Anda di halaman 1dari 23

PERMASALAHAN SOSIAL AKIBAT PENGELOMPOKAN SOSIAL

Tujuan Pembelajaran
1. Peserta didik diharapkan mampu membedakan permasalahan sosial umum dengan
permasalahan sosial akibat pengelompokan sosial.
2. Peserta didik diharapkan mampu menjelaskan macam-macam permasalahan sosial.
3. Peserta didik diharapkan mampu merancang pemecahan permasalahan sosial akibat
pengelompokan sosial.
4. Peserta didik diharapkan mampu menghimpun informasi macam-macam permasalahan akibat
pengelompokan sosial.
5. Peserta didik mampu mengomunikasikan pemecahan permasalahan akibat pengelompokan
sosial.

A. Permasalahan Sosial
1. Pengertian Masalah Sosial
Istilah masalah sosial mengandung dua kata, yakni masalah dan sosial. Kata sosial
membedakan masalah ini dengan masalah ekonomi, politik, biologi, fisika, kimia, dan masalah
lainnya meskipun bidang-bidang tersebut masih berkaitan dengan masalah sosial. Kata sosial
mengacu pada masyarakat, hubungan sosial, struktur sosial, dan organisasi sosial. Sementara itu,
kata masalah mengacu pada kondisi, situasi atau perilaku yang tidak diinginkan, aneh,
bertentangan, tidak benar, dan sulit.
Ada berbagai pandangan para tokoh sosiologi tentang masalah sosial. Pandangan itu antara
lain sebagai berikut.
a. Arnold Marshall Rose mengatakan bahwa masalah sosial dapat didefinisikan sebagai suatu
situasi yang telah memengaruhi sebagian besar masyarakat sehingga mereka percaya
bahwa situasi itu adalah sebab dari kesulitan mereka. Situasi itu dapat diubah.
b. Earl Raab dan Gertrude Jaeger Selznick berpandangan bahwa masalah sosial adalah
masalah hubungan sosial yang menantang masyarakat itu sendiri atau menciptakan
hambatan atas kepuasan banyak orang.
c. Richard dan Richard berpendapat bahwa masalah sosial adalah pola perilaku dan kondisi
yang tidak diinginkan dan tidak dapat diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat.
d. Soerjono Soekanto (2015) mengatakan bahwa masalah. sosial adalah suatu ketidaksesuaian
antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kehidupan
kelompok sosial.

Ada dua elemen penting mengenai definisi masalah sosial. Elemen yang pertama adalah
elemen objektif. Elemen objektif berkaitan dengan keberadaan suatu kondisi sosial. Kondisi
sosial disadari melalui pengalaman hidup manusia, media, dan pendidikan. Misalnya, saat kita
bertemu dengan pengemis atau pemulung di jalan atau saat kita melihat berita tentang
kemiskinan, peperangan, dan perdagangan manusia atau saat kita membaca di berbagai media
cetak tentang banyak orang kehilangan pekerjaannya.
Kondisi sosial ini secara objektif berbahaya bagi masyarakat. Kondisi ini benar-benar
realistis dan pernah dialami oleh masyarakat. Pengalaman yang berbahaya ini bersifat universal
dan dapat dijumpai di seluruh dunia.
Sementara itu, elemen subjektif masalah sosial berkaitan yang lain, dengan keyakinan
bahwa kondisi sosial tertentu berbahaya bagi masyarakat dan harus diatasi. Kondisi sosial
seperti itu antara lain kejahatan, penyalahgunaan obat terlarang, dan polusi. Kondisi sosial ini
tidak dianggap sebagai masalah sosial oleh masyarakat tertentu. Namun bagi masyarakat y
kondisi itu dianggap sebagai kondisi yang mengurangi kualitas hidup manusia.
Berdasarkan kedua elemen ini, masalah sosial dapat didefinisikan sebagai kondisi sosial yang
dipandang oleh suatu masyarakat berbahaya bagi anggota masyarakat dan harus diatasi. Dari
definisi ini, ada empat hal yang perlu diperhatikan
a. Penggunaan istilah masalah sosial menunjukkan bah ada sesuatu yang salah. Kondisi itu
membahayakan manusia sehingga hal tersebut merujuk pada kondisi yang perlu dievaluasi
sebagai sesuatu yang salah.
b. Masalah sosial adalah kondisi sulit yang memengaruhi tidak hanya satu orang, tetapi
sebagian besar masyarakat.
c. Definisi masalah sosial mengandung optimisme untuk dapat diubah. Masalah sosial
merupakan istilah yang diberikan kepada kondisi yang kita anggap dapat diubah oleh
manusia. Kematian bukanlah masalah sosial, tetapi peristiwa sekitar kematian dapat
menjadi masalah sosial karena peristiwa-peristiwa itu dapat diubah.
d. Masalah sosial adalah kondisi yang harus diubah. Untuk itu, sesuatu perlu dilakukan.
Bagi masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain hal-hal yang menjadi masalah sosial
dapat berbeda-beda Perbedaan ini dipengaruhi antara lain oleh perbedaan nilai keyakinan
pengalaman hidup, dan periode sejarah. Misalnya kegiatan minum teh di Inggris pada abad ke-
17 hingga abad ke-18 dianggap membahayakan kesehatan dan memiskinkan bangsa. Namun
pada masa sekarang, Inggris dikenal dengan tradisi minum teh pada sore hari.

2. Teori tentang Masalah Sosial


Masalah sosial dapat dilihat dari teori fungsionalisme teori konflik, dan teori
interaksionisme simbolik. Perhatikan tabel berikut.

Teori Tokoh Fokus Pandangan


Teori Emile Durkheim Ancaman Masalah sosial muncul dari
Fungsional Talcott Parsons terhadap tatanan kegagalan institusi sosial,
Robert K. Merton sosial kelompok, dan bagian lain dari
masyarakat untuk menjalankan
fungsi sebagaimana mestinya
Teori Konflik Karl Marx Kontribusi pada Masalah sosial muncul dari
Rall Dahrendorf konflik sosial eksploitasi kelompok yang kuat
terhadap kelompok yang lemah
Teori George H. Mead Interaksi negatif Masalah-masalah sosial muncul
Interaksionisme Charles H.Cooley antarindividu karena pergaulan dengan
Simbolik Erving Goffman pelanggar hukum dan pelabelan
karakter yang buruk

a) Teori Fungsionalisme
Menurut teori fungsionalisme, semua bagian masyarakat, seperti keluarga, ekonomi,
dan sekolah, memiliki fungsinya masing-masing dalam masyarakat. Keluarga membesarkan
anak, sekolah mengajarkan pengetahuan, dan lembaga ekonomi menyediakan pekerjaan.
Untuk membangun tatanan sosial yang stabil, semua bagian masyarakat ini saling bekerja
sama. Jika salah satu bagian dari masyarakat ini tidak menjalankan fungsinya dengan baik,
maka terjadilah ketidakteraturan sosial dalam bentuk masalah sosial.
Berdasarkan teori fungsionalisme, ada dua pandangan tentang masalah sosial. Kedua
pandangan tersebut berasal dari patologi sosial dan disorganisasi sosial. Menurut patologi
sosial, masalah sosial diibaratkan sebagai suatu penyakit dalam tubuh manusia. Penyakit ini
disebabkan oleh salah satu sistem, organ, atau sel tubuh tidak bekerja dengan baik. Penyakit
sosial seperti kejahatan, kekerasan, dan kenakalan remaja, tumbuh dalam masyarakat
karena peran institusi seperti keluarga, ekonomi, dan politik sudah tidak memadai lagi.
Dalam hal ini, proses sosialisasi atas norma dan nilai tidak berjalan dengan baik. Orang harus
menerima sosialisasi dan pendidikan moral yang memadai untuk mencegah dan mengatasi
masalah sosial ini. Hal ini dapat dilakukan antara lain di dalam keluarga, sekolah, dan
agama.
Sementara itu, menurut pandangan disorganisasi sosial, masalah sosial bersumber dari
proses perubahan sosial yang cepat, seperti revolusi kebudayaan di Tiongkok (1966-1976).
Norma dalam masyarakat dapat terganggu karena perubahan sosial yang cepat. Masalah
sosial seperti pencurian, kekerasan, dan penyalahgunaan obat-obatan serta kegiatan negatif
lainnya merajalela ketika norma melemah dalam masyarakat. Masalah ini dapat diatasi
dengan memperlambat gerakan. perubahan sosial dan memperkuat norma sosial.

