Anda di halaman 1dari 14

MASALAH SOSIAL

Mata Kuliah : SOS62110

“Resume faktor penyebab dan solusi terhadap kasus pengemis, gelandangan dan anak

jalanan”

Disusun oleh :
Rahmah Dwi Fadhillah
(2210811008)

Pengampu mata kuliah :


Dra. Dwiyanti Hanandini, M.Si
Drs. Wahyu Pramono, M.Si

Departemen Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas
2023
Gelandangan, Pengemis dan Anak Jalanan

1. Pengertian

Gelandangan dan pengemis dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang


mengalami disfungsi sosial atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS). Gelandangan dan pengemis merupakan orang-orang yang tidak
mempunyai tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap atau layak,
berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang tempat. Dalam
keterbatasan ruang lingkup sebagai gelandangan tersebut, mereka berjuang untuk
mempertahankan hidup di daerah perkotaan dengan berbagai macan strategi, seperti
menjadi pemulung, pengemis, pengamen, dan pengasong.

Pengertian lain menyebutkan bahwa gelandangan merupakan seseorang yang


menjalankan hidup dalam lingkungan masyarakat dengan keadaan kehidupan sosial
yang tidak normal serta mengembara untuk mencari pekerjaan ada tempat tinggal
walaupun itu tidak tetap. Sedangkan pengemis adalah seseorang yang menjalankan
hidupnya dengan meminta-minta di muka umum untuk penghasilannya.

Menurut Departemen Sosial RI (2005: 5), Anak jalanan adalah anak yang
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari
di jalanan, baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-tempat
umum lainnya. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 sampai dengan
18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya
kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi.
2. Dimensi
Kemiskinan memiliki berbagai dimensi yang mencakup berbagai aspek kehidupan
individu dan masyarakat. Dimensi kemiskinan mencakup:
- Dimensi Ekonomi: Ini adalah dimensi paling umum dari kemiskinan dan
melibatkan keterbatasan sumber daya ekonomi, seperti penghasilan rendah
atau ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan,
perumahan, dan pakaian.
- Dimensi Pendidikan: Kemiskinan dapat tercermin dalam kurangnya akses
dan tingkat pendidikan yang rendah. Individu miskin mungkin menghadapi
kesulitan dalam mengakses pendidikan yang berkualitas atau menghentikan
pendidikan mereka karena faktor ekonomi.
- Dimensi Kesehatan: Kemiskinan dapat memengaruhi kesehatan fisik dan
mental. Individu miskin mungkin memiliki akses terbatas ke layanan
kesehatan dan mungkin lebih rentan terhadap penyakit, malnutrisi, dan stres.
- Dimensi Perumahan: Kemiskinan sering kali terkait dengan perumahan
yang buruk, termasuk kondisi perumahan yang tidak layak, kepadatan
tinggi, dan kurangnya akses terhadap air bersih dan sanitasi.
- Dimensi Akses terhadap Layanan Dasar: Ini mencakup akses terhadap
layanan dasar seperti air bersih, sanitasi, energi, dan transportasi.
Kemiskinan sering kali menyebabkan ketidakmampuan untuk mengakses
layanan ini.
- Dimensi Ketenagakerjaan: Kemiskinan juga terkait dengan masalah
ketenagakerjaan, termasuk pengangguran atau pekerjaan yang tidak stabil,
serta rendahnya upah dan kondisi kerja yang tidak aman.
- Dimensi Keamanan Pangan: Kemiskinan dapat mengakibatkan
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang memadai.
Kekurangan pangan atau malnutrisi sering kali menjadi masalah dalam
konteks kemiskinan.
- Dimensi Sosial dan Kultural: Aspek sosial dan budaya juga dapat
memainkan peran dalam kemiskinan, termasuk stigmatisasi sosial terhadap
individu miskin atau norma sosial yang dapat membatasi pilihan mereka.
- Dimensi Partisipasi Sosial: Kemiskinan dapat membatasi partisipasi sosial
dan politik. Individu miskin mungkin memiliki akses terbatas ke keputusan
dan sumber daya yang memengaruhi kehidupan mereka.
- Dimensi Lingkungan: Kemiskinan juga dapat berdampak pada lingkungan,
seperti deforestasi, pencemaran, atau kerusakan lingkungan lainnya yang
dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah-daerah
miskin.
- Dimensi Generasi: Kemiskinan dapat menjadi siklus yang diwariskan dari
satu generasi ke generasi berikutnya, di mana anak-anak dari keluarga
miskin memiliki peluang pendidikan dan ekonomi yang lebih rendah.
- Dimensi Geografis: Kemiskinan dapat bervariasi secara geografis, dengan
daerah pedesaan seringkali menghadapi tantangan yang berbeda dari daerah
perkotaan dalam hal akses terhadap layanan dan peluang ekonomi.
Dimensi gelandangan mencakup berbagai aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh status
kegelandangan mereka. Berikut adalah beberapa dimensi gelandangan:

1. Dimensi Perumahan: Gelandangan sering kali tidak memiliki tempat tinggal tetap atau
hidup di tempat-tempat yang tidak layak, seperti jalanan, terowongan, atau pondok
sederhana. Kondisi perumahan yang buruk ini dapat mempengaruhi kesehatan dan
kesejahteraan mereka.
2. Dimensi Kesehatan: Gelandangan seringkali menghadapi risiko kesehatan yang lebih
tinggi karena mereka mungkin tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang
memadai dan mungkin terpapar kepada elemen-elemen lingkungan yang berbahaya.
Penyakit menular, cedera, dan masalah kesehatan mental adalah masalah umum di
kalangan gelandangan.
3. Dimensi Keamanan Pribadi: Gelandangan seringkali rentan terhadap kekerasan fisik
dan seksual, eksploitasi, dan pencurian. Kekurangan keamanan pribadi dan hukum juga
dapat memengaruhi mereka.
4. Dimensi Akses Terhadap Makanan: Akses terhadap makanan yang cukup dan bergizi
mungkin terbatas bagi gelandangan. Kekurangan pangan dan kelaparan adalah masalah
serius dalam populasi ini.
5. Dimensi Ketenagakerjaan: Gelandangan seringkali memiliki kesulitan mengakses
pekerjaan yang stabil dan layak. Ketidakstabilan pekerjaan, pengangguran, dan kerja
sementara adalah masalah umum di kalangan gelandangan.
6. Dimensi Akses ke Layanan Sosial: Gelandangan mungkin memiliki kesulitan
mengakses layanan sosial yang diperlukan seperti bantuan sosial, perawatan kesehatan,
perumahan, dan layanan kesejahteraan lainnya.
7. Dimensi Kehidupan Sosial: Kehidupan sosial gelandangan seringkali terbatas. Mereka
mungkin merasa terisolasi atau diabaikan oleh masyarakat, teman, dan keluarga.
8. Dimensi Hukum dan Kebijakan: Kebijakan dan peraturan kota dan negara bagian dapat
memengaruhi status gelandangan, termasuk aturan tentang tidur di tempat umum,
meminta-minta, atau memiliki barang-barang pribadi di tempat umum. Pelanggaran
hukum semacam itu dapat mengarah pada penangkapan dan masalah hukum lainnya.
9. Dimensi Kebijakan dan Program Intervensi: Pemerintah dan organisasi nirlaba sering
mendekati masalah gelandangan melalui program-program yang bertujuan untuk
memberikan perumahan, layanan sosial, pendidikan, dan pelatihan keterampilan. Ini
menciptakan dimensi kebijakan dan program yang berperan dalam mengatasi
kemiskinan.
10. Dimensi Siklus Kemiskinan: Beberapa gelandangan dapat mengalami siklus
kemiskinan di mana mereka terjebak dalam status gelandangan yang sulit untuk
ditinggalkan. Upaya mengatasi siklus ini dapat melibatkan pendekatan yang holistik
dan berkelanjutan.
Anak jalanan adalah anak-anak yang hidup atau bekerja di jalanan tanpa perlindungan,
pemantauan, atau perawatan yang memadai. Mereka seringkali memiliki dimensi yang sangat
unik dan kompleks dalam kehidupan mereka. Berikut adalah beberapa dimensi anak jalanan:

1. Dimensi Perumahan: Anak jalanan seringkali tidak memiliki tempat tinggal tetap dan
menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau tempat-tempat yang tidak
layak. Mereka tidur di jalanan, dalam bangunan terbengkalai, atau tempat-tempat
terbuka lainnya.
2. Dimensi Kesehatan: Kehidupan di jalanan dapat mengakibatkan masalah kesehatan
serius bagi anak jalanan. Mereka seringkali memiliki akses terbatas ke layanan
kesehatan dan rentan terhadap penyakit menular, kelaparan, kekurangan gizi,
kekerasan, dan penyalahgunaan zat.
3. Dimensi Keamanan: Anak jalanan seringkali berisiko menjadi korban kekerasan fisik,
seksual, atau eksploitasi. Mereka juga dapat terlibat dalam kegiatan berisiko yang
mengancam keselamatan mereka.
4. Dimensi Pendidikan: Anak jalanan biasanya memiliki akses terbatas ke pendidikan.
Mereka mungkin tidak menghadiri sekolah atau berhenti sekolah sebelum
menyelesaikan pendidikan mereka.
5. Dimensi Ketenagakerjaan: Anak jalanan seringkali bekerja dalam pekerjaan kasar dan
berbahaya untuk mencari nafkah, seperti pengemis, pekerja anak di pabrik, atau pekerja
seks anak. Mereka mungkin diperlakukan secara tidak adil dan dieksploitasi oleh
majikan.
6. Dimensi Hubungan Keluarga: Beberapa anak jalanan telah melarikan diri dari rumah
karena masalah keluarga yang serius, seperti pelecehan, kekerasan, atau
ketidakmampuan keluarga untuk memberikan perawatan yang cukup. Yang lain
mungkin ditinggalkan atau terlantar oleh keluarga mereka.
7. Dimensi Hukum dan Kebijakan: Anak jalanan seringkali menjadi objek diskriminasi
hukum dan terkadang ditangkap atau ditahan karena beraktivitas di jalanan. Beberapa
negara memiliki hukum yang melarang pengemis anak, yang dapat memengaruhi anak
jalanan.
8. Dimensi Sosial dan Psikologis: Anak jalanan mungkin menghadapi stigma dan
diskriminasi sosial yang signifikan. Mereka juga dapat mengalami masalah psikologis
seperti depresi, kecemasan, dan trauma sebagai akibat dari kehidupan yang keras di
jalanan.
9. Dimensi Perlindungan dan Pemulihan: Memahami dan mengatasi dimensi
perlindungan dan pemulihan bagi anak jalanan adalah penting. Ini mencakup upaya
untuk menyediakan perlindungan dari eksploitasi dan kekerasan serta memberikan
layanan rehabilitasi dan reintegrasi untuk membantu mereka kembali ke masyarakat.
10. Dimensi Pemberdayaan: Meningkatkan pemberdayaan anak jalanan adalah salah satu
aspek penting dalam mengatasi masalah mereka. Ini melibatkan memberikan anak
jalanan akses ke pendidikan, pelatihan keterampilan, dan dukungan psikososial yang
mereka butuhkan untuk membangun masa depan yang lebih baik.

