AMERIKA
(Proposal Penelitian Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Amerika)
Dosen Pengampu : Alfian S.Pd.,M.Pd
Disusun Oleh :
Aldi Muqhtada (2106101020040)
Amira Sabrina (2106101020033)
Cut Ratu Shaharani (2106101020032)
Fara Nurtadila (2106101020051)
Ulfa Magfirah (2106101020034)
Risa Ramadani (2106101020042)
1
Awani Yamora Masta, “United States Foreign Policy: Peace Agreement with the Taliban in 2020,” Society 10, no. 2
(2022): 289–300.
2
B O Y Anugerah and Jabinson Purba, “TALIBAN DAN SIGNIFIKANSINYA TERHADAP GEOPOLITIK GLOBAL
Afghanistan ’ s Political and Security Conditions under Taliban ’ s Regime and Its Significances to Global
Geopolitics,” Jurnal Kajian Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia 9, no. 1 (2021).
Tahun 2003 hingga 2005 AS tetap mempertahankan komitmennya dengan melakukan
operasi militer lainnya di Afganistan. Namun pada 2006 Amerika Serikat mengalihkan fokusnya
untuk melakukan invasi di Irak. Melemahnya fokus AS dimanfaatkan oleh Taliban untuk
mengambil alih kekuasaan di beberapa wilayah Afganistan bagian Selatan dan Timur. Strategi
yang dilakukan Taliban adalah penyerangan di post pemerintah dan militer juga memaksimalkan
strategi griliya. Amerika Serikat yang mengetahui kebangkitan Taliban kemudian meningkatkan
kapabilitas militer. Laporan Council on Foreign Relations (2020) dengan tulisan “Timeline U.S
War Afganistan”, melaporkan bahwa pada tahun 2009 total pasukan Amerika Serikat yang
menjadi satuan militer di Afganistan adalah 68.000 pasukan. Amerika Serikat kemudian
melanjutkan operasi militer melalui Khanjar Panther’s Claw Operation dengan bantuan pasukan
koalisi ISAF-NATO. Serangan tersebut ternyata tidak melemahkan kedudukan Taliban. Taliban
memberikan serangan balik melalui Foladi Jal operation (Eurotrib, 2009). Operasi kemudian
berlanjut sampai tahun 2010 untuk menangkal kebangkitan Taliban melalui Moshtarak &
Kandahar Operation3.
Demokratisasi di Afghanistan dapat dikatakan dimulai pada saat rezim Taliban berhasil
dijatuhkan, November 2001. Namun, Taliban baru secara resmi menyerah pada Januari 2002.
Pada saai itu tujuh pejabat tinggi Taliban yang menyerahkan diri di Kandahar dibebaskan oleh
pemerintah interim Afghanistan. Dari sisi lain kehidupan berdemokrasi di Afghanistan, satu hal
penting yang harus diperhatikan adalah kebebasan rakyat Afganistan untuk mengekspresikan diri
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun, ternyata kebebasan itu tidak selalu berdampak
positif, sejak Kabul dan Taliban jatuh, rok mini, film, minuman keras mulai bisa ditemukan
secara bebas di Afghanistan. Bahkan pencurian saja jarang ditemukan karena takut sanksi
hukumnya. Setelah Amerika Serikat masuk, semuanya menjadi lain (Arifin, 2008).
Invasi yang dilakukan oleh Amerika juga menyasar terhadap warga sipil, hasilnya banyak
kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang yang terjadi di sana. Invasi tersebut banyak
mengakibatkan kerugian harta benda bahkan korban jiwa, yaitu warga sipil Afghanista yang
tidak sengaja terlibat dan menjadi sasaran empuk militer Amerika. Banyak kejahatan dan
pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan bersenjata Amerika saat melakukan invasi ke
Afghanistan, salah satu contohnya adalah penyiksaan terhadap tawanan perang. Melihat semua
hal tersebut tentunya sangat melanggar ketentuan hukum yang di peganga oleh masyarakat
internasional, yaitu ketentuan hukum humaniter internasional, militer Amerika dituduh bersalah
oleh ICC karena melakukan interogasi tawanan perang secara tidak manusiawi, penyiksaan, dan
perlakuan eksperimen biologis pada tahanan perang yang dilakukan di wilayah Afghanistan
(Justin, 2019).
