Anda di halaman 1dari 6

Jurnal Keperawatan

Volume 13 Nomor 3, September 2021


e-ISSN 2549-8118; p-ISSN 2085-1049
http://journal.stikeskendal.ac.id/index.php/Keperawatan

DETEKSI DINI RESIKO STUNTING SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN MELALUI


RIWAYAT PEMBERIAN ASI EKSLUSIF DAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH
Yuliana Suryati1*, Yohana Hepelita1, Kornelia Romana Iwa1, Putriatri Krimasusini Senudin2
1
Program Studi Sarjana Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan dan Pertanian, Universitas Katolik Indonesia
Santu Paulus, Manggarai, NTT, 86511, Indonesia.
2
Program Studi Diploma Kebidanan, Fakultas Ilmu Kesehatan dan Pertanian, Universitas Katolik Indonesia
Santu Paulus, Manggarai, NTT, 86511, Indonesia.
*syulty12@gmail.com

ABSTRAK
Stunting menunjukkan kondisi kurang gizi kronis yang terjadi selama periode paling awal
pertumbuhan dan perkembangan anak. Tidak hanya tubuh pendek, stunting memiliki banyak dampak
buruk untuk anak seperti gangguan perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik,
hingga metabolisme tubuh. Selain itu, dampak jangka panjang yang dapat terjadi mulai dari
menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, dan risiko terserang penyakit. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui secara dini risiko stunting melalui riwayat pemberian ASI Eksklusif dan
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) pada balita sebagai salah satu upaya pencegahan stunting.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan retrospektif. Pengambilan sampel
menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah 72 responden. Risiko stunting dideteksi
melalui pengukuran panjang tubuh. Data yang dikumpulkan kemudian dilakukan analisis bivariat
menggunakan chi square. Hasil penelitian menunjukkan pemberian ASI eksklusif dan berat badan
lahir dapat memprediksi risiko stunting. Terdapat hubungan yang bermakna antara ASI Eksklusif
dengan risiko stunting (p-value 0,00 <0,05). Ada hubungan yang bermakna antara BBLR dengan
risiko stunting (p-value 0,004<0,005). Pemberian ASI yang tidak optimal, seperti IMD yang terlambat,
pemberian ASI noneksklusif, dan penyapihan dini memiliki risiko lebih besar mengalami stunting
dimana anak cenderung mengalami kekurangan nutrisi yang dibutuhkan dalam proses tumbuh
kembangnya. Berat badan lahir rendah lebih rentan terhadap infeksi, kesulitan bernapas, kematian,
penyakit infeksi, berat badan kurang dan stunting pada awal masa neonatal hingga masa kanak-kanak
yang berdampak pada pertumbuhan, perkembangan dan tinggi badan anak. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa pemberian ASI tidak eksklusif dan BBLR berpengaruh terhadap risiko stunting
pada anak di bawah usia dua tahun.

Kata kunci: BBLR; riwayat ASI eksklusif; risiko stunting

EARLY DETECTION AT RISK OF STUNTING AS THE PREVENTION THROUGH


EXCLUSIVE BREASTFEEDING AND LOW BIRTH WEIGHT

ABSTRACT
Stunting indicates a chronic malnutrition condition that occurs during the earliest period of growth
and development of a child. Not only the short body, but stunting also has many bad effects for
children such as impaired brain development, intelligence, impaired physical growth, to body
metabolism. In addition, long-term impacts that can occur starting from decreased cognitive abilities
and learning achievement, and the risk of disease. The aim of this study was to detect early the risk of
stunting through a history of exclusive breastfeeding and low birth weight (LBW) in children under
two years as a preventive measure for stunting. This research was a quantitative study using
retrospective approach. Sampling using purposive sampling technique with a total of 72 respondents.
The risk of stunting was detected through body length measurement. The data collected was performed
by bivariate analysis using chi-square. The results showed There was a significant relationship
between exclusive breastfeeding and the risk of stunting (p-value 0.00 <0.05). There was a significant
relationship between LBW and the risk of stunting (p-value 0.004 <0.005). Breastfeeding that is not

637
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 637 - 642, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

optimal, such as late IMD, non-exclusive breastfeeding, and early weaning have a greater risk of
experiencing stunting where children tend to experience a lack of nutrients needed in the process of
growth and development. Low birth weight is more susceptible to infection, difficulty breathing, death,
infectious diseases, underweight, and stunting in the early neonatal period to childhood which have an
impact on the growth, development, and height of children. This study concludes that non-exclusive
breastfeeding and low birth weight have an effect on the risk of stunting in children under two years of
age.

