Anda di halaman 1dari 83

Palu, Kemendikbud --- Pekan Budaya Indonesia 2017 yang diselenggarakan bersamaan

dengan Festival Pesona Palu Nomoni 2017 menyuguhkan beragam kegiatan kebudayaan
selama acara berlangsung. Salah satunya adalah ritual atau upacara adat khas Suku Kaili,
yang ditampikan di area Kampung Kaili, Pantai Talise, Palu, Sulawesi Tengah.

Upacara adat Baliya Jinja adalah sebuah ritual pengobatan bersifat nonmedis yang sudah
dikenal masyarakat Suku Kaili sejak ratusan tahun lalu. Sebelum adanya rumah sakit, upacara
ini diandalkan masyarakat untuk mendapatkan petunjuk dari nenek moyang terkait bagaimana
melunturkan penyakit-penyakit yang menyerang tubuh.

Manopo, salah satu anggota tim upacara ritual Baliya Jinja mengungkapkan, tradisi ini masih
dipegang oleh masyarakat Suku Kaili hingga sekarang. Minimal ada satu orang di anggota
keluarga yang bersedia belajar mengenai adat turun-menurun ini.

“Tradisi ini masih dilestarikan. Misalnya siapa anak perempuan yang mau (belajar
upacara Baliya) di keluarga. Namun ini sifatnya tidak dipaksa, yang mau saja,” ucap Manopo di
Kampung Kaili, Palu, Sabtu (23/9/2017).

Ritual ini dipimpin oleh seorang dukun atau tetua yang disebut Tina Nu Baliya. Sang dukun
biasanya mengenakan seragam yang terdiri dari sarung dan baju ari fuya (sinjulo) berwarna
putih dan destar (kudung) berwarna merah.

Di dalam Ritual Baliya Jinja, Tina Nu Baliya akan duduk mengelilingi si penderita. Sementara
itu, tiga orang lainnya bertugas meniup seruling, memukul tambur dan gong. Sebisa mungkin
alunan musik dimainkan dengan lemah lembut. Lirik nyanyiannya berisikan pujian-pujian yang
ditunjukan kepada Maha Besar Tuhan untuk mengembalikan kesehatan dari gangguan setan
dan jin. Melalui untaian-untaian lirik inilah penyakit dihalau dengan kata-kata yang sopan dan
tidak mencela.

Secara prosesi, ritual Baliya Jinja ini dibagi menjadi dua macam, yakni sesaji yang dilarung ke
laut atau dibuang ke gunung. Soal sesaji pun dibedakan menjadi beberapa bagian, ada adat 9
dan adat 7. Angka-angka ini merujuk pada jumlah sesaji yang disiapkan.

“Ini ada sesaji inang, gambir, tembakau dan beberapa lainnya. Kalau nenek moyang kami dulu
kalau pesta kawinan atau pesta adat pasti ada semua ini (sesaji),” ujar Manopo sambil
menunjukan sesaji yang telah disiapkan.

Ritual Baliya Jinja yang ditampilkan masyarakat Suku Kaili ini menghabiskan waktu berjam-jam
lamanya. Di penghujung ritual, sesaji dilarung ke laut pada keesokan harinya untuk membuang
penyakit yang mendera si penderita.

Pertunjukan ritual atau upacara adat adalah salah satu kegiatan dalam rangkaian Pekan
Budaya Indonesia 2017 dan Festival Palu Nomoni 2017 di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Beragam kegiatan budaya akan berlangsung selama enam hari di beberapa lokasi di Palu,
seperti Taman Budaya Golni, Museum Provinsi Sulawesi Tengah, dan Pantai Talise. Acara
yang digelar antara lain pertunjukan seni, workshop melukis, gelar permainan tradisional, dialog
kesejarahan, dan pertunjukan ritual atau upacara adat. (Desliana Maulipaksi)
Palu, Ditjen Vokasi - Riasan pengantin daerah tidak hanya membuat calon pengantin terlihat
memukau, tetapi mengandung makna filosofi kebudayaan. Begitu pun dengan riasan pengantin
adat Palu, Sulawesi Tengah. Pernah lihat bagaimana adat dan riasan pengantin daerah Palu?

Riasan pengantin di daerah Palu memiliki ciri khas tersendiri yang cukup berbeda dengan
daerah lain di Indonesia, mulai dari busana adat sampai dengan riasan. Pada umumnya riasan
pengantin Palu bersumber dari adat suku Kaili.

Di sisi lain, memahami riasan pengantin daerah artinya turut melestarikan budaya daerah.
Sebuah cara untuk mengetahui dan belajar mengenai riasan pengantin daerah adalah melalui
kursus di lembaga kursus dan pelatihan (LKP).

LKP yang turut membuka kursus rias pengantin daerah Palu adalah LKP Arini. Arini, selaku
instruktur menjelaskan bahwa LKP yang didirikan ibunya memang menomorsatukan materi
mengenai adat istiadat suku Kaili yang disampaikan dalam materi tata rias pengantin.

“Sangat penting menambahkan materi mengenai adat istiadat daerah Palu. Maka dari itu di LKP
Arini pun menambahkan materi tersebut sebagai materi pokok,” tegas Arini.

LKP yang berdiri sejak 2008 ini pun sudah memiliki ratusan alumni yang bekerja sebagai
makeup artist (MUA), wedding organizer, serta membuka salon kecantikan. Dalam
memaksimalkan pembelajaran LKP Arini selalu berfokus pada kompetensi peserta didik melalui
praktik. LKP ini pun memiliki Arini Salon yang menyediakan layanan home service untuk
smoothing, pewarnaan, dan make up.

Selain itu, Arini juga menerangkan mengenai budaya yang diajarkan dalam kursus tata rias
pengantin daerah Palu, yaitu upacara adat pernikahan, busana pernikahan, dan riasan
pengantin.

Prosesi adat istiadat pernikahan


Dalam upacara adat pernikahan suku Kaili terdapat beberapa proses adat sebelum hari akad
berlangsung. Satu hari sebelum akad, harus diberlakukan beberapa rangkaian acara, yaitu
nogigi dan nokolontigi/malam pacik.

Nogigi merupakan proses ketika pengantin wanita mencukur alis mata atau menghilangkan
rambut-rambut di wajah. Menurut kepercayaan suku Kaili, rambut-rambut wajah dianggap
sebagai bulu celaka sehingga harus dihilangkan. Dengan mencukur alis dipercaya dapat
membuang sial selama pernikahan pengantin berlangsung.

Sementara itu, nokolontigi atau bisa disebut malam pacik adalah prosesi pengajian di tempat
pengantin wanita yang bertujuan untuk menghindari malapetaka dan membantu perlindungan
dari Maha Kuasa.
Setelah pembacaan doa, calon pengantin wanita pun harus menghaluskan daun pacar di
telapak tangan yang menyimbolkan pengorbanan. Selain itu calon pengantin pun diusapkan
minyak kelapa ke kepalanya yang dipercaya agar pengantin murah rezeki. Disediakan juga
kapur sirih dan bedak yang dioleskan ke leher calon pengantin sebagai tanda atau jaminan
untuk tidak akan memalukan nama baik keluarga.

“Prosesi nokolontigi secara adat memang seperti itu, tetapi terkadang ada pula pengantin yang
hanya menggunakan daun pacar yang dioles di tangan,” jelas Arini menerangkan

Berbeda dengan nogigi dan nokolontigi yang dilakukan saat malam hari sebelum akad, terdapat
juga budaya mapa tuah yang dilaksanakan setelah akad berlangsung. Mapa tuah adalah
kunjungan pengantin wanita menginjakan kaki di rumah pria.

Busana adat dan riasan pengantin


Beralih ke busana adat tentu saja tidak akan terlepas dari pakaian, aksesoris, dan juga riasan
pengantin. Arini menerangkan bahwa busana pernikahan pengantin wanita dan laki-laki pada
umumnya menggunakan warna-warna cerah seperti kuning dan merah yang artinya
melambangkan kemakmuran.

Untuk lebih jelasnya, busana pengantin wanita sendiri menggunakan baju nggembe yang
berbentuk seperti blouse segiempat sebatas pinggang dan menggunakan rok berbahan tenun
donggala. Aksesoris yang digunakan pengantin wanita pun jombe, gelang, dan kalung

Sementara itu, lebih sederhana dari pengantin wanita, busana untuk pengantin pria
mengenakan baju koje berkerah dengan ikat kepala bernama siga. Aksesoris untuk pria selain
siga adalah pedang atau orang Sulawesi menyebutnya parang.

Pakaian adat yang dikenakan pengantin tidak akan lengkap tanpa adanya riasan/makeup.
Riasan pengantin daerah Palu tergolong riasan sederhana yang menampilkan efek natural dan
anggun. Maka dari itu, riasannya pun tergolong soft dan flawless, tetapi tetap menonjolkan
kecantikan wajah dan kulit yang bersih. (Zia/Cecep Somantri)
Menelusuri 7 upacara adat Sulawesi Tengah, dari upacara pengobatan, kelahiran,
sakaratul maut, hingga syukuran musim panen telur maleo.

Sulawesi Tengah merupakan salah satu daerah yang kaya akan kebudayaan yang diwariskan
secara turun temurun. Berbagai tradisi yang menyangkut pada segala aspek kehidupan masih
terpelihara dalam kehidupan sehari-hari.

Berbagai macam kepercayaan lama juga merupakan bagian dari warisan budaya yang tetap
terpelihara dan dilakukan dalam bentuk tradisi, ritual, ataupun upacara adat. Meskipun dalam
pelaksanaannya telah banyak dipengaruhi oleh segala bentuk modernitas dan peranan agama.

Pada kesempatan ini, kita akan sedikit mengulas dan menelusuri berbagai bentuk bentuk
upacara adat Sulawesi Tengah yang banyak didominasi oleh masyarakat Suku Kaili dan Suku
Kulawi. Namun, ragam kebudayaan tersebut masihlah sangat menarik untuk dibicarakan.

Berikut kita rangkum 7 upacara adat Sulawesi Tengah yang khas dan beragam.
1. Upacara Nokeso

U
pacara Nokeso /celebesta.com

Nokeso adalah sebuah upacara di Sulawesi Tengah bagi seorang perempuan yang telah
menjelang usia baligh (nabalego), yaitu dengan menggosok gigi bagian depan hingga rata.
Biasanya, pelaksanaannya dilakukan tepat sebelum seorang perempuan
mengalami menarche (haid pertama). Apabila seorang gadis telah mengalami haid, biasanya
orang tua akan merasa malu untuk mengupacarakannya. Namun karena tuntutan adat, upacara
akan tetap dilaksanakan.
Teknis upacara ini umumnya ditentukan oleh seorang vati sesuai dengan status sosial atau
warisan yang pernah diterima dari orang tuanya atau nenek moyangnya. Sementara bagi
seorang keturunan bangsawan, peran vati digantikan oleh ketua dewan adat.
Upacara Nokeso bisa dikatakan adalah semacam upacara peresmian atau pernyataan bahwa
seorang anak perempuan yang diupacarakan telah mengakhiri masa kanak-kanak dan
memasuki masa kedewasaan. Maka dari itu, diharapkan si perempuan tersebut selalu menjaga
dirinya, tutur kata, serta adat istiadat leluhurnya.

Bagi masyarakat setempat, upacara ini dimaksudkan untuk mengantarkan anak perempuan
memasuki masa karandaa (gadis). Diharapkan, seorang anak perempuan senantiasa diliputi
kebahagiaan tanpa gangguan mental maupun fisik, serta kemudahan dalam urusan jodoh,
rezeki, dan panjang umur.
Bagi seorang putri bangsawan, upacara Nokeso biasanya akan digelar secara besar-besaran
oleh Ketua Dewan Adat Kerajaan selama tujuh hari tujuh malam dan melibatkan seluruh rakyat
desa. Biaya pesta biasanya diperoleh dari bantuan rakyat yang disebut
dengan pekasuvia, berupa hewan ternak, beras, sayur-sayuran, dan sebagainya.
Namun bagi rakyat biasa, upacara Nokeso akan dilaksanakan secara sederhana saja. Selesai
dalam waktu sehari.
2. Baliya Jinja

Baliya Jinja /kemendikbud.go.id

Baliya Jinja adalah sebuah upacara ritual pengobatan yang bersifat non-medis dan telah
dikenal sejak ratusan tahun lalu oleh masyarakat Suku Kaili. Sebelum masa tersedianya rumah
sakit, upacara ini diandalkan masyarakat Kaili untuk memperoleh petunjuk dari roh nenek
moyang terkait bagaimana menyembuhkan penyakit yang tengah menimpa seseorang.
Namun hingga kini, upacara ini masih dilakukan. Ritual akan dipimpin oleh seorang dukun atau
tetua yang disebut dengan Tina Nu Baliya. Sang dukun biasanya akan mengenakan pakaian
khusus berupa sarung, baju ari fuya, serta destar (tudung) berwarna merah.
Dalam pelaksanaannya, Tina Nu Baliya akan duduk mengelilingi seorang penderita penyakit
yang diupacarakan. Sementara sejumlah tiga orang bertugas meniup seruling, memukul
tambur, dan gong. Sedapat mungkin, alunan musik dimainkan dengan lemah lembut.

