Anda di halaman 1dari 19

Judul

Pos Bindu RW 10/ 5 Feb

Latar belakang
Posbindu Lansia adalah pos pembinaan terpadu untuk masyarakat usia lanjut disuatu wilayah
tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh masyarakat dimana mereka bisa
mendapatkan pelayanan kesehatan. Posbindu lansia merupakan pengembangan dari kebijakan
pemerintah melalui pelayanan kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraannya melalui
program Puskesmas dengan melibatkan peran serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat
dan organisasi sosial dalam penyelenggaraannya.
Posbindu juga merupakan wadah kegiatan berbasis masyarakat untuk bersama-sama
menghimpun seluruh kekuatan dan kemampuan masyarakat untuk melaksanakan, memberikan
serta memperoleh informasi dan pelayanan sesuai kebutuhan dalam upaya peningkatan status
gizi masyarakat secara umum.
Jadi, Posbindu lansia merupakan suatu fasilitas pelayanan kesehatan yang berada di desa-desa
yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat khususnya bagi warga yang sudah
berusia lanjut.

Permasalahan
Indonesia termasuk negara berstruktur tua, hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk
lansia tahun 2008, 2009 dan 2012 telah mencapai di atas 7% dari keseluruhan penduduk,
seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut ini. Struktur penduduk yang menua tersebut
merupakan salah satu indikator keberhasilan pencapaian pembangunan manusia secara global
dan nasional. Keadaan ini berkaitan dengan adanya perbaikan kualitas kesehatan dan kondisi
sosial masyarakat yang meningkat. Dengan demikian, peningkatan jumlah penduduk lanjut
usia menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan sekaligus sebagai tantangan
dalam pembangunan.
Di dalam Susenas dikumpulkan informasi mengenai jenis keluhan kesehatan yang umum pada
penduduk usia lanjut. Keluhan kesehatan yang paling tinggi adalah jenis keluhan akibat
penyakit kronis (32,99%), diantaranya keluhan seperti asam urat, darah tinggi, rematik, darah
rendah dan diabetes. Kemudian jenis keluhan yang juga banyak dialami lansia adalah batuk
(17,81%) dan pilek (11,75%).
Kendala yang dihadapi dalam penyelenggaraan posbindu lansia, antara lain:
1. Umumnya lansia tidak mengetahui keberadaan dan manfaat dari posbindu lansia.
2. Jarak rumah dengan lokasi posbindu lansia jauh atau sulit dijangkau. Jarak posbindu yang
dekat akan membuat lansia mudah menjangkau posbindu tanpa harus mengalami kelelahan
atau kecelakaan fisik karena penurunan daya tahan atau kekuatan fisik tubuh. Kemudahan
dalam menjangkau lokasi posbindu ini berhubungan dengan faktor keamanan atau
keselamatan bagi lansia.
3. Kurangnya dukungan keluarga untuk mengantar maupun mengingatkan lansia untuk datang
ke posbindu lansia. Dukungan keluarga sangat berperan dalam mendorong minat atau
kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan posbindu lansia. Keluarga bisa menjadi motivator
kuat bagi lansia apabila selalu menyediakan diri untuk mendampingi atau mengantar lansia ke
posbindu, mengingatkan lansia jika lupa jadwal posbindu, dan berusaha membantu mengatasi
segala permasalahan bersama lansia.
Keluarga, bagi lansia merupakan sumber kepuasan. Data yang diambil oleh Henniwati (2008)
terhadap lansia berusia 50, 60 dan 70 tahun di Kelurahan Jambangan, menyatakan mereka
ingin tinggal ditengah-tengah keluarga. Mereka tidak ingin tinggal di Panti Werdha. Para
lansia merasa bahwa kehidupan mereka sudah lengkap, yaitu sebagai orang tua dan juga
sebagai kakek dan nenek, akan tetapi keluarga juga dapat menjadi frustasi bagi lansia. Hal ini
terjadi jika ada hambatan komunikasi antara lansia dengan anak atau cucu, dimana perbedaan
faktor generasi memegang peranan.
Ada juga lansia yang mempunyai kemandirian yang tinggi untuk hidup sendiri karena
keinginan untuk hidup tanpa merepotkan orang lain.
4. Sikap yang kurang baik terhadap petugas posbindu. Penilaian pribadi atau sikap yang baik
terhadap petugas merupakan dasar atas kesiapan atau kesediaan lansia untuk mengikuti
kegiatan posbindu. Dengan sikap yang baik tersebut, lansia cenderung untuk selalu hadir atau
mengikuti kegiatan yang diadakan di posbindu lansia. Hal ini dapat dipahami karena sikap
seseorang adalah suatu cermin kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek. Kesiapan
merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara-cara tertentu apabila individu
dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya suatu respon.
5. Posbindu Lansia.
Petugas kesehatan harus mampu berkomunikasi dengan efektif, baik dengan individu atau
kelompok maupun masyarakat, petugas kesehatan juga harus dapat membina kerjasama
dengan semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan posbindu, serta untuk memantau
pertumbuhan dan perkembangan lansia pada hari buka posbindu yaitu penimbangan,
pengukuran tekanan darah, pencatatan/ pengisian KMS, penyuluhan dan pelayanan kesehatan
sesuai kewenangannya dan pemberian PMT, serta dapat melakukan rujukan jika diperlukan

Perencanaan dan pemilihan intervensi


Bentuk pelayanan pada posbindu lansia meliputi pemeriksaan kesehatan fisik dan mental
emosional, yang dicatat dan dipantau dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk mengetahui
lebih awal penyakit yang diderita atau ancaman masalah kesehatan yang dialami.
Beberapa kegiatan pada posbindu lansia adalah :
1) Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan dan
dicatat pada grafik indeks masa tubuh (IMT).
2) Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta penghitungan
denyut nadi selama satu menit.
3) Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit gula (diabetes
melitus).
4) Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi awal adanya
penyakit ginjal.
5) Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan dan atau ditemukan kelainan pada
pemeriksaan butir-butir diatas.
6) Penyuluhan Kesehatan, biasa dilakukan didalam atau diluar kelompok dalam rangka
kunjungan rumah dan konseling kesehatan dan gizi sesuai dengan masalah kesehatan yang
dihadapi oleh individu dan kelompok usia lanjut.
Selain itu banyak juga posbindu lansia yang mengadakan kegiatan tambahan seperti senam
lansia, pengajian, membuat kerajinan ataupun kegiatan silahturahmi antar lansia.Kegiatan
seperti ini tergantung dari kreasi kader posbindu yang bertujuan untuk membuat lansia
beraktivitas kembali dan berdisiplin diri.

