Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-
bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan.
Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap
bagian yang lain. Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan
satu sistem atau peristiwa terhadapa sistem yang lain dan karena itu mengabaikan
kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau suatu sistem dapat menentang fungsi-fungsi
lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan
bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.
Maka jika terjadi konflik, penganut teori fungsionalisme struktural memusatkan
perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga
masyarakat tetap dalam keseimbangan.
Singkatnya adalah masyarakat menurut kaca mata teori (fungsional) senantiasa berada
dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara
keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur fungsional bagi sistem sosial itu.
Demikian pula semua institusi yang ada, diperlukan oleh sosial itu, bahkan kemiskinan
serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dalam kondisi: dinamika dalam
keseimbangan.
1. Teori Konflik
Teori ini dibangun dalam rangka untuk menentang teori Fungsionalisme Struktural.
Karena itu tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya
bertentangan dengan proposisi yang terdapat adalah Teori Fungsionalisme Struktural.
Tokoh utama Teori Konflik adalah Ralp Danrendorf.
Jika menurut Teori Fungsionalisme Struktural masyarakat berada dalam kondisi statis
atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan, maka menurut Teori Konflik
malah sebaliknya. Kalau menurtu Teori Fungsionalisme Struktural setiap elemen satau
setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas, maka Teori Konflik melihat
bahwa setiap elemen atau institusi memberikan sumbangan terhadap disintegerasi
sosial. Kontras lainnya adalah bahwa penganut Teori Fungsionalisme Struktural melihat
anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas
umum, maka Teori Konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu
hanyalah disebabkan karena adanya teknan atau pemaksaan kekuasaan atas golongan
yang berkuasa.
Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik itu atas dua tipe. Kelompok
semu (quasi group) dan kelompok kepentingan (interest group). Kelompok semu
merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan
kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok-kelompok
kepentingan. Sedangkan kelompo dua, yakni kelompok kepentingan terbentuk dari
kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur,
organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah
yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.
Adapun mengenai fungsi dari adanya konflik, Berghe mengemukakan ada empat hal:
Singkatnya, Teori Konflik ini ternyata terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas
yang memang ada dalam masyarakat dalam masyarakat di samping konflik itu sendiri.
Masyarakat selalu dipandangnya dalam kondisi konflik. Mengabaikan norma-norma dan
nilai-nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam
masyarakat. Masyarakat seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan pertentangan.
Patologi sosial merupakan suatu perspektif yang menganggap masalah sosial sebagai
suatu 'penyakit' dari masyarakat yang ideal. Konsep patologi ini diserap dari ilmu biologi
yang menganggap bahwa masyarakat itu terbagi-bagi menjadi organ-organ yang saling
terkait dan saling mempengaruhi sesuai dengan peran dan fungsinya masing-
masing.
Kunci dari perspektif Patologi sosial adalah, suatu kesalahan yang dilakukan seseorang
adalah karena Gen dari keturunan itu. Misal, ada orang yang tertangkap mencuri
makanan di pasar. Dalam perspektif Patologi Sosial, dalam kasus ini memandang bahwa
pencuri ini emang pada dasarnya adalah jiwa pencuri, pencuri ini memang sangat senang
mencuri, dan ini merupakan keturunan gen pencuri, dll. di Zaman dahulu konsep ini
sering digunakan, mungkin saja sampai sekarang masih ada yang menggunakan. jika
menggunakan perspektif ini, mungkin akan terjadi Genosida (pembunuhan gen,
keturunan).
Berkembangnya zaman, kritik tentang patologi sosialpun semakin banyak sehingga ada
perubahan makna / konsep antara Patologi Sosial Klasik, dan Patologi Sosial Medern.
Perbedaan antara pandangan patologi sosial klasik dan modern
Klasik Modern
Orang pada dasarnya cacat. ‘Kekurangan’ Mengakui adanya faktor lingkungan yang
(cacat, ketergantungan, dan kenakalan) juga memberikan pengaruh yang tidak
semacam itu disebut warisan. sedikit.
‘Kekurangan’ secara terus menerus Setidaknya masalah sosial tidak akan ada
dipertahankan melalui pernikahan yang tanpa pengaruh suatu lingkungan yang
terjadi di antara mereka yang memiliki buruk.
bakat itu. Untuk penyelesaian dengan perbaikan pada
Untuk penyelesaiannya dengan institusi (kekurangan juga melekat pada
“memperbaiki keturunan” (eugenetics masyarakat tertentu, seperti kepadatan
movement) dan pendidikan moral penduduk atau perkembangan teknologi
khususnya pada lapisan menengah. yang berpolusi).