Keywords: history of exclusive breastfeeding; low birth weight; risk of stunting

PENDAHULUAN
Stunting merupakan suatu kondisi kurang gizi kronis, disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dan
tidak sesuai dengan kebutuhan gizi dalam waktu cukup lama. Stunting terjadi mulai janin masih dalam
kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Secara global, sekitar 162 juta balita terkena
stunting. Indonesia menempati urutan ke-5 dari 14 negara dengan angka balita stunting terbesar. Hasil
laporan Riskesdas pada tahun 2010 prevalensi kejadian stunting sebesar 35.6%, dan meningkat pada
tahun 2013 mencapai 37.2% dengan 19.2% anak yang bertubuh pendek dan 18% sangat pendek.
Menurut Kemenkes RI tahun 2014 melalui Pemantauan Status Gizi (PSG) prevalensi balita stunting
cenderung tinggi, dimana terdapat 8.5% balita sangat pendek dan 19.0% balita pendek (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).

Stunting dapat menyebabkan peningkatan risiko kesakitan dan kematian serta terhambatnya
pertumbuhan kemampuan motorik dan mental anak. Dalam jangka pendek, stunting menyebabkan
terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam
tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar,
menurunnya kekebalan tubuh, dan risiko tinggi munculnya penyakit diabetes, obesitas, penyakit
jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang
tidak kompetitif (Onis and Branca, 2016).

Salah satu faktor penting bagi petumbuhan dan perkembangan serta kesehatan anak adalah pemberian
ASI eksklusif. WHO dan Unicef merekomendasikan 4 pola makan terbaik bagi anak sampai usia 2
tahun, yaitu Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dalam 30 sampai 60 menit pertama setelah lahir,
memberikan ASI eksklusif sampai bayi usia 6 bulan, pemberian makanan pendamping mulai usia 6
bulan dan meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun (Onis and Branca, 2016). Stunting
lebih banyak ditemukan pada anak yang tidak diberi ASI eksklusif dibandingkan anak yang diberi ASI
eksklusif. Terdapat kecenderungan penyakit infeksi yang mudah diderita bayi yang diberikan ASI
kurang dari 6 bulan dikarenakan ASI sebagai antiinfeksi sehingga dapat meningkatkan risiko kejadian
stunting (Manggala et al., 2018).

Faktor lain yang mempengaruhi stunting yaitu anak memiliki panjang badan yang kurang dan berat
lahir yang rendah pada saat dilahirkan. Kekurangan gizi saat hamil mempengaruhi tumbuh kembang
janin dan berefek terhadap berat badan bayi saat lahir. Masa baduta disebut sebagai “masa kritis”
dengan salah satu indikatornya adalah bayi yang lahir dengan BBLR. Hasil penelitian Ernawati et al
menemukan 9,5% bayi dengan berat badan lahir rendah dan 22% diantaranya mengalami stunting
(Ernawati et al, 2014).

Kejadian stunting dapat dicegah melalui upaya preventif yang dilakukan secara komprehensif. Ada
tiga bentuk pencegahan yaitu primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer adalah upaya awal
yang dilakukan untuk mengurangi atau mengendalikan faktor-faktor resiko yang berkaitan erat dengan
peningkatan stunting. Pada pencegahan sekunder dilakukan pemeriksaan atau usaha untuk
menemukan abnormalitas yang mengarah pada kondisi stunting. Pencegahan tersier dilakukan jika
anak sudah dalam kondisi mengalami stunting dan mencari penanganan tepat. Deteksi dini termasuk
dalam pencegahan sekunder sebagai usaha awal untuk mengetahui lebih cepat apakah balita
mengalami kelainan pertumbuhan dan perkembangan. Deteksi dini juga dilakukan sebagai

638
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 637 - 642, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

penyaringan (screening) dalam menentukan stunting pada balita untuk memperoleh penanganan yang
segera dan tepat.

