Anda di halaman 1dari 26

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasa mengenai


permasalahan penelitian seperti yang telah dirumuskan pada bab pertama. Hasil
penelitian berupa data dalam bentuk tabel yang terdapat pada lampiran penelitian

A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini juga berhubungan dengan tujuan penelitian ini yaitu : 1)
Mendeskripsikan masalah sosial yang dikritik dalam novel Orang-Orang Biasa
karya Andrea Hirata, 2) Mendeskripsikan bentuk penyampaian kritik dalam
novel Orang-Orang Biasa karya Andrea Hirata.
1. Masalah Sosial yang dikritik dalam Novel Orang-orang biasa
Masalah Sosial dapat dijelaskan sebagai situasi yang dapat membahayakan
kepentingan individu atau kelompok, seringkali dianggap sebagai suatu
kondisi sosial yang memerlukan perbaikan atau koreksi agar sesuai dengan
harapan masyarakat umum. Sukanto (2015: 319-345) mengidentifikasi
sejumlah isu sosial yang signifikan dihadapi oleh masyarakat secara umum,
meliputi:
a) Kesenjangan ekonomi, b) Tindak kriminal, c) Ketidakharmonisan dalam
struktur keluarga, d) Permasalahan generasi muda, e) Konflik bersenjata, f)
Pelanggaran terhadap norma-norma sosial, g) Isu-isu kependudukan, h)
Masalah lingkungan alam, dan i) Birokrasi.

29
TABEL WUJUD KRITIK SOSIAL DAN BENTUK PENYAMPAIAN
KRITIK NOVEL ORANG-ORANG BIASA

No Aspek Kritik Sosial Wujud Kritik Bentuk No Data


Sosial Penyampaian
Kritik
1 Kemiskinan Ketidak Langsung 1,4
setaraan
ekonomi
Sistem Langsung 2
Pendidikan
yang gagal
Kesulitan Langsung 3,6,10
pedagang kecil
Dampak Langsung 7,8
ekonomi yang
tidak stabil
Tekanan pada Langsung 9
pedagang kaki
lima
2 Kejahatan Tindakan Langsung 11,12, 13,
Kekerasan, 15, 16, 17,
ilegal dan 19, 20, 21,
intimidasi 22
Pencucian uang Langsung 14, 24
dan korupsi
Sistem Langsung 18, 23, 25
keamanan dan
penegakan
hukum
3 Distorsi Keluarga Kritikan Tidak Langsung 26
terhadap
kesehatan
mental dan
keluarga
Ketidaksetaraan Tidak Langsung 27
dalam
pendidikan
Diskriminasi Tidak Langsung 28
Ketidaksetaraan Tidak Langsung 29
sosial

30
4 Masalah Generasi Ketidaksetaraan Langsung 30
Muda ekonomi dan
kekerasan
Bullying dan Tidak Langsung 31
diskriminasi di
sekolah
Perbedaan Tidak Langsung 32
sosial di
sekolah
Kritik terhadap Tidak Langsung 33
perlakuan guru
Solidaritas di Langsung 34
tengah
kekerasan
5 Perperangan Kegagalan Tidak Langsung 35
penegak hukum
Kritik terhadap Tidak Langsung 36
kejahat dan
pengusaha
korup
6 Pelanggaran Normal Kekerasan dan Tidak Langsung 37
Sosial pembulian di
sekolah
Tindakan Tidak Langsung 38
kekerasan
terhadap
individu
Pembelajaran Langsung 39
yang tidak
layak
7 Masalah Lingkungan Ketidak Tidak Langsung 40,41,42,43
hidup setaraan sosial
dan pendidikan
Pernikahan dan Langsung 44
keluarga tidak
stabil
8 Masalah Birokrasi Ketidaksetaraan Tidak Langsung 45
pendidikan dan
sosialisasi
sekolah
Kelemahan Tidak Langsung 46
dalam sistem
hukum
Korupsi Tidak Langsung 47,48,49,50

31
Berikut dibawah ini penjabaran dari tabel diatas yaitu:
a. Kemiskinan:
Dalam novel ini, masalah kemiskinan menjadi fokus utama.
Ketidaksetaraan ekonomi terungkap dalam kesulitan pedagang kecil yang
berjuang untuk bertahan hidup dan mendapatkan penghidupan yang layak. Ini
mencerminkan realitas sosial di mana sebagian masyarakat hidup dalam
kemiskinan ekstrem sementara sebagian lagi mendapatkan keuntungan
ekonomi yang besar. Dampak ekonomi yang tidak stabil menunjukkan
bagaimana perubahan ekonomi yang tidak terduga dapat merusak kehidupan
dan menyebabkan tekanan pada kelompok sosial yang lebih rentan, seperti
pedagang kaki lima. Selain itu, kritik terhadap sistem pendidikan yang gagal
menggarisbawahi bagaimana akses pendidikan yang adil dan berkualitas dapat
menjadi kunci untuk mengatasi kemiskinan. Kritik sosial terkait kemiskinan
disampaikan secara langsung dan tidak langsung. Ketidaksetaraan ekonomi dan
kesulitan pedagang kecil disajikan secara langsung dalam cerita,
menggambarkan kesulitan hidup karakter-karakter yang kurang beruntung.
Kritik terhadap sistem pendidikan yang gagal juga disampaikan secara
langsung, menyoroti bagaimana pendidikan yang buruk dapat memperpetuat
kemiskinan. Dampak ekonomi yang tidak stabil dan tekanan pada pedagang
kaki lima juga disajikan secara langsung melalui penggambaran dampak
negatifnya pada karakter-karakter dalam cerita.
b. Kejahatan
Masalah kejahatan dalam novel ini mencakup berbagai aspek, seperti
tindakan kekerasan, ilegalitas, dan intimidasi. Karakter-karakter dalam cerita
mengalami ancaman fisik dan psikologis, mencerminkan realitas kehidupan di
berbagai komunitas. Pencucian uang dan korupsi adalah perwakilan dari
ketidakadilan dan pelanggaran hukum yang merajalela, menggambarkan
bagaimana praktik-praktik ilegal dan korupsi dapat melemahkan fondasi sosial.
Sistem keamanan dan penegakan hukum yang tidak efektif juga menjadi
sorotan, menunjukkan bahwa kejahatan tetap berlanjut karena penegakan
hukum yang lemah. Kritik sosial terhadap masalah kejahatan dalam novel ini

