Anda di halaman 1dari 30

Tugas Diskusi Kelompok

MATA KULIAH : KAJIAN SEMINAR MASALAH SOSIAL


POKOK BAHASAN :
 Masalah Sosial Prespektif Sosiologi
 Paradigma Sosiologi
 Karakteristik Masalah Sosial
 Pendekatan Masalah Sosial
 Prespektif Pemecah Masalah Sosial
PROGRAM STUDI / KLS : SOSIOLOGI / B
KELOMPOK : 2 (DUA)
NAMA ANGGOTA :
Agustina Findi Derosari (1803030054) Hadir
Aleksius Fantus(1803030094) Hadir
Beatrika Juita (1803030079) Hadir
Regina De Rosario A. Seran (1803030089) Hadir
Selviana Santi (1803030089)Hadir

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2020\
MASALAH SOSIAL PRESPEKTIF SOSIOLOGI

A. Masalah Sosial

Permasalahan sosial merupakan sebuah gejala atau fenomena yang muncul dalam realitas
kehidupan bermasyarakat. Dalam mengidentifikasi permasalahan sosial yang ada di masyarakat
berbeda-beda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Pada dasarnya, permasalahan sosial
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.

Menurut (Soekanto, 1990:358), masalah sosial adalah suatu ketidaksesuain antara unsur-unsur
kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial, atau menghambat
terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut. Menyebabkan kepincangan
ikatan sosial.

Dalam keadaan normal terdapat integrasi serta keadaan yang sesuai pada hubungan-hubungan
antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat. Masalah sosial tersebut dapat berupa kemiskinan,
pengangguran, pendidikan, kriminalitas, dan kesenjangan sosial ekonomi. Sementara itu, karya sastra
hadir sebagai manifestasi atau refleksi kehidupan sosial yang ada dan berkembang di masyarakat.

 Faktor Penyebab Masalah Sosial


1. Faktor Ekonomi, merupakan faktor ketidakmampuan individu atau kelompok untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya secara layak khususnya secara materi. Masalah ekonomi ini tidak hanya
dipandang suatu kondisi kekurangan dalam mencukupi kebutuhan secara ekonomi tetapi juga dalam
pengaturan, distribusi dan produksi yang mempengaruhi kondisi ekonomi bangsa yang berimbas
pada kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata. Contoh masalah sosial faktor ekonomi;
kemiskinan, kriminalitas, kesenjangan sosial, dan pengangguran.
2. Faktor Budaya, disebabkan karena adanya ketidaksesuaian pelaksanaan norma, nilai, dan
kepentingan sosial pada pola masyarakat yang heterogen atau multikultural. Contoh masalah sosial
faktor budaya: kenakalan remaja, konflik antarsuku, diskriminasi, gender, pernikahan dini,
perceraian, dan eksploitasi lingkungan. Budaya sangat berperan dari faktor masalah sosial karena
kebudayaan semakin berkembang dan menimbulkan peran terhadap masalah sosial. Munculnya
budaya yang salah seperti menerabas dan perilaku tidak disiplin akhirnya memunculkan budaya
yang tidak diharapkan.
3. Faktor Biologis, merupakan masalah yang timbul akibat adanya ketidaksesuain keadaan lingkungan
yang berpotensi menimbulkan ketidakstabilan kondisi biologis masyarakat. Contoh faktor biologis
ini biasanya seperti penyakit wabah yang menular, virus penyakit baru yang disebut HIV-AIDS,
COVID-19), serta makanan beracun.
4. Faktor Psikologis merupakan masalah pola pikir suatu masyarakat atau pribadi tertentu
bersinggungan dengan tatanan kehidupan sosial. Contoh faktor psikologis ini biasanya pemahaman
penyimpangan dari ajaran agama yang jika diamati secara detail yang tidak masuk akal, serta
munculnya raja-raja palsu dan gerakan separatis anti pemerintah.
 Bentuk Masalah Sosial di Masyarakat
1) Kemiskinan Merupakan kondisi seseorang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sesuai dengan taraf atau standar kehidupan pada umumnya. Bentuk Kemiskinan: Kemiskinan
Absolut merupakan tahap individu sulit atau bahkan tidak sanggup memenuhi kenbutuhan
pokoknya sekaligus mendasar agar dapat menyambung hidup. Contohnya : saat seseorang
mengalami disabilitas (lumpuh) maka ia tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan
dan minum
2) Pengangguran merupakan sebuah golongan angkatan kerja yang belum melakukan suatu kegiatan
yang menghasilkan uang. Pengangguran tidak terbatas pada orang yang belum bekerja.
3) Kriminalitas merupakan tindakan yang ada di masyarakat sangat beragam bentuknya seperti
pencurian, perampokan, pembunuhan, dan lain sebagainya.
4) Kesenjangan sosial merupakan perbedaan jarak ekonomi antara kelompok satu dengan kelompok
yang lain.
5) Penyakit menular merupakan gangguan yang disebabkan oleh organisme seperti bakteri, virus,
jamur, atau parasit. Disebabkan oleh mikroorganisme pategonik (virus, bakteri, dan fungsi) serta
parasit.
6) Kenakalan remaja merupakan kejahatan yang dilakukan oleh anak remaja. Pada masa remaja
dikenal dengan Strom dan Stres dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuha
fisik dan pertumbuhan psikis yang bervariasi.
7) Aliran sesat merupakan pandangan atau doktrin dalam filsafat, politik, ilmu, dan seni

B. Perspektif Berdasarkan Teori Fungsional Struktural


1. Tinjauan Singkat Tentang Teori Fungsional Struktural
Beberapa sumber akan digunakan untuk menjelaskan pokok-pokok pikiran teori fungsional
struktural ini, diantaranya adalah Ritzer (1980), Poloma (1987) dan Turner (1986). Apabila ditelusuri
dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta sosial, tampilnya
paradigma ini merupakan usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru lahir agar
mempunyai kedudukan sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan karena pada masa
kelahirannya, sosiologi masih kuat dipengaruhi oleh dua cabang ilmu yang sudah lebih kokoh berdiri
yaitu filsafat dan psikologi. Untuk membedakannya dengan filsafat, sosiologi tidak dapat
mendudukkan dunia ide sebagai pokok persoalan studinya, ide hanya berfungsi sebagai suatu konsepsi
dalam pikiran, teori-teori yang dihasilkan dari belakang meja harus diuji dengan konkrit berdasarkan
penelitian empirik, atas dasar pemikiran tersebut maka pokok persoalan sosiologi haruslah merupakan
fakta sosial. Untuk membedakan dengan telaah psikologi, fakta sosial ini harus juga dibedakan dengan
fakta psikologi.
Fakta psikologi dianggap sebagai fenomena yang dibawa oleh manusia sejak lahir, dengan
demikian bukan merupakan hasil pergaulan hidup masyarakat. Secara garis besar fakta sosial yang
menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Menurut
teori fungsional struktural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial
yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini menekankan kepada keteraturan dan
mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa
setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional
maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.
Dalam proses lebih lanjut, teori ini pun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran
dari para penganutnya, dengan demikian terjadi pula perbedaan pandangan antar sesama pengikut teori
ini, atau paling tidak koreksi dari pengembang teori yang muncul kemudian atas pemikiran
pendahulunya. Sebagai suatu misal Merton, telah mengutip tiga postulat yang terdapat dalam analisa
fungsional dan kemudian disempurnakannya.
Postulat pertama adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu
keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau
konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat
diatasi atau diatur. Atas postulat ini Marton memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang
sempurna dari suatu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan karena dalam
kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok dapat bersifat disfungsional
bagi kelompok yang lain.
Postulat kedua, yaitu fungsionalisme universal yang menganggap bahwa seluruh bentuk sosial
dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif. Terhadap postulat ini dikatakan bahwa
sebetulnya disamping fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga difungsi. Beberapa perilaku sosial
dapat dikategorikan kedalam bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan demikian dalam analisa, keduanya
harus dipertimbangkan.
Postulat ketiga, yaitu indispensability yang menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban,
setiap kebiasaan, ide, obyek materiil dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki
sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam
kegiatan sistem sebagai keseluruhan.Menurut Merton, Postulat ini masih kabur, belum jelas apakah
suatu fungsi merupakan keharusan.
2. Perspektif Pathologi Sosial
Perspektif ini boleh dikatakan yang relatif paling awal digunakan untuk memahami masalah
sosial. Hal ini disebabkan karena landasan pemikirannya merupakan landasan pemikiran juga
digunakan oleh tokoh-tokoh pendahulu sosiologi khususnya Auguste Comte (Turner 1986, 9). Menurut
Comte, Sosiologi adalah studi tentang statika sosial (struktur) dan dinamika sosial (proses/fungsi). Di
dalam membahas struktur masyarakat, Comte menerima premis bahwa masyarakat adalah laksana
organisme hidup (Poloma, 1987 : 23).
Motivasi penggunaan premis tersebut semakin ditunjang oleh kenyataan bahwa pada awalnya
ilmuwan sosial termasuk ilmuwan sosiologi sangat terkesan dengan kemajuan yang dialami oleh
metoda dalam bidang ilmu alam dan tehnik. Berdasarkan hal tersebut tidak mengherankan apabila
kemudian teori-teori dibangun berdasarkan analogi antara human society dan human body.
Keduanya sering disebut dengan vast organisme (organisme besar) (Julian, 1986:12). Salah
seorang penerus yang banyak membahas perihal analogi ini adalah Herbert Spencer, seorang ahli
sosiologi Inggris yang mencoba menjelaskan berbagai persamaan dan perbedaan yang khusus antara
sistem biologis dan sistem sosial.
Pembahasan Spencer tentang masyarakat sebagai suatu organisme hidup dapat diringkas dalam
butir-butir berikut ini (Poloma, 1987:24).
1) Masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan.
2) Disebabkan oleh pertambahan dalam ukurannya, maka struktur tubuh sosial (social body)
maupun tubuh organisme hidup (living body) itu mengalami pertambahan pula. Semakin besar
suatu struktur sosial maka semakin banyak pula bagianbagiannya, seperti halnya dengan sistem
biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar.
3) Tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh organisme biologis maupun organisasi sosial
mempunyai fungsi dan tujuan tertentu. Mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan
tugas yang berbeda pula.
4) Baik di dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan
mengakibatkan perubahan dalam bagian lain dan pada akhirnya juga perubahan di dalam sistem
secara keseluruhan.
5) Bagian-bagian tersebut walau saling berkaitan merupakan struktur mikro yang dapat dipelajari
secara terpisah.
3. Perspektif Disorganisasi Sosial
Dasar pemikiran perspektif ini sebetulnya tidak banyak berbeda dengan perspektif pathologi
sosial, karena juga menggunakan analogi masyarakat atau sistem sosial sebagai human organism.
Perbedaannya, perspektif ini tidak melihat organism tersebut dalam kondisi sehat atau sakit, melainkan
lebih melihatnya sebagai struktur fungsi dan organized dan disorganized atau integrated dan
disintegrated. Apa yang biasa disebut sistem adalah suatu struktur yang mengandung seperangkat
aturan, norma dan tradisi sebagai pedoman untuk melakukan tindak dan aktivitas.
Didalam struktur tersebut terkandung unsur value, status, position dan institution. (Parrillo,
1987:27). Menurut perspektif ini, masyarakat menjadi organized disamping karena keserasian
hubungan antar bagian juga didukung oleh seperangkan pengharapan/tujuan dan seperangkat aturan
(Julian, 1986:13). Dari berbagai pandangan tersebut dapat juga dikatakan, bahwa kondisi yang disebut
social disorganization merupakan kebalikan dari social organization.
Bahkan tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa untuk memahami konsep social
disorganization perlu pula memahami konsep social organization. Social organization ditandai oleh
adanya hubungan yang harmonis diantara elemen yang berbeda dalam suatu sistem sosial (Elliot and
Merrill, 1961:4). Hal yang sebaliknya dapat digunakan untuk mendefinisikan social disorganization
yaitu apabila proses interaksi sosial dan fungsi yang efektif dari kelompok terpecah atau dapat juga
dikatakan proses terpecahkannya hubungan antar kelompok dalam suatu masyarakat.
4. Persepektif Perilaku Menyimpang
Seperti sudah disinggung sebelumnya, salah satu bentuk fakta sosial menurut paradigma ini
adalah pranata sosial. Dengan demikian pranata sosial ini merupakan sesuatu faktor yang ikut
menegakkan keteraturan dan keseimbangan dalam sistem sosial, yang berarti juga menegakkan
eksistensi dari sistem itu sendiri. Semua kelompok sosial membentuk aturan-aturan dan berusaha
menegakkannya, bahkan dalam situasi tertentu memaksakannya.
Aturan-aturan sosial membatasi sikap tindak manusia sesuai dengan keadaan yang
dihadapinya, sehingga ada aturan yang melarang, memerintahkan dan membolehkan (Soerjono
Soekanto, 1988:1). Dalam kedudukan yang demikian, aturan-aturan sosial ini akan berfungsi sebagai
pedoman bagi tingkah laku individu maupun kelompok dalam melakukan kehidupan bermasyarakat
termasuk dalam saling berinteraksi dengan sesamanya.

