Anda di halaman 1dari 32

JUDICIAL SYSTEM MONITORING PROGRAMME

PROGRAM PEMANTAUAN SISTEM YUDISIAL

PERLAKUAN POLISI TERHADAP PEREMPUAN DI TIMOR LESTE

DILI, TIMOR LESTE


JANUARI 2005

- - 1
Program Pemantauan Sistem Yudisial (JSMP)) didirikan pada awal 2001 di Dili, Timor Leste.
Melalui pemantauan pengadilan, analisa hukum dan laporan tematis tentang perkembangan
sistem yudisial, JSMP bertujuan untuk mengambil bagian secara terus-menerus dalam evaluasi
dan pengembangan sistem peradilan di Timor Leste. Untuk memperoleh informasi lebih lanjut,
lihat www.jsmp.minihub.org

JSMP mengucapkan terima kasih kepada Kedutaan Besar Finlandia di Jakarta yang memberikan
banyak dukungan untuk menghasilkan laporan ini.

Judicial System Monitoring Programme


Rua Setubal, Dili
Postal address: PO Box 275, Dili, East Timor
Tel/Fax: (670)3323883
Email: info@jsmp.minihub.org

- - 2
DAFTAR ISI

1. RINGKASAN EKSEKUTIF .................................................................................5

2. MENGENAI LAPORAN INI................................................................................6

2.1 Tujuan laporan ini ......................................................................................... 6

2.2 Metodologi ...................................................................................................... 6

3. LATAR BELAKANG LEMBAGA ......................................................................8

3.1 Struktur PNTL............................................................................................... 8

3.2 Kewajiban Polisi menurut undang-undang................................................. 9

3.3 Tuduhan bahwa polisi melakukan diskriminasi berbasis jender............ 10

4. HASIL WAWANCARA ......................................................................................13

4.1 Pendapat umum tentang polisi ................................................................... 13

4.2 Kekerasan domestik..................................................................................... 13

4.3 Kekerasan seksual........................................................................................ 14

4.4 Kesulitan ....................................................................................................... 14

4.5 Pelanggaran polisi terhadap perempuan................................................... 15

5. ANALISA ATAS HASIL WAWANCARA........................................................16

5.1 Pendapat umum ........................................................................................... 16

5.2 Kekerasan domestik..................................................................................... 16

5.3 Kekerasan seksual........................................................................................ 18

5.4 Kesulitan ....................................................................................................... 18

5.5 Pelanggaran yang dilakukan oleh polisi terhadap perempuan ............... 19

7. KESIMPULAN ....................................................................................................22

LAMPIRAN 1 – DAFTAR PERTANYAAN YANG DIAJUKAN DALAM WAWANCARA ...............23

- - 3
LAMPIRAN 2 – HASIL DARI WAWANCARA YANG DILAKUKAN DI 13 DISTRIK ..................23

Distrik 1 16 September 2004 .......................................................................... 24

Distrik 3 26 Agustus 2004................................................................................ 25

Distrik 4 31 Agustus......................................................................................... 26

Distrik 5 28 Agustus 2004............................................................................... 26

Distrik 6 2 September 2004 ............................................................................. 27

Distrik 7 5 Oktober 2004 ................................................................................. 28

Distrik 8 17 September 2004 ........................................................................... 28

Distrik 9 23 Agustus 2004................................................................................ 29

Distrik 10 17 September 2004 ........................................................................... 30

Distrik 11 11 September 2004 .......................................................................... 31

Distrik 12 23 Agustus 2004................................................................................ 31

- - 4
1. RINGKASAN EKSEKUTIF

Laporan ini meneliti perlakuan polisi terhadap perempuan di Timor Leste. Pada khususnya laporan ini
menyelidiki tuduhan bahwa Polisi Nasional Timor Leste (PNTL) melakukan diskriminasi berbasis jender
terhadap perempuan, termasuk: polisi tidak menganggap serius kasus-kasus kekerasan domestik atau
kekerasan seksual, petugas polisi sendiri terlibat dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, dan
pelecehan seksual terhadap petugas polisi perempuan terjadi dalam PNTL.

Informasi untuk laporan ini dikumpulkan oleh Unit Keadilan Perempuan dari JSMP melalui wawancara
yang dilakukan selama lima belas hari dengan masing-masing Kepala Distrik PNTL, para petugas Unit
Orang Rentan (VPU), pemerintah lokal, kelompok-kelompok kaum perempuan dan NGO-NGO di setiap
ke-13 distrik.

Laporan ini berkesimpulan bahwa PNTL melakukan sedikit diskriminasi berbasis jender terhadap
perempuan: rupanya bahwa banyak petugas polisi tidak menganggap serius kasus-kasus kekerasan
domestik. Semua petugas polisi yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui bahwa
kekerasan domestik adalah kejahatan, dan mereka hanya membawa kasus ke proses peradilan formal
apabila kekerasan telah menyebabkan luka yang ‘berat’. Mereka mengalihkan kasus kecil ke proses
peradilan tradisional. Bahkan apabila PNTL menangkap tersangka, mereka menggunakan penahanan pra-
sidang dengan batasan waktu 72 jam agar korban dapat mencabut kasusnya dari proses peradilan formal.
Rupanya bahwa banyak petugas PNTL tidak mengerti tujuan dari penahanan pra-sidang dengan batasan
waktu 72 jam.

Namun, semua petugas PNTL yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka mengetahui bahwa
kekerasan seksual adalah kejahatan, dan kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa mereka selalu
menangani kasus semacam ini melalui proses peradilan formal. Dalam wawancara yang dilakukan, kami
hanya diberitahu tentang empat kasus di mana polisi melakukan pelanggaran terhadap perempuan– dua
kasus di mana perempuan yang berusia Sekolah Menengah dihamili dan ditinggalkan oleh oknum polisi,
satu kasus dimana perempuan yang berusia Sekolah Menengah diganggu oleh oknum polisi, dan satu
kasus pelecehan seksual dalam PNTL.

Menurut Konstitusi Timor Leste, dan kewajibannya di bawah sejumlah perjanjian internasional, harus
dijamin hak perempuan atas perlakuan dan perlindungan yang sama di hadapan hukum. Langkah pertama
yang penting berkaitan dengan perlakuan yang sama terhadap perempuan adalah menjamin agar
perempuan diperlakukan dengan cara yang adil oleh petugas polisi pada saat pertama melaporkan kasus
kekerasan kepada polisi. Diharapkan bahwa rekomendasi yang diberikan dalam laporan ini akan
membantu meningkatkan perlakuan polisi terhadap perempuan yang pada gilirannya akan meningkatkan
akses kaum perempuan terhadap keadilan di Timor Leste.

- - 5
2. MENGENAI LAPORAN INI

2.1 TUJUAN LAPORAN INI

Unit Keadilan Perempuan (WJU) dari JSMP memutuskan untuk menulis laporan tentang perlakuan polisi
terhadap perempuan karena sambil melakuan penelitian untuk laporan-laporan lain kami mendengar
tuduhan tentang diskriminasi berbasis jender yang dilakukan polisi terhadap perempuan. Pada khususnya,
dinyatakan bahwa polisi tidak menganggap serius kasus kekerasan domestik atau kekerasan seksual, dan
bahwa petugas polisi sendiri terlibat dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, dan bahwa pelecehan
seksual terhadap petugas polisi perempuan terjadi dalam PNTL.

Melalui laporan ini kami menyelidiki dasar tuduhan tentang diskriminasi berbasis jender yang dilakukan
PNTL terhadap perempuan. Pada khususnya, kami menyelidiki apakah ada kebiasaan di dalam PNTL
untuk melakukan diskriminasi terhadap perempuan, atau apakah masalah-masalah disebabkan pada
utamanya oleh kekurangan sumber daya dan latihan untuk melakukan investigasi yang teliti dalam kasus
semacam ini.

Salah satu tujuan dari WJU adalah untuk meningkatkan akses kaum perempuan atas keadilan formal di
Timor Leste. Harus dijamin hak kaum perempuan terhadap perlakuan dan perlindungan yang sama di
hadapan hukum. Setelah pelanggaran pidana dilakukan, korban biasanya mempunyai kontak pertama
dengan sistem keadilan melalui polisi. Reaksi polisi pada pertemuan pertama ini dapat sangat
mempengaruhi sikap korban atas sistem keadilan. Perempuan mestinya diperlakukan secara adil oleh
petugas polisi pada saat melaporkan kasus kekerasan berbasis jender kepada polisi. Polisi harus
menganggap serius kasus kekerasan berbasis jender, dan menginvestigasi kejahatan ini secara teliti. 1 Juga
penting agar perempuan dapat percaya lembaga kepolisian dan percaya bahwa polisi akan
menjunjungtinggi nilai-nilai kesetaraan jender, dan tidak melakukan pelanggaran HAM terhadap
perempuan. Jadi, laporan ini bertujuan untuk memberikan sejumlah rekomendasi yang berguna tentang
bagaimana caranya untuk meningkatkan perlakuan polisi terhadap perempuan untuk meningkatkan akses
kaum perempuan atas keadilan.

2.2 METODOLOGI

Unit Keadilan Perempuan dari JSMP melakukan wawancara selama 15 hari dengan masing-masing
Kepala Distrik PNTL, para petugas VPU, pemerintah lokal, kelompok kaum perempuan, dan NGO-NGO
di setiap ke-13 distrik (dan beberapa sub-distrik) Timor Leste dari tanggal 23 Agustus sampai 5 Oktober.
(Daftar pertanyaan yang diajukan dalam wawancara tertera pada Lampiran 1). Laporan ini dilandasi hasil
dari wawancara tersebut. Laporan ini juga menggunakan informasi yang diperoleh dari riset yang
dilakukun untuk laporan JSMP yang berjudul “Kaum Perempuan dalam Sektor Peradilan Formal”,
“Analisa terhadap Keputusan Pengadilan Distrik Dili dalam Kasus Kekerasan Seksual” dan “Akses
terhadap Keadilan bagi Perempuan Korban”. Hasil wawancara tertera pada Lampiran 2 dan diuraikan
dalam Bab 4. Wawancara didaftarkan berdasarkan distrik, tetapi setiap distrik diberikan nomor dan nama
distrik itu tidak disebutkan, karena tujuan laporan ini adalah menyampaikan kesan-kesan umum tentang
perlakuan polisi terhadap perempuan, dan bukan untuk mengidentifikasikan masalah yang terjadi di distrik
tertentu.

1
Lihat Pasal 4 dari Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Kaum Perempuan, Resolusi Majelis Umum
48/104 tertanggal 20 Desember 1993, sebagaimana dibahas dalam 3.2 dari laporan ini.

- - 6
Walapun ada usaha untuk memperoleh perspektif yang mencakupi setiap pelosok negara melalui
wawancara yang dilakukan, namun harus diakui batasan-batasan dari pendekatan yang diterapkan.
Jumlah orang yang diwawancarai cukup kecil (38 orang dari setiap pelosok negara). Tentu saja lebih baik
untuk mewancarai lebih banyak orang, dan pada khususnya untuk mewawancarai sejumlah korban dan
meminta pendapat mereka tentang perlakuan yang mereka terima pada saat melaporkan kekerasan kepada
polisi.

Wawancara dilakukan oleh dua pengacara perempuan asal Timor Leste dan satu petugas penghubung
perempuan asal Timor Leste yang bekerja dengan JSMP. Wawancara dilakukan pada waktu materi
pendidikan publik sedang didistribusikan dan orang yang melakukan wawancara hanya menghabiskan
satu atau dua hari di setiap distrik. Dengan mengingat waktu singkat yang diberikan untuk saling
mengenal satu sama lain, maka belum tentu bahwa orang-orang yang diwawancara akan memberikan
jawaban yang komplit dan jujur atas setiap pertanyaan. Juga, harus diingat bahwa orang-orang yang
melakukan wawancara sedang mendistribusikan materi pendidikan publik tentang cara untuk melaporkan
kekerasan seksual dan kekerasan domestik, mereka yang diwawancarai mungkin hanya mengatakan apa
yang menurut mereka mau didengar oleh pewawancara. Tentu saja lebih baik kalau para pewawancara
dapat menghabiskan lebih banyak waktu di setiap distrik dan mempunyai hubungan yang lebih akrab
dengan orang-orang yang akan diwawancarai, dan juga untuk mengamati bagaimana polisi di setiap
distrik berinteraski dengan masyarakat, dan mencoba mengamati pendapat komunitas terhadap polisi.

Namun, dengan mengingat batasan waktu dan sumber daya JSMP, maka diputuskan untuk melakukan
sejumlah kecil wawancara sebagaimana disebutkan di atas, dalam waktu yang cukup pendek. Barangkali
pada masa depan, lebih banyak penelitian dan wawancara, yang disertai analisa berdasarkan pengamatan,
dapat dilakukan selama periode waktu yang lebih lama.

- - 7
3. LATAR BELAKANG LEMBAGA

3.1 STRUKTUR PNTL

Polisi Nasional Timor Leste (PNTL) dibentuk secara resmi pada bulan Agustus 2001 di bawah Regulasi
UNTAET 2001/22. Sebelum tanggal tersebut, fungsi polisi dilakukan secara ekslusif oleh Polisi PBB
(UNPOL) (dari September 1999). Dari Agustus 2001 sampai Mei 2004 tugas pemolisian dilakukan
bersama-sama oleh UNPOL dan PNTL. Sejak Mei 2004 hanya PNTL yang bertanggungjawab untuk
menegakkan hukum di Timor Leste.

PNTL terdiri dari Komando Umum, Unit Perlindungan Masyarakat, Unit Investigasi Pidana, Unit
Keamanan Jalan Raya dan Lalu Lintas, Unit Mariner, Jasa Informasi Polisi, Jasa Migrasi, Unit Keamanan
VIP, Unit Reaksi Cepat, Unit Patroli Perbatasan dan Unit Cadangan Polisi.2 Komando PNTL terletak di
setiap ke-13 distrik, dan ada komando sub-distrik di setiap ke-65 sub-distrik.