Pelaksanaan
Posbindu Lansia diadakan di Kantor RW 10 pada tanggal 5 Februari 2020

Jumlah orang yang datang 24 orang


Riwayat Hipertensi 17 orang
Riwayat Dibetes Mellitus 3 orang
Riwayat Asam Urat 1 orang

Monitoring evaluasi
Penilaian keberhasilan pembinaan lansia melalui kegiatan pelayanan kesehatan di posbindu,
dilakukan dengan menggunakan data pencatatan, pelaporan, pengamatan khusus dan
penelitian. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari :
1. Meningkatnya sosialisasi masyarakat lansia dengan berkembangnya jumlah orang masyarakat
lansia dengan berbagai aktivitas pengembangannya
2. Berkembangnya jumlah lembaga pemerintah atau swasta yang memberikan pelayanan
kesehatan bagi lansia
3. Berkembangnya jenis pelayanan konseling pada lembaga
4. Berkembangnya jangkauan pelayanan kesehatan bagi lansia
5. Penurunan daya kesakitan dan kematian akibat penyakit pada lansia

Judul
Latar belakang
Proyeksi penduduk Indonesia 2010- 2035 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
peningkatan UHH saat lahir dari 69,8 tahun pada tahun 2010 menjadi 70,9 tahun pada tahun 2017
dan diperkirakan akan meningkat menjadi 72,4 pada tahun 2035 mendatang. Inilah yang disebut
transisi menuju struktur penduduk tua (ageing population). Sementara itu, berdasarkan data
Riskesdas tahun 2013, terjadi transisi epidemiologi dari penyakit menular ke peningkatan penyakit
tidak menular (PTM). Sehingga kaum lansia cenderung mempunyai penyakit yang multipatologis.
Suatu negara dikatakan berstruktur tua jika mempunyai populasi lansia di atas tujuh persen.
Persentase lansia di Indonesia tahun 2017 telah mencapai 9,03% dari keseluruhan penduduk. Hal ini
menunjukkan bahwa Indonesia termasuk Negara dengan struktur penduduk menuju tua (ageing
population). Tiga provinsi dengan persentase lansia terbesar adalah DI Yogyakarta (13,81%), Jawa
Tengah (12,59%) dan Jawa Timur (12,25%). Pada tahun 2015 angka kesakitan lansia sebesar 28,62%,
artinya bahwa dari setiap 100 orang lansia terdapat sekitar 28 orang diantaranya mengalami sakit.3
Berbagai upaya dilakukan penduduk untuk menjaga kesehatan lansia, baik oleh lansia yang sakit
secara mandiri maupun oleh keluarganya yang masih sehat. Upaya menjaga kesehatan yang dapat
dilakukan di antaranya adalah dengan berobat sendiri, berobat jalan, maupun rawat inap. Terdapat
banyak lansia yang tidak berobat jalan yaitu sebesar 27,84%, sebagian besar yang menjadi alasan
penduduk lansia tidak mau berobat jalan adalah tidak ada biaya sebesar 51,12%.
Sebagai upaya preventif dalam menindaklanjuti risiko penyakit tersebut, Kemenkes mendorong
percepatan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan lansia di fasilitas kesehatan. Namun hingga
tahun 2017, fasilitas pelayanan kesehatan atau puskesmas di Indonesia yang melaksanakan program
pengendalian terpadu (PANDU) penyakit tidak menular diketahui hanya sebesar 50% dari 9.808
puskesmas yang ada. Sedangkan jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
lanjut usia tercatat sebesar 2.432 puskesmas, namun hanya 24,84% saja yang masuk dalam kategori
pelayanan kesehatan santun lanjut usia. Kepedulian terhadap kesehatan lansia, merupakan
perwujudan memberikan jangkauan pelayanan lebih luas serta mewujudkan hak atas kesehatan bagi
semua sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Kerjasama lintas sektor terkait pembangunan pemahaman publik akan pentingnya hidup
sehat, diharapkan dapat mendukung langkah persiapan mencapai lansia yang sehat, mandiri, aktif,
dan produktif sejak beberapa generasi sebelumnya. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara medis
atau farmakologi melalui dokter dan tenaga medis lainnya, serta dengan cara nonfarmakologi. Cara
nonfarmakologi diantaranya yaitu dengan melakukan kegiatan latihan fisik olahraga yaitu senam
lansia. Olahraga pada lansia diwujudkan melalui serangkaian latihan olahraga tertentu yang
dilengkapi dengan upaya edukasi untuk membangun pemahaman tentang pentingnya hidup sehat
dan pencegahan penyakit pada lansia misalnya kolesterol, hipertensi, diabetes melitus yang dapat
mengarah ke penyakit berbahaya seperti jantung konorer dan stroke.
Permasalahan
Faktor risiko Penyakit Tidak Menular (PTM) berhubungan dengan perilaku tidak sehat seperti
merokok, kurang aktivitas fisik, diet kurang buah dan sayur sehingga diperlukan adanya upaya
pengendalian dan pencegahan PTM. Upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pencegahan PTM
pada lansia adalah dengan pembangunan pemahaman publik akan pentingnya hidup sehat melalui
kegiatan pemberian edukasi yang baik dan benar secara intensif serta latihan fisik olahraga ringan
memalui kegiatan senam lansia, karena secara tidak langsung senam dapat meningkatkan fungsi
jantung dan menurunkan tekanan darah serta mengurangi resiko penumpukan lemak pada dinding
pembuluh darah sehingga akan menjaga keelastisitasnya dan menurunkan risiko lansia menderita
PTM seperti hipertensi, kolesterol, diabetes melitus yang dapat mengarah ke penyakit berbahaya
seperti jantung konorer dan stroke. Kegiatan posyandu lansia di Desa Sepakung dilaksanakan
bersamaan dengan posyandu balita sehingga program penyehatan lansia di Desa Sepakung belum
dapat memberikan hasil maksimal. Masih ditemukan perilaku tidak sehat yang dapat menjadi faktor
risiko terjadinya penyakitr tidak menular pada masyarakat lansia Desa Sepakung diantaranya
merokok, kurangnya konsumsi buah dan sayur, dan kurangnya aktivitas fisik, serta terdapat lansia
penderita diabetes melitus, kolesterol, dan hipertensi. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam upaya pencegahan dan pengendalin kejadian
penyakit tidak menular di Desa Sepakung inisiasi praktik budaya hidup sehat dengan keikutsertaan
dalam program senam lansia yang dapat dilaksanakan bersamaan dengan jadwal posyandu lansia.
Perencanaan dan pemilihan intervensi

Senam ini memiliki gerakan dan kecepatan yang lebih lambat dibandingkan dengan
senam aerobik pada umumnya. Manfaat senam lansia antara lain meningkatkan jantung
agar dapat memompa oksigen melalui darah ke seluruh tubuh dengan lebih maksimal.
Setidaknya, melakukan gerakan senam ini selama 30 menit sehari, Anda telah
melakukan salah satu latihan yang dapat menunjang kondisi kesehatan Anda. Ditambah
lagi, melakukannya secara rutin 5 hari dalam seminggu akan mampu meningkatkan
energi para lansia.

