Anda di halaman 1dari 16

1.

Teori Fungsionalisme Struktural


Teori ini menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik serta
perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah: fungsi, disfungsi,
fungsi laten, fungsi manifest, dan keseimbangan (equilibrium).

Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-
bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan.
Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap
bagian yang lain. Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan
satu sistem atau peristiwa terhadapa sistem yang lain dan karena itu mengabaikan
kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau suatu sistem dapat menentang fungsi-fungsi
lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan
bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.
Maka jika terjadi konflik, penganut teori fungsionalisme struktural memusatkan
perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga
masyarakat tetap dalam keseimbangan.

Singkatnya adalah masyarakat menurut kaca mata teori (fungsional) senantiasa berada
dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara
keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur fungsional bagi sistem sosial itu.
Demikian pula semua institusi yang ada, diperlukan oleh sosial itu, bahkan kemiskinan
serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dalam kondisi: dinamika dalam
keseimbangan.

1. Teori Konflik
Teori ini dibangun dalam rangka untuk menentang teori Fungsionalisme Struktural.
Karena itu tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya
bertentangan dengan proposisi yang terdapat adalah Teori Fungsionalisme Struktural.
Tokoh utama Teori Konflik adalah Ralp Danrendorf.

Jika menurut Teori Fungsionalisme Struktural masyarakat berada dalam kondisi statis
atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan, maka menurut Teori Konflik
malah sebaliknya. Kalau menurtu Teori Fungsionalisme Struktural setiap elemen satau
setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas, maka Teori Konflik melihat
bahwa setiap elemen atau institusi memberikan sumbangan terhadap disintegerasi
sosial. Kontras lainnya adalah bahwa penganut Teori Fungsionalisme Struktural melihat
anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas
umum, maka Teori Konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu
hanyalah disebabkan karena adanya teknan atau pemaksaan kekuasaan atas golongan
yang berkuasa.

Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik itu atas dua tipe. Kelompok
semu (quasi group) dan kelompok kepentingan (interest group). Kelompok semu
merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan
kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok-kelompok
kepentingan. Sedangkan kelompo dua, yakni kelompok kepentingan terbentuk dari
kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur,
organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah
yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.

Adapun mengenai fungsi dari adanya konflik, Berghe mengemukakan ada empat hal:

1) Sebagai alat untuk solidaritas.

2) Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain.

3) Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.

4) Fungsi komunikasi. Sebelum sebuah konflik kelompok tertentu mungkin tidak


mengetahui posisi lawan. Tapi dengan adanya konflik, posisi dan batas antara
kelompok menjadi lebih jelas. Individu dan kelompok tahu secara pasti di mana mereka
berdiri, dan karena itu dapat mengambil keputusan lebih baik untuk bertindak dengan
lebih tepat.

Singkatnya, Teori Konflik ini ternyata terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas
yang memang ada dalam masyarakat dalam masyarakat di samping konflik itu sendiri.
Masyarakat selalu dipandangnya dalam kondisi konflik. Mengabaikan norma-norma dan
nilai-nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam
masyarakat. Masyarakat seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan pertentangan.

Patologi sosial merupakan suatu perspektif yang menganggap masalah sosial sebagai
suatu 'penyakit' dari masyarakat yang ideal. Konsep patologi ini diserap dari ilmu biologi
yang menganggap bahwa masyarakat itu terbagi-bagi menjadi organ-organ yang saling
terkait dan saling mempengaruhi sesuai dengan peran dan fungsinya masing-
masing.

Kunci dari perspektif Patologi sosial adalah, suatu kesalahan yang dilakukan seseorang
adalah karena Gen dari keturunan itu. Misal, ada orang yang tertangkap mencuri
makanan di pasar. Dalam perspektif Patologi Sosial, dalam kasus ini memandang bahwa
pencuri ini emang pada dasarnya adalah jiwa pencuri, pencuri ini memang sangat senang
mencuri, dan ini merupakan keturunan gen pencuri, dll. di Zaman dahulu konsep ini
sering digunakan, mungkin saja sampai sekarang masih ada yang menggunakan. jika
menggunakan perspektif ini, mungkin akan terjadi Genosida (pembunuhan gen,
keturunan).

Berkembangnya zaman, kritik tentang patologi sosialpun semakin banyak sehingga ada
perubahan makna / konsep antara Patologi Sosial Klasik, dan Patologi Sosial Medern.
 Perbedaan antara pandangan patologi sosial klasik dan modern
Klasik Modern
 Orang pada dasarnya cacat. ‘Kekurangan’  Mengakui adanya faktor lingkungan yang
(cacat, ketergantungan, dan kenakalan) juga memberikan pengaruh yang tidak
semacam itu disebut warisan. sedikit.
 ‘Kekurangan’ secara terus menerus  Setidaknya masalah sosial tidak akan ada
dipertahankan melalui pernikahan yang tanpa pengaruh suatu lingkungan yang
terjadi di antara mereka yang memiliki buruk.
bakat itu.  Untuk penyelesaian dengan perbaikan pada
 Untuk penyelesaiannya dengan institusi (kekurangan juga melekat pada
“memperbaiki keturunan” (eugenetics masyarakat tertentu, seperti kepadatan
movement) dan pendidikan moral penduduk atau perkembangan teknologi
khususnya pada lapisan menengah. yang berpolusi).
 Penyembuhan dapat dilakukan secara  Tidak dapat secara parsial karena
parsial, berdasarkan diagnosis atas masalah masyarakat merupakan satu kesatuan yang
yang dirasakan. berkaitan dan permasalahan yang dialami
bersifat menyeluruh.

Dari berbagai macam perbedaan antara patologi sosial klasik dan modern, ada
kesamaan antara kedia pandangan ini. yaitu untung menangani masalah sosial ini harus
dengan pendidikan moral.
Mengapa demikian?
Perspektif Patologi sosial ini menganggap adanya penyakit (individu, masyarakat,
lembaga, keluarga) akibat tidak mampunya individu, masnyarakat, insitusi, keluarga,
tersebut untuk menjalankan peran dan tugasnya dalam lingkungannya. sehingga
mempengaruhi strukturnya sehingga timbul masalah sosial yang dianggap 'penyakit'
tersebut. Karena menggunakan bahasa 'penyakit', maka solusinya adalah 'mengobati'
dengan cara rehabilitasi dan resosialisasi. dengan cara apa? yaitu dengan pendidikan
moral.

