Anda di halaman 1dari 418

'Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah dalam

Sifat Allah ta'ala

Allah ta’ala berfirman :

‫ت أَ ْي ِدي ِه ْم‬
ْ َّ‫ت ْاليَهُو ُد يَ ُد هَّللا ِ َم ْغلُولَةٌ ُغل‬
ِ َ‫َوقَال‬

“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah


yang dibelenggu” [QS. Al-Maaidah : 64].

‫َّات بِيَ ِمينِ ِه‬ ْ ‫ات َم‬


ٌ ‫ط ِوي‬ ُ ‫َوالسَّما َو‬

“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” [QS. Az-Zumar : 67].

Setelah menyebutkan dua ayat tersebut, Al-Imam Al-Humaidiy rahimahullah (guru dari Al-


Imam Al-Bukhariy rahimahullah) berkata :

‫ (ال(رَّحْ َمنُ َعلَى‬: ‫ ونق((ول‬.‫ نق((ف على م((ا وق((ف علي((ه الق((رآن والس((نة‬.‫ ال نزي((د في((ه وال نفس((ره‬،‫وما أشبه هذا من القرآن والحديث‬
‫ ومن زعم غير هذا فهو معطل جهمي‬،)‫ش ا ْستَ َوى‬ ْ
ِ ْ‫ال َعر‬.

“Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang serupa dengan ini, maka kami tidak menambah-
nambahi dan tidak pula menafsirkannya (menta’wilkannya). Kami berhenti atas apa-apa
yang Al-Qur’an dan As-Sunah berhenti padanya. Dan kami berkata : ‘(Yaitu) Tuhan Yang
Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Barangsiapa yang
berpendapat selain itu, maka ia seorang Mu’aththil Jahmiy” [Ushuulus-Sunnah oleh Al-
Humaidiy, hal. 42, tahqiq : Misy’aal Muhammad Al-Haddaadiy; Daar Ibn Al-Atsiir, Cet.
1/1418].

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata :

‫ وذك(((((((ر ح(((((((ديث " إن هللا خل(((((((ق آدم على ص(((((((ورته‬،‫ ثن(((((((ا الحمي(((((((دي‬:‫" وق(((((((ال بش(((((((ر بن موس(((((((ى‬ .
‫ ال تستوحش أن تقول كما القرآن والحديث‬.‫ ال تقول غير هذا على التسليم والرضا بما جاء القرآن والحديث‬:‫فقال‬.

“Dan telah berkata Bisyr bin Musa : Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidiy, dan ia
(Al-Humaidiy) menyebutkan hadits : ‘Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai
dengan bentuk-Nya’.[1] Beliau berkata : ‘Kami tidak mengatakan yang lain selain ini

[1]
dikarenakan sikap taslim (berserah diri) dan ridla dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadits. Dan tidak merasa berat untuk mengatakan sebagaimana yang ada dalam Al-
Qur’an dan Al-Hadits” [Taariikhul-Islaam, juz 7; Maktabah Ruuhil-Islaam].

Al-Qadli Abu Ya’la rahimahullah meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Al-Imam


Asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau berkata :

‫ وإن له وجها ً بقوله (كل شيء هالك إال‬, )‫يداه مبسوطتان) وأن له يمينا ً بقوله (والسموات مطويات بيمينه‬  ‫وأن له يدين بقوله (بل‬
‫ وقوله (ويبقى وجه ربك ذو الجالل واإلكرام) وأن له قدما ً بقول النبي صلى هللا عليه وسلم (حتى يضع ال((رب ع((ز وج(ل‬,)‫وجهه‬
‫ فيها قدمه) يعني جهنم‬...

“Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan dengan dalil firman-Nya : “Tetapi kedua
tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64).  Dia juga memiliki wajah dengan dalil
firman Allah : “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah” (QS. Al-Qashaash : 88)
dan juga firman-Nya : “Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan” (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dia juga mempunyai kaki dengan dalil sabda
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Hingga Rabb (Allah) ‘azza wa jalla meletakkan kaki-
Nya padanya…” (HR. Bukhari dan Muslim) yaitu pada neraka” [Thabaqat Al-Hanabilah oleh
Al-Qaadliy Abu Ya’la Al-Farraa’, 2/269, tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman bin Sulaiman
Al-‘Utsaimin; Cet. Tahun. 1419].

Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ary rahimahullah berkata :

:‫ كما قال سبحانه‬،‫ وأن له سبحانه يدين( بال كيف‬.)‫ (ويبقى وجه ربك ذو الجالل واإلكرام‬:‫ كما قال‬،‫وأن له سبحانه وجها بال كيف‬
)‫ (تجري بأعيننا‬:‫ كما قال سبحانه‬،‫ وأن له سبحانه عينين بال كيف‬.)‫ (بل يداه مبسوطتان‬:‫ وكما قال‬،)‫(خلقت بيدي‬.

“Dan bahwasannya Allah mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal
wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (QS. Ar-Rahman : 27).  Dia juga
mempunyai dua tangan tanpa menanyakan ‘bagaimananya’, sebagaimana firman-
Nya : “Yang telah Ku-ciptakan dengan dua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75) dan firman-
Nya : “…..tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64). Dan Dia subhaanahu
wa ta’ala juga mempunyai dua mata tanpa menanyakan ‘bagaimananya’, dengan dalil
firman Allah subhaanahu wa ta’ala : “Yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan
mata) Kami” (QS. Al-Qamar : 14) [Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah oleh Abul-Hasan Al-
Asy’ariy, hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1].

[2]
Syaikhul-Islam Abu ‘Utsman Ash-Shabuni rahimahullah berkata :

َ َ‫ ق‬:‫ كما نص س(بحانه علي(ه في قول(ه ع( ّز من قائ(ل‬، (‫ إنه خلق آدم بيديه‬:‫ فيقولون‬، ‫وال يعتقدون تشبيها ً لصفاته بصفات خلقه‬
‫(ال يَ(ا‬
ُ ‫ك أَن تَ ْس ُج َد لِ َما خَ لَ ْق‬
‫ تحري(ف‬، ‫ بحم(ل الي(دين على النعم(تين( أو الق(وتين‬، ‫ وال يحرف(ون الكلم عن مواض(عه‬،َّ‫ت بِيَ( َدي‬ َ ‫إِ ْبلِيسُ َما َمنَ َع‬
‫ تشبيه المشبهة خذلهم هللا‬،‫ أو يشبهونهما بأيدي المخلوقين‬،‫المعتزلة والجهمية أهلكهم هللا وال يكيفونهما بكيف‬

“Mereka (Ahlul-Hadits) tidak meyakini sifat-sifat itu dengan cara menyerupakannya


dengan sifat-sifat makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah ta’ala telah menciptakan
Adam ‘alaihis-salaam dengan dua tangan-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-
Qur’an : “Allah berfirman : ‘Hai Iblis, apa yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah
Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Mereka (Ahlul-Hadits) juga tidak
menyimpangkan Kalamullah dari pengertian yang sebenarnya, dengan mengartikan kedua
tangan Allah sebagai dua kenikmatan atau dua kekuatan sebagaimana yang dilakukan oleh
Mu’tazillah dan Jahmiyyah – semoga Allah membinasakan mereka - . Mereka (Ahlul-Hadits)
juga tidak me-reka-reka bentuknya dan menyerupakannya dengan tangan makhluk-
makhluk, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Musyabbihah – semoga Allah
menghinakan mereka –“  [‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits oleh Abu ‘Utsman Ash-
Shabuni, hal. 26, tahqiq : Badr bin ‘Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah,
Cet. 2/1415. Dapat juga dilihat syarahnya yang ditulis oleh Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih
yang dapat didownload dari www.Almoshaiqeh.com].

Al-Imam Juwaini (ayah Imam Al-Haramain) rahimahumallah, penulis kitab Al-Jauharah,


pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada aqidah shahihah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah
setelah tenggelam dalam aqidah Asy’ariyyah yang menyimpang. Beliau mengatakan dalam
pendahuluan risalahnya : Al-Istiwaa’ wal-Fauqiyyah setelah beliau menetapkan sifat Allah
seperti mendengar, melihat, berbicara, dua tangan, dan menarik sebagai berikut :

‫استوى على عرشه فبان من خلفه ال يخفى عليه منهم خافية علمه بهم محي((ط وبص(ره بهم ناف((ذ وه(و في ذات((ه وص((فاته ال يش((بهه‬
‫ هي صفات الئقة بجالله وعظمته ال تتخيل كيفيته((ا الظن((ون وال تره((ا‬. ‫شيء من مخلوقاته وال يمثل بشيء من جوارح مبتدعاته‬
‫ بل نؤمن بحقائقها وثبوتها واتصاف الرب تعالى بها وننفي عنه((ا تأوي((ل المت((أولين وتعطي((ل الجاح((دين وتمثي((ل‬. ‫في الدنيا العيون‬
‫ فمن قص(د بعبادت(ه إلى إل(ه ليس(ت ل(ه ه(ذه‬. ‫المشبهين تبارك هللا أحسن الخالقين فبهذا الرب نؤمن وإياه نعبد ول(ه نص(لي ونس(جد‬
‫الصفات فإنما يعبد غير هللا وليس معبوده ذلك بإله‬

“Dia (Allah) bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya, tidak ada yang
tersembunyi dari-Nya, ilmu-Nya melingkupi mereka, dan penglihatan terhadap mereka
terbukti. Dalam Dzat dan sifat-Nya, Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tidak juga

[3]
dimisalkan dengan sesuatu dari anggota-anggota badan makhluk-Nya. Ini adalah sifat-sifat
yang sesuai dengan keagungan dan keluhuran-Nya. Bagaimananya tidak bisa dibayangkan,
dan tidak ada mata yang dapat melihat-Nya di dunia. Tapi kita harus meyakini kebenaran
dan ketetapannya, serta menyifati Tuhan dengan sifat-sifat tersebut. Kita (harus)
menafikkan penakwilan dari orang-orang muta’awwiliin, penolakan dari orang-orang yang
ingkar, dan permisalan dari orang-orang musyabbihiin. Maha Suci Allah dan Ia adalah
sebaik-baik pencipta. Kepada Tuhan ini kita beriman, menyembah, shalat, dan bersujud.
Oleh karena itu, orang yang sengaja beribadah kepada Tuhan yang tidak memiliki sifat-sifat
ini, maka sesungguhnya ia menyembah kepada selain Allah, karena yang disembahnya itu
bukanlah Tuhan” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 56-57].

‘Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam sifat-sifat Allah ta’ala adalah beriman kepada


sifat-sifat-Nya sebagaimana yang terdapat dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam tanpa tahrif (ta’wil), ta’thil, takyif, dan tamtsil,
serta mengimani bahwa Allah itu tidak serupa dengan sesuatu apapun. Dia Maha
Mendengar dan Maha Melihat. Maka mereka tidak menafikkan dari-Nya sifat-sifat yang
Allah tetapkan buat diri-Nya dan tidak menyelewengkan kalimat dari lafadh/makna
aslinya, dan tidak membuat ilhad (penentangan/penyelewengan) nama-nama Allah, tidak
men-takyif (menanyakan bagaimana bentuknya) serta tidak men-tamtsil(menyerupakan)
sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, karena tidak ada yang sama bagi-Nya dan tidak boleh
diqiyaskan dengan makhluk-Nya. Dan Allah lebih mengetahui tentang diri-Nya dan tentang
yang lainnya (dari makhlukNya). ‘Aqidah ini merupakan kesepakatan para ulama salaf
Ahlus-Sunnah mutaqaddimiin (terdahulu).

Al-Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibaniy rahimahullah berkata :

‫اتفق الفقهاء كلهم من المشرق إلى المغرب (على) اإليمان بالقرآن واألحاديث التي جاء بها الثقات عن رسول هللا صلى هللا علي((ه‬
‫ فمن فسر اليوم شيئًا من ذلك فقد خرج مما كان علي((ه الن((بي‬،‫وسلم في صفة الرب ع ّز وج ّل من غير تغيير وال وصف وال تشبيه‬
‫ فمن ق(ال بق((ول جهم‬.‫صلى هللا عليه وسلم وفارق الجماعة فإنهم لم يصفوا ولم يفسروا لكن أفتوا بما في الكتاب والس((نة ثم س((كتوا‬
‫فقد فارق الجماعة ألنه قد وصف بصفة ال شيء‬.

“Para fuqahaa’ semuanya dari wilayah timur sampai barat telah sepakat untuk beriman


kepada Al-Qur’an dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqah dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hal shifat Rabb ‘azza wa jalla tanpa mengubah
(ta’wil/tahrif), menyebutkan kaifiyah sifat-Nya, dan menyerupakan dengan makhluk-Nya.
Barangsiapa menafsirkannya pada hari ini tentang sifat-sifat Allah tersebut, sungguh ia
telah keluar dari apa-apa yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di atasnya

[4]
dan memisahkan diri dengan jama’ah. Sesungguhnya mereka (para fuqahaa) tidak
menafsirkan (tentang sifat Allah), namun mereka berfatwa dengan apa-apa yang ada dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan kemudian diam. Barangsiapa yang berkata dengan
perkataan orang Jahmiyyah, berarti ia telah memisahkan diri dengan jama’ah, karena ia
telah mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak ada” [Syarh Ushuul I’tiqad Ahlis-Sunnah
wal-Jama’ah oleh Al-Laalika’iy, hal. 432-433 no. 740, tahqiq Ahmad bin Mas’ud Al-
Hamdaan; Desertasi S3 Universitas Ummul-Qurra’].

Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Andalusy rahimahullah berkata :

‫أهل السنة مجمعون على اإلقرار بالصفات الواردة في الكتاب والسنة وحملها على الحقيقة ال على المجاز إال أنهم لم يكيفوا ش((يئا‬
‫ وأما الجهمية والمعتزلة والخوارج فكلهم ينكرها وال يحمل منها شيئا على الحقيقة ويزعمون أن من أقر بها مش((به وهم‬. ‫من ذلك‬
‫عند من أقر بها نافون للمعبود‬

“Ahlus-Sunah bersepakat tentang pengakuan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Kitab


dan As-Sunnah dengan membawa penafsirannya pada hakikatnya, bukan pada makna
majaz. Hanya saja mereka tidak menanyakan “bagaimana” (kaifiyah) atas sifat-sifat
tersebut. Adapun golongan Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Khawarij; mereka semua
mengingkarinya dan tidak memberikan pengertian pada makna hakikatnya. Mereka
(Jahmiyyah, Mu’tazillah, dan Khawarij) menganggap orang-orang yang menyepakati hal
tersebut (yaitu Ahlus-Sunnah) sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya. Adapun mereka (yang mengingkari sifat-sifat Allah) di sisi Ahlus-Sunnah
adalah golongan orang yang meniadakan Dzat yang disembah” [Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-
Dzahabi oleh Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 39; Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401].

Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy rahimahullah berkata :

‫وس(نَّ ِة‬
ُ ِ‫ب هللا‬
ِ ‫ت في كت((ا‬ ِ ‫الص(فا‬ِّ ‫ت لم((ا َو َر َد ِمن‬ ْ
ِ ‫واإلثب((ا‬ ‫(رار‬
ِ (‫ واإل ْم‬،‫رار‬ ِ َ‫وعلى هذا د ََر َج ال َّسلَفُ وأَئِ َّمةُ ال َخل‬
ِ ‫ ُكلُّهُ ْم ُمتَّفِقُونَ على اإل ْق‬،‫ف‬
‫ض لتأْ ِويلِ ِه‬
ٍ ُّ‫ ِم ْن َغي ِْر تَ َعر‬،‫رسولِ ِه‬.

“Dan atas dasar inilah para salaf dan imam generasi khalaf setelahya berjalan.
Semuanya sepakat untuk menerima, membiarkan apa adanya, dan menetapkan sifat-sifat
Allah. Baik yang terdapat di dalam Kitabullah (Al-Qur’an) maupun As-Sunnah, tanpa
berpaling untuk menta’wilkannya” [Syarh Lum’atil-I’tiqaad oleh Shaalih Aalusy-Syaikh;
http://www.islamway.com].

Menetapkan sebagaimana dhahir makna dan lafadhnya,


tanpa ta’wil bukanlah tasybih(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), sebagaimana
tuduhan orang-orang bodoh dari kalangan Asy-ariyyah dan yang semisal dengannya.
[5]
Maka, perhatikanlah perkataan Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah :

: ‫ فال يق(ول‬،‫ ي(د وس(مع وبص(ر‬: ‫ وأم(ا إذا ق(ال كم((ا ق(ال هللا‬.‫ فهذا تشبيه‬،‫ يد مثل يدي أو سمع كسمعي‬: ‫إنما يكون التشبيه إذا قال‬
ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوه َُو ال َّس ِم ْي ُع ْالب‬
‫ص ْي ُر‬ َ ‫ (لَي‬: ‫ قال تعالى‬،ً‫ فهذا ال يكون تشبيها‬،‫ مثل‬: ‫ واليقول‬،‫كيف‬

”Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ”Tangan (Allah) seperti
tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku”. Inilah yang dinamakan tasybih
(penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan,
pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’ dan ’seperti’;
maka itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Mukhtashar Al-’Ulluw
lidz-Dzahabi, hal. 69].

Al-Imam Nu’aim bin Hammad Al-Khuzaa’iy Al-Haafidh rahimahullah :

ً ‫ وال رسولُه تشبيها‬،‫ وليس ما وصف به نفسه‬،‫ ومن أنكر ما وصف به نفسه فقد كفر‬،‫ فقد كفر‬،‫من شبه هللا بخلقه‬

”Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir.


Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya, maka ia telah
kafir. Dan tidaklah apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya dan (yang disifatkan) Rasul-Nya
itu sebagai satu penyerupaan (tasybih)” [Mukhtashar Al-’Uluuw, hal. 184 no. 216, dengan
sanad shahih].

Tuduhan mereka (ahlul-bid’ah) kepada Ahlus-Sunnah sebagai kaum Musyabbihah sudah


terjadi semenjak beratus-ratus tahun yang lalu, sebagaimana dikatakan oleh Abu ‘Utsman
Ash-Shabuniy rahimahullah :

،‫ وأظه(ر آي(اتهم وعالم(اتهم ش(دة مع(اداتهم لحمل(ة أخب(ار ال(ني ص(لى هللا علي(ه وس(لم‬،‫وعالمات البدع على أهله(ا بادي(ة ظ(اهرة‬
‫ اعتق(ادا منهم في أخب((ار الرس((ول ص((لى هللا علي((ه وس((لم أنه((ا‬،‫واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهل((ة وظاهري((ة ومش((بهة‬
‫ وه(واجس قل((وبهم‬،‫ ووس(اوس ص((دورهم المظلم((ة‬،‫ وأن العلم ما يلقيه الشيطان إليهم من نتائج عق(ولهم الفاس((دة‬،‫بمعزل عن العلم‬
‫ أولئك الذين لعنهم هللا‬.‫ وحججهم العاطلة‬،‫الخالية من الخير‬

“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang
paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai
mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka
meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu.
Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam
[6]
bentuk hasil pemikiran aka-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati
mereka yang penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong
dari kebaikan dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah”.

Mereka mengatakan itu karena pemahaman yang sakit, rusak, serta sikap permusuhan
abadi kepada Ahlus-Sunnah – walau mereka juga mengaku sebagai ‘Ahlus-Sunnah’.

Itu saja yang dapat dituliskan. Semoga penyebutan beberapa dalil, riwayat, dan penjelasan
para ulama di atas dapat memberikan satu gambaran gamblang tentang ‘aqidah Ahlus-
Sunnah dalam masalah sifat Allah. Sekaligus menerangkan kekeliruan paham Asy’ariyyah
yang sering mengklaim bahwa mereka adalah Ahlus-Sunnah dalam perkara ‘aqidah ini. 

Allahul-Musta’an……

[1]     Sebagian ulama mengatakan bahwa dhamir (kata ganti) ‘hi’ tidak kembali pada Allah.


Namun ini keliru. Yang benar, dhamir tersebut kembali kepada Allah ta’ala. Inilah
pemahaman yang ditempuh oleh para ulama salaf.

‫ فق(ال‬.‫ إن هللا ع((ز وج(ل خل(ق آدم على ص(ورته‬: ‫ كنا بالبصرة عند شيخ فحدثنا بحديث النبي‬: ‫عن عبد هللا بن أحمد بن حنبل قال‬
‫ هذا كالم الچحمية‬: ‫ وقال‬.‫ هذا جهمي‬: ‫ فقال‬،‫ فحدثت بذلك أبي رحمه هللا تعالى‬.‫ تفسيره خلقه على صورة الطين‬: ‫الشيخ‬.

Dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal ia berkata : “Kami pernah berada di Bashrah bersama
seorang Syaikh. Ia membawakan kepada kami hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“Sesungguhnya Allah ta’ala menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya”. Ia (Syaikh
tersebut) berkata : ‘Tafsirnya adalah (menciptakan) dengan bentuk (dari) tanah’. Maka aku
ceritakan perihal tersebut kepada bapakku (Al-Imam Ahmad bin Hanbal) rahimahullah,
dan beliau berkata : ‘Orang ini adalah Jahmiy. Ini adalah perkataan Jahmiyah’ [Ibthaalut-
Ta’wiilaat, q : 55-56, melalui perantaraan kitab Al-Masaailu war-Rasaailul-Marwiyatu ’anil-
Imam Ahmad fil-’Aqidaholeh ’Abdullah bin Sulaiman bin Saalim Al-Ahmadiy, 1/358-359;
Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412 H].

Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata :

“Sesungguhnya dhamir di dalam hadits shahih mengenai penciptaan Adam dalam bentuk-


Nya adalah kembali pada Allah, dan hal itu sesuai dengan apa yang terkandung di dalam
hadits Ibnu ‘Umar : ‘Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk Ar-Rahman’.

[7]
Hadits tersebut telah dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Al-Ajuriiy,
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, dan imam-imam lainnya. Banyak dari para imam yang
menjelaskan kesalahan Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam penolakan terhadap
pengembalian dlamir tersebut kepada Allah Yang Maha Suci di dalam hadits Ibnu ‘Umar.
Yang benar adalah apa yang dikatakan oleh para imam yang telah disebutkan dan juga yang
lainnya mengenai kembalinya dlamir kepada Allah ta’ala tanpa disertai cara dan
penyerupaan. Tetapi bentuk Allah ta’ala itu sesuai dengan-Nya dan sejalan dengan sifat-
sifat-Nya, serta tidak ada sesuatupun yang serupa dengan makhluk-Nya, sebagaimana yang
difirmankan Allah ta’ala : ‘Katakanlah : "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan
yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula
diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia’ (QS. Al-Ikhlash : 1-4).
Allah ta’ala juga berfirman : ‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Melihat’ (QS. Asy-Syuura : 11). Dia juga
berfirman : ‘Apakah kamu mengetahui ada orang yang sama dengan Dia (yang patut
disembah)’ (QS. Maryam : 65). Demikian juga firman-Nya : ‘Maka janganlah kalian
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kalian
tidak mengetahui’ (QS. An-Nahl : 74). Dan cukup banyak ayat Al-Qur’an yang membahas
tentang hal tersebut.

Yang wajib dilakukan oleh orang-orang yang berilmu dan beriman adalah mengartikan
ayat-ayat dan hadits-hadits shahih tentang sifat-sifat Allah persis seperti keberadaannya
dengan tidak menafsirkannya yang bertentangan dengan dhahirnya, sebagaimana yang
telah dilakukan oleh kaum salaf dan para imamnya, dengan keimanan penuh bahwa Allah
itu Maha Suci, yang tidak ada sesuatupun serupa dengan-Nya baik dalam bentuk, wajah,
tangan, dan seluruh sifat-Nya, tetapi Dia Dzat yang Maha Suci yang memiliki kesempurnaan
mutlak dari segala sisi dalam semua sifat-Nya. Tidak ada satu pun yang serupa dan semisal
dengan-Nya. Sifat-sifat-Nya tidak dapat disejajarkan/diserupakan dengan sifat-sfat
makhluk-Nya, sebagaimana hal itu telah ditetapkan oleh generasi salaf dan para imamnya
dari para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya. Mudah-
mudahan Allah ta’ala memberikan rahmat kepada mereka serta menjadikan kita bagian
dari pengikut mereka dengan baik” [‘Aqiidah Ahlil-Iman fii Khalqi Adam ‘alaa Shuuratir-
Rahmaan oleh Hamud At-Tuwaijiri, bagian sambutan awal kitab; Daarul-Wafaa’, Cet.
2/1409].

[8]
Ringkasan Kaidah-kaidah dalam
Mengimani Sifat-sifat Allah Ta’ala

Kaidah Pertama :

‫أن من اإليمان باهلل اإليمان بما وصف به نفسه‬.

“Bahwa termasuk keimanan kepada Allah adalah mengimani sifat Allah yang Dia sifatkan
untuk diri-Nya.”

Kaidah Kedua :

‫ أن ي ؤمن به ا على م ا ج اءت دون أن‬:‫ والواجب على اإلنسان نحو األمور الغيبي ة‬،‫أن صفات هللا عز وجل من األمور الغيبية‬
‫يرجع إلى شيء سوى النصوص‬.

“Bahwa sifat-sifat Allah termasuk perkara ghaib, sedang kewajiban manusia terhadap
perkara ghaib adalah mengimaninya berdasarkan dalil, tanpa bersandar pada sesuatu apa
pun selain nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.”

Kaidah Ketiga :

‫أننا ال نصف هللا تعالى بما لم يصف به نفسه‬.

“Bahwa kita tidak boleh mensifatkan Allah ta’ala, dengan sifat yang tidak Dia sifatkan untuk
diri-Nya.”

Kaidah Keempat :

‫ ال نتعداها‬،‫وجوب إجراء النصوص الواردة في الكتاب والسنة على ظاهرها‬.

“Wajib membiarkan nash-nash (tentang sifat Allah ta’ala) yang terdapat dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah sesuai zhahir-nya, kita tidak boleh melampaui batas terhadapnya (dengan
mentakwilnya tanpa dalil).”
[9]
Kaidah Kelima :

‫عموم كالم المؤلف يشمل كل ما وصف هللا به نفسه من الصفات الذاتية المعنوية والخبرية والصفات الفعلية‬.

“Keumuman ucapan Penulis (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah) mencakup


semua sifat yang Allah sifatkan untuk diri-Nya, baik sifat dzatiyyah ma’nawiyah dan
khabariyyah, maupun sifat fi’liyyah.”

Penjelasan :

• Sifat Allah terbagi dua : Sifat dzatiyyah dan fi’liyyah.

• Makna Sifat Dzatiyyah :

‫الصفات الذاتية هي التي لم يزل وال يزال متصفا ً بها‬

“Sifat-sifat dzatiyyah (yang tidak pernah terpisah dengan dzat-Nya) adalah yang senantiasa
dan selamanya Allah bersifat dengannya.”

Pembagian Sifat Dzatiyyah :

Pertama: Sifat dzatiyyah ma’nawiyyah, yaitu sifat-sifat yang berdasarkan dalil dan dapat
diketahui berdasarkan akal. Contohnya: Sifat Maha Hidup, Maha Berilmu, Maha Mampu,
Maha Hikmah dan yang semisalnya.

Kedua: Sifat dzatiyyah khabariyyah, yaitu sifat-sifat yang hanya dapat diketahui
berdasarkan dalil, tidak dapat diketahui berdasarkan akal. Contohnya : Sifat dua tangan,
wajah, dua mata dan yang semisalnya.

• Makna Sifat Fi’liyyah:

‫الصفات الفعلية هي الصفات المتعلقة بمشيئته‬

“Sifat-sifat fi’liyyah (yang terkait dengan perbuatan) adalah sifat-sifat yang terkait dengan
kehendak Allah ta’ala.”

[10]
Pembagian Sifat Fi’liyyah:

Pertama : Sifat fi’liyyah yang memiliki sebab yang dapat diketahui makhluk, contohnya :
Sifat meridhoi, Allah ta’ala tidaklah meridhoi kecuali karena ada sebabnya, sebagaimana
firman-Nya,

‫ضهُ لَ ُك ْم‬
َ ‫ش ُك ُروا يَ ْر‬ َ ‫إِنْ تَ ْكفُ ُروا فَإِنَّ هَّللا َ َغنِ ٌّي َع ْن ُك ْم َوال يَ ْر‬
ْ َ‫ضى لِ ِعبَا ِد ِه ا ْل ُك ْف َر َوإِنْ ت‬

“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak
meridai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu
kesyukuranmu itu.” [Az-Zumar: 7]

Kedua : Sifat fi’liyyah yang tidak memiliki sebab yang dapat diketahui makhluk, contohnya:
Turun ke langit dunia di sepertiga malam yang terakhir.

• Tambahan Penjelasan: Sebagian sifat mengandung dua sisi, di satu sisi adalah sifat
dzatiyyah dan di sisi lain adalah sifat fi’liyyah, contohnya : Sifat Maha Berbicara. Allah ta’ala
senantiasa memiliki sifat berbicara (ini adalah sifat dzatiyyah), akan tetapi Allah berbicara
kapan Dia menghendakinya (ini adalah sifat fi’liyyah).

Kaidah Keenam :

‫أن العقل ال مدخل له في باب األسماء والصفات‬.

“Bahwa akal tidak ada baginya pintu masuk dalam bab Asma’ wash Shifat.”

Kaidah Ketujuh :

‫ أو باإلقرار‬،‫ أو بالفعل‬،‫ إما بالقول‬:‫وصف رسول هللا صلى هللا عليه وسلم لربه ينقسم إلى ثالثة أقسام‬.

“Pensifatan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terhadap Rabb-nya terbagi menjadi tiga


bentuk, yaitu dengan ucapan, perbuatan atau penetapan beliau.”

Kaidah Kedelapan :

‫ ومن غير تكييف وال تمثيل‬,‫من غير تحريف وال تعطي‬.

“Tidak melakukan tahrif dan ta’thil, serta tidak melakukan takyif dan tamtsil.”

Penjelasan:

[11]
‫ فأهل السنة والجماعة يؤمنون بها إيمانا ً خالي ا ً من ه ذه األم ور‬،‫في هذه الجملة بيان صفة إيمان أهل السنة بصفات هللا تعالى‬
‫ والتمثيل‬،‫ والتكييف‬،‫ التحريف والتعطيل‬:‫األربعة‬.

“Dalam kalimat ini terdapat penjelasan cara beriman Ahlus Sunnah terhadap sifat-sifat
Allah ta’ala, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani sifat-sifat Allah dengan keimanan
yang bersih dari empat perkara : Tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.”

• Tahrif (Penyelewengan) adalah :

‫تغيير لفظ النص أو معناه‬

“Merubah lafaz nash atau maknanya.”

Contoh Penyelewengan Lafaz :

 Merubah firman Allah ta’ala,

َ ‫َو َكلَّ َم هَّللا ُ ُمو‬


‫سى تَ ْكلِيما‬

“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” [An-Nisa’: 164]

Mereka merubah harokat akhir pada nama “Allah” dalam ayat tersebut, dari rofa’ (dengan
dhommah) menjadi nashob (dengan fathah), sehingga maknanya berubah dari “Allah yang
berbicara kepada Musa” menjadi “Musa yang berbicara kepada Allah” karena mereka
mengingkari sifat Maha Berbicara bagi Allah subhanahu wa ta’ala.

Contoh Penyelewengan Makna :


 Merubah makna istiwa menjadi istila (menguasai).
 Merubah makna tangan menjadi kekuatan atau keinginan memberi nikmat.

Beberapa Peringatan :

Peringatan Pertama : Orang yang melakukan tahrif berbuat dua kesalahan :


Pertama : Kesalahan tahrif itu sendiri.
Kedua : Kesalahan menuduh Ahlus Sunnah dengan tuduhan-tuduhan jelek seperti
tuduhan melakukan tajsim dan tasybih, lalu mereka membuat julukan jelek terhadap Ahlus
Sunnah dengan mujassimah dan musyabbihah.

[12]
Peringatan Kedua : Orang yang melakukan tahrif menamakannya sebagai ta’wil atau
tafsir, maka perlu dipahami bahwa ta’wil terbagi dua:
Pertama : Ta’wil faasid (yang rusak) yang tidak berdasarkan dalil. Ta’wil faasid pada
hakikatnya adalah tahrif (penyelewengan) bukan ta’wil.
Kedua : Ta’wil shahih (yang benar) yang berdasarkan dalil.

 Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengingkari ta’wil, tetapi mengingkari ta’wil yang
rusak, yang pada hakikatnya adalah tahrif (penyelewengan).

• Ta’thil (Pengingkaran) adalah :

‫ وسواء كان ذلك بتحريف أو بجحود‬،ً‫ سواء كان كليا ً أو جزئيا‬،‫إنكار ما أثبت هللا لنفسه من األسماء والصفات‬.

“Mengingkari nama dan sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya, sama saja apakah
seluruhnya atau sebagiannya, dan sama saja apakah dengan men-tahrif atau menentang.”

 Setiap pelaku tahrif adalah pelaku ta’thil, tapi tidak sebaliknya.

 Tafwidh termasuk ta’thil. Tafwidh adalah masa bodoh, tidak meyakini nama dan sifat
bagi Allah dengan cara tidak mau tahu dengan makna-makna yang terkandung di
dalamnya, dan mengembalikan perkaranya kepada Allah.

 Adapun tafwidh yang dibenarkan adalah tafwidhul kaifiyyah, yaitu menyerahkan hakikat
bentuk sifat-sifat Allah kepada-Nya, tidak melakukan takyif dan tamtsil.

• Takyif :

‫ هو أن تذكر كيفية الصفة‬:‫التكييف‬

“Takyif adalah penyebutan hakikat bentuk sifat.”

 Takyif termasuk berbicara tentang Allah tanpa ilmu, karena Allah tidak menjelaskan
bentuk-bentuk sifat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka takyif menyelisihi dalil syar’i
dan dalil akal.

 Hendaklah kita mengimani semua sifat-sifat Allah ta’ala sesuai dengan keagungan dan
kebesaran-Nya, adapun bagaimana hakikat bentuk sifat-sifat-Nya kita kembalikan kepada-
Nya.

[13]
 Janganlah menanyakan seperti apa bentuk sifat Allah, karena pertanyaan tersebut
termasuk bid’ah. Contohnya:

 Menanyakan bagaimana cara Allah ber-istiwa?


 Menanyakan bagaimana bentuk tangan Allah?
 Menanyakan bagaimana caranya Allah turun ke langit dunia di sepertiga malam yang
terakhir padahal waktu malam di suatu negeri berbeda dengan negeri yang lain?

• Tamtsil :

‫ ذكر مماثل للشيء‬:‫التمثيل‬

“Tamtsil adalah penyebutan sesuatu yang semisal dengan sesuatu yang lain.”

Penjelasan :

‫ ل ه علم‬،‫ إن هللا عز وجل له حياة وليست مثل حياتن ا‬:‫ يقولون‬،‫أهل السنة والجماعة يثبتون هلل عز وجل الصفات بدون مماثلة‬
‫ له وجه وليس مثل وجوهنا له يد وليست مثل أيدينا وهكذا جميع الصفات‬،‫ ليس مثل بصرنا‬،‫ له بصر‬،‫وليس مثل علمنا‬.

“Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan (sebagaiamana yang Allah tetapkan) untuk diri-
Nya sifat-sifat tanpa menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk. Ahlus Sunnah wal
Jama’ah berpendapat bahwa:

 Allah ‘azza wa jalla memiliki sifat Maha Hidup dan tidak seperti kehidupan kita,
 Allah ta’ala memiliki sifat Maha Berilmu dan tidak seperti ilmu kita,
 Allah ta’ala memiliki sifat Maha Melihat dan tidak seperti penglihatan kita,
 Allah ta’ala memiliki wajah dan tidak seperti wajah-wajah kita,
 Allah ta’ala memiliki tangan dan tidak seperti tangan-tangan kita,
Demikianlah seluruh sifat-sifat Allah ta’ala tidak sama dengan sifat-sifat makhluk.”

 Setiap pelaku tamtsil adalah pelaku takyif, dan tidak sebaliknya.

[Diringkas dari Syarhu Al-Aqidah Al-Waashitiyyah karya Asy-Syaikh Al-‘Allaamah


Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dan disertai tambahan]

Kaidah Kesembilan :

‫ وإثبات صفات الكمال‬،‫ نفي المماثلة‬:‫طريقة القرآن في الصفات النفي واإلثبات‬.


[14]
“Metode Al-Qur’an dalam permasalahan sifat-sifat Allah ta’ala adalah penafikan dan
penetapan, yaitu menafikan penyerupaan (antara sifat Allah ta’ala dan sifat makhluk) dan
menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah jalla wa ‘ala.”[1]

 Kaidah Kesepuluh :

‫النفي على وجه اإلجمال واإلثبات على وجه التفصيل‬.

“Menafikan pernyerupaan secara global dan menetapkan sifat-sifat secara terperinci.”[2]

 Kaidah Kesebelas :

‫وال ينفون عنه ما وصف به نفسه‬.

“Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menafikan dari Allah satu sifat yang Allah sifatkan untuk
diri-Nya.”

 Kaidah Keduabelas :

‫وال يحرفون الكلم عن مواضعه‬.

“Tidak menyelewengkan (menafsirkan tanpa dalil) ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah


hingga keluar dari makna-maknanya yang sebenarnya.”

 Kaidah Ketigabelas :

‫وال يلحدون في أسماء هللا وآياته‬.

“Tidak melakukan ilhad (penyimpangan) terhadap nama-nama Allah dan ayat-ayat-Nya.”

Penjelasan :

• Macam-macam Ilhad dalam Nama-nama dan Sifat-sifat Allah Ta’ala :

Pertama : Menamakan Allah dengan nama yang tidak Dia namakan untuk diri-Nya. Seperti
orang-orang Kristen menamakan Allah ta’ala dengan “Bapak”.

Kedua : Mengingkari salah satu nama Allah ta’ala.

Ketiga : Mengingkari sifat-sifat yang ditunjukkan oleh nama-nama Allah ta’ala (lihat
penjelasan kaidah selanjutnya).
[15]
Keempa t: Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala tetapi melakukan tamtsil
(penyerupaan sifat-sifat Allah dengan makhluk).

Kelima : Menamakan sesembahan-sesembahan selain Allah dengan nama-nama-Nya atau


dengan pecahan kata dari nama-nama-Nya. Seperti kaum musyrikin menamakan
sesembahan mereka dengan Al-Laata dari nama Al-Ilah, Al-‘Uzza dari Al-‘Aziz dan Al-Manat
dari Al-Mannan.

• Macam-macam Ilhad dalam Ayat-ayat Allah Ta’ala Kauniyyah :

Menisbatkan ayat-ayat Allah ta’ala kauniyyah (seperti penciptaan langit dan bumi,
pengaturan dan penguasaannya) kepada selain-Nya, apakah dalam bentuk istiqlal (berdiri
sendiri tanpa Allah ta’ala), musyarokah (bersekutu dengan Allah ta’ala) atau i’aanah
(membantu Allah ta’ala), maka ini semua termasuk kesyirikan dan kekafiran.

• Macam-macam Ilhad dalam Ayat-ayat Allah Ta’ala Syar’iyyah :

Pertama : Mendustakannya, dalam dua bentuk: (1) Tidak meyakininya berasal dari Allah
ta’ala atau (2) Meyakininya berasal dari Allah ta’ala namun tidak mempercayainya.

Kedua : Melakukan tahrif (penyelewengan), seperti menafsirkan makna istiwa di atas ‘asry
dengan istila (berkuasa di atas ‘arsy) atau menafsirkan makna Allah turun ke langit dunia
dengan “turun perintah-Nya”, maka ini adalah penyimpangan.

Ketiga : Menyelisihinya, yaitu dengan meninggalkan perintahnya dan melakukan


larangannya.

Kaidah Keempatbelas :

‫ وداللة التزام‬،‫ وداللة تضمن‬،‫ داللة مطابقة‬:‫االسم له أنواع ثالثة في الداللة‬:

1- ‫ وعلى الصفة المشتق‬،‫ وهو هللا‬،‫ فكل اسم دال على المسمى به‬،‫ وعلى هذا‬،‫ داللة اللفظ على جميع مدلوله‬:‫فداللة المطابقة‬
‫منها هذا االسم‬.

2- ‫ فدالل ة االس م على ال ذات وح دها أو على الص فة وح دها من‬،‫ وعلى ه ذا‬،‫ داللة اللفظ على بعض مدلوله‬:‫وداللة التضمن‬
‫داللة التضمن‬.

3- ‫ داللة االلتزام‬:‫ داللته على شيء يفهم ال من لفظ االسم لكن من الزمه ولهذا سميناه‬:‫وداللة االلتزام‬.

[16]
“Nama Allah memiliki tiga macam penunjukan : Penunjukan secara muthoobaqoh
(ketercakupan makna), tadhammun (kandungan makna) dan iltizam (konsekuensi makna):

1. Penunjukkan secara muthoobaqoh adalah penunjukan suatu lafaz terhadap seluruh


maknanya, maka setiap nama Allah menunjukan adanya dzat yang dinamakan
dengannya, yaitu Allah, dan menunjukan adanya sifat yang terkandung dalam nama
tersebut.
2. Penunjukan secara tadhommun adalah penunjukan suatu lafaz terhadap sebagian
maknanya, maka satu nama Allah menunjukan adanya dzat Allah itu sendiri dan
menunjukan adanya sifat itu sendiri yang dipahami dari penunjukan secara
tadhommun.
3. Penunjukan secara iltizam adalah penunjukan suatu lafaz terhadap sesuatu yang
dipahami bukan dari lafaz satu nama Allah, akan tetapi sesuatu tersebut termasuk
konsekuensinya (kelazimannya), oleh karena itu kita menamakannya : Penunjukan
secara konsekuensi.”

Contoh :

1. Nama Allah ta’ala: Al-Khaliq (Maha Mencipta) maka secara muthoobaqoh


menunjukan adanya dzat Allah dan sifat yang terkandung padanya, yaitu
sifat al-khalqu (mencipta).
2. Secara tadhommun nama Al-Khaliq dari satu sisi menunjukan adanya dzat
Allah saja, dan di sisi yang lain nama Al-Khaliq menunjukan adanya sifat al-
khalqu (mencipta) saja.
3. Secara iltizam nama Al-Khaliq menunjukan adanya sifat ilmu (maha berilmu)
dan qudroh (maha mampu), karena tidak mungkin dapat mencipta kecuali
harus memiliki ilmu dan qudroh.

Contoh Lain untuk Mendekatkan Pemahaman :

1. Kata rumah secara muthoobaqoh menunjukan adanya sebuah rumah dengan


segenap sifat-sifatnya (bagian-bagiannya) secara keseluruhan.
2. Secara tadhommun kata rumah di satu sisi menunjukan adanya kamar tidur,
di sisi yang lain kata rumah menunjukan adanya ruang tamu, di sisi yang lain
kata rumah menunjukan adanya WC dan seterusnya, ini disebut penunjukan
terhadap sebagian makna rumah (tadhommun).

[17]
3. Secara iltizam kata rumah menunjukan adanya orang yang membangun
rumah tersebut, karena tidak mungkin sebuah rumah berdiri tanpa ada yang
membangunnya.

Kaidah Kelimabelas :

‫ وليس كل صفة متضمنة السم‬،‫ ألن كل اسم متضمن لصفة‬،‫الصفات أعم من األسماء‬.

“Sifat-sifat lebih luas dari nama-nama, karena setiap nama Allah ‘azza wa jalla mengandung
sifat, dan tidak setiap sifat mengandung nama.”[3]

 Kaidah Keenambelas :

‫ بخلقه سبحانه وتعالى‬,‫وال يكيفون وال يمثلون صفاته بصفات خلقه؛ ألنه سبحانه ال سمي له وكفو له وال ند له‬.

“Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak melakukan takyif (menggambarkan bentuk) dan tamtsil
(menyerupakan) sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya, karena Allah subhanahu
wa ta’ala tidak ada yang semisal dengan-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya dan tidak
ada yang sebanding dengan-Nya.”

 Kaidah Ketujuhbelas :

‫وال يقاس بخلقه سبحانه وتعالى‬.

“Allah tidak boleh di-qiyas-kan dengan makhluk-Nya subhanahu wa ta’ala.”

Penjelasan :

Maksud Penulis (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah) adalah qiyas syumul dan
qiyas tamtsil, bukan qiyas aulawiyyah. Karena qiyas ada tiga macam:

Pertama: Qiyas syumul, yaitu secara umum yang mencakup keseluruhan maknanya,
contohnya meng-qiyas-kan kehidupan Allah dengan kehidupan makhluk, dengan alasan
keduanya sama-sama hidup, maka qiyas seperti ini jelas kebatilan dan kebodohan.

Kedua: Qiyas tamtsil, yaitu menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk, ini juga
termasuk kebatilan dan kebodohan.

Ketiga: Qiyas Aulawiyyah, yaitu dalam satu sifat yang Allah lebih pantas menyandangnya
daripada makhluk. Seperti sifat ilmu, qudroh, hikmah, hayat dan lain-lain adalah sifat-sifat
[18]
yang sempurna bagi makhluk, maka Allah ta’ala lebih pantas menyandang sifat-sifat
tersebut dan dalam bentuk yang lebih tinggi dan lebih sempurna.

Kaidah Kedelapanbelas :

‫ وأصدق قيالً وأحسن حديثا ً من خلقه‬،‫فإنه سبحانه أعلم بنفسه وبغيره‬.

“Sesungguhnya Allah lebih tahu tentang diri-Nya (baik dzat-Nya, nama-nama-Nya dan sifat-
sifat-Nya) dan tentang selain-Nya, lebih benar ucapannya dan lebih baik pembicaraannya
daripada makhluk-Nya.”

 Kaidah Kesembilanbelas :

‫ثم رسله صادقون مصدقون؛ بخالف الذين يقولون عليه ما اليعلمون‬.

“Kemudian (yang lebih tahu tentang Allah, lebih benar ucapannya dan lebih baik
pembicaraannya) adalah para rasul-Nya yang benar lagi dibenarkan, berbeda dengan
orang-orang yang berkata tentang Allah tanpa ilmu.”

 Kaidah Keduapuluh :

‫ ما أثبت هللا تعالى لنفسه في كتابه أو على لسان رسوله صلى هللا عليه‬:‫ فالثبوتية‬,‫ ثبوتية وسلبية‬:‫صفات هللا عز وجل قسمان‬
‫ وال نزول إلى‬،‫ واالستواء على العرش‬،‫ والقدرة‬،‫ والعلم‬،‫ ليس فيها نقص بوجه من الوجوه كالحياة‬،‫ وكلها صفات كمال‬،‫وسلم‬
‫ ونحو ذلك‬،‫ واليدين‬،‫ والوجه‬،‫السماء الدنيا‬.

‫ وكله ا ص فات نقص‬،‫ أو على لسان رسوله صلى هللا عليه وس لم‬،‫ ما نفاها هللا سبحانه عن نفسه في كتابه‬:‫والصفات السلبية‬
‫ فيجب نفيه ا عن هللا تع الى م ع إثب ات ض دها على الوج ه‬.‫ والتعب‬،‫ والعج ز‬،‫ والنس يان‬،‫ والجه ل‬،‫ والن وم‬،‫ ك الموت‬،‫في حقه‬
‫األكمل‬.

“Sifat-sifat Allah ada dua macam, tsubutiyyah (yang ditetapkan) dan salbiyyah (yang
dinafikkan):

 Tsubutiyyah (sifat yang ditetapkan) artinya adalah sifat-sifat yang ditetapkan Allah
ta’ala untuk diri-Nya di dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rasul-Nya
shallallahu’alaihi wa sallam.
 Dan semua sifat yang Allah ta’ala tetapkan untuk diri-Nya adalah sifat-sifat
kesempurnaan, tidak mengandung kekurangan dilihat dari sisi mana pun.
 Seperti sifat maha hidup, maha berilmu, maha mampu, istiwa di atas ‘arsy, turun ke
langit dunia, wajah, dua tangan dan yang semisalnya.
[19]
 Salbiyyah (sifat yang dinafikan) artinya adalah sifat-sifat yang dinafikan Allah ta’ala
dari diri-Nya dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa
sallam.
 Dan semua sifat yang Allah nafikan dari diri-Nya adalah sifat-sifat kekurangan
apabila disematkan kepada-Nya.
 Seperti sifat mati, tidur, bodoh, lupa, lemah dan capek.
 Maka wajib menafikannya dari Allah ta’ala disertai dengan penetapan sifat yang
berlawanan dengannya dalam bentuk yang paling sempurna.”

Kaidah Keduapuluh satu :

‫ وصفة نقص مطلق‬،‫ وصفة كمال مقيد‬،‫ صفة كمال مطلق‬:‫الصفات تنقسم إلى ثالثة أقسام‬.

“Sifat-sifat (terkait dengan kesempurnaan dan kekurangan) terbagi menjadi tiga macam:

 Sifat yang sempurna secara mutlak (umum).


 Sifat yang sempurna dengan disertai taqyid (tambahan keterangan).
 Sifat yang kurang secara mutlak.”

Penjelasan :

 Sifat yang sempurna secara mutlak adalah sifat-sifat yang Allah tetapkan
secara mutlak untuk diri-Nya yang mengandung kesempurnaan tanpa
kekurangan sedikit pun, dari sisi mana pun, seperti sifat maha hidup, maha
berilmu, maha mampu, istiwa di atas ‘arsy, turun ke langit dunia, wajah, dua
tangan dan yang semisalnya.
 Sifat yang sempurna secara tidak mutlak adalah sifat-sifat yang tidak boleh
disifatkan kepada Allah secara mutlak (umum) tanpa adanya taqyid
(tambahan keterangan), seperti sifat makar, menipu, memperolok-olok dan
yang semisalnya. Tidak boleh mengatakan secara mutlak: “Allah membuat
makar, Allah menipu, Allah memperolok-olok”. Tetapi harus dengan
tambahan keterangan : “Allah membuat makar terhadap orang-orang yang
berbuat makar, Allah menipu kaum munafikin, Allah memperolok-olok kaum
munafikin”.
 Sifat yang kurang secara mutlak adalah yang mengandung kekurangan
dilihat dari sisi mana pun, contohnya lemah, khianat, buta, tuli dan yang
semisalnya, tidak boleh disifatkan kepada Allah ta’ala.
[20]
Kaidah Keduapuluh dua :

‫الصفات المأخوذة من األسماء هي كمال بكل حال‬.

“Sifat-sifat yang diambil dari nama-nama Allah adalah sifat-sifat yang sempurna dalam
semua keadaan.”

 Kaidah Keduapuluh tiga :

‫عدة طرق إلثبات الصفة‬:

‫ فهو متضمن لصفة‬،‫ ألن كل اسم‬،‫ داللة األسماء عليها‬:‫الطريق األول‬.

‫ والعينين‬،‫ واليدين‬،‫ مثل الوجه‬،‫ أن ينص على الصفة‬:‫الطريق الثاني‬.

‫ أن تؤخذ من الفعل‬:‫الطريق الثالث‬.

“Beberapa cara untuk menetapkan sifat:

Cara Pertama: Penunjukan satu nama terhadap sifat, karena setiap nama mengandung
sifat.

Cara Kedua: Terdapat nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang menunjukan kepada sifat
tersebut, seperti wajah, dua tangan dan dua mata.

Cara Ketiga: Diambil dari perbuatan.”

 Kaidah Keduapuluh empat :

‫ ص راط ال ذين أنعمت عليهم من النب يين‬,‫فال عدول ألهل الس نة والجماع ة عم ا ج اء ب ه المرس لون؛ فإن ه الص راط المس تقيم‬
‫والصديقين والشهداء والصالحين‬.

“Maka tidak ada penyimpangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari ajaran para rasul, karena
itu adalah jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau (Allah) berikan kenikmatan,
yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada dan shaalihin.”

 [Diringkas dari Syarhu Al-Aqidah Al-Waashitiyyah karya Asy-Syaikh Muhammad bin


Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dan disertai tambahan]

[21]
Note :

[1] Lihat Syarhul Aqidah Al-Waasithiyyah hal. 69 karya Asy-Syaikh Muhammad bin Khalil
bin Hasan Harras rahimahullah.

[2] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 3/4 dan 6/37 dan 515, At-Tadmuriyyah hal. 8.

[3] Lihat Al-Qowaa’idul Mutsla, hal. 30, sebagaimana dalam Shifaatullaahi ‘Azza wa Jalla
Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 26.

Kaidah Keduapuluh lima :

ْ ُ‫ أما معناها؛ فَي‬،‫التوقف في األلفاظ المجملة التي لم يرد إثباتها وال نفيها‬
،َّ‫ ف إن أري د ب ه باط ل يُنَ َّزه هللا عن ه؛ ُرد‬،‫ستفصل عن ه‬
‫ وال دعوة إلى اس تعماله‬،‫ مع بيان ما يد ُّل على المع نى الص واب من األلف اظ الش رعية‬،‫وإن أريد به حق ال يمتنع على هللا؛ قُبِ َل‬
‫مكان هذا اللفظ المجمل الحادث‬

“Tawaqquf terhadap lafaz-lafaz global yang tidak ditetapkan dan tidak pula dinafikan oleh
dalil syar’i. Adapun maknanya, harus diminta perinciannya, apabila bermakna batil yang
Allah suci darinya maka ditolak, namun apabila bermakna benar yang sesuai dengan
(keagungan) Allah maka diterima, namun disertai dengan penjelasan lafaz-lafaz yang
sesuai syari’at yang memenunjukkan makna yang benar tersebut dan ajakan menggunakan
lafaz-lafaz yang sesuai syari’at tersebut untuk mengganti lafaz mujmal yang baru itu.”[1]

 Kaidah Keduapuluh enam :

‫ والبد‬،‫كل صفة ثبتت بالنقل الصحيح؛ وافقت العقل الصريح‬

“Semua sifat yang ditetapkan dengan dalil yang shahih pasti sesuai dengan akal yang sehat,
tidak mungkin tidak.”[2]

 Kaidah Keduapuluh tujuh :

َ ‫صفات هللا َع َّز‬


‫وج َّل يستعاذ بها ويُحلف بها‬

“Boleh ber-isti’adzah dan bersumpah dengan sifat-sfat Allah ‘azza wa jalla.”[3]

Penjelasan :

1) Boleh ber-isti’adzah dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala,


[22]
2) Boleh bersumpah dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala,

3) Hendaklah hanya berdoa dengan menyeru nama-nama Allah ta’ala,

4) Tidak boleh berdoa dengan menyeru sifat-sifat Allah ta’ala, bahkan sepakat ulama
bahwa perbuatan itu adalah kekafiran, karena itu artinya menjadikan sifat-sifat Allah ta’ala
terpisah dari-Nya. (Lihat Liqo’ Al-Baabil Maftuh lbnil ‘Utsaimin rahimahullah, 30/234)

5) Boleh ber-tawassul dengan sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla (lihat Fatawa Nur ‘alad Darb
libnil Baz rahimahullah, 2/131, no. 44)

 Kaidah Keduapuluh delapan :

‫الكالم في الصفات كالكالم في الذات‬

“Pembicaraan tentang sifat sama dengan pembicaraan tentang dzat.”[4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

‫ أَنَّ َه ا ت َْج ِري َعلَى ظَا ِه ِر َه ا َم َع نَ ْف ِي ا ْل َك ْيفِيَّ ِة‬:‫ف‬ ِ َ‫الس ل‬


َّ ‫َب‬ َ ‫ف – ِم ْن ُه ْم الخط ابي – َم ْذه‬ ِ َ‫سل‬ ْ ‫ق َغ ْي ُر َوا ِح ٍد ِم َّمنْ َح َكى‬
َّ ‫إج َما َع ال‬ َ َ‫َوقَ ْد أَ ْطل‬
ُ‫ت ” يُ ْحتَ َذى َح ْذ ُوهُ َويُتَّبَ ُع فِي ِه ِمثَالُهُ؛ فَإ ِ َذا َكانَ إ ْثبَ ات‬ َّ ” ‫ت ” َف ْر ٌع َعلَى ا ْلكَاَل ِم فِي‬
ِ ‫الذا‬ ِ ‫صفَا‬ ِّ ‫شبِي ِه َع ْن َها؛ َو َذلِ َك أَنَّ ا ْلكَاَل َم فِي ” ال‬ْ َّ‫َوالت‬
‫س ْم ًعا َواَل نَقُ و ُل إنَّ َم ْعنَى‬ َ ‫ت إ ْثبَاتُ ُو ُجو ٍد اَل إ ْثبَاتُ َك ْيفِيَّ ٍة فَنَقُو ُل إنَّ لَهُ َيدًا َو‬
ِ ‫الصفَا‬
ِّ ُ‫ت إ ْثبَاتَ ُو ُجو ٍد اَل إ ْثبَاتَ َك ْيفِيَّ ٍة؛ فَ َك َذلِ َك إ ْثبَات‬ َّ
ِ ‫الذا‬
‫س ْم ِع ا ْل ِع ْل ُم‬
َّ ‫ا ْليَ ِد ا ْلقُ ْد َرةُ َو َم ْعنَى ال‬.