Unit Orang Rentan ("VPU") dibentuk pada bulan Maret 2001. Unit ini merupakan bagian dari Unit
Investigasi Pidana. VPU adalah pintu masuk sektor peradilan formal untuk perempuan korban di Timor
Leste. PNTL dan UNPOL membentuk VPU untuk menyediakan suatu departemen investigasi yang
berspesialisasi untuk memecahkan kasus yang berhubungan dengan perempuan dan anak. VPU
mempunyai yurisdiksi atas jenis kejahatan yang berikut: perkosaan, percobaan perkosaan, kekerasan
domestik (emosionil, lisan dan fisik), kekerasan terhadap anak, anak yang terlantar, orang hilang,
persoalan paternitas, dan pelecehan seksual. Ada VPU di masing-masing ke-13 distrik.3 Pengrekrutan
PNTL terdiri dari kira-kira 20% perempuan, dan VPU dan polisi sub-distrik biasanya berusaha agar
perempuan korban diwawancarai oleh petugas polisi perempuan.4

Program latihan PNTL (yang pada awalnya dirancang pada masa UNTAET) pada saat ini berlangsung
selama tiga bulan (di Akademi Polisi) yang diikuti oleh Program Latihan Lapangan selama tiga bulan.
Pembentukan Akademi Polisi, perancangan kurikulum dan penyampaian latihan dilakukan oleh anggota
UNPOL. Masalah-masalah yang signifikan telah diidentifikasikan berhubungan dengan pendeknya
program latihan tersebut.5

Dalam kebanyakan organisasi kepolisian, seorang petugas dapat melihat prosedur tertulis sebagai
pedoman untuk melakukan tugas sehari-harinya. Prosedur tersebut mencerminkan undang-undang dari
yurisdiksi itu, konvensi internasional (misalnya, Kode Tingkah Laku PBB untuk Para Penegak Hukum,
Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan Fisik dan Senjata Api), keperluan dan harapan
komunitas, dan kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan penegakan hukum. VPU telah

2
Undang-Undang No.8/2004, Undang-Undang Organik Kepolisian Nasional Timor-Leste (PNTL)
3
Wawancara dengan UNPOL Kimberly Campbell, September 27, 2003, dan wawancara dengan UNPOL Kiran
Bajracharya, Pemimpin Tim Dili VPU, Oktober 2, 2003.
4
Hasil dari wawancara untuk laporan ini dan laporan sebelumnya.
5
Misi Penilaian Bersama, Laporan dari Misi Penilaian Bersama yang dilakukan oleh Pemerintah Timor Leste,
UNMISET, UNDP dan Negara-Negara Mitra dalam Program Pengembangan Kepolisian Timor-Leste, Januari
2003.
Diharapkan bahwa sebagian masalah dapat diselesaikan melalui misi polisi Australia-Persatuan Kerajaan. Sejak
Oktober 2004 petugas Polisi Federal Australia, di bawah misi polisi Australia-Persatuan Kerajaan, telah memberikan
Program Latihan bagi Pelatih di Akademi Polisi. Program ini telah memberikan kursus pendek kepada 50 petugas
PNTL. Pada tahun 2005 ke-50 petugas PNTL akan dilatih selama enam sampai sembilan bulan tambahan, dan
setelah itu mereka akan memberikan latihan kepada rekan PNTLnya di masing-masing unit kerja dan di distrik.
Wawancara dengan Kendelle Clark, Program Pengembangan Kepolisian Timor Leste, 30 November 2004
- - 8
mempunyai rancangan Prosedur Operasi Standar (SOP) yang dipertimbangkan melalui Unit
Pengembangan Kapasitas dari PNTL.6

3.2 KEWAJIBAN POLISI MENURUT UNDANG-UNDANG

Menurut Konstitusi Timor Leste, semua warga negara mempunyai hak yang sama di hadapan hukum, dan
memiliki hak dan kewajiban yang sama. Lagipula, tak seorang pun dapat dikenakan diskriminasi berbasis
jender.7 Konstitusi juga menjamin bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang
sama dalam kehidupan keluarga, politik, ekonomi, sosial dan budaya.8

Di bawah Konstitusi polisi mempunyai peranan untuk mempertahankan legalitas demokratis dan
menjamin keamanan internal bagi para warga negara. Dalam mencegah kejahatan, polisi harus
menghormati hak asasi manusia.9

Menurut Undang-Undang Organik PNTL10, PNTL harus menjamin keselamatan dan kesejahteraan rakyat
dan menjunjungtinggi hak warga negara.11 Beberapa tujuan fundamental dari PNTL adalah: memelihara
ketertiban umum, keamanan dan perdamaian, menjunjungtinggi kondisi yang akan menjamin agar warga
negara dapat melaksanakan hak dan kebebasannya; mencegah kejahatan; dan menginvestigasi kejahatan
dan mencari para pelaku kejahatan.12

6
SOP untuk unit-unit lain dari PNTL masih dipertimbangkan oleh Unit Pengembangan Kapasitas. Wawancara
dengan Kendelle Clark, Program Pengembangan Kepolisian Timor Leste, 30 November 2004
7
Bagian 16 (Universalitas dan Persamaan)
Semua warga negara adalah sama di depan hukum, memiliki hak yang sama dan tunduk pada kewajiban yang sama.
2. Tak seorang pun dapat mengalami diskriminasi berdasarkan alasan warna kulit, ras, status perkawinan, jenis
kelamin, asal etnis, bahasa, kedudukan sosial atau ekonomi, keyakinan politik atau ideologi, agama, pendidikan,
keadaan jasmani atau mental.
8
Bagian 17 (Persamaan antara Perempuan dan Laki-Laki)
Perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam setiap aspek kehidupan keluarga, budaya,
sosial, ekonomi dan politik.
9
Bagian 147 (Kepolisian dan Angkatan Keamanan)
1. Polisi harus membela legalitas demokratis dan menjamin keamanan internal bagi semua warga negara, dan
samasekali tidak diperkenankan untuk memihak suatu pihak.
2. Pencegahan kejahatan harus dilaksanakan dengan tetap menghormati hak asasi manusia.
3. Undang-Undang harus menetapkan aturan dan peraturan bagi kepolisian dan angkatan keamanan lainnya.
10
Undang-Undang No. 8/ 2004
11
Pasal 1 (Sifat PNTL)
1. PNTL adalah angkatan keamanan yang mempunyai misi untuk membela legalitas demokratis, untuk menjamin
keselamatan dan kesejahteraan dan untuk menjunjungtinggi hak-hak warga negara, di bawah persyaratan yang
ditetapkan oleh Konstitusi dan Undang-Undang.
12
Pasal 2 (Kewenangan)
2. Dalam kerangka kebijakan keamanan internal dan tanpa melemahkan tanggungjawab hukum yang dimiliki badan
lain, tujuan fundamental dari PNTL adalah sebagai berikut:
(a) Untuk memelihara ketertiban umum, keamanan dan perdamaian;
(b) Untuk mendukung kondisi yang menjamin agar lembaga-lembaga demokratis dapat berfungsi sebagaimana
mestinya dan agar warga negara dapat melaksanakan hak dan kebebasan fundamentalnya;
(c) Untuk mencegah kejahatan dan tindakan yang bertentangan dengan undang-undang dan regulasi…
(e) Untuk melakukan fungsi yang diatur dalam undang-undang mengenai proses pidana dan mengumpulkan
informasi tentang kejahatan yang dilakukan, untuk mencegah akibat dari kejahatan dan menuntut para
pelaku kejahatan;

- - 9
Regulasi Disipliner mengatur bahwa PNTL harus dipedomani oleh kriteria imparsialitas, keterpisahan,
obyektivitas dan penghormatan atas legalitas demokratik.13 Sumpah yang diambil oleh polisi termasuk
acuan terhadap kenyataan bahwa mereka akan melakukan fungsinya tanpa diskriminasi berbasis jender
atau status perkawinan.14 Dicatat bahwa undang-undang ini hanya mulai berlaku pada pertengahan tahun
ini dan penerjemahan dan latihan bagi polisi tentang undang-undang ini belum lengkap.

Di bawah hukum internasional pemerintah Timor Leste mempunyai kewajiban hukum untuk memberikan
pemulihan yang efektif kepada orang yang mana hak dan kebebasannya telah dilanggar menurut Pasal
2(3) dari Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.15 Di bawah Pasal 2(b) dan (c) dari
CEDAW Timor Leste mempunyai kewajiban hukum untuk “menerapkan tindakan legislatife dan tindakan
lain, termasuk sanksi apabila tepat, yang melarang semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan” dan
“untuk membentuk perlindungan hukum atas hak-hak perempuan pada tingkat yang setaraf dengan laki-
laki”.16

Kode Tingkah Laku untuk Para Petugas Penegak Hukum (yang diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum
34/169 tertanggal 17 Desember 1979) juga mengatur bahwa “petugas penegak hukum harus pada setiap
saat memenuhi kewajiban yang diberikan kepadanya oleh undang-undang, dengan melayani masyarakat
dan dengan melindungi semua orang dari tindakan yang tidak sah, sesuai dengan besarnya tanggungjawab
yang diperlukan oleh profesinya” (Pasal 1). Lagipula, “dalam melaksanakan tugasnya, para petugas
penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat manusia dan menjunjungtinggi dan
mempertahankan hak asasi manusia yang dimiliki semua orang” (Pasal 2).

Di bawah Pasal 4 dari Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan,
Resolusi Majelis Umum 48/104 dari 20 “Negara-negara peserta harus mengambil semua langkah yang
tepat untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, dan untuk mencapi tujuan ini, harus:
(c) Dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda mencegah, menginvestigasi dan, sesuai dengan
perundang-undangan nasional, menghukum tindakan kekerasan terhadap perempuan, walaupun tindakan
tersebut dilakukan oleh Negara atau individu;
(i) mengambil langkah-langkah untuk menjamin bahwa para petugas penegak hukum dan pegawai negeri
yang bertanggungjawab untuk menerapkan kebijakan yang mencegah, menginvestigasi dan menghukm
kekerasan terhadap perempuan, diberi latihan agar memahami keperluan kaum perempuan.”

3.3 TUDUHAN BAHWA POLISI MELAKUKAN DISKRIMINASI BERBASIS JENDER

Pada saat ini hanya sebagian kecil kasus kekerasan berbasis jender dilaporkan kepada polisi di Timor
Leste.17 Ada sejumlah alasan mengapa perempuan tidak melaporkan kekerasan berbasis jender kepada

13
Pasal 5 dari Undang-Undang 13/ 2004 “Regulasi Disipliner Kepolisian Nasional Timor-Leste tertanggal 16 Juni
2004.
14
Pasal 6 dari Undang-Undang 13/ 2004 “Regulasi Disipliner Kepolisian Nasional Timor-Leste tertanggal 16 Juni
2004.
15
Timor Leste meratifikasi ICCPR pada tanggal 10 Desember 2002. Menurut Bagian 9.2 dari Konstitusi Timor
Leste’, “Aturan-aturan yang ditetapkan dalam perjanjian, konvensi dan kesepakatan internasional dinyatakan berlaku
dalam sistem hukum internal Timor Leste setelah disetujui, diratifikasi atau diaksesi oleh masing-masing organ yang
berwenang dan setelah diumumkan dalam lembaran negara yang resmi.”
16
Timor Leste juga meratifikasi CEDAW pada tanggal 10 Desember 2002.
17
Banyak perempuan tidak melaporkan kekerasan berbasis jender yang mereka alami kepada polisi. “Studi IRC
tentang Keberadaan Kekerasan Berbasis Jender” berkesimpulan bahwa kebanyakan perempuan yang tidak meminta
bantuan atas kekerasan domestik biasanya mendatangi keluarganya (32%), 5% menempuh keadilan tradisional, 3%
mendatangi polisi, 9% mencoba untuk melupakannya. Swaine, Aisling, International Rescue Committee,
"Traditional Justice and Gender Based Violence"(Keadilan Tradisional dan Kekerasan Berbasis Jender), Agustus
2003
- - 10
polisi18, salah satunya adalah mereka takut polisi akan melakukan diskriminasi, atau bahwa polisi tidak