Sebagai contoh:
ada sebuah keluarga sederhana yang sekeluarga bermasalah, bapaknya peselingkuh,
istrinya pelacur, dan anak-anaknya pencuri. Perspektif patologi klasik, dari gennya
merupakan keturnan yang bermasalah. namun didukung dengan lingkungannya
(orangtuanya tidak mengajari anaknya dengan baik dan benar termasuk pendidikan
moral). Namun karena yang mengalami masalah seperti ini ada banyak dan mengganggu
masyarakat lain, maka disebut masalah sosial. Jika menurut perspektif ini maka solusi
satu satunya adalah pendidikan moral. mengajari keluarganya, mensosialisasi
keluarganya pendidikan yang baik dan benar yang harus dilaksanakan secara
menyeluruh.
Tabel 2.1 Tabel perbedaan paradigma dan perspektif menurut Merton dan Nisbet:
Paragdima Perspektif

Struktural fungsional dan konsensus -Patologi sosial


- Disorganisasi sosial
- Perilaku Menyimpang

Konflik dan alienasi -Konflik Nilai


-Kritik

Interaksionisme simbolik dan etnometodologi -Labelling


-Kontruktivisme

Perspektif patologi sosial merupakan perspektif tertua dalam analisis permasalahan sosial.
Definisi patologi sosial :

“Kondisi sosial yang diinginkan dan yang tertata dilihat sebagai yang sehat, sedangkan orang
atau situasi yang menyimpang dari harapan moral dipandang sebagai sakit, atau bahkan buruk.
Dari perspektif patologi sosial, sebuah masalah sosial merupakan pelanggaran dari normal
yang ada.”
(Rubington, 1995, hal.19)
Secara etimologis, kata patologi berasal bahasa yunani, yakni dari kata Pathos yang berarti
disease/penderitaan/penyakit dan Logos yang berarti berbicara tentang/ilmu. Jadi, patologi
adalah ilmu yang membicarakan tentang penyakit atau ilmu tentang penyakit

Patologi sosial menunjuk kepada kondisi sosial yang diakibatkan (1) oleh kegagalan individu
menyesuaikan diri terhadap kehidupan sosial di mana fungsi mereka sebagai anggota masyarakat
mandiri, memenuhi kebutuhan sendiri, yang dapat menyumbang secara wajar kepada stabilitas
dan kemajuan pembangunan, dan (2) oleh ketidakmampuan penyesuaian struktur sosial termasuk
mengorganisasikan cara melakukan sesuatu dan mengorganisasikan lembaga-lembaga, bagi
perkembangan kepribadianBlackmar, (tulisan Frank W dan J.L Gillin, 1923)

Teori Fungsionalis

Teori ini mengemukakan bahwa semua bagian di masyarakat mempunyai fungsinya masing-
masing dalam masyarakat tersebut. Semua bagian masyarakat ini saling bekerjasama untuk
membangun tatanan sosial yang stabil dan harmonis. Jika terdapat Satu elemen dari
masyarakatnya tidak memfungsikan tugasnya dengan baik, maka dapat menimbulkan
ketidakteraturan di sebuah keadaan sosial. Pada akhirnya ketidakteraturan itu
menimbulkan suatu bentuk masalah sosial.

Berdasarkan teori fungsional ini, ada dua pandangan tentang masalah sosial. Kedua
pandangan tersebut adalah patologi sosial dan disorganisasi sosial. Dalam patologi sosial,
permasalahan sosial diibaratkan sebagai penyakit dalam diri manusia. Penyakit yang timbul
tersebut, penyebabnya ialah salah satu bagian tubuh tidak mampu bekerja dengan baik
sesuai dengan fungsinya

Penyakit sosial seperti kriminalitas, kekerasan, dan kenakalan remaja tumbuh dalam
masyarakat karena peran-peran sosial seperti institusi keluarga, agama, ekonomi dan politik
sudah tidak berfungsi maksimal dalam mensosialisasikan nilai dan norma yang baik.
Sedangkan menurut pandangan disorganisasi sosial, masalah sosial bersumber dari
perubahan sosial yang cepat, yang kemudian mempengaruhi norma sosial.

Teori Konflik

Menurut teori ini, masalah sosial muncul dari berbagai macam konflik sosial, yaitu konflik
kelas, konflik etnis dan konflik gender. Ada dua perspektif dalam teori konflik, yaitu teori
Marxis dan teori Non-Marxis. Teori Marxis terjadi karena adanya ketidaksetaraan dalam
kelas sosial. Oleh karena itu, Teori Marxis muncul untuk menyelesaikan masalah-masalah
yang timbul akibat ketidaksetaraan tersebut. Berbeda dengan Teori Marxis, teori Non-
Marxis berfokus pada konflik antarkelompok sosial di masyarakat. Konflik tersebut
disebabkan oleh kepentingan yang berbeda antara satu kelompok dengan yang lain.

Teori Interaksi Simbolis

Teori ini mengemukakan bahwa setiap orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang
muncul dalam sebuah situasi tertentu. Ada dua paham dalam teori ini yang mengkaji tentang
masalah sosial. Teori pertama adalah teori pelabelan (labelling theory). Menurut teori
pelabelan, sebuah kondisi sosial di dalam masyarakat dikatakan bermasalah karena kondisi
tersebut sudah dianggap sebagai suatu masalah.

Teori kedua adalah teori konstruksionisme sosial. Berdasarkan teori konstruksionisme


sosial, masalah sosial merupakan hasil konstruksi manusia, yang disebabkan oleh interaksi
intens individu dengan orang-orang yang mendefinisikan hal-hal menyimpang sebagai suatu
hal yang biasa atau bahkan positif.