Penyembuhan dapat dilakukan secara Tidak dapat secara parsial karena
parsial, berdasarkan diagnosis atas masalah masyarakat merupakan satu kesatuan yang
yang dirasakan. berkaitan dan permasalahan yang dialami
bersifat menyeluruh.
Dari berbagai macam perbedaan antara patologi sosial klasik dan modern, ada
kesamaan antara kedia pandangan ini. yaitu untung menangani masalah sosial ini harus
dengan pendidikan moral.
Mengapa demikian?
Perspektif Patologi sosial ini menganggap adanya penyakit (individu, masyarakat,
lembaga, keluarga) akibat tidak mampunya individu, masnyarakat, insitusi, keluarga,
tersebut untuk menjalankan peran dan tugasnya dalam lingkungannya. sehingga
mempengaruhi strukturnya sehingga timbul masalah sosial yang dianggap 'penyakit'
tersebut. Karena menggunakan bahasa 'penyakit', maka solusinya adalah 'mengobati'
dengan cara rehabilitasi dan resosialisasi. dengan cara apa? yaitu dengan pendidikan
moral.
Sebagai contoh:
ada sebuah keluarga sederhana yang sekeluarga bermasalah, bapaknya peselingkuh,
istrinya pelacur, dan anak-anaknya pencuri. Perspektif patologi klasik, dari gennya
merupakan keturnan yang bermasalah. namun didukung dengan lingkungannya
(orangtuanya tidak mengajari anaknya dengan baik dan benar termasuk pendidikan
moral). Namun karena yang mengalami masalah seperti ini ada banyak dan mengganggu
masyarakat lain, maka disebut masalah sosial. Jika menurut perspektif ini maka solusi
satu satunya adalah pendidikan moral. mengajari keluarganya, mensosialisasi
keluarganya pendidikan yang baik dan benar yang harus dilaksanakan secara
menyeluruh.
Tabel 2.1 Tabel perbedaan paradigma dan perspektif menurut Merton dan Nisbet:
Paragdima Perspektif
Perspektif patologi sosial merupakan perspektif tertua dalam analisis permasalahan sosial.
Definisi patologi sosial :
“Kondisi sosial yang diinginkan dan yang tertata dilihat sebagai yang sehat, sedangkan orang
atau situasi yang menyimpang dari harapan moral dipandang sebagai sakit, atau bahkan buruk.
Dari perspektif patologi sosial, sebuah masalah sosial merupakan pelanggaran dari normal
yang ada.”
(Rubington, 1995, hal.19)
Secara etimologis, kata patologi berasal bahasa yunani, yakni dari kata Pathos yang berarti
disease/penderitaan/penyakit dan Logos yang berarti berbicara tentang/ilmu. Jadi, patologi
adalah ilmu yang membicarakan tentang penyakit atau ilmu tentang penyakit
Patologi sosial menunjuk kepada kondisi sosial yang diakibatkan (1) oleh kegagalan individu
menyesuaikan diri terhadap kehidupan sosial di mana fungsi mereka sebagai anggota masyarakat
mandiri, memenuhi kebutuhan sendiri, yang dapat menyumbang secara wajar kepada stabilitas
dan kemajuan pembangunan, dan (2) oleh ketidakmampuan penyesuaian struktur sosial termasuk
mengorganisasikan cara melakukan sesuatu dan mengorganisasikan lembaga-lembaga, bagi
perkembangan kepribadianBlackmar, (tulisan Frank W dan J.L Gillin, 1923)
Teori Fungsionalis
Teori ini mengemukakan bahwa semua bagian di masyarakat mempunyai fungsinya masing-
masing dalam masyarakat tersebut. Semua bagian masyarakat ini saling bekerjasama untuk
membangun tatanan sosial yang stabil dan harmonis. Jika terdapat Satu elemen dari
masyarakatnya tidak memfungsikan tugasnya dengan baik, maka dapat menimbulkan
ketidakteraturan di sebuah keadaan sosial. Pada akhirnya ketidakteraturan itu
menimbulkan suatu bentuk masalah sosial.