C. Perspektif Berdasarkan Teori Konflik


1. Tinjauan Singkat Tentang Teori Konflik
Teori konflik memiliki asumsi dasar bahwa perbedaan kepentingan antar kelas sosial
menciptakan relasi sosial yang bersifat konfliktual. Akar dari terciptanya konflik dalam masyarakat
adalah ketidakmerataan distribusi kekuasaan dan kekayaan yang menciptakan kesenjangan kelas sosial.
Kekuasaan meliputi akses terhadap sumber daya. Level kekuasaan individu atau kelompok berbeda-
beda. Perbedaan inilah yang disebut kesenjangan. Semakin besar kesenjangan, semakin besar potensi
timbulnya konflik sosial. Kesenjangan tidak hanya ditentukan oleh perbedaan kelas, namun bisa juga
ras, gender, kultur, selera, agama, dan lainnya.
Teori konflik digagas oleh Karl Marx dalam studinya mengenai konflik kelas antara borjuis dan
proletar. Borjuis sebagai kelompok pemilik faktor produksi memiliki kontrol atas sumber daya. Proletar
adalah kelompok kelas pekerja yang tidak memiliki kontrol atas sumber daya. Pembedaan kelas sosial
menjadi dua kelompok ekstrim ini muncul dalam konteks industrialisasi di Eropa Barat. Karl Marx
membuat teori yang menggambarkan eksistensi kelompok minoritas namun memiliki kekuasaan atas
sumber daya dan kelompok mayoritas yang tertindas karena tak memiliki kuasa atas sumber daya.
Masing-masing kelas memiliki kepentingan yang saling bertentangan. Kaum borjuis ingin
mempertahankan kekuasaannya dan mengakumulasi kekayaannya, sedangkan kaum proletar ingin
kekuasaan dan kekayaan didistribusikan secara merata.
Tatanan sosial yang berbentuk kesenjangan ini secara ideologis dipertahankan oleh kaum
borjuis melalui penciptaan kesepakatan atau konsesus. Konsesus yang dimaksud berupa nilai-nilai,
harapan dan kondisi yang ditentukan oleh kaum borjuis. Sebagai contoh, seorang pekerja harus bekerja
keras dan loyal pada bosnya agar bisa sukses. Loyalitas dan kerja keras merupakan nilai yang disepakati
atau konsesus. Produksi kesepakatan semacam itu terjadi pada level ’supratruktur’ atau pada tataran
ideologis, menurut Karl Marx. Marx berpikir bahwa kondisi sosial ekonomi yang tercipta atas dasar
konsesus tersebut merugikan bagi kelas proletar. Akibatnya, akan muncul kesadaran kelas dikalangan
kaum proletar bahwa mereka terekspliotasi. Kekayaan justru disedot oleh kuasa kaum borjuis yang
kapitalistik. Kesadaran kelas ini akan memicu terjadinya revolusi.
Menurut teori ini, masalah sosial muncul dari berbagai macam konflik sosial, yaitu konflik
kelas, konflik etnis dan konflik gender. Ada dua perspektif dalam teori konflik, yaitu teori
Marxis dan teori Non-Marxis. Teori Marxis terjadi karena adanya ketidaksetaraan dalam kelas sosial.
Oleh karena itu, Teori Marxis muncul untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul akibat
ketidaksetaraan tersebut. Berbeda dengan Teori Marxis, teori Non-Marxis berfokus pada konflik
antarkelompok sosial di masyarakat. Konflik tersebut disebabkan oleh kepentingan yang berbeda antara
satu kelompok dengan yang lain.
Teori ini dibangun atas dasar paradigma yang sama dengan teori fungsional struktural yaitu
paradigma fakta sosial. Walaupun demikian, pola pikir teori ini bertentangan dengan teori fungsional
structural, termasuk proposisi-proposisinya. Tokoh utama teori ini yang hasil pemikirannya secara
ekstrim berseberangan dengan teori fungsional structural adalah Ralp Dahrendorf. Beberapa kontras
antara kedua teori tersebut dapat diuraikan dalam beberapa hal (Ritzer, 1980 : 52).
 Menurut teori fungsional structural masyarakat berada dalam kondisi statis atau lebih tepannya
bergerak dalam kondisi keseimbangan; sedang menurut teori konflik justru sebaliknya,
masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang
terus menerus diantara unsur-unsurnya.
 Dalam teori fungsional structural setiap elemen atau setiap instansi dianggap memberikan
dukungan terhadap stabilitas, sedang teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan
sumbangan terhadap disintegrasi sosial.
 Teori fungsional structural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-
norma, nilai-nilai dan moralitas umum, sedang teori konflik menilai keteraturan yang terdapat
dalam masyarakat itu hanya disebabkan adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas
ke golongan yang berkuasa.
Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan posisi, yang keduanya merupakan fakta sosial.
Distribusi wewenang dan kekuasaan secara tidak merata menjadi faktor yang menentukan konflik sosial
secara sistematik. Perbedaan wewenang merupakan suatu tanda adanya berbagai posisi dalam
masyarakat. Kekuasaan dan wewenang menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam
setiap struktur, oleh karena wewenang itu sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap
wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dengan demikian, sebetulnya masyarakat merupakan
persekutuan yang terkoordinasi secara paksa.
Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling
bertentangan, yaitu antara penguasa dan yang dikuasai, masing-masing golongan dipersatukan oleh
ikatan kepentingan nyata yang bertentangan secara substansial. Pertentangan tersebut terjadi dalam
situasi dimana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo sedangkan golongan yang
dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan.
Dalam kajian tentang konflik, teori ini juga membedakan golongan yang terlibat menjadi dua
tipe yaitu kelompok semu dan kelompok kepentingan. Kelompok semu sebetulnya mempunyai
kepentingan yang sama, sedangkan kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang pada
umumnya mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta keanggotaan yang jelas. Adanya dua
tipe kelompok ini sebenarnya juga berkaitan dengan dua sifat kepentingan yang disebut kepentingan
laten dan kepentingan manifest (Poloma, 1987:136). Kepentingan laten adalah kepentingan yang
sebetulnya melekat pada diri seseorang karena menduduki posisi tertentu, akan tetapi masih belum
disadari.
Demikian kepentingan laten tersebut tampil kepermukaan dan mulai disadari adanya, maka
akan berubah menjadi kepentingan manifest. Dalam beberapa kasus, sering terjadi kelompok semu
berubah menjadi kelompok kepentingan setelah kepentingan laten berubah menjadi kepentingan
manifest (mulai disadari). Dalam berbagai pembahasan berdasarkan perspektif teori konflik, konsep-
konsep kepentingan laten, kepentingan manifest, kelompok semu, kelompok kepentingan, posisi dan
wewenang merupakan unsur-unsur dasar yang dapat menjelaskan bentuk-bentuk konflik yang terjadi.
Disamping itu, konflik juga dapat mendorong perubahan dan pembangunan. Dalam situasi
konflik, golongan yang terlibat khususnya golongan yang dikuasai melakukan tindakan-tindakan untuk
mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Apabila konflik tersebut terjadi secara hebat, maka
perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Demikian pula, apabila konflik disertai penggunaan
kekerasan, maka perubahan structural menjadi semakin cepat. Disamping para pengikut teori konflik
yang pemikirannya cukup kontras terhadap teori fungsional structural ada sementara ahli teori konflik
yang lebih bersifat moderat dalam hubungannya teori fungsional structural tersebut diantaranya adalah
Lewis A. Coser (Poloma, 1987:115 dan Turner, 1986:165).
Menurut Coser, konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negative. Fungsional
secara positif apabila konflik tersebut berdampak memperkuat kelompok, sebaliknya bersifat negative
apabila bergerak melawan struktur. Dalam kaitannya dengan sistem nilai yang ada dalam masyarakat,
konflik bersifat fungsional negatif apabila menyerang suatu nilai inti. Dalam hal konflik antara suatu
kelompok dengan kelompok lain (out group), konflik dapat bersifat fungsional positif karena akan
membantu pemantapan batas-batas structural dan mempertinggi integrasi dalam kelompok.
Ahli lain yang kurang lebih bersikap sama adalah Pierre Van Deb Berqho (Ritzer, 1980:63),
Bahkan Berghe mencoba mempertemukan kedua perspektif tersebut. Dia menunjukkan beberapa
persamaan analisa antara kedua pendekatan itu, dalam hal ini sama-sama bersifat holistic karena sama-
sama melihat masyarakat sebagai terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan satu dengan yang
lain, serta perhatian pokok ditujukan kepada antar hubungan bagian-bagian itu. Disamping itu kedua
teori tersebut juga cenderung sama-sama memusatkan perhatian terhadap variabel-variabel mereka
sendiri dan mengabaikan variabel yang menjadi perhatian teori lain.
Sebagai upaya untuk mempertemukan kedua teori tersebut, Berghe beranggapan bahwa
konflik dapat memberikan sumbangan terhadap integrasi dan sebaliknya integrasi dalam hubungan ini
dikatakan adanya empat fungsi dari konflik : (1) Sebagai alat untuk memelihara solidaritas (2)
Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain (3) Mengaktifkan peranan individu yang
semula terisolir (4) Fungsi komunikasi.
2. Perspektif Konflik Nilai
Perspektif ini berkembang setelah perang dunia II, ditengah harapan agar ilmu sosial lebih
berperan dan berguna dalam memahami berbagai gejala sosial yang ada terutama dalam pemecahan
masalah sosial. Untuk memahami masalah sosial, perspektif ini memberikan kritik terhadap perspektif
yang sudah ada khususnya perspektif pathologi sosial dan perspektif perilaku menyimpang. Hal ini
disebabkan karena menurut perspektif konflik nilai, konsep sickenss atau social expectation merupakan
konsep yang subyektif, sehingga sulit untuk dijadikan referensi dalam memahami masalah sosial.
Dari pemikiran tersebut maka dapat dikatakan bahwa penyimpangan terhadap peraturan tidak
selalu sama dengan kegagalan dari peraturan tersebut dalam mengendalikan kehidupan bermasyarakat,
dalam masyarakat yang berkembang semakin kompleks, dapat saja terjadinya penyimpangan peraturan
tersebut karena sipelaku terbiasa hidup dalam kelompok lain yang nilainya berbeda bahkan saling
bertentengan. Dalam pola pikir semacam itu, masalah sosial terjadi apabila dua kelompok atau lebih
dengan nilai yang berbeda saling bertemu dan berkompetisi (Julian, 1986:13).
Untuk menjelaskan pengertian tersebut Julian mengambil contoh kasus tuan tanah dengan
petani penggarap. Tuan tanah menghendaki sewa tanah dinaikkan, sementara itu petani penyewa
mengharapkan sewa tanah yang rendah. Situasi semacam ini dapat mendatangkan konflik, dan konflik
tersebut disebabkan oleh karena nilai dan kepentingan berbeda sehingga persepsinya terhadap suatu hal
akan menjadi berbeda. Konsekuensi lebih lanjut, dalam masyarakat dapat timbul polarisasi. Masalah
sosial mungkin tidak terjadi apabila pihak yang kuat bersedia berkorban bagi yang lemah (terjadi
kompromi). Sebaliknya, masalah sosial akan timbul apabila yang kuat justru menggunakan
kekuatannya untuk membela kepentingannya. Dalam kenyataannya, situasi konflik tersebut dapat
berkembang menjadi tiga kemungkinan yaitu consensus, trading dan power. Dalam hal hubungan tuan
tahan dan petani penyewa yang dijadikan sebagai contoh kasus, maka alternatif consensus terjadi
apabila tuan tanah dan petani penyewa sepakat bahwa kenaikan sewa tanah dalam jumlah yang tidak
terlalu besar masih dapat dipahami bersama. Trading, apabila tuan tanah bersedia menekan kenaikan
sewa tanah dengan kompensasi tertentu. Power, apabila tuan tanah mengusir petani penyewa yang tidak
dapat memenuhi tuntutan kenaikan sewa.
3. Perspektif Institusional
Perspektif ini melihat bahwa masalah sosial merupakan salah satu bentuk kondisi sosial.
Dengan demikian obyek studi tentang masalah sosial adalah masyarakat itu sendiri. Hal ini paling tidak
dapat dijelaskan dari dua alasan : (1) masyarakatlah yang menimbulkan suatu kondisi yang
menyebabkan terjadinya kerugian fisik dan mental dalam berbagai bagian kehidupan sosial (2) tindakan
dan kondisi yang melanggar norma dan nilai terjadi dalam lingkungan masyarakat. Dengan demikian,
basis dari unit analisas untuk memahami masalah sosial adalah masyarakat khususnya strutur sosialnya.
Memang benar, untuk melacak latar belakang terjadinya masalah sosial ada dua pendapat
utama, terutama dalam melihat siapa yang bersalah. Kedua pendekatan tersebut adalah the person blame
approach dan the social/system blame approach (Eitzen, 1986:12). Person Blame Approach merupakan
suatu pendekatan untuk mencari latar belakang maupun faktor penyebab masalah sosial dari segi
“cacat” yang ada pada individu. Cacat individual tersebut dapat berupa cacat pembawaan, secara fisik
maupun mental, dapat pula berupa cacat cultural.
Social system blame approach merupakan pendekatan untuk mencari latar belakang maupun
faktor penyebab masalah sosial dari segi “cacat” yang ada pada sistem, dan struktur dan institusi sosial.
Perspektif institusional cenderung melakukan studi masalah sosial dari pendekatan yang kedua yaitu
social/system blame approach. Ada beberapa alas an yang dikemukakan oleh para pengikut perspektif
ini, sehingga cenderung melacak latar belakang masalah sosial dari cacat sistem (Eitzen, 1986:17).