b) Teori Konflik
Menurut teori konflik, masalah sosial timbul dari berbaga macam konflik sosial. Konflik
kelas, konflik ras atau etnis, dan konflik gender merupakan hal yang paling penting dan
umum, Ketimpangan antara yang kuat dan lemah merupakan sumber dari munculnya
konflik.
Konflik antarkelas sosial adalah konflik yang umumnya terjadi karena perbedaan
kepentingan antara kelas borjuis dan proletar (buruh). Adapun, konflik ras atau etnis
biasanya muncul dalam bentuk prasangka dan diskriminasi yang dimiliki dan dipraktikkan
oleh kelompok dominan terhadap minoritas
Konflik gender juga bisa menjadi sumber masalah sosial Konflik gender umumnya
muncul dalam bentuk prasangka dan diskriminasi oleh laki-laki terhadap perempuan.
Ketidaksetaraan ini terjadi bersamaan dengan keyakinan bahwa perempuan lebih rendah
daripada laki-laki. Konsekuensinya, perempuan ditindas, dikendalikan, atau dilecehkan
oleh laki- laki yang mendominasi masyarakat.
Dalam perspektif teori konflik, ada dua pandangan tentang masalah sosial. Kedua
pandangan itu adalah teori Marxisme dan teori Non-Marxisme.
1) Teori Marxisme melihat ketidaksetaraan ekonomi dapat menjadi penyebab konflik
sosial. Adanya ketidaksetaraan kelas dalam sistem kapitalisme menyebabkan
munculnya masalah sosial. Dalam sistem ini, ada kelas borjuis dan ada kelas proletar.
Kelompok yang termasuk kelas borjuis adalah para pemilik faktor produksi, seperti
pabrik dan mesin. Sementara itu, yang termasuk kelas proletar adalah kaum buruh. Dua
kelas ini pasti terkunci dalam konflik. Kelas borjuis yang memiliki modal berhasil
memaksimalkan keuntungan dengan membayar pekerja mereka dengan upah serendah
mungkin, sedangkan buruh gagal mendapatkan upah setinggi yang mereka harapkan.
Banyaknya masalah sosial, seperti kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan
kejahatan perusahaan disebabkan oleh sifat eksploitatif kapitalisme. Dengan teori
konflik yang fokus pada alienasi, ketidakberdayaan, dan ketidakbermaknaan hidup
manusia, teori Marxisme berpendapat bahwa masalah sosial dapat diatasi dengan
masyarakat tanpa kelas karena dalam masyarakat seperti ini, ketidaksetaraan dapat
diatasi.
2) Pandangan teori Non-Marxisme menaruh perhatian pada konflik yang timbul karena
kelompok-kelompok mempunyai kepentingan dan nilai yang berbeda. Perbedaan ini
menimbulkan interpretasi yang berbeda atas masalah sosial. Masalah sosial dapat diatasi
jika tiap kelompok dapat memahami pandangannya masing- masing.

c) Teori Interaksionisme Simbolik


Berbeda dengan teori fungsionalisme dan teori konflik yang melihat masalah sosial
sebagai produk masyarakat, teori interaksionisme simbolik melihat masalah sosial sebagai
interaksi simbolis antara individu yang tidak mempunyai masalah sosial dan individu yang
mempunyai masalah sosial.
Umumnya, interaksi simbolis adalah interaksi antara seseorang dan orang lain yang
diatur oleh makna yang menghubungkan tindakan dan reaksi mereka. Jika dua pihak
menafsirkan perilaku satu sama lain sebagai sesuatu yang ramah, maka interaksi akan
menjadi menyenangkan. Namun, interaksi menjadi tidak menyenangkan jika kedua belah
pihak panik karena perilaku masing-masing dianggap sebagai tidak bersahabat.
Dalam teori interaksionisme simbolik, juga terdapat dua pandangan yang berbeda
tentang masalah sosial. Pertama adalah teori pelabelan (labelling theory). Menurut teori ini,
suatu kondisi sosial kelompok atau masyarakat tertentu dianggap bermasalah karena
kondisi itu sudah dicap bermasalah.
Kedua, konstruksionisme sosial melihat bahwa individu yang menginterpretasikan
dunia sekitarnya secara sosial mengonstruksi realitas secara sosial. Oleh karena itu, masalah
sosial juga merupakan konstruksi manusia. Dalam mengonstruksi realitas sosial, ada kalanya
individu lebih sering berinteraksi dengan orang-orang yang mendefinisikan kejahatan
sebagai sesuatu yang positif. Hal ini membuat individu tersebut cenderung untuk
melakukan kejahatan. Proses seperti ini merupakan proses asosiasi diferensial. Edwin
Sutherland membuat istilah asosiasi diferensial untuk mengindikasikan bahwa sebagian
besar dari kita belajar untuk menyimpang atau konform terhadap norma masyarakat
melalui kelompok-kelompok berbeda tempat kita bergaul.

3. Faktor-Faktor Penyebab Permasalahan Sosial


Apabila mengamati berbagai fenomena sosial yang ada di sekitar, kita akan banyak
menemukan kenyataan atau fakta yang tidak sesuai dengan harapan. Kondisi demikian berarti
ada celah atau gap. Celah antara harapan dan kenyataan inilah yang disebut masalah yang harus
dihadapi dan diupayakan penyelesaian atau solusinya.
Soerjono Soekanto (2015) mengatakan masalah sosial adalah hasil dari proses
perkembangan masyarakat. Selain itu, masalah sosial juga merupakan akibat dari interaksi sosial
antarindividu, antara individu dengan kelompok, atau antarkelompok yang berkisar pada
ukuran nilai adat istiadat, tradisi, dan ideologi yang ditandai dengan suatu proses sosial yang
disosiatif.
Masalah sosial adalah kondisi ketidaksesuaian unsur- unsur kebudayaan dalam suatu
masyarakat. Akibatnya, ketidaksesuaian ini akan membahayakan masyarakat dan
menimbulkan kepincangan ikatan sosial dalam masyarakat. Masalah sosial timbul dari
kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor-
faktor ekonomi, biologis, psikologis, dan sosial budaya.
a. Faktor ekonomi yang menjadi penyebab permasalahan sosial adalah kemiskinan. Dalam hal
ini kemiskinan dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan
struktural. Kemiskinan kultural disebabkan oleh faktor rasa malas, boros, dan tidak disiplin.
Adapun kemiskinan struktural disebabkan oleh faktor-faktor perbuatan manusia, seperti
kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, dan adanya
korupsi.
b. Faktor biologis yang di dalamnya terdapat persoalan yang harus dipecahkan, seperti penyakit
endemis ataupun pandemi sebagaimana terjadi dewasa ini di dunia.
c. Faktor psikologis, seperti depresi, stres, gangguan jiwa, tekanan batin, penyakit saraf
(neurosis), bunuh diri, dan sebagainya.
d. Faktor sosial dan kebudayaan, seperti perceraian, masalah kriminalitas, pelecehan seksual,
kenakalan remaja, konflik rasial dan keagamaan, krisis moneter, dan sebagainya.

Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan banyaknya persoalan di masyarakat. Hal ini


karena faktor ketidakpuasan sebagai akibat tidak terpenuhinya tujuan kehidupan suatu
kelompok atau kebutuhan kehidupan kelompok. Dalam menentukan suatu permasalahan sosial,
sosiologi menggunakan beberapa ukuran, yaitu sebagai berikut.

a. Terlihatnya perbedaan yang mencolok antara nilai-nilai dengan kenyataan di masyarakat.


b. Asal mula atau sumber permasalahan yang terjadi.
c. Akibat yang ditimbulkan dari suatu kejadian atau peristiwa.
d. Adanya orang atau masyarakat yang menentukan.
e. Perhatian masyarakat terhadap suatu kejadian.
f. Dapat diperbaikinya suatu masalah sosial.

Dengan demikian, kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari permasalahan sosial
karena terwujudnya masalah sosial berasal dari hubungan antarmanusia dan kebudayaan
manusia itu sendiri.