Berdasarkan teori fungsional ini, ada dua pandangan tentang masalah sosial. Kedua
pandangan tersebut adalah patologi sosial dan disorganisasi sosial. Dalam patologi sosial,
permasalahan sosial diibaratkan sebagai penyakit dalam diri manusia. Penyakit yang timbul
tersebut, penyebabnya ialah salah satu bagian tubuh tidak mampu bekerja dengan baik
sesuai dengan fungsinya
Penyakit sosial seperti kriminalitas, kekerasan, dan kenakalan remaja tumbuh dalam
masyarakat karena peran-peran sosial seperti institusi keluarga, agama, ekonomi dan politik
sudah tidak berfungsi maksimal dalam mensosialisasikan nilai dan norma yang baik.
Sedangkan menurut pandangan disorganisasi sosial, masalah sosial bersumber dari
perubahan sosial yang cepat, yang kemudian mempengaruhi norma sosial.
Teori Konflik
Menurut teori ini, masalah sosial muncul dari berbagai macam konflik sosial, yaitu konflik
kelas, konflik etnis dan konflik gender. Ada dua perspektif dalam teori konflik, yaitu teori
Marxis dan teori Non-Marxis. Teori Marxis terjadi karena adanya ketidaksetaraan dalam
kelas sosial. Oleh karena itu, Teori Marxis muncul untuk menyelesaikan masalah-masalah
yang timbul akibat ketidaksetaraan tersebut. Berbeda dengan Teori Marxis, teori Non-
Marxis berfokus pada konflik antarkelompok sosial di masyarakat. Konflik tersebut
disebabkan oleh kepentingan yang berbeda antara satu kelompok dengan yang lain.
Teori ini mengemukakan bahwa setiap orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang
muncul dalam sebuah situasi tertentu. Ada dua paham dalam teori ini yang mengkaji tentang
masalah sosial. Teori pertama adalah teori pelabelan (labelling theory). Menurut teori
pelabelan, sebuah kondisi sosial di dalam masyarakat dikatakan bermasalah karena kondisi
tersebut sudah dianggap sebagai suatu masalah.
Teori konflik
Menurut Marx, sejarah masyarakat manusia adalah sejarah perjuangan kelas, yang mana
melahirkan kelompok borjuis dan kelompok proletar. Kelompok-kelompok yang menyadari
bahwa posisinya berada pada kaum proletar, kala itu mereka dengan sadar melakukan
berbagai macam upaya pemberontakan terhadap kaum borjuis. Konflik antarkelas inilah
yang kemudian melahirkan perubahan dalam masyarakat. Menurut Marx pula, suatu saat
kaum proletar akan memenangkan perjuangan kelas ini yang kemudian akan melahirkan
masyarakat tanpa kelas.
Masih dalam perspektif Marx memandang konflik, ia mengembangkan teori konflik dengan
beberapa konsepsi yakni konsepsi tentang kelas sosial, perubahan sosial, kekuasaan dan
negara dimana konsepsi-konsepsi tersebut saling berkesinambungan satu sama lain.
Negara tentunya memiliki kepentingan, oleh karenanya hal ini dimanfaatkan oleh para kaum
borjuis. Kelompok borjuis yang tentunya dapat memiliki dan juga memegang kendali atas
alat-alat produksi tentu meminta legitimasi atau bukti kepemilikan yang sah. Bukti
kepemilikan ini bisa didapatkan melalui negara. Oleh karena itu, kelompok borjuis memiliki
kekuasaan untuk menentukan apa yang akan diproduksi dan didistribusi. Menurut Marx,
dalam konteks ini hukum dan pemerintah lebih banyak berpihak pada kaum borjuis
dibanding proletar.
Teori konflik ini kemudian memunculkan apa yang dinamakan sebagai perspektif konflik.
Perspektif ini melihat masyarakat sebagai sesuatu yang selalu berubah, terutama sebagai
akibat dari dinamika pemegang kekuasaan yang terus berusaha menjaga dan
meningkatkan posisinya.
Karl Marx memandang bahwa teori konflik lahir dengan beberapa konsepsi yakni konsepsi
tentang kelas sosial, perubahan sosial, kekuasaan dan negara dimana konsepsi-konsepsi
tersebut saling berkesinambungan satu sama lain.