Berdasarkan hal tersebut, riwayat pemberian ASI eksklusif dan BBLR pada balita merupakan faktor
resiko terjadinya stunting. Saat ini, di daerah Manggarai khususnya pustu Karot hanya dilakukan
pemeriksaan pada balita yang diduga menderita stunting, namun belum dilakukan pemeriksaan awal
atau deteksi dini terhadap bayi yang berpotensi menderita stunting melalui riwayat pemberian ASI
eksklusif dan BBLR. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi secara dini resiko
menderita stunting melalui riwayat pemberian ASI eksklusif dan berat badan lahir rendah (BBLR)
pada bayi yang berusia dibawah dua tahun sebagai langkah pencegahan terhadap stunting . Jenis
penelitian ini berdasarkan metode survey dengan menggunakan pendekatan retrospective
study.

METODE
Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada metodologi penelitian yang disusun sebagai pedoman
sistematis untuk melakukan penelitian. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif berdasarkan
metode survey dengan menggunakan pendekatan retrospective study. Penelitian ini dilakukan dalam
rentang waktu 6 bulan dan dilaksanakan di Wilayah Kerja Pustu Karot Kabupaten Manggarai Nusa
Tenggara Timur. Pada penelitian ini, teknik pengambilan sampel purposive sampling dengan jumlah
sampel sebanyak 72 responden. Variabel yang diteliti adalah riwayat pemberian ASI eksklusif, riwayat
BBLR. Data yang dikumpulkan adalah data resiko stunting yang didapatkan berdasarkan z-skor
panjang badan terhadap umur melalui pengukuran antropometri menggunakan microtoice. Riwayat
pemberian ASI eksklusif diperoleh dengan menggunakan metode wawancara dan studi dokumentasi
(data Puskesmas dan buku KIA). Data BBLR diperoleh melalui buku KIA masing-masing baduta.
Data yang didapatkan kemudian dilakukan analisis bivariat menggunakan chi square. Responden
dalam penelitian ini adalah baduta yang berusia 7-23 bulan saat pemeriksaan dan tidak sedang
menderita penyakit kronis (penyakit jantung, thalassemia) atau gangguan parah seperti
Sindrom Down atau Sindrom Turner. Penelitian ini telah mendapat persetujuan Komite Etik
Penelitian Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus dengan nomor 60/SK-IIIa/k/03/STKIP-
LPPM/2019.

HASIL
Hasil penelitian pada 72 baduta menunjukkan sebanyak 40 baduta (55,6%) baduta memiliki riwayat
BBLR dan 32 baduta tidak memiliki riwayat BBLR. Baduta yang memiliki riwayat ASI non eksklusif
sebanyak 49 baduta (68,1%) dan baduta yang memiliki riwayat ASI eksklusif sebanyk 23 baduta
(31,9%). Baduta yang memiliki panjang badan dalam kategori pendek sebanyak 47 (65,3%) dan
baduta yang memiliki panjang badan kategori normal sebanyak 25 baduta (35,7%). Berdasarkan hasil
uji chi square menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara ASI eksklusif dengan panjang badan
per umur (nilai p kurang dari alpha). Bayi baduta yang memiliki riwayat ASI non-eksklusif dapat
menyebabkan panjang badan kurang dari normal (kategori pendek). Hasil uji chi square menunjukkan
terdapat hubungan bermakna antara BBLR dengan panjang badan per umur (nilai p kurang dari alpha).
Bayi baduta yang memiliki riwayat BBLR dapat menyebabkan panjang badan kurang dari normal
(kategori pendek).
Tabel 1.
Distribusi Frekuensi PB/Umur, ASI Eksklusif, BBLR (n=72)
PB/U
Indikator f %
PB/Umur Pendek 47 65.3
Normal 25 34.7
ASI Eksklusif Ya 23 31.9
Tidak 49 68.1
BBLR Ya 40 55.6
Tidak 32 44.4