“Dan telah menyebutkan secara mutlak tidak seorang ulama saja yang telah
menghikayatkan ijma’ (kesepakatan) generasi Salaf –diantaranya yang dinukil oleh Al-
Khattabi- tentang mazhab Salaf : Bahwa ayat-ayat sifat dibiarkan sesuai zhahir-nya (tidak
ditakwil tanpa dalil), disertai dengan penafikan kaifiyyah (tidak menggambarkan bentuk
sifat Allah) dan tidak menyerupakannya dengan sifat makhluk.

Hal itu karena pembicaraan tentang sifat Allah adalah cabang dari pembicaraan tentang
dzat-Nya, maka harus sama dan semisal; maksudnya adalah:

Apabila penetapan (keimanan) terhadap dzat Allah adalah penetapan (keimanan) terhadap
wujudnya, bukan penetapan untuk menggambarkan bentuk dzat Allah, demikian pula
penetapan (keimanan) terhadap sifat Allah adalah penetapan (keimanan) terhadap
wujudnya, bukan penetapan untuk menggambarkan bentuk sifat Allah; maka kita katakan
bahwa Allah memiliki tangan dan pendengaran, dan kita tidak boleh mengatakan bahwa

[23]
makna tangan adalah kemampuan (qudroh) dan tidak pula boleh pula mengatakan
pendengaran adalah ilmu.” [Majmu’ Al-Fatawa, 6/355]

 Kaidah Keduapuluh sembilan :

‫القول في بعض الصفات كالقول في البعض اآلخر‬

“Ucapan tentang sebagian sifat sama dengan ucapan tentang sebagian sifat yang lain.”[5]

 Kaidah Ketigapuluh :

‫ وك ُّل شيء أضيف إلى هللا بائن عنه؛ فهو مخل وق؛ فليس‬،‫ما أضيف إلى هللا مما هو غير بائ ٍن عنه؛ فهو صفة له غير مخلوقة‬
‫كل ما أضيف إلى هللا يستلزم أن يكون صفةً له‬

“Apa yang disandarkan kepada Allah sedang ia tidak terpisah dengan Allah, maka itu
adalah sifat Allah ta’ala dan bukan makhluk, dan segala sesuatu yang disandarkan Allah
sedang ia terpisah dengan Allah maka ia makhluk, karena tidak setiap yang disandarkan
kepada Allah mengharuskannya sebagai sifat Allah.”[6]

 Kaidah Ketigapuluh satu :

‫ وإن كان‬،ً‫ وإن كان حديثا ً واحدا‬،‫وج َّل وسائر مسائل االعتقاد تثبت بما ثبت عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
َ ‫صفات هللا َع َّز‬
ً‫آحادا‬

“Sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla dan seluruh masalah aqidah ditetapkan (juga) dengan hadits
shahih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam walau hanya satu hadits, walau hadits
ahad.”[7]

 Kaidah Ketigapuluh dua :

‫ والموج ود‬،‫ والش يء‬،‫ وم ا يطل ق علي ه من األخب ار؛ ال يجب أن يك ون توقيفي اً؛ كالق ديم‬،‫باب األخبار أوسع من باب الصفات‬
‫والقائم بنفسه‬

“Bab pengabaran lebih luas dari bab sifat, dan pengabaran secara umum tidak wajib
berdasarkan dalil, seperti al-qodim, asy-syaiu, al-maujud dan al-qooim bi nafsihi (berdiri
sendiri).”[8]

 Kaidah Ketigapuluh tiga :

[24]
َ ‫صفات هللا َع َّز‬
‫ فمنه ا م ا اس تأثر هللا ب ه في علم الغيب‬،‫ وأسماء هللا ال حصر لها‬،‫وج َّل ال حصر لها؛ ألن كل اسم يتضمن صفة‬
‫عنده‬.

“Sifat-sifat Allah ‘azza wajalla tidak ada batasan jumlahnya, karena setiap nama
mengandung sifat, sedang nama-nama Allah tidak ada batasan jumlahnya, karena diantara
nama-nama Allah ada yang Allah khususkan dalam ilmu ghaib di sisi-Nya.”[9] 

[1] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 24. Lihat juga Majmu’
Al-Fatawa, 5/299 dan 6/36, At-Tadmuriyyah, hal. 65 dan Mukhtashor Ash-Showaa’qul
Mursalah, hal. 139.

[2] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 25. Lihat juga
Mukhtashor Ash-Showaa’qul Mursalah, hal. 141.

[3] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 27. Lihat Majmu’ Al-
Fatawa 6/143, 229 dan 35/273, dan lihat Syarhus Sunnah lil Baghowi, 1/185-187.

[4] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 27. Lihat juga Majmu’
Al-Fatawa, 5/330 dan 6/335, dan At-Tamuriyyah, hal. 43.

[5] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 28. Lihat juga Majmu’
Al-Fatawa, 5/212, dan At-Tamuriyyah, hal. 31.

[6] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 28. Lihat juga Majmu’
Al-Fatawa, 9/290, Al-Jawaabus Shahih, 3/145 dan Majmu’ Fatawa wa Rosaal Ibni ‘Utsaimin,
1/166.

[7] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 29. Lihat juga
Mukhtashor Ash-Showaa’iq Al-Mursalah, 2/332, 412 dan 433.

[8] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 30. Lihat juga
Badaai’ul Fawaaid, 1/162.

[9] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 30.

[25]
Kaidah Kaidah Penting Untuk Memahami Asma
dan Sifat Allah

Kaidah Umum terkait nama dan sifat Allah

– Kewajiban kita terhadap nash-nash Al Quran dan As Sunnah yang membahas tentang
asma dan sifat Allah.

Dalam memahami nash-nash Al Quran dan As Sunnah kita wajib untuk menetapkan
maknanya apa adanya, berdasar dzahir nash dan tidak memalingkannya ke makna lain.
Karena Allah menurunkan Al Quran dengan bahasa Arab, yang bahasa tersebut sudah jelas.
Disamping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga berbicara dengan bahasa Arab,
sehingga wajib bagi kita menetapkan makna kalam Allah dan perkataan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sesuai dengan apa yang ditunjukkan secara makna bahasa tersebut.
Merubahnya dari makna dzahir merupakan perbuatan terlarang, karena ini termasuk
berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu. Allah berfirman,

‫ق َوأَ ْن تُ ْش ِر ُكوا بِاهَّلل ِ َما لَ ْم يُن َِّزلْ بِ ( ِه ُس ( ْلطَانًا َوأَ ْن تَقُولُ((وا‬


ِّ ‫اإلث َم َو ْالبَ ْغ َي بِ َغي ِْر ْال َح‬
ْ ‫ظهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَنَ َو‬ َ ‫قُلْ إِنَّ َما َح َّر َم َرب َِّي ْالفَ َوا ِح‬
َ ‫ش َما‬
)٣٣( َ‫َعلَى هَّللا ِ َما ال تَ ْعلَ ُمون‬

“Katakanlah: ‘Rabbku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun
tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (Al A’raf: 33)

Sebagai contoh, firman Allah ta’ala,

ُ ِ‫َان يُ ْنف‬
‫ق َك ْيفَ يَ َشا ُء‬ ِ ‫بَلْ يَدَاهُ َم ْبسُوطَت‬

[26]
“(Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbentang. Dia menafkahkan sebagaimana
dia kehendaki” ( QS. Al Ma’idah)

Secara dzahir, ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai dua tangan yang hakiki.
Maka wajib menetapkan dua tangan Allah tersebut. Jika ada orang yang mengatakan kedua
tangan tersebut maksudnya kekuatan, maka kita katakan : ini termasuk memalingkan
makna Al Quran dari dzahirnya. Kita tidak boleh bekata demikian karena ini berati kita
berkomentar tentang Allah tanpa dasar ilmu.

Kaidah Dalam Asma Allah

– Asma Allah seluruhnya husna (paling baik)

Dalam kebaikan Allahlah yang paling tinggi karena nama Allah mengandung sifat yang
sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dari segala sisi.

‫َوهَّلِل ِ األ ْس َما ُء ْال ُح ْسنَى‬

“Dan bagi Allah asmaul husna” (Al A’raf: 180)

Contoh:
Ar Rahman adalah salah satu dari nama-nama Allah, menunjukkan atas sifat yang agung
yaitu memiliki rahmat yang luas.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita tahu bahwa ad dahr (waktu) bukan termasuk salah
satu dari nama Allah karena tidak mengandung makna yang terpuji. Adapun sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian mencela dahr (masa) karena Allah
adalah Dahr” (HR. Muslim)

Maka maknanya adalah Allah lah yang menguasai masa. Kita palingkan ke makna tersebut
dengan dalil hadis,

[27]
“Di tangan-Ku lah segala urusan, Aku yang membolak-balikkan siang dan malam” (HR.
Bukhari)

– Nama Allah tidak dibatasi pada bilangan tertentu

Kaidah ini didasari doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masyhur,

“Ya Allah aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama-Mu yang Engkau gunakan untuk
diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang
dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-
Mu” (HR. Ahmad, HR Ibnu Hibban)

Lalu bagaimana menggabungkan dengan hadits berikut,

“Sesngguhnya ada 99 nama milik Allah, barang siapa menjaganya akan masuk syurga” (HR.
Bukhari)

Makna hadits ini adalah: Diantara nama Allah ada 99 nama yang jika kita menjaganya
kita akan masuk syurga. Dan tidaklah dimaksudkan disini membatasi nama Allah hanya
99. Kita bisa melihat hal ini dengan contoh perkataan “saya mempunyai 100 dirham untuk
disedekahkan”. Maka pernyataan ini tidak menafikan kalau saya mempunyai dirham yang
lain yang saya peruntukkan untuk selain sedekah.

– Nama Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan akal tetapi harus dengan dalil
syar’i

Nama Allah adalah tauqifiyah, yaitu harus ditetapkan berdasarkan dalil syari’at, tidak boleh
menambahnya dan tidak boleh menguranginya karena akal tidak mungkin mencapai
semua yang menjadi hak Allah dari nama-nama-Nya. Maka dalam hal ini kita wajib untuk
mencukupkan diri dengan dalil syar’i. Hal ini karena menamai Allah dengan nama yang
tidak Allah namakan diri-Nya dengan nama tersebut atau mengingkari nama yang Allah
menamai diri-Nya dengan nama tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak Allah
ta’ala. Kita wajib mempunyai adab yang baik kepada Allah ta’ala.

[28]
– Seluruh nama dari nama-nama Allah menunjukkan atas dzat Allah, sifat yang
terkandung di dalam nama tersebut, dan adanya pengaruh yang dihasilkan jika
nama tersebut adalah nama yang muta’adi (membutuhkan objek).

Dan tidak sempurna iman seseorang terhadap asma dan sifat Allah kecuali dengan
menetapkan semua hal tersebut.

Contoh nama Allah yang bukan muta’adi :  Al ‘Adzim (Yang Maha Agung)


Tidak sempurna mengimani nama ini sampai mengimani dengan menetapkan 2 hal:
a. Menetapkan Al Adzim sebagai nama Allah yang menunjukkan pada Dzat Allah
b. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut, yaitu Al ‘Udzmah (keagungan)

Contoh nama Allah yang muta’adi: Ar Rahman. Tidak sempurna mengimaninya sampai


mengimani dengan menetapkan 3 hal:

a. Menetapkan Ar Rahman sebagai nama Allah yang menunjukkan pada dzat Allah
b. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut, yaitu Ar Rahmah ,
c. Menetapkan adanya pengaruh dari nama itu, yaitu merahmati siapa yang Allah
kehendaki.

Kaidah dalam memahami sifat Allah.

– Sifat Allah seluruhnya tinggi, sempurna, mengandung pujian, dan tidak ada
kekurangan dari sisi mana pun.

Seperti Al Hayah (hidup), Al’ Ilmu (mengetahui), Al Qudrah (kehendak), As-


Sama (mendengar), Al Bashar (melihat), Al Hikmah, Ar Rahmah, Al Uluw (tinggi), dll.

Allah berfirman,

‫َوهَّلِل ِ ْال َمثَ ُل األ ْعلَى‬

“Dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi” (Qs. An Nahl: 60)
[29]
Karena Allah adalah Rabb yang maha sempurna maka sifatnya harus sempurna.

– Jika suatu sifat menunjukkan kekurangan dan bukan kesempurnaan sama sekali
maka mustahil sifat itu dimiliki Allah, seperti Al Maut (mati), Al Jahl (bodoh), Al
Ajs (lemah), As Samam (tuli), Al ‘Ama (buta), dll. Oleh karena itu Allah membantah
orang yang mensifati diri-Nya dengan kekurangan dan mensucikan diri-Nya dari
kekurangan tersebut. Allah tidak mungkin mempunyai kekurangan karena hal itu akan
mengurangi keberadaan-Nya sebagai Rab semesta alam.

– Jika sifat tersebut di satu sisi menunjukkan kesempurnaan sedangkan di sisi lain
menunjukkan kekurangan maka sifat ini tidak dinisbatkan dan tidak dinafikan
(ditolak) dari Allah secara mutlak akan tetapi perlu dirinci. Kita menetapkan sifat
tersebut dalam keadaan yang menunjukkan kesempurnaan dan kita menolak sifat tersebut
dalam keadaan yang menunjukan kekurangan.

Contohnya sifat Al Makr, Al Kaid, Al Khida’ (makna ketiganya adalah tipu daya)


Sifat ini merupakan sifat yang sempurna jika dalam rangka menghadapi semisalnya
(membalas orang yang berbuat tipu daya) Karena hal ini menunjukkan bahwa yang
mempunyai sifat ini (Allah) tidak lemah menghadapi tipu daya musuh-musuh-Nya. Dan
sifat ini merupakan sifat yang kurang dalam keadaan selain diatas. Maka kita menetapkan
sifat tersebut untuk Allah dalam keadaan yang pertama, bukan yang kedua. Allah ta’ala
berfirman,

َ‫َويَ ْم ُك ُر هَّللا ُ َوهَّللا ُ خَ ْي ُر ْال َما ِك ِرين‬

“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-
baik pembalas tipu daya.” (Qs. Al Anfal: 30)

)١٦( ‫) َوأَ ِكي ُ(د َك ْيدًا‬١٥( ‫ُون َك ْيدًا‬


(َ ‫إِنَّهُ ْم يَ ِكيد‬

“Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-
benarnya. Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.” (Qs. At Thariq: 15-
16)

[30]
‫إِ َّن ْال ُمنَافِقِينَ يُخَا ِد ُعونَ هَّللا َ َوه َُو خَ ا ِد ُعهُ ْم‬

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan
mereka.” (Qs. An Nisa: 142)

Jika dikatakan Apakah Allah disifati dengan Al Makr? Maka jangan menjawab “ya” dan
jangan pula menjawab “tidak”, akan tetapi katakanlah “Allah berbuat makar terhadap
orang yang pantas mendapatkannya” wallahu a’lam.

– Sifat Allah terbagi menjadi dua, yaitu tsubutiyah dan salbiyah

Tsubutiyah yaitu sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya seperti Al Hayah, Al Alim, Al
Qudrah. Sifat ini wajib kita tetapkan pada Allah sesuai dengan keagungan-Nya karena Allah
sendiri menetapkan sifat tersebut untuk diri-Nya dan Allah lebih mengetahui tentang sifat
diri-Nya.

Salbiyah yaitu sifat yang Allah nafikan (tiadakan) untuk diri-Nya seperti dzalim. Sifat ini
wajib kita nafikan pada Allah karena Allah telah menafikan sifat tersebut pada diri-Nya.
Dan kita wajib untuk menetapkan pada Allah sifat yang merupakan lawannya yaitu sifat
yang menunjukkan sifat kesempurnaan. Penafian tidak sempurna tanpa menetapkan
kebalikannya.

Contohnya, Firman Allah ta’ala,

ْ َ‫َوال ي‬
),٤٩( ‫ظلِ ُم َربُّكَ أَ َحدًا‬

“Dan Rabmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (Qs. Al Kahfi: 49)

Kita wajib menafikan sifat dzalim dari Allah disertai dengan keyakinan menetapkan sifat
adil bagi Allah yang mana sifat adil tersebut dalam bentuk yang sempurna.

– Sifat tsubutiyah terbagi menjadi dua, yaitu sifat dzatiyah dan sifat fi’liyah

[31]
Sifat dzatiyah yaitu sifat yang terus-menerus ada (selalu melekat) pada diri Allah seperti
sifat As Sama, Al Bashar

Sifat fi’liyah yaitu sifat yang terikat dengan kehendak Allah. Jika Allah menghendaki maka
Dia melakukannya dan jika Allah tidak menghendaki maka Dia tidak melakukannya.
Contohnya sifat istiwa’ di atas arsy, sifat maji’ (datang)

Dan ada beberapa sifat yang termasuk sifat dzatiyah sekaligus fi’liyah jika dilihat dari dua
sisi. Contohnya sifat kalam (berbicara). Dilihat dari sisi asalnya sifat tersebut merupakan
sifat dzatiyah karena Allah senantiasa berbicara. Tetapi jika dilihat dari sisi lain, kalam
merupakan sifat fi’liyah karena Allah berbicara tergantung pada kehendak-Nya. Dia
berbicara kapan dan bagaimana Dia kehendaki.

– Seluruh sifat Allah bisa menerima tiga pertayaan

1. Apakah sifat itu hakiki, mengapa?


2. Apakah boleh menanyakan kaifiyahnya (bagaimananya) (takyif)? Dan
mengapa?
3. Apakah boleh menyerupakannya dengan makhluk (tamtsil)? Dan mengapa?

Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah ,

1. Benar, sifat Allah hakiki karena asal sebuah perkataan adalah mempunyai makna hakiki.
Maka tidak boleh memalingkannya kecuali dengan dalil yang shahih.

2. Tidak boleh menanyakan kaifiyahnya karena firman Allah ta’ala,

)١١٠( ‫َوال يُ ِحيطُونَ بِ ِه ِع ْل ًما‬

“Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya” (Qs. Thaha: 110)

Dan karena akal tidak mungkin mengetahui kaifiyah sifat Allah

3. Tidak boleh menyerupakan dengan sifat makhluk karena firman Allah ta’ala


[32]
‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء‬
َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (Qs. As Syuura: 11)

Karena Allah sempurna, tidak ada puncak sifat kebaikan yang lebih tingi dari-Nya sehingga
tidak mungkin diserupakan dengan makhluk karena makhluk itu penuh kekurangan.

Perbedaan antara tamtsil dan takyif yaitu:

Tamtsil berarti menyebutkan kaifiyah sifat Allah dengan mengaitkannya dengan sifat


makhluk sedangkan takyif adalah menyebutkan kaifiyah sifat Allah tanpa mengaitkannya
dengan makhluk.

Contoh tamtsil: Perkataan “tangan Allah itu seperti tangan manusia”


Contoh takyif: Membayangkan kaifiyah (bagaimana) tangan Allah dengan suatu gambaran
tertentu dengan tidak menyerupakannya dengan tangan makhluk. Maka hal ini tidak boleh.

– Bagaimana membantah Mu’athilah

Mu’athilah adalah orang yang mengingkari atau menolak sebagian asma Allah atau sifat
Allah dan memalingkan nash dari makna dzahirnya. Mereka jiga disebut muawwilah.
Kaidah umum dalam membantah mereka adalah kita katakan kepada mereka bahwa
pendapat mereka menyelisihi dzahir nash, menyelisihi jalan para salaf dalam memahami
asma dan sifat Allah, penyelisihan mereka tidak didasari dalil yang shahih dan pada
beberapa sifat bisa disertai bantahan-bantahan khusus yang ke empat, atau lebih.

Sumber: Syarah Lum’atul I’tiqad, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin (Pendahuluan


Syaikh Utsaimin sebelum men-syarah)

[33]
Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama
dan Sifat Allah (1)

Kaidah-kaidah ini pada awalnya ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan
beliau menempatkannya di bagian awal kitab Syarah Lum’atul I’tiqaad. Adapun Syaikh
Abdur Razzaaq adalah salah seorang pengajar yang menyertai dakwah Syaikh Muqbil bin
Hadi Al Wadi’i rahimahullah di Daarul Hadits As Salafiyah Yaman. Beliau menjelaskan
kaidah-kaidah ini sebagai pengantar Syarah Lum’atul I’tiqaad dengan merujuk kepada
penjelasan Syaikh ‘Utsaimin dalam Al Qawaa’idul Mutsla serta keterangan dari ulama’ lain
yang juga sangat bermanfaat seperti Imam Ibnul Qayyim dan Ibnu Hajar semoga Allah
merahmati mereka semua.

KAIDAH PERTAMA: Sikap yang wajib kita lakukan terhadap nash-nash Al Kitab dan
As Sunnah yang berbicara tentang Nama dan Sifat Allah.

Dalam menyikapi nash-nash Al Kitab dan As Sunnah kita wajib membiarkan


penunjukannya sebagaimana zhahir nash tanpa perlu menyimpangkan maksudnya. Ini
adalah kaidah yang sangat penting. Penetapan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah termasuk
perkara ghaib sehingga hal itu tidak bisa dijangkau dengan akal dan rasio semata.

Makna zhahir dari Nama dan Sifat tersebut hanya bisa dipahami melalui bahasa Arab,
karena Al Qur’an turun dengan bahasa ini. Begitu pula Rasul yang kepada beliau
diturunkan Al Qur’an adalah orang yang berbahasa Arab. Orang-orang yang diajak bicara
oleh beliau di masa itu juga orang-orang yang berbahasa Arab. Mereka bisa memahami Al
Qur’an dengan bahasa tersebut.

Allah Ta’ala berfirman, “Dia (Al Qur’an) dibawa turun oleh Ar Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy Syu’araa’: 193-195)

[34]
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur’an dalam bahasa Arab
supaya kamu memahami(nya).” (QS. Az Zukhruf: 3)

Maka setiap muslim wajib memahami nash-nash sesuai dengan makna zhahirnya yaitu
menurut bahasa Arab selama tidak ada dalil dari syar’i yang menghalanginya.

Yang dimaksud dengan makna zhahir dari pembicaraan adalah makna yang bisa langsung
tergambar di dalam benak pikiran ketika mendengarnya. Dengan demikian makna zhahir
itu bisa berbeda-beda tergantung kepada susunan kalimat dan menyesuaikan konteks
pembicaraan serta kepada siapa ucapan tersebut disandarkan.

Contoh penerapannya adalah dalam firman Allah Ta’ala, “Tak ada suatu negeripun/qoryah
(yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya…” (QS. Al Israa’: 58)

Bandingkan dengan firman Allah yang berikut ini, “Sesungguhnya Kami akan
menghancurkan penduduk (Sodom)/ahlul qoryah ini.” (QS. Al Ankabuut: 31). Di dalam
kedua ayat ini kata ‘qoryah’ memiliki perbedaan maksud.

Begitu pula firman Allah Ta’ala, “Dan supaya kamu (Musa) diasuh di bawah pengawasan-Ku
(‘alaa ‘ainy).” (QS. Thahaa: 39). Orang yang berakal tentu tidak akan mengatakan bahwa
makna zhahir yang bisa langsung ditangkap dari ayat ini adalah Nabi Musa diciptakan di
atas Mata Allah Ta’ala, tetapi makna zhahir yang pasti benar adalah Musa ‘alaihi salam
dipelihara dan diciptakan Allah sementara Mata Allah senantiasa mengawasi dan
melindunginya.

Begitu pula apabila ada orang yang berkata, ‘Si Fulan ‘alaa ‘ainy (di mataku)’ atau
mengatakan ‘Dia tahta ‘ainy (di bawah penglihatanku)’. Maka tidak pernah anda dapatkan
ada orang yang memahaminya dengan arti si fulan itu masuk di dalam matanya atau
dibawah bola matanya.

Orang-orang yang mensikapi kaidah ini terbagi menjadi beberapa golongan:

Golongan pertama

Ahlu Sunnah wal Jama’ah As Salafiyyuun (pengikut Salaf). Mereka bersikap sebagaimana
kaidah yang telah diterangkan.

[35]
Golongan kedua

Orang-orang yang memahami makna nash-nash Nama dan Sifat Allah mengarah kepada
tamtsil (penyerupaan Allah dengan makhluk-pent). Sehingga apabila dia membaca firman
Allah Ta’ala, “Bahkan kedua Tangan Allah terbentang.” (QS. Al Maa’idah: 64). Maka dia akan
berkata, “Saya tidak memahami makna ‘Tangan’ kecuali dengan bentuk sebagaimana
tangan saya ini, karena yang dinamai sama” (yaitu tangan-pent). Namun alasan ini
terbantahkan oleh firman Allah Ta’ala, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (QS.
Asy Syuura: 11)

Sebagaimana diketahui bahwa terkadang sesuatu yang namanya sama akan tetapi
bentuk/kaifiyah-nya bisa jadi berbeda-beda. Seperti contohnya apabila anda menyebut
‘tangan manusia, tangan tikus, tangan gajah dan lain sebagainya…’ bukankah sesuatu yang
dinamai sama (yaitu tangan-pent) sedangkan kaifiyahnya jelas berbeda-beda, sebagaimana
hal itu bisa kita saksikan. Perbedaan semacam ini amat jelas terbukti ada pada sesama
makhluk, lalu bagaimana pula dengan perbedaan yang ada antara Al Khaaliq (Pencipta)
dengan makhluk?

Oleh karena itu Imam Ibnul Qayyim bersya’ir tentang permasalahan ini,

Kami (Ahlu Sunnah) tidaklah menyerupakan antara sifat Allah dan sifat ciptaan Adapun
orang yang menyerupakan sebenarnya merekalah penyembah berhala pujaan

Golongan ketiga

Orang-orang yang memahami makna nash-nash Nama dan Sifat Allah merupakan bentuk
penyerupaan/tamtsil. Pemahaman seperti ini mendorong mereka untuk melakukan
penolakan/ta’thil. Kemudian mereka berusaha menentukan makna lain yang bisa diterima
oleh akal mereka, dan mereka pun berselisih dalam menentukannya. Mereka menyebut
tindakan ini sebagai ta’wil/tafsir, padahal sesungguhnya mereka telah melakukan
tahrif/penyimpangan. Alangkah benar ungkapan orang yang mengomentari tingkah
mereka ini: Mereka itu bukan menolong Islam, tapi menghancurkan filsafat juga tidak.

Golongan ketiga ini telah mensifati Allah dengan sifat-sifat yang Dia sendiri tidak mensifati
Diri-Nya dengannya, mereka juga mensifati Allah dengan sifat-sifat yang maknanya sama
sekali tidak ditunjukkan oleh bahasa Arab. Ambil contoh firman Allah Ta’ala, “(yaitu)
Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam/istiwa’ di atas ‘arsy.” (QS. Thahaa: 5). Orang-
orang yang melakukan ta’thil itu mengatakan, “Istiwa itu maksudnya istaula.” (berkuasa
[36]
setelah berhasil menaklukkan lawan-pent). Mereka menolak makna yang benar dari lafazh
istiwa’ yaitu: tinggi dan menetap dan inilah sifat yang pantas bagi Allah Ta’ala kemudian
mereka justru menetapkan makna baru yang tidak benar dinisbatkan kepada Allah Ta’ala.
Ini termasuk perkataan tentang Allah tanpa ilmu. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungjawabnya.” (QS. Al Israa’: 36). Allah Ta’ala juga berfirman, “Apakah kamu yang
lebih mengetahui ataukah Allah?” (QS. Al Baqarah 140)

Golongan keempat

Orang-orang yang menyatakan dirinya jahil/tidak mengetahui keinginan Allah dan Rasul-
Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada lafazh, makna maupun kaifiyah Nama dan Sifat
Allah. Mereka mengatakan, “Saya menyerahkan itu semua kepada Allah Ta’ala.” Mereka ini
adalah golongan terjelek.

Konsekuensi dari pendapat mereka ini adalah para Sahabat tidak bisa memahami nash-
nash yang ditujukan kepada mereka, sehingga Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
mengajak bicara mereka dengan sesuatu yang tidak mereka pahami, bahkan ini juga
berarti sesuatu itupun tidak dipahami oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal
beliau jauh sekali dari tuduhan semacam ini!

Kalau kita mau merujuk kepada Kitabullah niscaya kita jumpai bahwa Allah senantiasa
memerintahkan kita untuk memikirkan, merenungkan dan memahami Al Qur’an. Allah juga
telah memerintahkan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan Al Qur’an.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan
berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2). Allah Ta’ala juga berfirman,
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl:
44). Madzhab golongan ini merupakan madzhab yang batil, yang membuka celah yang
lebar bagi munculnya berbagi macam kesesatan dan penyimpangan. Bacalah kitab Dar’u
Ta’aarudhil ‘Aql wa Naql (Menepis dakwaan pertentangan antara akal dan dalil naql) karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, di dalamnya beliau telah membongkar kebatilan golongan
ini.

Bagaimanapun juga, tidak mengikuti madzhab salaf radhiyallahu ‘anhum termasuk dalam
kategori penyimpangan/tahrif terhadap Kalam Allah ‘Azza wa Jalla dari maksud yang
[37]
sebenarnya. Orang-orang yang melakukan tahrif ini sangat tercela, sebagaimana Allah
Ta’ala telah mencela orang-orang Yahudi karena mereka mengubah-ubah/melakukan
tahrif terhadap firman Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu masih
mengharapkan mereka (Yahudi) percaya kepadamu (Muhammad), padahal segolongan dari
mereka mendengar Firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya,
sedang mereka mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 75)

Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama


dan Sifat Allah (2)

KAIDAH KEDUA: Ketentuan yang berkaitan dengan Nama-Nama Allah ‘Azza wa Jalla.

1. Seluruh Asmaa’ Allah pasti husna.

Asmaa’ adalah bentuk jamak dari kata ‘ism’ yang berarti nama dari dzat yang memiliki
nama dan sifat. Nama-Nama Allah adalah nama-nama yang paling mulia, yang Allah
menamai Diri-Nya dengan nama-nama tersebut atau nama yang ditetapkan oleh Nabi-Nya
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Husna adalah bentuk mu’annats (lafazh berjenis wanita) dari kata ‘ahsan’ (paling bagus)
bukan bentuk mu’annats dari kata ‘hasan’. Sepadan dengan ‘kubro’ (bentuk mu’annats dari
‘akbar’) dan ‘mutsla’ (bentuk mu’annats dari ‘amtsal’). Nama-Nama Allah adalah husna
artinya mencapai puncak kesempurnaan dan keindahan. Allah Ta’ala berfirman, “Hanya
milik Allah Asmaa’ul Husna/Nama-Nama yang paling indah…” (QS. Al A’raaf: 180). Hal itu
dikarenakan Nama-Nama Allah mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak terdapat
sedikitpun kekurangan padanya dari sisi manapun, baik dari sisi ihtimal (kemungkinan
asal makna lafazh) atau dari sisi taqdir (penetapan makna pelengkap yang muncul dari
hasil terkaan dalam pikiran pendengar).

Semua Nama Allah menunjukkan sanjungan dan pujian bukan sekedar label/merek. Akan
tetapi Nama Allah berlaku sebagai nama yang sekaligus mengandung sifat. Allah yang Maha
Suci lagi Maha Tinggi telah memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya mereka berdo’a
kepada-Nya dengan perantara menyebut Nama-Nama-Nya.
[38]
Diantara keindahan yang ditunjukkan oleh Asmaa’ Allah adalah setiap Nama dari Nama-
Nama-Nya mengandung sifat yang mencakup seluruh maknanya yang muncul dari nama
tersebut. Contohnya adalah Nama Allah Al ‘Aliim (yang Maha Mengetahui) sebagaimana
terdapat dalam firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui/’aliim
lagi Maha Bijaksana/hakiim.” (QS. Al Insaan: 30). Maka dari ayat ini diketahui bahwa Al
‘Aliim merupakan salah satu Nama Allah Ta’ala, yang mengandung makna ilmu yang
sempurna; ilmu yang meliputi segala sesuatu secara global dan terperinci, ilmu yang tidak
diawali dengan kebodohan, ilmu yang tidak ditimpa kelupaan. Sehingga tidak ada makhluk
sekecil apapun di bumi maupun di langit yang tidak diketahui-Nya.

Faidah:

Dengan memahami kaidah ini kita bisa mengetahui letak kekeliruan Imam Ibnu Hazm dan
orang-orang berpemahaman zhahiriyah/tekstualis yang sejalan dengan beliau ketika
mereka menetapkan Ad Dahr (artinya ‘masa’) sebagai salah satu Nama Allah Ta’ala. Sebab
Ad Dahr adalah ism jamid/kata beku (bukan musytaq/pecahan) yang tidak mengandung
sifat sama sekali. Ad Dahr hanya sebuah nama yang tidak ada keindahan sama sekali di
dalamnya. Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang terdapat di dalam Ash
Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) yang memberitakan bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman, “Anak Adam telah menyakiti-Ku karena dia mencaci masa (Ad Dahr).
Padahal Aku adalah Ad Dahr; semua urusan ada di Tangan-Ku, Akulah yang membolak-
balikkan waktu siang dan malam.” Hadits ini tidaklah menunjukkan penetapan Ad Dahr
sebagai salah satu Nama Allah Ta’ala, ini didukung dengan alasan kuat yang bisa diketahui
dari dua sisi argumentasi:

1. Firman Allah Ta’ala yang menyebutkan, “Padahal Aku adalah Ad Dahr” telah dijelaskan
maksudnya oleh firman-Nya, “Semua urusan ada di Tangan-Ku, Akulah yang membolak-
balikkan waktu siang dan malam.” Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa semua
urusan ditangan-Nya, Dia-lah yang mengatur silih bergantinya waktu siang dan malam.
Sedangkan pergantian siang dan malam itulah yang disebut dengan Ad Dahr/masa. Karena
kalau tidak dipahami demikian pastilah perkataan kaum Dahriyyiin dibenarkan oleh Allah,
mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita dan kita
hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain Ad Dahr/masa.” (QS. Al Jaatsiyah: 24).
Akan tetapi ternyata Allah mendustakan perkataan mereka. Allah berfirman, “Mereka
tidaklah memiliki ilmu tentang apa yang mereka ucapkan, hanyasanya mereka
berprasangka (yang tidak ada buktinya-pent).”

[39]
2. Firman Allah Ta’ala, “Aku-lah yang membolak-balikkan waktu siang dan malam.” Di
dalamnya terkandung penetapan objek yang dibolak-balikkan (muqallab-dengan fathah
pada huruf lam) dan penetapan subjek yang membolak-balikkan (muqallib-dengan kasrah
pada huruf lam). Mustahil kalau objek yang dibolak-balikkan (muqallab) itu juga sekaligus
subjek yang membolak-balikkan (muqallib). Padahal siang dan malam adalah makna dari
Ad Dahr sebagaimana disebutkan dalam surat Al Jaatsiyah di atas (ketika Allah
mendustakan perkataan kaum Dahriyyin-pent).

2. Asmaa’ Allah tidak dibatasi oleh jumlah bilangan tertentu.

Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-
nya dan dibawakan juga oleh imam ahli hadits selain beliau dari jalur Ibnu Mas’ud. Di
dalam hadits tersebut Nabi berdo’a, “Hamba memohon kepada-Mu dengan perantara
seluruh Nama yang Engkau namai Diri-mu dengannya, Nama yang Engkau turunkan di
dalam Kitab-Mu, Nama yang Engkau ajarkan kepada salah satu diantara makhluk-Mu dan
juga Nama yang Engkau sembunyikan pengetahuannya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.”
Adapun Nama yang disembunyikan ilmunya oleh Allah di sisi-Nya maka tidak ada
seorangpun yang bisa mengetahuinya. Begitu pula Nama yang diajarkan-Nya kepada
sebagian golongan di antara makhluk-Nya, bisa jadi golongan yang lain tidak
mengetahuinya.

Inilah pemahaman yang dipegang oleh jumhur/mayoritas ulama’ bahwa Nama Allah tidak
dibatasi jumlah bilangan tertentu, sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Hajar di dalam
kitabnya Fathul Baari. Sebagian ulama’ diantaranya Imam Ibnu Hazm telah menyelisihi
pemahaman mereka. Beliau berpendapat adanya pembatasan jumlah Nama Allah
beralasan dengan hadits Abu Hurairah yang terdapat dalam Ash Shahihain. Di dalam hadits
tersebut Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki 99 Nama -seratus kurang satu- yang
apabila seseorang menjaganya niscaya dia masuk Surga.”

Ibnu Hazm -semoga Allah mengampuni kesalahan beliau- beralasan, “Seandainya Allah
memiliki Nama selain 99 Nama sebagaimana dinyatakan dalam hadits ini maka perkataan
Nabi ‘seratus kurang satu’ menjadi perkataan yang tidak ada gunanya…” Sedangkan Jumhur
ulama’ berpendapat tidak adanya pembatasan jumlah Nama Allah. Mereka memahami
pembatasan yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah itu terkait erat dengan janji
balasan yang akan diperoleh orang yang menjaganya Nama-Nama tersebut, sehingga

[40]
kalimat “apabila seseorang menjaganya” menjadi penyempurna yang erat kaitannya
dengan kalimat sebelumnya.

Imam Nawawi -semoga Allah merahmati beliau- menjelaskan, Hadits ini bukanlah dalil
pembatasan jumlah Nama Allah Ta’ala, hadits ini juga tidak menunjukkan bahwa Allah
tidak memiliki Nama selain Nama yang jumlahnya 99. Sesungguhnya maksud dari hadits
adalah barangsiapa menjaga 99 Nama ini niscaya dia masuk Surga. Ini adalah kabar yang
memberitakan bahwa orang yang menjaganya (melakukan ihsho’) Nama-Nama itu akan
mendapat balasan masuk surga, sehingga hadits tersebut bukan memberitakan
pembatasan jumlah Nama.

Al ‘Allamah Al Utsaimin memberikan sebuah ungkapan untuk menggambarkan maksud


hadits ini dengan kalimat yang hampir mirip. Beliau memberikan contoh, jika anda
mengatakan: “Saya punya uang 100 dirham yang saya persiapkan untuk shadaqah.” Dari
kalimat ini, tidak menutup kemungkinan kalau anda masih mempunyai uang selain jumlah
itu.

Kata-kata “apabila seseorang menjaganya” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa


Nama-Nama itu sesuatu yang diketahui. Sedangkan kata-kata “Nama yang Engkau
sembunyikan ilmunya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu” merupakan dalil yang menunjukkan
bahwa ada sebagian di antara Nama-Nama Allah yang tidak bisa kita ketahui. Dengan dasar
dua ungkapan hadits ini disimpulkan bahwa jumlah Nama Allah lebih dari sembilan puluh
sembilan.

Faidah:

Sabda Nabi shallaahu ‘alaihi wa sallam, “apabila seseorang menjaganya” merupakan dalil
bahwa Nama-Nama tersebut bisa diketahui. Dan jika anda telah mengerti bahwasanya
tidak ada riwayat yang sah mengenai perincian Nama-Nama yang dimaksud (sebagaimana
dijelaskan oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari), lalu bagaimana mungkin seseorang yang
ingin mendapatkan keutamaan tersebut dapat meraihnya sementara untuk menjaganya
Nama-Nama Allah tidak terdapat perincian Nama-Nama yang dimaksud?

Para ulama’ memberikan 2 jawaban atas pertanyaan ini:

1. Ketidaktahuan orang yang berdo’a terhadap rincian Nama-Nama Allah yang dimaksud
dalam hadits akan mendorong dia untuk terus menerus berdo’a dengan menyertakan
seluruh Nama Allah yang sah dalilnya dengan harapan bisa menepati Nama-Nama tertentu
[41]
yang dikhususkan oleh hadits tersebut. Jawaban ini serupa dengan alasan mengapa Allah
menyembunyikan waktu turunnya Lailatul Qadar.
2. Alif lam ta’rif (pada kata al asmaa’) dalam firman Allah, “Dan hanya milik Allah Al Asmaa’ul
Husna maka berdo’alah kalian dengan perantara menyebutkannya”, berfungsi untuk ‘ahd
(menyebutkan makna yang sudah dipahami maksudnya oleh pendengar dan pembicara-
pent). Dengan begitu pasti ada ma’huud-nya (objek yang dimaksud dalam konteks
pembicaraan-pent) karena Allah memerintahkan kita untuk berdo’a dengan menyebutkan
Nama-Nama itu. Sehingga Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Saya berpendapat Al
Hawaalah (mencari Nama Allah yang ada dalam cakupan) Al Qur’an itulah yang lebih
mendekati kebenaran.”

Al Hafizh Ibnu Hajar beserta beberapa ulama’ yang lain menerangkan maksud dari sabda
Nabi tentang ihsho’/ menjaga Nama Allah dengan beragam penjelasan. Maka silakan anda
merujuk kepada kitab Fathul Baari ketika Ibnu Hajar membahas syarah/keterangan hadits
nomor 6410.

3. Nama-Nama Allah tidak boleh ditetapkan dengan akal akan tetapi harus dengan
dalil syar’i.

Ini berarti Nama-Nama Allah adalah perkara tauqifi (penetapannya membutuhkan dalil
syar’i-pent) yang penetapannya bersumber dari Al Kitab dan As Sunnah. Dalam memahami
maksud penetapan Nama ini terdapat perbedaan pendapat:

1. Nama-Nama Allah adalah tauqifi, yang dibatasi dengan Nama-Nama yang tercantum
dalam Al Kitab dan As Sunnah saja.
2. Nama-Nama tersebut diambil dari dalil Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ sedangkan
Qiyas tidak boleh digunakan.
3. Penetapan Nama-Nama Allah adalah perkara tauqifi sedangkan penetapan Sifat-Nya
tidak termasuk perkara tauqifi.
4. Apabila akal menunjukkan suatu makna lafazh bisa ditetapkan ada pada Diri Allah
maka Nama tersebut boleh disandarkan kepada Allah. Ini adalah pendapat kaum
Mu’tazilah dan Karraamiyah.

Diantara beragam pendapat tersebut pendapat pertamalah yang paling kuat. Sedangkan
akal sekedar berfungsi sebagai sarana untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu Nama
disandarkan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati itu semua pasti dimintai pertangungjawabnya.” (QS. Al Israa’: 36)
[42]
Nama-Nama Allah hanya bisa diketahui melalui jalan mendengar (ayat atau hadits-pent)
bukan dari hasil pemikiran atau olah rasio. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari jalur ‘Aisyah Ibunda kaum mukminin radhiyallahu ta’ala ‘anha, Nabi bersabda,
“Maha Suci Engkau (Ya Allah) hamba tidak mampu menyempurnakan ats tsanaa’/sanjungan
terhadap-Mu sebagaimana sanjungan yang Engkau tujukan kepada Diri-Mu sendiri.”
Sedangkan tasmiyah/penamaan (terhadap Allah-pent) termasuk dalam cakupan
tsanaa’/sanjungan (sehingga jumlah Nama Allah tidak terhitung sebagaimana Nabi tidak
dapat menyempurnakan sanjungan terhadap Allah-pent). Hal ini sebagaimana kita tidak
diperbolehkan memberi nama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan nama yang
bukan berasal dari pemberian nama oleh keluarga beliau, maka terhadap Allah Rabbul
‘Izzah tentu tindakan menamai-Nya dengan nama yang Dia sendiri tidak menamakan Diri-
Nya dengannya lebih tidak pantas untuk dilakukan.

Oleh karena itulah penetapan Nama Allah tidak boleh berdasarkan akal semata. Kalau kita
melakukan penambahan nama selain Nama-Nama yang telah disebutkan-Nya bagi Diri-Nya
sendiri maka kita telah terjerumus dalam pembicaraan mengenai Allah tanpa landasan
ilmu. Dan apabila kita justru menyembunyikan Nama-Nama yang sudah disebutkan-Nya
maka hal ini termasuk tindakan penentangan dan penolakan. Karena Allah berhak
menamai Diri-Nya dengan nama apa saja yang disukai-Nya. Sehingga tindakan menambah-
nambahi atau menyembunyikan Nama Allah tergolong tindakan yang sangat jelek.

Faidah:

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan di dalam kitabnya Badaai’ul Fawaa’id: “Segala sesuatu
yang disandarkan kepada Allah dalam permasalahan Asmaa’ dan Sifat adalah perkara
tauqifi. Adapun penyandaran dalam bentuk berita tentang Allah bukan perkara tauqifi,
contohnya memberitakan Allah sebagai Asy Syai’ (Sesuatu), Allah Maujud (ada), Qadiim
(terdahulu), dan lain sebagainya. Kaidah inilah yang dikenal oleh ahli ilmu dengan
ungkapan, “Cakupan penetapan berita lebih luas daripada penetapan Nama.” Jika anda
menetapkan Nama dari semua Sifat Allah yang tercantum di dalam Al Kitab maupun As
Sunnah sebagai pemberitaan tentang Nama-Nya seperti Al Jaa’i (yang datang), Al Aakhidz
(yang menyiksa), Al Mumsik (yang menahan), Al Muriid (yang berkehendak), An Naazil
(yang turun)… maka Allah Ta’ala tidak boleh dinamai dengan nama-nama tersebut tetapi
kita diperbolehkan memberitakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut.”

[43]
4. Setiap Nama Allah pasti menunjukkan keberadaan Dzat Allah, Sifat yang
terkandung dalam Nama tersebut, serta atsar/pengaruh yang timbul dari Nama
tersebut apabila ia termasuk kata yang butuh objek/muta’addi.

Syaikh Salman menjelaskan di dalam Al Kawaasyif Al Jaaliyah:

Dalam mengimani Asmaa’ dan Sifat Allah harus terpenuhi 3 rukun:

1. Beriman dengan Nama tersebut.


2. Beriman dengan makna/sifat yang terkandung di dalamnya.
3. Beriman dengan atsar yang timbul dari Nama tersebut.

Syaikh Al Utsaimin -semoga Allah Ta’ala merahmati beliau- (memberikan ungkapan yang
sedikit berbeda untuk rukun yang ketiga-pent) di dalam kitabnya Al Qawaa’idul Mutsla
beliau menggunakan ungkapan “Menetapkan hukum dan konsekuensi Nama-Nama Allah”
sebagai pengganti ungkapan “atsar yang timbul”. Akan tetapi perbedaan ini tidak perlu
dipermasalahkan karena maksud dari penetapan hukum (yang dikatakan oleh Syaikh
Utsaimin -pent) sama artinya dengan menyandarkan Sifat kepada sasaran-sasarannya
dimana tampaknya objek/sasaran itu merupakan konsekuensi logis dari penetapan Sifat.
Seperti menyandarkan ilmu terhadap objek yang diilmui -dimana dengan sebab Sifat ilmu-
segala sesuatu tersebut bisa diketahui (oleh Allah-pent). Rukun ketiga ini berlaku apabila
Nama itu menunjukkan kepada sifat yang butuh objek/muta’addi.

Sedangkan apabila Nama tersebut tidak menunjukkan sifat yang muta’addi maka
kewajiban kita adalah mengimani Nama itu yang sekaligus menunjukkan keberadaan Dzat
Ilahiyah serta mengimani makna (sifat) yang terkandung di dalamnya. Pada penjelasan di
depan telah dipaparkan bahwa Nama Allah bukan sekedar label/merek akan tetapi ia
merupakan Nama yang paling indah. Dan salah satu bentuk keindahan tersebut ialah
bahwasanya Nama Allah itu menjadi Nama sekaligus Sifat.

Contoh dari penjelasan ini:

1. Nama Allah yang menunjukkan sifat muta’addi/butuh objek:Seperti Al Qayyuum, Ar


Rahiim, Al Kariim, At Tawwaab, Al Qadiir dan Al ‘Aliim. Ar Rahiim (Yang Maha
Penyayang) kita tetapkan sebagai Nama Allah ‘Azza wa Jalla yang menunjukkan
keberadaan Dzat Allah dan kita juga menetapkan Sifat Rahmah/kasih sayang
sebagai salah satu sifat yang dimiliki oleh Allah Ta’ala. Selain itu kita juga

[44]
menetapkan bahwasanya Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapapun yang
dikehendaki-Nya, dan inilah yang disebut dengan atsar.
2. Nama Allah yang menunjukkan sifat yang tidak muta’addi: Seperti Al Awwal, Al
Aakhir, Azh Zhaahir, Ar Rahmaan, Al ‘Aali, Al Hayyu dan Al ‘Azhim. Al ‘Aali (Yang
Maha Tinggi) kita tetapkan sebagai Nama Allah ‘Azza wa Jalla yang menunjukkan
keberadaan Dzat Allah dan kita juga menetapkan Sifat Al ‘Uluww/Tinggi sebagai
sifat bagi-Nya.

Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan


Sifat Allah (3)

KAIDAH KETIGA: Kaidah tentang Sifat-Sifat Allah ‘Azza wa Jalla.

1. Seluruh Sifat Allah adalah tinggi, penuh dengan kesempurnaan dan sanjungan.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan hanya kepunyaan Allah-lah matsalul a’la (Sifat yang Maha
Tinggi).” (QS. An Nahl: 60). Yang dimaksud matsalul a’la/Sifat-Sifat yang paling tinggi
adalah sifat yang paling sempurna. Di dalam kaidah bahasa Arab mendahulukan ungkapan
yang seharusnya ditaruh di belakang (yaitu Lillaahi-Hanya kepunyaan Allah-pent) memiliki
fungsi pembatasan dan pengkhususan. Sehingga seolah-olah Allah Ta’ala membatasi sifat-
sifat yang paling sempurna itu hanya ada pada-Nya dan Dia Mengistimewakan Sifat
tersebut khusus bagi Diri-Nya, inilah gaya bahasa Al Qur’an yang sangat indah!!

Rabb Sesembahan yang berhak menerima peribadahan pasti memiliki Sifat-Sifat yang
kesempurnaan-Nya mencapai puncak tertinggi diantara segala macam sifat kesempurnaan.
Sebagaimana Allah telah menunjukkan kebatilan penyembahan terhadap berhala-berhala
dengan cara mensifati mereka dengan sifat-sifat yang penuh kekurangan. Allah Ta’ala
berfirman, “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat
memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi madharat kepada kamu?” (QS. Al
Anbiyaa’: 66). Allah Ta’ala berfirman, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do’a)nya
sampai hari kiamat dan mereka (sesembahan selain Allah-pent) lalai dari (memperhatikan)
do’a mereka.” (QS. Al Ahqaaf: 5). Allah mensifati berhala-berhala itu dengan
[45]
ketidakmampuan mereka dalam memberikan manfaat dan menimpakan madharat, serta
ketidakmampuan mereka mengabulkan permintaan dan justru lalai dari do’a yang mereka
serukan.

Semua Sifat Allah adalah sifat kesempurnaan. Dalam penetapannya, sifat terbagi menjadi
beberapa bagian:

1. Sifat yang menunjukkan kesempurnaan secara mutlak. Sifat semacam ini ditetapkan
pasti dipunyai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
2. Sifat yang menunjukkan kekurangan secara mutlak. Sifat semacam ini tidak
mungkin dipunyai oleh Allah Ta’ala.
3. Sifat yang apabila ditinjau dari suatu keadaan menunjukkan kesempurnaan dan
apabila ditinjau dari keadaan yang lain justru menunjukkan kekurangan. Sifat
semacam ini dinisbatkan kepada Allah dengan diiringi taqyid/ikatan makna dalam
rangka menampakkan Kekuasaan Allah membalas dengan jenis balasan yang serupa
dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh manusia, maka dalam konteks seperti
ini sifat tersebut menjadi sifat kesempurnaan. Sifat yang semacam ini misalnya Al
Makr (makar), Al Khidaa’ (tipu daya), Istihzaa’ (Mengolok-olok) dan Al
Kaid (memperdaya). Terhadap sifat-sifat semacam ini kita katakan, Allah berkuasa
membalas makar para pembuat makar, Allah mampu membalas tipu daya para
pembuat tipu daya,… sehingga kita tidak boleh mensifati Allah dengan sifat makar
dan tipu daya, akan tetapi kita juga tidak diperbolehkan menolaknya namun sifat
semacam ini hanya boleh ditetapkan (dengan diiringi taqyid/ikatan makna-pent)
dalam konteks pembalasan.
Faidah:

Apakah semua sifat kesempurnaan yang disandang oleh Allah Ta’ala juga menjadi sifat
kesempurnaan jika disandang oleh makhluk? Dan apakah semua sifat kekurangan yang
tidak boleh dinisbatkan kepada Allah juga menjadi sifat kekurangan jika disandang oleh
makhluk?

Jawabnya:
[46]
Tidaklah demikian. Contohnya sifat takabbur/sombong adalah sifat kesempurnaan Allah
‘Azza wa Jalla. Namun sifat ini justru akan menjadi cela apabila dipunyai oleh makhluk.
Contoh lainnya : makan, minum, menikah adalah sifat kesempurnaan pada diri makhluk
akan tetapi sifat tersebut berubah menjadi cela apabila dinisbatkan kepada Diri Allah
Ta’ala. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban kita menetapkan kesempurnaan secara
mutlak terhadap Diri Allah Ta’ala. Serta kita wajib mensucikan-Nya dari cela secara mutlak.

2. Sifat-Sifat Allah terbagi 2: Sifat Tsubutiyah dan Sifat Salbiyah.

Sifat-Sifat Allah ‘Azza wa Jalla yang disebutkan di dalam nash-nash Al Kitab dan As Sunnah
ada 2 macam yaitu:

1. Sifat Tsubutiyah: seluruh Sifat yang ditetapkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla bagi Diri-Nya
sendiri. Atau Sifat Allah yang ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini
merupakan sifat kesempurnaan dan sanjungan bagi Allah seperti contohnya pengetahuan
(al ‘ilmu), pendengaran (as sam’u), kekuasaan (al qudrah), berbicara (al kalaam),
bersemayam (istiwa’), turun (nuzul), dua tangan (yadain)… dst. Sifat-sifat ini semuanya kita
tetapkan sesuai dengan hakikatnya yang layak bagi Allah ‘Azza wa Jalla.
2. Sifat Salbiyah: Sifat yang ditiadakan dari Diri Allah oleh Allah Ta’ala sendiri atau ditiadakan
oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua sifat yang ditiadakan ini adalah sifat
kekurangan/cela, contohnya kematian (al maut), bodoh (al jahl) dan lemah (al ‘ajz) dst.
Ketahuilah saudaraku -semoga Allah merahmati aku dan kamu- bahwa kita tidak
diperbolehkan mensifati Allah Ta’ala dengan peniadaan semata sebagaimana yang
dilakukan oleh Ahlu bida’ wal ahwaa’ (para penyeru bid’ah dan pengekor hawa nafsu-pent)
yang telah mensifati Allah dengan semata-mata peniadaan. Perbuatan mereka itu bukanlah
sanjungan bagi Allah, ini didasari 3 alasan yang disebutkan oleh Syaikh Al
Utsaimin rahimahullahu Ta’ala dalam Al Qawaa’idul Mutsla. Beliau menerangkan:

1. Peniadaan semata menunjukkan tidak adanya sesuatu. Sedangkan sesuatu yang


tidak ada bukanlah apa-apa, sehingga dia tidak bisa disebut sempurna.
2. Peniadaan suatu perkara terkadang terjadi karena memang sesuatu yang disifati
tidak bisa menerima pensifatan tersebut. Seperti jika anda berkata, “Tembok itu
tidak berbuat zhalim.” Pensifatan semacam ini tidaklah menunjukkan
kesempurnaan.

[47]
3. Peniadaan sesuatu bisa jadi karena ketidakmampuan yang ada pada sosok yang disifati.
Peniadaan semacam ini bahkan menunjukkan kekurangan.
Oleh karena itulah dalam meniadakan sifat dari Diri Allah harus terkandung 2 perkara:
Pertama, menolak sifat itu dipunyai oleh Allah Ta’ala dan Kedua, menetapkan lawan dari
sifat itu sebagai bukti kesempurnaan Allah Ta’ala.

Contohnya sifat Al ‘Ajz/lemah, Allah Ta’ala berfirman, “Dan tiada sesuatu pun yang dapat
melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi.” (QS. Faathir: 44). Berdasarkan ayat ini
kita menolak keberadaan sifat lemah pada Diri Allah Ta’ala dan juga kita harus menetapkan
kesempurnaan sifat lawannya yaitu ilmu dan qudrah yang Maha sempurna. Contoh yang
lain sifat Zhulm/aniaya, Allah Ta’ala berfirman, “Dan Tuhanmu tidak
menganiaya/menzhalimi seorang juapun.” (QS. Al Kahfi: 49). Berdasarkan ayat ini kita
menolak sifat zhulm/aniaya ada pada Diri Allah lalu kita tetapkan kesempurnaan lawannya
yaitu keadilan Allah yang Maha sempurna.