4. Munculnya Permasalahan Sosial Akibat Pengelompokan Sosial


Sebelumnya dijelaskan bahwa masalah sosial berkaitan dengan hubungan sosial. Hubungan
sosial dapat dilembagakan, misalnya lembaga perkawinan dan lembaga keluarga. Hubungan
sosial juga dapat berbentuk komunal, seperti perdesaan dan perkotaan. Hubungan sosial juga
dapat berbentuk struktural dengan berbagai kelas sosial. Berbagai bentuk hubungan sosial ini
memengaruhi masalah sosial yang terjadi. Dalam lembaga perkawinan, masalah sosial yang
terjadi antara lain disorganisasi perkawinan dan perceraian. Dalam lembaga keluarga, masalah
sosial yang terjadi antara lain kenakalan remaja, alkoholisme, dan kecanduan obat terlarang.
Dalam hubungan sosial struktural, ketidakseimbangan antara kelas-kelas sosial menyebabkan
konflik kelas dan kemiskinan Dalam hubungan sosial komunal, masalah sosial yang terjadi
antara lain regionalisme, komunalisme, dan rasialisme.
Menurut Kamanto Sunarto (2004), dilihat dari dimensi sikap, hubungan antarkelompok
sering memunculkan sikap atau perilaku yang berbeda. Dimensi sikap ini dapat juga
memunculkan sikap partikular (partikularisme) dan eksklusif (eksklusivisme). Kecenderungan
partikularisme adalah mementingkan pribadi atau kelompok di atas kepentingan bersama. Craig
Storti menyatakan bahwa partikularisme berkaitan dengan bagaimana seseorang berperilaku
dalam situasi tertentu. Orang tersebut akan memperlakukan keluarga, teman, dan in-group-nya
sebaik yang dia bisa, serta membiarkan orang lain mengurus dirinya sendiri (dengan asumsi
mereka akan dilindungi in-group mereka sendiri). In- group dan out-group seseorang dengan
demikian dibedakan dan akan selalu ada pengecualian untuk orang-orang tertentu. Menjadi
adil menurut orang tersebut adalah memperlakukan setiap orang secara unik/berbeda. Secara
sosiologis, sikap dan pandangan partikularisme ini cenderung memicu konflik apabila kita
hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk dan heterogen. Partikularisme juga dapat
menghambat integrasi sosial dan nasional. Contoh dari partikularisme adalah seorang pimpinan
di suatu perusahaan konstruksi hanya mau mempekerjakan buruh yang berasal dari
kampungnya sendiri.
Adapun eksklusivisme cenderung untuk memisahkan diri dari masyarakat yang dianggap
berada di luar kelompoknya. Contohnya, seorang anak orang kaya hanya mau bergaul dengan
seseorang yang memiliki latar belakang sosial dan ekonomi yang sama. Secara sosiologis, cara
pandang dan sikap eksklusivisme mempunyai sisi positif dan negatif.
Dari sisi positif, masyarakat dapat tetap mempertahankan kebudayaan kelompoknya karena
mereka menganggap kebudayaannya paling baik dan wajib dipertahankan sehingga tidak
mudah dipengaruhi budaya dan tetap eksis. Dari sisi negatif, mereka sangat tertutup pada
pengaruh budaya lain sehingga sangat sulit melakukan berbagai perubahan yang bersifat
progresif.
Selain partikularisme dan eksklusivisme, pengelompokan sosial juga berpotensi
menimbulkan masalah eksklusi sosial. Istilah eksklusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) dijelaskan sebagai tindakan mengeluarkan sesuatu atau seseorang, atau keadaan
dikeluarkan, terutama dari masyarakat arus utama. Anthony Giddens (2009) menyebutkan
bahwa eksklusi sosial mengacu pada cara-cara seseorang atau sekelompok orang dikucilkan atau
disingkirkan dari kehidupan bermasyarakat. Contohnya, warga di permukiman kumuh dengan
akses pendidikan dan pekerjaan yang minim hampir dapat dipastikan tidak akan mendapatkan
kesempatan untuk memperbaiki hidupnya seperti warga masyarakat lainnya. Ada empat
dimensi eksklusi sosial, yaitu eksklusi dari pendapatan atau sumber daya yang mencukupi,
eksklusi dari lapangan pekerjaan, eksklusi dari fasilitas atau layanan publik, dan eksklusi dari
hubungan sosial.
Indonesia termasuk negara dengan masyarakat yang multietnis, multiras, dan multireligi
sehingga disebut juga masyarakat multikultural. Masyarakat adalah suatu kesatuan hidup yang
saling berinteraksi sesuai dengan adat istiadat dan terikat dengan identitas bersama. Indonesia
sudah digariskan memiliki masyarakat dengan berbagai keragaman, termasuk keragaman
kelompok sosial. Kecenderungan partikularisme dan eksklusivisme kelompok dengan demikian
sebaiknya dijaga agar tidak berkembang dan dapat merusak tatanan masyarakat multikultural
Indonesia.

Konsep Sosiologi
• Partikularisme adalah sistem yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan
umum, atau aliran politik, ekonomi, kebudayaan yang mementingkan daerah atau kelompok
khusus; sukuisme. Eksklusivisme adalah paham yang mempunyai kecenderungan untuk
memisahkan diri dari masyarakat.
• Eksklusi sosial merupakan akibat dari serangkaian pembatasan yang menghalangi seseorang
atau sekelompok orang untuk ikut terlibat dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan politik di
masyarakat tempat mereka berada (Giddens, 2009).

B. Ragam Permasalahan Sosial Terkait Pengelompokan Sosial


1) Ketidakadilan sebagai Masalah Sosial
Ketidakadilan merupakan tindakan yang sewenang- wenang. Ketidakadilan pada
umumnya menyangkut masalah pembagian sesuatu hak terhadap seseorang atau kelompok
yang dilakukan secara tidak proporsional. Jika ketidakadilan tersebut terjadi berlarut-larut
dan tidak disikapi dengan baik oleh penyelenggara negara, maka hal ini akan menimbulkan
berbagai masalah.
Ada beberapa bentuk ketidakadilan, di antaranya adalah stereotipe, marginalisasi,
subordinasi, dan dominasi.
a. Stereotipe
Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu secara subjektif terhadap seseorang
berdasarkan kategori kelompoknya. Stereotipe adalah bentuk prasangka yang
didasarkan pada kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan komunikasi
verbal maupun nonverbal. Stereotipe menunjukkan perbedaan kategori "kami" dengan
"mereka". Kami selalu dikaitkan dengan superioritas kelompok in-group dan mereka
sebagai kelompok yang inferior atau kelompok out-group. Anggota in-group biasanya
cenderung menyenangkan kelompok sendiri, dan sebaliknya cenderung mengevaluasi
orang lain berdasarkan cara pandang kelompok "kami".
Sikap-sikap in-group pada umumnya didasarkan pada faktor simpati dan selalu
mempunyai perasaan dekat dengan anggota-anggota kelompoknya. Peningkatan harga
diri yang dinikmati oleh anggota in-group bisa datang dengan mengorbankan orang
luar. Sementara itu, sikap-sikap terhadap out-group terkadang ditandai dengan
antagonisme atau antipati.
Stereotipe dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif. Contoh stereotipe positif
terdapat dalam ungkapan bahwa "Indonesia adalah bangsa yang ramah". Sementara itu,
contoh stereotipe yang negatif terdapat dalam ungkapan "orang-orang di pulau itu
malas."
b. Marginalisasi
Marginalisasi adalah proses peminggiran kelompok- kelompok tertentu dengan
lembaga sosial utama, seperti struktur ekonomi, pendidikan, dan lembaga sosial
ekonomi lainnya. Perbedaan antara populasi dan kelompok, seperti etnis, ras, agama,
budaya, bahasa, adat istiadat, penampilan, usia, gender, dan afiliasi, memungkinkan
populasi dominan untuk meminggirkan kelompok yang lemah. Biasanya, makin besar
perbedaan antara kelompok-kelompok itu, makin mudah bagi penduduk yang dominan
untuk meminggirkan kelompok yang lemah.
Marginalisasi orang selalu melibatkan kemampuan penduduk yang dominan untuk
melaksanakan beberapa tingkat kontrol dan kekuasaan atas kelompok-kelompok yang
terpinggirkan. Kelompok atau individu yang marginal sering dikecualikan dari layanan,
program, dan kebijakan.
c. Subordinasi
Subordinasi atau penomorduaan adalah pembedaan perlakuan terhadap identitas
sosial tertentu. Umumnya yang menjadi kelompok subordinasi adalah kelompok
minoritas. Menurut Louis Wirth, kelompok minoritas secara eksplisit dibedakan
dengan kelompok mayoritas. Anggota kelompok mayoritas dan anggota kelompok
minoritas diperlakukan secara tidak seimbang. Kelompok mayoritas sangat dominan.
Mereka menguasai sumber daya sehingga merasa dapat bertindak secara tidak adil,
menguasai, dan mempunyai martabat lebih tinggi daripada yang lain. Sementara itu,
kelompok minoritas adalah kelompok yang kurang beruntung karena mereka secara
fisik maupun kultural merupakan subjek yang diperlakukan tidak seimbang. Perlakuan
diskriminasi sering diberikan kepada mereka.
d. Dominasi
Dominasi harus dipahami sebagai suatu kondisi yang dialami oleh orang-orang atau
kelompok yang bergantung pada hubungan sosial, dengan beberapa orang atau
kelompok lain memegang kekuasaan sewenang-wenang atas mereka. Ada berbagai
bentuk dominasi, di antaranya adalah perbudakan, rezim diskriminasi sistematis
terhadap kelompok minoritas, rezim politik kolonial, despotisme, totalitarianisme,
kapitalisme, dan feodalisme.
Dominasi sangat potensial merugikan segmen yang tidak memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif. Hal ini terlihat dari berlangsungnya eksploitasi, kekerasan,
dan diskriminasi terhadap kelompok yang tidak mempunyai keunggulan komparatif
dan kompetitif secara struktural dan sistemik dalam berbagai bidang.
Ketidakadilan bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Sila
kelima Pancasila berbunyi "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Secara
keseluruhan, pasal-pasal pada UUD NRI Tahun 1945 menekankan pentingnya keadilan
dalam segala aspek kehidupan.

