untuk menurunkan kadar

glukosa darah. Glukosa yang berlebih akan ditampung dalam

bentuk glikogen di dalam jaringan otot dan hati. Glikogen ini

berfungsi sebagai cadangan sumber kekuatan, ketika tubuh

membutuhkan energi tambahan. Ketika kandungan gula

dalam darah terlalu rendah, glucagon akan dikeluarkan oleh

pancreas untuk meningkatkan glukosa melalui pemecahan

glikogen.
4. Patofisiologi

(Black, M. joyce dalam Maria, 2021) berpendapat bahwa

faktor mayor dari perkembangan DM tipe II yaitu keterbatasan

sensitivitas sel beta terhadap kondisi gula darah yang tinggi. Hal ini

diakibatkan oleh paparan hiperglikemia yang terlalu lama pada

pankreas atau biasa disebut dengan desensitisasi. Hal ini dapat

dinormalkan dengan menjaga kadar glukosa tetap aman. Rasio

proinsulin terhadap insulin yang digunakan juga mengalami

peningkatan

(LeMone, Priscilla dalam Maria 2021) berpendapat bahwa

DM tipe II merupakan suatu kondisi dimana kadar glukosa darah

puasa tinggi walaupun tersedia insulin endogen. Resistensi insulin

di jaringan perifer merusak kadar insulin yang dihasilkan pada DM

Tipe II. Pankreas memproduksi sedikit insulin akibat dari

ketidakadekuatan hati dalam menghasilkan glukosa dan kegagalan

tubuh dalam menggunakan karbohidrat dalam makanan.

Resistensi selular terhadap efek insulin merupakan faktor

utama dari perkembangan DM tipe II. Keadaan ini didukung oleh

obesitas, malas bergerak, penyakit, obat-obatan, dan usia yang

semakin bertambah. Ketika tubuh obesitas maka kinerja insulin

mengalami penurunan terutama dalam memicu penyerapan dan

metabolisme glukosa oleh hati, otot rangka dan jaringan adiposa.

Peningkatan hiperglikemia dapat bergerak secara perlahan dan dapat


berlangsung lama sebelum terdiagnosis DM, sehingga resiko

terjadinya komplikasi sangat tinggi (Maria, 2021).

(Black, M.Joyce dalam Maria 2021) berpendapat bahwa

resistensi yang terjadi pada hati ataupun jaringan perifer merupakan

proses patofisiologi dalam DM tipe II (resistensi insulin).

Keberlanjutan dalam memproduksi glukosa hepatik sampai

terjadinya peningkatan kadar glukosa darah sebenarnya diakibatkan

oleh keadaan sensitivitas insulin terhadap kadar glukosa yang

menurun. Hal tersebut dibarengi dengan ketidakadekuatan otot dan

jaringan lemak dalam peningkatan ambilan glukosa. Mekanisme

penyebab resistensi insulin perifer tidak jelas, tetapi setelah terjadi

pengikatan insulin dengan reseptor pada permukaan sel resistensi

tampak terjadi. Insulin sedniri merupakan hormon pembangun

(anabolik), tanpa hormon ini maka mampu menyebabkan turunnya

pemanfaatan glukosa, meningkatkan mobilisasi lemak dan

pemanfaatan protein
5. Pathway

Usia, Obesitas, Genetik

DM Tipe II

Sel beta pankreas rusak

Defisiensi Insulin

Liposis meningkat

Anabolisme proses Liposis ↑ Penurunan Pemakaian

Kerusakan pada antibodi Gliserol asam lemak bebas


Glukosa

Kekebalan tubuh ↓ Aterosklerosis Katogenesis Hiperglikemia

Neuropati sensori perifer Ketonuria Viskolita darah

Klien merasa sakit pada


Ketoasidosis
luka Darah melambat

Makrovaskuler Mikrovaskuler
Iskemik jaringan

Jantung Serebral Retina Ginjal

Miokard infark Penyumbatan Retina Neuropati

Nekrosis luka

Nyeri akut Gangren Aktivitas terganggu

Gangguan integritas jaringan Intoleransi aktivitas


6. Manifestasi Klinis

Terdapat keterkaitan antara manifestasi klinis DM tipe II

dengan konsekuensi metabolic defisiensi insulin. Pasien dengan

defisiensi insulin ini mempunyai ketidakmampuan dalam menjaga

kadar glukosa plasma puasa yang normal ataupun GD2PP setelah

mengkonsumsi karbohidrat. Glikosuria mampu timbul apabila

terjadi hiperglikemia berat dan melampaui ambang ginjal (>180

mg/dL). Kemudian, akibat glikosuria tersebut mampu menimbulkan

diuresis osmotic yang menyebabkan adanya keinginan untuk buang

air kecil dan minum yang berlebihan, Bersamaan dengan hilangnya

glukosa dan urine, penderita akan mengalami keseimbangan kaloi

negative dan terjadi penurunan berat badan. Sedangkan, untuk

keinginan makan yang berlebih bisa dipicu akibat hilangnya kalori

dalam tubuh dan berakibat mudah lelah dan mengantuk. Selain itu

terdapat beberapa keluhan lain yang bisa dirasakan penderita

diantaranya yaitu rasa sakit dan kesemutan yang mengganggu

istirahat di malam hari, gangguan pada indera penglihatan, gatal

pada daerah kemaluan atau dibawah lipatan-lipatan tubuh, timbul

bisul dan luka yang sembuhnya lama, gangguan ereksi serta

keputihan (Suryanti, 2021).