D. Perspektif Berdasarkan Teori Interaksionisme Simbolik


1. Tinjauan Singkat Tentang Teori Interaksionisme Simbolik
Teori ini bersumber dari paradigma definisi sosial. Buah pikiran yang cukup penting dalam
paradigma ini adalah karya Weber dalam analisanya tentang tindakan sosial ( social action )(Ritzer,
1980:84). Weber tidak memisahkan dengan tegas antara struktur sosial dan pranata sosial. Keduanya
membantu membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau penuh makna.
Pokok persoalan dalam paradigma ini adalah tindakan sosial antar hubungan sosial. Tindakan
sosial dimaksudkan sebagai tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti
subyektif bagi dirnya dan diarahkan bagi tindakan orang lain. Dalam studi lebih lanut, tindakan sosial
serta antar hubungan sosial ini harus ditafsirkan dan dipahami sampai kepada penjelasan kausal.
Dengan demikian pada dasarnya terdapat dua konsep dasar, konsep tindakan sosial dan konsep
tentang penafsiran dan pemahaman. Konsep yang kedua menyangkut metode untuk menjelaskan yang
pertama. Atau dengan pertkataan lain dapat dijelaskan, bahwa penafsiran dan pemahaman adalah
metode untuk mempelajari tindakan sosial. Untuk itu orang tidak cukup hanya mempelajari tindakan
sosial. Untuk itu orang tidak cukup hanya mempelajari perilaku (behaviour), akan tetapi harus
menginterpretasikannya bahwa hal itu mempunyai arti subyektif dan diarahkan kepada orang
lain.melalui cara itu dapat pula di pahami motif dari tindakan si aktor.agar dapat memahami motif
tindakan si aktor ,dapat dilakukan dengan kesungguhan dan dengan mencoba menyelami pengalaman
si aktor.
Teori teori yang dibagun dari paradigma ini mempunyai anggapan bahwa manusia adalah aktif
dan kreatif. Dengan demikian dapat di pahami perbedaannya dengan paradigma fakta sosial yang
memandang manusia di kontrol oleh berbagai norma, nilai dan berbagai alat pengendali sosial
lainya.dapat pula di lihat perbedaanya dengan paradikma perilaku sosial, karena paradigma ini melihat
tingkah laku manusia sebagai senantiasa, dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuasaan dan
kekuatan (re-enforcement).
Demikian pula halnya, teori Interaksionisme Simbolik yang dibangun dari paradigma definisi
sosial memandang manusia sebagai aktor yang sadar dan refleksif, yang menyatukan obyek-obyek yang
diketahuinya melalui apa yang disebut Blumer sebagai self indication (Poloma,1987:264 ). Self
indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu,
menilainya, memberinya makna dan memikirkan untuk bertindak berdasarkan makna itu.
Bagi Blumer interaksionisme simbolis bertumpu pada tiga premis; (1) Manusia bertindak
terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. (2) Makna tersebut
berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. (3) Makna makna tersebut disempurnakan
disaat proses interaksi sosial berlangsung.
Dari ketiga premis tersebut dapat dimaklumi,apabila bagi teori ini,konsep
individual,interaksi.dan interpretasi merupakan tiga terminologi kunci dalam memahami kehidupan
sosial. Dari kenyataan itu dapat pula dipahami perbedaan perspektif teori ini dengan behaviorisme.
Interaksionisme simbolik beranggapan bahwa behaviorisme menilai perilaku manusia semata mata
merupakan tanggapan terhadap rangsangan dari luar dirinya. Penilaian perilaku manusia sebagai hasil
proses stimulus respons dipandang merendahkan derajat perilaku manusia.
Menurut interaksionisme simbolik,manusia saling menterjemahkan dan saling mendefinisikan
tindakannya, bukan hanya sekedar reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain.
Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung , tetapi didasarkan atas makna yang diberikan
terhadap tindakan orang lain itu.
Pandangan interaksionisme simbolik juga berbeda dengan pandangan paradikma fakta sosial.
Menurut teori interaksionisme simbolik, fakta sosial bukanlah merupakan barang sesuatu yang
mengendalikan dan memaksakan tindakan manusia. Fakta sosial sebagai aspek yang memang penting
dalam kehidupan masyarakat ditempatkan didalam kerangka simbol simbol interaksi manusia.
Dalam hal ini organisasi masyarakat (fakta sosial ) merupakan kerangka didalam mana tindakan
sosial mengambil tempat, bukan merupakan faktor penentu tindakan sosial. Individu atau unit unit
tindakan yang terdiri atas sekumpulan orang tertentu, saling menyesuaikan atau saling menyocokkan
tindakan mereka satu dengan yang lainnya 51 melalui proses interpretasi.
Dalam hal aktor yang berbentuk kelompok , maka tindakan kelompok itu adalah merupakan
tindakan kolektif dari individu yang tergabung dalam kelompok itu. Untuk lebih mempermudah
pemahaman terhadap teori ini barangkali ada gunanya dikemukakan sejumlah ide dasar yang
terkandung didalamnya (Poloma, 1987:267).
a) Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian
melalui tindakan bersama , membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur
sosial
b) Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia
lain . Interaksi simbolis mencakup penafsiran tindakan .
c) Obyek-obyek tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan produk
interaksi simbolik . Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori : obyek fisik,
obyek sosial, obyek abstrak.
d) Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek.
e) Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang di buat oleh manusia sendiri.
f) Tindakan tersebut saling di kaitkan dan di sesuaikan oleh anggota-anggota kelompok.
Hal ini di sebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai organisasi sosisal dari perilaku
tindakan tindakan berbagai manusia. Sebagai akhir dari tinjauan singkat tetang teori interaksi onisme
simbolik ini perlu di informasikan bahwa dalam perkembangan lebih lanjut diantara penganut teori ini
dapat mempunyai pemikiran yang berbeda.
2. Persepektif labeling
Perspektif ini termasuk pendekatan yang relatif baru dalam studi masalah sosial. Sesuai dengan
teori yang mendasarinya , perspektif ini mempunyai perbedaan dalam cara memandang masalah sosial
dibandingkan dengan perspektif lain yang sudah ada sebelumnya. Perspektif lain memandang
kemiskinan, kenakalan, kejahatan sebagai masalah sosial dan dalam studinya sepakat untuk
mempertanyakan mengapa dan dalam kondisi bagaimana masalah-masalah sosial tersebut dapoat
terjadi. Dengan demukiaqn seakan – akan ada kriteria atau ukuiran yang baku untuk mengidentifikasi
masalah sosial. Sebaliknya, perspektif labeling melihat definisi masalah sosial bersifat subyektif.
Oleh sebab itu perspektif ini lebih tertarik untuk mempersoalkan mengapa dan dalam kondisi
bagaimana tindakan tertentu atau situasi tertentu didefinisikan, sebagai masalah sosial atau penyipangan
( Julian, 1986 : 14 ). Suatu tindakan atau situasi dianggap masalah sosial bersifat relatif, tergantung dari
interpretasi masyarakat tertentu atau tergantung bagaimana masyarakat memberi makna terhadap situasi
tersebut.
3. Perspektif perilaku sosiopathik.
Sebetulnya perspektif ini dapat dikatakan merupakan bagian dari perspektif Labeling.
Walaupun demikian, karena dianggap mempunyai kedudukan yang cukup menonjol diantara sesama
teori dalam perspektif Labeling, maka dalam tulisan ini akan dibahas tersendiri. Perspektif perilaku
sosiopathik pada awalnya dimaksudkan sebagai antisipasi dari berbagai kelemahan pengukuran
perilaku devian oleh perspektif yang dibangun dalam teori Fungsional struktural. Sebagaimana
diketahui, menurut perspektif Fungsional struktural, suatu perilaku dikatakan menyimpang diukur dari
pranata sosial yang ada.
Pendekatan ini kemudian menghadapi kendala, karena dalam masyarakat yang kompleks atau
masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan sosial yang cepat dapat dijumpai beberapa nilai
yang dapat berbeda satu sama lain, bahkan dapat saling bertentangan. Dengan demikian nilai dan norma
sosial sebagai ukuran menjadi sulit untuk diimplementasikan, karena sifatnya relatif dalam waktu dan
tempat yang berbeda. Disamping itu juga terkandung masalah disekitar siapa yang dianggap kompeten
untuk melakukan penilain dan pengukuran. Oleh sebab itu perilaku devian harus dilihat dan didekati
secara relatif pula.