Lirik syair yang disenandungkan juga berisi puji-pujian yang ditujukan kepada Yang Maha
Kuasa agar berkenan menghilangkan segala gangguan setan dan jin, serta mengembalikan
kesehatannya seperti sediakala.

Dalam prosesinya, ritual Baliya Jinja dibagi menjadi dua jenis, yaitu sesajian yang dilarung ke
laut atau dibuang di gunung. Dalam sesajiannya pun, ada beberapa macam, ada adat 9 dan
adat 7. Angka-angka tersebut berkaitan dengan jumlah sesajian yang dikorbankan, berupa ada
sesaji inang, gambir, tembakau, dan lain sebagainya.

Pelaksanaannya pun biasanya berlangsung selama berjam-jam. Setelah selesai prosesi ritual,
sesajian yang telah disiapkan tersebut akan dilarung ke laut pada keesokan harinya sebagai
simbol untuk membuang penyakit yang mendera si penderita.
3. Upacara Rakeho

Rakeho /goodnewsfromindonesia.id

Masih berkaitan dengan upacara masa menjelang dewasa, Rakeho adalah upacara untuk
menyambut peralihan masa remaja ke masa dewasa bagi kaum laki-laki masyarakat Suku
Kulawi di Sulawesi Tengah.
Bentuk inti pelaksanaan upacara Rakeho adalah meratakan gigi bagian depan serata dengan
gusi, baik gigi atas maupun gigi bawah. Bukan hanya untuk mencari keselamatan, upacara ini
juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan yang berkaitan
dengan keharmonisan hubungan rumah tangga.

Waktu pelaksanaan upacara Rakeho tidak terikat pada perhitungan waktu, hari, atau bulan,
namun disesuaikan dengan kemampuan orang tua yang hendak menyelenggarakannya.
Biasanya, upacara ini dilaksanakan pada waktu setelah panen berhasil karena di saat itulah
orang tua memiliki kemampuan untuk menggelar upacara adat ini.

Upacara Rakeho biasanya dilaksanakan pada siang hari di sebuah tempat yang telah disiapkan
oleh orang tua, yaitu sebuah rumah yang telah dikosongkan di tempat yang sedikit terpencil dan
jauh dari keramaian.

Dalam teknisnya, upacara Rakeho hanya melibatkan seorang topekeho (dukun) yang telah
memiliki pengalaman dan keahlian dalam mengikir gigi. Keahlian seperti ini biasanya dimiliki
topekeho yang diwariskan secara turun temurun dari pendahulunya.
4. Upacara Ratompo

Ratompo adalah sebuah upacara yang khusus diadakan bagi seorang gadis bangsawan yang
telah menjalani prosesi Mancumani dalam sebuah pesta adat antar kampung. Prosesi upacara
Ratompo kurang lebih sama dengan upacara Rakeho, yaitu semacam pengikiran gigi bagi
seorang perempuan yang telah menjelang usia dewasa.
Adapun waktu pelaksanaannya digelar mulai dari pagi hari agar seluruh prosesi upacara dapat
dilakukan secara cermat. Sementara tempat upacara harus jauh dari keramaian, seperti: di
sebuah rumah kosong yang jauh dari keramaian, atau di bawah pohon rindang di tengah hutan.

Prosesi upacaranya sendiri hanya melibatkan seorang topetompo (dukun) sebagai pemimpin
yang dibantu oleh seorang topepalielu. Selain kedua orang tersebut bersama gadis yang
diupacarakan, tidak ada yang boleh menyaksikan atau mengikuti jalannya prosesi Ratompo,
termasuk keluarganya.
Sebelumnya, si gadis yang diupacarakan akan memakai sebuah baju yang terbuat dari kulit
kayu, yang biasa disebut haili, dan sarung dari mbesa. Si gadis juga akan diberi makan ketan
putih dan telur sebagai simbol bahwa si gadis telah rela untuk menjalani seluruh tahapan
upacara.
Setelah prosesi pengikiran gigi selesai, si gadis akan diberi obat berupa air hangat dan porama
mavau untuk berkumur. Setelah darah yang keluar mulai berkurang, si gadis akan dipulangkan
ke rumahnya dan diserahkan kepada orang tuanya.
5. Upacara Nopamada

Nopamada adalah sebuah upacara yang dilakukan pada saat-saat seseorang menjelang
sakaratul maut, dimana seluruh keluarga berkumpul dan berjaga-jaga menjelang datangnya
ajal.
Bagi masyarakat Kaili, momen seperti itu adalah waktu berharga untuk hadir bersama dengan
keluarga dan ikut serta menyaksikan jalannya upacara. Tanda-tanda orang yang sedang
mengalami sakaratul maut oleh masyarakat Kaili biasa disebut dengan nantapasaka.
Di saat-saat sekarat seperti itu, anggota keluarga atau orang yang berilmu akan memberikan
tuntunan dengan cara membisikkan pengajaran ke telinga orang sekarat tersebut secara
bergantian. Prosesi ini disebut dengan mopotuntuka ritalinga.
Pada zaman dahulu, tuntunan sakaratul maut ini biasa dilakukan oleh seorang sando (dukun)
dengan membaca mogane (mantra) sembari meremas bagian kepala dengan air yang
sebelumnya telah dibacakan mantra-mantra tertentu. Sementara keluarga dan kerabat akan
menyaksikannya dengan tenang.
Dewasa ini, upacara tersebut telah diwarnai dengan peranan agama. Ketika seseorang
mengalami rilara nuadanga, maka pihak keluarga akan mengadakan pengajian Alquran dari
salah seorang yang diakui memiliki suara yang fasih dan langgam yang baik.
Sementara yang bertugas membisikkan pengajaran atau tuntunan kepada orang yang sekarat
tersebut adalah anggota keluarga terdekat atau seorang guru yang dianggap memiliki ilmu
agama yang baik.

Kalimat yang dibisikkan ke telinga orang tersebut pada saat nipotuntuka ritalinga adalah kalimat
tauhid “La ilaha illallah”. Sesuai dengan ajaran Islam bahwa siapa yang mampu mengucapkan
kalimat tauhid di saat-saat terakhirnya, maka orang tersebut berhak masuk surga.
Inti dari upacara Nopamada ini adalah mengajarkan atau menuntun orang yang mengalami
sakaratul maut dengan suatu petunjuk yang diyakini dapat membuka jalan yang lurus, agar roh
dapat keluar dengan tenang pada saat menghembuskan nafas terakhir.

Ajaran tersebut oleh masyarakat Kaili biasa disebut dengan “jalan ngamatea” atau jalan menuju
kematian. Isinya mempelajari tanda-tanda akan datangnya ajal dan jalan yang akan ditempuh
oleh roh seseorang menuju alam baka.
Ajaran seperti itu diperoleh melalui jalan tarikat dari guru-guru agama, yang biasanya diajarkan
kepada seseorang dalam kelambu atau bersifat sangat rahasia. Ilmu tersebut tidak diajarkan
kepada sembarang orang, melainkan hanya kepada orang-orang yang benar-benar dapat
dipercaya untuk mengajar orang-orang yang sedang dalam keadaan sakaratul maut.
6. Nompudu Valaa Mpuse

Tembuni /kemendikbud.go.id

Nompudu Valaa Mpuse adalah upacara pemotongan tali pusar dari tavuni (tembuni) pada
seorang bayi yang baru lahir. Upacara ini biasa dilakukan oleh masyarakat Palu yang dibantu
oleh seorang sando mpoana (dukun beranak).
Tali pusar dan tembuni oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai dua makhluk yang harus
dipisahkan. Oleh karena itulah, upacara ini dilakukan dengan khidmat oleh seorang dukun
bersalin agar roh tembuni tidak mengganggu bayi setelah keduanya dipisahkan.

Setelah bayi lahir, dukun tersebut akan menutup kedua telinganya dengan kepingan uang
logam dan memotong tali pusar di atas uang logam 100 perak meggunakan benji (sembilu dari
bambu).
Selesai pemotongan, ujung tali pusar yang tadinya berhubungan dengan si bayi tersebut lalu
diikat menggunakan bana (benang) atau titinggi nggaluku (serat sabut kelapa merah yang
masih muda), atau sering juga menggunakan lui kuli nusuka (serat kulit kayu balinjau).
Sementara itu, si bayi dimandikan menggunakan air hangat kuku yang biasa disebut
dengan uwe longo. Sedangkan sang ibu dari bayi tersebut dibersihkan dan diberi obat-obatan
tradisional agar kekuatannya pulih kembali.
Tembuni yang merupakan bagian dari bayi tersebut oleh masyarakat setempat dianggap
sebagai saudara dari sang bayi. Tembuni tersebut akan disimpan selama seminggu dengan
dibungkus menggunakan kain kuning dalam sebuah belanga tanah yang telah diberi garam dan
asam.

Di atas belanga tersebut dihias dengan empat tusuk bawang dan kunyit sebagai hiasan agar
tembuni merasa mendapat pelayanan dan hiburan sehingga tidak lagi mengganggu
saudaranya. Dengan begitu, sang bayi tidak selalu menangis atau tersenyum saat tidur karena
diganggun oleh saudaranya (tembuni).

Dalam upacara penanaman tembuni tersebut, dipilih dua anak perempuan yang masih hidup
kedua orang tuanya untuk bertugas membawa tembuni dari rumah menuju tempat penanaman,
sementara satu anak lagi membawa makanan untuk tembuni tersebut.

Sepanjang jalan, kedua anak perempuan itu tidak diperbolehkan berbicara ataupun ditanyai
sesuatu sampai tembuni tersebut selesai ditanam. Dari setelah prosesi kelahiran sampai
selesai upacara penanaman tembuni, si bayi juga dilarang dibawa keluar dari kamar, apalagi
sampai keluar rumah dan turun tanah.

Dalam upacara tersebut, disediakan dua buah lubang yang selain untuk menanam tembuni,
juga untuk menanam bibit kelapa. Pohon kelapa yang ditanam tersebut adalah penanda usia
sang anak, sekaligus sebagai penghibur bagi tembuni dan menggembirakan sang anak ketika
telah tumbuh besar.
7. Malabot Tumpe

Malabot Tumpe /sultengprov.go.id

Malabot Tumpe adalah upacara syukuran atas panen telur burung maleo oleh masyarakat
Banggai, Sulawesi Tengah. Tradisi ini sudah dilakukan oleh masyarakat Banggai sejak zaman
Kerajaan Banggai pimpinan Raja Mandapar.
Maleo sendiri adalah seekor burung endemik Sulawesi Tengah yang hidup di kawasan pantai.
Populasinya banyak ditemukan di daerah Bangkiang, Kecamatan Batui.

Prosesi upacara Malabot Tumpe ini diawali dengan mengumpulkan telur burung maleo oleh
perangkat adat. Setelah telur terkumpul, para perangkat adat tersebut akan membawanya ke
rumah ketua adat dan melakukan rangkaian prosesi dengan doa dan dzikir kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

Biasanya, untuk mengantarkan telur burung tersebut menggunakan perahu melalui sungai Batui
dan disertai dengan tujuh orang pengantar telur. Tujuh orang tersebut terdiri dari: 3 orang
pemangku adat yang biasa disebut dengan ombuwa telur (pembawa telur) dan 4 orang
pendayung.
Sebelum diberangkatkan menuju Banggai, telur-telur maleo tersebut dibungkus menggunakan
daun pohon palem yang biasa disebut daun komunong. Para pembawa telur akan berjalan dan
diarak menuju sungai Batui dengan iringan genderang dan dikawal oleh pasukan adat.
Telur-telur maleo biasanya dikumpulkan dari lima desa, yaitu Dakanyo Ende, Binsilok Balatang,
Tolando, Binsilok Katundunan, dan Topundat. Masing-masing desa tersebut biasanya dapat
mengantarkan 20 hingga 25 butir telur. Sehingga setiap tahun dapat terkumpul kurang lebih
sampai 100 butir telur untuk upacara Malabot Tumpe.

Namun kini dikabarkan bahwa keberadaan telur burung maleo semakin berkurang, sehingga
jumlah telur yang diupacarakan semakin sedikit. Upacara Malabot Tumpe seperti ini biasa
diadakan rutin setiap tahun, pada musim pertama bertelurnya burung maleo yang biasanya
terjadi pada bulan September.