32
disampaikan secara langsung. Tindakan kekerasan, ilegalitas, dan intimidasi
yang dialami oleh karakter-karakter dalam cerita menjadi bukti langsung dari
masalah kejahatan. Pencucian uang, korupsi, dan kelemahan dalam sistem
keamanan dan penegakan hukum juga merupakan bentuk kritik sosial yang
disampaikan secara langsung.
c. Distorsi Keluarga
Masalah distorsi keluarga dalam novel ini melibatkan kritik terhadap
kesehatan mental dan ketidaksetaraan dalam pendidikan. Karakter-karakter
dalam cerita mungkin mengalami ketidakstabilan mental dan tekanan yang
datang dari ketidakseimbangan dalam keluarga dan lingkungan sosial mereka.
Ketidaksetaraan dalam pendidikan menggambarkan ketidakadilan dalam sistem
pendidikan yang dapat memengaruhi anak-anak dari latar belakang yang
kurang beruntung. Diskriminasi dan ketidaksetaraan sosial yang dialami oleh
beberapa karakter mencerminkan kenyataan sosial di mana beberapa individu
terpinggirkan dalam masyarakat. Kritik sosial terhadap distorsi keluarga
bersifat tidak langsung. Masalah kesehatan mental dan ketidaksetaraan dalam
pendidikan mungkin disajikan dalam latar belakang cerita, dan pembaca harus
membaca antara baris untuk menyadari dampaknya terhadap karakter-karakter
dalam novel. Diskriminasi dan ketidaksetaraan sosial juga merupakan bentuk
kritik sosial yang tidak langsung, yang tercermin melalui hubungan dan
pengalaman karakter-karakter.
d. Masalah Generasi Muda
Dalam novel ini, masalah generasi muda menyoroti ketidaksetaraan
ekonomi, kekerasan, dan perlakuan tidak adil di sekolah. Karakter muda
menghadapi tantangan dalam mencapai kesetaraan ekonomi, sementara
kekerasan, bullying, dan perbedaan sosial di sekolah dapat mengakibatkan
traumatisasi dan ketidaksetaraan dalam pendidikan. Perlakuan guru yang tidak
layak juga mencerminkan masalah dalam sistem pendidikan yang
memengaruhi generasi muda. Di tengah semua tekanan ini, solidaritas di
kalangan generasi muda menjadi penting untuk mengatasi tantangan yang
mereka hadapi. Kritik sosial terhadap masalah generasi muda disampaikan

33
dalam berbagai bentuk, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ketidaksetaraan ekonomi dan kekerasan disampaikan secara langsung melalui
pengalaman karakter-karakter muda. Bullying, perbedaan sosial di sekolah, dan
kritik terhadap perlakuan guru adalah contoh bentuk kritik yang tidak
langsung, yang memerlukan pemahaman lebih dalam terhadap latar belakang
cerita dan interaksi karakter.
e. Perperangan
Masalah perperangan mencakup kegagalan penegak hukum dan kritik
terhadap kejahatan dan pengusaha korup. Karakter dalam cerita mungkin
menjadi korban dari konflik bersenjata dan ketidakmampuan penegak hukum
untuk memberikan perlindungan yang cukup. Kritik terhadap kejahatan dan
pengusaha korup mencerminkan bagaimana perang dapat menciptakan peluang
bagi kejahatan dan korupsi untuk berkembang. Kritik terhadap perperangan
disampaikan dalam bentuk kritik yang tidak langsung. Dampak negatif perang,
termasuk kegagalan penegak hukum dan kritik terhadap kejahatan dan
pengusaha korup, tercermin dalam pengalaman karakter-karakter dalam novel,
dan pembaca harus membaca dengan cermat untuk mengidentifikasi kritik
tersebut.
f. Pelanggaran Normal Sosial
Dalam masalah ini, pelanggaran norma sosial melibatkan kekerasan dan
bullying di sekolah, tindakan kekerasan terhadap individu, dan pembelajaran
yang tidak memadai. Ini mencerminkan tantangan dalam menciptakan
lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung di mana pelanggaran norma
sosial dapat terjadi. Kritik terhadap pelanggaran norma sosial bersifat tidak
langsung. Kekerasan dan bullying di sekolah, tindakan kekerasan terhadap
individu, dan pembelajaran yang tidak memadai tercermin dalam latar
belakang cerita dan interaksi karakter-karakter.
g. Masalah Lingkungan Hidup
Masalah lingkungan hidup dalam novel ini mencakup ketidaksetaraan
sosial dan pendidikan, serta pernikahan dan keluarga yang tidak stabil. Ini
mencerminkan bagaimana ketidaksetaraan dalam akses ke sumber daya dan

34
pendidikan dapat mempengaruhi kesetaraan sosial. Pernikahan dan keluarga
yang tidak stabil mencerminkan bagaimana lingkungan yang tidak kondusif
dapat merusak hubungan keluarga. Kritik sosial terkait masalah lingkungan
hidup disampaikan dalam bentuk kritik yang tidak langsung. Ketidaksetaraan
sosial dan pendidikan serta pernikahan dan keluarga yang tidak stabil tercermin
dalam latar belakang cerita dan pengalaman karakter-karakter.
h. Masalah Birokrasi
Masalah birokrasi mencakup ketidaksetaraan pendidikan dan sosialisasi
sekolah, kelemahan dalam sistem hukum, dan korupsi. Karakter dalam cerita
mungkin mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses pendidikan yang adil
dan berkualitas. Kelemahan dalam sistem hukum mencerminkan bagaimana
hukum yang tidak adil dapat merugikan individu dan masyarakat secara luas.
Korupsi memengaruhi kredibilitas pemerintah dan menurunkan kepercayaan
publik. Kritik terhadap masalah birokrasi bersifat tidak langsung.
Ketidaksetaraan pendidikan dan sosialisasi sekolah, kelemahan dalam sistem
hukum, dan korupsi tercermin dalam dinamika sosial yang dijelaskan dalam
cerita.
Dengan menggambarkan dan mengkritik masalah-masalah sosial ini dalam
novel, Peneliti mencoba menyuarakan ketidakpuasan dan keinginan perubahan
dalam masyarakat, serta mendorong pembaca untuk lebih memahami dan
berpartisipasi dalam mengatasi masalah-masalah tersebut. Novel tersebut
berfungsi sebagai cermin sosial yang menggambarkan kompleksitas tantangan
sosial yang dihadapi oleh karakter-karakternya.