18
Lihat Laporan JSMP yang berjudul “Akses terhadap Keadilan untuk Perempuan Korban” h. 15
Banyak perempuan tidak berpikir bahwa kekerasan yang mereka alami adalah kejahatan. 51% dari mereka yang
disurvei dalam “Studi IRC tentang Keberadaan Kekerasan Berbasis Jender” sangat setuju bahwa “seorang laki-laki
mempunyai alasan kuat untuk memukul isterinya kalau isterinya tidak menuruti perintahnya”.
Dalam kasus kekerasan domestik dan kekerasan seksual (pada khususnya kalau terjadi dalam keluarga, misalnya
oleh seorang paman, saudara laki-laki, atau ayah) banyak perempuan tidak berpikir bahwa mereka harus membahas
persoalan ini dengan orang-orang yang di luar keluarga. Dalam “Studi IRC tentang Keberadaan Kekerasan Berbasis
Jender” 84% responden sangat setuju dengan penyataan bahwa ‘masalah keluarga seharusnya hanya dibicarakan
dengan orang-orang dalam keluarga’, dan 51% perempuan merasa bahwa cara terbaik untuk mengatasi masalah
adalah melalui dukungan dari keluarganya.
• Di Timor Leste, dan terutama di distrik, tidak ada sarana komunikasi – seringkali tidak ada telepon atau
transportasi. Seringkali orang-orang tinggal jauh dari kantor polisi yang terdekat. Polisi juga tidak
mempunyai telepon dan di sub-distrik seringkali tidak mempunyai transportasi. Oleh karena itu, secara
fisik, sangat sulit bagi perempuan untuk memberitahu polisi apabila kekerasan dilakukan terhadapnya.
• Seringkali apabila seorang perempuan mengalami kekerasan domestik sulit bagi dia untuk melarikan diri
dari tempat kekerasan itu terjadi, yaitu seringkali orang yang melakukan kekerasan terhadap perempuan itu
tidak akan mengizinkan perempuan itu berangkat dan memberitahu orang lain tentang kekerasan itu.
• Kaum perempuan seringkali merasa malu untuk memberitahu polisi tentang kekerasan yang terjadi, pada
khususnya kalau kekerasan seksual telah terjadi. Mereka tidak mau memberitahu orang lain tentang apa
yang terjadi terhadapnya, dan mereka pada khususnya tidak mau mengaku bahwa mereka telah mengalami
kekerasan seksual. Kaum perempuan juga kadang-kadang percaya bahwa orang-orang akan berpikir bahwa
perempuanlah yang salah dalam kasus kekerasan seksual (sayangnya hal tersebut juga sering terjadi di
negara-negara lain), dan jika mereka melaporkan hal tersebut mereka akan dilihat sebagai “perempuan yang
tidak baik”. Di Timor Leste, banyak orang juga percaya bahwa pembicaraan terbuka tentang seks tidak
sesuai dengan budaya Timor Leste, jadi hal ini tentu saja membatasi kemampuan perempuan untuk
memberitahu polisi bahwa dia telah mengalamai kekerasan seksual.
• Kaum perempuan khawatir bahwa apabila mereka memberitahu polisi tentang kekerasan, maka informasi
ini akan diketahui oleh banyak orang. Kadang-kadang surat kabar melaporkan kasus semacam ini dan
sering menerbitkan nama; atau mencantumkan cukup informasi sehingga korban berpikir bahwa orang lain
akan mengetahui peristiwa itu.
• Rupanya sebagian orang percaya bahwa kekerasan domestik adalah komponen budaya Timor Leste yang
tak terhindarkan, dan akibatnya banyak perempuan merasa tidak perlu melaporkan kejadian seperti ini
kepada polisi.
• Kaum perempuan tidak tahu bahwa kekerasan domestik dan kekerasan seksual adalah kejahatan, dan
mereka tidak tahu bahwa mereka harus melaporkan masalah ini kepada polisi.
• Kaum perempuan berpikir bahwa hukum adat merupakan sistem yang lebih baik untuk menyelesaikan
persoalan kekerasan domestik dan kekerasan seksual. Kaum perempuan juga tahu bahwa polisi seringkali
menyuruh perempuan untuk mengikuti proses hukum adat atau menyelesaikan kasus kekerasan pada tingkat
kantor polisi.
• Kaum perempuan berpikir bahwa polisi tidak akan percaya mereka apabila mereka melaporkan kejahatan
kekerasan berbasis jender.
• Kalaupun polisi percaya pada pernyataan perempuan tentang apa yang telah terjadi, polisi dapat
menganggap bahwa hal ini tidak serius, dan seringkali menyuruh perempuan tersebut untuk kembali kepada
keluarganya atau untuk tinggal bersama orang yang telah melakukan kekerasan terhadapnya.
• Banyak orang di Timor Leste tidak mempunyai kesan yang baik terhadap polisi. Kadang-kadang mereka
tidak percaya polisi karena mereka masih mengasosiasikan PNTL dengan POLRI (kepolisian yang bertugas
selama penjajahan Indonesia) yang berdasarkan laporan melakukan pelanggaran hak asasi manusi terhadap
banyak orang Timor Leste. Sebagian orang tidak percaya PNTL karena mereka mendengar cerita bahwa
PNTL telah melakukan pelanggaran terhadap orang Timor Leste, pada khususnya terhadap perempuan
(misalnya, kasus yang mendapat banyak publisitas baru-baru ini tentang tuduhan bahwa seorang perempuan
berumur 18 tahun diperkosa oleh 9 petugas PNTL pada bulan Mei 2004). Sebagian orang juga tidak
percaya bahwa PNTL mempunyai kemampuan, sehinggi mereka tidak merasa ada manfaatnya dari
melaporkan kejahatan kepada PNTL, karena PNTL tidak akan melakukan investigasi yang teliti dan
barangkali dapat memperburuk situasi mereka.
- - 11
akan menganggap serius kasusnya. Dalam wawancara untuk laporan yang berjudul “Kaum Perempuan Di
Sektor Peradilan Formal”, JSMP diberitahu oleh beberapa petugas VPU bahwa mereka tidak mendorong
perempuan untuk melaporkan kejadian kekerasan domestik yang “ringan” atau perkosaan yang tidak
“berat”.19 Dinyatakan bahwa sebagian polisi tidak bereaksi cepat terhadap laporan tentang kekerasan
semacam itu, dan bahwa sebagian polisi tidak menginvestigasi kasus tersebut secara teliti. Dalam kasus
tertentu, polisi menyuruh korban kembali ke tempat di mana mereka mengalami kekerasan atau
memberitahu korban untuk menyelesaikan masalah itu melalui mekanisme peradilan tradisional.20
Perempuan kadang-kadang kembali dari kantor polisi dengan percaya bahwa kekerasan yang telah mereka
alami tidak berlaku atau tidak cukup ‘berat’ untuk ditangani oleh polisi.21

JSMP juga mengetahui tentang kasus di mana dinyatakan bahwa kekerasan seksual dilakukan oleh oknum
polisi, misalnya kasus yang menjadi sorotan masyarakat dimana dinyatakan bahwa seorang perempuan
berusia 18 tahun diperkosa oleh sembilan oknum PNTL di Dili pada bulan Mei 2004.22 Ada juga kasus-
kasus yang dilaporkan tentang pelecehan polisi terhadap perempuan dan pernikahan dengan anak di
bawah umur.23 Lagipula, laporan dari Alola Foundation Oktober 2004 “Perdagangan manusia di Timor
Leste: tinjauan tentang industri seks di negara terbaru” membicarakan tuduhan tentang korupsi polisi
berhubungan dengan industri seks, termasuk pemerasan terhadap rumah bordil agar diberikan
perlindungan dengan menuntut bayaran uang dan pelayanan seksual secara gratis.24 Laporan ini juga
membahas investigasi polisi yang tidak layak terhadap prostitusi. Pada khususnya, polisi telah menuntut
pelacur karena melacurkan diri di bawah Pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,
tetapi tidak menuntut pengurus rumah bordil atau mucikari atas suatu pelanggaran (misalnya, polisi
menuntut korban (perempuan), dan tidak menuntut pengurus rumah bordil atau mucikari.25

JSMP juga mendengar desas-desus tentang pelecehan seksual terhadap petugas perempuan PNTL oleh
rekan laki-lakinya. Namun hanya satu tuduhan spesifik diajukan dalam wawancara yang dilakukan untuk
laporan ini.

• Kaum perempuan mungkin juga mengetahui bahwa berbagai macam masalah dapat dihadapi apabila
mengakses sistem peradilan formal, pada khususnya penundaan yang cukup lama dalam proses pengadilan.
Mereka dapat memutuskan bahwa tidak perlu melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada polisi karena
mereka tidak mau menghadapi masalah yang dialami orang-orang lain apabila mengakses sistem peradilan
formal.
• Kaum perempuan mungkin mengetahui bahwa kekerasan berbasis jender merupakan kejahatan, dan bahwa
mereka harus melaporkan kejahatan ini kepada polisi, akan tetapi mereka dapat mengambil keputusan
berdasarkan alasan keuangan atau alasan lain, bahwa mereka tidak mampu (dari segi keuangan) untuk
melaporkan pelaku kepada polisi, karena mereka takut atas apa yang akan terjadi kalau pelaku sudah tidak
ada. Misalnya, sebagian kaum perempuan, karena kurang mampu dari segi ekonomis, cenderung
menyelesaikan masalah melalui hukum lokal karena takut akan kehilangan dukungan ekonomis jika
suaminya dipenjarakan.
• Kalaupun seorang perempuan melaporkan kekerasan kepada polisi, kekurangan mekanisme dukungan sosial
(pada khususnya rumah aman) di Timor Leste, berarti bahwa perempuan itu secara terus-menerus dapat
menghadapi ancaman yang nyata.
19
Wawancara dengan VPU Distrik Dili 2 Oktober 2003.
20
Aisling Swaine, op cit dan laporan kepada JSMP dari UNHCR 10 Juni 2004, tentang kasus anak perempuan yang
mengalami kekerasan seksual di Suai di mana polisi mencoba untuk menegosiasikan suatu penyelesaian melalui
hukum adat
21
Wawancara dengan petugas UNHCR 10 Juni 2004 dan Swaine, Aisling, opcit, pg. 3
22
Lihat Terbitan Pers JSMP, 3 Juni 2004 (tersedia di www.jsmp.minihub.org)
23
Wawancara JSMP di Distrik 1 dan 3, 16 September dan 26 Agustus 2004.
24
Lihat halaman 43 dan 44 dari laporan ini: “Perdagangan Manusia di Timor Leste: tinjauan tentang industri seks di
negara terbaru”
25
Ibid, halaman 40.
- - 12
4. HASIL WAWANCARA

4.1 PENDAPAT UMUM TENTANG POLISI

Semua petugas pemerintah lokal dan kelompok kaum perempuan yang diwawancarai oleh kami
mengatakan bahwa PNTL mempunyai hubungan baik dengan komunitas. Semua petugas PNTL yang
diwawancarai oleh kami juga mengatakan bahwa mereka mempunyai hubungan baik dengan komunitas.
Banyak petugas pemerintah lokal dan kelompok-kelompok kaum perempuan mengatakan bahwa mereka
bekerja sama dengan polisi untuk menyelesaikan kasus kekerasan berbasis jender. 26 Di kebanyakan
distrik, PNTL dan kelompok-kelompok kaum perempuan mengatakan bahwa hanya petugas polisi
perempuan yang memeriksa perempuan korban.27

4.2 KEKERASAN DOMESTIK

Semua polisi yang diwawancarai oleh kami mengatakan bahwa mereka mengetahui bahwa kekerasan
domestik adalah kejahatan dan harus diproses melalui sistem peradilan formal.28 Namun, sebagian polisi
mengatakan bahwa sebagian “kasus kecil” dialihkan ke sistem adat (proses keadilan tradisional)29, dan
bahwa seringkali kasus diselesaikan secara kekeluargaan 30, atau oleh kepala desa atau kepala kampung.31
Hanya di satu distrik PNTL mengatakan bahwa mereka tidak pernah mengembalikan kasus kepada
keluarga atau keadilan tradisional karena kode tingkah laku polisi.32 Banyak polisi mengatakan bahwa
hanya dalam kasus dimana kekerasan menyebabkan luka berat bahwa mereka memproses kasus itu
(melalui proses peradilan formal)33 walaupun di beberapa distrik, bahkan dalam keadaan tersebut, polisi
mengikuti kemauan korban tentang proses mana (formal atau tradisional) yang ingin ditempuh.34 Banyak
polisi dan petugas distrik rupanya melihat peranan mereka sebagai perantara dalam kasus kekerasan
domestik.35

Banyak petugas distrik dan kelompok kaum perempuan mengatakan bahwa dalam kasus kekerasan
domestik, korban biasanya memberitahu kepala kampung atau kepala desa terlebih dahulu. Mereka
kemudian mencoba untuk menyelesaikan persoalan itu menurut hukum adat. Kalau mereka tidak dapat
menyelesaikannya, atau bila kekerasan telah menyebabkan luka berat terhadap korban, kemudian kepala
kampung atau kepala desa membawa kasus itu kepada polisi.36

26
wawancara di semua distrik
27
wawancara dengan OMT di Distrik 1 (16 September 2004), PNTL di Distrik 5 (28 Agustus 2004) 9 (23 Agustus
2004) dan 10 (17 September 2004)
28
wawancara dengan PNTL di semua distrik
29
wawancara dengan PNTL di Distrik 1 (16 September 2004), Distrik 2 (4 September 2004),
30
wawancara dengan PNTL di Distrik 3 (26 Agustus 2004), Distrik 9 (23 Agustus 2004)
31
wawancara dengan PNTL di Distrik 4 (28 Agustus 2004), Distrik 6 (2 September 2004), Distrik 12 (23 Agustus
2004)
Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh IRC, pola sebagai berikut telah diidentifikasikan (Swaine, opcit, h. 21):
Memberitahu anggota keluarga -> Mediasi oleh anggota keluarga saja dan/atau -> kasus diputuskan oleh Lian
Nain/Dato/Diretus Humanus -> kepada Chefe d’Aldeia -> kepada Chefe de Suco -> kepada Polisi
32
wawancara dengan PNTL di Distrik 12 (23 Agustus 2004)
33
wawancara dengan PNTL di Distrik 3 (26 Agustus 2004), Distrik 5 (28 Agustus 2004), Distrik 6 (2 September
2004), Distrik 7 (5 October 2004), Distrik 12 (23 Agustus 2004).
34
wawancara dengan PNTL di Distrik 12 (23 Agustus 2004), Distrik 9 (23 Agustus 2004), Distrik 10 (17 September
2004),
35
wawancara dengan PNTL dan Administrator Sub-Distrik di Distrik 1(16 September 2004), Distrik 5 (28 Agustus
2004), Distrik 7 (5 October 2004),
36
wawancara dengan Administrator Sub-Distrik di Distrik 1 (16 September 2004),
- - 13
Rupanya ada kepercayaan yang dimiliki banyak orang (polisi, para pemimpin pemerintah, korban dan
keluarganya) bahwa bila proses peradilan tradisional tidak berjalan dengan baik mereka masih dapat
membawa kasus itu ke proses peradilan formal.37

Dalam kasus kekerasan domestik rupanya banyak polisi menggunakan penahanan pra-sidang 72 jam
sebagai waktu untuk membiarkan korban mengambil keputusan tentang apa yang harus dilakukan dalam
kasus itu – untuk menuntut pelaku menurut peradilan formal atau agar pelaku dibebaskan. Yaitu, petugas
PNTL belum tentu menggunakan waktu 72 jam untuk menginvestigasi pelanggaran yang dilaporkan.
Banyak polisi mengatakan bahwa keputusan untuk memproses atau tidak memproses kasus itu melalui
sistem peradilan formal sepenuhnya ada di tangan korban. 38 Di Distrik 10 PNTL mengatakan “kami tidak
pernah memaksa korban untuk mengikuti suatu proses”.39 Hanya di satu distrik PNTL mengatakan bahwa
bahkan apabila korban mencoba untuk mencabut kasusnya, PNTL tetap membawa kasus itu kepada
Pengadilan.40

4.3 KEKERASAN SEKSUAL

Petugas PNTL di semua distrik mengatakan bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan dan bahwa kasus
semacam ini harus ditangani melalui proses peradilan formal, dan bukan melalui proses hukum adat.41
Namun, ternyata bahwa beberapa kasus kekerasan seksual dikembalikan untuk diselesaikan oleh kepala
kampung atau kepala desa.42

Polisi dan petugas pemerintah lokal betul-betul mengetahui tentang kasus mana yang dibawa ke
Pengadilan atau kasus di mana pelaku dipenjarakan.43 Banyak kasus yang disebutkan oleh polisi dan
petugas pemerintah lokal adalah kasus kekerasan seksual terhadap anak.44

PNTL di tiga distrik mengatakan bahwa tidak ada, atau hanya sedikit sekali, kekerasan domestik atau
kekerasan seksual yang berat di distriknya.45 Namun, statistik dari VPU akan didiskusikan di dalam
laporan JSMP berikutnya. mengindikasikan bahwa sebenarnya kekerasan domestik dan kekerasan seksual
dilaporkan di setiap distrik.