***
Batara adalah salah satu wadah atau tempat yang dibuat dalam ritual adat Kematian yang ada
pada masyarakat suku Kaili Sulawesi Tengah, yakni sebuah ritual yang dilaksanakan oleh
keluarga yang berkabung untuk penghormatan kepada orang yang meninggal. Terdiri dari
tempat tidur yang lengkap dengan bantal dan guling, diatasnya digantung sebuah payung hitam
yang atasannya dilapisi kain putih sebagai simbol roh orang yang meninnggal. Kemudian di
dekat tempat tidur tersebut disiapkan berbagai perlengkapan lain seperti pakaian, kain sarung
dan sebagainnya. Pada sisi lainnya disediakan lampu minyak yang selalu dinyalakan sebagai
simbol penerang jalan bagi yang meninggal. Kesimpulannya adalah bahwa Keseluruhan bagian
batara adaah simbolisasi penghormatan keluarga kepada yang meninggal karna masyarakat
suku Kaili Sulawesi Tengah percaya dalam masa berkabung Roh orang yang meninggal masih
ada bersama mereka sampai masa berkabung selesai.

Upacara ini dijumpai dalam lingkungan keluarga raja atau bangsawan pada zaman dahulu,
khususnya bagi yang menjabat kekuasaan dalam pemerintahan sebagai Magau. Molumu ialah
masa menyemayamkan jenazah, di mana mayat disimpan dalam peti kayu yang tertutup rapi.
Molumu berarti menyimpan mayat-mayat dalam peti (lumu, peti mayat) yang dibuat dari yang
sudah nigala-gala (diberi alat perekat dan penutup setiap lubang dan pertemuan papan peti
mayat tersebut dengan alat perekat). Maksudnya agar bau busuk dari mayat dalam peti itu tidak
tercium, karena mayat yang dipetikan (nilumu) tidak dibalsem atau dimumikan.

Maksud dan tujuan upacara molumu tersebut ialah agar roh si mayat tersebut beristirahat
dengan tenang, di tengah-tengah keluarga sebelum ia dikuburkan, di samping menunggu para
Tadulako membawa hasil sesembahannya berupa kepala manusia yang dicarinya di luar
kerajaan. Mendapatkan kepala manusia dengan jalan mengayau (nangae) adalah salah satu
kegiatan dan merupakan salah satu perlengkapan dalam upacara penguburan para raja-raja
zaman dulu. Kegiatan tersebut Nangae (mengayau).

Penyelenggara Teknis Upacara

1. Para tukang kayu bertugas membuat Jumu (peti jenazah) yang dibuat dari kayu pohon kapuk
yang utuh secara gotong royong
2. Ketua dan anggota dewan Hadat, bertugas memimpin penyelenggaraan permandian
jenazah, memasukkan jenazah ke dalam peti jenazah, dan selama jenazah disemayamkan
3. Topovara yaitu orang mengipas jenazah yang disemayamkan dalam peti jenazah, masih
berjumlah 14 orang dari keluarga perempuan dewasa
4. Topotinti gimba (pemukul gendang) terdiri dari ketua/anggota dewan adat, orang-orang
tertentu yang diberi tugas khusus untuk itu dan Tadulako. Tadulako ialah hulubalang raja yang
bertugas mengawal dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta petugas khusus
yang melakukan tugas pengayanon sebagai salah satu tuntutan upacara adat
5. Topotanginjaka ialah orang tertentu yang disiapkan khusus untuk mengisi mayat. Umumnya
dari keluarga ibu yang ahli dan mampu mengungkapkan kata-kata yang mengundang rasa haru
dan sedih bagi yang mengikutinya
6. Topotinti gimba ialah petugas yang memukul gendang selama masa tertentu, mulai dari saat
kematian sampai selesai penguburan
7. Kayumpayu (tiang payung), yaitu orang yang bertugas memasang, menjaga dan memegang
payung, selama upacara kematian berlangsung, baik pada masa molumu, dan pada saat
mengantar jenazah ke kubur
8. Tadulako, ialah para hulubalang kerajaan yang bertugas memukul gendang di kuburan, dan
melakukan tugas penganon.
Pihak-pihak yang terlibat

Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara molumu dan movara tersebut terdiri dari: Seluruh
anggota keluarga, ketua-ketua dewan adat, kerajaan dan pejabat eksekutif kerajaan, Tadulako
(pengawal raja/kerajaan), dan anggota masyarakat pada umumnya.

Tugas-tugas mereka di samping melakukan tugas-tugas seperti yang disebutkan di atas, juga
membantu keluarga dalam melayani tamu-tamu yang datang selama masa molumu/movara
tersebut seperti memasak, juga ikut hadir untuk menyatakan rasa duka, di samping membawa
pekasivia (bantuan berupa makanan, atau keperluan-keperluan konsumsi lainnya selama masa
berkabung tersebut).

Tempat upacara molumu dan movara tersebut di dalam rumah kediaman raja atau di rumah
adat kerajaan yaitu Baruga atau Bantaya, sesuai keputusan Libutotua nungapa (musyawarah
orang tua adat).

Perlengkapan Upacara

Selama masa molumu dipersiapkan berbagai macam perlengkapan upacara, baik yang
digunakan pada masa molumu atau perlengkapan-perlengkapan lain yang digunakan selama
masa tersebut.

Perlengkapan selama upacara molumu ialah: peti mayat (lumu); kipas (vara); dekorasi,
semacam janur yang dibuat dari daun pandan dan bunga kemboja, yang dijadikan penghias
lumu (peti mayat) serta mayang pinang dan daun-daun kelapa. Perlengkapan lainnya ialah :
ula-ula, jajaka, gimba (gendang), pekabalu (kain pengikat kepala), kepala manusia, dan
payung.

Ula-ula ialah dua pasang orang-orangan yang dibuat dari kain berwarna kuning tanpa kepala.
Keduanya dipasang pada dua tiang di depan rumah pintu pagar masuk seperti bendera, yang
memasang ula-ula tersebut, ialah orang tua adat, melalui suatu upacara tertentu. (Ula-ula
adalah simbol kebangsawanan. Sebab yang berhak memasang ula-ula dalam setiap pesta
upacara adat hanya keluarga bangsawan saja).

Payung disiapkan 2 buah dan dipasang terbuka di samping ula-ula yang senantiasa siap dijaga
oleh seorang petugas yang disebut kayu mpayu (tiang payung), petugas ini adalah anggota
raja/bangsawan yang meninggal tersebut. Payung tersebut pada bagian atasnya dilapis dengan
kain putih, dan dililitkan di atas puncak payung tersebut.

Jalannya Upacara

Jalannya upacara molumu selama masa (menyemayamkan jenazah dalam peti) tersebut terdiri
dari beberapa kegiatan.

Pertama, ialah membuat lumu (peti mayat) yang dibuat dari pohon kapuk. Bagian atasnya
dibuat dalam bentuk piramida dan pada sisi sekeliling lumu tersebut dihiasi dengan daun
pandan dan bunga kemboja. Lumu tersebut dibuat oleh para tukang secara gotong-royong,
dalam waktu satu hari sejak raja meninggal. Jenazah tersebut kemudian disimpan dalam peti
(nilumu) pada hari kedua yang disaksikan oleh seluruh keluarga.

Para ketua dewan hadat kampung bermusyawarah untuk menentukan dimana jenazah tersebut
disemayamkan di antara dua alternatif yaitu di rumah kediaman atau di rumah adat yang
disebut Baruga atau Bantaya. Selama jenazah tersebut disemayamkan, baik sebelum dan
sesudah dimasukkan dalam peti, sepanjang siang dan malam diadakan upacara movara,
sebagai salah satu rangkaian upacara molumu.

Movara ialah upacara pengawalan jenazah oleh sejumlah 14 orang (ruampapitu) yang
semuanya kaum wanita. Mereka duduk di samping kiri-kanan lumu masing-masing 6 orang, dan
pada bagian kepala dan kaki lumu masing-masing 1 orang sambil mengipas dengan vara
(kipas) yang dibuat dari kain putih dalam bentuk bundar telur. Maksud dan fungsi movara,
pengipasan jenazah sebelum dan sesudah nilumu selain sebagai simbol dari suatu masa
peristirahatan roh menanti saat penguburan, sekaligus sebagai simbol kebesaran upacara bagi
para raja/bangsawan. Juga masa menunggu persiapan perlengkapan upacara penguburan
yaitu kepala manusia.

Pelaksanaan teknis upacara disebut topovara. Topovara (orang-orang yang bertugas mengipas
jenazah) melakukan tugas secara bergantian, baik pada siang atau malam hari, selama masa
nolumu atau sebelum jenazah dikuburkan. Mereka disebut kayu nuvara, artinya turunan dari
orang-orang yang sejak dulu diberi tugas untuk itu. Upacara itu dikoordinir olen togura nungapa.
Posisi duduk mengitari lumu tersebut yang diatur oleh adat. Bila yang meninggal tersebut
seorang raja atau bangsawan, yang duduk pada bagian kepala jenazah adalah keturunan dari
keluarga orang tua adat, sedang bila orang tua-tua adat meninggal dunia, yang duduk pada
bagian kepala adalah anak-anak keluarga bangsawan.

Tata cara pengipasan dari dua kelompok yang berbeda di sebelah kiri kanan Lumu tersebut-
diatur berlawanan. Bila kelompok 6 orang sebelah kanan mengayun kipasnya ke kiri, maka
kelompok 6 orang sebelah kiri mengayun kipasnya ke kanan. Demikian pula orang yang di kaki
dan kepala status sosial antara yang duduk di bagian kepala dan kaki harus berbeda, yang
duduk pada bagian kaki (Riayalaya) adalah orang biasa (To dea), sedang yang duduk di bagian
kepala harus orang bangsawan.

Setiap topovara masing-masing membawa vara dari rumahnya sendiri, di samping ada vara
petombongi (vara sumbangan) dari hampir semua anggota keluarga atau orang tua adat yang
berasal dari luar kampung. Topovara datang dengan sukarela dan dikoordinir oleh Ketua Adat.
Masa movara ini berlangsung maksimal 40 hari 40 malam, yaitu selama masa molumu, kecuali
bila kepala manusia hasil pengayauan lebih cepat tersedia/didapatkan oleh para Tadulako,
maka masa movara atau molumu ini dapat dipersingkat, atas mufakat libu (musyawarah dewan
adat).

Salah satu acara yang penting ialah upacara Mentanginjaka, yaitu suatu upacara menangisi
mayat dengan cara nompejala yaitu mengungkapkan kesedihan, rasa keharuan, dengan kata-
kata yang isinya melukiskan kebaikan-kebaikan pribadi yang ditangisi, seakan-akan mereka
belum patut ditinggalkan dan sebagainya. Orang yang diberi tugas tersebut ialah seorang tua
perempuan yang dianggap ahli mengungkapkan suara hati masyarakat dengan tutur kata yang
penuh kesedihan. Acara ini berlangsung pada siang atau malam hari, selama masa
molumu/movara tersebut, sampai pada saat-saat jenazah/lumu tersebut telah siap diangkat ke
kubur, yaitu pada saat orang-orang banyak berkumpul, atas permintaan Ketua dewan Hadat,
dan menjelang mengantar jenazah ke kuburan. Maksud upacara ini ialah menggugah perasaan
haru, dan menimbulkan perasaan berkabung atau berduka cita bagi masyarakat pada
umumnya, dan menbangkitkan rasa simpati dan solidaritas dalam upaya mensukseskan
upacara kebesaran raja tersebut di saat ditimpa musibah dengan sifat gotong-royong.

Upacara lainnya ialah pamasangan Ula-ula (mompepeoko ula-ula) disertai pula dengan
persiapan perlengkapan upacara lainnya yang disebut jalaka. Jalaka ialah seperangkat benda-
benda tertentu, yang terdiri dari kepala 1 buah, benang kapas 10 gulung, pisang 1 sisir, 1/2 liter
beras, yang diletakkan di atas sebuah bakul yang disebut pada. Jajaka ini disimpan di bawah 2
tiang ula-ula yang dipasang di halaman depan rumah, di pintu pagar rumah orang yang
kematian tersebut. Di samping ula-ula tersebut dipasang pula 2 buah payung yang diberi lapis
kain putih pada bagian atas kedua payung tersebut yang dijaga oleh kayu mpayu. Waktu
pemasangan ula-ula tersebut pada pagi hari bila yang meninggal pada malam hari, dan atau
saat sesudah orang meninggal bila pada siang hari. Ula-ula tersebut dipasang baik siang
maupun malam hari selama upacara adat kematian belum selesai. Ula-ula adalah simbol
kebangsawanan.