Selain berbagai manfaat yang telah disebutkan, senam ini juga dapat mengurangi risiko
tekanan darah tinggi, penyakit jantung, dan diabetes serta yang paling penting
dapat meningkatkan suasana hati lansia. Ya, olahraga memang diketahui dapat
membantu melepaskan hormon bahagia, salah satunya adalah hormon dopamin.
American Council on Exercise juga menunjukkan bahwa senam lansia dapat membantu
meningkatkan daya ingat para orang tua.

Bukan hanya sekedar senam yang diiringi musik, menurut Livestrong, ada banyak jenis
program senam lansia yang tersedia dan sama-sama bermanfaat untuk meningkatkan
kebugaran fisik para orang tua. Jenis-jenis senam lansia bisa dipilih berdasarkan
kesukaan masing-masing, ada aerobik, senam salsa, senam jazz, dan bahkan ada senam
aerobik di bangku untuk lansia yang tidak bisa berdiri lama.

Namun sebelum memulai kelas senam, ada baiknya lansia mencoba terlebih dahulu
jenis-jenis senam. Setelahnya, barulah para lansia bisa memutuskan jenis senam mana
yang cocok dengan fisik dan kesukaannya. Apabila merasa tak nyaman untuk ikut kelas
dengan peserta yang banyak, para lansia juga dapat menggunakan DVD senam dan
melakukannya sendiri di rumah.

Pelaksanaan
Monitoring evaluasi
.Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari :
1. Meningkatnya sosialisasi masyarakat lansia dengan berkembangnya jumlah orang masyarakat
lansia dengan berbagai aktivitas pengembangannya
2.
3.
4.
5. Penurunan daya kesakitan dan kematian akibat penyakit pada lansia
Judul
Posyandu Balita di RW 11 Pos I
Latar belakang

Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat


(UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama
masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna memberdayakan
masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kesehatan dasar/sosial dasar untuk mempercepat penurunan Angka
Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi.

Posyandu yang terintegrasi adalah kegiatan pelayanan sosial dasar keluarga dalam
aspek pemantauan tumbuh kembang anak. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara
koordinatif dan integratif serta saling memperkuat antar program dan kegiatan untuk
kelangsungan pelayanan di Posyandu sesuai dengan situasi/kebutuhan lokal yang
dalam kegiatannya tetap memperhatikan aspek pemberdayaan masyarakat.

Posyandu merupakan wadah pemberdayaan masyarakat yang dibentuk melalui


musyawarah mufakat di desa/kelurahan dan dikelola oleh Pengelola Posyandu, yang
dikukuhkan dengan keputusan kepala desa/lurah.

Permasalahan
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan
2018 menunjukkan 17,7% bayi usia di bawah 5 tahun (balita) masih
mengalami masalah gizi. Angka tersebut terdiri atas balita yang mengalami
gizi buruk sebesar 3,9% dan yang menderita gizi kurang sebesar 13,8%.

Dibanding hasil Riskesdas 2013, bayi yang mengalami masalah gizi turun
seperti terlihat pada grafik di bawah ini. Sementara dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019, bayi yang
mengalami masalah gizi ditargetkan turun menjadi 17%. Adapun prevalensi
balita yang mengalami stunting (tinggi badan di bawah standar menurut usia)
sebesar 30,8%, turun dibanding hasil Riskesdas 2013 sebesar 37,2%.

Sebagai informasi, dalam 1.000 hari pertama (sejak janin dalam kandungan
hingga berusia dua tahun) kehidupan bayi merupakan usia emas bagi
tumbuh kembang anak. Sayangnya anak-anak yang seharusnya menjadi
harapan masa depan bangsa Indonesia masih banyak yang mengalami
masalah gizi (29,9%) di usia dini. Untuk, itu pemerintah menganggarkan dana
dalam APBN 2019 sebesar Rp 123,1 triliun guna meningkatkan akses dan
kualitas layanan kesehatan serta penguatan penanganan stunting.
Perencanaan dan pemilihan intervensi
Kegiatan Pokok Posyandu

 KIA
 KB
 Imunisasi
 Gizi
 Penanggulangan diare

Pada hari buka posyandu dilakukan pelayanan masyarakat dengan sistem 5


meja yaitu:

Meja I : Pendaftaran
Meja II : Penimbangan
Meja III : Pengisian KMS
Meja IV : Penyuluhan perorangan berdasarkan KMS
Meja V : Pelayanan kesehatan berupa:

 Imunisasi
 Pemberian vitamin A dosis tinggi.
 Pembagian pil KB atau kondom.
 Pengobatan ringan.
 Konsultasi KB.

Petugas pada meja I dan IV dilaksanakan oleh kader PKK sedangkan meja V
merupakan meja pelayanan medis.

Pelaksanaan
Posyandu Balita diadakan di RW 9 tanggal 9 Maret 2020.
Jumlah bayi diimunisasi 17 orang.
Imunisasi BCG 1 orang
Imunisasi Polio 1 1 orang
Imunisasi Polio 2 1 orang
Imunisasi Polio 3 2 orang
Imunisasi Polio 4 2 orang
Imunisasi DPT 2 2 orang
Imunisasi DPT 3 2 orang
Imunisasi DPT Lanjutan 4 orang
Imunisasi IPV 2 orang
Imunisasi MR 1 orang
Imunisasi MR Lanjutan 6 orang

Monitoring evaluasi
Keberhasilan posyandu tergambar melalui cakupan SKDN.
S : Semua balita di wilayah kerja posyandu.
K : Semua balita yang memiliki KMS.
D : Balita yang ditimbang.
N : Balita yang Berat Badannya naik
Keberhasilan Posyandu berdasarkan:

1. D Æ Baik/ kurangnya peran serta masyarakat.


2. N Æ Berhasil tidaknya program posyandu.

Judul Balai Pengobatan Umum Puskesmas Kelurahan Penjaringan II

Latar belakang
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan disatu atau sebagian wilayah kecamatan. Puskesmas
berperan di dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas kepada masyarakat dengan
melakukan berbagai upaya untuk memenuhi segala harapan, keinginan, dan kebutuhan serta mampu
memberikan kepuasan bagi masyarakat
Puskesmas sebagai upaya pelayanan kesehatan strata pertama meliputi pelayanan kesehatan
perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat dan kegiatan yang dilakukan puskesmas, selain dari
intern sendiri tetapi juga perlu peran serta masyarakat dalam pengembangan kesehatan terutama
dilingkungan masyarakat yang sangat mendasar, sehingga pelayanan kesehatan dapat lebih
berkembang.
Upaya kesehatan wajib dalam puskesmas yang biasa dikenal dengan “basic six” yang terakhir yaitu
tentang upaya pengobatan dasar yang ditujukan kepada semua penduduk, tidak membedakan jenis
kelamin dan golongan umur.

Permasalahan

Masalah kesehatan di Indonesia mengalami pergeseran dari beberapa


dekade lalu yang diakibatkan oleh penyakit menular, kini menjadi penyakit
tidak menular.Selain itu, pergeseran penderita penyakit juga terjadi yang
tadinya banyak diidap saat masa tua, kini mulai menghantui orang-orang
muda.Beberapa penyakit mematikan pada era 90-an, seperti infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA), turbekulosis, dan diare kini sudah
digantikan oleh penyakit, seperti diabetes, stroke, penyakit jantung, dan
penyakit kardiovaskular lainnya.

Perencanaan dan pemilihan intervensi


Pelaksanaan perawatan kesehatan masyarakat dilakukan melalui beberapa tahapan yang
mencakup dalam proses keperawatan dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah
(problem solving approach) yang dinamis dalam memperbaiki dan memelihara kesehatan
individu, keluarga, kelompok, dan mesyarakat sampai ke tahap optimum melalui suatu
pendekatan yang sistematis untuk mengenal masalah kesehatan dan keperawatan serta
membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.
Target dari pengobatan dasar pada suatu puskesmas adalah memberikan pelayanan
kesehatan pada masyarakat sesuai dengan program pemerintah dalam keputusan menteri
kesehatan republik Indonesia nomor : 296/menkes/sk/iii/2008 tentang pedoman pengobatan
dasar di puskesmas menteri kesehatan republik indonesia.
Untuk melaksanakan praktek perawatan kesehatan masyarakat dengan berhasil guna
dan berdaya guna, diperlukan berbagai strategi yang ditempuh, terutama yang menyangkut
tenaga, pengelolaan dan partisipasi masyarakat secara aktif melalui pengetahuan dan
keterampilan, kemampuan manajemen, kerja sama lintas program dan lintas sektoral, dan
membantu masyarakat mulai dari tahap indikasi masalah perencanaan, pelaksanaan dan
penilaian, serta pembinaan keluarga binaan atau masyarakat binaan dan mengadakan
kordinasi.
Secara umum alur pelayanan pasien di Puskesmas adalah sebagai berikut :
1. Pasien berkunjung ke puskesmas, ada beberapa Puskesmas yang menyediakan nomer antrian
baik berupa kertas bertuliskan nomer urut atau yang sudah digital. Namun ada juga puskesmas
yang percaya pada kesadaran pasien sendiri untuk antri sehingga tidak perlu menyerobot urutan
Pasien lainnya.
2. Pasien dipanggil sesuai nomor urutan untuk didaftar di loket pendaftaran. Pada proses ini,
dicatat nomer Rekam Medis Pasien atau dibuatkan nomer rekam medis untuk Pasien yang baru
pertama kali berkunjung.
3. Pasien menunggu sementara petugas akan mencari Rekam Medis Pasien yang bersangkutan di
ruang catatan medis, untuk diberikan ke unit Pelayanan atau Poli dimana tempat Pasien ingin
berobat.
4. Pasien dipanggil oleh petugas bisa juga oleh perawat.
5. Pasien diperiksa, dicatat Anamnesis, Terapi, Diagnosa dan lain-lain, termasuk obat yang
diberikan dan tindakan medis kalau ada.
6. Pasien keluar, sementara dari unit pelayanan membuat resep untuk diberikan ke ruang obat.
7. Pasien dipanggil untuk membayar (di beberapa daerah sudah gratis), kemudian dipanggil lagi
untuk menerima obat.
8. Pasien pulang.
Pelaksanaan
Balai Pengobatan Umum di Puskesmas Kelurahan Penjaringan II tanggal 2 Maret 2020

Monitoring evaluasi
Pengaduan dan keluhan pasien terkait dengan pelayanan upaya bengobatanumum dilaporkan kepada
Tim Mutu Puskesmas Kelurahan Penjaringan. Sasaran mutu upaya
pengobatan umum ditetapkan oleh Tim Mutu Puskesmas dan dipantau melalui monitoring dan
evaluasi pelaksanaan. Pencapaian sasaran mutu dibahas dalam rapat tinjauan manajemen dan
dilaporkan kepada Kepala Puskesmas. Setiap adanyakesalahan dalam upaya pelayanan pengobatan
umum dilaporkan kepada Tim Mutu Puskesmas Kelurahan Penjaringan.
Judul
Skrining Berkala

Latar belakang
Skrining berkala merupakan salah satu bentuk dari
pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk mendeteksi dini
siswa yang memiliki masalah kesehatan agar segera
mendapatkan penanganan sedini mungkin. Penjaringan
kesehatan dilakukan pada peserta didik kelas 1 SD, kelas 7
SMP/MTs dan Kelas 10 SMA/SMK/MA yang meliputi
pemeriksaan kebersihan perorangan (rambut, kulit dan kuku)
pemeriksaan status gizi melalui pengukuran antropometri,
pemeriksaan ketajaman indera (penglihatan dan
pendengaran), pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut,
pemeriksaan laboratorium untuk anemia dan kecacingan,
dan pengukuran kebugaran jasmani. Selain itu pada peserta
didik di tingkat SMP/MTs dan SMA/SMK/MA juga dilakukan
skrining melalui kuisioner mengenai keadaan kesehatan
umum, kesehatan mental remaja, intelegensia dan
reproduksi melalui self assessment serta bahan
edukasi/konseling.