KESIMPULAN
Permasalahan sosial merupakan sebuah gejala atau fenomena yang muncul dalam realitas
kehidupan bermasyarakat. Dalam mengidentifikasi permasalahan sosial yang ada di masyarakat
berbeda-beda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Pada dasarnya, permasalahan sosial
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Masalah sosial tersebut dapat
berupa kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kriminalitas, dan kesenjangan sosial ekonomi.
Sementara itu, karya sastra hadir sebagai manifestasi atau refleksi kehidupan sosial yang ada dan
berkembang di masyarakat.
Di lihat dari masalah sosial sebagai suatu proses, dapt di pahami apabila studi yang dilakukan
tidak terbatas sebagai upaya identifikasi permasalahan, akan tetapi juga meliputi usaha memahami dan
mempelajari latar belakang , faktor penyebab dan faktor faktor yang terkait dengan permasalahannya.
Bahkan akan lebih fungsional apabila studi masalah sosial juga meliputi usaha untuk mencari jalan
pemecahannya.
Dilihat dari kenyataan bahwa masalah sosial merupakan gejala multi aspek dan multi dimensi,
dapat di pahami apabila di jumpai studi masalah sosisal bervareasi dari sudut aspek yang menjadi fokus
perhatiannya. Oleh karena setiap aspek dapat menjadi obyek kajian suatu di siplin ilmu tertentu, dan
setiap disiplin ilmu tidak jarang melahirkan berbagai prespektif sebagai derivasi dari teori teori yang
dimilikinya, maka tidak mengherankan pula bahwa dalam studi masalah sosial akan di temukan variasi
yang semakin banyak, di lihat dari perspektif yang digunakan.
PARADIGMA SOSIOLOGI