Konsep Sosiologi

• Despotisme merupakan sistem pemerintahan dengan kekuasaan tidak terbatas dan


sewenang- wenang.
• Totalitarianisme merupakan sistem pemerintahan yang tidak memberikan kebebasan
individu dan mengontrol seluruh aspek kehidupan individu.

Sumber: KBBI

2) Kesenjangan Sosial dan Ekonomi sebagai Masalah Sosial


Kesenjangan umumnya terdapat pada suatu masyarakat. Di dalam masyarakat, secara
alami ada beberapa orang yang lebih kuat, belajar lebih cepat, atau memiliki lebih dari apa
pun yang dianggap penting dalam masyarakat. Kesenjangan lainnya dapat muncul karena
ditentukan oleh manusia. Misalnya, pengelompokan individu-individu berdasarkan
karakteristik biologis, keterampilan sosial, atau kekayaan berpotensi menimbulkan
ketidaksetaraan di dalam masyarakat dalam bentuk stratifikasi sosial yang kemudian dapat
berdampak pada terciptanya kesenjangan di dalam masyarakat tersebut. Batas-batas yang
mengikuti stratifikasi dan kesenjangan sosial membawa dampak bagi seluruh aspek hidup
manusia, termasuk hubungan kita dengan orang lain, perilaku, keyakinan, sikap, aspirasi,
dan persepsi terhadap dunia sosial.
Kesenjangan dan stratifikasi sosial memang saling terkait. Stratifikasi sosial
melembagakan pola-pola kesenjangan dan pola-pola kesenjangan menghasilkan stratifikasi
sosial. Dalam pemahaman timbal balik ini, stratifikasi sosial mengacu pada distribusi sumber
daya yang tidak merata. Sementara itu, kesenjangan berarti perbedaan kesempatan atau
kemampuan untuk mempertahankan atau meningkatkan status. Di sini, kesenjangan harus
dipahami sebagai perbedaan untuk memperoleh sumber daya yang dilembagakan.
Pola kesenjangan sosial dapat dipahami berdasarkan berbagai dimensi stratifikasi sosial.
stratifikasi sosial merujuk pada suatu hierarki hak-hak istimewa relatif yang pada kekuasaan,
kepemilikan, dan prestise. Ada dua bentuk kesenjangan, yaitu sebagai berikut:
a. Kesenjangan klasik, mencakup perbedaan kelas, status, kekayaan, serta prestise yang
dimediasi oleh gender, usia, pendapatan, dan pendidikan.
b. Kesenjangan baru mengikuti kesadaran yang lebih besar akan kompleksitas global yang
meningkat dan adanya berbagai rentang pilihan yang lebih besar, seperti pola konsumsi,
gaya hidup, dan dinamika identitas. Hal ini telah mengakibatkan peningkatan
heterogenitas dalam studi stratifikasi sosial.
Kesenjangan sosial mengacu pada cara pengkategorian orang berdasarkan karakteristik,
seperti usia, jenis kelamin, kelas, dan etnisitas berkaitan dengan akses ke berbagai layanan
dan produk sosial, seperti pasar tenaga kerja, sumber pendapatan, pasar perumahan,
pendidikan, dan sistem kesehatan, serta bentuk-bentuk perwakilan dan partisipasi politik.
Bentuk-bentuk kesenjangan sosial dibentuk oleh berbagai faktor struktural, seperti lokasi
geografis atau status kewarganegaraan, serta oleh wacana dan identitas budaya.

Adapun kesenjangan ekonomi selalu menjadi salah satu isu utama dari setiap sistem
sosial. Sejak dahulu, para filsuf telah memperdebatkan etika koeksistensi kekayaan besar
dan kemiskinan, sementara analis politik telah menekankan hubungan antara kemakmuran
ekonomi dan pengaruh politik. Pertanyaan utama dari ilmu sosiologi modern adalah analisis
kesenjangan sosial terstruktur, yang sebagian besar berasal dari perbedaan wewenang atas
sumber daya ekonomi. Sementara itu, ekonom selalu mengklaim bahwa kriteria untuk
kebijakan ekonomi adalah efisiensi dan pemerataan.

Faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan ekonomi antara lain sebagai berikut.

a. Menurunnya pendapatan per kapita sebagai akibat pertumbuhan penduduk yang


relatif tinggi tanpa diimbangi peningkatan produktivitas.
b. Ketidakmerataan pembangunan antardaerah sebagai akibat kebijakan politik dan
kekurangsiapan SDM.
c. Rendahnya mobilitas sosial sebagai akibat sikap mental tradisional yang kurang
menyukai persaingan dan kewirausahaan.

Sementara itu, kesenjangan sosial-ekonomi mengacu pada kontras antara kondisi


ekonomi orang yang berbeda atau kelompok yang berbeda dalam masyarakat yang
melaksanakan pembangunan atau modernisasi. Hal ini terjadi karena kurangnya
kesempatan untuk memperoleh sumber pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan
berusaha, dan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan. Makin besar perbedaan
untuk mendapat kesempatan-kesempatan tersebut, makin besar pula tingkat kesenjangan
sosial- ekonomi yang terjadi di masyarakat. Sebaliknya, makin kecil perbedaan kesempatan-
kesempatan tersebut, makin kecil pula tingkat kesenjangan sosial-ekonomi yang terjadi.
Untuk itu, pemerintah perlu membuka kesempatan kerja bagi anggota masyarakat.

Kesenjangan sosial-ekonomi harus segera diatasi. Hal ini perlu dilakukan karena
struktur ekonomi dapat membantu atau justru menghambat solidaritas antarmanusia.
Solidaritas antarmanusia dapat terancam oleh kesenjangan sosial- ekonomi yang terlampau
tajam. Kesenjangan yang tajam dapat menimbulkan kecenderungan masyarakat lapisan atas
untuk menjadi sombong dan sewenang-wenang. Sementara itu, masyarakat lapisan bawah
cenderung akan kehilangan kepercayaan dan harga diri. Kondisi ini disertai dengan
ketegangan sebagai akibat kecemburuan sosial.

Kunci utama bagi upaya mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi adalah memberi akses
kepada setiap anggota masyarakat untuk menikmati dan memanfaatkan berbagai fasilitas
sosial serta memberi kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan
perekonomiannya.

Sikap perilaku individu dan kelompok masyarakat yang sesuai dengan upaya itu adalah
sebagai berikut.

a. Hidup sederhana sesuai dengan kebutuhan.


b. Peduli dengan nasib warga masyarakat yang kurang mampu dengan menciptakan
pekerjaan bagi mereka.
c. Meningkatkan pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah yang kita hadapi.
d. Menghargai kreativitas dan hasil karya orang lain sehingga timbul kerja sama yang
saling menguntungkan.

Upaya pemerintah dalam mengatasi masalah sosial yangtimbul dari kesenjangan sosial-
ekonomi antara lain melakukan kebijakan berikut.

a. Pemberian subsidi terhadap pemenuhan kebutuhan yang esensial bagi masyarakat yang
kurang mampu, seperti subsidi bahan bakar minyak dan gas serta pembagian kartu
jaminan kesehatan nasional.
b. Menggalakkan program Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) melalui modal bergulir
tanpa agunan.
c. Pelatihan kewirausahaan untuk menimbulkan jiwa kewirausahaan di kalangan
masyarakat.

Konsep Sosiologi

• Secara etimologis, kesenjangan berarti tidak seimbang, tidak simetris, atau berbeda.
Kesenjangan setidaknya membawa dampak pada kesenjangan sosio- ekonomi, yang
mencakup kemiskinan dan kesejahteraan. Adapun kesenjangan pada stratifikasi
sosial mencakup kesenjangan politik dan budaya, yang berkaitan dengan isu- isu
kewarganegaraan, pemerintahan, dan keadilan sosial.
• Kesenjangan atau ketidaksetaraan gender dijelaskan oleh Anthony Giddens sebagai
perbedaan status, kekuasaan, dan prestise antara perempuan dan laki-laki di dalam
kelompok, kolektiva, dan masyarakat.
• Kesenjangan ekonomi global menurut Anthony Giddens terutama mengacu pada
perbedaan sistematis kemakmuran, pendapatan, dan kondisi kerja yang ada
antarnegara. Di negara-negara termakmur saat ini, jumlah penduduk miskin makin
bertambah. Sementara itu, negara-negara dunia ketiga menghasilkan banyak orang
yang superkaya di dunia. Kondisi ini menjadi tantangan bagi para sosiolog.
Tantangan sosiologi tidak hanya untuk mengidentifikasi perbedaan itu, tetapi
menjelaskan mengapa hal itu terjadi dan bagaimana mengatasinya (Giddens, 2009).