(Fatimah dalam Suryanti 2021) berpendapat bahwa gejala

diabetes terbagi menjadi 2 jenis diantaranya yaitu:

a. Gejala akut

Keinginan makan yang berlebih (polifagia), keinginan

untuk minum berlebih (polydipsia), keinginan BAK yang sering

khususnya di malam hari (polyuria), gampang lelah, keinginan

makan meningkat tetapi terjadi penurunan pada berat badan

yang signifikan (5 sampai 10 kg dalam kurun waktu 2 hingga 4

minggu).

b. Gejala kronik

Kesemutan, kebas di kulit, keram, kulit terasa panas

bahkan seperti ditusuk-tusuk oleh jarum, mudah lelah, mudah

mengantuk, gangguan pada indera penglihatan, gangguan pada

ketahanan gigi, menurunnya kemampuan seksual dan bahkan

terjadi impotensi pada pria, pada manita mudah keguguran atau

janin meninggal didalam kandungan serta berat badan lahir bayi

mencapai 4 kg.

(Mary dalam Suryanti 2021) berpendapat bahwa tanda-

tanda dan gejala lainnya yang mengarah pada diabetes melitus

tipe II antara lain:

1) Insulin yang rendah mengakibatkan serangan terkesan

lambat
2) Peningkatan keinginan untuk minum (polyuria) sebagai

tindak lanjut dari tubuh untuk mengeluarkan glukosa

3) Peningkatan keinginan untuk BAK sebagai tindak lanjut ari

tubuh untuk mengeluarkan glukosa

4) Kelbihan glukosa mengakibatkan mudah terkena keputihan

5) Kadar glukosa yang tinggi memicu lamanya dalam proses

penyembuhan luka

7. Pemeriksaan Penunjang dan Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Sulastri (2022) terdapat beberapa pemeriksaan

yang dapat dilakukan penderita diabetes melitus tipe II, diantaranya

yaitu:

a. Pemeriksaan kadar glukosa darah

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah

terapi yang diberikan sudah tercapai atau belum. Pemeriksaan

tersebut meliputi glukosa darah sewaktu (GDS), glukosa darah

puasa (GDP), glukosa 2 jam setelah makan (GD2PP), atau

pemeriksaan glukosa lainnya yang dilakukan sesuai dengan

kebutuhan menggunakan glucometer. Penegakan diagnose

diabetes melitus dapat dilakukan dengan syarat GDP ≥126

mg/dL, GD2PP≥200 mg/dL, dan GDS ≥ 200 mg/dL (Lestari et

al., 2021).
b. Pemeriksaan HbA1C

Pemeriksaan ini merupakan tes hemoglobin terglikosilasi

atau glikohemoglobin (hemoglobin glikosilasi). Tujuan dari

pemeriksaan ini untuk mengetahui keberhasilan dari terapi yang

sudah diberikan 8-12 minggu sebelumnya dan pemeriksaan ini

hanya dilakukan setiap tiga bulan atau ketika HbA1C melebihi

10% maka bisa dilakukan sebulan sekali. Untuk pasien dengan

glikemik yang stabil pemeriksaan ini minimal dilakukan dua kali

dalam setahun. Perlu diketahui juga, pemeriksaan ini tidak bisa

digunakan sebagai alat evaluasi transfuse darah 2-3 bulan

kebelakang, kemudian kondisi lain yang mempengaruhi umur

eritrosit dan ganggguan pada fungsi ginjal.

c. Pemantauan glukosa darah mandiri (PGDM)

Untuk pemeriksaan ini dapat menggunakan darah

kapiler. Hasil pemeriksaan dapat menggunakan alat ukur kadar

glukosa darah dengan reagen kering, dengan catatan kalibrasi

dilakukan dengan baik dan sesuai dengan standar yang berlaku,

kemudian harus dibandingkan dengan cara konvensional secara

berkala. Pemantauan ini dianjurkan pada pasien dengan

pengobatan suntik insulin beberapa kali perhari atau obat pemicu

sekresi insulin. Pemeriksaan dapat dilakukan sebelum makan,

atau 2 jam setelah makan (mengukur ekskursi glukosa), sebelum

tidur (mendeteksi risiko hipoglikemia) dan diantara siklus tidur


(mendeteksi hipoglikemia nocturnal yang seringkali tidak

menunjukan gejala seperti hypoglycemic spells).

d. Pemantauan Glycated Albumin (GA)

Pemeriksaan ini sangat bergantung pada pemeriksaan

glukosa plasma (kapiler) dan HbA1C. Untuk kedua pemeriksaan

tersebut memiliki keterbatasan, HbA1C sangat dipengaruhi oleh

usia eritrosit. GA selain digunakan sebagai alat pemantau juga

digunakan untuk menilai indeks kendali glikemik yang tidak

dipengaruhi oleh masalah metabolisme hemoglobin dan usia

eritrosit (HbA1C). Proses metabolic albumin sangat cepat

dengan perkiraan 16-20 hari daripada hemoglobin. Sehingga,

GA ini merupakan indeks control glikemik jangka pendek.

