Anda di halaman 1dari 35

MASALAH SOSIAL DALAM CERPEN “KUDA SEMBRANI”

KARYA EKA MARYONO


(TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA)

Makalah

Oleh:
Tia Suci Maharani
NPM 1610631080212

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2021
MASALAH SOSIAL DALAM CERPEN “KUDA SEMBRANI” KARYA
EKA MARYONO
(TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA)
Oleh Tia Suci Maharani
NPM 1610631080212

Ringkasan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dan


masalah sosial dalam cerpen “Kuda Sembrani” karya Eka Maryono di surat kabar
Media Indonesia edisi tahun 2019. Objek penelitian ini adalah masalah sosial yang
terdapat di dalam cerpen tersebut. Metode penelitian ini menggunakan deskriptif
analisis yang digunakan untuk menemukan dan mendeskripsikan masalah sosial
dengan menggunakan teori sosiologi karya sastra sebagai pendekatannya. Sosiologi
karya sastra adalah kajian sosiologi yang mengkaji karya sastra dalam hubungannya
dengan masalah-masalah sosial pada masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa: (1) Plot pada a cerpen yang dianalisis merupakan plot lurus dan sorot balik.
Tokoh utama pada kelima cerpen ini adalah Kasmadi, Ragil, Lamtiur, Marni, dan
Is. Latar yang paling menonjol pada cerpen adalah pagi hari di Terminal Purbaya,
malam hari digubuk, pagi hari di Hutan Terlarang, pagi hari di rumah, dan malam
hari di pinggir sungai. Sudut pandang pada kelima cerpen tersebut adalah persona
pertama “aku” dan persona ketiga “dia”. Terdapat beberapa penggunaan majas dan
kiasan seperti “api” dan “amplop” pada variasi bahasa kelima cerpen tersebut. (2)
Masalah sosial yang dikritik dalam cerpen cerpen “Kuda Sembrani” karya Eka
Maryono di Media Indonesia edisi tahun 2019 ini terdiri dari: kemiskinan,
kejahatan, delikuensi anak-anak, disorganisasi keluarga, dan kepadatan penduduk.
Kata kunci: masalah sosial, sosiologi sastra, cerpen.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Karya sastra sebagai bentuk komunikasi antara penulis dengan pembaca memiliki
banyak pesan di dalamnya. Pesan tersebut dapat bertujuan mendidik, memberikan amanat,
memperkenalkan budaya, atau mengkritik sesuatu yang disampaikan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Adanya kritik dalam sastra bukan lagi hal yang tidak biasa. Di dalam
karya sastra terdapat kritik yang berupa pendapat, sindiran, atau penilaian yang disampaikan
melalui rangkaian bahasa dengan kenyataan sebagai cerminan dari karya sastra itu sendiri.
Kritik dalam sastra pada umumnya berupa pandangan subjektif pengarangnya berdasarkan
permasalahan yang ada di masyarakat.

Dalam menyampaikan kritik, berbagai jenis karya sastra dapat digunakan sebagai sarana
penyampaian. Beberapa di antaranya ada cerita pendek, novel, puisi, drama, dan sebagainya.
Misalnya pada cerpen, keterbatasan kata pada cerpen membuat isi cerpen lebih padat dan tajam,
sehingga kritik dapat lebih terfokus dan cenderung mudah disampaikan. Pembaca cerpen dapat
langsung mengetahui inti dari cerpen tersebut, hal ini mengingat cerpen dapat dituntaskan
dalam sekali baca. Maka dari itu, kritik yang disampaikan melalui cerpen pun lebih mudah
diidentifikasi dan diterima oleh pembaca. Masalah utama yang ada pada cerpen biasanya hanya
satu dan pada umumnya terinspirasi dari hal-hal yang terjadi di sekitar masyarakat. Masalah-
masalah tersebut kemudian dikembangkan oleh pengarang menjadi ide pokok atau gagasan
yang menarik untuk sebuah cerpen. Cerita yang mengisahkan mengenai hal-hal yang terjadi di
sekitar masyarakat memang memiliki daya tarik tersendiri, hal itu karena masalah yang
diangkat pada umumnya berasal dari masyarakat itu sendiri dan tidak jarang merupakan
masalah yang sedang terjadi sehingga pembaca akan merasa dekat dengan cerita tersebut.
Cerpen dapat dengan mudah ditemukan baik melalui media cetak berbentuk buku
maupun melalui media online, salah satunya adalah cerpen yang terdapat di media surat kabar
online. Sebagai salah satu media informasi untuk masyarakat, maka dapat dikatakan surat kabar
dekat dengan masyarakat. Media Indonesia adalah salah satu surat kabar yang telah terbit sejak
19 Januari 1970. Saat ini Media Indonesia telah tergabung dalam Media Group dan
membawahi stasiun televisi Metro TV. Hal ini membuktikan bahwa Media Indonesia telah
dipercaya masyarakat dan dikenal sebagai surat kabar nasional hingga saat ini. Keunggulan
Media Indonesia tersebut menjadi salah satu alasan mengapa cerpen pada surat kabar Media
Indonesia menarik untuk diteliti. Media Indonesia menerbitkan cerpen pada setiap akhir pekan,
sehingga terdapat 2-4 cerpen yang terbit setiap bulannya. Peneliti memilih cerpen yang terbit
pada Media Indonesia di tahun 2019, dikarenakan masalah pada cerpen yang terbit di tahun
2019 dianggap masih memiliki relevansi dengan situasi di dunia nyata saat ini. Media
Indonesia pada tahun 2019 menerbitkan 24 cerpen yang kemudian dipilih salah satu cerpen
untuk dianalisis, cerpen tersebut berjudul “Kuda Sembrani” karya Eka Maryono yang terbit
pada 17 November 2019.
Pemilihan cerpen tersebut didasarkan pada ada atau tidaknya masalah sosial yang
terkandung di dalamnya, serta anggapan bahwa masalah sosial dalam cerpen tersebut mampu
mewakili masalah-masalah sosial yang banyak atau sering terjadi di kehidupan nyata. Misalnya
masalah yang terdapat pada cerpen surat kabar Media Indonesia yang berjudul “Kuda
Sembrani”. Cerpen tersebut mengungkapkan masalah kemiskinan yang dialami oleh anak-anak
gelandangan, yaitu pada Ragil dan Ranu. Ragil dan Ranu harus hidup mengemis dan memulung
karena kemiskinan yang dideritanya. Hal ini juga terjadi di dunia nyata. Kemiskinan di
Indonesia saat ini meningkat cukup tinggi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentasi
penduduk miskin pada bulan Maret 2020 mencapai 9.78 persen atau sebesar 26,42 juta orang
(Liputan6, 15 Juli 2020). Berdasarkan pemaparan tersebut maka dapat diketahui bahwa
masalah sosial dalam cerpen “Kuda Sembrani” merupakan wujud dari kritik pada dunia nyata
yang juga mengalami permasalahan yang sama, yaitu mengenai kemiskinan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa cerpen-cerpen pada
Media Indonesia yang terbit tahun 2019 mengandung kritik sosial di dalamnya. Kritik sosial
yang ada dalam karya sastra pada umumnya hanya bersifat mengangkat masalah dan
memberikan jalan keluar secara subjektif. Masalah yang dibahas berkisar pada masalah politik,
masalah dalam rumah tangga, ekonomi, pendidikan, agama, perilaku moral masyarakat,
masalah pendidikan baik dalam sistemnya maupun pelaksaan, serta masalah agama. Masalah-
masalah itulah yang kemudian disebut sebagai masalah sosial. Soekanto (2015:311)
mengatakan masalah sosial menyangkut nilai-nilai sosial dan moral. Masalah tersebut
merupakan persoalan karena menyangkut tata kelakuan yang immoral, berlawanan dengan
hukum, dan bersifat merusak. Dari pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa apa yang
disebut masalah sosial adalah masalah mengenai nilai-nilai sosial dan moral yang terjadi di
masyarakat dan memiliki sifat merusak.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam cerpen tersebut
terdapat kritik mengenai masalah sosial yang juga berhubungan dengan kondisi sosial
masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengetahui kritik sosial yang terdapat dalam cerpen-cerpen
tersebut, digunakanlah teori sosiologi sastra. Sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap
sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan, mempunyai cangkupan yang
luas, beragam dan rumit, serta menyangkut tentang pengarang, karya dan pembacanya (Semi,
2013:54). Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah pendekatan
dalam penelitian sastra yang mana pertimbangan kajiannya berorientasi pada masyarakat.
Pendekatan sosiologi sastra ini dianggap tepat digunakan untuk menganalisis masalah sosial
yang terdapat dalam karya sastra. Hal ini dikarenakan penelitian ini bertujuan untuk
menemukan dan mendeskripsikan masalah sosial sebagai bentuk kritik yang terdapat dalam
karya sastra. Sehingga kemudian cerpen tersebut layak dianalisis dengan teori Sosiologi Sastra
untuk mengungkapkan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Berdasarkan apa
yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti memutuskan penelitian dengan judul “Masalah
Sosial dalam Cerpen “Kuda Sembrani” Karya Eka Maryono (Tinjauan Sosiologi Sastra)”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang penelitian di atas, maka masalah yang akan
dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada cerpen “Kuda Sembrani”
Karya Eka Maryono?
2. Bagaimana masalah sosial yang terkandung dalam cerpen “Kuda Sembrani”
Karya Eka Maryono?