4.4 KESULITAN

Sebagian orang yang diwawancarai mengatakan bahwa korban kekerasan domestik dan kekerasan seksual
(terutama anak-anak) merasa terlalu malu (karena akan merusak reputasi keluarganya) atau takut (karena
ada ancaman perceraian atau kekerasan selanjutnya) untuk melaporkan kejahatan tersebut.46

Di satu distrik, lokasi pengadilan yang cukup jauh diidentifikasikan sebagai halangan untuk memenuhi
batasan waktu 72 jam, dan akibatnya kadang-kadang mereka harus membebaskan tersangka.47 Kadang-

37
wawancara dengan Administrator Sub-Distrik di Distrik 10, Administrator Distrik di Distrik 8 dan 11
38
wawancara dengan PNTL di Distrik 3, 5, 10 dan 11
39
wawancara dengan PNTL di Distrik 10
40
wawancara dengan PNTL di Distict 6
41
wawancara dengan PNTL di semua distrik.
42
wawancara dengan Administrator Sub-Distrik di Distrik 5 (28 Agustus 2004), Administrator Distrik di Distrik 8
(17 September 2004), Administrator Sub-Distrik di Distrik 10 (17 September 2004)
43
wawancara dengan Administrator Sub-Distrik di Distrik 1, dan PNTL di Distrik 8, 11 dan 12
44
wawancara dengan Administrator Sub-Distrik di Distrik 1, dan PNTL diDistrik 8
45
wawancara dengan PNTL di Distrik 1, 2 dan 6
46
wawancara dengan Administrator Sub-Distrik di Distrik 2 dan 9, dan Administrator Distrik 5
- - 14
kadang polisi tidak mempunyai makanan (atau uang untuk membeli makanan) yang dapat diberikan
kepada tersangka selama masa penahanan 72 jam. PNTL mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini
mereka harus meminta keluarga tersangka untuk memberikan makanan.48

Semua kelompok yang diwawancarai (polisi, pemerintah lokal dan kelompok-kelompok kaum
perempuan) mencatat bahwa setelah melaporkan kejahatan kekerasan kepada polisi, banyak perempuan
mencabut kasusnya dari proses peradilan formal. Alasan untuk mencabut kasusnya termasuk alasan
keuangan (karena mereka membutuhkan pendapatan suaminya untuk mendukung keluarganya), dan
ancaman dari suaminya dan/atau keluarganya.49

Sebagian besar polisi, petugas pemerintah lokal dan kelompok kaum perempuan yang diwawancarai oleh
kami mengatakan bahwa ada masalah dengan sistem peradilan formal (yang merupakan alasan mengapa
banyak korban tidak mau menggunakan sistem tersebut) yaitu bahwa pengadilan terlalu jauh50 (Pengadilan
Distrik Dili adalah satu-satunya pengadilan yang berfungsi selama lebih dari satu tahun) dan proses
tersebut memakan waktu yang terlalu lama.51 Kesulitan yang dihadapi dalam mengumpulkan bukti medis
yang tepat juga dicatat.52

Di beberapa distrik, PNTL atau pihak pemerintah lokal yang berwenang mengeluh bahwa kadang-kadang
pengadilan mengembalikan kasus kekerasan domestik untuk diselesaikan melalui proses-proses
tradisional. Kebiasaan yang dilakukan pengadilan tersebut dianggap meremehkan beratnya kekerasan
domestik dan meningkatkan kemungkinan bahwa tindakan ini akan diulangi.53

Di satu distrik, PNTL dan Administrator Distrik berpendapat bahwa salah satu masalah yang dihadapi
adalah kenyataan bahwa tidak ada undang-undang tentang kekerasan domestik. Mereka mendorong
pemerintah dan parlemen secepat mungkin merancang dan mengesahkan undang-undang semacam itu.54

Dalam wawancara yang dilakukan untuk laporan dari Unit Keadilan Perempuan yang berjudul “Akses
terhadap Keadilan untuk Perempuan Korban”, VPU di Distrik 6, 12 dan 13 mengatakan sulit untuk
melakukan pekerjaannya karena kekurangan latihan (sebagian petugas VPU belum menerima latihan
untuk bekerja sebagai staf VPU) dan kekurangan peralatan (walaupun setiap distrik diberikan sepeda
motor oleh UNFPA, motor tersebut seringkali rusak, dan PNTL distrik biasanya hanya mempunyai satu
mobil yang berfungsi). Kekurangan mobil menyebabkan kesulitan untuk menjangkau korban, menjemput
tersangka dan menginvestigasi kejahatan yang dilaporkan.

4.5 PELANGGARAN POLISI TERHADAP PEREMPUAN

Di tiga distrik ada laporan tentang pelanggaran terhadap perempuan oleh oknum polisi. Di Distrik 1 OMT
memberitahu JSMP tentang dua kasus yang terjadi pada tahun 2004 dimana dua oknum polisi telah
menghamili (secara suka-sama-suka) dua anak perempuan berusia sekolah menengah dan menolak untuk
menikahi perempuan tersebut atau bertanggungjawab atas anak. Di Distrik 3, (dalam wawancara yang
dilakukan di luar periode waktu untuk penelitian ini) kami diberitahu tentang kasus di mana anak

47
wawancara dengan PNTL di Distrik 8
48
wawancara dengan PNTL di Distrik 11
49
wawancara dengan Administrator Sub-Distrik dan PNTL di Distrik 2, Administrator Sub-Distrik di Distrik 6,
OPMT di Distrik 9, Administrator Distrik 11, dan PNTL di Distrik 12
50
wawancara dengan OPMT di Distrik 2, PNTL di Distrik 4, 7 dan 8, dan Administrator Distrik 11
51
wawancara dengan PNTL di Distrik 5 dan 10
52
wawancara dengan PNTL di Distrik 11
53
wawancara dengan PNTL dan Administrator Sub-Distrik di Distrik 6
54
wawancara dengan PNTL dan Administrator Distrik 7
- - 15
perempuan berusia sekolah menengah merasa tertekan untuk meninggalkan sekolahnya pada pertengahan
tahun 2004 karena seorang oknum polisi ingin menikahinya dan selalu berada di sekitar sekolahnya dan
mencoba memaksa perempuan tersebut agar setuju menikah dengannya. Dia juga menekan keluarganya
agar setuju atas pernikahan. Di Distrik 2 ada laporan tentang pelecehan seksual terhadap petugas polisi
perempuan pada pertengahan tahun 2004 oleh pemimpinnya. Kasus ini dilaporkan kepada markas
nasional tetapi tidak ada tindakan yang diambil terhadap pelaku. JSMP diberitahu bahwa dia telah
dipromosikan untuk menaikkan jabatannya. Di setiap ke-12 distrik yang lain, semua PNTL dan VPU
yang diwawancara mengatakan tidak ada masalah mengenai pelecehan seksual dalam PNTL di distriknya.

5. ANALISA ATAS HASIL WAWANCARA

5.1 PENDAPAT UMUM

Pendapat positif tentang PNTL yang umumnya disampaikan dalam wawancara juga didukung oleh Survei
tentang Persepsi Umum atas Pekerjaaan Kepolisian Timor Leste September 2004 dari Centre for Applied
Research and Policy Studies, Dili Insititute of Technology. Dalam survei tersebut 69.6% responden
mengatakan bahwa mereka percaya dan menghormati pekerjaan polisi. Ada persepsi bahwa polisi
mengenal komunitas dengan baik. Menurut penelitian ini, salah satu aspek di mana masyarakat tidak
puas dengan pekerjaan polisi adalah usaha polisi untuk memberantas prostitusi.55

Berdasarkan hasil wawancara rupanya tidak ada kebiasaan untuk melakukan diskriminasi terhadap
perempuan dalam PNTL. Ada masalah dengan kelalaian dalam investigasi, atau pelanggaran yang
dilakukan sebagian petugas PNTL, namun masalah-masalah ini rupanya tidak menunjukkan bahwa ada
diskriminasi berbasis jender yang meluas dalam lembaga ini.

5.2 KEKERASAN DOMESTIK

Namun, polisi tidak menginvestigasi secara teliti laporan tentang kekerasan domestik. Banyak petugas
PNTL mengembalikan kasus ini kepada keluarga atau petugas di desa agar dapat diselesaikan melalui
proses kekeluargaan atau adat. Hanya sangat sedikit petugas PNTL, petugas pemerintah, atau kelompok
kaum perempuan yang memandang hal ini sebagai masalah, dan antara semua orang yang diwawancarai
tidak ada yang mengeluh bahwa PNTL tidak menginvestigasi kasus semacam ini dengan baik. Rupanya
bagi sebagian petugas PNTL sulit untuk menentukan apa yang merupakan kejahatan dan apa yang tidak,
apabila menangani masalah kekerasan domestik. Rupanya bahwa korban harus mengalami luka yang
sangat berat (biasanya yang menyebabkan perdarahan atau luka fisik) PNTL menganggap kasusnya tepat
untuk ditangani olehnya.56 Dengan mengingat batasan-batasan kultural yang harus diatasi oleh korban
sebelum dia melaporkan kekerasan domestik kepada polisi, kebiasaan ini tidak dapat diterima.

55
Menurut masyarakat masalah utama yang dihadapi PNTL dalam melaksanakan tugasnya adalah bahwa mereka
tidak diberikan latihan yang memadai (26%) agar mereka dapat lebih baik mengerti hukum dan ketertiban, dan untuk
merubah mentalitas polisi agar melayani komunitas dengan cara yang lebih baik. Halangan ini timbul karena
pengrekrutan polisi tidak begitu baik (19.5%), dan ada kekurangan dana agar polisi dapat menjalankan tugasnya
(17.5%). Halangan lain termasuk peralatan dan polisi dan jumlah yang tidak memadai untuk melayani komunitas,
dan camput tangan besar dari luar kepolisian, yang mengurangi kualitas pekerjaannya.
Masyarakat lebih senang jika uang dialokasikan untuk meningkatkan latihan polisi (30.4%), membentuk lebih
banyak pos polisi di tingkat suku (desa) (25%) dan meningkatkan gaji polisi (15.3%). Survei tentang Persepsi
Masyarakat atas Pekerjaan Kepolisian Timor Leste oleh Centre for Applied Research and Policy Studies, Dili
Insititute of Technology, September 2004.
56
Hasil temuan yang serupa disampaikan dalam laporan IRC, opcit Swaine, halaman 14, 16 dan 21
- - 16
Namun demikian, dengan mengingat sumber daya terbatas yang dimiliki PNTL dan pengadilan, tidak
semua kasus kekerasan domestik dapat ditangani oleh sistem peradilan formal, ternyata polisi memerlukan
lebih banyak latihan untuk mengerti bahwa semua kekerasan domestik adalah kejahatan – dan bukan saja
tindakan yang menyebabkan luka fisik yang berat.

Juga, banyak polisi membiarkan korban mengambil keputusan untuk memproses atau tidak memproses
kasus kekerasan domestiknya melalui sistem formal. Walaupun keinginan korban tentu saja penting,
sebagaimana halnya dengan keperluan ekonomi dari korban dan keluarganya, polisi seharusnya juga
mempertimbangkan kepentingan umum untuk menuntut pelaku kekerasan tersebut atas kejahatan itu.
Polisi juga harus mempertimbangkan bahwa penuntutan yang berhasil akan mempunyai dampak untuk
mencegah kejahatan tersebut.