Teori konflik

Menurut Marx, sejarah masyarakat manusia adalah sejarah perjuangan kelas, yang mana
melahirkan kelompok borjuis dan kelompok proletar. Kelompok-kelompok yang menyadari
bahwa posisinya berada pada kaum proletar, kala itu mereka dengan sadar melakukan
berbagai macam upaya pemberontakan terhadap kaum borjuis. Konflik antarkelas inilah
yang kemudian melahirkan perubahan dalam masyarakat. Menurut Marx pula, suatu saat
kaum proletar akan memenangkan perjuangan kelas ini yang kemudian akan melahirkan
masyarakat tanpa kelas.

Masih dalam perspektif Marx memandang konflik, ia mengembangkan teori konflik dengan
beberapa konsepsi yakni konsepsi tentang kelas sosial, perubahan sosial, kekuasaan dan
negara dimana konsepsi-konsepsi tersebut saling berkesinambungan satu sama lain.

Negara tentunya memiliki kepentingan, oleh karenanya hal ini dimanfaatkan oleh para kaum
borjuis. Kelompok borjuis yang tentunya dapat memiliki dan juga memegang kendali atas
alat-alat produksi tentu meminta legitimasi atau bukti kepemilikan yang sah. Bukti
kepemilikan ini bisa didapatkan melalui negara. Oleh karena itu, kelompok borjuis memiliki
kekuasaan untuk menentukan apa yang akan diproduksi dan didistribusi. Menurut Marx,
dalam konteks ini hukum dan pemerintah lebih banyak berpihak pada kaum borjuis
dibanding proletar.

Teori konflik ini kemudian memunculkan apa yang dinamakan sebagai perspektif konflik.
Perspektif ini melihat masyarakat sebagai sesuatu yang selalu berubah, terutama sebagai
akibat dari dinamika pemegang kekuasaan yang terus berusaha menjaga dan
meningkatkan posisinya.

Dalam mencapai tujuannya, suatu kelompok seringkali harus mengorbankan kelompok


lain. Karena itu konflik selalu muncul, dan kelompok yang tergolong kuat setiap saat selalu
berusaha meningkatkan posisinya dan memelihara dominasinya. Singkatnya, pandangan
ini berorientasi pada struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial di masyarakat. Perspektif
ini memandang masyarakat yang terus-menerus berubah dan masing-masing bagian dalam
masyarakat berpotensi untuk menciptakan perubahan sosial. Dalam konteks pemeliharaan
tatanan sosial, perspektif ini lebih menekankan pada peranan kekuasaan.

Karl Marx memandang bahwa teori konflik lahir dengan beberapa konsepsi yakni konsepsi
tentang kelas sosial, perubahan sosial, kekuasaan dan negara dimana konsepsi-konsepsi
tersebut saling berkesinambungan satu sama lain.

Perilaku Menyimpang

erilakau menyimpang menyiratkan kesan, meskipun tidak ada masyarakat yang seluruh
P warganya dapat menaati dengan patuh seluruh aturan norma social yang berlaku
tetapi apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang, maka hal itu dianggap
telah mencoreng aib diri sendiri, keluarga maupun kumunitas besarnya.
Sumbangan sosiologi cukup signifikan dalam memetakan berbagai bentuk
penyimpangan perilaku dan reaksi masyarakat yang ditimbulkannya. Kajian tentang
perilaku menyimpang dipelajari oleh sosiologi karena berkaitan dengan pelanggaran
terhadap norma-norma sosial dan nilai-nilai kulutral yang telah ditegakkan oleh
masyarakat. Selain itu, melalui teori dan hasil-hasil penelitian yang dikembangkannya,
sosiologi membantu masyarakat untuk dapat menggali akar-akar penyebab terjadinya
tindakan menyimpang. Upaya untuk menghentikan atau paling tidak menahan
bertambahnya penyimpangan perilaku dapat dipelajari pula melalui kajian tentang
lembaga kontrol sosial dan efektivitasnya dalam mencegah terjadinya tindakan tersebut.

Secara sederhana kita dapat mengatakan, bahwa seseorang


berperilaku menyimpang apabila menurut anggapan besar
masyarakat ( minimal di suatu kelompok atau komunitas tertentu
) perilaku atau tindakan tersebut di luar kebiasaan, adat istiadat,
aturan, nilai-nilai, atau norma sosial yang berlaku.
Tindakan menyimpang yang dilakukan
orang-orang tidak selalu berupa tindakan kejahatan besar,
seperti merampok, korupsi, menganiaya atau membunuh. Melainkan bisa pula cuma
berupa tindakan pelanggaran kecil-kecilan, semacam berkehalahi dengan teman, suka
meludah di sembarang tempat, makan dengan tangan kiri dsb.

Meskipun secara nyata kita dapat menyebutkan berbagai


bentuk perilaku menyimpang, namun mendefinisikan arti
perilaku menyimpang itu sendiri merupakan hal yang sulit
karena kesepakatan umum tentang itu berbeda-beda di
antara berbagai kelompok masyarakat. Ada segolongan orang yang menyatakan perilaku
menyimpang adalah ketika orang lain melihat perilaku itu sebagai sesuatu yang berbeda
dari kebiasaan umum. Namun, ada pula yang menyebut perilaku menyimpang sebagai
tindakan yang dilakukan oleh kelompok minoritas atau kelompok-kelompok tertentu yang
memiliki nilai dan norma sosial berbeda dari kelompok sosial yang lebih dominan.
Definisi tentang perilaku menyimpang dengan demikian bersifat relatif, tergantung
dari masyarakat yang mendefinisikannya, nilai-nilai budaya dari suatu masyarakat, dan
masa, zaman, atau kurun waktu tertentu.
Hal lain yang juga menyebabkan perilaku menyimpang bersifat relatif adalah
karena perilaku menyimpang itu juga dianggap sebagai gaya haidup, kebiasaan-
kebiasaan, fashion atau mode yang dapat berubah dari zaman ke zaman.