1.3 Pengarang dan Karyanya


Eka Maryono lahir di Jakarta pada 2 Maret 1974. Pendidikan terakhir yang
ditempuhnya adalah jurusan Sastra Jepang di Universitas Nasional (1991-1997). Kini Eka aktif
di komunitas Studi Sastra Jakarta. “Kuda Sembrani” karya Eka Maryono terbit pada 17
November 2019 di Media Indonesia.
1.4 Tinjauan Pustaka
Cerita pendek masuk ke dalam salah satu kategori sastra fiksi. Pengertian sastra secara
umum merupakan ungkapan ekspresi berupa karya tulis maupun lisan berdasarkan pemikiran,
pendapat, pengalaman atau perasaan si pencipta karya yang dibuat baik dalam bentuk imajinatif
maupun sebagai cerminan kenyataan, di mana karya sastra menggunakan media bahasa yang
memiliki nilai estetik. Wiyatmi (2009:28) membagi sastra menjadi tiga jenis, yaitu puisi, drama
dan naratif. Sastra jenis naratif adalah sastra yang seluruh teksnya tidak bersifat dialog dan
isinya berupa deretan suatu perisitiwa atau sejarah. Roman, novel, novelet, prosa lirik, dan
cerita pendek (cerpen) adalah bagian dari sastra jenis naratif.
Menurut KBBI, cerpen adalah kisahan pendek kurang dari 10.000 kata yang memberikan
kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi di suatu
ketika. Allan Poe (Nurgiyantoro, 2015:12) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita
yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam—
suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan untuk sebuah novel. Pernyataan tersebut
sejalan dengan pendapat Stewart Beach (Tarigan, 1993:176) yang mengatakan bahwa
mengingat batas-batasnya, maka cerita pendek termasuk bentuk yang paling sederhana dari
fiksi. Tetapi berbeda dengan roman, cerita pendek kurang tempat untuk memecahkan suatu
keadaan yang ruwet.
Meski sama-sama merupakan bentuk fiksi naratif, cerpen memiliki perbedaan yang
paling jelas dari novel, perbedaan tersebut adalah panjang-pendeknya. Jumlah kata dalam
cerpen yang lebih sedikit dari novel merupakan ciri khas yang menjadikan cerpen memiliki
bentuk yang ‘padat’. Hal ini sejalan dengan pendapat Stanton (2012:76) yang mengungkapkan
bahwa cerita pendek haruslah berbentuk ‘padat’. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit
ketimbang jumlah kata dalam novel. Melalui pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa apa yang dimaksud dengan cerpen adalah sastra fiksi berjenis naratif yang memiliki
batasan-batasan berupa jumlah kata, sehingga cerpen memiliki cerita yang padat, yang dapat
diselesaikan dalam sekali baca. Ciri khas yang paling menonjol pada cerpen adalah jumlah kata
yang lebih sedikit dibanding novel, hal itu menjadikan cerpen terkenal dengan ciri yang singkat
dan padat.
Cerpen memiliki unsur-unsur yang membangun di mana keseluruhan unsur tersebut
saling berkaitan satu sama lain. Unsur-unsur tersebut adalah unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur cerpen yang ada dalam karya cerpen itu sendiri,
sehingga unsur intrinsik dapat ditemukan hanya dengan menganalisis teks. Sedangkan unsur
ekstrinsik merupakan unsur yang berasal dari luar teks cerpen, sehingga unsur ekstrinsik ini
tidak harus ada namun memiliki peran yang sangat penting di dalamnya. Hal ini sejalan dengan
pendapat Nurgiyantoro (2015:30) yang mengatakan bahwa unsur ekstrinsik sebagai unsur yang
mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak menjadi bagian di dalamnya.
Pendapat tersebut menjelaskan bahwa unsur ekstrinsik bukan tidak menjadi bagian dalam teks
cerita, namun memiliki peran penting terhadap totalitas cerita secara keseluruhan.
Nurgiyantoro (2015:113-467) membedakan unsur intrinsik menjadi tujuh, yaitu tema,
plot, tokoh, latar, sudut pandang, bahasa, dan moral.
1) Tema
Tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai
struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-
motif dan biasanya dilakukan secara implisit (Nurgiyantoro, 2015:115). Tema tidak dapat
langsung ditemukan dalam karya seperti tokoh karena tema harus dipahami dan ditafsirkan
melalui cerita dan data-data untuk menemukannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Stanton
(2012:42) yang mengemukakan bahwa cara paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya
adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Tema membuat
cerita lebih fokus dan mengerucut, maka tidak salah jika tema merupakan gagasan utama atau
maksud utama dari cerita. Pada umumnya tema menyoroti aspek-aspek kehidupan sehingga
nanti muncul nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Kedudukan antara tema dan moral
hampir sejajar, keduanya sama-sama merupakan makna dalam cerita. Perbedaannya, tema
adalah makna yang disimpulkan dari keseluruhan cerita. Sedangkan moral dapat ditemukan di
bagian-bagian cerita sehingga dalam satu cerita dapat memiliki lebih dari satu amanat. Tema
secara umum terbagi menjadi dua jenis, yaitu tema utama dan tema tambahan.
a) Tema Utama atau Tema Mayor
Tema utama atau disebut juga tema mayor merupakan makna pokok cerita yang menjadi
dasar atau gagasan dasar umum karya tersebut (Nurgiyantoro, 2015:133). Dengan kata lain,
seluruh peristiwa dan cerita pada akhirnya mengarah pada tema tersebut. Untuk memukan tema
utama, diperlukan adanya identifikasi, memilih, mempertimbangkan, dan menilai keseluruhan
makna-makna yang ditafsirkan dalam karya. Tema utama dapat mewakili keseluruhan makna
dalam sebuah cerita, berbeda dengan tema tambahan yang hanya terdapat dalam beberapa
bagian cerita.
b) Tema Tambahan atau Tema Minor
Telah disebutkan sebelumnya bahwa tema tambahan atau tema minor hanya terdapat
dalam beberapa cerita. Maka dapat dikatakan tema tambahan juga merupakan tema sampingan,
di mana tema tersebut terdapat di dalamnya namun tidak sebagai tujuan utama. Hal ini sejalan
dengan pendapat Nurgiyantoro (2015:133) yang mengungkapkan bahwa makna-makna pokok
cerita yang tersirat dalam sebagian besar dapat diiddentifikasikan sebagai makna bagian atau
makna tambahan. Artinya, tema minor merupakan makna yang ada dalam beberapa bagian
tertentu.
2) Plot
Plot atau yang juga dikenal sebagai alur merupakan rangkaian-rangkaian peristiwa dalam
cerita (Stanton, 2012: 26). Alur pada prosa umumnya memiliki satu peristiwa kausal atau alur
inti yang nantinya didukung oleh peristiwa-peristiwa lain dalam cerita. Dalam hal ini, cerpen
pada umumnya hanya memiliki alur utama karena keterbatasan jumlah kata. Sebagai tulang
punggung cerita, alur dapat membuktikan dirinya sendiri dengan mengaitkan peristiwa-
peristiwa yang ada.
Tiga unsur mendasar pada plot adalah peristiwa, konflik, dan klimaks. Peristiwa adalah
peralihan dari kejadian satu ke kejadian lainnya. Misalnya peristiwa bencana alam
mengalihkan keadaan damai ke keadaan duka dan sedih akibat banyaknya kerugian yang
diterima. Dalam satu cerita setidaknya terdapat satu konflik yang paling menonjol yang
kemudian disebut konflik utama. Meskipun cerita tidak hanya memiliki satu konflik, akan
tetapi konflik-konflik internal tersebut yang kemudian akan mendukung konflik utama yang
akan merangkum keseluruhan cerita. Setelah konflik muncul dengan intens kemudian timbulah
klimaks yang akan mengakhiri konflik. Klimaks tidak selalu spektakuler karena terkadang
setiap konflik memiliki klimaksnya sendiri, akan tetapi klimaks utama akan ada untuk
merangkum dan menyelesaikan konflik.
1. Jenis-Jenis Plot
Pembeda plot yang paling umum adalah klasifikasi berdasarkan urutan waktu. Jenis-jenis
plot tersebut antara lain:
a. Plot Lurus/Progresif
Plot dikatakan progresif apabila peristiwa-peristiwa yang terjadi berjalan sesuai
urutannya atau sesuai kronologis (Nurgiyantoro, 2015:213). Plot akan berjalan berurutan, yaitu
dimulai dari tahap awal (pengenalan/penyituasian), tahap tengah (konflik, klimaks), tahap
akhir (penyelesaian). Cerita dengan plot ini secara garis besar akan berwujud sebagai berikut:
A — B — C — D — E. Simbol A melambangkan tahap awal cerita, kemudian peristiwa
selanjutnya yaitu B dan C, kemudian D yang melambangkan konflik, dan E merupakan tahap
penyelesaian Pada plot progresif cerita harus sesuai berurutan, misalnya dimulai dari
perkenalan tokoh dan menceritakan kesehariannya, kemudian mulai terjadi peristiwa-peristiwa
yang akan membawa si tokoh ke masalah utama, hingga terjadilah klimaks dan penyelesaian.
b. Plot Sorot Balik/Flash Back.
Berbeda dengan plot lurus, cerita dengan plot sorot balik tidak bersifat kronologis
(Nurgiyantoro, 2015:214). Cerita dengan plot ini mungkin akan dimulai langsung pada konflik,
atau mungkin dimulai dari klimaks kemudian akan diceritakan sorot balik awal dari cerita.
Cerita dengan plot ini akan langsung membawa pembaca menuju ketegangan konflik, pembaca
mungkin akan bertanya-tanya karena belum mengetahui apa-apa. Pengarang dapat melakukan
beberapa teknik untuk membuat plot sorot balik, misalnya dengan menyuruh tokoh merenung
akan peristiwa-peristiwa sebelumnya, atau dengan diceritakan langsung oleh tokoh mengenai
peristiwa yang telah lalu tersebut. Salah satu cerita dengan plot sorot balik akan memiliki
bentuk sebagai berikut: D1—A — B — C — D2 — E. Bagian D1 adalah konflik di mana cerita
dimulai, kemudian terjadi flash back atau sorot balik yang menceritakan awal dari runtutan
peristiwa yang terjadi, hingga kembali ke pada masa dimana tokoh bercerita. Kemudian cerita
pun berjalan sesuai kronologi waktu hingga ke tahap penyelesaian.
c. Plot Campuran.
Pada cerita yang panjang seperti novel, tidak jarang ketika pengarang mengunakan
flashback yang kemudian cerita akan dilanjutkan kembali sebagaimana jalannya. Khususnya
pada novel yang memiliki bagian-bagian cerita sehingga besar kemungkinan cerita
menceritakan lebih dari satu tokoh. Pada plot campuran, cerita mungkin akan berjalan secara
kronologis namun di tengah cerita tiba-tiba tokoh melakukan sorot balik baik sekecil apapun
bentuknya. Misalnya pada salah satu bentuk plot campuran berikut: E—D1—A — B — C —
D2. Cerita dimulai dari E atau di tahap penyelesaian kemudian berlanjut ke D1 yang merupakan
konflik. Sejauh ini plot menandakan sorot balik, kemudian setelah itu cerita berjalan
sebagaimana mesinya dari A, B, C, hingga kembali ke D2 yang merupakan ciri plot progresif.
2. Tahapan-Tahapan Plot
Pada sebuah cerita, khususnya cerita pendek, seringkali cerita tidak di awali sesuai
dengan kronologi, melainkan langsung pada awal konflik atau bahkan diawali dengan konflik.
Hal itu seringkali membuat pembaca bertanya-tanya mengenai apa yang sebelumnya terjadi
atau bagaimana hal itu dapat terjadi. Oleh karena itu, adanya tahapan-tahapan alur untuk
mengetahui keseluruhan alur cerita sebagaimana 5 tahapan alur yang dikemukakan oleh Tasrif
(Nurgiyantoro, 2015:209).
a. Tahap situation
Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita di mana berupa pemberian informasi awal
yang berfungsi untuk melandasi cerita yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya. Tahap
situasi pada umumnya berupa berisi pelukisan latar serta pengenalan situasi latar dan tokoh-
tokoh cerita.