Selain memberikan dampak negatif, invasi yang dilakukan oleh Amerika terhadap
Afghanistan dengan menjatuhkan kekuasaan Taliban pada 2001 juga membawa dampak positif,
dimana kesejahteraan para perempuan meningkat pesat, meski peningkatan ini parsial dan rapuh.
4
Terhadap Proses and Demokrasi Di, “Program Studi Pemikiran Politik Islam” (2008).
Perempuan sekarang memengang posisi sebagai duta besar, Menteri, gubernur, anggota polisi,
dan pasukan keamanan. Pada 2003, pemerintahan baru turut mengesahkan Konvensi PBB
tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yang mengharuskan
negara-negara untuk memasukkan kesetaraan gender kedalam hukum yang berlaku di dalam
negeri. Konstitusi Afghanistan 2004 menyatakan bahwa “warga Afghanistan, laki-laki dan
perempuan memiliki hak dan kewaiban yang sama di depan hukum”. Sementara itu, sebuah
Undang-undang pada 2009 diperkenalkan untuk melindungi perempuan dari pernikahan paksa,
pernikahan di bawah umur, dan kekerasan dalam pernikahan. Pada masa pemerintahan Taliban
perempuan tidak bisa bersekolah, maka sekarang terdapat puluhan ribu siswa perempuan di
universitas Afghanistan (Azadah, 2021).
Meskipun Indonesia tidak masuk sebagai aktor dalam pemetaan aktor utama, aktor ring
dalam, dan aktor pertama serta kedua dalam penyelesaian konflik di Afghanistan yang dilakukan
oleh RAND pada tahun 2011, Indonesia berkontribusi pada proses perdamaian di Afghanistan
dalam beberapa hal. Dalam banyak konferensi internasional terkait dengan Afghanistan,
Indonesia menyatakan komitmennya untuk mendukung upaya proses perdamaian, rekonstruksi,
dan rekonsiliasi di Afghanistan, khususnya melalui bantuan capacity building, seperti yang
disampaikan dalam International Afghanistan Conference (5 Desember 2011) di Bonn Jerman,
Kabul Conference (Juli 2010), dan London Conference (Januari 2010) (Kemenlu, 2011). Upaya
Indonesia dalam berkontribusi pada proses perdamaian di Afghanistan juga terus dilakukan,
salah satunya pada 2019 di mana Indonesia juga berhasil memperjuangkan dukungan
internasional untuk perdamaian di Afghanistan salah satunya melalui perpanjangan misi bantuan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Afghanistan yang disebut United Nations Mission in
Afghanistan (UNAMA) (“Diplomasi Indonesia Loloskan Resolusi DK PBB Tentang
Afghanistan,” 2019). Upaya bina-damai untuk proses perdamaian di Afghanistan pasca konflik
merupakan proses yang panjang dan kompleks. Rubin (2006) menggambarkan upaya bina-damai
yang selama ini dilakukan justru terhambat oleh perpecahan, persaingan, dan fragmentasi
otoritas komunitas internasional. Sedangkan Jonathan Goodhand mengatakan bahwa bina-damai
di Afghanistan merupakan tawar-menawar antara penguasa, aktor swasta, dan lembaga ekstraksi.
