Fix Revisi Makalah Sosiologi Kel 1 (Kampung Naga)
Fix Revisi Makalah Sosiologi Kel 1 (Kampung Naga)
“KAMPUNG NAGA”
KELOMPOK 1:
XII IPS 3
SMAN 14 BANDUNG
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji berserta syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telat
memberikan berkah dan inayahnya kepada kita semua selaku umatnya sehingga kami telah
menyelesaikan makalah Mata pelajaran Sosiologi ini dengan tema pembahasan “Kampung
Naga”, yaitu sebagai bahan kami untuk mempermudah dan memahaminya, selain dari pada itu
makalah ini juga dapat kita pergunakan untuk diskusi.
Penyusun berterima kasih kepada semua pihak terkait terutama kepada Bu Laela yang
sekaligus sebagai guru mata pelajaran Sosiologi yang telah berperan penting dalam penyusunan
tugas ini. Makalah ini merupakan kajian bagi siswa siswi dengan pembahasan pemberdayaan
komunitas “Kampung Naga”. Dalam kajiannya siswa di harapkan mampu memahami dan
mengetahui Kampung Naga yang ada di Indonesia.
Dalam penyusunan Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga masih perlu
adanya penyempurnaan. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun jika ada yang belum tepat.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN .......................................................................................................48
B. SARAN ...................................................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................50
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kampung Naga terletak di kota Tasikmalaya Jawa Barat yang menjadi kampung dengan
wilayah yang cenderung berada jauh dari lingkungan perkotaan dengan keadaan yang masih asri
dan alami, belum terkontaminasi oleh pengaruh dari perkembangan jaman baik teknologi
ataupun mode yang semakin berkembang, Selain itu kampung memiliki pola administrasi yang
kecil pemerintahan pada umumnya berada pada tingkatan desa, dusun, dan kecamatan saja, serta
masyarakatnya masih belum memasuki era modern. (Setiawan, 2016). Kampung juga dihuni
oleh kalangan menengah namun suasananya yang masih asri dan nyaman untuk ditinggali atau
untuk menjadi pilihan disaat masa tua.
Kampung Naga Tasikmalaya merupakan kampung yang masih menanamkan nilai adat
istiadat hasil turun temurun dari nenek moyang mulai dari aksitektur bangunannya, aktivitas para
warganya dan perempuan sebagai warga masyarakat di Kampung Naga. Membahas mengenai
arsitektur dari bangunan Kampung Naga, arsitektur bangunannya merupakan salah satu bukti
dari nilai lokal yang dilestarikan dari generasi ke generasi, jumlah bangunannya masih sama
tidak pernah bertambah ataupun berkurang, serta bentuknya yang khas masih dipertahankan dari
setiap generasinya. Hal tersebut merupakan bukti bagaimana masyarakat Kampung Naga
mempertahankan nilai lokal turun temurun dari nenek moyangnya terdahulu.
Kampung Naga Tasikmalaya berada disebuah kampung yang terletak di desa Neglasari
kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya, provinsi Jawa Barat. Secara geografis, Kampung
Naga Tasikmalaya terletak di sebuah lembah yang jaraknya ± 1 km dari jalan raya dengan
ketinggian 488 meter dari permukaan laut (Qodariah, 2013). Kampung Naga yang masuk
kedalam kategori kearifan lokal karena, masih memiliki adat istiadat dan kebiasaan khasnya
sendiri, mempertahankan kebiasaan warisan leluhurnya, tidak banyak menerima perubahan dari
perkembangan yang sudah, dan sedang terjadi masa kini.
Maka tentu, ada nilai lokal atau kebiasaan yang selalu dilakukan, oleh warga
dilingkungannya, sebagai bukti mewariskan budaya leluhur yang sudah ada dan
vi
mempertahankannya, serta menerapkan aturan-aturan yang ada. Bentuk rumah masyarakat
Kampung Naga Tasikmalaya harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah
harus dari daun nipah, injuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan
kayu. Rumah harus menghadap ke utara, atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah
barattimur (Barry, 2013). Selain itu, aktivitas dari masyarakat merupakan keunikan tersendiri
yang ada dikawasan Kampung Naga yang belum diketahui, dan tidak bisa dijumpai dikawasan
kampung atau kampung adat lainnya. Keunikan lainnya ialah peran seorang perempuan yang
tidak mendominasi dalam acara-acara adat sakral namun perannya sangat penting. Serta
keterikatannya dengan bangunan Kampung Naga yaitu rumah dan perannya sebagai rumah bagi
anggota keluarganya.
Kampung Naga ialah, kampung yang memiliki nilai adat yang dijalankan sebagai
pedoman keseharian warga masyarakatnya. Serta memiliki beberapa rutinitas yang tidak bisa
dihindarkan, atau dilewatkan sebagai bagian dari hal yang harus dilakukan secara rutin dan turun
– temurun seperti upacara adat, di Kampung Naga sendiri terdapat kegiatan upacara adat, yang
rutin setiap tahun dilakukan sebagai warisan dari leluhur dan identitasnya sebagai kampung adat.
Keberadaan perempuan sebagai warga masyarakat kampung adat, merupakan suatu nilai
yang menarik. Peranannya yang banyak mendominasi didalam sebuah rumah, membuat
hubungannya dengan bangunan menjadi dekat dan menarik untuk dilihat lebih dalam lagi.
Perempuan ialah rumah bagi anggota keluarganya didalam rumah. Namun, perannya sebagai
perempuan dikampung adat sangat penting untuk seorang perempuan jika dapat menjaga adat
istiadat yang berkaitan khusus dengan perempuan dan menjadi tumpuan dalam sebuah keluarga,
seperti halnya seorang perempuan di Kampung Naga tidak bisa mengikuti kegiatan upacara adat
yang bersifat sakral. Upacara adat tersebut hanya bisa diikuti oleh kaum pria saja, namun begitu
perannya sebagai perempuan dikampung adat sama pentingnya seperti pria dikampung adat,
yang diikutsertakan dalam upacara adat. Melihat betapa pentingnya peran seorang perempuan,
sebagai warga masyarakat di Kampung Naga dan keterkaitannya dengan nilai lokal asli
masyarakat kampung adat, maka peran perempuan di Kampung Naga menarik untuk diangkat.
vii
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sistem kemasyarakatan di Kampung Naga?
2. Bagaimana sistem kepercayaan (religi) yang dianut oleh masyarakat Kampung Naga?
3. Seperti apa peralatan hidup masyarakat Kampung Naga?
4. Bagaimana sistem perekonomian masyarakat Kampung Naga?
5. Bagaimana sistem pendidikan masyarakat Kampung Naga?
6. Bagaimana sistem hukum, politik, serta bahasa yang digunakan oleh masyarakat
Kampung Naga?
7. Seperti apa bentuk kearifan local berwujud nyata dan tidak berwujud di Kampung
Naga?
D. MANFAAT
Kampung Naga memberikan berbagai manfaat, baik bagi masyarakat lokal maupun
pengunjung, yang mencakup aspek budaya, ekonomi, dan lingkungan. Berikut adalah beberapa
manfaat dari Kampung Naga:
1. Pelestarian Budaya:
viii
Kampung Naga berperan sebagai penjaga dan pelaku utama dalam melestarikan warisan
budaya Sunda. Melalui praktek-praktek tradisional, upacara adat, dan arsitektur rumah adat,
kampung ini membantu menjaga keberlanjutan budaya.
2. Wisata Budaya:
Sebagai destinasi wisata budaya, Kampung Naga menarik pengunjung dari berbagai daerah.
Ini memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat setempat, termasuk melalui penjualan
kerajinan tangan dan layanan wisata.
3. Pemberdayaan Komunitas:
Praktek pemberdayaan komunitas di Kampung Naga memberikan dampak positif pada
kesejahteraan masyarakat. Mereka terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam,
pengembangan ekonomi lokal, dan pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan
mereka.