3. Asumsi
Asumsi terhadap kemiskinan dapat bervariasi tergantung pada sudut pandang dan teori
yang digunakan. Beberapa asumsi umum tentang kemiskinan meliputi:
- Keterbatasan Sumber Daya: Kemiskinan sering diasumsikan sebagai
keterbatasan akses terhadap sumber daya ekonomi seperti uang, pekerjaan,
pendidikan, dan perumahan yang layak.
- Siklus Kemiskinan: Ada asumsi bahwa kemiskinan dapat menjadi siklus yang
sulit diputuskan, di mana ketidakcukupan sumber daya menghambat
kemampuan seseorang untuk keluar dari kemiskinan.
- Ketidaksetaraan: Kemiskinan sering dihubungkan dengan ketidaksetaraan
dalam distribusi kekayaan dan peluang, di mana beberapa kelompok atau
individu memiliki akses yang lebih baik dibandingkan yang lain.
- Faktor Struktural: Beberapa teori kemiskinan menekankan faktor-faktor
struktural seperti sistem ekonomi, kebijakan pemerintah, dan kesenjangan sosial
sebagai penyebab utama kemiskinan.
- Peran Individu: Ada asumsi bahwa tindakan individu, seperti keputusan
pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran, memainkan peran penting dalam
mengatasi atau memperburuk kemiskinan.
- Masalah Sosial: Kemiskinan sering dilihat sebagai masalah sosial yang
memerlukan intervensi dan dukungan dari masyarakat dan pemerintah untuk
mengurangi dampak negatifnya.
Berikut adalah beberapa asumsi sosiologis yang dapat muncul dalam pemahaman tentang
gelandangan:
- Ketidaksetaraan Sosial dan Ekonomi: Asumsi ini mencakup pemahaman bahwa
ketidaksetaraan ekonomi dan sosial memainkan peran penting dalam menciptakan
dan mempertahankan situasi gelandangan. Ketidaksetaraan dapat berdampak pada
akses terhadap pekerjaan yang layak, perumahan yang terjangkau, dan layanan
sosial.
- Struktur Sosial yang Diskriminatif: Asumsi ini mengakui bahwa struktur sosial
mungkin memiliki elemen yang diskriminatif terhadap kelompok-kelompok
tertentu, seperti minoritas rasial atau etnis. Diskriminasi dan ketidaksetaraan akses
ke pekerjaan, pendidikan, dan layanan dapat memengaruhi individu menjadi
gelandangan.
- Krisis Perumahan dan Perkotaan: Pemahaman sosiologis mencakup pengakuan
bahwa krisis perumahan dan perubahan dalam struktur perkotaan dapat
menciptakan lebih banyak orang yang terpinggirkan dan terjebak dalam status
gelandangan.
- Kekerasan Struktural: Asumsi ini mengenai gelandangan mencerminkan
pemahaman tentang bagaimana sistem sosial dan ekonomi tertentu dapat
menciptakan kekerasan struktural yang mempengaruhi individu yang kurang
mampu dan membuat mereka lebih rentan terhadap kondisi jalanan yang keras.
- Siklus Kemiskinan: Pemahaman sosiologis sering mengasumsikan bahwa banyak
gelandangan terjebak dalam siklus kemiskinan, di mana ketidakstabilan ekonomi,
kurangnya akses ke pendidikan dan pelatihan, serta masalah kesehatan terus
menerus menggulirkan mereka lebih jauh ke dalam kemiskinan.
- Pertautan Ketidaksetaraan Gender: Asumsi ini mencerminkan pemahaman tentang
bagaimana ketidaksetaraan gender dapat memengaruhi kemungkinan wanita dan
anak perempuan untuk berakhir sebagai gelandangan. Kekerasan gender,
ketidaksetaraan upah, dan ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya dapat
berkontribusi pada situasi ini.
- Kegagalan Sistem Dukungan Sosial: Pemahaman ini mencakup asumsi bahwa
seringkali sistem dukungan sosial dan layanan kesejahteraan tidak memadai untuk
mengatasi masalah kemiskinan dan gelandangan. Kurangnya akses terhadap
bantuan sosial yang memadai dapat membuat individu lebih rentan terhadap
kehilangan tempat tinggal dan keamanan.
- Sosialisasi dalam Kehidupan Jalanan: Asumsi ini mencakup pemahaman tentang
bagaimana anak-anak yang tumbuh besar di jalanan mungkin mengalami proses
sosialisasi yang berbeda, yang dapat memengaruhi pandangan dan nilai mereka.
- Peran Stigmatisasi dan Diskriminasi: Asumsi ini mengakui bahwa stigmatisasi dan
diskriminasi sosial terhadap gelandangan dapat memperburuk situasi mereka dan
membuat lebih sulit untuk mendapatkan pekerjaan atau tempat tinggal yang layak.
Beberapa asumsi sosiologis yang relevan tentang anak jalanan meliputi:

