NIM : 04011281924105
Kelas/Grup : Delta/10
2. Etiologi
Ada beragam mekanisme yang menyebabkan ketuban pecah sebelum persalinan. Hal
ini dapat terjadi akibat melemahnya fisiologis membran yang dikombinasikan dengan
kekuatan yang disebabkan oleh kontraksi uterus. Infeksi intramniotik umumnya
terkait dengan KPD preterm (Dayal dan Hong, 2021).
Infeksi atau inflamasi koriodesidua juga dapat menyebabkan KPD preterm.
Penurunan jumlah kolagen dari membran amnion juga diduga merupakan faktor
predisposisi KPD preterm (POGI, 2016).
Dalam beberapa kasus, faktor yang menyebabkan pecahnya selaput ketuban
bersifat subakut atau kronis. Wanita dengan kelahiran prematur sebelumnya memiliki
peningkatan risiko kelahiran prematur karena KPD pada kehamilan berikutnya,
terutama jika kelahiran prematur sebelumnya disebabkan oleh KPD. Wanita tanpa
gejala dengan panjang serviks yang pendek (<25 mm) jauh dari persalinan juga
memiliki peningkatan risiko untuk kelahiran prematur berikutnya karena persalinan
prematur atau KPD. Beberapa wanita mungkin memiliki polimorfisme untuk protein
inflamasi yang mengubah respon inflamasi mereka dan meningkatkan risiko
kelahiran premature (Resnik et al., 2019).
3. Faktor Risiko
Berbagai faktor risiko berhubungan dengan KPD (POGI, 2016):
a. Pasien berkulit hitam memiliki risiko yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
pasien kulit putih.
b. Pasien dengan status sosioekonomi rendah, perokok, mempunyai riwayat infeksi
menular seksual, memiliki riwayat persalinan prematur, riwayat ketuban pecah
dini pada kehamilan sebelumnya, perdarahan pervaginam, atau distensi uterus
(misalnya pasien dengan kehamilan multipel dan polihidramnion).
c. Menjalani prosedur sirklase atau amniosentesis.
Meskipun berbagai etiologi, seringkali tidak ada penyebab yang jelas yang
diidentifikasi pada pasien yang datang dengan KPD.
4. Manifestasi Klinis
Pasien dengan KPD akan mengeluhkan keluarnya cairan (Dayal dan Hong, 2021).
Cairan yang keluar merupakan cairan amnion yang keluar dari serviks yang terlihat
jelas secara visual pada pemeriksaan fisik. KPD dikonfirmasi dengan vaginal pooling,
tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) (POGI, 2016).
5. Algoritma Diagnosis
Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD aterm harus meliputi
3 hal, yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi dan presentasi janin, dan
penilaian kesejahteraan maternal dan fetal (POGI, 2016).
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan spekulum)
KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnesis pasien dan visualisasi
adanya cairan amnion pada pemeriksaan fisik. Dari anamnesis perlu diketahui
waktu dan kuantitas dari cairan yang keluar, usia gestasi dan taksiran persalinan,
riwayat KPD aterm sebelumnya, dan faktor risikonya. Pemeriksaan digital vagina
yang terlalu sering dan tanpa indikasi sebaiknya dihindari karena hal ini akan
meningkatkan risiko infeksi neonatus. Spekulum yang digunakan dilubrikasi
terlebih dahulu dengan lubrikan yang dilarutkan dengan cairan steril dan
sebaiknya tidak menyentuh serviks. Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk
menilai adanya servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps bagian terbawah janin
(pada presentasi bukan kepala); menilai dilatasi dan pendataran serviks,
mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm secara visual (POGI, 2016).
Dilatasi serviks dan ada atau tidaknya prolaps tali pusat harus diperhatikan
dengan baik. Jika terdapat kecurigaan adanya sepsis, ambil dua swab dari serviks
(satu sediaan dikeringkan untuk diwarnai dengan pewarnaan gram, bahan lainnya
diletakkan di medium transport untuk dikultur (POGI, 2016).
Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan
lagi pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika diagnosis tidak
dapat dikonfirmasi, lakukan tes pH dari forniks posterior vagina (pH cairan
amnion biasanya ~ 7.1-7.3 sedangkan sekret vagina ~ 4.5 - 6) dan cari
arborization of fluid dari forniks posterior vagina. Jika tidak terlihat adanya aliran
cairan amnion, pasien tersebut dapat dipulangkan dari rumah sakit, kecuali jika
terdapat kecurigaan yang kuat ketuban pecah dini. Semua presentasi bukan kepala
yang datang dengan KPD aterm harus dilakukan pemeriksaan digital vagina untuk
menyingkirkan kemungkinaan adanya prolaps tali pusat (POGI, 2016).
b. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis untuk menilai
indeks cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan amnion atau indeks cairan
amnion yang berkurang tanpa adanya abnormalitas ginjal janin dan tidak adanya
pertumbuhan janin terhambat (PJT) maka kecurigaan akan ketuban pecah
sangatlah besar, walaupun normalnya volume cairan ketuban tidak menyingkirkan
diagnosis. Selain itu USG dapat digunakan untuk menilai taksiran berat janin, usia
gestasi dan presentasi janin, dan kelainan kongenital janin (POGI, 2016).
c. Pemeriksaan laboratorium
Pada beberapa kasus, diperlukan tes laboratorium untuk menyingkirkan
kemungkinan lain keluarnya cairan/ duh dari vagina/ perineum. Jika diagnosis
KPD aterm masih belum jelas setelah menjalani pemeriksaan fisik, tes nitrazin
dan tes fern, dapat dipertimbangkan. Pemeriksaan seperti insulin-like growth
factor binding protein 1(IGFBP-1) sebagai penanda dari persalinan preterm,
kebocoran cairan amnion, atau infeksi vagina terbukti memiliki sensitivitas yang
rendah9 . Penanda tersebut juga dapat dipengaruhi dengan konsumsi alkohol.