Permasalahan
Anak usia sekolah baik tingkat pra sekolah, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan
Sekolah menengah Atas adalah suatu masa usia anak yang sangat berbeda dengan usia dewasa. Di
dalam periode ini didapatkan banyak permasalahan kesehatan yang sangat menentukan kualitas
anak di kemudian hari. Masalah kesehatan tersebut meliputi kesehatan umum, gangguan
perkembangan, gangguan perilaku dan gangguan belajar. Permasalahan kesehatan tersebut pada
umumnya akan menghambat pencapaian prestasi pada peserta didik di sekolah. Sayangnya
permasalahan tersebut kurang begitu diperhatikan baik oleh orang tua atau para klinisi serta
profesional kesehatan lainnya. Pada umumnya mereka masih banyak memprioritaskan kesehatan
anak balita.
Permasalahan perilaku kesehatan pada anak usia TK dan SD biasanya berkaitan dengan kebersihan
perorangan dan lingkungan seperti gosok gigi yang baik dan benar, kebiasaan cuci tangan pakai
sabun, kebersihan diri. Pada anak usia SLTP dan SMU (remaja), masalah kesehatan yang dihadapi
biasanya berkaitan dengan perilaku berisiko seperti merokok, perkelahian antar pelajar,
penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya), kehamilan yang tak
diingini, abortus yang tidak aman, infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS.
Permasalahan lain yang belum begitu diperhatikan adalah masalah gangguan perkembangan dan
perilaku pada anak sekolah. Gangguan perkembangan dan perilaku pada anak sekolah sangat
bervariatif. Bila tidak dikenali dan ditangani sejak dini, gangguan ini akan mempengaruhi prestasi
relajar dan masa depan anak. Selanjutnya akan divas tentang permaslahan kesehatan anak usia
sekolah di anatarnya adalah penyakit menular, penyakit non infeksi, gangguan pertumbuhan,
gangguan perkembangan dan perilaku.

Perencanaan dan pemilihan intervensi

 Pemeriksaan Kesehatan yang diisi oleh tenaga Puskesmas/Guru/Kader


Kesehatan Sekolah yang terdiri dari:

1. Status Gizi

2. Tanda vital (tekanan darah,frekuensi nadi,frekuensi pernapasan dan Suhu)

3. Kebersihan Diri

4. Kesehatan indera penglihatan

5. Kesehatan indera pendengaran

6. Kesehatan Gigi dan Mulut

7. Kebugaran Jasmani
Pra Penjaringan/pemeriksaan berkala.

1. Penjelasan penjaringan kesehatan

2. Pembagian formulir persetujuan orang tua/wali

3. Pembagian koesioner riwayat kesehatan ,imunisasi,gaya hidup,kesehatan


mental,kesehatan intelegensia,kesehatan reproduksi

Guru dan Kader Kesehatan


1. Pengumpulan persetujuan orang tuia/wali

2. Pengumpulan koesioner/buku
rapor kesehatanku

3. Penilaian scoring gaya hidup,kesehatan reproduksi,kesehatan integfensia dan


kesehatan mental emosional

4. Pemeriksaan kebersihan diri

5. Pengukuran TB dan BB

6. Mencatat hasil pemeriksaan

7. pada formulir pemeriksaan/buku rapor kesehatanku


Tenaga Kesehatan I

1. Pemeriksaan tanda vital

2. Pemeriksaan mata

3. Pemeriksaan telinga

4. Menyimpilkan hasil pemeriksaan (kebersihan pribadi,gizi,tanda vital,mata dan


telinga)

5. Mencatatkan hasil pemeriksaan,kesimpulan dan tindaklanjut pada formulir


pemeriksaan/buku rapor kesehatanku

Tenaga kesehatan II

1. Pemeriksaan kesehatan gigi

2. Menyimpan hasil pemeriksaan


Mencatatkan hasil pemeriksaan,kesimpulan dan tindak lanjut pada formulir
pemeriksaan/buku rapor kesehatanku

Pelaksanaan
Skrining Berkala di SMK Wijaya Kusuma tanggal 8 Februari 2020

Monitoring evaluasi
Monitoring dilakukan dengan cara:
a. pemeriksaan dokumen (instrumen monev),
b. pengamatan (observasi), dan
c. wawancara.
Dalam pelaksanaan monitoring penjaringan data dan informasi dilakukan dengan wawancara dan
pengamatan yang selanjutnya dicatat pada instrumen penilaian.

Unsur – unsur yang dievaluasi


a. Perubahan tingkah laku kebiasaan hidup sehari-hari dan ketrampilan dalam melaksanakan prinsip
pola hidup bersih dan sehat
b. Kemampuan hidup bersih dan sehat serta derajat kesehatan yang telah terjadi pada peserta didik
karena adanya pelayanan kesehatan di sekolah
c. Perubahan lingkungan sekolah menjadi bersih dan sehat
d. Tingkat keberhasilan kegiatan pembina dan pengelolaan program SD Bersih Sehat
6. Prinsip-prinsip Evaluasi
a. Menyeluruh (meliputi seluruh komponen program SD Bersih Sehatmulai dari perencanaan,
proses serta hasil pelaksanaan, yang merupakan satu kesatuan
b. Berkesinambungan (secara bertahap sesuai dengan kebutuhan, fungsi dan tanggung jawab
pelaksanaan program)
c. Objektif, berdasarkan kriteria yang jelas sesuaipedoman pelaksanaan SD Bersih Sehat
d. Hasil evaluasi dapat digunakan sebagai penghargaan bagi yang berhasil, dan merupakan
pendorong bagi yang belum berhasil