B. Pembahasan
Novel "Orang-Orang Biasa" karya Andrea Hirata membuka jendela luas
untuk memahami dan mengkritisi isu sosial kemiskinan. Bab ini merangkum
temuan penelitian yang memperkuat kritik sosial terhadap fenomena
kemiskinan dalam novel dan menghubungkannya dengan gambaran
masyarakat Kota Belantik yang dihadapkan pada beragam permasalahan.
Berikut adalah temuan penelitian dan analisis yang dijelaskan dalam bab ini:

35
1. Kemiskinan
Dalam novel "Orang-Orang Biasa" karya Andrea Hirata, latar belakang
kemiskinan di Kota Belantik menjadi ciri khas yang menandai realitas sosial
masyarakatnya.
"Penduduk Kota Belantik berdamai dengan miskin" (Hirata,
2019:1), kutipan diatas menggambarkan betapa kemiskinan telah menjadi
bagian tak terpisahkan dari kehidupan penduduk. Analisis temuan ini
mengungkapkan bahwa kemiskinan bukan hanya sekadar latar belakang
cerita, melainkan juga menjadi elemen kunci yang membentuk seluruh alur
narasi dalam novel ini. Kehidupan sehari-hari tokoh-tokoh dalam novel
tercermin oleh kemiskinan yang melingkupi mereka, menciptakan gambaran
yang kuat tentang tantangan sosial yang dihadapi masyarakat Kota Belantik.
Dampak kemiskinan terhadap pendidikan anak-anak di Kota Belantik
sangat nyata dalam novel ini. Kalimat,
"Karena tak ada harapan di sekolah, Dinah bekerja membantu
usaha ayahnya berdagang mainan anak-anak di kaki lima"
(Hirata,2019:28), menyoroti betapa akses terbatas terhadap pendidikan
yang layak memaksa anak-anak untuk terlibat dalam pekerjaan yang
mungkin tidak sesuai dengan usia mereka. Analisis temuan ini
mengungkapkan bahwa kemiskinan tidak hanya membatasi akses fisik ke
pendidikan, tetapi juga merusak aspirasi dan harapan anak-anak,
menciptakan lingkungan yang kurang kondusif bagi perkembangan mereka.
Hal ini mencerminkan betapa sistem pendidikan dan kemiskinan dalam
novel ini secara tumpang tindih dan bagaimana ketidaksetaraan sosial
merusak masa depan generasi muda Kota Belantik. Dalam novel ini, kritik
sosial yang kuat terhadap ketidakadilan dalam akses pendidikan menjadi
sebuah pesan penting yang menginspirasi pembaca untuk merenungkan
dampak kemiskinan pada masyarakat dan pendidikan.
Para pedagang kaki lima, seperti Dinah dalam novel ini, harus menghadapi
berbagai tekanan dan risiko dalam menjalankan usaha mereka. Kalimat,

36
"Peluit menyemprit-nyemprit, sirene meraung-raung, petugas
membentak-bentak, para pedagang kaki lima lekas mengemasi
dagangan, secepat kilat" (Hirata, 2019:28),
menggambarkan betapa sulitnya para pedagang kecil beradaptasi dengan
lingkungan yang keras dan terus-menerus dihadapkan pada risiko hukum.
Analisis temuan ini mengungkapkan bagaimana para pedagang ini menjadi
perwakilan dari individu yang berjuang keras untuk bertahan hidup di
bawah beban ekonomi yang sulit. Mereka juga mencerminkan
ketidaksetaraan sosial dan ketidakadilan yang melingkupi masyarakat Kota
Belantik.
Perubahan lingkungan ekonomi, termasuk perubahan tempat berjualan,
telah mengubah ekonomi dan kehidupan tokoh Dinah. Kalimat,
"Dinah pun termangu memikirkan ekonomi yang semakin sulit
karena tempat berjualan semakin susah" (Hirata, 2019:59),
Kutipan di atas mencerminkan ketidakpastian yang datang dari perubahan
ekonomi dan bagaimana itu membawa dampak negatif pada kehidupan
mereka. Analisis temuan ini menyoroti bagaimana perubahan ekonomi yang
tidak terkendali dapat membawa konsekuensi serius bagi para pedagang
kecil dan bagaimana mereka harus terus beradaptasi untuk bertahan dalam
keadaan yang sulit. Dengan demikian, novel ini memaparkan
ketidakstabilan yang mendalam dalam kehidupan ekonomi mereka,
menciptakan narasi yang menyentuh dan mengharukan tentang perjuangan
para individu yang berada di bawah bayang-bayang kemiskinan.
Kemiskinan juga memiliki dampak yang kuat pada dinamika keluarga dan
harga diri tokoh-tokoh dalam novel ini. Kalimat,
"Sobri termangu di pinggir jalan, di belakang setir mobil tangki
septik, gundah memikirkan anak-anaknya yang terancam tak bisa
melanjutkan sekolah lantaran ekonominya yang morat-marit"
(Hirata, 2019:57)
Kutipan novel ini menyoroti betapa tekanan ekonomi dapat mengganggu
keharmonisan keluarga dan merusak harga diri individu. Analisis temuan ini

37
mengungkapkan bagaimana ketidakpastian ekonomi dapat menciptakan
konflik internal dalam keluarga dan mengakibatkan tekanan psikologis yang
berkepanjangan. Ini menunjukkan bahwa kemiskinan tidak hanya
memengaruhi aspek materi, tetapi juga memiliki implikasi emosional yang
signifikan.
Kondisi hunian yang terbatas dan kondisi perumahan para pedagang kecil
seperti Dinah mencerminkan tingkat kemiskinan yang mereka alami.
Kalimat,
"Dinah dan 4 anaknya itu tinggal di rumah petak di belakang
Pasar Inpres, tipikal hunian para pedagang kecil" (Hirata,
2019:28),
menggambarkan keterbatasan fisik hunian yang mencerminkan status sosial
dan ekonomi mereka. Analisis temuan ini menyoroti bagaimana kondisi
perumahan yang sempit dan kurang layak adalah manifestasi fisik dari
ketidaksetaraan sosial dan ketidakadilan yang melingkupi masyarakat Kota
Belantik. Ini juga menunjukkan bahwa kemiskinan tidak hanya berdampak
pada aspek ekonomi, tetapi juga menciptakan tantangan fisik yang
signifikan dalam kehidupan sehari-hari tokoh-tokoh dalam novel ini.
Dengan mengintegrasikan temuan-temuan ini, kita memahami dengan
lebih mendalam bagaimana kemiskinan memengaruhi kehidupan
masyarakat Kota Belantik dan sejauh mana ketidaksetaraan sosial
menciptakan ketidakadilan yang melibatkan berbagai aspek, termasuk
pendidikan, pekerjaan, dan kondisi hunian. Novel ini menjadi sebuah
cermin yang memberikan gambaran tentang tantangan sosial yang dihadapi
masyarakat yang kurang beruntung, sementara juga menyajikan kritik sosial
yang mendalam terhadap masalah ini. Dengan analisis temuan-temuan ini,
kita mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang kerumitan dampak
kemiskinan dalam novel "Orang-Orang Biasa," serta pesan moral tentang
pentingnya kesetaraan dan keadilan dalam masyarakat.
2. Kejahatan