Pertama, secara statistikal adalah segala perilaku yang


bertolak dari suatu tindakan yang bukan rata-rata atau perilaku
yang jarang dan tidak sering dilakukan. Pendekatan ini
berasumsi, bahwa sebagian besar masyarkat dianggap
melakukan cara-cara dan tindakan yang benar.
Kedua, secara absolut atau mutlak. Definisi perilaku
menyimpang yang bersasal dari kaum absolutis ini berangkat dari aturan-aturan sosial
yang dianggap sebagai sesuatu yang “mutlak” atau jelas dan nyata, sudah ada sejak
dulu, serta berlaku tanpa terkecuali, untuk semua warga masyarakat. Kelompok ini
berasumsi bahwa aturan-aturan dasar dari suatu masyarakat adalah jelas dan anggota-
anggotanya harus menyetujui tentang apa yang disebut sebagai menyimpang dan bukan.
Ketiga, secara reaktif yaitu perilaku menyimpang yang berkenaan dengan rekasi
masyarakat atau agen kontrol sosial terhadap tindakan yang dilakukan seseorang.
Artinya apabila ada reaksi dari masyarakat atau agen kontrol sosial dan kemudian
mereka memberi cap atau tanda (labeling) terhadap si pelaku maka perilaku itu telah
dicap menyimpang, demikian pula si pelaku, juga dikatan menyimpang. Dengan demikian
apa yang menyimpang dan apa yang tidak, tergantung dari ketetapan-ketetapan ( atau
reaksi-reaksi) dari anggota masyarakat terhadap suatu tindakan.
Keempat, secara normatif ; penyimpangan adalah suatu pelanggaran dari suatu norma
sosial. Norma adalah suatu standar tentang “apa yang seharusnya atau tidak seharusnya
dipikirkan, dikatakan, atau dilakukan oleh warga masyarakt pada suatu keadaan tertentu”
Secara keseluruhan, maka definisi normatif dari suatu perilaku menyimang adalah
tindakan-tindakan atau perilaku yang menyimpang dari norma-norma, dimana tindakan-
tindakan tersebut tidak disetujui atau dianggap tercela dan akan mendapatkan sanksi
negatif dari masyarakat.

Mengapa Perilaku Menyimpang Perlu Dipalajari ?


Oleh karena cukup banyak pelanggaran atau penyimpangan perilaku yang dilakukan
manusia dan hal itu terkadang dapat dianggap mengancam ketentraman masyarakat,
maka perlu juga kita mempelajarinya, untuk mengetahui apa yang menjadi penyebabnya
dan bagaimana melakukan pencegahan terhadapnya.

Secara umum, yang digolongkan sebagai perilaku


menyimpang, antara lain adalah :
1. Tindakan yang nonconform, yaitu perilaku yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang ada. Contoh :
memakai sandal butut ke kampus; merokok di area di
larang merokok, membuang sampah bukan pada tempat yang semestinya dsb.
2. Tindakan yang antisosial atau asosial, yaitu tindakan yang melawan kebiasaan
masyarakat atau kepentingan umum. Bentuk tindakan sosial itu antara lain : menarik diri
dari pergaulan, tidak mau berteman, penyimpangan seksual, pelacuran dsb.
3. Tindakan-tindakan kriminal, yaitu tindakan yang nyata-nyata telah melanggar aturan-
aturan hukum tertulid dan mengancam jiwa atau keselamatan orang lain. Misalnya,
pencurian, perampokan, pembunuhan dsb.
Rangkaian pengamalan atau karier menyimpang sesorang dimulai
dari penyimpangan-penyimpangan kecil yang mungkin tidak
disadarinya (primary deviance/penyimpangan primer).
Penyimpangan jenis ini dialami oleh seseorang mana kala ia belum
memiliki konsep sebagai penyimpang atau tidak menyadari jika perilakunya
menyimpang.
Penyimpangan yang lebih berat akan terjadi apabila seseorang sudah sampai
pada tahap secondary deviance (penyimpangan sekunder) yaitu suatu tindakan
menyimpang yang berkembang ketika perilaku dari si penyimpang itu mendapat
penguatan (reinforcement) melalui keterlibatannya dengan orang atau kelompok yang
juga menyimpang.
Tindakan menyimpang, baik primer maupun sekunder, tidak terjadi begitu saja
tapi berkembang melalui periode waktu dan juga sebagai hasil dari serangkaian tahapan
interaksi yang melibatkan interpretasi tentang kesempatan untuk bertindak menyimpang.
Karier menyimpang juga didukung oleh pengendalian diri yang lemah serta kontrol
masyarakat yang longgar (permisif).

Perilaku menyimpang tidak saja dilakukan secara perorang, tapi tak


jarang juga dilakukan secara berkelompok. Penyimpangan yang
dilakukan oleh kelompok acap disebut dengan subkulur
menyimpang.
Subkultur adalah sekumpulan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, atau gaya
hidup yang berbeda dari kultur dominan.
Asal mula terjadinya subkultur menyimpang karena ada interaksi di antara
sekelompok orang yang mendapatkan satatus atau cap menyimpang. Melalui interaksi
dan intensitas pergaulan yang cukup erat, maka terbentuklah perasaan senasib, dan
memiliki jalan pikuran nilai dan norma serta aturan bertingkah laku yang berbeda dengan
norma-norma sosial masyarakat pada umumnya(kultur dominan).
Para anggota dari suatu subkultur menyimpang biasanya juga mengajarkan
kepada anggota-anggota barunya tentang berbagai keterampilan untuk melanggar
hukum dan menghindari kejaran agen-agen kontrol sosial. Mereka juga mengindoktrinasi
suatu keyakinan yang berbeda dari keyakinan yang dianut mayoritas masyarakat kepada
yuniornya. Begitu pula ketika menerima keanggotaan baru, ujian yang cukup keras akan
diberlakukan kepada anggota-anggota baru itu.