Perilaku Menyimpang
erilakau menyimpang menyiratkan kesan, meskipun tidak ada masyarakat yang seluruh
P warganya dapat menaati dengan patuh seluruh aturan norma social yang berlaku
tetapi apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang, maka hal itu dianggap
telah mencoreng aib diri sendiri, keluarga maupun kumunitas besarnya.
Sumbangan sosiologi cukup signifikan dalam memetakan berbagai bentuk
penyimpangan perilaku dan reaksi masyarakat yang ditimbulkannya. Kajian tentang
perilaku menyimpang dipelajari oleh sosiologi karena berkaitan dengan pelanggaran
terhadap norma-norma sosial dan nilai-nilai kulutral yang telah ditegakkan oleh
masyarakat. Selain itu, melalui teori dan hasil-hasil penelitian yang dikembangkannya,
sosiologi membantu masyarakat untuk dapat menggali akar-akar penyebab terjadinya
tindakan menyimpang. Upaya untuk menghentikan atau paling tidak menahan
bertambahnya penyimpangan perilaku dapat dipelajari pula melalui kajian tentang
lembaga kontrol sosial dan efektivitasnya dalam mencegah terjadinya tindakan tersebut.
Beberapa karya ilmiah penganut perspektif patologi sosial adalah sebagai berikut:
a. The organic analogy oleh Samuel Smith (1911), yang mencontohkan bagaimana cara
seorang dokter dalam menyembuhkan pasiennya. Maka Ahli Patologi sosial mempelajari masalah
sosial dalam mencari solusi pemecahannya.
b. The criminal as a born criminal type oleh Cesare Lombroso dan William Ferrero(1895),
yang memperkenalkan ciri-ciri kelainan (ketidakserasian) wajah sebagai ciri-ciri pelaku warisan
kejahatan.
c. The child saver oleh Anthony M. Platt yang mengemukakan pandangan bagi proses
penyembuhan kenakalan remaja sebagai “kekurangan sifat insani yang utuh” (as less than a
complete human being) akibat sifat bawaan maupun muncul dalam perkembangannya.
d. A universal Criterion of Pathology oleh Vytautas Kavolis (1969) yang tidak sepaham
dengan menganalogikan perspektif patologi sosial dengan model medik. Argumennya adalah
bahwa patologi sosial dapat memberi konsep-konsep yang objektif dan berguna jika disertai
dengan pengkajian yang teliti.
e. The pursuit of Loneliness oleh Philip Slater (1976), yang mengemukakan bahwa budaya
individualsme yang dibawa bangsa Amerika, selain belum sepenuhnya diterima juga berakibat
buruk karena individualism tidak dapat menghilangkan patologis dari kebudayaan baru.
Disorganisasi sosial
Dalam perspektif disorganisasi sosial, ada 2 faktor yang mendorong, yaitu sebagai (1)
jawaban terhadap keadaan yang terjadi pada tingkat masyarakat luas; (2) jawaban terhadap
perubahan dalam lapangan sosiologi secara khusus.
Setelah perang dunia pertama (1942), terjadi arus migrasi dan urbanisasi dari Eropa ke
Amerika dan menimbulkan masalah seperti kemiskinan, kejahatan, gangguan mental, kecanduan
alcohol dan sejenisnya. Pertemuan antara migran dan warga setempat berbaur dengan kebudayaan
yang ada menimbulkan masalah, terutama bagi yang kurang berhasil menyesuaikan diri. Dan dari
mereka itulah tampaknya yang menjadi sumber masalah. Demikian juga proses industrialisasi
yang terus berkembang, namun selain menyisakan dampak lingkungan, juga kapasitas tenaga kerja
yang tidak tertampung sehingga berakibat banyaknya pengangguran.
Jadi setidaknya ada 3 faktor utama yang menyebabkan disorganisasi sosial, berupa
perubahan sosial dan kultural pada tahap ini di Amerika Serikat, yaitu Migrasi, Urbanisasi dan
Industrialisasi. Masalah yang berkembang tidak hanya sebatas kejahatan namun masalah-masalah
sosial lainnya. Hal ini terus menimbulkan tantangan baru bagi para sosiolog yang kemudian
melahirkan perspektif Disorganisasi Sosial, sebagimana disampaikan Samuel Huntington (1997)
yang menghitung munculnya perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak
terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation.”
