Anda di halaman 1dari 11

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KELOMPOK RESIKO TINGGI

DI KOMUNITAS PADA KASUS TUNAWISMA

Diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Resiko Tinggi

Disusun oleh

Edi Setyawan
Erwin Murdiana
Hendri Firmansyah
Wadi Laksana

PROGRAM STUDI S1 NON REGULER KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BUDI LUHUR CIMAHI
2019
A. DEFINISI
Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak memiliki tempat tinggal
secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur. Tunawisma biasanya di golongkan ke
dalam golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki keluarga.
Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan masyarakat seperti orang
miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak memiliki keterampilan, petani, ibu rumah tangga, pekerja
sosial, tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan. Beberapa darimereka menjadi tunawisma karena
kemiskinan atau kegagalan sistem pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi
tunawisma adalah kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam rumah tangga,
pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu apapun penyebabnya, tunawisma lebih rentan terhadap
masalah kesehatan dan akses ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang.

B. FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA TUNAWISMA


1. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya gelandangan,
pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan dapat memaksa seseorang menjadi gelandangan karena tidak
memiliki tempat tinggal yang layak, serta menjadikan mengemis sebagai pekerjaan. Ketidakmampuan
seseorang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga membuatnya dalam garis kemiskinan.
Penghasilan yang tidak menentu berbanding terbalik dengan pengeluaran membuat seseorang rela
menjadi tunawisma untuk tetap bertahan hidup.Selain itu anak dari keluarga miskin menghadapi
risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan karena kondisi kemiskinan yang menyebabkan
mereka kerap kali kurang terlindung.
2. Rendah tingginya pendidikan
Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang. Pendidikan
sangat berpengaruh terhadap persaingan didunia kerja. Seseorang dengan pendidikan rendah akan
sangat sulit mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak. Sedangkan mereka juga memerlukan biaya
untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan
pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang
layak.
3. Keluarga
Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan perlindungan yang lebih
daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga yang tidak harmonis atau anak dengan keluarga
broken home membuat mereka merasa kurang perhatian,kemyamanan dan ketenangan sehingga
mereka cenderung mencari kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari orang lain.
4. Umur
Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun, membuat seseorang lebih
sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi kebutuhannya.
Menjadi tunawisma merupakan alternatif terakhir mereka untuk bertahan hidup.
5. Cacat Fisik
Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit mendapatkan pekerjaan.
Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik memilih menjadi tunawisma untuk dapat bertahan
hidup. Menurut Kolle (Riskawati dan Syani (2012) kondisi kesejahteraan seseorang dapat diukur
melalui kondisi fisiknya seperti
kesehatan.

6. Rendahnya ketrampilan
Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan ketrampilan seseorang dapat
memiliki asset produksi. Namun, ketrampilan perlu digali salah satunya melalui pendidikan serta
membutuhkan modal pendukung untuk dikembangkan. Hal inilah yang menjadi penghambat
seseorang dalam mengembangkan ketrampilan yang dimilki. Ketidakberdayaan inilah yang membuat
seseorang memilih menjadi tunawisma untuk bertahan hidup. Pada umumnya gelandangan dan
pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
7. Masalah sosial budaya
Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang menjadi gelandangan dan
pengemis. Antara lain:
a) Rendahnya harga diri.
Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan mereka tidak memiliki rasa
malu untk meminta-minta. Dalam hal ini, harga diri bukanlah sesuatu yang berharga bagi mereka. Hal
ini dibuktikan dengan banyaknya tunawisma yang berusia produktif.
b) Sikap pasrah pada nasib.
Mareka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai gelandangan dan
pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakuan perubahan.
c) Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang.

8. Faktor Lingkungan
Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh factor lingkungan yang
mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan banyak sekali ibu-ibu rumah tangga yang
bekerja sebagai pengemis. Momen ini digunakan mereka mencari uang untuk membantu suaminya
mencari nafkah. Tentu hal ini akan mempengaruhinya untuk melakukan pekerjaan yang sama, terlebih
lagi melihat penghasilan yang didapatkan lumayan untuk emmenuhi kebutuhan hidup.
9. Letak Geografis
Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat masyarakat yang
tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan membuat masyarakat harus meninggalkan
tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain. Akan tetapi, keputusannya untuk pindah ke kota
lebih memperburuk keadaan. Tidak adanya potensi yang alam sedia untuk diolah membuat
masyarakat tersebut semakin masuk dalam garis kemiskinan, dan membuatnya menjadi gelandangan.
Oleh karena itu ia lebih memilih menjadi pengemis sehingga kebutuhan hidupnya sedikit terpeuhi
dengan uang hasil meminta-minta
10. Lemahnya penangan masalah gelandangan dan pengemis
Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh pemerintah hanya
setengah hati. Selama ini penanganan yang telah nyata dilakukan adalah razia, rehabilitasi dalam panti
sosial, kemudian setelah itu dipulangkan ketempat asalnya. Pada kenyataannnnya, penanganan ini
tidak menimbulkan efek jera bagi mereka sehingga suatu saat mereka akan kembali lagi menjadi
gelandangan dan pengemis. Pada proses penanganan hal yang dilakukan adalah setelah dirazia mereka
dibawa kepanti sosial untuk mendapat binaan, bagi yang sakit dan yang berusia renta akan tetap
tinggal di panti sosial sedangkan yang lainnya akan dipulangkan. Proses ini dirasakan terlalu mudah
dan enak bagi gelandangan dan pengemis sehingga ia tidak perlu takut apabila terjaring razia lagi. hal
inilah yang membuat mereka terus mengulang kegiatan yang sama yakni menjadi gelandangan dan
pengemis.