Gendang atau gimba dipersiapkan 3 buah yang ditempatkan pada 3 buah tempat yaitu di rumah
kematian, di rumah Ketua Dewan Hadat (to tua nuada), dan di pekuburan (ridayo). Selama
masa molumu atau movara tersebut ketiga gendang tersebut ditabuh sepanjang hari baik siang
maupun malam dijaga oleh petugas khusus. Gendang yang pertama kali ditabuh ialah yang ada
di rumah kematian, dimulai oleh orang tua hadat, dan kemudian diserahkan kepada Tadulako
atau todea (masyarakat umum). Namun gendang di pekuburan sepenuhnya tugas para
Tadulako, di sini terkandung maksud bahwa petugas-petugas di sinilah yang diberi tugas
mengayau (nangae). Mereka memakai pengikat kepala selebar destar dari kain putih. Upacara
mengikat kepala tersebut disebut nekabalu, sedang alat penutup kepala tersebut disebut
pekabalu. Pakaian tersebut mengandung makna tersendiri, yaitu selama mereka masih
mekabalu, sekalipun raja sudah dikebumikan, mengisyaratkan bahwa tugas mereka.mengayau
belum berhasil dan masih terus berjalan. Mereka beranggapan bahwa pengabdian mereka
terhadap raja dan kerajaan belum selesai, dan masih terus diminta oleh adat kerajaan.

Bila batas waktu 40 hari selesai, dan sedikit kemungkinan untuk mendapatkan kepala manusia
di luar lingkungan kerajaan, maka penggantinya adalah kepala seorang budak sahaya atau
budak turunan yang disebut batua nggutu. Rangkaian kegiatan upacara tersebut di atas bukan
menggambarkan tahap-tahap upacara melainkan suatu rangkaian kegiatan upacara yang
dilaksanakan selama masa persemayaman jenazah yaitu sejak nienghembuskan napas terakhir
sampai menjelang upacara penguburan.

Pantangan-pantangan yang berlaku selam jenazah disemayamkan, yaitu:

1. Pantang memasak/membuat minyak kelapa dalam rumah dan harus memasak di tanah
sebab bau minyak kelapa dapat mengganggu jenazah di dalam peti mayat yang disimpan
dalam rumah atau Baruga/Bantaya.

2. Pantang membuat dan memasak sayur nangka (ganaga) dalam rumah ketuarga si mayat
karena selalu mogana dalam arti selalu ada orang yang meninggal dalam kampung itu. Pantang
membuat sayur nangka karena nama mogana identik dengan nama nangko dalam bahasa
Kaili, yaitu ganaga sama dengan kata gana.
3. Pantang memasak sayur kelor bagi seluruh warga desa selama masa jenazab
disemayamkan karena mengakibatkan banyak orang yang meninggal dunia, selalu gugur
seperti daun kelor. Daun kelor yang sudah dipetik, mudah layu dan gugur, terpisah dari
tangkainya, suatu sifat yang ditakuti bila manusia mengalami keadaan yang demikian.
4. Masyarakat umum pantang menggoreng sesuatu dalam rumah dan harus di tanah karena
dapat mengganggu jenazah.
5. Pantang bagi masyarakat desa tersebut menenun kain dalam rumah karena menggangu rob
jenazah selama disemayamkan.

Upacara yang telah hilang ialah upacara Molumu dan Mangae. Molumu dan Mangae dua
kegiatan yang sangat berkaitan. Molumu dalam arti menyemayamkan jenazah dalam peti dalam
waktu yang cukup lama, maksudnya memberi kesempatan kepada Tadulako untuk mengayau
(mangae) mencari kepala manusia. Lama tidaknya jenazah disemayamkan bergantung cepat
tidaknya kepala manusia itu didapatkan oleh Tadulako. Hal ini hanya berlaku bagi raja yang
memegang tampuk kekuasaan. Penganut agama (Islam) dan perubahan stratifikasi sosial
dalam masyarakat mendesak hilangya upacara ini sejak zaman Belanda menjelang masa
kemerdekaan.

Upacara lainnya hingga sekarang ini masih tetap terpelihara ialah Movara sekalipun waktunya
terbatas, yaitu sejak seseorang meninggal sampai sebelum jenazah diantar ke kubur.

Perbedaan-perbedaan yang prinsipil dalam upacara kematian antara raja dan bangsawan
antara lain: bagi raja (yang memegang tampuk kekuasaan) pada zaman dulu, adalah : Upacara
Molumu (menyemayamkan jenazah di dalam peti) sedang kaum bangsawan tidak; lamanya
jenazah disemayamkan cukup lama, sedangkan kaum bangsawan lebih singkat, sama dengan
orang biasa (1 sampai 2 hari saja) tanpa peti jenazah; memerlukan kepala manusia untuk
dikuburkan bersama raja dari hasil pengayauan, sedangkan bangsawan tidak; raja dikuburkan
dengan peti jenazah, sedangkan bangsawan tidak memakai dindingari (papan lebar segi empat
panjang penutup liang lahat) seperti todea (orang banyak), tetapi mereka menggunakan
penutup liang lahat bersegi tiga dari papan.
Proses Awal Adat Perkawinan Suku Kaili

PROSES ADAT PERKAWINAN SUKU KAILI

Adapun Proses Awal Perkawinan Suku Kaili adalah

1. Peduta (meminang)

Setelah diperkenalkan, ada hasrat untuk menikahi, maka dilakukan proses peduta.
Orang tua laki-laki bersama keluarga dan orang tua adat mengunjungi rumah kediaman
perempuan membawa sambulu dengan maksud dan tujuan kedatangan. Setelah itu
dilakukan pemberian tanda merah kepada seorang perempuan akan menjadi boti
(pengantin) proses ini dikenal dengan Pokolontigi. Dan pada saat itu juga perempuan
ini membatasi diri untuk bergaul di luar rumah.
 Pangore Balanja (hantar belanja)

Setelah melakukan proses peduta, maka keluarga dari laki-laki berkumpul untuk
membicarakan waktu yang baik untuk membicarakan Pangore Balanja (hantar belanja).
Sebelumnya laki-laki menyampaikan kepada keluarga perempuan untuk
memberitahukan waktu Pangore Balanja (hantar belanja).

 Pogigi (cukur alis mata)

Setelah dilakukan Pangore Balanja (hantar belanja) dengan di tenkuan waktu 7 hari
atau lebih baru dilaksanakan pernikahan, maka dilaksanakan Pogigi (cukur alis mata)
pada malam ke 3 sebelum pernikahan.

 Ponikah (Nikah)

Setelah dilaksanakan proses Peduta (meminang), Pangore Balanja (hantar belanja),


dan Pogigi (cukur alis mata), maka tibah saatnya melaksanakan proses Akad Nikah.
Sebelum proses akad nikah dilaksanakan maka proses pengantaran calon pengantin
laki-laki menuju rumah calon pengantin perempuan bersama keluarga dan orang tua
adat, setiba di rumah calon pengantin perempuan dilakukan proses penjemputan
dengan tarian peaju atau musik rebana, kemudian dilaksanakan proses petambuli.
Setelah itu maka dilaksanakan proses akad nikah di dunia, dilanjutkan dengan proses
nikah batin antara kedua penagntin dengan sang pencipta, baru dilakukan proses
nogero jene, setelah itu dilanjutkan pembacaan doa selamat.

Setelah 3 hari dilakukan proses memandikan dua pengantin baru ini di depan rumah
yang lebih dikenal Mandiu Pasili, tujuannya agar keduanya mawadha wa rahmah.

 Mematua (mengunjungi mertua)

Dari semua proses yang telah dilalui, maka proses terakhir adalah proses Mematua
yang didahului keluarga laki-laki mengunjung keluarga perempuan demikian sebaliknya
keluarga perempuan mengunjungi keluarga laki-laki.
Upacara Adat Pompaura: Mengharap Berkah
dan Keselamatan

Prosesi upacara adat pompaura, yang dilaksanakan oleh Dewan Hadat Sibulo Baraka, Kelurahan Kayumalue Pajeko, Sabtu (30/1/2016).
Upacara adat pompaura tersebut digelar dengan tujuan mengharap berkah dan keselamatan dari tuhan yang maha esa, serta dijauhkan
dari segala bahaya dan bencana.

Dewan Hadat Sibulo Baraka, Kelurahan Kayumalue Pajeko, Kecamatan Palu Utara, menggelar
upacara adat tolak bala atau yang biasa disebut pompaura. Upacara adat tersebut
dilaksanakan selama tiga hari sejak Kamis (28/1/2016) bertempat di Baruga Adat Sibulo
Baraka, Kelurahan Kayumalue Pajeko.

Ketua Panitia Penyelenggara, Amaludin, Sabtu (30/1/2016) malam, mengatakan, upacara


adat pompaura tersebut digelar dengan tujuan mengharap berkah dan keselamatan dari tuhan
yang maha esa, serta dijauhkan dari segala bahaya dan bencana. Upacara adat ini digelar
setiap tahun pada saat akhir tahun.

“Setiap tahun dilakukan setiap Bulan Desember, namun karena pada bulan tersebut digelar
pesta rakyat, maka upacara adat pompaura diundur hingga bulan Januari”, ujar Amaludin.

Pompaura sendiri merupakan upacara adat suku Kaili yang dilaksanakan selama tiga hari
berturut-turut. Pada hari pertama pelaksanaan Pompaura, para totua adat mewarnai beras
dengan empat warna yaitu merah, hijau, kuning, dan putih, yang disebut prosesi Noragi Ose.
Beras empat warna ini dipercaya dapat menjadi penangkal kekuatan jahat yang hendak
mengganggu kehidupan masyarakat. Beras empat warna ini merupakan simbolisasi dari empat
unsur sumber kekuatan gaib, yakni Tanduka Oge (wilayah Pantai Barat, Kabupaten Donggala),
Lariang, Gumbasa dan Uventira.

Pada hari kedua, dilaksanakan upacara Nopatinda Tavanggayu atau mendirikan tiang dari
tujuh macam kayu. Dalam prosesi ini, tujuh macam kayu itu tidak hanya sekadar didirikan.
Pada tempat yang akan ditancapkan kayu itu, terlebih dahulu ditempatkan lima macam benda
yakni uang logam jaman dulu, paku, sirih, telur dan kemiri untuk ditanam di tempat
menancapkan kayu tersebut. Dalam prosesi itu, hampir seluruh tetua adat mengalami
kesurupan karena dirasuki oleh roh leluhur. Saat prosesi ini dijalankan, sejumlah warga yang
menghadiri upacara tersebut juga ada juga yang mengalami kesurupan.

Pada hari ketiga yang merupakan puncak pelaksanaan prosesi adat Pompaura, sejumlah warga
menyiapkan sebuah perahu (sakaya) berukuran 1 x 3 meter yang terbuat dari pelepah sagu.
Perahu tersebut dihias sedemikian rupa dengan hiasan berbentuk burung atau yang biasa
disebut tonji-tonji, yang terbuat dari janur kelapa. Tonji-tonji tersebut dipasang mengelilingi
perahu. Tonji-tonji itu berfungsi sebagai media yang akan menyampaikan sesajian kepada ruh
jahat, agar ruh tersebut tidak mengganggu masyarakat.

Pada malam sebelum perahu itu dihanyutkan ke laut, para tetua adat berkumpul di bantaya
adat sambil menyenandungkan Baliore, yang merupakan kidung yang dipercaya sebagai
berasal dari Ngapa (kampung) Uventira. Bagi masyarakat Suku Kaili yang bermukim di wilayah
Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong, Uventira yang terletak di kawasan jalan Trans Palu-
Parigi (Kebun Kopi), diyakini sebagai sebuah kerajaan alam gaib.

Baliore terus diyanyikan oleh para tetua adat yang telah dirasuki ruh para leluhur. Para tetua
adat tersebut mengenakan pakaian berwarna kuning, yang merupakan warna yang
melambangkan Ngapa Uventira. Senandung Baliore terus dinyanyikan untuk mengiringi sesajen
yang telah disiapkan, untuk diletakkan di dalam perahu (sakaya pompaura).
Masyarakat tengah menghias perahu (sakaya pompaura) yang akan digunakan untuk melarung sesajen ke laut, pada prosesi pompaura.
Perahu ini dihiasi dengan tonji-tonji (hiasan burung) yang dipercaya sebagai media untuk menyampaikan sesajen kepada ruh jahat
agar tidak lagi mengganggu kehidupan masyarakat.

Selanjutnya, setelah sesajen ditata di atas sakaya pompaura, sakaya tersebut kemudian
dilarung di lepas pantai Kayumalue Pajeko pada Minggu (31/1/2016) dini hari. Pelepasan
perahu berisi sesajen tersebut diiringi dengan pembacaan doa untuk memohon keselamatan
serta dijauhkan dari bencana. Untuk memilih waktu pelepasan perahu itu ke laut, tidak
dilakukan secara sembarang. Para tetua adat menunggu waktu yang tepat yaitu pada saat
angin mengarah ke arah Ngapa Uventira.

Amaludin mengatakan, upacara adat ini merupakan tradisi yang digelar secara turun-temurun
oleh masyarakat Kelurahan Kayumalue Pajeko. Tradisi ini menurutnya merupakan salah satu
upaya untuk merekatkan persaudaraan masyarakat di Kelurahan Kayumalue Pajeko.