A. Paradigma Sosial
Istilah paradigma awal mulanya diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962) dalam karyanya ‘The
Structure of Scientific Revolution’. Konsep paradigma dipopulerkan dalam sosiologi oleh Robert
Friedrichs (1970) melalui karyanya ‘Sociology of Sociology’. George Ritzer (1992) menulis secara
spesifik paradigma-paradigma yang ada dalam sosiologi. Dalam bukunya ‘Sociology: A Multiple
Paradigm Science’, Ritzer memaparkan tiga paradigma sosiologi sebagai ilmu sosial, yakni paradigma
fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial. Paradigma adalah pandangan yang mendasar tentang
apa yang menjadi subyect matter (pokok persoalan) yang dipelajari suatu disiplin ilmu. Didalam
sosiologi terdapat tiga paradigma yaitu paradigma fakta sosial, paradigma devinisi sosial, dan
paradigma perilaku sosial.
1. Paradigma Fakta Sosial
Fakta sosial. Paradigma fakta sosial ialah cara pandang yang meletakkan fakta sosial sebagai
sesuatu yang nyata ada di luar individu, di luar self, di luar subjek. Penekanannya ialah fakta sosial
memiliki realitasnya sendiri. Garis besar paradigma ini terbagi menjadi dua, yaitu struktur sosial
dan institusi sosial.Struktur sosial dapat dicontohkan seperti kelas, kasta dan strata sosial. Institusi
sosial misalnya, nilai, norma, peran dan posisi sosial. Teori struktural-fungsional dan teori konflik
dikategorikan oleh Ritzer ke dalam paradigma ini. Menurut George Ritzer, teori yang terkenal
dalam kaitannya dengan paradigma fakta sosial, yaitu (1) teori fungsionalisme struktural, yang
memberi penekanan pada keteraturan dan tidak mengindahkan adanya konflik dan perubahan dalam
masyarakat. Konsep utamanya, yaitu fungsi, disfungsi, fungsi latent, fungsi manifest, dan
keseimbangan. Selain itu, teori tersebut juga menyatakan bahwa semua peristiwa dan struktur
adalah fungsional dalam masyarakat, dan apabila dirasa ada ketidakserasian, hal itu merupakan
kewajiban bagi penganutnya untuk menormalisasikannya. Adapun tokoh dari fungsionalisme
struktural ini adalah Robert K. Merton. (2) teori konflik yang mendasarkan pada wewenang dan
posisi yang merupakan fakta sosial. Dalam hal ini, adanya ketidakadilan dalam pembagian
kekuasaan dan wewenang merupakan penentu konflik dalam masyarakat, dan hal tersebutlah yang
senantiasa harus menjadi sasaran studi para sosiolog. Konflik itu terjadi karena adanya perbedaan
keinginan dari penguasa untuk mempertahankan diri dan di lain pihak adanya keinginan dari yang
dikuasai untuk mengadakan perombakan. Tokoh dari teori konflik ini adalah Dahrendorf.Sosiolog
yang mewakilinya, antara lain Durkheim dan Marx. Suatu upaya memadukan kedua teori yang
bertentangan tersebut telah dilakukan oleh Pierre van den Berghe yang menyatakan bahwa
keduanya sebenarnya saling melengkapi di samping mempunyai hubungan yang bersifat kausal.
Menurut pendapatnya konflik mempunyai fungsi, yaitu (1) untuk menjamin solidaritas; (2)
mendorong timbulnya ikatan persekutuan dengan kelompok yang lain; (3) mendinamisasikan
manusia; dan (4) sebagai sarana hubungan antarpersekutuan yang satu dengan yang lain.Adapun
metode dalam rangka penelitian terhadap pokok permasalahan sosiologi, penganut paradigma fakta
sosial mempunyai suatu kebiasaan penggunaan kuesioner dan wawancara. Tampaknya mereka
kurang begitu senang menggunakan metode pengamatan (observasi) karena dirasa tidak tepat untuk
menjaring data dalam penelitian fakta sosial.
2. Paradigma Definisi Sosial
Definisi sosial. Paradigma definisi sosial ialah cara pandang yang menekankan bahwa realitas
sosial bersifat subjektif. Eksistensi realitas sosial tidak terlepas dari individu sebagai aktor yang
melakukan suatu tindakan. Struktur sosial dan institusi sosial dengan demikian dibentuk oleh
interaksi individu. Melalui paradigma ini, tindakan sosial berusaha untuk dipahami dan
diinterpretasikan secara subjektif. Teori tindakan Weber, teori interaksionisme simbolik,
dramaturgi dan fenomenologi masuk dalam kategori paradigma ini. Paradigma ini berbicara
mengenai perilaku seorang individu aktif yang mampu menciptakan sebuah realitas sosial
tersendiri. Contoh dari definisi sosial ini adalah ketika seseorang melakukan sesuatu aktivitas, maka
aktivitasnya tersebut terdapat sebuah tujuan, dimana tujuan ini mampu menciptakan membentuk
sebuah realitas sosial tersendiri.
Terdapat tiga teori utama dalam paradigm definisi sosial, yaitu teori aksi sosial, teori
interaksionisme simbolik dan teori fenomenologi, dan juga dramaturgi. Adapun teori yang
terkandung dalam paradigma definisi sosial, yaitu (1) teori aksi; (2) teori interaksi simbol; dan (3)
teori fenomenologi. Ketiga teori tersebut di samping memiliki perbedaan, juga mempunyai
persamaan. Perbedaannya, yaitu yang menyangkut hal-hal yang terkait dengan faktor yang
menentukan tujuan penelitian dan gambaran tentang pokok permasalahan sosiologi. Ketiga teori itu
juga memiliki persamaan pandangan dasar yang menganggap bahwa manusia merupakan pelaku
yang kreatif dari realitas (kenyataan) sosialnya. Selain itu, ketiga teori tersebut mempunyai
perhatian serta sasaran terhadap segala sesuatu yang terkandung di dalam pemikiran manusia
meskipun teori tersebut tidak mungkin menyelidikinya secara langsung. Hal itu dikarenakan
pemikiran manusia merupakan perwujudan dari kreativitas manusia sekalipun ketiga teori itu
memiliki pendekatan yang berbeda dalam mengadakan penyelidikan terhadap proses kreativitas
pemikiran manusia. Uraian singkat mengenai teori-teori tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut.
a) Teori Aksi, yang mempunyai kecenderungan kesejajaran dengan Weber, dan mempunyai arti yang
sangat penting dalam rangka pengembangan teori interaksi simbol dan teori fenomenologi. Teori
Aksi mengalami perkembangan yang pesat di Amerika lewat karya Florian Znaniecki (The Method
of Sociology, Social Actions), Robert M. Mac Iver (Society: Its Structure and Changes), Talcott
Parsons (The Structure of Social Action). Menurut Hinkle, tokoh-tokoh tersebut merupakan
sosiolog yang mempunyai kecenderungan berpikir yang dilatarbelakangi pemikiran Eropa yang
pemikirannya sangat dipengaruhi oleh teori aksi Pareto, Durkheim, dan Weber. Selanjutnya,
bertolak dari karya sosiolog yang mempunyai latar belakang pemikiran Eropa tersebut Hinkle
mengemukakan anggapan dasar teori aksi, yaitu
1) Tindakan manusia didorong oleh kesadaran diri sendiri dan pengaruh dari luar dirinya,
2) Tindakan manusia itu bertujuan,
3) Tindakan manusia itu menggunakan cara, prosedur, teknik dan alat,
4) Tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tidak diubah dengan sendirinya,
5) Tindakan manusia berdimensi tiga, yaitu yang menyangkut masa lalu, sekarang, dan
masa yang akan datang,
6) Tindakan manusia dalam pengambilan keputusan dibimbing oleh norma-norma
moral,serta
7) Penelitian tentang antarhubungan sosial menggunakan verstehen (pemahaman) dan
imajinasi.
b) Teori Interaksi Simbol, dalam proses pendekatannya sejalan dan cenderung mengikuti cara yang
dilakukan Weber dalam teori aksi. Dua orang tokoh yang terkenal dari teori interaksi simbol adalah
John Dewey dan Charles Horton Cooley. Adapun pandangan dasar dari teori tersebut ialah menolak
behaviorisme yang dipelopori oleh J.B. Watson. Teori tersebut, dalam mengadakan pendekatan
sosial menggunakan introspeksi untuk mengetahui latar belakang tindakan pelakunya. Suatu hal
yang penting dalam teori interaksi simbol ini adalah kemampuannya untuk memberikan interpretasi
terhadap stimulus (rangsangan) yang ada dalam interaksi simbol.
c) Teori Fenomenologi, beranggapan bahwa perilaku manusia menjadi satu hubungan sosial, apabila
manusia memberikan makna tertentu terhadap tindakannya sebagai sesuatu yang berarti karena hal
tersebut adalah merupakan sesuatu yang menentukan terhadap kelestarian interaksi sosial.Metode
yang digunakan dalam paradigma definisi sosial ialah observasi dalam rangka mengamati untuk
memahami agar dapat menyimpulkan makna tentang akibat yang timbul dari perilaku sosial
antarhubungan sosial.
3. Paradigma Perilaku Sosial
Paradigma perilaku sosial ialah cara pandang yang memusatkan perhatiannya pada hubungan
antara individu dengan lingkungannya. Realitas sosial merupakan realitas objektif yang dibentuk
melalui perilaku-perilaku individu yang nyata dan empiris. Tingkah laku individu yang berinteraksi
dengan lingkungannya merupakan bentuk dari realitas sosial itu sendiri. Teori perilaku atau
behavioral dan teori pertukaran sosial Homans dan Blau dapat dikategorikan ke dalam paradigma
ini. Fokus utama paradigma ini pada hadiah atau penguatan (rewards) yang menimbulkan perilaku
yang diinginkan dan hukuman (punishment) yang mencegah perilaku yang tak diinginkan. Jika
tidak mendapat ganjaran atau hukuman yang tidak diharapkan, ia akan marah dan semakin besar
kemungkinan orang tsb akan melakukan perlawanan dan hasil tingkah lakunya makin berharga bagi
dirinya. Jika dapat ganjaran atau lebih, maka akan menunjukan tingkah laku persetujuan. Dan hasil
tingkah lakunya semakin berharga baginya.
Paradigma ini dikemukakan oleh B.F. Skinner dengan maksud ingin menjelaskan asas-asas
yang terdalam dalam psikologi aliran behaviorisme ke dalam sosiologi. Menurut pendapatnya yang
menjadi objek penelaahan sosiologi adalah perilaku manusia yang nyata dan konkret serta
kemungkinan pengulangannya. Dengan demikian, perilaku manusia yang menjadi objek sasaran
sosiologi, yaitu tindakan yang dapat diserap secara indrawi dan kemungkinan keajekannya. Di
samping itu, menurut paradigma perilaku sosial dinyatakan bahwa tingkah laku individu yang
langsung berkaitan dengan lingkungan dan menimbulkan konsekuensi berupa akibat akan adanya
perubahan pada lingkungan, dapat menyebabkan adanya perubahan tingkah laku individu yang
bersangkutan. Adapun yang dimaksud lingkungan dalam hal ini, yaitu segala macam objek sosial
dan objek yang bukan sosial.Perlu diketahui bahwa dalam paradigma perilaku sosial ini peranan
proses interaksi antara individu dengan objek sosial dan objek nonsosial sangat penting artinya,
bahkan dapat dikatakan merupakan sesuatu yang menjadi pusat perhatian telaah sosiologi menurut
paradigma ini.Paradigma perilaku sosial sebagaimana yang dicetuskan oleh B.F. Skinner tidak
sependapat dengan apa yang dinyatakan oleh paradigma fakta sosial dan paradigma definisi sosial.
Hal tersebut karena paradigma fakta sosial dan paradigma definisi sosial dianggap mengandung
ide-ide dan nilai nilai, yang oleh paradigma perilaku sosial dianggap tidak tepat karena sebenarnya
ide-ide dan nilai-nilai itu tidak dapat diamati secara nyata dan konkret dalam menelaah tentang
masyarakat. Selanjutnya dinyatakan bahwa sebenarnya kebudayaan masyarakat itu terbentuk dari
tingkah laku manusia yang terpola. Sementara studi tentang tingkah laku yang terpola itu dapat
dilaksanakan tanpa memerlukan ide-ide dan nilai-nilai yang dianggap tidak nyata dan konkret.
Menurut George Ritzer (1975:145-184) dinyatakan bahwa teori-teori yang termasuk dalam
paradigma perilaku sosial, yaitu teori (1) Behavioral Sociology, yang menggunakan dasar psikologi
perilaku dalam sosiologi. Teori tersebut menitikberatkan adanya hubungan tingkah laku lingkungan
dengan tingkah laku individu, untuk mengetahui akibat dari adanya hubungan tingkah laku. Dalam
hal ini, ada hubungan kesejarahan antara akibat dengan hubungan tingkah laku yang terjadi. Berarti
bahwa hubungan tingkah laku antara individu dan lingkungan diikuti oleh akibatnya. Di samping
itu, dalam teori ini juga akan diketahui adanya pengulangan tingkah laku manusia, dalam arti
apakah tingkah laku yang pernah terjadi juga akan terjadi lagi di masa yang akan datang. Dengan
demikian, dapat diprediksi mengenai tingkah laku manusia yang pernah dilakukan akan terjadi lagi
di masa sekarang. (2) Exchange Theory, yang dikemukakan oleh George Homan yang mengakui
selama terjadinya interaksi sosial muncul gejala yang baru. Yang menjadi pertanyaan adalah
mengenai bagaimana cara menjelaskan gejala yang muncul sebagai akibat interaksi itu. Dalam hal
ini, George Homan mengakui bahwa suatu fakta sosial, dapat menyebabkan fakta sosial yang lain,
sekalipun hal itu belum dapat dikatakan sebagai pemberian penjelasan. Menurutnya hal itu harus
dijelaskan lewat pendekatan psikologi, yaitu dengan pendekatan perilaku. Adapun mengenai
metode yang digunakan oleh paradigma perilaku sosial, yaitu dengan kuesioner, wawancara dan
observasi sekalipun dalam paradigma ini banyak menggunakan eksperimen.
KARAKTERISTIK MASALAH SOSIAL