4. Pengembangan Ekonomi Lokal:
Melalui kerajinan tangan tradisional, pertanian berkelanjutan, dan kegiatan pariwisata,
Kampung Naga menciptakan peluang ekonomi lokal. Pendapatan yang dihasilkan membantu
mendukung kebutuhan masyarakat dan membangun keberlanjutan ekonomi.
5. Preservasi Lingkungan:
Praktik pertanian berkelanjutan dan penggunaan bahan-bahan alami dalam konstruksi rumah
adat mencerminkan perhatian terhadap pelestarian lingkungan. Kampung Naga memberikan
contoh bagaimana hidup berdampingan dengan alam.
6. Pendidikan dan Kesadaran Budaya:
Kunjungan ke Kampung Naga memberikan pengalaman edukatif tentang budaya Sunda dan
nilai-nilai tradisional. Ini meningkatkan kesadaran budaya di kalangan pengunjung dan
membantu melestarikan pengetahuan budaya.
7. Peluang Investasi Pariwisata:
Dengan popularitasnya sebagai tujuan wisata budaya, Kampung Naga menciptakan peluang
investasi di sektor pariwisata. Hal ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan
membuka lapangan pekerjaan baru.
8. Peningkatan Kualitas Hidup:
ix
Dengan menjaga keberlanjutan ekonomi dan budaya, Kampung Naga memberikan dampak
positif pada kualitas hidup masyarakat. Kehidupan yang harmonis, gotong royong, dan
keberlanjutan lingkungan menciptakan lingkungan yang baik untuk hidup.
Melalui manfaat-manfaat ini, Kampung Naga tidak hanya menjadi tujuan wisata, tetapi juga
menjadi contoh inspiratif tentang bagaimana sebuah komunitas dapat menjaga keberlanjutan
budaya sambil beradaptasi dengan perubahan zaman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia memiliki keragaman dari sisi etnis, suku, adat istiadat, dan lainnya sehingga
mempunyai karakteristik yang khas dan unik dari setiap aspeknya. Hal ini merupakan kekayaan
bangsa yang tidak ternilai harganya, Kita patut bersyukur kepada Tuhan atas limpahan karunia
tersebut. Dalam keragaman bangsa Indonesia, pada umumnya setiap masyarakatnya memiliki
nilai-nilai yang menjadi pedoman hidupriya. Nilai-nilai itu menjadi sebuah kearifan yang
menjadi ciri khas daerah masing-masing.
Menurut asal kata, kearifan lokal terbentuk dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom) dan
lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Shadily, local berarti
'setempat, sedangkan wisdom adalah 'kebijaksanaan'. Jadi, local wisdom (kearifan setempat)
dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Banyak pandangan mengenai pengertian kearifan lokal. Akan tetapi, pada dasarnya
kearifan lokal mengacu kepada nilai-nilai dalam masyarakat dan keseimbangan alam. Berikut
beberapa pandangan mengenai kearifan lokal.
a. S. Swarsi menyatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal merupakan kebijaksanaan
manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara, dan perilaku yang
melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar
sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama, bahkan melembaga (Mariane, 2014).
b. Phongphit dan Nantasuwan menyatakan kearifan lokal sebagai pengetahuan yang
berdasarkan pengalaman masyarakat turun temurun antargenerasi. Pengetahuan ini
menjadi aturan bagi kegiatan sehari- hari masyarakatnya ketika berhubungan dengan
keluarga, tetangga, masyarakat lain dan lingkungan sekitar (Kongprasertamorn (2007)
dalam Affandy dan Wulandari (2012).
c. I Ketut Gobyah mengatakan bahwa kearifan lokal adalah kebenaran yang telah
mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara
nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk
sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis
dalam arti luas
d. H. Quaritch Wales menjelaskan bahwa local genius atau kearifan lokal berarti
kemampuan budaya sebahpat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada
waktu kedua kebudayaan itu berhubungan.
e. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup memberikan pengertian tentang kearifan lokal, yaitu nilai-nilai luhur yang berlaku
xi
dalam tata kehidupan masyarakat antara lain untuk melindungi dan mengelola
lingkungan hidup secara lestari.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kearifan lokal adalah
pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud
aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam
pemenuhan kebutuhan komunitas tersebut.
Dalam istilah asing, kearifan lokal juga sering dikonsepsikan sebagai kebijakan
masyarakat setempat. Hal ini terlihat dari muatan katanya, yaitu local wisdom (kearifan lokal),
local knowledge (pengetahuan lokal), atau local genius (kecerdasan setempat). Istilah kearifan
lokal atau local genius ini diperkenalkan pertama kali oleh H. Quaritch Wales pada tahun 1951
(Kahn, 1998).
Kearifan lokal berkaitan erat dengan kondisi geografis atau lingkungan alam. Nilai-nilai
dalam kearifan lokal menjadi modal utama dalam membangun masyarakat tanpa merusak
tatanan sosial dengan lingkungan alam. Jadi, dapat dikatakan bahwa kearifan lokal terbentuk
sebagai budaya unggull dari masyarakat setempat berkaitan dengan kondisi geografis. Kearifan
loka merupakan produk budaya masa lalu yang patut dijadikan pegangan hidup Meskipun
bernilai lokal, nilai yang terkandung di dalamnya diyakini sangat universal.
xii
3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli,
4. mempunyai kemanipuan mengendalikan,
5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Adapun karakteristik kearifan lokal menurut Phongphit dan Naritasuwan adalah sebagai berikut
(Affandy dan Wulandari 2012)
1. memasukkan nilai-nilai yang mengajari masyarakat mengenai etika dan nilai moral
2. mengajarkan masyarakat untuk mencintai alam, tidak merusak alam dan
3. berasal dari anggota-anggota tua masyarakat
Phongphit and Nantasuwan juga menjelaskan bahwa kearifan lokal hadir dalam berbagai
bentuk, melalui pemikiran, cara kerja, cara hidup dan nila sosial Permasalahannya adalah
kearifan lokal biasanya tidak diterbitkan dan dipromosikan secara resmi Akibatnya, sulit bagi
masyarakat untuk belajar dan menggunakan pengetahuan jenis ini.
xiii
Tentunya kita patut bersyukur dan bangga terhadap kondisi ini. Keragaman budaya ya dotasia
terjadi disebabkan kondisi geografis antarwilayah yang berbeda sehingga penyesuaian
kearifan lokal terhadap lingkungan juga berbeda. Nyoman Sirtha menjelaskan bahwa bentuk-
bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, dan
aturan-aturan khusus. Kearifan lokal berasal dari warisan nenek moyang yang menyatu dalam
kehidupan manusia yang diturunkan dari generasi ke generasi. Adapun menurut Teezi,
Marchettini, dan Rarosini (Mariane, 2014) hasil akhir dari sedimentasi kearifan lokal adalah
berbentuk tradisi atau agama.
Dia mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil
dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris/nonempiris ataupun
estetik/intuitif. Kearifan lokal ini menggambarkan fenomena yang akan menjadi ciri khas
komunitas kelompoknya, misalnya alon-alon asal kelakon dalam masyarakat Jawa Tengah.
Terdapat pendapat lain yang mengklasifikasikan bentuk kearifan lokal ke dalam dua
aspek. Bentuk kearifan lokal yaitu berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud
(intangible) (Azan, 2013). Berikut uraiannya.
Bentuk kearifan lokal yang berwujud nyata meliputi beberapa aspek berikut.
1) Tekstual
Beberapa jenis kearifan lokal contohnya sistem nilai, tata cara, dan aturan yang dituangkan
dalam bentuk catatan tertulis. Contoh yang dapat kita temui yaitu dalam kitab tradisional Jawa
(primbon), kalender, dan naskah-naskah pada lembaran daun lontar.
Benda-benda tradisional hasil karya masyarakat juga banyak menyimpan kearifan lokal, seperti
patung, senjata, alat musik, dan tekstil. Contohnya adalah keris dari Jawa. Jika dilihat dari aspek
seni, keris memiliki fungsi sebagai seni simbol dan keris dapat pula menjadi perlambang dari
pesan sang empu permbuat keris.
