[Document subtitle]
[DATE]
[COMPANY NAME]
[Company address]
KEANEKARAGAMAN HAYATI
TROPIKA
Training Course on
Environmental Education for Sustainable Development
Penanggung Jawab
Dr Indrawati
Penulis
Heri Setiadi, M.Si.
M. Haidar Helmi, S.P., M.Si.
Penelaah
Prof. Parikesit, M.Sc., P.hD.
Penyunting
Rizwan Darmawan, M.M.
Perancang Grafis
Untung Saepuloh S.Ds.
Penata Letak
Girindra Adyapradana, M.Si.
Penerbit
SEAMEO QITEP in Science
Tahun Cetak
2020
Hak Cipta©2020
Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO)
Regional Centre for Quality Improvement of Teachers and
Education Personnel (QITEP) in Science
KATA SAMBUTAN
SEAMEO Regional Center for QITEP in Science sebagai salah satu center SEAMEO yang diberi mandat
meningkatkan kompetensi pendidikan dan tenaga kependidikan di bidang Sains, telah menunjukkan
kiprahnya untuk melaksanakan mandat nya melalui berbagai kegiatan penngkatan kapasitas pendidik
dan tenaga kependidikan. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah pelatihan pendidik .
Di dalam melaksanakan kegiatan pelatihan tidak terlepas dari komponen-komponen pendukung, salah
satu komponen yang harus diperhatikan adalah materi pelatihan. Bagaimana agar peserta pelatihan
dapat menguasai materi pelatihan baik dari aspek pengetahuan , keterampilan, dan sikap yang
diharapkan dalam suatau pelatihan, bergantung pada bagaimana materi pelatihan dikemas dan
dikembangkan.
Pengemasan materi pelatihan dalam bentuk modul-modul, merupakan salah satu upaya yang baik yang
dilakukan oleh Center, untuk itu saya menyambut baik dan memberikan apresiasi terhadap upaya-
upaya peningkatan untuk memenuhi agar sistem pelatihan terlaksana dengan baik. Semoga modul-
modul yang dikembangkan dapat digunakan sebagai media transformasi pengetahuan, keterampilan,
dan sikap kepada peserta untuk mencapai standar kompetensi guru, baik standar kompetensi
profesional terkait penguasaan materi pelajaran maupun kompetensi pedagogi yang terkait bagaimana
membelajarkan peserta didik, serta kompetensi lainnya yaitu bagaimana guru harus melaksanakan
penilaian.
Semoga modul-modul ini bermanfaat bagi guru-guru Sains.
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas tersusunnya modul-modul Pengayaan Materi
Pendidikan Lingkungan Hidup bagi Guru IPA di SMP maupun di SMA. Modul-modul Pengayaan Materi
Pendidikan Lingkungan Hidup ini disusun sebagai bahan belajar yang dapat digunakan baik secara
mandiri dan sebagai bahan belajar dalam kegiatan pelatihan Environmental Education for Sustainable
Development (EESD)yang diselenggarakan oleh SEAMEO Regional Center for QITEP in Science.
Pada tahun 2020 ini SEAMEO QITEP in Science telah mengembangkan dua modul Pengayaan Materi
EESD bagi Guru IPA dengan judul-judul sebagai berikut.
1. Biodiversity
2. Suistainable Development
Modul-modul tersebut telah ditelaah dan direvisi oleh tim internal dan eksternal (praktisi, pakar, dan
para pengguna). Namun demikian, kami masih mengharapkan para penelaah dan pengguna lainnya
untuk selalu memberikan masukan untuk penyempurnaan isi modul sesuai kebutuhan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini. Besar harapan kami bahwa Modul Pengayaan
Materi EESD bagi Guru SMP/SMA ini dapat digunakan sebagai bahan ajar dan alternatif sumber bacaan
bagi guru-guru yang mengajar materi Pendidikan Lingkungan Hidup.
Dengan tersusunnya modul ini, kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada tim
penyusun,Prof. Parikesit, M.Sc, dan Prof. Oekan S. Abdoellah dari Universitas Pajajaran yang telah
membantu dalam proses penelaahan, serta para guru yang telah terlibat dalam proses uji keterbacaan
modul-modul tersebut di sekolah.
Meskipun proses pengembangan modul-modul ini sudah dilakukan melalui tahapan telaahan pakar dan
uji keterbacaan oleh guru, namun bila masih ditemukan kekurangan dan kelemahan, kami mohon
Bapak/Ibu pengguna dapat memberikan masukan melalui email secretariat@qitepinscience.org untuk
penyempurnaan lebih lanjut modul yang telah dikembangkan di atas sehingga dihasilkan bahan ajar
yang memadai.
Dr Indrawati, M.Pd
NIP.
196112021986032001
iv Kata Pengantar
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL 3
BAB III KEGIATAN BELAJAR 5
A. Kegiatan Belajar 1 5
Nama Materi
1. Pengantar 5
2. Tujuan 5
3. Uraian Materi 5
4. Aktivitas Pembelajaran 21
5. Tugas 23
6. Refleksi 23
B. Kegiatan belajar 2 25
Nilai dan Manfaat Keanekaragaman Hayati
1. Pengantar 25
2. Tujuan 25
3. Uraian Materi 25
4. Aktivitas Pembelajaran 36
5. Tugas 38
6. Refleksi 38
C. Kegiatan belajar 3 40
Upaya dan Tantangan Pelestarian Keanekaragaman Hayati
1. Pengantar 40
2. Tujuan 40
3. Uraian Materi 40
4. Aktivitas Pembelajaran 56
5. Tugas 57
6. Refleksi 58
BAB IV EVALUASI 60
BAB V PENUTUP 69
DAFTAR PUSTAKA 71
Tabel 3.1 Jumlah spesies tanaman dan hewan vertebrata di Kawasan hotspot Asia 21
Tenggara
Tabel 3.2 Kategori Nilai Manfaat Keanekaragaman Hayati 29
Tabel 3.3 Data Pengamatan Analisis Vegetasi Hutan Mangrove 57
PENDAHULUAN
Isu mengenai keanekaragaman hayati merupakan salah satu isu global yang sarat dengan
permasalahan local. Hal ini dikarenakan keanekaragaman hayati di suatu daerah sangat berperan bagi
kelangsungan hidup masyarakat setempat. Keanekaragaman hayati local tidak saja berperan bagi
pemenuhan hidup yang mendasar, tetapi juga dalam membangun interaksi sosial dan perkembangan
budaya local yang pada akhirnya akan memperngaruhi perkembangan kehidupan pada skala global.
Terlebih lagi, munculnya pandemi COVID-19 telah menyadarkan manusia sebagai pengguna
keanekaragaman hayati untuk kembali memberikan perhatian yang lebih serius bagi perlindungan dan
pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
Interaksi antar makhluk hidup dan lingkunganya memunculkan adanya bentuk keragaman yang
membuat komponen ekosistem memiliki karakteristik khas. Bentuk keragaman ini tak lepas dari peran
lingkungan dalam mempengaruhi ekspresi genetik pada makhluk hidup sebagai komponen biotik dari
ekosistem. Keragaman pada makhluk hidup yang ada di Bumi kita kemudian sering diistilahkan dengan
Keanekaragaman hayati atau biodiversitas. Keanekaragaman hayati merujuk pada keragaman di antara
mahluk hidup dan sistem ekologi dimana mahluk hidup tersebut menjadi salah satu komponennya serta
perbedaan secara kuantitas dan kualitas dari entitas biologi pada tempat yang berbeda dalam dimensi
waktu tertentu.
Keanekaragaman hayati merupakan salah satu potensi kekayaan alam hayati yang pada saat ini
menjadi masalah yang sangat menarik, yang menjadikannya bahasan yang tidak akan lekang dimakan
zaman. Hal ini dikarenakan selama terdapat kehidupan di bumi, keanekaragaman hayati akan tetap ada.
Potensi keanekaragaman hayati saat ini juga merupakan salah satu modal dasar bagi berkembangnya
bioteknologi. Adanya kemajuan di bidang bioteknologi dapat membuat kondisi keanekaragaman hayati
semakin bertambah meskipun di lain pihak dapat memunculkan permasalahan tersendiri, khususnya
ditinjau dari sisi bioetika.
Kawasan Asia Tenggara merupakan “hotspot” dari keanekaragaman hayati dunia, dan hal ini juga yang
kemudian menjadi ancaman. Menurut Sheldon et al (2015), Wilayah Asia tenggara memiliki keunikan
secara biologis, mencerminkan biogeografinya yang kompleks dan menghasilkan zonasi pola biotik
regional dan pembagian biogeografi yang kompleks, sehingga memerlukan penelitian lanjutan untuk
memperoleh pemahaman yang utuh. Data IUCN (http://www.iucnredlist.org/) di tingkat negara
menunjukkan bahwa mamalia, burung, dan amfibi yang dianalisis pada tingkat familia, negara-negara
Asia Tenggara memiliki keragaman global tertinggi.
Jenis-jenis tumbuhan dan hewan yang menjadi bagian keanekaragaman hayati di suatu daerah saling
berinteraksi dan bergantung antara satu dengan yang lainnya untuk tumbuh dan berkembang sehingga
membentuk suatu sistem kehidupan. Para ilmuwan sepakat mengelompokkan keanekaragaman hayati
menjadi tiga kategori yang bersifat hierarkis, yaitu keanekaragaman gen, jenis dan ekosistem.
Keanekaragaman hayati merupakan komponen penting dalam keberlangsungan bumi dan isinya,
termasuk eksistensi manusia. Berbagai jasa layanan yang berasal dari keanekaragaman hayati sudah
dimanfaatkan sejak manusia ada, mulai dari pembentukan suplai nutrien tanah, sumber pangan, obat-
Keanekaragaman hayati secara global diakui sebagai suatu landasan untuk menciptakan ekosistem
yang sehat sehinggaperlindungannya menjadi salah satu upaya penting dari pengelolaan lingkungan.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik terutama menyangkut pemahaman dan
keterampilan dalam melestarikan SDA-LH. Oleh karenanya pengelolaan keanekaragaman hayati
berkelanjutan tidak akan lepas dari Pendidikan formal. Modul ini kemudian disusun untuk memberikan
pemahaman mengenai konsep Keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem dalam kehidupan
manusia.
Agar mempermudah pemahaman, modul ini terbagi menjadi tiga kegiatan belajar. Pada kegiatan
Belajar 1, Anda akan mempelajari tentang gambaran umum Keanekaragaman hayati di Kawasan Asia
tenggara. Kegiatan belajar-2, Anda akan diajak untuk memahami, mengenal, dan menganalis
Keanekaragaman hayati, Fungsi dan Layanan Ekosistem. Kegiatan belajar-3, Anda akan mempelajari
beragam tantangan dan upaya pelestarian keanekaragaman hayati. Pada setiap Kegiatan Belajar,
terdapat beberapa bagian yang perlu diperhatikan yaitu Pengantar, Tujuan, Uraian Materi, Aktivitas
Pembelajaran, Tugas, dan Refleksi. Terakhir, setelah semua kegiatan belajar Anda pahami, terdapat
Bab Penilaian yang menyajikan contoh soal untuk mengukur penguasaan materi setelah Anda
mempelajari modul ini.
Modul ini dapat Anda gunakan ketika mengikuti pelatihan guru atau Anda pelajari secara mandiri.
Petunjuk penggunaan modul pada setiap kegiatan belajar secara umum memberi arahan/ saran kepada
Anda mengenai langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan ketika mempelajari modul ini Langkah-
langkah belajar dengan menggunakan modul ini secara umum sebagai berikut:
Untuk membantu Anda dalam mempelajari modul ini, ada baiknya diperhatikan petunjuk berikut ini:
1. Bacalah dengan cermat bagian pendahuluan modul agar Anda memahami secara menyeluruh
modul ini membahas materi apa, untuk apa, dan bagaimana mempelajari modul ini.
2. Bacalah bagian demi bagian secara cermat pada setiap Kegiatan Belajar.
3. Pahamilah isi modul ini secara mandiri atau lakukanlah diskusi untuk bertukar pikiran dengan
rekan guru/ peserta lain atau dengan fasilitator Anda.
KEGIATAN BELAJAR
1. Pengantar
Biodiversitas atau Keanekaragaman hayati menunjukkan adanya bentuk variasi dan kekayaan
organisme hidup pada ruang dan waktu dengan skala tertentu. Dalam modul ini, anda akan
mempelajari beberapa peran penting keanekaragaman hayati dalam kehidupan manusia. Modul
diawali dengan gambaran umum keanekaragaman hayati, penyebab munculnya keanekaragaman
hayati, hierarki keanekaragaman hayati dan pentingnya keanekaragaman hayati. Modul ditutup
dengan diskusi tentang sebaran keanekaragaman hayati di Asia Tenggara.
2. Tujuan
Setelah mempelajari paparan dalam kegiatan belajar 1 diharapkan peserta:
a. Memahami konsep keanekaragaman hayati
b. Memahami Hierarki Keanekaragaman Hayati
c. Membedakan macam-macam keanekaragaman hayati dalam kehidupan sehari-hari.
d. memahami faktor-faktor yang berpengaruh terhadap biodiversitas dan hotspot biodiversitas.
e. Mengidentifikasi status dan kondisi Keanekaragaman Hayati di Kawasan Asia tenggara.
3. Uraian Materi
“Biodiversitas didefinisikan sebagai: Keragaman kehidupan di Bumi pada semua tingkatannya, dari
mulai gen hingga ekosistem, dengan proses ekologis dan evolusi yang menopangnya”.