Sedangkan upaya bina-damai yang dilakukan oleh Indonesia selama ini juga perlu dilihat dari
dua aspek yaitu tantangan dari aktor-aktor internasional yang terlibat dalam proses perdamaian di
Afghanistan, dan tantangan domestik seperti pengelolaan pemerintahan yang baik dan komitmen
kelompok-kelompok masyarakat yang berkonflik terkait proses bina-damai ini. Di level
komunitas internasional, Indonesia sudah melakukan dukungan dan diplomasi yang intens terkait
proses perdamaian di Afghanistan dan sudah menghasilkan beberapa hasil positif. Sementara di
level domestik, sejauh ini pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai kegiatan dan program
kerjasama dengan pemerintah Afghanistan dan beberapa kelompok masyarakat untuk
perdamaian. Karena itu perlu dilihat lebih lanjut upaya dan kontribusi Indonesia dalam bina-
damai dan pembangunan kapasitas tentang hidup damai di Afghanistan. Pengalaman Indonesia
dalam keterlibatan membantu proses perdamaian di dunia internasional salah satunya yaitu pada
tahun 1990. Secara singkat dapat dikatakan Indonesia telah lama terlibat dan berpengalaman
dalam proses perdamaian komunitas internasional5.
Pemerintah Indonesia telah lama terlibat dan berkontribusi dalam proses perdamaian
dunia sebagai bagian dari komunitas internasional, salah satunya pada proses perdamaian di
Afghanistan. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada tahun 2019 mengatakan bahwa kontribusi
Indonesia pada upaya perwujudan perdamaian di Afghanistan yaitu dalam hal menggalang
dukungan internasional untuk proses perdamaian di Afghanistan, membangun rasa saling
percaya (trustbuilding) dan pembangunan perdamaian atau disebut juga bina-damai
(peacebuilding) melalui capacity building untuk aparatur negara ataupun kelompok masyarakat
sipil (“Indonesia Siap Berkontribusi Proses Perdamaian Di Afghanistan,” 2019). Laporan tentang
proses perdamaian di Afghanistan dari National Security Research Division RAND Coorporation
pada 2011 memetakan beberapa aktor penting dalam penyelesaian konflik di Afghanistan 6.
Freshta Qarqeen dalam penelitiannya pada tahun 2015 menyebutkan bahwa telah banyak yang
dilakukan oleh pemerintah Afghanistan dalam proses perdamaian di Afghanistan bahkan juga
5
Audita Chiquita Putri, “Sikap Indonesia Terkait Dengan Serangan Amerika Serikat Ke Afghanistan 2001,” Jurnal
Analisis Hubungan Internasional Vol 6, no. No.3 (2018): 5–19, http://repository.unair.ac.id/68080/1/Fis.HI.93.17 .
Put.s - JURNAL.pdf.
6
Robi Sugara, “Upaya Dan Kontribusi Indonesia Dalam Proses Perdamaian Di Afghanistan Melalui Bina-Damai,”
MUKADIMAH: Jurnal Pendidikan, Sejarah, dan Ilmu-ilmu Sosial 5, no. 1 (2021): 27–38.
membuka pembicaraan dengan aktor pemberontak paling penting yakni Taliban (Qarqeen,
2015). Meskipun Indonesia tidak masuk sebagai aktor dalam pemetaan aktor utama, aktor ring
dalam, dan aktor pertama serta kedua dalam penyelesaian konflik di Afghanistan yang dilakukan
oleh RAND pada tahun 2011, Indonesia berkontribusi pada proses perdamaian di Afghanistan
dalam beberapa hal. Dalam banyak konferensi internasional terkait dengan Afghanistan,
Indonesia menyatakan komitmennya untuk mendukung upaya proses perdamaian, rekonstruksi,
dan rekonsiliasi di Afghanistan, khususnya melalui bantuan capacity building, seperti yang
disampaikan dalam International Afghanistan Conference (5 Desember 2011) di Bonn Jerman,
Kabul Conference (Juli 2010), dan London Conference (Januari 2010) (Kemenlu, 2011).