b. Tahap generating circumtances


Pada tahap ini, masalah-masalah dan peristiwa yang memicu munculnya konflik mulai
muncul. Konflik-konflik itu yang kemudian akan berkembang hingga ke tahap berikutnya.
c. Tahap rising action
Tahap ini disebut juga tahap peningkatan konflik. Pada tahap ini, konflik yang telah
dimunculkan di tahap sebelumnya semakin berkembang dan intens. Cerita akan semakin
menegangkan hingga kemudian klimaks tak lagi dapat dihindari.
d. Tahap climax
Pada tahap klimask, konflik yang dialami oleh para tokoh akan mencapai titik puncak.
Klimaks sebuah cerita pada umunya akan dialami oleh tokoh utama mengingat merekalah yang
mengalami masalah utama tersebut. Dalam cerpen, biasanya klimaks hanya terjadi satu kali.
Namun pada cerita panjang seperti novel, klimaks dapat terjadi lebih dari dua kali.
e. Tahap denouement
Tahap ini merupakan tahap penyelesaian di mana konflik yang telah mencapai klimaks
diberikan jalan keluar dan cerita kemudian di akhiri. Di tahap ini dapat berupa epilog cerita
mengenai bagaimana tokoh-tokoh usai konflik selesai.
3) Tokoh
Istilah ‘tokoh’ merujuk pada orangnya, pelaku cerita. Sedangkan watak, perwatakan, dan
karakter, merujuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan pembaca
(Nurgiyantoro, 2015:247). Berdasarkan pendapat tersebut maka tokoh dan perwatakan
merupakan satu padu dalam unsur cerpen ‘Tokoh’. Stanton (2012:33) berpendapat bahwa
karakter merujuk pada pencampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip
moral dari individu-individu tersebut. Tokoh secara umum terbagi menjadi dua, yaitu tokoh
utama dan tokoh tambahan.
a) Tokoh utama
Tokoh utama adalah karakter yang menjadi pusat cerita, misalnya jika cerita tersebut
menceritakan tentang kehidupan sang tokoh. Tokoh utama akan menjadi kunci dari setiap
peristiwa penting yang terjadi, ia akan selalu hadir di setiap peristiwa penting yang nantinya
akan membangun konflik hingga ke tahap klimaks. Tokoh utama pula yang akan mengalami
perkembangan lebih banyak selama cerita, dan mengalami banyak kejadian yang akan
menuntunnya menuju akhir cerita. Tokoh utama biasanya selalu berada di pihak pembaca,
sehingga pembaca akan selalu mendukung tokoh utama dan mengharapkan perkembangan
terjadi pada tokoh utama.
b) Tokoh tambahan
Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya muncul beberapa kali dalam cerita. Tokoh ini
menjadi pendukung bagi tokoh utama untuk menonjol. Keberadaannya tidak terlalu
mempengaruhi jalan cerita, namun kalaupun terdapat tokoh tambahan yang memiliki peran
penting dan sering muncul dalam adegan, intensitas kemunculannya tidak lebih banyak
dibanding tokoh utama.
4) Latar
Abrams (Nurgiyantoro, 2015:302) mengungkapkan bahwa latar atau setting menunjuk
pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2015:303)
yang mengatakan bahwa latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Artinya,
latar memiliki peran penting untuk memberikan kesan nyata kepada pembaca, seolah suasana
dan peristiwa itu benar-benar terjadi. Adanya latar akan membuat pembaca lebih mudah dalam
menggunakan imajinasinya ketika membaca. Unsur latar dibedakan menjadi tiga, yaitu latar
tempat, waktu, dan sosial-budaya.
a) Latar Tempat
Latar tempat merupakan latar yang merujuk pada lokasi terjadinya suatu peristiwa dalam
cerita fiksi (Nurgiyantoro, 2015:314). Tempat yang dirujuk dapat berupa lokasi-lokasi tertentu,
atau bahkan lokasi tanpa nama. Tempat dengan nama tertentu pada umumnya merujuk pada
lokasi di dunia nyata, penggambaran tempatnya pun tidak boleh terlalu menyimpang dari sifat
tempat tersebut. Apabila penggambaran tempat dengan nama terlalu menyimpang dari dunia
nyata, maka dikhawatirkan akan mengurangi keyakinan dan kesan pembaca. Namun tidak
semua karya fiksi menggunakan latar tempat yang fungsional. Ada juga yang menggunakan
latar tempat hanya sebagai tempat terjadinya peristiwa-peristiwa, sehingga tidak begitu
mempengaruhi perkembangan cerita.
b) Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam cerita fiksi (Nurgiyantoro, 2015:318). “Kapan” itu dapat berupa periode
sejarah, suasana latar seperti “di siang hari” atau “di malam hari”, atau berupa tanggal seperti
“bulan desember” dan secara detail seperti “30 Maret 2019”. Pembaca yang memiliki
pengetahun mengenai waktu periodesasi akan mencoba masuk ke dalam suasana cerita. Ada
tidaknya persamaan waktu di dunia nyata dengan fiksi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kesan pembaca seolah kejadian itu benar-benar terjadi. Pengangkatan periodesasi sejarah
dalam fiksi juga akan mempengaruhi fungsionalitas cerita sehingga cerita menjadi lebih khas
dan tipikal. Namun dalam sejumlah karya fiksi lain, latar waktu ditampilkan secara samar. Hal
itu dikarenakan latar waktu itu sendiri tidak begitu mempengaruhi jalan cerita, sehingga tidak
ditampilkan secara jelas.
c) Latar Sosial Budaya
Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi (Nurgiyantoro,
2015:322). Ketika pengarang menggunakan latar tempat tertentu dalam cerita, maka harus
memperhatikan latar sosial budaya setempat. Latar sosial budaya dapat berupa tata cara,
kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, dan cara berpikir dan
bersikap. Latar sosial budaya juga dapat berupa status sosial tokoh yang bersangkutan. Ketika
pengarang mengangkat suatu tempat tertentu dalam ceritanya, maka ia harus menguasai medan.
Latar sosial budaya yang menonjol akan ditunjukkan dari seberapa pahamnya pengarang dalam
menguasai medan tempat yang diangkat. Dimulai dari bahasa daerah, penamaan, status sosial,
juga hal-hal lainnya yang dapat menjadikan ciri khas dari tempat tersebut.
5) Sudut pandang
Nurgiyantoro (2015:338) mengungkapkan bahwa sudut pandang menunjuk pada cara
sebuah cerita dikisahkan. Dengan kata lain, sudut pandang merupakan cara pengarang dalam
bercerita atau dari sisi mana pengarang membawakan ceritanya. Penggunaan sudut pandang
tertentu akan memberikan efek tersendiri bagi pembaca. Nurgiyantoro (2015:347)
membedakan sudut pandang menjadi empat kategori, yaitu:
a) Sudut pandang persona ketiga: “Dia”
Pada sudut pandang ini, narator adalah seseorang yang berada diluar cerita dan
menampilkan tokoh-tokoh dengan menyebut nama atau menggunakan kata ganti. Sudut
pandang ini kembali terbagi menjadi dua, yaitu “Dia” mahatahu dan “Dia” terbatas atau “Dia”
sebagai pengamat. Dalam sudut pandang “Dia” mahatahu, narator dapat menceritakan apa saja
hal-hal yang menyangkut tentang tokoh “dia” tersebut dan bersifat tahu segalanya. Sedangkan
pada sudut pandang “dia” terbatas, pengarang menceritakan apa yang dilihat, didengar dan
dirasakan oleh tokoh cerita namun terbatas hanya pada satu tokoh saja.
b) Sudut pandang persona pertama: “Aku”
Pada sudut pandang ini, narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia
adalah “aku” atau si tokoh yang menceritakan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Peran
si “aku” kemudian dibedakan menjadi dua kategori, pertama “aku” sebagai tokoh utama dan
“aku” sebagai tokoh tambahan. Pada “aku” sebagai tokoh utama, si “aku” menceritakan
berbagai peristiwa dan keadaan yang dialami dirinya sendiri. Secara otomatis, si “aku” juga
merupakan tokoh protagonis dalam cerita. Sedangkan pada sudut pandang “aku” sebagai tokoh
sampingan, si “aku” hadir untuk membawakan cerita si tokoh utama, dengan begitu si “aku”
juga dapat disebut sebagai saksi terhadap berlangsungnya cerita.
c) Sudut pandang persona kedua: “Kau”
Pemakaian sudut pandang ini sulit ditemui karena tidak lazim digunakan. Penggunaan
sudut pandang “kau” biasanya digunakan untuk “mengoranglainkan” diri sendiri atau melihat
diri sendiri sebagai orang lain. Namun sulit untuk menggunakan sudut pandang ini selama
keseluruhan cerita, biasanya pengarang hanya menggunakan sudut pandang ini di satu kejadian
atau beberapa kejadian saja. Penggunaan sudut pandang ini tentunya akan menimbulkan efek
baru yang tidak membosankan bagi pembaca.
d) Sudut pandang campuran
Dalam novel pengarang mungkin saja untuk menggunakan berbagai sudut pandang
dalam ceritanya. Pergantian sudut pandang biasanya disesuaikan dengan peristiwa yang terjadi
sehingga memberikan efek yang baru dan membuat pembaca tidak bosan. Atau pengarang juga
dapat menggunakan teknik ini untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya untuk mengenalkan
karakter dalam cerita dari sudut pandang “dia” dan melalui sudut pandang “aku”.
6) Bahasa
Bahasa yang dimaksud dalam sastra yaitu penggunaan bahasa oleh pengarang dalam
menampilkan cerita. Meskipun sebuah cerita memiliki alur dan tema yang sama dengan cerita
lainnya, namun karena berasal dari pengarang yang berbeda maka hasil tulisannya pun berbeda.
Setiap pengarang memiliki gayanya sendiri dalam menulis. Kajian stile sebuah teks fiksi
biasanya dilakukan dengan menganalisis unsur-unsurnya, khususnya untuk mengetahui
kontribusi masing-masing unsur untuk mencapai efek estetis dan unsur apa saja yang dominan
(Nurgiyantoro, 2015:389). Artinya dapat dikatakan stile merupakan kajian terhadap
penggunaan bahasa yang digunakan pengarang pada teks fiksinya. Nurgiyantoro (2015:370)
mengungkapkan bahwa stile pada hakikatnya merupakan teknik, yaitu teknik pemilihan
ungkapan kebahasaan yang dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan sekaligus untuk
mencapai efek keindahan. Artinya, setiap prosa yang dihasilkan pengarang mengandung teknik
dalam pemilihan bahasa.
a) Unsur Leksikal
Unsur leksikal yang dimaksud dalam hal ini memiliki arti yang sama dengan diksi, yaitu
mengacu pada penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih pengarang. Komunikasi
dalam dunia fiksi dilakukan dan ditafsirkan melalui kata-kata, oleh karena itu pemilihan kata-
kata tersebut harus dipilih untuk memberikan efek tertentu dan ketepatan dalam
penggunaannya. Nurgiyantoro (2015:390) mengungkapkan masalah ketepatan itu sendiri
secara sederhana dapat dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna. Artinya, apakah
pemilihan diksi yang digunakan pengarang dapat mengungkapkan makna dan maksud
gagasannya.
b) Unsur Retorika
Menurut Nurgiyantoro (2015:396) retorika merupakan salah satu cara penggunaan
bahasa untuk memperoleh efek estetis. Retorika dapat diperoleh melalui seberapa kreatif
pengarang dalam pengungkapan bahasa dalam teks fiksi. Oleh karena itu, pengungkapan
bahasa haruslah efektif sehingga dapat mendukung gagasan secara tepat dan mengandung nilai
estetis. Retorika meliputi bentuk-bentuk yang berupa: (Nurgiyantoro, 2015:397-
(1) Pemajasan, merupakan teknik pengungkapan bahasa atau penggayabahasaan,
yang maknanya tidak menunjuk pada makna secara umum melainkan memiliki makna
tambahan atau makna yang tersirat.
(2) Penyiasatan struktur, merupakan keefektifan bangun struktur secara
keseluruhan. Ada kalanya bangun struktur kalimat dalam teks fiksi sangat menonjol sehingga
menimbulkan kesan tertentu.
(3) Citraan, menunjuk pada adanya reproduksi mental. Dalam hal ini pengarang
menggambarkan kelima jenis indra manusia ke dalam kata-kata, sehingga mampu
membangkitkan tanggapan imajinasi pembacanya.
7) Moral
Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembacanya
(Nurgiyantoro, 2015: 429). Dalam hal ini, moral merujuk pada ajaran mengenai baik buruk
yang diakibatkan mengenai perbuatan, sikap dan sebagainya. Pesan moral dalam karya sastra
biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang
nilai-nilai kebenaran dan hal itulah yang ingin disampaikannya pada pembaca (Nurgiyantoro,
2015:430). Cerita fiksi disampaikan oleh pengarang untuk menyampaikan kehidupan idealnya,
maka penerapan moral sikap dan tingkah laku para tokoh pun sesuai dengan pandangan
pengarang. Pesan itu disampaikan melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh yang memiliki
pandangan seperti yang diidealkan pengarang.
Nurgiyantoro (2015:432) mengungkapkan moral dalam karya sastra atau hikmah yang
diperoleh pembaca lewat sastra, selalu dalam pengertian baik. Artinya, pesan moral dalam fiksi
dimaksudkan untuk kebaikan pengarang menyampaikan pesannya. Apabila ditemukan tokoh
dengan sifat jahat, maka bukan berarti pengarang ingin menyampaikan pesan jahat pada
pembacanya. Melainkan dengan menampilkan kejahatan, apa yang sebenarnya baik justru
semakin terlihat. Misalnya apabila tokoh utama dalam suatu cerita merupakan seorang pencuri,
maka pesan yang disampaikan pengarang bukanlah cara menjadi pencuri ataupun perbuatan
mencuri, melainkan apa yang menjadi alasan ia mencuri, apa yang menjadi penyebab ia
memilih untuk menjadi pencuri, dan karma buruk apa yang ia temui ketika ia menjadi pencuri.
Terdapat banyak cara pengarang untuk menyampaikan pesan moral. Untuk dapat
menemukannya haruslah dengan meresapi dan membaca cerita lebih serius.
Adanya unsur moral dalam karya sastra sering dikaitkan dengan fungsi sastra dalam
pembentukan karakter pembaca, terutama dalam konteks pembaca sastra (Nurgiyantoro,
2015:432). Sehingga pada karakter dalam fiksi tersebut juga terdapat hikmah yang dapat
dipelajari dan diambil. Moral juga dapat ditemukan melalui tindakan budaya, budaya dalam
hal ini adalah bagaimana tokoh-tokoh mencerminkan ideologi, idealisme, dan pandangan hidup
yang disampaikan pengarang. Bentuk pesan moral dapat berupa pesan religius dan kritik sosial.
Pesan religius merupakan pesan keagamaan yang merujuk pada kebaktian pada Tuhan dan
hukum-hukum yang resmi, sedangkan pesan krtitik sosial yaitu mengenai kehidupan sosial
yang cangkup lingkungannya luas. Hampir setiap karya sastra memiliki kritik sosial di
dalamnya, meski intensitas di dalamnya berbeda-beda. Dalam hal ini, pesan kritik sastra
merupakan fokus dalam penelitian.
1.4.1 Sosiologi Sastra
Pitirim Sorokin (Soekanto, 2015:17) mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari; (1) hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial,
(2) hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala nonsosial, dan (3)
ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial. Berdasarkan penyataan tersebut, dapat ditarik
kesimpulan penelitian sosiologi menelaah hubungan manusia dan pengaruh timbal balik
dengan gejala masyarakat. Sosiologi dapat meneliti skala masyarakat kecil seperti pengaruh
timbal balik gejala masyarakat kejahatan yang terjadi di sekitar terminal, atau dapat meneliti
skala besar seperti faktor penyebab terjadinya kemiskinan dalam suatu daerah.
Kemudian sastra dalam Bahasa Inggris dinamakan literature, dalam bahasa Jerman
dinamakan literatur, dan dalam bahasa Prancis adalah literature. Pengertian sastra sebagai
tulisan berlaku dalam lingkungan masyarakat Eropa sebelum abad ke XVIII atau di Indonesia
pada awal abad ke XX (Faruk, 2015: 40). Sastra dipahami sebagai bahasa tertentu yang khusus,
yang berbeda dari bahasa pada umumnya. Apa yang disebut susatra seringkali diartikan sebagai
bahasa yang indah, berirama, yang memiliki pola-pola bunyi tertentu seperti persajakan, ritme,
asonansi dan aliterasi, dan sebagainya (Faruk. 2015:41). Selain sebagai ekspresi jiwa, sastra
juga erat kaitannya dengan dunia sosial. Sebagai tulisan karya sastra menjadi sesuatu yang
mengambang bebas, yang dapat tertuju pada siapapun, termasuk pada masyarakat. Karya sastra
dapat dihasilkan sebagai cerminan atas fenomena yang terjadi di masyarakat, bahkan mampu
melampaui situasi dan kondisi yang hidup dalam ruang dan waktu berbeda dari situasi asal
karya sastra tersebut. Ricoeur mengatakan bahwa karya sastra tidak mempunyai acuan ke
dalam kenyataan (Faruk. 2015:48).