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil,pada tanggal 3 - 14 Juni 1992 telah
menghasilkan komitmen internasional dengan ditandatanganinya “United Nations Convention on
Biological Diversity” oleh sejumlah besar negara di dunia, termasuk Indonesia sebagai salah satu
negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Konvensi biodiversitas lahir sebagai wujud
kekhawatiran umat manusia atas semakin berkurangnya nilai biodiversitas yang disebabkan oleh
laju kerusakan biodiversitas yang cepat akibat pemenuhan kebutuhan masyarakat dunia sehingga
diperlukan upaya memadukan segala upaya perlindungannya bagi kelangsungan hidup alam dan
umat manusia selanjutnya. Konvensi ini merupakan bentuk penegasan kembali dari Deklarasi
Stockholm pada tanggal 16 Juni Tahun 1972, terutama menyangkut isi deklarasi bahwa
permasalahan lingkungan merupakan isu utama yang berpengaruh pada kesejahteraan manusia
dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia (butir ke-2 Deklarasi Stockholm). Pengertian
biodiversitas yang terdapat dalam hasil Konvensi ini pada Pasal 2, sebagai berikut:
‘Biological diversity’ means the variability among living organisms from all sources including, inter
alia, terrestrial, marine and other aquatic ecosystems and the ecological complexes of which they
are part; this includes diversity within species, between species and of ecosystems.
Istilah Biodiversitas kemudian dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Keanekaragaman
hayati. Secara etimologi, berasal dari dua frasa, yakni “keanekaragaman” dan “hayati”. menurut
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Keanekaragaman merujuk pada makna bervariasi atau
bermacam-macam jenisnya. Sementara itu frasa “hayati” sendiri berasal dari Bahasa Arab yang
berarti hidup, menurut KBBI hayati berarti mengenai hidup atau berhubungan dengan hidup.
Untuk mempermudah pemahaman anda untuk selanjutnya istilah biodiversitas akan disebut
sebagai keanekaragaman hayati.
Keanekaragaman hayati menunjukkan ukuran variasi dan kekayaan organisme hidup pada skala
tertentu. Hal ini dapat diukur pada skala kecil, Contohnya: jumlah organisme yang hidup di
sesendok tanah, atau pada skala besar dalam cakupan biosfer. Keanekaragaman hayati juga dapat
dilihat pada beberapa tingkatan variasi biologis, mulai dari keanekaragaman genetik dalam satu
spesies hingga kekayaan spesies di seluruh bioma. Keanekaragaman hayati pada suatu tempat,
wilayah, atau bentang alam tertentu dapat dipengaruhi oleh adanya iklim, topografi, sejarah
geologis, dan kemungkinan pengaruh manusia dan non-manusia.
Lalu mengapa Keanekaragaman hayati dianggap sebagai sesuatu yang penting?. Mengapa
manusia perlu menghargai Keanekaragaman hayati? Banyak alasan bagi manusia supaya bisa
menghargai keanekaragaman hayati, termasuk alasan antroposentris, biosentris, dan ekosentris.
Alasan antroposentris untuk menghargai keanekaragaman hayati mencakup banyak potensi
berbagai bentuk kehidupan untuk memberikan informasi ilmiah, manfaat rekreasi, obat-obatan,
makanan, atau bahan lain yang berguna bagi kehidupan manusia. Bahkan jika kita tidak (belum)
Keanekaragaman Keanekaragaman
Ekologis Jenis/Spesies
Bioma Domain atau Kingdom
Bioregional Filum
Lansekap Familia
Ekosistem Genus
Habitat Spesies
Nisia Keanekaragaman genetik Subspesies
Populasi Populasi Populasi
Individu Individu
Kromosom
Gen
Nukleotida
Gambar 3.1 Elemen biodiversitas yang direpresentasikan sebagai hierarki yang dimulai dengan
keanekaragaman yang ditemukan dalam gen dan meluas ke keanekaragaman di tingkat bioma.
(Heywood & Baste, 1995)
Keanekaragaman genetika adalah suatu tingkatan biodiversitas yang merujuk pada jumlah
total variasi genetika dalam keseluruhan jenis organisme. Keanekaragaman genetika pada
suatu jenis organisme memegang peranan penting dalam daya adaptabilitas serta keberadaan
populasi dan jenis organisme tersebut untuk tetap bertahan selama evolusi berlangsung
dengan perubahan lingkungan yang terjadi. Sifat-sifat khas pada organisme sangat
bergantung pada DNA setiap spesies. Adanya variasi susunan nukleotida pada DNA membuat
sifat antar makhluk hidup berbeda baik antarspesies maupun intraspesies. Segmen DNA
Contoh bentuk keanekaragaman genetik misalnya pada warna iris mata manusia. Fenomena
ini merupakan contoh dari adanya keanekaragaman genetik pada manusia. Perbedaan
fenotipik yang muncul disebabkan oleh adanya polimorfisme DNA pada nukleotida tunggal
atau diistilahkan dengan SNP (Single Nucleotide Polymorphism). SNP saat ini populer
digunakan untuk mempelajari keanekaragaman dan studi kekerabatan (Collins et al, 1997).
SNP adalah variasi urutan DNA yang terjadi ketika sebuah nukleotida tunggal A, T, C, dan G
dalam suatu genom (atau urutan bersama lainnya) berbeda antara anggota suatu spesies
biologis atau kromosom dipasangkan pada manusia. Sebagai contoh pada kasus warna iris
mata manusia yang dikendalikan oleh gen OCA2. Basa nitrogen "A" pada gen ini berkaitan
dengan warna mata yang lebih gelap, sedangkan basa nitrogen "G" dikaitkan dengan warna
mata yang lebih terang seperti yang terlihat pada gambar 3.2
Gambar 3.2 Perbedaan basa nitrogen tunggal pada gen OCE2 yang menyebabkan perbedaan
warna iris mata manusia. (Sumber: https://genetics.thetech.org)
Berdasarkan gambar terlihat bahwa perbedaan satu basa nitrogen saja pada gen fungsional bisa
merubah sifat pada makhluk hidup. Variasi genetik dalam suatu spesies bisa sangat luas, terutama
pada tanaman budidaya atau hewan domestikasi di mana karakteristik tertentu telah dipilih secara
artifisial dalam anakan yang berbeda. Misalnya, brokoli, kubis, dan kembang kol terlihat sangat
berbeda satu sama lain (Gambar 3.3), namun semuanya adalah varietas dari species Brassica
oleracea, atau varietas pada komoditas buah mangga dan durian yang terdapat pada gambar 3.4.
Secara umum keanekaragaman genetik terlihat adanya variasi secara intra spesies (dalam spesies
yang sama). Contoh dalam spesies mangga terdapat mangga golek, mangga arumanis, mangga
indramayu, mangga lalijiwo, dan mangga manalagi; dalam spesies rambutan ada rambutan binjai,
rambutan aceh, rambutan rapiah, dan sebagainya. Variasi genetik ini muncul pada suatu individu
disebabkan oleh adanya mutasi gen dan kromosom. Pada organisme yang mampu bereproduksi
secara seksual (kawin), variasi genetik dapat terjadi karena peristiwa alami pindah silang (crossing
over) pada saat pembeltukan sel kelamin (gamet) ataupun melalui rekombinasi gen. Menurut
Maryanto et al (2014), sumber keanekaragaman genetika berasal dari semua organisme (tanaman,
hewan, dan mikroorganisme) yang memiliki unit fungsional pewarisan sifat (hereditas), yang
memiliki nilai nyata maupun potensi. Sumber keanekaragaman genetika ini merupakan bahan
dasar dalam pengembangan kultivar, varietas, jenis, rumpun, atau bangsa baru, baik melalui
pemuliaan konvensional maupun bioteknologi. Sumber keanekaragaman genetika ini secara
langsung dan tidak langsung dimanfaatkan oleh petani dan pemulia serta berfungsi sebagai
simpanan (reservoir) adaptabilitas genetika yang dapat digunakan untuk menanggulangi
perubahan iklim dan lingkungan. Erosi terhadap sumber keanekaragaman genetika dapat
mendatangkan ancaman yang serius terhadap ketahanan pangan, pakan, papan, dan energi dalam
jangka panjang. Gambar berikut menunjukkan potensi keanekaragaman genetic pada beberapa
komoditas pertanian.
(B)
Gambar 3.4 Contoh keanekaragaman genetika pada komoditas buah mangga dan durian
(Sumber: http://balitbu.litbang.pertanian.go.id)
Sumber daya genetik atau plasma nutfah merupakan bagian dari keanekaragaman tingkat gen
berupa tumbuhan, hewan, jasad renik, yang telah diketahui kuantitas, kualitas, distribusi dan
cadangannya serta mempunyai kemampuan untuk menurunkan sifat dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Sumber daya genetik ini mempunyai nilai baik yang nyata, yaitu telah
diwujudkan dalam pemanfaatan, maupun yang masih pada taraf potensi yaitu yang belum
diketahui manfaatnya. Pada tanaman, sumber daya genetik terdapat dalam biji, jaringan,
bagian lain tanaman, serta tanaman muda dan dewasa. Pada hewan atau ternak sumber daya
genetik terdapat dalam jaringan, bagian-bagian hewan lainnya, semen, telur, embrio, hewan
hidup, baik yang muda maupun yang dewasa. Sumber daya genetik dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan pemuliaan dalam mengembangkan varietas baru tanaman atau menghasilkan
rumpun baru ternak. Sumber daya genetik dapat terkandung di dalam varietas tradisional dan
varietas mutakhir atau kerabat liarnya. Bahan genetik ini merupakan bahan mentah yang
sangat penting bagi para pemulia tanaman, hewan dan ikan. Bahan genetik ini merupakan
bahan cadangan bagi makhluk untuk penyesuaian genetik dalam mengatasi perubahan kondisi
lingkungan yang membahayakan dan perubahan kondisi ekosistem yang tidak mendukung
kehidupan makhluk.
Keanekaragaman jenis adalah variasi jenis organisme hidup yang menempati suatu ekosistem,
di darat maupun di perairan. Dengan demikian masing-masing organisme mempunyai ciri yang
berbeda satu dengan yang lain. Keanekaragaman jenis tidak diukur hanya dari banyaknya jenis
di suatu daerah tertentu tetapi juga dari keanekaragaman takson (kelompok taksonomi yaitu
kelas, bangsa, suku dan marga). Sebagai contoh, di Indonesia ada enam jenis penyu yang
berbeda, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu
lekang (Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu belimbing
(Dermochelys cariacea) dan penyu tempayan (Caretta caretta), yang masing-masing memiliki
ciri fisik dan perilaku ekologi yang berbeda. Lima dari keenam jenis tersebut diketahui hidup
dan bertelur di Indonesia (Kot et. al., 2015) seperti pada gambar 3.5. Contoh yang lainnya
adalah keanekaragaman jenis tumbuhan pada familia Zingiberaceae yang hidup di di Kawasan
Taman Nasional Nam Nao, Thailand (gambar 3.6).
Keanekaragaman spesies di suatu daerah akan semakin penting dan unik apabila diantara spesies
tersebut ada yang dikategorikan sebagai spesies kunci. Spesies yang memiliki dampak besar terhadap
lingkungannya hingga mempengaruhi ekosistem disebut spesies kunci (keystone species). Ekosistem
sangat bergantung pada spesies kunci hingga apabila spesies kunci hilang atau punah maka ekosistem
menjadi berbeda dan berubah secara drastis. Misalnya predator sebagai spesies kunci yang dapat
mencegah ledakan populasi herbivora yang terlalu banyak memakan tumbuhan seperti serigala abu
sebagai apex predator (predator puncak) di Yellowstone, Amerika Serikat. Contoh spesies kunci yang
terdapat di Asia tenggara adalah Gajah Asia (Elephas maximus). Gajah menciptakan dan memelihara
ekosistem tempat mereka hidup dan memungkinkan beragam spesies tanaman dan hewan untuk hidup
di lingkungan itu juga. Dengan kata lain, hilangnya atau berkurangnya populasi gajah akan sangat
mempengaruhi banyak spesies yang bergantung pada ekosistem yang dipelihara gajah dan
menyebabkan gangguan habitat utama, serta melemahnya struktur dan keanekaragaman alam itu
sendiri. Sehingga kehilangan gajah sama halnya dengan kehilangan penjaga lingkungan.
Menurut Gaston & Spicer (2004), berbicara keanekaragaman spesies tentu tidak hanya sebatas
keragaman makhluk hidup saja. Keanekaragaman spesies juga akan memasukkan setidaknya du
Gambar 3.7 Kekayaan spesies (kiri) dan kemerataan spesies (kanan) (Purvis, 2000).
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk melalui hubungan timbal balik yang tidak
terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungan. Komponen-komponen yang menjadi
penyebab terbentuknya ekosistem, yakni komponen biotik dan abiotik. Semuanya tersusun
menjadi satu kesatuan dalam sebuah ekosistem yang masing-masing tidak dapat berdiri sendiri,
melainkan harus saling berinteraksi, saling mempengaruhi, sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan.
Biotik, memiliki arti “Hidup”. Komponen biotik pada suatu ekosistem adalah makhluk hidup itu
sendiri, sebab ekosistem tak akan pernah terbentuk tanpa adanya makhluk hidup didalamya.
Keberadaan makhluk hidup kemudian membentuk suatu rantai makanan dalam suatu ekosistem.
Komponen kedua dalam ekosistem adalah komponen abiotic atau komponen yang tak hidup.
Dengan kata lain, komponen abiotik adalah komponen yang terdiri dari benda-benda bukan
makhluk hidup tetapi ada di sekitar kita, dan ikut mempengaruhi kelangsungan hidup. Beberapa
jenis komponen abiotik yaitu suhu, sinar matahari, air, angin, udara, kelembapan udara, dan
banyak lagi benda mati yang ikut berperan dalam ekosistem.
Ekosistem ini fungsinya bergantung langsung kepada matahari sebagai sumber energi.