38
Dalam novel "Orang-Orang Biasa" karya Andrea Hirata, kejahatan hadir
dalam berbagai wujud yang mencerminkan isu-isu sosial yang dalam.
Berikut adalah kutipan-kutipan yang menggambarkan berbagai aspek
kejahatan dalam novel ini, beserta analisisnya:

"Adapun sepuluh pecundang itu, yang telah sekian lama


mempersiapkan diri untuk merampok, tak hitung seringnya rapat,
tak terbilang banyaknya gelas kopi dan singkong rebus yang telah
disikat..." (Hirata, 2019:166).
Kutipan yang menyebutkan "sepuluh pecundang" yang merencanakan
tindakan kejahatan untuk merampok mencerminkan keadaan ekonomi yang
sangat sulit di mana mereka tinggal. Keadaan ini memaksa mereka untuk
mencari jalan keluar ekonomi yang drastis, seperti merampok. Ini
mencerminkan masalah yang lebih dalam dalam masyarakat, yaitu
ketidaksetaraan ekonomi yang memaksa individu untuk mengambil
tindakan ekstrem untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kejahatan
dalam bentuk perampokan menjadi hasil dari tekanan ekonomi yang sangat
kuat. Hal ini menggambarkan bagaimana ketidaksetaraan sosial dan
ekonomi dapat menciptakan situasi di mana kejahatan dianggap sebagai
satu-satunya cara untuk mencapai kesejahteraan ekonomi.
Kutipan ini juga mengungkapkan betapa perencanaan kejahatan ini
menjadi satu-satunya jalan keluar yang mereka lihat dalam menghadapi
kemiskinan yang kronis. Ini menciptakan pandangan yang tragis tentang
cara kemiskinan dapat memaksa individu ke dalam jalur kejahatan. Dalam
analisis sosial, ini menggambarkan urgensi untuk mengatasi ketidaksetaraan
ekonomi dan memberikan alternatif yang lebih baik bagi mereka yang
terpinggirkan oleh sistem ekonomi yang tidak adil.
"Di sekolah mana pun mereka ada dan membuli siapa saja hanya
karena dia berbadan besar sedikit atau kecil sedikit atau berbeda
sedikit. Apalagi yang tampak sangat aneh macam Salud." (Hirata,
2019:10).

39
Kutipan yang menyebutkan bullying di sekolah mencerminkan aspek
kejahatan yang lebih kecil dan personal dalam masyarakat. Anak-anak yang
berbeda atau dianggap aneh menjadi korban perundungan di sekolah. Hal ini
mencerminkan masalah sosial yang lebih luas, yaitu kurangnya toleransi dan
penghargaan terhadap keberagaman di masyarakat. Kejahatan dalam bentuk
bullying ini menunjukkan bahwa tindakan kejahatan dapat muncul dalam
berbagai bentuk, termasuk di antara anak-anak di lingkungan sekolah.
Kutipan ini juga menggambarkan bagaimana kejahatan dapat muncul di
tempat-tempat yang seharusnya aman, seperti sekolah. Ini mencerminkan
dampak negatif dari budaya perundungan yang perlu ditangani dalam
masyarakat. Masalah bullying ini menciptakan kesadaran akan perlunya
pendidikan dan kesadaran sosial yang lebih baik untuk menghentikan
kejahatan di lingkungan yang seharusnya mendidik dan melindungi anak-
anak.
Kejahatan dan Penyelenggaraan Bisnis Kriminal
"Bisnis cuci uang Trio Bastardin tertunda lantaran usaha-
usahanya belum memadai skalanya untuk mencuci uang dalam
skala APBD." (Hirata, 2019:53).
Kutipan yang merujuk pada Trio Bastardin sebagai segitiga emas
kejahatan menggambarkan aspek korupsi yang lebih besar dalam
masyarakat. Mereka adalah contoh dari individu yang memanfaatkan posisi
mereka dalam bisnis, politik, dan birokrasi untuk keuntungan pribadi.
Kejahatan mereka melibatkan korupsi, cuci uang, dan pemerasan yang
merusak struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Ini mencerminkan
masalah yang lebih luas dalam sistem sosial di mana korupsi dapat tumbuh
subur.
Kutipan ini juga mengungkapkan betapa kejahatan dalam bentuk korupsi
tidak hanya melibatkan individu, tetapi juga melibatkan elemen-elemen
korporasi dan politik yang merusak sistem secara keseluruhan. Hal ini
menggambarkan betapa kejahatan dapat memiliki dampak sosial dan
ekonomi yang luas dalam masyarakat. Dalam konteks ini, analisis sosial

40
menggarisbawahi perlunya transparansi, etika, dan pertanggungjawaban
dalam bisnis, politik, dan birokrasi untuk mengatasi masalah kejahatan yang
melibatkan segitiga emas kejahatan ini.
"Trio Bastardin yang dulu telah berbahaya, kini semakin
berbahaya karena membentuk tiga serangkai persekongkolan
pengusaha, politikus, dan birokrat. Itulah segitiga emas kejahatan.
Bastardin kini pengusaha, Jamin wakil rakyat, Tarib PNS, dan
pada dasarnya ketiganya adalah maling." (Hirata 2019:52).
Kutipan yang merujuk pada bisnis cuci uang Trio Bastardin
mengungkapkan cara kejahatan dalam novel ini mencakup penyelenggaraan
bisnis kriminal yang melibatkan cuci uang. Praktik cuci uang ini
mengilustrasikan bagaimana kejahatan dalam bentuk bisnis kriminal dapat
merusak struktur ekonomi dan finansial sebuah komunitas. Kejahatan ini
melibatkan penyalahgunaan dana negara dan pajak, dan mengungkapkan
betapa sistem ekonomi dan politik yang korup dapat memfasilitasi tindakan
ilegal ini.
Dalam analisis sosial, hal ini menyoroti pentingnya tindakan pencegahan
dan penegakan hukum yang ketat dalam mengatasi kejahatan bisnis
kriminal. Selain itu, praktik cuci uang juga menciptakan dampak ekonomi
yang merugikan masyarakat karena uang yang dicuci tidak mengalir ke
sektor yang lebih produktif. Kejahatan bisnis cuci uang ini mengingatkan
kita akan perlunya transparansi keuangan dan regulasi yang ketat untuk
mencegah penyalahgunaan dana dan bisnis ilegal.
"Secara sistematis uang itu kemudian dimasukkan Bastardin ke
bank sebagai pendapatan resmi berbagai bisnisnya. Kantor pajak
tersenyum karena pajak pendapatan Bastardin naik. Aparat tak
curiga sebab tak menduga kejahatan secanggih itu terjadi di Kota
Belantik yang naif tanpa dosa." (Hirata 2019:55).
Kutipan yang menyoroti sistematisasi penyimpangan moral dalam
menyembunyikan kejahatan mencerminkan dampak dari kejahatan terhadap
etika dan moral masyarakat. Kejahatan tersebut melibatkan manipulasi