- Ketidaksetaraan Sosial dan Ekonomi: Asumsi ini mencakup pemahaman bahwa


anak jalanan sering kali berasal dari kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan
miskin. Ketidaksetaraan ekonomi dan akses terhadap sumber daya ekonomi dapat
memengaruhi kemungkinan anak-anak menjadi anak jalanan.

- Krisis Keluarga: Pemahaman sosiologis sering mencakup asumsi bahwa konflik


keluarga, pelecehan, kekerasan rumah tangga, atau perpecahan keluarga dapat
menjadi pemicu utama anak-anak meninggalkan rumah dan hidup di jalanan.

- Stigmatisasi Sosial: Asumsi ini mengenai anak jalanan mencerminkan pemahaman


bahwa anak-anak ini seringkali menghadapi stigmatisasi sosial yang kuat.
Masyarakat mungkin menilai mereka sebagai "masalah" atau "bahaya," yang dapat
membuat integrasi kembali ke masyarakat menjadi lebih sulit.

- Siklus Kemiskinan dan Kemiskinan Generasional: Asumsi ini mencerminkan


pemahaman bahwa anak-anak jalanan sering kali terjebak dalam siklus kemiskinan,
di mana kondisi mereka mengulang pola kemiskinan yang telah ada dalam keluarga
mereka.

- Ketidaksetaraan Gender: Pemahaman ini mencakup asumsi bahwa anak perempuan


mungkin menghadapi risiko khusus, termasuk eksploitasi seksual dan perdagangan
manusia. Ketidaksetaraan gender dapat memengaruhi pengalaman anak jalanan.
- Kegagalan Sistem Perlindungan Anak: Asumsi ini mencakup pemahaman bahwa
seringkali sistem perlindungan anak gagal dalam melindungi anak-anak yang
terlantar. Birokrasi, kekurangan sumber daya, atau kurangnya perhatian terhadap
masalah anak jalanan dapat menyebabkan kegagalan ini.

- Pengaruh Lingkungan Kota dan Perkotaan: Pemahaman tentang pengaruh


lingkungan kota dan perkotaan mencakup asumsi bahwa perubahan dalam struktur
perkotaan dan urbanisasi dapat menciptakan lebih banyak anak jalanan.

- Sosialisasi dalam Kehidupan Jalanan: Asumsi ini mencakup pemahaman bahwa


anak-anak yang tumbuh besar di jalanan mengalami proses sosialisasi yang berbeda
dibandingkan dengan anak-anak yang tumbuh besar dalam lingkungan yang lebih
konvensional. Ini dapat memengaruhi pandangan dan perilaku mereka.

- Pertautan Antara Kelompok Marginal: Asumsi ini mencakup pemahaman bahwa


anak jalanan seringkali memiliki pertautan dengan kelompok-kelompok marginal
lainnya, seperti gelandangan dewasa, pengemis, atau kelompok minoritas. Ini dapat
menciptakan jaringan sosial yang kompleks di dalam komunitas jalanan.