Maka dapat ditarik secara garis besar bahwa sosiologi sastra adalah suatu pendekatan
dalam sastra yang menelaah nilai-nilai kemasyarakatan dalam suatu karya sastra. Hal ini
sejalan dengan pendapat Damono mengenai sosiologi sastra dalam studi sastra (1979:1), beliau
berpendapat bahwa sosiologi sastra seringkali didefinisikan sebagai salah satu pendekatan
dalam kajian sastra yang memahami dan menilai karya sastra dengan mempertimbangkan segi-
segi kemasyarakatan (sosial).
Sastra diketahui memiliki kaitan erat dengan masyarakat. Hal ini didukung oleh pendapat
Wiyatmi (2013:9) yang mengungkapkan bahwa dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra
tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang otonom. Keberadaan karya sastra dengan demikian
selalu harus dipahami dalam hubungannya dengan segi-segi kemasyarakatan. Karya sastra
ditulis oleh pengarang yang merupakan anggota masyarakat, sehingga dengan sendirinya di
dalam sastra telah terkandung masalah-masalah kemasyarakatan karena karya sastra hidup
dalam masyarakat dan menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi di masyarakat. Menurut
Wellek dan Warren (Semi, 1989:53) mengklasifikasi sosiologi sastra menjadi tiga tipe, yaitu:
a. Sosiologi pengarang,
Wiyatmi (2013:29) mengungkapkan kajian sosiologi pengarang memfokuskan perhatian
pada pengarang sebagai pencipta karya sastra. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah
mengenai latar belakang pengarang seperti profesi pengarang, latar belakang sosial, ideologi,
dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Kajian ini memperhatikan
bagaimana campur tangan pengarang dalam penciptaan karya sastra, bagaimana realitas yang
dibawa oleh pengarang dalam karyanya. Meskipun realitas yang dibawa oleh pengarang
seringkali bukan merupakan realitas apa adanya, melainkan realitas yang diidealkan
pengarang.
b. Sosiologi karya sastra
Sosiologi karya sastra adalah kajian sosiologi yang mengkaji karya sastra dalam
hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang ada dalam masyarakat (Wiyatmi, 2013:45)
Kajian ini berdasarkan pada karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau
apa yang tersirat dalam karya sastra serta tujuannya. Pemahaman ini berawal dari teori mimesis
Plato yang menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan. Sosiologi karya sastra
beranggapan bahwa sastra dapat merekam ciri-ciri zamannya sehingga sastra menjadi gudang
adat istiadat dan buku sumber sejarah.
1) Wilayah kajian sosiologi karya sastra
Dalam hubungan antara karya sastra dengan kenyataan, Teew (Wiyatmi, 2013:47)
menjelaskan bahwa karya sastra lahir dari peneladanan terhadap kenyataan, tetapi sekaligus
juga model kenyataan. Bukan hanya sastra yang meniru kenyataan, tetapi seringkali juga terjadi
sebuah norma keindahan yang diakui masyarakat yang kemudian dipakai sebagai tolak ukur
untuk kenyataan. Hal ini memili arti bahwa antara karya sastra dan masyarakat sosial memiliki
timbal balik yang sama. Karya sastra dipengaruhi oleh kenyataan yang membuatnya disebut
sebagai tiruan dari kenyataan, begitupula dengan masyarakat sosial tertentu yang mengakui
sebuah norma keindahan dalam karya sastra yang kemudian digunakan sebagai tolak ukur
untuk kenyataan.
Junus (Wiyatmi, 2013:47) melihat karya sastra sebagai dokumen sosial budaya yang
ditandai beberapa hal. Pertama, isi cerita dalam karya diambil terlepas dari hubungannya
dengan unsur lain dan langsung dihubungkan dengan suatu unsur sosiobudaya. Hal ini
dikarenakan karya hanya memindahkan unsur sosiobudaya yang ada ke dalamnya. Kedua,
pendekatan ini dapat mengambil citra tentang sesuatu. Misalnya citra mengenai perempuan
dalam suatu karya sastra yang dilihat dalam perspektif perkembangan. Ketiga, pendekatan ini
dapat mengambil motif atau tema yang terdapat dalam karya sastra dalam hubungannya dengan
kenyataan di luar karya sastra.
c. Sosiologi pembaca
Kajian ini mengenai bagaimana dampak sosial karya sastra terhadap pembaca, apakah
pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat. Hal yang dikaji adalah permasalahan
pembaca dan dampak sosial karya sastra terhadapnya, juga mengkaji sejauh mana nilai sastra
yang berkaitan dengan nilai sosial. Dalam menerapkan kajian ini wilayah kajiannya perlu
dibatasi, misalnya apakah membatasi pada suatu komunitas baca tertentu terhadap suatu karya
atau bagaimana tanggapan suatu karya mengenai karya tertentu.
1.4.2 Masalah Sosial dalam Karya Sastra
Masalah sosial merupakan suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau
masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial (Soekanto, 2015:321). Masalah
sosial berbeda dengan masalah-masalah lainnya. Hal ini diperjelas oleh pendapat Soekanto
yang mengatakan bahwa masalah sosial berbeda dengan problema-problema lainnya dalam
masyarakat karena masalah sosial berhubungan erat dengan nilai-nilai sosial dan lembaga-
lembaga kemasyarakatan (2015:309). Artinya, masalah sosial mengkaji penyimpangan nilai-
nilai sosial yang ada dalam suatu masyarakat atau pada lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Masalah sosial merupakan hasil dari berkembangnya masyarakat, perubahan itu mungkin akan
membawa banyak keuntungan dan manfaat bagi masyarakat namun dapat juga menimbulkan
masalah yang diakibatkan oleh perubahan itu sendiri. Perubahan tersebut mungkin terjadi
terlalu cepat sehingga menimbulkan guncangan-guncangan bagi masyarakat, sehingga dalam
waktu dekat masyarakat harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang begitu cepat.
Dalam keadaan normal, hubungan unsur-unsur masyarakat berjalan secara harmonis
terintegrasi. Unsur-unsur masyarakat tersebut terdiri dari moral, politik, pendidikan, agama,
kebiasaan, rumah tangga, dan ekonomi (Soekanto, 2015:312). Apabila antara unsur-unsur
tersebut terjadi bentrokan, maka hubungan-hubungan sosial akan terganggu sehingga mungkin
terjadi kegoyahan dalam kehidupan kelompok. Soekanto (2015:314-315) kemudian
mengklasifikasikan sumber-sumber masalah sosial, yaitu:

1) Faktor ekonomi.
Faktor ekonomi dianggap sebagai faktor terbesar terjadinya masalah sosial. Dalam hal ini,
masalah sosial disebabkan oleh ketidakstabilan atau bahkan tidak tercapainya kebutuhan
ekonomi. Misalnya pendapatan individu yang mengacu kesenjangan sosial, atau
ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya hingga dapat mendorong
munculnya masalah sosial. Faktor ekonomi meliputi kemiskinan, pengangguran, pertumbuhan
angka penduduk, dan sebagainya.
2) Faktor biologis
Faktor biologis merupakan faktor yang disebabkan oleh situasi lingkungan yang tidak stabil
sehingga menimbulkan situasi biologis yang merugikan masyarakat. Faktor biologis dapat
terjadi dalam jangka waktu yang panjang, contohnya persoalan seperti penyakit menular, atau
disebabkan karena perbuatan manusia itu sendiri seperti kurangnya bermacam fasilitas
kesehatan sehingga masalah ini tidak memiliki ujung penyelesaian dan/atau meluas. Bencana
alam juga merupakan salah satu dari faktor biologis, kerusakan yang diakibatkan oleh bencana
alam menjadi masalah sosial karena kerusakan dan ketidaknyamanan tersebut yang memiliki
pengaruh akan berbagai aspek seperti kekurangan makanan dan obat-obatan, uang, bahkan
pakaian. Bencana alam juga menyebabkan penderitaan dalam jangka panjang, misalnya
peristiwa pasca bencana di mana para korban harus kehilangan harta benda serta tempat
tinggalnya. Selain itu masih banyak lagi faktor biologis yang menjadi penyebab timbulnya
masalah sosial.
3) Faktor psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berhubungan masalah perilaku atau sikap
seseorang. Dalam hal ini, masalah psikologis yang dimiliki seseorang membuat terjadinya
keresahan di masyarakat. Misalnya kelainan jiwa atau angka bunuh diri akan menjadi masalah
sosial karena membuat resah masyarakat sekitar. Selain itu, pola pikir penduduk yang
mempengaruhi tatanan kehidupan sosial juga menjadi faktor timbulnya masalah sosial.
Misalnya jika terdapat pemahaman aliran sesat atau gerakan separatis yang mengundang
keresahan dan ketidaknyamanan dalam lingkungan masyarakat.
4) Faktor kebudayaan
Faktor kebudayaan adalah faktor yang dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat. Di mana
ketidaksesuaian pelaksanaan nilai, norma, dan kepentingan sosial menjadi masalahnya.
Adanya perbedaan mendalam antara nilai atau unsur dalam masyarakat dengan realita yang
ada juga akan menimbulkan masalah sosial. Contoh masalah sosial dari faktor kebudayaan
adalah pernikahan dini, perceraian, diskriminasi, bahkan konflik antar suku. Dalam hal ini,
pernikahan dini dan perceraian akan menjadi masalah sosial apabila masyarakat menganggap
hal tersebut merupakan sesuatu yang biasa terjadi sehingga tidak hanya terjadi beberapa kali.
Jika hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan dalam masyarakat, maka masyarakat tersebut akan
tidak menyadari masalah-masalah yang dapat timbul atau yang disebabkan oleh kebiasaan
tersebut.
1.5 Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian adalah orang atau benda yang menjadi sumber data, dapat berupa
orang, tempat, atau benda yang di amati selama penelitian. Adapun subjek penelitian dalam
penelitian ini adalah cerpen surat kabar Media Indonesia yang terbit pada tahun 2019. Cerpen
tersebut ialah:
1. “Kuda Sembrani” karya Eka Maryono
Cerpen Kuda Sembrani karya Eka Maryono ini terbit di Media Indonesia pada 17
November 2019. Cerpen ini mengisahkan tentang dua kakak-beradik yang bekerja sebagai
pemulung dan pengemis. Ragil dan Ranu merupakan adik kakak yatim piatu yang dirawat Mak
Onah. Suatu malam, Mak Onah menceritakan kisah Kuda Sembrani. Ragil dan Ranu sangat
menyukai kisah Kuda Sembrani itu. Sejak saat itu keduanya selalu mencari kuda sembrani
kapanpun mereka bisa. Suatu hari Ranu sedang sakit, ia pulang wajah Ranu pucat dan panas
tinggi. Ragil tak putus asa untuk mencari Kuda Sembrani demi kesembuhan Ranu. Saat sampai
di gubuk, seperti biasa Ragil berniat untuk tidur disamping Ranu. Tapi malam itu Ranu sudah
terbujur kaku ketika Ragil hendak membetulkan posisi handuknya. Ragil menyesal, seharusnya
dia bisa menemani Ranu setiap malam dibanding mencari Kuda Sembrani yang tak pernah
datang menolongnya.
Setelah mengetahui subjek penelitian berupa cerpen surat kabar Media Indonesia yang
terbit pada tahun 2019, kemudian objek pada penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
unsur-unsur intrinsik dalam cerpen dan menganalisis masalah sosial yang terdapat dalam
cerpen “Kuda Sembrani” karya Eka Maryono.
BAB 2
ANALISIS UNSUR-UNSUR INTRINSIK CERPEN “KUDA SEMBRANI” KARYA
EKA MARYONO

2.1 Analisis Unsur-Unsur Intrinsik


Subjek dalam penelitian “Kuda Sembrani” karya Eka Maryono adalah cerpen Media
Indonesia yang terbit pada tahun 2019.
2.1.1 Sinopsis Cerpen “Kuda Sembrani” karya Eka Maryono
Eka Maryono lahir di Jakarta pada 2 Maret 1974. Pendidikan terakhir yang
ditempuhnya adalah jurusan Sastra Jepang di Universitas Nasional (1991-1997). Kini Eka aktif
di komunitas Studi Sastra Jakarta. Kuda Sembrani karya Eka Maryono terbit pada 17
November 2019 di Media Indonesia. Kuda Sembrani karya Eka Maryono ini mengisahkan
tentang Ragil dan Ranu merupakan adik kakak yatim piatu yang dirawat Mak Onah. Mak Onah
adalah perempuan tua yang mau merawat mereka meskipun dirinya sendiri pun diselimuti
kemiskinan. Suatu malam, Mak Onah menceritakan kisah Kuda Sembrani. Ragil dan Ranu
sangat menyukai kisah Kuda Sembrani itu. Sejak saat itu keduanya selalu mencari kuda
sembrani kapanpun mereka bisa. Kuda sembrani seolah menjadi harapan mereka di tengah
kehidupan mereka yang miskin dan sulit. Ragil percaya apabila ia bisa menemukan kuda
sembrani maka kuda itu bisa membawa mereka jauh dari Moris yang selalu memaksa keduanya
mengemis dan merampas hasil mengemis mereka yang makin menjadi semenjak Mak Onah
meninggal.
Suatu hari Ranu sedang sakit ketika Moris memaksanya untuk mengemis, dan benar
saja ketika pulang wajah Ranu pucat dan panas tinggi. Ragil tak putus asa untuk mencari Kuda
Sembrani demi kesembuhan Ranu. Tiap malam sampai menjelang pagi Ragil selalu berkeliling
sambil menatap bintang untuk menemukan Kuda Sembrani. Namun Kuda Sembrani tak
kunjung datang padanya, lagi-lagi Ragil pulang dengan tangan kosong. Saat sampai di gubuk,
seperti biasa Ragil berniat untuk tidur disamping Ranu sebelum fajar datang dan ia harus
kembali mengais gunung sampah. Tapi malam itu berbeda, Ranu sudah terbujur kaku ketika
Ragil hendak membetulkan posisi handuknya. Ragil menyesal karena dia telah percaya pada
bualan Mak Onah. Seharusnya dia bisa menemani Ranu setiap malam dibanding mencari Kuda
Sembrani yang tak pernah datang menolongnya.
2.1.2 Tema
Tema pada cerpen “Kuda Sembrani” karya Eka Maryono adalah mengenai harapan.
Harapan yang dimaksud adalah harapan khas anak-anak milik kakak beradik bernama Ragil
dan Ranu yang mempercayai bahwa dongeng Kuda Sembrani adalah nyata. Dongeng yang
diceritakan oleh Mak Onah tersebut membuat kedua kakak beradik tersebut berharap hidup
mereka akan berubah sesuai dengan kisah yang diceritakan. Mereka berharap kuda sembrani
dapat menolong mereka dari segala kesulitan dan memberikan kebahagiaan pada mereka.
Sayangnya harapan itu hanyalah harapan kosong belaka.
Cerpen ini menyuguhkan kepolosan dan kenaifan anak-anak yang percaya dan
menggantungkan harapannya pada dongeng sebelum tidur. Ragil dan Ranu yang menjalani
sulitnya kehidupan yang mereka jalani menganggap kuda sembrani akan menjadi jalan keluar
mereka. Mereka berharap setiap harinya setiap malam tanpa melewatkannya satu pun, dan
percaya bahwa suatu saat kuda sembrani akan menolong mereka layaknya di cerita dongeng.
Hal tersebut diperlihatkan pada kutipan berikut.
Ragil mengucapkan harapan untuk ke sekian kali. Dia berharap kuda
sembrani muncul dari balik bintang dan menakuti Moris seperti dulu Mak
Onah lakukan. Dia bosan melihat adiknya dipaksa mengemis dan dipukuli
kalau pulang membawa sedikit uang. Dia juga bosan dipaksa memulung
sampah, sementara Moris merampas hasilnya. (Maryono, 2019)