Pengukuran GA mampu dipengaruhi oleh albumin. Sedangkan,

keadaan sindrom nefrotik, pengobatan steroid, obesitas dan

masalah fungsi tiroid mampu mempengaruhi albumin.

8. Penatalaksanaan

Menurut Sulastri (2022) terdapat 2 cara penatalaksanaan

diabetes tipe II diantaranya yaitu:

a. Farmakologis

Dalam pelaksanaannya terapi farmakologis harus

diimbangi dengan pengaturan pola makan dan latihan fisik (gaya


hidup sehat). Berikut ini terapi farmakologis untuk penderita

DM:

1) Pemacu sekresi insulin (Insulin secretagogue)

a) Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai tujuan untuk

peningkatan sekresi insulin pada beta pancreas. Efek

samping dari penggunaan obat ini yaitu hipoglikemia

dan kenaikan pada berat badan. Catatan yang perlu

diperhatikan untuk penggunaan obat ini yaitu pada

pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua,

masalah faal hati, dan ginjal).

b) Glinid

Cara kerja obat ini memiliki kemiripan dengan

sulfonylurea, yaitu peningkatan sekresi insulin pada tahp

pertama ditekan. Repaglinid (derivate asam benzoate)

dan Nateglinid (derivate fenilalanin) merupakan 2 jenis

obat yang termasuk pada golongan obat ini. Pemberian

secara oral mampu mempercepat penyerapan obat ini dan

hati berperan pada sekresi obat ini. Pada kondisi

hiperglikemia post pardinal dapat diatasi dengan obat ini.

Hipoglikemia merupakan efek samping yang dapat

ditimbulkan dari penggunaan obat ini.


2) Peningkat sensitivitas insulin

a) Metformin

Tujuan dari obat ini yaitu meminimalkan

pembuatan glukosa hati (gluconeogenesis) dan

memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Pada

kasus DM tipe II metformin adalah pilihan pertama yang

diambil oleh tenaga medis. Pada pasien yang memiliki

permasalahan pada fungsi ginjal, dosis diturunkan (GFR

30-60 ml/menit/1,73 m²). Pengecualian pemberian obat

ini yaitu pada pasien dengan kecenderungan hipoksemia

(penyakit serebrovaskular), sepsis, renjatan, PPOK,

gagal jantung). Permasalahan pada saluran pencernaan

seperti dyspepsia merupakan salah satu efek samping

yang dapat ditimbulkan akibat penggunaan obat ini.

b) Tiazolidindion (TZD)

Obat ini merupakan agonis dari Peroxisome

Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-

gamma), reseptor inti ini terdapat pada otot, lemak, dan

hati. Efek yang ditimbulkan yaitu penurunan pada

resistensi insulin dengan cara protein pengangkut

glukosa ditingkatkan, sehingga ambilan glukosa di

jaringan perifer mampu meningkat. Obat ini mempunyai

kontraindikasi pada pasien dengan gagal jantung karena


mampu memperberat edema/retensi cairan. Pada

penderita dengan gangguan faal hati sebaiknya lakukan

pemantauan secara berkala. Pioglitazone merupakan

obat yang termasuk dalam golongan obat ini.

3) Penghambat absorpsi glukosa di saluran peencernaan

Penghambat 𝛼 glucosidase berfungsi memperlambat

penyerapan glukosa dalam usus halus, sehingga penurunan

kadar glukosa darah setelah makan merupakan efek samping

yang dapat ditimbulkan dari penggunaan obat ini.

Pengecualian penggunaan obat ini yaitu pada kondisi

GFR≤30 ml/min/1,73 m², masalah faal hati yang berat,

irritable bowel syndrome. Kemungkinan yang bisa terjadi

yaitu bloating (penumpukkan gas dalam usus) dan

mengakibatkan flatus. Pemberian dosis kecil merupakan

langkah pertama untuk mengurangi terjadinya efek samping

ini. Acarbose merupakan contoh dari obat golongan ini.

4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase IV)

Obat ini bertugas dalam penghambatan kinerja enzim

DPP-IV sehingga GLP-1 (Glukose Like Peptide-1)

konsentrasinya tetap tinggi dalam bentuk aktif. Peningkatan

sekresi insulin ini dipengaruhi oleh GLP-1 dan kadar glukosa

darah mempengaruhi penekanan sekresi glukoagon.


Sitagliptin dan Linagliptin merupakan contoh obat dari

golongan ini.

5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)

Obat golongan ini berfungsi sebagai penghambat

penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan

cara menghambat aktivitas transporter glukosa SGLT-2.

Perlu diketahui juga bahwa obat ini merupakan obat

antidiabetes oral terbaru. Canagliflozin, Empagliflozin,

Dapagliflozin, Ipragliflozin, Dapagliflozin merupakan

contoh obat golongan ini.