3) Kemiskinan sebagai Masalah Sosial


Secara sosiologis, masalah kemiskinan timbul sebagai akibat adanya lembaga
kemasyarakatan di bidang ekonomi yang tidak berfungsi dengan baik. Menurut John Lewis
Gillin dan John Philip Gillin, kemiskinan adalah kondisi ketika seseorang tidak dapat
mempertahankan skala hidup yang cukup tinggi untuk memberikan efisiensi fisik dan
mental yang memungkinkan dirinya dan keluarganya menjalankan fungsi sebagaimana
mestinya sesuai dengan standar masyarakat, baik karena pendapatan yang tidak memadai
atau pengeluaran yang tidak bijaksana.
Berdasarkan Handbook on Poverty and Inequality yang diterbitkan oleh World Bank,
kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per
kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Standar garis kemiskinan yang ditetapkan oleh
Bank Dunia adalah pendapatan US$1,9 per hari.
Berdasarkan penjelasan tersebut, kemiskinan dapat diartikan sebagai kondisi standar
hidup yang sangat rendah. Bahkan, kebutuhan dasar pun tidak dapat terpenuhi.
Menurut Sumodiningrat, dkk., secara sosioekonomis, ada dua bentuk kemiskinan,
yaitu sebagai berikut.
a. Kemiskinan absolut, yaitu keadaan orang-orang miskin yang memiliki tingkat
pendapatan di bawah garis kemiskinan atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup minimum.
b. Kemiskinan relatif, yaitu kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara
suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya.

Selain itu, terdapat bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus faktor penyebab


kemiskinan, yaitu sebagai berikut.

a. Kemiskinan natural, yaitu keadaan miskin dari awal sudah miskin. Menurut Baswir,
kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alarniah,
seperti cacat, sakit, usia lanjut, atau akibat bencana alam.
b. Kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan
hidup, dan budaya ketika masyarakat merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa
kekurangan. Menurut Baswir, seorang miskin karena faktor budaya, seperti malas,
boros, dan tidak disiplin.
c. Kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan
manusia, seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi produksi yang tidak
merata, dan korupsi yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu.

𝗛𝗲𝗻𝗿𝘆 𝗚𝗲𝗼𝗿𝗴𝗲 menyebutkan penyebab utama kemiskinan adalah kepemilikan pribadi


dan monopoli individu atas tanah. Pandangan ini muncul pada saat kepemilikan tanah
menjadi alat ukur kekayaan pribadi. Adapun 𝗞𝗮𝗿𝗹 𝗠𝗮𝗿𝘅 mengatakan bahwa kemiskinan
terjadi karena eksploitasi kaum pekerja oleh kaum kapitalis. Sementara itu, 𝗥𝗼𝗯𝗲𝗿𝘁
𝗠𝗮𝗹𝘁𝗵𝘂𝘀 mengatakan bahwa kemiskinan terjadi karena jumlah penduduk cenderung untuk
meningkat menurut deret ukur, sedangkan produksi bahan makanan meningkat menurut
deret hitung.

Faktor-faktor penyebab kemiskinan dapat dikategorikan sebagai berikut.

a. Faktor pribadi meliputi antara lain penyakit fisik, penyakit mental, buta huruf atau
aksara, kemalasan, pemborosan, serta demoralisasi atau penurunan karakter dan moral.
b. Faktor geografis meliputi antara lain iklim dan cuaca yang kurang baik, sumber daya
alam kurang memadai, dan bencana alam.
c. Faktor ekonomi meliputi antara lain distribusi kekayaan yang tidak merata, depresi
ekonomi, dan pengangguran.
d. Faktor sosial meliputi antara lain sistem pendidikan yang kurang baik dan kesalahan
pengelolaan keuangan pribadi atau keluarga.

Kemiskinan yang dihadapi suatu bangsa akan berdampak sangat luas bagi kehidupan
manusia. Dampak dari kemiskinan antara lain meningkatnya angka putus sekolah dan
menurunnya tingkat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, perlu upaya dan partisipasi
aktif dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk menanggulangi
masalah kemiskinan ini.

Ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menanggulangi


kemiskinan di Indonesia, antara lain Undang-Undang (UU) RI Nomor 13 Tahun 2011
tentang Penanganan Fakir Miskin, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 96 Tahun 2015
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan, serta Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 166 Tahun 2014
tentang Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan
adalah kebijakan dan program pemerintah dan pemerintah daerah yang dilakukan secara
sistematis, terencana, dan bersinergi dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi
jumlah penduduk miskin dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kegiatan ini
antara lain dilakukan melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan
usaha ekonomi mikro dan kecil, serta program-program lain dalam rangka meningkatkan
kegiatan ekonomi. Strategi percepatan penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan
menetapkan perlindungan sosial meliputi, antara lain:

a. Program Simpanan Keluarga Sejahtera;


b. Program Indonesia Pintar; dan
c. Program Indonesia Sehat.

4) Intoleransi sebagai Masalah Sosial


Dalam KBBI, toleran dijelaskan sebagai bersifat atau bersikap menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian
sendiri dan toleransi dijelaskan sebagai sifat atau sikap toleran. Adapun intoleran dijelaskan
sebagai tidak tenggang rasa atau tidak toleran dan intoleransi dijelaskan sebagai ketiadaan
tenggang rasa. Tenggang rasa sendiri dijelaskan sebagai sikap dapat (ikut) menghargai dan
menghormati perasaan orang lain.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa intoleransi mengacu
pada pandangan yang mengabaikan atau tidak menghargai seluruh nilai yang ada di luar
nilai diri atau kelompoknya. Umumnya, intoleransi berupa tindakan-tindakan yang
menolak orang-orang yang dianggap atau dipandang berbeda dari diri atau kelompoknya,
seperti penghindaran, ucapan kebencian, penyingkiran atau peminggiran, diskriminasi,
bahkan tindakan kekerasan. Contohnya, siswa A menolak siswa B masuk kelompok
belajarnya karena siswa B berasal dari suku yang berbeda. Contoh lain, seorang warga yang
mengadakan pesta dengan suara musik yang kencang meskipun di lokasi yang berdekatan
ada kelompok lain yang sedang beribadah.
Sikap intoleran juga berkaitan dengan pandangan primordialisme dan
etnosentrisme. Primordialisme adalah suatu pandangan atau paham yang berpegang teguh
pada hal-hal yang sejak semula melekat pada diri individu, seperti suku bangsa, ras, dan
agama, sehingga cenderung sulit menerima sesuatu yang berasal dari luar kelompoknya.
Adapun etnosentrisme merupakan sikap primordial yang berlebihan yang menghasilkan
sebuah pandangan subjektif atau fanatisme suku bangsa sehingga cenderung menolak nilai-
nilai dan kebudayaan dari etnis lain. Kedua pandangan ini bisa memicu munculnya sikap
intoleran yang pada akhirnya dapat memicu konflik di masyarakat.
Apabila dikaitkan dengan falsafah hidup Negara Indonesia, yaitu Pancasila,
intoleransi jelas bertentangan dengan nilai- nilai Pancasila, terutama pada sila ketiga, yaitu
Persatuan Indonesia.
5) Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sebagai Masalah Sosial
Masalah sosial Juga dapat muncul sebagai akibat pelanggaran terhadap norma-
norma dalam masyarakat. Contoh pelanggaran terhadap norma masyarakat antara lain
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Anda tentu sudah sering mendengar ketiga
istilah tersebut. Pembahasan berikut akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan KKN
dan mengapa KKN merupakan masalah sosial.
a. Korupsi
Korupsi berasal dari kata corruptio (bahasa Latin), dari kata kerja corrumpere yang
berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, atau menyogok (Erlangga,
2014). KBBI menjelaskan korupsi sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang
negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi
atau orang lain. Adapun dalam Kamus Sosiologi Antropologi yang ditulis oleh M.
Dahlan Yacub Al-Barry (2001), korupsi dijelaskan sebagai penyelewengan atau
penggelapan (uang negara/ perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain
lewat penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Korupsi secara umum dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk
kepentingan pribadi yang merugikan masyarakat umum dengan cara-cara yang
bertentangan dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa korupsi meliputi antara lain pencurian atau penggelapan uang, penyalahgunaan
wewenang, dan ketidakadilan (Erlangga, 2014).
Ilham Gunawan (dalam Erlangga, 2014) menyebutkan ada beberapa faktor yang
menyebabkan Indonesia rawan korupsi, antara lain sebagai berikut.
1) Kemiskinan. Tekanan hidup akibat kemiskinan dapat mendorong orang mengambil
"jalan pintas" dengan melakukan korupsi untuk keluar dari kemiskinan.
2) Kurangnya pemahaman dan pengalaman akan ajaran agama dan etika. Ajaran
agama dan etika memandu kita untuk berperilaku baik dan jujur. Apabila ajaran
agama tidak dijalankan dengan benar, kemungkinan untuk berperilaku tidak baik
dan tidak jujur menjadi lebih besar.
3) Lemahnya pengaruh pendidikan. Masyarakat dengan pendidikan yang baik akan
mampu membedakan mana perbuatan baik dan mana perbuatan melanggar hukum.
4) Ketiadaan atau lemahnya kepemimpinan dalam posisi- posisi strategis. Pemimpin
yang baik akan memberikan contoh yang baik sehingga kemungkinan besar
rakyatnya akan berperilaku baik juga.
5) Sanksi hukum yang lemah. Lemahnya sanksi hukum terhadap pelaku korupsi tidak
akan menghasilkan efek jera atau mencegah seseorang melakukan tindak korupsi.
6) Pengaruh kolonialisme atau penjajahan. Korupsi sistematis akibat gaya hidup
mewah pejabat pemerintahan yang terjadi pada masa kolonialisme mengakar
hingga saat ini.
7) Langkanya lingkungan yang bersih dari korupsi. Lingkungan yang baik dan bersih
dari korupsi akan mendorong orang yang berada di dalamnya menjadi baik dan
bersih dari korupsi. Sebaliknya, lingkungan yang sarat dengan tindakan korupsi
cenderung menarik orang-orang di dalamnya untuk bertindak sama.