4. Tahapan analisis

Analisis mengenai pengemis, gelandangan, dan anak jalanan melibatkan beberapa


tahapan untuk lebih memahami, mengidentifikasi masalah, dan merancang solusi yang
efektif. Berikut adalah tahapan analisis yang dapat diterapkan:

1) Penelitian dan Pemahaman: Tahap awal adalah melakukan penelitian untuk


memahami masalah pengemis, gelandangan, dan anak jalanan dalam konteks
lokal atau regional tertentu. Ini melibatkan pengumpulan data tentang jumlah,
demografi, dan karakteristik populasi tersebut, serta penyebab dan faktor yang
memengaruhi situasi mereka.

2) Identifikasi Faktor Penyebab: Setelah pemahaman awal terbentuk, identifikasi


faktor-faktor penyebab yang berkontribusi pada situasi pengemis, gelandangan,
dan anak jalanan. Ini termasuk faktor sosial, ekonomi, budaya, dan struktural
yang mungkin memengaruhi kenapa individu menjadi gelandangan atau anak
jalanan.

3) Penyusunan Klasifikasi dan Profil: Klasifikasikan populasi pengemis,


gelandangan, dan anak jalanan berdasarkan karakteristik umum mereka seperti
usia, jenis kelamin, latar belakang sosial, dan lainnya. Buat profil individu atau
kelompok yang mencakup riwayat, kebutuhan, dan tantangan mereka.

4) Analisis Terhadap Masalah Kesehatan dan Kesejahteraan: Identifikasi masalah


kesehatan fisik dan mental yang dihadapi oleh pengemis, gelandangan, dan anak
jalanan. Tentukan bagaimana masalah-masalah kesehatan ini berkaitan dengan
situasi mereka dan dampaknya pada kualitas hidup.

5) Evaluasi Akses Terhadap Layanan: Tinjau ketersediaan dan akses pengemis,


gelandangan, dan anak jalanan ke layanan dasar seperti perumahan, perawatan
kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Identifikasi kendala yang mungkin
mereka hadapi dalam mengakses layanan ini.

6) Analisis Pola Perilaku dan Kelompok Sosial: Pahami pola perilaku yang
mungkin dimiliki oleh pengemis, gelandangan, dan anak jalanan, termasuk cara
mereka bertahan hidup di jalanan dan interaksi dengan kelompok sosial lainnya.

7) Penyusunan Analisis Lingkungan: Tinjau lingkungan perkotaan dan sosial


tempat pengemis, gelandangan, dan anak jalanan tinggal dan beraktivitas.
Identifikasi lokasi-lokasi yang umumnya didiami atau dikunjungi oleh mereka.

8) Analisis Dampak pada Masyarakat: Pahami dampak sosial, ekonomi, dan


kesejahteraan yang diakibatkan oleh pengemis, gelandangan, dan anak jalanan
pada masyarakat setempat, termasuk isu-isu keamanan, perasaan nyaman, dan
persepsi masyarakat.

9) Pendekatan Kolaboratif: Untuk analisis yang lebih holistik, melibatkan berbagai


pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, organisasi nirlaba, komunitas,
dan individu yang terkait. Pendekatan kolaboratif memungkinkan berbagai
perspektif dan sumber daya digunakan untuk mengatasi masalah ini.
10) Merumuskan Solusi dan Program Intervensi: Berdasarkan analisis tahapan
sebelumnya, merumuskan solusi dan program intervensi yang bertujuan untuk
mengurangi jumlah pengemis, gelandangan, dan anak jalanan, serta
memperbaiki kondisi hidup mereka. Ini dapat melibatkan perumahan, layanan
kesehatan, pendidikan, pelatihan keterampilan, dan dukungan sosial.

11) Evaluasi dan Pemantauan: Setelah program-program intervensi


diimplementasikan, lakukan evaluasi dan pemantauan untuk menilai
efektivitasnya. Dapatkan umpan balik dari populasi yang terkena dampak dan
koreksi program jika diperlukan.