Tabel 2. 3 Profil obat antihiperglikemia oral di Indonesia


Sumber : (Sulastri, 2022)

Gol obat Cara kerja Efek samping Penurunan


HbA1C
Sulfonilurea Mempercepat sekresi Kenaikan berat 1,0-2,0%
insulin badan,
hipoglikemia
Linid Meningkatkan sekresi Kenaikan berat 0,5-1,5%
insulin badan,
hipoglikemia
Metformin Menekan produksi glukosa Dispepsia diare, 1,0-2,0%
hati & menambah asidosis laktat
sensitifitas terhadap insulin
Penghambat Menghambat absorpsi Flatulen, tinja 0,5-0,8%
Alfa glukosa lembek
Glukosidase
Tiazolidindion Meningkatkan sensitifitas Edema 0,5-1,4%
terhadap insulin
Penghambat Meningkatkan sekresi Sebah, muntah 0,5-0,8%
DPP-IV insulin, menghambat
sekresi glukagon
Penghambat Menghambat proses Dehidrasi, infeksi 0,8-1,0%
SGLT-2 absorbsi glukosa di tubuli saluran kemih
distal ginjal
b. Non farmakologis

Penatalaksanaan yang mampu dilakukan yaitu dengan

penerapan pola hidup sehat meliputi program diet dan aktivitas

fisik, selain itu juga petugas mampu mengedukasi pasien tentang

pemantauan kadar gula darah secara mandiri, tanda gejala kadar

gula darah rendah dan cara mengatasinya.

C. ULKUS DIABETIKUM

1. Definisi

Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi kronik

DM yang melibatkan kerusakan saraf dan peredaran darah yang

buruk. Rasa sakit, perih, dan nyeri pada kaki bahkan seringkali tidak

dirasakan oleh penderita, hal ini karena saraf yang rusak.

Sedangkan, penyempitan dan pengerasan pada pembuluh darah di

kaki disebabkan oleh peredaran darah yang buruk (Hidhayah et al.,

2021).

(Wandhani dalam Yulyastuti et al., 2021) berpendapat

bahwa ulkus diabetikum ditandai dengan jaringan yang mengalami

kesulitan dalam memperbaiki diri sesuai waktu penyembuhan luka

dan kondisi ini menyebabkan kerusakan pada integritas kulit pada

pasien bahkan kerusakannya itu menyebar dari lapisan dermis

hingga ke jaringan terdalam.


Gambar 2. 1 Ulkus Diabetikum
Sumber: Putri et al., (2023)

2. Etiologi

Menurut (Nurarif dalam Jundapri & Purnama 2023)

berpendapat bahwa ulkus diabetikum dipengaruhi oleh beberapa

faktor, diantaranya yaitu:

a. Faktor endogen: genetic metabolisme, diabetes angiopati, dan

diabetes neuropati.

b. Factor eksogen: trauma, infeksi dan obat

Angiopati, neuropati, dan infeksi memiliki peranan

penting terjadinya ulkus diabetikum. Ulkus pada kaki terjadi

karena kerusakan saraf dan atrofi pada otot kaki mampu menjadi

penyebab terjadinya ulserasi pada kaki pasien.Parahnya, apabila

sumbatan terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar mampu

mengakibatkan pasien tidak merasa ada luka sampai pasien

berjalan pada jarak tertentu. Asupan nutrisi oksigen maupun

antibiotika pun mengalami penurunan akibat dari adanya


angiopati dan kondisi ini berakibat pada kesembuhan luka pasien

yang lama.

3. Klasifikasi Ulkus

Menurut (Wagner dalam Yulyastuti et al., 2021) berpendapat

bahwa terdapat enam tingkatan derajat pada ulkus yang didasarkan

pada kedalaman luka, derajat infeksi dan derajat gangrene.

Tabel 2. 4 Derajat Ulkus Diabetikum


Sumber: (Yulyastuti et al., 2021)
Derajat Keterangan
0 Tidak terdapat luka terbuka, kulit masih utuh dengan
kemungkinan bentuk kaki mengalami kelainan
1 Terdapat kemerahan, nyeri dan bengkak pada area luka
2 Luka tidak mencapai tulang, terbatas sampai tendon maupun
lapisan subkutan terdalam
3 Luka yang dalam,dengan selulitis atau formasi abses
4 Gangren yang terpusat (gangren dari jari-jari atau bagian
depan kaki)
5 Gangren meluas (sampai pada daerah lengkung kaki/kaki
pertengahan dan belakang kaki/hindfoot)
:

4. Manifestasi Klinis

Menurut (ADA dalam Yulyastuti et al. 2021) terdapat

beberapa tanda gejala ulkus diabetikum diantaranya yaitu:

a. Sering kesemutan

b. Saat istirahat kakinya nyeri

c. Kepekaan indera perasa berkurang

d. Terjadinya nekrosis

e. Nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea mengalami

penurunan
f. Kaki menjadi atrofi, dingin dan terjadi penebalan pada kuku

g. Kulit kering

h. Terdapat luka yang diakibatkan oleh trauma mengakibatkan luka

terbuka dan mampu menghasilkan gas gangrene dan terjadilah

osteomyelitis. Keadaan ini mampu mengakibatkan kaki

diamputasi.