639
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 637 - 642, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Tabel 2.
Analisis ASI Eksklusif dan BBLR yang berhubungan dengan PB/Umur (n=72)
PB/Umur
Indikator Pendek Normal p
ASI Eksklusif Ya 2 21 0,000
Tidak 45 4
BBLR Ya 32 8 0,004
Tidak 15 17

PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan 65% baduta memiliki panjang badan dengan kategori pendek.
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam
waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting merupakan
gangguan pertumbuhan linier dan apabila terjadi pada masa golden period perkembangan otak (0-3
tahun), maka berakibat pada gangguan perkembangan otak (Onis and Branca, 2016). Stunting
disebabkan oleh faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang
terhambat termasuk kesehatan dan gizi ibu yang buruk, praktik pemberian makan bayi dan anak yang
tidak memadai, serta penyakit infeksi. Secara khusus, ini termasuk: status gizi dan kesehatan ibu
sebelum, selama dan setelah kehamilan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan awal anak,
dimulai pada rahim. Pertumbuhan intrauterin yang kurang baik karena kekurangan gizi ibu
(diperkirakan dengan tingkat berat badan lahir rendah) menyumbang 20% dari stunting di masa kanak-
kanak. Faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting antara lain nutrisi, berat badan lahir, pemberian
Air Susu Ibu (ASI) eksklusif, riwayat penyakit infeksi, pengetahuan ibu tentang gizi, pendapatan
keluarga dan jarak kelahiran. Praktik pemberian makan bayi dan anak kecil yang berkontribusi
terhadap stunting termasuk menyusui bayi yang tidak optimal (menyusui non-eksklusif) dan makanan
pendamping ASI yang terbatas dalam jumlah, kualitas, dan variasi (Learned and Systematic, 2015),
(Leroy and Frongillo, 2019).

Hasil penelitian ini menunjukkan 68% bayi baduta tidak mendapatkan ASI eksklusif dan 65%
beresiko menderita stunting. Bayi baduta yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki panjang
badan kurang dari normal (pendek). Pemberian Air Susu Ibu (ASI) merupakan faktor penting bagi
petumbuhan dan perkembangan serta kesehatan anak (Trujillo, Nuffer, and Ellis, 2015) (Sjarif,
Yuliarti, and Iskandar, 2019). WHO dan Unicef (2002) dalam Global strategy on infant and young
child feeding tahun 2002 merekomendasikan 4 (empat) pola makan terbaik bagi anak sampai usia 2
tahun, yaitu Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dalam 30 sampai 60 menit pertama setelah lahir,
memberikan ASI eksklusif sampai bayi usia 6 bulan, mulai memberikan makanan pendamping mulai
usia 6 bulan dan meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun. Menurut WHO, pemberian
ASI yang tidak optimal, yang mencakup keterlambatan inisiasi menyusui, pemberian ASI
noneksklusif, dan penghentian menyusui dini. Anak-anak yang disapih sebelum 6 bulan mengalami
peningkatan stunting (AOR 3,16, 95% CI dan AOR 2,98, 95% CI) (Conceptual, 2013). Hasil
penelitian menunjukkan balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif 4,6 kali beresiko lebih besar
untuk terjadi stunting. Anak yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif cenderung mengalami kekurangan
zat gizi yang diperlukan dalam proses pertumbuhan (Khan and Islam, 2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Khan dan Islam (2017) tentang efek buruk yang terjadi pada bayi usia
2-6 bulan jika tidak diberikan ASI eksklusi. Hasil penelitian menunjukkan bayi yang tidak diberikan
ASI eksklusif rentan terhadap berbagai penyakit infeksi dan non infeksi (Khan and Islam, 2017).
Penelitian yang dilakukan oleh Lestari dkk (2020) tentang ASI eksklusif berhubungan dengan kejadian
stunting pada balita. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan abtara ASI eksklusif dengan
kejadian stunting (Lestari and Dwihestie, 2020). Stunting lebih banyak ditemukan pada anak yang
tidak diberi ASI eksklusif dibandingkan anak yang diberi ASI eksklusif. Terdapat kecenderungan
penyakit infeksi seperti diare dan penyakit pernafasan akan lebih mudah mengenai bayi yang
diberikan ASI yang kurang dan pemberian makanan atau formula yang terlalu dini dikarenakan ASI
sebagai antiinfeksi sehingga dapat meningkatkan risiko kejadian stunting. Ibu dengan gizi kurang

640
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 637 - 642, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

sejak trimester awal akan melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) yang kemudian akan
tumbuh menjadi balita stunting (Onis and Branca, 2016)(Manggala et al., 2018).