Munculnya perspektif Disorganisasi Sosial dinilai oleh Rubington dan Weinberg(1995)
sebagai suatu refleksi yang mengokohkan bahwa sosiologi telah merupakan suatu disiplin ilmu
yang mandiri. Perspektif disorganisasi sosial sangat populer karena keberhasilan para sosiolog
untuk menunjukkan adanya hubungan antara masalah sosial dan disorganisasi sosial. Tokoh-
tokohnya antara lain Charles H. Cooley, W.I Thomas dan Florian Znaniecki dan William Ogburn.
Ada perbedaan antara perspektif patologi sosial dan perspekti disorganisasi Sosial, yaitu
bahwa pada perspektif disorganisasi Sosial lebih kompleks dan lebih sistematik, karena hasil
kemajuan sosiologi yang semakin berkembang. Perbedaan yang paling penting adalah bahwa
perspektif patologi sosial berangkat dari anggapan bahwa masalah itu disebabkan oleh kegagalan,
baik pada individu maupun masyarakat, sedangkan perspektif disorganisasi sosial mulai dengan
penelitian mendalam atas peranan dari aturan atau kebiasaan yang merupakan tatanan baru suatu
kehidupan.
Beberapa karya ilmiah penganut disorganisasi sosial diantaranya adalah sebagai berikut;
1. sosial change and sosial disorganization oleh Robert E. Park, mengemukakan gagasannya
bahwa dasar bagi suatu organisasi sosial adalah tradisi dan kebiasaan. Keluarga, tetangga,
masyarakat yang stabil merupakan lembaga yang mampu menjalankan pengendalian sosial.
Namun masyarakat modern yang komplek seperti urbanisasi, migrasi, industrialisasi yang
berlangsung cepat karena teknologi (komunikasi dan transportasi) berdampak pada disorgansasi
sosial di masyarakat.
2. The ecology of urban disorganization oleh Robert E.L.Farist dan H.Warren Dunham yang
mengungkapkan bahwa ternyata lebih banyak permasalahan yang berhubungan dengan struktur
ekologis disbanding dengan masalah urbanisasi dan disorganisasi sosial.
3. Family disorganization oleh W.I Thomas dan Florian Znaniecky yang mengemukakan
bahwa inti permasalahan disorganisasi keluarga adalah adanya sikap we(kekitaan) dan
sikap I (keakuan) dalam struktur masyarakat.
Konflik nilai
Pada tahun 1925, Lawrence K. Frank menggunakan perspektif Konflik nilai dalam
mempelajari masalah-masalah perumahan, yang ternyata mengandung banyak konflik
kepentingan (Rubington dan Weinberg, 1995 dan Lawrence K. Frank, 1925).
Perspektif konflik nilai tumbuh sebagai perpaduan antara teori-teori konflik Eropa dan
Amerika. Dipelopori oleh Karl Marx yang melukiskan sejarah berkaitan dengan pertentangan
kelas dan George Simmel yang mengaitkan dengan konflik dalam interaksi
sosial. Fuller dan Myers berpendapat bahwa masalah sosial ditemukan dalam 3 fase, yaitu;
kesadaran, penentuan kebijaksanaan dan perubahan. Mereka melihat bahwa sejak perang dunia
ke-2 tidak terjadi disorganisasi, namun banyak terjadi perbedaan kepentingan, dimana masing-
masing pihak mempertahankan kepentingan dan nilai-nilainya dari kelompok lain.
Perspektif konflik nilai dipandang lebih tajam daripada perspektif patologi dan lebih supel
diabanding disorganisasi sosial. Penyebab masalah sosial adalah konflik nilai atau kepentingan.
Jika perbedaan kepentingan mencapai titik kulminasi, maka pecah konflik tidak terhindarkan. Ada
3 cara penyelesaian konflik, yaitu konsesus dimana antara pihak yang bertikai memilih nilai yang
tertinggi. Kemudian trade, yaitu penyelesaian melalui negosiasi. Dan ketiga adalah naked power
dimana pihak yang kuat akan mengalahkan pihak yang lemah.
Beberapa karya ilmiah penganut perspektif konflik nilai adalah sebagai berikut
1. The stage of sosial problem oleh Richard C. Fuller dan Richard R. Myers yang menyatakan
bahwa masalah sosial berkembang melalui 3 tahap, yaitu kesadaran, penetapan kebijaksanaan dan
perbaikan. Menurut mereka konflik nilai tampil dalam seluruh fase sejarah perkembangan suatu
masalah sosial.