Pada dasarnya, permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat terjadi karena adanya hubungan
timbal balik yang terjadi karena adanya proses interaksi sosial. Seperti yang telah kita ketahui, interaksi
sosial terbagi menjadi dua, yaitu interaksi sosial asosiatif dan disosiatif. Interaksi sosial yang bersifat
asosiatif dapat menimbulkan gejala-gejala sosial yang normal sehingga hasilny akan menjadi
keteraturan dalam hidup bermasyarakat. Sedangkan interaksi sosial bersifat disosiatif dapat
memberikan gejala sosial yang tidak normal (patologis) sehingga menimbulkan ketidakteraturan
(disintegrasi) sosial.
Di dalam ilmu sosiologi, gejala-gejala sosial inilah yang disebut dengan masalah sosial.
Masalah sosial terjadi karena adanya unsur-unsur di dalam suatu kelompk masyarakat yang tidak
berfungsi normal, sehingga mengakibatkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada
akhirnya, masalah sosial berarti sesuatu yang terjadi dalam kehidupan nyata (das sein) tidak berjalan
sesuai dengan harapan (das soillen) di dalam kehidupan sosial.
Secara ringkas, terdapat beberapa definisi masalah sosial dalam pandangan ahli-ahli sosiologi,
meliputi :
 Soetomo
Masalah sosial ialah sebuah kondisi kehidupan yang tidak diinginkan oleh sebagian besar warga
masyarakat.
 Soejono Soekamto
Masalah sosial merupakan suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat,
sehingga dapat membahayakan kehidupan kelompok sosial
 Martin S.Weinberg
Menurut Martin, masalah sosial berarti sesuatu yang bertentangan dengan nilai sosial yang
berkembang dalam masyarakat yang cukup berarti (signifikan), sehingga masyarakat sepakat untuk
membuat suatu tindakan untuk mengubah situasi tersebut
 Lesli
Lesli berpendapat bahwasanya masalah sosial merupakan suatu kondisi yang mempunyai pengaruh
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang tidak diinginkan, sehingga membutuhkan tindakan
untuk mengatasinya.
 Arnold Rose
Berpendapat bahwa masalah sosial ialah situasi yang telah berpengaruh terhadap sebagian besar
warga masyarakat sehingga mereka yakin bahwa situasi itulah yang membawa kesulitan bagi
mereka, dan situasi tersebut dapat diubah
Masalah merupakan suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih
situasi yang membingungkan. Umumnya masalah disadari “ada” saat merasakan bahwa keadaan yang
ia hadapi tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, sosial berarti segala sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat. Sosial merupakan segala
sesuatu perilaku manusia yang menggambarkan hubungan non individualis. Istilah tersebut sering
dibandingkan dengan cabang-cabang kehidupan manusia dan masyarakat dimanapun. Pengertian sosial
ini merujuk pada hubungan-hubungan manusia dengan organisasi untuk mengembangkan diri.
1. Karakteristik Masalah Sosial
Terdapat 4 karakteristik yang harus dipenuhi oleh permasalahan sosial dalam kehidupan sehingga
bisa dikatakan sebagai masalah sosial, yaitu :
 Dirasakan Oleh Banyak Orang
Suatu masalah dapat dikatakan sebagai masalah sosial apabila masalah itu dirasakan efeknya oleh
banyak orang. Namun, tidak ada batasn pasti mengenai jumlah orang yang harus dipenuhi, oleh
karena itu, apabila efek maslaah itu dirasakan oleh dua orang atau lebih (tidak oleh satu orang saja),
maka hal itu juga bisa dikatakan masalah sosial
 Kondisi Tidak Menyenangkan
Penilaian masyarakat terhadap suatu permasalahan snagat menentukan apakan masalah itu
merupakan masalah sosial atau tidak. Yang pasti, masalah sosial merupakan suatu kondisi yang
tidak diinginkan terjadi oleh sebgaian besar masyarakat
 Kondisi yang Perlu Pemecahan
Suatu kondisi yang tidak menyenangkan selalu harus membutuhkan pemecahan oleh masyarakat
itu sendiri. Pada awalnya, masyarakat akan memecahkan suatu masalah jika masalah tersebut dirasa
perlu untuk diselesaikan. Contoh kondisi kemiskinan yang dahulu dianggap sebagai hal yang wajar,
sehingga tidak memerlukan pemecahan. Namun, sekarang kemiskinan merupakan salah satu
maslaah sosial sehingga perlu dipecahkan atau ditanggulangi.
 Pemecahan Masalah Harus Secara Kolektif (keseluruhan)
Suatu masalah yang membutuhkan pemecahan secara menyeluruh dan melibatkan banyak orang,
maka masalah tersebut dapat dikatakan sebagai masalah sosial. Pemecahan itu dapat berupa aksi
sosial, perencanaan sosial, dan kebijakan sosial.
2. Cara Mengenali Masalah Sosial
Masalah merupakan suatu kejadian atau gejala yang tidak akan pernah terpisahkan dari kehidupan
manusia karena kehidupan manusia merupakan proses perjuangan mengatasi masalah. Pada
dasarnya keberhasilan mencapai sukses dalam hidup adalah keberhasilan mengatasi masalah, dan
sebaliknya kegagalan hidup adalah kegagalan mengendalikan masalah yang dihadapi. Untuk dapat
menjalani hidup dengan berhasil maka manusia membutuhkan kemampuan mengendalikan
masalah (problem management). Kita lihat contoh sederhana berikut ini. Pada awalnya manusia
menghitung segala sesuatu secara manual. Dua ditambah dua sama dengan empat. Mudah bagi kita
untuk menghitungnya. Tapi coba Anda hitung tujuh puluh lima ditambah seperempat dari seratus
tiga puluh lima, kemudian dikalikan dengan lima ratus empat puluh satu lalu dibagi sembilan puluh.
Sulit bukan menghitungnya tanpa bantuan alat apa pun? Ini menjadi masalah bagi manusia.
Masalah ini menjadi tantangan bagi manusia. Masalah ini pada akhirnya memberikan kesempatan
kepada manusia untuk bisa berkembang. Terciptalah sebuah alat yang kita kenal dengan kalkulator.
Ternyata kalkulator tidak begitu banyak membantu manusia sehingga manusia masih memiliki
masalah. Sekali lagi masalah yang dihadapi manusia pada akhirnya membawa kemajuan bagi
manusia dengan diciptakannya alat yang kita kenal dengan komputer. Dengan demikian, “masalah”
bagi manusia tidak akan pernah berakhir, namun dengan adanya “masalah” tersebut maka manusia
juga akan selalu berkembang.
Semakin bertambah dewasa seseorang maka akan semakin bertambah besar pula
kebutuhannya, yang berarti semakin besar pula hambatan yang harus diatasi. Hal serupa terjadi
karena masyarakat juga selalu mengalami perkembangan. Semakin maju suatu masyarakat maka
semakin tinggi tingkat kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, dan konsekuensinya semakin besar
pula keperluan yang dibutuhkan untuk memenuhinya. Namun, inilah yang membuat manusia itu
unik dan berbeda dengan makhluk lainnya. Manusia, tidak seperti makhluk lain yang hanya
dilengkapi dengan naluri atau instinct yaitu pola-pola naluriah yang dibawa sejak lahir untuk
menanggapi dan menyelesaikan hambatan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bagi
manusia justru sebaliknya pola-pola itu akan berkembang dari pengalamannya dalam menanggapi
dan menyelesaikan hambatan yang dihadapi di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,
manusia disebut makhluk belajar.
Ada dimensi yang menjadi ciri khas masalah sosial, dan yang membedakannya dengan masalah
personal. Paling tidak ada 3 dimensi yang dapat dilihat dari penjelasan itu, yang memberi ciri sosial
kepada suatu masalah sehingga memenuhi kriteria untuk disebut sebagai masalah sosial. Tanpa 3
dimensi itu suatu masalah tidak dapat memenuhi kriteria sosial.
 Pertama, keresahan itu mencerminkan bahwa masalah itu terkait dengan kesadaran moral
anggota-anggota masyarakat.
 Kedua, keresahan umum juga berarti bahwa dalam masyarakat itu telah mulai terbentuk
persamaan persepsi terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh adanya masalah. Ancaman
terhadap kestabilan dan keadaan normal, serta terhadap nilai-nilai moral masyarakat.
Masalah sosial selalu terkait dengan kestabilan dan keadaan normal masyarakat itu.
Masalah sosial juga selalu terkait dengan nilai-nilai dan harapan-harapan luhur bersama
dari masyarakat.
 Dan ketiga adalah mulai berkembangnya kesadaran bahwa masalah ini tidak dapat diatasi
sendiri-sendiri, tetapi harus dilakukan dengan menggalang kerja sama di antara anggota-
anggota masyarakat yang mengalaminya.
Ketiga dimensi itu terlihat dari definisi masalah sosial yang dirumuskan oleh oleh Rubington dan
Weinberg (1989), yang menyatakan sebagai berikut.
Masalah-masalah sosial itu memiliki beberapa butir penting di dalamnya, antara lain berikut ini
a) Suatu Kondisi yang Dinyatakan
b) Tidak Sesuai dengan Nilai-nilai
c) Sebagian Berarti Warga
d) Suatu Kegiatan Bersama Dibutuhkan untuk Mengubah Situasi