Alasan-alasan mengapa adat (hukum tradisional) lebih disukai daripada sistem peradilan formal untuk
menangani kasus kekerasan domestik diidentifikasikan sebagai berikut: hukum tradisional adalah hukum
yang kami hormati57; proses peradilan formal memakan waktu yang terlalu lama, korban merasa bahwa
sistem ini sia-sia58 dan bahwa sistem ini lebih mendukung tersangka59; adat jauh lebih efektif dan efisien60;
dan pengadilan (sampai saat ini hampir selalu Pengadilan Distrik Dili) terlalu jauh.61 Hanya satu orang
yang diwawancarai mengatakan bahwa dia berpikir bahwa sistem peradilan formal lebih baik daripada
sistem peradilan tradisional. “Karena dengan hukum adat tersangka dapat mengulangi kejahatan” dan
“adat tidak meminta pendapat korban tentang keputusan”.62

Ada keperluan untuk merubah kepercayaan yang ternyata dimiliki oleh polisi, pemimpin pemerintah,
korban dan keluarganya, bahwa proses peradilan formal hanya merupakan opsi yang perlu diterapkan bila
proses tradisional tidak memuaskan. Pada khususnya polisi harus mengerti pentingnya untuk
mengumpulkan bukti yang masih segar dalam menginvestigasi suatu kejahatan. Bila kasus itu sudah
menempuh proses peradilan tradisional, jika dialihkan ke proses peradilan formal, semua bukti sudah
ditinggalkan selama beberapa minggu, dan tidak begitu berguna. Polisi, pada khususnya, harus mendidik
masyarakat tentang nilai dari sistem peradilan formal bila dibandingkan dengan sistem peradilan
tradisional (terutama mengenai perlindungan atas hak-hak perempuan) dan mendorong pemakaian sistem
tersebut.63

Ternyata bahwa banyak petugas PNTL yang diwawancarai tidak mengerti tujuan daripada batasan waktu
72 jam untuk penahanan pra-sidang. Apabila polisi menahan seorang tersangka diharapkan agar mereka
memeriksa dan menginvestigasi kejahatan yang dilaporkan dan menyampaikan informasi itu kepada
pengadilan. Mereka harus membawa tersangka kepada pengadilan dalam waktu 72 jam sejak ditahan agar
Hakim Investigasi dapat memutuskan 1) apakah ada kasus yang perlu diadili (misalnya, apakah
persidangan diperlukan) dan 2) apakah tersangka menimbulkan resiko bagi masyarakat sehingga harus
dimasukkan dalam penahanan pra-sidang. Di Timor Leste diputuskan bahwa penahanan pra-sidang harus
mempunyai batasan 72 jam karena kesulitan untuk membawa tersangka dari tempat penangkapan sampai

57
wawancara dengan Administrator Distrik 8
58
ibid
59
wawancara dengan Administrator Sub-Distrik di Distrik 10
60
wawancara dengan Administrator Distrik 11
61
wawancara dengan PNTL di Distrik 4, 7, dan 8.
62
wawancara dengan Petugas Penghubung Jender di Distrik 8: “Saya kira lebih baik untuk memproses kasus melalui
proses peradilan formal….Paman dari korban yang sebenarnya menerima bayaran dalam bentuk kerbau atau uang
(sebagai kompensasi untuk suatu kejahatan), dan bukan korban. Korban harus diam ….. kalau kedua keluarga
menerima keputusan itu, maka persoalan itu tidak dibawa ke pengadilan.”
63
Hasil temuan yang serupa disampaikan dalam laporan IRC, opcit Swaine, halaman 14, 16 dan 21. Juga lihat
halaman 29 tentang masalah yang berhubungan dengan pendapat yang bias jender dari hasil-hasil tertentu dalam
proses peradilan tradisional.
- - 17
ke pengadilan (sampai baru-baru ini Pengadilan Distrik Dili adalah satu-satunya pengadilan yang
berfungsi dan di banyak distrik hanya ada satu mobil polisi yang berfungsi dan seringkali jalan putus).
Penting agar masa ini terbatas pada 72 jam karena penahanan cukup membatasi hak-hak tersangka.

Namun, wawancara yang dilakukan di banyak distrik menunjukkan bahwa dalam kasus kekerasan
domestik banyak PNTL berpikir bahwa tujuan dari batasan waktu 72 adalah supaya korban kekerasan
dapat memutuskan apakah dia ingin membawa kasusnya melalui sistem peradilan formal atau tidak
(misalnya, untuk memberikan waktu untuk berpikir, atau agar korban dapat berefleksi). Sebagaimana
dibahas di atas, setelah sebuah kasus kekerasan domestik dilaporkan kepada polisi, kasus itu harus
diinvestigasi secara teliti. Tidak jelas bagi JSMP dalam kasus kekerasan domestik ini apakah PNTL
berusaha secara signifikan untuk menginvestigasi pelanggaran yang dilaporkan selama masa 72 jam
tersebut. Jelas bahwa PNTL tidak berusaha untuk membawa tersangka ke pengadilan di Dili. Kalau
korban mengatakan bahwa dia ingin membawa kasus itu kepada pengadilan, dan PNTL tidak mengatur
transportasi untuk membawa tersangka ke pengadilan dalam masa 72 jam, maka penahanan yang
dilakukan setelah masa tersebut akan merupakan pelanggaran hak tersangka dan akan dinyatakan tidak
sah.

5.3 KEKERASAN SEKSUAL

Para petugas PNTL di setiap distrik mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual harus ditangani melalui
proses peradilan formal dan bukun melalui adat.64 Tidak ada pembicaraan tentang jumlah kasus kekerasan
seksual – terutama incest – yang tidak dilaporkan kepada polisi. Namun yang cukup positif adalah
kenyataan bahwa sejumlah kasus kekerasan seksual ternyata telah diproses oleh polisi melalui sistem
peradilan formal, dengan bantuan dan dukungan oleh pemerintah lokal dan tokoh adat. Lagipula, banyak
orang yang diwawancarai mengetahui tentang kasus tertentu yang terjadi di Distriknya, pada khususnya
kalau persidangan telah dimulai dalam kasus itu atau bila tersangka telah ditahan di penjara. Rupanya
bahwa hal ini juga menunjukkan bahwa setidak-tidaknya dalam kasus kekerasan seksual, petugas PNTL
dan anggota komunitas mengetahui dampak dari penuntutan melalui sistem peradilan formal. Diharapkan
bahwa hal ini akan berarti bahwa sistem peradilan formal akan mencegah orang lain supaya tidak
melakukan kekerasan seksual di masa depan.

Yang cukup memprihatinkan adalah kenyataan bahwa sebagian PNTL di distrik tertentu samasekali tidak
mengetahui jumlah kasus kekerasan seksual dan kekerasan domestik yang terjadi di distriknya (beberapa
petugas PNTL menyangkal bahwa kasus semacam ini telah terjadi). Walapun mereka mungkin
memberitahu pewawancara bahwa tidak ada kasus semacam ini karena PNTL berpikir ini akan memberi
kesan yang lebih positif tentang tingkat pencegahan kejahatan di distriknya, juga mungkin bahwa PNTL
tidak menganggap kasus-kasus ini cukup “berat” untuk dicatat. Jelas ada keperluan untuk lebih banyak
latihan bagi polisi tentang beratnya kekerasan seksual dan pentingnya untuk mencatat statistik yang akurat
tentang kasus tersebut.

5.4 KESULITAN

Kesulitan untuk membawa tersangka dari kantor polisi distrik ke pengadilan dalam batasan waktu 72 jam
mudah-mudahan akan sebagian diselesaikan oleh kenyataan bahwa pengadilan-pengadilan distrik
sekarang berfungsi beberapa hari seminggu, satu atau dua kali sebulan di Suai, Oecussi, dan Baucau.
Mudah-mudahan hal ini akan sebagian menyelesaikan masalah kehadiran korban di persidangan. Namun
yang jelas, masalah transportasi PNTL perlu diselesaikan (yaitu, pemeliharaan dan bensin untuk mobil di

64
Wawancara dengan PNTL di semua distrik.
- - 18
distrik). Anggaran belanja juga seharusnya diberikan kepada PNTL agar mereka dapat memberikan
makanan kepada tersangka selama masa penahanan 72 jam. Latihan selanjutnya untuk semua petugas
VPU dan PNTL mengenai cara untuk melakukan investigasi dalam kasus kekerasan domestik dan
kekerasan seksual, dan tentang hak-hak perempuan, juga diperlukan.

Diharapkan bahwa dengan membuka kembali pemrosesan persidangan di Pengadilan-Pengadilan Distrik


oleh hakim-hakim internasional maka akan membantu mempercepat proses peradilan formal di Distrik-
Distrik. Mudah-mudahan hal ini juga akan meningkatkan kepercayaan para korban atas proses peradilan
formal. Jelas juga bahwa ada keperluan untuk lebih banyak dukungan sosial dan keuangan bagi para
korban untuk mendorong mereka agar tidak mencabut kasusnya dari proses peradilan formal.
Diperkirakan bahwa sebagian keperluan tersebut akan terpenuhi dengan pengesahan undang-undang baru
tentang kekerasan domestik.

5.5 PELANGGARAN YANG DILAKUKAN OLEH POLISI TERHADAP PEREMPUAN

Sebelum melakukan penelitian untuk laporan ini JSMP mendengar tentang banyak kasus pelanggaran
polisi terhadap perempuan, namun yang cukup mengagetkan adalah jumlah kecil kasus yang sebenarnya
dilaporkan dalam wawancara. Mungkin orang-orang yang diwawancarai malu atau segan untuk
melaporkan kasus kepada para pewawancara, tetapi cukup positif bahwa masalah ini tidak seluas
dilaporkan. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa rupanya tidak ada diskriminasi berbasis jender yang
meluas dalam lembaga PNTL.

- - 19
6. REKOMENDASI

Setelah menganalisa hasil dari wawancara dan statistik yang dikumpulkan untuk laporan ini, JSMP
memberikan rekomendasi sebagai berikut:

Latihan

• Semua petugas PNTL harus mengikuti latihan yang lebih lanjut tentang apa yang merupakan
kejahatan kekerasan seksual dan kekerasan domestik, serta latihan bagi para petugas PNTL bahwa
kekerasan domestik dan kekerasan seksual adalah kejahatan yang harus diinvestigasi secara teliti,
dan tidak dapat dialihkan kembali ke proses-proses tradisional.

• Semua petugas PNTL harus diberikan latihan yang lebih lanjut tentang unsur kepentingan umum
dalam menginvestigasi kejahatan, dan bahwa penuntutan yang berhasil akan mencegah sebagian
kejahatan di masa depan.

• Masyarakat umum harus dididik bahwa sistem peradilan formal tidak hanya merupakan opsi
kedua bila sistem peradilan tradisional tidak memuaskan. Juga diperlukan pendidikan untuk
masyarakat dan polisi tentang nilai sistem formal bila dibandingkan dengan sistem tradisional.

• Semua petugas PNTL harus mengikuti latihan tentang dampak dari kekerasan domestik terhadap
keluarga, termasuk dampak ekonomi dan sosial. Yaitu, bahwa apabila tuduhan tentang kekerasan
domestik tidak diinvestigasi dengan baik, maka hal ini akan memperkuat kepercayaan yang
dimiliki semua pihak bahwa ini bukan suatu hal yang serius. Dan juga tentang dampak negatif
pada anak selama jangka panjang, pada khususnya resiko bahwa pelanggaran akan diulangi
terhadap generasi yang akan datang.

• Latihan yang lebih lanjut bagi para aktor pengadilan tentang pentingnya untuk tidak
mengembalikan kasus kekerasan domestik dan kekerasan seksual ke proses-proses peradilan
tradisional.

• Latihan yang lebih lanjut bagi PNTL tentang tujuan dari batasan waktu 72 untuk penahanan pra-
sidang.

• Latihan tentang pengelolaan anggaran belanja bagi PNTL untuk menjamin penyediaan bahan
bakar dan pemeliharaan mobil PNTL secara berkelanjutan.

Sumber Daya

• PNTL harus diberikan lebih banyak sumber daya supaya mereka dapat menginvestigasi kejahatan
yang dilaporkan secara lebih teliti dan membawa tersangka ke pengadilan dalam batasan waktu 72
jam untuk penahanan pra-sidang. Dana untuk barang-barang materiil, pada khususnya
transportasi dan komunikasi, dan untuk memelihara sumber daya tersebut.

Statistik

• Pemerintah harus menghimpun dan menerbitkan statistik tentang jumlah pengaduan kekerasan
seksual dan/atau kekerasan domestik yang disampaikan kepada polisi, tindakan yang diambil,

- - 20
jumlah pengaduan yang dialihkan untuk dituntut, dan hasil akhir dari setiap pengaduan. Statistik
ini harus dihimpun bersama di suatu lembaga sentral.65

Undang-Undang

• Rancangan Undang-Undang tentang Kekerasan Domestik dan Rancangan Undang-Undang


Hukum Pidana harus disahkan oleh Dewan Menteri secepat mungkin, dan harus termasuk
jaminan-jaminan hukum yang lebih kuat untuk melindungi hak-hak kaum perempuan di Timor
Leste. Undang-Undang tersebut akan perlu diterjemahkan dan latihan harus diberikan kepada
PNTL dan lembaga pendukung kaum perempuan mengenai penerapannya.

• Regulasi polisi harus membentuk pedoman-pedoman yang sangat jelas untuk intervensi polisi
dalam kasus kekerasan domestik.

• Regulasi Disipliner Kepolisian66 harus dirubah untuk mencantumkan tindakan disipliner bagi
polisi yang menggunakan posisinya untuk melanggar hak-hak, atau melecehkan perempuan.
Penerjemahan dan latihan bagi polisi juga diperlukan berhubungan dengan Regulasi ini.

Tindakan Disipliner

• Tuduhan tentang pelanggaran polisi dan pelecehan seksual terhadap petugas PNTL perempuan
harus diinvestigasi secara teliti dan mereka yang bertanggungjawab harus dikenakan tindakan
disipliner sebagaimana tepat.

• Harus dibentuk mekanisme yang independen untuk memantau dan mengawasi perlakuan polisi
terhadap perempuan korban kekerasan. Polisi yang menolak pengaduan tanpa suatu alasan yang
baik, atau yang mengganggu pengadu atau keluarganya, atau dengan cara lain menghalangi
investigasi harus dikenakan tindakan disipliner sebagaimana tepat.

65
Walapun JSMP dapat mengumpulkan kebanyakan statistik ini (yang akan dibahas dalam laporan bulan Januari
2005), tidak mudah untuk memperoleh akses atas informasi ini dan JSMP perlu melakukan cukup banyak kunjungan
kepada Unit Investigasi Nasional PNTL, kantor Jaksa Agung dan Pengadilan-Pengadilan Distrik.
66
Undang-Undang No.13/2004 “ Regulasi Disipliner Kepolisian Nasional Timor-Leste.
- - 21
7. KESIMPULAN

Laporan ini berkesimpulan bahwa ada sedikit diskriminasi berbasis jender terhadap kaum perempuan oleh
PNTL. Dari hasil wawancara yang dilakukan JSMP dengan para petugas PNTL, pihak pemerintah lokal
yang berwenang, dan kelompok-kelompok kaum perempuan di masing-masing ke-13 distrik, rupanya
bahwa banyak petugas polisi tidak menganggap serius kasus-kasus kekerasan domestik. Kami mencapai
kesimpulan ini karena menurut wawancara, polisi mengembalikan banyak kasus kekerasan domestik agar
ditangani oleh mekanisme kekeluargaan atau peradilan tradisional.

Namun, menurut hasil wawancara, rupanya PNTL menganggap serius tuduhan tentang kekerasan seksual,
dan berpendapat bahwa semua tuduhan tersebut harus ditangani oleh sistem peradilan formal.