C. FAKTOR PERILAKU DAN PSIKOSOSIAL YANG MENYEBABKAN MASALAH


KESEHATAN PADA TUNAWISMA
1. Kemiskinan, antara lain mengakibatkan:
a. Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi
b. Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan yang tidak layak.
c. Tidak mendapatkan pelayanan yang baik.
2. Gender
Adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin menurut budaya yang
berbeda-beda. Gender sebagai suatu kontruksi sosial mempengaruhi tingkat kesehatan, dan karena
peran jender berbeda dalam konteks cross cultural berarti tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.
3. Pendidikan yang rendah
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.Kesempatan untuk
sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam situasi
kesulitan biaya biasanya anak laki-laki lebih diutamakan karena laki-laki dianggap sebagai pencari
nafkah utama dalam keluarga.
Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang berpengaruh tetapi juga jender
berpengaruh pula terhadap pendidikan. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat kesehatan.
Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap masalah-
masalah kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan mempunyai pendidikan yang memadai
seseorang dapat mencari liang, merawat diri sendiri, dan ikut serta dalam mengambil keputusan dalam
keluarga dan masyarakat.
4. Kawin muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih banyak terjadi
(biasanya di bawah usia 18 tahun). Hal ini banyak kebudayaan yang menganggap kalau belum
menikah di usia tertentu dianggap tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-
cepat mengawinkan anaknya agar lepas tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita tersebut
kepada suaminya. Ini berarti wanita muda hamil mempunyai resiko tinggi pada saat persalinan. Di
samping itu resiko tingkat kematian dua kali lebih besar dari wanita yang menikah di usia 20 tahunan.
Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan bergantung kepada suami baik dalam
ekonomi dan pengambilan keputusan.
5. Seks bebas
Dari perilaku seksual usia dini Anak jalanan perempuan, yang mulai seks bebas yaitu anak-
anak jalanan dengan usia dibawah 14 tahun dan ada yang melakukan dengan saudaranya sendiri. Hal
ini menyebabkan anak jalanan rentan terhadap penyakit kelamin misalnya HIV atau AIDS.
6. Penggunaan Drugs
Anak jalanan perempuan rela melakukan hal apapun ( merampas, mencuri, membeli,
hubungan seks) yang penting bisa mendapatkan uang untuk membeli minuman keras, pil dan zat aditif
lainnya. Mereka menggunakan itu karena ingin menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di
jalanan. (P. Agus. A., 2015)
7. Eksploitasi Seksual
Keberadaan anak jalanan perempuan yang tinggal dijalanan sangat rentan terhadap eksploitasi
khususnya eksploitasi seksual seperti pelecehan, penganiyaan secara seksual, pemerkosaan,
penjerumusan anak dalam prostitusi dan adanya indikasi perdagangan anak keluar daerah khususnya
Riau dan Batam