PENDEKATAN MASALAH SOSIAL

1. Paradigma masalah sosial


Paradigma sosial merupakan kerangka berpikir dalam masyarakat yang menjelaskan bagaimana
cara pandang terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan terhadap ilmu atau teori yang ada.
Paradigma ini juga menjelaskan bagaimana meneliti dan memahami suatu masalah, serta kriteria
pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah. Secara umum, paradigma diklasifikasikan
dalam 2 kelompok yaitu kuantitatif dan kualitatif. Masing-masing paradigma atau pendekatan ini
mempunyai kelebihan dan juga kelemahan, sehingga untuk menentukan pendekatan atau paradigma
yang akan digunakan dalam melakukan penelitian tergantung pada beberapa hal di antaranya: jika
ingin melakukan suatu penelitian yang lebih rinci yang menekankan pada aspek detail yang kritis
dan menggunakan cara studi kasus, maka pendekatan yang sebaiknya dipakai adalah paradigma
kualitatif. Jika penelitian yang dilakukan untuk mendapat kesimpulan umum dan hasil penelitian
didasarkan pada pengujian secara empiris, maka sebaiknya digunakan paradigma kuantitatif, dan
jika penelitian ingin menjawab pertanyaan yang penerapannya luas dengan obyek penelitian yang
banyak, maka paradigma kuantitaif yang lebih tepat, dan jika penelitian ingin menjawab pertanyaan
yang mendalam dan detail khusus untuk satu obyek penelitian saja, maka pendekatan naturalis lebih
baik digunakan.
 Paradigma Fakta Sosial
Dalam paradigma fakta sosial, masyarakat dipandang sebagai kenyataan atau fakta yang berdiri
sendiri, terlepas dari persoalan apakah individu-individu menyukainya atau tidak menyukainya.
Masyarakat dalam strukturnya, yaitu bentuk pengorganisasian, peraturan, hirarki kekuasaan,
perananperanan, nilai-nilai, dan apa yang disebut sebagai pranatapranata sosial, merupakan fakta
yang terpisah dari individu, namun mempengaruhi individu tersebut. Sejak kecil individu-individu
sudah masuk dalam perangkap daya paksa masyarakat. Mereka dengan segera akan belajar, bahwa
tidak boleh berbuat sekehendaknya melainkan harus selalu melakukan penyesuaian-penyesuaian
dengan masyarakat di seklilingnya. Dengan demikian, dalam kehidupan ini ada kemauan umum
yang harus diikuti di atas keinginan-keinginan individual.
Tulisan Emile Durkheim yang menerapkan paradigma fakta sosial menekankan corak obyektif
hidup bermasyarakat. Hidup sosial manusia adalah kenyataan yang berdiri sendiri, yang tidak
mungkin dapat dipahami hanya berdasarkan ciri-ciri personal orang yang bersangkutan. Kehidupan
sosial memiliki hukumnya, dampaknya, dan akibatnya sendiri. Maka dari itu sosiologi tidak dapat
dikembalikan kepada psikologi, walaupun dalam kenyataan ada fakta psikis, tetapi juga ada fakta
sosial. Durkheim tidak pula menyangkal bahwa hidup manusia yang bersifat tunggal dan utuh ikut
ditentukan oleh ciri-ciri personal. Namun demikian, dia juga menegaskan bahwa kesosialan hidup
merupakan unsur otonom yang setidaknya sama nyata seperti keindividualannya.
Hirarki kekuasaan sebagai sebuah fakta sosial, menurut Foucault terjelma karena adanya relasi-
relasi kekuatan (force relations), adanya bentuk-bentuk kekuasaan antara sumber dan sasaran
kekuasaan (the body), serta sasaran kekuasaan (the social body). Fokus analisis dari pendekatan
Foucault adalah pada force relations, sehingga dapat digunakan untuk mengkaji peranan dan
dampakdari kekuasaan baik pada tingkat individu maupun masyarakat. Pada perspektif ini, relasi
kekuatan berada pada keadaan yang mobil, artinya bahwa relasi kekuatannya bisa berubah-ubah
tergantung pada siapa yang berkuasa dan siapa yang menjadi sasaran kekuasaan, namun
kekuasaannya itu sendiri akan tetap ada dan tidak bisa dihindari atau dilenyapkan.
Pengkajian pada makalah ini akan menempatkan peternak sebagai bagian dari masyarakat pedesaan
sebagai sasaran kekuasaan, dan yang menjadi penguasa adalah masyarakat atau institusi lain di luar
pedesaan. Bentuk-bentuk kekuasaan antara penguasa dan sasaran kekuasaan dapat dalam bentuk
penguasaan bidang politik, informasi, ekonomi, perdagangan, ataupun yang lainnya, sehingga
analisis dapat diarahkan untuk mengkaji peranan dan dampak kekuasaan tersebut. Melalui
pendekatan ini diharapkan dapat diketahui mengapa peternak sebagai bagian dari masyarakat
pedesaan dalam keadaan yang tidak berdaya, walaupun pembangunan yang diarahkan ke pedesaan
telah lama berlangsung. Diharapkan pula dengan diketahuinya duduk persoalan masalah di atas
dapat dicari alternatif pemecahannya.
 Paradigma Defenisi Dan Metode Sosial
Sebagai suatu realitas sosial yang tumbuh dan/atau berkembang dalam komunitas, maka metode
analisis terhadap masalah-masalah sosial tidak berbeda dengan metode analisis realitas sosial yang
lainnya. Perdefinisi, metode analisis ini juga akan sangat tergantung pada pola hubungan antar
variabelnya. Jika pola hubungannya bersifat kuantitatif, maka metode analisisnya juga harus
bersifat kuantitatif. Begitu pula jika pola hubungannya bersifat kualitatif, maka metode analisisnya
juga harus bersifat kualitatif. Berikut ini akan dijelaskan bagaimana prinsip-prinsip analisis
terhadap masalah-masalah sosial secara kuantitatif.
a) Sebelum melakukan analisis, harus diketahui lebih dulu apa latarbelakang kita melakuk
analisis. Diuraikan dan/atau dijelaskan mengapa analisis tersebut dilakukan dan apa arti
pentingnya analisis tersebut dilakukan. Apakah analisis tersebut untuk kepentingan
akademis atau praktis? Dalam pemaparan latarbelakang analisis tersebut akan tampak,
seberapa kuat dugaan-dugaan yang dikemukakan oleh penganalisis, bahwa masalah
tersebut sebagai masalah sosial atau tidak.
b) Merumuskan tentang esensi masalah apa yang akan dianalisis. Dalam perumusan esensi
apa yang akan dianalisis ini harus berisi pernyataan dari penganalisis. Biasanya dalam
perumusan esensi masalah yang akan dianalisis ini akan dirumuskan dalam kalimat tanya.
c) Mengemukakan landasan teoritis yang digunakan untuk menganalisis masalah sosial.
Teori adalah seperangkat pernyataan yang dinyatakan secara sistematis dan juga logis,
yang didasarkan pada data empiris. Teori jelas berbeda dengan pendapat, pernyataan atau
temuan lapangan dalam analisis masalah sosial. Fungsi teori dalam analisis masalah sosial
adalah sebagai pemandu, agar penganalisis memiliki bekal untuk melakukan analsis di
lapangan.
d) Mengemukakan prosedur lapangan yang digunakan untuk melakukan analisis masalah
sosial. Konsep operasional adalah konsep yang sudah diubah dari variabel menjadi konsep
yang lebih realistik untuk melakukan analisis masalah sosial.
Untuk penentuan lokasi analisis terhadap masalah sosial memang harus disesuaikan dengan apa
unit analisisnya. Apakah masalah tersebut akan dianalisis pada unit individual, kelompok, struktur
atau kultur. Seyogianya dikemukakan apa alasan-alasan empirisnya terutama yang berkaitan
dengan masalah sosial yang diteliti. Pada analisis masalah sosial, biasanya untuk menentukan siapa
narasumber akan dikaitkan dengan karakteristik masalah sosial yang dianalisisnya.
Untuk teknik pengumpulan data dalam analisis masalah sosial, biasanya akan menggunakan
kuesioner yang terstruktur opsi jawabannya, agar data yang diperolehnya nanti mudah diolah secara
kuantitatif. Untuk pembuatan kuesioner ini, ada prosedur tersendiri yang tidak boleh dilanggar,
misalnya, harus benar-benar jelas variabel-variabel, indikator-indikator, dan pertanyaan-
pertanyaannya. Kemudian lebih jauh daripada itu, harus juga benar -benar jelas bagaimana skema
analisis datanya
 Paradigma Perilaku Sosial
Membahas mengenai paradigm perilaku sosial secara khusus akan saya rujukkan sedikit kearah
penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang, sadar atau tidak sadar pernah kita alami atau kita
lakukan. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana
penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat
terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat. Suatu perilaku dianggap menyimpang
apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat atau
dengan kata lain penyimpangan (deviation) adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil
menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat. Seseorang yang melakukan tindak
penyimpangan oleh masyarakat akan dicap sebagai penyimpang (devian). Sebagai tolok ukur
menyimpang atau tidaknya suatu perilaku ditentukan oleh norma-norma atau nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat. Setiap tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat akan dianggap sebagai penyimpangan dan harus ditolak.
Seorang pelaku penyimpangan senantiasa berusaha mencari kawan yang sama untuk bergaul
bersama, dengan tujuan supaya mendapatkan teman. Lamakelamaan berkumpullah berbagai
individu pelaku penyimpangan menjadi penyimpangan kelompok, akhirnya bermuara kepada
penentanganterhadap norma masyarakat. Dampak yang ditimbulkan selain terhadap individu juga
terhadap kelompok/masyarakat.
Antisipasi adalah usaha sadar yang berupa sikap, perilaku atau tindakan yang dilakukanseseorang
melaui langkah-langkah tertentu untuk menghadapi peristiwa yang kemungkinan terjadi. Jadi
sebelum tindak penyimpangan terjadi atau akan terjadi seseorang telah siap dengan berbagai perisai
untuk menghadapinya. Sebelum kita menemui penyimpangan sosial terjadi dalam masyarakat,
secara pribadi individu hendaklah sudah berupaya mengantisipasinya. Namun, apabila
penyimpangan sosial terjadi juga, kita masing-masing berusaha untuk mengatasinya.

2. Pendekatan Dalam Pemecahan Masalah Sosial


Ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial yang terjadi
di masyarakat antara lain :
 Pendekatan Ekologi
Pendekatan ekologi pada suatu masalah sosial, yaitu pendekatan yan didasarkan atas konsep
dan prinsip ekologi. Penelitian masalah sosial dengan pendekatan ekologi berarti menelaah
masalah sebagai hasil interelasi antara masyarakat manusia pada suatu ekosistem. Pengaruh
manusia terhadap lingkungan dan sebaliknya pegaruh lingkungan terhadap kehidupan manusia
diteliti dan dikaji, selanjutnya interelasi kedua komponen tersebut dikaji sampai sejauh mana
telah menimbulkan masalah sosial. Merupakan kebenaran pokok bahwa relasi manusia dan
lingkungan dewasa ini bahwa : “Manusia merupakan bagian dari alam, bukan penguasa alam.”
(Ehrlinch dan Paul.R. 1973 : 4).
Aspek komponen manusia meliputi : aspek demografis, sosial-ekonomi, sosial-budaya, sosial-
historis, sosial psikologis, dan aspek sosial politiknya. Sedangkan komponen lingkungan
meliputi aspek-aspek : kesuburan tanah, organisme, hidrografi, iklim, dan mineral.
Selanjutnya dari data diatas dianalisis dengan kuantitatif dan kualitatif apakah faktor-faktor
tersebut yang menyebabkan terjadinya masalah sosial. Selain itu harus dianalisis pula relasi
antara komponen manusia dengan lingkungan dalam menjamin kehidupan manusia dan dalam
mendorong terjadinya masalah sosial. Manusia cenderung menyederhanakan keadaan unsur-
unsur ekosistem sehingga keadaan ekosistem menjadi labil dan mudah goncang. Kegoncangan
inilah yang menyebabkan terjadinya ketimpangan ekologi yang dapat menimbulkan masalah
sosial yang mengancam kehidupan manusia.
 Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem (System Approach) masalah sosial, yaitu suatu pendekatan yang
menetapkan bahwa masalah sosial tersebut sebagai suatu sistem. Sistem adalah suatu rangkaian
gejala yang dihubungkan satu sama lain oleh suatu proses umum.
Pada pendekatan sistem, masalah sosial yang dikaji sistem masalah sosial di masyarakat,
masalah-masalah yang timbul dan terjadi di masyarakat tidak lepas dari satu sama lain. Masalah
kependudukan terkait dengan masalah ekonomi, masalah ekonomi terkait dengan masalah
budaya, dan seterusnya. Satu masalah berkaitan dengan masalah lainnya membentuk suatu
sistem masalah . Pada keadaan seperti itulah masalah sosial dikaji melalui pendekatan sistem.
 Pendekatan Interdisipliner
Pendekatan interdisipliner adalah masalah sosial yang dianalisis, dikaji dalam berbagai disiplin
ilmu sosial serentak dalam dalam waktu yang sama. Masalah sosial yang kompleks sesuai
dengan subsistem masalahnya, diungkapkan dari berbagai disiplin akademis seperti sejarah,
ekonomi, geografi, psikologi, bahkan dari disiplin akademis yang lain seperti biologi,
kedokteran, IPA, dan sebagainya. Pendekatan sistem tidak bisa dipisahkan dengn pendekatan
interdisipliner. Pendekatan sistem yang menggunakan disiplin akademis yang jamak disebut
pendekatan interdispliner. Sedangkan pendekatan interdisipliner yang menetapkan suatu
masalah yang sedang didekati dan dianalisis sebagai satu sistem disebut pendekatan sistem.
Pada hakikatnya pendekatan interdisipliner adalah pendekatan multidisipliner, karena
pendekatan ini berlandaskan cara berpikir manusia yang multidimensional. Manusia jika akan
mengadakan evaluasi terhadap suatu gejala atau masalah selalu ditinjau dari berbagai aspek
(multidimensional). (Soetomo. 2008)

3. Penyebab Masalah Sosial


Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam
masyarakat dengan realita yang ada. Sumber masalah sosial, yaitu seperti proses sosial dan bencana
alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan khusus, seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisosial, musyawarah masyarakat,
dan lain sebagainya.
Penyebab masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 jenis faktor, anatara lain sebagai berikut:
a) Faktor ekonomi
Faktor ekonomi merupakan faktor terbesar penyebab terjadinya masalah sosial. Krisis
global dan PHK mulai terjadi diberbagai tempat dan dapat memicu tindak kriminal.
Masalah tersebut didorong adanya ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya secara layak, misalnya pengangguran, anak jalanan, dan lain-lain.
b) Faktor Budaya
Masalah sosial yang disebabkan oleh faktor budaya dipiu karena adanya ketidaksesuaian
pelaksanaan nilai, norma, dan kepentingan sosial akibat adanya proses perubahan sosial
dan pola masyarakat heterogen/multikultural. Contoh masalah ini seperti kenakalan
remaja, konflik antar suku, diskriminasi gender, dan bahkan pengakuan hak milik
kebudayaan lintas negara.
Kenakalan remaja merupakan salah satu masalah sosial yang disebabkan oleh faktor
budaya. Masalah sosial ini, sulit dihilangkan karena remaja suka mencoba hal-hal baru
yang berdampak negatif seperti narkoba.
c) Faktor Biologis
Masalah ini dapat timbul akibat adanya ketidaksesuaian keadaan lingkungan yang
berpotensi menimbulkan ketidakstabilan kondisi biologis masyarakat, seperti adanya
wabah penyakit menular, virus penyakit baru, dan makanan beracun. Penyakit menular
dapat menimbulkan masalah sosial jika penyakit tersebut sudah menyebar di suatu
wilayah.
d) Faktor Psikologis
Alirat sesat banyak terjadi di Indonesia dan meresahkan masyarakat walaupun sudah
banyak yang ditangkap dan dibubarkan tapi aliran sesat masih banyak bermunculan di
masyarakat sampai saat ini. Selain aliran sesat, faktor psikologis yang menjadi faktor
timbulnya masalah sosial yaitu sakit jiwa, lemah ingatan, sukar menyesuaikan diri, dan
lain-lain. (Darsono, 2017)

