Alasan pertama: Karena kematian itu akan kita temui di dunia. Sedangkan kehidupan yang
hakiki adalah di akhirat. –Lihat perkataan Ibnu ‘Abbas di atas-
Alasan kedua: Segala sesuatu diawali dengan tidak adanya kehidupan terlebih dahulu
seperti nutfah, tanah dan semacamnya. Baru setelah itu diberi kehidupan.[5]
Alasan ketiga: Penyebutan kematian lebih dulu supaya mendorong orang untuk segera
beramal.
Alasan keempat: Kematian itu masih berupa nuthfah (air mani), mudh-goh (sekerat daging)
dan ‘alaqoh (segumpal darah), sedangkan kehidupan jika sudah tercipta wujud manusia dan
ditiupkan ruh di dalamnya.[6]
“Supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”
Beberapa tafsiran mengenai “siapakah yang lebih baik amalnya”:
Pertama: siapakah yang paling baik amalannya di antara kita dan nanti masing-masing di
antara kita akan dibalas.
Kedua: siapakah yang paling banyak mengingat kematian dan paling takut dengannya.
Ketiga: siapakah yang paling gesit dalam melakukan ketaatan dan paling waro’ (berhati-hati)
dari perkara yang haram. [7]
Keempat: siapakah yang paling ikhlas dan paling benar amalannya. Amalan tidak akan
diterima sampai seseorang itu ikhlas dan benar dalam beramal. Yang dimaksud ikhlas
adalah amalan tersebut dikerjakan hanya karena Allah. Yang dimaksud benar dalam beramal
adalah selalu mengikuti petunjuk Nabi. Inilah pendapat Fudhail bin ‘Iyadh.
Kelima: siapakah yang lebih zuhud dan lebih menjauhi kesenangan dunia. Inilah pendapat
Al Hasan Al Bashri.[8]
Syarat Diterimanya Ibadah Bukan Hanya Niat yang
Ikhlas
Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,
Sumber https://rumaysho.com/636-faedah-surat-al-mulk-allah-menguji-manusia-siapakah-yang-
baik-amalnya.html