3) Bangunan/Arsitektural
xiv
Konsep kearifan lokal juga terdapat dalam seni arsitektur rumah adat suku-suku di Indonesia.
Banyak bangunan-bangunan tradisional di Indonesia yang merupakan cerminan bentuk kearifan
lokal. Hal ini dapat terlihat dari bentuk, ornamen, tata letak, interior, dan sebagainya. Sebagai
contoh, pendopo Jawa, rurnah gadang Minangkabau, dan rumah tongkonan Toraja.
Selain bentuk kearifan lokal yang berwujud, terdapat bentuk kearifan lokal yang tidak
berwujud. Contohnya petuah yang disampaikan secara verbal dan seni suara berupa nyanyian,
pantun, cerita yang sarat nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal
yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke
generasi.
Pada prinsipnya kearifan lokal mempunyai peran yang sangat strategis dalam
membangun peradaban suatu masyarakat. Nilai-nilai dalam kearifan lokal yang dianut oleh
masyarakat akan menjadi identitas bagi masyarakat itu sebagai komunitas masyarakat yang
bermartabat.
Pada masyarakat Indonesia, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian,
pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-
hari. Kearifan lokal biasanya tecermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah
berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku
dalam kelompok masyarakat akan tercermin dalam nilai-enjadi pegangan kelpisanka masyarakat
tertentu yang biasanya nilai menjadi bagian hidup tak teri Bebenayang dapat dianati melalui
sikap dan perilaku mereka sehari- hari. Beberapa kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat
Indonesia antara lain sebagai berikut.
a. Kearifan lokal dalam karya-karya masyarakat
Kearifan lokal dalam karya masyarakat misalnya pada seni tekstil di Indonesia.
Masyarakat Jawa memiliki batik yang menjadi ciri khas dan kebanggaan Indonesia. Tidak hanya
motifnya yang indah, namun di balik motif tersebut tersimpan makna yang mendalam. Motif-
xv
motif tersebut berisi nasihat, harapan, dan doa kepada Tuhan. Sebagai contoh, motif batik parang
memiliki makna petuah untuk tidak pernah menyerah. Hal ini terlihat dari motifnya yang berisi
jalinan yang tidak terputus.
b. Kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam
Kearifan lokal mengajarkan kita untuk tidak mengeksploitasi alam secara berlebihan.
Tentunya hal ini bukan tanpa maksud, melainkan agar keberlanjutan hidup dan diri kita sendiri
terus terjaga. Seperti halnya pada masyarakat Dayak di Kalimantan. Konsep konservasi
lingkungan telah dikenal lama oleh masyarakat Dayak yang disebut dengan istilah Tana Ulen.
Pada wilayah Tana Ulen, penduduk dilarang menebang pohon, membakar hutan, membuat
ladang, dan melakukan aktivitas-aktivitas lain yang menimbulkan kerusakan hutan. Pengambilan
hasil hutan Tana' Ulen hanya dimanfaatkan pada waktu-waktu tertentu dan diperuntukkan bagi
kepentingan umum. Pengambilan hasil hutan untuk kepentingan pribadi sangat dibatasi.
c. Kearifan lokal dalam bidang pertanian
Indonesia dianugerahi tanah yang subur sehingga cocok untuk mengembangkan
pertanian. Kegiatan pertanian dan bercocok tanam telah dikenal oleh nenek moyang kita. Nenek
moyang kita telah mengembangkan sistem pertanian yang ramah lingkungan dan disesuaikan
dengan kondisi lingkungan. Contohnya sistem pertanian Nyabuk Gunung di Jawa Tengah dan
Mitracai di Jawa Barat.
d. Kearifan lokal dalam mitos masyarakat
Mitos terhadap pohon-pohon keramat banyak dijumpai di berbagai wilayah Indonesia.
Sebagai contoh penduduk Jawa dan Bali yang mengganggap pohon besar memiliki roh penunggu
sehingga tidak boleh ditebang. Disadari atau tidak, mitos ini sangat membantu keseimbangan
alam. Pohon besar secara ilmiah memang menyimpan cadangan air tanah dan penyedia oksigen.
Contoh lain, pada masyarakat Kasepuhan Pancer Pengawinan, Kampung Dukuh, Jawa Barat
terdapat mitos tabu sehingga pemanfaatan hutan dilakukan secara hati-hati, tidak diperbolehkan
melakukan eksploitasi kecuali atas izin sesepuh adat. Mitos terhadap hewan yang dianggap
keramat juga turut menyumbang pelestarian hewan dari kepunahan. Hewan yang dianggap
keramat contohnya seperti ular, kucing, burung gagak, burung hantu, buaya, burung enggang dan
hewan lainnya. Dengan adanya mitos tersebut, kelangsungan hidup hewan tersebut lebih
terjamin. Hal ini mengingat satwa merupakan pakan bagian jaringan ekosistem yang memainkan
perannya dalam keseimbangan ekosistem.
xvi
e. Kearifan lokal dalam cerita budaya, petuah, dan sastra
Kearifan lokal juga tertuang dalam seni sastra. Cotohnya suku Melayu terkenal dengan seni
sastranya. Lewat seni sastra suku Melayu menggambarkan kearifan lokal yang wajib dijunjung
tinggi. Seperti dalam petikan seni sastra berikut.
Adat orang hidup beriman
Tahu menjaga laut dan hutan
Tahu menjaga kayu dan kayan
Tahu menjaga binatang hutan
Tebasnya tidak menghabiskan
Tebangnya tidak memusnahkan
Bakarnya tidak membinasakan
Dari berbagai bentuk kearifan lokal masyarakat Indonesia di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa kearifan lokal di Indonesia mengandung nilai- nilai yang patut kita teladani.
Sikap dapat kita contoh antara lain kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, saling menjaga
kelestarian lingkungan, mengutamakan kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai, dan
tolong-menolong antarsesama warganegara.
Secara etimologis, pemberdayaan berasal dari kata "daya" yang berarti kekuatan atau
mengembangkan kemampuan. Pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu proses menuju
berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/ kekuatan/kemampuan, atau proses pemberian
daya/kekuatan/kemampuan kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.
xvii
Gambar 2. 2 Pemberdayaan Komunitas
Berikut akan diuraikan berbagai pengertian pemberdayaan menurut para ahli.
a. Menurut Tri Winarni, inti pemberdayaan meliputi tiga hal, yaitu pengembangan (enabling),
memperkuat potensi atau daya (empowering), dan memperkuat kemandirian (Kasim dan
Karim, 2006).
b. Menurut Edi Suharto (2009), Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya
kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam:
1. memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti
bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari
kebodohan, bebas dari kesakitan.
4. Adapun menurut Talcott Parsons, pemberdayaan adalah sebuah proses di mana orang
menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas kejadian-
kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Sehingga dalam
proses pemberdayaan tersebut, orang yang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan
kekuasaan yang cukup dapat mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain
(Alfianti, 2014).
5. Jim Ife mengatakan bahwa pemberdayaan adalah suatu cara untuk mempersiapkan orang-
orang dengan sumber daya, peluang, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan
kapasitas mereka agar dapat menentukan masa depannya sendiri, dan untuk mengambil
bagian dan efek dari lingkungan mereka sendiri (Steviarini, 2008).
6. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemberdayaan adalah proses, cara, perbuatan
membuat berdaya, yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak
yang berupa akal, ikhtiar atau upaya.
xviii
7. Krisdyatmiko (Irsyadi, 2008) menyatakan bahwa pemberdayaan yatmiko (empowerment)
dapat dimaknai sebagai upaya memberi power kepada yang powerless, yaitu masyarakat
marginal Power diartikan kekuasaan dan kekuatan sehingga dalam kegiatan pemberdayaan
terkandung dua makna berikut.