2. Words without Deeds oleh Willard Waller yang menjelaskan bahwa dalam menghadapi
masalah sosial kita harus mempunyai alasan kenapa kita sebut sebagai suatu masalah sosial. Ada
dua kebiasaan dalam menyikapi, yaitu pertimbangan kemanusiaan dan pertimbangan
organisasional yang keduanya tidak selalu sejalan. Artinya dalam setiap permasalahan sosial kita
akan senantiasa dihadapkan pada pertimbangan kemanusian dan pertimbangan organisasi. Dalam
kesimpulannya Waller menyatakan bahwa banyak masalah yang tidak terselesaikan karena
memang tidak ada keinginan untuk menyelesaikannya.
Perilaku menyimpang
Perspektif perilaku menyimpang merupakan salah satu pendekatan dalam memahami
masalah sosial. Merton dan Nisbet (1961, dalam Tangdilintin 2000) menyatakan bahwa perilaku
menyimpang melihat masalah sosial sebagai suatu akibat dari suatu tidakan yang menyimpang
dari perangkat nilai berhubungan status sosial seseorang. Jadi suatu perilaku akan dikatakan
menyimpang atau tidak, sangat tergantung pada status orang yang melakukannya. Perilaku
menyimpang bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi terkait dengan aturan kebiasaan yang secara
sosial telah diterima dan secara moral bersifat mengikat penyandang status tertentu.
Brian J. Heraud (1970) membedakan penyimpangan dalam beberapa jenis, seperti
penyimpangan statis yaitu penyimpangan pada kebiasaan umum dalam kehidupan sehari-hari.
Penyimpangan medis atau patologis, yaitu penyimpangan sebab dan akibat sosial atau individual.
Karenanya penyimpangan ini harus dikaji secara selektif untuk menentukan mana yang tergolong
perilaku menyimpang dan yang bukan.
Beberapa konsep teoritis tentang perilaku menyimpang diantaranya adalah teori anomi
yang dikembangkan oleh Emile Durkein yang mengemukakan 3 jenis bunuh diri yaitu bunuh
diri egoistic[3], bunuh diri altruistic[4] dan bunuh diri anomi[5].
Perkembangan dinamika ilmu sosial melahirkan pemikiran-pemikiran khususnya sosiolog
dan ilmu-ilmu sosial yang mengembangkan teori anomi dan asosiasi. Teori anomi berkembang di
dalam suatu masyarakat atau kelompok pada saat cita-cita untuk mencapai sesuatu yang menjadi
dambaan umum, mempengaruhi pemikiran sebagian besar orang dalam kelompok masyarakat itu,
namun dilain pihak aturan-aturan yang ada tidak berkembang sehingga gagal mengatur cara-cara
pencapaian cita-cita tersebut. Maka terjadilah anomia tau ketiadaan norma.
Edwin H. Sutherland mengembangkan teori asosiasi diferensial, yaitu adanya
penyimpangan dipelajari di dalam interaksi dengan orang lain, terutama di dalam kelompok primer
yang bersifat intim seperti keluarga dan kelompok sebaya. Teori assosiasi diferensiasi didasari
aksioma Durkein, bahwa perilaku menyimpang merupakan bagian alami dari kehidupan sosial,
seperti halnya teori anomi yang dikembangkan Merton. Masalah sosial menurut perilaku
menyimpang disebabkan adanya sosialisasi yang tidak tepat karena kurangnya kesempatan untuk
belajar secara konvensional.
Teori kritis merupakan upaya sadar untuk memadukan teori dan praxis (tindakan).
Teori-
teori tersebut jelasn o r m a t i f d a n b e r t i n d a k u n t u k m e n c a p a i p e r u b a h a n k o n d i s i
ya n g d a p a t m e m p e n g a r u h i m a s ya r a k a t , a t a u sebagaimana dikatakan Della Pollock
dan . !obert "ox, #
to read the world with an eye towards shaping it”
.Penelitian kritis bertujuan untuk mengungkapkan cara di mana kepentingan-
kepentingan antar kelompok saling bersaing dan berbenturan, serta di mana
konflik diselesaikan untuk mendukung kelompok-kelompok tertentu atas yang lain.
Teori kritis oleh karena itu, sangat peduli terhadap kepentingan-kepentingan kelompok marjinal
(marginalized groups)
.
A.