5. Patofisiologi

Hiperglikemia mampu menyebabkan kelianan pada

pembuluh darah dan neuropati sehingga menimbulkan luka pada

kaki atau sering disebut dengan ulkus kaki diabetikum. Keadaan ini

mampu memicu perubahan pada kulit dan otot yang diakibatkan

oleh neuropati, baik yang bersifat sensorik, motoric, ataupun

autonomic. Infeksi pada luka ini mampu diakibatkan oleh

ketidaknormalan distribusi tekanan pada telapak kaki. Perluasan

infeksi mampu diakibatkan oleh permasalahan pada saraf dan

pembuluh darah. Pengelolaan kaki diabetes juga dapat dipengaruhi

oleh aliran darah.

Luka kaki yang disebabkan oleh neuropati motoric

berhubungan dengan atrofi otot, perubahan biomekanik, deformitas

pada kaki dan redistribusi tekanan pada kaki. Sedangkan

ketidaknyamanan yang menjadi penyebab trauma berulang pada

kaki diakibatkan oleh neuropati sensorik. Kemudian, kerusakan


saraf otonom memicu penurunan produksi keringat yang

mengakibatkan kulit kaki kering dan pecah-pecah disertai dengan

fisura sehingga bakteri mudah masuk. Taut (shunting) arterivenosa

dan distensi vena disebabkan oleh kerusakan pada saraf simpatis

kaki. Keadaan ini menyebabkan perluasan bypass pada bantalan

kapiler di area yang terkena dan menghambat penyaluran oksigen

dan nutrisi yang diangkut oleh darah. Selain itu, suplai nutrisi dari

darah ke jaringan dapat dipengaruhi oleh penyakit mikrovaskuler

(R. Hidayat et al., 2023).

6. Penatalaksanaan

a. Perawatan Luka (Metode Moist Wound Healing)

(Dismalyansa dalam Yulyastuti et al., 2021) berpendapat

bahwa pada perawatan luka, prinsip utama yang perlu

diperhatikan adalah menjaga kondisi luka agar tetap lembap atau

biasa dikenal dengan moist wound healing. Penggunaan dressing

dengan sifat absorben diterapkan ketika secret yang dihasilkan

ulkus banyak. Kemudian untuk penggunaan pembalut yang

digunakan pada ulkus kering prinsipnya mampu menjaga

kelembaban ulkus. Begitupun dengan ulkus yang lembab, maka

gunakan pembalut yang mampu mempertahankan kelembaban .

Percepatan dalam penyembuhan luka sangat dipengaruhi oleh

pemilihan dressing. Prinsip pada pemilihan balutan yaitu untuk


menjaga kelembaban untuk mengurangi trauma. Dalam memilih

dressing perhatikan beberapa hal yaitu jenis ulkus, bagaimana

eksudatnya, adakah infeksi, keadaan kulit sekitar luka dan biaya

(Kartika dalam Yulyastuti et al., 2021) berpendapat

bahwa modern dressing sangat mengacu pada prinsip

kelembaban luka. Fakta yang mematahkan anggapan bahwa luka

yang mengering akan mempercepat penyembuhan luka yaitu

luka dengan keadaan lembab mampu memfasilitasi

pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen dalam matriks non

seluler yang sehat. Pada luka akut, kondisi lembab ini mampu

menjadi pemicu pertumbuhan sel dan menstabilkan matriks

jaringan luka. Tetapi, kondisi lembab yang diberikan harus pas

tidak boleh kurang atau lebih karena jika terlalu lembab mampu

menyebabkan tepi luka terjadi maserasi dan apabila kurang

lembab sel akan mengalami kematian dan tidak terjadi

perpindahan epitel serta jaringan matriks. Pencucian luka,

pengangkatan jaringan mati dan pemilihan balutan sangat

berperan penting dalam perawatan luka modern. Pencucian luka

berfungsi untuk mengurangi jumlah bakteri dan membersihkan

sisa balutan terdahulu, pengangkatan jaringan mati dari

permukaan luka. Pembalut luka pada perawatan konvensional

sering diganti, sedangkan pada perawatan luka modern

menggunakan bahan mislnya hydrogel yang berfungsi menjaga


kelembaban luka. Hydrogel sendiri memiliki fungsi sebagai

penjaga kelembaban luka, melunakkan dan memusnahkan

jaringan mati tanpa mengganggu jaringan yang sehat, eksudat

terserap kedalam gel dan terbuang bersamaan dengan pembalut

(debridemen autolitik alami). Pengaplikasian balutan ini dapat

dilakukan selama 3 sampai 5 hari, sehingga tidak terlalu banyak

trauma dan ketika balutan diganti nyeri yang dirasakan juga

minimal.