Ada dua perspektif yang bisa digunakan untuk


memahami sebab-sebab dan latar belakang seseorang atau
sekelompok orang berperilaku menyimpang. Yang pertama
adalah perspektif individualistik dan yang kedua adalah teori-
toeri sosiologi.
Teori-teori individualistik berusaha mencari penjelasan
tentang munculnya tindakan menyimpang melalui kondisi
yang secara unik mempengaruhi individu seperti warisan genetis-biologis atau
pengalaman-pengalaman awal ari kehidupan seseorang di dalam keluarganya. Teori-
teori individualistik sebagian besar didasarkan pada proses-proses yang sifatnya
individual dan mengabaikan proses sosialisasi atau belajar tentang norma-norma sosial
yang menyimpang.
Berbeda halnya dengan teori individualistik, teori-teori yang berspektif sosiologis
tentang penyimpangan berupaya menggali kondisi-kondisi sosial yang mendasari
penyimpangan. Beberapa hal yang dianggap bersifat sosiologis dalam memahami
tindakan menyimpang misalnya proses penyimpangan yang ditetapkan oleh masyarakat
; bagaimana faktor-faktor kelompok dan subkultur berpengaruh terhadap terjadinya
perilaku menyimpang pada seseorang; dan reaksi-reaksi apa yang diberikan oleh
masyarakat apda orang-orang yang dianggap menyimpang dari norma-norma sosialnya.
Teori Anomie
Teori anomie berasumsi bahwa penyimpangan adalah akibat dari adanya berbagai
ketegangan dalam suatu struktur sosial sehingga ada individu-individu yang mengalami
tekanan dan akhirnya menjadi menyimpang. Anomie adalah suatu keadaan atau nama
dari situasi di mana kondisi sosial/situasi masyarakat lebih menekankan pentingnya
tujuan-tujuan status, tetapi cara-cara yang sah untuk mencapai tujuan-tujuan status
tersebut jumlahnya lebih sedikit.
Situasi anomie tersebut dapat berakibat negatif bagi sekelompok masyarakat, di mana
untuk mencapai tujuan statusnya mereka terpaksa melakukannya melalui cara-cara yang
tidak sah, di antaranya melakukan penyimpangan atau kejahatan.
Teori Belajar atau Teori Sosialisasi
Salah seorang ahli teori belajar adalah Edwin H. Sutherland yang menamakan teorinya
dengan Asosiasi Diferensial, menurut teori ini penyimpangan adalah konsekuensi dari
kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-
norma yang menyimpang, terutama dari subkultur atau diantara teman-teman sebaya
yang menyimpang.
 Perilaku menyimpang adalah hasil dari proses belajar atau yang dipelajari, ini berarti
bahwa penyimpangan bukan diwariskan atau diturunkan, bukan juga hasil ari intelegensi
yang rendah atau karena kerusakan otak.
 Perilaku menyimpang dipelajari oleh seseorang dalam interaksinya dengan orang lain
secara intens.
 Bagian utama dari belajar tentang perilaku menyimpang terjadi di dalam kelompok-
kelompok personal yang intim atau akrab.
 Hal-hal yang dipelajari ; teknis-teknis penyimpangan, motif, dorongan & sikap
 Petunjuk-petunjuk khusus ttg. Dorongan menyimpang dipelajari dari definisi ttg, norma
yang baik atau tidak baik.
 Seseorang menjadi menyimpang karena ia menganggap lebih menguntungkan untuk
melanggar norma daripada tidak.
 Terbentuknya asosiasi diferensial itu bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas
dan intensitas
 Proses mempelajari penyimpangan melalui mekanisme yang berlaku di dalam setiap
proses belajar.
Teori Labeling ( Teori Pemberian cap atau teori Reaksi Masyarakat )
Teori ini menjelaskan penyimpangan terutama ketika perilaku itu sudah sampai pada
tahap penyimpangan sekunder (secodary deviance). Analisis tentang pemberian cap itu
dipusatkan pada reaksi orang lain. Artinya ada orang-orang yang memberi definisi,
julukan, atau pemberi label (definers/labelrs) pada individu-individu atau tindakan yang
menurut penilaian orang tersebut adalah negatif.
Teori labeling ( Becker ) mendefinisikan penyimpangan sebagai “suatu konsekuensi dari
penerapan aturan-aturan dan sanksi oleh orang lain kepada seorang pelanggar”. Melalui
definisi itu dapat ditetapkan bahwa menyimpang adalah tindakan yang dilabelkan kepada
seseorang, atau pada siapa label secara khusus telah ditetapkan. Dengan demikian
dimensi penting dari penyimpangan adalah pada adanya reaksi masyarakat, bukan pada
kualitas dari tindakan itu sendiri. Atau dengan kata lain penyimpangan tidak ditetapkan
berdasarkan norma, tetapi melalui reaksi atau sanksi dari penonton sosialnya.
Konsekuensi dari pemberian label pada diri seseorang maka ia cenderung
mengembangkan konsep diri yang menyimpang dan kemungkinan berakibat pada suatu
karier yang menyimpang.
Teori Kontrol
Ide utama di belakang teori kontrol adalah bahwa penyimpangan merupakanhasil dari
kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori ini dibangun atas dasar pandangan
bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada hukum atau memiliki dorongan
untuk melakukan pelanggaran hukum. Oleh sebab itu teori ini menilai perilaku
menyimpang adalah konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk mentaati hukum.
Teori Konflik
Persepektif konflik lebih menekankan sifat pluralistik dari masyarakat dan
ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompoknya.
Berkaitan dengan hal itu, persepektif konflik memahami masyarakat sebagai kelompok-
kelompok dengan berbagai kepentingan yang bersaing dan akan cenderung saling
berkonflik. Melalui persaingan itu maka kelompok-kelompok dengan kekuasaan yang
berlebih akan menciptakan hukum dan aturan-aturan yang menjamin kepentingan
mereka dimenangkan.
Teori-teori konflik kontemporer sering kali juga menganggap kejahatan sebagai suatu
tindakan rasional. Orang-orang yang mencuri dan merampok telah didorong masuk ke
dalam tindakan-tindakan tersebut melalui kondisi sosial yang disebabkan oleh distribusi
kekayaan yang tidak seimbang, dimana kejahatan perusahaan dan berbagai kejatan
kerah putih secara langsung melindungi serta memperbesar modal kapitas mereka.
Kejahatan yang terorganisir adalah suatu cara rasional untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan ilegal dalam masyarakat kapitalis.
Patologi Sosial
Perspektif Patologi sosial diyakini merupakan perspektif tertua dari ke-7 perspektif. Jessie
Bernard (1957) menamakannya sebagai pendekatan individual. Analogi organik juga menjadi
perdebatan dalam pendekatan ini dan Bernard (1957) menyebutnya sebagai pendekatan Budaya
dan Institusi. Sementara Rubington dan Weinberg (1995: 16) menjelaskan hal ini sebagai
pengaruh analisis makro melalui pengambaran kongkret, yang menganalogikan masyarakat
dengan mahluk hidup, dimana “Pemerintah sebagai Kepala, Pelayanan adalah pembuluh nadi dan
polisi sebagai perpanjangan tangan dalam pengaturannya”. Kemudian Herbert Spencer membuat
analogi simbolik yang menyebutkan bahwa masyarakat sebagai suatu organisme yang memiliki
massa, serta struktur yang terus berkembang secara kompleks, dan mempunyai bagian-bagian yang
berdiri sendiri. menurut para penganut perspektif ini, seseorang atau masyarakat disebut
mengalami masalah sosial jika kegiatan organisme sosialnya terganggu. Gangguan ini disebut
semacam penyakit atau patologi.
Samuel Smith (1911) dalam tulisannya Sosial Pathology serta Frank W. Blackmardan J.L.
Gillin (1923) dalam Outlines of sociology, mencerminkan perspektif patologi sosial
kontemporer[2]. Patologi sosial ini dapat disebabkan oleh dua factor, yaitu (1). Ketidakmampuan
individu menyesuaikan diri dalam menjalankan peranannya (maladjustment), dan (2). Kegagalan
masyarakat melakukan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan warganya (malfunction). Disinilah
ciri utama perspektif patologi sosial, bahwa permasalahan sosial selalu dicari pada kelemahan,
baik pada individu maupun masyarakat. Dengan kata lain, masalah sosial itu selalu disebabkan
oleh sesuatu yang tidak beres, karenanya perlu dilakukan pengobatan terlebih dahulu terhadap
masalah yang tidak beres tersebut.
Perspektif patologi sosial mengenal 3 (tiga) penyimpangan, yaitu cacat (defect) atau
bawaan lahir yang tidak bisa diajari, ketergantungan (dependent) yang menyebabkan kesulitan
menerima pengajaran dan kenakalan (delinquent) yang bersifat menolak pelajaran. Penyebab dari
penyimpangan tersebut bisa dilatarbelakangi oleh adanya pengaruh dari nilai-nilai yang salah di
lingkungannya (Smith, 1911), seperti lingungan yang buruk akibat kepadatan penduduk, polusi,
perkembangan teknoogi dan lain sebagainya. Baik pandangan klasik maupun modern melihat
bahwa penanggulangan masalah sosial adalah melalui pendidikan moral.