Dalam wawancara yang dilakukan kami tidak mendengar tentang kasus kekerasan yang dilakukan oknum
polisi terhadap kaum perempuan. Namun, kami diberitahu tentang dua kasus dimana anak perempuan
berusia sekolah menengah ditinggalkan oleh oknum polisi setelah menghamilinya, dan satu kasus dimana
anak perempuan berusia sekolah menengah diganggu oleh oknum polisi, dan satu kasus pelecehan seksual
di dalam PNTL.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, maka kami tidak percaya bahwa ada bukti tentang diskriminasi
terhadap kaum perempuan yang meluas dalam lembaga PNTL.

Rupanya bahwa masalah-masalah yang berhubungan dengan investigasi yang tidak memadai dalam kasus-
kasus kekerasan domestik, sebagian mencerminkan sikap-sikap masyarakat terhadap kasus semacam ini.
Jadi, agar situasi ini dapat ditingkatkan, dan untuk menjamin bahwa para petugas PNTL memang
menganggap serius kasus kekerasan domestik, adalah penting bahwa PNTL diberikan latihan yang lebih
lanjut tentang apa yang merupakan kekerasan domestik, dan bagaimana caranya untuk menjawab dan
menginvestigasi laporan tentang kekerasan domestik. PNTL juga seharusnya diberikan sumber daya yang
memadai agar dapat menginvestigasi kekerasan domestik secara layak. Juga sangat penting agar
pendidikan publik terus diberikan tentang beratnya kejahatan kekerasan terhadap kaum perempuan, dan
tentang bagaimana sistem peradilan formal dapat membantu perempuan korban kekerasan.

- - 22
8. LAMPIRAN 1 – DAFTAR PERTANYAAN YANG DIAJUKAN DALAM WAWANCARA
PERTANYAAN UNTUK POLISI.

1. Apakah polisi menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat, terlebih kelomppok pendukung kaum
perempuan ?
2. Kenyataan menunjukkan bahwa kasus pemerkosaan dan kasus kekerasan rumah tangga selalu ada,
Bagaimana anda menyelesaikan kasus – kasus ini ?
3. Ketika seorang perempuan melaporkan kasusnya, seperti kasus pemerkosaan dan kasus kekerasan
rumah tangga, apa yang anda lakukan dan metode apa yang anda gunakan untuk memproses kasus
tersebut ?
4. Bagaimana anda melakukan hubungan dengan korban, kalau korban adalah perempuan?
5. Selama ini sudah berapa kasus yang anda tangani, khususnya kasus kekerasan rumah tangga dan kasus
pemerkosaan, dan sudah berapa kasus yang di proses?
6. Bagaimana pendapat anda mengenai korban menarik kembali kasusnya?
7. Hambatan apa yang selama ini anda hadapi dalam menangani kasus pemerkosaan dan kekerasan rumah
tangga?.
8. Apakah ada diskriminasi terhadap polisi perempuan di dalam kantor anda ?

PERTANYAAN UNTUK PEMERINTAH LOKAL.

1. Bagaimana polisi menjalin hubungan dengan masyarakat selama ini ? Apa yang polisi lakukan dalam
menangani kasus kekerasan rumah tangga dan kasus pemerkosaan, apakah di proses berdasarkan hukum
ataukah menyuruh korban agar menyelesaikan secara kekeluargaan ?
2. Apa yang anda lakukan ketika terjadi kasus kekerasan rumah tangga dan kasus pemerkosaan karena anda
adalah seorang pemimpin di suatu distrik/ desa? Apakah polisi memberikan pelayanan yang baik terhadap
perempuan? Apakah ada kasus, polisi menggoda korban (perempuan) ketika memberikan kesaksiannya?
3. Selama ini sudah berapa kasus pemerkosaan dan kasus kekerasan rumah tangga yang anda tangani
berdasarkan proses hukum, dan berapa kasus yang anda tangani berdasarkan proses tradisional (mekanisme
apa yang anda gunakan dalam proses tradisional) berdasarkan apa anda memberikan putusan? Dan
bagaimana pendapat anda mengenai proses hukum?.
4. Kasus apa yang mayoritas terjadi di distrik/ desa/suku anda?
5. Selama ini anda menyelesaikan kasus berdasarkan proses tradisional, apakah ada korban yang menarik
kembali kasus mereka? Apakah korban merasa adil atau tidak dengan putusan anda?

PERTANYAAN UNTUK KELOMPOK PENDUKUNG KAUM PEREMPUAN.

1. Bagaimana hubungan kelompok pendukung kaum perempuan dengan polisi?


2. Program apa saja yang anda lakukan?
3. Dukungan apa yang anda berikan untuk kaum perempuan yang mengalami kasus kekerasan rumah tangga
dan kasus pemerkosaan?
4. Mekanisme apa yang anda lakukan untuk memproses kasus lebih lanjut?
5. Apakah selama ini anda mempunyai hubungan dengan kelompok pendukung perempuan, seperti Fokupers,
ETWAVE, dan Pradet Timor Lorosae?

- - 23
LAMPIRAN 2 – HASIL DARI WAWANCARA YANG DILAKUKAN DI 13 DISTRIK
Distrik 1 16 September 2004

Administrator Sub-Distrik
ƒ Ada hubungan baik antara komunitas dan polisi. Kami selalu bekerja sama dengan polisi untuk
menyelesaikan kasus semacam ini.
ƒ Biasanya dalam kasus-kasus kekerasan domestik kami menyelesaikannya melalui hukum adat di kampung
atau desa, oleh kepala atau wakil kepala kampung/desa. Kepala desa memberikan surat kepada korban
untuk dibawa kepada Administrator Distrik, kemudian kami membahas persoalan itu. Kalau pelaku
mengakui kesalahannya, dan ingin berdamai, maka kemudian kami berusaha untuk menyelesaikan masalah
itu. Ini terjadi apabila kasusnya kurang berat. Namun kalau pelaku telah memukuli korban sampai dia
mengalami luka-luka yang berat, atau berdarah, kami membawa kasus itu kepada polisi. Kalau kasusnya
berat, maka dibawa ke pengadilan.
ƒ Pada tahun 2002 dan 2004 ada dua kasus kekerasan seksual. Kedua kasus ini dilakukan terhadap anak.
Kedua tersangka telah di penjara. Kasus ini memang merupakan kejahatan, sehingga polisi yang menangani
kasus tersebut.

Komandan Sub-Distrik
ƒ Pada khususnya di sub-distrik dan desa-desa, PNTL mempunyai hubungan yang sangat baik dengan
komunitas dan para tokoh masyarakat.
ƒ Kekerasan domestik – kalau dilaporkan oleh korban, kami menghubungi tersangka dan membawanya
kepada polisi. Kami melakukan investigasi dan setelah itu kami mencoba untuk melakukan mediasi. Kami
bertanya kepada korban apakah dia ingin menyelesaikan masalah itu melalui pengadilan atau hukum adat.
Namun, seringkali korban ingin menyelesaikan masalah itu melalui hukum adat, sehingga dalam keadaan
seperti itu kami membawa kasus itu kepada Kepala Desa.
ƒ Kami belum ada kasus dimana korban mengalami luka-luka berat. Hanya ada kasus-kasus dimana laki-laki
menampar isterinya.
ƒ Kami belum ada kasus kekerasan seksual.

OMT
ƒ PNTL mempunyai hubungan baik dengan komunitas, dan kami juga mempunyai hubungan baik dengan
polisi.
ƒ Dalam beberapa kasus kami membawa korban kepada polisi, untuk membantu korban berbicara pada saat
diperiksa. Petugas polisi perempuan yang selalu mengajukan pertanyaan.
ƒ Kasus-kasus pada tahun 2004:
- Satu anak perempuan berusia sekolah menengah adalah pacar seorang oknum polisi. Oknum polisi
tersebut janji untuk menikahi perempuan itu, dan kemudian berhubungan seks dengannya. Setelah
ketiga kali mereka berhubungan seks, perempuan itu memberitahu orang tuanya. Tetapi oknum polisi
tersebut tidak mau menikahinya. Sekarang anak perempuan itu masih belajar di sekolah. Pria tersebut
dipanggil untuk menyelesaikan masalah itu dengan keluarganya, tetapi dia mengatakan bahwa dia tidak
ingin bersama dengan perempuan itu lagi. Kami mencoba untuk menyelesaikan kasus itu dengan
Komandan Polisi.
- Ada anak perempuan lain yang dihamili oleh seorang oknum polisi. Anak perempuan itu telah keluar
dari sekolah, tetapi kami berbicara dengan kepala sekolah dan meminta dia memberi izin agar anak
perempuan itu dapat menyelesaikan pendidikannya.
ƒ Kekerasan domestik: kalau suami memukuli isterinya sampai bengkak, korban datang ke OMT. Kalau
korban ingin pergi ke polisi, polisi membawanya ke rumah sakit dan menangkap suaminya (tersangka) dan
melakukan investigasi.

Distrik 2 4 September 2004

OPMT
ƒ Hubungan antara kelompok kaum perempuan dan PNTL berjalan dengan baik.
ƒ Banyak kasus kekerasan domestik dan kekerasan seksual diselesaikan melalui adat.

- - 24
ƒ Masih banyak korban kekerasan domestik yang belum menerima keputusan dalam kasusnya. Satu masalah
adalah bahwa kadang-kadang tersangka tidak menghadiri persidangan. Masalah lain adalah bahwa
pengadilan terlalu jauh.

Administrator Sub-Distrik
ƒ Hubungan antara PNTL dan masyarakat berjalan dengan baik.
ƒ Perempuan merasa malu untuk memberitahu polisi tentang kekerasan yang dilakukan terhadapnya. Di desa
mereka melakukan mediasi. Kalau mediasi tidak mencapai kesimpulan yang baik, mereka membawa
kasusnya ke proses peradilan formal.
ƒ Administrator sub-distrik tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan kasus kekerasan domestik,
maka kami membawa kasus ini kepada polisi.
ƒ Saya belum mendengar tentang kasus kekerasan seksual terhadap anak. Korban merasa terlalu malu untuk
memberitahu orang lain, mereka menyelesaikan kasus ini di dalam keluarga karena mereka takut akan
mencemari nama keluarga.
ƒ Korban mencabut kasusnya karena mereka takut, dan memikirkan suaminya.
ƒ Untuk membawa kasus melalui proses peradilan formal kita harus memikirkan faktor-faktor ekonomi.
Biasanya Administrator Distrik melihat situasi ekonomi dan menulis surat kepada pengadilan. Orang-orang
sering mencabut kasusnya karena proses peradilan formal tidak berjalan dengan baik.
ƒ Ada kelompok kaum perempuan di sub-distrik yang bekerja sama dengan kantor hak asasi manusia, tetapi
saya tidak tahu mengenai proses yang mereka gunakan untuk membantu perempuan.

Wakil Komandan PNTL


ƒ Ada hubungan baik antara PNTL dan masyarakat. Polisi dan Administrator Distrik pergi ke masyarakat dan
memberitahunya tentang pekerjaan polisi.
ƒ Ada banyak kasus kekerasan domestik, kami belum ada kasus kekerasan seksual – mungkin sudah ada
tetapi sampai sekarang belum ada yang melaporkan kepada kami. Kalau itu terjadi kami harus membawa
kasusnya kepada pengadilan.
ƒ Kadang-kadang kasus kekerasan domestik diproses, tetapi korban mencabut kasusnya demi berbagai
macam alasan, sehingga kami mencoba untuk menyelesaikan kasus menurut adat.
ƒ Ada kasus diskriminasi di dalam lembaga kepolisian yang terjadi pada bulan Mei/Juni 2004. Oknum
tersebut sekarang memegang jabatan penting dalam PNTL di distrik ini menyentuh petugas polisi
perempuan di dalam kantor polisi. Kasus ini diselesaikan pada tingkat nasional tetapi tidak ada hasil.
Petugas polisi perempuan sekarang sudah mutasi kerja dan tidak lagi bekerja dengan oknum tersebut.
Perempuan tersebut telah mempertanyakan kepada Markas Nasional tentang kemajuan kasusnya tetapi
sampai sekarang belum ada hasilnya.

Distrik 3 26 Agustus 2004

Komandan PNTL
ƒ Hubungan dengan komunitas berjalan dengan baik.
ƒ Ada banyak kasus kekerasan domestik.
ƒ Kadang-kadang kami menahan tersangka selama satu hari dan kemudian isterinya datang untuk
menemuinya agar dapat menyelesaikan masalah secara kekeluargaan, tetapi kadang-kadang VPU melihat
apakah kasus itu berat atau tidak.
ƒ Para korban mencabut kasusnya demi berbagai macam alasan, termasuk mereka mempunyai banyak anak,
suaminya mencari uang.
ƒ 70% kasus diselesaikan secara kekeluargaan. Kalau korban mengalami luka berat, kami tidak pernah
membiarkan kasus itu untuk diselesaikan secara kekeluargaan.
ƒ Dalam suatu kasus suami memukuli isterinya sampai isterinya keguguran. Dalam kasus ini kami meminta
Fokupers untuk membantu korban. Tersangka ditahan selama 6 – 9 bulan. Kemudian proses itu berhenti
begitu saja.

Administrator Sub-Distrik
ƒ Ada hubungan baik antara polisi dan komunitas.
ƒ Kekerasan domestik – korban membawa kasus kepada polisi, polisi mengatakan bahwa ini kasus perdata,
sehingga mengirimnya kepada Administrator Sub-Distrik untuk diselesaikan. Kalau kasus itu menyangkut
kekerasan seksual maka kasus itu harus dibawa ke pengadilan.
- - 25
ƒ Ada juga kasus dimana anak perempuan dihamili, tetapi laki-laki tidak mau bertanggungjawab, sehingga
biasanya orang tua menjodohkan anak perempuan itu agar menikah dengan laki-laki lain.
ƒ Dalam ketujuh kasus yang telah dibawa kepada Administrator Sub-Distrik, dua kasus telah dibawa ke
pengadilan untuk diproses.
ƒ Ada juga kelompok kaum perempuan yang membantu perempuan selama ini, bersama dengan keluarga.
ƒ Tidak banyak kasus kekersan seksual.