Upaya Indonesia dalam berkontribusi pada proses perdamaian di Afghanistan juga terus
dilakukan, salah satunya pada 2019 di mana Indonesia juga berhasil memperjuangkan dukungan
internasional untuk perdamaian di Afghanistan salah satunya melalui perpanjangan misi bantuan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Afghanistan yang disebut United Nations Mission in
Afghanistan (UNAMA) (“Diplomasi Indonesia Loloskan Resolusi DK PBB Tentang
Afghanistan,” 2019). Sedangkan upaya bina-damai yang dilakukan oleh Indonesia selama ini
juga perlu dilihat dari dua aspek yaitu tantangan dari aktor-aktor internasional yang terlibat
dalam proses perdamaian di Afghanistan, dan tantangan domestik seperti pengelolaan
pemerintahan yang baik dan komitmen kelompok-kelompok masyarakat yang berkonflik terkait
proses bina-damai ini. Sementara di level domestik, sejauh ini pemerintah Indonesia telah
melakukan berbagai kegiatan dan program kerjasama dengan pemerintah Afghanistan dan
beberapa kelompok masyarakat untuk perdamaian. Pemerintah Indonesia telah lama terlibat dan
berkontribusi dalam proses perdamaian dunia sebagai bagian dari komunitas internasional, salah
satunya pada proses perdamaian di Afghanistan. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada tahun
2019 mengatakan bahwa kontribusi Indonesia pada upaya perwujudan perdamaian di
Afghanistan yaitu dalam hal menggalang dukungan internasional untuk proses perdamaian di
Afghanistan, membangun rasa saling percaya (trustbuilding) dan pembangunan perdamaian atau
disebut juga bina-damai (peacebuilding) melalui capacity building untuk aparatur negara ataupun
kelompok masyarakat sipil (“Indonesia Siap Berkontribusi Proses Perdamaian Di Afghanistan,”
2019). Laporan tentang proses perdamaian di Afghanistan dari National Security Research
Division RAND Coorporation pada 2011 memetakan beberapa aktor penting dalam penyelesaian
konflik di Afghanistan. Freshta Qarqeen dalam penelitiannya pada tahun 2015 menyebutkan
bahwa telah banyak yang dilakukan oleh pemerintah Afghanistan dalam proses perdamaian di
Afghanistan bahkan juga membuka pembicaraan dengan aktor pemberontak paling penting yakni
Taliban (Qarqeen, 2015).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tragedi serangan terorisme yang terjadi di Amerika Serikat dikenal dengan tragedi 9/11,
merupakan serangan dari Al-Qaeda yang menghancurkan gendung kembar World Trader Center
(WTC) dan Pentagon Payani, 2016). Kelompok Al-Qaeda ini dipimpin oleh Osama Bin Laden di
Afghanistan dan berlindung dibawah naungan rezim Taliban. Amerika Serikat menghimbau
kepada rezim Taliban untuk menyerahkan kelompok Al-Qaeda akan tetapi hal tersebut
mendapatkan penolakan dari rezim Taliban sehingga hal ini menyebabkan awal mula terjadinya
invasi Amerika Serikat di Afghanistan untuk memerangi kelompok Taliban.
Invansi pertama yang dilakukan oleh pihak Amerika Serikat merupakan operasi Enduring
Freedom Afghanistan (OEF-A) pada 7 Oktober 2001. Hasil dari operasi ini menyebabkan
Taliban kehilangan kota Mazar Esharif pada 9 November 2001 dan Taliban melarikan diri dari
Kandahar pada 9 Desember 2001. Sehingga Amerika Serikat mengendalikan wilayah Kandahar
dan beberapa wilayah lainnya seperti Taloqan, Bamiyan, Herat, Kabul dan Jalalabad. Selain itu
Amerika Serikat juga melakukan operasi militer Tora Bora pada Desember 2001 dan operasi
militer Anaconda pada tahun 2003. Operasi ini merupakan serangan darat terstruktur dan
terbesar yang juga melibatkan sejumlah ANDFS. Operasi ini dilanjutkan dan dipertahankan
melalui operasi Mountain Lion.