Beberapa karya ilmiah penganut perspektif patologi sosial adalah sebagai berikut:
a. The organic analogy oleh Samuel Smith (1911), yang mencontohkan bagaimana cara
seorang dokter dalam menyembuhkan pasiennya. Maka Ahli Patologi sosial mempelajari masalah
sosial dalam mencari solusi pemecahannya.
b. The criminal as a born criminal type oleh Cesare Lombroso dan William Ferrero(1895),
yang memperkenalkan ciri-ciri kelainan (ketidakserasian) wajah sebagai ciri-ciri pelaku warisan
kejahatan.
c. The child saver oleh Anthony M. Platt yang mengemukakan pandangan bagi proses
penyembuhan kenakalan remaja sebagai “kekurangan sifat insani yang utuh” (as less than a
complete human being) akibat sifat bawaan maupun muncul dalam perkembangannya.
d. A universal Criterion of Pathology oleh Vytautas Kavolis (1969) yang tidak sepaham
dengan menganalogikan perspektif patologi sosial dengan model medik. Argumennya adalah
bahwa patologi sosial dapat memberi konsep-konsep yang objektif dan berguna jika disertai
dengan pengkajian yang teliti.
e. The pursuit of Loneliness oleh Philip Slater (1976), yang mengemukakan bahwa budaya
individualsme yang dibawa bangsa Amerika, selain belum sepenuhnya diterima juga berakibat
buruk karena individualism tidak dapat menghilangkan patologis dari kebudayaan baru.