3. Sifat Tsubutiyah terbagi 2: Sifat Dzatiyah dan Sifat Fi’liyah.

Sifat-Sifat Allah Ta’ala yang ditetapkan bagi-Nya di dalam Al Kitab dan As Sunnah bisa
dibagi menjadi dua:

A. Sifat Dzatiyah

Yaitu sifat yang senantiasa melekat pada Diri Allah, Sifat-Sifat yang tidak terpisahkan dari
Dzat Ilahiyah. Sifat Dzatiyah ini pun terbagi 2 bila dilihat dari kandungan isinya:

A1. Sifat Dzatiyah Ma’nawiyah

Yaitu sifat yang menunjukkan kepada sesuatu yang maknawi seperti Hidup (al hayat),
Mampu (qudrah), Bijaksana (hikmah), Mengetahui (al ‘ilmu) dst.

A2. Sifat Dzatiyah Khabariyah

[48]
Yaitu Sifat-Sifat Allah yang padanan namanya pada makhluk merupakan bagian dan
anggota badan, seperti dua Tangan, Wajah, Kaki, Betis dan lain sebagainya.

B. Sifat Fi’liyah

Yaitu Sifat-Sifat yang kemunculannya berkaitan erat dengan Kehendak Allah. Sifat
semacam ini terbagi menjadi dua berdasarkan sebab yang terkait dengannya:

1. Sifat Allah yang sebabnya kita ketahui, seperti sifat Ridha.


2. Sifat Allah yang tidak memiliki sebab yang diketahui, seperti sifat Istiwa’/bersemayam.
Faidah:

Diantara Sifat-Sifat Allah ada Sifat yang menjadi Sifat Dzatiyah sekaligus juga sebagai Sifat
Fi’liyah berdasarkan dua sudut pandang tersebut, contohnya sifat Al Kalaam/berbicara.
Sifat berbicara ini termasuk Sifat Dzatiyah bila ditinjau dari asal keberadaannya, artinya
Dzat Allah pasti sanggup berbicara. Sedangkan jika ditinjau dari satu demi satu peristiwa
terjadinya pembicaraan maka Sifat ini termasuk Sifat Fi’liyah, artinya Allah Ta’ala dapat
berbicara kapanpun Dia kehendaki.

4. Setiap Sifat Allah dihadapkan pada 3 pertanyaan.

1. Apakah sifat tersebut hakiki? Apa alasannya?


2. Bolehkah melakukan takyif terhadap Sifat tersebut? Kenapa?
3. Apakah Sifat Allah serupa dengan sifat makhluk? Kenapa?
Jawaban terhadap pertanyan-pertanyaan ini adalah:

1. Ya, Sifat-Sifat Allah adalah sesuatu yang hakiki. Karena hukum asal dalam
penggunaan lafazh itu ialah memaknainya secara hakiki yang bisa langsung
dipahami dan dapat dilihat dari lafazh tersebut.
2. Tidak boleh melakukan takyif terhadap Sifat Allah, karena kita tidak mengetahui
kaifiyah Dzat Allah demikian pula kita tidak bisa mengetahui kaifiyah Sifat-Sifat-
Nya. Hal itu disebabkan perbincangan masalah Sifat serupa dengan perbincangan
masalah Dzat.

[49]
3. Sifat-Sifat Allah Ta’ala tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Berdasarkan firman
Allah Ta’ala, “Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11).
Makhluk adalah dzat yang penuh dengan kekurangan bagaimana mungkin bisa
serupa dengan Rabb yang Maha sempurna?

Beberapa Faidah Yang Bisa Dipetik

Faidah Pertama:

Takyif adalah menyebutkan kaifiyah Sifat Allah tanpa mengaitkannya dengan bentuk


tertentu yang namanya serupa. Contohnya jika anda mengatakan, “Aku punya buku yang
sifatnya demikian dan demikian.” Kalau perkataan ini anda teruskan dengan
ungkapan, “(Bukuku) seperti bukumu”, maka inilah yang disebut
dengan tamtsil. Tamtsil (terhadap Sifat Allah -pent) itu maksudnya menetapkan Sifat Allah
serupa dengan sifat makhluk. Contohnya pendapat Mumatstsilah (kaum yang
menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-pent) yang mengatakan, “Tangan Allah
seperti tanganku.”

Dengan demikian tamtsil adalah tindakan mengait-ngaitkan Sifat Allah dengan sifat


makhluk. Adapun takkyif tidak diiringi dengan sikap mengait-ngaitkan (menyerupakan-
pent). Oleh karena itu membayangkan/berkhayal tentang bentuk/cara dari Sifat-Sifat Allah
termasuk tindakan takyif.

Faidah Kedua:

Munculnya takyif akibat pertanyaan ‘Bagaimana?’ Kaum ahlul ahwaa’/pengekor hawa


nafsu sering mempertanyakan (tentang kaifiyah Sifat Allah -pent) dengan ungkapan
semacam ini. Apabila salah seorang ahlul bid’ah mempertanyakan, “Bagaimana kaifiyah
Sifat ini dan itu?” Maka hendaklah anda memberikan salah satu jawaban diantara beberapa
jawaban berikut:

1. Dengan jawaban seperti yang disampaikan oleh Imam Malik dan gurunya Rabi’ah. Suatu
saat mereka ditanya tentang kaifiyah istiwa’ (cara Allah bersemayam-pent). Beliau
[50]
menjawab: “Kaifiyahnya tidak bisa dijangkau oleh akal, sedangkan makna istiwa’ bukanlah
sesuatu yang asing, mengimaninya adalah kewajiban adapun mempertanyakan (kaifiyahnya)
termasuk bid’ah.”
2. Dengan balik bertanya kepadanya mengenai bagaimana (kaifiyah) Dzat Allah Ta’ala. Apabila
dia mempertanyakan misalnya, “Bagaimanakah Wajah Allah?, bagaimana Turun-Nya?,
bagaimana Tertawa-Nya?, dst.” Maka tanyakanlah kepadanya, “Bagaimanakah Dzat
Allah?” atau “Bagaimanakah wujud-Nya?” Kalau dia mengatakan, “Aku tidak mengetahui
kaifiyah Dzat Allah”, maka katakanlah kepadanya, “Begitu pula saya tidak mengetahui
kaifiyah Sifat-Sifat-Nya, akan tetapi saya menetapkan Sifat-Sifat tersebut dipunyai Allah
sesuai dengan keagungan-Nya yang Maha Tinggi.” Ketahuilah bahwa jawaban ini dibangun
di atas kaidah ‘Pembicaraan tentang Sifat serupa dengan pembicaraan tentang Dzat’.
3. Atau dengan jawaban, “Sesungguhnya Allah telah memberitakan kepada kita Sifat ini dan itu,
dan Dia juga memberitahu kita bahwa Sifat-Sifat itu adalah milik-Nya. Sedangkan Dia tidak
memberitahu kita tentang kaifiyah Sifat-Sifat tersebut. Kaum salaf/generasi Sahabat
-semoga Allah meridhoi mereka- pun tidak pernah mempertanyakan hal ini, maka sudah
sepantasnya kita juga diam (tidak mempersoalkan kaifiyahnya-pent) sebagaimana mereka.”
Faidah Ketiga:

Terdapat perbedaan antara takyif dan kaif/kaifiyah. Anda tidak boleh mengatakan, “Saya


menetapkan Sifat Allah tanpa kaifiyah” karena Sifat-Sifat Allah Ta’ala
mempunyai kaifiyah walaupun bagaimananya itu tidak kita ketahui. Maka tetapkanlah
Sifat-Sifat Allah dan tiadakanlah pengetahuan tentang bagaimana kaifiyah-nya sebab tidak
ada seorangpun yang mengetahui kaifiyah Sifat Allah selain Allah Ta’ala. Dengan demikian
jelaslah perbedaan antara ‘peniadaan kaifiyah‘ dengan ‘peniadaan ilmu tentang kaifiyah‘.
Peniadaan yang pertama (yaitu menolak kaifiyah-pent) tergolong
tindakan ta’thil/penolakan Sifat, cermatilah !!!

Faidah Keempat:

Ketahuilah -semoga Allah menganugerahkan ilmu kepadaku dan kepadamu- sebenarnya


ungkapan ‘menolak tamtsil‘ itu lebih utama untuk dipakai daripada ungkapan
‘menolak tasybih‘. Hal ini didukung beberapa alasan:

1. Kata tamtsil/permisalan itulah yang ditolak oleh nash Al Qur’an. Allah Ta’ala


berfirman, “Tiada sesuatu pun yang serupa/semisal dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11).
Sedangkan kata tasybih bukan (istilah) yang dinafikan oleh nash tersebut.
[51]
2. Meniadakan tasybih secara keseluruhan dapat menyebabkan terjadinya ta’thil/penolakan
Sifat. Karena tidak ada dua dzat kecuali pasti mempunyai qadrun musytarak/kadar minimal
keseragaman yang menunjukkan bahwa keduanya memiliki kesamaan pada kadar tersebut,
paling tidak kesamaan pada sisi makna asalnya.
3. Ahlul bid’ah semacam Jahmiyah dan Mu’aththilah terkadang menggunakan
istilah Musyabbihah (pelaku tasybih) untuk menjuluki orang-orang yang menetapkan Sifat
Allah; seperti sifat Ilmu, Qudrah dst. Oleh karena itulah sebaiknya kita menghindari
kesalahpahaman dengan cara memakai istilah ‘tamtsil’ sebagai pengganti istilah ‘tasybih’.

Sifat Istiwa’ Allah di Atas ‘Arsy

Artikel ini adalah merupakan penjelasan terhadap pertanyaan saudara Maharinjaya yang
menanyakan perihal “Allah bersemayam di atas ‘Arsy”. Berikut ini adalah pertanyaan
saudara Maharinjaya tersebut,

Assalamu’alaikum
Kepada Administrator yth, ana tertarik dengan dialog semacam ini. Sebagai mualaf ana
terus mencari karena ana ingin menemukan sesuatu, seperti disabdakan Isa As dalam
Markus: “Bagi siapa saja yang mencari niscaya ia akan menemukan…”Mohon jawaban
selekasnya baik melalui laman siteweb ini maupun melalui email ana iaitu mengenai ayat
yang menyebutkan bahwa “…Allah bersemayam di Arsy…”, apakah maksud dari ayat ini
karena ana jua berkehendak dapatlah kiranya menjawab soal dari ana punya sahabat yang
masih belum berislam. Terimakasih.

 Alhamdulillah pertanyaan tersebut telah dijawab oleh ustadz Anas Burhanuddin (dan
sekaligus ada tambahan dari Al-Akh Abu Mushlih pada bagian akhir artikel ini). Mudah-
mudahan penjelasan yang ringkas ini dapat memberi manfaat yang besar, khususnya
kepada saudara Maharinjaya dengan semakin mempekokoh keislaman beliau di atas islam,
sehingga merasa cukup dengan semua yang diajarkan oleh
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan tidak butuh kepada yang selain itu.

A. Dalil Sifat Istiwa’


[52]
Sifat istiwa’ adalah salah satu sifat Allah yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk diriNya
dalam tujuh ayat Al-Quran, yaitu Surat Al-A’raf: 54, Yunus: 3, Ar-Ra’d: 2, Al-Furqan: 59, As-
Sajdah: 4 dan Al-Hadid: 4, semuanya dengan lafazh:

ِ ْ‫ثُ َّم ا ْست ََوى َعلَى ْال َعر‬


‫ش‬

Artinya:

“Kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).”

Dan dalam Surat Thaha 5 dengan lafazh:

ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْست ََوى‬

Artinya:

“Yang Maha Penyayang di atas ‘Arsy (singgasana) berada.”

Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam juga telah menetapkan sifat ini untuk Allah dalam


beberapa hadits, diantaranya:

1. Hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:

‫َضبِي‬
َ ‫تغ‬ ِ ْ‫ق ْال َعر‬
ْ َ‫ ِإ َّن َرحْ َمتِي َغلَب‬-‫ش‬ َ ْ‫فَهُ َو ِع ْن َدهُ فَو‬- ‫َب فِي ِكتَابِ ِه‬ َ ‫ضى هَّللا ُ ْال َخ ْل‬
َ ‫ق َكت‬ َ َ‫لَ َّما ق‬

“Ketika Allah menciptakan makhluk (maksudnya menciptakan jenis makhluk), Dia


menuliskan di kitab-Nya (Al-Lauh Al-Mahfuzh) – dan kitab itu bersama-Nya di atas ‘Arsy
(singgasana) – : “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)

2. Hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam memegang


tangannya (Abu Hurairah) dan berkata:

[53]
ِ ْ‫ ثُ َّم ا ْست ََوى َعلَى ْال َعر‬،‫ض ْينَ َو َما بَ ْينَهُ َما فِي ِستَّ ِة أَي ٍَّام‬
‫ش‬ ِ ‫ت َو ْاألَ َر‬ َ َ‫ ِإ َّن هللاَ خَ ل‬،َ‫يَا أَبَا هُ َري َْرة‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬

“Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang
ada diantara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia berada di atas ‘Arsy
(singgasana).” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, dishahihkan Al-Albani dalam
Mukhtasharul ‘Uluw)

3. Hadits Qatadah bin An-Nu’man rodiallahu’anhu bahwa ia berkata: Aku mendengar


Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:

‫لَ َّما فَ َر َغ هللاُ ِم ْن َخ ْلقِ ِه ا ْستَ َوى َعلَى َعرْ ِش ِه‬.

“Ketika Allah selesai mencipta, Dia berada di atas ‘Arsy singgasana-Nya.” (Diriwayatkan oleh
Al-Khallal dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dan Adz-Dzahabi berkata:
Para perawinya tsiqah)

B. Arti Istiwa’

Lafazh istawa ‘ala (‫ )اِ ْس(ت ََوى َعلَى‬dalam bahasa Arab – yang dengannya Allah menurunkan
wahyu – berarti (‫) َعالَ َوارْ تَفَ ( َع‬, yaitu berada di atas (tinggi/di ketinggian). Hal ini adalah
kesepakatan salaf dan ahli bahasa. Tidak ada yang memahaminya dengan arti lain di
kalangan salaf dan ahli bahasa.

Adapun ‘Arsy, secara bahasa artinya Singgasana kekuasaan. ‘Arsy adalah makhluk


tertinggi. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:

‫س فَإِنَّهُ أَوْ َسطُ ْال َجنَّ ِة َوأَ ْعلَى ْال َجنَّ ِة َوفَوْ قَهُ َعرْ شُ الرَّحْ َم ِن َو ِم ْنهُ تَفَ َّج ُر أَ ْنهَا ُر ْال َجنَّ ِة‬
َ ْ‫فَإ ِ َذا َسأ َ ْلتُ ُم هَّللا َ فَاسْأَلُوهُ ْالفِرْ دَو‬

“Maka jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Al-Firdaus, karena sungguh ia adalah
surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya singgasana Sang Maha Pengasih, dan
darinya sungai-sungai surga mengalir.” (HR. Al-Bukhari)

[54]
‘Arsy juga termasuk makhluk paling besar. Allah menyifatinya dengan ‘adhim (besar)
dalam Surat An-Nahl: 26. Ibnu Abbas rodiallahu’anhu berkata:

‫ َو ْال َعرْ شُ الَ يَ ْق ِد ُر قَ ْد َرهُ إِالَّ هللاُ تعالى‬، ‫ض ُع ْالقَ َد َم ْي ِن‬ ْ


ِ ْ‫ال ُكرْ ِس ُّي َمو‬.

“Kursi adalah tempat kedua kaki (Allah), dan ‘Arsy (singgasana) tidak ada yang mengetahui
ukurannya selain Allah Ta’ala.” (Hadits mauquf riwayat Al-Hakim dan dishahihkan Adz-
Dzahabi dan Al-Albani)

Allah juga menyifatinya dengan Karim (mulia) dalam Surat Al-Mukminun: 116


dan Majid (agung) dalam Surat Al-Buruj: 15.

Dalam suatu hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dijelaskan bahwa ‘Arsy memiliki
kaki, dan dalam surat Ghafir: 7 dan Al-Haaqqah: 17 disebutkan bahwa ‘Arsy dibawa oleh
malaikat-malaikat Allah.

Ayat dan hadits yang menjelaskan tentang istiwa’ di atas ‘Arsy menunjukkan hal-hal
berikut:

1. Penetapan sifat istiwa di atas ‘Arsy bagi Allah, sesuai dengan keagungan dan
kemuliaan-Nya.
2. Bahwa Dzat Allah berada di atas.
C. Beberapa Peringatan Penting

Pertama:

Istiwa’ adalah hakikat dan bukan majas. Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab yang
dengannya wahyu diturunkan. Yang tidak kita ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk)
istiwa’ Allah, karena Dia tidak menjelaskannya. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha (
‫)الرحمن على العرش استوى‬, Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:

ِ ‫ َو‬،ٌ‫ َو ْال َكيْفُ َمجْ هُوْ ل‬،‫ا ِال ْستِ َوا ُء َم ْعلُوْ ٌم‬.
ٌ‫اإلي َمانُ بِ ِه َوا ِجب‬

[55]
“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad
fil I’tiqad, Al-Ghazali)

Kedua:

Wajib mengimani dan menetapkan sifat istiwa’ tanpa merubah (ta’wil/tahrif)


pengertiannya, juga tanpa menyerupakan (tasybih/tamtsil) sifat ini dengan sifat istiwa’
makhluk.

Ketiga:

Menafsirkan istawa (‫ )اِ ْس((ت ََوى‬dengan istawla (‫ )اِ ْس((تَوْ لَى‬yang artinya menguasai adalah salah


satu bentuk ta’wil yang bathil. Penafsiran ini tidak dikenal di kalangan generasi awal
umat Islam, tidak juga di kalangan ahli bahasa Arab. Abul Hasan Al-Asy’ari menyebutkan
bahwa penafsiran ini pertama kali dimunculkan oleh orang-orang Jahmiyyah dan
Mu’tazilah. Mereka ingin menafikan sifat keberadaan Allah di atas langit dengan penafsiran
ini. Kita tidak menafikan sifat kekuasaan bagi Allah, tapi bukan itu arti istiwa’.

Keempat:

Penerjemahan kata istawa (‫ )اِ ْس (ت ََوى‬dengan “bersemayam” perlu di tinjau ulang, karena
dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa bersemayam berarti duduk, tinggal,
berkediaman. Padahal arti istawa bukanlah ini, sebagaimana telah dijelaskan.

Kelima:

Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy tidak berarti bahwa Allah membutuhkannya, tapi justru ‘arsy
yang membutuhkan Allah seperti makhluk-makhluk yang lain. Dengan hikmah-Nya Allah
menciptakan ‘Arsy untuk istiwa’ diatasnya, dan Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan
apapun. Wallahu a’lam.

D. Faedah Mempelajari Asma dan Sifat Allah

[56]
Semoga Allah merahmati Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi yang berkata: “……Ilmu ushuluddin
(pokok-pokok agama) adalah ilmu paling mulia, karena kemulian suatu ilmu tergantung
pada apa yang dipelajarinya. Ia adalah Fiqih Akbar dibandingkan dengan Ilmu Fiqih
furu’ (cabang-cabang agama). Karenanya Imam Abu Hanifah menamakan apa yang telah
beliau ucapkan dan beliau kumpulkan dalam lembaran-lembaran berisi pokok-pokok
agama sebagai “Al-Fiqhul Akbar“. Kebutuhan para hamba kepadanya melebihi semua
kebutuhan, dan keterdesakan mereka kepadanya di atas semua keterdesakan, karena tiada
kehidupan untuk hati, juga tidak ada kesenangan dan ketenangan, kecuali dengan
mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan
Asma’, Sifat dan Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu mencintaiNya lebih dari yang
lain, dan berusaha mendekatkan diri kepadaNya tanpa yang lain……”

Referensi:

1. Al-Mausu’ah Asy-Syamilah, dikeluarkan oleh Divisi Rekaman Masjid Nabawi.


2. Syarah ‘Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi.
3. Mudzakkirah Tauhid, Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
Tambahan dari Al-Akh Abu Mushlih:

Allah Ta’ala bersemayam di atas Arsy. Di dalam ayat disebutkan Ar-Rahmaanu ‘alal


‘arsyistawaa. Secara bahasa istiwa’ itu memiliki empat makna yaitu:

1. ‘ala (tinggi)
2. Irtafa’a (terangkat)
3. Sho’uda (naik)
4. Istaqarra (menetap)
Sehingga makna Allah istiwa’ di atas ‘Arsy ialah menetap tinggi di atas ‘Arsy.

Sedangkan makna ‘Arsy secara bahasa ialah: Singgasana Raja. Adapun ‘Arsy yang
dimaksud oleh ayat ialah sebuah singgasana khusus milik Allah yang memiliki pilar-pilar
yang dipikul oleh para malaikat. Sebagaimana disebutkan di dalam ayat yang artinya, “Dan
pada hari itu delapan malaikat memikul arsy.” Dan Allah sama sekali tidak
membutuhkan ‘Arsy, tidak sebagaimana halnya seorang raja yang membutuhkan
singgasananya sebagai tempat duduk.
[57]
Demikianlah yang diterangkan oleh para ulama. Satu hal yang perlu diingat pula
bahwa bersemayamnya Allah tidak sama dengan bersemayamnya makhluk. Sebab
Allah berfirman yang artinya, “Tidak ada sesuatupun yang serupa persis dengan Allah, dan
Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11). Oleh sebab itu, tidak sama
bersemayamnya seorang raja di atas singgasananya dengan bersemayamnya Allah di atas
arsy-Nya. Inilah keyakinan yang senantiasa dipegang oleh para ulama terdahulu yang
shalih serta para pengikut mereka yang setia hingga hari kiamat. Wallahu a’lam bish
showaab (silakan baca kitab-kitab Syarah Aqidah Wasithiyah dan kitab-kitab aqidah
lainnya).

Menjawab Beberapa Syubhat Seputar Sifat


Istiwa

[58]
Allah Ta’ala memiliki sifat Al ‘Uluw yaitu Maha Tinggi, dan dengan ke-Maha Tinggi-an-Nya
Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy. Istiwa artinya ‘alaa was taqarra, tinggi dan menetap. Allah
ber-istiwa di atas ‘Arsy artinya Allah Maha Tinggi menetap di atas ‘Arsy. Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman:

ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْست ََوى‬

“Ar Rahman (Allah) ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS. Thaha: 5).

Pembahasan serta dalil-dalil lengkap mengenai masalah ini silakan simak artikel Sifat
Istiwa’ Allah di Atas ‘Arsy.

Namun aqidah ini diingkari oleh sebagian orang. Mereka mengingkari bahwa Allah
memiliki sifat Al ‘Uluw Maha Tinggi dan mereka juga mengingkari bahwa Allah ber-
istiwa di atas ‘Arsy. Mereka mendasari keyakinannya tersebut dengan beberapa alasan,
diantaranya:

Syubhat 1

Mereka mengatakan bahwa makna istiwa itu adalah istaula (menguasai), sebagaimana


dalam sya’ir:

ِ ‫ْف أَوْ د ٍَم ِم ْه َر‬


‫اق‬ ِ ‫قَ ْد ا ْست ََوى بِ ْش ٌر َعلَى ْال ِع َر‬
ٍ ‫ ِم ْن َغي ِْر َسي‬    ‫ق‬

Bisyr menguasai Irak

Tanpa menggunakan pedang atau menumpahkan darah

Kata ‫بِ ْش ٌر‬ di sini maksudnya Bisyr bin Marwan, orang yang pernah menjadi penguasa Irak.
Sehingga makna ‫ا ْست ََوى‬ di sini maksudnya menguasai Irak. Mereka mengatakan: “lihat, ini

[59]
sya’ir arab. Dan mustahil makna istiwa di sini artinya Bisyr berada di atas Irak, atau berada
di tempat tinggi tepat di atas Irak. Lebih lagi ketika itu belum ada pesawat terbang yang
memungkinkan seseorang berada di atas Irak. Dengan demikian dalam bahasa arab sudah
dikenal bahwa istiwa itu terkadang maknanya istaula (menguasai)”.

Syubhat 2

Mereka mengatakan bahwa jika kita tetapkan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy,
konsekuensinya berarti Allah itu butuh terhadap ‘Arsy. Dan sangat mustahil Allah itu butuh
terhadap makhluk, dengan demikian mustahil pula Allah berada di atas ‘Arsy.

Syubhat 3

Mereka mengatakan bahwa jika kita tetapkan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy,
konsekuensinya berarti Allah itu berupa jism (badan). Karena istiwa itu artinya sesuatu
berada di atas sesuatu. Selain itu, konsekuensi lainnya, berarti Allah juga mahduud, yaitu
terbatas oleh ruang dan waktu. Karena sesuatu yang berada di atas sesuatu berarti ia
dibatasi oleh batas-batas ruang. Misalnya anda duduk di atas kursi, maka berada dalam
batas ruang kursi tersebut.

Jawaban Syubhat

Bantahan terhadap syubhat-syubhat ini dirinci dalam beberapa poin:

Pertama: Penafsiran lafadz istiwa dengan istaula adalah penafsiran yang bertentangan


dengan penafsiran para salaf, yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Mereka
bersepakat bahwa istiwa ditafsirkan sebagaimana makna zhahirnya. Tidak ada satu pun
riwayat shahih yang dinukil dari mereka bahwa mereka
menafsirkan istiwa dengan istaula atau pun makna lain yang bertentangan dengan makna
zhahir (makna lugas).

Kedua: Penafsiran lafadz istiwa dengan istaula adalah penafsiran yang bertentangan


makna zhahir (makna lugas) dari lafadz. Kata istiwa‫اس (تَ َوى‬ jika
ْ diikuti dengan ‫على‬ maka
artinya adalah al ‘uluw wal istiqrar (tinggi dan menetap). Inilah makna lugas dari istiwa.

[60]
Dan makna inilah yang dipakai dalam Al Qur’an ketika disebut kata istiwa juga dipakai
dalam kebiasaan orang Arab.

Ketiga: Penafsiran yang demikian menimbulkan beberapa konsekuensi yang batil,


diantaranya:

1. Allah Ta’ala ketika menciptakan langit dan bumi, Ia tidak menguasai ‘Arsy. Karena


Allah Ta’ala berfirman:
ِ ْ‫ض فِي ِستَّ ِة أَي ٍَّام ثُ َّم ا ْستَ َوى َعلَى ْال َعر‬
‫ش‬ َ ْ‫ت َواأْل َر‬ َ َ‫خَ ل‬
َ ‫ق ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬

“Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia
bersemayam di atas Arsy” (QS. Al A’raf: 54).

Kata ‫ثُ َّم‬ dalam ayat ini memiliki makna urutan. Yaitu setelah Allah selesai
menciptakan langit dan bumi, Ia ber-istiwa di atas ‘Arsy.
Jika istiwa maknanya istaula (menguasai), maka berarti Allah baru menguasai ‘Arsy
setelah selesai menciptakan langit dan bumi. Sebelum itu, Allah belum
menguasainya.

2. Secara umum, dalam konteks kalimat bahasa Arab, kata istaula (menguasai) tidak


digunakan kecuali setelah sebelumnya dikalahkan. Jadi, sebelumnya dikalahkan, lalu
mencoba menguasai, lalu akhirnya istaula (menguasai). Dengan demikian seakan-
akan artinya Allah sebelumnya dikalahkan, lalu baru Ia istaula.
3. Boleh kita mengatakan bahwa Allah itu
‫ا ْست ََوى َعلَى ْال َش َج ِر‬

“Allah ber-istiwa di atas pohon”

ِ َ‫ا ْست ََوى َعلَى ْال َجب‬


‫ال‬

“Allah ber-istiwa di atas gunung”

ِ ‫ا ْست ََوى َعلَى ْال ِح َم‬


‫ار‬
[61]
“Allah ber-istiwa di atas keledai”, dan semacamnya.
atau semacamnya. Karena tentu saja Allah menguasai semua makhluk tersebut

Demikian beberapa konsekuensi batil jika kita memaknai istiwa dengan istaula.

Keempat: adapun pendalilan mereka dengan bait syair yang disebutkan di atas, kita jawab
dengan beberapa poin:

1. Silakan jabarkan kepada kami sanad dari bait tersebut, apakah perawinya shahih
atau tidak? Tentu mereka tidak bisa melakukannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
mengatakan: “tidak ada keterangan yang valid bahwa syair tersebut adalah syair
yang dikenal orang Arab. Selain itu, lebih dari satu orang imam dalam ilmu lughah,
telah mengingkari syair ini. Mereka mengatakan: ‘ini syair yang dibuat-buat yang
tidak dikenal dalam bahasa Arab‘. Dan telah kita ketahui bersama bahwa jika
seseorang berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam maka kita perlu
mengecek keshahihannya. Maka bagaimana lagi dengan bait syair yang tidak
diketahui sanadnya dan telah dicela oleh para imam ahli lughah?” (Majmu’ Fatawa,
5/146).
2. Siapa yang mengucapkan syair ini? Bukankah ada kemungkinan syair ini baru
dibuat orang setelah bahasa Arab terkontaminasi? Setiap perkataan yang dijadikan
dalil dalam masalah lughah namun itu dikatakan setelah bahasa Arab
terkontaminasi, maka itu bukan dalil. Karena bahasa Arab mulai terkontaminasi
sejak dibukanya negeri-negeri Arab bagi para pendatang dari luar sehingga
orang ajam (non Arab) masuk lalu lisan orang Arab pun tercampuri.

3. Andaikan bait tersebut shahih sebagai bait yang diucapkan orang Arab. Maka
menafsirkan ِ ‫اس(((((تَ َوى بِ ْش(((((( ٌر َعلَى ْال ِع(((((( َر‬ dengan
kalimat ‫ق‬ ْ memaknai istiwa di sini
sebagai istaula, adalah penafsiran yang bertentangan dengan qarinah. Karena masih
bisa dibenarkan jika kita maknai istiwa ini sebagaimana makna aslinya, yaitu kita
maknai bahwa Bisyr berada di tempat tinggi di Iraq kemudian ia berada di atas
ranjang atau di atas kuda atau lainnya. Sehingga kita tidak perlu memaknainya
dengan istaula.
Kelima: Mengenai syubhat bahwa jika kita tafsirkan istiwa sebagaimana makna
sebenarnya, maka konsekuensinya berarti Allah memiliki jism (badan), dan ini mustahil.

[62]
Maka kita perlu tanyakan kepada mereka apa yang kalian maksud bahwa Allah mustahil
memiliki jism (badan) ? Karena jism ini bukanlah sifat Allah, sebab penyebutan sifat ini
untuk Allah tidak terdapat dalam Al Qur’an atau hadits. Sehingga lafadz jism untuk Allah,
tidak kita tetapkan dan juga tidak kita ingkari. Maka penilaian kita tergantung apa yang
mereka maksud dari lafadz jism itu sendiri.

Jika yang mereka maksud “Allah mustahil memiliki jism (badan)” adalah: Allah bukanlah
Dzat yang hakiki dan Allah tidak memiliki sifat-sifat, maka ini pernyataan batil,
bertentangan dengan banyak ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Karena Allah itu ada, Ia
adalah Dzat yang hakiki dan Ia memiliki sifat-sifat yang layak bagi-Nya. Allah Maha Melihat,
Maha Mendengar, Maha Mengetahui, demikian juga Ia memiliki tangan, memiliki wajah,
memiliki mata, dan sifat-sifat lainnya yang layak bagi-Nya dan berbeda dengan makluk-Nya
yang ini semua dinyatakan oleh Allah sendiri atau dikabarkan melalui sabda Nabi-
Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.

Adapun jika yang mereka maksud jism (badan) adalah badan yang tersusun atas daging,
tulang, darah, jantung, paru-paru, dan lainnya sebagaimana badan manusia, maka ini tentu
mustahil bagi Allah karena Allah tidak serupa dengan hamba-Nya.

ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوه َُو ال َّس ِمي ُع ْالب‬


‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)

Dan jika kita menetapkan bahwa Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy, sama sekali tidak
berkonsekuensi bahwa Allah memiliki jism (badan) yang demikian.

Keenam: Mengenai syubhat bahwa jika kita menetapkan Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy,
maka berarti Allah ada dalam suatu hadd (batas) ruang. Maka kita jawab sebagaimana
pada poin kelima, apa yang kalian maksud dengan hadd (batas) dalam hal ini? Karena jika
yang dimaksud adalah bahwa Allah itu memiliki batas perbedaan yang jelas dengan
makhluk-Nya, dan segala sesuatu yang selain Allah adalah makhluk, maka ini benar.

[63]
Namun jika yang dimaksud hadd (batas) adalah bahwa ‘Arsy melingkupi Allah, ‘Arsy lebih
besar dari-Nya, maka ini batil. Juga bukan merupakan konsekuensi dari
penetapan istiwa Allah. Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy walaupun Allah lebih besar dari ‘Arsy,
karena ia Maha Besar.

ْ ‫ات َم‬
ٌ ‫ط ِوي‬
‫َّات بِيَ ِمينِ ِه‬ َ ‫ضتُهُ يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َوال َّس َم‬
ُ ‫او‬ َ ‫َواأْل َرْ ضُ َج ِميعًا قَ ْب‬

“bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan
tangan kanan-Nya” (QS. Az Zumar: 67)

Ketujuh: Mengenai syubhat bahwa jika kita menetapkan Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy,
artinya Allah butuh kepada ‘Arsy. Tentu tidak demikian. Kita jawab syubhat ini dalam
beberapa poin:

1. Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy bukanlah maknanya Allah diangkat dan dibawa oleh
‘Arsy. Allah berada di atas ‘Arsy namun tidak berarti Allah diangkat dan dibawa oleh
‘Arsy sehingga Allah butuh kepada ‘Arsy.

2. Allah itu Al Ghaniy dan tidak butuh kepada ‘Arsy, justru ‘Arsy yang butuh kepada
Allah. Karena semua makhluk itu butuh kepada Allah agar ia tetap eksis, termasuk
juga ‘Arsy.
‫ض أَ ْن تَ ُزواَل َولَئِ ْن زَ الَتَا إِ ْن أَ ْم َس َكهُ َما ِم ْن أَ َح ٍد ِم ْن بَ ْع ِد ِه ِإنَّهُ َكانَ َحلِي ًما َغفُورًا‬
َ ْ‫ت َواأْل َر‬ ُ ‫إِ َّن هَّللا َ يُ ْم ِس‬
ِ ‫ك ال َّس َما َوا‬

“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh
jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya
selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (QS.
Fathir: 41)

3. Menetapnya A di atas B, tidak melazimkan bahwa A pasti butuh pada B. Buktinya


langit ada di atas bumi, namun langit tidak butuh pada bumi. Padahal langit dan
bumi adalah makhluk Allah. Maka bagaimana lagi perkaranya pada Allah ‘Azza
Wajalla yang qaadirun ‘ala kulli syai, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Allah yaf’alu

[64]
maa yuriid, Maha Kuasa untuk melakukan apa yang Ia kehendaki? Maka lebih
mungkin lagi bahwa Allah istiwa di atas ‘Arsy tanpa butuh kepada ‘Arsy.
4. Istiwa Allah tentu tidak serupa dengan istiwa makhluk. Jangan dibayangkan bahwa
Allah Ta’ala menetap di atas ‘Arsy dalam keadaan duduk, atau berbaring, atau
bersila, atau semacamnya sebagaimana jika makhluk ber-istiwa di atas sesuatu.
Demikian juga, keumuman makhluk Allah, jika ber-istiwa di atas sesuatu benda
maka ia butuh kepada benda tersebut. Sebagaimana jika manusia duduk di atas
kursi, ia butuh kepada kursi. Dan jika kursi diambil maka seketika ia terjatuh.
Adapun Allah, tentu tidak demikian. Allah tidak butuh kepada ‘Arsy, istiwa Allah
tentu tidak serupa dengan istiwa makhluk
ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوه َُو ال َّس ِمي ُع ْالب‬
‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)

Demikian jawaban beberapa kerancuan yang didengungkan sebagian orang untuk menolak
sifat istiwa bagi Allah. Maka, jika ditanya dimanakah Allah? Jawabnya: Allah Ta’ala Maha
Tinggi Ia ber-istiwa di atas ‘Arsy. Inilah aqidah yang diyakini oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat, para ulama ahlus sunnah wal
jama’ah sejak dahulu hingga sekarang. Wallahu’alam.

 [Disadur dari kitab Syarah Al Aqidah Al Washithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al


Utsaimin hal 242-246, cetakan Dar Ibnu Jauzi. Dengan beberapa tambahan dari Ta’liqat
Mukhtasharah ‘ala Matni Al Aqidah Ath Thahawiyyah Syaikh Shalih Fauzan bin Fauzan]

Apakah Allah Butuh Kepada Arsy?


[65]
Demikian pertanyaan yang sering dilontarkan orang yang mengingkari bahwa Allah ber-
istiwa di atas Arsy-Nya. Nah, untuk menjawab hal ini secara gamblang, mari kita renungkan
beberapa hal berikut:

 Allah memerintahkan kita untuk shalat, berpuasa, dan beribadah yang benar.
Apakah dengan itu Allah butuh kepada ibadah kita?
 Allah mengutus Rasul-Nya untuk menyebarkan risalah kepada manusia, Allah
mengutus Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kita. Apakah dengan
itu berarti Allah butuh kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam?
Mengapa Allah tidak sampaikan sendiri risalah-Nya langsung ke hati hamba-hamba-
Nya?
 Allah memberikan tugas kepada Jibril untuk menyampaikan wahyu, Allah juga
memberikan tugas Malaikat Maut untuk mencabut nyawa, Allah juga memberikan
tugas malaikat untuk memikul Arsy-Nya, Allah juga memberikan tugas malaikat
untuk mencatat amal baik dan buruk kita. Mengapa Allah tidak melalukan itu semua
sendiri? Mengapa Arsy tidak dibuat terbang sendiri tanpa perlu dipikul? Mengapa
perlu ada malaikat untuk mencatat amalan? Mengapa perlu ada Malaikat untuk
mencabut nyawa? Apakah ini berarti Allah butuh kepada para Malaikat?
 Di hari kiamat nanti ada mizan, timbangan yang akan menimbang amalan kita.
Mengapa perlu ada timbangan? Apakah tidak mungkin amalan kita terhitung
dengan sendirinya, lalu keluar hasilnya secara otomatis? Apakah Allah butuh
kepada mizan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini, mari sama-sama kita renungkan
secara mendalam firman Allah:

١٦﴿ ‫﴾ فَعَّا ٌل لِّ َما ي ُِري ُد‬١٥﴿ ‫ش ْال َم ِجي ُد‬


ِ ْ‫﴾ ُذو ْال َعر‬١٤﴿ ‫﴾ َوهُ َو ْال َغفُو ُر ْال َودُو ُد‬

“Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, yang mempunyai ‘Arsy, lagi Maha
Mulia, Dia berbuat apa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al Buruuj: 16).

[66]
Maka tidak perlu kita bertanya “mengapa Allah begini dan begitu?“, “mengapa Allah tidak
begini dan begitu?“, dan mengapa kita merasa layak untuk mengatur apa yang Allah
kehendaki? Tugas kita, mengimaninya, yakin percaya terhadap apa yang Allah firmankan
tentang Dia sendiri, tanpa menambah dan mengurangi. Allah Ta’ala melarang hal ini:

‫ق َوأَ ْن تُ ْش ِر ُكوا بِاهَّلل ِ َما لَ ْم يُن َِّزلْ بِ ( ِه ُس ( ْلطَانًا َوأَ ْن تَقُولُ((وا‬


ِّ ‫ظهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَنَ َواإْل ِ ْث َم َو ْالبَ ْغ َي بِ َغي ِْر ْال َح‬ َ ‫قُلْ إِنَّ َما َح َّر َم َرب َِّي ْالفَ َوا ِح‬
َ ‫ش َما‬
َ‫َعلَى هَّللا ِ َما اَل تَ ْعلَ ُمون‬

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) berkata-kata tentang Allah apa yang
tidak kamu ketahui“” (QS. Al A’raf: 33).

Analogi dan permisalan lainnya, semoga menambah pemahaman kita dalam masalah ini:

 Ada seorang juragan, suatu ketika ia hendak pergi berkerja dengan mengendarai
motor. Tetiba pembantunya berkata, “Tuan, jangan gunakan motor, itu tidak pantas
bagi anda, bukankah anda seorang juragan yang terhormat? Selain itu, anda punya
mobil yang bisa digunakan“. Padahal, sang juragan tahu bahwa ini adalah jam padat
lalu lintas dan dia ada suatu meeting penting.
 Kemudian di hari libur, sang juragan menggunakan pakaian resmi dan formal.
Pembantunya pun berkomentar, “Juragan, bukankah ini hari libur? Mengapa tuan
memakai baju resmi? Sebaiknya diganti saja tuan, karena tidak pas“. Padahal, sang
juragan hendak menghadiri undangan resepsi pernikahan.
 Lain waktu lagi, sang juragan membagikan uang ke semua pegawai. Pembantunya
pun berkomentar, “Wahai tuan, mengapa anda menghambur-hamburkan uang?
Sebaiknya tuan jangan berbuat boros“. Padahal, sang juragan sedang membayarkan
THR kepada para pegawainya.
Nah, pembantu yang demikian, yang berbicara tanpa ilmu, mungkin ia merasa benar dan
bijak. Namun orang yang mengetahui kondisi sang juragan, akan menyatakan bahwa
pembantu ini sok tahu terhadap juragannya dan lancang telah mengatur-ngatur
majikannya.

[67]
Allah subhaanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam banyak ayat-Nya bahwa Allah beristiwa
di atas Arsy, bahwa segala amal shalih akan naik ke sisi-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam pun ceritakan bahwa beliau Isra Mi’raj ke langit menuju Allah,
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membenarkan perkataan seorang budak yang
ketika di tanya “Di mana Allah?” maka si budak menjawab “di langit“. Lalu diantara hamba-
Nya yang berkomentar, “tidak mungkin Allah di langit, tidak mungkin Allah di Arsy, jika
demikian berarti Allah membutuhkan langit? Allah membutuhkan Arsy dong?“. Atau, ketika
Allah berfirman dalam banyak ayat-Nya bahwa nanti langit akan digulung dengan tangan
kanan-Nya, tangan Allah terbuka lebar, tangan Allah itu di atas tangannya orang-orang
mukmin dan lain-lain. Lalu ada di antara hambaNya yang berkomentar, “Tidak mungkin
Allah punya tangan, itu hanya kiasan dari kekuasaan Allah“. Maka mirip keadaan orang ini
dengan sang pembantu tadi, hamba seperti ini pun tak berlebihan jika kita katakan sok
tahu dan tentang Allah, melebihi apa yang Allah katakan dengan diri-Nya sendiri. Allah
berfirman demikian, namun orang tadi mengatakan: tidak mungkin, tidak cocok, tidak
sesuai. Ini semisal dengan pembantu yang mau mengatur-ngatur juragannya.

Kita tidak perlu bertanya kepada Allah, “Ya Allah mengapa Engkau begini dan begitu?“, “Ya
Allah mengapa Engkau tidak begini dan begitu?“, tapi justru kita yang akan ditanya,
“mengapa kita begini dan begitu?“, “kenapa kita berbuat ini dan berbuat itu?”

َ‫اَل يُسْأ َ ُل َع َّما يَ ْف َع ُل َوهُ ْم يُسْأَلُون‬

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai”  (QS.
al Anbiyaa: 23).

Nah, jika memahami analogi dan permisalan di atas, insya Allah bisa menjawab pertanyaan
“apakah Allah butuh kepada Arsy?“. Wallahu a’lam.

Baca juga artikel Sifat Istiwa’ Allah di Atas ‘Arsy dan artikel Menjawab Beberapa Syubhat
Seputar Sifat Istiwa.

[68]
Allah Bersemayam Di Atas Arsy,. Kalau Begitu Allah
Butuh Arsy Dong?… Masa Sih..

Jadi Allah Butuh Arsy Dong ????

Begitu pertanyaan yang sering banget muncul kalo dibilangin Allah beristiwa di atas
ArsyNya.

Nah, yuk kita renungkan beberapa hal berikut :

– Allah nyuruh kita sholat, nyuruh kita puasa, nyuruh kita ibadah yang benar..

Apa berarti Allah butuh dengan ibadah kita ??

– Allah mengutus RasulNya untuk menyebarkan risalah kepada manusia, Allah mengutus


Nabi Muhammad kepada kita..

Apa berarti Allah butuh kepada Nabi Muhammad ??? Kenapa Allah gak sampaikan sendiri
langsung ke hati hamba-hambaNya ???

– Allah kasih tugas Jibril menyampaikan wahyu, Allah kasih tugas Malaikat Maut untuk
nyabut nyawa, Allah kasih tugas malaikat untuk memikul ArsyNya, Allah kasih tugas
malaikat yang catet amal baik dan buruk kita..

Kenapa gak dikerjain sendiri aja ?? Kenapa Arsy gak dibikin bisa terbang sendiri ?? Kenapa
perlu ada malaikat yang mikul ?? Masak kalah sama pesawat Boeing ???

– Di hari kiamat nanti ada mizan, timbangan yang bakal nimbang amalan kita..

Kenapa harus pake timbangan ?? Gak bisa tuh amalan kita keitung sendiri, trus keluar
hasilnya, masa kalah sama Ind*maret ?? Masa kalah sama software2 canggih zaman
sekarang, sekali pencet langsung keluar ??

Ngejawab pertanyaan2 itu, mari sama-sama kita renungin dalem2 firman Allah :

‫ ُ﴿ ﻳ ُِﺮﻳﺪ ﻟﱢ َﻤﺎ‬١٦ ‫ ُ﴿ ْاﻟ َﻮدُود ُ ْاﻟ َﻐﻔُﻮر َ َوﻫُﻮ‬١٤﴾ ‫ ُ﴿ ْاﻟ َﻤ ِﺠﻴﺪ ِ ْاﻟ َﻌﺮْ ش ُذو‬١٥﴾ ‫﴾ ﻓَﻌﱠﺎ ٌل‬

“Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, yang mempunyai ‘Arsy, lagi Maha
Mulia, DIA BERBUAT APA YANG DIKEHENDAKINYA” (Al Buruuj: 16).

[69]
Maka : Gak usah tanya2 kenapanya, suka-suka Allah, kaga usah ngatur-ngatur apa yang
Allah kehendaki..

Tugas kita : Iman, yakin, percaya apa yang Allah bilang tentang Dia sendiri. Kita juga gak
bakal bisa nanya Allah, kenapa Allah begini dan begitu, tapi yang bakal ditanya sama kita :
“Kenapa kita begini dan begitu ?? kenapa kita berbuat ini dan berbuat itu ??”

َ‫ﻳُﺴْﺄَﻟُﻮنَ ْ َوﻫُﻢ ُ ﻳَ ْﻔ َﻌﻞ َﻋ ﱠﻤﺎ ُ ﻳُﺴْﺄَل ﻻ‬

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (Al
Anbiyaa: 23).

Nah, sekarang tau kan jawabannya klo ada yang nanya :

“Berarti Allah butuh Arsy dong ?? Allah butuh makhluk dong ??”

[70]
Di manakah Allah (1), Keyakinan yang Benar Mengenai
Sifat Allah

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa man


tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.
Saat ini, alhamdulillah dakwah semakin tersebar luas di dunia maya. Website dakwah pun
semakin menjamur. Ini adalah sesuatu yang patut disyukuri. Di samping itu dakwah
kepada kepahaman menyimpang pun juga semakin tersebar. Yang terakhir ini pun sangat
menyedihkan. Orang awam yang asal fitrohnya bersih akhirnya ternodai dengan berbagai
macam kotoran syubhat (pemikiran sesat) yang membutakan hati. Di antaranya adalah
beberapa syubhat yang dibawakan oleh para blogger anti salafi, yang menamakan blognya
dengan sebutan abusalafy. Syubhat yang ada dan cukup keras adalah mengenai
pernyataan mereka bahwa Allah itu ada tanpa tempat. Ini adalah penentangan mereka
terhadap aqidah Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa Allah berada di atas langit dan
Allah berada tinggi di atas ‘Arsy-Nya. Semoga dengan pertolongan dan taufik Allah
Ta’ala, kami bisa menyingkap kebenaran yang ada. Ya Robbi, a’in ‘ala naili ridhoka (Wahai
Rabbku, tolonglah aku untuk menggapai ridho-Mu).
 

Keyakinan yang Benar Mengenai Nama dan Sifat Allah


Ada beberapa i’tiqod (keyakinan) yang seharusnya menjadi pegangan dan keyakinan
seorang muslim mengenai asma’ wa shifat (nama dan sifat Allah). Sebagaimana disebutkan
oleh Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni rahimahullah dalam kitab Aqidah Al Wasithiyah,
beliau rahimahullah menyatakan:
‫ومن اإليمان باهلل اإليمان بما وصف به نفسه في كتابه وبما وصفه به رسوله محمد صلى هللا علي((ه و س((لم من غ((ير تحري((ف وال‬
‫تعطيل ومن غير تكييف وال تمثيل بل يؤمنون بأن هللا سبحانه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير‬
“Di antara bentuk iman kepada Allah adalah beriman kepada apa yang Allah sifatkan pada
diri-Nya sendiri dalam  Al Qur’an dan apa yang Rasul-Nya Muhammad –shallallahu ‘alaihi
wa sallam- sifatkan tanpa melakukan tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Akan tetapi, mereka
(Ahlus Sunnah) itu beriman bahwa tidak ada yang semisal dengan Allah dan Allah Maha
Mendengar, lagi Maha Melihat.”[1]

[71]
Mengenai pernyataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni di atas juga kita jumpai dalam
perkataan ulama lainnya. Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah- mengatakan,

ُ ‫ اَل يُتَ َجا َو ُز ْالقُرْ آنُ َو ْال َح ِد‬، ُ‫صفَهُ بِ ِه َرسُولُه‬


‫يث‬ َ ‫ أَوْ َو‬، ُ‫صفَ بِ ِه نَ ْف َسه‬
َ ‫صفُ هَّللا ُ إِاَّل بِ َما َو‬
َ ‫اَل يُو‬
“Allah tidaklah disifati kecuali dengan apa yang Allah sifatkan pada diri-Nya sendiri atau
yang disifatkan oleh Rasul-Nya. Hendaklah tidak mensifati Allah selain dari Al Qur’an dan
Al Hadits.”[2]
Dalam pernyataan di atas yang tentu saja hasil dari penelitian dan penyimpulan Al Qur’an
dan As Sunnah, kita dapat mengatakan bahwa i’tiqod yang mesti diyakini seorang muslim
adalah sebagai berikut.

Pertama: Hendaklah seseorang menetapkan nama bagi Allah sesuai dengan apa yang
ditetapkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya dan ditetapkan oleh Rasul-Nya melalui
lisannya.
Kedua: Penetapan nama dan sifat Allah di sini tanpa melakukan tahrif dan ta’thil serta
tanpa melakukan takyif dan tamtsil.
Tahrif adalah menyelewengkan makna nama atau sifat Allah dari makna sebenarnya tanpa
adanya dalil. Seperti mentahrif sifat mahabbah (cinta) bagi Allah menjadi irodatul khoir
(menginginkan kebaikan).
Ta’thil adalah menolak nama atau sifat Allah. Seperti menolak sifat tangan bagi Allah.
Takyif adalah menyebutkan hakekat sesuatu tanpa menyamakannya dengan yang lain.
Seperti menyatakan panjang tangannya adalah 50 cm. Takyif tidak boleh dilakukan
terhadap sifat Allah karena Allah tidak memberitahukan bagaimana hakekat sifat-Nya
dengan sebenarnya.
Tamtsil adalah menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Seperti menyatakan Allah
memiliki tangan dan sama dengan tanganku.
Keempat hal ini terlarang dalam mengimani nama dan sifat Allah. Karena Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman,
ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوهُ َو ال َّس ِمي ُع ْالب‬
‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Melihat.” (QS. Asy Syura: 11)
Ayat,

‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء‬


َ ‫لَي‬

[72]
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” adalah bantahan terhadap orang yang
melakukan takyif dan tamtsil, yaitu yang menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk
atau menyebutkan hakekat sifat Allah padahal yang mengetahuinya hanyalah Allah.
Sedangkan ayat,

ِ َ‫َوه َُو ال َّس ِمي ُع ْالب‬


‫صي ُر‬
“dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat” adalah bantahan untuk orang yang
melakukan tahrif dan ta’thil. Karena dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa Allah memiliki
sifat mendengar dan melihat. Makhluk pun memiliki sifat mendengar dan melihat, namun
tentu  saja kedua sifat Allah ini berbeda dengan makhluk. Oleh karenanya, kedua sifat
tersebut tidak boleh ditahrif (diselewengkan) maknanya dan tidak perlu dita’thil (ditolak
maknanya). Sebagaimana hal ini juga berlaku untuk sifat-sifat Allah lainnya.
Pahamilah Ayat Sifat Secara Zhohir, Tidak Perlu Mentakwil
Pengasuh blog abu salafy ketika menyanggah hujjah akhi fadhil Ustadz Abul
Jauzaa hafizhohullah mengenai keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, ia menyatakan sebagai
berikut.
“Yang tampak dari nash-nash yang menyebut secara lahiriyah bahwa Alah SWT di langit
jelas bukan demikian maksud sebenarnya. Ia mesti dita’wil, sebab Allah tidak bisa
ditanyakan dengan kata tanya: Di mana Dia? Kata di mana? Tidak pernah disabdakan Nabi
saw., seperti telah kami buktikan.”
Kami harap para pembaca dapat memperhatikan kalimat yang kami garisbawahi. Inilah
dasar pemahaman abusalafy ketika ingin menyanggah ideologi keberadaan Allah di atas
‘Arsy-Nya. Dia punya keyakinan bahwa dalil-dalil yang menyatakan semacam itu,
hendaklah dita’wil yaitu diartikan dengan makna lainnya dan jangan dipahami secara
zhohir (tekstual). Inilah kerancuan abusalafy ketika memahami nama dan sifat Allah.

Para pembaca sekalian, yang dimaksud dengan memahami secara zhohir (tekstual) adalah
memahami makna yang tertangkap langsung di dalam benak pikiran. Kami contohkan
adalah ketika kita mengatakan, “Ali melihat singa.” Maka makna yang tertangkap adalah Ali
benar-benar melihat binatang buas yang dinamakan singa. Inilah yang dimaksudkan
memahami secara zhohir. Walaupun masih ada kemungkinan makna singa di situ bisa
dengan makna lainnya seperti berarti pemberani. Misalnya kita katakan, “Ali Sang Singa
menaklukan musuh-musuhnya.” Yang dimaksudkan di sini bukan singa binatang buas,
namun bermakna pemberani karena dipahami dari konteks kalimat. Namun kalau kita
mendengar kata singa secara sendirian, tentu yang tertangkap dalam benak kita adalah
singa yang termasuk binatang buas.
[73]
Ketika memahami sifat Allah pun mesti seperti itu. Hendaklah kita memahami secara
zhohir, sesuai makna yang tertangkap dalam benak kita tanpa kita takwil (palingkan) ke
makna lainnya tanpa adanya indikator atau dalil. Inilah yang diperintahkan dalam Al
Qur’an ketika kita memahami ayat Al Qur’an. Coba kita perhatikan ayat-ayat berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,
ٍ ِ‫) بِلِ َسا ٍن ع ََربِ ٍّي ُمب‬194( َ‫) َعلَى قَ ْلبِكَ لِتَ ُكونَ ِمنَ ْال ُم ْن ِذ ِرين‬193( ُ‫) نَ َز َل بِ ِه الرُّ و ُح اأْل َ ِمين‬192( َ‫َوإِنَّهُ لَتَ ْن ِزي ُل َربِّ ْال َعالَ ِمين‬
)195( ‫ين‬
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia
dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa
Arab yang jelas.” (QS. Asy Syu’ara: 192-195). Lihatlah ayat ini menegaskan bahwa Al Qur’an
diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, yang artinya bisa langsung kita pahami.
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
َ‫إِنَّا َج َع ْلنَاهُ قُرْ آَنًا ع ََربِيًّا لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْعقِلُون‬
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu
memahami(nya).” (QS. Asy Syu’ara: 192-195). Ayat ini pun demikian yaitu menjelaskan
bahwa Al Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab yang mudah dipahami secara zhohir,
tanpa perlu dipalingkan ke makna lainnya.
Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan agar kita mengikuti apa yang Allah turunkan,
artinya sesuai yang kita pahami di benak kita. Allah Ta’ala berfirman,

‫اتَّبِعُوا َما أُ ْن ِز َل إِلَ ْي ُك ْم ِم ْن َربِّ ُك ْم َواَل تَتَّبِعُوا ِم ْن دُونِ ِه أَوْ لِيَا َء‬
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS. Al A’rof: 3)
Apabila Allah Ta’ala menurunkan Al Qur’an dengan bahasa Arab agar mudah direnungkan
dan dipahami, lalu Allah memerintahkan untuk mengikutinya, maka wajib bagi kita
memahami ayat-ayat yang ada secara zhohirnya sesuai yang dimaksudkan oleh bahasa
Arab kecuali jika hakekat syar’i yang dikehendaki bukanlah demikian. Begitu pula hal ini
berlaku pada ayat-ayat yang menjelaskan sifat Allah (tangan, wajah, istiwa’, dsb). Bahkan
berpegang dengan zhohir pada nash-nash yang menjelaskan sifat Allah lebih utama kita
praktekan karena penunjukkan sifat Allah harus tauqifiy (harus dengan dalil), tidak ada
ruang bagi akal untuk merinci sifat Allah.