(1) proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaaan dan kekuatan dari yang
powerful ke yang powerless.
(2) proses memotivasi individu atau kelompok masyarakat agar memiliki kemampuan atau
keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya.
8. Menurut World Bank, pemberdayaan adalah perluasan aset-aset dan kemampuan
masyarakat miskin dalam menegosiasikan dengan, mengontrol, serta mengendalikan
tanggung jawab lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya (Sadri, 2009).
xix
a. Mampu mengidentifikasi masalah dan kebutuhan komunitas.
b. Mampu mencapai kesempatan tentang sasaran yang hendak dicapai dan skala prioritas.
c. Mampu menemukan dan menyepakati cara dan alat untuk mencapai sasaran yang telah
disetujui.
d. Mampu bekerja sama rasional dalam bertindak mencapai tujuan. (Sulistiyani, 2004)
b. Mardikanto
xx
Totok Mardikanto mengemukakan bahwa pemberdayaan memiliki prinsip-prinsip sebagai
berikut (Fitriyanti, 2014).
1. Mengerjakan, artinya kegiatan pemberdayaan harus sebanyak mungkin melibatkan
masyarakat untuk mengerjakan atau menerapkan sesuatu. Karena melalui "mengerjakan"
mereka akan mengalami proses belajar (baik dengan menggunakan pikiran, perasaan dan
keterampilannya) yang akan terus diingat untuk jangka waktu yang lebih lama.
2. Akibat, artinya kegiatan pemberdayaan harus memberikan akibat atau pengaruh yang baik
atau bermanfaat. Sebab, perasaan senang/puas atau tidak-senang/kecewa akan mempengaruhi
semangatnya untuk mengikuti kegiatan belajar/pemberdayaan di masa-masa mendatang.
3. Asosiasi, artinya setiap kegiatan pemberdayaan harus dikaitkan dengan kegiatan lainnya.
Sebab, setiap orang cenderung untuk mengaitkan/ menghubungkan kegiatannya dengan
kegiatan/peristiwa lainnya.
xxi
konsep-konsep teoretis tetapi harus memberikan kesempatan kepada masyarakat sasaran untuk
mencoba atau memperoleh pengalaman melalui kegiatan secara nyata
6. Penggunaan metode yang sesuai, artinya pemberdayaan harus dilakukan dengan penerapan
metoda yang selalu disesuaikan dengan kondisi lingkungan (lingkungan fisik, kemampuan
ekonomi dan nilai sosial budaya) sasarannya.
Pemberdayaan komunitas tak dapat dilepaskan dari siklus pemberdayaan itu sendiri.
Pemberdayaan komunitas merupakan suatu kegiatan yang bersinambungan dan diharapkan
terjadi peningkatan kualitas dari satu tahapan ke tahapan setelahnya. Menurut Terry Wilson
(Mubarak, 2010), terdapat tujuh tahapan dalam siklus pemberdayaan komunitas yaitu sebagai
berikut.
1) Tahap pertama, keinginan dari masyarakat sendiri untuk berubah menjadi lebih baik.
2) Tahap kedua, masyarakat diharapkan mampu melepaskan halangan- halangan atau faktor-
faktor yang bersifat resisten terhadap kemajuan dalam diri dan komunitasnya.
3) Tahap ketiga, masyarakat diharapkan sudah menerima kebebasan tambahan dan merasa
memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan dirinya dan komunitasnya.
xxii
4) Tahap keempat, upaya untuk mengembangkan peran dan batas tanggung jawab yang lebih
luas. Hal ini juga terkait dengan minat dan motivasi untuk melakukan pekerjaan dengan lebih
baik.
5) Tahap kelima, peningkatan rasa memiliki yang lebih besar menghasilkan keluaran kinerja
yang lebih baik. Pada tahap ini hasil-hasil nyata dari pemberdayaan mulai terlihat
6) Tahap keenam, telah terjadi perubahan perilaku dan kesan terhadap dirinya, ketika
keberhasilan dalam peningkatan kinerja mampu meningkatkan perasaan psikologis di atas
posisi sebelumnya.
7) Tahap ketujuh, masyarakat yang telah berhasil dalam memberdayakan dirinya, merasa
tertantang untuk upaya yang lebih besar guna mendapatkan hasil yang lebih baik.
xxiii
1 ) Awakening atau penyadaran, pada tahap ini masyarakat disadarkan akan kemampuan,
sikap dan keterampilan yang dimiliki serta rericana dan harapan akan kondisi mereka yang
lebih baik dan efektif.
2) Understanding atau pemahaman, lebih jauh dari tahapan penyadaran masyarakat
diberikan pemahaman dan persepsi baru mengenai diri mereka sendiri, aspirasi mereka dan
keadaan umum lainnya. Proses pemahaman ini meliputi proses belajar untuk secara utuh
menghargai pemberdayaan dan tentang apa yang dituntut dari mereka oleh komunitas.
3) Harnessing atau memanfaatkan, setelah masyarakat sadar dan mengerti mengenai
pemberdayaan, saatnya mereka memutuskan untuk menggunakannya bagi kepentingan
komunitasnya.
4) Using atau menggunakan keterampilan dan kemampuan pemberdayaan sebagai bagian
dari kehidupan sehari-hari.
xxiv
K. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERDAYAAN KOMUNITAS
Pemberdayaan suatu komunitas dapat dianggap sebagai suatu konsep yang baik dan
membawa manfaat. Namun terkadang dalam implementasinya, masyarakat tidak langsung
berpartisipasi penuh dalam program tersebut. Menurut Sumaryadi (2005) dalam Mubarak
(2010), ada delapan faktor yang memengaruhi keberhasilan pemberdayaan komunitas yaitu
sebagai berikut.
a. Kesediaan suatu komunitas untuk menerima pemberdayaan bergantung pada situasi yang
dihadapi.
b. Adanya pemikiran bahwa pemberdayaan tidak untuk semua orang, dan adanya persepsi dari
pemegang kekuasaan dalam komunitas tersebut bahwa pemberdayaan dapat mengorbankan diri
mereka sendiri.
c. Ketergantungan adalah budaya, dengan keadaan masyarakat sudah terbiasa berada dalam
hirarki, birokrasi, dan kontrol manajemen yang tegas sehingga membuat mereka terpola dalam
berpikir dan berbuat dalam rutinitas.
d. Dorongan dari para pemimpin setiap komunitas untuk ndale mas melepaskan kekuasaannya,
karena inti dari pemberdayaan adalah ben s pelepasan sebagian kewenangan untuk diserahkan
kepada hanyatstat
e Adanya batas pemberdayaan, terutama terkait dengan siklus pemberdayaan kemampuan dan
motivasi setiap orang yang berfede beda.
f. Adanya kepercayaan dari para pemimpin komunitas untuk mengembangkan pemberdayaan
dan mengubah persepsi mereka tentang anggota komunitasnya.
g. Pemberdayaan tidak kondusif bagi perubahan yang cepat.
xxv
BAB III
PEMBAHASAN
xxvi
Pemberdayaan komunitas melibatkan memberikan kekuatan, pengetahuan, keterampilan, dan
sumber daya kepada individu atau kelompok di dalam suatu komunitas.
xxvii
Pemberdayaan komunitas mendorong kolaborasi dan partisipasi lintas sektor, melibatkan
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta dalam mendukung upaya-upaya
pemberdayaan.
7. Pemecahan Masalah Bersama:
Melibatkan masyarakat dalam identifikasi dan pemecahan masalah bersama. Proses
partisipatif ini menciptakan rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap hasil-hasil yang
dicapai.
xxviii
Pada saat itu, DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia. Kampung
Naga yang saat itu lebih mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan niat Organisasi
tersebut. Oleh karena itu, DI/TII yang tidak mendapatkan simpati warga Kampung Naga
membumihanguskan perkampungan tersebut pada tahun 1956.
Adapun beberapa versi sejarah yang diceritakan oleh beberapa sumber diantaranya, pada
masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama
Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke
daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah
Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam
persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang
sekarang disebut Kampung Naga.