Lurah Kayumalue Pajeko, Roy Topan Sanjaya, menyambut baik pelaksanaan upacara adat
tersebut. Menurutnya, upacara adat seperti ini merupakan kearifan lokal yang harus
dilestarikan oleh Pemerintah Kota Palu.

Lanjut Roy, pengembangan nilai-nilai tradisi adat tersebut merupakan salah satu langkahnya
untuk mewujudkan Kelurahan Kayumalue Pajeko yang berbudaya dan beradat. Hal itu
menurutnya sesuai dengan visi misi Walikota Palu terpilih yang mengedepankan
pengembangan nilai-nilai budaya dan adat, yang dilandasi iman dan takwa.
Riasan pengantin daerah tidak hanya membuat calon pengantin terlihat memukau, tetapi
mengandung makna filosofi kebudayaan. Begitu pun dengan riasan pengantin adat Palu,
Sulawesi Tengah. Pernah lihat bagaimana adat dan riasan pengantin daerah Palu?

Riasan pengantin di daerah Palu memiliki ciri khas tersendiri yang cukup berbeda dengan
daerah lain di Indonesia, mulai dari busana adat sampai dengan riasan. Pada umumnya riasan
pengantin Palu bersumber dari adat suku Kaili.

Di sisi lain, memahami riasan pengantin daerah artinya turut melestarikan budaya daerah.
Sebuah cara untuk mengetahui dan belajar mengenai riasan pengantin daerah adalah melalui
kursus di lembaga kursus dan pelatihan (LKP).

LKP yang turut membuka kursus rias pengantin daerah Palu adalah LKP Arini. Arini, selaku
instruktur menjelaskan bahwa LKP yang didirikan ibunya memang menomorsatukan materi
mengenai adat istiadat suku Kaili yang disampaikan dalam materi tata rias pengantin.

“Sangat penting menambahkan materi mengenai adat istiadat daerah Palu. Maka dari itu di LKP
Arini pun menambahkan materi tersebut sebagai materi pokok,” tegas Arini.

LKP yang berdiri sejak 2008 ini pun sudah memiliki ratusan alumni yang bekerja sebagai
makeup artist (MUA), wedding organizer, serta membuka salon kecantikan. Dalam
memaksimalkan pembelajaran LKP Arini selalu berfokus pada kompetensi peserta didik melalui
praktik. LKP ini pun memiliki Arini Salon yang menyediakan layanan home service untuk
smoothing, pewarnaan, dan make up.

Selain itu, Arini juga menerangkan mengenai budaya yang diajarkan dalam kursus tata rias
pengantin daerah Palu, yaitu upacara adat pernikahan, busana pernikahan, dan riasan
pengantin.

Prosesi adat istiadat pernikahan


Dalam upacara adat pernikahan suku Kaili terdapat beberapa proses adat sebelum hari akad
berlangsung. Satu hari sebelum akad, harus diberlakukan beberapa rangkaian acara, yaitu
nogigi dan nokolontigi/malam pacik.

Nogigi merupakan proses ketika pengantin wanita mencukur alis mata atau menghilangkan
rambut-rambut di wajah. Menurut kepercayaan suku Kaili, rambut-rambut wajah dianggap
sebagai bulu celaka sehingga harus dihilangkan. Dengan mencukur alis dipercaya dapat
membuang sial selama pernikahan pengantin berlangsung.

Sementara itu, nokolontigi atau bisa disebut malam pacik adalah prosesi pengajian di tempat
pengantin wanita yang bertujuan untuk menghindari malapetaka dan membantu perlindungan
dari Maha Kuasa.

Setelah pembacaan doa, calon pengantin wanita pun harus menghaluskan daun pacar di
telapak tangan yang menyimbolkan pengorbanan. Selain itu calon pengantin pun diusapkan
minyak kelapa ke kepalanya yang dipercaya agar pengantin murah rezeki. Disediakan juga
kapur sirih dan bedak yang dioleskan ke leher calon pengantin sebagai tanda atau jaminan
untuk tidak akan memalukan nama baik keluarga.

“Prosesi nokolontigi secara adat memang seperti itu, tetapi terkadang ada pula pengantin yang
hanya menggunakan daun pacar yang dioles di tangan,” jelas Arini menerangkan

Berbeda dengan nogigi dan nokolontigi yang dilakukan saat malam hari sebelum akad, terdapat
juga budaya mapa tuah yang dilaksanakan setelah akad berlangsung. Mapa tuah adalah
kunjungan pengantin wanita menginjakan kaki di rumah pria.

Busana adat dan riasan pengantin


Beralih ke busana adat tentu saja tidak akan terlepas dari pakaian, aksesoris, dan juga riasan
pengantin. Arini menerangkan bahwa busana pernikahan pengantin wanita dan laki-laki pada
umumnya menggunakan warna-warna cerah seperti kuning dan merah yang artinya
melambangkan kemakmuran.

Untuk lebih jelasnya, busana pengantin wanita sendiri menggunakan baju nggembe yang
berbentuk seperti blouse segiempat sebatas pinggang dan menggunakan rok berbahan tenun
donggala. Aksesoris yang digunakan pengantin wanita pun jombe, gelang, dan kalung
Sementara itu, lebih sederhana dari pengantin wanita, busana untuk pengantin pria
mengenakan baju koje berkerah dengan ikat kepala bernama siga. Aksesoris untuk pria selain
siga adalah pedang atau orang Sulawesi menyebutnya parang.

Pakaian adat yang dikenakan pengantin tidak akan lengkap tanpa adanya riasan/makeup.
Riasan pengantin daerah Palu tergolong riasan sederhana yang menampilkan efek natural dan
anggun. Maka dari itu, riasannya pun tergolong soft dan flawless, tetapi tetap menonjolkan
kecantikan wajah dan kulit yang bersih.
38 Rumah Adat Provinsi di Indonesia
Lengkap Gambar dan Penjelasan
Indonesia punya kekayaan yang luar biasa, dengan berbagai warna kebudayaan. Salah satunya
tergambar dalam rumah adat. Berikut daftarnya.

1. Rumah Adat Sumatera Utara “Bolon”

c
ilegonweb.com

Masing-masing suku di Sumatra Utara sebenarnya memiliki rumah adat sendiri, namun secara
Nasional rumah adat Sumatra Utara diwakili oleh Rumah Adat Bolon.

Di mana Rumah Adat Bolon ini merupakan rumah adat suku Batak. Rumah Adat Bolon
berbentuk rumah panggung dan bagian kolongnya digunakan untuk memlihara hewan.

Tiang rumah dibuat dari kayu gelondongan, dindingnya dari anyaman bambu, lantainya dari
papan dan atapnya dari ijuk atau rumbia.

Rumah ini terdiri dari 4 ruangan, yakni Jabu bong (kamar kepala keluarga) jabu soding (kamar
anak perempuan, jabu suhat (kamar anak laki-laki) dan tampar piring (ruang tamu) tampar
piring (ruang tamu).
2. Rumah Adat Sumatera Barat “Gadang”

takaitu.id

Rumah Adat gadang atau rumah godang adalah rumah adat Minangkabau yang hingga kini
masih banyak ditemui di Provinsi Sumatra Barat.

Teringat bahwa kebudayaan melayu yang menyebar di sekitar Semenanjung Melaya.

Seperti ini juga dapat kita temui hingga di beberapa Daerah di Malaysia, jadi seandainya anda
melihat rumah gadang yang berada di negara tetangga, jangan anggap mereka telah mencuri
kebudayaan kita, karena kebudayaan malaya telah menyebar di sekitar Semenanjung Malaya.
3. Rumah Adat Nanggroe Aceh Darussalam “Krong Bade”

steemitimages.com

Rumah adat Aceh disebut rumoh Aceh atau Krong Bade, sebuah rumah panggung berbentuk
persegi empat memanjang dari timur ke barat.

Bangunan rumah dibuat dari kayu dan atapnya dari daun rumba, serta memiliki ornamen rumit.

Rumoh Aceh memiliki 5 ruang. seuramo-ukeu (serambi depan) untuk tamu laki-laki, seuramo-
likoot (serambi belakang) untuk tamu perempuan, rumoh-inong (rumah induk) di antara serambi
depan dan belakang, rumoh-dapu (dapur) dan seulasa (teras) di bagian paling depan rumah.
4. Rumah Adat Bangka Belitung “Rakit Limas”

4.bp.blogspot.com

Rumah Adat Rakit Limas memiliki aksen dn arsitektur yang hampir mirip dengan Rumah Limas.
Hal ini dikarenakan karena kedua rumah adat ini masih berada di daerah yang sama yaitu
Pulau Sumatra.

Namun, hal yang paling mencolok yang membedakan keduanya adalah pada bagian rakitnya.

Rumah Adat Rakit Limas merupakan rumah adat kebanggaan masyarakat Bangka Belitung
yang mendiami Provinsi Sumatra Utara.

Daerahnya yang merupakan kepulauan memberikan pembeda dan penanda dengan


menambahkan aksen rakit pada desain rumah adatnya.

Aksen rakit inilah yang menjadi ciri khas dan keunikan dari Rumah Adat Rakit Limas.
5. Rumah Adat Jambi “Panggung Kajang Leko”

smkn1muarojambi.files.wordpress.com

Rumah Adat Panggung Kajang Leko merupakan rumah adat yang berasal dari Provinsi Jambi.

Rumah adat ini terbilang memiliki ruangan yang cukup lengkap karena terdiri dari 8 ruangan.

Jogan, merupakan nama dari ruangan pertama yang biasa dimanfaatkan sebagai tempat untuk
menyediakan air dan sebagai tempat istirahat.

Sementara itu, ruangan kedua berguna sebagai tempat untuk menerima tamu laki-laki yang
diberi nama serambi depan.

Anak laki-laki akan tidur pada ruangan ketiga yang biasa disebut dengan serambi dalam.

Pada ruang keempat terdapat kamar untuk pengantin yang diberi nama Emben Melintang.

Pada ruangan kelima atau biasa disebut dengan serambi belakang berguna untuk menerima
tamu perempuan sedangkan pada ruang keenam berfungsi untuk tempat tidur anak perempuan
dan diberi nama leren.

Terdapat juga tempat untuk menyimpan air dan untuk memasak yang diberi nama garang yang
merupakan ruangan ketujuh.
Pada ruangan terakhir atau ruang kedelapan terdapat tempat untuk memasak yang disebut
dengan ruang dapur.

6. Rumah Adat Bengkulu “Rakyat”

t
hegorbalsla.com

Rumah Rakyat merupakan rumah adat Indonesia yang berada di Provinsi Bengkulu dan
merupakan rumah adat yang cukup lengkap walaupun tidak selengkap Rumah Adat Jambi.

Terdapat sebuah ruangan yang disebut dengan ruang berendo yang berfungsi sebagai tempat
menerima tamu.

Jika diartikan dalam Bahasa Indonesia berendo artinya adalah beranda. Terdapat sebuah
kamar utama yang biasa disebut dengan ruang blik gadang.

Sedangkan, kamar untuk anak perempuan biasa disebut dengan ruang blik gadis dan kamar
untuk anak laki-laki disebut dengan ruang laki.
7. Rumah Adat Sumatra Selatan “Limas”

2.bp.blogspot.com

Rumah Adat Limas merupakan nama rumah adat yang berasal dari Provinsi Sumatra Selatan.

Rumah adat yang satu ini memiliki gaya panggung, di mana perbedaan rumah panggung ini
dengan rumah panggung lainnya terletak pada arsiteknya.

Rumah Adat Limas memiliki arsitek yang lebih sederhana dan juga simple dengan ukuran yang
tidak terlalu besar, dan edikit teras di bagian depan serta sampingnya.

Sedangkan, bagian tengah rumah adat limas memiliki ruangan kecil yang bisa digunakan untuk
tempat tinggal.
8. Rumah Adat Lampung “Nowou Sesat”

4.
bp.blogspot.com

Rumah Adat yang berasal dari Provinsi Lampung ini bernama Rumah Nowou Sesat. Di mana
rumah adat ini awalnya dibangun dengan tujuan awal sebagai tempat beribadah.

Nowou Sesat sendiri jika diartikan dalam Bahasa Indonesia mengandung arti rumah ibadah.

Jika kita telusuri secara mendalam, Rumah Adat Nowou Sesat mempunyai makna yang
sungguh baik.

Setiap orang mempunyai keinginan untuk membangun sebuah keluarga dan mendidik anak-
anaknya untuk menjadi anak yang berbakti dengan menggunakan pondasi ibadah kepada
Tuhan Yang Maha Esa.

Rumah Adat Nowou Sesat merupakan sebuah rumah panggung yang menggunakan ilalang
sebagai atapnya.