Berdasarkan media kehidupan yang umum seperti air, tanah dan udara, ekosistem alami
dibedakan menjadi ekosistem laut, ekosistem limnik, ekosistem semiterestrial, dan ekosistem
terestrial (Ellenberg 1973).
Sebagai contoh ekosistem alami yang ada di Kawasan Asia Tenggara adalah ekosistem marine
merupakan suatu kesatuan yang terdiri atas berbagai organisme yang berfungsi bersama-sama di
suatu kumpulan massa air masin pada suatu wilayah tertentu, baik yang bersifat dinamis maupun
statis sehingga memungkinkan terjadinya aliran energi dan siklus materi di antara komponen biotik
dan abiotic (Widjaja, et al., 2014). Ekosistem marine (bahari, air masin), terdiri dari hutan bakau,
terumbu karang, hamparan rumput laut, dan pantai berpasir, menyediakan barang dan jasa yang
mendukung populasi manusia. Sebagian besar negara di Asia Tenggara diberkahi dengan
ekosistem laut pesisir yang sangat beragam dan kaya. Ekosistem laut utama kawasan Asia
tenggara diantaranya adalah Laut Cina Selatan dan Laut Sulawesi yang mengelilingi wilayah ini.
Negara-negara Asia Tenggara dengan sumber daya laut pesisir terkaya adalah Indonesia, Filipina,
dan Malaysia.
Wilayah Asia tenggara menyumbang kurang dari 10% dari luas total secara global tetapi
mengandung 30% dari terumbu karang dunia (Lian P Koh, 2013). Fortes (2010) menyatakan
bahwa wilayah Asia Tenggara memiliki 33% dari total sumber daya hutan mangrove dunia dan
setidaknya 20% untuk rumput laut. Seperempat dari produksi ikan global, berada di wilayah ini
(Garces et al., 2008). Perekonomian negara-negara di kawasan Asia Tenggara juga sangat
tergantung pada ekosistem laut pesisirnya. Dengan 60% penduduknya berada dalam jarak 60 km
dari pantai (Lian P Koh, 2013). Terdapat populasi yang besar yang sangat bergantung pada
ekosistem ini untuk penghidupan dan sumber pangan. Ekosistem ini juga merupakan basis
ekonomi bagi banyak industri (misalnya: ekspedisi, transportasi, ekowisata, dll.). Gambar 3.8
memperlihatkan contoh ekosistem air masin di Kawasan Pulau Phi-Phi, Thailand.
Gambar 3.8. Pulau Phi-Phi, Thailand, salah satu ekosistem air masin yang menjadi sumber
keanekaragaman terumbu karang dan ikan. (Sumber: https://www.pxfuel.com)
Gambar 3.9 Ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang sebagai keanekaragaman ekosistem
di kawasan pesisir (Valck & Rolfe, 2018)
Karakteristik fisik suatu lingkungan, misalnya suhu, curah hujan, dan topografi mempengaruhi
keanekaragaman ekosistem dengan cukup kompleks. Karakteristik fisik suatu lingkungan akan
secara signifikan mempengaruhi keanekaragaman spesies dalam suatu komunitas. Organisme
pada gilirannya juga dapat memodifikasi karakteristik fisik ekosistem misalnya mikroklimat pada
komunitas mangrove.
Keanekaragaman ekosistem juga dipengaruhi gangguan lingkungan pada skala temporal dan
spasial yang mempengaruhi kekayaan spesies. Misalnya Ekosistem lereng gunung yang memiliki
spesies-spesies baru yang mengkoloni pasca letusan gunung berapi. Gabungan ekosistem yang
berbeda dengan kumpulan formasi lahan, tipe vegetasi dan fungsi lahan membentuk bentang alam
(landscape). Sedangkan bentang alam dalam luasan benua dengan komunitas flora dan fauna
yang memiliki karakteristik yang sama terhadap lingkungan tempat mereka hidup disebut bioma.
Bioma adalah istilah yang lebih luas daripada habitat. Bioma dapat terdiri dari berbagai habitat.
Berdasarkan model bioma Whittaker (Gambar 3.10), bioma dapat diklasifikasikan menggunakan
2 faktor abiotik, yaitu presipitasi dan temperatur (Whittaker, 1962). Misalnya bila suatu benua
memiliki rerata temperatur tinggi dan curah hujan tinggi maka biomanya adalah hutan hujan tropis,
atau bila temperatur tinggi dan curah hujan sangat rendah maka biomanya adalah gurun.
Dari hierarki ini dapat dipahami bahwa biodiversitas bukan hanya sekedar keanekaragaman
spesies tapi juga aspek-aspek di dalamnya seperti interaksi antar organisme dan komunitas dalam
ekosistem yang berbeda-beda di tiap tempat. Perbedaan kumpulan ekosistem-ekosistem tersebut
menyusun bentang alam yang beragam. Pola spasial dari biodiversitas ini dipengaruhi oleh iklim,
geologi dan geografi. Misalnya jumlah dan tipe spesies yang terdapat di tundra arktik akan berbeda
dengan yang berada di hutan hujan tropis.
Ekosistem terhubung satu sama lain dalam jaringan petakan-petakan kompleks yang saling
berhubungan dan sebagian kecil dari ekosistem-ekosistem ini mungkin lebih penting secara
regional daripada beberapa ekosistem lainnya, sebagian kecil ekosistem tersebut berfungsi
sebagai ekosistem kunci atau keystone ecosystems (Mouquet, et al., 2013). Ekosistem kunci
mempengaruhi bentang alam dengan dua mekanisme utama, yang pertama adalah dengan
membentuk rezim gangguan bentang alam atau, yang kedua, dengan menyediakan sumber daya
yang membatasi bentang alam. Contoh dari ekosistem kunci adalah ekosistem lahan basah,
termasuk mangrove dan gambut. Banyak lahan basah dapat bertahan dari kebakaran hutan dan
pada akhirnya berfungsi sebagai oase bagi organisme dalam bentang alam dengan kondisi yang
berubah drastis (Locky, 2016).
Asia Tenggara memiliki total luas daratan hampir 4,5 juta km2 dan dihuni oleh populasi penduduk
lebih dari setengah miliar orang. Selain daratan, Kawasan Asia Tenggara memiliki cakupan wilayah
laut yang cukup luas dengan sebagian besar wilayah yang beriklim tropis. Beberapa memiliki
karakteristik iklim yang kering, sehingga menghasilkan hutan musim seperti di wilayah Myanmar
tengah, Indochina tengah, sebagian Filipina, dan beberapa wilayah di Indonesia (Sumatra Utara,
Jawa Timur, Nusa Tenggara dan Papua Barat). Beberapa delta sungai dan danau besar terdapat
di kawasan ini, banyaknya pegunungan pun menyediakan tipe habitat yang berbeda.
Gambar 3.11. Cincin Api Pasific (The Pacific Ring Of Fire) yang melewati Kawasan Asia
Tenggara (Sumber: https://orator.id)
Debu akibat letusan gunung berapi kaya akan mineral anorganik yang menyuburkan tanah
sehingga masyarakat tetap banyak yang tinggal di area sekitar gunung berapi. Jalur Cincin Api
juga memberikan potensi energi geotermal yang berpotensi digunakan sebagai sumber tenaga
alternatif. Kawasan Asia Tenggara memiliki puncak salju abadi dan gletser permanen yang
terdapat di wilayah Myanmar utara dan bagian tengah wilayah Papua Barat. Jenis habitat khas
lainnya termasuk formasi batu kapur karst yang luas dan beberapa bukit ultrabasa. Wilayah
lautnya meliputi perairan laut dangkal di kawasan paparan Sunda dan Sahul, laut yang lebih dalam
beberapa tempat, dan palung laut yang sangat dalam di sebelah timur Filipina, sebelah utara
Kepulauan Tanimbar, dan bagian Selatan Pulau Jawa.
Kawasan Asia Tenggara dikenal sebagai hotspot keanekaragaman hayati, dan pada saat
bersamaan merupakan Kawasan yang terancam. Wilayah ini memiliki keunikan secara biologis,
biogeografinya yang kompleks dan menghasilkan zonasi biotik regional dan pembagian
biogeografi yang kompleks dan khas, yang memerlukan penelitian lebih lanjut (Sheldon et al.
2015). Menurut Zachos et al., (2011), saat ini terdapat tidak kurang dari 35 wilayah yang sudah
memenuhi kriteria hebagai hotspot biodiversitas, empat diantaranya terdapat di Kawasan Asia
Tenggara. Hotspot keanekaragaman hayati adalah suatu wilayah yang memiliki jumlah
keanekaragaman hayati tinggi dan mengalami kehilangan habitat akibat aktivitas manusia. Untuk
memenuhi syarat suatu Kawasan bisa dikategorikan sebagai hotspot keanekaragaman hayati,
menurut Conservation International (www.conservation.org), “suatu wilayah harus memiliki
Gambar 3.12 Kawasan Coral Triangle yang memasukkan 4 Negara di Kawasan Asia Tenggara
(Sumber: Coral Triangle Centre Annual Report, 2017)
Seperti yang dilaporkan oleh The United Nations Environment Programme World Conservation
Monitoring Centre (UNEP-WCMC), beberapa negara di Kawasan Asia tenggara ada pada daftar
17 negara yang termasuk ‘megabiodiversity country’ dengan fokus khusus pada
keanekaragaman hayati yang bersifat endemik. Ketujuhbelas negara tersebu tantara lain: Amerika
Serikat, Meksiko, Kolombia, Ekuador, Peru, Venezuela, Brazil, Republik Demokratik Kongo, Afrika
Selatan, Madagaskar, India, Malaysia, Indonesia, Filipina, Papua Nugini, Cina, dan Australia.
Negara yang memiliki potensi keanekaragaman hayati tinggi di Kawasan Asia tenggara,
diantaranya: Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Timor Leste. Negara ini merupakan negara yang
memiliki tingkat keanekaragaman hayati serta tingkat endemisme yang sangat tinggi sehingga
menjadi salah satu negara ‘megabiodiversity country’. Kekayaan keanekaragaman hayati tersebut
adalah aset bagi pembangunan dan kemakmuran bangsa karena sebagian besar pembangunan
nasional mengandalkan keanekaragaman hayati.
Seperti yang diungkapkan oleh Myers et al (2000), umumnya ketika ahli berbicara kenekaragaman
hayati di Kawasan Asia Tenggara, yang difikirkan adalah pola biogeografi utama yang terbentuk,
Asia Tenggara memiliki banyak flora dan fauna unik yang statusnya terancaman mengalami
kepunahan. Gambar 3.13 menunjukkan Kekayaan species dan endemisitas beberapa spesies flora
dan fauna dikawasan Asia Tenggara menurut Conservation International (2004) dan Sodhi (2004).
Sumbu X menunjukkan persentase endemisitas, sedangkan sumbu Y menunjukkan kelompok
hewan/tumbuhan. Misalnya jumlah mamalia 73/329 di Indo-Burma, berarti 73 dari 329 mamalia
merupakan endemik area tersebut, yang berarti 22,18% endemisitas sebagaimana ditunjukkan
melalui Panjang batang. Empat hotspot keanekaragaman hayati yang saling tumpang tindih
ditandai dengan raster warna merah. Diagram batang menunjukkan persentase spesies endemik
yang ada pada setiap hotspot. Angka yang ada dalam tanda kurung mewakili total spesies dan
endemisme. Pulau Kalimantan termasuk wilayah politik antara Brunei Darussalam, Malaysia dan
Indonesia. Hotspot Indo-Burma termasuk bagian dari Bhutan, Nepal, India timur, Cina selatan,
serta kepulauan Hainan dan Andaman.
Gambar 3.13 Kekayaan Species dan Endemisitas Flora dan Fauna di Kawasan Asia Tenggara
(Sumber: Conservation International (2004); Sodhi et al., 2004)
Predikat sebagai negara megabiodiversitas untuk beberapa negara di kawasan Asia Tenggara,
baik dari segi keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman spesies dan keanekaragaman genetik
menuntut tanggung jawab yang besar untuk pelestarian dan pemanfaatan bagi masyarakat.
Tantangan terbesar dalam pengelolaan keanekaragaman hayati adalah mempertahankan
keseimbangan antara kelestarian fungsi (ekologis) dengan kelestarian manfaat (ekonomis).
Tabel 3.1 Jumlah spesies tanaman dan hewan vertebrata di Kawasan hotspot Asia Tenggara
(Zachos & Habel, 2011)
Tumbuhan Burung Reptil Ikan Air tawar Amfibi Mammalia
No. Hostpot
O E O E O E O E O E O E
1. Indo- 13.500 7.000 1277 73 518 204 1262 553 328 193 401 100
Burma
2. Sundaland 25.000 15.000 771 146 449 244 950 350 258 210 397 219
3. Wallacea 10.000 1.500 650 265 222 99 250 50 49 33 244 144
4. Filipina 9.253 6.091 535 185 235 160 281 67 94 78 178 113
Gambar 3.14 Sumbu X mewakili persentase spesies terancam, sementara sumbu Y mewakili
species yang terancam dan jumlah total spesies dalam Daftar Merah IUCN.
4. Aktivitas Pembelajaran
Materi dalam modul ini dirancang untuk dipergunakan oleh pengguna baik dengan fasilitasi oleh
fasilitator maupun secara mandiri. Kegiatan pembelajaran yang dapat dilaksanakan untuk mempelajari
bagian 1 ini adalah sebagai berikut.
[1] Mulailah dengan membaca bagian pendahuluan, petunjuk penggunaan, pengantar modul, dan
tujuan pembelajaran.