Kutipan tersebut menunjukkan Ragil yang dengan polosnya berharap kuda sembrani akan
datang dan menolong dirinya dan adiknya dari berbagai kesulitan yang dihadapi. Di sela
kesulitannya, mereka selalu percaya bahwa suatu saat nanti kuda sembrani akan muncul dan
membebaskannya dari kesulitan-kesulitan itu. Ragil dan Ranu adalah anak-anak yang sejak
lahir sudah berada dalam keadaan susah, ia harus berjuang setiap harinya untuk bekerja agar
Moris tidak memarahi mereka. Satu-satunya kebahagiaan yang mereka miliki adalah kehadiran
Mak Onah dan dongeng Kuda Sembrani yang diceritakan wanita tua itu. Bagi mereka kuda
sembrani layaknya pahlawan yang akan membantu mereka yang sedang kesulitan. Layaknya
anak-anak, dengan polos mereka mempercayai bahwa dongeng itu nyata. Mereka terus
mempercayai Mak Onah selaku orang yang menceritakan kisah itu, hingga kemudian
kepercayaan itu mulai berkurang sedikit demi sedikit seraya lunturnya harapan dalam hati
Ragil. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut.
Malam demi malam Ragil menunggu. Malam demi malam Ragil
mencari. Namun, kuda sembrani terus sembunyi. Dia mulai berpikir kuda
sembrani tidak peduli pada nasib orang miskin atau mungkin cerita Mak
Onah cuma khayalan, bukankah Mak Onah sendiri mati dalam kemiskinan?
Kalau benar kuda sembrani ada, kenapa tidak minta tolong kepadanya?
(Maryono, 2019)

Kutipan di atas menunjukkan Ragil yang mulai meragukan kebenaran Kuda Sembrani.
Meskipun ia telah mencari kuda sembrani setiap malam dan bersabar menanti kuda sembrani
menjemput mereka, namun kuda sembrani tak kunjung datang. Hingga pada akhirnya Ragil
kecewa pada kuda sembrani yang tak kunjung datang, bahkan Ranu harus mati dalam sepi
karena ia mencari kuda sembrani di malam hari.
Ragil sesenggukan membelai rambut Ranu perlahan. Dia pun merenung
cukup lama. Kalau saja kuda sembrani benar-benar ada, kalau saja Mak
Onah tidak membohonginya dengan cerita, waktu tersisa yang berharga
pasti dia habiskan bersama Ranu. Harusnya dia menemani Ranu, bukan
malah meninggalkan dia untuk mati dalam sepi. Ragil sungguh menyesal.
Betapa sia-sia dia percaya bualan yang diasongkan Mak Onah. Kini, dia
tahu tidak ada kuda sembrani. Mak Onah benar-benar berdusta. Dia benci
kuda sembrani. Dia benci Mak Onah. Tangis Ragil pun pecah. (Maryono,
2019)

Dari kutipan di atas diketahui pada akhirnya Ragil menyesal. Ia menyesal telah mencari
kuda sembrani dan meninggalkan adiknya mati sendirian dan menyesal telah percaya pada Mak
Onah. Ragil pun akhirnya sadar bahwa kuda sembrani hanyalah bualan yang tidak nyata. Pada
akhirnya harapan yang selama ini dipercayai hanyalah harapan kosong semata, kuda sembrani
tak pernah datang, dan adiknya telah mati. Maka dapat disimpulkan bahwa cerpen ini
menceritakan mengenai kepercayaan dan harapan Ragil pada kuda sembrani hingga akhirnya
ia menyesal telah mempercayai bualan Mak Onah.
2.1.3 Plot
Plot atau alur pada cerpen “Kuda Sembrani” karya Eka Maryono merupakan plot sorot
balik. Plot campuran adalah gabungan dari plot progresif dan plot sorot balik. Hal itu diketahui
dari adanya sorot balik dalam alur cerita, yaitu ketika Ragil mengenang kenangannya dengan
Mak Onah. Plot sorot balik dalam cerpen Kuda Sembrani karya Eka Maryono ini juga
dibuktikan melalui cerita yang diawali dengan masalah. Dalam cerpen ini plot cerita memiliki
bentuk: D1—A—B—C—D3—E dengan penjelasan sebagai berikut.
Pada tahap penyituasian (A), merupakan peristiwa Ragil yang sorot balik tentang
kenangannya bersama Mak Onah, yaitu ketika mereka sedang membicarakan mengenai Kuda
Sembrani dan bagaimana ketika Mak Onah membela Ragil dan Ranu dari Moris yang memaksa
menyuruh bekerja. Kemudian cerita masuk ke tahap kemunculan masalah (B) di mana Ragil
mulai meragukan benaran kisah Kuda Sembrani yang ditunjukkan melalui kutipan berikut.
Malam demi malam Ragil menunggu. Malam demi malam Ragil mencari.
Namun, kuda sembrani terus sembunyi. Dia mulai berpikir kuda sembrani
tidak peduli pada nasib orang miskin atau mungkin cerita Mak Onah cuma
khayalan, bukankah Mak Onah sendiri mati dalam kemiskinan? Kalau
benar kuda sembrani ada, kenapa tidak minta tolong kepadanya? (Maryono,
2019)

Kutipan tersebut menunjukkan keraguan yang mulai dirasakan Ragil akan keberadaan
kuda sembrani. Keraguan itu muncul ketika ia merasa meski telah berusaha terus mencari
setiap malam, kuda sembrani tetap tak kunjung datang. Kemudian cerita berlangsung ke tahap
selanjutnya (C) yaitu tahap rising action, di mana konflik semakin jelas. Di tahap ini, Ragil
mengingat akan Ranu yang dipaksa bekerja oleh Moris meski adiknya mengeluh sakit. Konflik
kemudian sampai pada puncaknya di tahap klimaks (D). Ranu ditemukan sudah meninggal
ketika Ragil pulang malam itu. Hal itu ditunjukkan melalui kutipan berikut.
Ragil pelan-pelan membuka pintu. Dia tidak ingin membangunkan Ranu.
Fajar sebentar lagi tiba. Dia perlu istirahat sejenak karena 2 jam lagi harus
mengorek-ngorek tumpukan sampah. Dalam gelap, Ranu meringkuk di balik
helai kain. Seperti malam kemarin, handuk kecil yang sudah kering dan
kaku juga melorot ke samping lehernya. Ragil mengambil handuk itu lalu
membilasnya dengan air dalam baskom. Seperti juga malam kemarin, Ragil
membetulkan posisi tidur Ranu. Namun, sesuatu terasa lain, tubuh Ranu
sudah membeku. (Maryono, 2019)

Kutipan tersebut menunjukkan kejadian ketika Ragil menemukan adiknya telah terbujur
kaku. Klimaks pun tak dapat dihindari, Ragil kemudian menyesal karena telah percaya pada
cerita Mak Onah dan meninggalkan adiknya mati sendirian. Alur kemudian memasuki tahap
akhir (E) yaitu tahap penyelesaian. Tahap penyelesaian pada cerpen ini ditutup dengan adegan
seorang anak kecil yang menunggangi kuda sembrani, seperti yang terlihat pada kutipan
berikut.
“ Jauh di atas sana, seorang bocah lelaki menunggang kuda putih
bersayap indah melintas di antara bintang-bintang. Mereka sedang menuju
bintang terjauh yang tak mungkin dijangkau mata manusia. “ (Maryono,
2019)

Kutipan di atas merupakan tahap penyelesaian pada cerpen Kuda Sembrani karya Eka
Maryono. Pada tahap ini, bocah lelaki yang menunggang kuda putih itu ditafsirkan sebagai
Ranu yang telah meninggal di saat Ragil mencari kuda sembrani. Kemudian kuda putih
bersayap indah adalah gambaran kuda sembrani seperti yang diceritakan Mak Onah, serta
bintang-bintang yang dikisahkan sebagai asal tempat tinggal kuda sembrani.

2.1.4 Tokoh dan Penokohan


1) Ragil
Ragil adalah seorang anak laki-laki yang memiliki sifat layaknya anak-anak pada
umumnya. Ia sangat polos dan naif. Dongeng yang diceritakan Mak Onah ia percayai sepenuh
hati. Ragil berusia 12 tahun dan tidak menempuh pendidikan apapun. Keseharian yang dia
jumpai setelah lahir sampai sekarang hanyalah gunung sampah tempat keseharian dia
memulung. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan cerpen berikut.
Dua belas tahun sejak Ragil terlahir, dia tidak pernah memahami
keindahan. Dunianya hanya sebatas gundukan sampah, tempat dia biasa
memulung. Ragil dan Ranu sangat menyayangi Mak Onah seperti nenek
sendiri. Sebaliknya, perempuan kurus itu mengasihi mereka dan selalu
menemani keduanya melewati malam dengan cerita. (Maryono, 2019)

Kutipan di atas menyebutkan Ragil yang berumur 12 tahun, serta keadaan Ragil yang
sejak lahir telah berada di lingkungan kumuh. Ragil memiliki seorang adik laki-laki bernama
Ranu. Mereka merupakan anak yatim piatu yang kemudian dirawat oleh Mak Onah, perempuan
tua yang tidak memiliki hubungan keluarga namun mengasihi mereka seperti nenek sendiri.
Dari kutipan di atas pula diketahui Ragil dan Ranu begitu menyayangi Mak Onah. Sebagai
seorang kakak, Ragil memiliki rasa tanggung jawab yang cukup besar. Ia selalu
memperlakukan adiknya dengan baik, dan merawatnya ketika Ranu sakit. Sifat menyayangi
adiknya itu ditunjukkan melalui kutipan berikut.
Malamnya, Ranu pulang dengan wajah lesu serta pucat. Tubuhnya
panas. Ragil mengompres dahinya berulang kali. Beban hatinya sedikit
berkurang ketika Moris datang membawa sebotol obat panas kedaluwarsa.
(Maryono, 2019)

Kutipan tersebut menunjukkan perhatian Ragil sebagai seorang kakak yang khawatir
akan adiknya yang sakit. Ragil dan Ranu memang hidup saling bergantung satu sama lain
setelah meninggalnya Mak Onah, oleh karena itu hubungan keduanya sangat baik sebagai adik
dan kakak yang tumbuh besar di lingkungan yang penuh kesulitan. Meskipun Ragil memiliki
rasa tanggung jawab atas adiknya, ia juga tetap merupakan anak-anak yang memiliki
keterbatasan atas segala hal. Ketika Ranu jatuh sakit, ia memiliki kekhawatiran dan
kebingungan atas apa yang harus ia lakukan dalam kondisi itu.
Kini Ragil masih menatap bintang-bintang. Andai dia tahu bintang yang
mana. Andai Mak Onah masih ada untuk ditanya. Andai dia bisa memeluk
Mak Onah sekali lagi dan berucap terima kasih karena sudi membagi
sayang pada yatim piatu seperti dirinya. Dia pun ingat pesan terakhir Mak
Onah, beratus malam silam.
“Kalau kalian berharap sesuatu, berpalinglah pada bintang. Katakan
keinginanmu. Kuda sembrani akan datang membantu.” (Maryono, 2019)