Namun sayangnya, Rumah Adat Nowou Sesat sudah sangat jarang ditemui.
Sebenarnya jika dilihat dari arsitekturnya, Rumah Adat Lampung ini tergolong minimalis
sehingga untuk pembuatan dan perawatannya pun tidak membutuhkan banyak biaya dan waktu
pembuatannya pun tergolong cepat.

jika dilihat dari arsitekturnya, Rumah Adat Lampung ini tergolong minimalis sehingga untuk
pembuatan dan perawatannya pun tidak membutuhkan banyak biaya dan waktu pembuatannya
pun tergolong cepat.

9. Rumah Adat Riau “Selaso Jatuh Kembar”

polarumah.com

Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar merupakan nama rumah adat yang berasal dari Provinsi
Riau. Ciri khas dari rumah adat yang satu ini adalah memiliki arsitektur yang sangat menarik.

Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar juga kerap disebut sebagai rumah Joglonya Riau, di mana
rumah ini memiliki bentuk yang hampir mirip dengan rumah Joglo.

Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar mempunyai dua selasar, di mana selasar ini merupakan
suatu tempat yang berfungsi sebagai tempat untuk bermusyawarah atau berkumpul dengan
keluarga (balai keluarga) dimana letak lantainya lebih rendah dari pada ruang tengah.

Namun sayangnya, kita sudah kesulitan untuk menjumpai Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar
saat ini, mungkin kita hanya dapat menjumpai sekitar satu hingga dua rumah adat saja di setiap
desa.
10. Rumah Adat Kepulauan Riau “Belah Bubung”

thegorbalsla.com

Provinsi Kepulauan Riau juga memiliki rumah adat yang unik yang diberi nama Rumah Belah
Bubug dengan bentuk atap yang bervariasi.

Beberapa bentuk atap Rumah Adat Belah Bubug adalah atap lipat yang berbentuk datar, atap
lipat yang berbentuk curam ke bawah, atap yang bergabung melintang, atap panjang yang
berbentuk sama sejajar, dan atap layar yang berbentuk menyusun.

bentuk atap Rumah Adat Belah Bubug adalah atap lipat yang berbentuk datar, atap lipat yang
berbentuk curam ke bawah, atap yang bergabung melintang, atap panjang yang berbentuk
sama sejajar, dan atap layar yang berbentuk menyusun.

Terdapat empat ruangan yang berada di dalam ruangan Rumah Belah Bubug yaitu ruang induk,
ruang dapur, ruang penghubung antara ruang induk dan ruang dapur, dan ruang selasar.
Rumah Adat di Pulau Jawa

1. Rumah Adat Banten “Badui”

goodnewsfromindonesia.id

Masyarakat Banten juga memiliki rumah adat sendiri yang dibangun oleh Suku Badui, maka tak
heran jika namanya Rumah Badui.

Rumah adat ini memiliki keunikan yaitu tingginya yang tidak mencapai setengah meter namun
lebih tinggi dari rumah panggung.

Untuk pembuatannya, Rumah Adat Badui terbuat dari kayu dengan atap berupa ilalang, tiang
yang terbuat dari batu dan dindingnya terbuat dari bambu.

Kita masih dapat menemui Rumah Adat Badui dengan mudah di beberapa daerah pedesaan di
wilayah Banten dan daerah pelosok Ujung Kulon.
2. Rumah Adat Madura “Tanean Lanjhan”

thegorbalsla.com

Rumah Adat Tanean Lanjhang merupakan rumah adat yang berasal dari Madura, di mana
rumah adat ini cenderung memiliki tampilan yang sederhana.

Rumah adat ini memiliki beberapa bagian yaitu bagian depan dan bagian belakang, dimana
bagian depan merupakan teras rumah dengan sisi kanan dan kiri memiliki dinding, sedangkan
bagian belakang memiliki ruangan yang cukup besar.

Pada umumnya rumah adat ini dibuat dengan menggunakan bahan yang mayoritasnya adalah
kayu, sehingga kesan klasik serta elegan sangat terasa di rumah adat ini.

Tak heran sampai sekarang rumah adat ini banyak digunakan oleh masyarakat Madura dalam
membuat tempat tinggalnya.
3. Rumah Adat Jawa Timur “Joglo Situbondo”

i0.
wp.com

Terpengaruh oleh desain Joglo dari Jawa Tengah, rumah adat Jawa Timur memiliki bentuk
yang serupa dan dikenal dengan sebutan Joglo Situbondo. Uniknya, rumah ini justru banyak
ditemukan di Ponorogo.

Rumah ini terdiri dari ruang depan (pendopo), tengah, dan belakang (dapur dan kamar tidur).

Ciri khas Joglo Situbondo adalah ukiran pada pintu rumah yang diyakini bisa melindungi
penghuninya dari malapetaka.

Ruang tengah yang dianggap sebagai bagian rumah yang paling sakral selalu diberi
penerangan sepanjang hari.
4. Rumah Adat Jawa Tengah “Joglo”

a
ssets-a1.kompasiana.com

Suku Jawa yang mendiami provinsi di bagian tengah Pulau Jawa juga memiliki rumah adat
yang unik, yakni Rumah Joglo. Seperti halnya rumah adat yang lainnya, Rumah Joglo juga
memiliki beberapa ruangan di dalamnya.

Setiap ruangan memiliki fungsi tersendiri misalnya saja ruangan pendopo yang merupakan
ruang terbuka yang biasanya berada di depan rumah.

Ruangan pendopo ini berfungsi sebagai tempat untuk mempersilahkan tamu yang datang.

Sebagai jalan keluar masuk rumah terdapat ruang samping atau biasa disebut dengan ruang
pringgitan.

Sedangkan, ruang utama atau ruang dalem merupakan ruangan yang berada di dalam rumah
(ruang keluarga). Untuk menyimpan segala sesuatu terdapat ruangan khusus yang diberi nama
ruang sentong.

Terdapat juga ruang untuk tidur keluarga yang berada di dalam rumah yang biasa disebut
dengan ruang gandok tengen (kanan) dan ruang gandok kiwo (kiri).
5. Rumah Adat Jawa Barat “Sunda”

roomah.id

Rumah adat dari Provinsi Jawa Barat umumnya dikenal dengan nama Rumah Sunda. Di mana
Rumah Adat Sunda ini memiliki bentuk seperti rumah panggung namun tidak terlalu tinggi.

Pada bagian depan, Rumah Adat Sunda terdapat gelodog yaitu semacam tangga yang
berfungsi sebagai jalan keluar masuknya rumah.

Sedangkan, arsitektur untuk bagian atapnya terdiri dari berbagai jenis dengan keunikan yang
berbeda-beda.

Macam-macam desain atap yang biasa digunakan adalah perahu kemurep, atap jolopong, buka
pongpok, jubleg, badak heuay, apit gunting, nangkup, dan tegong anjing.
6. Rumah Adat DKI Jakarta “Kebaya”

i2.wp.com

Rumah Adat Kebaya merupakan rumah adat Provinsi DKI Jakarta yang khas dengan budaya
Betawi yang sangat kental sehingga kita dapat dengan mudah mengenali jenis rumah adat ini.

Dengan dibangunnya berbagai gedung-gedung besar di ibukota membuat Rumah Kebaya


sudah sulit untuk dapat kita jumpai di Jakarta.

Namun, jika kamu ingin melihat Rumah Adat Kebaya secara langsung, kamu dapat
mengunjungi perkampungan Betawi tetapi jumlahnya pun juga sudah sedikit karena telah
digantikan dengan bangunan rumah yang lebih modern.
7. Rumah Adat DI Jogjakarta “Bangsal Kencono”

thegorbalsla.com

Rumah adat yang berasal dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta umumnya dikenal dengan
nama Rumah Bangsal Kencono.

Di mana Rumah Bangsal Kencono ini dulunya merupakan tempat tinggal bagi para bangsawan
dan raja-raja Jawa.

Terdapat banyak filosofi mengenai nilai-nilai kehidupan yang dapat kita peroleh melalui
arsitektur rumah adat ini.

Rumah adat yang biasanya terletak di sebelah tengah keraton kasultanan ini memiliki banyak
ruangan yang memiliki simbol filosofi tersendiri yang diambil dari alam semesta, tingkah laku
manusia, serta berbagai kehidupan yang terdapat di dalamnya.
Rumah Adat di Pulau Bali

1. Rumah Adat Bali “Gampura Candi Bentar”

aminama.com

Rumah Adat Gampura Candi Bentar merupakan rumah tradisional masyarakat Bali yang masih
kental dengan budaya Hindu.

Melalui desain rumah adat ini terlihat dengan jelas jika budaya dan adat istiadat masyarakat
Bali benar-benar dijunjung tinggi.

Provinsi Bali memang terkenal dengan budaya dan adat istiadatnya yang masih kental dan
menyatu dengan Agama Hindu.

Arsitektur Rumah Adat Candi Bentar hampir sama dengan Candi Hindu yang terdapat sebuah
gapura sebagai pintu masuknya.

Rumah adat ini memang terkesan berbeda dengan kebanyakan rumah adat yang ada di
Indonesia lainnya.

Kamu pun juga masih dapat menemukan Rumah Adat Candi Bentar dengan mudah di pulau
Bali karena masyarakat Bali memang masih kuat memegang adat istiadatnya.
2. Rumah Adat Bali “Bale Gede”

thegorbalsla.com

Rumah Adat Bale Gede merupakan rumah adat yang dimiliki oleh masyarakat kelas atas di
kepulauan Bali.

Biasanya rumah adat ini digunakan untuk beribadah umat Hindu.

Namun, uniknya tidak hanya satu atau dua orang saja yang beribadah, melainkan secara
bergerombol atau dalam jumlah banyak melakukan ibadah di Rumah Adat Bale Gede tersebut.

Rumah adat ini memiliki beberapa tiang yang menyangganya, sedangkan tiga sisi tidak terdapat
dinding dan satu sisi memiliki dinding.

Satu dinding inilah yang biasanya menjadi arah umat hindu melakukan ibadah, biasanya di
dekat dinding diberi banyak sesaji.
3. Rumah Adat Bali “Bale Tiang Sanga”

roomah.id

Kerap disebut dengan nama Bale Duah, Rumah Adat Bale Tiang merupakan salah satu dari
sekian banyak rumah adat yang terdapat di Bali.

Rumah Adat Bale Tiang Sanga ini digunakan oleh masyarakat Bali dalam menyambut tamunya.

Biasanya rumah adat tersebut terletak di bagian barat rumah utama, serta memiliki ruangan
yang lebih bagus karena memang diperuntukkan untuk menyambut tamu.

Desain serta bentuk dari rumah adat ini sangatlah menarik, dengan arsitektur khas yang
berasal dari Bali membuat rumah adat tersebut nampak luar biasa.

Apalagi ditambah dengan beberapa patung yang menghiasi di beberapa sudut rumah serta
terdapat juga dua patung di dapat atau di pintu masuk rumah adat bale tiang sanga, membuat
rumah ini kental dengan nuansa agama hindunya tersebut.
4. Rumah Adat Bali “Jineng”

cdn-cms.pgimgs.com

Memiliki masyarakat lokal yang sebagian besar bekerja sebagai petani, Bali juga memiliki
rumah adat bernama Jineng.

Di mana Rumah Adat Jineng ini digunakan oleh masyarakat Bali untuk menyimpan gabah yang
belum kering maupun sudah kering.

Rumah adat ini biasa juga kerap disebut dengan klumpu oleh masyarakat di Bali. Memiliki
bentuk yang tinggi adalah salah satu ciri khas yang dimiliki oleh rumah adat jineng,

Selain itu rumah adat jineng memiliki dinding yang terbuat dari kayu. Sedangkan untuk atapnya
rumah adat tersebut terbuat dari ilalang yang tersusun secara rapi membuatnya tidak tembus
panas maupun hujan.
Rumah Adat di Pulau Kalimantan

1. Rumah Adat Kalimantan Barat “Panjang”

3.bp.blogspot.com

Rumah Panjang merupakan rumah adat Suku Dayak yang mendiami Provinsi Kalimantan
Barat.

Rumah Panjang ini memiliki desain yang hampir menyerupai rumah panggung yang
memanjang yaitu dengan bentuk anak tangga yang lebar dan tiang penyangga yang tinggi.

Rumah adat ini bisa dikatakan telah punah karena kita akan sangat kesulitan untuk menemukan
rumah adat ini di daerah asalnya.

Jika kamu ingin melihat bentuk asli dari rumah panjang yang telah langka ini, kamu dapat
mengunjungi TMII (Taman Mini Indonesia Indah).
2. Rumah Adat Kalimantan Tengah “Betang”

awsimages.detik.net.id

Rumah Betang merupakan rumah adat bagi masyarakat Kalimantan Tengah di mana rumah
adat ini mempunyai desain yang hampir menyerupai Rumah Panjang yang berasal dari
Kalimantan Barat.