LEMBAR KERJA-1
Gambaran Umum Biodiversitas di Kawasan Asia Tenggara
A. Pendahuluan
Biodiversitas (Keanekaragaman hayati) adalah seluruh bentuk kehidupan di bumi ini, yang terdiri
atas berbagai tingkatan, mulai dari tingkatan gen, spesies sampai dengan ekosistem. Antara tingkatan
satu dengan lainnya saling berinteraksi di dalam satu lingkungan. Adanya tiga hierarki keanekaragaman
hayati tersebut menghasilkan keanekaragaman secara fungsional yang berperan dalam pemenuhan
kebutuhan hidup manusia dan dalam menjaga sistem penopang kehidupan di bumi. Jadi,
keanekaragaman hayati merupakan fondasi dalam menyediakan lingkungan yang produktif, sehat,
nyaman dan aman dalam memenuhu berbagai kebutuhan hidup manusia untuk mencapai
kesejahteraan secara fisik dan spiritual.
Asia Tenggara merupakan suatu Kawasan yang sangat unik, letak secara astronomis di sekitar
khatulistiwa dan dilewati oleh yang memiliki kekuatan kemaritiman. Kondisi ini semua yang
menyebabkan Kawasan ini menjadi salah satu hotspot keanekaragaman hayati dunia.
Beberapa negara di Asia tenggara, berpredikat sebagai negara megabiodiversity, baik dari segi
keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman spesies, dan keanekaragaman genetik. Hal ini menuntut
tanggung jawab yang besar untuk pelestarian dan pemanfaatan bagi masyarakat. Tantangan terbesar
dalam pengelolaan keanekaragaman hayati adalah mempertahankan keseimbangan antara kelestarian
fungsi (ekologis) dengan kelestarian manfaat (ekonomis). Tantangan ini tidak mudah untuk dihadapi,
karena sebagian besar keanekaragaman hayati merupakan sumber daya lintas batas administrasi dan
dikelola oleh berbagai pihak/sektor. Data lapangan terkait keanekaragaman hayati secara utuh untuk
Kawasan Asia Tenggara belum sepenuhnya ada, sehingga menjadi tantangan sekaligus ancaman.
B. Indikator:
Setelah melaksanakan kegiatan ini diharapkan peserta dapat:
[1] memahami pengertian biodiversitas (keanekaragaman hayati) menurut beberapa acuan
literatur;
[2] mendeskripsikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati dan
hotspot keanekaragaman hayati;
[3] menganalisis potensi keanekaragaman hayati di daerah masing-masing dan upaya
perlindungannya.
C. Kegiatan
5. Tugas
Setelah mempelajari materi tentang gambaran umum biodiversitas di kawasan Asia Tenggara dan
melakukan aktivitas pembelajaran dalam modul. Dalam kapasitas anda sebagai pendidik, tuliskanlah
sebuah ide kegiatan pembelajaran untuk mengenalkan keanekaragaman hayati secara sederhana
kepada siswa anda di kelas!. Anda dibebaskan menyusun ide skenario pembelajaran sesuai jenjang
kelas yang diampu dan disesuaikan dengan kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa anda sesuai
jenjangnya. Pergunakan format penyusunan rancangan skenario pembelajaran yang terdapat pada
lampiran modul ini untuk menuangkan ide skenario pembelajaran yang akan anda susun!
6. Refleksi
Setelah Anda mempelajari seluruh materi dalam modul ini, lakukanlah refleksi agar Anda mengetahui
sejauh mana Anda memahami materi dan materi apa yang belum Anda kuasai dalam modul ini.
(3) Hal menarik yang saya temui selama mempelajari modul ini adalah:
(Jelaskan hal menarik yang Anda temui saat mempelajari modul ini, misalnya: gambar yang ditampilkan, contoh kegiatan
praktik, hal-hal yang baru, soal-soal yang diberikan, dsb.)
1. Pengantar
2. Tujuan
Setelah mempelajari paparan dalam kegiatan belajar 2 diharapkan peserta:
a. Memahami peranan manusia dan keanekaragaman hayati;
b. Memahami nilai-nilai Keanekaragaman Hayati;
c. Memahami bentuk-bentuk layanan ekosistem bagi kehidupan;
d. Memahami hubungan antara nilai keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem;
e. menyusun lembar kerja peserta didik terkait nilan dan manfaat keanekaragaman hayati.
3. Uraian materi
a. Manusia dan Keanekaragaman Hayati
Belum banyak manusia yang menyadari betapa pentingnya keanekaragaman hayati, padahal
eksistensi dan kesejahteraan manusia di alam sangat tergantung pada keberadaan
keanekaragaman hayati. Setiap harinya manusia menggunakan secara langsung maupun tidak
langsung sekitar 40.000 spesies makhluk hidup (Eldredge, 2000). Keanekaragaman hayati
memberikan banyak manfaat bagi manusia seperti: sumber makanan, air, oksigen, energi,
penguraian limbah, stabilisasi iklim bumi, bahan obat-obatan, peluang untuk rekreasi dan
Berbagai aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya telah menimbulkan dampak
langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan penurunan keanekaragaman hayati. Konvensi
Keanekaragaman Hayati menyebutkan bahwa manusia berperan menyumbang faktor dalam
penurunan keanekaragaman hayati baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor penyebab
tidak langsung antara lain: faktor demografis, ekonomi, sosiopolitik, IPTEK, budaya dan agama.
Sedangkan faktor penyebab langsung diantaranya adalah perubahan dalam penggunaan tata
kelola lahan dan tutupan lahan, introduksi atau migrasi spesies, masuknya spesies dari luar,
pemanenan, pencemaran lingkungan, dan perubahan iklim (CBD, 2010).
Mason (2016), menyebutkan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh manusia terhadap lingkungan
telah terjadi secara substansial dalam 16 tahun terakhir. Tiga perempat permukaan tanah Bumi
berada di bawah cekaman aktivitas manusia. Selama 8000 tahun terakhir, sebanyak 45% area
tutupan hutan di bumi sudah mengalami perubahan (CBD, 2010). Per bulan September tahun 2019
tah kurang dari 7,7 miliar manusia menghuni bumi (PRB, 2019). Peningkatan jumlah manusia
menyebabkan masalah karena seiring dengan bertambahnya populasi manusia, maka perubahan
habitat alami menjadi lahan untuk konsumsi manusia semakin bertambah. Gambar 3.15
memperlihatkan bagaimana pengaruh manusia terhadap keanekaragaman hayati dunia, termasuk
Kawasan Asia Tenggara di dalamnya.
Gambar. 3.15 Peta yang menunjukkan dampak manusia terhadap lingkungan (meningkatkan atau
menurunkan kualitas) dari tahun 1993 hingga 2009 (Sumber: https://www.nationalgeographic.com).
Kegiatan manusia memainkan peran dalam perubahan iklim dan juga menyebabkan ancaman besar
bagi keanekaragaman hayati. Perubahan iklim merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan
mahluk hidup di muka bumi karena fenomena ini menyebabkan peningkatan konsentrasi karbon
dioksida di atmosfer, yang mengakibatkan peningkatan suhu daratan dan lautan,perubahan curah
hujan dan kenaikan permukaan air laut. Perubahan iklim memberikan dampak pada perubahan
spesies. Iklim mempengaruhi waktu reproduksi dan migrasi, panjang masa pertumbuhan, distribusi
spesies, ukuran populasi, frekuensi terjadinya wabah hama dan penyakit. Prediksi terjadinya
perubahan iklim pada abad ke-21 akan memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi daripada 10.000
tahun terakhir dan menciptakan dampak yang lebih besar terhadap keanekaragaman hayati (CBD,
2010). Berdasarkan prediksi Sherbinin (2002), sebanyak 80% wilayah yang kaya secara biologis
(hotspot) akan terdampak akibat pemanasan global. Tingkat perubahan habitat diperkirakan
meningkat hingga sepuluh kali lipat akibat pemanasan global.
Jasa-jasa atau layanan sistem ekologi dan stok modal alam ini meskipun sebagian bersifat
intangible, memiliki nilai dan akan menyebabkan perubahan kesejahteraan
manusia(Costanza, et al., 1997). Oleh karena itu pelestarian kawasan ekosistem yang
merupakan habitat berbagai kehati sangat diperlukan. Keanekaragaman jenis juga
memiliki fungsi dalam rantai makanan dan jejaring kehidupan yang kadangkala fungsinya
tidak dapat digantikan.
Komponen jenis flora dan fauna yang membentuk keanekaragaman jenis secara sendiri-
sendiri sebagian telah dikenali memiliki manfaat bagi manusla, namun sebagian belum
diketahui manfaatnya walaupun kedua-duanya memiliki fungsi dalam ekosistem.
Komponen jenis flora dan fauna dalam ekosistem yang belum diketahui manfaatnya ini
kemungkinan dapat menjadi sumber kehidupan masa depan. Sehingga upaya pelestarian
individu jenis flora dan fauna juga diperIukan agar manfaat saat ini maupun manfaat
potensialnya dapat lestari.
Keanekaragaman hayati dan jasa sistem ekologi mempunyai peran penting karena
memberikan berbagai manfaat untuk mendukung kehidupan manusia, antara lain sebagai
sumber bahan pangan, kesehatan, energi maupun memberikan jasa ekosistem yang
fungsinya sulit untuk digantikan. Manfaat yang diberikan oleh keberadaan
keanekaragaman hayati secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi terhadap
kesejahteraan manusia sehingga merepresentasikan sebagian dari nilai ekonomi total.
Nilai ekonomi jasa lingkungan umumnya bersifat taksiran. Hal ini dikarenakan sebagian
besar jasa ekosistem nilainya tidak terefleksi ataupun terkuantifikasi secara memadai di
pasar komersial. Meskipun nilainya tidak selalu tergambar jelas dalam pasar,
keanekaragaman hayati merupakan aset yang sangat berharga untuk generasi sekarang
maupun generasi mendatang, sehingga upaya konservasi dan pemanfaatannya secara
berkelanjutan menjadi landasan pembangunan berkelanjutan. Agar upaya konservasi dan
pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan bisa sejalan dengan kegiatan
perekonomian, maka nilai ekonomi keanekaragaman hayati perlu diperjelas secara
eksplisit.
Menurut Sandler (2012) keanekaragaman hayati mempunyai dua nilai penting, yaitu: (i) nilai
intrinsik (nilai inheren) dan (ii) nilai ekstrinsik (nilai manfaat atau nilai instrumental). Nilai intrinsik
adalah nilai yang ada pada dirinya sendiri lebih menitik beratkan pada konsep filosofis tentang
keanekaragaman hayati itu sendiri. Sedangkan nilai ekstrinsik/eksternal, adalah nilai manfaat baik
secara langsung maupun tidak langsung dari keanekaragaman hayati bagi manusia. Namun Chan
(2006), menambahkan terdapat nilai relasional, untuk memperlihatkan bagaiman alam memberi
banyak manfaat untuk manusia, banyak proses alam yang mempengaruhi aktivitas manusia baik
secara individual maupun secara kelompok. Nilai relasional berkaitan dengan segala macam
hubungan antara manusia dan alam, termasuk hubungan yang ada di antara manusia tetapi
melibatkan alam (misalnya, hubungan dampak bahan pencemar bagi alam yang meluas akibat
aliran sungai). Hubungan ketiganya bisa dilihat pada Gambar 3.17.
Sedangkan Pearce, dkk., (2002) membagi nilai keanekaragaman hayati menjadi: (i) Nilai guna,
yaitu nilai guna langsung (barang), nilai tidak langsung (jasa); dan (ii) Nilai non-guna (non-use
values). Pengelompokkan nilai menurut Pearce ini akan digunakan karena lebih mudah untuk
diterapkan dapat menilai manfaat keanekaragaman hayati. Nilai keanekaragaman hayati yang
berguna langsung dapat terdiri dari nilai konsumtif dan produktif yang dapat berbentuk makanan,
obat-obatan, material bangunan, dan serat maupun bahan bakar. Sedangkan nilai tidak langsung
adalah nilai jasa lingkungan antara lain dapat berupa pengendalian hama secara biologis,
Gambar 3.17 Nilai Intrinsik, Nilai Instrumental, dan Nilai Relasi (Sumber: Chan, 2016)
Nilai non-guna terdiri atas nilai potensial/pilihan, nilai eksistensi. Nilai eksistensi merupakan
nilai keanekaragaman hayati di masa depan, karena keberadaaannya akan bermanfaat untuk masa
depan, meskipun secara spesifik belum diketahui pada Saat sekarang. Nilai eksistensi akan
memberikan kesempatan untuk generasi mendatang memperoleh pengetahuan sebagai modal
kehidupan bagi generasi masa depan (lihat tabel 4. 1).
Tabel 3.2 Kategori Nilai Manfaat Keanekaragaman Hayati (modifikasi Pearce, dkk., 2002)
Antroposentrisme Biosentrisme
Nilai hakiki
Nilai guna Nilai Non-Guna
(intrinsik)
Nilai Resiliensi
Gambar 3.18 Pengkategorian nilai biodiversitas menurut Entenmann dan Schmitt (2013).
Gambar 3.19 Empat jenis layanan yang disediakan ekosistem untuk mendukung kehidupan dan kesejahteraan
manusia (Sumber: https://healingearth.ijep.net/biodiversity/photo/ecosystem-services-photo)
Seperti dilaporkan oleh (Darajati, et al., 2016), nilai jasa lingkungan ini, misalnya dapat
digambarkan dari hasil penelitian di Kebun Raya Bogor yang menunjukkan bahwa setidaknya
terdapat 52 marga tumbuhan yang pembungaan dan pembuahannya tergantung pada kelelawar.
Keberadaan kelelawar yang membantu penyerbukan sangat penting dalam proses produksi
tanaman buah-buahan, seperti durian dan petai sehingga keberadaan dan keseimbangan
ekosistem tempat hidup kelelawar ini, perlu dijaga keberlanjutannya.