Pada kutipan di atas, Ragil yang sedang bingung karena adiknya jatuh sakit merasa
merindukan Mak Onah, orang yang bisa ia andalkan dan bisa ditanyai. Pada akhirnya, yang
dapat Ragil lakukan hanyalah mengingat pesan terakhir Mak Onah. Ia juga dengan polosnya
mempercayai cerita dongeng Mak Onah. Cerita mengenai kuda sembrani adalah satu-satunya
hal yang sangat membekas di hati Ragil, berkat cerita itu ia selalu merasa suatu saat nanti kuda
sembrani pasti akan menolongnya. Meskipun ia pernah meragukan kuda sembrani, buru-buru
keraguan itu ia tepis. Ia begitu mempercayai Mak Onah sehingga menduga tak mungkin
perempuan itu berbohong padanya.
Tokoh Ragil pada cerpen “Kuda Sembrani” karya Eka Maryono ini mengalami
perkembangan secara mental melalui konflik yang terjadi. Ragil di awal cerita digambarkan
sebagai anak lelaki polos yang mempercayai cerita mengenai kuda sembrani. Ia begitu
mempercayai akan keberadaan kuda sembrani sehingga menggantungkan seluruh harapannya
pada kuda itu. Kemudian di pertengahan cerita ia mulai meragukan kuda sembrani. Ia menduga
kuda sembrani tidak perduli pada nasib orang miskin seperti dirinya dan menduga cerita Mak
Onah hanyalah khayalan. Namun ia menepis pemikiran itu karena ia percaya Mak Onah tidak
mungkin bohong padanya. Ragil kemudian dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa kuda
sembrani tidak akan pernah datang padanya, bahkan ketika adiknya mati dalam sepi di kala
dirinya mencari kuda sembrani.
2) Ranu
Ranu adalah adik laki-laki Ragil. Ranu memiliki sifat ceria, ia adalah anak yang cerewet
dan juga keras kepala. Ranu selalu mengikuti Ragil ketika kakaknya itu ingin mencari kuda
sembrani. Selama perjalanan Ranu selalu bicara hingga terkadang membuat Ragil kesar dan
mengusirnya pulang, namun Ranu yang keras kepala tetap ingin ikut mencari kuda sembrani.
Seperti Ragil, Ranu pun sangat menyayangi Mak Onah dan senang mendengarkan cerita-cerita
perempuan itu setiap malam, salah satu cerita yang paling disukainya adalah tentang kuda
sembrani. Hal itu ditunjukkan melalui kutipan berikut.
Ragil dan Ranu senang mendengar cerita-cerita Mak Onah, tapi tak ada
bahagia paling mereka rasa, kecuali saat Mak Onah memukul kepala Moris
dengan gagang sapu. Moris tidak pernah menyayangi Mak Onah, tapi dia
menghormatinya. Mak Onah pernah merawat Moris saat masih bocah
bertelanjang dada. (Maryono, 2019)

Karakter Ranu memang tidak digambarkan secara detail, namun dari kutipan di atas
dapat diketahui bahwa Ranu menyayangi Mak Onah layaknya neneknya sendiri dan
menyayangi Ragil sebagai kakaknya. Umur Ranu masih lebih kecil dibanding Ragil yang
berumur 12 tahun, oleh karena itu hal-hal yang ia pahami pun masih sebatas hal-hal sederhana.
Ia tidak bisa melawan ketika Moris memaksanya bekerja padahal badannya sakit, sama seperti
Ragil, keduanya pasrah ketika Moris memaksa untuk bekerja karena jika mereka menolak
maka Moris akan memukul.
Mengingat sakitnya dulu bikin dia teringat pada Ranu. Kemarin Ranu
mengeluh sakit ketika Moris nyelonong ke dalam gubuk peninggalan Mak
Onah sambil marah-marah.
“Heh! Ngemis sana cari uang! Jangan pura-pura sakit!”
Moris menarik Ranu dengan kasar dari atas kasur lusuh dan
mendorongnya keluar.
“Jangan Bang!”
Tamparan keras seketika membungkam mulut Ragil. Pedih menjalari
mukanya seperti matahari merayapi pagi. Matahari itu pula yang jadi alarm
baginya untuk mulai memulung sampah. Tamparan pasti kembali dia terima
bila mereka tidak lekas mendaki gunung sampah di luar sana. (Maryono,
2019)

Melalui kutipan di atas dapat diketahui bahwa baik Ranu maupun Ragil tidak dapat
berbuat apa-apa dihadapan Moris. Mereka hanya bisa pasrah dan mengikuti Moris yang lebih
tua dan lebih kuat dibanding keduanya. Ranu dan Ragil tidak memiliki pilihan, bagi mereka
yang tidak tahu bagaimana cara hidup selain meminta-minta dan memungut sampah, Moris
adalah tempat bergantung untuk mereka tetap hidup meski enggan.
3) Mak Onah
Mak Onah merupakan perempuan tua yang merawat anak yatim piatu seperti Ragil dan
Ranu di lingkungan miskin. Mak Onah memiliki sifat penyayang, hal ini dapat diketahui karena
ia menyayangi Ragil dan Ranu layaknya cucu sendiri. Sebelumnya ia juga pernah merawat
Moris saat masih kecil, karena itu pula Moris menghormati Mak Onah meski tidak menyayangi
perempuan itu seperti Ragil. Hal tersebut ditunjukkan melalui kutipan berikut.
…Moris tidak pernah menyayangi Mak Onah, tapi dia menghormatinya.
Mak Onah pernah merawat Moris saat masih bocah bertelanjang dada.
“Hei Mochtar! Sekali lagi kau paksa anak ini meminta-minta,
kupatahkan lehermu!” teriak Mak Onah. (Maryono, 2019)
Kutipan di atas juga menunjukkan rasa sayang Mak Onah terhadap Ranu dan Ragil, ia
tidak ingin kedua anak asuhnya dipaksa meminta-minta oleh Moris. Meskipun tidak pernah
bersekolah, akan tetapi Mak Onah pandai berkisah. Ia tahu berbagai dongeng di dunia. Salah
satunya adalah kisah mengenai kuda sembrani yang ia ceritakan pada Ragil dan Ranu. Tokoh
Mak Onah dalam cerita hanya hadir melalui ingatan-ingatan Ragil, hal ini dikarenakan Mak
Onah telah meninggal. Ragil diketahui beberapa kali merindukan Mak Onah
Kini Ragil masih menatap bintang-bintang. Andai dia tahu bintang yang
mana. Andai Mak Onah masih ada untuk ditanya. Andai dia bisa memeluk
Mak Onah sekali lagi dan berucap terima kasih karena sudi membagi
sayang pada yatim piatu seperti dirinya. Dia pun ingat pesan terakhir Mak
Onah, beratus malam silam. (Maryono, 2019)
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa peran Mak Onah dalam kehidupan Ragil
sudah layaknya orang tua yang mengasuh dan membesarkan Ragil dan Ranu. Meskipun tidak
berpendidikan dan tidak memiliki harta berlimpah, Mak Onah tetap menyayangi dan mengasuh
Ragil dan Ranu layaknya cucu sendiri.
4) Moris
Moris merupakan anak laki-laki yang lebih tua dari Ragil, hal tersebut diketahui dari Mak
Onah yang dulu pernah merawat Moris ketika kecil sebelum Ragil dan Ranu di asuhnya. Moris
memiliki nama asli yaitu Mochtar. Entah apa alasan kenapa Moris enggan dipanggil Mochtar,
namun Mak Onah terkadang memanggilnya dengan nama itu, seperti pada kutipan beirkut.
“Hei Mochtar! Sekali lagi kau paksa anak ini meminta-minta,
kupatahkan lehermu!” teriak Mak Onah.
Ragil dan Ranu tertawa. Lucu mendengar Moris diteriaki dengan nama
aslinya. Lebih lucu ketimbang melihatnya dipukul gagang sapu sampai
jidatnya terantuk pintu saat menghindari amukan Mak Onah. (Maryono,
2019)

Kutipan di atas adalah saat Mak Onah memanggil Moris dengan nama aslinya. Melalui
kutipan tersebut pula Moris diketahui memiliki sifat pemaksa. Di antara para anak-anak di
sekitar, Moris bagai pemimpin. Anak-anak lain dipaksa mengemis dan memulung, sedangkan
Moris mengambil hasilnya. Ia adalah anak yang semena-mena, orang yang dihormati hanyalah
Mak Onah, namun ia tidak benar-benar menyayangi Mak Onah seperti Ragil dan Ranu.
Beberapa kali Ragil dan Ranu dipaksa bekerja, jika menolak Moris tak segan akan memukul
atau menampar. Moris memang kasar, tetapi ia juga masih memiliki sedikit hati nurani. Hal itu
ditunjukkan pada kutipan berikut.
Malamnya, Ranu pulang dengan wajah lesu serta pucat. Tubuhnya
panas. Ragil mengompres dahinya berulang kali. Beban hatinya sedikit
berkurang ketika Moris datang membawa sebotol obat panas kedaluwarsa.
“Beri dia obat ini biar cepat sembuh. Kalian tidak berguna kalau sakit.
Jangan harap aku mau kasih makan kalau kalian tidak bisa kerja.” Nada
bicara Moris terdengar datar. Baru kali itu dia bicara pada mereka dengan
suara pelan. Barangkali dia merasa bersalah. Mungkin cuma sedih karena
baru putus cinta. (Maryono, 2019)

Kutipan di atas menunjukkan perhatian Moris dengan memberikan obat panas


kedaluwarsa. Entah hal itu ia lakukan atas dasar rasa bersalah atau karena efek sedih setelah
putus cinta. Akan tetapi hal itu juga menunjukkan bahwa perasaan emosional juga dapat
mempengaruhi tindakan Moris yang artinya Moris masih memiliki rasa simpati pada orang
lain.
2.1.5 Latar
Latar dalam cerpen “Kuda Sembrani” tidak disorot secara khusus, beberapa latar yang
disebutkan mayoritas tidak memiliki makna secara khusus.
1) Latar Tempat
a) Sudut kota
Sudut kota merupakan tempat pertama yang muncul dalam cerpen “Kuda Sembrani” karya
Eka Maryono. Setiap malam Ragil berusaha mencari kuda sembrani di setiap sudut kota yang
dapat ia jangkau. Hal tersebut dapat diketahui melalui kutipan berikut.
Sejak Mak Onah bercerita tentang kuda sembrani, Ragil mencarinya ke
setiap sudut kota. Malam ini, entah hari ke berapa dia mencari. Biasanya, ia
ditemani Ranu. Namun, adiknya itu demam sejak kemarin. Panasnya makin
meninggi meski sudah diberi obat dan kompres jarang lepas dari dahi.
(Maryono, 2019)

Melalui kutipan di atas, dapat diketahui sudut kota adalah tempat yang selalu didatangi
Ragil demi mencari kuda sembrani. Alasan mengapa Ragil hanya mencari di sekitar sudut kota
adalah karena sudut kota merupakan tempat sehari-hari ia lewati untuk memulung sampah,
sehingga ia mengenal baik tempat tersebut dan tak perlu khawatir akan tersesat.
b) Gubuk peninggalan Mak Onah
Gubuk tersebut merupakan tempat tinggal peninggalan Mak Onah yang telah meninggal
sekaligus menjadi rumah bagi Ragil dan Ranu. Gubuk itu mejadi latar tempat kejadian di mana
Moris memaksa Ranu mengemis meski adiknya sudah menujukkan tanda-tanda sakit. Berikut
merupakan kutipan yang menunjukkan latar tempat tersebut.
Mengingat sakitnya dulu bikin dia teringat pada Ranu. Kemarin Ranu
mengeluh sakit ketika Moris nyelonong ke dalam gubuk peninggalan Mak
Onah sambil marah-marah.
“Heh! Ngemis sana cari uang! Jangan pura-pura sakit!”
Moris menarik Ranu dengan kasar dari atas kasur lusuh dan
mendorongnya keluar.
“Jangan Bang!” (Maryono, 2019)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Ragil dan Ranu tinggal di gubuk Mak Onah. Sejak
dulu Ragil, Ranu dan Mak Onah tinggal bersama. Sejak Mak Onah meningal, Ranu seringkali
mengingat Mak Onah dulu selalu menyambut Ragil yang baru pulang selepas bekerja mengais
gunung sampah. Gubuk itu juga menjadi tempat peristirahatan terakhir Ranu yang mati dalam
sepi.
2) Latar Waktu
Pada cerpen “Kuda Sembrani” latar waktu pada cerita dimulai di malam hari, yaitu ketika
Ragil mencari kuda sembrani setiap malamnya ke sudut-sudut kota. Dalam kisah kuda
sembrani pun diceritakan bahwa kuda tersebut ada di salah satu bintang, oleh karena itu Ragil
mencari kuda sembrani setiap malam hari. Latar malam hari pada cerpen ini ditunjukkan
melalui kutipan berikut.
Malam demi malam Ragil menunggu. Malam demi malam Ragil mencari.
Namun, kuda sembrani terus sembunyi. Dia mulai berpikir kuda sembrani
tidak peduli pada nasib orang miskin atau mungkin cerita Mak Onah cuma
khayalan, bukankah Mak Onah sendiri mati dalam kemiskinan? Kalau benar
kuda sembrani ada, kenapa tidak minta tolong kepadanya? (Maryono, 2019)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Ragil terus menerus mencari kuda sembrani di
malam hari, termasuk pada hari di mana cerita dimulai. Peristiwa utama dalam cerpen “Kuda
Sembrani” juga terjadi di malam hari, yaitu dimulai ketika Ragil mencari kuda sembrani tanpa
Ranu karena adiknya itu sedang sakit, hingga kemudian Ragil kembali ke rumah dan mendapati
adiknya sudah meninggal.
3) Latar Sosial Budaya
Ragil dan Ranu merupakan anak yatim piatu yang dibesarkan di sudut kota dan bekerja
sebagai pengemis dan pemulung sampah. Maka yang menjadi latar sosial budaya dalam cerpen
Kuda Sembrani ini adalah kehidupan pinggiran kota yang dijalani anak-anak di bawah umur
yang setiap harinya harus bertahan hidup dari pungutan sampah dan meminta-minta. Mereka
hidup dalam kemiskinan dan kesusahan, beberapa kali di sebutkan bahwa Ragil membutuhkan
kuda sembrani untuk membantunya.
Ragil mengucapkan harapan untuk ke sekian kali. Dia berharap kuda
sembrani muncul dari balik bintang dan menakuti Moris seperti dulu Mak
Onah lakukan. Dia bosan melihat adiknya dipaksa mengemis dan dipukuli
kalau pulang membawa sedikit uang. Dia juga bosan dipaksa memulung
sampah, sementara Moris merampas hasilnya. (Maryono, 2019)