Hasil penelitian ini menunjukkan 55% bayi baduta yang memiliki berat badan lahir rendah (BBLR)
beresiko menderita stunting. Bayi baduta yang memiliki berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki
panjang badan kurang dari normal (pendek). BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang
dari 2500 gram, panjang badan kurang atau sama dengan 45 cm, lingkar dada kurang dari 30 cm,
lingkar kepala kurang dari 33 cm (Kusumawati et al., 2019). Bayi berat lahir rendah merupakan
masalah penting karena mempunyai kecenderungan ke arah peningkatan terjadinya infeksi, kesukaran
mengatur nafas tubuh sehingga mudah untuk menderita hipotermia. Selain itu bayi dengan Berat Bayi
Lahir Rendah (BBLR) akan berisiko tinggi pada morbiditas, kematian, penyakit infeksi, kekurangan
berat badan dan stunting diawal periode neonatal sampai masa kanak-kanak. Kelompok bayi berat
lahir rendah yang dapat di istilahkan dengan kelompok risiko tinggi karena pada bayi berat lahir
rendah menunjukan angka kematian dan kesakitan yang lebih tinggi dengan berat bayi lahir cukup
(Budiastutik and Nugraheni, 2018),(Putu dkk, 2018).

Berat badan merupakan salah satu ukuran tubuh yang paling banyak digunakan yang memberi
gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat lahir memiliki dampak yang besar terhadap
pertumbuhan, perkembangan dan tinggi badan anak selanjutnya. Tingginya angka BBLR diperkirakan
menjadi penyebab tingginya kejadian stunting di Indonesia (Aryastami et al., 2017). BBLR menjadi
faktor yang paling dominan berisiko terhadap stunting pada anak. Sebagai indikator status gizi, berat
badan dalam bentuk indeks berat badan menurut umur (BB/U) dan berat menurut tinggi badan
(BB/TB). Ukuran tubuh pada saat lahir mencerminkan proses pertumbuhan janin pada stadium awal
perkembangannya dan juga mencerminkan kemampuan maternoplasenta dalam memasok cukup
nutrient untuk mempertahankan proses tersebut. Kegagalan maternoplasenta memasok kebutuhan
nutrient janin mengakibatkan berbagai adaptasi fetal dan perubahan perkembangan yang dapat
menimbulkan perubahan permanen pada struktur serta metabolisme tubuh sehingga muncul berbagai
penyakit pada usia dewasa (Sjarif, Yuliarti, and Iskandar, 2019),(Leroy and Frongillo, 2019)

Penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak yang lahir dengan BBLR memiliki peluang untuk
menjadi stunting 3,12 kali lebih besar daripada anak-anak yang dilahirkan dengan berat badan normal.
BBLR juga memiliki hubungan yang signifikan antara status gizi ibu selama kehamilan (Rahayu et al.
2019). Berat badan lahir rendah adalah faktor predisposisi terhadap pertumbuhan pertumbuhan setelah
lahir dan untuk mencegah goyah pertumbuhan, diperlukan pemberian ASI eksklusif yang memadai
dan berkualitas selama enam bulan (Nshimyiryo et al. 2019). BBLR sangat erat kaitannya dengan
mortalitas dan mordibitas janin. Keadaan ini dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan
kognitif, kerentanan terhadap penyakit kronis di kemudian hari (Putu, Sugiani, and Suarni 2018). Pada
tingkat populasi, proporsi bayi dengan BBLR adalah gambaran masalah kesehatan masyarakat yang
kompleks mencakup ibu yang kekurangan gizi jangka panjang, kesehatan yang buruk, kerja keras dan
perawatan kesehatan dan kehamilan yang buruk. Secara individual, BBLR merupakan prediktor
penting dalam kesehatan dan kelangsungan hidup bayi yang baru lahir dan berhubungan dengan risiko
tinggi pada kematian bayi dan anak. Dampak lanjutan dari BBLR dapat berupa gagal tumbuh (growth
faltering) (Learned and Systematic, 2015) (Onis and Branca, 2016).