Ekosistem dan flora-fauna yang membentuknya memberikan sejumlah layanan untuk semua
makhluk hidup. Layanan-layanan ini biasanya merupakan suatu proses dengan nilai manfaat guna
langsung (indirect use value), diantaranya:
[1] mengatur proses global, seperti meregulasi gas di atmosfer yang mempengaruhi iklim global
dan lokal dan udara yang kita hirup;
[2] konservasi tanah dan air, mempertahankan siklus hidrologi dan mengendalikan erosi;
[3] siklus nutrisi, aliran nutrisi dan energi di seluruh dunia, dekomposisi limbah dan detoksifikasi,
pembaruan tanah, fiksasi nitrogen, dan fotosintesis;
[4] menjaga kelangsungan reproduksi tumbuhan melalui penyerbukan dan penyebaran benih,
dimana tumbuhan sebagai produsen bahan-bahan pangan, pakaian, atau tempat tinggal;
[5] pengendalian hama dan penyakit pertanian;
[6] peluang pariwisata dan rekreasi, dan lain-lain.
Siklus karbon di bumi ini adalah melalui kombinasi proses fisik, kimiawi, geologis, dan biologis.
Salah satu cara utama biodiversitas mempengaruhi komposisi atmosfer bumi adalah melalui
perannya dalam siklus karbon di lautan. Fitoplankton mengatur kimia atmosfer dengan mengubah
karbon dioksida menjadi bahan organik selama fotosintesis. Pergerakan karbon melalui lautan ini
menghilangkan kelebihan karbon dari atmosfer dan dengan demikian mengatur iklim bumi.
Biodiversitas juga penting untuk perlindungan tanah dan air secara global. Vegetasi darat di hutan
dan habitat dataran tinggi lainnya menjaga kualitas dan kuantitas air, dan mengendalikan erosi
tanah. Salah satu ekosistem paling produktif di bumi, yaitu lahan basah (wetland), misalnya
Nilai Non-Guna
Nilai-nilai non guna atau pasif digunakan untuk mengkategorikan nilai biodiversitas yang tidak memiliki
penggunaan secara langsung dan nilai pasar. Dua nilai prinsip yang biasanya dimasukkan dalam nilai
non-manfaat adalah: nilai keberadaan/eksistensi (existence value), yaitu nilai untuk mengetahui
bahwa sesuatu itu ada meski tidak akan pernah digunakan atau dilihat, dan nilai warisan (bequest
value), yaitu nilai pada sesuatu yang ditinggalkan untuk generasi berikutnya. Nilai potensi atau pilihan
(potential or option value) kadang-kadang termasuk dalam kategori ini, dan mengacu pada nilai sesuatu
yang belum diakui atau dikenali, seperti nilai potensi suatu tanaman sebagai kandidat bahan obat-
obatan.
Keanekaragaman hayati menyimpan nilai manfaat yang sekarang belum disadari atau belum dapat
dimanfaatkan oleh manusia. Namun seiring dengan perubahan permintaan, pola konsumsi dan asupan
teknologi, nilai ini dapat menjadi penting di masa depan. Potensi tumbuhan liar sebagai sumber obat-
obatan merupakan salah satu bentuk nilai pilihan ini. Banyak perusahaan farmasi dan lembaga
kesehatan pemerintah secara intensif berupaya menemukan sumber Obat baru dari kehati di habitat
aslinya untuk memerangi penyakit seperti AIDS dan kanker.
Dengan demikian seiring dengan masih berkembangnya tingkat pengetahuan mengenai
keanekaragaman hayati, maka keberlangsungan keanekaragaman hayati baik dalam ekosistem in-situ
maupun ex-situ perlu senantiasa dipelihara. Jika salah satu jenis keanekaragaman hayati kemudian
mengalami kepunahan sebelum teridentifikasi, maka nilai-nilai keanekaragaman hayatinya pun turut
punah. Sehingga adanya berbagai riset dan pengembangan serta upaya pelestarian kenekaragaman
hayati menjadi tantangan yang ada saat ini. Upaya ini merupakan bagian penting agar ilmu
keanekaragaman hayati tidak menjadi ilmu ‘yang sedang menghilang (disappearing science).
Sejalan dengan berkembangnya kehidupan dan berkurangnya ruang terbuka, manusia kemudian mulai
mencari-cari dan rela ‘membayar’ untuk menikmati keindahan alam. Perkembangan minat ini, sejalan
dengan pemanfaatan nilai eksistensi keanekaragaman hayati, yaitu nilai yang dimiliki oleh
keanekaragaman hayati karena keberadaannya di suatu tempat. (Laverty, Sterling, Chiles, & Cullman,
2008). Nilai Eksistensi tidak berkaitan dengan potensi manfaat dan jasa suatu organisme tertentu
secara langsung, tetapi berkaitan dengan "memanfaatkan" hak hidup dan eksistensi kehati sebagai
salah satu bagian dari alam.Pegunungan karst yang memiliki nilai jasa lingkungan sebagai sumber mata
air, perlu dilestarikan. Namun demikian, masyarakat sering memanfaatkan dan menambang karst untuk
dijual sebagai bahan industri semen. Langkah ini tentu saja perlu dicegah. Pencegahan pertama adalah
menjadikan kawasan karst sebagai suaka alam. Namun demikian, menjadikan kawaan karst sebagai
suaka alam tidak cukup karena apabila masyarakat miskin hidup di sekitarnya, maka pencaharian
termudah adalah menambang karst. Nilai eksistensi kemudian dapat dikembangkan untuk
mendatangkan pendapatan masyarakat namun tidak merusak, yaitu dengan menciptakan wisata karst
yang sekaligus melibatkan masyarakat lokal secara langsung (sebagai pekerja) maupun tidak langsung
(membina masyarakat menyediakan jasa turis), sehingga kelestarian karst tetap dijaga.
Demikian, pula, berbagai lokasi di Indonesia seperti hutan pantai mangrove, terumbu karang ataupun
hutan alam, dapat dikembangkan sebagai area wisata karena pemandangannya bagus (eksistensi)
maupun wisata ilmiah untuk segmen konsumen yang tepat. Misalkan formasi terumbu karang di
Wakatobi (Indonesia), Raja Ampat (Indonesia), dan Bunaken merupakan tempat yang memanfaatkan
4. Aktivitas Pembelajaran
Materi dalam modul ini dirancang untuk dipergunakan oleh pengguna baik dengan fasilitasi oleh
fasilitator maupun secara mandiri. Kegiatan pembelajaran yang dapat dilaksanakan untuk mempelajari
bagian 2 ini adalah sebagai berikut.
[1] Mulailah dengan membaca bagian pendahuluan, petunjuk penggunaan, pengantar modul, dan
tujuan pembelajaran.
[2] Pelajarilah bagian uraian materi dan kerjakanlah seluruh kegiatan dalam Lembar Kerja – 2. Jika
memungkinkan, tugas rangkuman dalam Lembar Kerja-2 buatlah dalam bentuk bagan,
diagram, tabel atau bentuk lainnya agar lebih mudah dipelajari ulang.
Diantara enam negara yang menjadi bagian dari pusat penyelamatan terumbu karang dunia bernama
Coral Triangle Initiative, Indonesia adalah negara yang memiliki garis pantai terpanjang yang harus
dilindungi, yaitu sepanjang 80.791 kilometer! Garis pantai ini bahkan jauh lebih panjang dibanding
urutan kedua di negara yang termasuk dalam Coral Triangle Initiative (CTI) yaitu Filipina, yang hanya
sepanjang 22.540 kilometer seperti terlihat pada gambar 3.22.
Segitiga terumbu karang dunia atau Coral Triangle memiliki 30% dari seluruh jenis terumbu karang
yang ada di dunia, 86% dari spesies penyu laut yang ada di dunia, 2.228 spesies ikan, dan lebih dari
500 spesies terumbu karang. Segitiga termbu karang dunia, memiliki keanekaragaman hayati terbesar
di dunia dan seringkali disebut sebagai “Pusat dari Keanekaragaman hayati dunia” oleh berbagai
peneliti di seluruh dunia. Segitiga terumbu karang adalah sebuah tempat perkembangbiakan berbagai
spesies perairan di wilayah ini, di Indonesiea saja ada 1650 spesies yang bergantung pada terumbu
karang. Lokasi ini juga memiliki 75% dari seluruh spesies mangrove atau bakau di seluruh dunia, dan
45% spesies rumput laut.
Tak hanya bagi mahluk air, terumbu karang pun menjadi sumber protein bagi manusia lewat ikan-ikan
yang tumbuh besar di wilayah ini. Di Indonesia, sekitar 60% protein nabati diperoleh dari ikan. Artinya,
sekitar 120 juta orang bergantung pada pasokan ikan di perairan sebagai sumber pangan mereka. Hal
ini belum termasuk menjadi sumber pendapatan sebesar 2.4 juta dollar AS dari bisnis perikanan dan
12 juta dollar AS dari bisnis pariwisata di Asia Tenggara, termasuk Pulau Komodo dan Kepulauan Raja
Ampat. Jadi, kehilangan terumbu karang, tak hanya kehilangan ikan sebagai sumber pangan, namun
5. Tugas
Setelah anda mempelajari materi Nilai dan Manfaat Keanekaragaman Hayati pada kegiatan belajar-2
dan melakukan aktivitas pembelajaran dalam modul. Dalam kapasitas anda sebagai pendidik,
tuliskanlah sebuah ide kegiatan pembelajaran untuk nilai-nilai dan manfaat keanekaragaman hayati
secara sederhana kepada siswa anda di kelas!. Anda dibebaskan menyusun ide skenario pembelajaran
sesuai jenjang kelas yang diampu dan disesuaikan dengan kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa
anda sesuai jenjangnya. Pergunakan format penyusunan rancangan skenario pembelajaran yang
terdapat pada lampiran modul ini untuk menuangkan ide skenario pembelajaran yang akan anda susun!
6. Refleksi
Setelah Anda mempelajari seluruh materi dalam modul ini, lakukanlah refleksi agar Anda mengetahui
sejauh mana Anda memahami materi dan materi apa yang belum Anda kuasai dalam modul ini.
(3) Hal menarik yang saya temui selama mempelajari modul ini adalah:
(Jelaskan hal menarik yang Anda temui saat mempelajari modul ini, misalnya: gambar yang ditampilkan, contoh kegiatan
praktik, hal-hal yang baru, soal-soal yang diberikan, dsb.)
1. Pengantar
2. Tujuan
Setelah mempelajari paparan dalam kegiatan belajar 3 diharapkan peserta:
3. Uraian Materi
a. Ancaman Keanekaragaman hayati
Kepunahan
Kepunahan (extinction), atau lenyapnya spesies dari Bumi, adalah bagian penting dari
evolusi kehidupan. Keragaman spesies saat ini adalah produk dari proses evolusioner yang
melibatkan kepunahan dan spesiasi sepanjang sejarah 3,5 miliar tahun. Kepunahan tidak terjadi
dengan kecepatan konstan sepanjang sejarah Bumi.
Terkadang sulit untuk mengetahui dengan pasti kapan suatu spesies punah di alam liar.
Ketika mereka hampir punah, mereka jelas sulit diamati, terutama spesies yang secara alami langka
dan kemungkinan tinggal di daerah terpencil. Suatu spesies diasumsikan punah ketika individu
terakhir dari spesies tersebut dipastikan telah mati. Umumnya terdapat aturan praktis yaitu suatu
spesies dikatakan punah jika spesies tersebut tidak terlihat selama 50 tahun (meskipun jumlah
waktu yang tepat bervariasi berdasarkan masa hidup spesies) setelah survei lapangan yang luas.
Ancaman utama yang disebabkan manusia terhadap biodiversitas adalah hilangnya
habitat, kerusakan dan degradasi habitat (termasuk polusi udara dan air), eksploitasi spesies yang
berlebihan untuk dimanfaatkan manusia, introduksi spesies eksotis, dan peningkatan penyebaran
penyakit (Gambar 1). Sebagian besar spesies yang terancam menghadapi setidaknya dua atau
lebih dari ancaman ini, hal ini mempercepat jalannya menuju kepunahan dan menghambat upaya
konservasi. Biasanya, ancaman ini berkembang begitu cepat dan dalam skala besar sehingga
spesies tidak dapat beradaptasi secara genetik dengan perubahan atau menyebar ke lokasi yang
lebih sesuai. Ancaman-ancaman ini akan terus meningkat seiring dengan pertambahan populasi
manusia, pembangunan dan eksploitasi berlebih, habitat alami yang tersisa menghilang, dan ketika
iklim global terus berubah seperti diilustrasikan pada gambar 3.23.
Gambar 3.24 Pusaran Kepunahan. semakin kecil populasi, maka semakin rentan terhadap faktor
demografis, genetik, dan lingkungan yang cenderung mengurangi ukuran populasi lebih banyak dan
mendorong populasi ke kepunahan (Primack, 1993)
Gambar 3.25 Dampak eksploitasi spesies ikan cod Atlantik (Frank, Petrie, Choi, & Leggett, 2005)
Eksploitasi Berlebihan
Manusia berburu dan memanen makanan dan sumber daya alam lain yang mereka butuhkan untuk
bertahan hidup. Selama populasi manusia kecil dan metode pengumpulannya sederhana, maka
panen dan berburu akan tetap berkelanjutan (sustainability). Dalam masyarakat tradisional,
pembatasan sering diberlakukan untuk mencegah eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.
Misalnya, mengontrol dengan ketat hak pemanenan pada wilayah tertentu, atau melarang berburu
di daerah tertentu, atau sering kali ada larangan untuk memburu hewan betina dan anaknya, dan
individu yang berukuran terlalu kecil.