5. Perspektif teori

Dalam sosiologi, terdapat beberapa perspektif teori yang digunakan untuk memahami
fenomena gelandangan, pengemis, dan anak jalanan. Beberapa teori yang relevan
termasuk:

1. Teori Konflik: Teori konflik dalam sosiologi menyoroti konflik sosial sebagai elemen
sentral dalam pemahaman masalah gelandangan, pengemis, dan anak jalanan.
Perspektif ini menganggap bahwa ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial
menciptakan konflik antara kelompok yang memiliki akses dan kekuasaan dengan
kelompok yang tidak memiliki akses tersebut. Konflik ini dapat memengaruhi
pembagian sumber daya dan menciptakan kelompok yang terpinggirkan.
2. Teori Struktural Fungsionalisme: Dalam pandangan fungsionalis, gelandangan,
pengemis, dan anak jalanan dipandang sebagai konsekuensi disfungsi dalam struktur
sosial. Mereka mungkin dipahami sebagai hasil ketidakcocokan antara norma sosial
dan peran yang diharapkan dalam masyarakat. Perspektif ini berfokus pada bagaimana
masyarakat harus memperbaiki dan menjaga keseimbangan agar mengurangi jumlah
orang yang terpinggirkan.
3. Teori Simbolik Interaksionisme: Perspektif simbolik interaksionisme menekankan
pentingnya simbol, tanda, dan makna dalam memahami fenomena gelandangan,
pengemis, dan anak jalanan. Teori ini menganggap bahwa orang dalam masyarakat
memberikan makna pada status dan peran gelandangan, pengemis, dan anak jalanan
melalui interaksi sosial. Hal ini memungkinkan kita untuk memahami bagaimana
stigma dan stigmatisasi sosial dapat memengaruhi kehidupan mereka.
6. Sumber masalah
Sumber masalah gelandangan, pengemis, dan anak jalanan sangat kompleks dan dapat
bervariasi tergantung pada konteks sosial dan ekonomi masing-masing negara atau
wilayah. Beberapa faktor umum yang dapat diidentifikasi sebagai sumber masalah ini
meliputi:
1. Ketidaksetaraan Sosial dan Ekonomi: Ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya
ekonomi, seperti akses ke pekerjaan yang layak, perumahan terjangkau, dan pendidikan
berkualitas, dapat menjadi sumber utama masalah gelandangan, pengemis, dan anak
jalanan.
2. Krisis Perumahan: Kurangnya akses terhadap perumahan yang terjangkau adalah salah
satu faktor utama yang dapat mendorong seseorang menjadi gelandangan atau anak
jalanan. Krisis perumahan, termasuk tingginya harga sewa dan defisit perumahan, dapat
menyebabkan banyak orang tidak memiliki tempat tinggal yang stabil.
3. Krisis Kesehatan Mental dan Ketergantungan Zat: Beberapa individu yang menjadi
gelandangan atau anak jalanan mungkin menghadapi masalah kesehatan mental atau
penyalahgunaan zat. Ini dapat memicu atau memperburuk situasi mereka, dan
kurangnya akses ke layanan kesehatan mental dan rehabilitasi dapat menjadi masalah.
4. Krisis Keluarga: Konflik dalam keluarga, pelecehan, kekerasan dalam rumah tangga,
atau perpecahan keluarga dapat memaksa individu, terutama anak-anak, untuk
melarikan diri dan hidup di jalanan.
5. Ketidakstabilan Ekonomi: Krisis ekonomi, kehilangan pekerjaan, atau kurangnya
kesempatan kerja yang layak dapat menyebabkan seseorang menjadi pengemis atau
gelandangan. Terutama dalam situasi ekonomi yang tidak stabil, banyak individu dan
keluarga yang terpinggirkan.
6. Ketidaksetaraan Gender: Ketidaksetaraan gender dan kekerasan gender dapat
mempengaruhi perempuan dan anak perempuan secara khusus, mendorong mereka
menjadi anak jalanan atau korban eksploitasi.
7. Stigmatisasi Sosial dan Diskriminasi: Stigmatisasi dan diskriminasi sosial terhadap
gelandangan, pengemis, dan anak jalanan dapat membuat lebih sulit bagi mereka untuk
mencari pekerjaan, tempat tinggal, atau mendapatkan dukungan masyarakat.
8. Kegagalan Sistem Perlindungan Anak: Sistem perlindungan anak yang tidak memadai
atau tidak berfungsi dengan baik dapat gagal melindungi anak-anak yang terlantar, yang
dapat mengakibatkan mereka menjadi anak jalanan.
9. Ketidakstabilan Sosial dan Konflik: Konflik bersenjata, perang, dan ketidakstabilan
sosial di beberapa wilayah dapat memaksa orang untuk melarikan diri dan hidup di
jalanan.
10. Kurangnya Akses ke Layanan Sosial dan Kesejahteraan: Kurangnya akses terhadap
layanan sosial, kesehatan, dan pendidikan yang layak dapat membuat individu lebih
rentan terhadap kondisi jalanan yang keras.
11. Perubahan Lingkungan Perkotaan: Perubahan dalam struktur perkotaan dan urbanisasi
dapat menciptakan lebih banyak anak jalanan, terutama di kota-kota yang berkembang.
12. Stressor Individu: Masalah individu seperti kematian keluarga, kehilangan pekerjaan,
atau masalah kesehatan dapat menyebabkan seseorang terjebak dalam situasi
gelandangan.
13. Krisis Perdampakan: Anak-anak yang menjadi anak jalanan karena kehilangan
perwalian atau perangkat pendukung mungkin mencari perlindungan dan pemenuhan
kebutuhan dasar di jalanan.