Disorganisasi sosial
Dalam perspektif disorganisasi sosial, ada 2 faktor yang mendorong, yaitu sebagai (1)
jawaban terhadap keadaan yang terjadi pada tingkat masyarakat luas; (2) jawaban terhadap
perubahan dalam lapangan sosiologi secara khusus.
Setelah perang dunia pertama (1942), terjadi arus migrasi dan urbanisasi dari Eropa ke
Amerika dan menimbulkan masalah seperti kemiskinan, kejahatan, gangguan mental, kecanduan
alcohol dan sejenisnya. Pertemuan antara migran dan warga setempat berbaur dengan kebudayaan
yang ada menimbulkan masalah, terutama bagi yang kurang berhasil menyesuaikan diri. Dan dari
mereka itulah tampaknya yang menjadi sumber masalah. Demikian juga proses industrialisasi
yang terus berkembang, namun selain menyisakan dampak lingkungan, juga kapasitas tenaga kerja
yang tidak tertampung sehingga berakibat banyaknya pengangguran.
Jadi setidaknya ada 3 faktor utama yang menyebabkan disorganisasi sosial, berupa
perubahan sosial dan kultural pada tahap ini di Amerika Serikat, yaitu Migrasi, Urbanisasi dan
Industrialisasi. Masalah yang berkembang tidak hanya sebatas kejahatan namun masalah-masalah
sosial lainnya. Hal ini terus menimbulkan tantangan baru bagi para sosiolog yang kemudian
melahirkan perspektif Disorganisasi Sosial, sebagimana disampaikan Samuel Huntington (1997)
yang menghitung munculnya perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak
terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation.”
Munculnya perspektif Disorganisasi Sosial dinilai oleh Rubington dan Weinberg(1995)
sebagai suatu refleksi yang mengokohkan bahwa sosiologi telah merupakan suatu disiplin ilmu
yang mandiri. Perspektif disorganisasi sosial sangat populer karena keberhasilan para sosiolog
untuk menunjukkan adanya hubungan antara masalah sosial dan disorganisasi sosial. Tokoh-
tokohnya antara lain Charles H. Cooley, W.I Thomas dan Florian Znaniecki dan William Ogburn.
Ada perbedaan antara perspektif patologi sosial dan perspekti disorganisasi Sosial, yaitu
bahwa pada perspektif disorganisasi Sosial lebih kompleks dan lebih sistematik, karena hasil
kemajuan sosiologi yang semakin berkembang. Perbedaan yang paling penting adalah bahwa
perspektif patologi sosial berangkat dari anggapan bahwa masalah itu disebabkan oleh kegagalan,
baik pada individu maupun masyarakat, sedangkan perspektif disorganisasi sosial mulai dengan
penelitian mendalam atas peranan dari aturan atau kebiasaan yang merupakan tatanan baru suatu
kehidupan.
Beberapa karya ilmiah penganut disorganisasi sosial diantaranya adalah sebagai berikut;
1. sosial change and sosial disorganization oleh Robert E. Park, mengemukakan gagasannya
bahwa dasar bagi suatu organisasi sosial adalah tradisi dan kebiasaan. Keluarga, tetangga,
masyarakat yang stabil merupakan lembaga yang mampu menjalankan pengendalian sosial.
Namun masyarakat modern yang komplek seperti urbanisasi, migrasi, industrialisasi yang
berlangsung cepat karena teknologi (komunikasi dan transportasi) berdampak pada disorgansasi
sosial di masyarakat.
2. The ecology of urban disorganization oleh Robert E.L.Farist dan H.Warren Dunham yang
mengungkapkan bahwa ternyata lebih banyak permasalahan yang berhubungan dengan struktur
ekologis disbanding dengan masalah urbanisasi dan disorganisasi sosial.
3. Family disorganization oleh W.I Thomas dan Florian Znaniecky yang mengemukakan
bahwa inti permasalahan disorganisasi keluarga adalah adanya sikap we(kekitaan) dan
sikap I (keakuan) dalam struktur masyarakat.
Konflik nilai
Pada tahun 1925, Lawrence K. Frank menggunakan perspektif Konflik nilai dalam
mempelajari masalah-masalah perumahan, yang ternyata mengandung banyak konflik
kepentingan (Rubington dan Weinberg, 1995 dan Lawrence K. Frank, 1925).
Perspektif konflik nilai tumbuh sebagai perpaduan antara teori-teori konflik Eropa dan
Amerika. Dipelopori oleh Karl Marx yang melukiskan sejarah berkaitan dengan pertentangan
kelas dan George Simmel yang mengaitkan dengan konflik dalam interaksi
sosial. Fuller dan Myers berpendapat bahwa masalah sosial ditemukan dalam 3 fase, yaitu;
kesadaran, penentuan kebijaksanaan dan perubahan. Mereka melihat bahwa sejak perang dunia
ke-2 tidak terjadi disorganisasi, namun banyak terjadi perbedaan kepentingan, dimana masing-
masing pihak mempertahankan kepentingan dan nilai-nilainya dari kelompok lain.
Perspektif konflik nilai dipandang lebih tajam daripada perspektif patologi dan lebih supel
diabanding disorganisasi sosial. Penyebab masalah sosial adalah konflik nilai atau kepentingan.
Jika perbedaan kepentingan mencapai titik kulminasi, maka pecah konflik tidak terhindarkan. Ada
3 cara penyelesaian konflik, yaitu konsesus dimana antara pihak yang bertikai memilih nilai yang
tertinggi. Kemudian trade, yaitu penyelesaian melalui negosiasi. Dan ketiga adalah naked power
dimana pihak yang kuat akan mengalahkan pihak yang lemah.
Beberapa karya ilmiah penganut perspektif konflik nilai adalah sebagai berikut
1. The stage of sosial problem oleh Richard C. Fuller dan Richard R. Myers yang menyatakan
bahwa masalah sosial berkembang melalui 3 tahap, yaitu kesadaran, penetapan kebijaksanaan dan
perbaikan. Menurut mereka konflik nilai tampil dalam seluruh fase sejarah perkembangan suatu
masalah sosial.
2. Words without Deeds oleh Willard Waller yang menjelaskan bahwa dalam menghadapi
masalah sosial kita harus mempunyai alasan kenapa kita sebut sebagai suatu masalah sosial. Ada
dua kebiasaan dalam menyikapi, yaitu pertimbangan kemanusiaan dan pertimbangan
organisasional yang keduanya tidak selalu sejalan. Artinya dalam setiap permasalahan sosial kita
akan senantiasa dihadapkan pada pertimbangan kemanusian dan pertimbangan organisasi. Dalam
kesimpulannya Waller menyatakan bahwa banyak masalah yang tidak terselesaikan karena
memang tidak ada keinginan untuk menyelesaikannya.