Melalui kutipan di atas dapat diketahui adanya kesenjangan antara Ragil dan Moris.
Moris memiliki kedudukan yang lebih tinggi sehingga Ragil disuruh-suruh oleh Moris dan
hasil memulung sampah itu dirampas oleh Moris dan Ragil pun tak bisa berbuat apa-apa. Ragil
dan Ranu hidup serba kekurangan, untuk makan pun mereka harus bekerja seharian. Keduanya
pun tidak dapat memenuhi kebutuhan pendidikan mereka karena faktor ekonomi. Ragil ingin
segera keluar dari kesehariannya itu, maka dari itu ia berharap pada kuda sembrani yang
dipikirnya akan membantu.
2.1.6 Sudut Pandang
Teknik sudut pandang yang digunakan dalam cerpen “Kuda Sembrani” ini adalah
persona ketiga “Dia”. Di mana pada sudut pandang ini narator adalah seseorang diluar cerita
dan menampilkan tokoh-tokoh dengan menyebut nama atau mengunakan kata ganti ‘dia’ dan
sebagainya. Sudut pandang persona ketiga “dia” dalam cerpen ini merupakan “dia” serbatahu,
di mana narator dapat menceritakan apa yang dirasakan, dilihat, didengar oleh setiap tokoh.
Contohnya pada kutipan berikut.
Ragil dan Ranu senang mendengar cerita-cerita Mak Onah, tapi tak ada
bahagia paling mereka rasa, kecuali saat Mak Onah memukul kepala Moris
dengan gagang sapu. Moris tidak pernah menyayangi Mak Onah, tapi dia
menghormatinya. Mak Onah pernah merawat Moris saat masih bocah
bertelanjang dada. (Maryono, 2019)

Kutipan di atas menunjukkan narator menggunakan ‘dia’ dan menyebutkan nama untuk
kata ganti orang, narator juga nampak mengetahui apa yang dirasakan Ragil dan Ranu pada
saat itu, yaitu perasaan Bahagia. Melalui kutipan tersebut juga menjelaskan pandangan tokoh
Moris pada tokoh Mak Onah dan mengenai Moris yang menghormati Mak Onah meski tidak
pernah menyayanginya. Hal tersebut menunjukkan bahwa sudut pandang dalam cerpen ini
adalah persona ketiga ‘dia’ serbatahu.
2.1.7 Bahasa
Penulis dalam cerpen tidak menggunakan banyak variasi bahasa. Teks cerita lebih
berfokus pada penceritaan dan kisah yang di alami tokoh. Karena diceritakan melalui sudut
pandang Ragil, maka variasi bahasa yang dipilih terkesan sederhana dan mudah dipahami.
Meski begitu, terdapat beberapa majas yang ditemukan dalam teks cerpen “Kuda Sembrani”.
Tamparan keras seketika membungkam mulut Ragil. Pedih menjalari
mukanya seperti matahari merayapi pagi. Matahari itu pula yang jadi alarm
baginya untuk mulai memulung sampah. Tamparan pasti kembali dia terima bila
mereka tidak lekas mendaki gunung sampah di luar sana. (Maryono, 2019)

Kutipan yang di atas menunjukkan adanya majas asosiasi, yaitu gaya bahasa yang
mengibaratkan atau membandingkan dua hal yang berbeda namun di anggap sama. Dalam hal
ini, rasa sakit di wajah Ragil akibat ditampar dianggap sama dengan matahari yang mulai
muncul pagi hari. Penggunaan gaya bahasa tersebut digunakan untuk memperdalam makna
dan gambaran rasa sakit yang dialami Ragil yang muncul menjalar perlahan di pipinya. Selain
itu terdapat majas lain yang ditemukan dalam teks cerpen “Kuda Sembrani”.
Mereka, para penumpang kereta yang tersisa, sungguh beruntung. Setidaknya,
mereka melaju bersama kuda besi yang siap mengantar sampai ke tujuan akhir
meski keberuntungan itu tidak membuat mereka terlihat bahagia. Wajah mereka
dingin nyaris tanpa ekspresi. Tidak ada di antara mereka saling menyapa dan
berbincang dalam kehangatan. Tiap-tiap penumpang sibuk dengan pikiran dan
kantuk sendiri sebelum tenggelam dalam dingin gerbong kereta. (Maryono,
2019)
… Seperti malam kemarin, handuk kecil yang sudah kering dan kaku juga
melorot ke samping lehernya. Ragil mengambil handuk itu lalu membilasnya
dengan air dalam baskom. Seperti juga malam kemarin, Ragil membetulkan
posisi tidur Ranu. Namun, sesuatu terasa lain, tubuh Ranu sudah membeku.
(Maryono, 2019)

Dua kutipan di atas menunjukkan adanya majas metafora dalam penggunaan bahasa.
Majas metafora merupakan gaya bahasa yang menggunakan kiasan sebagai kata
pembandingnya. Pada kutipan pertama “Wajah mereka dingin nyaris tanpa ekspresi”
merupakan ungkapan untuk menggambarkan eskpresi datar tanpa menunjukkan emosi apapun
yang dimili orang-orang dalam gerbong kereta tersebut. Sedangkan pada kutipan kedua “tubuh
Ranu sudah membeku” memiliki arti bahwa tubuh Ranu telah kaku dan dingin karena sudah
tidak bernyawa.
2.1.8 Moral (Amanat)
Pesan moral yang dapat dipetik dalam cerpen ini adalah untuk tidak menggantungkan
segalanya pada harapan yang tidak dapat tersampaikan atau harapan kosong. Ragil
menggantungkan seluruh harapannya pada kuda sembrani yang bahkan hanya ia dengar
ceritanya dari Mak Onah yang telah tiada. Apapun kesulitan yang ia alami, ia langsung
mengharapkan kuda sembrani datang dan menolongnya. Hal tersebut ditunjukkan pada kutipan
berikut.
Ragil mengucapkan harapan untuk ke sekian kali. Dia berharap kuda
sembrani muncul dari balik bintang dan menakuti Moris seperti dulu Mak
Onah lakukan. Dia bosan melihat adiknya dipaksa mengemis dan dipukuli
kalau pulang membawa sedikit uang. Dia juga bosan dipaksa memulung
sampah, sementara Moris merampas hasilnya. (Maryono, 2019)

Kutipan tersebut menunjukkan Ragil yang telah berharap pada kuda sembrani berkali-kali.
Ragil nampak begitu mempercayai kuda sembrani dan menganggap suatu saat harapannya akan
terkabul. Hingga di akhir cerita barulah ia menyesal telah mempercayai kuda sembrani dan
bualan Mak Onah karena adiknya telah mati meski ia sudah begitu banyak berharap pada kuda
sembrani. Cerpen ini juga menyajikan gambaran mengenai anak-anak yang serba kekurangan,
yaitu anak jalanan yatim piatu yang harus menggantungkan hidup dengan memulung sampah
atau meminta-minta. Penulis melalui cerpen ini menyampaikan pesan mengenai harapan besar
yang dimiliki anak-anak tersebut, meski yang diharapkan tidaklah nyata dan tidak masuk akal.
Pandangan subjektif pengarang mengenai hal ini tentu yang memberikan pengaruh paling
banyak. Pengarang menganggap anak-anak yang bahkan sering dianggap remeh di jalanan itu
pun memiliki mimpi untuk keluar dari situasi serba kekurangan itu.
BAB 3
ANALISIS DAN PEMBAHASAN MASALAH SOSIAL DALAM CERPEN “KUDA
SEMBRANI” KARYA EKA MARYONO

Pada cerpen “Kuda Sembrani”, Ragil merupakan anak yatim piatu yang menghadapi
masalah bahwa adiknya, Ranu saat itu sedang sakit dan ia tidak memiliki orang lain sebagai
tempat bergantung. Ia hanyalah bocah pemulung sampah yang tidak dapat mengandalkan
siapapun selain Kuda Sembrani yang berasal dari dongeng yang diceritakan oleh Mak Onah.
Selain itu, Ragil tidak memiliki sesuatu yang berarti di kehidupannya. Terdapat beberapa
masalah sosial yang terdapat dalam cerpen “Kuda Sembrani” ini, yaitu sebagai berikut.
3.1 Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang paling banyak terjadi. Salah satunya adalah
kemiskinan yang dilanda oleh tokoh dalam cerpen “Kuda Sembrani” ini. Keseharian Ragil
yang bekerja memulung sampah dan Ranu yang mengemis adalah bukti bahwa mereka hidup
dalam kemiskinan. Ragil dan Ranu adalah anak-anak yang seharusnya tidak bekerja mencari
uang, namun apabila keadaan ekonomi mereka tidak mampu membiayai makan tanpa bekerja,
maka tidak ada cara lain bagi mereka selain bekerja sebisanya untuk memenuhi kebutuhan
mereka.
Mengingat sakitnya dulu bikin dia teringat pada Ranu. Kemarin Ranu
mengeluh sakit ketika Moris nyelonong ke dalam gubuk peninggalan Mak
Onah sambil marah-marah.
“Heh! Ngemis sana cari uang! Jangan pura-pura sakit!”
Moris menarik Ranu dengan kasar dari atas kasur lusuh dan
mendorongnya keluar.
“Jangan Bang!”
Tamparan keras seketika membungkam mulut Ragil. Pedih menjalari
mukanya seperti matahari merayapi pagi. Matahari itu pula yang jadi alarm
baginya untuk mulai memulung sampah. Tamparan pasti kembali dia terima
bila mereka tidak lekas mendaki gunung sampah di luar sana. (Maryono,
2019)

Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana situasi Ragil dan Ranu harus bekerja setiap
hari. Ranu yang sedang sakit bahkan tetap dipaksa mengemis untuk mencari uang dan Ragil
yang harus memulung sampah. Moris tidak akan memberi mereka makan apabila keduanya
tidak bekerja dan tidak menghasilkan uang, oleh karena itu meski tidak ingin dan terpaksa pun
Ragil dan Ranu harus bekerja demi mendapatkan makan. Kemiskinan yang dihadapi Ragil dan
Ranu juga ditunjukkan melalui kutipan berikut.
Malamnya, Ranu pulang dengan wajah lesu serta pucat. Tubuhnya panas.
Ragil mengompres dahinya berulang kali. Beban hatinya sedikit berkurang
ketika Moris datang membawa sebotol obat panas kedaluwarsa. (Maryono,
2019)
Pagi besoknya panas Ranu semakin tinggi. Ragil ingin membawa Ranu ke
puskesmas, seperti dirinya dulu bersama Mak Onah, tetapi Moris melarang.
“Minum dulu obat panas itu,” bujuk Moris. “Kalau hari ini kerjamu bagus,
besok kau boleh bawa dia ke dokter.” (Maryono, 2019)
Kedua kutipan di atas menunjukkan keadaan mereka yang miskin. Pada kutipan pertama,
Moris memberikan Ragil sebotol obat panas yang sudah kadaluwarsa untuk diberikan pada
Ranu. Hal itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa mereka bahkan tidak dapat
memberikan obat panas yang baru dibeli pada Ranu. Melainkan memberi sebotol obat panas
kadaluwarsa yang mungkin di temukan dari sampah-sampah buangan orang lain. Kemudian
pada kutipan kedua, Ragil hendak membawa Ranu ke puskesmas, namun dilarang oleh Moris.
Keadaan itu menunjukkan bahwa untuk membawa Ranu ke puskemas saja mereka butuh
pertimbangan, padahal kondisi Ranu saat itu sudah cukup parah. Namun karena faktor
kemiskinan membuat Ragil tidak mampu memberikan penanganan yang tepat untuk Ranu.
Kemiskinan itu pula yang kemudian membawa kematian untuk Ranu. Pada akhirnya karena
demam tinggi, Ranu meninggal pada malam itu juga. Demam memang bukan penyakit serius,
namun karena tak dapat ditangani dengan tepat Ranu akhirnya meninggal.
3.2 Delinkuensi Anak-Anak
Delinkuensi anak-anak adalah kegiatan anak-anak/remaja yang melanggar norma-
norma sosial atau hukum dimana pelanggaran tersebut merupakan wujud suatu ketimpangan.
Dalam cerpen “Kuda Sembrani” ini, perbuatan melanggar tersebut dilakukan oleh Moris. Moris
melakukan penindasan pada Ragil dan Ranu yang lebih kecil darinya. Ia memaksa keduanya
untuk bekerja sedangkan uangnya nanti dirampas olehnya. Bahkan Moris tidak segan memukul
mereka apabila mereka menolak atau melawan, seperti pada kutipan berikut.
“Heh! Ngemis sana cari uang! Jangan pura-pura sakit!”
Moris menarik Ranu dengan kasar dari atas kasur lusuh dan
mendorongnya keluar.
“Jangan Bang!”
Tamparan keras seketika membungkam mulut Ragil. Pedih menjalari
mukanya seperti matahari merayapi pagi. Matahari itu pula yang jadi alarm
baginya untuk mulai memulung sampah. Tamparan pasti kembali dia terima
bila mereka tidak lekas mendaki gunung sampah di luar sana. (Maryono,
2019)