Selain itu, pemeriksaan lain seperti pemeriksaan darah ibu dan CRP pada cairan
vagina tidak memprediksi infeksi neonatus pada KPD preterm (POGI, 2016).
6. Tatalaksana
Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah mortalitas dan
morbiditas perinatal pada ibu dan bayi yang dapat meningkat karena infeksi atau
akibat kelahiran preterm pada kehamilan dibawah 37 minggu (POGI, 2016).
Terdapat dua manajemen dalam penatalaksanaan KPD, yaitu manajemen aktif dan
ekspektatif. Manajemen ekspektatif adalah penanganan dengan pendekatan tanpa
intervensi, sementara manajemen aktif melibatkan klinisi untuk lebih aktif
mengintervensi persalinan (POGI, 2016).
a. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan <24 minggu
Pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu dengan KPD preterm, terdapat
morbiditas minor yang lebih besar yang dapat terjadi apabila melahirkan pada
usia tersebut, seperti hyperbilirubinemia dan takipnea transien, sedangkan
morbiditas mayor seperti sindroma distress pernapasan dan perdarahan
intraventricular tidak berbeda secara signifikan. Sehingga, mempertahankan
kehamilan adalah pilihan yang lebih baik (POGI, 2016).
b. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 30-34 minggu
Pada usia kehamilan antara 30-34 minggu, persalinan lebih baik daripada
mempertahankan kehamilan dalam menurunkan insiden korioamnionitis secara
signifikan, sedangkan tidak ada perbedaan signifikan pada morbiditas neonatus
(POGI, 2016).
c. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 34-38 minggu
Pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, mempertahankan kehamilan akan
meningkatkan resiko korioamnionitis dan sepsis (POGI, 2016).
d. KPD memanjang
Antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD preterm. Administrasi
antibiotik mengurangi morbiditas maternal dan neonatal dengan menunda
kelahiran yang akan memberi cukup waktu untuk profilaksis dengan
kortikosteroid prenatal. administrasi antibiotik mengurangi morbiditas maternal
dan neonatal dengan menunda kelahiran yang akan memberi cukup waktu untuk
profilaksis dengan kortikosteroid prenatal. Pemberian antibiotik dapat
dipertimbangkan digunakan bila KPD memanjang (> 24 jam) (POGI, 2016).
Tabel 1. Antibiotik yang digunakan pada KPD >24 jam (POGI, 2016).
Medikamentosa D R Frekuensi
Benzilpenisilin 1,2 gram IV Setiap 4 jam
Klindamisin (jika 600 mg IV Setiap 8 jam
sensitif penisilin)
Jika pasien datang dengan KPD >24 jam, pasien sebaiknya tetap dalam
perawatan sampai berada dalam fase aktif (POGI, 2016).
e. Manajemen Aktif
Pada kehamilan ≥ 37 minggu, lebih dipilih induksi awal, meski pilihan pasien
akan manajemen ekspektatif harus dihargai. Induksi persalinan dengan
prostaglandin pervaginam berhubungan dengan peningkatan risiko
korioamnionitis dan infeksi neonatal bila dibandingkan dengan induksi oksitosin.
Sehingga, oksitosin lebih dipilih dibandingkan dengan prostaglandin pervaginam
untuk induksi persalinan pada kasus KPD (POGI, 2016).
Konseling pada pasien dengan usia gestasi 22-25 minggu menggunakan
Neonatal Research Extremely Preterm Birth Outcome Data. Jika
dipertimbangkan untuk induksi persalinan sebelum janin viable, tatalaksana
merujuk kepada Intermountain’s Pregnancy Termination Procedure (POGI,
2016).
Kortikosteroid antenatal dapat menurunkan risiko respiratory distress
syndrome, perdarahan intraventricular, dan enterokolitis nekrotikan, dan mungkin
dapat menurunkan kematian neonatus (POGI, 2016).
Tokolisis pada kejadian KPD preterm tidak direkomendasikan (POGI, 2016).
Tabel 2. Medikamentosa yang dapat digunakan pada KPD (POGI, 2016).
Dayal, S. dan Hong, P. L. (2021) Premature Rupture Of Membranes, StatPearls. Tersedia pada:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532888/ (Diakses: 23 Februari 2022).
POGI (2016) “Pedoman Nasional Pelayanan Nasional Ketuban Pecah Dini,” in. Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal.
Resnik, R. et al. (2019) Creasy and Resnik’s maternal-fetal medicine : principles and practice. 8
ed. Philadelphia: Elsevier. Tersedia pada: https://www.clinicalkey.com/#!/browse/book/3-
s2.0-C20160000049.
Wiknjosastro, H., Saifuddin, A. B. dan Rachimhadhi, T. (2000) Ilmu Bedah Kebidanan. 1 ed.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.