Menurut (Malik dalam Yulyastuti et al., 2021)

berpendapat bahwa menilai karakteristik ulkus seperti

kedalaman, ukuran, penampakan dan lokasi merupakan

beberapa hal yang dilakukan untuk mengobservasi proses

penyembuhan luka. Untuk mempercepat penyembuhan luka,

kaki diabetik yang sudah terinfeksi harus dilakukan debridemen,

tindakan ini dilakukan dengan tujuan jaringan yang terinfeksi

dan bahkan sudah mati mampu diangkat . Tetapi, belum ada

penelitian yang membahas tentang tindakan debridemen ini

efektif atau tidak dalam kasus ulkus kaki diabetic. Kondisi luka

sangat mempengaruhi dalam pemilihan balutan luka. Umumnya

apabila eksudat banyak maka gunakan balutan dengan

kemampuan penyerapan yang baik, sedangkan penggunaan

terapi topical digunakan untuk luka kering dengan tujuan luka

tetap dalam kondisi lembab.


1) Mencuci luka

Pencucian luka bertujuan untuk menghilangkan

cairan yang berlebihan, jaringan mati, sisa balutan dan residu

metabolic tubuh dari luka. Pencucian luka yang tepat

mampu mempercepat penyembuhan luka dan

meminimalkan terjadinya infeksi. Cairan yang digunakan

pada pencucian luka ini yaitu larutan normal salin atau NaCl

0,9%. Alternatif lainnya yaitu menggunakan air mineral

kemasan yang masih tersegel. Kemudian, untuk mencegah

terjadinya kontaminasi bakteri pada luka gunakan cairan

atau sabun antiseptic dalam melakukan perawatan luka.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pencucian luka sangat

penting dalam proses penyembuhan yang effektif dan

sebagai pencegah terjadinya komplikasi infeksi (R. Hidayat

et al., 2023).

2) Dressing (Metcovazine Reguler)

Dressing merupakan terapi topical yang mengarah

pada penerapan secara langsung terhadap permukaan kulit

atau tubuh dan tidak diperkenankan secara sistemik (R.

Hidayat et al., 2023).


Adapun jenis topikal zink cream diantaranya yaitu:

a. Metcovazine Reguler

Penggunaan metcovazine regular diaplikasikan

untuk semua warna dasar luka yang tidak terinfeksi.

Kandungan dari salep ini yaitu zink, vaseline dan

chitosan.

b. Metcovazine Red

Pengaplikasian pada luka dengan warna dasar

merah yang mendukung pertumbuhan jaringan.

Kandungan dari salep ini yaitu zink, hyaluronic acid, dan

chitosan.

c. Metcovazine Gold

Pengaplikasian pada luka dengan warna dasar

kuning yang menandakan terjadinya infeksi. Kandungan

dari salep ini yaitu metronidazole, zink, dan iodosorb.

Gambar 3. 2 Gambar 3. 1
Metcovazine Reguler Metcovazine Red
Sumber metcovazine.id Sumber metcovazine.id
Gambar 3. 3 Metcovazine Gold
Sumber mhomecare.co.id

7. Fase Penyembuhan

Aminuddin et al. (2020) mengatakan bahwa terdapat

beberapa fase penyembuhan luka, diantaranya yaitu:

a. Fase Koagulasi dan Inflamasi (0-3 hari)

Merupakan respon pertama setelah terjadinya luka yang

mengikutsertakan platelet dan terjadilah vasokonstriksi. Tujuan

dari proses ini yaitu homeostatis yang mencegah perdarahan

berlebih.

Fase inflamasi terjadi pasaca terjadinya luka hingga 3

hari. Pergerakan leukosit khusunya neutrophil memfagosit dan

memusnahkan bakteri kemudian memasuki matriks fibrin dalam

upaya mempersiapkan pembentukan jaringan baru.


b. Fase proliferasi atau rekonstruksi (2-24 hari)

Fase ini terjadi apabila tidak ada infeksi maupun

kontaminasi pada fase inflamasi .

Tujuan

1) Proses granulasi (membuat ruang kosong pada luka terisi)

2) Angiogenesis (pertumbuhan kapiler baru)

Luka akan terlihat kemerahan dan terjadi bersamaan

dengan fibroplasia. Tanpa proses ini, sel-sel yang berperan

dalam penyembuhan tidak mampu berpindah, mereplikasi,

menyerang infeksi dan membentuk atau deposit komponen

matrik baru.

3) Proses kontraksi (penarikan kedua tepi luka untuk saling

mendekat)

Menurut Hunt (2003) dalam Aminuddin et al. (2020)

menyatakan bahwa kontraksi merupakan proses penutupan

luka akibat peristiwa fisiologi. Proses ini bersamaan dengan

sintesis kolagen. Pengecilan ukuran luka merupakan hasil

dari proses kontraksi.

c. Fase remodelling atau maturasi (24 hari-1 tahun)

Merupakan fase terakhir dan terpanjang dalam proses

penyembuhan luka. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen

berada dalam keseimbangan perbaikan luka diakibatkan oleh

peningkatan serabut kolagen yang bertahap dan menebal dan


disokong oleh proteinase. Penyebaran serat kolagen yang

perlahan menyatu membantu proses pemulihan pada luka,

sehingga muncul luka parut yang matang dengan kekuatan 80%

dibandingkan dengan kulit normal.