Jika ada yang mengatakan, “Janganlah pahami ayat yang menunjukkan sifat Allah secara
zhohir, karena makna zhohir bukanlah yang dimaksudkan?” Kita jawab, “Apa yang
dimaksud dengan zhohir yang kalian inginkan?”

[74]
[Pertama] Kalau yang kalian maksudkan adalah memahami makna yang tertangkap pada
nash denagn memahami sifat Allah tersebut sesuai dengan yang layak bagi-Nya tanpa
melakukan tamtsil (penyamaan dengan makhluk), maka ini benar. Hal ini wajib diterima
dan diimani oleh setiap hamba. Karena tidak mungkin Allah menceritakan mengenai sifat-
sifat-Nya, lalu itu bukan yang Allah inginkan dan tanpa menjelaskannya pada hamba-Nya.
[Kedua] Namun jika zhohir yang dimaksudkan adalah memahami sifat Allah dengan
melakukan tamtsil (menyamakan sifat tersebut dengan sifat makhluk), maka inilah makna
yang tidak diinginkan. Sebenarnya makna ini bukan makna zhohir dari dalil Al Kitab dan As
Sunnah yang menjelaskan mengenai sifat Allah. Karena pemahaman zhohir semacam ini
adalah pemahaman kufur dan batil serta terbantahkan dengan dalil dan ijma’ (kesepakatan
para ulama).[3]
Silakan pembaca menilai pernyataan abusalafy di atas yang menyatakan sifat Allah mesti
dita’wil. Pernyataan ini sungguh melenceng dari ijma’ (kesepakatan ulama). Lihat baik-baik
klaim ijma’ dari pernyataan ulama berikut ini.

Memahami Sifat Allah Secara Zhohir adalah Ijma’ (Kesepakatan Para Ulama)
Al Imam Al Khothobiy rahimahullah mengatakan, “Madzhab salaf dalam mengimani sifat
Allah adalah menetapkan dan memahaminya secara zhohir (tekstual), mereka menolak
menyebutkan hakikat (kaifiyah) sifat tersebut dan mereka tidak melakukan tasybih
(menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk).”[4]
Al Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah, “Ahlus Sunnah berijma’ (bersepakat) dalam
menetapkan sifat Allah yang terdapat dalam Al Kitab dan As Sunnah, mereka
memahaminya sesuai dengan hakikatnya dan bukan dipahami secara majas. Namun
ingatlah mereka tidak menyebutkan kaifiyah sifat tersebut (seperti menggambarkan
bagaimana bentuk tangan dan wajah Allah, pen). Berbeda halnya dengan Jahmiyah,
Mu’tazilah dan Khowarij; mereka semua mengingkari sifat Allah, mereka tidak mau
memahami sesuai dengan makna hakikatnya. Mereka malah menganggap bahwa orang-
orang yang menetapkan sifat sebagai musyabbihah (menyerupakan Allah dengan
makhluk). Namun menurut mereka yang menetapkan sifat bagi Allah (yaitu Ahlus Sunnah)
menilai bahwa Mu’tazilah,cs–lah yang telah menafikan (meniadakan) Allah sebagai
sesembahan.”[5]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Para salaful ummah
dan para imam telah bersepakat (berijma’) bahwa nash-nash yang menjelaskan sifat Allah
haruslah dipahami secara zhohir (tekstual) sesuai dengan sifat yang layak bagi Allah tanpa

[75]
melakukan tahrif (penyelewengan makna). Dan ingatlah bahwa memahami secara sifat
Allah secara zhohir tidak berarti kita menyamakan Allah dengan makhluk.”[6]
Jadi, kenapa kita harus pahami dalil-dalil yang menjelaskan sifat Allah secara zhohir
(seperti sifat tangan, wajah, ghodob (murka), istiwa’ Allah)? Jawabannya:

1. Tidak mungkin bagi Allah membicarakan sesuatu, namun itu bukan yang Dia
inginkan atau menyelisihi zhohirnya tanpa ada penjelasan.

2. Menetapkan sifat bagi Allah adalah tauqifi yaitu butuh dalil, sehingga kalau makna
sifat Allah mau diselewengkan dari makna zhohir harus dengan dalil.

3. Inilah kesepakatan (ijma’) para ulama ahlus sunnah.

Tuduhan: Menetapkan Sifat Allah Berarti Melakukan Tasybih


Inilah tuduhan lainnya dari abusalafy dalam beberapa tulisannya terhadap orang yang
menetapkan Allah berada di atas langit. Beliau menyebut mereka yang menetapkan sifat
semacam itu sebagai mujassimah atau musyabbihah, yang berarti menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya. Inilah yang diisyaratkan oleh Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Mu’tazilah, Jahmiyah dan semacamnya yang menolak
sifat Allah, mereka menyebut setiap orang yang menetapkan sifat bagi Allah sebagai
mujassimah atau musyabbihah. Bahkan di antara mereka menyebut para Imam besar yang
telah masyhur (seperti Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan pengikut setia
mereka) sebagai mujassimah atau musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan
makhluk).”
Inilah bloger abusalafy yang mengikuti jejak Mu’tazilah dan Jahmiyah. Tidak beda jauh
antara dia dengan mereka. Namun tenang saja, alhamdulillah tuduhan seperti ini sudah
disanggah oleh ulama-ulama terdahulu. Perhatikan kalam mereka berikut ini.

Nu’aim bin Hammad Al Hafizh rahimahullah mengatakan, “Siapa yang menyerupakan Allah


dengan makhluk-Nya, maka dia kafir. Siapa yang mengingkari sifat Allah yang Allah
tetapkan bagi diri-Nya, maka dia kafir. Namun, menetapkan sifat yang Allah tetapkan bagi
diri-Nya atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya tidaklah disebut tasybih (menyerupakan
Allah dengan makhluk).”
Ishaq bin Rohuwyah rahimahullah mengatakan, “Yang disebut tasybih (menyerupakan
Allah dengan makhluk), jika kita mengatakan, ‘Tangan Allah sama dengan tanganku atau
pendengaran-Nya sama dengan pendengaranku.’ Inilah yang disebut tasybih. Namun jika
kita mengatakan sebagaimana yang Allah katakan yaitu mengatakan bahwa Allah memiliki
tangan, pendengaran dan penglihatan; dan kita tidak sebut, ‘Bagaimana hakikat tangan

[76]
Allah, dsb?’ dan tidak pula kita katakan, ‘Sifat Allah itu sama dengan sifat kita (yaitu tangan
Allah sama dengan tangan kita)’; seperti ini tidaklah disebut tasybih. Karena ingatlah Allah
Ta’ala berfirman,
ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوهُ َو ال َّس ِمي ُع ْالب‬
‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Melihat.” (QS. Asy Syuro: 11)
Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan, “Seandainya menetapkan ketinggian bagi Allah
Ta’ala (di atas seluruh makhluk-Nya) bermakna tasybih (menyerupakan Allah dengan
makhluk), maka setiap orang yang menetapkan sifat yang lainnya bagi Allah Ta’ala seperti
menetapkan bahwa Allah itu Qodir (Maha Kuasa), Allah itu saami’ (Maha Mendengar) atau
Allah itu bashiir (Maha Mendengar), orang-orang yang menetapkan seperti ini juga
haruslah disebut musyabbihah. Namun tidak seorang muslim pun pada hari ini yang
mereka menisbatkan diri pada Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan bahwa orang yang
menetapkan sifat-sifat tadi bagi Allah adalah musyabbihah (melakukan tasybih atau
menyerupakan Allah dengan makhluk), berbeda dengan para penolak sifat Allah yaitu
Mu’atzilah, dll.”[7]
Ringkasnya, jika kita yang menyatakan Allah di atas langit adalah musyabbihah, maka
seharusnya engkau katakan pula pada orang-orang yang menetapkan sifat mendengar,
melihat, bahkan sifat wujud adalah musyabbihah karena sifat-sifat ini juga ada pada
makhluk. Namun, pasti engkau akan mengelak, tidak mau mengatakan demikian.
Jadi, jika kami mengatakan bahwa Allah di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya, itu
bukanlah berarti Allah serupa dengan makhluk. Jadi kami yang menetapkan sifat
bukanlah musyabbihah, seperti kleim Anda.
Justru orang yang menolak sifat Allah atau mengatakan, ‘Allah tidak berada di atas langit’,
karena tidak boleh kita pahami ayat-ayat yang menyatakan demikian secara zhohirnya,
namun makna yang lainnya’; mereka itulah sebenarnya musyabbihah? Kok, tuduhan ini bisa
berbalik?
Ini buktinya. Perlu diketahui bahwa setiap orang yang menolak sifat Allah (mu’athilah)
sebelumnya mereka terlebih dahulu menyerupakan sifat Allah dengan makhluk
(melakukan tasybih). Sebelumnya mereka berpikir, “Kalau kita menetapkan sifat tangan,
wajah, dan sifat lainnya bagi Allah, maka ini sama saja kita menyerupakan Allah dengan
makhluk”. Lalu agar sifat Allah tidak sama dengan makhluk, setelah itu mereka menolak
sifat Allah, yaitu menolak sifat tangan, wajah, dan sifat lainnya. Inilah pemikiran mu’athilah
(para penolak sifat) pertama kali. Sehingga para ulama mengatakan, “Kullu mu’athil
musyabbih”, yaitu setiap orang yang menolak sifat Allah, mereka juga adalah orang yang

[77]
menyerupakan Allah dengan makhluk (melakukan tasybih). Karena takut menyerupakan
Allah, akhirnya mereka menolak sifat Allah. Jadi siapakah sebenarnya
yang musyabbihah atau mujassimah?
Nantikan serial selanjutnya dari pembahasan ini mengenai berbagai dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah tentang keberadaan Allah di atas langit.

Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga Allah mudahkan untuk pembahasan selanjutnya.
 

[1] Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Ibnu Taimiyah, hal. 8, Darul
‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1426 H
[2] Aqowiluts Tsiqoot fii Ta’wilil Al Asma’ wa Ash Shifaat wal ayat Al Muhkamat wal
Mutasyabihaat, Mar’i bin Yusuf Al Hambali Al Maqdisi, Tahqiq: Syu’aib Al Arnauth, hal. 234,
Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1406 H.
[3] Penjelasan ini kami sarikan dari Taqribut Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin, hal. 45-46, Darul Atsar, cetakan pertama, tahun 1422 H.
[4] Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Al Hafizh Syamsuddin Adz Dzahaby,
Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 38, Al Maktab Al Islami, cetakan
kedua, 1412 H.
[5] Idem
[6] Taqribut Tadmuriyah, hal. 46
[7] Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 67.

Di Manakah Allah (2), 1000 Dalil Menunjukkan


Allah Di Atas Seluruh Makhluk-Nya

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in wa


man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.
Saat ini, kami akan tunjukkan berbagai dalil yang menyatakan bahwa Allah berada di atas
seluruh makhluk-Nya sebagai sanggahan untuk abusalafy yang  masih meragukan

[78]
keyakinan semacam ini. Ya Robbi, a’in ‘ala naili ridhoka (Wahai Rabbku, tolonglah aku
untuk menggapai ridho-Mu).
Ulama Besar Syafi’iyah Menyatakan Ada 1000 Dalil
Mengapa banyak yang mengaku sebagai Syafi’iyah malah jauh dari aqidah yang dipegang
oleh ulama Syafi’iyah. Coba perhatikan nukilan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni berikut.

َ ْ‫ق َوأَنَّهُ فَو‬


. ‫ق ِعبَ((ا ِد ِه‬ ِ ‫ تَدُلُّ َعلَى أَ َّن هَّللا َ تَ َعالَى عَا ٍل َعلَى ْالخَ ْل‬: ‫ فِي ْالقُرْ آ ِن ” أَ ْلفُ َدلِي ٍل ” أَوْ أَ ْزيَ ُد‬: ‫ب ال َّشافِ ِع ِّي‬
ِ ‫ال بَعْضُ أَ َكابِ ِر أَصْ َحا‬ َ َ‫ق‬
َ ِ‫ فِي ِه ” ثَاَل ثُ ِمائَ ِة ” َدلِي ٍل تَدُلُّ َعلَى َذل‬: ُ‫ال َغ ْي ُره‬
‫ك‬ َ َ‫َوق‬
“Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau
lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Dan
sebagian mereka lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.”[1]
Banyak yang mengaku Syafi’iyah namun menolak jika Allah dinyatakan berada di atas,
padahal keyakinan ini didukung oleh 1000 dalil. Sungguh aneh!

Bukti Terkuat dari Al Qur’an dan Hadits Nabawi


Selanjutnya kita akan melihat dalil-dalil yang kami olah dari penjelasan Ibnu Abil Izz Al
Hanafi rahimahullah dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah.[2] Ibnu Abil Izz Al
Hanafi rahimahullah mengatakan, “Dalil-dalil yang muhkam (yang begitu jelas)
menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Dalil-dalil ini hampir
mendekati 20 macam dalil”.[3] Ini baru macam dalil yang menunjukkan ketinggian Allah di
atas seluruh makhluk-Nya, belum lagi jika tiap macam dalil tersebut kita jabarkan satu per
satu. Jika macam dalil tersebut diperinci, boleh jadi mencapai 1000 dalil sebagaimana
disebutkan oleh ulama Syafi’iyah di atas. Selanjutnya kami akan menyebutkan macam-
macam dalil yang dimaksudkan Ibnu Abil Izz dan kami tambahkan dengan contoh dalil
yang ada. Semoga hal ini semakin membuka hati blogger abusalafy yang masih meragukan
hal ini.
Pertama: Dalil tegas yang menyatakan Allah berada di atas (dengan menggunakan
kata fawqo dan diawali huruf min). Seperti firman Allah,
‫يَ َخافُونَ َربَّهُم ِّمن فَوْ قِ ِه ْم‬
“Mereka takut kepada Rabb mereka yang (berada) di atas mereka.” (QS. An Nahl : 50)
Kedua: Dalil tegas yang menyatakan Allah berada di atas (dengan menggunakan
kata fawqo, tanpa diawali huruf min). Contohnya seperti firman Allah Ta’ala,
َ ْ‫َوهُ َو ْالقَا ِه ُر فَو‬
‫ق ِعبَا ِد ِه‬
“Dan Dialah yang berkuasa berada di atas hamba-hambaNya.” (QS. Al An’am : 18, 61)
Ketiga: Dalil tegas yang menyatakan sesuatu naik kepada-Nya (dengan menggunakan
kata ta’ruju). Contohnya adalah firman Allah Ta’ala,
[79]
‫تَ ْع ُر ُج ْال َماَل ئِ َكةُ َوالرُّ و ُح إِلَ ْي ِه‬
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabbnya.” (QS. Al Ma’arij : 4)
Keempat: Dalil tegas yang menyatakan sesuatu naik kepada-Nya (dengan menggunakan
kata sho’ada– yash’adu). Ini pasti menunjukkan bahwa Allah di atas sana dan tidak
mungkin Dia berada di bawah sebagaimana makhluk-Nya. Seperti firman Allah Ta’ala,
ُ‫إِلَ ْي ِه يَصْ َع ُد ْال َكلِ ُم الطَّيِّب‬
“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik.” (QS. Fathir: 10)
Terdapat pula contoh dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Umar.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ ‫اِتَّقُوْ ا َد ْع َوةَ ال َم‬
ٌ‫ظلُوْ ِم فَإِنَّهَا تَصْ ُع ُد إِلَى هللاِ َكأَنَّهَا َش َرا َرة‬
“Berhati-hatilah terhadap do’a orang yang terzholimi. Do’anya akan naik (dihadapkan) pada
Allah bagaikan percikan api.”[4] Yang dimaksud dengan ‘bagaikan percikan api’ adalah
cepat sampainya (cepat terkabul) karena do’a ini adalah do’a orang yang dalam keadaan
mendesak.[5]
Kelima: Dalil tegas yang menyatakan sebagian makhluk diangkat kepada-Nya (dengan
menggunakan kata rofa’a). Sesuatu yang diangkat kepada Allah pasti menunjukkan bahwa
Allah berada di atas sana.
Allah Ta’ala berfirman,
‫بَلْ َرفَ َعهُ هَّللا ُ إِلَ ْي ِه‬
“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya ..” (QS. An Nisa’ : 158)
Juga firman Allah Ta’ala,
َّ َ‫ك إِل‬
‫ي‬ َ ‫ك َو َرافِ ُع‬ َ َ‫إِ ْذ ق‬
َ ‫ال هَّللا ُ يَا ِعي َسى ِإنِّي ُمتَ َوفِّي‬
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu
kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku.” (QS. Ali Imron: 55)
Keenam: Dalil tegas yang menyatakan ‘uluw (ketinggian) Allah secara mutlak. ‘Uluw
(ketinggian) Allah ini mencakup ketinggian secara dzat (artinya Dzat Allah berada di atas),
qodr (artinya Allah Maha Tinggi dalam Kehendak-Nya) , dan syarf (artinya Allah Maha
Tinggi dalam sifat-sifat-Nya). Seperti firman Allah Ta’ala (pada ayat kursi),
‫َوهُ َو ْال َعلِ ُّي ْال َع ِظي ُم‬
“Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Baqarah : 255)
Begitu pula dalam ayat,

‫َوهُ َو ْال َعلِ ُّي ْال َكبِي ُر‬


“Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Saba’ : 23)
‫إِنَّهُ َعلِ ٌّي َح ِكي ٌم‬
“Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Asy Syura: 51)
[80]
Juga kita sering mengucapkan dzikir berikut ketika sujud,

‫ُسب َْحانَ َرب َِّى األَ ْعلَى‬


“Maha suci Rabbku Yang Maha Tinggi.”[6]
Dalil-dalil yang menyatakan Allah ‘Maha Tinggi’ di sini sudah termasuk menyatakan bahwa
Allah Maha Tinggi secara Dzat-Nya yaitu Allah berada di atas.
Ketujuh: Dalil yang menyatakan Al Kitab (Al Qur’an) diturunkan dari sisi-Nya. Sesuatu
yang diturunkan pasti dari atas ke bawah. Firman Allah Ta’ala yang menjelaskan hal ini,
‫يز ْال َح ِك ِيم‬
ِ ‫ب ِمنَ هَّللا ِ ْال َع ِز‬
ِ ‫تَ ْن ِزي ُل ْال ِكتَا‬
“Kitab (Al Qur’an ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Az Zumar : 1)
‫يز ْال َعلِ ِيم‬
ِ ‫ب ِمنَ هَّللا ِ ْال َع ِز‬
ِ ‫تَ ْن ِزي ُل ْال ِكتَا‬
“Diturunkan Kitab ini (Al Quran) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS.
Ghafir: 2)
‫تَ ْن ِزي ٌل ِمنَ الرَّحْ َم ِن ال َّر ِح ِيم‬
“Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushshilat: 2)
‫تَ ْن ِزي ٌل ِم ْن َح ِك ٍيم َح ِمي ٍد‬
“Yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat: 42)
ِّ ‫ك بِ ْال َح‬
‫ق‬ ِ ‫قُلْ نَ َّزلَهُ رُو ُح ْالقُد‬
َ ِّ‫ُس ِم ْن َرب‬
“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar.”
(QS. An Nahl: 102)
َ‫إِنَّا أَ ْن َز ْلنَاهُ فِي لَ ْيلَ ٍة ُمبَا َر َك ٍة إِنَّا ُكنَّا ُم ْن ِذ ِرين‬
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya
Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan : 3)
Kedelapan: Dalil tegas yang mengkhususkan sebagian makhluk dikatakan berada di sisi
Allah dan dalil yang menunjukkan sebagian makhluk lebih dekat dari yang lainnya.
Contohnya adalah firman Allah Ta’ala,
َ ِّ‫إِ َّن الَّ ِذينَ ِع ْن َد َرب‬
‫ك‬
“Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu.” (QS. Al A’rof: 206)
Begitu pula contohnya dalam firman Allah Ta’ala,

ِ ْ‫ت َواأْل َر‬


ُ‫ض َو َم ْن ِع ْن َده‬ ِ ‫َولَهُ َم ْن فِي ال َّس َما َوا‬
“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di
sisi-Nya” (QS. Al Anbiya’: 19). Lihatlah dalam ayat ini Allah membedakan kalimat “man lahu
…” yang menunjukkan kepemilikan Allah secara umum dan kalimat “man ‘indahu …” yang
menunjukkan malaikat dan hamba-Nya yang berada khusus di sisi-Nya.
Contoh lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
[81]
‫َضبِى‬
َ ‫تغ‬ ِ ْ‫ق ْال َعر‬
ْ َ‫ش إِ َّن َرحْ َمتِى َغلَب‬ َ ْ‫ فَ ْه َو ِع ْن َدهُ فَو‬، ‫َب فِى ِكتَابِ ِه‬ َ ‫ضى هَّللا ُ ْالخ َْل‬
َ ‫ق َكت‬ َ َ‫لَ َّما ق‬
“Ketika Allah menetapkan ketentuan bagi makhluk-Nya, Dia menulis dalam kitab-Nya:
Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku. Kitab tersebut berada di sisi-Nya yang
berada di atas ‘Arsy.”[7]
Kesembilan: Dalil tegas yang menyatakan Allah fis sama’. Menurut Ahlus Sunnah,
maksud fis sama’ di sini ada dua:
 Fi di sini bermakna ‘ala, artinya di atas. Sehingga makna fis sama’ adalah di atas
langit.
 Sama’ di sini bermakna ketinggian (al ‘uluw). Sehingga makna fis sama’ adalah di
ketinggian.
Dua makna di atas tidaklah bertentangan. Sehingga dari sini jangan dipahami bahwa
makna “fis samaa’ (di langit)” adalah di dalam langit sebagaimana sangkaan sebagian
orang. Makna “fis samaa’ ” adalah sebagaimana yang ditunjukkan di atas.
Contoh dalil tersebut adalah firman Allah Ta’ala,

َ ْ‫أَأَ ِم ْنتُ ْم َم ْن فِي ال َّس َما ِء أَ ْن يَ ْخ ِسفَ بِ ُك ُم اأْل َر‬


‫ض فَإ ِ َذا ِه َي تَ ُمو ُر‬
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di (atas) langit bahwa Dia
akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
bergoncang?” (QS. Al Mulk : 16)
Juga terdapat dalam hadits,

ِ ْ‫َّاح ُمونَ يَرْ َح ُمهُ ُم الرَّحْ َمنُ ارْ َح ُموا أَ ْه َل األَر‬


‫ض يَرْ َح ْم ُك ْم َم ْن فِى ال َّس َما ِء‬ ِ ‫الر‬
“Orang-orang yang penyayang akan disayang oleh Ar Rahman. Sayangilah penduduk bumi,
niscaya (Rabb) yang berada di atas langit akan menyayangi kalian.”[8]
Kesepuluh: Dalil tegas yang menyatakan abhwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas
‘Arsy. ‘Arsy adalah makhluk Allah yang paling tinggi. Contoh ayat tersebut adalah,
ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬
‫ش ا ْستَ َوى‬
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah. Yang beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy .” (QS.
Thoha : 5)
Kesebelas: Dalil yang menunjukkan disyariatkannya mengangkat tangan ketika berdo’a.
Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ِ ‫إِ َّن َربَّ ُك ْم تَبَا َركَ َوتَ َعالَى َحيِ ٌّى َك ِري ٌم يَ ْستَحْ يِى ِم ْن َع ْب ِد ِه ِإ َذا َرفَ َع يَ َد ْي ِه إِلَ ْي ِه أَ ْن يَ ُر َّدهُ َما‬
‫ص ْفرًا‬
“Sesungguhnya Rabb kalian –Tabaroka wa Ta’ala- Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu
pada hamba-Nya, jika hamba tersebut mengangkat tangannya kepada-Nya, lalu Allah
mengembalikannya dalam keadaan hampa.”[9]

[82]
Keduabelas: Dalil yang menyatakan bahwa Allah turun ke langit dunia di setiap malam.
Semua orang sudah mengetahui bahwa turun adalah dari atas ke bawah. Hal ini
sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits muttafaqun ‘alaih,
ُ‫يب لَهُ َم ْن يَ ْس (أَلُنِى فَأ ُ ْع ِطيَ (ه‬
َ ‫ث اللَّ ْي ِل اآل ِخ ُر يَقُو ُل َم ْن يَ ْدعُونِى فَأ َ ْستَ ِج‬
ُ ُ‫ك َوتَ َعالَى ُك َّل لَ ْيلَ ٍة ِإلَى ال َّس َما ِء ال ُّد ْنيَا ِحينَ يَ ْبقَى ثُل‬ َ ‫يَ ْن ِز ُل َربُّنَا تَبَا َر‬
ُ‫َم ْن يَ ْستَ ْغفِ ُرنِى فَأ َ ْغفِ َر لَه‬
“Rabb kami –Tabaroka wa Ta’ala turun setiap malamnya ke langit dunia. Hingga ketika
tersisa sepertiga malam terakhir, Allah berfirman, ‘Siapa saja yang berdo’a pada-Ku, niscaya
Aku akan mengabulkannya. Siapa saja yang meminta pada-Ku, niscaya Aku akan
memberinya. Siapa saja yang memohon ampunan pada-Ku, niscaya Aku akan
mengampuninya’.”[10]
Ketigabelas: Isyarat dengan menunjuk ke langit yang menunjukkan bahwa Allah berada di
atas. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim dalam hadits yang cukup
panjang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika manusia berkumpul dengan
jumlah yang amat banyak, di hari yang mulia dan di tempat yang mulia.
ْ ‫اس « اللَّهُ َّم ا ْشهَ ِد اللَّهُ َّم‬
.» ‫اش (هَ ْد‬ َ َ‫ك قَ ْد بَلَّ ْغتَ َوأَ َّديْتَ َون‬
ِ َّ‫ فَقَا َل بِإِصْ بَ ِع ِه ال َّسبَّابَ ِة يَرْ فَ ُعهَا إِلَى ال َّس َما ِء َويَ ْن ُكتُهَا إِلَى الن‬. َ‫صحْ ت‬ َ َّ‫قَالُوا نَ ْشهَ ُد أَن‬
‫ت‬ َ َ‫ثَال‬
ٍ ‫ث َمرَّا‬
Mereka yang hadir berkata, “Kami benar-benar bersaksi bahwa engkau telah
menyampaikan, menunaikan dan menyampaikan nasehat.”  Sambil beliau berisyarat
dengan jari telunjuknya yang diarahkan ke langit lalu beliau berkata pada manusia, “Ya
Allah, saksikanlah (beliau menyebutnya tiga kali).”[11]
Keempatbelas: Dalil yang menanyakan ‘aynallah’ (di mana Allah?).
Contohnya dalil dari hadits Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulamiy dengan lafazh dari
Muslim,

“Saya memiliki seorang budak yang biasa mengembalakan kambingku sebelum di daerah
antara Uhud dan Al Jawaniyyah (daerah di dekat Uhud, utara Madinah, pen). Lalu pada suatu
hari dia berbuat suatu kesalahan, dia pergi membawa seekor kambing. Saya adalah
manusia, yang tentu juga bisa timbul marah. Lantas aku menamparnya, lalu mendatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkara ini masih mengkhawatirkanku. Aku
lantas berbicara pada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus membebaskan budakku
ini?” “Bawa dia padaku,” beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berujar. Kemudian aku segera
membawanya menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bertanya pada budakku ini,
ُ ‫أَ ْينَ هَّللا‬
“Di mana Allah?”
Dia menjawab,
[83]
‫فِى ال َّس َما ِء‬
“Di atas langit.”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa saya?” Budakku menjawab,
“Engkau adalah Rasulullah.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ٌ‫أَ ْعتِ ْقهَا فَإِنَّهَا ُم ْؤ ِمنَة‬
“Merdekakanlah dia karena dia adalah seorang mukmin.”[12]
Adz Dzahabi mengatakan, “Inilah pendapat kami bahwa siapa saja yang ditanyakan di
mana Allah, maka akan dibayangkan dengan fitrohnya bahwa Allah di atas langit. Jadi
dalam riwayat ini ada dua permasalahan: [1] Diperbolehkannya seseorang menanyakan,
“Di manakah Allah?” dan [2] Orang yang ditanya harus menjawab, “Di atas langit”.” Lantas
Adz Dzahabi mengatakan, “Barangsiapa mengingkari dua permasalah ini berarti dia telah
menyalahkan Musthofa (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [13]
Kelimabelas: Dalil yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam membenarkan orang yang menyatakan bahwa Rabbnya di atas langit dan beliau
menyatakan orang tersebut beriman. Contohnya adalah sebagaimana hadits Jariyah yang
disebutkan pada point keempatbelas.
Keenambelas: Dalil yang menyatakan bahwa Allah menceritakan mengenai Fir’aun yang
ingin menggunakan tangga ke arah langit agar dapat melihat Tuhannya Musa. Lalu Fir’aun
mengingkari keyakinan Musa mengenai keberadaan Allah di atas langit..
Allah Ta’ala berfirman,
‫ت فَأَطَّلِ َع إِلَى إِلَ ِه ُمو َسى َوإِنِّي أَل َظُنُّهُ َكا ِذبًا‬ َ َ‫) أَ ْسب‬36( ‫اب‬
َ ‫اب ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬ َ َ‫صرْ حًا لَ َعلِّي أَ ْبلُ ُغ اأْل َ ْسب‬ َ َ‫َوق‬
َ ‫ال فِرْ عَوْ نُ يَا هَا َمانُ ا ْب ِن ِلي‬
“Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi
supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat
Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”.” (QS. Al Mu’min: 36-
37)
Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di
atas langit, mereka yang senyatanya pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan
ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut
Muhammad.” [14]
Ketujuhbelas: Berita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menceritakan bahwa
beliau bolak-balik menemui Nabi Musa ‘alaihis salam dan Allah ketika peristiwa Isro’
Mi’roj. Ketika itu beliau meminta agar shalat menjadi diperingan. Beliau pun naik
menghadap Allah dan balik kembali kepada Musa berulang kali.[15]
Peristiwa Isro’ Mi’roj ini secara jelas menunjukkan Allah itu di atas.

[84]
Kedelapanbelas: Berbagai macam dalil Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan
bahwa penduduk surga melihat Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengabarkan bahwa penduduk surga tersebut melihat Allah sebagaimana mereka
melihat rembulan di malam purnama tanpa dihalangi oleh awan. Penduduk surga tersebut
melihat Allah dan Allah berada di atas mereka.
Demikian pemaparan mengenai macam-macam dalil yang mendukung Allah berada di atas
seluruh makhluk-Nya dan bukan di mana-mana sebagaimana klaim sebagian orang yang
keliru dan salah paham.

Mengkritisi Lagi AbuSalafy


Setelah pemaparan berbagai dalil yang begitu banyak yang membuktikan bahwa Allah itu
berada di atas seluruh makhluk-Nya, maka kami akan mengajukan beberapa kritikan lagi
kepada abusalafy dalam tulisannya  “Kritik Atas Akidah Ketuhanan ala Wahabi Salafy “.
Intinya kesimpulan beliau adalah Allah ada tanpa tempat. Jadi, beliau menolak menyatakan
Allah berada di atas langit dengan berbagai argumen yang ia kemukakan.
Kritik pertama:
Di antara argumen abusalafy, beliau menolak shahihnya hadits Jariyah yaitu hadits dari
Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulamiy yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada
budaknya di manakah Allah, dengan alasan hadits tersebut mudhthorib, sehingga beliau
katakan bahwa redaksi pertanyaan di manakah Allah bukan redaksi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, namun ada tambahan dari perowi.
Sebagai jawaban, walaupun kami memang perlu membahas tentang mudhthorib yang
beliau tuduhkan, ringkasnya kami sanggah: Taruhlah jika hadits jariyah yang ditanya di
manakah Allah itu lemah (dhoif), lantas bagaimana dengan dalil Al Qur’an dan Hadits
Nabawi lainnya yang menyatakan secara tegas Allah di atas seluruh makhluk-Nya? Dalil-
dalil ini mau diletakkan di mana? Ataukah mau ditakwil (diselewengkan maknanya) lagi?
Jika ingin menyelewengkan makna dari berbagai dalil yang menyatakan Allah di atas, maka
sudah cukup sanggahan kami dalam tulisan pertama sebagai sanggahan telak baginya.
Silakan rujuk kembali dalam tulisan tersebut.
Kritik kedua:
Beliau –abusalafy- menyatakan sendiri, “Keyakinan bahwa Allah itu berada di langit adalah
keyakinan Fir’aun yang telah dikecam habis Al Qur’an. Allah berfirman,

. َ‫ت فَأَطَّلِ َع إِلى إِل ِه ُموس((ى َو إِنِّي أَل َظُنُّهُ كا ِذب (ا ً َو َك((ذلِك‬ َ ‫ْباب * أَس‬
ِ ‫ْباب السَّماوا‬ َ ‫صرْ حا ً لَ َعلِّي أَ ْبلُ ُغ اأْل َس‬
َ ‫قال فِرْ عَوْ نُ يا هامانُ ا ْب ِن لي‬
َ ‫َو‬
ٍ ‫َّبيل َو ما َك ْي ُد فِرْ عَوْ نَ إِالَّ في تَبا‬
‫ب‬ ُ ‫ ُزيِّنَ لِفِرْ عَوْ نَ سُو ُء َع َملِ ِه َو‬.
ِ ‫ص َّد َع ِن الس‬

[85]
“Dan berkatalah Firaun:” Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi
supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat
Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.” Demikianlah
dijadikan Fir’aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan
(yang benar); dan tipu daya Fir’un itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.”
(QS.Ghafir/Al Mu’min: 36-37)”
Ini tafsiran dari mana? Bukankah Fir’aun sendiri yang mengingkari keyakinan Nabi Musa
yang menyatakan Allah berada di atas langit? Jadi Fir’aun yang sebenarnya mengingkari
Allah di atas langit. Lantas dari mana dikatakan bahwa itu keyakinan Fir’aun? Sungguh ini
tuduhan tanpa bukti. Beliau belum menunjukkan bukti sama sekali tentang tuduhannya
tersebut. Beliau mungkin saja yang salah paham sehingga pemahamannya pun jauh dengan
yang dipahami ulama besar semacam Ibnu Abil Izz Al Hanafi. Lihat sekali lagi perkataann
Ibnu Abil Izz tentang ayat tersebut. Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Mereka jahmiyah yang
mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit, mereka yang senyatanya pengikut
Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah
pengikut Musa dan pengikut Muhammad.” Dan Ibnu Abil Izz sebelumnya mengatakan,
“Fir’aun itu mengingkari Musa yang mengabarkan bahwa Rabbnya berada di atas
langit.”[16] Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni juga mengatakan,
َ ْ‫إن هَّللا َ فَو‬
ِ ‫ق ال َّس َم َوا‬
‫ت‬ َ ‫َك َّذ‬
َّ ‫ب ُمو َسى فِي قَوْ لِ ِه‬
“Fir’aun mengingkari Musa, di mana Musa mengatakan bahwa Allah berada di atas
langit.”[17]
Dari sini silakan pembaca menilai siapakah sebenarnya yang jadi pengikut Fir’aun.

Agar tidak terlalu panjang lebar dalam tulisan kedua ini, kami akan melanjutkannya dalam
tulisan serial ketiga. Masih banyak syubhat-syubhat yang mesti disanggah yang nanti kami
akan kupas dalam tulisan selanjutnya. Dalam serial ketiga, insya Allah kami akan
membahas keyakinan para sahabat, ulama madzhab serta ulama besar lainnya yang
semuanya mendukung bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya.
Semoga Allah mudahkan untuk pembahasan selanjutnya. Hanya Allah yang memberi taufik.
 

[1] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/121, Darul Wafa’, cetakan
ketiga, tahun 1426 H. Lihat pula Bayanu Talbisil Jahmiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al
Haroni, 1/555, Mathba’atul Hukumah, cetakan pertama, tahun 1392 H.

[86]
[2] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Ibnu Abil Izz Al Hanafi, Dita’liq oleh Dr. Abdullah
bin Abdul Muhsin At Turki dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth, 2/437-442, Muassasah Ar
Risalah, cetakan kedua, tahun 1421 H.
[3] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/437.
[4] HR. Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih dalam Silsilah Ash
Shohihah no. 871.
[5] Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, Al Munawi, 1/184, Mawqi’ Ya’sub.
[6] HR. Muslim no. 772.
[7] HR. Bukhari no. 3194 dan Muslim no. 2751.
[8] HR. Abu Daud no. 4941 dan At Tirmidzi no. 1924. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shohih
[9] HR. Abu Daud no. 1488. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud
mengatakan bahwa hadits ini shohih
[10] HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758
[11] HR. Muslim no.1218.
[12] HR. Ahmad [5/447], Malik dalam Al Muwatho’ [666], Muslim [537], Abu Daud [3282],
An Nasa’i dalam Al Mujtaba’ [3/15], Ibnu Khuzaimah [178-180], Ibnu Abi ‘Ashim dalam As
Sunnah [1/215], Al Lalika’iy dalam Ushul Ahlis Sunnah [3/392], Adz Dzahabi dalam Al
‘Uluw [81]
[13] Mukhtashor Al ‘Uluw, Syaikh Al Albani, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani, hal. 81, Al Maktab Al Islamiy, cetakan kedua, 1412 H
[14] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/441.
[15] Hadits Muttafaqun ‘alaih, riwayat Bukhari Muslim.
[16] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/441.
[17] Majmu’ Al Fatawa, 3/225

[87]
Di Manakah Allah (3), Para Sahabat dan Tabi’in
Menyatakan Allah Di Atas Seluruh Makhluk-Nya

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi


ajma’in. Para pengunjung Rumaysho.com yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala. Dalam
serial pertama kami telah mengupas sedikit mengenai keyakinan terhadap nama dan sifat
Allah. Dalam serial kedua kami melanjutkan pembuktian mengenai keberadaan Allah di
atas seluruh makhluk-Nya. Sedangkan dalam serial ketiga ini kami akan membuktikan
melalui atsar para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in mengenai
keberadaan Allah di atas seluruh makhluk-Nya yang menjadi keyakinan yang disepakati
oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Semoga pembahasan ini dapat membuka
hati abusalafy dan orang-orang semisalnya yang masih meragukan keberadaan Allah di
atas seluruh makhluk-Nya.
Kesaksian Para Sahabat radhiyallahu ‘anhum
Pertama: Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma membenarkan seorang pengembala yang
meyakini Rabbnya di atas langit.
Dalam hadits Zaid bin Aslam, dia berkata,

‫ قال فرفع رأسه إلى الس((ماء وق((ال‬ ‫مر ابن عمر براع فقال هل من جزرة فقال ليس هاهنا ربها قال ابن عمر تقول له أكلها الذئب‬
‫فأين هللا فقال ابن عمر أنا وهللا أحق أن أقول أين هللا واشترى الراعي والغنم فأعتقه وأعطاه الغنم‬
“(Suatu saat) Ibnu ‘Umar melewati seorang pengembala. Lalu beliau berkata,  “Adakah
hewan yang bisa disembelih?” Pengembala tadi mengatakan, “Pemiliknya tidak ada di sini.”
Ibnu Umar mengatakan, “Katakan saja pada pemiliknya bahwa ada serigala yang telah
memakannya.” Kemudian pengembala tersebut menghadapkan kepalanya ke langit. Lantas
mengajukan pertanyaan pada Ibnu Umar, ”Lalu di manakah Allah?”Ibnu ‘Umar malah
mengatakan, “Demi Allah, seharusnya aku yang berhak menanyakan padamu ‘Di mana
Allah?’.”
Kemudian setelah Ibnu Umar melihat keimanan pengembala ini, dia lantas membelinya,
juga dengan hewan gembalaannya (dari Tuannya). Kemudian Ibnu Umar membebaskan
pengembala tadi dan memberikan hewan gembalaan tadi pada pengembara tersebut.[1]
Kedua: Ibnu ‘Abbas meyakini Allah berada di atas langit yang tujuh.
Ibnu Abbas menemui ‘Aisyah ketika ia baru saja mati. Ibnu Abbas berkata padanya,

‫كنت أحب نساء رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ولم يكن يحب إال طيبا وأنزل هللا براءتك من فوق سبع سموات‬
[88]
“Engkau adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidaklah engkau dicintai melainkan kebaikan (yang ada padamu). Allah pun menurunkan
perihal kesucianmu dari atas langit yang tujuh.”[2]
Begitu pula dalam riwayat lainnya, dari Ibnul Mubarok, dari Sulaiman At Taimi, dari
Nadhroh, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
‫ينادي مناد بين يدي الساعة أتتكم الساعة – فيسمعه األحياء واألموات – ثم ينزل هللا إلى السماء الدنيا‬

“Ketika hari kiamat ada yang menyeru, “Apakah datang pada kalian hari kiamat?” Orang
yang hidup dan mati pun mendengar hal tersebut, kemudian Allah pun turun ke langit
dunia.”[3]
Dalam riwayat lainnya, Ibnu ‘Abbas mengatakan,

‫إذا نزل الوحي سمعت المالئكة صوتا كصوت الحديد‬

“Jika wahyu turun, aku mendengar malaikat bersuara seperti suara besi.”[4] Jika dikatakan
bahwa wahyu itu turun dan wahyu itu dari Allah, ini menunjukkan bahwa Allah berada di
atas karena sesuatu yang turunn pasti dari atas ke bawah.
Penulis berkata, “Dan banyak sekali perkataan sahabat yang menunjukkan bahwa mereka
meyakini bahwa Allah berada di atas langit di atas ‘Arsy yaitu dapat dilihat dari hadits-
hadits yang mereka bawakan sebagaimana ditunjukkan dalam  pembahasan kami serial
kedua. Karena bagaimana mungkin para sahabat tersebut membawakan hadits tersebut
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka tidak memahami dan meyakininya.”
Kesaksian Para Tabi’in rahimahumullah
Pertama: Pengakuan Ka’ab Al Ahbar[5] rahimahullah tentang pembicaraan keberadaan
Allah dalam taurat
Dari Ka’ab Al Ahbar berkata bahwa Allah ‘azza wa jalla dalam taurat berfirman,

‫أنا هللا ف((وق عب((ادي وعرش(ي ف((وق جمي((ع خلقي وأن(ا على عرش(ي أدب((ر أم((ور عب((ادي وال يخفى علي ش(يء في الس(ماء وال في‬
‫األرض‬
“Sesungguhnya Aku adalah Allah. Aku berada di atas seluruh hamba-Ku. ‘Arsy-Ku berada di
atas seluruh makhluk-Ku. Aku berada di atas ‘Arsyku. Aku-lah pengatur seluruh urusan
hamba-Ku. Segala sesuatu di langit maupun di bumi tidaklah samar bagi-Ku. ”[6]
Kedua: Masruq[7] rahimahullah mengakui Allah berada di atas langit yang tujuh
Masruq rahimahullah menceritakan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
.‫ المبرأة من فوق سبع سموات‬،‫حدثتني الصديقة بنت الصديق حبيبة حبيب هللا‬

[89]
“’Aisyah -wanita yang shidiq anak dari orang yang shidiq (Abu Bakr), kekasih di antara
kekasih Allah, yang disucikan oleh Allah yang berada  di atas langit yang tujuh.”[8]
Ketiga: ‘Ubaid bin ‘Umair[9] menceritakan bahwa Allah turun ke langit duni pada sepertiga
malam terakhir.
‘Ubaid bin ‘Umair rahimahullah mengatakan,
‫ينزل الرب عزوجل شطر الليل إلى السماء الدنيا فيقول من يسألني فأعطيه من يستغفرني ف(أغفر ل((ه ح(تى إذا ك((ان الفج(ر ص((عد‬
‫الرب عزوجل أخرجه عبد هللا بن اإلمام أحمد في كتاب الرد على الجهمية تصنيفه‬
“Allah ‘azza wa jalla turun ke langit dunia pada separuh malam. Lalu Allah berkata, “Siapa
saja yang memohon kepada-Ku, maka akan Kuberi. Siapa saja yang meminta ampun kepada-
Ku, maka akan Kuampuni.” Jika fajar telah terbit, Allah pun naik.” Dikeluarkan oleh
‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam kitab karyanya yang berisi bantahan terhadap Jahmiyah.
[10]
Keempat: Qotadah As Sadusi[11] rahimahullah menceritakan tentang pengakuan Bani
Israil.
Qotadah rahimahullah mengatakan bahwa Bani Israil berkata,
‫يا رب أنت في السماء ونحن في األرض فكيف لنا أن نعرف رض((اك وغض((بك ق((ال إذا رض((يت اس((تعملت عنكم عليكم خي((اركم‬
‫وإذا غضبت إستعلمت عليكم شراركم هذا ثابت عن قتادة أحد الحفاظ الكبار‬
“Wahai Rabb, Engkau di atas langit dan kami di bumi, bagaimana kami bias tahu jika
Engkau ridho dan Engkau murka?” Allah Ta’ala berfirman, “Jika Aku ridho, maka Aku akan
memberikan kebaikan pada kalian. Dan jika Aku murka, maka Aku akan menimpakan
kejelekan pada kalian.”[12]
Kelima: Malik bin Dinar mengakui Al Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) dari atas
‘Arsy
Dari Malik bin Dinar, beliau berkata,

‫ إسمعوا إلى قول الصادق من فوق عرشه‬: ‫خذوا فيقرأ ثم يقول‬


“Ambillah (Al Qur’an) ini. Lalu beliau membacanya, kemudian beliau mengatakan,
‘Hendaklah kalian mendengar perkataan Ash Shodiq (Yang Maha Jujur yaitu Allah) dari
atas ‘Arsy-Nya’.”[13]
Keenam: Ulama besar Bashroh (Sulaiman At Taimiy) ketika ditanyakan mengenai
keberadaan Allah
Harun bin Ma’ruf mengatakan, Dhomroh mengatakan pada kami dari Shodaqoh, dia
berkata bahwa dia mendengar Sulaiman At Taimiy berkata,

‫لو سئلت أين هللا لقلت في السماء‬

[90]
“Seandainya aku ditanyakan di manakah Allah, maka aku menjawab (Allah berada) di atas
langit.”[14]
Ketujuh: Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman[15] rahimahullah ditanyakan mengenai istiwa’.
Sufyan Ats Tsauriy mengatakan bahwa ia pernah suatu saat berada di sisi Robi’ah bin Abi
‘Abdirrahman kemudian ada seseorang yang bertanya pada beliau,

‫الرحمن على العرش استوى كيف استوى‬


“Ar Rahman (yaitu Allah) beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, lalu bagaimana Allah
beristiwa’?” Robi’ah menjawab,

‫اإلستواء غير مجهول والكيف غير معقول ومن هللا الرسالة وعلى الرسول البالغ وعلينا التصديق‬
“Istiwa’ itu sudah jelas maknanya. Sedangkan hakikat dari istiwa’ tidak bisa digambarkan.
Risalah (wahyu) dari Allah, tugas Rasul hanya menyampaikan, sedangkan kita wajib
membenarkan (wahyu tersebut).”[16]
Kedelapan: Ayyub As Sikhtiyani[17] rahimahullah menanggapi orang yang mengatakan di
atas langit tidak ada sesuatu pun.
Hamad bin Zaid mengatakan bahwa ia mendengar Ayyub As Sikhtiyani berbicara mengenai
Mu’tazilah,

‫إنما مدار القوم على أن يقولوا ليس في السماء شيء‬


“Mu’tazilah adalah asal muasal kaum yang mengatakan bahwa di atas langit tidak ada
sesuatu apa pun.”[18]
Penulis berkata, “Lihatlah bagaimana kesamaan abusalafy dan orang-orang semacamnya
yang mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat. Atau mungkin mereka katakan bahwa
Allah itu ada, namun bukan di atas langit. Bukankah hal ini sama dengan pendahulu mereka
yaitu Mu’tazilah. Renungkanlah!”
Nantikan pembahasan kami selanjutnya. Kami akan menukil perkataan para ulama bahkan
ijma’ (konsensus) para ulama Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa Allah berada di atas
langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Semoga semakin terbuka hati orang yang masih
meragukan hal ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.


Diselesaikan di sore saat Allah memberi berkah air dari langit, di Pangukan-Sleman, 2
Rabi’uts Tsani 1431 H (17/03/2010)

[91]
[1] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 311. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad
riwayat ini jayyid sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 95, hal. 127.
[2] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 335.
[3] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 296. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad
riwayat ini shahih sesuai syarat Muslim sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 94,
hal. 126.
[4] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat
hadits ini tsiqoh (terpercaya) sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 93, hal. 126.
[5] Beliau adalah tabi’in senior termasuk thobaqoh kedua, meninggal dunia di akhir-akhir
khalifah ‘Utsman. Ibnu Hajar mengatakan bahwa beliau adalah perowi yang tsiqoh
(terpercaya).
[6] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 315. Adz Dzahabi mengatakan  bahwa sanadnya
shahih. Begitu pula Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusy Al Islamiyah mengatakan bahwa
riwayat ini shahih.
[7] Beliau adalah di antara kibar tabi’in (tabi’in senior), termasuk thobaqoh kedua. Ibnu
Hajar mengatakan bahwa ia maqbul (diterima).
[8] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 317. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat
ini shohih berdasarkan syarat Bukhari Muslim dan sanadnya sampai pada Abu Shofwan itu
shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 128.
[9] Beliau adalah di antara kibar tabi’in (tabi’in senior), termasuk thobaqoh kedua. Ibnu
Hajar mengatakan beliau disepakati ketsiqohannya.
[10] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 320.
[11] Beliau termasuk tabi’in, seorang pakar tafsir.
[12] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 336. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad
riwayat ini hasan. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 131.
[13] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 348. Adz Dzahabi mengatakan diriwayatkan
dalam Al Hilyah dengan sanad yang shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
mengatakan riwayat ini hasan saja termasuk murah hati. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal.
131.
[14] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
periwayat riwayat ini tsiqoh/terpercaya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 133.
[15] Beliau termasuk tabi’in junior dan merupakan guru Imam Malik.
[16] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 352. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat
ini shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 132.

[92]
[17] Beliau adalah seorang tabi’in junior, termasuk thobaqoh kelima. Beliau termasuk
ulama besar dan ahli ibadah.
[18] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 354.

Di Manakah Allah (4), Empat Imam Madzhab


Sepakat Bahwa Allah Berada di Atas Langit

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi


ajma’in. Para pengunjung Rumaysho.com yang semoga senantiasa mendapat penjagaan
Allah Ta’ala. Pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan kembali pembuktian
mengenai aqidah Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Yang kita
utarakan nanti adalah perkataan empat imam madzhab mengenai ideologi tersebut. Kita
dapat saksikan bahwa empat imam madzhab sepakat dalam hal ini dan orang-orang
semacam abusalafy yang menganut aqidah Jahmiyah yang melenceng jauh dari aqidah
mereka-mereka ini. Semoga Allah senantiasa memberi taufik.
Sikap Keras Abu Hanifah[1] Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah
Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar,
‫من انكر ان هللا تعالى في السماء فقد كفر‬

“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”[2]


Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar–[3], beliau
berkata,
‫سألت أبا حنيف((ة عمن يق(ول ال أع(رف ربي في الس(ماء أو في األرض فق(ال ق(د كف((ر ألن هللا تع((الى يق(ول ال(رحمن على الع(رش‬
‫ قال‬  ‫ فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال ال يدري العرش في السماء أو في األرض‬ ‫استوى وعرشه فوق سمواته‬
‫إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم‬

Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku
tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah
lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,

ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْستَ َوى‬
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”.[4] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut
mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi
[93]
orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas
mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”[5]
Imam Malik bin Anas[6], Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit
Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan
bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia
berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,

‫هللا في السماء وعلمه في كل مكان ال يخلو منه شيء‬

“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu
tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[7]
Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama
lainnya, mereka berkata,

‫جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد هللا الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من‬
‫مقالته وعاله الرحضاء يعني الع((رق وأط((رق الق((وم فس((ري عن مال((ك وق((ال الكي((ف غ((ير معق((ول واإلس((تواء من((ه غ((ير مجه((ول‬
‫واإليمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضاال وأمر به فأخرج‬

“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam
Malik), Allah Ta’ala berfirman,

ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْستَ َوى‬
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[8]. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?”
Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau
marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang
tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,
ًّ‫ضاال‬
َ َ‫ال َكيْفُ َغ ْي ُر َم ْعقُوْ ٍل َوا ِإل ْستِ َوا ُء ِم ْنهُ َغ ْي ُر َمجْ هُوْ ٍل َوا ِإل ْي َمانُ بِ ِه َوا ِجبٌ َوال ُّسؤَا ُل َع ْنهُ بِ ْد َعةٌ َوإِنِّي أَ َخافُ أَ ْن تَ ُكوْ ن‬
“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui
maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai
(hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian
orang tersebut diperintah untuk keluar.[9]
Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang
pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.

Imam Asy Syafi’i[10] -yang menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia


dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit

[94]
Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin
Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim
bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah
telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata,

‫القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث ال((ذين رأيتهم فأخ((ذت عنهم مث((ل س((فيان ومال((ك وغيرهم((ا‬
‫اإلقرار بشهادة ان الاله اال هللا وان محمدا رسول هللا وذكر شيئا ثم قال وان هللا على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كي((ف ش((اء‬
‫وان هللا تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر االعتقاد‬

“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya,
juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui
bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan,
“Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun
walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah
Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah
menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[11]
Imam Ahmad bin Hambal[12] Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas
‘Arsy-Nya
Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai
ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela
sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam
Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana
telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah
(Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh
makhluk-Nya).”[13]
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,

‫ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثالثه اال هو رابعهم قال علمه ع((الم الغيب والش((هاده علم((ه محي((ط بك((ل‬
‫شيء شاهد عالم الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بال حد وال صفه وسع كرسيه السموات واألرض‬

“Apa makna firman Allah,


‫َوهُ َو َم َع ُك ْم أَ ْينَ َما ُك ْنتُ ْم‬

“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.”[14]


‫َما يَ ُكونُ ِم ْن نَجْ َوى ثَاَل ثَ ٍة إِاَّل هُ َو َرابِ ُعهُ ْم‬
[95]
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.”[15]
Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang
ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang
tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan
ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun
meliputi langit dan bumi.”
Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,

‫قيل ألبي عبد هللا احمد بن حنبل هللا عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بك((ل مك((ان ق((ال نعم‬
‫على العرش و اليخلو منه مكان‬

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas
langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan
ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali.
Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[16]
Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan
padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok
ketika ada yang bertanya padanya,

‫كيف نعرف ربنا‬

“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab,

‫في السماء السابعة على عرشه‬

“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,

‫هكذا هو عندنا‬

“Begitu juga keyakinan kami.”[17]


Tidak Perlu Disangsikan Lagi
Itulah perkataan empat Imam Madzhab yang jelas-jelas perkataan mereka meyakini bahwa
Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Bahkan sebenarnya ini adalah
ijma’ yaitu kesepakatan atau konsensus seluruh ulama Ahlus Sunnah. Lantas mengapa
aqidah ini perlu diragukan oleh orang yang jauh dari kebenaran?

Ini bukti ijma’ ulama yang dibawakan oleh Ishaq bin Rohuwyah.

[96]
‫قال أبو بكر الخالل أنبأنا المروذي حدثنا محمد بن الصباح النيسابوري حدثنا أبو داود الخفاف سليمان بن داود ق((ال ق((ال إس((حاق‬
‫بن راهويه قال هللا تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل األرض‬
‫السابعة‬

“Abu Bakr Al Khollal mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau
katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah An Naisaburi. Beliau
katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau
katakana, Ishaq bin Rohuwyah berkata, “Allah Ta’ala berfirman,

ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْستَ َوى‬
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[18]. Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada
di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.[19]
Adz Dzahabi rahimahullah ketika membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau
rahimahullah mengatakan,

‫اسمع ويحك إلى هذا اإلمام كيف نقل اإلجماع على هذه المسألة كما نقله في زمانه قتيبة المذكور‬

“Dengarkanlah perkataan Imam yang satu ini. Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya
ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh
Qutaibah di masanya.”[20]
Sanggahan: Abu Salafy Cuma Asal Nuduh
Kami sedikit mencuplik ucapan beliau dalam postingan di blognya dengan judul “Kaum
Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Malik”. Beliau membawakan nukilan berikut ini
ketika menerangkan ucapan Imam Malik di atas.