Judul
Latar belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus Dengue yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang ditandai dengan demam mendadak, sakit kepala, nyeri
belakang bola mata, mual dan manifestasi perdarahan seperti uji tourniquet (rumple lead) positif, bintik-bintik
merah di kulit (petekie), mimisan, gusi berdarah dan lain sebagainya.
Sampai saat penyakit Arbovirus, khususnya DBD ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Kerugian sosial yang terjadi antara lain karena menimbulkan
kepanikan dalam keluarga, kematian anggota keluarga dan berkurangnya usia harapan hidup masyarakat.
Dampak ekonomi langsung adalah biaya pengobatan yang cukup mahal, sedangkan dampak tidak langsung
adalah kehilangan waktu kerja dan biaya lain yang dikeluarkan selain pengobatan seperti transportasi dan
akomodasi selama perawatan di rumah sakit.
Faktor-faktor yang berperan terhadap peningkatan kasus DBD antara lain kepadatan vektor, kepadatan penduduk
yang terus meningkat sejalan dengan pembangunan kawasan pemukiman, urbanisasi yang tidak terkendali,
meningkatnya sarana transportasi (darat, laut dan udara), perilaku masyarakat yang kurang sadar terhadap
kebersihan lingkungan, serta perubahan iklim (climate change).
Pengendalian penyakit Deman Berdarah Dengue (DBD) telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
581/MENKES/SK/VII/1992 tentang Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah dan Keputusan Menteri Kesehatan
nomor 92 tahun 1994 tentang perubahan atas lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
581/ MENKES/SK/1992, dimana menitikberatkan pada upaya pencegahan dengan gerakan pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) selain penatalaksanaan penderita DBD dengan memperkuat kapasitas pelayanan
kesehatan dan sumber daya, memperkuat surveilans epidemiologi dan optimalisasi kewaspadaan dini terhadap
Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD. Manajemen pengendalian vektor secara umum diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 374/MENKES/PER/III/2010 tentang Pengendalian Vektor.
Mengingat obat dan untuk mencegah virus Dengue hingga saat ini belum tersedia, maka cara utama yang
dapat dilakukan sampai saat ini adalah dengan pengendalian vektor penular (Aedes aegypti). Pengendalian
vektor ini dapat dilakukan dengan pelaksanaan kegiatan PSN 3M Plus.
Upaya pemberdayaan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan PSN 3M Plus (menguras, menutup tempat
penampungan air dan mendaur-ulang / memanfaat kembali barang-barang bekas) serta ditambah (Plus) seperti :
menaburkan larvasida pembasmi jentik, memelihara ikan pemakan jentik, mengganti air dalam pot/vas bunga dan
lain-lain. Upaya ini melibatkan lintas program dan lintas sektor terkait melalui wadah Kelompok Kerja Operasional
Demam Berdarah Dengue (Pokjanal DBD) dan kegiatan Juru Pemantau Jentik (Jumantik). Olehkarena itu untuk
meningkatkan keberhasilan pengendalian
DBD dan mencegah terjadinya peningkatan kasus atau KLB, maka diperlukan adanya Juru Pemantau
Jentik (Jumantik) dalam melakukan pengawasan dan penyuluhan kepada masyarakat agar melakukan PSN
dengan 3M plus.

Permasalahan
Setiap tahun, kedatangan musim hujan hampir selalu dibarengi dengan
merebaknya berbagai penyakit infeksi, situasi sama kita alami di awal tahun
2019 ini. Salah satu penyakit infeksi yang seringkali mengancam adalah
Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
ini menjadi masalah serius bagi kesehatan global karena mempengaruhi
sekitar 2,5 milyar penduduk dunia yang tinggal di daerah tropis dan subtropis.
Data dari World Health Organization (WHO) mencatat sebanyak 50 – 100 juta
infeksi terjadi di lebih dari 100 negara setiap tahunnya, dengan kecenderungan
meningkat. Kondisi faktual di lapangan lebih mengkhawatirkan akibat
banyaknya kejadian yang tidak dilaporkan. Diperkirakan bahwa beban global
akibat dengue dapat mencapai lebih dari tiga (3) kali lipat data di atas dan
menimbulkan kerugian signifikan bagi segi kesehatan maupun ekonomi.
Kondisi tersebut diperparah dengan belum adanya obat antivirus, walaupun
sudah ada vaksin dengue yang tersedia komersial dan beberapa kandidat
vaksin lainnya sedang dalam tahap pengujian klinis.

Infeksi virus dengue melibatkan manusia sebagai pejamu (host) dan nyamuk
sebagai pembawa/vektor dalam suatu siklus transmisi/penyebaran manusia –
nyamuk – manusia. Interaksi yang terjadi antara virus dengue, pejamu, dan
vektor terbukti sangat kompleks dan menimbulkan problematika dalam upaya
pencegahan dan penanganannya. Setiap faktor berkontribusi terhadap sulitnya
pemahaman menyeluruh terhadap penyakit ini selama kurang lebih 7 dekade
ini. Dalam tulisan ini, diulas secara singkat kontribusi setiap faktor terhadap
penyakit dan perkembangan terkini dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan DBD.

Perencanaan dan pemilihan intervensi


Pelaksanaan PE sebagai berikut :
a) Petugas Puskesmas memperkenalkan diri dan selanjutnya melakukan wawancara dengan keluarga,
untuk mengetahui ada tidaknya penderita infeksi dengue lainnya (sudah ada konfirmasi dari RS atau
unit yankes lainnya), dan penderita demam saat itu dalam kurun waktu 1 minggu sebelumnya.
b) Bila ditemukan penderita demam tanpa sebab yang jelas, dilakukan pemeriksaan kulit (petekie), dan
uji torniquet untuk mencari kemungkinan adanya suspek infeksi dengue.
c) Melakukan pemeriksaan jentik pada tempat penampungan air (TPA) dan tempat-tempat lain yang
dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk aedes baik di dalam maupun di luar
rumah/bangunan.
d) Kegiatan PE dilakukan dalam radius 100 meter dari lokasi tempat tinggal penderita.
e) Bila penderita adalah siswa sekolah dan pekerja, maka selain dilakukan di rumah penderita tersebut,
PE juga dilakukan di sekolah/tempat kerja penderita.
Hasil pemeriksaan adanya penderita infeksi dengue lainnya dan hasil pemeriksaan terhadap penderita
suspek infeksi dengue dan pemeriksaan jentik dicatat dalam formulir PE (Lampiran 1).
g) Hasil PE segera dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang (Lampiran 2),
untuk tindak lanjut lapangan dikoordinasikan dengan Kades/Lurah setempat (Lampiran 3).
h) Bila hasil PE positif (Ditemukan 1 atau lebih penderita infeksi dengue lainnya dan/atau >3 penderita
suspek infeksi dengue, dan ditemukan jentik (>5%), dilakukan penanggulangan fokus (fogging fokus,
penyuluhan PSN 3M Plus dan larvasida selektif, sedangkan bila negatif dilakukan PSN 3M Plus,
larvasida selektif dan penyuluhan