Kutipan di atas menunjukkan pemaksaan dan penindasan yang dilakukan oleh Moris.
Moris memaksa Ranu yang butuh istirahat karena sedang sakit untuk bekerja. Ia bahkan
menariknya dengan kasar dan memukul Ragil yang menghalangi Moris yang mendorong
adiknya keluar. Penindasan yang Moris lakukan semata-mata karena ia merupakan ‘bos’ dari
para anak-anak di daerah pinggiran kota itu. Moris memerintah anak-anak yang lebih lemah
darinya untuk bekerja dengan memulung atau mengemis, kemudian hasilnya ia ambil.
Nantinya ia akan memberikan anak-anak itu makan sesuai dengan hasil kerjanya. Namun
perlakuan itu tidak lain merupakan penindasan, karena uang yang didapatkan Moris bukanlah
hasil kerja kerasnya, melainkan hasil kerja keras orang lain. Moris bahkan memaksa mereka
untuk bekerja jika ingin mendapatkan makan dan tak ingin dipukul.

3.3 Kepadatan Penduduk


Masalah sosial yang secara tidak langsung diangkat dalam cerpen “Kuda Sembrani” ini
adalah kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk merupakan salah satu masalah
kependudukan yang memiliki peluang besar dalam menghasilkan berbagai situasi masalah
sosial. Salah satu akibat dari kepadatan penduduk adalah adanya pemukiman kumuh. Latar
tempat dalam cerpen ini adalah sudut kota yang juga merupakan pemukiman kumuh. Hal ini
dapat diketahui melalui kutipan berikut.
Dua belas tahun sejak Ragil terlahir, dia tidak pernah memahami
keindahan. Dunianya hanya sebatas gundukan sampah, tempat dia biasa
memulung. Ragil dan Ranu sangat menyayangi Mak Onah seperti nenek
sendiri. Sebaliknya, perempuan kurus itu mengasihi mereka dan selalu
menemani keduanya melewati malam dengan cerita. (Maryono, 2019)

Kutipan di atas menunjukan keseharian Ragil sehingga ia hanya mengetahui mengenai


gundukan sampah tempat ia memulung. Artinya lingkungan tempat tinggal Ragil tidak jauh
dari gundukan sampah-sampah itu. Mengingat pekerjaan Ragil sebagai pemulung sampah, dan
bagaimana ia dan Ranu menjalani kesehariannya, maka dapat dikatakan bahwa mereka tinggal
di pemukiman kumuh akibat padatnya penduduk yang menyebabkan orang-orang tanpa
ekonomi yang cukup harus bertahan hidup bagaimanapun lingkungannya.
3.4 Disorganisasi Keluarga
Dalam cerpen “Kuda Sembrani” disebutkan bahwa Ragil dan Ranu merupakan anak yatim
piatu sebelum akhirnya Mak Onah merawatnya. Artinya Ragil dan Ranu tidak memiliki
keluarga yang lengkap. Tidak disebutkan kemana atau apa yang terjadi pada kedua orang
tuanya, namun ketidakutuhan keluarga tersebut juga menjadi faktor penyebab kemalangan
mereka.
Kini Ragil masih menatap bintang-bintang. Andai dia tahu bintang yang
mana. Andai Mak Onah masih ada untuk ditanya. Andai dia bisa memeluk
Mak Onah sekali lagi dan berucap terima kasih karena sudi membagi sayang
pada yatim piatu seperti dirinya. Dia pun ingat pesan terakhir Mak Onah,
beratus malam silam. (Maryono, 2019)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Ragil dan Ranu merupakan anak yatim piatu yang
dirawat oleh Mak Onah, wanita tua yang sudi menyayangi mereka meski tidak ada hubungan
darah. Ketidakhadiran sosok ayah dan ibu dalam suatu keluarga artinya peran dari figur
tersebut kehilangan fungsinya. Dalam cerpen “Kuda Sembrani”, Ragil dan Ranu tidak
memiliki tempat bersandar setelah Mak Onah meninggal. Ragil dan Ranu yang seharusnya
masih bergantung pada orang tua, kini harus berjuang sendiri untuk berlangsungnya kehidupan
mereka. Situasi tentu akan berubah apabila kedua orang tua atau salah satu dari orang tua
mereka masih mendampingi. Ragil dan Ranu mungkin tidak harus bekerja memulung dan
mengemis demi mendapatkan makanan setiap hari, atau mungkin mereka jadi tidak perlu
menggantungkan harapan pada dongeng Kuda Sembrani itu untuk keluar dari permasalahan.
BAB 4
SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, terdapat dua hal yang telah
dicapai, yaitu dianalisis unsur-unsur intrinsik dan masalah sosial yang terdapat cerpen “Kuda
Sembrani” karya Eka Maryono di Media Indonesia edisi tahun 2019 sebagai berikut.

Cerpen “Kuda Sembrani” memiliki tema mengenai harapan dengan plot sorot balik.
Dalam cerpen ini memiliki tokoh Ragil sebagai tokoh utama, Ranu, Mak Onah, dan Moris
sebagai tokoh tambahan. Latar termpat pada cerpen ini yaitu sudut kota dan gubuk peninggalan
Mak Onah, sedangkan latar waktu dalam cerpen yaitu malam hari. Latar sosial pada cerpen ini
menggambarkan pemukiman kumuh di daerah pinggiran kota, di mana banyak anak yatim
piatu yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Penulis menggunakan sudut
pandang persona ketiga “Dia” serbatahu. Pada cerpen “Kuda Sembrani” terdapat penggunaan
majas asosiasi dan metafora yang berfungsi memperindah variasi bahasa. Cerpen ini
mengandung moral untuk tidak menggantungkan harapan pada sesuatu yang tidak pasti, serta
anak-anak yang berada di jalanan sekali pun memiliki mimpi untuk hidup nyaman dan bahagia.

Simpulan selanjutnya, yaitu masalah-masalah sosial yang terdapat dalam cerpen “Kuda
Sembrani” karya Eka Maryono adalah:

1. Kemiskinan
Kemiskinan yang dikritik dalam kelima cerpen tersebut adalah (a) kemiskinan
yang dialami seorang pengemis yang menggantungkan hidupnya pada belas kasih orang-
orang; dan (b) kemiskinan yang dialami oleh anak-anak daerah kumuh yang selama
hidupnya harus bekerja agar dapat menyambung hidup.
2. Delikuensi anak-anak
Delikuensi anak-anak adalah kejahatan ringan yang dilakukan anak-anak di bawah
umur. Anak-anak yatim piatu yang dibiarkan terlantar di daerah kumuh tidak memiliki
pilihan lain selain mengikuti anak lain yang usianya lebih tua dan lebih kuat sehingga
pembullyan, pemalakan dan kekerasan pun tak dapat dihindari.
3. Disorganisasi keluarga
Disorganisasi keluarga yang ditemukan dalam penelitian ini adalah (a) anak-anak
jalanan yang tidak memiliki orang tua mengalami kesulitan karena tidak memiliki
tempat bergantung, pada akhirnya mereka harus bekerja untuk menghidupi dirinya
sendiri; (b) ketidakmampuan salah satu anggota keluarga dalam memenuhi
kewajibannya, sehingga anggota keluarga lain harus berusaha menggantikan tugas
tersebut, dan (c) perpisahan salah satu anggota keluarga karena dianggap telah
mencoreng nama baik keluarga.
4. Kepadatan penduduk
Penelitian cerpen pada penelitian ini menemukan kritik terhadap kepadatan
penduduk, yaitu mengenai keberadaan daerah kumuh yang menimbulkan masalah sosial
lainnya seperti lingkungan yang tidak layak ditempati, anak-anak yang ditelantarkan dan
kebersihan yang sangat rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Abar, Ahmad Zaini. (1999). Kritik Sosial, Pers, Politik Indonesia dalam Kritik Sosial dalam
Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press.
Abdullah, Ahmad Adib. (2014). Kritik Sosial dalam Kumpulan Cerpen “Seekor Bebek yang
Mati di Pinggir Kali” Karya Puthut EA. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta [Online]. Tersedia:
https://core.ac.uk/download/pdf/33515062.pdf. [24 Juli 2020].
Eddyono, S. W., Wahyudi D., dan Fajrimei A.G. (2016). Kejahatan Ideologi dalam R KUHP.
Jakarta: Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) [Online]. Tersedia:
http://icjr.or.id/wp-content/uploads/2016/12/Ideologi-OK-satuan-Komplit.pdf. [23
Desember 2020].
Faruk. (2015). Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hakim, Laode AR. (2008). Kritik Sosial dalam Cerpen-Cerpen A. Mustofa Bisri: Sebuah
Pendekatan Sosiologi Sastra. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia [Online]. Tersedia: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20160164-RB01H31k-
Kritik%20sosial.pdf. [21 Agustus 2020].
Masruroh Ana. (2015). Pengembangan Modul Pembelajaran Menulis Cerpen Berbasis
Pengalaman (Experiental Learning) untuk Siswa SMP/MTs. Yogyakarta: Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta [Online]. Tersedia:
http://eprints.uny.ac.id/27649/1/SKRIPSI.pdf. [10 Januari 2021].
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia [Online]. Tersedia:
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://bsnp-
indonesia.org/wp-content/uploads/2009/06/03.-A.-Salinan-Permendikbud-No.-65-th-
2013-ttg-
StandarProses.pdf&ved=2ahUKEwj06fb4koPtAhUSX30KHRcSBJEQFjACegQICxAB
&usg=AOvVaw1clmWiNWUttmCS2GBbYSk2&cshid=1605395161136 [13
November 2020].
Moleong, Lexy J. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nurgiyantoro, Burhan. (2015). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University.
Prasetyo, Adit Agus. (2010). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan,
Studi Kasus 35 Kabupaten di Jawa Tengah Tahun 2003-2007. Semarang: Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro [Online]. Tersedia:
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://core.ac.uk/downloa
d/pdf/11722049.pdf&ved=2ahUKEwjsu7Se0OPtAhVUX30KHULdD3wQFjAAegQIA
xAB&usg=AOvVaw03SmHtVD1KXXwnrIwAKrPD&cshid=1608712560089 [23
Desember 2020].
Prasetyo, Arif. (2015). Kritik Sosial dalam Novel “Slank 5 Hero dari Atlantis” karya Sukardi
Rinakit: Pendekatan Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Yogyakarta [Online]. Tersedia: http://eprints.uny.ac.id/26762/1/skripsi.pdf. [27
Agustus 2020].
Rahmanto, Bernardus. (1988). Metode Pengajaran Sastra. Jakarta: Penerbit Kanisius.
Ramadhani, Pipit Ika. (2020, 15 Juli). Penduduk Miskin Indonesia Naik Jadi 26,42 Juta Orang
di Maret 2020. Liputan6 [Online]. Tersedia:
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4305950/penduduk-miskin-indonesia-naik-jadi-
2642-juta-orang-di-maret-2020. [16 September 2020].
Ratna, Nyoman Kutha. (2015). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. (1989). Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa.
Soekanto, Soejono. (2015). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Sudjana, Nana. (2002). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit
Alfabeta.
Suwarsih. (2009). Kriminalitas dalam Novel Kembang Kantil Karya Senggono. Semarang:
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang [Online]. Tersedia:
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://lib.unnes.ac.id/914/1/
5582.pdf&ved=2ahUKEwihxMmcueTtAhUCfSsKHQnQDxIQFjABegQIBBAC&usg=
AOvVaw2mW06IWMGiX3wi3HxC2qMx. [23 Desember 2020].
Stanton, Robert. (2012). Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tarigan, Henry Guntur. (1993). Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa.
Wiyatmi. (2009). Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.
---------- . (2013). Sosiologi Sastra. Jakarta: Kanwa Publisher.

Anda mungkin juga menyukai