Ibnu Lubbâ n dalam menafsirkan ucapan Imam Maliki di atas mengatakan, seperti
disebutkan dalam Ithâ f as Sâ dah al Muttaqîn,2/82:

‫كيف غير معقول أي كيف من صفات الحوادث وكل ما كان من صفات الحوادث فإثباته في صفات هللا تع((الى ين((افي م((ا يقتض((يه‬
‫ واإليم((ان ب((ه على الوج((ه‬، ‫ واالستواء غير مجهول أي أنه معلوم المعنى عند أهل اللغة‬: ‫ قوله‬، ‫العقل فيجزم بنفيه عن هللا تعالى‬
‫ والسؤال عنه بدعة ؛ أي حادث ألن الصحابة كانوا عالمين بمعن((اه الالئ((ق‬، ‫الالئق به تعالى واجب ؛ ألنه من اإليمان باهلل وبكتبه‬
‫ فلما جاء من لم يحط بأوضاع لغتهم وال له نور كنورهم يهدي(ه( لص(فات رب((ه يس(أل‬، ‫بحسب وضع اللغة فلم يحتاجوا للسؤال عنه‬
‫ فكان سؤاله سببا الشتباهه على الناس وزيغهم عن المراد‬،‫عن ذلك‬.

“Kaif tidak masuk akal, sebab ia termasuk sifat makhluk. Dan setiap sifat makhluk maka
jika ditetapkan menjadi sifat –ta’ala- pasti menyalai apa yang wajib bagi-Nya berdasarkan

[97]
hukum akal sehat, maka ia harus dipastikan untuk ditiadaakan dari Allah –ta’ala-. Ucapan
beliau, “Istiwâ ’ tidak majhû l” yaitu ia telah diketahui oleh ahli bahasa apa maknanya.
Beriman sesuai dengan makna yang layak bagi Allah adalah wajib hukumnya, sebab ia
termasuk beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya. Dan “bertanya tentangnya adalah
bid’ah” yaitu sesuatu yang dahulu tidak pernah muncul, sebab di masa sahabat, mereka
sudah mengetahui maknanya yang layak sesuai dengan pemaknaan bahasa. Karenanya
mereka tidak butuh untuk menanyakannya. Dan ketika datang orang yang tidak menguasai
penggunaan bahasa mereka dan tidak memiliki cahaya seperti cahaya para sahabat yang
akan membimbing mereka untuk mengenali sifat-sifat Tuhan mereka, muncullah
pertanyaan tentangnya. Dan pertanyaan itu menjadi sebab kekaburan atas manusia dan
penyimpangan mereka dari yang apa yang dimaksud.”
Diriwayatkan juga bahwa Imam Malik berkata:

‫ وكيف عنه مرفوع‬، ‫…الرحمن على العرش استوى كما وصف به نفسه وال يقال كيف‬

“Ar Rahmâ n di atas Arys beristiwâ ’ sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh
dikatakan: Bagaimana? Dan bagaimana itu terangkat dari-Nya… “ (Lebih lanjut baca: Ithâ f
as Sâ dah,2/82, Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu al Jawzi: 71-72)

Pernyataan di atas benar-benar tamparan keras ke atas wajah-wajah kaum Mujassimah!

Penulis berkata, “Perkataan Imam Malik itu benar adanya. Begitu pula penjelasan dari Ibnu
Lubban itu benar. Maksud perkataan mereka berdua adalah bahwa makna Istiwa’ itu sudah
diketahui, sedangkan bagaimana dan hakekat Allah itu beristiwa’ itu tidak diketahui karena
memang kita tidak diberitahu tentang hal tersebut. Kami khawatir abusalafy sendiri
sebenarnya tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh Imam Malik dan Ibnu Libban.
Sampai-sampai dalam tulisan lain abusalafy menuduh yang bukan-bukan. Dalam tulisan
lain yang abusalafy berkata:

Itulah yang benar-benar terjadi! Mazhab Wahhabi/Salafy “ngotot” menyebarkan dan


meyakinkan kaum Muslimin bahwa Allah itu berbentuk… bersemayam, duduk di atas Arsy-
Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan
bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai
bentuk binatang lain… dan lain sebagainya dari akidah ketuhanan yang menggambarkan 
Allah itu berbentuk dan menyandang sifat-sifat makhluk-Nya..

[98]
Penulis menjawab, “Siapa yang katakan bahwa sifat Allah itu dapat digambarkan
bentuknya? Mana buktinya?” Beliau juga menuduh kami, “Allah duduk di atas Arsy-Nya
yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan
bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai
bentuk binatang lain”. Penulis menjawab, “Mana buktinya kami pernah menyatakan
demikian? Dalam kitab mana? Ini sungguh tuduhan dan klaim dusta yang mengada-ada.
Beliau pun tidak berani menunjukkan bukti dari tuduhan yang beliau bawakan.”

Semoga beliau bisa membedakan menetapkan sifat Allah dan menyebutkan bagaimana
hakekat sifat tersebut. Coba renungkan dengan baik-baik perkataan Ishaq bin Rohuwyah
yang pernah kami bawakan di postingan pertama serial ini.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Yang disebut tasybih (menyerupakan Allah dengan
makhluk), jika kita mengatakan, ‘Tangan Allah sama dengan tanganku atau pendengaran-
Nya sama dengan pendengaranku.’ Inilah yang disebut tasybih. Namun jika kita mengatakan
sebagaimana yang Allah katakan yaitu mengatakan bahwa Allah memiliki tangan,
pendengaran dan penglihatan; dan kita tidak sebut, ‘Bagaimana hakikat tangan Allah, dsb?’
dan tidak pula kita katakan, ‘Sifat Allah itu sama dengan sifat kita (yaitu tangan Allah sama
dengan tangan kita)’; seperti ini tidaklah disebut tasybih. Karena ingatlah Allah Ta’ala
berfirman,
ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوهُ َو ال َّس ِمي ُع ْالب‬
‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Melihat.” (QS. Asy Syuro: 11)[21]
Jadi ingatlah bahwa menyatakan Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, di atas
langit ketujuh bukan berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Namun kita yakini
sifat Allah itu jauh berbeda dengan makhluk-Nya, karena itulah perbedaan Allah yang
memiliki sifat kemuliaan dan makhluk yang selalu dipenuhi kehinaan. Itulah memang
karakter busuk dari Jahmiyah, asal menuduh yang bukan-bukan. Bagi setiap orang yang
menetapkan sifat Allah, maka dituduhlah Mujassimah. Jauh-jauh hari, Ahmad bin Abdul
Halim Al Haroni telah mengisyaratkan,

‫فالمعتزلة والجهمية ونحوهم من نفاة الصفات يجعلون كل من أثبتها مجسما مش((بها ومن ه((ؤالء من يع((د من المجس((مة والمش((بهة‬
‫من األئمة المشهورين كمالك والشافعي وأحمد وأصحابهم كما ذكر ذلك أبو حاتم صاحب كتاب الزينة وغيره‬

“Mu’tazilah, Jahmiyah dan semacamnya yang menolak sifat Allah, mereka menyebut setiap
orang yang menetapkan sifat bagi Allah sebagai mujassimah atau musyabbihah. Bahkan di
antara mereka menyebut para Imam besar yang telah masyhur (seperti Imam Malik, Imam

[99]
Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan pengikut setia mereka) sebagai mujassimah atau
musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Sebagaimana hal ini
disebutkan oleh Abu Hatim, penulis kitab Az Zinah dan ulama lainnya.”[22]
Itulah tuduhan Jahmiyah. Kami tutup tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan
Abu Nu’aim Al Ash-bahani, penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah, “Metode kami
(dalam menetapkan sifat Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As
Sunnah dan ijma’ (konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang dipegang
oleh mereka (para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan mereka meyakini bahwa Allah
beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Mereka menetapkan hal ini tanpa melakukan
takyif (menyatakan hakekat sifat tersebut), tanpa tamtsil (memisalkannya dengan
makhluk) dan tanpa tasybih (menyerupakannya dengan makhluk). Allah sendiri terpisah
dari makhluk dan makhluk pun terpisah dari Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan
bercampur dengan makhluk-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan
bukan menetap di bumi ini bersama makhluk-Nya.”[23]
Semoga tulisan kali ini bias sebagai renungan bagi orang yang mencari kebenaran.
Nantikan serial selanjutnya. Kami akan menyebutkan perkataan ulama Ahlis Sunnah yang
menyanggah pemahaman Jahmiyah semacam abusalafy yang menyatakan “Allah itu ada
tanpa tempat”. Semoga Allah mudahkan.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.


[1] Imam Abu Hanifah hidup pada tahun 80-150 H.
[2] Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah,
Kuwait, cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq:
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy.
[3] Syaikh Al Albani rahimahullah memberikan pelajaran cukup berharga dalam
Mukhtashor Al ‘Uluw, perkataan Adz Dzahabi di sini menandakan bahwa kitab Fiqhul
Akbar bukanlah milik Imam Abu Hanifah, dan ini berbeda dengan berbagai anggapan yang
telah masyhur di kalangan Hanafiyah. (Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 136)
[4] QS. Thaha: 5.
[5] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf,
Riyadh, cetakan pertama, 1995.
[6] Imam Malik hidup pada tahun 93-179 H.
[7] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 138.
[8] QS. Thaha: 5.

[100]
[9] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 378.
[10] Imam Asy Syafi’I hidup pada tahun 150-204 H.
[11] Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghofar, hal.165
[12] Imam Ahmad bin Hambal hidup pada tahun 164-241 H.
[13] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 176. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189.
[14] QS. Al Hadiid: 4
[15] QS. Al Mujadilah: 7
[16] Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116
[17] Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118
[18] QS. Thaha: 5.
[19] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 179. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 194.
[20] Idem
[21] Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 67.
[22] Minhajus Sunnah Nabawiyah fii Naqdi Kalamisy Syi’ah wal Qodariyah, Ahmad bin
Abdul Halim Al Haroni, 2/44, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H.
[23] Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/60, Darul Wafa’,
cetakan ketiga, 1426 H.

Di Manakah Allah (5), Siapa yang Tidak Meyakini Allah


Di Atas Langit, Dialah Jahmiyah

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.


Perlu diketahui bahwa syubhat atau berbagai kerancuan dari Abu Salafy cs yang
menyatakan kebenciannya pada dakwah Ahlus Sunnah Salafiyah sebenarnya hanyalah
warisan dari pemahaman aliran sesat Jahmiyah, akar dari pemahaman mereka. Para ulama
secara tegas mewanti-wanti pemikiran sesat tersebut. Sampai-sampai Adz Dzahabi dalam
kitabnya Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar membawakan berbagai perkataan ulama masa silam
yang jelas-jelas menyatakan bahayanya pemikiran Jahmiyah. Itulah yang akan kami nukil
dalam posting kali ini dan posting selanjutnya. Adz Dzahabi menyebutkan perkataan ulama
besar tersebut untuk membantah perkataan Jahmiyah dan orang-orang yang

[101]
mengikutinya, di mana mereka tidak meyakini Allah di atas langit, dan tidak meyakini Allah
menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya.
Juga mungkin masih banyak di antara kita yang ragu dengan kurang jelas dalam memahami
ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah itu bersama dengan kita atau Allah itu dekat.
Semuanya terjawab pula dalam penjelesan ulama-ulama besar berikut ini. Hanya Allah
yang beri taufik kepada Al Haq (kebenaran).
Al Auza’i Abu ‘Amr ‘Abdurrahman bin ‘Amr[1], Seorang Alim di Negeri Syam di
Masanya Berbicara Mengenai Keyakinannya
‫قال أبو عبد هللا الحاكم أخبرني محمد بن علي الجوهري ببغ((داد ق((ال ح((دثنا إب((راهيم بن الهيثم البل((دي ق(ال ح((دثنا محم((د بن كث((ير‬
‫المصيصي قال سمعت األوزاعي يقول كنا والتابعون متوافرون نقول إن هللا عزوجل فوق عرشه ونؤمن بما وردت به السنة من‬
‫صفاته‬

Abu ‘Abdillah Al Hakim mengatakan, Muhammad bin Ali Al Jauhari telah mengabarkan
kepadaku di Bagdad. Ia mengatakan, Ibrahim bin Al Haitsam Al Baladi telah menceritakan
pada kami.  Ia mengatakan, Muhammd bin Katsir Al Missisiy telah menceritakan pada kami.
Ia berkata, aku mendengar Al Auza’i mengatakan, “Kami dan pengikut kami mengatakan
bahwa Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy-Nya. Kami beriman terhadap sifat-Nya yang
ditunjukkan oleh As Sunnah.”[2]
‫وروى أبو إسحاق الثعلبي المفسر قال سئل األوزاعي عن قوله تعالى ثم استوى على الع((رش ق((ال ه((و على عرش((ه كم((ا وص((ف‬
‫نفسه‬

Diriwayatkan dari Abu Ishaq Ats Tsa’labi –seorang pakar tafsir, ia berkata, “Al Auza’i
pernah ditanya mengenai firman Allah Ta’ala,

ِ ْ‫ثُ َّم ا ْستَ َوى َعلَى ْال َعر‬


‫ش‬
‘’Kemudian Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya”. Al Auza’iy mengatakan, “Allah berada
di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Dia sifati bagi Diri-Nya.”[3]
Muqothil bin Hayyan[4], Seorang Alim di Negeri Khurosan dan Sezaman dengan Al
Auza’i Meyakini Keberadaan Allah di Atas
‫روى عبد هللا بن أحمد بن حنبل في كتاب السنة له عن أبي((ه عن ن(وح بن ميم((ون عن بك(ير بن مع((روف عن مقات(ل بن حي(ان في‬
‫قوله تعالى ما يكون من نجوى ثالثة إال هو رابعهم قال هو على عرشه وعلمه معهم‬

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam kitab As Sunnah-nya, dari
ayahnya (Imam Ahmad), dari Nuh bin Maimun, dari Bukair bin Ma’ruf, dari Muqotil bin
Hayyan. Ketika Muqotil membicarakan ayat,

‫َما يَ ُكونُ ِم ْن نَجْ َوى ثَاَل ثَ ٍة إِاَّل هُ َو َرابِ ُعهُ ْم‬


[102]
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya” (QS. Al
Mujadilah: 7), beliau mengatakan, “Allah tetap berada di atas ‘Arsy-Nya, sedangkan ilmu-
Nya yang senantiasa bersama makhluk-Nya.”[5]
‫وروى البيهقي بإسناده عن مقاتل بن حيان قال بلغنا وهللا أعلم في قوله تعالى هو األول واآلخر هو األول قبل ك((ل ش((يء واآلخ((ر‬
‫بعد كل شيء والظاهر فوق كل شيء والباطن أقرب من كل شيء وإنما قربه بعلمه وهو فوق عرشه مقاتل هذا ثقة إمام معاص((ر‬
‫لألوزاعي ما هو بإبن سليمان ذاك مبتدع( ليس بثقة‬

Diriwayatkan dari Al Baihaqi dengan sanad darinya, dari Muqotil bin Hayyan. Ia berkata,
“Allah-lah yang lebih memahami firman-Nya:

‫ه َُو اأْل َ َّو ُل َواآْل َ ِخ ُر‬


Huwal awwalu wal akhiru … (Allah adalah Al Awwal dan Al Akhir …) (QS. Al Hadiid: 3).
Makna Al Awwalu adalah sebelum segala sesuatu. Al Akhir adalah setelah segala
sesuatu. Azh Zhohir adalah di atas segala sesuatu. Al Bathin adalah lebih dekat dari segala
sesuatu. Kedekatan Allah adalah dengan ilmu-Nya. Sedangkan Allah sendiri berada di atas
‘Arsy-Nya.”
Adz Dzahabi mengatakan, “Muqotil adalah ulama yang tsiqoh dan dia adalah imam besar
yang semasa dengan Al Auza’i.”[6]
Sufyan Ats Tsauri[7], Ulama Besar di Masanya
‫روى غير واحد عن معدان الذي يقول فيه ابن المبارك هو أحد األبدال قال سألت س((فيان الث((وري عن قول((ه عزوج((ل وه((و معكم‬
‫أينما كنتم قال علمه‬

Diriwayatkan lebih dari satu orang dari Mi’dan, yang Ibnul Mubarok juga mengatakan hal
ini. Ia mengatakan bahwa ia bertanya pada Sufyan Ats Tsauri mengenai firman Allah ‘azza
wa jalla,

‫َوهُ َو َم َع ُك ْم أَ ْينَ َما ُك ْنتُ ْم‬


“Dia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada.” (QS. Al Hadid: 4). Sufyan Ats Tsauri
menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah ilmu Allah (yang berada bersama kalian,
bukan dzat Allah, pen).[8]
Seorang Alim Besar Negeri Khurosan, Abdullah bin Al Mubarok Menyatakan Allah
Berada di Atas Langit Ketujuh
‫صح عن علي بن الحسن بن شقيق قال قلت لعبد هللا بن المبارك كيف نعرف ربنا عزوجل ق((ال في الس((ماء الس((ابعة على عرش((ه‬
‫ فقيل هذا ألحمد بن حنبل فقال هكذا هو عندنا‬ ‫وال نقول كما تقول الجهمية إنه هاهنا في األرض‬

Telah shahih dari ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, dia berkata, “Aku berkata kepada Abdullah
bin Al Mubarok, bagaimana kita mengenal Rabb kita ‘azza wa jalla. Ibnul Mubarok
[103]
menjawab, “Rabb kita berada di atas langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy. Tidak
boleh kita mengatakan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah yang
mengatakan bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.” Kemudian ada yang
menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai hal ini. Ibnul Mubarok
menjawab, “Begitulah Imam Ahmad sependapat dengan kami.”[9]
‫وروى عبد هللا بن أحمد في الرد على الجهمية بإسناده عن ابن المبارك أن رجال قال له يا أبا عبد الرحمن ق((د خفت هللا من ك((ثرة‬
‫ما أدعو على الجهمية‬

‫قال ال تخف فإنهم يزعمون أن إلهك الذي في السماء ليس بشيء‬

Diriwayatkan dari Abudllah bin Ahmad ketika membantah pendapat Jahmiyah dan beliau
membawakan sandanya dari Ibnul Mubarok. Ia ceritakan bahwa ada seseorang yang
mengatakan pada Ibnul Mubarok, “Wahai Abu ‘Abdirrahman (Ibnul Mubarok), sungguh
pengenalan tentang Allah menjadi samar karena pemikiran-pemikiran yang diklaim oleh
Jahmiyah.” Ibnul Mubarok lantas menjawab, “Tidak usah khawatir. Mereka mengklaim
bahwa Allah sebagai sesembahanmu yang sebenarnya berada di atas langit sana, namun
mereka katakan Allah tidak di atas langit.”[10]
‘Abbad bin Al ‘Awwam[11], Muhaddits (Pakar Hadits) dari Daerah Wasith
‫ أرى أن ال‬ ‫قال عباد بن العوام كلمت بشرا المريسي وأصحابه ف((رأيت آخ((ر كالمهم ينتهي إلى أن يقول((وا ليس في الس((ماء ش((يء‬
‫يناكحوا وال يوارثوا‬

‘Abbad bin Al ‘Awwam mengatakan, “Aku pernah berkata Basyr Al Murosi dan
pengikutnya, aku pun melihat bahwa mereka mengatakan, “Tidak atas langit tidak ada
sesuatu pun. Aku menilai bahwa orang semacam ini tidak boleh dinikahi dan diwarisi.”[12]
Syaikhul Islam Yazid bin Harun[13]
‫قال الحافظ أبو عبد الرحمن بن اإلمام أحمد في كتاب الرد على الجهمية حدثني عباس العنبري أخبرنا شاذ بن يحيى سمعت يزيد‬
‫بن هارون وقيل له من الجهمية قال من زعم أن الرحمن على العرش استوى على خالف ما يقر في قلوب العامة فهو جهمي‬

Al Hafizh Abu ‘Abdirrahman bin Al Imam Ahmad dalam kitab bantahan terhadap Jahmiyah,
ia mengatakan, ‘Abbas Al Ambari telah menceritakan padaku, ia mengatakan, Syadz bin
Yahya telah menceritakan pada kami bahwa ia mendengar Yazid bin Harun ditanya tentang
Jahmiyah. Yazid mengatakan, “Siapa yang mengklaim bahwa Allah Yang Maha Pengasih
menetap tinggi di atas ‘Arsy namun menyelisih apa yang diyakini oleh hati mayoritas
manusia, maka ia adalah Jahmi.”[14]
Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’i[15], Ulama Bashroh

[104]
‫قال عبد الرحمن بن أبي حاتم حدثنا أبي قال حدثت عن سعيد ابن عامر الضبعي أنه ذكر الجهمي((ة فق(ال هم ش((ر ق((وال من اليه((ود‬
‫ قد إجتمع اليهود والنصارى وأهل األديان مع المسلمين على أن هللا عزوجل على العرش وقالوا هم ليس على شيء‬ ‫والنصارى‬

‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, ayahku menceritakan kepada kami, ia berkata aku
diceritakan dari Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’I bahwa ia berbicara mengenai Jahmiyah. Beliau
berkata, “Jahmiyah lebih jelek dari Yahudi dan Nashrani. Telah diketahui bahwa Yahudi
dan Nashrani serta agama lainnya bersama kaum muslimin bersepakat bahwa Allah ‘azza
wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy. Sedangkan Jahmiyah, mereka katakan bahwa Allah
tidak di atas sesuatu pun.”[16]
‘Abdurrahman bin Mahdi[17], Seorang Imam Besar
‫ابن مه((دي ق((ال إن الجهمي((ة أرادوا أن ينف((وا أن يك((ون هللا كلم موس((ى وأن يك((ون على الع((رش أرى أن يس((تتابوا ف((إن ت((ابوا وإال‬
‫ضربت أعناقهم‬
‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan bahwa Jahmiyah menginginkan agar dinafikannya
pembicaraan Allah dengan Musa, dinafikannya keberedaan Allah menetap tinggi di atas
‘Arsy. Orang seperti ini mesti dimintai taubat. Jika tidak, maka lehernya pantas dipenggal.
[18]
Wahb bin Jarir[19], Ulama Besar Bashroh
‫محمد بن حماد قال سمعت وهب بن جرير يقول إياكم ورأي جهم فإنهم يحاولون أنه ليس شيء في السماء وم((ا ه((و إال من وحي‬
‫إبليس ما هو إال الكفر‬

Muhammad bin Hammad mengatakan bahwa ia mendengar Wahb bin Jarir berkata,
“Waspadalah dengan pemikiran Jahmiyam. Sesungguhnya mereka memalingkan makna
bahwa di atas langit sesuatu pun (berarti Allah tidak di atas langit, pen). Sesungguhnya
pemikiran semacam ini hanyalah wahyu dari Iblis. Perkataan semacam tidak lain hanyalah
perkataan kekufuran.”[20]
Al Qo’nabi[21], Ulama Besar di Masanya
‫قال بنان بن أحمد كنا عند القعنبي رحمه هللا فسمع رجال من الجهمية يقول الرحمن على العرش استوى فقال القعنبي من ال يوقن‬
‫أن الرحمن على العرش استوى كما يقر في قلوب العامة فهو جهمي أخرجهما عبد العزيز القحيطي في تصانيفه والمراد بالعامة‬
‫عامة أهل العلم كما بيناه في ترجمة يزيد بن هارون إمام أهل واسط ولقد كان القعنبي من أئمة الهدى ح((تى لق((د تغ((الى في((ه بعض‬
‫الحفاظ وفضله على مالك اإلمام‬

Bunan bin Ahmad mengatakan, “Aku pernah berada di sisi Al Qo’nabi, ia mendengar
seorang yang berpahaman Jahmiyah menyebutkan firman Allah,

ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْست ََوى‬

[105]
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.”[22] Al Qo’nabi lantas mengatakan,
“Siapa yang tidak meyakini Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy
sebagaimana diyakini oleh para ulama, maka ia adalah Jahmi.”[23]
Al Humaidi[24] (Abdullah bin Az Zubair Al Qurosyi Al Asadi Al Humaidi), Ulama
Besar Makkah, Murid dari Sufyan bin ‘Uyainah, Guru dari Imam Al Bukhari
Al Humaidi mengatakan,

‫أصول السنة عندنا فذكر أشياء ثم قال وما نطق به القرآن والح((ديث مث((ل وق((الت اليه((ود ي((د هللا مغلول((ة غلت أي((ديهم ومث((ل قول((ه‬
‫والسموات مطويات بيمينه( وما أشبه هذا من القرآن والحديث ال نزيد في((ه وال نفس((ره ونق((ف على م(ا وق((ف علي((ه الق((رآن والس((نة‬
‫ونقول الرحمن على العرش استوى ومن زعم غير هذا فهو مبطل جهم‬

Aqidah yang paling pokok yang kami yakini (lalu beliau menyebutkan beberapa hal): Ayat
atau hadits yang menyebutkan (misalnya tangan Allah, pen),

‫ت أَ ْي ِدي ِه ْم‬
ْ َّ‫ت ْاليَهُو ُد يَ ُد هَّللا ِ َم ْغلُولَةٌ ُغل‬
ِ َ‫َوقَال‬
“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah
yang dibelenggu”[25]
Semisal pula firman Allah,

‫َّات بِيَ ِمينِ ِه‬ ْ ‫ات َم‬


ٌ ‫ط ِوي‬ ُ ‫َوالسَّما َو‬
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya”[26], dan juga ayat dan hadits yang semisal
itu, kami tidak akan menambah dan kami tidak akan menafsirkan (bagaimanakah hakekat
sifat tersebut). Kami cukup berdiam diri sebagaimana yang dituntunkan Al Quran dan
Hadits Nabawi (yang tidak menyebutkan hakekatnya). Kami pun meyakini,
ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬
‫ش ا ْست ََوى‬
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.”[27] Barangsiapa yang tidak
meyakini seperti ini, maka dialah Jahmiyah yang penuh kebatilan.[28]
Kesimpulan dari pembahasan ini:
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari masa ke masa telah menyepakati (berijma’)
bahwa Allah berada di atas ‘Arsy. Dan tidak ada satu pun dari mereka yang menyatakan
bahwa Allah tidak berada di atas ‘Arsy-Nya. Tidak mungkin seorang pun yang bisa menukil
dari para ulama yang ada yang menyatakan bahwa Allah tidak di atas ‘Arsy-Nya baik secara
nash (dalil tegas) atau secara zhahir (dalil yang mengandung makna lebih kuat).

Pembuktian dari ulama-ulama Ahlus Sunnah dari masa ke masa masih berlanjut pada
posting selanjutnya insya Allah. Begitu pula berbagai kerancuan yang dikemukakan oleh

[106]
pengikut Jahmiyah tentang istiwa’ Allah, Allah ada tanpa tempat, dan lainnya masih
berlanjut dalam posting selanjutnya.

Semoga Allah memberi kemudahan.

[1] Al Auza’i hidup sebelum tahun 157 H.


[2] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Kitab Al Asma’ wa Ash Shifat. Lihat Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghoffar, 136. Ibnu Taimiyah sebagaimana dalam Al Aqidah Al Hamawiyah
menyatakan bahwa sanadnya shahih, sebagaimana pula hal ini diikuti oleh muridnya
(Ibnul Qayyim) dalam Al Juyusy Al Islamiyah.
[3] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137
[4] Muqotil bin Hayyan semasa dengan Imam Al Auza’i, beliau hidup sebelum tahun 150 H.
[5] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini
hasan. Perkataan ini dikatakan dalam kitab As Sunnah (hal. 71), dikeluarkan oleh Abu Daud
dalam Masa-ilnya (hal. 263) dari Imam Ahmad. Juga diriwayatkan dari Al Lalika-i (2/92/1),
Al Baihaqi (hal. 430-431). Dari riwayatnya tersebut, juga dikatakan dari Adh Dhohak.
Riwayat ini juga adalah riwayat Al Ajuri (hal. 289). Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 138.
[6] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa dalam sanad
yang disebutkan oleh Al Baihaqi (hal. 430-431) terdapat Ismail bin Qutaibah. Ibnu Abi
Hatim tidak memberikan penilaian positif (ta’dil) atau negatif (jarh) terhadapnya. Telah
diriwayatkan pula oleh Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Musa Al Ka’bi, rowi
dari atsar ini darinya. Beliau merupakan guru dari Al Hakim. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw,
hal. 138.
[7] Sufyan Ats Tsauri hidup pada tahun 97-161 H.
[8] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137-138.
[9] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 149. Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah
dalam Al Hamawiyah dan Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal.
152.
[10] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 150. Syaikh Al Albani mengatakan dikeluarkan dalam
As Sunnah (hal. 7) dari Ahmad bin Nashr, dari Malik, telah mengabarkan kepadaku
seseorang dari Ibnul Mubarok. Seluruh periwayatnya tsiqoh (terpercaya) kecuali yang
tidak disebutkan namanya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152.
[11] ‘Abbad bin Al ‘Awwam hidup sekitar tahun 185 H.
[12] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 151.

[107]
[13] Yazid bin Harun hidup sebelum tahun 206 H.
[14] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 157. Abdullah bin Ahmad mengeluarkan dalam As
Sunnah (hal. 11-12) dari jalannya. Namun Adz Dzahabi menyebutkan dari selain kitab itu
yaitu dalam kitab Ar Rodd ‘alal Jahmiyah (bantahan terhadap Jahmiyah), Abdullah berkata,
Abbas bin Al ‘Azhim Al Ambari telah mengabarkan pada kamim Syadz bin Yahya telah
menceritakan pada kami. Juga riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masail (hal.
268), ia berkata, Ahmad bin Sinan telah menceritakan pada kami, ia berkata: Aku
mendengar Syadz bin Yahya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 168.
[15] Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’iy hidup pada tahun 122-208 H.
[16] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 157 dan Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 168.
[17] ‘Abdurrahman bin Mahdi hidup pada tahun 125-198 H.
[18] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Dikeluarkan pula oleh Abdullah (hal. 10-11)
dari jalannya, disebutkan secara ringkas. Ibnul Qayyim menshahihkan riwayat ini dalam Al
Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 170.
[19] Wahb bin Jarir meninggal tahun 206 H.
[20] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Atsar ini dishahihkan oleh Ibnul Qayyim
dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 170.
[21] Al Qo’nabi meninggal tahun 221 H.
[22] QS. Thoha: 5.
[23] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 166. Bunan bin Ahmad tidak mengapa, sejarah
hidupnya disebutkan di Tarikh Bagdad. Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 178.
[24] Al Humaidi meninggal tahun 219 H.
[25] QS. Al Maidah: 64.
[26] QS. Az Zumar: 67
[27] QS. Thoha: 5.
[28] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 168. Ibnu Taimiyah telah menshahihkan atsar ini
dari Al Humaidi dalam Kitabnya “Mufashol Al I’tiqod”. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 180.

Di Manakah Allah (6), Ilmu Allah Di Mana-Mana, Bukan


Dzat Allah

Segala puji bagi Allah, Yang Menetap Tinggi Di Atas ‘Arsy-Nya. Shalawat dan salam kepada
Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik hingga akhir zaman.
[108]
Dalam kesempatan kali ini, kami masih melanjutkan perkataan ulama masa silam
mengenai di manakah Allah. Pembahasan ini memang cukup panjang. Namun ini semua
kami torehkan dalam beberapa tulisan agar semakin memperjelas manakah aqidah yang
mesti diyakini oleh seorang muslim dengan benar. Dari perkataan ulama masa silam yang
akan kami sebutkan, para pembaca Rumaysho.com dapat menilai di manakah letak
kekeliruan abu salafy cs yang menyatakan dengan bahwa Allah tidak di langit. Yang jelas
aqidah yang beliau usung adalah aqidah orang-orang sesat di masa silam yaitu dari
kalangan Jahmiyah, lalu beliau hidupkan kembali. Semoga tulisan kali ini pun dapat
membongkar kedok Jahmiyah dan orang-orang yang mengikuti pemahaman menyimpang
tersebut. Ya Allah, berilah kemudahan dan tolonglah kami.
Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar Rozi[1], Ulama Hanafiyah, murid dari Muhammad bin Al
Hasan
Kita dapat saksikan dari perkataan beliau ini, bahwa orang yang masih ragu Allah di atas
langit, ia dimintai taubatnya. Coba perhatikan secara seksama riwayat berikut ini.

‫قال ابن أبي حاتم حدثنا علي بن الحسن بن يزيد الس((لمي س((معت أبي يق((ول س((معت هش((ام بن عبي((د هللا ال((رازي وحبس رجال في‬
‫التجهم فجيء به إليه ليمتحنه فقال له أتشهد أن هللا على عرشه بائن من خلقه فقال ال أدري م((ا ب((ائن من خلق((ه فق((ال ردوه فإن((ه لم‬
‫يتب بعد‬

Ibnu Abi Hatim mengatakan, ‘Ali bin Al Hasan bin Yazid As Sulami telah menceritakan
kepada kami, ia berkata, ayahku berkata, “Aku pernah mendengar Hisyam bin ‘Ubaidillah
Ar Rozi –ketika itu beliau menahan seseorang yang berpemikiran Jahmiyah, orang itu
didatangkan pada beliau, lantas beliau pun mengujinya-. Hisyam bertanya padanya,
“Apakah engkau bersaksi bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-
Nya.” Orang itu pun menjawab, “Aku tidak mengetahui apa itu terpisah dari makhluk-Nya.”
Hisyam kemudian berkata, “Kembalikanlah ia karena ia masih belum bertaubat.”[2]
Pelajaran dari perkataan Hisyam ini:
1. Keyakinan Allah di atas langit wajib diyakini oleh setiap muslim.

2. Orang yang tidak meyakini hal ini setelah datang penjelasan yang begitu gamblang,
maka ia harus dimintai taubatnya.

3. Perlu dipahami bahwa jika kita katakan Allah di atas langit, bukan berarti Allah di
dalam langit atau menempel dengan ‘Arsy sehingga dapat dipahami bahwa Allah berada
di dalam makhluk. Ini justru pemahaman yang keliru. Yang mesti dipahami bahwa Allah
itu terpisah dari makhluk-Nya sehingga Allah berada di atas semua makhluk-Nya dan
bukan berada di dalam langit. Inilah yang diisyaratkan dalam perkataan Hisyam di atas.

[109]
Nu’aim bin Hammad Al Khuza’i[3], Al Hafizh (pakar hadits)
‫قال محمد بن مخلد العطار حدثنا الرمادي قال سألت نعيم ابن حم((اد عن ق((ول هللا تع((الى ه((و معكم ق((ال معن((اه أن((ه ال يخفى علي((ه‬
‫خافية بعلمه أال ترى قوله ما يكون من نجوى ثالثة إال هو رابعهم اآلية‬

Muhammad bin Mukhlid Al ‘Aththor, ia mengatakan, Ar Romadi menceritakan kepada


kami, ia berkata, “Aku berkata pada Nu’aim bin Hammad mengenai firman Allah Ta’ala,

‫ه َُو َم َع ُك ْم‬
“Allah bersama kalian.” (QS. Al Hadiid: 4). Nu’aim bin Hammad mengatakan bahwa maksud
ayat tersebut adalah, “Tidak ada sesuatu pun dari ilmu Allah yang samar dari-Nya.
Tidakkah kalian memperhatikan firman Allah,

‫َما يَ ُكونُ ِم ْن نَجْ َوى ثَاَل ثَ ٍة إِاَّل هُ َو َرابِ ُعهُ ْم‬


“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al
Mujadilah: 7)[4]
Pelajaran penting dari perkataan Nu’aim bin Hammad:
Makna Allah itu bersama kalian adalah dengan ilmu-Nya dan bukan dengan Dzat Allah.
Sehingga ayat semacam ini bukan menunjukkan Allah berada di mana-mana.

Basyr Al Haafi[5], Ulama yang Begitu Zuhud di Masanya


Disebutkan oleh Adz Dzahabi,

‫له عقيدة رواها ابن بطة في كتاب اإلبانة وغيره فمما فيها واإليمان بأن هللا على عرشه استوى كما شاء وأنه عالم بكل مكان‬

Basyr Al Haafi memilki pemahaman aqidah yang disebutkan oleh Ibnu Battoh dalam Al
Ibanah dan selainnya, di antara perkataan beliau adalah: “Beriman bahwa Allah menetap
tinggi (beristiwa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Allah kehendaki. Namun meski
begitu, ilmu Allah di setiap tempat.”[6]
Pelajaran penting dari Basyr Al Haafi adalah:
Allah itu menetap tinggi di atas ‘Arsy. Meskipun jauh, Allah tetap mengetahui setiap tempat
di muka bumi karena ilmu-Nya yang Maha Luas.

Ahmad bin Nashr Al Khuza’i[7]


‫قال إبراهيم الحربي فيما صح عنه قال أحمد بن نصر وسئل عن علم هللا فقال علم هللا معنا وهو على عرشه‬

Ibrahim Al Harbi berkata mengenai perkataan shahih darinya, yaitu Ahmad bin Nashr
berkata ketika ditanya mengenai ilmu Allah, “Ilmu Allah selalu bersama kita, sedangkan
Dzat-Nya tetep menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya.” [8]
[110]
Pelajaran penting dari Ahmad bin Nashr adalah:

Allah tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya bukan di mana-mana, sedangkan yang
bersama kita adalah ilmu Allah.

Qutaibah bin Sa’id[9], Ulama Besar Khurosan


‫قال أبو أحمد الحاكم وأبو بكر النقاش المفسر واللفظ له حدثنا أبو العباس السراج قال سمعت قتيبة بن سعيد يقول هذا قول األئم((ة‬
‫في اإلسالم والسنة والجماعة نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه كما قال جل جالله ال((رحمن على الع((رش اس((توى وك((ذا‬
‫نقل موسى بن هارون عن قتيبة أنه قال نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه‬

Abu Ahmad Al Hakim dan Abu Bakr An Naqosy Al Mufassir (dan ini lafazh dari Abu Bakr),
ia berkata, Abul ‘Abbas As Siroj telah menceritakan pada kami, ia berkata, aku mendengar
Qutaibah bin Sa’id berkata, “Ini adalah perkataan para ulama besar Islam, Ahlus Sunnah
wal Jama’ah: Kami meyakini bahwa Rabb kami berada di atas langit ketujuh di atas ‘Arsy-
Nya sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْست ََوى‬
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.”[10]
‫وكذا نقل موسى بن هارون عن قتيبة أنه قال نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه‬

Begitu pula dinukil dari Musa bin Harun dari Qutaibah, ia berkata, “Kami meyakini bahwa
Rabb kami berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya.”

Adz Dzahabi setelah membawakan perkataan Qutaibah, beliau mengatakan, “Inilah


Qutaibah sudah dikenal kebesarannya dalam ilmu dan kejujurannya, beliau menukil
adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai keyakinan Allah di atas langit”. [11]
Pelajaran dari Qutaibah bin Sa’id:
Adanya penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai keyakinan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah bahwa Allah berada di ketinggian di atas ‘Arsy-Nya. Setelah ini kita juga akan
menemukan nukilan ijma’ dari Ishaq bin Rohuwyah.
Abu Ma’mar Al Qutai’iy[12], Guru dari Imam Bukhari dan Imam Muslim
‫نقل ابن أبي حاتم في تأليفه عن يحيى بن زكرياء عن عيسى عن أبي شعيب صالح الهروي عن أبي معمر إس((ماعيل بن إب((راهيم‬
‫أنه قال آخر كالم الجهمية أنه ليس في السماء إله‬

Dinukil dari Ibnu Abi Hatim dalam karyanya, dari Yahya bin Zakariya, dari ‘Isa, dari Abu
Syu’aib Sholih Al Harowiy, dari Abu Ma’mar Isma’il bin Ibrohim, beliau berkata, “Akhir dari
perkataan Jahmiyah: Di atas langit (atau di ketinggian) tidak ada Allah yang disembah.”[13]

[111]
Pelajaran dari Abu Ma’mar Al Qutai’iy:
Keyakinan di atas langit tidak ada siapa-siapa itulah keyakinan sesat dari Jahmiyah, yang
lalu diusung kembali oleh orang belakangan semacam Abu Salafy cs.

‘Ali bin Al Madini[14], Imam Para Pakar Hadits


‫قال شيخ اإلسالم أبو إسماعيل الهروي أنبأنا محمد بن محمد بن عبد هللا حدثنا أحمد بن عبد هللا سمعت محمد بن إبراهيم بن ن((افع‬
‫حدثنا الحسن بن محمد بن الحارث قال سئل علي بن المديني وأنا أسمع ما قول أهل الجماعة قال يؤمن((ون بالرؤي((ة وب((الكالم وأن‬
‫هللا عزوجل فوق السموات على عرشه استوى‬

Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harowi mengatakan, Muhammad bin Muhammad bin
‘Abdillah menceritakan kepada kami, Ahmad bin Abdillah menceritakan kepada kami, aku
mendengar Muhammad bin Ibrahim bin Naafi’ mengatakan, Al Hasan bin Muhammad bin
Al Harits menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Ali bin Al Madini ditanya dan aku pun
mendengarnya, “Apa perkataan dari Ahlul Jama’ah (Ahlus Sunnah)?” ‘Ali bin Al Madini
mengatakan, “Mereka (Ahlus Sunnah) beriman pada ru’yah (Allah akan dilihat), mereka
beriman bahwa Allah berbicara dan Allah berada di atas langit, menetap tinggi (beristiwa’)
di atas ‘Arsy-Nya.”

‫فسئل عن قوله تعالى ما يكون من نجوى ثالثة إال هو رابعهم فقال اقرأ ما قبله ألم تر أن هللا يعلم ق((د أك((ثر البخ(اري في ص((حيحه‬
‫عن علي بن المديني وقال ما استصغرت إال بين يدي ابن المديني مات في ذي القعدة سنة أربع وثالثين ومائتين‬

Ali bin Al Madini juga ditanya mengenai firman Allah Ta’ala,

‫َما يَ ُكونُ ِم ْن نَجْ َوى ثَاَل ثَ ٍة إِاَّل هُ َو َرابِ ُعهُ ْم‬


“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al
Mujadilah: 7). Beliau pun menjawab, “Cobalah baca awal ayatnya,
‫أَلَ ْم تَ َر أَ َّن هَّللا َ يَ ْعلَ ُم‬
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui.” (QS. Al Mujadilah: 7)
[15]
Pelajaran dari Ali bin Al Madini:
Lihatlah pelajaran yang sangat berharga dari ulama Robbani. Sebagian orang mengira
maksud surat Al Mujadilah ayat 7 adalah Allah di mana-mana. Namun lihat bagaimanakah
sanggahan dari Ali bin Al Madini? Cobalah baca awal ayat, itulah yang dimaksud. Jadi yang
dimaksud adalah ilmu Allah yang di mana-mana dan bukan Dzat Allah.

Ishaq bin Rohuwyah[16], Ulama Besar Khurosan

[112]
‫قال حرب بن إسماعيل الكرماني قلت إلسحاق بن راهويه قوله تعالى ما يكون من نجوى ثالثة إال هو رابعهم كيف تقول فيه قال‬
‫حيث ما كنت فهو أقرب إليك من حبل الوريد وهو بائن من خلقه‬

‫ثم ذكر عن ابن المبارك قوله هو على عرشه بائن من خلقه‬

‫ثم قال أعلى شيء في ذلك وأبينه قوله تعالى الرحمن على العرش استوى رواها الخالل في السنة عن حرب‬

Harb bin Isma’il Al Karmani, ia berkata bahwa ia berkata pada Ishaq bin Rohuwyah
mengenai firman Allah,

‫َما يَ ُكونُ ِم ْن نَجْ َوى ثَاَل ثَ ٍة إِاَّل هُ َو َرابِ ُعهُ ْم‬


“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al
Mujadilah: 7). Bagaimanakah pendapatmu mengenai ayat tersebut?”
Ishaq bin Rohuwyah menjawab, “Dia itu lebih dekat (dengan ilmu-Nya) dari urat lehermu.
Namun Dzat-Nya terpisah dari makhluk. Kemudian beliau menyebutkan perkataan Ibnul
Mubarok, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya.”

Lalu Ishaq bin Rohuwyah mengatakan, “Ayat yang paling gamblang dan paling jelas
menjelaskan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْست ََوى‬
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.”[17]
Al Khollal meriwayatkannya dalam As Sunnah dari Harb.[18]
‫قال أبو بكر الخالل أنبأنا المروذي حدثنا محمد بن الصباح النيسابوري حدثنا أبو داود الخفاف سليمان بن داود ق((ال ق((ال إس((حاق‬
‫بن راهويه قال هللا تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل األرض‬
‫السابعة اسمع ويحك إلى هذا اإلمام كيف نقل اإلجماع على هذه المسألة كما نقله في زمانه قتيبة المذكور‬

“Abu Bakr Al Khollal mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau
katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah An Naisaburi. Beliau
katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau
katakana, Ishaq bin Rohuwyah berkata, “Allah Ta’ala berfirman,

ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْستَ َوى‬
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[19]. Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada
di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.[20]
Adz Dzahabi rahimahullah ketika membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau
rahimahullah mengatakan,
[113]
‫اسمع ويحك إلى هذا اإلمام كيف نقل اإلجماع على هذه المسألة كما نقله في زمانه قتيبة المذكور‬

“Dengarkanlah perkataan Imam yang satu ini. Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya
ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh
Qutaibah di masanya.”[21]
Pelajaran berharga dari Ishaq bin Rohuwyah:
1. Kalau kita katakan Allah di atas langit atau di atas ‘Arsy-Nya, bukan berarti Allah di
dalam langit atau menempel pada ‘Arsy. Lihatlah penjelasan gamblang dari Ishaq bin
Rohuwyah bahwa Allah itu terpisah dari makhluk-Nya, sehingga menunjukkan bahwa
Allah bukan berada di dalam langit.

2. Ini menunjukkan bahwa pengertian langit tidak selamanya dengan bentuk langit
yang ada di benak kita karena langit sekali lagi bisa bermakna ketinggian. Jadi jika kita
katakan Allah fis samaa’, itu juga bisa berarti Allah di ketinggian. Karena ini juga
menunjukkan bahwa Allah tidak bersatu dengan makhluk. Mohon bisa dipahami.

3. Pengertian Allah itu bersama hamba tidak melazimkan bahwa Allah berada di
mana-mana. Allah tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya, di atas seluruh makhluk-Nya,
sedangakan yang berada di mana-mana adalah ilmu Allah. Dan sekali lagi, bukan Dzat
Allah.

4. Sudah ada dua nukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang menyatakan bahwa Allah
berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Sebelumnya pula kami sudah
sebutkan adanya ijma’ yang diklaim oleh Qutaibah dan sekarang oleh Ishaq bin
Rohuwyah. Lalu masihkah keyakinan ijma’ ini disangsikan?

 Pembahasan ini kami cukupkan dulu untuk sementara waktu. Masih banyak perkataan
ulama yang kami nukil lagi dalam posting selanjutnya, terutama dari ulama pakar hadits
semacam Bukhari, Abu Zur’ah dan lainnya. Semoga Allah mudahkan.

Semoga pelajaran-pelajaran berharga yang kami sajikan dalam tulisan kali ini bisa sebagai
sepercik hidayah bagi yang ingin meraihnya. Hanya Allah yang beri taufik.

[1] Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar Rozi meninggal tahun 221 H.


[2] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 169. Riwayat ini juga dikeluarkan oleh Al Haruwi dalam
“Dzammul Kalam” (1/120). Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 181.
[3] Nu’aim bin Hammad Al Khuza’i hidup pada tahun 146-228 H.

[114]
[4] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 171-172. Sanad riwayat ini shahih. Lihat Mukhtashor Al
‘Uluw, hal. 184.
[5] Basyr Al Haafi hidup pada tahun 151-227 H.
[6] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 172. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 185.
[7] Ahmad bin Nashr Al Khuza’i meninggal tahun 231 H.
[8] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 173. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 186-187.
[9] Qutaibah bin Sa’id hidup tahun 150-240 H.
[10] QS. Thoha: 5.
[11] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 174. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 187.
[12] Abu Ma’mar Al Qutai’iy meninggal tahun 236 H.
[13] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 174-175. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 188.
[14] ‘Ali bin Al Madini meninggal tahun 234 H.
[15] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 175. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 188-189.
[16] Ishaq bin Rohuwyah hidup antara tahun 166-238 H
[17] QS. Thoha: 5.
[18] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 177. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 191
[19] QS. Thaha: 5.
[20] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 179. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 194.
[21] Idem

Di Manakah Allah (7), Tauhid Tidaklah Sah Sampai


Meyakini Allah di Atas Langit

Segala puji bagi Allah, Yang Menetap Tinggi Di Atas ‘Arsy-Nya, yang memiliki aswa’ dan
shifat yang sempurna nan maha mulia. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga
akhir zaman.
Para pembaca rumaysho.com mudah-mudahan masih mengingat pembahasan kita
mengenai “Di manakah Allah?” Sudah sebulan lebih kami tidak melanjutkan pembahasan
tersebut dikarenakan kesibukan mengurus artikel lainnya. Dengan meminta pertolongan
Allah Ta’ala, kami akan melanjutkan pembahasan tersebut. Saat ini kami akan

[115]
memaparkan perkataan ulama pada thobaqoh lainnya (para ulama yang hidup sekitar
tahun 200 H) seperti Imam Al Bukhari yang kami sarikan dari kitab Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghoffar –karya Adz Dzahabi-. Semoga bermanfaat.
Al Muzanni[1]
‫أنبأنا ابن سالمة عن أبي جعفر الطرطوسي عن يحيى بن منده حدثنا أحمد بن الفضل أنب((أ الياطرق((اني س((معت أب((ا عم((ر الس((لمي‬
‫سمعت أبا حفص الرفاعي سمعت عمرو بن تميم المكي قال سمعت محمد بن إسماعيل الترم((ذي س((معت الم((زني يق((ول ال يص((ح‬
‫ قلت مثل أي شيء قال سميع بصير عليم قدير أخرجها ابن منده في تاريخه‬ ‫ألحد توحيد حتى يعلم أن هللا على العرش بصفاته‬
Ibnu Salamah telah menceritakan pada kami, dari Abu Ja’far Ath Thurthusi, dari Yahya bin
Mandah, Ahmad bin Al Fadhl telah menceritakan kepada kami, Al Yathuqorni telah
menceritakan, aku mendengar ‘Umar As Sulami, aku mendengar Abu Hafsh Ar Rifa’i, aku
mendengar ‘Amr bin Tamim Al Makki, ia berkata, aku mendengar Muhammad bin Isma’il At
Tirmidzi, aku mendengar Al Muzanni berkata,

‫ال يصح ألحد توحيد حتى يعلم أن هللا على العرش بصفاته‬
“Ketauhidan seseorang tidaklah sah sampai ia mengetahui bahwa Allah berada di atas
‘Arsy-nya dengan sifat-sifat-Nya.” Aku pun berkata, “Sifat-sifat yang dimaksud semisal
apa?” Ia berkata, “Sifat mendengar, melihat, mengetahui dan berkuasa atas segala sesuatu.”
Ibnu Mandah mengeluarkan riwayat ini dalam kitab tarikhnya.[2]
Adz Dzahabi rahimahullah mengatakan, “Al Muzanni adalah seorang faqih di negeri Mesir
ketika zamannya, dan beliau adalah di antara murid yang cerdas dari Imam Asy Syafi’i.”[3]
Pelajaran penting:
1. Ketauhidan seseorang dipertanyakan jika ia tidak meyakini Allah di atas ‘Arsy-Nya,
di atas seluruh makhluk-Nya.

2. Jika murid Imam Asy Syafi’i saja berkeyakinan bahwa Allah ada di atas ‘Arsy, maka
sudah barang tentu keyakinan murid sama halnya dengan gurunya. Bahkan sudah
dikuatkan pula keyakinan yang sama dari Imam Asy Syafi’i tentang keberadaan Allah di
atas ‘Arsy-Nya sebagaimana dalam tulisan yang telah lewat. Buah tak mungkin jatuh jauh
dari pohonnya.
Muhammad bin Yahya Adz Dzuhliy[4]
‫قال الحاكم قرأت بخط أبي عمرو المستملي سئل محمد بن يحيى عن حديث عبد هللا بن معاوية عن الن((بي ليعلم العب((د أن هللا مع((ه‬
‫حيث كان فقال يريد أن هللا علمه محيط بكل ما كان وهللا على العرش‬
Al Hakim berkata, “Aku membacakan dengan tulisan pada Abu ‘Amr Al Mustahli,
Muhammad bin Yahya ditanya mengenai hadits ‘Abdullah bin Mu’awiyah dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ليعلم العبد أن هللا معه حيث كان‬

[116]
“Supaya hamba mengetahui bahwa Allah bersama dirinya di mana saja ia berada.”
Lantas Adz Dzuhliy mengatakan,

‫أن هللا علمه محيط بكل ما كان وهللا على العرش‬


“Ketahuilah ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu, namun Allah tetap di atas ‘Arsy-Nya.”[5]
Adz Dzahabi mengatakan, “Adz Dzuhli adalah ulama negeri Khurasan setelah Ishaq,
kebenarannya tanpa diragukan lagi. Beliau adalah seorang pemimpin, seorang yang taat,
dan seorang yang mulia.”[6]
Pelajaran penting:
Keyakinan Allah di atas ‘Arsy tidaklah bertentangan dengan keyakinan ilmu Allah yang
maha luas dan kebersamaan Allah bersama hamba-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy
sedangkan ilmu-Nya di mana-mana dan bukanlah Dzat-Nya.

Muhammad bin Isma’il Al Bukhari[7]


‫قال اإلمام أبو عبد هللا محمد بن إسماعيل في آخر الجامع الصحيح في كتاب ال((رد على الجهمي((ة ب((اب قول((ه تع((الى وك((ان عرش((ه‬
‫ وق((الت زينب أم المؤم((نين رض((ي‬ ‫ وقال مجاهد في استوى عال على العرش‬ ‫على الماء قال أبو العالية استوى إلى السماء إرتفع‬
‫هللا عنها زوجني هللا من فوق سبع سموات‬
Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari berkata dalam akhir Al Jaami’ Ash
Shohih dalam kitab bantahan kepada Jahmiyah, beliau membawakan Bab firman Allah
Ta’ala,

‫َو َكانَ َعرْ ُشهُ َعلَى ْال َما ِء‬


“Dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air.” (QS. Hud : 7)
Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa maksud dari ‘istiwa’ di atas langit’ adalah naik. Mujahid
mengatakan bahwa istiwa’ adalah menetap tinggi di atas ‘Arsy. Zainab Ummul Mukminin
mengatakan, “Allah yang berada di atas langit ketujuh yang telah menikahkanku.”[8]
Pelajaran penting:
Imam pakar hadits yang terkemuka yang semua orang mengakui kitab shahihnya yaitu Al
Jaami’ Ash Shohih menyatakan dengan tegas bahwa Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy
dengan menukil perkataan ulama salaf. Yang aneh adalah pendapat yang berseberangan
dengan Imam Al Bukhari ini.

Abu Zur’ah Ar Rozi[9]


‫قال أبو إسماعيل األنصاري مصنف ذم الكالم وأهله أنبا أبو يعقوب القراب أنبأنا جدي سمعت أبا الفض((ل إس((حاق ح((دثني محم((د‬
 ‫ابن إبراهيم األصبهاني سمعت أبا زرعة الرازي وسئل عن تفسير الرحمن على العرش استوى فغضب وقال تفس((يره كم((ا تق((رأ‬
‫هو على عرشه وعلمه في كل مكان من قال غير هذا فعليه لعنة هللا‬

[117]
Abu Isma’il Al Anshori –penulis Dzammul Kalam wa Ahlih-, Abu Ya’qub Al Qurob
menceritakan, kakekku menceritakan pada kami, aku mendengar Abul Fadhl Ishaq,
Muhammad bin Ibrohim Al Ash-bahani telah menceritakan padaku, aku mendengar Abu
Zur’ah Ar Rozi ditanya mengenai tafsir firman Allah,

ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْستَ َوى‬
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah yang menetap tinggi di atas ‘Arsy .” (QS. Thoha : 5).
Beliau lantas marah. Kemudian beliau pun berkata, “Tafsirnya sebagaimana yang engkau
baca. Allah di atas ‘Arsy-Nya sedangkan ilmu Allah yang berada di mana-mana. Siapa yang
mengatakan selain ini, maka dialah yang akan mendapat laknat Allah.”[10]
‫أنبأنا أحمد بن أبي الخير عن يحيى بن يونس أنبأنا أبو طالب اليوسعي أنبأنا أبو إسحاق البرمكي أنبأن(ا علي بن عب((د العزي((ز ق(ال‬
‫حدثنا عبد الرحمن بن أبي حاتم قال سألت أبي وأبا زرعة رحمهما هللا تعالى عن مذهب أهل السنة في أص((ول ال((دين وم((ا أدرك((ا‬
‫عليه العلماء في جميع األمصار وما يعتقدان من ذلك فقاال أدركنا العلماء في جميع األمصار حجازا وعراقا ومصرا وشاما ويمنا‬
‫فكان من مذهبهم أن هللا تبارك وتعالى على عرشه بائن من خلقه كما وصف نفسه بال كيف أحاط بكل شيء علما‬
Ahmad bin Abul Khoir telah menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Yunus, Abu Tholib
menceritakan pada kami, Abu Ishaq Al Barmaki telah menceritakan pada kami, ‘Ali bin
‘Abdul ‘Aziz telah menceritakan pada kami, ia berkata bahwa ‘Abdurrahman bin Abu Hatim
telah menceritakan pada kami, bahwa dia bertanya pada ayahnya dan Abu Zur’ah
mengenai aqidah Ahlus Sunnah dalam ushuluddin dan apa yang dipahami oleh keduanya
mengenai perkataan para ulama di berbagai negeri dan apa saja keyakinan mereka.
Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata,

Yang kami ketahui bahwa ulama di seluruh negeri di Hijaz, ‘Iraq, Mesir, Syam, Yaman;
mereka semua meyakini bahwa Allah Tabaroka wa Ta’ala berada di atas ‘Arsy-nya, terpisah
dari makhluk-Nya sebagaimana yang Allah sifati pada diri-Nya sendiri dan tanpa kita
ketahui hakikatnya. Sedangkan ilmu Allah meliputi segala sesuatu.[11]
Pelajaran penting:
Dari perkataan Abu Zur’ah Ar Rozi, kita dapat menyaksikan para ulama di berbagai negeri
sepakat (berijma’) bahwa Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy sedangkan ilmu Allah yang
berada di mana-mana. Maka yang harus dibilang aneh adalah orang yang menyelisihi
kesepakatan ulama ini. Bahkan Abu Zur’ah menyatakan bahwa siapa saja yang menyelisihi
keyakinan ini, dialah yang pantas mendapatkan laknat Allah.

