Anda di halaman 1dari 2

Indonesia dengan ribuan pulau dan suku, punya ribuan kuliner yang memanjakan lidah.

Satu persoalannya, tidak semua orang di negara lain tahu, kehebatan resep peninggalan leluhur
itu. Orang mungkin familiar dengan gudeg, nasi goreng, sate, rendang, soto, tapi itu baru sedikit
dari beribu sajian lain yang ada.
Makanan juga menjadi cara efektif, menyatukan banyak perbedaan. Kini makanan
menjadi medium politis, alias politisasi makanan sebagai cara pendekatan multilateral atau
bilateral antar negara. Apa lagi tujuannya jika bukan untuk membuat negara lain terpesona
dengan kuliner dan bukan tidak mungkin akan berlanjut pada bentuk kerjasama lain, bahkan
dalam urusan meredam konflik.
Selain perannya sebagai pemenuh kebutuhan primer, makanan juga punya peran
sekunder, bahkan tersier. Ia berperan sebagai "alat diplomasi" alias gastrodiplomasi.
Gastrodiplomasi bukan sekedar sebuah formalitas belaka. Ditujukan secara khusus, sebagai
sebuah pendekatan-approach yang halus untuk "merayu". Bisa saja bentuknya kerjasama
internasional bidang ekonomi, keamanan, bahkan untuk mediasi konflik.
Lantas apa hubungan paling krusial antara kerjasama bilateral, multilateral, makanan
dan diplomasi?. Logikanya, mulut tidak jauh dari perut, dan jika perut keroncongan, maka mulut
menjadi susah bicara, karena otak "lumpuh" dan kehilangan oksigen dalam jumlah yang
signifikan. Lapar dan kenyang dua hal yang hampir mirip dampaknya, sama-sama bisa bikin
lemas, dan mengantuk. Gastrodiplomasi biasanya dilakukan dalam sebuah jamuan makan
khusus, atau menjadi menu hidangan makanan selama sebuah kegiatan kenegaraan atau
kegiatan kunjungan politik berlangsung. Bahkan dalam jamuan konferensi internasional, yang
melibatkan banyak negara sebagai pesertanya. Tujuannya jelas, sebagai ajang promosi,
menunjukkan identitas, ciri khas, dan sebagai sarana pemancing kerjasama, bidang pariwisata,
pertukaran budaya dan bisnis.

Kebijakan terkait pencegahan pemberian junk food pada anak-anak sangat penting
untuk mempromosikan pola makan sehat dan mengurangi risiko masalah kesehatan terkait gizi
buruk. Berikut adalah beberapa kebijakan yang dapat diterapkan:

1. Pembatasan iklan junk food: Mengatur pembatasan iklan junk food yang ditujukan kepada
anak-anak di media massa dan platform digital. Hal ini dapat membantu mengurangi paparan
anak-anak terhadap promosi makanan tidak sehat.

2. Peningkatan edukasi gizi: Meningkatkan program edukasi gizi di sekolah dan masyarakat
untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya makanan sehat dan dampak negatif junk
food pada kesehatan.

3. Regulasi pada sekolah: Menerapkan kebijakan di sekolah yang melarang penjualan junk food
dan minuman manis, serta mempromosikan makanan sehat di kantin sekolah.
4. Kerjasama dengan industri makanan: Mendorong industri makanan untuk mengurangi
kandungan gula, garam, dan lemak jenuh dalam produk mereka, serta meningkatkan
ketersediaan makanan sehat yang lebih terjangkau.

5. Peran orang tua: Mendorong peran orang tua dalam memilih makanan sehat untuk anak-
anak mereka dan memberikan edukasi tentang pentingnya pola makan seimbang.

6. Peningkatan akses makanan sehat: Meningkatkan aksesibilitas dan ketersediaan makanan


sehat dengan memperluas program pangan yang terjangkau dan menyediakan lebih banyak
pilihan makanan sehat di tempat-tempat umum.

Kebijakan-kebijakan ini dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung pilihan


makanan sehat bagi anak-anak dan mengurangi paparan mereka terhadap junk food.

Anda mungkin juga menyukai