Pada Januari 2002 tujuh pejabat tinggi Taliban resmi secara sah menyerahkan diri di
Kandahar yang kemudian dibebaskan oleh pemerintah interim Afghanistan. Dampak negatif dari
invansi yang dilakukan oleh AmerikaSerikat ialah menyerang warga sipil yang dimana banyak
kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan bersenjata Amerika saat melakukan
invansi ke Afghanistan. Selain dampak negatif terdapat juga dampak positif dari invansi tersebut
yang dimana kesejahteraan para perempuan meningkat pesat, meski peningkatan ini parsial dan
rapuh.
Konflik tersebut melibatkan berbagai pihak komunitas internasional, tidak hanya
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tetapi juga berbagai negara termasuk Indonesia. Menteri
Luar Negeri Retno Marsudi pada tahun 2019 mengatakan bahwa kontribusi Indonesia pada
upaya perwujudan perdamaian di Afghanistan yaitu dalam hal menggalang dukungan
internasional untuk proses perdamaian di Afghanistan, membangun rasa saling percaya
(trustbuilding) dan pembangunan perdamaian atau disebut juga bina-damai (peacebuilding)
melalui capacity building untuk aparatur negara ataupun kelompok masyarakat sipil (“Indonesia
Siap Berkontribusi Proses Perdamaian Di Afghanistan,” 2019).
Upaya Indonesia dalam berkontribusi pada proses perdamaian di Afghanistan juga terus
dilakukan, salah satunya pada 2019 di mana Indonesia juga berhasil memperjuangkan dukungan
internasional untuk perdamaian di Afghanistan salah satunya melalui perpanjangan misi bantuan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Afghanistan yang disebut United Nations Mission in
Afghanistan (UNAMA) (“Diplomasi Indonesia Loloskan Resolusi DK PBB Tentang
Afghanistan,” 2019). Upaya bina-damai yang dilakukan oleh Indonesia dilihat dari dua aspek
yaitu tantangan dari aktor-aktor internasional yang terlibat dalam proses perdamaian di
Afghanistan, dan tantangan domestik seperti pengelolaan pemerintahan yang baik dan komitmen
kelompok-kelompok masyarakat yang berkonflik terkait proses bina-damai ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anugerah, B O Y, and Jabinson Purba. “TALIBAN DAN SIGNIFIKANSINYA TERHADAP
GEOPOLITIK GLOBAL Afghanistan ’ s Political and Security Conditions under Taliban ’
s Regime and Its Significances to Global Geopolitics.” Jurnal Kajian Lembaga Ketahanan
Nasional Republik Indonesia 9, no. 1 (2021).
Masta, Awani Yamora. “United States Foreign Policy: Peace Agreement with the Taliban in
2020.” Society 10, no. 2 (2022): 289–300.
Proses, Terhadap, and Demokrasi Di. “Program Studi Pemikiran Politik Islam” (2008).
Putri, Audita Chiquita. “Sikap Indonesia Terkait Dengan Serangan Amerika Serikat Ke
Afghanistan 2001.” Jurnal Analisis Hubungan Internasional Vol 6, no. No.3 (2018): 5–19.
http://repository.unair.ac.id/68080/1/Fis.HI.93.17 . Put.s - JURNAL.pdf.
Sugara, Robi. “Upaya Dan Kontribusi Indonesia Dalam Proses Perdamaian Di Afghanistan
Melalui Bina-Damai.” MUKADIMAH: Jurnal Pendidikan, Sejarah, dan Ilmu-ilmu Sosial 5,
no. 1 (2021): 27–38.
Suwari, Ni Wayan Ayu, Sukma Sushanti, and A.A. Ayu Intan Parameswari. “Rasionalitas
Amerika Serikat Dalam Perjanjian Damai Dengan Taliban Pasca Konflik Di Afghanistan.”
DIKSHI (Diskusi Ilmiah Komunitas Hubungan Internasional) 1, no. 1 (2021): 1–15.