Distrik 4 31 Agustus

PNTL
ƒ Hubungan dengan komunitas selalu baik.
ƒ Polisi selalu bekerja sama dengan kelompok-kelompok kaum perempuan.
ƒ Mengapa perempuan mencabut kasusnya? – para korban selalu berpikir bahwa proses hukum ditunda-tunda.
Ada masalah keuangan untuk banyak korban. Kalau proses itu akan dibawa ke Dili, sebagian korban tidak
mampu pergi ke sana.

VPU
ƒ VPU bekerja secara efektif dengan komunitas, kelompok-kelompok kaum perempuan dan lembaga-lembaga
lain. VPU melakukan sosialisasi sekali sebulan di sub-distrik dan desa-desa. VPU bekerja sama dengan
kelompok-kelompok kaum perempuan untuk memberi bantuan (konseling dan dukungan mental).
ƒ Sampai baru-baru ini hanya ada satu anggota staf untuk VPU, sekarang telah ada penambahan staf yang
pindah dari Dili.

Kelompok Kaum Perempuan.

ƒ Kelompok kaum perempuan ini bekerja sama dengan polisi. Apabila korban pergi ke polisi, polisi selalu
memanggil kelompok kaum perempuan ini untuk memberi bantuan. Kami selalu membawa korban ke
rumah sakit kalau dia terluka. Kami juga mempunyai kamera dan mengambil foto luka-luka korban untuk
mengumpulkan bukti.
ƒ Kelompok ini mempunyai rumah aman dan melakukan pendidikan publik tentang kekerasan domestik.

Distrik 5 28 Agustus 2004

Administrator Sub-Distrik
ƒ Polisi mempunyai hubungan baik dengan komunitas.
ƒ Kasus kekerasan domestik – kembali ke agama, diselesaikan dalam rumah tangga. Kami menyelesaikannya
dengan mediasi dan bekerja dengan gereja untuk memberikan konseling. Kalau kasus itu adalah kejahatan,
maka dibawa kepada polisi. Kadang-kadang apabila korban ditangkap, sebelum waktu 72 jam berakhir,
korban menangis dan meminta agar suaminya dibebaskan.
ƒ Sampai sekarang kelompok-kelompok kaum perempuan tidak membantu perempuan yang mengalami
kekerasan domestik.
ƒ Kami mencari cara-cara untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual seperti ini. Kekerasan seksual terjadi
karena pasar malam.

Wakil PNTL
ƒ Ada hubungan baik antara PNTL dan masyarakat.
ƒ VPU memperhatikan kasus kekerasan seksual dan kekerasan domestik. Petugas polisi perempuan biasanya
memelihara kasus ini karena kadang-kadang korban merasa takut atau malu untuk memberikan pernyataan
yang akurat.
ƒ Kekerasan domestik – polisi menangani kasus ini sesuai dengan keinginan korban. Kadang-kadang apabila
suami tidak melakukan kekerasan yang sangat berat, isterinya datang untuk mencabut kasusnya. Kalau
kekerasan sangat berat, maka kami membawa kasus itu kepada pengadilan, tanpa melihat keinginan korban.
ƒ Dalam kasus-kasus kekerasan seksual, polisi biasanya membawa proses itu ke pengadilan. Kami mengalami
banyak kesulitan mengenai barang bukti. Selain itu, jumlah dokter terbatas.
ƒ Polisi selalu menghubungi Fokupers.
- - 26
ƒ Kesulitan – proses pengadilan selalu memakan waktu yang lama sekali.

VPU
ƒ Kami mempunyai hubungan baik dengan OMT dan OPMT dan kami selalu melakukan diskusi dengan
mereka melalui tugas pemolisian masyarakat.67
ƒ Kalau ada keluhan tentang kekerasan domestik kami selalu siap membantu tetapi kalau korban telah terluka
kami membawanya ke rumah sakit. Kemudian kami meminta suaminya untuk menjelaskan apa yang terjadi.
Korban selalu ingin menyelesaikannya secara kekeluargaan, tetapi apabila korban mengalami luka berat
kami mencoba untuk menyelesaikan masalah itu.
ƒ Kesulitan yang kami hadapi dalam kasus kekerasan domestik adalah bahwa korban memberitahu kami
bahwa dia telah dipukul, kami mendengar pernyataan kemudian kami menjemput tersangka untuk
melakukan investigasi dan menahan dia dalam sel selama 72 jam. Tetapi isterinya mencabut kasus karena
dia mempunyai banyak anak dan merasa sangat beremosi tentang apa yang dia telah ceritakan kepada kami.
Hal ini membuat kami sangat bingung tentang bagaimana kami dapat menyelesaikan masalah itu. Tetapi
kami menghubungi kepala desa untuk menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan dan kami juga
mengikuti perkembangan kasus itu sampai selesai.
ƒ Dalam kasus kekerasan seksual kami tidak pernah menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan tetapi
selalu membawa kasus ini, karena kami menganggapnya sebagai kejahatan.

Ibu Bupati
ƒ Hubungan antara PNTL dan komunitas selalu baik.
ƒ VPU tidak pernah menghubungi kami tentang kasus yang menyangkut perempuan.
ƒ Tetapi dalam kasus seperti kekerasan domestik, kalau terjadi pada malam hari, maka polisi datang dan
menghubungi suami saya. Dia selalu siap untuk membantu. Saya juga mencoba untuk menyelesaikan kasus
ini secara kekeluargaan. Tetapi dalam kasus di mana isterinya telah mengalami luka berat, kami harus
membawa kasus itu kepada polisi. Tetapi kadang-kadang korban tidak berharap agar kasusnya diselesaikan
melalui sistem formal. Kami menyelesaikannya melalui adat, dan setelah itu mereka baik-baik saja.
ƒ Korban kekerasan seksual takut untuk menyelesaikan kasus kekerasan ini dengan polisi.
ƒ OMT dan OPMT belum mempunyai suatu program khusus.

Distrik 6 2 September 2004

PNTL
ƒ Hubungan antara PNTL dan komunitas tidak baik pada tahun yang lalu tetapi sekarang sudah baik.
Komunitas selalu memberitahu kami tentang masalahnya.
ƒ Kami selalu membawa kasus kekerasan domestik kepada pengadilan, tetapi kalau mereka hanya saling
memarahi satu sama lain, kami menyerahkannya kepada kepala desa. Kalau korban terluka kami membawa
masalah itu kepada pengadilan.
ƒ Kalau korban telah ditangkap, tetapi dalam batasan waktu 72 jam korban datang untuk mencabut kasusnya,
kami tetap melanjutkan dengan membawa kasus ke pengadilan.
ƒ Di distrik ini tidak banyak kasus kekerasan seksual. Beberapa kasus kekerasan seksual diselesaikan secara
kekeluargaan. Kalau kami mendengar tentang kasus semacam ini kami mencoba untuk menyelesaikannya
melalui hukum.

Administrator Sub-Distrik
ƒ Hubungan antara PNTL dan komunitas selalu baik.
ƒ Dalam kasus kekerasan domestik, kalau isterinya mengalami luka berat dia datang dan memberitahu polisi.
Polisi kemudian mencari suami untuk memperoleh klarifikasi. Apabila korban mengalami luka berat, polisi
menahan tersangka dalam sel selama 72 jam, tetapi kadang-kadang, walaupun 72 jam belum berakhir,
korban datang dan mencabut kasusnya demi berbagai macam alasan, termasuk diancam oleh keluarga laki-
laki. Kadang-kadang apabila laki-laki keluar dari penjara dia menceraikan isterinya, dan polisi harus
membantu untuk menyelesaikan kasus semacam ini.

67
Pemolisian masyarakat/ berbasis komunitas adalah: pelaksanaan pelayanan pemolisian, sebagai akibat dari
kemitraan antara komunitas dan polisi yang mengidentifikasikan dan menyelesaikan persoalan agar ketertiban social
dapat dipertahankan.
- - 27
ƒ Kami dapat melihat bahwa hukum adat sangat kuat, apabila suami dan isterinya bertengkar, ini seperti
piring dan sendok, sehingga diselesaikan secara kekeluargaan, tetapi kalau kita juga melihat hukum formal
maka kekerasan domestik adalah kejahatan, karena seringkali korban mengalami luka berat.
ƒ Seringkali, proses berjalan, tetapi pengadilan mengembalikannya. Jadi saya sungguh berharap agar
pengadilan memandang kekerasan domestik sebagai kejahatan, karena kalau tidak, maka kekerasan
domestik akan terjadi lebih sering lagi.
ƒ Ada banyak kasus disini dimana perempuan dan laki-laki muda yang suka sama suka, kemudian perempuan
menjadi hamil dan kadang-kadang laki-laki menyangkal bahwa dia adalah ayah bayi itu, atau mengatakan
bahwa dia tidak menginginkan bayi itu.

Distrik 7 5 Oktober 2004

PNTL
ƒ Ada hubungan baik antara PNTL dan Komunitas. Kami selalu pergi ke desa dan kampung untuk
memperkuat hubungan baik dengan rakyat. Kami juga mempunyai hubungan baik dengan kelompok kaum
perempuan seperti OPMT.
ƒ Seringkali kami melihat bahwa kasus kekerasan domestik terjadi tetapi seringkali korban mencabut
kasusnya karena ingin menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Namun dalam kasus di mana korban
mengalami luka berat kami melanjutkan proses itu.
ƒ Apabila kami melakuan mediasi kami selalu menulis surat yang menyatakan bahwa hal ini tidak akan
terjadi lagi. Kalau terjadi lagi, maka kami akan melanjutkan proses ini.
ƒ Tetapi belum ada undang-undang tentang kekerasan domestik. Kami meminta parlamen untuk
mengesahkan undang-undang tentang kekerasan domestik secepatnya karena ada banyak kasus kekerasan
domestik. Seringkali apabila suami dan isteri saling memukuli satu sama lain, orang lain mengatakan ini
seperti piring dan sendok yang bentrok. Maka, saya meminta pemerintah dan parlemen untuk secepatnya
mengesahkan undang-undang tentang kekerasan domestik.
ƒ Kami mengalami banyak kesulitan, misalnya, dalam kasus kekerasan seksual, seringkali kasus ini terjadi
dalam desa dan kampung yang jauh dari polisi. Namun kami tidak mempunyai transportasi, sehingga hal ini
menimbulkan banyak kecemasan untuk korban, dan seringkali mereka tidak mau melanjutkan kasusnya.

Administrator
ƒ Ada hubungan baik antara PNTL dan komunitas.
ƒ Menurut apa yang saya lihat, kasus kekerasan seksual selalu dilanjutkan, tetapi kadang-kadang mereka
mengirim kasus kekerasan domestik kepada saya (sebagai administrator) dan kadang-kadang saya
menyelesaikannya. Seringkali apabila proses itu dibawa ke pengadilan korban mencabut kasusnya,
sehingga VPU menghubungi saya untuk menyelesaikan kasus itu.
ƒ Saya juga mendengar tentang Rancangan Undang-Undang tentang Kekerasan Domestik, dan saya juga
meminta parlemen untuk secepatnya mengesahkan undang-undang ini.

Distrik 8 17 September 2004

Administrator Distrik
ƒ Ada hubungan baik antara PNTL dan komunitas.
ƒ Kasus percobaan perkosaan ditangani oleh kepala desa atau kepala kampung. Apabila suatu kasus terjadi,
korban pergi ke kepala desa atau kepala kampung dan kemudian kepada polisi. Kalau kasus tidak
diselesaikan pada tingkat desa atau kampung, atau apabila merupakan kejahatan berat, maka mereka pergi
ke polisi, untuk meminta perlindungan dari polisi.
ƒ Hukum adat adalah hukum yang kami hormati. Lebih baik jika diselesaikan melalui hukum adat. Kalau ada
masalah pada tingkat dasar kami dapat membawa masalah itu pada proses formal. Biasanya tokoh adat
melakukan mediasi.
ƒ Proses peradilan formal terlalu lama, korban merasa proses ini sia-sia saja.

PNTL
ƒ Ada hubungan baik antara PNTL dan komunitas. Setiap hari ada komunikasi baik dengan sekolah-sekolah.
Kami juga mempunyai hubungan baik dengan kelompok-kelompok kaum perempuan.

- - 28
ƒ Kasus kekerasan seksual terjadi pada anak-anak yang semuda tiga tahun. Ada juga kasus dimana seorang
ayah memperkosa anak perempuannya yang berumur 18 tahun. Kasus itu sekarang diproses di pengadilan.
ƒ Kasus kekerasan seksual tidak pernah diselesaikan di desa.
ƒ Kesulitan yang dihadapi polisi untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual adalah: transportasi;
pengadilan terlalu jauh, dan kadang-kadang karena jarak jauh kami tidak dapat memenuhi batasan waktu 72
jam, supaya kami harus membebaskan tersangka.

VPU
ƒ VPU mempunyai hubungan dengan OMT dan OPMT. Kami menghubungi Pradet dan bekerja sama dengan
Fokupers.
ƒ Kesulitan: apabila korban tidak tahu bagaimana cara untuk berbicara (dengan jelas) sulit mengerti apa yang
terjadi.
ƒ Kalau suatu kasus terjadi pada malam hari, keluarga korban atau kepala desa atau kepala kampung
menghubungi VPU di rumah.
ƒ Kami juga melakukan pendidikan publik di desa-desa tentang kekerasan domestik dan kekerasan seksual.
ƒ VPU mempunyai kamar aman.

Petugas Penghubung Jender


ƒ Apabila polisi menyelesaikan kasus, proses ini memakan waktu lama, karena mereka harus pergi ke Dili
dan ada masalah dengan transportasi. Kalau pengadilan bekerja di sini, saya kira sedikit lebih baik.
ƒ Saya kira lebih baik untuk memproses kasus melalui proses peradilan formal. Karena kalau adat diterapkan
tersangka dapat mengulangi kejahatan. Paman dari korban sebenarnya menerima bayaran kerbau atau uang
(sebagai kompensasi untuk kejahatan), dan bukan korban. Korban harus diam. Adat tidak bertanya korban
tentang pendapatnya atas keputusan. Kalau kedua keluarga menerima keputusan, maka tidak dibawa ke
pengadilan.