Abu Hatim Ar Rozi[12]

[118]
‫قال الحافظ أب(و القاس(م الط(بري وج(دت في كت(اب أبي ح(اتم محم(د بن إدريس بن المن(ذر الحنظلي مم(ا س(مع من(ه يق(ول م(ذهبنا‬
(‫وإختيارنا إتباع رسول هللا وأصحابه والتابعين من بعدهم والتمسك بمذاهب أهل األثر مثل الش((افعي وأحم((د وإس((حاق وأبي عبي (د‬
‫رحمهم هللا تعالى ولزوم الكتاب والسنة ونعتقد أن هللا عزوجل على عرشه بائن من خلقه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير‬
Al Hafizh Abul Qosim Ath Thobari mengatakan bahwa beliau mendapati dalam kitab Abu
Hatim Muhammad bin Idris bin Al Mundzir Al Hanzholi, perkataan yang didengar darinya,
Abu Hatim mengatakan,

“Pilihan kami adalah mengikuti Rasulullah, para sahabat, para tabi’in dan yang setelahnya.
Kami pun berpegang dengan madzhab Ahlus Sunnah semacam Asy Syafi’i, Ahmad , Ishaq,
Abu ‘Abdillah rahimahumullah. Kami pun konsekuen dengan Al Kitab dan As Sunnah. Kami
meyakini bahwa Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-
Nya. Tidak ada yang semisal dengan-Nya, Dialah (Allah) yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”

Lantas Abu Hatim Ar Rozi menyebutkan perkataan,

‫وعالمة أهل البدع الوقيعة في أهل األثر وعالمة الجهمية أن يسموا أهل السنة مشبهة‬
“Di antara tanda ahlul bid’ah adalah berbagai tuduhan keliru yang mereka sematkan pada
Ahlus Sunnah. Tanda Jahmiyah adalah mereka menyebut Ahlus Sunnah dengan
musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk).”[13]
Pelajaran penting:
Lihatlah bagaimana penjelasan Abu Hatim di sini. Jika kita menyatakan bahwa Allah berada
di atas langit atau menetap tinggi di atas ‘Arsy, maka di sini bukan berarti Allah itu berada
dalam makhluk (berada dalam langit) atau butuh pada makhluk. Inilah yang banyak
disangkakan sebagian orang. Dikira jika kita menyatakan Allah berada di atas langit, itu
berarti Allah berada di dalam langit. Ini sungguh sangkaan keliru.

Yahya bin Mu’adz Ar Rozi[14]


‫قال أبو إسماعيل األنصاري في الفاروق بإسناد إلى محمد بن محمود سمعت يح((يى بن مع((اذ يق((ول إن هللا على الع((رش ب((ائن من‬
‫خلقه أحاط بكل شيء علما ال يشذ عن هذه المقالة إال جهمي يمزج هللا بخلقه‬
Abu Isma’il Al Anshori berkata dalam Al Faruq dengan sanad sampai ke Muhammad bin
Mahmud, aku mendengar Yahya bin Mu’adz berkata, “Sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy,
terpisah dari makhluk-Nya. Namun ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Tidak ada yang
memiliki perkataan nyleneh selain Jahmiyah. Jahmiyah meyakini bahwa Allah bercampur
dengan makhluk-Nya.”[15]
Pelajaran penting:

[119]
Perkataan Yahya di atas menunjukkan bahwa pendapat Jahmiyah yang tidak meyakini
Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy adalah keyakinan yang nyleneh, alias aneh.
Penutup
Masih banyak lagi perkataan ulama masa silam semacam dari ulama pakar hadits yang
belum kami sebutkan. Insya Allah perkataan lainnya akan kami lanjutkan pada tulisan
selanjutnya. Semoga Allah mudahkan.

Intinya, pernyataan orang-orang yang menyatakan Allah tidak di atas langit, adalah
pernyataan “basi”, pernyataan semacam itu hanyalah mengadopsi pendapat Jahmiyah yang
para ulama banyak mencelanya. Semoga dengan perkataan ulama yang kami nukilkan ini
bisa membuka hati setiap orang yang masih ragu tentang keberadaan Allah di atas seluruh
makhluk-Nya.

Hanya Allah yang beri taufik.

[1] Al Muzanni meninggal dunia pada tahun 264 H dalam usia 80-an tahun.
[2] Syaikh Al Albani mengatakan, “Dari jalur yang dibawakan oleh penulis (Adz Dzahabi)
dengan sanadnya terdapat perowi yang tidak aku kenal semisal ‘Amr bin Tamim Al Makki.”
(Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 201)
[3] Lihat Al ‘Uluw, hal. 186 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 201.
[4] Adz Dzuhli meninggal dunia pada tahun 258 H.
[5] Syaikh Al Albani mengatakan, “Riwayat ini dibawakan oleh penulis dari Muhammad bin
Nu’aim, aku sendiri tidak mengenalnya.”  (Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202)
[6] Lihat Al ‘Uluw, hal. 186 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202.
[7] Imam Al Bukhari hidup dari tahun 194-256 H.
[8] Lihat Al ‘Uluw, hal. 186 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202.
[9] Abu Zur’ah meninggal tahun 264 H.
[10] Lihat Al ‘Uluw, hal. 187-188 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 203.
[11] Lihat Al ‘Uluw, hal. 188 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 204.
[12] Abu Hatim Ar Rozi meninggal dunia tahun 277 H.
[13] Lihat Al ‘Uluw, hal. 189-190 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 206-207.
[14] Yahya bin Mu’adz meninggal dunia tahun 258 H.
[15] Lihat Al ‘Uluw, hal. 190 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 207-208

[120]
Sepakat Ulama tentang Di Mana Allah

Barangkali ada yang bertanya, di mana Allah? Allah di atas sana, di atas langit, di atas
seluruh makhluk-Nya.

Jawaban di atas menjadi kata sepakat ulama.

Para ulama telah sepakat bahwa Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya. Allah berada di
ketinggian di atas langit sana, bukan berada di muka bumi. Allah berada di atas seluruh
makhluk-Nya, bukan di mana-mana.

Berikut kami buktikan keyakinan di atas berdasarkan kata sepakat para ulama.

1- Kata Ijma’ Ulama


‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, ayahku menceritakan kepada kami, ia berkata aku
diceritakan dari Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’i bahwa ia berbicara mengenai Jahmiyah. Beliau
berkata,

‫الجهمية فقال هم شر قوال من اليهود والنصارى قد إجتمع اليه(ود والنص(ارى وأه(ل األدي(ان م(ع المس(لمين على أن هللا عزوج(ل‬
‫على العرش وقالوا هم ليس على شيء‬

“Jahmiyah lebih jelek dari Yahudi dan Nashrani. Telah diketahui bahwa Yahudi dan
Nashrani serta agama lainnya bersama kaum muslimin bersepakat bahwa Allah ‘azza wa
jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy. Sedangkan Jahmiyah, mereka katakan bahwa Allah tidak
di atas sesuatu pun.” (Lihat Al-‘Uluw li Al-‘Aliyyi Al- Ghaffar, hlm. 157 dan Mukhtashor Al
‘Uluw, hlm. 168)
 

2- Sepakat Ulama Madzhab


Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad semuanya bersepakat
bahwa Allah menetap tinggi di atas seluruh makhluk-Nya.

Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqh Al-Akbar,


‫َم ْن اَ ْن َك َر اَ َّن هللاَ تَ َعالَى فِي ال َّس َما ِء فَقَ ْد َكفَ َر‬
[121]
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”
(Lihat Itsbatu Shifat Al- ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hlm. 116-117)
Imam Malik bin Anas mengatakan,
‫هللاُ فِي ال َّس َما ِء َو ِع ْل ُمهُ فِي ُك ِّل َم َكا ٍن الَ يَ ْخلُوْ ِم ْنهُ َش ْي ٌء‬

“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu
tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” (Lihat Al-‘Uluw li Al-‘Aliyyi Al- Ghaffar, hlm. 138)
Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama
lainnya, mereka berkata, “Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai
Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,

ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْستَ َوى‬

“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy.” (QS. Thaha: 5). Lalu bagaimana Allah beristiwa’
(menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu
(artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun
naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,
ًّ‫ضاال‬
َ َ‫ال َكيْفُ َغ ْي ُر َم ْعقُوْ ٍل َوا ِإل ْستِ َوا ُء ِم ْنهُ َغ ْي ُر َمجْ هُوْ ٍل َوا ِإل ْي َمانُ بِ ِه َوا ِجبٌ َوال ُّسؤَا ُل َع ْنهُ بِ ْد َعةٌ َوإِنِّي أَ َخافُ أَ ْن تَ ُكوْ ن‬

“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui
maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai
(hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian
orang tersebut diperintah untuk keluar. (Lihat Al-‘Uluw li Al-‘Aliyyi Al-Ghaffar, hlm. 378)
Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang
pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.

Imam Syafi’i berkata,
‫القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث ال((ذين رأيتهم فأخ((ذت عنهم مث((ل س((فيان ومال((ك وغيرهم((ا‬
‫اإلقرار بشهادة ان الاله اال هللا وان محمدا رسول هللا وذكر شيئا ثم قال وان هللا على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كي((ف ش((اء‬
‫وان هللا تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر االعتقاد‬

“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya,
juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui
bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan,
“Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun
walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah
[122]
Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah
menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya. (Lihat Itsbatu Shifat Al-‘Uluw, hlm. 123-
124)
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya, “Apa makna firman Allah,
‫َوهُ َو َم َع ُك ْم أَ ْينَ َما ُك ْنتُ ْم‬

“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al-Hadid: 4)
‫َما يَ ُكونُ ِم ْن نَجْ َوى ثَاَل ثَ ٍة إِاَّل هُ َو َرابِ ُعهُ ْم‬

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al-
Mujadilah: 7)
Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang
ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang
tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan
ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun
meliputi langit dan bumi.”

Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,

‫قيل ألبي عبد هللا احمد بن حنبل هللا عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بك((ل مك((ان ق((ال نعم‬
‫على العرش و اليخلو منه مكان‬

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas
langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan
ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali.
Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” (Lihat Itsbatu
Shifat Al-‘Uluw, hlm. 116)
 

3- Didukung oleh 1000 Dalil


Ahmad bin Abdul Halim Al-Harani (yang dikenal dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
berkata,

َ ْ‫ق َوأَنَّهُ فَو‬


. ‫ق ِعبَ((ا ِد ِه‬ ِ ‫ تَدُلُّ َعلَى أَ َّن هَّللا َ تَ َعالَى عَا ٍل َعلَى ْالخَ ْل‬: ‫ فِي ْالقُرْ آ ِن ” أَ ْلفُ َدلِي ٍل ” أَوْ أَ ْزيَ ُد‬: ‫ب ال َّشافِ ِع ِّي‬
ِ ‫ال بَعْضُ أَ َكابِ ِر أَصْ َحا‬
َ َ‫ق‬
َ ِ‫ فِي ِه ” ثَاَل ثُ ِمائَ ِة ” َدلِي ٍل تَدُلُّ َعلَى َذل‬: ُ‫ال َغ ْي ُره‬
‫ك‬ َ َ‫َوق‬

“Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an ada 1000 dalil atau
lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya.
[123]
Sebagian mereka lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.” (Majmu’ah Al-
Fatawa, 5: 121)
Yang namanya ijma’ atau kata sepakat ulama seperti yang kami nukilkan sudah menjadi
dalil kuat bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, menetap tinggi di atas seluruh makhluk-
Nya. Siapa yang menyelisihi akidah ini, dialah yang keliru.

Karena disebutkan dalam hadits,

َ ‫إِ َّن أُ َّمتِى اَل تَجْ تَ ِم ُع َعلَى‬


‫ضالَلَ ٍة‬

“Sesungguhnya umatku tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan.” (HR. Ibnu Majah
no. 3950)
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Kelirukah Murjiah, Mutazilah dan Asyairah?


Ada yang bertanya, apa itu paham Murji’ah, Mu’tazilah dan Asya’irah? Apakah mereka
termasuk dalam golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengikuti pemahaman Nabi dan
para sahabat?

Pertanyaan:
 

Ustadz,  saya mau bertanya.

Apa yg di  maksud paham murji’ah,  mu’tazilah, dan asya’irah? Sering teman-teman di
kajian menyebut-nyebut pemahaman tersebut dan dianggap sesat…

Mohon pencerahannya…

Atas penjelasannya, kami mengucapkan. Jazaakallahu khairan.

(Wanda Ummu Aufa, Group WA Tanya Rumaysho 3 – Puteri) 

Jawaban:
Ibu Wanda yang semoga selalu dirahmati Allah. Tiga aliran atau pemahaman yang ibu
tanyakan, memang ada dalam penyebutan para ulama. Terutama tiga pemahaman tersebut

[124]
diulas oleh para ulama Ahlus Sunnah dalam kitab aqidah yang mereka susun. Berikut
sedikit penjelasan tentang tiga aliran tersebut. 

Murji’ah
 

Ibnu ‘Uyainah mengatakan,

َ ِ‫ضى أُولَئ‬
‫ اإْل ِ ي َم(انُ قَ(وْ ٌل بِاَل‬: َ‫ فَأ َ َّما ْال ُمرْ ِجئَةُ ْاليَوْ َم فَهُ ْم قَوْ ٌم يَقُولُ(ون‬، ‫ك‬ َ ‫ فَقَ ْد َم‬، َ‫ قَوْ ٌم أَرْ َجوْ ا أَ ْم َر َعلِ ٍّي َوع ُْث َمان‬:‫” اإْل ِ رْ َجا ُء َعلَى َوجْ هَي ِْن‬
. ” ‫((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((ل‬
ٍ ‫َع ِم‬
)659 /2( ”‫انتهى من “تهذيب اآلثار‬
“Irja’ (pemahaman murji’ah) itu ada dua bentuk. Pertama, mereka yang menangguhkan
urusan ‘Ali dan ‘Utsman. Tipe pertama dari Murji’ah sudah lewat masanya. Adapun
murji’ah saat ini yang menyatakan bahwa iman itu hanya perkataan tanpa amalan.”
(Tahdzib Al-Atsar, 2: 659)
Beberapa keyakinan menyimpang dari Murji’ah:

 Definisi iman hanyalah pembenaran dalam hati, atau pembenaran dengan hati dan
lisan saja, tanpa memasukkan amalan.

 Amalan tidak masuk dalam hakikat iman, juga bukan bagian dari iman. Jika amalan
ditinggalkan seluruhnya, iman tidak akan hilang seluruhnya.

 Pelaku maksiat tetap dikatakan sebagai seorang mukmin yang sempurna imannya.

 Amalan hanya masuk dalam kewajiban iman dan buahnya, amalan bukanlah masuk
dalam hakikat iman.

 Iman tidaklah bertambah dan tidak berkurang. Karena iman hanyalah pembenaran
dengan hati yang tidak bisa masuk penambahan ataukah pengurangan.

Sumber: https://islamqa.info/ar/227276

Mu’tazilah
 

Disebut Mu’tazilah merujuk pada i’tizalnya (menyingkirnya) Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin
‘Ubaid dari majelis (halaqah) Al-Hasan Al-Bashri. Ada saat itu seseorang yang
mengungkapkan pada Al-Hasan Al-Bashri, “Wahai imam, telah muncul di zaman kita ini
orang-orang yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Pelaku dosa besar dihukumi kafir oleh
[125]
mereka. Mereka menganut paham yang sama dengan Wa’idiyyah yaitu kaum Khawarij
dalam hal ini.”

Al-Hasan Al-Bashri kemudian merenung sejenak. Sebelum Al-Hasan Al-Bashri, Washil


lantas menimpali, “Aku tidaklah mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mukmin secara
mutlak atau kafir secara mutlak. Pelaku dosa besar itu berada pada manzilah bayna
manzilatain (di antara dua keadaan), yaitu tidak mukmin, tidak kafir.”

Kemudian Washil keluar, lantas Al-Hasan Al-Bashri memberikan jawaban pada murid-
muridnya, “Washil telah i’tizal (menyingkir) dari kita.” Setelah itu diikuti lagi oleh ‘Amr bin
‘Ubaid. Lantas Al-Hasan Al-Bashri dan murid-muridnya menyebut mereka berdua dengan
sebutan Mu’tazilah. (Pengantar Kitab Kibar Al-Mu’tazilah wa Dhalaluhum, hlm. 27)
Penyimpangan dari Mu’tazilah adalah:

 Menolak semua sifat Allah.

 Dalam masalah takdir, Mu’tazilah adalah Qadariyyah yaitu menolak takdir.

 Punya pendapat yang hampir sama dengan Jahmiyyah yaitu meniadakah kalau Allah
dapat dilihat pada hari kiamat, menyatakan Al-Qur’an itu makhluk (bukan kalamullah).

 Menganggap bahwa semua ilmu itu kembali pada akal untuk bisa menerimanya.

 mirip dengan Khawarij yaitu menganggap pelaku dosa besar kekal dalam neraka,
namun mereka tidak berani mencap kafir. Itulah mengapa Mu’tazilah disebut “bancinya
Khawarij” (Mukhanits Al-Khawarij).

 Orang mukmin dianggap tidak masuk neraka, namun cuma mendatangi saja. Karena
kalau masuk neraka, tak mungkin keluar lagi dari neraka sama sekali.

 Menganggap bahwa surga dan neraka tidak kekal (akan fana).

 Menyatakan Allah di mana-mana, di setiap tempat (Allah bi kulli makan).

 Mengingkari adanya siksa kubur. (Pengantar Kitab Kibar Al-Mu’tazilah wa


Dhalaluhum, hlm. 30-31)
Muktazilah punya usul khamsah (lima landasan pokok), seperti rukun Islam di kalangan
mereka dan lima prinsip ini disepakati oleh kaum Mu’tazilah. Lima prinsip itu adalah:

 At-Tauhid (keesaan Allah)

 Al-‘Adlu (keadilan)

 Manzilah bayna manzilatain (kedudukan diantara dua kedudukan)

[126]
 Al-Wa’du wa Al-Wa’id (janji dan ancaman Allah)

 Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar (amar makruf nahi munkar)

Sekilas tidak ada masalah dengan 5 pokok di atas. Namun mereka memaksudkan
interpretasi yang sesat atas semua pokok tersebut.

 Tauhid dimaksudkan untuk meniadakan sifat-sifat Allah.

 Al-‘Adlu dimaksudkan untuk mengingkari bahwa perbuatan hamba diciptakan oleh


Allah.

 Manzilah bayna Manzilatain maksudnya adalah bahwa pelaku dosa besar berada di
antara dua kedudukan, mereka tidak disebut mukmin, tidak pula disebut kafir.

 Al-Wa’du wa Al-Wa’id dimaksudkan untuk menyatakan bahwa pelaku dosa besar


kekal di dalam neraka.

 Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar dimaksudkan untuk


menghalalkan pemberontakan kepada penguasa zalim. (Pengantar Kitab Kibar Al-
Mu’tazilah wa Dhalaluhum, hlm. 32-75)
 

Asya’irah
 Asya’irah adalah kelompok yang menyandarkan pemahamannya pada Abul Hasan Al-
Asy’ari. Sedangkan Abul Hasan Al-Asy’ari dalam fase kehidupannya melewati beberapa
tahapan.

Pertama, Abul Hasan berpaham Mu’tazilah. Fase ini dijalani selama 40 tahun.

Kedua, beliau merujuk pada pemahaman Kullabiyyah lewat pelopornya ‘Abdullah bin Sa’id
bin Kullab. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah (nukilannya bisa dilihat di Siyar
A’lam An-Nubala’ (14: 380, Penerbit Muassasah Ar-Risalah), Imam Ahmad bin Hambal yang
paling santer membantah pemahaman ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab.
Ketiga, merujuk pada pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun apakah secara
keseluruhan, Abul Hasan mengikuti pemahaman Ahlus Sunnah ataukah ada pemahaman
Kullabiyah yang masih dianutnya? Di sini para ulama berbeda pandangan. Al-Hafizh Ibnu
Katsir dan Syaikh Hafizh Al-Hakami berpendapat bahwa Abul Hasan Al-Asy’ari sudah
mengikuti pemahaman Ahlus Sunnah. Abul Hasan Al-Asy’ari mengatakan dalam kitabnya
Al-Ibanah di bagian akhir,

[127]
“Perkataan kami yang kami menjadikan bagian dari agama kami adalah berpegang pada
Kitabullah dan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu juga yang
diriwayatkan dari sahabat, tabi’in dan para ulama pakar hadits. Kami berpegang teguh
pada itu semua. Yang perpegang dengan akidah seperti itu pula adalah Imam Abu ‘Abdillah
Ahmad bin Muhammad bin Hambal, semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat
derajatnya.”

Namun Asya’irah saat ini punya pemahaman yang berbeda dengan Abul Hasan Al-Asy’ari
yang pada fase terakhir merujuk pada pemahaman Ahlus Sunnah. Secara lengkap
pemahaman Asya’irah ini dibahas oleh Syaikh Safar Al-Hawali dan Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin memuji buku karya beliau tersebut untuk dijadikan rujukan. Silakan
merujuk pada: https://islamqa.info/ar/226290.
Asya’irah saat ini punya pemahaman menyimpang:

 Berpaham Jabariyah dalam hal takdir, bahwasanya Allah memaksa hamba untuk
berbuat, tanpa punya pilihan.

 Murji’ah dalam masalah iman.

 Mu’attilah (menolak sifat) dalam masalah sifat Allah.

 Asya’irah hanya mengakui tujuh atau sebagian sifat saja. Karena sifat-sifat yang
mereka tetapkan itulah yang pas menurut akal.

 Asya’irah menolak sifat Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy dan menolak sifat
ketinggian bagi Allah. Mereka berpendapat bahwa Allah bukan di dalam alam, bukan di
luarnya, bukan di atas, bukan di bawah.

Sampai-sampai Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan dalam Syarh Al-


Arba’in An-Nawawiyah (hadits no. 28), hlm. 316 (Penerbit Daruts Tsaraya), “Kitab yang
paling bagus membantah Asya’irah adalah kitab karya saudara kami Safar Al-Hawali.
Karena kebanyakan orang tak memahami penyimpangan Asya’irah dari madzhab salaf
melainkan dalam bahasan Asma’ dan Sifat saja. Padahal sejatinya mereka punya
penyimpangan yang banyak.”
 

Dari tiga pemahaman di atas, dengan penyimpangan tersebut apakah pantas dimasukkan
dalam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan
pemahaman salaf? Anda tahu bagaimana memberi penilaian dalam hal ini.

[128]
HUKUM MENGATAKAN ALLAH ADA DIMANA-MANA

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Dalam sebuah siaran radio ditampilakan
kisah dengan menggunakan kata-kata: Seorang anak bertanya tentang Allah kepada
ayahnya, maka sang ayah menjawab: Allah itu ada dimana-mana. Bagaimana pandangan
hukum agama yterhadap jawaban yang menggunakan kalimat semacam ini?

Jawaban.
Jawaban ini batil, merupakan perkataan golongan bid’ah dari aliran Jahmiyah dan
Mu’tazilah serta aliran lain yang sejaan dengan mereka. Jawaban yang benar adalah yang
di-ikuti oleh Ahli Sunnah wal Jama’ah, yaitu Allah itu ada di langit diatas Arsy, diatas semua
mahlukNya. Akan tetapi ilmuNya ada dimana-mana (meliputi segala sesuatu).Hal ini
sebagaimana disebutkan didalam beberapa ayat Al Qur’an,hadits-hadits Nabi Shalallahu
alaihi wa sallam, ijma’ dari pendahulu umat ini.Sebgaimana contoh adalah firman Allah:

“Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy” [Al A’raf : 54]

Didalam Al Qur’an ayat ini tersebut pada 6 tempat. Yang dimaksud dengan ‘bersemayam”
menurut Ahli Sunnah ialah pada ketinggian atau berada diatas Arsy sesuai dengan
keagungan Allah.Tidak ada yang dapat mengetahui bagaimana bersemayamnya itu,seperti
dikatakan oleh Imam Malik ketika beliau ditanya orang tentang hal ini.Beliau menjawab:

“Kata bersemayam itu telah kita pahami.Akan tetapi ,bagaimana caranya tidak kita ketahui.
Mengimana hal ini adalah wajib,tetapi mempersoalkannya adalah bid’ah”.

Yang beliau maksudkan dengan mempersoalkannya adalah bid’ah yakni mempersoalkan


cara Allah bersemayam diatas Arsy. Pengertian ini beliau peroleh dari gurunya,Syaikh
Rabi’ah bin Abdurrahman yang bersumber dari riawayat Ummu Salamah radhiallahu
anha .Hal ini merupakan pendapat semua Ahli Sunnah yang bersumber dari shahabat Nabi
Shalallahu alaihi wa sallam dan para tokoh Islam sesudahnya.Allah telah menerangkan
pada beberapa ayat lainnya bahwa Dia dilangit dan Dia berada diatas, seperti dalam
firmanNya:
[129]
“Artinya : Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya” [Surat Faathir:10]

“Artinya : Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar” [Al Baqarah:255]

“Artinya : Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan
menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?,
Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan
mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat
mendustakan) peringatan-Ku” [Surat Al Mulk:16-17]

Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang dengan jelas memuat penegasan bahwa Allah itu ada di
langit, Dia berada diatas. Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang
menggunakan kata-kata bersamayam. Dengan demikian dapatlah diketahui perkataan ahlu
bid’ah : Allah itu berada dimana-mana, merupakan hal yang sangat batil. Perkataan ini
merupakan pernyataan firqoh yang beranggapan bahwa alam ini penjelmaan Allah,suatu
aliran bid’ah lagi sesat,bahkan aliran kafir lagi sesat serta mendustakan Allah dan RasulNya
Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam .Dikatakan demikian karena dalam riwayat yang
sah dari beliau Shalallahu alaihi wa sallam dinyatakan bahwa Allah ada dilangit,
sebagaimana sabda beliau Shalallahu alaihi wa sallam :

“Artinya : Tidakkah kalian mau percaya kepadaku padahal aku adalah kepercayaan dari
Tuhan yang ada di langit”. [Bukhari no.4351 kitabul Maghazi ; Muslim no.1064 Kitabuz
Zakat]

Hal ini juga disebutkan pada hadits-hadits (tentang) Isra’ Mi’raj, dan lain-lain.

[Majallatuud Dakwah no.1288]

MENGATAKAN ALLAH ADA DI MANA-MANA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana pandangan hukum
terhadap jawaban sebagian orang: Allah berada dimana-mana, bila ditanya : Dimana Allah?
Apakah jawaban seperti ini sepenuhnya benar?

[130]
Jawaban.
Jawaban seperti ini sepenuhnya batil. Apabila seseorang ditanya : Allah dimana?hendaklah
ia menjawab: Di langit, seperti dikemukakan oleh seorang (budak) perempuan yang
ditanya oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :Dimana Allah? jawabnya: Di langit.

Adapun orang yang menjawab dengan kata-kata: Allah itu ada, maka jawaban ini sangat
samar dan menyesatkan.Orang yang mengatakan bahwa Allah itu ada dimana-mana
dengan pengertian dzat Allah ada dimana-mana ,adalah kafir karena ia telah mendustakan
keterangan-keterangan agama,bahwa dalil-dalil wahyu dan akal serta fitrah.Allah berada
diatas segala mahluk. Dia berada diatas semua langit,bersemayam diatas Arsy.

[Majmu’ Fatawaa wa Rasaail, juz 1 halaman 132-133]

[Disalin dari kitab Al Fatawaa Asy Syar’iyyah Fil Masaail Al Ashriyyah min Fatawaa Ulama
Al Balaadil Haraami, Edisi Indonesia : Fatwa Kontenporer Ulama Besar Tanah Suci,
Penyusun Khalid al Juraisy, Penerbit :Media Hidayah, Cet.1 September 2003]

Dimana Allah Tinggal Sebelum Bersemayam di


Atas Arasy?

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Alhamdulillah wa syukru lillahi, laa haula wa laa quwwata illa billah. Was shalatu was
salamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihil kiram ajma’in. Amma ba’du.

Salah satu sumber penulisan dalam blog ini ialah pertanyaan-pertanyaan pembaca dalam
forum diskusi. Kadang suatu pertanyaan tidak cukup dijawab di forum diskusi, sehingga
perlu diberikan jawaban yang lebih luas dalam wujud artikel tersendiri. Walhamdulillah.

Pertanyaan sebagian pembaca tentang tuduhan adanya kesamaan antara konsep Tauhid
dengan teologi Trinitas Kristiani, alhamdulillah sudah ditulis (tetapi belum dipublikasikan).
Dan kini ada lagi pertanyaan dari pembaca tentang “tempat tinggal” Allah Ta’ala.

Isi lengkap pertanyaan dari saudara @ Awam (setelah di-edit seperlunya)  adalah sebagai
berikut:

[131]
“Saya mau tanya kepada Mas Abisyakir dan @ Ahmad (salah seorang pembaca yang
berkomentar dalam artikel “Allah Ta’ala Ada di Langit”). Kalau memang Allah ada
(bersemayam) di langit atau di atas Arasy, lalu dimanakah Allah  tinggal sebelum Arasy dan
langit diciptakan oleh Allah? Apa mungkin Allah berpindah tempat? Sedangkan yang saya
tahu, itu sangat mustahil! Tolong beri penjelasan yang masuk akal!”

Si penanya merasa ragu (atau tidak yakin), bahwa Allah Ta’ala ada di atas langit, seperti
yang disebutkan dalam ayat-ayat Al Qur’an maupun Sunnah. Sebagai alasan dari keraguan
itu, dia melontarkan pertanyaan seputar “dimana Allah tinggal” sebelum Dia menciptakan
langit dan Arasy.

Dengan memohon karunia Allah, ilmu, dan petunjuk-Nya, mari kita kaji persoalan ini lebih
jauh.

“Keruwetan Akal Membawa Keruwetan Jiwa”.

PERTAMA, dalil yang menyatakan bahwa Allah itu ada di atas Arasy setidaknya ada 7 ayat
dalam Al Qur’an yang secara qath-i menjelaskan hal itu. Ia adalah: Surat Al A’raaf ayat 54,
Yunus ayat 3, Ar Ra’du ayat 2, Thaha ayat 5, Al Furqan ayat 59, As Sajadah ayat 4, dan Al
Hadid ayat 4. Bahkan dalam Surat Al Baqarah ayat 29 disebutkan: “Tsumma istawa ilas
sama’i fasauwahunna sab’a samawaat” (kemudian Dia istiwa menuju ke langit, lalu Dia
ciptakan 7 tingkat langit). Sebagai orang Muslim, sebelum kita berpikir masuk akal atau
tidak, semestinya harus mengimani ayat-ayat ini. Kalau tidak demikian, berarti kita
membuat syarat-syarat dalam keimanan kita. Misalnya, kalau masuk akal diimani, kalau tak
masuk akal ditolak. Janganlah demikian, sebab hal itu dianggap tidak tulus dalam
beragama.

KEDUA, dalam ajaran Islam banyak perkara yang bersifat ghaib. Ghaib bisa karena waktu
(misalnya peristiwa-peristiwa di masa lalu, atau di masa depan). Ghaib bisa karena ruang

[132]
(misalnya letaknya sangat jauh, atau sangat kecil, sehingga tak tampak oleh penglihatan
normal). Ghaib juga bisa karena wujudnya (misalnya ada makhluk halus yang tak tampak,
padahal mereka ada dan eksis, seperti jin, Malaikat, ruh, dll.).

Di antara perkara ghaib itu ada yang Allah ajarkan, dan ada pula yang tidak Dia ajarkan.
Contoh, hanya sebagian saja dari ribuan Nabi dan Rasul yang disebutkan kisahnya dalam
Kitabullah dan Sunnah. Terhadap berita-berita yang Allah ceritakan, ya kita imani; adapun
yang tidak Dia ceritakan, kita menahan diri untuk tidak masuk ke wilayah itu, agar tidak 
menjadi sesat karenanya. Na’udzubillah min dzalik.

Informasi atau ilmu tentang dimana posisi Allah Ta’ala sebelum Diri-Nya menciptakan
langit dan Arasy, adalah termasuk hal-hal sangat ghaib yang tidak diceritakan dalam Kitab-
Nya. Kalau terhadap kisah Nabi-nabi tertentu yang tidak dikisahkan dalam Al Qur’an, kita
mau menahan diri untuk tidak mengorek-ngorek kisah seperti itu; lalu bagaimana mungkin
kita akan mempertanyakan posisi Allah sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy? Apa
perlunya? Kalau misalnya kita sudah tahu, apakah itu bisa meningkatkan keimanan, atau
membuat akal justru semakin liberal dengan fantasi-fantasi ala Bani Israil lainnya?

KETIGA, dalam Al Qur’an atau Sunnah dijelaskan, bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas
Arasy. Arasy itu ada di atas langit yang ke-7. Bagaimana cara Allah bersemayam di atas
Arasy, hal itu merupakan perkara ghaib. Kita tidak boleh mengatakan, Allah disana
“duduk”, “berdiri”, “menempel”, “mengambang”, dll. Karena memang semua itu tak
dijelaskan oleh-Nya dan oleh Nabi-Nya Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Termasuk pertanyaan,
apakah Arasy itu berupa ruang, udara kosong, dimensi nihil, atau apapun? Semua itu tidak
usah dipikirkan dan ditanyakan. Dengan sendirinya, jika Istiwa’ Allah di atas Arasy tak usah
ditanyakan, maka bagaimana keadaan Allah sebelum menciptakan Arasy, lebih tak perlu
ditanyakan lagi.

KEEMPAT, munculnya pertanyaan, dimana Allah sebelum Dia menciptakan langit dan
Arasy, hal ini lahir karena kesalahan berpikir sangat fatal, yaitu sejak awal sudah
mempersepsikan Allah seperti makhluk. Misalnya, suatu saat kita melihat seekor burung
hinggap di pohon depan rumah. Maka pikiran logis kita akan segera bergerak: “Dari mana
nih burung? Kok pagi-pagi sudah nongol di depan rumah?” Nah, untuk makhluk, kita bisa
berpikir seperti itu, karena makhluk terikat oleh hukum-hukum Sunnatullah yang berlaku
atasnya. Dalam masalah makhluk kita selalu berpikir “darimana ini”, “akan kemana”, “nanti

[133]
menjadi apa”, “prosesnya bagaimana”, dll. Tetapi untuk Allah Ta’ala, Dia terbebas dari
semua ikatan-ikatan hukum yang berlaku pada makhluk-Nya.

Kalau manusia memanjat, dia akan menjadi tinggi; kalau terjun ke bawah, akan menjadi
rendah; kalau berlari akan menjadi cepat; kalau diam diri, dia tak bergerak; kalau
kehujanan akan merasa dingin; kalau tertimpa terik sinar matahari, akan kepanasan.
Manusia atau makhluk terikat hukum-hukum demikian. Tetapi Allah Ta’ala tidak terikat
semua itu. Dia bisa berbuat apapun yang Dia inginkan, sehingga ada ayat Al Qur’an yang
berbunyi: “Idza arada syai’an an yaqula lahu kun fa yakun” (kalau Dia menginginkan
sesuatu, tinggal mengatakan “kun” maka jadilah apa yang Dia inginkan itu).

Bersemayamnya Allah di atas Arasy adalah bagian dari kehendak-Nya. Dia ingin apapun
dan bagaimanapun, itu hak Dia sebagai Pencipta alam semesta dan kehidupan. Kita sebagai
manusia tak punya hak mencampuri urusan Rububiyyah-Nya. Misalnya, sebelum
menciptakan langit dan Arasy, Allah berkehendak demikian dan demikian, maka semua itu
hak-Nya belaka. Kita tak bisa menolak atau mencampuri. Bila makhluk terikat oleh
dimensi-dimensi, maka Allah tak terikat apapun. Dia mandiri dan independen. “Allahus
Shamad” (Allah, bergantung kepada-Nya semua makhluk).

KELIMA, dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa ada kalanya dalam diri manusia timbul
pikiran-pikiran aneh karena bisikan syaitan. Misalnya dia berpikir, bahwa alam semesta ini
diciptakan oleh Allah. Lalu siapa yang menciptakan Allah? Nabi menasehatkan, kalau ada
bisikan-bisikan seperti itu, seorang Muslim cukup mengatakan, “Amantu billahi wa bi
Rusulihi” (aku beriman kepada Allah dan kepada Rasul-rasul-Nya). HR. Imam Ahmad.

Dzat Allah sangat berbeda dengan makhluk-Nya. Allah menciptakan, tetapi tidak
membutuhkan diciptakan. Allah adalah Awal, tetapi tanpa diawali. Dia ada, tanpa diadakan.
Dia adalah Akhir, tetapi tanpa diakhiri. Allah bisa membolak-balikkan siang dan malam,
gelap dan terang, panas dan dingin, sesuka diri-Nya. Jadi kita tidak perlu bertanya, “Siapa
yang menciptakan Allah?” Sebab logika demikian hanya berlaku bagi makhluk-Nya. Allah
Ta’ala ada tanpa diadakan, Dia kuasa tanpa diberi kekuasaan, Dia mencipta tanpa pernah
terciptakan. Dia bisa membolak-balikkan dimensi-dimensi tanpa berkurang sedikit pun
Kemuliaan dan Keagungan-Nya. Dia Tinggi tanpa ada yang lebih tinggi dari-Nya, Dia bisa
turun tanpa menjadi lebih rendah. Allah tidak terikat sifat-sifat makhluk-Nya.

Kalau manusia mencari hal-hal di luar semua itu, ingin menerobos hakikat-hakikat seputar
Sifat Rubibiyyah Allah; demi memuaskan hawa nafsu akalnya, jelas dia akan binasa.
[134]
Na’udzubillah min dzalik. Ketahuilah, akal manusia dibatasi oleh hukum-hukum yang
berlaku di alam semesta (universe). Sedangkan Allah bebas dari semua hukum-hukum itu.
Sekali-kali, jangan memahami Allah dengan ukuran-ukuran makhluk-Nya.

KEENAM, ada logika yang diyakini sebagian orang, “Kalau Allah di atas Arasy, lalu dimana
Dia sebelum Arasy itu diciptakan? Apakah Dia sebelumnya berada di suatu “tempat”,
kemudian pindah ke atas Arasy? Mungkinkah Dzat Allah berpindah-pindah? Sungguh
mustahil.” Logika demikian kan sangat kelihatan kalau si penanya berpikir dalam dimensi
makhluk. Dia ingin memahami Allah dengan persepsi makhluk. Sebenarnya, Allah mau
mengambil “posisi” dimanapun, itu hak Dia. Andaikan Allah tidak menunjuki diri-Nya di
atas Arasy, tidak ada masalah bagi-Nya. Tetapi karena kasih-sayang Allah, di atas
Keghaiban-Nya, Dia ingin memudahkan manusia memahami keghaiban itu, maka Dia
berkehendak istiwa’ di atas Arasy. Dengan demikian, manusia mendapati satu kemudahan
ketika ditanya “aina Allah” (dimana Allah). Maka kita bisa menjawab secara pasti: Fis
sama’i ‘alal Arsy (di langit, di atas Arasy).

Mungkinkah Allah berpindah-pindah dari satu posisi ke posisi lain? Mula-mula, Anda harus
bebaskan Dzat Allah dari ikatan-ikatan yang berlaku atas makhluk-Nya. Makhluk dibatasi
oleh dimensi-dimensi, sedangkan Allah bebas dari semua itu. Kemudian, ingat selalu bahwa
Allah memiliki Sifat Iradah (Maha Berkehendak). Kalau Allah berkehendak berbuat
sesuatu, tidak ada satu pun yang mampu menghalangi-Nya. Seperti sebuah doa yang
diajarkan oleh Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam: “Allahumma laa mani’a li maa a’thaita,
wa laa mu’thiya li maa mana’ta” (ya Allah, tidak ada yang sanggup menolak apa yang
Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa menerima apa yang Engkau tolak).

Jika demikian, lalu bagaimana insan-insan yang lemah, otak-otak yang bodoh, dan hawa
nafsu yang meluap-luap ini, hendak menolak Sifat-sifat Allah, jika Dia berkehendak
terhadap sesuatu. Itulah bahayanya, cara-cara Takwil itu nantinya kerap kali menjadi jalan
untuk mengingkari Sifat-sifat Allah. Mulanya Takwil, lama-lama menjadi Jahmiyyah atau
Zindiqah (atheis). Na’udzubillah wa na’udzubillah min kulli dalik.

KETUJUH, para ulama sering mengatakan “tafakkaruu fi khalqillah wa laa tafakkaruu fi


dzatillah” (silakan berpikir tentang ciptaan Allah, namun jangan berpikir tentang Dzat-
Nya). Ungkapan seperti ini tidak mengada-ada. Bukannya manusia tak boleh berpikir
tentang Allah, tetapi otaknya tak akan bisa memahami Dzat Allah dengan segala Sifat-Nya.
Dalam Surat Al A’raaf ayat 143, Musa ‘Alaihissalam pernah meminta ingin melihat Dzat

[135]
Allah. Kemudian Allah berkata kepada Musa, “Lan taraniy” (engkau tak akan sanggup
melihat-Ku). Lalu Allah memperlihatkan diri-Nya kepada gunung, seketika itu gunung
tersebut hancur berkeping-keping karena takut kepada Allah. Melihat gunung hancur,
Musa langsung pingsan. Hal ini merupakan batas demarkasi sifat kebebasan manusia
dalam mendayagunakan potensi dan kekuatan nalarnya. Manusia tak boleh melebihi
ambang demarkasi itu, agar otak dan kehidupannya tidak menjadi binasa. Nas’alullah al
‘afiyah.

Singkat kata, dimana kedudukan Allah sebelum menciptakan langit dan Arasy, semua itu
adalah keghaiban belaka. Sama ghaibnya dengan bagaimana keadaan Allah beristiwa’ di
atas Arasy. Kita tidak dibebani kewajiban untuk menelisik masalah-masalah seperti itu.
Akal kita tak akan sampai pada kebenaran hakiki dalam hal seperti ini, kecuali kelak kita
bisa tanyakan semua itu kepada Allah Ta’ala di Akhirat nanti (dengan syarat, harus masuk
syurga dulu).

Dalam pertanyaan seperti ini tak ada penjelasan yang bisa memuaskan akal secara
sempurna, kecuali akal orang-orang beriman yang rela mengimani Kitabullah dan As
Sunnah; serta tidak menjadikan otak-nya sebagai hukum dan agama, dalam kehidupan ini.

Semoga bermanfaat, berkenan, dan mendapat barakah dari Allah Ta’ala. Allahumma amin.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Wallahu a’lam bisshawab.

[136]
Dimanakah Allah ? – Ini Jawaban Al-Imaam Maalik
bin Anas rahimahullah

Permasalahan ‘dimanakah Allah’ adalah permasalahan krusial yang di jaman dulu para
imam kita dari kalangan salaf mudah menjawabnya dengan jawaban sederhana, namun
menjadi susah oleh generasi setelahnya. Generasi khalaf, terutama yang berafiliasi dengan
kelompok Asyaa’irah, membuat aneka jawaban yang susah untuk dimengerti, mempersulit
diri sendiri. Dulu, ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallambertanya kepada seorang budak
wanita ‘dimanakah Allah’, dengan mudah dijawab : ‘Di atas langit’. Beliaushallallaahu ‘alaihi
wa sallam pun membenarkannya.[1] 

Tidak terkecuali Imam Daaril-Hijrah, Maalik bin Anas rahimahullah. Beliau pun –


sebagaimana salaf beliau dari kalangan shahabat dan taabi’iin – menjawab dengan jawaban
yang mudah, ringkas, dan jelas. Berikut riwayatnya :

‫حدثني أبي رحمه هللا حدثنا سريج بن النعمان حدثنا عبدهللا بن نافع قال كان مالك بن أنس يق(ول االيم((ان ق(ول وعم((ل ويق((ول كلم‬
‫هللا موسى وقال مالك هللا في السماء وعلمه في كل مكان ال يخلو منه شيء‬

Telah menceritakan kepadaku ayahku rahimahullah : Telah menceritakan kepada kami


Suraij bin An-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata :
“Maalik bin Anas pernah berkata : ‘Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, Allah
berbicara kepada Muusaa, Allah berada di langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat – tidak
ada sesuatupun yang luput dari-Nya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-
Sunnah, hal. 280 no. 532; shahih].

Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud dalam Masaail-nya hal. 263, Al-Aajuriiy dalam Asy-
Syarii’ah, 2/67-68 no. 695-696, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad hal. 401 no.
673, Ibnu ‘Abdil-Barr dlam At-Tamhiid 7/138, dan Ibnu Qudaamah dalam Itsbaatu
Shifaatil-‘Ulluw hal. 166 no. 76.

Suraij bin An-Nu’maan bin Marwaan Al-Jauhariy, Abul-Hasan (atau Abul-Husain) Al-
Baghdaadiy; seorang yang tsiqah, sedikit melakukan kekeliruan. Wafat tahun 117 H
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 366 no. 2231].

[137]
‘Abdullah bin Naafi’ bin Abi Naafi’ Ash-Shaaigh Al-Makhzuumiy, Abu Muhammad Al-
Madaniy; seorang yang tsiqah, shahiihul-kitaab, namun pada hapalannya terdapat
kelemahan (layyin). Wafat tahun 206 H [idem, hal. 552, no. 3683].

Namun, kalangan Asyaa’irah[2] lagi-lagi berusaha menafikkan atsar ini.


Merekamelemahkannya dari faktor ‘Abdullah bin Naafi’, karena
sebagian huffadh mengkritik hapalannya. Namun alasan ini tidaklah valid. Disamping
pujian ulama tentang ketsiqahannya secara khusus[3], maka ia juga
dikenal shaahibu Maalik dalam periwayatan dan lebih diutamakan dibanding yang lainnya.

Ibnu Sa’d rahimahullah berkata :

‫كان قد لزم مالك بن أنس لزوما شديدا ال يقدم عليه أحد‬

“Ia melazimi Maalik bin Anas dengan amat sangat, tidak ada seorang pun yang
mendahuluinya”.

Ibnu ‘Adiy rahimahullah berkata :

‫ و هو فى رواياته مستقيم الحديث‬، ‫روى عن مالك غرائب‬

“Ia meriwayatkan beberapa riwayat ghariib dari Maalik. Dan ia dalam riwayatnya


(Maalik) mustaqiimul-hadiits”.

Ibnu Ma’iin rahimahullah berkata :

‫وعبد هللا بن نافع ثبت فيه‬

“Dan ‘Abdullah bin Naafi’ tsabt dalam riwayat Maalik”.

Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :

‫ كان يحفظ حديث مالك كله ثم دخله بآخرة شك‬، ‫كان عبد هللا بن نافع أعلم الناس برأى مالك و حديثه‬

“’Abdullah bin Naafi’ adalah orang yang paling mengetahui tentang pendapat dan hadits
Maalik. Ia menghapal semua hadits Maalik, namun timbul keraguan di akhir hayatnya”.

Abu Daawud rahimahullah berkata :

‫ و كان صاحب فقه‬، ‫وكان عبد هللا عالما بمالك‬

“’Abdullah adalah seorang ‘aalim tentang Maalik, seorang ahli fiqh”.

Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy rahimahullah berkata :

[138]
‫ و حديثه‬،‫كان أعلم الناس بمالك‬

“Ia adalah orang yang paling mengetahui tentang Maalik dan haditsnya”.

[lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 6/52].

Dan khusus Al-Imaam Ahmad (yang perkataannya di atas sering dijadikan alasan untuk
melemahkan atsar ini), maka beliau menyepakati apa yang dikatakan Al-Imaam Maalik bin
Anas rahimahullah dengan periwayatan dari ‘Abdullah bin Naafi’ ini.

‫ ق((ال مال((ك‬: ‫ سمعت أبا عبد هللا أحمد بن حنبل يق((ول‬: ‫ حدثنا الفضل بن زياد قال‬: ‫حدثنا أبو الفضل جعفر بن محمد الصندلى قال‬
‫ سمعته من‬: ‫ من أخبرك عن مالك بهذا ؟ قال‬: ‫ فقلت‬، ‫ ال يخلو منه مكان‬، ‫ هللا عز وجل في السماء وعلمه في كل مكان‬: ‫بن أنس‬
‫ عن عبد هللا بن نافع‬، ‫شريح بن النعمان‬

Telah menceritakan kepada kami Abul-Fadhl Ja’far bin Muhammad Ash-Shandaliy, ia


berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Ziyaad, ia berkata : Aku mendengar
Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata : Telah berkata Maalik bin Anas : “Allah ‘azza wa
jalla berada di langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat. Tidak ada sesuatupun yang luput
dari-Nya”. Lalu aku (Al-Fadhl bin Ziyaad) berkata : “Siapakah yang mengkhabarkan
kepadamu dari Maalik perkataan ini ?”. Ahmad berkata : “Aku mendengarnya dari Syuraih
bin An-Nu’maan, dari ‘Abdullah bin Naafi’” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy dalam Asy-
Syarii’ah, no. 696].

Dan kemudian ia (Ahmad) berhujjah dalam masalah ‘aqidah ini seperti dikatakan Maalik,
sebagaimana terdapat dalam riwayat :

‫ هللا ف((وق الس((ماء الس((ابعة على عرش((ه ب((ائن من خلق((ه‬: ‫فقال يوسف بن موسى القط((ان ش((يخ أبي بك((ر الخالل قي((ل ألبي عب((د هللا‬
‫ نعم هو على عرشه وال يخلو شيء من علمه‬: ‫وقدرته وعلمه بكل مكان قال‬

Telah berkata Yuusuf bin Muusaa Al-Qaththaan, syaikh Abu Bakr Al-Khallaal : Dikatakan
kepada Abu ‘Abdillah : “Apakah Allah berada di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya,
terpisah dari makhluk-Nya, serta kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya ada di setiap tempat ?”. Ia
(Ahmad) menjawab : “Benar, Allah ada di atas ‘Arsy-Nya, tidak ada sesuatupun yang luput
dari ilmu-Nya” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal sebagaimana disebutkan oleh Adz-Dzahabiy
dalam Al-‘Ulluw hal. 130; shahih].

Banyak riwayat-riwayat Al-Imam Ahmad yang menjelaskan hal yang semisal.

Al-Laalikaa’iy rahimahullah berkata :

[139]
‫(وهُ( َو‬ َ ْ‫الس( َما ِء أَ ْن يَ ْخ ِس(فَ بِ ُك ُم األر‬
َ : ‫ض)وق((ال‬ َّ ‫ (أَأَ ِم ْنتُ ْم َم ْن فِي‬: ‫الصَّالِ ُح يَرْ فَ ُعهُ) وقال‬ ‫وقال عز وجل (يَصْ َع ُد ْال َكلِ ُم الطَّيِّبُ َو ْال َع َم ُل‬
‫ وروى ذلك‬. ‫في السماء وعلمه بكل مكان من أرضه وسمائه‬ ‫ظةً) فدلت هذه اآليات أنه تعالى‬ َ ْ‫ْالقَا ِه ُر فَو‬
َ َ‫ق ِعبَا ِد ِه َويُرْ ِس ُل َعلَ ْي ُك ْم َحف‬
، ‫ وسليمان ال((تيمي‬، ‫ ربيعة بن أبي عبد الرحمن‬: ‫ وأم سلمة ومن التابعين‬، ‫ وابن عباس‬، ‫ وابن مسعود‬، ‫ عن عمر‬: ‫من الصحابة‬
‫ وأحمد بن حنبل‬، ‫ وسفيان الثوري‬، ‫ مالك بن أنس‬: ‫ومقاتل بن حيان وبه قال من الفقهاء‬

“Dan Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik


dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10). ‘Apakah kamu merasa aman
terhadap Allah yang di langit kalau Dia hendak menjungkir-balikkan bumi beserta kamu
sekalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang’ (QS. Al-Mulk : 16). ‘Dan Dialah
yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu
malaikat-malaikat penjaga’ (QS. Al-An’aam : 61). Maka ayat-ayat ini menunjukkan
bahwasannya Allah ta’ala berada di atas langit dan ilmu-Nya berada di setiap tempat di
bumi dan langit-Nya. Dan diriwayatkan hal itu dari kalangan shahabat : ‘Umar, Ibnu
Mas’uud, Ibnu ‘Abaas, Ummu Salamah; dan dari kalangan tabi’iin : Rabii’ah bin Abi
‘Abdirrahmaan, Sulaimaan At-Taimiy, Muqaatil-bin Hayyaan; dan dengannya dikatakan
oleh para fuqahaa’ : Maalik bin Anas, Sufyaan Ats-Tsauriy, dan Ahmad bin Hanbal” [Syarh
Ushuulil-I’tiqaad, hal. 387-388].

Al-Qaadliy ‘Iyaadl Al-Maalikiy rahimahullah berkata :

‫ هللا في السماء وعلمه في كل مكان‬: ‫قال غير واحد سمعت مالكا يقول‬

“Lebih dari satu orang yang berkata : Aku mendengar Maalik berkata : ‘Allah berada di atas
langit dan ilmu-Nya berada di setiap tempat” [Tartiibul-Madaarik, 2/43 – melalui
perantaraan Masaailul-‘Aqiidah Allatii Qararahaa Aimmatul-Maalikiyyah oleh Abu ‘Abdillah
Al-Hammaadiy, hal. 183, taqdim : Masyhur Hasan Salmaan; Ad-Daarul-Atsariyyah, Cet.
1/1429 H].

Abul-Mutharrif ‘Abdurrahmaan bin Haaruun Al-Qanaaza’iy Al-


Maalikiy rahimahullahberkata :

‫ وهو في كل مكان بعلمه‬،‫ فوق عرشه‬،‫ بيان أن هللا تبارك وتعالى في السماء‬- ‫ يعني حديث األمة السوداء‬- ‫وفي هذا الحديث‬،....

“Dan dalam hadits ini – yaitu hadits budak wanita hitam – terdapat penjelasan
bahwasannya Allah tabaaraka wa ta’ala berada di atas langit, di atas ‘Arsy-Nya. Dan Dia
berada di setiap tempat dengan ilmu-Nya...” [Syarh Al-Muwaththa’, hal. 269 – melalui
perantaraan Masaailul-‘Aqiidah Allatii Qararahaa Aimmatul-Maalikiyyah, hal. 184].

[140]
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah menjelaskan ijma’ perkataan Al-Imaam Maalik di atas
dengan perkataannya :

َ (ُ‫علماء الصحابة والتابعين الذين حمل عنهم التأويل قالوا في تأويل قوله عز وجل ( َما يَ ُكونُ ِم ْن نَجْ َوى ثَالثَ ( ٍة ِإال ه‬
‫(و َرابِ ُعهُ ْم) ه((و‬
‫ وما خالفهم في ذلك أحد يحتج بقوله‬،‫ وعلمه في كل مكان‬،‫على العرش‬

“‘Ulama dari kalangan shahabat dan taabi’iin yang diambil ta’wil mereka berkata


tentangta’wil firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang,
melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadilah : 7) : ‘Allah berada di atas ‘Arsy,
dan ilmu-Nya berada di setiap tempat’. Tidak ada seorangpun yang dijadikan hujjah
perkataannya yang menyelisihi mereka” [Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw oleh Ibnu Qudaamah,
hal. 166 no. 77].

Perlu dicatat, Ibnu ‘Abdil-Bar rahimahullah adalah fuqahaa’ dan ahli-hadits madzhab


Maalikiyyah yang tentunya lebih mengetahui madzhab Al-Imaam Maalik dibandingkan
lainnya.