Pola-pola korupsi yang umumnya terjadi antara lain sebagai berikut (Erlangga,
2014).

1) Konvensional, misalnya pengambilan atau pencurian perlengkapan kantor.


2) Pemalsuan dokumen, misalnya pembuatan kuitansi fiktif atau pemalsuan ijazah.
3) Komisi, misalnya memberikan uang atau barang kepada pejabat berwenang.
4) Upeti, misalnya pemberian uang atau barang kepada atasan untuk mendapatkan
fasilitas atau jabatan tertentu.
5) Nepotisme atau perkoncoan, misalnya seorang pejabat memberikan fasilitas khusus
kepada keluarga atau temannya.
6) Perusahaan rekanan, misalnya pemberian proyek-proyek pemerintah kepada
perusahaan tertentu saja.
7) Pungutan liar (pungli), misalnya permintaan sejumlah uang oleh seorang oknum
untuk pengurusan suatu perizinan. Jika tidak diberikan, pengurusan perizinan
tersebut akan dipersulit.

Sebenarnya, korupsi tidak hanya berkaitan dengan uang. Pergi ke kantin saat jam
pelajaran berlangsung merupakan contoh lain dari korupsi, yaitu korupsi waktu.
Pendidikan antikorupsi perlu diperkenalkan sejak dini agar seseorang dapat
mengendalikan diri dari perbuatan yang merugikan orang lain.

b. Kolusi
Kolusi adalah kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji atau persekongkolan
(KBBI, 2016). Dalam UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, kolusi dijelaskan sebagai
permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau
antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat,
dan atau negara.
Kerja sama tersebut umumnya menyimpang dari prosedur yang berlaku dan
dilakukan dengan tujuan untuk meraup keuntungan serta merugikan orang lain. Kolusi
juga sering kali berkaitan dengan gratifikasi (pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma- cuma, dan fasilitas lainnya). Contohnya, suatu perusahaan
memberikan uang kepada oknum pegawai pemerintahan agar dapat memenangkan
tender proyek tertentu. Contoh lain kolusi adalah seorang karyawan di bagian
pengadaan melakukan pembelian berbagai inventaris kebutuhan kantor melalui
perantara yang merupakan kerabat atau kenalannya. Umumnya, perantara ini akan
mendapatkan keuntungan berupa margin dari harga beli ke produsen atau
mendapatkan komisi dari produsen terkait.
Kolusi yang terjadi secara berkelanjutan akan menimbulkan dampak negatif bagi
banyak pihak. Dampak-dampak tersebut antara lain sebagai berikut.
1) Munculnya kesenjangan sosial dan ketidakadilan dalam masyarakat.
2) Menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi serta pengentasan kemiskinan.
3) Terjadi pemborosan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya
ekonomi.
4) Terjadinya pelanggaran hak-hak warga negara sehingga mengganggu proses
demokrasi.
5) Masyarakat menjadi tidak percaya terhadap aparat negara.
6) Terjadi ketidakselarasan antara fungsi, tujuan, dan mekanisme proses (sesuai
prosedur dan hukum) dengan praktiknya.

c. Nepotisme
Kamus Sosiologi Antropologi (Al-Barry, 2001) menjelaskan nepotisme sebagai
berikut.
1) Tindakan memilih atau mengutamakan kerabat atau sanak saudara sendiri untuk
diberi jabatan.
2) Kecenderungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara sendiri
untuk diberi kedudukan di lingkungan pemerintahan, diberi kemudahan fasilitas
usaha, dan sebagainya.

UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menyebutkan bahwa nepotisme adalah setiap
perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan
kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa,
dan negara.

Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI menyebutkan bahwa nepotisme


adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang
menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan
masyarakat, bangsa, dan negara.

Dengan demikian, nepotisme secara umum adalah perbuatan mengutamakan


kerabat atau keluarga sendiri yang didasari oleh rasa kesukaan dan kecenderungan,
bukan karena kemampuannya untuk memegang suatu jabatan di lingkungan
pemerintahan. Sebagai contoh, seorang manajer mengangkat atau menaikkan jabatan
saudaranya bukan berdasarkan kualitas atau kemampuannya, tetapi karena memiliki
hubungan saudara dengan manajer tersebut.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
adalah penyakit sosial yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Dampak yang
dapat ditimbulkan KKN antara lain pemborosan sumber daya, gangguan terhadap
penanaman modal, terbuangnya keahlian, ketidakstabilan, revolusi sosial,
menimbulkan ketimpangan sosial dan budaya, serta merusak sendi-sendi kebersamaan
yang telah dibangun dari zaman dulu.

Pada praktiknya, upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak


semudah membalikkan telapak tangan. Hambatan dalam memberantas KKN di
Indonesia antara lain lemahnya penegakan hukum, kurangnya kerja sama antarlembaga
dalam pemberantasan KKN, serta belum tumbuh dan berkembangnya budaya
antikorupsi di dalam masyarakat.

Oleh karena itu, pemberantasan KKN harus dilakukan secara sungguh-sungguh,


tanpa pandang bulu atau tebang pilih, sehingga rasa keadilan tumbuh di masyarakat dan
wibawa pemerintah bisa dipertahankan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain
sebagai berikut.

a. Memiliki semangat anti-KKN serta memperbaiki moral diri.


b. Menindak tegas para pelaku KKN dan memberikan sanksi sosial.
c. Untuk pelajar, sedini mungkin dibekali dengan pendidikan anti-KKN, berperilaku
jujur, dan bertanggung jawab.
d. Mengajak masyarakat untuk peduli dan terlibat dalam gerakan pemberantasan KKN
serta membangun perilaku dan budaya anti-KKN.
e. Menghindari budaya hedonisme atau sikap hidup yang memuja kemewahan dunia.
C. Penelitian Berbasis Pemecahan Masalah Sosial
Pada materi sebelumnya, kita telah membahas mengenai beragam permasalahan sosial
yang ada di dalam masyarakat. Sebagai suatu masalah, permasalahan sosial tentu saja berdampak
negatif terhadap kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, kita perlu mencari pemecahan atas
berbagai permasalahan sosial agar tercapai kehidupan masyarakat atau publik yang lebih baik.
Sebagai ilmu yang membahas masyarakat bertugas mencari akar permasalahan atau
penyebabnya, kemudian mencari pemecahan masalahnya. Hal ini karena setiap permasalahan
yang ada memiliki karakter yang berbeda sehingga upaya pemecahan masalahnya pun berbeda
pula. Pemecahan masalah juga harus mempertimbangkan kepentingan publik sehingga
kehidupan publik yang lebih baik akan tercapai.
Upaya untuk mengatasi berbagai masalah sosial yang muncul di dalam masyarakat
sebenarnya sudah dilakukan, tetapi upaya tersebut tidak atau belum memuaskan publik. Para
ahli sosiologi terus berupaya menemukan metode- metode untuk menuntaskan masalah sosial
ini. Soerjono Soekanto menyebutkan metode-metode atau cara-cara yang dapat digunakan
untuk memecahkan masalah sosial adalah dengan metode preventif dan represif. Metode
preventif menurut Soekanto sulit dilakukan karena harus mengetahui penyebab terjadinya
permasalahan terlebih dahulu sehingga harus dilakukan penelitian mendalam. Metode
pemecahan masalah yang sering digunakan menurut Soekanto adalah metode represif, yaitu
tindakan yang dilakukan setelah masalah tersebut terjadi.
Selain itu, upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah sosial adalah dengan
mengeluarkan berbagai kebijakan. Kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai
tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna
memecahkan masalah. Agar kebijakan ini dapat bermanfaat bagi kehidupan publik, dibuatlah
suatu kebijakan publik. Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh administratur
negara atau publik. Menurut Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan, kebijakan publik adalah
sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktik-praktik tertentu. Adapun menurut
Peter Woll, kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah
di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang memengaruhi
kehidupan masyarakat.
Untuk mendapatkan pemecahan masalah yang baik dan sesuai dengan kondisi masyarakat,
diperlukan proses penelitian yang sistematis dan terorganisasi dalam bentuk penelitian sosial.
Tujuannya agar penelitian tersebut dapat menghasilkan rekomendasi upaya yang tidak hanya
bersifat represif, tetapi juga preventif. Materi tentang penelitian sosial ini telah kalian pelajari di
kelas X. Penelitian merupakan suatu proses atau rangkaian langkah yang dilakukan secara
terencana dan sistematis untuk mendapatkan pemecahan masalah atau jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan tertentu. Perhatikan bagan berikut untuk mengingat kembali langkah-
langkah pelaksanaan penelitian.
Menemukan Masalah
Studi Pendaahuluan
atau Topik Penelitian