Perbedaan yang paling mencolok dari keduanya adalah Rumah Betang memiliki ukuran dan
bentuk yang lebih besar dari Rumah Panjang dengan ukuran tanah yang lebih luas.

Rumah Betang dibangun pada tanah yang memiliki ukuran luas dengan panjang 150 meter x
lebar 30 meter tinggi 3-5 meter sehingga jika dilakukan penghitungan, rumah adat ini mampu
menampung setidaknya 150 jiwa.

Hal ini membuat Rumah Betang menjadi rumah adat terbesar kedua di Indonesia.
3. Rumah Adat Kalimantan Timur “Lamin”

hainusantara.com

Rumah Lamin merupakan rumah adat bagi suku-suku yang mendiami wilayah Provinsi
Kalimantan Timur seperti Banjar, Suku Dayak Timur dan Kutai. Desain dari Rumah Lamin
hampir menyerupai Rumah Betang dan Rumah Dayak Panjang.

Jika kita lakukan sebuah pengukuran, Rumah Lamin mempunyai ukuran yang besar dibanding
Rumah Betang yaitu berkisar dua kali lipatnya (panjang 300 meter x lebar 15 meter dan tinggi 3
hingga 5 meter).

Rumah Lamin merupakan rumah adat terbesar pertama di Indonesia karena mampu
menampung sekitar 40 hingga 45 kepala keluarga atau setara dengan 250 jiwa.
4. Rumah Adat Kalimantan Selatan “Bubungan Tinggi”

pewartanusantara.com

Rumah Adat Bubungan Tinggi berasal dari Kalimantan Selatan dan merupakan rumah adat asli
yang dimiliki oleh suku banjar.

Rumah adat ini terbagi menjadi dua bagian, bagian depan merupakan teras dengan ukuran
yang kecil dan tinggi lebih rendah, sedangkan bagian belakang merupakan bagian aula yang
berbentuk segi empat.

Rumah adat ini biasa digunakan sebagai tempat tinggal masyarakat, hal ini dikarenakan
bentuknya yang sederhana.

Dimana rumah adat bubungan tinggi terbuat dari bahan kayu baik dinding maupun lantainya
tersebut.
5. Rumah Adat Kalimantan Utara “Baloy”

backpackerjakarta.com

Rumah Adat Baloy merupakan rumah adat yang berasal dari Kalimantan Utara dan merupakan
hasil dari arsitektur asli suku tidung.

Rumah ini memiliki teras yang menjorok ke depan, sedangkan bagian tengah rumah berbentuk
persegi panjang yang mengarah ke samping.

Untuk gayanya sendiri rumah adat baloy mengusung gaya rumah panggung, dengan dinding
serta lantainya terbuat dari kayu.

Ciri khas rumah adat ini adalah terdapatnya ukiran khas suku tidung yang terletak di bagian
atap Rumah Adat Baloy.
Rumah Adat di Pulau Sulawesi

1. Rumah Adat Sulawesi Utara “Pewaris”

polarumah.com

Salah satu suku asli yang mendiami Provinsi Sulawesi Utara berasal dari Minahasa dan
mempunyai rumah adat yang menyerupai rumah panggung yang biasa disebut dengan Rumah
Pewaris.

Rumah Pewaris merupakan rumah welawangkoa atau rumah peninggalan para leluhur
terdahulu.

Pada bagian depan Rumah Pewaris, terdapat dua buah tangga yang berada di sebelah kanan
dan kiri dengan tiang balok yang terbuat dari kayu seperti halnya rumah adat Indonesia yang
lainnya.

Sebagian besar rumah adat Indonesia menggunakan bahan kayu asli dalam proses
pembuatannya. Terdapat keistimewaan tersendiri pada Rumah Adat Pewaris yaitu dalam hal
pembagian ruangannya.

Ada tempat khusus yang berfungsi sebagai tempat untuk menyambut kedatangan para tamu
yang disebut dengan setup emperan.

Terdapat ruangan yang berguna sebagai kamar tidur dan ruangan untuk menyimpan lumbung
padi dan makanan yang diberi nama ruangan sangkor.
2. Rumah Adat Sulawesi Tengah “Tambi”

1.bp.blogspot.com

Rumah Tambi merupakan nama rumah adat di Provinsi Sulawesi Tengah yang mempunyai
desain hampir mirip dengan rumah panggung. Untuk membuat Rumah Tambi, diperlukan batu
alam beserta kayu asli.

Rumah Adat Tambi merupakan salah satu rumah adat yang memiliki ruangan yang lengkap.

Terdapat sekat yang berfungsi sebagai pembatas antara ruangan yang satu dengan ruang yang
lainnya yaitu ruang tamu, ruang dapur, dan ruang-ruang utama lainnya.

Rumah Adat Tambi hanya boleh dibangun menghadap arah selatan atau utara saja
berdasarkan kepercayaannya.

Ada keunikan tersendiri dalam pembuatan rumah adat ini yaitu kita dapat dengan mudah
mengetahui derajat status sosial seseorang dengan menghitung jumlah anak tangga.

Jika jumlah anak tangga ganjil maka pemilik rumah merupakan orang biasa sedangkan jika
jumlah anak tangga genap maka pemilik rumah merupakan orang yang besar atau kaya.
3. Rumah Adat Sulawesi Tenggara “Buton”

res.cloudinary.com

Rumah Adat Buton adalah rumah adat di Indonesia yang berasal dari Provinsi Sulawesi
Sumatra Tenggara.

Dari berbagai bentuk seni konstruksi, bangunan Rumah Adat Buton ini cukup unik karena
rumah adat ini dibuat dengan empat lantai dan hanya menggunakan kait kayu, tanpa
menggunakan pasak dan paku.

Semua itu menunjukan bahwasanya masyarakat Provinsi Sulawesi Sumatra Tenggara


mempunyai keterampilan bangunan yang luar biasa.

Keterampilan yang dimiliki merupakan warisan turun temurun, dari generasi awal sampai
generasi saat ini.

Kebanyakan masyarakat yang mahir dalam hal ini, hanya dari kalangan orang tua, yang mahir
dalam pengerjaanya.
4. Rumah Adat Sulawesi Selatan “Tongkonan”

blogpictures.99.co

Suku Toraja yang mendiami Provinsi Sulawesi Selatan juga memiliki rumah adat tersendiri yang
diberi nama Rumah Tongkonan.

Ciri khas paling menonjol yang dimiliki oleh Rumah Adat Tongkonan adalah bagian atapnya
yang berbentuk seperti perahu dalam posisi terbalik dan pada bagian depan rumah terdapat
tanduk kerbau.

Terdapat keunikan tersendiri pada Rumah Adat Tongkonan yaitu rumah adat ini memiliki 2
fungsi.

Fungsi pertama sebagai tempat untuk menyimpan mayat dan fungsi kedua sebagai tempat
untuk tinggal dan diantara keduanya tidak dipisahkan sama sekali.
5. Rumah Adat Gorontalo “Dulohupa”

picture.triptrus.com

Rumah Adat Dulohupa merupakan rumah adat yang berasal dari Provinsi Gorontalo.

Rumah adat ini biasanya digunakan masyarakat sebagai tempat tinggal, namun ada pula yang
menggunakannya sebagai tempat berkumpunya masyarakat.

Ciri khas dari Rumah Adat Dulohupa ini adalah atapnya yang yang berseni tinggi, dengan
arsitektur khasnya membuat rumah adat dulohupa cukup disukai untuk dijadikan sebagai
tempat tinggal oleh masyarakat Gorontalo.

Dalam proses pembuatannya bahan yang digunakan dalam pembuatan Rumah Adat Dulohupa
adalah bahan kayu asli seperti halnya rumah adat di daerah Indonesia lainnya.
Rumah Adat di Kepulauan Maluku

1. Rumah Adat Maluku “Baileo”

polarumah.com

Rumah adat yang berasal dari Provinsi Maluku bernama Rumah Baileo yang menunjukkan
aksen keberagaman agama di wilayah Maluku.

Selain itu, Rumah Adat Baileo juga menggambarkan adat istiadat yang dilaksanakan di
masyarakat setempat.

Ukurannya yang lebih besar dibandingkan dengan rumah modern menandakan jika rumah adat
ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat untuk tinggal namun juga berfungsi sebagai tempat
untuk bermusyawarah dan melakukan upacara adat.

Beberapa sarana hiburan juga dapat dilaksanakan di Rumah Baileo.

Keunikan lain dari rumah adat ini yaitu terdapat ruangan khusus yang berfungsi sebagai media
penyimpanan benda-benda pusaka dan ruangan ini terdapat pada setiap ruangan yang ada.
2. Rumah Adat Maluku Utara “Sasadu”

traveltodayindonesia.com

Rumah Adat Sasadu merupakan Rumah Adat yang berasal dari Provinsi Maluku Utara yang
berbentuk seperti rumah panggung dengan desain yang sangat apik.

Keunikan dari bangunan rumah adat ini adalah memiliki 6 pintu yang mempunyai fungsi
tersendiri pada setiap pintunya.

Terdapat dua pintu yang hanya boleh digunakan oleh perempuan saja begitu juga sebaliknya,
terdapat dua pintu yang hanya boleh digunakan oleh laki-laki saja.

Sedangkan dua pintu yang lainnya berfungsi sebagai jalan bagi tamu untuk keluar dan masuk
rumah.

Rumah Adat Sasadu merupakan rumah adat yang memiliki jumlah pintu terbanyak di Indonesia.
Rumah Adat di Kepulauan Nusa Tenggara

1. Rumah Adat Nusa Tenggara Barat “Dalam Loka”

sultansinindonesieblog.files.wordpress.com

Rumah Adat Dalam Loka sekilas terlihat sangat megah, dengan dua ruangan utama yang
dibuat cukup tinggi dan besar.

Ditambah lagi terdapat tangga sekaligus pintu masuk yang cukup besar dan memiliki atap
tersendiri membuatnya terlihat sangat megah.

Rumah adat ini tergolong memiliki arsitek yang sangat mengagumkan bahkan di zaman
sekarang sekalipun.

Rumah adat dalam loka sendiri berasal dari Nusa Tenggara Barat, tepatnya dimiliki oleh suku
Samawa yang bertempat tinggal di Sumbawa Besar, NTB.

Rumah adat ini bisa digunakan oleh ketua adat atau petinggi di suatu wilayah yang terletak di
Nusa Tenggara Barat Tersebut.
2. Rumah Adat Nusa Tenggara Timur “Musalaki”

4.bp.blogspot.com

Rumah Adat Musalaki merupakan nama rumah adat yang berasal dari Nusa Tenggara Timur.
Jika dilihat dari tampilannya, Rumah Adat Musalaki terlihat sangat tradisional.

Hal ini dikarenakan atap Rumah Adat Musalaki terbuat dari kumpulan ilalang, di mana biasanya
rumah adat tersebut memiliki atap yang menjulang tinggi ke atas.

Walaupun berkesan klasik dan kuno, namun Rumah Adat Musalaki hanya dapat digunakan
oleh petinggi di suatu daerah tersebut seperti ketua adat maupun para petinggi yang memiliki
pengaruh besar terhadap kehidupan di daerah tersebut.

Tak heran jika rumah adat ini sangat jarang ditemui dan hanya tersisa beberapa saja di Nusa
Tenggara Timur.
Rumah Adat di Pulau Papua

1. Rumah Adat Papua “Honai”

roomah.id

Rumah Honai merupakan rumah adat yang berasal dari Provinsi Papua dan terbuat dari kayu
pada bagian dindingnya dan pada bagian atapnya menggunakan ilalang.

Rumah Honai merupakan rumah adat yang terbilang sempit dan dibuat tanpa menambahkan
jendela yang berfungsi sebagai celah cahaya.

Hal ini bertujuan agar keadaan di dalam Rumah Honai tetap hangat. Karena sebagian besar
masyarakat Papua tinggal di daerah dataran tinggi dan perbukitan yang dingin maka Rumah
Honai memang sangat cocok untuk dijadikan tempat tinggal.
2. Rumah Adat Papua Barat “Mod Aki Aksa”

pewartanusantara.com

Rumah Mod Aki Aksa merupakan rumah adat yang berasal dari Provinsi Papua Barat yang
sering disebut dengan rumah kaki seribu.

Hal ini dikarenakan pada bagian bawah rumah adat ini terdapat banyak penyangga.

Pada dasarnya Rumah Adat Mod Aki Aksa dan Rumah Honai memiliki bentuk yang hampir
sama namun Rumah Mod Aki Aksa berbentuk rumah adat panggung.

Bahan alam yang dibutuhkan untuk membuat rumah adat Mod Aki Aksa antara lain : ilalang,
pelepah sagu, tali dari kulit pohon dan kayu.
3. Rumah Adat Teluk Cendrawasih “Lgkojei”

pewartanusantara.com

Kemudian ada pula yang namanya Rumah Lgkojei, di mana rumah adat ini berasal dari Provinsi
Teluk Cendrawasih.