Ketika populasi manusia meningkat jumlahnya, eksploitasi terhadap lingkungan meningkat dan
metode panen menjadi lebih efisien secara dramatis. Hal ini telah banyak mengurangi hewan-hewan
berukuran besar banyak komunitas biologis, meninggalkan habitat kosong. Di hutan hujan tropis
dan sabana, sekarang perburuan menggunakan senapan sebagai pengganti sumpit, tombak, atau
panah. Peningkatan prosentase perdagangan satwa dari golongan Mammalia yang ada di Indonesia
telah terjadi, yaitu dari 25% dari total species yang ada pada tahun 1996 menjadi 32% pada tahun
2000. Sementara itu, jatah pengambilan (kuota) berbagai jenis satwa untuk diperdagangkan
seringkali tidak didasarkan pada perhitungan yang akurat mengenai status populasi dan distribusi
mereka di alam. Di lautan, ikan ditangkap oleh kapal-kapal yang sangat besar dan hasilnya dijual di
pasar global. Bahkan nelayan skala kecil pun sekarang memiliki motor tempel di atas kano dan kapal
mereka untuk menangkap ikan di daerah yang lebih luas dengan waktu yang lebih cepat untuk hasil
yang lebih banyak.
Metode Konservasi
Konservasi In situ
Konservasi in situ adalah konservasi ekosistem dan habitat alami serta pemeliharaan dan pemulihan
populasi spesies yang layak di lingkungan alaminya dan, dalam kasus spesies domestikasi atau
budidaya, di lingkungan di mana mereka telah mengembangkan sifat khasnya.
Teknik in situ melibatkan pemeliharaan variasi genetik di lokasi di mana ia ditemukan, baik di alam liar
atau dalam sistem pertanian tradisional. Melalui konservasi in-situ ini proses spesiasi dapat lebih
terjamin. Mayoritas cagar alam dan taman nasional yang ada didirikan untuk melestarikan megafauna
atau untuk melindungi bentang alam yang indah secara estetika. Gambar 3.36 memperlihatkan upaya
pelepasliaran Komodo (Varanus komodoensis) di habitat aslinya di Taman Nasional Komodo, Nusa
Tenggara Timur, Indonesia.
Gambar 3.27 Komodo di Taman Nasional Komodo sebagai tempat konservasi in situ
(Sumber: https://tirto.id/rencana-pulau-komodo-ditutup-untuk-pelestarian-perlukah-deW7)
Konservasi ex situ berarti konservasi komponen keanekaragaman hayati di luar habitat aslinya.
Ada perbedaan mendasar yang jelas antara ex situ dan in situ: konservasi in situ melibatkan lokasi,
peruntukan, pengelolaan, dan pemantauan taksa sasaran di mana mereka ditemui, sedangkan
konservasi ex situ melibatkan lokasi, pengambilan sampel, transfer, dan penyimpanan taksa target dari
area target. Karena perbedaan mendasar ini, ada sedikit tumpang tindih antara kedua strategi. Namun,
kedua teknik tersebut tidak harus dilihat sebagai alternatif, mereka saling melengkapi dan harus
diterapkan bersama-sama untuk memastikan pemeliharaan keanekaragaman yang maksimal.
Dalam konservasi ex situ, variasi genetik dipertahankan jauh dari lokasi aslinya dan sampel spesies,
subspesies, atau varietas diambil dan dilestarikan baik sebagai koleksi hidup tanaman atau hewan di
gen bank lapangan, kebun botani atau zoologi, dan arboretum, atau sebagai sampel benih, semen,
ovula, umbi, eksplan jaringan, serbuk sari, atau DNA yang dipelihara dalam kondisi buatan khusus.
Produk Konservasi
Produk kegiatan konservasi adalah umumnya plasma nutfah yang dikonservasi (benih, embrio, semen,
dan ovula), tanaman hidup dan hewan, tanaman kering, kultur, dan data konservasi. Benih lama yang
diawetkan ex situ (gambar 3.29) atau semen hewan dan ovula biasanya disimpan di bank gen atau
semen pada suhu di bawah nol dan, untuk benih, kadar air rendah untuk memperpanjang hidup mereka.
Tumbuhan atau hewan hidup dilestarikan dalam cagar genetik, lahan gen bank, kebun botani atau
zoologi, atau taman dan laboratorium penelitian. Plasma nutfah yang disimpan dalam bentuk
tersuspensi, seperti jaringan, serbuk sari, atau DNA, disimpan sebagai kultur di fasilitas laboratorium
spesialis. Spesimen tanaman voucher kering disimpan di herbarium dan dihubungkan dengan sampel
plasma nutfah tertentu, dan sebanyak mungkin mewakili populasi yang dilindungi. Materi yang
dilestarikan harus terhubung dengan berbagai data identitas yang merinci asal taksonomi, geografis,
dan ekologis materi tersebut. Semua data identitas harus dimasukkan ke dalam database dan tersedia
untuk pengelolaan bahan, perumusan prioritas dan strategi konservasi di masa depan.
Gambar 3.29 Peneliti memeriksa awetan benih di Millenium Seed Bank Vault, Royal Botanic Garden,
London, Inggris sebagai tempat penyimpanan produk konservasi
(Sumber: https://www.kew.org/)
Satwa liar memiliki peranan penting di dalam keseimbangan ekosistem hutan hujan tropis.
Keanekaragaman jenis dan keanekaragaman fungsionalnya berkontribusi pada dinamika proses dari
suatu ekosistem. Misalnya, beberapa kelompok mamalia dan burung terlibat langsung dalam proses
regenerasi hutan melalui polinasi, pemencaran biji, dan siklus nutrisi. Namun demikian, mereka terus
terancam oleh perburuan, fragmentasi habitat, dan kehilangan habitat. Semua faktor ancaman tersebut
dapat menyebabkan kepunahan lokal dan pada akhirnya akan berdampak pada dinamika ekosistem
hutan secara keseluruhan.
Kemampuan untuk secara langsung memantau status dan perubahan dari populasi-populasi
satwa liar dalam konteks ruang dan waktu adalah elemen kunci dari konservasi dan pengelolaan
ekosistem. Inventarisasi populasi satwa liar merupakan langkah penting pertama dalam penyediaan
data dasar (baseline) untuk memahami struktur, kekayaan, kelimpahan, dan sebaranya di habitat alami.
Kegiatan inventarisasi dan pemantauan satwa liar menggunakan perangkap kamera yang masih
berlangsung hingga sekarang. Perangkap kamera banyak digunakan dalam studi satwa liar dalam
dekade terakhir karena dinilai cukup efisien dan mudah dilakukan. Selain itu, secara lebih spesifik,
menggunakan perangkap kamera bertujuan mengestimasi kekayaan jenis, mengevaluasi upaya
pengambilan sampel, mengukur keanekaragaman spesies dan kelimpahan relatif, serta memperkirakan
tingkat okupansi dari komunitas satwaliar.
Sebagai contoh, pada kegiatan inventarisasi dan pemantauan keanekaragaman satwa liar yang
dilakukan oleh IAR (International Animal Rescue) tahun 2019 di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya,
Kalimantan Barat, Indonesia. Lokasi ini adalah kawasan penting sebagai “rumah” bagi satwa liar dan
beragam kekayaan hayati lainya. Selain avifauna (burung) dan herpetofauna (reptil dan amfibi), mamalia
merupakan kelompok satwaliar dengan kekayaan dan keragaman serta peran ekologis yang sangat
penting.
Seperti yang dilaporkan oleh Suciadi (2019), dari sebanyak 21-unit kamera jebak yang dipasang
di area seluas ±7,4 kilometer persegi (±740 hektar), seperti terlihat pada gambar 3.30, di dalam 1.424
hari perangkap kamera tercatat sedikitnya terdapat 17 jenis satwa liar termasuk 15 jenis mamalia
berukuran sedang dan besar serta dua jenis burung. Sejak April 2019 hingga Agustus /2019, diperoleh
total 148 gambar independen, di antaranya dapat diidentifikasi hingga tingkat spesies. Spesies yang
paling sering tertangkap perangkap kamera adalah beruk (Macaca nemestrina, 32 foto) dengan rerata
tingkat jebakan 3,32 foto independen per 100 hari jebak, diikuti oleh kijang merah (Muntiacus
atherodes, 20 foto, tingkat jebakan 2,04), dan kijang muntjak (Muntiacus muntjak, 15 foto, tingkat
jebakan 1,47). Beruk merupakan spesies yang tertangkap jebakan hampir di semua lokasi perangkap
kamera.
Indeks keanekaragaman spesies juga digunakan sebagai parameter dasar untuk program pengelolaan
satwa liar yang bertujuan untuk memantau struktur dan komposisi komunitas satwa liar dari waktu ke
waktu. Indeks keanekaragaman yang paling umum digunakan dalam ekologi adalah keanekaragaman
Shannon-Wiener dan keanekaragaman Simpson. Keanekaragaman Shannon-Wiener dan Simpson
meningkat seiring dengan meningkatnya kekayaan jenis, untuk pola kemerataan tertentu, dan
meningkat seiring dengan meningkatnya kemerataan.
Seperti yang sudah diulas pada kegiatan belajar-1 bahwa keanekaragaman hayati didefinisikan dan
diukur sebagai atribut yang memiliki dua komponen utama, yakni kekayaan spesies (species richness)
dan kemerataan spesies (species evenness). Pengukuran kenekaragaman hayati dilakukan karena ada
kaitan antara keanekaragaman hayati yang tinggi dengan kondisi “Kesehatan” suatu ekosistem. Ragam
komunitas diyakini dapat meningkatkan stabilitas, produktivitas, dan resistensi terhadap kemungkinan
adanya invasi dan gangguan lainnya.
Suatu habitat yang beragam dengan keanekaragaman tumbuhan di dalamnya memiliki banyak
manfaat, diantaranya:
Keanekaragaman hayati yang tinggi juga menyimpan dampak negatif, walaupun hal ini jarang sekali
disinggung. Dampak negatif contohnya adalah kehadiran beragam spesies tumbuhan/hewan
pendatang yang terkadang menguasai habitat yang dapat menyebabkan hilangna spesies asli
setempat. Komunitas yang beragam sering kali menjadi pertanda suatu habitat telah terfragmentasi
atau sedikit terdegradasi, ditunjukkan dengan kekayaan spesies yang disumbang oleh spesies
pengganggu. Komunitas tumbuhan dengan keanekaragaman tinggi dapat lebih sulit dikelola untuk
aktivitas pengembalaan (grazing) karena spesies tanaman yang berbeda memiliki toleransi
penggembalaan yang berbeda dan laju perkembangan fenologis yang berbeda.Banyak komunitas
tumbuhan yang sangat stabil walaupun dengan sedikit spesies yang beradaptasi dengan lingkungan.
R.H.Whittaker (1960) adalah orang yang pertama kali memperluas konsep keanekaragaman dalam
komunitas menjadi komponen keanekaragaman yang berkaitan dengan penataannya dalam lansekap.
Selain keragaman dalam komunitas, ia juga mempertimbangkan heterogenitas di antara komunitas dan
keseluruhan keanekaragaman pada suatu wilayah.Ia kemudian menggambarkan komponen spasial
keanekaragaman hayati dan memperkenalkan istilah keanekaragaman alfa, beta, dan gamma.
Keragaman alfa = kekayaan dan kemerataan individu dalam suatu habitat. Misalnya pada gambar
1, Keanekaragaman Alpha di lokasi A = 7 spesies, lokasi B = 5 spesies, lokasi C = 7 spesies.
Keragaman beta = memperlihatkan keanekaragaman antar habitat. Sebagai contoh pada gambar
1, Keragaman Beta terbesar diamati antara lokasi A dan C yang memiliki 10 spesies yang berbeda
dan 2 spesies yang sama.
Gambar 3.31 Gambaran umum keanekaragaman alfa, beta, dan gamma ( (Launchbaugh, 2020)
Sebuah ekosistem sangat bergantung pada kontribusi dan distribusi masing-masing organisme yang
hidup di dalamnya. Ekosistem dengan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi akan lebih
tahan terhadap perubahan lingkungan dan dampak manusia. Kemudian bagaimana Keanekaragaman
hayati bisa diukur?. Berbagai teknik dan skala/indeks telah dikembangkan untuk mengukur
keanekaragaman hayati, salah satunya adalah indeks keanekaragaman hayati (biodiversitas). Gagasan
utama dari adanya indeks keanekaragaman hayati adalah untuk memperoleh estimasi kuantitatif dari
variabilitas makhluk hidup yang dapat digunakan untuk membandingkan entitas biologis dalam ruang
atau waktu tertentu. Ada berbagai jenis indeks keanekaragaman dan para peneliti dapat menggunakan
lebih dari satu. Pada modul ini akan dibahas tiga di antaranya, yakni:
(B)
Gambar3.33 Jumlah individu lima spesies terdistribusi merata pada suatu komunitas (gambar A)
dan Jumlah individu lima spesies terdistribusi tidak merata pada suatu komunitas (gambar B).
Beberapa indeks dan pengukuran kuantitatif telah banyak dikembangkan untuk pengukuran
keanekaragaman hayati. Indeks Simpson menggabungkan kekayaan spesies dan kemerataan
spesies dalam satu angka. Sebuah komunitas yang didominasi oleh satu atau dua spesies dianggap
kurang beragam daripada terdapat komunitas di mana beberapa spesies berbeda memiliki
kelimpahan yang serupa. Saat kekayaan dan kemerataan spesies meningkat, keanekaragaman pun
meningkat. Indeks Simpson berkisar dari 0 hingga 1, di mana 0 berarti tidak ada perbedaan dan 1
berarti keragaman tak terbatas. Indeks Simson’s dinyatakan dalam D untuk menunjukkan
probabilitas bahwa dua individu yang dipilih secara acak dalam suatu komunitas. Semakin besar
nilai D, semakin rendah keanekaragamannya, sebaliknya semakin rendah nilai D, semakin tinggi
keanekaragamannya. Indeks Simpson’s dihitung dengan rumus :
∑
Keterangan:
D = indeks Simpson’s
N = total jumlah individu yang dikoleksi
ni = jumlah individu species ke i
Saat menggunakan indeks Simpson’s untuk analisis kuantitatif, harus dipastikan bahwa nilai yang
dihitung berada pada kisaran nol hingga 1 (0 < D < 1). Suatu ekosistem semakin beragam
(heterogen) saat nilai indeks Simpson’s (D) semakin mendekati nilai nol, sebaliknya semakin
mendekati angka satu mengindikasikan ekosistem semakin kurang beragam (homogen).