Dan saya tutup dengan perkataan Adz-Dzahabiy rahimahullah :

،‫ وبين الكرس((ي والم((اء ك((ذلك‬،‫ ((ما بين السماء القصوى والكرسي خمس((مائة ع((ام‬: ‫وعن عبد هللا بن مسعود رضي هللا عنه قال‬
‫ بإسناد صحيح عنه‬،‫ رواه الاللكائي والبيهقي‬.))‫ وال يخفى عليه شيء من أعمالكم‬،‫ وهللا فوق العرش‬،‫والعرش فوق الماء‬

“Dan dari ‘Abdullah bin Mas’uud radliyllaahu ‘anhu, ia berkata : ‘Jarak antara langit yang
paling tinggi dengan kursi adalah limaratus tahun. Begitu juga jarak antara kursi dengan
air. Dan ‘Arsy berada di atas air. Dan Allah berada di atas ‘Arsy, tidak ada sesuatupun
tersembunyi atas-Nya dari amal-amal kalian’. Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dan Al-
Baihaqiy dengan sanad shahih darinya” [Al-‘Arsy, 2/129, tahqiq : Prof. Muhammad bin
Khaliifah At-Tamiimiy; Adlwaaus-Salaf, Cet. 1/1420 H].

Kesimpulannya : Shahih perkataan Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullahbahwasannya


Allah ta’ala berada di atas langit, dan ilmu-Nyalah yang berada di setiap tempat. Inilah
madzhab salaf, bukan madzhab Asyaa’irah.

Wallaahu a’lam.

NB : Kira-kira, orang-orang Asyaa’irah jika ditanya : ‘dimanakah Allah ?’ dapat langsung


bergegas menjawab : ‘di atas langit’ gak ya ?.

[1] Hadits Jaariyyah Riwayat Maalik Bin Anas Rahimahullah

[141]
[2]      Seperti Al-Kautsariy, ‘Abdul-Fattah Abu Ghuddah, dan yang mengikuti keduanya.

[3]      Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Tidak mengapa dengannya”. An-
Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Di lain tempat ia berkata : “Tsiqah”. Ibnu
Hibbaan berkata : “Shahiihul-kitaab, namun jika ia meriwayatkan dari hapalannya, kadang
keliru”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Al-Khaliiliy berkata : “Tsiqah, Asy-Syaafi’iy memujinya”.
Ibnu Qaani’ berkata : “Madaniy, shalih”. 

Shahih Hadits Mu’awiyyah Bin Al-Hakam Tentang


‘Dimana Allah’ – Dan Bantahan Singkat Bagi Yang
Mendla’ifkannya

Ahlul-bida’ tidak henti-hentinya membuat makar kepada Ahlus-Sunnah. Menshahihkan


yang dla’if atau men-dla’if-kan yang shahih menjadi ciri khas dakwah mereka. Tidak luput
dalam hal ini hadits Mu’awiyyah bin Al-Hakam yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim
dalam Shahih-nya. Hadits ini merupakan salah satuhujjah yang sangat kuat yang
merontokkan ‘aqidah bid’ah mereka tentang keberadaan Allah ta’ala. Jalan sempit dan
berlubang pun mereka tempuh demi meluluskan tujuan mereka untuk menolak hadits
ini.Naas, ternyata lubang di jalan itu malah menenggelamkan mereka. Salah satu di antara
yang terperosok di dalamnya adalah Hasan As-Saqqaaf. Risalah bid’ahnya telah mendapat
sambutan oleh kolega-kolega bid’ahnya, tidak terkecuali di Indonesia. Ada orang yang
senantiasa merelakan diri menampung pikiran-pikiran kotornya. Artikel berikut akan
membahas bantahan singkat ulah As-Saqqaaf dan muqallid-nya dalam pendla’ifan hadits
Mu’awiyyah bin Al-Hakam radliyallaahu ‘anhu.

Al-Imam Muslim rahimahullah berkata dalam Shahih-nya (no. 537) :

‫ حدثنا إسماعيل بن إب((راهيم عن حج((اج‬:‫ وأبو بكر بن أبي شيبة (وتقاربا في لفظ الحديث) قاال‬،‫حدثنا أبو جعفر محمد بن الصباح‬
...... :‫ عن معاوي((ة بن الحكم الس((لمي؛ ق((ال‬،‫ عن عط((اء بن يس((ار‬،‫ عن هالل بن أبي ميمون((ة‬،‫ عن يحيى بن أبي كث((ير‬،‫الصواف‬
‫ وأنا رج((ل‬.‫ فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [الذئب؟؟] قد ذهب بشاة من غنمها‬.‫وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية‬
!‫ ي((ا رس((ول هللا‬:‫ قلت‬.‫ فأتيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فعظم ذلك علي‬.‫ لكني صككتها صكة‬.‫ آسف كما يأسفون‬.‫من بني آدم‬
.‫ قال "أعتقه((ا‬.‫ أنت رسول هللا‬:‫ قال "من أنا؟" قالت‬.‫ في السماء‬:‫ فقال لها "أين هللا؟" قالت‬.‫أفال أعتقها؟ قال "ائتني بها" فأتيته بها‬
‫"فإنها مؤمنة‬.

[142]
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ash-Shabbaah[1] dan Abu
Bakr bin Abi Syaibah[2] (yang keduanya berdekatan dalam lafadh hadits tersebut), mereka
berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim[3], dari Hajjaaj
Ash-Shawaaf[4], dari Yahyaa bin Abi Katsiir[5], dari Hilaal bin Abi Maimuunah[6], dari
‘Athaa’ bin Yasaar[7], dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata : “…..Aku
mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku ke arah gunung
Uhud dan Jawwaaniyyah. Pada suatu hari aku memantaunya, tiba-tiba ada seekor serigala
yang membawa lari seekor kambing yang digembalakan budakku itu. Aku sebagaimana
manusia biasa pun marah sebagaimana orang lain lain marah (melihat itu). Namun aku
telah menamparnya, lalu aku mendatangi Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
pun menganggap besar apa yang telah aku lakukan. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah,
apakah aku harus memerdekakannya ?’. Beliau menjawab : ‘Bawalah budak wanita itu
kepadaku’. Aku pun membawanya kepada beliau. Lalu beliau bertanya kepada budak
wanita itu : ‘Dimanakah Allah ?’. Ia menjawab : ‘Di langit’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah
aku ?’. Ia menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun
bersabda : ‘Bebaskanlah, sesungguhnya ia seorang wanita beriman”.

Selain Muslim, hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad 5/447, Ibnu Abi Syaibah dalamAl-
Mushannaf 11/19-20 dan Al-Musnad no. 825, An-Nasaa’iy no. 1218, Abu Dawud no. 930 &
3276, Ibnu Hibbaan no. 165 & 2247, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadul-Matsaaniy no.
1398-1399, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 19/398-399, Ibnul-Jaaruud no. 212, dan yang
lainnya.

Hadits di atas dianggap mudltharib oleh As-Saqqaaf dan muqallid-nya. Berikut perkataan


yang dibawakan muqallid-nya :

Hadis ini mengidap illah/penyakit dan syudzû dz/keganjilan dalam kandungannya, di mana


dalam riwayat para muhaddis lain dan dengan jalur yang shahih juga ia diriwayatkan
dengan redaksi berbeda yang tidak mengandung keganjilan itu. Ini artinya hadis Jâ riyah
dari riwayat Atha’ ibn Yasâ r dari Mu’awiyah ibn Hakam adalah muththarib!

Para ulama hadis di antaranya Abdurrazzâ q ash Shan’â ni telah meriwayatkan pertanyaan
Nabi saw. kepada si budak wanita tersebut adalah demikian:

Perhatikan riwayat Abdurrazzâ q ash Shan’â ni dalam Mushannaf-nya9/175: Ia


meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Ibnu Juraij, ia berkata, Athâ ’
mengabarkan kepadaku, ”…..: (setelah menyebutkan kisah budak wanita yang teledor
dalam mengembalakan kambing tuannya yang berakhir dengan ditempelangnya budak
[143]
tersebut kemudian penyesalan tuannya yang akhirnya bermaksud memerdekakannya.
Nabi saw. Memintanya agar dihadirkan dan setelah ia hadir, Nabi saw. bertanya kepada
demikian):

ْ َ‫ أَ تَ ْشهَ ِد ْين‬:‫قال‬
‫أن الَ إلَهَ إالَّ هللا؟‬

ْ
‫ نعم‬:‫قالت‬.

‫أن ُم َح ّ(ًًََّمدًا رسولُهُ؟‬


َّ ‫ و‬: :‫قال‬

ْ
‫ نع ْم‬: ‫قالت‬.

‫ق؟‬ َ ‫وأن ْالموتَ و البَع‬


ٌّ ‫ْث َح‬ َّ : ‫قال‬

ْ
‫ نع ْم‬: ‫قالت‬.

ٌّ ‫النار َح‬
‫ق؟‬ َ ‫وأن الجْ نَّةَ و‬
َّ :‫قال‬

ْ
‫ نع ْم‬: ‫قالت‬.

‫ فَا ْعتِ ْقها‬:‫قال‬.

“Nabi bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?”
Ia menjawab, “Ya.”

Beliau saw. bertanya lagi, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul
Allah?”

Ia menjawab, “Ya.”

Nabi saw. bertanya, “Apakah engkau beriman bahwa kematian dan kebangkitan setelah
kematian haq?”

Ia menjawab, “Ya.

Nabi saw. bertanya lagi, ”Apakah engkau beriman bahwa surga dan nereka itu haq?”

Ia menjawab, ”Ya.”

Maka setelah selesai, Nabi saw. bersabda, “Merdekakan dia!”

Hadis di atas adalah shahih sanadnya bahkan ia sangat tinggi/’â lin, karena mata rantai
periwayatannya singkat!

Saya (Abul-Jauzaa’) berkata :

[144]
Perkataan di atas lah yang sebenarnya berpenyakit dan mengandung keganjilan !

Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq Ash-Shan’aaniy (9/175 no. 16815) adalah
hadits lain yang berbeda sanad dan matannya. ‘Abdurrazzaq berkata : Dari Ibnu Juraij, ia
berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Athaa’ : Bahwasannya ada seorang laki-laki
yang mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambingnya……dst.

1.    ‘Athaa’ dalam sanad ‘Abdurrazzaaq bukanlah Ibnu Yasaar. Al-Mizziy dalamTahdziibul-


Kamaal (20/126-127) tidak menyebutkan satu pun murid dari ‘Athaa’ bin Yasaar bernama
Ibnu Juraij (‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy). Begitu juga
saat menyebut biografi Ibnu Juraij (18/339-344), tidak disebutkan satu pun gurunya yang
bernama ‘Athaa’ bin Yasaar. Adapun guru Ibnu Juraij adalah ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah,
‘Athaa’ bin As-Saaib, dan ‘Athaa’ Al-Khurasaaniy. Ketiga ‘Athaa’ yang merupakan guru Ibnu
Juraij tadi juga tidak diketahui penerimaan dan penyimakan riwayatnya dari Mu’aawiyyah
bin Al-Hakam [lihat Tahdziibul-Kamaal 20/69-72, 87-88, 106-108].

Menurut Ibnu Hajar, ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah adalah seorang tabi’iy tsiqah, namun banyak
melakukan irsal[8] [Taqriibut-Tahdziib hal. 677 no. 4623]. ‘Athaa’ bin As-Saaib adalah
seorang tabi’iy yang shaduuq, namun bercampur hapalannya [idem, hal. 678 no. 4625].
[9] ‘Athaa’ Al-Khuraasaaniy adalah seorang tabi’iy yang shaduuq, banyak keliru,
melakukan irsal dan tadliis [idem, hal. 679 no. 4633].[10]

Sebagai catatan kecil : Orang-orang yang meriwayatkan hadits dari Mu’aawiyyah bin Al-
Hakam – sebagaimana disebutkan oleh Al-Mizziy – antara lain : ‘Athaa’ bin Yasaar, Katsiir
bin Mu’aawiyyah bin Al-Hakam, dan Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan.

2.    Tidak disebutkan bahwa laki-laki dari shahabat tadi adalah Mu’aawiyyah bin Al-Hakam
As-Sulamiy. Lantas bagaimana bisa dipastikan bahwa ia adalah Mu’aawiyah bin Al-Hakam
As-Sulamiy ?. Tentu saja kita tidak membutuhkan jawaban : ‘pokoknya’ atau yang semisal.

Hadits mudltharib dalam matan-nya itu dianggap jika ia punya pokok sanad yang sama,


sedangkan di sini tidak.

Tidak adanya kepastian siapakah di antara tiga orang ‘Atha’ yang diambil riwayatnya oleh
Ibnu Juraij saja sudah merupakan catatan tersendiri. Lantas, bagaimana bisa riwayat ini
dianggap sebagai pen-ta’lil riwayat Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy yang
dibawakan oleh Al-Imam Muslim ?

[145]
Adapun dari sisi matan hadits, maka ada perbedaan di antara keduanya. Perbedaan
tersebut adalah :

a.    Pada riwayat ‘Abdurrazzaaq disebutkan bahwa laki-laki yang ingin membebaskan


budak tersebut ingin menghadiahkan kambing kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, sedangkan dalam riwayat Muslim tidak.[11]

b.    Pada riwayat ‘Abdurrazzaaq disebutkan pilihan yang diberikan oleh Nabi shallallaahu


‘alaihi wa sallam setelah beliau bertanya kepada budak wanita tersebut; apakah ia akan
membebaskannya atau mempertahankannya (tidak membebaskannya). Adapun dalam
riwayat Mu’aawiyyah bin Al-Hakam, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
memberikan pilihan, namun memerintahkannya untuk membebaskannya. Di
sini,muqallid As-Saqqaaf telah melakukan tadlis dalam penampilan riwayat. Saya tidak
tahu apakah ia lakukan dengan sengaja atau tidak.[12]

Beberapa hal yang disebutkan di atas telah cukup untuk mengatakan bahwa hadits yang
dibawakan ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf berbeda sanad dan matannya dengan
hadits yang dibawakan Muslim dalam Shahih-nya.

Kemudian ia pun berkata :

Selain Abdurrazzâ q, hadis di atas juga telah diriwayatkan oleh:

1. Imam Ahmad dalam Musnad,3/452.

2. Al Haitsami dalam Majma’ az Zawâ id,4.244 dan seluruh perawinya adalah perawi hadis
shahih.

3. Al Bazzâ r dalam Kasyfu al Astâ r,1/14.

4. Ad Dâ rimi dalam Sunan,2/187.

5. Al Baihaqi dalam Sunan,10/57.

6. Ath Thabarâ ni, 12/27 dengan sanad yang shahih.

7. Ibnu al Jâ rû d dalam al Muntaqâ :931.

8. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf,11/20.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa riwayat Muslim itu diriwayatkan secara ma’nan(tidak
dengan redaksi asli sabda Nabi saw.) atau paling tidak diduga demikian! Dan dengan
adanya dugaan, ihtimâ l, maka gugurlah ber-istidlâ l/berhujjah dengannya! Sebab
[146]
bagaimana kita akan membangun sebuah keyakinan dasar di atas pondasi hadis yang
diduga mengalami perubahan?!

Berikut riwayat-riwayat yang ia maksud :

1.    Riwayat Ahmad dalam Al-Musnad 3/452.

‫حدثنا عبد هللا حدثني أبي ثنا عبد الرزاق ثنا معمر عن الزهري عن عبي(د( هللا بن عب(د هللا عن رج(ل من األنص(ار أن(ه ج(اء بأم(ة‬
‫ يا رسول هللا إن علي رقبة مؤمنة ف(إن كنت ت(رى ه(ذه مؤمن(ة أعتقته(ا فق(ال له(ا رس(ول هللا ص(لى هللا علي(ه وس(لم‬: ‫سوداء وقال‬
‫أتشهدين أن ال إله إال هللا قالت نعم قال أتشهدين إني رسول هللا قالت نعم قال أتؤمنين بالبعث بعد الموت قالت نعم قال اعتقها‬

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami ayahku :
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaq : Telah menceritakan kepada kami Ma’mar,
dari Az-Zuhriy, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah, dari laki-laki kalangan Anshaar :
Bahwasannya ia datang dengan membawa seorang budak perempuan yang hitam dan
berkata : “Wahai Rasulullah, aku memiliki seorang budak mukmin, jika menurutmu ini
adalah wanita yang beriman, maka aku akan membebaskannya”. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bertanya kepada budak tersebut : “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah ?”. Ia menjawab : “Ya”.'
(Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam) bertanya : “Apakah engkau bersaksi bahwa aku
adalah Rasulullah ?”. Ia menjawab : “Ya”. Beliau kembali bertanya : “Apakah engkau
beriman dengan kebangkitan setelah mati ?”. Ia menjawab : “Ya”. Beliau
bersabda : "Bebaskanlah dia".

Hadits ini shahih – walau sebagian ada yang men-dla’if-kannya seperti Al-Baihaqiy dengan
alasan irsaal antara ‘Ubaidullah dengan shahabiyyah.

Sama seperti komentar sebelumnya, ini adalah hadits yang berbeda dengan Mu’aawiyyah
bin Al-Hakam As-Sulamiy radliyallaahu ‘anhu. Shahabat yang disebutkan oleh
‘Ubaidullah mubham. Taruhlah misal kita anggap bahwa shahabat tadi Mu’aawiyyah bin Al-
Hakam, maka itu musykil. ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah ini adalah Ibnu ‘Utbah bin ‘Abdillah bin
Mas’uud. Ia tidak dikenal mempunyai riwayat dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam. Begitu juga
sebaliknya.

2.    “Riwayat” Al-Haitsamiy dalam Majmaa’uz-Zawaaid 4/244.

Orang tersebut mengatakan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Haitsamiy
dalam Al-Majma’. Pertanyaannya : Sejak kapan Al-Haitsamiy mempunyai periwayatan

[147]
hadits dalam Al-Majma’ ? Ini adalah kebodohan akan kutubus-sunnah. Al-Haitsamiy
berkata :

‫ فق((ال له(ا‬.‫ يا رسول هللا إن علي رقبة مؤمنة فإن كنت ترى هذه مؤمن((ة فأعتقه((ا‬:‫رجل من األنصار أنه جاء بأمة سوداء فقال‬ ‫عن‬
:‫ ق((ال‬.‫ نعم‬:‫ ق((الت‬."‫ "أتش((هدين أني رس((ول هللا؟‬:‫ ق((ال‬.‫ نعم‬:‫ ق((الت‬."‫ "أتش((هدين أن ال إل((ه إال هللا؟‬:‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
."‫ "أعتقها‬:‫ قال‬.‫ نعم‬:‫ قالت‬."‫"أتؤمنين بالبعث بعد الموت؟‬

‫رواه أحمد ورجاله رجال الصحيح‬.

“Dari laki-laki kalangan Anshaar : Bahwasannya ia datang dengan membawa seorang


budak perempuan yang hitam dan berkata : “Wahai Rasulullah, aku memiliki seorang
budak mukmin, jika menurutmu ini adalah wanita yang beriman, maka aku akan
membebaskannya”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada budak
tersebut : “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain
Allah ?”. Ia menjawab : “Ya”.' (Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam) bertanya : “Apakah
engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah ?”. Ia menjawab : “Ya”. Beliau kembali
bertanya : “Apakah engkau beriman dengan kebangkitan setelah mati ?”. Ia menjawab :
“Ya”. Beliau bersabda : "Bebaskanlah dia".

Diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya adalah perawi Ash-Shahiih” [selesai].

Shighah semacam ini bukanlah shighah periwayatan sebagaimana dikenal dalamkutubus-


sunnah. Oleh karena itu, para ulama yang menukil hadits dari kitab Al-Majma’ ini sering
mengatakan : “Dibawakan oleh Al-Haitsamiy dalam Al-Majma’……”. Bukan ‘diriwayatkan’.
Harap diperhatikan.

3.    Riwayat Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar 1/14.

Al-Bazzaar membawakan hadits yang semisal dengan no. 1 & 2, namun dengan sanad :

..... : ‫ ق((ال‬،‫ عن ابن عب((اس‬،‫ عن س((عيد بن جب((ير‬،‫ عن المنه((ال بن عم((رو‬،‫حدثنا محمد بن عثمان ثن((ا عبي((د هللا ثن((ا ابن أبي ليلى‬
)‫(الحديث‬....

Telah menceritakan kepada kami Muhamad bin ‘Utsmaan : Telah menceritakan kepada
kami ‘Ubaidullah : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Lailaa, dari Al-Minhaal bin
‘Amru, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “…..(al-hadits)….” [Kasyful-
Astaar, 1/14 no. 13].

Komentarnya sama dengan sebelumnya, bahwa ini adalah hadits yang berbeda dengan
hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam.

[148]
Selain itu, sanad riwayat ini lemah dengan kelemahan yang terletak pada Ibnu Abi Lailaa. Ia
adalah Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Lailaa, seorang yang faqiih,namun jelek
hapalannya.[13]

4.    Riwayat Ad-Daarimiy dalam As-Sunan 2/187.

Ad-Daarimiy membawakan hadits yang semisal, yaitu :

‫قال أتيت النبي صلى هللا عليه وس((لم‬ ‫الشريد‬ ‫أخبرنا أبو الوليد الطيالسي ثنا حماد بن سلمة عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن‬
‫فقلت إن على أمي رقبة وإن عندي جارية سوداء نويبية أفتجزىء عنها قال ادع بها فقال أتشهدين أن ال إله إال هللا ق((الت نعم ق((ال‬
‫اعتقها فإنها مؤمنة‬

Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Waliid Ath-Thayaalisiy : Telah menceritakan


kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah,
dari Asy-Syariid, ia berkata : Aku mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu
berkata : “Sesungguhnya ibuku punya kewajiban membebaskan budak, sementara aku
memiliki budak wanita berkulit hitam, apakah sah untuknya?" Beliau
menjawab : "Panggillah ia!”. Kemudian beliau bersabda : "Apakah engkau bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah ?". Budak itu menjawab : "Ya”. Beliau
bersabda : "Bebaskan dia, sesungguhnya ia adalah wanita mukminah"[Sunan Ad-
Daarimiy no. 2348; sanadnya hasan].

Ini adalah bukti yang jelas akan tadlis As-Saqqaaf yang kemudian diikuti orang tersebut


tanpa adanya check dan re-check. Bagaimana tidak ? Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
adalah hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, sedangkan hadits ini diriwayatkan
oleh Asy-Syariid (bin Suwaid Ats-Tsaqafiy – orang tua dari ‘Amru bin Syariid) radliyallaahu
‘anhu.  

Selain itu dapat kita lihat bahwa sebab pembebasan budak dalam hadits ini dikarenakan
ibu Asy-Syariid yang mempunyai kewajiban untuk itu; sedangkan hadits Mu’aawiyyah
disebabkan karena ia telah menampar budaknya yang ia anggap teledor dalam
menggembalakan kambing-kambingnya.

5.    Riwayat Al-Baihaqiy dalam As-Sunan, 10/57.

Al-Baihaqiy membawakan hadits yang lafadhnya semisal dengan no. 1, 2, dan 3 dengan
sanad :

‫ أنبأ محم((د بن عب((د هللا‬،‫ ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب‬: ‫ أخبرنا أبو زكريا بن أبي إسحاق و أبو أحمد بن الحسن قاال‬- ١٩٩٨٦
‫ أن رجال من األنصار‬: ‫ عن عبيد هللا بن عبد هللا بن عتبة‬،‫ عن ابن شهاب‬،‫ أخبرني يونس بن يزيد‬،‫بن الحكم أنبأ ابن وهب‬.....
[149]
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Zakariyyaa bin Abi Ishaaq dan Abu Ahmad bin Al-
Hasan, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas
Muhammad bin Ya’quub : Telah memberitakan Muhammad bin ‘Abdillah bin Al-Hakam :
Telah memberitakan Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Yuunus bin Yaziid, dari
Ibnu Syihaab, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah : “Bahwasannya ada seorang laki-
laki dari kalangan Anshaar……”.

Hadits ini sama dengan hadits no. 1 yang sanadnya bertemu pada Az-Zuhriy (Ibnu
Syihaab). Komentar selanjutnya sama dengan no. 1.

6.    Riwayat Ath-Thabaraaniy, 12/27.

Muqallid tersebut berkata : “dengan sanad yang shahih”.

Ath-Thabaraaniy berkata :

‫ حدثنا محمد بن عبد هللا الحضرمي ثنا يحيى بن الحسن بن فرات ثن((ا علي بن هاش((م عن ابن أبي ليلى عن المنه((ال بن‬- ١٢٣٦٩
)‫(الحديث‬......... : ‫عمرو والحكم عن سعيد بن جبير عن ابن عباس‬.......

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy : Telah


menceritakan kepada kami Yahyaa bin Al-Hasan bin Furaat : Telah menceritakan kepada
kami ‘Aliy bin Haasyim, dari Ibnu Abi Lailaa, dari Al-Minhaal bin ‘Amru dan Al-Hakam, dari
Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas : “…..(al-hadits)….” [Al-Mu’jamul-Kabiir, 12/26-27].

Hadits ini semisal dengan no. 3 yang sanadnya bertemu/berporos pada Ibnu Abi Lailaa;
sekaligus di sinilah letak kelemahan sanad hadits ini – sebagaimana telah disebutkan.
Lantas bagaimana bisa dikatakan : “dengan sanad shahih” ?.[14]

7.    Riwayat Ibnul-Jaaruud dalam Al-Muntaqaa no. 931.

Riwayat yang dibawakan Ibnul-Jaaruud ini sanad dan matannya sama dengan no. 1;
dimana keduanya berporos pada ‘Abdurrazzaaq. Komentar tentang riwayat ini sama
dengan sebelumnya.

8.    Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 11/20.

Ibnu Abi Syaibah berkata :

‫ أن رجال‬: ‫يرفع((ه‬ ‫ عنالحكم‬،‫ عن ابن عباس‬،‫ عن سعيد بن جبير‬،‫ عن المنهال‬،‫ عن ابن أبي ليلى‬،‫ حدثنا علي بن هاشم‬- ٣٠٩٨٠
‫ أتشهدين أن‬: ‫ فقال‬.‫ت بها‬
ِ ‫ إئ‬: ‫ فقال‬،‫ وعندي رقبة سوداء أعجمية‬،‫ إن على أمي رقبة مؤمنة‬: ‫أتى النبي صلى هللا عليه وسلم فقال‬
‫ فأعتقها‬: ‫ قال‬.‫ نعم‬: ‫ قالت‬.‫ وأني رسول هللا ؟‬،‫ال إله إال هللا‬.

[150]
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Haasyim, dari Ibnu Abi Lailaa, dari Al-Minhaal,
dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Al-Hakam secara marfu’ : “Sesungguhnya
ibuku punya kewajiban membebaskan budak, sementara aku memiliki budak wanita
berkulit hitam non ‘Arab". Beliau menjawab : "Panggillah ia!”. Kemudian beliau
bersabda : "Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali
Allah, dan bahwasannya aku adalah Rasulullah ?". Budak itu menjawab : "Ya”. Beliau
bersabda : "Bebaskan dia".

Sanad riwayat ini lemah, karena kelemahan Ibnu Abi Lailaa, sebagaimana telah disebutkan.
Selain itu, posisi Al-Hakam setelah Ibnu ‘Abbaas dalam sanad di atas adalah keliru. Yang
benar adalah : “Dari Al-Minhaal, dari Sa’iid bin Jubair dan Al-Hakam, keduanya dari Ibnu
‘Abbaas” – sebagaimana terdapat dalam riwayat Ath-Thabaraaniy. Dalam thabaqah ini ada
dua nama Al-Hakam, yaitu Al-Hakam bin ‘Abdillah bin Ishaaq Al-A’raj dan Al-Hakam bin
Miinaa’ Al-Anshaariy. Keduanya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas, bukan sebaliknya !!
Kemungkinan besar ini disebabkan oleh jeleknya hapalan Ibnu Abi Lailaa.

Telah kita perinci apa yang disebutkan oleh muqallid tersebut. Nampak bagi kita bahwa
hadits yang ia bawakan adalah hadits yang berbeda dengan hadits Mu’aawiyyah bin Al-
Hakam As-Sulamiy; sanad maupun matannya. Lantas – sekali lagi - bagaimana bisa ia
simpulkan sebagai hadits mudltharib ? Apakah yang bersangkutan belum paham apa
hadits mudltharib itu ? Jika telah paham, mungkin saja yang bersangkutan tidak mengecek
apa yang ditulisnya sehingga menyandarkan begitu saja kepada perkataan As-Saqqaaf
yang bathil itu. Garbage in garbage out.

Kemudian dalam tulisannya, muqallid tersebut membawakan hadits lain yang


diriwayatkan Maalik dalam Al-Muwaththa’, Abu Dawud dalam As-Sunan, Ibnu Hibbaan
dalam Ash-Shahih, dan yang lainnya; yang kesemuanya tidak terlalu bermanfaat untuk
dikomentari – karena kasusnya adalah sama dengan riwayat-riwayat yang telah
disebutkan di atas.

Kesimpulannya, muqallid tersebut tidak paham akan ilmu riwayat dan dirayat hadits


sehingga pembahasannya tidak nyambung.[15] Salah alamat. Tidak ada idlthirab dalam
hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam sebagaimana tidak ada ulama mutaqaddimiin yang
mengatakan sebagaimana dikatakan muqallid tersebut. Adapun perkataannya :

Penegasan Para Huffâ dz Dan Ulama Hadis Bahwa Hadis Jâ riyah Adalah Muthtarib!

[151]
Setelah Anda mengetahui definisi hadis muthtarib dan ia adalah menyebabkan lemahhnya
sebuah hadis, maka sekarang perhatikan keterangan dan keputusan para ulama tentang
status hadis Jâ riyah.

1. Imam al Hafidz al Baihaqi:

Al Hafidz al Baihaqi telah menegaskan bahwa hadis itu muthtarib. Ia berkata:

‫ وأظن((ه‬.‫قد أخرجه مسلم مقطعا من حديث االوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى بن أبي كث((ير دون قص((ة الجاري((ة‬ ‫وهذا صحيح‬
‫إنما تركها من الحديث الختالف الرواة في لفظه ؟ وقد ذكرت في كتاب الظهار من السنن مخالفة من خالف معاوية بن الحكم في‬
‫لفظ الحديث‬ .

“Ini adalah hadis shahih, Muslim telah mengeluarkan (meriwayatkan)nya dengan


memotong (tidak keseluruhan/total riwayat) dari hadis (riwayat) al Awza’i dan Hajâ j ash
Shawwâ f dari Yahya ibn Abi Katsîr tanpa menyebut kisah Jâ riyah (budak perempuan).
Mungkin ia meninggalkan (menyebutnya) dalam hadis itu disebabkan perselisihan para
perawi dalam penukil redaksinya. Dan saya telah menyebutkan dalam kitab as Sunan pada
bab adz Dzihâ r perselisihan perawi yang menyelisihi Mu’awiyah ibn Hakam dalam redaksi
hadis.”

Lebih lanjut baca juga as Sunan al Kubrâ ,7/388.

Dan seperti Anda saksikan bahwa al Hafidz al Baihaqi secara tegas mengatakan bahwa


hadis Jâ riyah itu muththarib karena perselisihan perawinya dalam menukil redaksi yang
sebenarnya. Dan juga bahwa hadis itu tidak termasuk riwayat Imam Muslim dalam kitab
Shahihnya. Dan anggap benar hadis itu ada dalam Shahih Muslim ia tidak diragukan lagi
adalah hadis muththarib, seperti telah kami buktikan sebelumnya! Dan yang mendukung
kebenaran penegasan al Baihaqi bahwa Imam Muslim tidak menyebutkannya sama sekali
dalam bab tentang pemerdekaan budak tidak pula dalam bab tentang keimanan dan nazar!

Saya katakan :

Telah diketahui bahwa tidak setiap perselisihan itu dihukumi idlthirab. Lantas bagaimana
ia menghukumi dengan idlthirab padahal Al-Baihaqiy sendiri telah menshahihkannya ! Dan
dimana letak perkataan Al-Baihaqiy bahwa hadits itu mudltharib ?

Adapun perkataan Al-Baihaqiy :

‫قد أخرجه مسلم مقطعا من حديث االوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى بن أبي كثير دون قصة الجارية‬

[152]
“Telah diriwayatkan oleh Muslim secara munqathi’ (terputus) dari hadits Al-Auzaa’iy dan
Hajjaaj Ash-Shawaaf, dari Yahyaa bin Abi Katsiir tanpa menyertakan kisah Al-Jaariyyah”.

Inilah yang dinafikkan oleh Al-Baihaqiy. Al-Baihaqiy sama sekali tidak menafikkan
keshahihannya. Jika dikatakan bahwa hadits dengan kisah Jaariyyah tidak termasuk
riwayat Muslim dalam Shahih-nya, maka ini keliru. Telah nyata – dipersaksikan oleh
para huffaadh – bahwa hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam dengan kisah jariyyah itu ada di
dalam Shahih Muslim. Bukankah ada kaidah ushul : al-mutsbitu muqaddamun ‘alan-
naafiy ? karena yang menetapkan itu mengandung ilmu ?

Al-Baghawiy setelah membawakan hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy secara


lengkap (termasuk kisah jaariyyah) berkata :

‫ عن حجاج‬،‫ عن إسماعيل بن إبراهيم‬،‫ أخرجه ُمسلم عن أبي بكر بن أبي شيبة‬،‫هذا حديث صحيح‬.

“Ini adalah hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Bakr bin Abi Syaibah, dari
Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Hajjaaj” [Syahus-Sunnah, 3/239, tahqiq/ta’liq/takhrij : Syu’aib
Al-Arna’uth & Zuhair Syaawiisy; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 2/1403].

Al-Baghawiy (436-516 H) ini berdekatan masanya dengan Al-Baihaqiy (w. 458 H).

Adz-Dzahabiy berkata saat mengomentari hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-


Sulamiyradliyallaahu ‘anhu di atas :

‫هذا حديث صحيح رواه جماع((ة من الثق((ات عن يح((يى بن أبي كث((ير عن هالل بن أبي ميمون((ة عن عط((اء بن يس((ار عن معاوي((ة‬
‫ يمرون((ه كم((ا ج((اء وال يعترض((ون ل((ه بتأوي((ل وال‬،‫ أخرجه مسلم وأبو داود والنساء وغير واحد من األئمة في تص((انيفهم‬.‫السلمي‬
‫تحريف‬.

“Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh jama’ah perawi tsiqah dari Yahyaa bin Abi Katsiir,
dari Hilaal bin Abi Maimuunah, dari ‘Thaa’ bin Yasaar, dari Mu’aawiyyah As-Sulamiy.
Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, An-Nasaa’iy, dan lainnya dari kalangan para imam
yang memuatnya pada karya-karya mereka. Semuanya memberlakukannya sebagaimana
datangnya, tidak ada yang coba-coba melakukan ta’wil dan tahrif” [Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-
Ghaffaar, hal. 16-17, tashhih : ‘Abdurrahman bin Muhammad ‘Utsmaan; Al-Maktabah As-
Salafiyyah, Cet. 2/1388].

2. Imam al Hafidz al Bazzâ r

Imam al Hafidz al Bazzâ r telah menegaskan kemuththariban hadis itu dalam Musnad-nya.


Setelah meriwayatkan hadis itu dari sebuah jalurnya, ia berkata:

[153]
ٍ ‫ي نَحْ ُوه بأ َ ْل‬
‫فاظ ُم ْختَلِفَ ٍة‬ َ ‫ َوهَ َذا قَ ْد ر ُِو‬.

“Hadis ini telah diriwayatkan hadis serupa dengannya dengan beragam redaksi.”

Tidakkah ia membaca bahwa perkataan tersebut diucapkan untuk hadits Ibnu ‘Abbaas (no.
3) ? Jadi salah alamat jika perkataan itu ditujukan pada riwayat Mu’aawiyyah bin Al-
Hakam.

NB : Sekali lagi, darimana ia menyimpulkan bahwa Al-Bazzaar menghukumi hadits itu


sebagai mudltharib dari perkataan di atas ? Ini sama seperti kasus Al-Baihaqiy di atas.
Nampaknya, ia benar-benar tidak paham tentang istilah-istilah
hadits : mukhtalif danmudltharib. Selamat belajar kembali….

3. Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqallâ ni

Ibnu Hajar –penutup para hafidz- menegaskan vonis serupa, dalam kitab at Talkhîsh al
Khabîr-nya, ia mengatakan:

.‫وفي الل ْف ِظ مخالفةٌ كثِي َْرة‬

“Dan pada redaksinya terdapat pertentangan yang sangat banyak.”

Dan al Hafidz Ibnu Hajar tegas sekali dalam akidahnya bahwa tidak dibenarkan
mengatakan untuk Allah di mana. Ia mengabaikan hadis ini kendati bisa saja sanadnya
shahih, karena ia adalah hadis yang muththarib. Karenanya ia menegaskan dalam Fathu al
Bâ ri-nya,1/221:

‫فإن إدراك العقول السرار الربوبية قاصر فال يتوجه على حكمه لم وال كيف ؟ كما ال يتوجه عليه في وجوده أين‬. ‍

“Kerena sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau


pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya:
Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada
keberadaan Dzat-nya: Di mana?.”

Perkataan Al-Haafidh bahwa hadits tersebut terdapat banyak perselisihan, sama sekali
tidak menunjukkan idlthirab sebagaimana telah lalu komentarnya. Apalagi sampai
menyimpulkan bahwa beliau ‘menegaskan’ adanya idlthirab dari perselisihan itu. Tidak
kita temui perkataan Al-Haafidh di atas tentang idlthirab kecuali dari
tulisan muqallidtersebut.

[154]
Adapun penukilan tentang perkataan Ibnu Hajar selanjutnya, justru hadits Mu’aawiyyah
bin Al-Hakam menjadi hujjah bagi semua golongan manusia yang mengaku Muslim. Bukan
perkataan sebaliknya, perkataan manusia yang menghujjahi nash.

Perhatikan pula riwayat berikut :

‫ ي((ا أم((ير المؤم((نين ل((و ركبت‬: ‫ لما قدم عمر الشام استقبله الناس وهو على البعير فق((الوا‬: ‫حدثنا وكيع عن إسماعيل عن قيس قال‬
‫وأشار بيده إلى السماء‬ - ‫ إنما االمر من هنا‬، ‫ ال أراكم ههنا‬: ‫ فقال عمر‬، ‫برذونا يلقاك عظماء الناس ووجوههم‬.

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika ‘Umar
baru datang dari Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu di masih di
atas onta tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau
mengendarai kuda tunggangan yang tegak, niscaya para pembesar dan tokoh-tokoh
masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah kalian lihat,
bahwasannya perintah itu datang dari sana ? – Dan ia (‘Umar) berisyarat dengan tangannya
ke langit” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/40; shahih].

Atsar di atas menetapkan sifat Al-‘Ulluw bagi Allah ta’ala. Sifat ini dipahami oleh ‘Umar
sebagaimana dhahir/hakekatnya, sehingga ia menunjuk ke arah langit dimana
Allahta’ala berada. Apakah muqallid tersebut akan mengatakan bahwa ‘Umar (bin Al-
Khaththaab radliyallaahu ‘anhu) telah salah dan dirinya benar ?

Mujaahid Al-Makkiy ketika menjelaskan ayat istiwaa’ berkata :

‫عال على العرش‬

“Tinggi di atas ‘Arsy” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy secara mu’allaq dengan shighah jazm,


6/2698].

Perkataan Mujaahid didasarkan atas pengetahuannya terhadap makna


(hakiki/dhahir)istiwaa’.

Al-Bukhaariy berkata :

‫وقال ضمرة بن ربيعة عن صدقة سمعت سليمان التيمي يقول لو سئلت أين هللا لقلت في الس(ماء ف(إن ق(ال ف(أين ك(ان عرش(ه قب((ل‬
‫السماء لقلت على الماء فإن قال فأين كان عرشه قبل الماء لقلت ال أعلم قال أبو عبد هللا وذلك لقوله تعالى { وال يحيط((ون بش((يء‬
‫من علمه إال بما شاء } يعني إال بما بين‬

Telah berkata Dlamrah bin Rabii’ah, dari Shadaqah : Aku mendengar Sulaimaan At-Taimiy
berkata : “Seandainya aku ditanya : ‘dimana Allah’, pasti akan aku menjawab : ‘di langit’.
Jika ia berkata : ‘lalu dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum (diciptakan) langit ?’ ; akan aku

[155]
jawab : ‘di atas air’. Jika ia kembali berkata : ‘lalu dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum
(diciptakan) air ?’ ; akan aku jawab : ‘aku tidak tahu’ [Khalqu Af’alil-‘Ibaadoleh Al-
Bukhaariy, 2/38 no. 64, tahqiq Fahd bin Sulaimaan Al-Fahiid; Daaru Athlas Al-Khadlraa’,
Cet. 1/1425. Riwayat ini shahih. Diriwayatkan juga oleh Al-Laalika’iy dalamSyarh Ushuulil-
I’tiqaad no. 671, Ibnu Abi Syaibah dalam Kitaabul-‘Arsy no. 15, Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya
no. 30609, dan Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah no. 194.].

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad, dari ayahnya, dari Nuuh bin Maimuun, dari Bukair
bin Ma’ruuf, dari Muqaatil bin Hayyaan tentang firman Allah ta’ala : ‘Tiada pembicaraan
rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7), ia
(Muqaatil) berkata :

‫ وعلمه معهم‬،‫هو على عرشه‬.

“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah
bin Ahmad dalam As-Sunnah hal. 71, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, dan yang
lainnya dengan sanad hasan – melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 138 no. 124;
Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 1/1401].

Ahmad (bin Hanbal) meriwayatkan dengan sanadnya sampai Adl-Dlahhaak tentang ayat
(yang artinya) : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang
keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang
keenamnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7); maka Adl-Dlahhaak berkata :

‫هو على العرش وعلمه معهم‬

“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka” [As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal hal. 80 – melalui perantaraan Al-Masaail war-Rasaail Al-Marwiyyatu
‘anil-Imam Ahmad bin Hanbal fil-‘Aqiidah oleh ‘Abdullah bin Sulaimaan Al-Ahmadiy,
1/319; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412].

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah : Telah
menceritakan ayahku, kemudian ia menyebutkan sanadnya dari ‘Abdullah bin Naafi’, ia
berkata : Telah berkata Maalik bin Anas :

‫ ال يخلو منه شيء‬،‫ وعلمه في كل مكان‬،‫هللا في السماء‬.

“Allah berada di atas langit, dan ilmu-Nya berada di setiap tempat. Tidak ada terlepas dari-
Nya sesuatu” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah dalam As-Sunnah hal. 5, Abu Dawud dalam Al-

[156]
Masaail hal. 263, Al-Aajuriiy hal. 289, dan Al-Laalikaa’iy 1/92/2 dengan sanad shahih –
dinukil melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 140 no. 130].

Pengetahuan pembedaan dua hal dari para imam (Muqaatil, Adl-Dlahhak, dan Maalik) yang
disebutkan dalam tiga riwayat di atas didasari oleh pengetahuan terhadap makna
(hakiki/dhahir) nash. Mereka mengetahui makna sifat al-‘ulluw Allah yang dengan itulah
mereka menetapkan ‘aqidah tentang sifat tersebut kepada Allah. Yang bersama mereka
adalah ilmu-Nya, sedangkan Dzat-Nya tetap tinggi berada di atas ‘Arsy sebagaimana telah
menjadi ijma’ kaum muslimin :

‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy berkata :

‫الكلمة من المسلمين أن هللا فوق عرشه فوق سماواتة‬ ‫اتفقت‬ ‫قد‬

“Sungguh kaum muslimin telah bersepakat terhadap satu kalimat bahwasannya Allah


berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya” [Al-Arba’iin fii Shifaati
Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabiy, tahqiq ‘Abdul-Qaadir Athaa, hal. 43 no. 17; Maktabah
Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1413].

Abul-Hasan Al-Asy’ariy berkata :

‫ أنه فوق سماواته على عرشه دون أرضه‬. . ‫وأجمعوا‬

“Dan mereka (ulama Ahlus-Sunnah) telah berijma’ ….. bahwasannya Allah berada di atas


langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, dan bukan di bumi-Nya” [Risaalah ilaa Ahlits-
Tsaghar hal. 75 – dinukil melalui perantaraan I’tiqaad Ahlis-Sunnah Syarh Ashhaabil-
Hadiits oleh Muhammad Al-Khumais, hal. 22; Wizaaratusy-Syu’uun Al-Islaamiyyah wal-
Auqaaf wad-Da’wah wal-Irsyaad, Cet. Thn. 1419].[16]

Keberatan yang menimpa rekan muqallid kita ini tidak memberikan satu pun mafsadatbagi


keabsahan ‘aqidah tentang Allah ‘azza wa jalla ini.[17]

4. Al Hafidz al ‘Irâ qi

Dalam kitab Amâ li-nya, Al Hafidz al ‘Irâ qi telah menghukumi hadis Jâ riyah dengan redaksi:
Di mana Tuhanmu? sebagai hadis muththarib. (Lebih lanjut baca Tanqîh al Fuhû m al
 liyah:13.)

Kasusnya hampir serupa dari yang lalu, dan saya tidak berhajat memperpanjang
pembicaraan tentangnya. Adapun buku Tanqiihul-Fuhuum Al-‘Aaliyyah (‫تنقيح الفهوم العالية فيما‬

[157]
‫ )ص(ح وم(الم يص((ح من ح((ديث الجارية‬adalah tulisan Hasan bin ‘Aliy As-Saqqaaf yang nampaknya
selalu ia taqlid-i. Musibah…..

Demikian artikel kecil ini ditulis. Semoga ada manfaatnya bagi para Pembaca sekalian.

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[abul-jauzaa’, banyak mengambil faedah dari kitab Ad-Difaa' 'an hadiits Al-Jaariyyaholeh


'Abdullah bin Fahd Al-Khaliifiy] - bersambung ke Artikel Ini.

[1]     Ia adalah Muhammad bin Ash-Shabbaah Ad-Duulabiy, Abu Ja’far Al-Baghdaadiy Al-
Bazzaaz; perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ahmad bin
Hanbal berkata : “Syaikh kami, tsiqah”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah ma’muun”. Al-‘Ijliy
berkata : “Tsiqah”. Ya’quub bin Syaibah berkata : “Tsiqah, shahibu hadiits”. Abu Haatim
berkata : “Tsiqah,termasuk orang yang haditsnya dijadikan hujjah. Ahmad bin Hanbal dan
Yahyaa bin Ma’iin meriwayatkan hadits darinya, dan Ahmad mengagungkan dirinya”. Ibnu
Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah haafidh”.

[Lihat : Al-Jarh wat-Ta’diil 7/289 no. 1569, Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/241 no. 1609, Ats-


Tsiqaat9/78, Tahdziibul-Kamaal 25/388-392 no. 5298, dan Taqriibut-Tahdziib hal. 855 no.
6004].

[2]     Ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad bin Ibraahiim bin ‘Utsmaan Al-‘Absiy, terkenal
dengan nama Ibnu Abi Syaibah, seorang imam tsqah yang masyhur; perawi yang dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah haafidh,
shaahibut-tashaanif(mempunyai banyak karangan/tulisan)” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 540
no. 3600].

[3]     Ia adalah Ismaa’iil bin Ibraahiim bin Miqsam  Al-Asadiy Abu Bisyr Al-Bashri, dikenal
dengan Ibnu ‘Ulayyah; perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Syu’bah berkata : “Ibnu ‘Ulayyah adalah raihanah-nya para fuqahaa’”. Ia juga berkata :
“Ibnu ‘Ulayyah adalah pemuka/pemimpin (sayyid) para muhadditsiin”. ‘Abdurrahman bin
Mahdiy berkata : “Ibnu ‘Ulayyah lebih tsabt daripada Husyaim”. Yahyaa bn Sa’iid berkata :
“Ibnu ‘Ulayyah lebihtsabt daripada Wuhaib”. Khaalid bin AlHaarits berkata : “Kami
menyamakan Ismaa’il bin ‘Ulayyah dengan Yunus bin ‘Ubaid”. Yaziid bin Haaruun berkata :
“Aku memasuki kota Bashrah, dan tidak ada seorang pun yang melebihi/menandingi Ibnu
‘Ulayyah dalam hadits”. Ahmad bin Hanbal berkata : “Ismaa’iil bin ‘Ulayyah, padanya

[158]
akhir/puncak sifat tsabt di kota Bashrah”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Abu Haatim
berkata : “Tsiqah, orang yang tsabt dalam hal-ihwal para perawi (rijaal)”. Abu Dawud As-
Sijistaaniy berkata : “Tidak ada seorang pun dari kalangan muhadditsiin yang tidak pernah
keliru, kecuali Ismaa’iil bin ‘Ulayyaah dan Bisyr bin Al-Mufadldlal”. An-Nasaa’iy berkata :
“Tsiqah, tsabt”. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah, haafidh”.

[Lihat : Al-Jarh wat-Ta’diil 2/153-155 no. 513, Tahdziibul-Kamaal 3/23-33 no. 417,


danTaqriibut-Tahdziib hal. 136 no. 420].

[4]     Ia adalah Hajjaaj bin Abi ‘Utsmaan Ash-Shawaaf, Abush-Shalt atau Abu ‘Utsmaan Al-
Kindiy; perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Yahyaa Al-
Qaththaan berkata : “Ia seorang yang cerdas, benar (shahih), lagi pandai”. Al-Bukhaariy
berkata : “Tsiqah di sisi ahlul-hadiits”. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Bashrah yang tsiqah”. Al-
Fasawiy berkat : “Tsiqah”. At-Tirmidziy berkata : “Tsiqah, haafidh di sisi ahlul-hadits”.
Ahmad berkata : “Ia seorang yangtsabt”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”. Ibnu
Khuzaimah berkata : “Aku mendengar Muhammad bin Yahya berkata : ‘Hajjaaj Ash-
Shawaaf seorang yang kokoh (matiin)’ – maksudnya, ia tsiqah lagi haafidh”. Abu Zur’ah dan
Abu Haatim berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah haafidh”.

[Lihat : Ma’rifatuts-Tsiqaat 1/287 no. 271, Al-Ma’rifatu wat-Taarikh 2/127, Tahdziibul-


Kamaal5/443-444 no. 1123, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 1/153-154 no. 797,
dan Taqriibut-Tahdziibhal. 224 no. 1139].

[5]     Ia adalah Yahyaa bin Abi Katsiir Ath-Thaa’iy; perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya. Ayyuub berkata : “Aku tidak mengetahui seorang pun setelah
Az-Zuhriy yang lebih mengetahui hadits penduduk Madinah dibandingkan Yahyaa bin Abi
Katsiir. Syu’bah berkata : “Yahyaa bin Abi Katsiir lebih baik dalam hadits daripada Az-
Zuhriy”. ‘Abdurrahmaan bin Al-Hakam bin Basyiir bin Salmaan berkata : “Syu’bah
mendahulukan Yahyaa bin Abi Katsiir daripada Az-Zuhriy”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah,
hasanul-hadiits”. Abu Haatim berkata : “Seorang imam yang tidak meriwayatkan hadits
kecuali dari orang yang tsiqah”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat.
Al-‘Uqailiy berkata : “Ia disebutkan dengan (pensifatan)tadliis”. Ahmad berkata : “Yahyaa
bin Abi Katsiir adalah orang yang paling tsabt. Ia sebanding dengan Az-Zuhriy dan Yahyaa
bin Sa’iid. Apabila Az-Zuhriy menyelisihinya, maka yang dianggap (diunggulkan) adalah
perkataan Yahyaa bin Abi Katsiir”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Ma’ruufdengan
sifat tadliis”. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah tsabt, namun ia melakukan tadlis dan irsal”.

[159]
[lihat : Al-Jarh wat-Ta’diil 9/141-142 no. 599, Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/357 no. 1994, Ats-
Tsiqaat7/591, Tahdziibul-Kamaal 31/504- no. 6907, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 3/302-
303 no. 4944, dan Taqriibut-Tahdziib hal. 1065 no. 7682].

Catatan : Dalam hadits ini, An-Nasaaiy telah membawakan lafadh tahdits dari Yahyaa bin
Abi Katsiir sehingga hilanglah keraguan akan tadlis yang ia lakukan. An-Nasaa’iy berkata :

‫أخبرنا عمرو بن علي قال حدثا يحيى قال حدثنا حجاج قال حدثني يحيى بن أبي كثير قال حدثني هالل بن أبي ميمونة عن عطاء‬
)‫(الحديث‬..... : ‫بن يسار عن معاوية بن الحكم السلمي قال‬....

Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Amru bin ‘Aliy, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Yahyaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hajjaaj, ia berkata :
Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Abi Katsiir, ia berkata : Telah menceritakan
kepadaku Hilaal bin Abi Maimuunah, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Mu’aawiyyah bin Al-
Hakam As-Sulamiy, ia berkata : “….(al-hadits)…”.

Sanad ini shahih.

[6]     Ia adalah Hilaal bin ‘Aliy bin Usaamah, dikatakan juga : Hilaal bin Abi Maimuunah dan
Hilaal bin Abi Hilaal, Al-Qurasyiy Al-‘Aamiriy Al-Madaniy; perawi yang dipakai Al-
Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Abu Haatim berkata : “Ditulis haditsnya, dan ia
seorang syaikh”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya (laa ba’sa bih)”. Ibnu
Hibbaan memasukkannya dalamAts-Tsiqaat. Al-Haakim berkata : “Telah menjadi satu
kesepakatan berhujjah atas riwayat-riwayat Hilaal bin Abi Hilaal – dan dikatakan : Hilaal
bin Abi Maimuunah, dikatakan : Ibnu ‘Aliy, Ibnu Usaamah, yang kesemuanya itu adalah satu
orang yang sama”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”. Malik telah mengambil riwayat
darinya dalam Al-Muwaththa’ – dan sebagaimana telah dikenal di
kalangan muhadditsiin bahwa hal itu ekuivalen dengan pentsiqahan, sebagaimana
perkataan Ahmad dan yang lainnya : “Setiap orang yang diambil riwayatnya oleh Maalik,
maka ia tsiqah (menurutnya)”. Al-Fasawiy berkata : “Tsiqah, hasanul-hadiits”. Ibnu Hajar
berkata : “Tsiqah”.

[lihat : Al-Jarh wat-Ta’diil 9/76 no. 300, Ats-Tsiqaat 5/505, Al-Mustadrak 1/208, Al-


Ma’rifatu wat-Taariikh 2/466, Tahdziibul-Kamaal 30/343-345 no. 6626, Mausuu’ah
Aqwaal Ad-Daaruquthniy hal. 709 no. 3756, dan Taqriibut-Tahdziib hal. 1028 no. 7394].

Catatan : As-Saqqaaf mengkritik secara tidak fair terhadap Hilaal bin Abi Maimuunah ini
dalamTanqiihul-Fuhuum hal. 9 dimana ia menurunkan derajat Hilaal dari

[160]
seorang tsiqah menjadishaduuq. Ikhwan sekalian dapat menilai bagaimana pandangan
para muhadditsiin terhadap Hilaal ini.

[7]     Ia adalah ‘Athaa’ bin Yasaar Al-Hilaaliy, Abu Muhammad Al-Madaniy Al-Qaashsh,
maula Maimuunah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; perawi yang dipakai oleh Al-
Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Abu Zur’ah
berkata : “Tsiqah”. An-Nasa’’iy juga mentsiqahkannya. Al-‘Ijliy berkata : “Tabi’iy tsiqah”.
Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah faadlil”.

[lihat Al-Jarh wat-Ta’diil 6/338 no. 1867, Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/138 no. 1245, Ats-


Tsiqaat5/199, Tahdziibul-Kamaal 20/125-128 no. 3946, dan Taqriibut-Tahdziib hal. 679
no. 4638].

[8]     Ia tidak mendengar hadits dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, Ibnu ‘Umar, Zaid bin Khaalid Al-
Juhhaniy, Ummu Salamah, Ummu Haani’, Ummu Kurz, Jubair bin Muth’im, Abu Bakr Ash-
Shiddiq, ‘Utsmaan bin ‘Affaan, Raafi’ bin Khudaij, Usaamah bin Zaid, Mu’aadz, dan ‘Utbaan
bin Usaid radliyallaahu ‘anhum ajma’in [Jaami’ut-Tahshiil oleh Al-‘Alaa’iy, hal. 237, no.
520].

[9]     Lihat ta’qib-nya dalam At-Tahriir 3/4-5 no. 4592.

[10]    Lihat ta’qib-nya dalam At-Tahriir 3/16-17 no. 4600.

[11]    Yaitu dalam lafadh :

‫وكانت له شاة صفي يعني عزيزة في غنمه تلك فأراد أن يعطيها نبي هللا صلى هللا عليه و سلم‬

“Dan ia mempunyai seekor kambing yang baik/bagus. Lalu ia ingin memberikannya kepada
Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam…”.