BAB III

METODE STUDI KASUS

A. Rancangan Studi Kasus

(Sugiyono dalam A. A. Hidayat, 2021b) berpendapat

bahwaMetode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah studi

kasus dengan pendekatan proses asuhan keperawatan berupa

pengkajian, analisa data, diagnosa, intervensi, implementasi, hingga

evaluasi keperawatan.

Penelitian studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui percepatan

penyembuhan ulkus diabetikum tipe II menggunakan metode moist

wound healing disertai penggunaan metcovazine regular sebagai

balutan primer.

B. Subyek Studi Kasus

Sahir (2021) menyatakan bahwa semua orang, dokumen dan

situasi yang diteliti, diamati maupun diwawancarai merupakan sumber

informasi yang mempunyai kaitan dengan penelitian yang dilakukan

oleh peneliti.

Pada penelitian ini, subyek studi kasus menggunakan 1

responden dengan ulkus diabetikum tipe II yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi.


1. Kriteria inklusi

Menurut Dewi (2020), kriteria inklusi mengarah pada sifat

umum dari subjek penelitian yang berasal dari sekumpulan sasaran

yang mampu dijangkau. Pertimbangan ilmiah merupakan dasar dari

penentuan kriteria inklusi, berikut ini kriteria inklusi pada penelitian

yang akan dilakukan penulis antara lain:

a. Pasien diabetes melitus tipe II

b. Usia ≥ 45 tahun

c. Pasien dengan ulkus diabetikum

d. GDS ≥ 200 mg/dL

e. Tidak ada komplikasi penyakit penyerta lain

2. Kriteria eksklusi

Menurut Dewi (2020), kriteria ekslusi mencakup semua hal

yang berlawanan dengan kriteria inklusi sehingga harus di eliminasi

dari subyek studi kasus yang penulis ambil. Berikut ini kriteria

inklusi pada penelitian yang akan penulis lakukan:

a. Pasien yang tidak mengalami diabetes melitus tipe II

b. Usia < 45 tahun

c. Pasien yang tidak mengalami ulkus diabetikum

d. GDS < 200 mg/dL

e. Terdapat komplikasi penyakit penyerta lain


C. Fokus Studi

Hidayat (2021) menyatakan bahwa focus studi mempunyai

tujuan dalam pembatasan ruang lingkup dari penelitian sehingga

penelitian terarah dan mendalam.

Fokus studi kasus pada penelitian ini yaitu menggambarkan

asuhan keperawatan pada ulkus diabetikum tipe II menggunakan metode

moist wound healing dengan penggunaan metcovazine regular sebagai

balutan primer.

D. Definisi Operasional Fokus Studi

Koentjaraningrat (1991) dalam Hikmawati (2020) menyatakan

bahwa definisi yang mengacu pada karakteristik yang mampu diteliti

dengan mengubah konsep dalam bentuk konstruk dengan kata-kata yang

menceritakan berbagai hal yang mampu diteliti dan mampu diuji serta

ditentukan kebenarannya oleh orang lain.

Tabel 3. 1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasioal Parameter Alat ukur


Asuhan Tindakan keperawatan yang SDKI, SIKI,
Keperawatan terdiri dari 5 tahapan dimulai dan SLKI
dari pengkajian, diagnosa,
intervensi, implementasi hingga
evaluasi keperawatan.
Ulkus Keadaan dimana individu GDS ≥200 Glukometer
diabetikum mengalami luka yang mg/dL
tipe II diakibatkan oleh kadar gula
darah sewaktu ≥200 mg/dL.
Moist Wound Perawatan luka dengan prinsip Bates Jensen
Healing menjaga kelembaban pada area Wound
(Metcovazine luka diawali dengan pencucian Assessment
Reguler) luka menggunakan NaCl 0.9%, Tool (BJWAT)
setelah itu dikeringkan
menggunakan kassa steril
dilanjutkan dengan
pengaplikasian metcovazine
regular sebagai balutan primer
dan ditutup dengan kassa steril
sebagai balutan sekunder.

E. Instrumen Studi Kasus

(Arikunto dalam Kurniawan 2021) berpendapat bahwa

instrument studi kasus merupakan alat bantu yang digunakan peneliti

dengan tujuan untuk mempermudah dalam pengumpulan data sehingga

mempermudah pekerjaan terutama dalam menarik kesimpulan data

yang sudah diperoleh.

Instrumen studi kasus yang digunakan penulis dalam proposal

karya tulis ilmiah perawatan luka pada pasien ulkus diabetikum tipe Ii

diantaranya yaitu:

1. Lembar wawancara

Merupakan sebuah media yang digunakan dalam

pengambilan data melalui sesi tanya jawab dengan responden.

2. Lembar observasi

Observasi merupakan teknik dalam pengumpulan data

melalui pengamatan terhadap keadaan responden yang mendapatkan

perawatan.
F. Metode Pengumpulan Data

Hidayat (2021) menyatakan bahwa dalam pengumpulan data

menggunakan penelitian, sesi wawancara, studi dokumentasi atau

gabungan dari ketiganya sehingga penelitian ini dilakukan secara

komprehensif.