SIMPULAN
Resiko terjadinya stunting dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain riwayat ASI yang tidak
diberikan secara eksklusif dan berat badan lahir rendah. Terdapat hubungan yang bermakna
antara riwayat ASI eksklusif dan BBLR dengan resiko terjadinya stunting.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. “Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013.” Laporan Nasional 2013, 1–384. https://doi.org/1 Desember
2013.

641
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 3, Hal 637 - 642, September 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Budiastutik, Indah, and Sri Achadi Nugraheni. 2018. “Determinants of Stunting in Indonesia :
A Review Article” 1 (2): 43–49.
http://journal2.uad.ac.id/index.php/ijhr/article/view/753/pdf
Conceptual, W H O. 2013. “Childhood Stunting : Context , Causes and Consequences WHO
Conceptual Framework” 9 (September).
Khan, Nuruzzaman, and M Mofizul Islam. 2017. “Effect of Exclusive Breastfeeding on
Selected Adverse Health and Nutritional Outcomes : A Nationally Representative
Study,” 1–7. https://doi.org/10.1186/s12889-017-4913-4.
Learned, Lessons, and From Systematic. 2015. “Underlying Contributors to Childhood
Stunting : What Evidence Exists on Nutrition-Sensitive Risk Factors”.
https://path.azureedge.net/media/documents/MNCHN_Stunting_Technical_Brief_FINA
L.pdf
Leroy, Jef L, and Edward A Frongillo. 2019. “Perspective : What Does Stunting Really
Mean ? A Critical Review of the Evidence,” 196–204.
https://doi.org/10.1093/advances/nmy101
Lestari, Erika Fitria, and Luluk Khusnul Dwihestie. 2020. “ASI Eksklusif Berhubungan
Dengan Kejadian Stunting Pada Balita” 10 (2): 1–8. http://journal.stikeskendal.ac.id
Manggala, Arya Krisna, Komang Wiswa, Mitra Kenwa, Made Me, Lina Kenwa, Anak
Agung, Gede Dwinaldo, Putra Jaya, Anak Agung, and Sagung Sawitri. 2018. “Risk
Factors of Stunting in Children Aged 24-59 Months” 58 (5): 205–12.
DOI:https://doi.org/10.14238/pi58.5.2018.205-12
Nshimyiryo et al. 2019. “Risk Factors for Stunting among Children under Five Years : A
Cross-Sectional Population-Based Study in Rwanda Using the 2015 Demographic and
Health Survey,” 1–10. DOI: 10.1186/s12889-019-6504-z
Onis, Mercedes De, and Francesco Branca. 2016. “Review Article Childhood Stunting : A
Global Perspective” 12: 12–26. https://doi.org/10.1111/mcn.12231.
Putu, Pande, Sri Sugiani, and Ni Nyoman Suarni. 2018. “Description of Nutritional Status and
the Incidence of Stunting Children in Early Childhood Education Programs in Bali-
Indonesia” 7 (3): 723–26. https://doi.org/10.15562/bmj.v7i3.1219.
Rahayu, Marti, Diah Kusumawati, Rina Marina, and Caroline Endah Wuryaningsih. 2019.
“Low Birth Weight As the Predictors of Stunting in Children under Five Years in
Teluknaga Sub District Province of Banten 2015” 2019: 284–93.
https://doi.org/10.18502/kls.v4i10.3731.
Sjarif, Damayanti Rusli, Klara Yuliarti, and William Jayadi Iskandar. 2019. “Daily
Consumption of Growing-up Milk Is Associated with Less Stunting among Indonesian
Toddlers” 28 (1): 70–76. DOI: https://doi.org/10.13181/mji.v28i1.2607
Trujillo, Jennifer M., Wesley Nuffer, and Samuel L. Ellis. 2015. “GLP-1 Receptor Agonists:
A Review of Head-to-Head Clinical Studies.” Therapeutic Advances in Endocrinology
and Metabolism 6 (1): 19–28. https://doi.org/10.1177/2042018814559725.

642

Anda mungkin juga menyukai