Indeks ini merupakan indeks keanekaragaman yang relatif paling dikenal dan paling banyak
digunakan. Indeks Shannon-Wiener dihitung dengan formula berikut :
ln Atau
~ ~
Untuk lebih memahami bagaiman perhitungan keanekaragaman hayati menggunakan indeks Simpson
dan indeks Shannon-Wiener (H’), bisa mencemati contoh kasus berikut:
Data berikut memperlihatkan rerata kepadatan beberapa populasi tumbuhan (individu/m2) pada dua
lokasi yang berbeda (lokasi A dan B). Kondisi keanekaragaman hayati di kedua lokasi tersebut bisa
dipantau berdasarkan analisis kuantitatif menggunakan indeks Simpson (D) dan indeks Shannon-
Wiener (H’).
Perhitungan Indeks Simpson’s (D) untuk masing-masing lokasi, untuk memudahkan bisa dibuat dalam
tabel.
n
No. Spesies n/N ln n/N n/N x ln n/N
(individu/m2)
1 Species A 3 0,333 -1.099 -0.366
2 Species B 3 0,333 -1.099 -0.366
3 Species C 3 0,333 -1.099 -0.366
Total N=9 1 - 1,099
Nilai total perhitungan penjumlahan nilai n/N x ln n/N pada tabel adalah indeks Shannon-Wiener (H’)
untuk lokasi A, yakni 1,099 (nilai akhir menjadi positif karena pada rumus bertanda negative, sehingga
hasil akhir menjadi positif). Dengan perhitungan yang sama untuk lokasi B:
n
No. Spesies n/N ln n/N n/N x ln n/N
(individu/m2)
1 Species A 7 0.778 -0.251 -0.195
2 Species B 2 0.222 -1.504 -0.334
3 Species C 0 0 0 0
Total N=9 - 0,530
n
No. Spesies n-1 n(n-1) n(n-1)/ N(N-1)
(individu/m2)
1 Species A 3 2 6 0.083
2 Species B 3 2 6 0.083
3 Species C 3 2 6 0.083
Total N=9
N(N-1) = 9 x 8 = 72 0,167
n
No. Spesies n-1 n(n-1) n(n-1)/ N(N-1)
(individu/m2)
1 Species A 7 6 42 0.583
2 Species B 2 1 2 0.028
3 Species C 0 0 0 0
Total N=9
N(N-1) = 9 x 8 = 72 0.611
4. Aktivitas Pembelajaran
Materi dalam modul ini dirancang untuk dipergunakan oleh pengguna baik dengan fasilitasi oleh
fasilitator maupun secara mandiri. Mulailah dengan membaca bagian pendahuluan, petunjuk
penggunaan, pengantar modul, dan tujuan pembelajaran. Adapun kegiatan pembelajaran yang dapat
dilaksanakan untuk mempelajari kegiatan belajar 3 adalah membandingkan keanekaragaman hayati
pada dua komunitas berbeda melalui analisis kuantitatif. Silahkan mengikuti kegiatan yang ada pada
lembar kerja-3!
TUJUAN:
(1) Mengukur Tingkat Keanekaragaman Hayati pada komunitas di hutan Mangrove.
(2) membandingkan tingkat keanekaragaman hayati berdasarkan parameter kuantitatif
keanekaragaman hayati.
KEGIATAN:
STUDI KASUS:
Seorang peneliti membandingkan dua plot pada komunitas hutan Mangrove di dua lokasi yang berbeda
di Kawasan Pantai Selatan Pulau Jawa. Data hasil pengamatan kepadatan populasi tumbuhan
Mangrove pada kedua lokasi tersebut adalah sebagai berikut:
Berdasarkan analisis kuantitatif terhadap dua lokasi pada ekosistem hutan bakau:
1. Lokasi manakah yang yang memiliki kekayaan spesies terbesar? jelaskan!
2. Lokasi manakah yang memiliki kemerataan spesies terbesar? jelaskan!
3. Lokasi manakah memiliki keanekaragaman terbesar berdasarkan analisis kuantitatif
menggunakan indeks Shannon Weiner (H ')?
4. Lokasi manakah yang menunjukkan adanya dominasi oleh beberapa spesies (kemerataan
rendah) berdasarkan analisis Indeks Simpson (D)?
5. Tugas
Setelah anda mempelajari materi tantangan dan upaya pelestarian keanekaragaman hayati pada
kegiatan belajar-3 dan melakukan aktivitas pembelajaran dalam modul. Dalam kapasitas anda sebagai
pendidik, tuliskanlah sebuah ide kegiatan pembelajaran untuk melatihkan bagaimana melakukan
analisis keanekaragaman hayati pada suatu komunitas dan upaya pelestariannya secara sederhana
kepada siswa anda di kelas!. Anda dibebaskan menyusun ide skenario pembelajaran sesuai jenjang
kelas yang diampu dan disesuaikan dengan kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa anda sesuai
jenjangnya. Pergunakan format penyusunan rancangan skenario pembelajaran yang terdapat pada
lampiran modul ini untuk menuangkan ide skenario pembelajaran yang akan anda susun!
Setelah Anda mempelajari seluruh materi dalam modul ini, lakukanlah refleksi agar Anda mengetahui
sejauh mana Anda memahami materi dan materi apa yang belum Anda kuasai dalam modul ini.
(2) Saya masih belum memahami beberapa hal terkait materi dalam modul sebagai berikut.
(Tuliskan point-point yang belum Anda pahami pada kolom ini.)
(3) Hal menarik yang saya temui selama mempelajari modul ini adalah:
(Jelaskan hal menarik yang Anda temui saat mempelajari modul ini, misalnya: gambar yang ditampilkan, contoh kegiatan
praktik, hal-hal yang baru, soal-soal yang diberikan, dsb.)
EVALUASI
5. Tanaman bunga mawar warna merah dikeIompokkan menjadi satu spesies dengan tanaman
bunga mawar warna jingga karena…
(A) memiliki gen yang sama persis
(B) habitat dan warna daunnya sama
(C) cara reproduksi dan habitatnya sama
(D) jika dikawinkan menghasilkan keturunan yang fertil
(E) kesamaan kebutuhan nutrisi dan warna mahkota bunga
(Sumber: https://www.pxfuel.com)
Keempat tumbuhan tersebut menunjukkan keanekaragaman hayati pada tingkat….
(A) Gen karena menunjukkan variasi yang terdapat pada berbagai spesies
(B) Jenis karena termasuk ordo yang sama dalam familia berbeda
(C) Gen karena termasuk spesies yang sama tetapi berbeda genus
(D) jenis karena termasuk familia yang sama dengan genus berbeda.
(E) gen karena termasuk spesies berbeda dalam genus sama
7. Perkawinan silang di alam memungkinkan kopulasi dan memungkinkan terjadinya fertilisasi pada
kuda yang memiliki jumlah kromosom somatik 64 dan keledai yang memiliki kromosom somatic 62.
Hasil perkawinan keduanya menghasilkan Mule yang memiliki jumlah kromosom somatik 63.
Hingga mule mencapai fase kematangan seksual, tidak pernah dihasilkan anakan mule pada
generasi ke-2. Hal ini menunjukkan bahwa….
(Sumber: www.pinterest.com)
Tingkat keanekaragaman hayati yang ditunjukkan oleh kedua tumbuhan di atas adalah tingkat…
(A) gen
(B) jenis
(C) populasi
(D) komunitas
(E) ekosistem
(A) (B)
(Sumber: https://www.pxfuel.com)
Kedua hewan pada gambar di atas tergolong unggas berukuran kecil. Namun, keduanya tidak
digolongkan dalam satu spesies karena….
(A) habitatnya berbeda
(B) wama bulunya berbeda
(C) jenis makanannya berbeda
(D) jumlah keturunan yang dihasilkan berbeda
(E) perkawinan keduanya tidak menghasilkan keturunan fertile
10. Dalam suatu padang rumput terdapat 215 ekor zebra. Setiap zebra memiliki pola garis berbeda-
beda. Meskipun demikian, terdapat pola-pola garis tertentu yang dimiliki setiap zebra sehingga
seekor anak zebra dapat mengenali induknya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam populasi zebra
tersebut terdapat keanekaragaman hayati tingkat….
11. Grafik berikut menunjukkan grafik rata-rata persentase kepunahan vertebrata di alam selama
kurun waktu tahun 1500 hingga 2014.
12. Berikut yang bukan termasuk ancaman bagi keanekaragaman hayati di Bumi adalah….
(A) Kerusakan habitat
(B) spesies invasif
(C) Kenaikan daya dukung lingkungan
(D) pencemaran lingkungan
(E) eksploitasi
Seorang Peneliti membandingkan dua komunitas pada lokasi yang berbeda. Plot yang diteliti
ditunjukkan seperti gambar berikut!
Komunitas A Komunitas B
15. Kesimpulan yang tepat yang menggambarkan kondisi keanekaragaman hayati pada komunitas A
dan B adalah….
(A) Komunitas A dan B memiliki kemerataan spesies (species evenness) yang sama, namun
kekayaan spesies (species richness) berbeda.
(B) Komunitas A dan B memiliki kekayaan spesies (species richness) yang sama, namun
kemerataan spesies (species evenness) berbeda.
(C) Komunitas A dan B keduanya memiliki kekayaan spesies (species richness) yang berbeda.
(D) Komunitas A dan B keduanya memiliki kemerataan spesies (species evenness) yang sama.
(E) kondisi keanekaragaman pada komunitas A dan komunitas B sulit digambarkan berdasarkan
informasi yang diberikan.
16. Berikut diperlihatkan grafik persentase faktor penyebab penurunan angka populasi beberapa
kelompok hewan di Bumi berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh WWF tahun 2018
terhadap 3789 populasi.
17. Hutan hujan tropis merupakan habitat yang paling banyak menyimpan keanekaragaman hayati.
Jenis hutan ini banyak terdapat di Kawasan Asia Tenggara. Cara pemanfaatannya agar tetap lestari
adalah…
(A) memanfaatkan sumber daya alamnya semaksimal mungkin
(B) menggunakan alat-alat modern sehingga tidak menimbulkan kerusakan
(C) membuat semua hutan menjadi kawasan tertutup
(D) menggunakan metode tebang pilih dan tanam kembali
(E) melakukan penelitian yang intensif di kawasan hutan tersebut
18. Badak bercula satu, biawak, komodo, dan burung cendrawasih termasuk sumber daya alam hayati
Indonesia yang hampir punah. Agar sumber daya alam tersebut dapat tetap bermanfaat, perlu
dijaga kelestariannya dengan cara….
(A) menjaga keseimbangan lingkungan
(B) membuat undang-undang perburuan
(C) mengadakan seleksi dan mutasi hewan tertentu.
(D) memindahkan hewan langka secara besar-besaran
(E) memperbesar populasi suatu jenis hewan langka
19. Pada suatu pemantauan keanekaragaman hayati di komunitas A, diperoleh kepadatan populasi
sebagai berikut:
No. Species Jumlah
1 Species A 5
2 SpeciesB 12
3 Species C 7
4 Species D 4
5 Species E 10
Berdasarkan data tersebut nilai Indeks Keragaman Simson’s (1 – D) pada komunitas A adalah….
(A) 0,19
(B) 0,21
(C) 0,25
(D) 0,79
(E) 0,81
20. Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara akhir-akhir ini menarik perhatian dunia dengan
ditemukannya salah satu terumbu karang terindah di dunia. Berikut ini beberapa kegiatan yang
dapat dilakukan di Kepulauan Wakatobi.
(1) Menjual karang dan ikan warna-warni dengan harga yang mahal
(2) Menjadikan Wakatobi menjadi daerah tujuan wisata bahari dengan fasilitas yang tidak
merusak terumbu karang
(3) Melestarikan terumbu karang dengan melarang siapa pun menjamah dan mendekatinya
(4) Menjadikan wilayah Wakatobi sebagai daerah perlindungan bawah air.
SKOR:
JUMLAH BENAR
JUMLAH SALAH
NILAI
(JUMLAH BENAR/2) X 10
KETERANGAN:
PENUTUP
Seluruh materi Modul tentang Keanekaragaman Hayati sudah Anda pelajari. Anda sudah mengenal
bagaimana karakterisasi keanekaragaman hayati baik secara kualitas maupun kuantitas dan
distribusinya di Kawasan Asia Tenggara. Keanekaragaman hayati menyimpan banyak potensi yang
perlu dipelajari dan diketahui. Sehingga perlu komitmen bersama untuk menjamin perlindungan
keanekaragaman dan sumberdaya hayati dan juga pemanfaatannya yang berkelanjutan untuk
kesejahteraan masyarakat. Banyak pembelajaran yang bisa dikembangkan di unit kerja masing-masing
yang memuat materi keanekaragaman hayati di dalamnya. Anda dapat bekerja sama, berdiskusi
dengan rekan sejawat di sekolah dalam menyusun dan mengembangkan skenario pembelajaran atau
dengan komunitas belajar di MGMP IPA. Sejak saat ini anda menjadi bagian penting untuk mencegah
agar Ilmu Keanekaragaman Hayati tidak menjadi ‘disappearing science’.
Selamat mengimplementasikan ilmu yang Anda peroleh dalam Modul ini di sekolah, di kelas, tempat
Anda berkarya. Selamat bertugas dan jangan pernah berhenti belajar.