Sejenak mungkin terlintas dalam pikiran kita, barangkali ketika mendengar nama
Kampung Naga. Ternyata bentuk asli dari kamgpung tersebut sangat berbeda dengan namanya,
dan gamabaran kita tentang hal-hal yang berbau naga, karena tak satupun naga yang berada
disana. Nama Kampung Naga itu sendiri ternyata merupakan suatu singkatan kata dari Kampung
diNa Gawir (bahasa sunda). Kata “dina” maknanya menunjuk tempat, semetara “gawir” berarti
lembah atau jurang. Kampung Naga adalah sebuah kampong kecil, yang para penduduknya
patuh dan menjaga tradisi yang ada, hal inilah yang membuat kampong ini unik dan berdebda
dengan yang lain. Tak salah jika kampong ini menjadi salah satu warisan budaya Bangsa
Indonesia yang patut dilestarikan.
xxix
Nenek moyang Kampung Naga sendiri konon adalah Eyang Singaparna yang makamnya
sendiri terletak disebuah hutan disebelah batar Kampung Naga. Yang membuat Kampung Naga
ini unik adalah karena penduduk ini seperti tidak terpengaruh dengan modernitas dan masih tetap
memegang teguh adat istiadat yang secara turun temurun. Kepatuhan warnga Sanaga (warga asli
kampung naga) dalam mempertahankan upacara-upacara adat, termasuk juga pola hidup mereka
yang tetap selaras dengan adapt leluhurnya seperti dalam hal religi dan upacara, mata
pencaharian, pengetahuan, kesenian, bahsa dan tata cara leluhurnya.
Letak Geografis
xxx
Gambar 3. 5 Kampung Naga Gambar 3. 6 Kampung Naga
xxxi
C. ANALISIS BERDASARKAN 7 UNSUR KEBUDAYAAN KAMPUNG NAGA
(Menurut Koentjaraningrat) :
1. Sistem Religi
Penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam. Pengajaran mengaji bagi
anak-anak di Kampung Naga dilaksanakan pada malam Senin dan malam Kamis, sedangkan
pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam Jumat. Dalam menunaikan rukun Islam yang
kelima atau ibadah Haji, mereka beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekkah,
tetapi cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan Hari
Raya Haji yaitu setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah).
Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan
Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri. Secara keseluruhan masyarakatnya menganut
ajaran Agama Islam bahkan sejak abad ke-16 lalu. Mengenai tokoh pertama kali yang membawa
ajaran agama Islam ini tidak diketahui secara pasti karena segala dokumen yang ada pada saat itu
terbakar akibat pemberontakan DI-TII. Akan tetapi, terdapat beberapa peninggalan, seperti
patilasan pangsolatan yang dapat menjadi bukti akan tapak tilas penyebaran agama Islam
tersebut.
Mengingat seluruh masyarakat Kampung Naga ini menganut agama Islam, maka di
tengah pemukiman penduduk ditemukan Masjid sebagai sarana pelaksanaan ibadah shalat dan
biasanya digunakan sebagai tempat mengaji bagi anak-anak. Masjid juga biasanya difungsikan
sebagai salah satu tempat dilaksanakannya upacara ataupun ritual keagamaan, sehingga
xxxii
keberadaan Masjid di Kampung Naga merupakan salah satu tempat sentral dan pragmatis bagi
masyarakat sekitar.
Dalam upacara praktik kepercayaan yang dilaksanakan di Kampung Naga tidak lepas dari
peranan tokoh agama (ustad) serta lembaga adat yang juga berperan dalam membina kerukunan
umat. Peranan ustad dalam kegiatan di Masjid biasanya untuk membimbing masyarakat mengaji
serta menuntun dalam praktik ibadah sholat.
Meskipun masyarakatnya memeluk agama Islam, akan tetapi masyarakat di Kampung
Naga masih memegang teguh pada kepercayaan terhadap hal-hal tabu yang menjadi warisan
budaya leluhurnya seperti pamali. Pernyataan kuncen, bahwasannya di Kampung Naga sendiri
memiliki banyak larangan, tetapi tidak banyak aturan karena satu kata, yaitu pamali yang ditaati
dan diturunkan secara turun-temurun. Selain itu, masyarakat di Kampung Naga pun masih
memegang kepercayaan kepada makhluk halus bahkan seringkali masyarakat disana menyiapkan
sesajen sebagai bentuk untuk menghargai keberadaan makhluk halus tersebut.
Lebih lanjut, pelaksanaan praktik keagamaan di Kampung Naga akan dipimpin oleh
lembaga adat yang terbagi menjadi tiga, yaitu kuncen yang berperan sebagai pemimpin upacara
adat, lebe yang berperan dalam mengurusi prosesi pemakaman mulai dari memandikan hingga
menguburkan, dan puduh yang berperan untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat
sekitar. Sifat dari lembaga adat di Kampung Naga adalah tidak tertulis dan biasanya diwariskan
secara turun-temurun. Masyarakat lainnya pun memiliki peranan dalam pelaksanaan praktik
keagamaan, seperi ibu-ibu yang nantinya akan menyediakan persiapan makanan tumpeng dan
bapak-bapak lainnya yang akan berziarah langsung ke makam para leluhur. Praktik tersebut
dikenal sebagai Adat Sasih yang dilaksanakan selama 6 kali dalam setahun pada hari-hari besar
Islam.
2. Sistem Organisasi
Kampung Naga sendiri memiliki sistem organisasi sosial formal dan informal:
- Sistem Organisasi Formal
Sistem organisasi formal di Kampung Naga mencakup sistem organisasi sosial pemerintah,
termasuk kepala dusun, RT dan RW yang dipilih secara demokratis selayaknya desa lainnya.
- Sistem organisasi Informal
xxxiii
Sedangkan sistem organisasi informal pada masyarakat naga dapat disebut juga dengan
lembaga adat. Adapun lembaga adat yang terdapat di Kampung Naga adalah Kuncen atau
Juru Kunci, lebe adat dan Punduh Adat.
Dalam sistem organisasi informal, pemimpin dari lembaga adat Kampung Naga adalah
Kuncen. Kuncen ditunjuk sebagai ketua adat yang mempunyai mandat untuk memimpin dan
mengayomi masyarakat Kampung Naga dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari.
Kedudukan dari Kuncen ini akan diwariskan secara turun temurun dari garis keturunannya
yang tidak harus berasal dari keturunan Kuncen terdahulu. Jadi, dapat disimpulkan untuk
regenerasi Kuncen selanjutnya dapat berasal dari garis keturunan paman yang mana setiap
pemilihannya akan dibarengi dengan musyawarah.
3. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Naga pada dasarnya
bersatu dengan hukum adat yang telah lama menjadi pedoman dan sistem nilai dalam kehidupan
mereka. Hal ini sering disebut sebagai "Patuah" atau "wangsit" yang merupakan petunjuk untuk
mematuhi semua peraturan yang diwariskan oleh nenek moyang. Dengan demikian, semua aspek
pengetahuan mereka merupakan warisan turun-temurun dari leluhur Kampung Naga yang telah
tinggal di sana selama beberapa generasi. Ini mencakup pandangan hidup, metode bercocok
xxxiv
tanam, cara memanfaatkan sumber daya alam, semuanya mengikuti tradisi. Namun, budaya
tradisional ini juga sarat dengan nilai-nilai kearifan local.
Dari perspektif mereka, menjaga kelestarian alam adalah suatu kewajiban, termasuk
dalam menjaga hutan, sungai, dan menjaga keberlanjutan hewan-hewan di lingkungan mereka.
Mereka meyakini bahwa tugas mereka adalah menjaga keseimbangan alam, dan mereka
dianggap sebagai pemelihara alam tempat tinggal mereka untuk mencegah dampak negatif bagi
diri mereka sendiri. Berdasarkan keyakinan mereka, masyarakat Kampung Naga memiliki
tanggung jawab untuk menjaga wilayah mereka agar tidak rusak, melindungi hutan, menjaga
aliran air, dan melestarikan lembah.