D. PERAN PERAWAT DI AREA HOMELESS (TUNAWISMA)


1. Perawat sebagai pemberi perawatan
Para tunawisma biasanya banyak mengalami kurang perhatian dari orang tua dan lingkungan.
Alhasil banyak masalah yang terjadi pada tunawisma baik dari segi kesehatan fisik, psikologis dan
sosial. Peran perawat disini adalah memberikan asuhan keperawatan kepada mereka yang mengalami
masalah kesehatan secara holistik atau menyeluruh.
2. Perawat sebagai pendidik
Salah satu faktor penyebab dari tunawisma adalah rendahnya pendidikan mereka yang
membuat mereka menjadi miskin. Oleh karena itu, perawat menjelaskan kepada mereka informasi
seputar kesehatan dan menanamkan gaya hidup sehat. Diharapkan para tunawisma tersebut dapat
merubah perilaku mereka untuk mencapai tingkat kesehatan yang maksimal.
3. Perawat sebagai pengamat kesehatan (monitoring)
Perawat memonitoring perubahan-perubahan yang terjadi pada tunawisma. Bentuk
monitoring dapat berupa observasi, kunjungan rumah, pertemuan atau pengumpulan data.
4. Perawat sebagai panutan (role model)
Perawat dapat memberikan contoh yang baik dalam bidang kesehatan kepada masyarakat
tunawisma tatacara hidup sehat yang dapat ditiru dan dicontoh oleh mereka.
5. Perawat sebagai komunikator
Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran perawat yang lain. Perawat
memberikan perawatan yang efektif, memberikan pembuatan keputusan antara individu dan keluarga,
memberikan perlindungan bagi para tunawisma dari ancaman terhadap kesehatan dan kehidupannya.
Semua itu dilakukan dengan komunikasi yang jelas agar kualitas kehidupan mereka terpenuhi.
6. Perawat sebagai rehabilitator
Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi maksimal setelah
sakit, kecelakaan atau kejadian yang menimbulkan ketidakberdayaan lainnya. Seringkali tunawisma
mengalami gangguan fisik dan emosi yang mengubah kehidupan mereka dan perawat membantu
mereka untuk beradaptasi semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut.

E. LANGKAH PENGKAJIAN
a. Mengumpulkan data primer
a) Wawancara
· Masyarakat
· Tokoh masyarakat
· Kader
· Aparat kelurahan / desa
· Pemerintah Daerah setempat
b) Observasi

 Norma
 Nilai
 Keyakinan
 Struktur kekuatan
 Proses penyelesaian masalah
 Dinamika kelompok masyarakat
 Pola komunikasi
 Situasi/ kondisi lingkungan wilayah
b. Mengumpulkan data sekunder
Dilakukan dengan cara mencatat data dan informasi dari sumber yang relevan untuk
wilayah yang menjadi tanggung jawabnya.misalnya catatan kelahiran, kematian, cakupan
pelayanan.
c. Membahas data yang terkumpul
Kegiatan yang dilakukan yaitu Lokakarya mini atau pertemuan khusus pada forum
koordinasi. Melalui pembahasan ini dirumuskan masalah serta mencari penyebabnya.
1. DIMENSI LOKASI
(data Dimensi lokasi bisa mengambil dari data Rt/Rw/Desa/Kecamatan)
1) Batasan Komunitas
a. Batas wilayah dan peta wilayah dari tempat praktek
b. Karakteristik batasan wilayah (zona wilayah)
c. Lokasi Pelayanan Kesehatan
a) Tempat dan jarak pelayanan kesehatan
b) Cara mencapai lokasi yankes
2) Gambaran Geografis
a. Kesuburan dan peta topografi
b. Kemiringan dan ketinggian tanah
3) Iklim
a. Curah hujan dan kelembaban
b. Prakiraan musim hujan dan kemarau
4) Flora dan Fauna
a. Jenis tanaman
b. Jenis hewan (ternak dan liar)
5) Lingkungan buatan
a. Sarana Olah Raga
b. Saranan Rekreasi
c. Lingkungan pemukiman
2. DIMENSI POPULASI
1). Ukuran
Jumlah Penduduk : ………. Jiwa
Laki-laki : ……….. jiwa (……%)
Perempuan : ……….. jiwa (……%)
2). Jumlah kepala Keluarga : ………. KK
3). Kepadatan
a. Perbandingan jumlah penduduk dengan luas wilayah keseluruhan
b. Perbandingan jumlah penduduk dengan luas wilayah pemukiman
c. Distribusi penduduk berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin:
NO Kelompok Umur L P Jumlah %
1
2
Jumlah

1. Disribusi penduduk menurut tingkat pendidikan


No Tingkat Pendidikan Jumlah %
1
2
Jumlah

1. Distribusi penduduk menurut Mata Pencaharian


No Mata Pencaharian Jumlah %
1
2
Jumlah

4). Budaya Penduduk


a. Latar Belakang budaya / etnik penduduk
b. Sejarah Budaya Penduduk
c. Mobilitas Penduduk
a) Jenis Kependudukan (penduduk menetap /penduduk sementara
b) Pemanfaatan waktu oleh penduduk (berdasarkan struktur keluarga & berdasarkan jenis pekerjaan.

F. DIAGNOSA YANG MUNCUL


1. Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan
2. Perilaku kesehatan cenderung beresiko
G. PERENCANAAN
1. Pencegahan Primer
Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga tunawisma agar tetap berada di rumah.
Langkah untuk pencegahan primer yaitu:
a. Bantuan finansial
Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya bantuan publik, mengetahui
tersedianya dana, dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan bagi tunawisma yang
membutuhkan.
b. Bantuan hukum
Membantu tunawisma untuk berkonsultasi secara hukum agar tidak terjadinya pengusiran.
c. Saran finansial
Menyediakan program konseling keuangan secara gratis kepada tunawisma.
d. Program relokasi
Memberikan dana yang dibutuhkan bagi tunawisma untuk membayar rumah dan kebutuhan
dasar.