PERSPEKTIF PEMECAH MASALAH SOSIAL

Dalam menyelesaikan suatu masalah yang pertama dilakukan adalah pengenalan masalah karna
pengenalan masalah adalah langkah yang paling sulit dan paling penting di dalam proses pemecahan
masalah. Akibat-akibat dari kegagalan di dalam pengenalan masalah ini bisa berat, untuk itu dibutuhkan
bantuan professional untuk menyikapi suatu permasalahan, yaitu dengan layanan bimbingan dan
konseling. Bimbingan dan konseling merupakan proses bantuan yang diberikan oleh pembimbing
(konselor) kepada individu (konseli) melalui pertemuan tatap muka atau hubungan timbal balik antara
keduanya, supaya konseli mempunyai kemampuan atau kecakapan melihat dan menemukan
masalahnya serta mempunya kemampuan memecahkan masalahnya sendiri. (Tohirin,2013:25)
Maka dari itu diperlukannya sebuah strategi atau cara pemecahan masalah itu sendiri dengan
prosedur-prosedur dalam Bimbingan dan Konseling.
1. Prespektif indvidu
M. Hamdan Bakran Adz-Dzaky (2004) mengklarifikasikan masalah individu sebagai berikut:
Pertama, masalah individu yang berhubungan dengan Tuhannya, ialah kegagalan individu
melakukan hubungan secara vertikal dengan Tuhannya.seperti sulit menghadirkan rasa takut,
memiliki rasa tidak bersalah atas dosa yang telah dilakukan, sulit menghadirkan rasa taat, merasa
bahwa Tuhan senantiasa mengawasi perilakunya sehingga individu tidak melaksanakan ibadah dan
sulit meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dilarang Tuhan.
Kedua, masalah individu berhubungan dengan dirinya sendiri adalah kegagalan bersikap
disiplin dan bersahabat dengan hati nurani yang selalu mengajak atau menyeru dan membimbing
kepada kebaikan dan kebenaran Tuhannya. dampaknya adalah muncul sikap was-was, ragu-ragu,
berprasangka buruk, rendah motivasi, dan dalam banyak hal tidak mampu bersikap mandiri.
Ketiga, masalah individu berhubungan dengan lingkungan keluarga misalnya kesulitan atau
ketidakmampuan mewujudkan hubungan yang harmonis antara anggota keluarga seperti antara
anak dengan ayah ibu, adik dengan kakak dan saudara-saudara lainnya. Hal ini menyebabkan anak
merasa tertekan, kurang kasih sayang, dan kurangnya keteladanan dari kedua orangtua.
Keempat, masalah individu yang berhubungan dengan lingkungan kerja misalnya kegagalan
individu memilih pekerjaan yang sesuai dengan karakteristik pribadinya. Kegagalan dalam
meningkatkan prestasi kerja, ketidak mampuan berkomunikasi dengan atasan, rekan kerja, dan
kegagalan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
Kelima, maslah individu yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya misalnya
ketidakmampuan melakukan penyesuaian diri baik dengan lingkungan tetangga, sekolah, dan
masyarakat atau kegagalan bergaul dengan lingkungan yang beraneka ragam watak, sifat dan
perilaku
Cara memacahkan masalah individu
 Mengenal Masalah
Dalam langkah ini bertujuan megenal masalah-masalah yang harus dipecahkan atau kebutuhan-
kebutuhan yang harus dipenuhi. Dalam langkah ini perlu dikumpulkan informasi-informasi
tambahan, sehingga segala faktor yang relevan dapat dianalisis, guna menemukan masalah
yang sebenarnya harus dipecahkan.(Hunsaker, 1995: 17) Kita mencari akar-akar dan sebab-
sebab terdalam dari situasi yang ada. Sebab, sebenarnya, sebaiknya jangan diandalkan. Kita
harus macam sebab yang mungkin terlebih dulu, sebelum kita mencoba memastikan sebab
yang paling mungkin. Sebaiknya kita juga menghindarkan diri agar tidak menyamakan gejala
dengan sumber masalah.
Kita sebaiknya jangan mudah merasa tidak perlu merumuskan sebab dari situasi yang
sebenarnya dengan tepat, hanya karena masalah itu kita anggap sudah dipecahkan. Meskipun
kita merasa cakap untuk memecahkan masalah yang kita rumuskan itu, jika yang kita sebut
masalah itu hanya gejala gejala saja, kita akan berakhir pada kekacauan yang mungkin lebih
parah dari sebelumnya. Jadi mengenal maslah secara tepat lebih mudah diandaikan daripada
dibuat. Oleh karena itu pengenalan masalah langkah yang paling sulit dan paling penting di
dalam proses pemecahan masalah. Akibatakibat dari kegagalan di dalam pengenalan masalah
ini bisa berat.
 Menggunakan Keterampilan Konseling
Menerapkan konseling tidak berarti menjadi konselor. Perlu di ketahui perbedaan antara
menerapkan beberapa dasar ketrampilan konseling dalam kehidupan sehari-hari dan melakukan
konseling. Keduanya tidak sama, meskipun berada dalam sebuah kontinum yang sama.
Konseling dilakukan sesuai dengan seperangkat aturan dan pedoman yang telah di gariskan
oleh lembaga-lembaga konseling profesional yang mensyaratkan standar akreditasi dan tingkat
kompetisi minimum. Konselor terikat dengan kode etik, yang menekankan pada sikap
menghargai nilai, pengalaman, pandangan, perasaan, dan kemampuan klien untuk menentukan
diri sendiri. (Geldard, 2003) Hubungan dalam konseling itu bersifat membantu (helping).
Hubungan membantu itu berbeda dengan member (giving) atau mengambil alih pekerjaan
orang lain. Membentu tetap memberi kepercayaan kepada konseli untuk bertanggungjawab dan
menyelesaikan segala masalah yang dihadapinya. (Latipun, 2008:7)
2. Prespektif sistem
Prespektif Sistem Dalam Memecahkan Masalah Dan Membuat Keputusan Manajer terlibat
dalam pemecahan masalah untuk pengambilan keputusan yang efektif dan efisien. Sistem
Konseptual adalah suatu sistem pemecahan masalah yang terdiri dari manajer, informasi dan
standar. 2 elemen lain masuk dalam proses perubahan masalah menjadi solusi (solusi alternatif dan
kendala)
Dalam perspektif sistem pemecahan masalah dapat dilakukan dengan empat tahapan utama yaitu :
 Memahami dan mendefinisikan masalah
Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting karena menjadi awal dari seluruh proses
pemecahan masalah. Tujuan pada bagian ini adalah memahami masalah dengan baik dan
menghilangkan bagian-bagian yang dirasa kurang penting.
 Membuat rencana untuk pemecahan masalahPada bagian ini ada dua kegiatan penting yaitu
o Mencari berbagai cara penyelesaian yang mungkin diterapkan
o Membuat rencana pemecahan masalah
Penyelesaian suatu masalah biasanya tidak hanya satu tapi mungkin bisa beberapa macam.
Sebagai ilustrasi, apabila kita berada di kota Surabaya dan ingin pergi ke Jakarta, maka banyak cara
yang mungkin bisa dilakukan, misalnya kita bisa menempuh dengan angkutan darat, laut atau udara.
Dengan angkutan darat kita bisa menggunakan kereta api, bus atau angkutan yang lain. Jalurnya
pun kita bisa lewat jalur utara, tengah atau selatan. Jadi banyak sekali cara penyelesaian yang bisa
kita kembangkan. Masing-masing mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Dari sekian banyak
penyelesaian ini kita harus memilih satu yang berdasarkan persyaratan tertentu merupakan cara
yang paling baik untuk menyelesaikan permasalahan. Setelah terpilih, maka kita dapat membuat
rencana kasar (outline) penyelesaian masalah dan membagi masalah dalam bagian-bagian yang
lebih kecil. Rencana kasar (outline) penyelesaian masalah hanya berisi tahapan-tahapan utama
penyelesaian masalah.
 Merancang dan menerapkan rencana untuk memperoleh cara penyelesaian. Pada bagian ini
rencana kasar penyelesaian masalah diperbaiki dan diperjelas dengan pembagian dan urutan
rinci yang harus ditempuh dalam penyelesaian masalah.
 Memeriksa dan menyampaikan hasil dari pemecahan masalah Bagian ini bertujuan untuk
memeriksa apakah akurasi (ketepatan) hasil dari cara yang dipilih telah memenuhi tujuan yang
diinginkan. Selain itu juga untuk melihat bagaimana daya guna dari cara yang dipilih yang
dipilih.
3. Perspektif Struktur
Terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam hal menjelaskan perilaku sosial seseorang.
Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif,
(2) karena kebiasaan, dan (3) bersumber dari proses mental.
Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik mungkin lalu menguraikan hubungan antara
masyarakat dengan individu. William James dan John Dewey menekankan pada penjelasan
kebiasaan individual, tetapi mereka juga mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan
kebiasaan kelompok - yaitu adat-istiadat masyarakat - atau strutur sosial .
Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara
yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan oleh satu
generasi ke generasi berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita
mengalami kehidupan sosial yang telah terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak
struktur sosial atas ”diri” (self) - perasaan kita terhadap diri kita sendiri.
Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat
mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individu- individu ke
dalam berbagai macam peran (roles).
Beberapa teori yang melandasi persektif struktural adalah :
 Teori Peran (Role Theory)
 Teori Pernyataan - Harapan (Expectation-States Theory), dan
 Teori Posmodernisme (Postmodernism)
 Teori Peran (Role Theory)
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif
struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial
individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial - pola interaksi yang sedang terjadi dalam
masyarakat - sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku indi- vidual.
Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya.
Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.

Sumber

Mulyani,dkk. 2009. Pendidikan IPS di SD. Bandung : UPI Press


Soetomo. 2008. Masalah social dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Mulyani,dkk. 2009. Pendidikan IPS di SD. Bandung : UPI Press
Soetomo. 2008. Masalah social dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
https://aina1327.blogspot.com/2019/02/makalah-masalah-sosial-dalam-
masyarakat.html?showComment=1567018078332&m=1
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-perspektif-struktural/8173/2
https://penerbitbukudeepublish.com/masalah-sosial/

Anda mungkin juga menyukai