Pelaksanaan
Monitoring evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat kelurahan/desa sampai ke pusat
yang menyangkut pelaksanaan pengendalian DBD, dimulai dari input, proses, output dan outcome
yang dicapai pada setiap tahun. Untuk kepentingan praktis, ruang lingkup penilaian tersebut secara
sederhana dapat dibedakan menjadi empat kelompok saja yakni : penilaian terhadap masukan,
proses, keluaran dan dampak. Penilaian terhadap masukan (input) ini ialah yang menyangkut
pemanfaatan berbagai sumber daya, baik sumber dana, tenaga dan ataupun sumber sarana. Penilaian
terhadap proses (process) lebih dititik beratkan pada pelaksanaan program, apakah sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan atau tidak. Proses yang dimaksudkan disini mencakup semua tahap
administrasi, mulai tahap perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan program. Penilaian
terhadap keluaran (output) ialah penilaian terhadap hasil yang dicapai dari dilaksanakannya suatu
program. Penilaian terhadap dampak (impact) program mencakup pengaruh yang ditimbulkan dari
dilaksanakannya suatu program.
Judul
Latar belakang
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, besaran masalah gizi pada balita di Indonesia
yaitu 19,6% gizi kurang, diantaranya 5,7% gizi buruk; gizi lebih 11,9%, stunting (pendek) 37,2%.
Proporsi gemuk menurut kelompok umur, terdapat angka tertinggi baik pada balita perempuan dan
laki-laki pada periode umur 0-5 bulan dan 6-11 bulan dibandingkan kelompok umur lain. Hal ini
menunjukkan bahwa sampai saat ini masih banyak masyarakat khususnya ibu balita yang mempunyai
persepsi tidak benar terhadap balita gemuk. Data masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium
(GAKI) berdasarkan hasil survei nasional tahun 2003 sebesar 11,1% dan menurut hasil Riskesdas
2013, anemia pada ibu hamil sebesar 37,1%.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan tujuan perbaikan gizi adalah
untuk meningkatkan mutu gizi perorangan dan masyarakat. Mutu gizi akan tercapai antara lain melalui
penyediaan pelayanan kesehatan yang bermutu dan profesional di semua institusi pelayanan
kesehatan. Salah satu pelayanan kesehatan yang penting adalah pelayanan gizi di Puskesmas, baik
pada Puskesmas Rawat Inap maupun pada Puskesmas Non Rawat Inap. Pendekatan pelayanan
gizi dilakukan melalui kegiatan spesifik dan sensitif, sehingga peran program dan sector terkait harus
berjalan sinergis. Pembinaan tenaga kesehatan/tenaga gizi puskesmas dalam pemberdayaan
masyarakat menjadi hal sangat penting.
Puskesmas merupakan penanggung jawab penyelenggara upaya kesehatan tingkat pertama. Untuk
menjangkau seluruh wilayah kerjanya, Puskesmas diperkuat dengan Puskesmas Pembantu,
Puskesmas Keliling, dan Upaya Kesehatanan Berbasis Masyarakat (UKBM) yang disebut sebagai
Puskesmas dan jejaringnya. Sedangkan untuk daerah yang jauh dari sarana pelayanan rujukan,
didirikan Puskesmas Rawat Inap. Menurut data dari Pusat Data dan Informasi, Kementerian
Kesehatan per Desember tahun 2011 jumlah Puskesmas di seluruh Indonesia adalah 9.321
unit,diantaranya 3.025 unit Puskesmas Rawat Inap, dan selebihnya yaitu 6.296 unit Puskesmas Non
Rawat Inap. Puskesmas dan jejaringnya harus membina Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat.
Pelayanan gizi di Puskesmas terdiri dari kegiatan pelayanan gizi di dalam gedung dan di luar gedung.
Pelayanan gizi di dalam gedung umumnya bersifat individual, dapat berupa pelayanan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Kegiatan di dalam gedung juga meliputi perencanaan program
pelayanan gizi yang akan dilakukan di luar gedung. Sedangkan pelayanan gizi di luar gedung
umumnya pelayanan gizi pada kelompok dan masyarakat dalam bentuk promotif dan preventif. Dalam
pelaksanaan pelayanan gizi di Puskesmas, diperlukan pelayanan yang bermutu, sehingga dapat
menghasilkan status gizi yang optimal dan mempercepat proses penyembuhan pasien. Pelayanan gizi
yang bermutu dapat diwujudkan apabila tersedia acuan untuk melaksanakan pelayanan gizi yang
bermutu sesuai dengan 4 pilar dalam Pedoman Gizi Seimbang (PGS).

Permasalahan
Terdapat banyak faktor yang menimbulkan masalah gizi. Faktor tersebut terdiri dari faktor
langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung adalah kurangnya asupan makanan dan
penyakit infeksi. Seseorang yang asupan makanannya kurang akan mengakibatkan
rendahnya daya tahan tubuh sehingga dapat memudahkan untuk sakit.
Kekurangan asupan makanan dapat disebabkan karena ketidaktersediaannya pangan
sehingga tidak ada makanan yang dikonsumsi. Penyakit infeksi disebabkan oleh kurangnya
pelayanan kesehatan pada masyarakat dan keadaan lingkungan yang tidak sehat.
Di negara berkembang secara ekonomi dan kctersediaan makanan tinggi, biasanya masalah
gizi akan menurun sedangkan masalah kesehatan kronis seperti penyakit jantung, diabetes
dan hipertensi cenderung meningkat. Peningkatan tersebut sangat berhubungan erat
dengan kegemukan (obesitas), tingginya asupan lemak jenuh, rendahnya asupan sayur dan
buah, serta rendahnya aktivitas fisik.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), menunjukkan prevalensi gizi kurang
pada balita 19,6% (tahun 2013). Namun secara nasional pada tahun 2013, prevalensi kurus
dan sangat kurus masih cukup tinggi yaitu masing-masing 12,1% dan 5,3%. Adapun masalah
tubuh pendek atau stunting pada balita di Indonesia saat ini masih cukup serius sekitar
37,2%, Untuk prevalensi bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) sekitar 10,2%. Untuk
masalah kegemukan pada anak usia 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8%,
Sedangkan prevalensi kegemukan pada remaja usia 13-15 tahun di Indonesia sebesar 10.8%,
Prevalensi kegemukan pada remaja usia 16 hingga 18 tahun sebanyak 7,3% Prevalensi usia
dewasa (>18tahun) dengan berat badan lebih 13,5% dan kegemukan 15,4%,
Teori lain menyebutkan, masalah gizi terjadi akibat pengaruh faktor penjamu, penyebab
(agen) dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut harus seimbang karena apabila tidak hanya
akan menimbulkan masalah gizi.