41
sistem yang memungkinkan dana hasil kejahatan untuk diakui sebagai
pendapatan resmi bisnis, sementara sebenarnya uang tersebut berasal dari
praktik ilegal. Hal ini menciptakan masalah etika dalam masyarakat di mana
kebohongan dan penyimpangan moral diterima sebagai bagian dari norma
sosial.
Dalam analisis sosial, kutipan ini memberikan pemahaman tentang
bagaimana kejahatan dapat merusak nilai-nilai moral dan etika dalam
masyarakat. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendidikan dan
kesadaran yang lebih baik tentang etika dan integritas dalam bisnis dan
politik. Praktik penyimpangan moral ini menggarisbawahi perlunya
tindakan preventif dan hukuman yang sesuai untuk mendisinsentifkan
tindakan kejahatan yang merusak etika dan moral sosial.

3. Distorsi Keluarga
Kritik sosial terhadap distorsi keluarga dapat dilihat dalam beberapa
kutipan yang mencerminkan dinamika rumah tangga dan hubungan keluarga
yang bermasalah dalam novel "Orang-Orang Biasa" karya Andrea Hirata.
“Lalu ayahnya, yang sangat dekat dengannya, tak ada ombak tak
ada angin, tiba-tiba jatuh sakit. Sakitnya aneh, yaitu mulanya
kejang-kejang, lalu sesak napas. Apa yang diinginkan ayahnya,
berbeda dengan apa yang diucapkannya. Misalnya ayahnya
sebenarnya mau minum teh, tapi mulutnya mengucapkan ingin
makan. Atau mengucapkan mau minum teh, tapi sebenarnya mau
mendengar radio. Setelah itu biasanya kejang lagi, lalu sesak
napas lalu pingsan lalu dilarikan ke puskesmas” (Hirata, 2019:32)
Kutipan diatas menggambarkan ayah yang jatuh sakit dengan gejala yang
aneh, termasuk kebingungannya dalam mengungkapkan keinginan
sebenarnya. Distorsi keluarga terungkap dalam bentuk gangguan kesehatan
mental ayah yang memengaruhi komunikasi keluarga. Kekacauan dalam
ekspresi keinginan tersebut mencerminkan komunikasi yang terganggu
dalam keluarga, yang dapat mempengaruhi hubungan antaranggota

42
keluarga. Distorsi ini bisa menjadi hasil dari tekanan sosial, ekonomi, atau
masalah dalam keluarga yang belum terselesaikan.
Adapun kutipan lainya mengenai distorsi keluarga ini berupa kutipan
Konon nasib manusia bersifat melingkar sebab bakat dan
kelebihan pandai menurun, demikian pula kiranya segala
kekurangan. Seperti ibunya, Aini pun mengalami sakit perut yang
aneh setiap kali akan menghadapi pelajaran Matematika. Dia
sekolah di SMA yang sama dengan ibunya dulu dan diajar guru
Matematika yang sama pula, Ibu Desi, seorang guru Matematika
jaminan mutu, tapi keras macam serdadu. (Hirata,2019:29)

Kutipan kedua menggambarkan Aini, anak perempuan dalam keluarga,


yang mengalami sakit perut saat menghadapi pelajaran Matematika. Ini
mencerminkan dampak tekanan dalam lingkungan sekolah dan hubungan
antara anak dan orang tua dalam keluarga. Distorsi keluarga terlihat dalam
tekanan yang ditempatkan pada anak untuk mencapai harapan orang tua atau
keluarga, terutama dalam bidang akademik. Distorsi ini dapat memengaruhi
kesehatan mental dan emosional anak.

Kutipan ketiga menggambarkan Ibu Atikah, seorang wanita karier yang


bekerja di bank ternama, yang mengalami patah hati setelah suaminya kabur
dan menikahi wanita lain.

“Di dalam ruangan yang mewah di gedung yang megah itu,


rupanya seorang perempuan juga termangu. Ibu Atikah namanya.
Berbeda dengan para drop out, kuli pelabuhan, pedagang kaki
lima, guru honorer, pembersih, pengangguran, dan penggali kubur
itu, Ibu Atikah adalah pimpinan cabang sebuah bank ternama.
Maka, dia termangu bukan karena ekonomi yang sulit seperti
dialami oleh kacung kacung kampret itu, melainkan karena patah
hati lantaran suaminya kabur dan kawin lagi dengan pacar SMA-
nya. Klasik, klise, dan sangat sinetron sesungguhnya kejadian itu.

43
Namun, Ibu Atikah, seorang wanita cantik yang cerdas, merasa
sangat terpukul, sangat sedih, dan tersinggung” (Hirata, 2019:59)

Distorsi keluarga di sini terlihat dalam bentuk konflik rumah tangga yang
mengarah pada perpisahan. Perasaan patah hati dan pengkhianatan
menciptakan distorsi emosional dalam keluarga. Ibu Atikah merasa
tersinggung dan terpukul, dan konflik tersebut mempengaruhi kesejahteraan
keluarga secara keseluruhan.

Kutipan terakhir menggambarkan momen ketika Ibu Atikah menangkap


suaminya berselingkuh di tengah hujan.

“Ibu Atikah. Dia tak sudi, benci, bahkan murka pada hujan karena
saat hujanlah dulu dia menangkap basah kelakuan suaminya itu.
Ingat benar dia waktu itu, dia berpayung sendiri. Nun di seberang
jalan sana, suaminya berpayung dengan perempuan itu, berlari-
lari kecil, berkecipak sambil cekikikan. Sudah cukup sinetronkah
semua itu? Belum. Baiklah, Ibu Atikah membuang payungnya
sendiri, lalu menangis memanggil-manggil suaminya. Namun,
suaranya terlamun debur hujan. Teganya? Setelah segala yang
kita lalui bersama? Lupakah akan janji-janjimu dulu? Ibu Atikah
semakin kelu karena tak ada siapa-siapa untuk berbagi rasa. Dia
memang bukan tipe orang yang suka mcngumbar-umbar masalah
pribadinya, dan dia lelah selalu berusaha gembira di depan kedua
putrinya” (Hirata, 2019:72)

Distorsi keluarga di sini terlihat dalam pengkhianatan suami dan


kegagalan dalam komitmen pernikahan. Ini mencerminkan masalah umum
dalam rumah tangga, yaitu ketidaksetiaan, yang dapat menciptakan distorsi
emosional dan konflik dalam keluarga.
4. Masalah Generasi Muda
Dalam cerita Aini, penekanan diberikan pada upaya kerasnya untuk
meraih cita-citanya menjadi seorang dokter spesialis.