Mereka percaya bahwa dengan menjaga lingkungan sekitar mereka, alam juga akan
memberikan dukungan yang cukup untuk kehidupan mereka. Meskipun mereka menjalani
kehidupan yang sederhana, banyak unsur budaya mereka yang mengalami perubahan atau
pergeseran.
Dalam hal sistem pengetahuan, beberapa warga Kampung Naga juga telah mengejar
pendidikan seperti yang dilakukan di wilayah lain. Salah satu temuan penelitian adalah
bagaimana sebagian masyarakat Kampung Naga berharap agar anak-anak mereka dapat
bersekolah dan memiliki masa depan yang lebih baik. Pendidikan formal bagi anak anak di
kampung naga yang menempuh pendidikan di luar kampung naga yang mendapat akses luas
terhadap informasi melalui internet memiliki potensi untuk secara substansial mengubah
panorama pengetahuan masyarakat, membuka peluang untuk memperoleh pemahaman baru
mengenai dunia dan realitas kehidupan sehari-hari.
Hal ini bisa membuat adanya pencampuran pemahaman yang di dapat anak-anak
kampung naga dengan pemahaman tradisi lokal. Upaya mitigasi terhadap pengetahuan luar yang
masuk ke Kampung Naga dapat dilakukan yakni dengan menginisiasi program pendidikan lokal
yang menitikberatkan pada nilai-nilai budaya, sejarah, dan kearifan lokal adalah usaha yang
bertujuan memperkuat jati diri masyarakat setempat. Program ini didesain untuk memberikan
warga pemahaman yang mendalam mengenai warisan budaya yang mereka miliki, serta
mengelola akses informasi dari luar dengan hati-hati, memastikan bahwa informasi yang masuk
sesuai dengan nilai dan budaya lokal.
xxxv
4. Bahasa
Dalam bahasa, masyarakat Kampung naga lebih cenderung menggunakan bahasa lisan
sebagai bahasa pergaulannya sehari-hari. Bahasa yang digunakan tersebut adalah bahasa sunda
yang telah turun-temurun menjadi bahas pergaulan dari nenek moyangnya dahulu. Namun
demikian bukan berarti masyarakat Kampung Naga ini tidak menggukan bahasa lainnya karena
ada pula warga yang mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan sebagian
pun mengerti bahasa Indonesia hanya dalam pengucapannya kadang masih terselip bahasa
sundanya begitupun dalam intonasi pengucapannya lebih berbau ciri khas bahasa sunda
5. Kesenian
xxxvi
Sedangkan permainan tradisi kesenian Terbang Sejak, kata dia, dapat dilaksanakan dalam
momentum kapan saja, dengan melibatkan pemain sebanyak enam orang dengan alat musik
seperti rebana.
Bahkan, lanjut dia, kesenian Terbang Sejak bisa dikolaborasikan dengan lagu-lagu Sunda yang
biasa ditampilkan pada kegiatan syukuran atau hiburan warga Kampung Naga. "Terbang Sejak
ini sebagai hiburan yang kapan saja bisa digelar, tidak hanya waktu tertentu saja, isinya bebas,
bisa kolaborasikan dengan lagu-lagu seperti lagu Sunda," katanya. Ia menambahkan, ketiga
adalah tradisi bermain angklung atau alat musik dari bambu yang sampai saat ini masih terus
dipertahankan warga adat Kampung Naga dalam menggelar kegiatan-kegiatan adat di
kampungnya.
xxxvii
menghormati dan selalu hidup bersama alam. "Tentunya kesenian di Kampung Naga ada
petuah, isinya petuah dari alam, ada pesan moral," katanya.
Sementara itu, warga adat Kampung Naga masih mempertahankan tradisi dan adat
istiadat leluhur seperti menjaga tatanan hidup masyarakat kampung, termasuk dalam menata
pemukimannya masih tradisional. Masyarakat adat Kampung Naga sebagian besar beraktivitas
bertani, dan selalu terbuka bagi masyarakat luar untuk berkunjung mempelajari aktivitas
masyarakat di lingkungan Kampung Naga. Sampai saat ini, pemukiman kampung adat tersebut
tidak menerima masuknya jaringan listrik dan masih menggunakan bahan bakar minyak tanah
untuk penerangan saat malam hari.
Berbagia adat istiadat Kampung Naga:
- Menyepi
Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada hari selasa, rabu, dan
hari sabtu. Upacara ini menurut pandangan masyarakat Kampung Naga sangat penting dan
wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik laki-laki maupun perempuan.
Oleh sebab itu, jika ada upacara tersebut di undurkan atau dipercepat waktu pelaksanaannya.
Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada
dasarnya merupakan usaha menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan
dengan adat istiadat. Melihat kepatuhan warga Naga terhadap aturan adat, selain karena
penghormatan kepada leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar
dikhawatirkan akan menimbulkan malapetaka.
- Hajat asih
Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang bertempat
tinggal di Kampung Naga maupun di luar Kampung Naga.
Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada
leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan yang
mahaesa atas segala nikmat yang telah diberikannya kepada warga sebagai umat-Nya.
Upacara Hajat Sasih diselenggarakan pada bulan-bulan dengan tanggal-tanggal sebagai berikut:
xxxviii
- Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, 16
- Bulan Rayagung (Dzulkaidah) pada tanggal 10, 11, 12
Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih sengaja dilakukan
bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam. Penyesuaian waktu tersebut bertujuan agar
keduanya dapat dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan adat dan akidah agama islam dapat
dijalankan secara harmonis.
Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam. Sebelumnya
para peserta upacara harus melaksanakan beberapa tahap upacara. Mereka harus mandi dan
membersihkan diri dari segala kotoran di sungai Ciwulan. Upacara ini disebut beberesih atau
susuci. Selesai mandi mereka berwudhu di tempat itu juga kemudian mengenakan pakaian
khusus. Secara teratur mereka berjalan menuju mesjid. Sebelum masuk mereka mencuci kaki
terlabih dahulu dan masuk kedalam sembari menganggukan kepala dan mengangkat kedua
belah tangan. Hal itu dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri, karena
mesjid merupakantempat beribadah dan suci. Kemudian masing-masing mengambil sapu lidi
yang telah tersedia di sana dan duduk sambil memegang sapu lidi tersebut.
Adapun kuncen, lebe, dan punduh / Tua kampung selesai mandi kemudian berwudlu dan
mengenakan pakaian upacara mereka tidak menuju ke mesjid, melainkan ke Bumi Ageung. Di
Bumi Ageung ini mereka menyiapkan lamareun dan parukuyan untuk nanti di bawa ke makam.
Setelah siap kemudian mereka keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh membawa
parukuyan menuju makam. Para peserta yang berada di dalam mesjid keluar dan mengikuti
kuncen, lebe, dan punduh satu persatu. Mereka berjalan beriringan sambil masing-masing
membawa sapu lidi. Ketika melewati pintu gerbang makam yang di tandai oleh batu besar,
masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan kepada makam Eyang
Singaparna.
Setibanya di makam selain kuncen tidak ada yang masuk ke dalamnya. Adapun Lebe dan
Punduh setelah menyerahkan lamareun dan parakuyan kepada kuncen kemudian keluar lagi
tinggal bersama para peserta upacara yang lain. Kuncen membakar kemenyan untuk unjuk-
unjuk (meminta izin ) kepada Eyang Singaparna. Ia melakukan unjuk-unjuk sambil menghadap
kesebelah barat, kearah makam. Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat. Setelah kuncen
melakukan unjuk-unjuk, kemudian ia mempersilahkan para peserta memulai membersihkan
xxxix
makam keramat bersama-sama. Setelah membersihkan makam, kuncen dan para peserta duduk
bersila mengelilingi makam.