Perencanaan dan pemilihan intervensi


Pelayanan gizi rawat jalan merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi:
Pengkajian gizi
b.Penentuan diagnosis gizi
Intervensi gizi
Monitoring dan evaluasi asuhan gizi
Tahapan pelayanan gizi rawat jalan diawali dengan skrining/penapisan gizi oleh tenaga kesehatan di
Puskesmas untuk menetapkan pasien berisiko masalah gizi.
Apabila tenaga kesehatan menemukan pasien berisiko masalah gizi maka pasien akan dirujuk untuk
memperoleh asuhan gizi, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Pengkajian Gizi
Tujuan: mengidentifikasi masalah gizi dan faktor penyebab melalui
pengumpulan, verifikasi dan interpretasi data secara sistematis. Kategori data pengkajian gizi meliputi:
(a) Data Antropometri
Pengukuran Antropometri dapat dilakukan dengan berbagai cara
meliputi pengukuran Tinggi Badan (TB)/Panjang Badan (PB) dan Berat Badan (BB), Lingkar Lengan
Atas (LiLA), Lingkar Kepala, Lingkar Perut, Rasio Lingkar Pinggang Pinggul (RLPP), dll
(b) Data Pemeriksaan Fisik/Klinis
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan klinis yang berhubungan dengan
gangguan gizi. Pemeriksaan fisik meliputi tanda-tanda klinis kekurangan gizi atau kelebihan gizi
seperti rambut, otot, kulit, baggy pants, penumpukan lemak dibagian tubuh tertentu, dll.
(c) Data Riwayat Gizi
Ada dua macam pengkajian data riwayat gizi pasien yang umum digunakan yaitu secara pengkajian
riwayat gizi kualitatif dan kuantitatif:
(1) Pengkajian riwayat gizi secara kualitatif dilakukan untuk
memperoleh gambaran kebiasaan makan/pola makan sehari berdasarkan frekuensi konsumsi
makanan.
(2) Pengkajian gizi secara kuantitatif dilakukan untuk mendapatkan
gambaran asupan zat gizi sehari, dengan cara recall 24 jam, yang dapat diukur dengan
menggunakan bantuan food model.
(d) Data Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Data hasil pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan biokimia darah
terkait gizi dalam rangka mendukung diagnosis penyakit serta menegakkan diagnosis gizi pasien/klien.
Hasil pemeriksaan laboratorium ini dilakukan juga untuk menentukan intervensi gizi dan
memonitor/mengevaluasi terapi gizi. Contoh data hasil pemeriksaan laboratorium terkait gizi yang
dapat digunakan misalnya kadar gula darah, kolesterol, LDL, HDL, trigliserida, ureum, kreatinin, dll.

2) Penentuan Diagnosis Gizi


Diagnosis gizi spesifik untuk masalah gizi yang bersifat sementara sesuai dengan respon pasien.
Dalam melaksanakan asuhan gizi, tenaga gizi puskesmas seharusnya bisa menegakkan diagnosis gizi
secara mandiri tanpa meninggalkan komunikasi dengan profesi lain di puskesmas dalam memberikan
layanan.
Tujuan diagnosis gizi adalah mengidentifikasi adanya masalah gizi, factor
penyebab, serta tanda dan gejala yang ditimbulkan. Untuk mengetahui ruang
lingkup diagnosis gizi dapat merujuk pada Buku Pedoman Proses Asuhan
Gizi Terstandar, Kementerian Kesehatan RI, 2014 atau di Buku Pedoman Asuhan Gizi di
Puskesmas, WHO dan Kementerian Kesehatan RI, 2011.

3) Pelaksanaan Intervensi Gizi


Intervensi gizi adalah suatu tindakan yang terencana yang ditujukan untuk mengubah perilaku gizi,
kondisi lingkungan, atau aspek status kesehatan individu.
Intervensi gizi dalam rangka pelayanan gizi rawat jalan meliputi:
(a) Penentuan jenis diet sesuai dengan kebutuhan gizi individual.
Jenis diet disesuaikan dengan keadaan/penyakit serta kemampuan pasien/ klien untuk menerima
makanan dengan memperhatikan pedoman gizi
seimbang (energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, air, dan serat), faktor aktifitas,
faktor stres serta kebiasaan makan/pola makan. Kebutuhan gizi pasien ditentukan berdasarkan status
gizi, pemeriksaan klinis, dan data laboratorium.
(b) Edukasi Gizi
Edukasi gizi bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan terkait perbaikan gizi dan
kesehatan.
(c) Konseling Gizi
Konseling yang diberikan sesuai kondisi pasien/klien meliputi
konseling gizi terkait penyakit, konseling ASI, konseling Pemberian
Makan Bayi dan Anak (PMBA), konseling aktivitas fisik, dan konseling
faktor risiko Penyakit Tidak Menular (PTM). Tujuan konseling adalah untuk mengubah perilaku dengan
cara meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai masalah gizi yang dihadapi.

Pelaksanaan
Pelayanan Gizi di Puskesmas Kelurahan Penjaringan II tanggal 17 Februari 2020

Monitoring evaluasi
Setelah rangkaian proses asuhan gizi yang dimulai dari pengkajian gizi, penentuan diagnosis gizi, dan
pelaksanaan intervensi gizi, kegiatan
berikutnya adalah monitoring evaluasi asuhan gizi. Kegiatan utama dari monitoring dan evaluasi
asuhan gizi adalah memantau pemberian intervensi gizi secara berkesinambungan untuk menilai
kemajuan penyembuhan dan status gizi pasien. Hal-hal yang dimonitoring dan evaluasi dalam asuhan
gizi rawat inap antara lain:
1) Perkembangan data antropometri
2) Perkembangan data hasil pemeriksaan laboratorium terkait gizi
3) Perkembangan data pemeriksaan fisik/klinis
4) Perkembangan asupan makan termasuk daya terima makanan
5) Perkembangan diagnosis gizi
6) Perubahan perilaku dan sikap
7) Perubahan diet
Pemantauan tersebut mencakup antara lain respon pasien terhadap diet yang
diberikan, bentuk makanan, toleransi terhadap makanan yang diberikan,
adanya mual, mutah, keadaan klinis, defekasi, perubahan data laboratorium,
dll. Tindak lanjut yang dilaksanakan berdasarkan kebutuhan sesuai dengan
hasil evaluasi asuhan gizi antara lain perubahan diet, yang dilakukan dengan
mengubah preskripsi diet sesuai perkembangan kondisi pasien.

Judul
Latar belakang
Permasalahan
Perencanaan dan pemilihan intervensi
Pelaksanaan
Monitoring evaluasi

Anda mungkin juga menyukai