44
Dinah ingin menguliahkan Aini ke Fakutlas Kedokteran. Karena
Aini memiliki cita-cita menjadi seorang dokter spesialis. Aini yang
belajar sungguh-sungguh selama 3 tahun dan harus meraih cita-
citanya tersebut. (Hirata, 2019:83)
Generasi muda sering kali dihadapkan pada ekspektasi yang tinggi dari
keluarga dan masyarakat untuk mencapai kesuksesan dalam bidang tertentu.
Tekanan ini dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental mereka,
menciptakan kecemasan dan depresi. Oleh karena itu, kritik sosial yang
diungkapkan adalah perlunya masyarakat untuk mengakui bahwa setiap
individu memiliki potensi yang berbeda dan bahwa tekanan untuk mencapai
kesuksesan tertentu tidak selalu seimbang dengan kebahagiaan dan
kesejahteraan individu.

Salud mengawali langkahnya di SMA itu sebagai anak yang sering


dipukuli dan mengakhirinya sebagai anak yang babak belur.
Sekolahnya hanya sampai kelas 2 SMA karena dia tak kuat
menghadapi kebrutalan Trio Bastardin dan Duo Boron. Terpukul
raganya, tertindas jiwanya oleh para pembeli itu. (Hirata, 2019:35)

Kisah Salud yang menjadi korban kekerasan di sekolah menggambarkan


tantangan nyata yang dihadapi oleh banyak generasi muda. Ini juga
menggambarkan ketidakmampuan sistem pendidikan untuk melindungi
anak-anak dari pelecehan di sekolah. Kritik sosialnya mencakup perlunya
perubahan dalam pendekatan pendidikan untuk menciptakan lingkungan
yang aman dan mendukung di sekolah. Diperlukan kebijakan anti-pelecehan
yang lebih ketat dan upaya yang lebih besar untuk mendidik siswa tentang
penghargaan terhadap perbedaan dan pentingnya kerjasama yang positif.
Lebih dari itu, kritik ini juga mencerminkan perlunya peran aktif orang tua
dan komunitas dalam mendukung anak-anak yang mungkin menjadi korban
kekerasan di sekolah sehingga mereka merasa didengar dan dilindungi.

Anak sekolah zaman sekarang ternyata suka berkelompok


berdasarkan bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri, dan

45
bagaimana mereka ingin dilihat orang lain. Yang keren, modis,
cerdas dan berbakat macam-macam punya grupnya masing-
masing. Yang suka tepuk Pramuka bergaul sesama mereka, yang
suka menaikkan bendera juga. Lalu muncul group baru yang
disebut para pembuli. (Hirata, 2019:9)

Selanjutnya kutipan diatas menggambarkan cara generasi muda seringkali


terjebak dalam stereotipe sosial dan kelompok-kelompok yang dibentuk
berdasarkan atribut tertentu. Hal ini menciptakan tekanan sosial yang dapat
membuat individu merasa perlu untuk memenuhi ekspektasi atau
mengidentifikasi diri dengan kelompok tertentu. Hal ini dapat menghasilkan
perasaan ketidakcukupan dan eksklusi bagi mereka yang tidak sesuai
dengan norma yang ditetapkan oleh kelompok-kelompok tersebut. Kritik
sosialnya adalah perlunya pendidikan dan kesadaran yang lebih besar
tentang pentingnya menerima keragaman dan mendorong budaya inklusif di
antara generasi muda. Ini akan membantu dalam mengurangi prasangka dan
pembulian yang seringkali muncul di kalangan anak-anak dan remaja.
Melalui kisah ibu Desi yang awalnya menolak Aini karena dianggap
bodoh, novel ini menggarisbawahi bagaimana penilaian berdasarkan
penampilan fisik atau kecerdasan akademik saja dapat menyebabkan
ketidakpedulian terhadap individu yang mungkin memiliki potensi lain yang
berharga.
Ibu Desi yang awalnya mengusir Aini dan tidak dibukakan pintu.
Karena Aini siswa bodoh namun karna kegetirannya untuk belajar
matematika, Aini tak perduli, Aini selalu datang kerumah Ibu Desi.
(Hirata, 2019:41)

Kritik sosialnya adalah perlunya masyarakat untuk menerima dan


mendukung individu dalam mencapai potensi mereka, terlepas dari
ketidaksempurnaan atau kekurangan yang mungkin ada. Ini
menggarisbawahi pentingnya menghargai keberagaman dan memberikan
kesempatan kepada generasi muda untuk berkembang sesuai dengan potensi

46
mereka masing-masing, tanpa takut akan penolakan atau ketidakpedulian
yang mungkin mereka alami dalam prosesnya.

5. Perperangan
Dari kutipan-kutipan ini, kita dapat melihat bahwa novel ini
menggambarkan kritik sosial terhadap penyalahgunaan kecanggihan militer,
strategi perang, dan korupsi oleh elit yang dapat membahayakan stabilitas
dan keadilan dalam masyarakat. Hal ini mencerminkan ketidakpuasan
terhadap cara kekuatan dan keahlian militer digunakan, serta bagaimana
korupsi mempengaruhi struktur sosial dan politik
“Mul merasa yakin sebab krunya sangat professional. Dirinya
sendiri tak lain seorang strategist yang cukup visioner. Seorang
perencanaan perampokan kelas wahid yang dapat memperkirakan
durasi operasi hingga hitungan detik serta jumlah duit rampokan
hingga pecahan terkecil. Slm itu seorang supir andal dan nekat
macam dalam film “Cepat dan Muntab”. Amt adalah ahli kunci
serbabisa dan Tpk ahli senjata api.” (Hirata, 2019:142).
Dalam deskripsi tentang karakter-karakter yang merupakan perencana
perampokan kelas wahid dan ahli senjata api, novel ini mencerminkan kritik
sosial terhadap penggunaan kecanggihan militer dan keterampilan taktis
dalam aktivitas kriminal. Ini menyoroti bagaimana pengetahuan strategi
perang dapat digunakan untuk kepentingan pribadi atau kejahatan, yang
menciptakan risiko dan ketidakstabilan dalam masyarakat. Kritik ini juga
dapat mengacu pada isu penyalahgunaan teknologi dan keahlian militer oleh
individu atau kelompok yang memiliki niat jahat.
Kutipan selanjutnya merupakan kutipan yang mencerminkan kritik sosial
terhadap korupsi dan keterkaitan antara pengusaha, politisi, dan birokrat
yang membentuk segitiga kejahatan.
Trio Bastardin yang dulu telah berbahaya, kini semakin berbahaya
karena membentuk tiga serangkai persekongkolan pengusaha,
politisi, dan birokrat. Itulah segitiga emas kejahatan. Bastardin
kini pengusaha, Jamin wakil rakyat, Tarib PNS, dan pada
dasarnya, ketiganya adalah Maling. Diam-diam mereka