Masing-masing berdoa dalam hati untukmemohon keselamatan, kesejahteraan, dan
kehendak masing-masing peserta. Setelah itu kuncen mempersilakan Lebe untuk memimpin
pembacaan ayat-ayat Suci Al-Quran dan diakhri dengan doa bersama.
Selesai berdoa, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan kuncen. Mereka
menghampiri kuncen dengan cara berjalan ngengsod. Setelah bersalaman para peserta keluar
dari makam, diikuti oleh punduh, lebe dan kuncen. Parukuyan dan sapu lidi disimpan di "para"
mesjid. Sebelum disimpan sapu lidi tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara di
sungai Ciwulan, sedangkan lemareun disimpan diBumi Ageung.
Acara selanjutnya diadakan di mesjid. Setelah para peserta upacara masuk dan duduk di
dalam mesjid, kemudian datanglah seorang wanita yang disebut patunggon sambil membawa
air di dalam kendi, kemudian memberikannya kepada kuncen. Wanita lain datang membawa
nasi tumpeng dan meletakannya di tengah-tengah. Setelah wanita tersebut keluar, barulah
kuncen berkumur-kumur dengan air kendi dan membakar dengan kemenyan. Ia mengucapkan
Ijab kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya lebe membacakan doanya setelah ia berkumur-
kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi. Pembacaan doa diakhiri dengan
ucapan amin dan pembacaan Al-fatihah. Maka berakhirlah pesta upacara Hajat Sasih tersebut.
Usai upacara dilanjutkan dengan makan nasi tumpeng bersama-sama. Nasi tumpeng ini ada
yang langsung dimakan di mesjid, ada pula yang dibawa pulang kerumah untuk dimakan
bersama keluarga mereka.
- perkawinan
Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan
setelah selesainya akad nikah. adapun tahap-tahap upacara tersebut adalah sebagai berikut:
upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar
(berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan.
Upacara sawer dilakukan selesai akad nikah, pasangan pengantin dibawa ketempat
panyaweran, tepat di muka pintu. mereka dipayungi dan tukang sawer berdiri di hadapan kedua
pengantin. panyawer mengucapkan ijab kabul, dilanjutkan dengan melantunkan syair sawer.
Ketika melantunkan syair sawer, penyawer menyelinginya dengan menaburkan beras, irisan
kunir, dan uang logam ke arah pengantin. Anak-anak yang bergerombol di belakang pengantin
xl
saling berebut memungut uang sawer. isi syair sawer berupa nasihat kepada pasangan pengantin
baru.
Usai upacara sawer dilanjutkan dengan upacara nincak endog. endog (telur) disimpan di atas
golodog dan mempelai laki-laki menginjaknya. Kemudian mempelai perempuan mencuci kaki
mempelai laki-laki dengan air kendi. Setelah itu mempelai perempuan masuk ke dalam rumah,
sedangkan mempelai laki-laki berdiri di muka pintu untuk melaksanakan upacara buka pintu.
Dalam upacara buka pintu terjadi tanya jawab antara kedua mempelai yang diwakili oleh
masing-masing pendampingnya dengan cara dilagukan. Sebagai pembuka mempelai laki-laki
mengucapkan salam 'Assalammu'alaikum Wr. Wb.' yang kemudian dijawab oleh mempelai
perempuan 'Wassalamu'alaikum Wr. Wb.' setelah tanya jawab selesai pintu pun dibuka dan
selesailah upacara buka pintu.
Setelah upacara buka pintu dilaksanakan, dilanjutkan dengan upacara ngampar, dan
munjungan. Ketiga upacara terakhir ini hanya ada di masyarakat Kampung Naga. Upacara
riungan adalah upacara yang hanya dihadiri oleh orang tua kedua mempelai, kerabat dekat,
sesepuh, dan kuncen. Adapun kedua mempelai duduk berhadapan, setelah semua peserta hadir,
kasur yang akan dipakai pengantin diletakan di depan kuncen. Kuncen mengucapakan kata-kata
pembukaan dilanjutkan dengan pembacaan doa sambil membakar kemenyan. Kasur kemudian di
angkat oleh beberapa orang tepat diatas asap kemenyan.
Usai acara tersebut dilanjutkan dengan acara munjungan. kedua mempelai bersujud
sungkem kepada kedua orang tua mereka, sesepuh, kerabat dekat, dan kuncen.
Akhirnya selesailah rangkaian upacara perkawinan di atas. Sebagai ungkapan rasa terima
kasih kepada para undangan, tuan rumah membagikan makanan kepada mereka. Masing-masing
mendapatkan boboko (bakul) yang berisi nasi dengan lauk pauknya dan rigen yang berisi opak,
wajit, rengginang, dan pisang.
Beberapa hari setelah perkawinan, kedua mempelai wajib berkunjung kepada saudara-
saudaranya, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Maksudnya untuk
menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan mereka selama acara perkawinan yang telah
lalu. Biasanya sambil berkunjung kedua mempelai membawa nasi dengan lauk pauknya. Usai
beramah tamah, ketika kedua mempelai berpamitan akan pulang, maka pihak keluarga yang
dikunjungi memberikan hadiah seperti peralatan untuk keperluan rumah tangga mereka.
xli
6. Mata Pencaharian
Mereka menanam padi secara tradisional dengan teknik yang sudah diwariskan turun-
temurun. Selain itu, perajin di kampung ini menghasilkan kain tenun dengan corak khas serta
membuat anyaman bambu untuk keranjang dan perkakas rumah tangga. Lalu membuat anyaman
bambu, dan ukiran kayu juga menjadi pekerjaan yang umum di sana dan beberapa juga bekerja
sebagai pedagang atau petani ikan. Beberapa penduduk juga menjual hasil pertanian atau
kerajinan tangan mereka di pasar lokal atau kepada pengunjung yang datang ke kampung
tersebut.
xlii
7. Sistem Tekonologi dan Peralatan
Masyarakat Kampung Naga secara konsisten masih menggunakan peralatan ataupun
perlengkapan hidup yang sederhana dan tradisional, non teknologi yang semua bahannya
diambil dari sumber daya alam. Seperti untuk keperluan masak-memasak, masyarakat kampung
naga menggunakan tungku dengan bahan bakar menggunakan kayu sebagai sumber api.
Peralatan untuk membajak sawah, masyarakat tidak menggunkan traktor melainkan
menggunakan pembajak yang dijalankan oleh kerbau, penggunaan cangkul, kored (cangkul
berukuran kecil), cerulit dan peralatan tradisional lainnya.
xliii
D. HAL YANG DIBERDAYAKAN
Di Kampung Naga, pemberdayaan komunitas terutama mencakup berbagai aspek
kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada nilai-nilai budaya Sunda. Beberapa hal yang
diberdayakan di Kampung Naga meliputi:
Kearifan Lokal dan Tradisi: Pemberdayaan komunitas di Kampung Naga berfokus pada
menjaga dan memperkuat kearifan lokal serta tradisi adat. Ini mencakup pemeliharaan
rumah adat, pelaksanaan upacara adat, dan menjunjung tinggi nilai-nilai leluhur.
Pertanian Berkelanjutan: Komunitas di Kampung Naga diberdayakan untuk menjalankan
pertanian secara berkelanjutan, mengutamakan praktik-praktik tradisional yang ramah
lingkungan dan mempertahankan keanekaragaman hayati lokal.
Kerajinan Tangan: Pemberdayaan melibatkan pengembangan keterampilan dalam
kerajinan tangan tradisional seperti tenun kain dan anyaman bambu. Hal ini tidak hanya
berdampak pada perekonomian mereka tetapi juga pada pelestarian warisan budaya.
Pendidikan dan Kesadaran Budaya: Program pemberdayaan di Kampung Naga mencakup
upaya untuk meningkatkan tingkat pendidikan dan kesadaran budaya masyarakat. Ini
dapat termasuk program pendidikan informal, workshop, dan kunjungan pendidikan.