2. Pencegahan Sekunder
Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar segala kebutuhan serta pelayanan
kesehatan. Dalam hal ini, para tunawisma sulit mengakses khususnya system pelayanan kesehatan
karena mereka tidak memiliki tempat atau alamat yang tetap, sehingga dengan tujuan mengeluarkan
populasi tersebut dari kondisi tersebut dan mengatasi dampak yang timbul akibat menjadi tunawisma.
Langkah untuk pencegahan sekunder ialah
a. Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang rendah dan menimbulkan persoalan
umum bagi populasi tunawisma adalah mereka menjalani medikasi dan regimen terapi.
b. Obat – obatan yang dapat disimpan dengan mudah
c. Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan ditempat penampungan agar tunawisma tetap
mendapatkan asupan makanan sesuai yang ada di tempat penampungan tersebut.
d . Memberikan vitamin kepada tunawisma untuk mengompensasi defisit nutrisi
e. Memahami dan memfasilitasi bahwa para tunawisma selalu melakukan usaha terbaik untuk
mengikuti program terapi
f. Mengidentifikasi faktor – faktor yang menghambat para tunawisma agar tetap mendapatkan
pelayanan kesehatan.

3. Pencegahan tersier (Rehabilitasi)


Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan
rehabilitasi (Budiarto,2003). Langkah pencegahan tersier pada tunawisma antara lain:
a. Bimbingan mental
Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas social kepada para PMKS.
Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting guna menumbuhkan rasa percaya diri serta
spiritualitas para gelandangan dan pengemis. Karena pada dasarnya mereka memiliki semangat dan
rasa percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam dirinya. Selain itu mereka juga mempunyai
potensi yang cukup besar, hanya saja belum memiliki penyaluran atau sarana penghantar dalam
memanfaatkan potensi-potensi tersebut. Pada saat pertama kali para gelandangan dan pengemis
(gepeng) yang tercakup dalam razia, keadaan mereka sangat memprihatinkan, ada yang memasang
muka memelas ada juga yang dengan santainya mengikuti semua proses dalam therapy ini, dalam
therapy individu dilakukan pengecekan terhadap semua gelandangan dan pengemis (gepeng) satu
persatu secara psikis.
b. Bimbingan kesehatan
Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan kesehatan,terlebih dahulu para
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) diberikan fasilitas penanganan kesehatan yaitu
pemeriksaan kesehatan bagi mereka yang sedang sakit. Kemudian kegiatan bimbingan kesehatan
dimulai dengan penyadaran tentang pentingnya kesehatan badan atau jasmani. Mulai dari hal kecil
seperti pentingnya mandi, gosok gigi dan memakai pakaian bersih. Melihat selama ini kehidupan di
jalanan yang sangat keras dan serba tidak sehat, para gelandangan dan pengemis (gepeng) tentu masih
merasa kesulitan untuk menerapkan gaya hidup sehat sehingga apa yang diperoleh dalam bimbingan
kesehatan tidak diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan mereka.
c. Bimbingan ketertiban
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1 bulan sekali, dengan tujuan
memberikan pengarahan tentang tata tertib lalu lintas, serta peraturan di jalan raya, sehingga para
gelandangan dan pengemis tidak lagi berkeliaran dijalan raya, karena keberadaan mereka di jalanan
sangat mengganggu keamanan serta ketertiban lalu lintas. Dalam proses bimbingan ketertiban ini
biasanya pihak dinas social mendatangkan narasumber dari Satpol PP atau pihak kepolisian setempat.
Menurut pengamatan peneliti pada saat pertama mengikuti wejangan dari pak polisi para gelandangan
dan pengemis (gepeng) terlihat sangat antusias. Mungkin mereka takut berhadapan dengan polisi,
karena pada dasarnya para gelandangan dan pengemis (gepeng) dijalanan sangat berhati-hati terhadap
polisi, takut ditangkap dan kemudian dipenjarakan.
d. Bimbingan keagamaan
Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial, guna untuk
menguatkan kembali spiritualitas para gelandangan dan pengemis.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, E.T., & McFarlane, J. (2001). Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori
danPraktik Ed. 3. Jakarta: EGC
Budiarto, E & Anggraeni, D. (2003). Pengantar Epidemiologi. Jakarta: EGC.
Maurer, Frances A., Smith, Claudia M. 2009. Community/ Public Health Nursing Practice
Health For Families And Populations. 4th ed. Canada: Saunders Elsevier.
Zefianingsih, B. D et all. (2015). “Penanggulangan Gelandangan dan pengemis oleh Panti
Sosial Bina Karya di Pangudi Luhur Bekasi”.

Anda mungkin juga menyukai