Distrik 9 23 Agustus 2004

Camat
ƒ Polisi mempunyai kewenangan tetapi kadang-kadang tidak bekerja sesuai dengan kemampuannya.
Masyarakat selalu kecewa. Tetapi sebagian polisi bekerja dengan baik dan selalu membawa proses itu
kepada pengadilan. Kadang-kadang korban meminta agar masalah itu diselesaikan secara kekeluargaan.
ƒ Ada banyak kelompok kaum perempuan tetapi kami tidak tahu apa yang mereka lakukan. Kelompok
tersebut mempunyai masalah keuangan. Mereka selalu berbicara tentang hak kaum perempuan tetapi tidak
pernah mendampingi korban selama proses. Mereka juga tidak memberikan informasi yang memadai
kepada kaum perempuan pada tingkat dasar.
ƒ Ada juga kasus di mana perempuan dihamili tetapi laki-laki tidak mau bertanggungjawab. Kelompok-
kelompok kaum perempuan tidak pernah membantu dalam kasus semacam ini.
ƒ Dalam kasus kekerasan domestik kadang-kadang perempuan takut untuk melaporkan kekerasan karena
suaminya mengancam untuk menceraikannya.
ƒ Saya tidak tahu tentang kasus kekerasan seksual yang diselesaikan menurut hukum adat. Kami tidak
mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan kasus semacam ini, hanya polisi dapat menyelesaikannya.
ƒ Mengenai korban yang mencabut kasus, masalah ini timbul karena hubungan keluarga dan hal ini sesuai
dengan tradisi Timor Leste. Kadang-kadang mereka ingin menyelesaikan kasus ini melalui hukum tetapi
mereka kekurangan informasi tentang proses hukum. Juga, kadang-kadang perempuan tidak mempunyai
kemampuan untuk melanjutkan kasusnya.

PNTL
ƒ Ada hubungan baik antara polisi dan komunitas.
ƒ Untuk menyelesaikan kasus kekerasan domestik dan kekerasan seksual, kami membawa kasus itu ke
pengadilan, dan kadang-kadang kami mendatangi keluarga dan melihat masalah.
ƒ Karena perempuan selalu malu untuk memberitahu apa yang terjadi, kami selalu mengatur supaya seorang
petugas perempuan VPU melakukan investigasi.
ƒ Kalau korban mencabut kasusnya, atau tidak ingin melanjutkkannya, polisi mengikuti kemauan korban.
ƒ PNTL di distrik ini tidak tahu apa-apa tentang program kelompok-kelompok kaum perempun di distrik ini.

- - 29
ƒ Kesulitan – kadang-kadang dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak, keluarga ingin
menyelesaikannya. Tetapi kalau kasus itu merupakan kejahatan kami membawanya kepada jaksa atau
hakim investigasi untuk diproses secara formal.

OPMT
ƒ Ada hubungan baik antara polisi dan komunitas, tetapi sebagai kelompok kaum perempuan kami tidak
pernah mempunyai hubungan dengan PNTL.
ƒ Kami belum pernah memberikan konseling kepada perempuan yang mengalami kekerasan karena kami
tidak tahu bagaimana proses peradilan formal berjalan.
ƒ Kami selalu bekerja dengan pemerintah distrik untuk melakukan program pendidikan publik dan kampanye
di sub-distrik.
ƒ Kami tahu bahwa di Dili ada kelompok seperti ETWAVE, Fokupers dan Pradet, tetapi sampai sekarang
kami tidak mengetahui pekerjaan mereka karena kami tidak pernah bekerja sama dengan mereka.
ƒ Banyak perempuan mencabut kasusnya karena alasan keuangan – mereka mempunyai banyak anak dan
tidak ada yang dapat mendukung anak-anak kalau suaminya dipenjarakan.

Distrik 10 17 September 2004

Camat
ƒ Apabila rakyat ada masalah, polisi selalu membantu. Tetapi kadang-kadang polisi tidak mengikuti
keinginan rakyat.
ƒ Kasus kekerasan seksual diselesaikan melalui adat. Kalau tidak diselesaikan dengan baik, maka dibawa ke
Administrator Sub-Distrik dan kemudian kami duduk bersama dengan polisi untuk menyelesaikan kasus
tersebut. Dalam satu kasus saya menyelesaikannya, tetapi kemudian kasus itu dibawa ke pengadilan (empat
laki-laki memperkosa seorang perempuan).
ƒ Kadang-kadang apabila korban pergi ke polisi, polisi tidak menyelesaikan kasus, tetapi mengembalikannya
kepada Administator Sub-Distrik agar diselesaikannya. Kalau Administator Sub-Distrik tidak dapat
menyelesaikan kasus itu, maka kami membawanya ke pengadilan.
ƒ Polisi melakukan investigasi bila itu kejahatan berat.
ƒ Kalau kasus dibawa ke proses peradilan formal, korban selalu sedih karena proses terlalu lama. Korban
merasa bahwa undang-undang (proses peradilan formal) lebih mendukung tersangka. Kalau pengadilan
dapat dibentuk di sini maka proses itu akan lebih cepat.
ƒ Kasus kekerasan domestik selalu diselesaikan di komunitas.

PNTL
ƒ Ada hubungan baik antara PNTL dan komunitas.
ƒ Kalau korban mengalami luka berat, korban datang dan memberi informasi kepada polisi. Polisi menjemput
tersangka untuk melakukan investigasi. Setelah 72 jam, itu tergantung pada korban. Kalau korban ingin
membawa kasus itu kepada pengadilan, kami mengikuti kemauan korban.
ƒ Dalam kasus kekerasan seksual, pada khususnya untuk anak-anak, kami selalu mengendalikan proses itu,
tetapi kami juga mengikuti kemauan korban. Kalau korban ingin menyelesaikan kasus itu melalui proses
formal, maka kami melakukan demikian. Kadang-kadang korban ingin menyelesaikannya melalui proses
tradisional. Kami tidak pernah memaksa korban untuk mengikuti suatu proses.
ƒ Petugas polisi perempuan selalu menginvestigasi kasus-kasus yang menyangkut perempuan.
ƒ Ada juga kelompok-kelompok kaum perempuan yang membantu VPU. Kalau korban takut untuk pergi ke
polisi, kelompok tersebut membantu untuk membawa korban kepada polisi.

OMT
ƒ Kami mempunyai hubungan baik dengan polisi. Apabila kami melakukan kegiatan kami mengundang
PNTL.
ƒ PNTL selalu menangani dengan baik kasus yang menyangkut perempuan. Mereka duduk bersama dengan
perempuan dan menyelesaikan kasus itu bersama. Kalau korban terluka, polisi menghubungi rumah sakit.

- - 30
Distrik 11 11 September 2004

Administrator Distrik
ƒ Ada hubungan baik antara PNTL dan komunitas.
ƒ Mengenai kekerasan seksual, kadang-kadang korban tidak memberitahu polisi.
ƒ Kelompok-kelompok kaum perempuan selalu membantu dan membuat korban merasa berani untuk
memberitahu kasusnya kepada polisi.
ƒ Saya tahu bahwa kekerasan domestik adalah kejahatan, tetapi seringkali diselesaikan secara kekeluargaan.
Karena polisi cukup jauh, mereka pergi ke Kepala Desa, Kepala Kampung atau para tokoh adat. Mereka
menyelesaikan kasus melalui adat karena alasan waktu dan uang. Kalau kasus diselesaikan melalui adat
korban merasa senang karena proses itu selesai. Kalau korban dan keluarganya tidak puas dengan
keputusan, mereka dapat membawa kasus itu ke proses peradilan formal. Saya berpikir bahwa
menyelesaikan kasus ini melalui adat lebih baik, karena lebih efektif dan efisien.
ƒ Kalau kasus itu dibawa ke pengadilan, akan memakan waktu yang jauh lebih lama dan membuang-buang
waktu dan uang, karena pengadilan jauh. Selain itu, seringkali korban tinggal di desa dimana transportasi
tidak ada. Korban tidak dapat pergi dan memberitahu polisi sehingga mereka harus menyelesaikan masalah
melalui hukum adat. Saran: membentuk pengadilan di setiap Distrik.
ƒ Kadang-kadang polisi mencoba untuk melanjutkan proses itu, tetapi korban dan keluarganya datang untuk
mencabut kasus itu. Seringkali korban mencabut kasusnya karena suamina mengancam untuk
menceraikannya.

PNTL
ƒ Ada hubungan baik antara PNTL dan komunitas. Apabila masalah timbul komunitas sering melaporkan
masalah tersebut kepada polisi.
ƒ Kasus kekerasan seksual adalah kejahatan. Kami mengambil kasus ini dengan mengikuti proses hukum,
tetapi kadang-kadang korban ingin menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan, tetapi kasus ini harus
dibawa ke pengadilan. Kami tidak pernah melakukan mediasi dalam kasus kekerasan seksual. Dua
tersangka sekarang berada di penjara. Kami selalu membawa korban kepada dokter untuk diperiksa. Kalau
dokter tidak ada, kami membawa korban ke Dili. Kami menghadapi kesulitan untuk memperoleh bukti
tentang kekerasan seksual.
ƒ Dalam kasus kekerasan domestik, seringkali korban mencabut kasusnya setelah 72 jam, biasanya karena
membutuhkan suami untuk memperoleh uang dan makanan untuk rumah tangga.
ƒ Kesulitan: kami menahan tersangka selama 72 jam, tetapi kami tidak mempunyai anggaran belanja untuk
memberikan makanan kepada tersangka. Jadi kami harus meminta keluarga tersangka untuk memberi
makanan kepada tersangka.
ƒ Kami juga tidak mempunyai rumah aman untuk para korban. Kami juga menghadapi masalah dengan
transportasi.
ƒ Tidak ada kelompok kaum perempuan di distrik ini. Kami selalu menghubungi Fokupers. VPU juga
mempunyai hubungan baik dengan Pradet.

OMT
ƒ PNTL mempunyai hubungan baik dengan komunitas.
ƒ Ada kasus dimana korban merasa tidak adil karena kasus belum diselesaikan.
ƒ Dalam kasus kekerasan seksual, kadang-kadang orang tua korban datang dan meminta bantuan dari OMT.
Kami mendampingi korban dari dokter kepada polisi. Kemudian kami juga mendukung korban supaya
merasa berani untuk menjelaskan apa yang terjadi.
ƒ Sebagian perempuan takut untuk melanjutkan kasusnya.

Distrik 12 23 Agustus 2004

PNTL
ƒ PNTL mempunyai hubungan baik dengan komunitas.
ƒ Kami selalau membawa kasus kekerasan domestik ke pengadilan. Tetapi kadang-kadang korban mencoba
untuk mencabut kasusnya karena faktor ekonomi. Jadi kami harus mengirim masalah itu kepada Kepala
Desa untuk diselesaikan. Tetapi kalau kasus itu berat kami tetap membawanya ke pengadilan. Kadang-
kadang masyarakat bertanya mengapa kasus kecil harus dibawa ke pengadilan. Ada juga kasus dimana
pengadilan mengirim kembali kasus itu untuk diselesaikan oleh Kepala Desa.
- - 31
ƒ Ada kasus kekerasan seksual baru-baru ini dimana seorang guru melakukan kekerasan seksual terhadap
salah satu muridnya. Kasus itu terjadi pada bulan Juli, tetapi anak itu takut untuk memberitahu orang
tuanya. Orang tuanya memperhatikan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan anaknya dan kemudian
anak itu memberitahu orang tuanya apa yang telah terjadi. Mereka melaporkan itu kepada polisi. Kami pergi
untuk melakukan investigasi dan dia mengaku apa yang terjadi. Sekarang tersangka berada di penjara
Becora.
ƒ Kadang-kadang investigasi dokter tidak lengkap karena mereka tidak mengerti pentingnya pemeriksaan
medis sebagai bukti di pengadilan.
ƒ Polisi tidak mengembalikan kasus untuk diselesaikan melalui hukum adat.
ƒ Apabila korban memutuskan untuk mencabut kasusnya, kami sendiri tidak mengambil keputusan, kami
memanggil Kepala Desa agar duduk bersama dan berbicara dengan korban. Kami belum mengembalikan
kasus kepada keluarga untuk diselesaikan karena kami harus mengikuti Kode Tingkah Laku Polisi.
ƒ Apabila Jaksa mengembalikan kasus kepada Kepala Desa maka harus mencantumkan surat yang
menjelaskan mengapa demikian.

OPMT dan Camat


ƒ Pada jaman UNTAET koordinasi dengan polisi tidak begitu baik. Sekarang sudah baik, tetapi beberapa
petugas PNTL tidak bekerja dengan baik.
ƒ Sekarang kasus kekerasan domestik mengikuti proses hukum.
ƒ Kelompok-kelompok kaum perempuan ingin mempunyai koordinasi yang lebih baik dengan polisi, karena
kelompok-kelompok kaum perempuan tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk membantu korban
kekerasan.

Distrik 13 28 Oktober 2004

ƒ Satu kelompok kaum perempuan mengatakan bahwa walaupun mempunyai hubungan baik dengan polisi,
kadang-kadang sikap polisi tidak menghargai korban. Polisi belum profesional dalam menangani kasus dan
proses pemeriksaan tidak begitu baik. Polisi memperlakuan korban sesuai dengan kelasnya – orang dari
kelas tinggi menerima perlakuan yang lebih baik.

ƒ Sebuah kelompok kaum perempuan yang lain mengatakan bahwa mereka mempunyai hubungan baik
dengan polisi, tetapi mereka telah mempunyai pengalaman buruk dengan polisi, sehingga mereka
melakukan dialog dengan polisi untuk menjelaskan pekerjaannya kepada polisi. Sejak mereka melakukan
dialog, hubungan kerja dengan polisi menjadi lebih baik.

ƒ VPU Nasional mengatakan bahwa mereka mempunyai hubungan baik dengan komunitas. Mereka selalu
mencoba untuk mengirim petugas polisi perempuan untuk berinteraksi dengan perempuan korban.

ƒ Keluarga korban kadang-kadang mengkritik VPU karena mereka ingin melihat hasil secepatnya (misalnya,
agar pelaku dihukum) dan tidak mengerti bahwa VPU tidak mempunyai kewenangan untuk menyampaikan
hasil ini, yaitu keputusan akhir harus dijatuhkan oleh seorang hakim.

- - 32

Anda mungkin juga menyukai