Pengembangan Pariwisata: Dengan menjaga keaslian budaya mereka, komunitas di
Kampung Naga berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata. Pendapatan dari
pariwisata digunakan untuk mendukung keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat
setempat.
Pemberdayaan di Kampung Naga berfokus pada melestarikan kekayaan budaya dan alam
sambil memberikan keberlanjutan ekonomi bagi penduduknya. Ini menciptakan keseimbangan
antara menjaga warisan leluhur dan beradaptasi dengan perubahan zaman.
xliv
Tujuan pemberdayaan di Kampung Naga mencakup berbagai aspek yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan komunitas sambil menjaga keaslian budaya dan lingkungan.
Beberapa tujuan pemberdayaan di Kampung Naga meliputi:
Pelestarian Budaya: Mempertahankan dan melestarikan tradisi, adat istiadat, dan kearifan
lokal Sunda agar tidak tergerus oleh perubahan zaman. Tujuannya adalah agar generasi
mendatang dapat mewarisi dan menghargai warisan budaya mereka.
Kesejahteraan Ekonomi: Meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat melalui
pengembangan kerajinan tangan tradisional, pertanian berkelanjutan, dan partisipasi
dalam kegiatan pariwisata. Hal ini dapat menciptakan peluang ekonomi lokal.
Pendidikan dan Kesadaran: Memberikan pendidikan dan kesadaran budaya kepada
anggota masyarakat, termasuk generasi muda, agar mereka dapat mengenali dan
menghargai nilai-nilai budaya serta memahami pentingnya pelestarian warisan nenek
moyang.
Keseimbangan dengan Alam: Menerapkan praktik-praktik pertanian berkelanjutan yang
ramah lingkungan untuk menjaga keseimbangan alam dan menjaga keanekaragaman
hayati. Ini mencakup pemahaman terhadap ekosistem lokal.
Pengembangan Infrastruktur dan Layanan: Meningkatkan akses komunitas terhadap
infrastruktur dasar dan layanan, seperti pendidikan, kesehatan, dan sanitasi, untuk
mendukung kesejahteraan umum penduduk Kampung Naga.
Partisipasi Masyarakat: Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan
keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka sendiri. Hal ini menciptakan rasa
memiliki dan tanggung jawab terhadap masa depan kampung.
Pemberdayaan di Kampung Naga dirancang untuk menciptakan keseimbangan antara
pelestarian budaya, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Tujuannya adalah untuk menjaga keberlanjutan komunitas sambil tetap memegang teguh nilai-
nilai tradisional mereka.
xlv
F. AKTOR KAMPUNG NAGA
Gambar 3. 20 Sesepuh Kampung Naga Ucu Suherman Gambar 3. 21 Ketua Adat Kampung Naga Ade Suherlin
xlvi
terhadap budaya Kampung Naga.
Melalui kerja sama dan partisipasi dari berbagai aktor ini, Kampung Naga dapat
mempertahankan warisan budayanya sambil mencapai kesejahteraan dan keberlanjutan yang
diinginkan oleh komunitas.
Kearifan lokal di Kampung Naga mencakup aspek yang bersifat konkret (wujud) dan
aspek yang bersifat abstrak atau spiritual (tidak wujud). Berikut adalah beberapa contoh kearifan
lokal yang dapat dilihat secara langsung (wujud) dan yang bersifat lebih abstrak (tidak wujud):
- Kerajinan Tangan Tradisional: Keterampilan dalam membuat kain tenun, anyaman bambu,
dan ukiran kayu merupakan bentuk kearifan lokal yang terlihat secara langsung. Kerajinan
ini tidak hanya menjadi mata pencaharian tetapi juga sarana untuk mempertahankan warisan
budaya.
xlvii
mencerminkan kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan dengan alam.
BAB IV
PENUTUP
xlviii
A. KESIMPULAN
Kampung Naga merupakan kampung adat sunda yang masih menjaga kelestarian adat
istiadat dan budaya warisan leluhur mereka. Kampung Naga tidak mudah terpengaruh oleh
budaya modern. Seperti,tidak adanya aliran listrik sampai sekarang. Meskipun pemerintah
memberikan subsidi listrik gratis/ tetapi warga kampung naga menolaknya. Meskipun Kampung
Naga menjadi kampung adat tetapi untuk program pemerintah yaitu 9 tahun menuntut ilmu
masih dilaksanakan. Program KB juga dijalankan. Jadi anak-anak bersekolah yang tempatnya
berada di luar Kampung Naga.
Kampung Naga bisa mempertahankan adat dan budayanya berlandaskan falsafah dan sari
tauladan dari sesepuh terutama dalam tatanan kehidupan. Baik kehidupan agama/pemerintahan,
dan dari norma adat.
Kampung Naga juga memiliki budaya yang bersifat tradisi atau upacara adat yang
dilakukan rutin setiap ada hari perayaan tertentu. Seperti budaya Hajat Sasih yaitu budaya
tradisi yang dilaksanakan untuk memperingati hari-hari besar Islam. Hajat Sasih dilaksanakan
setiap 6 kali dalam setahun, yaitu pada perayaan Tahun baru hijriyah di bulan muharram,
Maulid Nabi Muhammad SAW, dipertengahan tahun di Djumaddil Akhir, bulan suci Ramadhan
di malam Nisfu sya’ban, hari raya idul fitri dan hari raya idul adha.
Banyak tempat untuk beribadah yang sering adanya larangan untuk dimasuki oleh
sembarang orang karena dianggap sebagai tempat yang suci sehingga tempat tersebut hanya
bisa dimasuki oleh beberapa orang tertentu dan diperlakukan secara istimewa. Tempat yang
disucikan ini memiliki pagar untuk melindungi bangunan dari kejadian-kejadian yang tidak
diinginkan.
B. SARAN
xlix
1. Akademi
a. Bagi peneiti, ini dapat dijadikan referensi, acuan,atau perfektif baru dari sudut
pandang yang berbeda.
b. Bagi pembaca, dari penelitian diharapkan bisa menambah ilmu pengetahuan dan
wawasan baru mengenai budaya yang ada di Kampung Naga.
2. Praktis
a. Bagi pemerintah, diharapkan lebih memperhatikan tentang adanya potensi budaya
yang harus dijaga dan difasilitasi keberadaannya misalkan menyediakan akses jalan
atau infrastuktur yang lebih baik lagi.
b. Bagi Masyarakat Kampung Naga, diharapkan mampu menjaga kelestarian adat
istiadat dan budaya yang ada di Kampung Naga.
DAFTAR PUSTAKA
l
https://jabar.idntimes.com/news/jabar/amp/yudi-rohmansyah/10-fakta-menarik-tradisi-dan-
budaya-kampung-naga-di-tasikmalaya
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JIIS/article /view/70245/28004
https://jabar.antaranews.com/amp/berita/86574/warga-adat-kampung-naga-pertahankan-tiga-
kesenian-leluhur
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kampung_Naga
https://matapriangan.blogspot.com/2009/09/peralatan-hidup-masyarakat-kampung-naga.html?
m=1
http://file.upi.edu
https://www.kompasiana.com/renitadst241201/62bd54a2bb448669df5fcde2/menelisik-sistem-
organisasi-adat-kampung-naga-tasikmalaya
https://www.kompasiana.com/audreyangelica/602decbf8ede48507b180fd2/kearifan-lokal-
sebagai-identitas-negara-haruskah-dipertahankan?page=2&page_images=1
https://www.mongabay.co.id/2020/07/21/kampung-naga-oase-tradisi-di-tengah-derap-
kehidupan-modern/
https://www.detik.com/jabar/wisata/d-5946169/mengenal-kampung-naga-rural-tourism-di-
tasikmalaya
https://pandooin.com/id/itinerary/kampung-naga-2d1n
https://www.esdenews.com/menganal-sejarah-kampung-naga-ditasikmalaya/
https://infogarut.id/6-fakta-menarik-kampung-adat-naga-yang-pegang-teguh-tradisi-leluhur
li