Brooks, T., Mittermeier, R., Mittermeier, C., da Fonseca, G., Rylands, A., Konstant, W., . . . Hiltin-
Taylor, C. (2002). Habitat loss and extinction in the hotspots of biodiversity. Conserv Biol 16:,
909–923.
Burke, L., Selig, E., & Spalding, M. (2002). Reefs at Risk in Southeast Asia. Washington, DC: World
Resource Institute.
C.Y., K., Fujioka., E., DiMatteo, A., Wallace, B., B.J, Hutchinson, . . . Mast., R. (2015). The State of the
World's Sea Turtles Online Database: Data provided by the SWOT Team and hosted on OBIS-
SEAMAP. Oceanic Society, Conservation International, IUCN Marine Turtle Specialist Group
(MTSG) , and Marine Geospatial Ecology Lab.
Chan, K. M., Balvanera, P., Benessaiah, K., Chapman, M., Díaz, S., Gómez-Baggethun, E., & G. R.
(2016). Opinion: Why protect nature? Rethinking values and the environment. Proceedings of
the National Academy of Sciences, 113 (6) (pp. p 1462-1465). National Academy of Sciences.
Collins. (2020, June 20). Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs). Retrieved from
https://www.genome.gov/genetics-glossary/Single-Nucleotide-Polymorphisms.
Collins FS, G. M. (1997). Variations on a theme: cataloguing human DNA sequence variation. Science
278:, 1580–1581.
Coral Triangle Centre. (2017). Coral Triangle Centre Annual Report 2017. Bali: Indonesia.
Costanza, R., d'Arge, R., Groot, R., S. Farber, M. G., Hannon, B., Limburg, K., . . . Belt., P. S. (1997). The
value Of the world's ecosystem services and natural capital. Nature 387:, 253-260.
Darajati, W., Pratiwi, S., Herwinda, E., Radiansyah, A. D., Nalang, V. S., & Nooryanto, B. (2016).
Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015-2020. Jakarta: Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS.
David S. Wilcove, D. R. (1998). Quantifying Threats to Imperiled Species in the United States:
Assessing the relative importance of habitat destruction, alien species, pollution,
overexploitation, and disease. BioScience, 607–615.
Eldredge, N. (2000). Life in the Balance. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Eley, T. J. (2014). Whittaker Biome Model. Multimedia Atlas of Global Warming and Climatology.
Entenmann, & Schmitt. (2012). Actors’ perceptions of forest biodiversity values and policy issues
related to REDD+ implementation in Peru. Biodivers Conserv, 1229–1254.
Fortes, M. (2010). The seagrass-mangrove connection as a climate change mitigation and adaptation
factor in East Asian Coasts. international symposium on integrated coastal management for
marine biodiversity in Asia. Kyoto.
Francis, C. M. (2010). The role of DNA barcodes in understanding and conservation of mammal
diversity in Southeast Asia. PLoS One 5: e12575.
Frank, K. T., Petrie, B., Choi, J. S., & Leggett, W. C. (2005). Trophic Cascades in a Formerly Cod-
Dominated Ecosystem. Science, 1621-1623.
Garces, L., Pido, M., & Pomeroy, R. (2008). Fisheries in Southeast Asia: challenges and opportunities.
In L. E. andya A, Transnational trends: Middle Eastern and Asian views. Washington, DC: The
Henry L. Stimson Center.
Gaston, K., Spicer, J., & John, I. (2004). Biodiversity: An Introduction, Second edition. united Kingdom:
Blackwell Publishing company.
Heywood and Baste, I. (1995). Global biodiversity assessment. United Kingdom: Cambridge University
Press.
Jompa, J., Koropitan, A. F., Juliandi, B., Suryanegara, L., Muhamad, R., Mumbunan, S., & Nasir, S.
(2019). Sains untuk Biodiversitas Indonesia. Jakarta: LIPI.
Kot, C., E. Fujioka, A. D., Wallace, B., Hutchinson, B., Cleary, J., Halpin, P., & Mast., R. (2015). The
State of the World's Sea Turtles Online Database. Retrieved from Oceanic Society,
Conservation International, IUCN Marine Turtle Specialist Group (MTSG), and Marine
Geospatial Ecology Lab: http://seamap.env.duke.edu/swot
Laverty, M. F., Sterling, E. J., Chiles, A., & Cullman, G. (2008). Biodiversity 101. Westport: Greenwood
Press.
Lovejoy, T. (1980). The Global 2000 Report to the President. New York: Penguin: The Technical
Report, vol. 2.
Mason, B. (2016). Maps Show Humans’ Growing Impact on the Planet. Retrieved from
https://www.nationalgeographic.com/news/2016/08/human-footprint-map-ecological-
impact/
Maxted, N. F.-L. (1997). Complementary Conservation Strategies. Plant genetic conservation, 20–55.
Mouquet, N., D. Gravel, F. M., & Calcagno, a. V. (2013). Extending the concept of keystone species to
communities and ecosystems. Ecology Letters 16:, 1-8.
Myers, N. R. (2000). Biodiversity hotspots for conservation priorities. Nature 4032, 853–858.
Naeem, S., Ill, C., Costanza, R., Ehrlich, P., Golley, E., Hooper, D. U., . . . Tilman., D. (1999). Biodiversity
and ecosystem functioning: maintaining natural life support processes. Issues in Ecology. (4):,
2-11.
Pearce, D., Moran, D., & Biller, D. (2002). Handbood of Biodiversity Evaluation: a guide for
policemaker. France: OECD.
PRB. (2019). 2019 World Population Data Sheet. Retrieved from https://www.prb.org/worldpopdata/
Pritchard, P. C., & Mortimer, J. A. (1999). Taxonomy, External Morphology, And Species
Identification, dalam Research and Management Techniques for the Conservation of Sea
Turtles. IUCN/SSC Marine Turtle Specialist Group Publication No. 4. , 248pp.
Richard B., P. (2010). Essentials of Conservation Biology, 5th edition. Sunderland, MA: Sinauer
Associates.
Saensouk, S., Saensouk, P., & Pasorn Chantaranothai, P. (2016). Diversity and uses of zingiberaceae in
nam nao national park, chaiyaphum and phetchabun provinces, Thailand, with a new record
for Thailand. gric. Nat. Resour., Vol.50, Issue 6, pp 445-453.
Schmidt-Küntzel, A. (2009). A Domestic cat X Chromosome Linkage Map and the Sex-Linked orange
Locus: Mapping of orange, Multiple Origins and Epistasis Over nonagouti. Genetics Society of
America, 1415-1425.
Secretariat of Convention of Biological Diversity. (2000). Sustaining Life on Earth: How the Convention
on Biological Diversity Promotes Nature and Human Well-being. Montreal, Quebec.
Sheldon, F. H. (2015). Return to the Malay Archipelago: the biogeography of Sundaic rainforest birds.
Journal of Ornithology 156, 91– 113.
Sherbinin, A. (2002). A CIESIN Thematic Guide to Land-Use and Land-Cover Change. New York: The
Trustees of Columbia University.
Sodhi, N. (2004). Southeast Asian biodiversity: an impending disaster. Trends in Ecology & Evolution,
654-660.
Spalding, M., Green, E., & Ravilious, C. (2001). World atlas of coral reefs. Berkeley: University of
California Press.
Suciadi, H. (2019). Inventarisasi dan Pemantauan Satwa Liar untuk Konservasi Keanekaragaman
Hayati. Retrieved from http://www.internationalanimalrescue.or.id/inventarisasi-
biodiversity/
Valck, J. D., & Rolfe, J. (2018). Linking water quality impacts and benefits of ecosystem services in the
Great Barrier Reef. Elsevier, 55-66.
Whittaker, R. H. (1962). Classification of Natural Communities. Botanical Review Vol. 28, No. 1, pp. 1–
239.
Widjaja, E. A., Rahayuningsih, Y., Setijo R, J., Ubaidillah, R., Maryanto, I., Walujo, E. B., & Semiadi.
(2014). Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
Williams, P., & Humphries, C. (1996). Comparing character diversity among biotas. In K. Gaston,
Biodiversity (pp. pp. 54–76). Oxford: Blackwell Science.
Zachos, F. E. (2011). Biodiversity Hotspots: Distribution and Protection of Conservation Priority Areas.
Berlin: Springer.
Zachos, F. E. (2011). iodiversity Hotspots: Distribution and Protection of Conservation Priority Areas.
Springer-Verlag.
Abiotik : Mengacu pada komponen tidak hidup dari suatu ekosistem; yaitu
lingkungan kimia dan fisik.
Antroposentris : Berpusat pada manusia, terutama yang berkaitan dengan nilai yang
melekat dari alam.
Antroposentrisme : Posisi bahwa hanya manusia yang memiliki nilai moral atau nilai intrinsik.
Apex predator : predator yang tidak memiliki predatornya sendiri dan karenanya
menempati tingkat trofik jaring makanan tertinggi.
Bioma : Komunitas ekologi darat utama dan tipe bentang alam, yang dicirikan oleh
fisiognomi yang kurang lebih seragam dari vegetasi alami potensial dan
dengan fauna dan flora yang khas, seperti hutan hujan tropis, gurun
hangat, atau padang rumput beriklim sedang.
Biosentris : Keyakinan bahwa semua makhluk hidup memiliki nilai moral atau nilai
intrinsik.
Biosfer : 1. Semua tumbuhan dan hewan di Bumi, bersama dengan habitat yang
mereka butuhkan untuk bertahan hidup jangka panjang. 2. Bagian Bumi
yang dihuni makhluk hidup.
Coral triangle : (Segitiga terumbu karang) Nama untuk kawasan, yang terletak di perairan
Asia Tenggara (mis., Indonesia dan Filipina), yang berisi keanekaragaman
terumbu karang dan organisme laut lainnya.
Degradasi : Hilangnya struktur ekosistem, produktivitas, dan keanekaragaman spesies
asli baik sementara atau permanen. Terkait langsung dengan penurunan
Dekomposisi : Penghancuran bahan organik seperti tanaman mati dan ganggang untuk
melepaskan karbon dan nutrisi.
Domestikasi : Proses untuk mengadaptasi hewan atau tumbuhan dari alam liar ke
keadaan terkendali secara sengaja untuk dimanfaatkan manusia.
Ekowisata : Wisata komersial yang berfokus pada lingkungan alam yang relatif tidak
terganggu dan meminimalisir dampak lingkungan, memberikan pendidikan
lingkungan, dan berkontribusi pada pelestarian lingkungan.
Endemisme : Juga, endemisitas. Fakta bahwa suatu spesies atau kelompok taksonomi
lainnya hanya ditemukan di lokasi tertentu dengan ukuran terbatas,
daripada terdistribusi secara luas.
Fragmentasi : Gangguan habitat yang luas menjadi bidang-bidang yang lebih kecil dan
terisolasi.
Habitat : Tempat / lokasi suatu makhluk hidup tinggal
IUCN Red List : (Daftar merah IUCN) Kompilasi luas dan komprehensif mengenai risiko
kepunahan spesies berdasarkan ancaman lokal atau global. Secara penuh
disebut Daftar Merah Spesies Terancam Punah IUCN.
Keystone species : (spesies kunci) spesies yang pengaruhnya terhadap struktur, dinamika, dan
fungsi komunitas secara tidak proporsional relatif besar terhadap
kelimpahannya.
Komunitas : 1. Kumpulan spesies yang hidup berdampingan di area tertentu dan
berinteraksi satu sama lain melalui hubungan trofik dan spasial. 2.
Subhimpunan yang ditunjuk dari kumpulan seperti itu, seperti komunitas
unggas atau komunitas tanaman vaskular.
Konservasi : Upaya aktif manusia untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan
kesehatan ekosistem alami di Bumi. Termasuk rencana pengelolaan
sumber daya alam untuk mencegah eksploitasi, perusakan, atau
pengabaian.
Kultivar : varietas yang dibudidayakan atau strain genetik dari tanaman pangan
domestikasi.
Populasi : Kumpulan spesies yang sama yang mendiami tempat tertentu pada waktu
tertentu
Punah : Tidak hidup; menggambarkan suatu spesies atau kelompok lain yang tidak
memiliki anggota yang hidup. Juga kepunahan, Fakta menjadi punah, atau
proses menjadi punah. Dapat bersifat global (seluruh dunia) atau lokal (di
area tertentu). Dalam catatan fosil, ini adalah kemunculan fosil terakhir
individu dari spesies tertentu.
Mangrove : 1. Salah satu dari berbagai pohon dan semak besar, terutama dari genus
Rhizophora, yang memiliki jalinan akar udara dan tumbuh padat di rawa-
rawa pantai asin di daerah tropis dan subtropis. 2. Ekosistem yang
didominasi oleh hutan bakau dan vegetasi terkait; jenis sistem unik yang
sering menjadi fokus upaya konservasi atau restorasi.
Mutasi : Perubahan yang diturunkan dalam urutan nukleotida dari suatu organisme.
Nisia : (niche)
Pemamahan : Tipe pemberian makan kepada herbivora (umumnya hewan memamah
(grazing) biak) berupa tumbuhan (seperti rumput) dan alga.
Perubahan iklim : 1. Perubahan suhu global, curah hujan, dan aspek iklim lainnya (terjadi atau
diperkirakan). 2. Secara khusus, perubahan yang dihasilkan atau
diperburuk oleh peningkatan produksi karbon dioksida manusia dan gas
rumah kaca lainnya.
Satuan Pendidikan :
Mata Pelajaran :
Kelas/ Semester :
Materi Pokok :
Alokasi Waktu :
Kompetensi Dasar:
Tujuan Pembelajaran :
Kegiatan Inti:
Kegiatan Penutup:
Penilaian :
(------------------------------)
(------------------------------)