Berikut ini penjabaran cara yang digunakan penulis untuk

mendapatkan data dari responden:

1. Wawancara

Kegiatan yang dtempuh penulis untuk menemukan suatu

permasalahan secara mendalam serta komprehensif sehingga

mampu diangkat dalam penelitian. Dalam pelaksanaannya penulis

harus merujuk pada laporan dari penulis sendiri, pengetahuan

maupun kepercayaan pribadi dari responden (Anufia, 2019) dalam

(Lamonge, 2023).

Sehubungan dengan hal diatas, penulis mampu

mengumpulkan data bebrapa data diantaranya yaitu identitas,

riwayat penyakit, perawatan dan pengobatan yang lengkap terkait

dengan kondisi diabetes melitus tipe II hingga terjadinya ulus

diabetikum.

2. Observasi

Lamonge (2023) menyatakan bahwa metode observasi

mempunyai ciri yang spesifik dalam mengumpulkan data, setiap

faktor yang berhubungan dengan penelitian akan dikumpulkan dan


tentunya tidak hanya tertuju pada kondisi responden. Teknik ini

diterapkan pada perilaku manusia, proses kerja maupun lingkungan

yang berhubungan dengan masalah yang diangkat. Dalam hal ini,

penulis akan melakukan observasi terhadap kondisi ulkus

diabetikum tipe II 3 hari sekali dalam 2 minggu perawatan.

3. Studi dokumentasi

Dokumentasi merupakan suatu bukti berupa catatan tentang

perkembangan penyembuhan ulkus diabetikum tipe II yang dialami

responden, dalam hal ini penulis akan mendokumentasikan dalam

bentuk laporan hasil akhir.

G. Lokasi dan Waktu Studi Kasus

Hidayat (2021) menyatakan bahwa lokasi dan waktu studi kasus

merupakan rencana penulis dalam melaksanakan penelitiannya yang

meliputi tempat dan jadwal yang sudah ditentukan penulis.

1. Lokasi studi kasus

Lokasi studi kasus merupakan tempat pelaksanaan untuk

melakukan perawatan pada responden oleh penulis. Lokasi

responden berada di Wilayah kecamatan Mrebet, Kabupaten

Purbalingga, Jawa Tengah.

2. Waktu studi kasus


Waktu studi kasus merupakan waktu yang digunakan oleh

penulis untuk merawat responden. Perawatan luka pada responden

akan dilakukan pada Bulan Maret 2024.

H. Analisa Data dan Penyajian Data

Hidayat (2021) menyatakan bahwa analisa data dalam penelitian

kualitatif dilakukan dengan pengolahan dan penafsiran data yang

bertujuan untuk mengetahui hasil atau jawaban. Berikut ini urutan

dalam melakukan analisa data:

1. Pengumpulan data

Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi dan

dokumen yang kemudian ditulis dalam bentuk catatan lapangan dan

disalin dalam bentuk transkrip.

2. Mereduksi data

Catatan lapangan yang sudah disalin dalam bentuk transkrip

digunakan dalam menganalisa data yang ditemukan pada saat

penelitian kemudian bandingkan dengan nilai normal.

3. Penyajian data

Penyajian data dapat berupa table, gambar, bagan maupun

teks naratif. Penulisan identitas responden harus disamarkan dengan

tujuan untuk menjaga kerahasiaan responden.


4. Kesimpulan

Data yang sudah disajikan langsung dibahas dan

dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu secara teoritis

berhubungan dengan perilaku kesehatan. Setelah itu gunakan

metode induksi dala menarik kesimpulan.

I. Etika Studi Kasus

Harmoko et al (2022) menyatakan bahwa studi kasus terikat

dengan kode etik yang harus dijunjung tinggi oleh penulis dalam

mengolah data respondennya. Berikut ini bebrapa hal yang perlu

diperhatikan oleh penulis sehingga responden tidak mengalami kerugian

baik secara mroral maupun moril:

1. Informed Consent

Suatu cara yang dilakukan untuk menginformasikan tujuan

penelitian kepada klien berupa pemberian lembaran oleh penulis,

dengan harapan mendapatkan persetujuan secara hitam diatas putih

agar klien mau menjadi peserta tanpa mengesampingkan hak-hak

klien.

2. Anonimity

Demi menjaga hak privasi klien, penulisan nama klien baik

pada lembar alat ukur maupun lembar pendataan dan hasil penelitian

yang akan dipresentasikan harus menggunakan kode tertentu tidak

diperkenankan menggunakan nama terang.


3. Confidentiality

Memberikan jaminan bahwa segala hal yang berhubungan

dengan informasi klien akan dijaga kerahasiaannya dan hanya

kumpulan data tertentu yang akan disertakan dalam laporan akhir.

4. Benefience

Sebuah penelitian harus memiliki kebermanfaatan terhadap

subjek penelitiannya dengan memaksimalkan perawatan dan

meminimalkan efek negatif yang mungkin bisa terjadi. Dalam hal

ini, penulis hanya membekali klien dengan tindakan yang

dibutuhkan sesuai dengan keadaan yang dialami klien dan kondisi

klien mampu membaik seiring dengan berjalannya waktu.

Anda mungkin juga menyukai