7. Kasus
Kasus gelandangan, pengemis, dan anak jalanan di Indonesia sangat beragam dan
kompleks. Sejumlah 607 orang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di
Makassar terjaring razia mulai Januari hingga Oktober 2023. Itu diungkapkan Plt
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Makassar Armin Paera. Jumlah itu didominasi Anak
Jalanan (Anjal) dan Gelandangan Pengemis (Gepeng) sebanyak 431.
Berikut adalah beberapa contoh kasus yang mencerminkan masalah ini:
1. Kasus Anak Jalanan di Jakarta: Jakarta, sebagai ibu kota Indonesia, memiliki populasi
anak jalanan yang signifikan. Banyak anak yang terlantar di jalanan, menghadapi risiko
eksploitasi dan kekerasan. Program-program rehabilitasi dan reintegrasi anak jalanan
telah diluncurkan untuk membantu mereka.
2. Pengemis di Pusat Kota: Di banyak kota besar, terdapat kasus pengemis yang
beroperasi di pusat kota. Mereka sering meminta bantuan dari pengguna jalan dan
pedagang, terutama di tempat-tempat ramai seperti stasiun kereta api dan terminal bus.
3. Gelandangan di Bawah Jembatan: Beberapa jembatan di Indonesia sering digunakan
sebagai tempat tinggal oleh gelandangan. Mereka mungkin membangun pondok
sederhana di bawah jembatan dan bertahan dengan cara mengumpulkan barang-barang
bekas atau meminta bantuan.
DAFTAR PUSTAKA

Sarwono, S.W. 2005. Masalah-Masalah Kemasyarakatan di Indonesia. Jakarta: Sinar


Harapan.

Irawan, D.D. 2013. Pengemis Undercover Rahasia Seputar Kehidupan Pengemis. Jakarta:
Titik Media Publisher.

Direktur Pelayanan Sosial Anak. 2005. Standar Pelayanan Minimal pelayanan Rehabilitasi
Sosial Gelandangan Dan pengemis. Jakarta: Departemen Sosial RI.

Arrasjid, Chainur. 1986. Gelandangan Dalam Pengertian Hukum Pidana. Medan: Fakultas
Hukum USU

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Departemen Sosial RI.
2010. Pedoman Teknis Pelayanan dan Rehabilitasi Gelandangan dan Pengemis.
Jakarta: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial

Anda mungkin juga menyukai