Merumuskan Masalah

Menentukan Landasan Teori


dan Metode Penelitian

Menyusun Rancangan
Penelitian Sosial

Mengumpulkan Data

Menyusun Laporan dan


Menganalsis Data Mengomunikasikan Hasil
Penelitian

Konsep Sosiologi

Publik adalah orang banyak atau umat. Adapun kepentingan publik adalah suatu bentuk
kepentingan yang menyangkut orang banyak atau masyarakat, tidak bertentangan
dengan norma, dan kepentingan tersebut bersumber pada kebutuhan hajat hidup orang
banyak atau masyarakat tersebut.

Bagaimana penerapan langkah-langkah penelitian tersebut untuk mencari dan


merekomendasikan pemecahan permasalahan sosial di dalam masyarakat? Kita akan membahas
penerapan langkah-langkah penelitian ini dengan menggunakan contoh kasus masalah sosial
yang sering kali ditemukan di lingkungan sekitar, yaitu fenomena intoleransi. Disadari atau
tidak, intoleransi banyak terjadi di sekitar kita. Intoleransi dapat terjadi di lingkungan keluarga,
warga sekitar, sekolah, dan bahkan negara. Untuk itu, perlu keterlibatan semua pihak untuk
memecahkan permasalahan intoleransi ini, termasuk keterlibatan kalian sebagai generasi muda
Indonesia. Mari simak pembahasan berikut.

1. Menentukan Masalah atau Topik Penelitian


Langkah pertama dalam melakukan penelitian adalah menentukan masalah atau topik
yang akan diteliti. Umumnya, topik penelitian yang dipilih sebaiknya sesuai dengan minat
dan bisa diteliti oleh peneliti, data tersedia dan dapat diakses oleh peneliti, serta memiliki
kegunaan praktis, bermanfaat, dan penting untuk diteliti. Pada pembahasan ini, topik yang
dipilih adalah fenomena intoleransi di lingkungan sekolah.
2. Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan (preliminary research) dilakukan untuk mencari informasi yang
diperlukan peneliti agar permasalahan yang ingin diteliti menjadi lebih jelas serta
menentukan diteruskan atau tidaknya suatu penelitian. Ada tiga sumber pengumpulan
informasi yang dapat digunakan, yaitu sebagai berikut.
a. Tulisan, meliputi dokumen, buku, majalah, koran, jurnal ilmiah, atau bahan tertulis
lainnya. Studi ini juga disebut studi kepustakaan. Kalian dapat mengunjungi
perpustakaan atau menggunakan peramban untuk mencari berbagai sumber tulisan
terkait fenomena intoleransi.
b. Manusia, yaitu narasumber atau para ahli. Informasi dari narasumber bisa
didapatkan melalui proses wawancara, misalnya dengan Guru Sosiologi, Guru BK,
tokoh masyarakat, atau pengamat sosial. Selain melalui wawancara, informasi bisa
didapatkan melalui penyebaran angket kepada warga sekolah (guru, petugas sekolah,
dan siswa).
c. Tempat, meliputi tempat, lokasi, atau benda yang berada di tempat penelitian.
Informasi bisa didapatkan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung di
tempat yang akan menjadi lokasi penelitian.

3. Merumuskan Masalah Penelitian


Setelah mempelajari berbagai informasi yang didapatkan pada studi pendahuluan,
peneliti mengemukakan latar belakang pemilihan masalah atau topik penelitian dan fakta-
fakta sementara yang diperoleh dari pengamatan dan studi kepustakaan tersebut.
Dalam menentukan suatu masalah penelitian, peneliti perlu mempertimbangkan sejauh
mana urgensi dan manfaat penelitian tersebut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat,
serta aspek-aspek kepraktisan, seperti fakta dan data yang dapat diperoleh, dana, dan tenaga.
Pertanyaan yang perlu ada dalam benak peneliti adalah "Kenapa masalah ini penting?"
Mengacu pada contoh kasus yang dipilih, latar belakang pemilihan topik penelitian adalah:

Maraknya kasus intoleransi di lingkungan sekolah sehingga perlu ada upaya untuk
membangun lingkungan belajar yang kondusif di sekolah.

Selanjutnya, peneliti merumuskan permasalahan penelitian. Pertanyaan yang diangkat


adalah "Apa yang menjadi permasalahan dalam tema ini?" Peneliti menyusun pertanyaan
penelitian yang berfungsi sebagai dasar penelitian dan merupakan hal-hal yang ingin
dijawab melalui penelitian tersebut. Selain itu, pertanyaan penelitian menjadi "rambu-
rambu" sehingga penelitian dapat terfokus.
Mengacu pada contoh kasus yang dipilih, maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut.

a. Apa saja bentuk-bentuk intoleransi yang pernah terjadi di sekolah?


b. Faktor sosial apa saja yang memengaruhi kejadian intoleransi tersebut?
c. Bagaimana penanganan masalah intoleransi di sekolah?

Peneliti juga perlu menentukan tujuan dan manfaat pelaksanaan penelitian. Tujuan
penelitian merupakan jawaban yang ingin dicari dari masalah penelitian. Tujuan sangat
berkaitan dengan kesimpulan yang merupakan jawaban yang diperoleh dari penelitian.
Adapun manfaat penelitian merupakan kegunaan nyata dari hasil yang akan dicapai melalui
sebuah penelitian.
Mengacu pada contoh kasus yang dipilih, tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah:

Tujuan : Untuk mengetahui bentuk-bentuk intoleransi yang pernah terjadi di


lingkungan sekolah, faktor sosial yang memengaruhi kejadian intoleransi tersebut, dan
penanganan yang sudah dilakukan oleh pihak sekolah untuk mengatasinya.
Manfaat : Sebagai landasan untuk membuat kebijakan terkait penanganan
intoleransi di sekolah dan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif.

4. Menentukan Landasan Teori dan Metode Penelitian


Langkah selanjutnya adalah menyusun rancangan penelitian. Pada tahap ini, peneliti
menentukan landasan teori. Landasan teori merupakan telaah masalah penelitian
berdasarkan teori-teori atau bacaan-bacaan. Landasan teori menjadi dasar teoretis bagi
penulis untuk menjawab masalah penelitian dan merumuskan kemungkinan jawaban atas
masalah penelitian (hipotesis). Seorang peneliti haruslah membaca berbagai bacaan yang
relevan dengan penelitian, mulai dari konsep-konsep tentang variabel penelitian hingga
metodologi penelitian agar memiliki pengetahuan yang luas terhadap masalah penelitian.
Selanjutnya, peneliti menentukan metode pendekatan penelitian yang akan digunakan.
Secara umum, ada dua pendekatan dalam penelitian, yaitu pendekatan kualitatif dan
pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif melakukan pengamatan melalui kacamata
yang lebih lebar dan mencoba untuk mencari pola hubungan antarkonsep yang belum
ditentukan sejak awal. Adapun pendekatan kuantitatif melakukan pengamatan melalui
kacamata yang sempit pada serangkaian variabel yang telah disusun sebelumnya. Penentuan
pendekatan ini sangat berpengaruh terhadap penentuan variabel atau objek penelitian,
subjek penelitian, serta sumber perolehan data.
Kemudian, peneliti dapat menentukan metodologi penelitian, meliputi antara lain jenis
penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Jenis penelitian berkaitan erat
dengan masalah penelitian dan cara atau teknik pengumpulan data. Secara garis besar,
penelitian dapat dibagi dalam lima kelompok, yaitu berdasarkan tujuannya, data yang
metode, para pelaksanaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
tergantung pada rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis, dan sampel yang digunakan.
Dalam penelitian sosial, teknik pengumpulan data yang biasa digunakan adalah kuesioner
atau angket wawancara, observasi, dan studi literatur. Teknik analisis data merupakan cara
mengolah data yang telah diperoleh dari lapangan. Teknik analisis data harus disesuaikan
dengan Jenis pendekatan penelitian. dikumpulkan, rumusan
Mengacu pada contoh kasus yang dipilih, metodologi penelitian yang disusun adalah
sebagai berikut.

Jenis penelitian : Penelitian kualitatif dengan metode studi kasus.