47
membangun operasi gelap tingkat tinggi yang bahkan Inspektur
Abdul Rojali takkan membayangkan jenis kejahatan semacam itu
akan tertera di papan statistik kejahatan kabupaten tingkat dua.
Moni londri! Itulah kejahatan mereka. (Hirata, 2019:52)
Kritik ini memperlihatkan bagaimana dalam kutipan ini menciptakan
ketidakadilan sosial dan politik di masyarakat, di mana kepentingan pribadi
dan kejahatan tersembunyi dapat mendominasi kebijakan dan tindakan
negara. Kritik ini juga menggarisbawahi perlunya transparansi,
akuntabilitas, dan upaya untuk memerangi korupsi dalam sistem politik dan
ekonomi.
6. Pelanggaran Norma Sosial
Kutipan dari novel "Orang Biasa" tersebut menggambarkan pelanggaran
norma sosial yang berhubungan dengan intimidasi, kekerasan fisik, dan
penindasan di lingkungan sekolah. Berikut penjabarannya dan hubungannya
dengan masalah sosial pelanggaran norma sosial.
Kutipan ini menggambarkan keberadaan dua geng pembuli di sekolah, yaitu
Trio Bastardin dan Duo Boron.
“Biang Pembuli di sekolah itu ada dua geng yaitu geng Trio
Bastardin dengan dua anggota tetap Jamin dan Tarib dan Duo
Boron yakni kombinasi berbahaya Boron dan Bandar. Mereka
kompak, beringas, pembunuh karakter berdarah dingin. Hobi
brutal mereka ialah memukuli salud karena bagi mereka, rupa
Salud yang aneh itu adalah undangan yang tak tertahankan untuk
menjadikannya samsak tinju dan hal itu merupakan hiburan yang
tak terkira-kira menyenangkannya” “Kasihan Salud karena
kemana-mana selalu sendiri. Sepanjang waktu selalu kena ejek,
kesepian, dan ketakutan” (Hirata, 2019:11)
Mereka memiliki kebiasaan brutal yang melibatkan pukulan fisik dan
penghinaan terhadap karakter individu, seperti Salud. Tindakan pembulian
dan penindasan ini melanggar norma sosial yang mengharuskan individu
untuk menghormati hak, martabat, dan keamanan orang lain. Hubungannya

48
dengan masalah sosial adalah bahwa intimidasi di sekolah merupakan
bentuk pelanggaran norma sosial yang dapat merusak kesejahteraan mental
dan emosional generasi muda.
Alhasil, esoknya Salud ke sekolah dengan bibir dower, kepala
benjol, muka bengkak-bengkak, hidungnya yang kemarin macam
jambu air, pagi ini macam jambu bol akibat genap gusrot Trio
Bastardian dan Duo Boron. Namun, sulit dibuktikan pembukuan
telah terjadi sebab wajahnya memang aslinya berbonggol-
bongkol. Lagipula, Bastardin dan Boron selalu mengancam, kalau
Sulud buka mulut di depan guru-guru nasibnya akan lebih sial.
Adapun debut Awaludin matanya berubah menjadi macam dua
butir sawo matang kena begal trio dan duo itu. Dia tak mau
melaporkan hal itu pada guru, bukan karena dia takut di ancam
Bastardin dan Boron, melainkan karena dia ingin menyelesaikan
masalahnya sendiri sebab dia idealis. (Hirata, 2019:19)
Kutipan ini menggambarkan dampak negatif yang dialami Salud akibat
intimidasi. Ia merasa kesepian, ketakutan, dan sering diejek. Ini
mencerminkan dampak psikologis yang sering dialami oleh korban
intimidasi, yang mencakup kerentanannya terhadap stres, depresi, dan
isolasi sosial. Hal ini juga menggarisbawahi ketidakmampuan sekolah atau
masyarakat untuk melindungi anak-anak dari pelanggaran norma sosial
yang merugikan.
Salud kini bekerja serabutan. Benar-benar hanya menjual tenaga.
Dia biasa mengerjakan pekerjaan buangan yang orang lain tak
mau atau tak sanggup mengerjakannya, misalnya menguras tangki
septik dan semua pekerjaan yang bersifat menggali, misalnya
menggali parit, sumur, atau lubang kubur. (Hirata,2019:35)

Salud memilih untuk tidak melaporkan intimidasi kepada guru karena dia
ingin menyelesaikan masalahnya sendiri. Ini mencerminkan
ketidakpercayaan pada sistem sekolah atau ketidakmampuan siswa untuk

49
mencari bantuan ketika mereka menghadapi masalah sosial seperti
intimidasi. Masalah ini menggarisbawahi perlunya dukungan dan
perlindungan terhadap generasi muda ketika mereka menghadapi
pelanggaran norma sosial.

7. Masalah Lingkungan Hidup


Selanjutnya merupakan kritik sosial dari segi masalah lingkungan hidup
dapat dalam novel ini menggambarkan berbagai aspek masalah sosial
lingkungan hidup, termasuk perumahan yang buruk, keterbatasan sumber
daya, pengangguran, pencemaran lingkungan, dan ketidakstabilan dalam
kehidupan keluarga.
“Anak sekolah zaman sekarang berkelompok berdasarkan
bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri, dan bagaimana
mereka ingin dilihat orang lain. Yang keren, modis, cerdas, dan
berbakat macam-macam punya grupnya masing-masing. Yang
suka tepuk pramuka bergaul sesama mereka, yang suka menaikkan
bendera juga. Lalu, muncul grup baru, yang disebut para
pembuli” (Hirata, 2019:9)
Kutipan di atas menggambarkan Dinah dan anak-anaknya tinggal di rumah
petak di belakang pasar Inpres, yang merupakan hunian tipikal para
pedagang kecil. Ini mencerminkan masalah sosial lingkungan hidup terkait
dengan kurangnya akses terhadap hunian yang layak. Kondisi seperti ini
sering mengarah pada tumpukan barang dagangan yang menghambat ruang
untuk kegiatan seperti belajar atau tidur.
Semua fakta itu kemudian berkembang, menjadi dilema bagi
Inspektur. Sesuai Protap, dia wajib melapor pada atasan jika
menduga kejahatan luar biasa akan terjadi. Namun, bagaimana
nanti kalau laporannya dianggap konyol? Perampokan bersenjata
di Belantik? Yang benar saja, Inspektur.’ Setelah berhari-hari
menimbang dalam bimbang dan gamang, akhirnya Inspektur
memutuskan untuk melapor. Sebab, jika sudah tahu perampokan

50
bersenjata akan terjadi, tetapi tak melapor, dan ternyata
perampokan itu benar terjadi, dia bisa kena pasal. (Hirata,
2019:99)

Kutipan kedua menggambarkan bagaimana anak-anak Dinah harus


menyingkirkan barang dagangan untuk belajar atau tidur. Hal ini
menggarisbawahi pengorbanan yang diperlukan dalam lingkungan tersebut.
Keterbatasan sumber daya dan ruang hidup yang sempit adalah masalah
sosial lingkungan hidup yang sering dihadapi oleh keluarga yang tinggal di
daerah perkotaan yang padat.