Rumah Adat Lgkojei sendiri berbentuk seperti rumah panggung dan memiliki banyak
penyangga di bawahnya.

Sama seperti Rumah Mod Aki Aksa, Rumah Adat Lgkojei juga dijuluki sebagai rumah kaki
seribu karena banyaknya penyangga yang berada di bawah lantai.

Perbedaan Rumah Adat Mod Aki Aksa dengan Rumah Adat Lgkojei adalah desain atapnya
yang lebih modern dibanding rumah adat Papua Barat.

Terdapat lubang cahaya dan banyak ventilasi yang berguna sebagai tempat pertukaran udara
jadi bisa dikatakan jika Rumah Adat Lgkojei merupakan rumah adat yang telah berkembang.

Semoga artikel di atas dapat sedikit menambah pengetahuan kamu tentang 38 rumah adat
yang ada di seluruh provinsi di Indonesia ya!

Alangkah baiknya sebagai masyarakat Indonesia, kita mengetahui seputar rumah adat yang
ada di tanah air kita guna membantu melestarikan kekayaan budaya yang ada di Indonesi.
Gambar Pakaian Adat Indonesia dan Asalnya
1. Ulee Balang dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Pakaian adat Indonesia paling terkenal dari Nanggroe Aceh Darussalam adalah ulee
balang.

Untuk pria, pakaian ulee balang dinamakan sebagai linto baro, sedangkan untuk
perempuan dinamakan daro baro.

2. Bundo Kanduang dari Provinsi Sumatera Barat

Bundo kanduang merupakan pakaian tradisional dari Provinsi Sumatera Barat.


Busana tradisional yang memiliki warna mencolok ini dipengaruhi oleh budaya Melayu,
Arab, dan Cina.
3. Ulos dari Provinsi Sumatera Utara

sumber pakaian adat di indonesia “Ulos” : mimpibaru.com


Pakaian adat Sumatera Utara terbuat dari salah satu kain tradisional Indonesia yakni
kain ulos, yang memiliki warna cerah dan terbuat dari sutra.
Umumnya ulos akan dijadikan sebagai selempang baju.

4. Aesan Gede dari Provinsi Sumatera Selatan

Aesan gede merupakan baju daerah Sumatera Selatan yang sering digunakan ketika
acara pernikahan.

Pakaian adat ini dikenal dengan Swarnadwipa atau Pulau Emas karena dihiasi oleh
perhiasan emas.
5. Teluk Belanga dari Kepulauan Riau

Teluk belanga merupakan pakaian adat yang digunakan oleh laki-laki di Kepulauan
Riau.

Pakaian ini memiliki kebudayaan yang dekat dengan budaya Melayu.

6. Kebaya Laboh dan Kurung Cekak Musang dari Provinsi Riau

Kebaya Laboh adalah pakaian adat perempuan Riau, sedangkan Kurung Cekak Musang
adalah pakaian adat laki-laki Riau.
Pakaian adat Indonesia Provinsi Riau ini biasanya terbuat dari satin dan sutra.

7. Baju Kurung dari Provinsi Jambi

sumber pakaian adat di indonesia “Baju Karung”: kompas.com


Pakaian dari Provinsi Jambi ini terbuat dari kain beludru dan digunakan oleh
perempuan dan laki-laki.

8. Pakaian Adat Paksian dari Provinsi Bangka Belitung

sumber pakaian adat di indonesia “Paksian” : instagram.com/@visitbangkabelitung_


Paksian merupakan busana adat dari Bangka Belitung dan umumnya berwarna merah
atau ungu.
9. Baju Betabur dari Provinsi Bengkulu

sumber sumber pakaian adat di indonesia “Baju Betabur” : seringjalan.com


Pakaian adat dari Provinsi Bengkulu ini bernama baju betabur dan rok songket untuk
perempuan serta baju betabur, celana, dan kain songket berbahan beludru untuk laki-
laki.

10. Tulang Bawang dari Provinsi Lampung

sumber baju adat indonesia “Tulang Bawang” : yuksinau.id


Pakaian adat khas Lampung ini didominasi dengan kain berwarna putih dengan tutup
kepala.

Pria akan menggunakan kain tapis sebagai tutup kepala, sedangkan perempuan akan
menggunakan siger atau mahkota emas.
11. Pakaian Adat Pangsi dari Banten

sumber baju adat indonesia “Pangsi” : detik.com


Pangsi adalah setelan busana kemeja polos dengan celana longgar yang panjangnya
tidak melebihi mata kaki.

Pakaian adat Indonesia ini umumnya digunakan oleh pria dan merupakan busana khas
suku Betawi dan Sunda.

12. Kebaya Encim dari DKI Jakarta

sumber baju adat indonesia “Kebaya Encim” : senibudayabetawi.com


Kebaya encim adalah pakaian adat Indonesia dari Provinsi DKI Jakarta yang berasal dari
perpaduan kebudayaan Tionghoa dan Betawi.
13. Kebaya Sunda dari Provinsi Jawa Barat

sumber baju adat indonesia “Kebaya Sunda” : idewedding.com


Pakaian tradisional dari Jawa Barat adalah kebaya Sunda.
Kebaya Sunda umumnya memiliki warna yang cerah seperti putih, merah marun, atau
ungu.

Sementara itu pria Sunda menggunakan jas beludru dengan sulam benang emas.

14. Kesatrian Ageng dari Daerah Istimewa Yogyakarta

sumber baju adat indonesia “DIY”: yuksinau.com


Busana adat Yogyakarta ini terdiri dari kain batik yang dililitkan ke tubuh sampai bagian
dada.
Pakaian adat ini melambangkan sifat berani dan anggun.

15. Jawi Jangkep dari Provinsi Jawa Tengah

sumber sumber baju adat indonesia “Jawa Tengah”: utakatikotak.com


Jawi jangkep adalah pakaian khas Jawa Tengah yang didominasi oleh warna gelap
seperti hitam dan cokelat dan dilengkapi dengan batik, jarik, surjan, dan keris sebagai
aksesoris.
17. Payas Agung dari Bali

sumber 34 pakaian adat “Payas” : weddingku.com


Payas agung adalah pakaian tradisional dari Provinsi Bali yang umumnya digunakan
ketika upacara pernikahan atau potong gigi.
18. Pegon dari Nusa Tenggara Barat

sumber 34 pakaian adat “Pegon” : idntimes.com


Pegon adalah pakaian adat Indonesia dari Provinsi Nusa Tenggara Barat yang terbuat
dari kain songket dan kain pegon yang berwarna hitam.

19. Amarasi dari Nusa Tenggara Timur

sumber 34 pakaian adat “Amarasi” : rheregina.blogspot.com


Pakaian adat Indonesia dari Nusa Tenggara Timur adalah Amarasi yang merupakan
baju tradisional suku Dawan.

Tak hanya Amarasi, Nusa Tenggara Timur juga memiliki pakaian adat lainnya, seperti
Ti’i langga, topi khas suku Rote, pakaian adat suku Sabu, dan pakaian adat suku Helong.
20. King Bibinge dan King Baba dari Provinsi Kalimantan Barat

sumber pakaian adat dan asalnya “King Bibinge dan King Baba dari Provinsi Kalbar” : borneo24.com
King bibinge merupakan pakaian adat pria Kalimantan Barat, sedangkan king baba
adalah pakaian adat perempuan Kalimantan Barat.

21. Upak Nyamu dari Provinsi Kalimantan Tengah

sumber pakaian adat dan asalnya “Upak Nyamu dari Provinsi Kalteng”: cerdika.com
Pakaian adat ini bukan terbuat dari kain satin atau sutra, tetapi terbuat dari kulit kayu
nyamu.

22. Ta’a dan Sapei Sapaq dari Provinsi Kalimantan Utara

sumber pakaian adat dan asalnya “Ta’a dan Sapei Sapaq dari Provinsi Kaltra” : mimpibaru.com
Ta’a merupakan busana adat perempuan yang terdiri dari ikat kepala yang terbuat dari
pandan.

Sementara sapei sapaq adalah busana adat pria Kalimantan Utara.

23. Bagajah Gamuling Baular Lulut dari Provinsi Kalimantan


Selatan
sumber pakaian adat dan asalnya – pakaian adat di indonesia (Provinsi Kalsel) : indoborneonatural.blogspot.com
Bagajah gamuling baular lulut adalah pakaian pengantin dari daerah Kalimantan
Selatan.

24. Kustin dari Provinsi Kalimantan Timur

sumber 34 pakaian adat – pakaian adat di indonesia (Provinsi Kaltim): pariwisataindonesia.id


Kustin adalah baju adat Provinsi Kalimantan Timur yang terbuat dari kulit kayu dengan
hiasan manik-manik.
25. Pattuqduq Towaine dari Provinsi Sulawesi Barat

sumber pakaian adat indonesia – baju adat Provinsi Sulbar: cerdika.com


Pattuqduq towaine adalah pakaian adat Indonesia dari Provinsi Sulawesi Barat yang
berasal dari suku Mandar.
26. Nggembe dari Provinsi Sulawesi Tengah

sumber baju adat indonesia – pakaian adat di indonesia (Provinsi Sulteng) : celebes.co
Pakaian dari suku Kaili ini terbuat dari kain lembut yang membentuk baju dengan
lengan panjang.

27. Laku Tepu dari Provinsi Sulawesi Utara

sumber 34 pakaian adat dan asalnya : pariwisataindonesia.id


Leku tepu umumnya digunakan oleh masyarakat Sulawesi Utara ketika upacara
Tulude.
28. Babu Ngawi dari Provinsi Sulawesi Tenggara

sumber pakaian adat di indonesia (Provinsi Sulteng): selasar.com


Babu Ngawi adalah nama pakaian adat suku Tolaki dan umumnya digunakan untuk
pakaian sehari-hari.

29. Bodo dari Provinsi Sulawesi Selatan

sumber pakaian adat nusantara – pakaian adat di indonesia (Provinsi Sulsel) : tribunnews.com
Baju bodo merupakan busana tradisional para perempuan dari suku Bugis, Sulawesi
Selatan.
30. Biliu dan Makuta dari Gorontalo

sumber 34 pakaian adat dan asalnya : tumbral.com


Baju adat dari Gorontalo ini memiliki 4 jenis warna yaitu hijau, merah, kuning
keemasan, dan ungu.

Setiap warna menandakan makna tersendiri.

31. Cele dari Maluku

gambar pakaian adat dan asalnya : seringjalan


Cele merupakan busana adat dari Maluku yang didominasi oleh warna merah dan
putih.
Umumnya masyarakat Maluku menggunakan kain sarung dengan motif senada
dengan Cele sebagai bawahan.

32. Manteren Lamo dari Maluku Utara

sumber gambar pakaian adat dan asalnya : bajukutunik.blogspot


Manteran lamo terdiri dari celana hitam panjang dan bis merah yang memanjang dari
atas ke bawah.

33. Ewer dari Papua Barat

sumber pakaian adat 34 provinsi beserta gambarnya pdf : beritapapua


Ewer merupakan pakaian adat khas Papua Barat yang terbuat dari jerami yang
dikeringkan.

34, 35, 36. Koteka dari Papua, Papua Pegunungan, dan Papua
Tengah

sumber pakaian adat 34 provinsi / pakaian adat dan asalnya “Koteka dari Papua” : wartawisata
Koteka merupakan pakaian tradisional dari Provinsi Papua, Papua Pegunungan, dan
Papua Tengah yang terbuat dari kulit labu air dan digunakan untuk menutupi
kemaluan laki-laki.
Pakaian adat ini masih digunakan di beberapa daerah di Papua, seperti di Wamena.

37. Pummi dari Papua Selatan


sumber gambar pakaian adat dan asalnya “Pummi dari Papua Selatan” : bukalapak
Pakaian adat dari Provinsi Papua Selatan adalah Pummi, rok yang terbuat dari
anyaman sagu.

Baju adat Pummi digunakan oleh pria.

Sementara, para wanita menggunakan Tok yang merupakan pummi dengan rumbai
bagian depan ditarik ke belakang pinggul melalui celah paha sehingga menyerupai
cawat.

38. Topi Kasuari dari Papua Barat Daya

sumber gambar pakaian adat dan asalnya : beritapapua


Ada banyak pakaian adat yang digunakan di Provinsi Papua Barat Daya.

Sebagai contoh, Suku Imeko menggunakan boe, kulit bia, topi kasuari, dan manik-
manik sebagai pakaian adat mereka.
16. Pesa’an dari Provinsi Jawa Timur

sumber 34 pakaian adat “Pesa’an”: sinergimadura.com


Pesa’an merupakan pakaian daerah dari Madura, Jawa Timur.

Anda mungkin juga menyukai