Perilaku menyimpang
Perspektif perilaku menyimpang merupakan salah satu pendekatan dalam memahami
masalah sosial. Merton dan Nisbet (1961, dalam Tangdilintin 2000) menyatakan bahwa perilaku
menyimpang melihat masalah sosial sebagai suatu akibat dari suatu tidakan yang menyimpang
dari perangkat nilai berhubungan status sosial seseorang. Jadi suatu perilaku akan dikatakan
menyimpang atau tidak, sangat tergantung pada status orang yang melakukannya. Perilaku
menyimpang bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi terkait dengan aturan kebiasaan yang secara
sosial telah diterima dan secara moral bersifat mengikat penyandang status tertentu.
Brian J. Heraud (1970) membedakan penyimpangan dalam beberapa jenis, seperti
penyimpangan statis yaitu penyimpangan pada kebiasaan umum dalam kehidupan sehari-hari.
Penyimpangan medis atau patologis, yaitu penyimpangan sebab dan akibat sosial atau individual.
Karenanya penyimpangan ini harus dikaji secara selektif untuk menentukan mana yang tergolong
perilaku menyimpang dan yang bukan.
Beberapa konsep teoritis tentang perilaku menyimpang diantaranya adalah teori anomi
yang dikembangkan oleh Emile Durkein yang mengemukakan 3 jenis bunuh diri yaitu bunuh
diri egoistic[3], bunuh diri altruistic[4] dan bunuh diri anomi[5].
Perkembangan dinamika ilmu sosial melahirkan pemikiran-pemikiran khususnya sosiolog
dan ilmu-ilmu sosial yang mengembangkan teori anomi dan asosiasi. Teori anomi berkembang di
dalam suatu masyarakat atau kelompok pada saat cita-cita untuk mencapai sesuatu yang menjadi
dambaan umum, mempengaruhi pemikiran sebagian besar orang dalam kelompok masyarakat itu,
namun dilain pihak aturan-aturan yang ada tidak berkembang sehingga gagal mengatur cara-cara
pencapaian cita-cita tersebut. Maka terjadilah anomia tau ketiadaan norma.
Edwin H. Sutherland mengembangkan teori asosiasi diferensial, yaitu adanya
penyimpangan dipelajari di dalam interaksi dengan orang lain, terutama di dalam kelompok primer
yang bersifat intim seperti keluarga dan kelompok sebaya. Teori assosiasi diferensiasi didasari
aksioma Durkein, bahwa perilaku menyimpang merupakan bagian alami dari kehidupan sosial,
seperti halnya teori anomi yang dikembangkan Merton. Masalah sosial menurut perilaku
menyimpang disebabkan adanya sosialisasi yang tidak tepat karena kurangnya kesempatan untuk
belajar secara konvensional.

Teori kritis merupakan upaya sadar untuk memadukan teori dan praxis (tindakan).
Teori-
teori tersebut jelasn o r m a t i f d a n b e r t i n d a k u n t u k m e n c a p a i p e r u b a h a n k o n d i s i
ya n g d a p a t m e m p e n g a r u h i m a s ya r a k a t , a t a u sebagaimana dikatakan Della Pollock
dan . !obert "ox, #
to read the world with an eye towards shaping it”
.Penelitian kritis bertujuan untuk mengungkapkan cara di mana kepentingan-
kepentingan antar kelompok saling bersaing dan berbenturan, serta di mana
konflik diselesaikan untuk mendukung kelompok-kelompok tertentu atas yang lain.
Teori kritis oleh karena itu, sangat peduli terhadap kepentingan-kepentingan kelompok marjinal
(marginalized groups)
.
A.

Pengertian Teori Kritis


$stilah teori kritis pertama kali ditemukan %ax &okheimer pada tahun ' -an. *alnya teori
kritis berarti pemaknaan kembali gagasan-gagasan ideal modernitas berkaitan dengan nalar dan
kebebasan. Pemaknaan inid i l a k u k a n d e n g a n m e n g u n g k a p d e + i a s i d a r i g a g a s a n -
g a g a s a n i d e a l t e r s e b u t d a l a m b e n t u k s a i n t i s m e , kapitalisme, industri kebudayaan,
dan institusi politik
borjuis. n t u k m e m a h a m i p e n d e k a t a n t e o r i k r i t i s , t i d a k b i s a t i d a k , h a r u s m e
n e m p a t k a n n ya d a l a m k o n t e k s $dealisme erman dan kelanjutannya. arl
%arx dan generasinya menganggap &egel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar
pemikiran filosofis yang mampu mengamankan pengetahuan tentang manusia
dansejarah. /amun, karena beberapa hal, pemikiran %arx mampu menggantikan filsafat teoritis
&egel. %enurut%arx, hal ini terjadi karena %arx menjadikan filsafat sebagai sesuatu
yang praktis0 yakni menjadikannyasebagai cara berpikir (kerangka pikir) masyarakat dalam
me*ujudkan idealitasnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang 1sosial1 dan
menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim
filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma
kehidupan.Dan dapat diartikan sebagai teori yang menggunakan metode reflektif
dengan melakukan kritik secarat e r u s -
m e n e r u s t e r h a d a p t a t a n a n a t a u i n s t i t u s i s o s i a l , p o l i t i k a t a u e k o n o m i ya n g a
da.Teori kritis menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar
d a n k e h i d u p a n s o s i a l . D e n g a n d e m i k i a n , t e o r i k r i t i s menghubungkan ilmu-ilmu
sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif
tentangk e b e n a r a n , m o r a l i t a s , d a n k e a d i l a n ya n g s e c a r a t r a d i s i o n a l m e r u p a k a n
b a h a s a n f i l s a f a t . D e n g a n t e t a p memertahankan penekanan terhadap normati+itas dalam
tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanyadalam konteks jenis penelitian sosial
empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itudalam konteks
kekinian.
B.

Tujuan dan Karakteristik Teori Kritis


Tujuanteorikritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan,
keadiland a n p e r s a m a a n . T e o r i i n i m e n g g u n a k a n m e t o d e r e f l e k t i f d e n g a n c a r
a m e n g k r i t i k s e c a r a t e r u s m e n e r u s terhadap tatanan atau institusi sosial, politik
atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan,
keadilan, dan persamaan.234"iri khasTeori ritis tidak lain ialah bah*a teori ini tidak sama
dengan pemikiranfilsafat dansosiologitradisional. 5ingkatnya, pendekatan teori ini tidak
bersifatkontemplatif a t a u spektulatif murni. Pada titik tertentu, ia memandang dirinya
sebagai pe*aris ajaran arl %arx, sebagai teori yang menjadiemansipatoris.5elain itu,
tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata
realitas sosial tapi juga bah*a teori tersebut mau mengubah.Pada dasarnya,
esensiTeori ritis adalahkonstrukti+isme, yaitu memahami keberadaan struktur-
stuktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyekti+itas dan pengetahuan
secara alamiah memilikikarakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik.

Anda mungkin juga menyukai