Seperti dugaannya, laporannya dianggap kurang berdasar. Tak


jelas pula apa yang akan dirampok dan siapa Pelakunya, dan
semakin lemah karena info itu diembuskan oleh maling kambuhan
yang ingin meringankan hukuman sepupunya, yang juga maling
kambuhan. Alhasil, Inspektur disarankan untuk lebih fokus
mengurusi surat kelakuan baik. “Siap, Kumendan!” (Hirata,
2019:100)

Kutipan ketiga ini mengacu pada karakter Pembicara Motivasi yang


merupakan pengangguran. Pengangguran dan kemiskinan adalah masalah
sosial yang erat kaitannya dengan isu lingkungan hidup. Orang-orang yang
tidak memiliki pekerjaan yang stabil atau cukup penghasilan seringkali
kesulitan dalam menjaga lingkungan hidup mereka dan keluarga mereka.

“Diam-diam pimpinan koperasi menyisihkan sekian lembar dari


duit 800 juta yang diterimanya tadi, digenggamnya duit itu
sehingga tak ketara, lalu dengan cara yang sangat rapi dan
terlatih, bahkan iblis pun tak dapat melihatnya, diselipkannya duit
itu ke dalam saku celana Inspektur. Dengan gerakan yang sangat
terlatih pula, Inspektur menepis tangan yang lancang itu.“Maaf
Pak, berdasarkan undang-undang layanan polisi adalah cuma
cuma, gratis!”Terkejut sekaligus malu pimpinan koperasi itu,

51
canggung bukan main suasana jadinya. Menyesal dia seharusnya
dia mendengarkan kata orang-orang bahwa Inspektur Abdul
Rojali itu lebih lurus daripada marka jalan. (Hirata, 2019:242)

Kutipan keempat menggambarkan bagaimana air dari parit pasar meluap


dan mengalir ke selatan ke Sungai Linggang. Ini menciptakan gambaran
tentang lingkungan fisik yang mungkin tercemar oleh limbah dan
pencemaran air. Kualitas air yang buruk dapat mempengaruhi kesehatan
masyarakat yang tinggal di sekitar lingkungan tersebut.

8. Masalah Birokrasi
Selanjutnya masalah birokrasi dapat melalui berbagai aspek, seperti
ketidaksetaraan dalam pendidikan, kelemahan dalam sistem hukum,
korupsi, dan praktek yang tidak etis. Ini menggambarkan bagaimana
birokrasi dan peraturan yang ada dalam masyarakat sering kali
memengaruhi tindakan dan sikap individu dalam berbagai konteks. Berikut
adalah hubungan antara kutipan-kutipan tersebut dengan masalah birokrasi:
“Anak sekolah zaman sekarang berkelompok berdasarkan
bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri, dan bagaimana
mereka ingin dilihat orang lain. Yang keren, modis, cerdas, dan
berbakat macam-macam punya grupnya masing-masing. Yang
suka tepuk pramuka bergaul sesama mereka, yang suka
menaikkan bendera juga. Lalu, muncul grup baru, yang disebut
para pembuli” (Hirata, 2019:9)
Kutipan di atas menggambarkan bagaimana anak-anak sekolah dibagi
berdasarkan berbagai atribut seperti kecerdasan, bakat, dan modis. Ini
mencerminkan masalah ketidaksetaraan dalam pendidikan di mana para
siswa mungkin diperlakukan secara berbeda berdasarkan atribut pribadi
mereka. Birokrasi dalam pendidikan dapat berperan dalam menciptakan
sistem yang tidak merata.
Semua fakta itu kemudian berkembang, menjadi dilema bagi
Inspektur. Sesuai Protap, dia wajib melapor pada atasan jika

52
menduga kejahatan luar biasa akan terjadi. Namun, bagaimana
nanti kalau laporannya dianggap konyol? Perampokan
bersenjata di Belantik? Yang benar saja, Inspektur.’ Setelah
berhari-hari menimbang dalam bimbang dan gamang, akhirnya
Inspektur memutuskan untuk melapor. Sebab, jika sudah tahu
perampokan bersenjata akan terjadi, tetapi tak melapor, dan
ternyata perampokan itu benar terjadi, dia bisa kena pasal.
(Hirata, 2019:99)
Kutipan ini menggambarkan seorang Inspektur yang dilema karena
tugasnya melaporkan potensi kejahatan. Ini mencerminkan masalah
kelemahan dalam sistem hukum di mana tindakan yang seharusnya diambil
oleh birokrasi dapat terhambat oleh keraguan atau ketidakpastian. Inspektur
merasa terikat oleh prosedur yang ada, meskipun ada risiko laporan tersebut
tidak dianggap serius.
Seperti dugaannya, laporannya dianggap kurang berdasar. Tak
jelas pula apa yang akan dirampok dan siapa Pelakunya, dan
semakin lemah karena info itu diembuskan oleh maling kambuhan
yang ingin meringankan hukuman sepupunya, yang juga maling
kambuhan. Alhasil, Inspektur disarankan untuk lebih fokus
mengurusi surat kelakuan baik. “Siap, Kumendan!” (Hirata,
2019:100)
Kutipan ini mencerminkan masalah korupsi dalam sistem hukum.
Pimpinan koperasi menyelipkan uang ke kantong Inspektur,
menggambarkan praktek korupsi yang melibatkan pejabat dan birokrat. Ini
mengungkapkan bagaimana kekuasaan dan posisi dalam birokrasi dapat
disalahgunakan untuk tujuan pribadi.
“ O, ya, saya ingat itu,” kata Inspektur. Cerita punya cerita, dua
pria itu ternyata punya bisnis barang-barang mewah. Mereka
minta dilancarkan sebab sering direpotkan oleh pihak-pihak
tertentu. (Hirata, 2019:123)

53
Kutipan ini menggambarkan bagaimana bisnis yang dijalankan oleh dua
pria tersebut mendapat perlakuan istimewa dari pihak berwenang. Ini
mencerminkan praktek korupsi dalam bisnis di mana hubungan dengan
birokrasi dapat memberikan keuntungan yang tidak seharusnya.

54

Anda mungkin juga menyukai