Teknik pengumpulan data : Wawancara.
Teknik analisis data :Kualitatif, yaitu menggunakan analisis fenomena yang
terjadi di lapangan dikaitkan dengan teori yang ada.

5. Menyusun Rancangan Penelitian


Latar belakang masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat
penelitian, penelitian terdahulu, landasan teori, hipotesis, dan metodologi penelitian yang
telah disusun sebelumnya dirangkum menjadi sebuah rancangan atau proposal penelitian.
Rancangan penelitian merupakan gambaran umum tentang penelitian, berisi pokok-pokok
perencanaan yang tertuang dalam suatu kesatuan naskah. Naskah rancangan penelitian
dibuat secara ringkas, jelas, dan utuh. Rancangan penelitian sangat berguna bagi peneliti agar
penelitiannya dapat berjalan benar, lancar, dan memberikan hasil yang baik.
6. Mengumpulkan Data
Dalam penelitian sosial, biasanya para peneliti menggunakan lebih dari satu teknik
pengumpulan data untuk mengurangi kesalahan atau bias data dari teknik yang digunakan.
Setiap teknik pengumpulan data memiliki alat atau instrumen pengumpulan data masing-
masing. Teknik kuesioner menggunakan instrumen kuesioner atau angket. Teknik
wawancara menggunakan instrumen pedoman wawancara. Teknik observasi menggunakan
pedoman observasi. Teknik studi literatur menggunakan instrumen literatur yang ada.
Instrumen pengumpulan data sangat tergantung pada jenis dan dari mana data diperoleh.
Mengacu pada contoh kasus yang dipilih, teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah wawancara. Wawancara merupakan metode pengumpulan data dalam bentuk
komunikasi langsung atau tanya jawab antara peneliti dan responden. Untuk mendapatkan
data melalui wawancara, seorang peneliti perlu mempersiapkan daftar pertanyaan yang akan
diajukan kepada responden. Jenis wawancara dapat dibedakan atas wawancara berstruktur
dan wawancara tidak berstruktur.
Wawancara berstruktur adalah wawancara yang disusun secara terperinci, terdiri dari
sederetan pertanyaan dengan jawaban responden dibatasi pada beberapa alternatif jawaban
tertentu. Pewawancara memberikan tanda centang (✔) pada pilihan jawaban yang telah
tersedia.

Contoh:
1. Apakah Anda pernah melihat tindakan intoleransi di sekolah Anda?
 Pernah
 Tidak Pernah
2. Apakah Anda pernah mengalami tindakan intoleransi di sekolah Anda?
 Pernah
 Tidak Pernah
3. Faktor sosial yang memengaruhi kejadian intoleransi tersebut?
 Suku Bangsa
 Ras
 Agama
 Golongan

Adapun wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang hanya memuat garis-
garis besar pertanyaan. Dalam jenis wawancara ini, kreativitas pewawancara sangat
diperlukan karena hasil wawancara lebih banyak tergantung dari pewawancara sendiri. Jenis
wawancara ini cocok untuk penelitian kasus.

Contoh:
1. Apakah Anda pernah melihat atau mengalami tindakan intoleransi di sekolah Anda?
2. Bagaimana sikap Anda saat melihat atau mengalami tindakan intoleransi?

Saat melakukan wawancara, pewawancara harus dapat sehingga yang menciptakan


suasana santai dan bersahabat responden bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan
diajukan. Sikap-sikap yang harus dimiliki seorang pewawancara antara lain netral terhadap
jawaban yang diutarakan oleh responden, ramah, memperlakukan semua responden dengan
cara sama, dan bersikap santai sehingga responden tidak merasa sedang dihakimi atau diuji.

7. Menganalisis Data
Data yang telah dikumpulkan pada tahap sebelumnya masih dalam bentuk data mentah
sehingga perlu diolah dan dianalisis agar dapat digunakan dalam proses penelitian. Proses
tersebut bertujuan menyederhanakan data lapangan yang kompleks ke dalam bentuk yang
lebih mudah dibaca. Teknik analisis data dibagi atas dua macam, yakni kuantitatif dan
kualitatif. Teknik analisis data secara kuantitatif menggunakan rumus-rumus statistik dalam
mengolah data. Teknik analisis data secara kualitatif menggunakan analisis fenomena yang
terjadi di lapangan dikaitkan dengan teori yang ada.
Mengacu pada contoh kasus yang dipilih, teknik analisis data yang digunakan adalah
teknik kualitatif. Pada penelitian kualitatif, pengolahan data sudah mulai dilakukan sejak
awal peneliti terjun ke lapangan hingga akhir penelitian. Data kualitatif dapat diolah dan
dianalisis sesuai dengan tema, konteks, dan interpretasi.
Langkah terakhir dalam kegiatan penelitian adalah menarik kesimpulan. Kesimpulan
merupakan pernyataan singkat, jelas, dan sistematis dari keseluruhan hasil analisis,
pembahasan, dan pengujian hipotesis dalam sebuah penelitian. Pada tahap ini, peneliti
mencocokkan hasil pengolahan dan analisis data dengan hipotesis yang telah disusun
sebelumnya untuk menjawab pertanyaan masalah penelitian. Jika hasil penelitian tidak
sesuai dengan hipotesis, bukan berarti bahwa penelitian yang dilakukan salah atau gagal,
melainkan hipotesis tersebut mungkin tidak berlaku dalam penelitian yang telah dijalankan.
Sebuah penelitian yang baik pada hakikatnya tidak berhenti pada kesimpulan apakah
sebuah hipotesis diterima atau ditolak, melainkan dilengkapi dengan sebuah evaluasi
tentang penelitian itu sendiri.
Hasil penelitian tersebut menjadi dasar bagi peneliti untuk menyusun rekomendasi
pemecahan masalah sosial. Mengacu pada contoh kasus yang dipilih, rekomendasi
pemecahan masalah intoleransi di lingkungan sekolah yang dapat diajukan antara lain
sebagai berikut.

a. Upaya preventif berupa sosialisasi bentuk-bentuk Intoleransi serta dampaknya


terhadap anggota masyarakat sekolah dan proses belajar mengajar di sekolah.
b. Upaya kuratif dan represif berupa rekomendasi tindakan penanganan bagi korban dan
pelaku tindakan i ndakan intoleransi, seperti pemberian konseling atau penerapan
sanksi.
c. Upaya campuran berupa dialog lintas SARA secara berkala yang melibatkan seluruh
warga sekolah, termasuk orang tua siswa

8. Menyusun Laporan dan Mengomunikasikan Hasil Penelitian


Tahap berikutnya adalah melaporkan dan mengomunikasikan hasil penelitian. Peneliti
perlu menyusun laporan penelitian agar hasil penelitiannya dapat diketahui orang lain.
Laporan penelitian merupakan karya ilmiah sehingga penulisannya harus mengikuti aturan
penulisan ilmiah.
Secara umum, laporan penelitian terdiri atas tiga bagian besar, yakni pendahuluan, isi
atau badan laporan, dan penutup.
a. Bagian Pendahuluan (Preliminary Materials), meliputi halaman judul, kata pengantar,
daftar isi, serta daftar tabel, gambar, dan grafik.
b. Isi Laporan (Body of Paper), meliputi Bab I Pendahuluan (latar belakang masalah,
perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian),
Bab II Landasan Teori (tinjauan pustaka dan kerangka teori), Bab III Metodologi
(pendekatan penelitian, jenis penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data,
teknik analisis data), Bab IV Hasil Penelitian, Bab V Kesimpulan dan Saran.
c. Bagian Penutup, meliputi Kepustakaan, Lampiran, dan Indeks.
Setelah laporan hasil penelitian selesai disusun, tahap selanjutnya adalah
mengomunikasikan hasil penelitian, baik melalui kegiatan presentasi dalam forum
diskusi atau memublikasikannya melalui beragam media. Tujuannya agar hasil
penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui oleh masyarakat umum, khususnya
warga sekolah tersebut, sehingga mereka dapat memahami masalah sosial yang terjadi di
lingkungan sekolah dan melaksanakan rekomendasi upaya-upaya pemecahan masalah
yang diajukan oleh peneliti.
Dalam memublikasikan hasil penelitian, peneliti hendaknya mempertimbangkan
beberapa etika penelitian berikut
a) Menjaga privasi subjek penelitian dengan tidak memublikasikan informasi pribadi
dan rahasia.
b) Data dan hasil analisis penelitian dipublikasikan dengan jujur.
c) Berhati-hati dan teliti dalam menganalisis data untuk menjaga kualitas hasil
penelitian.

“BILA ADA KESEMPATAN, SEGERA KERJAKAN, TIDAK MENUNGGU NANTI ATAU ESOK”

“BAHAN AJAR WAJIB DI BAWA KETIKA PBM”

“TANDAI BAHAN AJAR DENGAN CARA YANG KAMU SUKA”

Anda mungkin juga menyukai