Dalam penyajiannya, ia menyingkat hadits dengan perkataannya :

“(setelah menyebutkan kisah budak wanita yang teledor dalam mengembalakan kambing
tuannya yang berakhir dengan ditempelangnya budak tersebut kemudian penyesalan
tuannya yang akhirnya bermaksud memerdekakannya. Nabi saw. Memintanya agar
dihadirkan dan setelah ia hadir, Nabi saw. bertanya kepada demikian)…..”

Tentu saja faktor ini ikut andil dalam kaburnya esensi dirayah hadits yang sedang dibahas.

[12]    Dalam Al-Mushannaf (tahqiq : Habiibur-Rahmaan Al-A’dhamiy; Al-Majlisul-‘Ilmiy,


Cet. 1/1392) disebutkan :

[161]
...‫ أعتق أو أمسك ؟‬: ‫ فلما فرغ قال‬،‫ نعم‬: ‫ وأن الجنة والنار حق ؟ قالت‬،‫ نعم‬: ‫ قالت‬......

“….Budak itu menjawab : ‘Benar’. (Beliau bersabda) : ‘Dan bahwasannya surga dan neraka
itu benar ?’. Ia menjawab : ‘Benar’. Ketika telah selesai, beliau bersabda : ‘Engkau akan
bebaskan ia atau tidak ?’……”.

Bandingkan dengan nukilannya di atas !

[13]    Perinciannya adalah sebagai berikut :

Al-Bukhaariy berkata : “Aku tidak meriwayatkan sedikitpun dari Ibnu Abi Lailaa”. Ia juga
berkata : “Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Lailaa jujur, namun tidak diketahui mana
yang shahih dan yang dla’iif dari haditsnya, maka haditsnya sangat dilemahkan”.

Al-‘Ijliy berkata : “Orang Kuffah yang jujur lagi tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Laki-laki yang
mulia/terhormat”. Abu Haatim berkata : “Ibnu Abi Lailaa jelek hapalannya (sayyi’ul-
hifdhi)”. Al-Fasawiy berkata : “Faqiih, tsiqah, ‘adil. Namun dalam haditsnya ada sebagian
kritikan. Layyinul-hadiits”.

At-Tirmidziy berkata : “Sebagian ulama telah memperbincangkan Ibnu Abi Lailaa dari sisi
hapalannya. Ahmad berkata : ‘Tidak boleh berhujjah dengan hadits Ibnu Abi Lailaa”. Di
bagian lain At-Tirmidziy juga berkata : “Ibnu Abi Lailaa shaduuq faqiih, hanya saja ia keliru
dalam (penyampaian) sanad”. Al-Bazzaar berkata : “Tidak haafidh (laisa bi-haafidh)”.

An-Nasaa’iy berkata : “Hakim kota Kuffah, salah seorang di antara ahli fiqh, namun tidak
kuat dalam hadits”.

Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah, dalam hapalannya ada sesuatu”. Di lain tempat ia


berkata : “Jelek hapalan, banyak kelirunya (radi’ul-hifdh, katsiirul-wahm)”. Di lain tempat
ia juga berkata : “Jelek hapalannya (sayyi’ul-hifdh)”.

Ahmad bin Hanbal berkata : “Ia orang yang jelek hapalannya, mudltharibul-


hadiits. Fiqh Ibnu Abi Lailaa lebih kami sukai daripada haditsnya; dalam
haditsnya idlthiraab”. Di lain tempat ia berkata : “Ibnu Abi Lailaa dla’iif. Dalam periwayatan
dari ‘Athaa’, ia banyak salahnya”.

Ibnu Ma’iin berkata : “Laisa bi-dzaaka”. Di lain tempat ia berkata : “Sangat jelek dalam
hapalannya”. Syu’bah berkata : “Aku tidak melihat orang yang lebih jelek hapalannya
daripada Ibnu Abi Lailaa”. Ahmad bin Yuunus berkata : “Zaaidah tidak meriwayatkan
hadits dari Ibnu Abi Lailaa, dan ia meninggalkan haditsnya”. Pernah disebutkan Ibnu Abi

[162]
Lailaa di sisi Zaaidah, lalu ia berkata : “Ia orang yang paling faqih di antara penduduk dunia.
Dan dalam hadits ‘Aliy (bin Syihaab), ia adalah orang yang paling tahu tentang diri kami”.

Abu Haatim berkata : “Tempatnya kejujuran. Namun ia seorang yang lemah hapalannya. Ia
tersibukkan dalam urusan pengadilan (karena profesinya sebagai qadliy), lalu menjadi
buruk hapalannya (di bidang hadits). Tidak tertuduh berdusta, hanya saja ia diingkari
karena banyaknya kesalahan (yang ia lakukan). Ditulis haditsnya, namun tidak boleh
berhujjah dengannya”.

Ibnu ‘Adiy berkata : “Bersamaan dengan kelemahan hapalannya, ia ditulis haditsnya”.  Abu
Ahmad Al-Haakim berkata : “Kebanyakan haditsnya terbalik (maqluubah)”. As-Saajiy
berkata : Ia seorang yang jelek hapalannya, tidak berdusta, dipuji dalam hal keutamaanya.
Adapun dalam hadits, ia tidak digunakan sebagai hujjah”. Ibnu Khuzaimah berkata :
“Tidak haafidh, meskipun ia seorang yang faqih lagi ‘alim”. Ibnu Hajar berkata : “Jujur,
sangat jelek dalam hapalan”.

[lihat : Al-Jarh wat-Ta’diil 7/322-323 no. 1739, Tahdziibul-Kamaal 25/622-628 no.


5406,Tahdziibut-Tahdziib 9/301-303 no. 503, Taqriibut-Tahdziib, hal. 871 no. 6121,
dan Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 3/38-40].

[14]    Saya tidak mengingkari bahwa hadits itu dengan seluruh jalannya
adalah shahih (lighairihi). Namun mengatakan bahwa sanad hadits Ath-Thabaraaniy
adalah shahih, maka ini tidak benar. Dalam peristilahan hadits, beda antara istilah : ‘hadits
shahih’ dengan ‘hadits isnaduhu shahih’. Istilah pertama itu merujuk pemenuhan
keseluruhan syarat shahih, termasuk bebas ‘illat dansyudzudz – sehingga ini harus
diperhatikan jalur-jalur lainnya; sedangkan istilah kedua merujuk pemenuhan keshahihan
pada dhahir sanad hadits tersebut saja, tanpa penyertaan bebas ‘illatdan syudzudz. Selain
itu, hadits shahih jika disebutkan secara mutlak bisa bermakna shahih lidzaatihi (yang
memenuhi semua persyaratan shahih) ataupun shahih li-ghairihi (hadits yang terangkat
karena penguat-penguat dari jalan yang lainnya).

[15]    Aneh bin ajaibnya, ia membawakan definisi idlthirab dalam ilmu mushthalah. Yang


jadi pertanyaan : “Pahamkah ia tentang yang ditulisnya ? Apakah hanya sekedar
memperbanyak perkataan serta memenuhi tulisan agar terkesan padat dan ilmiah ?”.
Dalam ilmu mushthalahada tiga persyaratan satu hadits dapat dikatakan mudltharib :

a.     Adanya perselisihan yang nyata.

[163]
b.    Bersatunya/berkumpulnya mukharrij; yaitu ada perawi yang menjadi poros
berkumpulnya riwayat.

c.     Tidak memungkinkan adanya pentarjihan atau penjamakan dari jalan-jalan yang


berselisihan tersebut (karena sama kuat) sesuai dengan kaidah-kaidah yang dikenal
olehmuhadditsiin.

[lihat penjelasan ini dalam Al-Jawaahirus-Sulaimaaniyyah Syarh Al-Mandhuumah Al-


Baiquniyyah, hal. 334-337].

[16]    Ada perkataan menarik dari muqallid tersebut :

Keyakinan bahwa Allah itu berada di langit adalah keyakinan Fir’aun yang telah dikecam
habis Al Qur’an. Allah berfirman:

َ ِ‫ت فَأَطَّلِ َع إِلى إِل ( ِه ُموس((ى َو ِإنِّي أَل َظُنُّهُ كا ِذب (ا ً َو َك((ذل‬
‫ك‬ َ ‫ْباب * أَس‬
ِ ‫ْباب السَّماوا‬ َ ‫صرْ حا ً لَ َعلِّي أَ ْبلُ ُغ اأْل َس‬
َ ‫قال فِرْ عَوْ نُ يا هامانُ ا ْب ِن لي‬
َ ‫َو‬
ٍ ‫َّبيل َو ما َك ْي ُد فِرْ عَوْ نَ إِالَّ في تَبا‬
‫ب‬ ُ ‫ ُزيِّنَ لِفِرْ عَوْ نَ سُو ُء َع َملِ ِه َو‬ .
ِ ‫ص َّد َع ِن الس‬

“Dan berkatalah Firaun:” Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi
supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat
Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.” Demikianlah
dijadikan Fir’aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan
(yang benar); dan tipu daya Fir’un itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.”
(QS.Ghafir/Al Mu’min; 36-37)

Dalam ayat di atas tegas-tegas dikatakan bahwa siapa yang menganggap Allah itu berada di
langit adalah telah terhalangi dari ma’rifah, mengenal Allah SWT dengan sebenar arti
pengenalan. Jadi penyakit kayakinan bahwa Allah berada di langit atau ditempat tertentu
adalah penyakit kronis. Semoga Allah menyelamatkan kita dari keyakinan itu. Amîn.

Justru QS. Al-Mukmin : 36-37 adalah dalil bagi kita untuk meng-hujjah-inya !

Perintah Fir’aun kepada Hammaan untuk membuatkan bangunan yang tinggi agar ia bisa
melihat Allah mengandung pengertian bahwa Muusaa telah mendakwahinya untuk
beriman kepada Allah yang berada di atas langit. Dan ia (Fir’aun) mendustakannya !

Abul-Hasan Al-Asy’ariy (260-324 H) berkata :

‫ (يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ األسباب أسباب السماوات فأطلع إلى إله موسى وإني‬:‫وقال تعالى حكاية عن فرعون لعنه هللا‬
‫ إن هللا عز ولج فوق السموات‬: ‫ فكذب فرعون نبي هللا موسى عليه السالم في قوله‬، )‫ ألظنه كاذبا‬.

[164]
“Allah ta’ala berfirman saat menceritakan Fir’aun – semoga Allah melaknatnya - : ‘Hai
Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu,
(yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku
memandangnya seorang pendusta’ ; Fir’aun telah mendustakan Nabiyullah Muusaa ‘alaihis-
salaam tentang perkataannya : ‘sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit-
langit” [Al-Ibaanah, hal. 33; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1].

Abu ‘Utsmaan Ismaa’iil Ash-Shaabuuniy (373-449 H) berkata saat mengomentari ayat


tersebut :

: ‫ ( َوإِنِّي ألظُنُّهُ َكا ِذبًا) يعني في قوله‬: ‫ أال ترى إلى قوله‬،‫ يذكر أن ربه في السماء‬- ‫ عليه السالم‬- ‫وإنما قال ذلك ألنه سمع موسى‬
‫إن في السماء إلها‬.

“Ia (Fir’aun berkata seperti itu karena ia mendengar Muusaa bercerita bahwa Rabb-Nya
ada di atas langit. Cobalah perhatikan ucapannya : ‘Sungguh aku memandangnya seorang
pendusta…’. Yang dimaksud di sini adalah perkataan Muusaa bahwa di langit itu ada tuhan
(Allah)” [‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits, hal. 37 no. 21, tahqiq : Badr Al-Badr; Maktabah
Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415].

Pendustaan Allah kepada Fir’aun dalam ayat di atas adalah pendustaan karena
kesombongannya yang menolak dakwah Muusaa yang kemudian ia memerintahkan
Hammaan untuk membuat bangunan yang tinggi agar bisa melihat Allah; padahal ia
(sebenarnya) tahu apa yang dilakukannya itu tidak akan bisa melihat Allah ‘azza wa jalla.

[17]    Sebagai tambahan referensi, bisa merujuk ke artikel : http://abul-


jauzaa.blogspot.com/2010/03/at-tafwidl.html , http://abul-
jauzaa.blogspot.com/2010/02/penjelasan-asy-syaikh-abdul-qadiir-al.html , http://abul-
jauzaa.blogspot.com/2009/05/aqidah-ahlus-sunnah-wal-jamaah-dalam.html. 

Melanjutkan pembahasan di artikel Shahih Hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam Tentang ‘Dimana


Allah, pada kesempatan kali ini saya akan membawakan jalan riwayat lain yang dibawakan
oleh Maalik bin Anasrahimahullaah dalam kitab Al-Muwaththa’ tentang hadits Jaariyyah.
Sebagaimana diketahui, bahwa kitabAl-Muwaththa’ mempunyai kedudukan yang tinggi di
kalangan muhadditsiin, bahkan ia disebut sebagai pokok pertama dalam kitab-kitab hadits
sebelumShahih Al-Bukhaariy – sebagaimana dikatakan Ibnul-‘Arabiy
[‘Aaridlatul-‘Ahwadziy, 1/5]. Hadits-hadits yang disebutkan dalam Al-
Muwaththa’ merupakan hujjah yang dipakai oleh Al-Imaam Maalik bin Anasrahimahullah.

[165]
Berikut yang tertera dalam Al-Muwaththa’ (4/35 no. 1601, tahqiq : Saalim Al-Hilaaliy &
5/1128-1129 no. 2875, tahqiq : Muhammad Mushthafa Al-A’dhamiy) :

ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َفقُ ْل‬ َ ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬ ُ ‫ أَ َتي‬: ‫ْن ْال َح َك ِم أَ َّن ُه َقا َل‬ ُ ‫َح َّد َثنِي َمالِك َعنْ ِهاَل ِل ب‬
‫ت َيا‬ ِ ‫ار َعنْ ُع َم َر ب‬ ٍ ‫ْن َي َس‬ ِ ‫ْن أ َسا َم َة َعنْ َع َطا ِء ب‬ ِ
‫ا‬--‫ت َعلَ ْي َه‬ ُ ‫ ْف‬-‫ذ ْئبُ َفأ َ ِس‬-ِّ -‫ا ال‬--‫ت أَ َكلَ َه‬ ْ َ‫ال‬--‫ا َف َق‬--‫أ َ ْل ُت َها َع ْن َه‬-‫ت َشاةٌ مِنْ ْال َغ َن ِم َف َس‬ ْ ‫ت َترْ َعى َغ َنمًا لِي َف ِج ْئ ُت َها َو َق ْد فُقِ َد‬ ْ ‫ار َي ًة لِي َكا َن‬ ِ ‫َرسُو َل هَّللا ِ إِنَّ َج‬
‫ا َل‬--‫ َما ِء َف َق‬-‫الس‬ َّ ‫ت فِي‬ ْ َ‫ال‬--‫لَّ َم أَي َْن هَّللا ُ َف َق‬-‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬َ ِ ‫ت َوجْ َه َها َو َعلَيَّ َر َق َب ٌة أَ َفأُعْ ِتقُ َها َف َقا َل لَ َها َرسُو ُل هَّللا‬ ُ ‫ت مِنْ َبنِي آ َد َم َفلَ َط ْم‬ ُ ‫َو ُك ْن‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَعْ ِت ْق َها‬ َ ِ ‫ت َرسُو ُل هَّللا ِ َف َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬ َ ‫ت أَ ْن‬
ْ َ‫َمنْ أَ َنا َف َقال‬

Telah menceritakan kepadaku Maalik, dari Hilaal bin Usaamah, dari ‘Atha’ bin Yasaar,
dari ‘Umar bin Al-Hakam, bahwasannya ia berkata : "Aku menemui Rasulullahshallallahu
'alaihi wasallam dan berkata : "Wahai Rasulullah, budak perempuanku mengembala
kambing milikku. Saat aku mendatanginya, ternyata kambingku telah hilang satu ekor. Lalu
aku tanyakan kepadanya (tentang hal tersebut), ia menjawab : ‘Kambing itu telah dimakan
serigala’. Aku merasa menyesal dengan kejadian tersebut, dan aku hanyalah manusia biasa,
maka aku pun menampar wajahnya. Aku memiliki seorang budak, maka apakah aku harus
memerdekakannya?". Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam lantas bertanya kepada
budak tersebut : "Di mana Allah?". Ia menjawab : "Di langit". Beliau bertanya
lagi : "Siapakah aku?". Ia menjawab : "Engkau Rasulullah". Lalu Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam bersabda : "Bebaskanlah ia !”[selesai].

Ada hal yang perlu diperhatikan dalam sanad riwayat di atas. Al-Imam
Maalikrahimahullah telah keliru saat menyebutkan ujung sanad hadits di atas dengan
‘Umar bin Al-Hakam. Dan ini telah dikoreksi oleh sejumlah ulama, di antaranya :

1.    Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah.

Beliau juga meriwayatkan hadits ini dari jalan Imam Maalik, lalu berkata terkait
penyebutan ‘Umar bin Al-Hakam :

‫ وأظنه مالك لم يحفظ اسمه‬،‫ وكذلك رواه غير مالك‬،‫وهو معاوية بن الحكم‬

“Ia adalah Mu’aawiyyah bin Al-Hakam. Dan seperti itulah yang diriwayatkan perawi lain
selain Maalik. Aku kira, Maalik tidak hapal nama perawi itu” [lihat Ar-Risaalah, hal. 76 no.
243, tahqiq Ahmad Syaakir. Lihat pula Al-Umm, 6/707 no. 2617, tahqiq : Rif’at Fauziy
‘Abdul-Muthallib].

2.    Imaam Muslim rahimahullah.

Beliau dalam At-Tamyiiz sebagaimana terdapat dalam Athraaf Al-Muwaththa’ berkata :

[166]
،‫ك‬--‫ر) إال مال‬--‫ وال نعلم أح ًَدا سماه (عم‬: ‫ قال‬،‫ومعاوية بن الحكم مشهور برواية هذا الحديث في قصة الجارية والكهان والطيرة‬
‫حتى وهم فيه‬

“Dan Mu’aawiyah bin Al-Hakam masyhuur dengan riwayat hadits ini dalam kisah Jaariyyah,
dukun, dan thiyarah. Kami tidak mengetahui seorang pun yang menamakannya ‘Umar
kecuali Maalik, sehingga ia mengalami keraguan di dalamnya”.

3.    Al-Imaam Ad-Daaruquthniy rahimahullah.

Beliau berkata saat mengomentari beberapa perselisihan dan tarjih jalan-jalan riwayat


Mu’aawiyyah bin Al-Hakam berkata :

‫ك في‬-‫ه على مال‬--‫ ب‬-‫د‬-‫ا يعت‬-‫ك مم‬-‫ وذل‬،‫ر بن الحكم‬-‫ار عن عم‬-‫اء بن يس‬-‫ عن عط‬: ‫ ووهم فيه فقال‬،‫ورواه مالك بن أنس عن هالل‬
‫الوهم‬

“Dan diriwayatkan oleh Maalik bin Anas dari Hilaal, dan ia mengalami keraguan di
dalamnya. Ia berkata : ‘Dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari ‘Umar bin Al-Hakam’. Itu terhitung
sebagai bagian dari keraguan/kekeliruan Maalik (dalam periwayatan)” [Al-‘Ilal, 6/82].

4.    Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah.

Beliau berkata :

‫ وهو من أوهام مالك في اسمه‬،‫ عمر بن الحكم‬: ‫وأكثر الرواة عن مالك يقولون‬.

“Kebanyakan para perawi (yang meriwayatkan) dari Maalik berkata : ‘Umar bin Al-Hakam.
Ini termasuk keragu-raguan Maalik dalam (penyebutan) namanya” [At-Talkhiishul-Habiir,
3/222].

5.    Dan lain-lain.

Ada pendapat lain, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr, bahwa


kekeliruan/keraguan (wahm) itu berasal dari Hilaal.

Namun yang benar – wallaahu a’lam - , keraguan (wahm) tersebut berasal dari Maalik bin
Anas sebagaimana dikatakan jumhur muhadditsiin. Hal ini dikuatkan oleh riwayat Al-
Baihaqiy [As-Sunan Al-Kubraa, 7/387] dan ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy [Ar-Radd ‘alal-
Jahmiyyah, hal. 38-39 no. 62] – dengan sanad shahih – yang membawakan riwayat Maalik
tentang hadits Jaariyyah yang berasal dari Yahyaa bin Yahyaa dari Maalik; dengan
menyebutkan Mu’aawiyyah bin Al-Hakam.

[167]
Namun, apapun itu, tidaklah membuat hadits ini menjadi lemah karena kekeliruan Maalik
dengan menyebut ‘Umar bin Al-Hakam. Tidak ada ulama yang melemahkan hadits Maalik
ini, kecuali penyebutan wahm sebagaimana telah dituliskan di atas. Dan itu telah dikoreksi
sejumlah ulama. Oleh karena itu, hadits Maalik ini shahih dengan tartib sanad : Maalik bin
Anas, dari Hilaal bin Usamah, dari ‘Atha’ bin Yasaar, dariMu’aawiyyah bin Al-
Hakam radliyallaahu ‘anhu.

Al-Imaam Asy-Syaafi’iy berhujjah dengan hadits di atas pada kitab Al-Umm dalam masalah


pembebasan budak, tanpa mengatakan adanya kelemahan.

Walhasil, hadits ini adalah shahih, tidak ada idlthiraab di dalamnya sebagaimana klaim As-
Saqqaaf dan para muqallid-nya.

Semoga sedikit yang ditulis ini ada manfaatnya.

[abu al-jauzaa’ al-atsariy – sasi ruwah taun 1431 – banyak mengambil faedah dari
penjelasan Asy-Syaikh Saliim Al-Hilaaliy hafidhahullah].

At-Tafwidl dan Makna Hakiki

Allah ta’ala mengutus Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan kepada


umatnya apa yang telah diturunkan kepada beliau berupa Al-Qur’an. Allahta’ala berfirman :

َ‫اس َما نُ ِّز َل إِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون‬ َ ‫َوأَ ْن َز ْلنَا إِلَ ْي‬
ِ َّ‫ك ال ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” [QS. An-Nahl :
44].

َ ‫ك ْال ِكت‬
ْ ‫َاب إِال لِتُبَيِّنَ لَهُ ُم الَّ ِذي‬
َ‫اختَلَفُوا فِي ِه َوهُدًى َو َرحْ َمةً لِقَوْ ٍم ي ُْؤ ِمنُون‬ َ ‫َو َما أَ ْن َز ْلنَا َعلَ ْي‬

“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) ini, melainkan agar kamu
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” [QS. An-Nahl : 64].

ٍ ‫َو َما أَرْ َس ْلنَا ِم ْن َرس‬


‫ُول إِال بِلِ َسا ِن قَوْ ِم ِه لِيُبَي َ(ِّن لَهُ ْم‬
[168]
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia
dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” [QS. Ibraahiim : 4].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan


sejelas-jelasnya kepada umatnya melalui perantaraan generasi pertama Islam (para
shahabat), dan mereka pun (para shahabat) memahaminya karena Allah berfirman :

‫َولَقَ ْد يَسَّرْ نَا ْالقُرْ آنَ لِل ِّذ ْك ِر فَهَلْ ِم ْن ُم َّد ِك ٍر‬

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang
yang mengambil pelajaran?” [QS. Al-Qamar : 17].

Tidak terkecuali dalam permasalahan sifat-sifat Allah. Pengetahuan akan (nama-nama),


sifat-sifat, (dan perbuatan-perbuatan) Allah ta’ala merupakan bagian
dari ma’rifatullahkarena darinya lah pengetahuan-pengetahuan lain bercabang.

Salah satu prinsip Ahlus-Sunnah dalam perkara sifat-sifat Allah adalah beriman kepada
sifat-sifat (Allah) tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Kitab-Nya dan melalui lisan
Rasul-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa tahrif (penyelewengan
makna), ta’thil (meniadakannya), takyif (menanyakan bagaimana/kaifiyyah), dan
tamtsil (mempermisalkannya/menyamakannya dengan makhluk); dan mengimani bahwa
Allah subhaanahu wa ta’ala tidak serupa dengan sesuatu apapun, Dia Maha Mendengar dan
Maha Melihat. Mereka (Ahlus-Sunnah) tidak menafikkan dari-Nya apa-apa yang Allah
sifatkan bagi diri-Nya, tidak menyelewengkan kalimat dari makna asalnya, dan tidak pula
berbuat ilhad (menentang) terhadap nama-nama dan ayat-ayat Allah, dan tidak pula
menanyakan bagaimana (kaifiyah) dan menyamakan sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat
makhluk-Nya [sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyyah dalam kitab Al-‘Aqiidah Al-
Waasithiyyah – melalui At-Ta’liiqaatuz-Zakiyyah ‘alal-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah oleh
‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Al-Jibriin, 1/81-88; Daarul-Wathaan, Cet. 1/1419].

Mereka menetapkan ayat-ayat yang berbicara tentang sifat Allah, dan mereka pun
mengetahui maknanya – sebagaimana hal itu menjadi konsekuensi ayat-ayat yang telah
disebutkan. Dan penunjukkan (dilalah) dari ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah terhadap
sifat-sifat Allah menunjukkan (makna) hakekatnya – sebagaimana hal itu juga menjadi
prinsip dasar dalam syari’at-syari’at lainnya. Asal makna dari satu perkataan adalah
hakekatnya, yaitu makna yang langsung bisa tertangkap dari pembicaraan. Allah ta’alatelah
berfirman :

َ‫إِنَّا َج َع ْلنَاهُ قُرْ آنًا ع ََربًِيّ(ًّا لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْعقِلُون‬


[169]
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami-
(nya)” [QS. Az-Zukhruf : 3].

Banyak dalil yang menerangkan akan hal itu, di antaranya :

Pertama

Allah ta’ala berfirman :

ِ َ‫إِ َّن هَّللا َ َكانَ َس ِميعًا ب‬


‫صيرًا‬

“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. An-Nisaa’ : 58].

Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

‫ ح((دثني عب((د هللا‬،‫ حدثنا يحيى بن عب((د هللا بن بك((ير‬،‫حدثنا أبو ُزرْ عَة‬:‫ كما قال ابن أبي حاتم‬،‫ بصيرا بأفعالكم‬،‫ سميعا ألقوالكم‬:‫أي‬
‫ رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم وهو يقرئ هذه‬:‫ عن عقبة بن عامر قال‬،‫ عن أبي الخير‬،‫ عن يزيد بن أبي حبيب‬،‫بن لهيعة‬
‫ بك((((((((((((((((((ل ش((((((((((((((((((يء بص((((((((((((((((((ير‬:‫ص((((((((((((((((((يرًا } يق((((((((((((((((((ول‬
ِ َ‫اآلي((((((((((((((((((ة { َس(((((((((((((((((( ِميعًا ب‬.
‫( ح((دثنا حرمل((ة‬،‫ عب((د هللا بن يزي((د‬-‫يعني أبا عب((د ال((رحمن‬- ‫ أنبأنا المقرئ‬،‫ أخبرنا يحيى بن عبدك القزويني‬:‫وقد قال ابن أبي حاتم‬
ِ ‫ { إِ َّن هَّللا َ يَأْ ُم ُر ُك ْم أَ ْن تُ ( َؤ ُّدوا األ َمانَ((ا‬:‫ سمعت أبا هريرة يقرأ هذه اآلية‬،‫حدثنا أبو يونس‬-‫يعني ابن عمران التجيبي المصري‬-
‫ت إِلَى‬
ِ َ‫ { إِ َّن هَّللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ِه إِ َّن هَّللا َ َكانَ َس ِميعًا ب‬:‫أَ ْهلِهَا } إلى قوله‬
:‫صيرًا } ويض((ع إبهام((ه على أذن((ه وال((تي تليه((ا على عين((ه ويق(ول‬
‫ ووضع أبو زكريا إبهامه‬،‫ وصفه لنا المقري‬:‫ قال أبو زكريا‬.‫هكذا سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقرؤها ويضع أصبعيه‬
‫ هك((((((((ذا وهك((((((((ذا‬:‫ وأران((((((((ا فق((((((((ال‬،‫ وال((((((((تي تليه((((((((ا على األذن اليم((((((((نى‬،‫اليم((((((((نى على عين((((((((ه اليم((((((((نى‬.
‫ من ح((ديث أبي عب((د ال(رحمن المق(ري‬،‫ وابن مردويه في تفس((يره‬،‫ والحاكم في مستدركه‬،‫ وابن حبان في صحيحه‬،‫رواه أبو داود‬
‫ واسمه ُسلَيْم بن ُجبَير‬،‫نحوه وأبو يونس هذا مولى أبي هريرة‬- ‫بإسناده‬.

“Yaitu : Allah Maha Mendengar terhadap perkataan-perkataan kalian dan Maha Melihat
terhadap perbuatan-perbuatan kalian. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Abu Haatim :
Telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah : telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
‘Abdillah bin Bukair : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Lahii’ah, dari Yaziid bin
Abi Habiib, dari Abul-Khair, dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, ia berkata : “Aku melihat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini : ‘Maha Mendengar lagi Maha
Melihat’, beliau bersabda : ‘(Allah) Maha Melihat segala sesuatu”.[1]

Ibnu Abi Haatim berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin ‘Abdak Al-
Qazwiiniy : Telah memberitakan kepada kami Al-Muqri’ – yaitu Abu ‘Abdirrahman –
‘Abdullah bin Yaziid : Telah menceritakan kepada kami Harmalah – yaitu Ibnu ‘Imraan At-
Tajiibiy Al-Mishriy - : Telah menceritakan kepada kami Abu Yuunus : Aku mendengar Abu
Hurairah membaca ayat : ‘‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya” hingga pada ayat : ‘Sesungguhnya Allah memberi

[170]
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat’ (QS. An-Nisaa’ : 58), lalu ia (Abu Hurairah) meletakkan ibu jari
tangannya ke telinganya, dan yang lain (telunjuk) ke matanya, lalu berkata : “Demikianlah
aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membacanya dimana beliau juga
meletakkan dua jarinya”. Abu Zakariyya berkata : “Al-Muqri’ menyifatkan/memperagakan
hal itu kepada kami”. Lalu Abu Zakariyya meletakkan ibu jari tangan kanannya ke mata
kanannya dan jari yang lain ke telinga kanannya, dan kami melihatnya, lalu Al-Muqri’
berkata : “Demikianlah, demikianlah”.[2]

Diriwayatkan pula oleh Abu Daawud, Ibnu Hibbaan dalam Shahih-nya, Al-Haakim


dalamMustadrak-nya, dan Ibnu Mardawaih dalam Tafsir-nya, dari Abu ‘Abdirrahman Al-
Muqri’ dengan sanad semisal. Abu Yuunus ini adalah maula Abu Hurairah, namanya Sulaim
bin Jubair” [selesai – Tafsir Ibni Katsiir, 2/341-342, tahqiq : Saamiy bin Muhammad
Salaamah; Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1420].

Dapat kita lihat dari ayat, hadits, amalan shahabat, dan juga ulama setelahnya; mereka
semua memahami sifat mendengar (as-sam’u) dan mendengar (al-bashar) dengan makna
hakekatnya. As-sam’u dinisbatkan untuk sifat Maha Medengar (As-Samii’)terhadap semua
perkataan makhluk-Nya, baik yang nampak ataupun tersembunyi; sedangkan Al-
bashar dinisbatkan untuk sifat Maha Melihat (Al-Bashiir) terdapat semua perbuatan
makhluk-Nya, baik yang nampak ataupun tersembunyi. Pengisyaratan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yang kemudian diikuti oleh Abu Hurairah dan
Ibnu Muqri’) terhadap telinga dan mata bukan untuk menyamakan (tasybiih) sifat Allah
dengan makhluk, namun sebagai penjelas bahwa yang dimaksud adalah makna hakiki
(dhahir) yang jika sifat itu dinisbatkan kepada manusia, maka itu merujuk pada telinga dan
mata mereka. Allah ta’ala berfirman :

ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوه َُو ال َّس ِمي ُع ْالب‬


‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].

Allah ta’ala telah menetapkan sifat mendengar dan melihat, dan bersamaan dengan itu Dia
menafikkan penyamaan dua sifat tersebut dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Allah Maha
Tinggi dengan segala kesempurnaan sifat-sifat-Nya.

Kedua
[171]
‫ (إن هللا‬:‫ فق(ال‬،‫ ذكر الدجال عند النبي صلى هللا عليه وس(لم‬:‫ عن عبد هللا قال‬،‫ عن نافع‬،‫ حدثنا جويرية‬:‫حدثنا موسى بن إسماعيل‬
)‫ كأن عينه عنبة طافية‬،‫ وإن المسيح الدجال أعور العين اليمنى‬- ‫ وأشار بيده إلى عينه‬- ‫ إن هللا ليس بأعور‬،‫ال يخفى عليكم‬.

Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami
Juwairiyyah, dari Naafi’, dari ‘Abdullah (bin ‘Umar), ia berkata : Disebutkan Dajjaal di sisi
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak
tersembunyi dari kalian. Sesungguhnya Allah itu tidak buta sebelah matanya– lalu beliau
berisyarat dengan tangannya ke matanya - . Dan bahwasannya Al-Masiih Ad-Dajjaal itu
buta sebelah matanya yang kanan seakan-akan matanya itu seperti buah anggur yang
mengapung (menonjol keluar)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7407].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menetapkan sifat mata (‫ )العين‬bagi Allah.[3]Isyarat


beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ke mata beliau bukan untuk penyerupaan sifat Allah
dengan makhluk, akan tetapi menjelaskan dan menekankan makna hakiki dari sifat Allah
bahwa Ia benar-benar mempunyai dua mata yang tidak buta sebelah seperti mata Dajjaal
(yang buta sebelah).

Ketiga

‫ عن يح((يى بن‬،‫ حدثنا إس((ماعيل بن إب((راهيم عن حج((اج الص((واف‬:‫ وأبو بكر بن أبي شيبة قاال‬،‫حدثنا أبو جعفر محمد بن الصباح‬
‫ وك((انت لي جاري((ة ت((رعى‬........ : ‫ عن معاوية بن الحكم السلمي؛ قال‬،‫ عن عطاء بن يسار‬،‫ عن هالل بن أبي ميمونة‬،‫أبي كثير‬
‫ آس((ف كم((ا‬.‫ وأنا رج((ل من ب((ني آدم‬.‫ فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [الذئب؟؟] قد ذهب بشاة من غنمها‬.‫غنما لي قبل أحد والجوانية‬
‫ يا رسول هللا! أفال أعتقها؟ قال "ائتني‬:‫ قلت‬.‫ فأتيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فعظم ذلك علي‬.‫ لكني صككتها صكة‬.‫يأسفون‬
‫ فإنها مؤمنة‬.‫ قال "أعتقها‬.‫ أنت رسول هللا‬:‫ قال "من أنا؟" قالت‬.‫ في السماء‬:‫ فقال لها "أين هللا؟" قالت‬.‫"بها" فأتيته بها‬.

Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ash-Shabbaah dan Abu Bakr
bin Syaibah, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin
Ibraahiim, dari Hajjaaj Ash-Shawaaf, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Hilaal bin Abi
Maimuunah, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam, ia berkata : “……Dulu
aku mempunyai seorang budak perempuan yang bertugas menggembala kambing milikku
yang tersebar di antara gunung Uhud dan Jawaniyyah. Pada suatu hari, sampailah
kepadaku laporan bahwa seekor serigala telah memangsa seekor kambing (yang ia
gembala). Aku adalah anak Adam yang bisa marah sebagaimana orang-orang juga marah.
Namun kemudian aku memukulnya dengan satu pukulan yang keras. Lalu aku mendatangi
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menganggap hal itu sebagai sesuatu
yang besar bagiku. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, apakah aku harus membebaskannya
(memerdekakannya) ?”. Beliau bersabda : “Bawalah dia kepadaku”. Lalu aku pun
membawanya ke hadapan beliau. Beliau bertanya kepadanya : “Dimana Allah ?”. Ia
[172]
menjawab : “Di langit”. Beliau kembali bertanya : “Siapakah aku ?”. Ia menjawab : “Engkau
adalah Rasulullah”. Beliau pun bersabda : “Bebaskanlah, sesungguhnya ia seorang
perempuan yang beriman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 537].

Hadits ini menetapkan sifat Al-‘Ulluw bagi Allah. Keberadaan Allah ta’ala bagi budak


perempuan tersebut bukanlah sesuatu yang tersembunyi. Ia paham benar akan hal ini,
sehingga ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya ‘dimana
Allah’, maka ia lekas menjawab : ‘di langit’.[4] Keberadaan Allah tinggi di atas langit
merupakan satu hal yang hakiki, bukan majaziy.

Keempat

‫ ح(دثني أب(و ح(ازم عن عبيدهللا بن مقس(م؛أن(ه نظ(ر إلى عبدهللا بن‬.)‫ حدثنا يعقوب (يعني ابن عبدالرحمن‬.‫حدثنا سعيد بن منصور‬
‫ (ويقبض‬.‫ أن(ا هللا‬:‫ فيق(ول‬.‫عمر كيف يحكي رسول هللا صلى هللا علي(ه وس((لم ق(ال "يأخ((ذ هللا ع(ز وج((ل س(ماواته وأرض((يه بيدي((ه‬
‫ أساقط ه((و برس((ول هللا ص((لى‬:‫ حتى إني ألقول‬.‫أصابعه ويبسطها) أنا الملك" حتى نظرت إلى المنبر يتحرك من أسفل شيء منه‬
‫هللا عليه وسلم؟‬

Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur : Telah menceritakan kepada kami
Ya’quub (yaitu Ibnu ‘Abdirrahman) : Telah menceritakan kepadaku Abu Haazim, dari
‘Ubaidullah bin Miqsam : Bahwasannya ia melihat kepada ‘Abdullah bin ‘Umar bagaimana
ia menirukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : “Allah‘azza wa
jalla memegang langit-langit-Nya dan bumi-bumi-Nya dengan tangan-Nya, lalu
berfirman : ‘Aku adalah Allah’ – lalu Ibnu ‘Umar menggenggam jari jemarinya dan
membentangkannya - . Aku adalah Raja – hingga aku aku melihat ke mimbar
bergerak/goyang di bagian bawah karena sesuatu darinya. Hingga aku pun ingin berkata :
“Apakah ia telah menggantikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (dalam
berkhutbah) ?” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2788].

Hadits di atas menunjukkan bahwa sifat tangan (‫ )اليد‬Allah serta pengenggaman (‫)القبض‬
langit dan bumi di hari kiamat sangat dipahami oleh Ibnu ‘Umar dari
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan makna-maknanya yang hakiki. Dan tentu
saja hal itu tanpa menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk.

Kelima

Perhatikan pula riwayat tentang kisah orang yang terakhir kali masuk surga :

‫حدثنا عبد هللا حدثني أبي حدثنا يزيد أخبرنا حماد بن سلمة عن ثابت البناني عن أنس بن مالك عن عبد هللا بن مس((عود عن الن((بي‬
‫ ما يصريني منك أي عبدي أيرض((يك أن أعطي((ك من الجن((ة ال((دنيا ومثله((ا معه((ا‬:‫ فيقول عز وجل‬...... :‫صلى هللا عليه وسلم قال‬

[173]
‫ لم‬:‫ أال تس(ألوني لم ض(حكت ق(الوا ل(ه‬:‫ فض(حك عب((د هللا ح(تى ب((دت نواج(ذه ثم ق(ال‬:‫ أتهزؤ بي وأنت رب العزة ق(ال‬:‫ فيقول‬:‫قال‬
‫ لم‬:‫ أال تسألوني لم ضحكت ق((الوا‬:‫ لضحك رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ثم قال لنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫ضحكت قال‬
‫ أتهزؤ بي وأنت رب العزة‬:‫ لضحك الرب حين قال‬:‫ضحكت يا رسول هللا قال‬.

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah
menceritakan kepada Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, dari Anas bin
Maalik, dari ‘Abdullah bin Mas’uud, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda : “…..Maka Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apa yang memberhentikan-Ku dari
permintaanmu ? Hai hamba-Ku, apakah engkau suka jika Aku berikan kepadamu dunia dan
semisalnya bersamanya ?’. Orang itu menjawab : ‘Apakah Engkau memperolok-olokku
padahal Engkau adalah Rabbul-‘Izzah ?’. Perawi berkata : “Lalu ‘Abdullah (bin Mas’uud)
tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya. Ia berkata : ‘Tidakkah kalian bertanya kepadaku
mengapa aku tertawa ?’. Mereka pun berkata kepadanya : ‘Apa yang membuatmu
tertawa ?’. Ibnu Mas’uud menjawab : ‘(Aku tertawa) karena tertawanya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda kepada
kami :‘Tidakkah engkau bertanya kepadaku mengapa aku tertawa ?’. Para shahabat pun
bertanya : ‘Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah ?’. Beliau menjawab : “(Aku
tertawa) karena tertawanya Ar-Rabb (Allah) saat  hamba tadi mengatakan : ‘Apakah
Engkau memperolok-olokku padahal Engkau adalah Rabbul-‘Izzah ?” [Diriwayatkan oleh
Ahmad 1/391; sanadnya shahih sesuai dengan Muslim, para perawinya tsiqaat termasuk
perawi Syaikhaan kecuali Hammaad bin Salamah, ia hanya dipakai oleh Muslim saja].

Hadits ini menetapkan sifat tertawa (‫)الض((حك‬ bagi Allah dimana Rasulullah shallallaahu


‘alaihi wa sallam memahaminya dengan pemahaman hakiki, yang kemudian pemahaman
itu diikuti oleh Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.

Keenam

‫ ي((ا أم((ير المؤم((نين ل((و ركبت‬: ‫ لما قدم عمر الشام استقبله الناس وهو على البعير فق((الوا‬: ‫حدثنا وكيع عن إسماعيل عن قيس قال‬
‫ وأشار بيده إلى السماء‬- ‫ إنما االمر من هنا‬، ‫ ال أراكم ههنا‬: ‫ فقال عمر‬، ‫ برذونا يلقاك عظماء الناس ووجوههم‬.

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika ‘Umar
baru datang dari Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu itu masih di
atas onta tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau
mengendarai kuda tunggangan yang tegak, niscaya para pembesar dan tokoh-tokoh
masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah kalian lihat,
bahwasannya perintah itu datang dari sana ? – Dan ia (‘Umar) berisyarat dengan tangannya
ke langit” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/40; shahih].
[174]
Atsar di atas menetapkan sifat Al-‘Ulluw bagi Allah ta’ala. Sifat ini dipahami oleh ‘Umar
sebagaimana dhahir/hakekatnya, sehingga ia menunjuk ke arah langit dimana
Allahta’ala berada.

Inilah madzhab yang beredar di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum tentang sifat


Allah ta’ala. Mereka menetapkan lafadh sekaligus makna hakikinya (dhahirnya). Madzhab
inilah yang mereka wariskan ke generasi tabi’in, tabi’ut-tabi’iin, dan seterusnya dari ulama
Ahlus-Sunnah hingga sekarang.

Telah masyhur riwayat Al-Imam Maalik bin Anas rahimahullah sebagai berikut :

‫ذكره علي بن الربيع التميمي المقري قال ثنا عبد هللا ابن أبي داود قال ثنا سلمة بن شبيب قال ثنا مه((دي بن جعف((ر عن جعف((ر بن‬
‫عبد هللا قال جاء رجل إلى مالك بن أنس فقال يا أبا عبد هللا الرحمن على العرش استوى كيف استوى ق((ال فم((ا رأيت مالك((ا وج((د‬
‫من شيء كموجدته من مقالته وعاله الرحضاء يعني العرق قال واطرق القوم وجعلوا ينتظرون ما يأتي منه فيه ق((ال فس((رى عن‬
‫ف(إني أخ(اف أن تك((ون ض(اال‬ ‫الكيف غير معقول واالستواء منه غير مجهول واإليمان ب((ه واجب والس((ؤال عن((ه بدع((ة‬ ‫مالك فقال‬
‫وامر به فأخرج‬

Telah menyebutkan kepadanya ‘Aliy bin Ar-Rabii’ At-Tamimiy Al-Muqri’, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Abi Dawud, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Salamah bin Syabiib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin
Ja’far, dari Ja’far bin ‘Abdillah, ia berkata : Datang seorang laki-laki kepada Maalik bin Anas.
Ia berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’ (bersemayam) di atas
‘Arsy’; bagaimana Allah beristiwaa’ ?”. Perawi berkata : “Belum pernah aku melihat beliau
(Malik) marah sedemikian rupa seperti marahnya beliau kepada orang itu. Tubuhnya
berkeringat, orang-orang pun terdiam. Mereka terus menantikan apa yang akan terjadi.
Maka keadaan Al-Imam Malik kembali normal, beliau berkata : “Kaifiyah-nya tidaklah
dapat dinalar, istiwaa’ sendiri bukan sesuatu yang majhul, beriman kepada adalah wajib,
dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Dan sesungguhnya aku khawatir kamu berada
dalam kesesatan”. Kemudian beliau memerintahkan orang tersebut untuk dikeluarkan dari
majelisnya. [Syarh Ushuulil-I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, hal. 398, tahqiq : Ahmad bin
Mas’ud bin Hamdaan; desertasi S3].

Makna “istiwaa’ itu bukan sesuatu yang majhuul” adalah bahwa istiwaa’ itu diketahui
maknanya secara hakiki sebagaimana dhahir bahasa Arab yang jelas.[5]

‫ سألت األوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن األحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم ق((الوا‬: ‫وقال الوليد بن مسلم‬
‫ أمروها كما جاءت بال تفسير‬: ‫لي‬

[175]
Al-Walid bin Muslim berkata : Aku pernah bertanya kepada Al-Auza’iy, Malik bin Anas,
Sufyan Ats-Tsauriy, dan Al-Laits bin Sa’d tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan
sifat, maka setiap dari mereka menjawab : “Perlakukanlah (ayat-ayat tentang sifat Allah)
sebagaimana datangnya tanpa tafsir”  [Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalamAl-‘Ulluw,
berserta Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 142 no. 134 dengan sanad shahih; Al-Maktab
Al-Islamy, Cet. 1/1401].

Maksudnya, perlakukanlah ayat-ayat sifat sesuai dengan dhahir makna yang termuat di
dalamnya, tanpa tafsir ke makna-makna selainnya atau menanyakan kaifiyah-nya.[6]Sebab,
sesuatu yang telah jelas, tidak perlu penjelasan/tafsir lagi. Apabila diperlukan
penjelas/tafsir, maka kembalinya pun pada dhahir bacaan nash itu sendiri sebagaimana
dikatakan oleh Sufyaan bin ‘Uyainah :

‫كل ما وصف هللا من نفسه في كتابه فتفسيره تالوته والسكوت عليه‬

“Segala sifat yang Allah sifatkan bagi diri-Nya di dalam Al-Qur’an, penafsirannya adalah
(dhahir) bacaannya dan diam terhadapnya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-
I’tiqaad hal. 118 no. 296, tahqiq : Ahmad ’Ishaam Al-Kaatib, Daarul-Aafaaq, Cet. 1/1401;
dan Al-Asmaa’ wa Shifat  2/307 no. 869, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Hasyidi;
Maktabah As-Suwadiy. Atsar ini shahih].

Makna ‘diam terhadapnya’ yaitu menetapkannya, tidak menambah-nambah, dan tidak


menanyakan kaifiyah dari sifat-sifat tersebut.

Mereka bukanlah orang-orang yang bodoh yang tidak mengerti tentang makna sifat-sifat
Allah ketika menetapkannya – sebagaimana anggapan paham Mufawwidlah dari sebagian
kalangan Asy’ariyyah.

Mujaahid Al-Makkiy ketika menjelaskan ayat istiwaa’ berkata :

‫عال على العرش‬

“Tinggi di atas ‘Arsy” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy secara mu’allaq dengan shighah jazm,


6/2698].

Perkataan Mujaahid didasarkan atas pengetahuannya terhadap makna


(hakiki/dhahir)istiwaa’.

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad, dari ayahnya, dari Nuuh bin Maimuun, dari Bukair
bin Ma’ruuf, dari Muqaatil bin Hayyaan tentang firman Allah ta’ala : ‘Tiada pembicaraan

[176]
rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7), ia
(Muqaatil) berkata :

‫ وعلمه معهم‬،‫هو على عرشه‬.

“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah
bin Ahmad dalam As-Sunnah hal. 71, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, dan yang
lainnya dengan sanad hasan – melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 138 no. 124].

Ahmad (bin Hanbal) meriwayatkan dengan sanadnya sampai Adl-Dlahhaak tentang ayat
(yang artinya) : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang
keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang
keenamnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7); maka Adl-Dlahhaak berkata :

‫هو على العرش وعلمه معهم‬

“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka” [As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal hal. 80 – melalui perantaraan Al-Masaail war-Rasaail Al-Marwiyyatu
‘anil-Imam Ahmad bin Hanbal fil-‘Aqiidah oleh ‘Abdullah bin Sulaimaan Al-Ahmadiy,
1/319; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412].

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah : Telah
menceritakan ayahku, kemudian ia menyebutkan sanadnya dari ‘Abdullah bin Naafi’, ia
berkata : Telah berkata Maalik bin Anas :

‫ ال يخلو منه شيء‬،‫ وعلمه في كل مكان‬،‫هللا في السماء‬.

“Allah berada di atas langit, dan ilmu-Nya berada di setiap tempat. Tidak ada terlepas dari-
Nya sesuatu” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah dalam As-Sunnah hal. 5, Abu Dawud dalam Al-
Masaail hal. 263, Al-Aajuriiy hal. 289, dan Al-Laalikaa’iy 1/92/2 dengan sanad shahih –
dinukil melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 140 no. 130].

Pengetahuan pembedaan dua hal dari para imam (Muqaatil, Adl-Dlahhak, dan Maalik) yang
disebutkan dalam tiga riwayat di atas didasari oleh pengetahuan terhadap makna
(hakiki/dhahir) nash. Mereka mengetahui makna sifat al-‘ulluw Allah yang dengan itulah
mereka menetapkan ‘aqidah tentang sifat tersebut kepada Allah. Yang bersama mereka
adalah ilmu-Nya, sedangkan Dzat-Nya tetap tinggi berada di atas ‘Arsy sebagaimana telah
menjadi ijma’ kaum muslimin :

‫ قد اتفقت الكلمة من المسلمين أن هللا فوق عرشه فوق سماواتة‬: ‫وقال عثمان بن سعيد الدارمي‬

[177]
‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy berkata : “Sungguh kaum muslimin telah bersepakat
terhadap satu kalimat bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-
Nya” [Al-Arba’iin fii Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabiy, tahqiq ‘Abdul-Qaadir
Athaa, hal. 43 no. 17; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1413].

Oleh karena itu, nampaklah kekeliruan sebagian orang-orang Asy’ariyyah yang


menganggap madzhab tafwidl makna kepada Allah adalah madzhab yang ditempuh para
shahabat dan generasi salaf Islam. Salah besar. Mereka (mufawwidlah) hanya sekedar
menetapkan lafadh tanpa makna, karena beranggapan bahwa makna lafadh itu tidak
diketahui oleh manusia – dan hanya diketahui oleh Allah ta’ala.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan kebathilan madzhab tafwidl ini dengan


perkataannya :

‫ إن الرسول صلى هللا عليه‬:‫ يقولون‬،‫ واتباع السلف‬،‫وأما الصنف الثالث ـ وهم [أهل التجهيل] ـ فهم كثير من المنتسبين إلى السنة‬
.‫ وال الس((ابقون األول((ون عرف((وا ذل((ك‬،‫ وال جبريل يعرف معاني اآليات‬،‫وسلم لم يعرف معاني ما أنزل هّللا إليه من آيات الصفات‬
‫ مع أن الرسول تكلم بها ابتدا ًء‬، ‫ إن معناها ال يعلمه إال هّللا‬:‫وكذلك قولهم في أحاديث الصفات‬

”Adapun kelompok yang ketiga adalah Ahlut-Tajhiil. Kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang berintisab kepada Sunnah yang mengaku mengikuti kaum Salaf dan
mengatakan : ”Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak mengetahui
makna-makna ayat-ayat sifat yang diturunkan kepada beliau. Demikian juga Jibril ’alaihis-
salaam, ia tidak mengetahui makna-makna ayat tersebut, tidak juga orang-orang yang
pertama masuk Islam itu mengetahui maknanya. Demikian juga dengan pendapat mereka
mengenai hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah, sebab makna-makna yang terkandung di
dalamnya tidak ada yang tahu kecuali hanya Allah semata, padahal Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam telah menyinggung masalah ini sejak semula” [Majmua’ Al-Fataawaa,
5/31-34].

‫ وحضنا على عقل((ه وفهم((ه؛ فكي((ف يج((وز م((ع ذل((ك أن‬،‫ فإن من المعلوم أن هللا – تعالى – أمرنا أن نتدبر( القرآن‬: ‫وأما التفويض‬
‫ وعقله‬،‫ ومعرفته‬،‫يُراد منا اإلعراض عن فهمه‬

”Adapun Tafwidl (menyerahkan makna kepada Allah), sesungguhnya telah diketahui


bahwa Allah ta’ala memerintahkan untuk memahami Al-Qur’an dan mendorong kita untuk
memikirkan dan memahaminya. Maka bagaimana kita dibolehkan berpaling dari mengenal,
memahami dan memikirkan ?”.

Hingga beliau berkata dengan tegas dalam permasalahan ini :

[178]
‫فتبين أن قول أهل التفويض الذين يزعمون أنهم متبعون للسنة والسلف من شر أقوال أهل البدع واإللحاد‬

”Maka jelas bahwa Ahlut-Tafwidl yang menyangka dirinya mengikuti As-Sunnah dan As-


Salaf adalah seburuk-buruk perkataan Ahlul-Bid’ah dan ilhad” [lihat selengkapnya
dalamDar’ut-Ta’arudl Al-’Aql wan-Naql juz 1 bagian 16 hal. 201-205 – dinukil melalui
perantaraan Al-Ajwibatul-Mufiidah Cet. 3, catatan kaki atas pertanyaan no. 40].[7]

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[1]      Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsir-nya (3/5526) dan para perawi
dalam sanadnya adalah para perawi Al-Bukhariy dan Muslim selain Ibnu Lahii’ah, seorang
yang lemah dari sisi hapalannya. Riwayatnya shahih jika diriwayatkan darinya oleh
Al-‘Abaadillah (4 orang yang bernama ‘Abdullah).

[2]      Tafsiir Ibni Abi Haatim (3/5524) dan terdapat tashhiif dalam sanadnya dari Abu


Yuunus menjadi Abu Sulaimaan; sanadnya shahih, para perawinya tsiqaat. Diriwayatkan
pula oleh Abu Daawud no. 4728, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat 1/no. 390, Ibnu
Khuzaimah dalam At-Tauhiid 1/no. 46-47, Ibnu Hibbaan no. 265, Al-Haakim 1/24, dan Al-
Laalikaa’iy dalamSyarh Ushuulil-I’tiqaad 3/688; dari beberapa jalan, dari ‘Abdullah bin
Yaziid, dan selanjutnya seperti sanad Ibnu Abi Haatim.

[3]      Asy-Syaafi’iy, Al-Baihaqiy, dan yang lainnya menggunakan hadits ini sebagai hujjah
dalam penetapan sifat dzatiyyah mata bagi Allah ta’ala.

[4]      Bandingkan dengan orang-orang Asy’ariyyah ketika mereka ditanya : ‘Dimanakah


Allah ‘ ; niscaya kita akan mendapatkan penjelasan yang berbelit-belit yang ujungnya
mereka tidak puas dengan jawaban ‘di atas langit’ sebagaimana dalam hadits Mu’awiyyah
bin Al-Hakamradliyallaahu ‘anhu.

[5]      Al-Imam Abu Bakr bin Al-‘Arabiy rahimahullah dengan lafadh :

‫ االس((تواء معل((وم‬: ‫ومذهب مالك رحم((ه هللا أن ك((ل ح((ديث منه((ا معل((وم المع((نى ول((ذلك ق((ال لل((ذي س((أله‬ .‫وقال مالك أنه لم يتأول‬
‫والكيفية مجهولة‬

“Dan telah Malik bahwasannya ia tidak men-ta’wil-kannya. Madzhab


Malik rahimahullahmengatakan bahwa semua hadits tentang sifat adalah diketahuinya
maknanya. Oleh karena itu beliau berkata kepada orang yang bertanya kepadanya : ‘Al-

[179]
Istiwaa’ diketahui (ma’luum),kaifiyyah-nya tidak diketahui (majhuul)” [‘Aaridlatul-
Ahwadziy, 3/166; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun].

[6]      Adz-Dzahabiy mengisyaratkan makna ‘tanpa tafsiir’ sebagaimana dikatakan para


salaf terhadap nash-nash sifat (Allah) adalah tanpa men-takyif-nya. Ia berkata :

‫ كي((ف‬: ‫ ولكن إذا قي((ل‬،‫ وهي عن((دنا ح((ق ال نش((ك فيه((ا‬،‫ حملها أصحان الحديث والفقهاء بعض((هم عن بعض‬،‫هذه أحاديث صحاح‬
‫ وال سمعنا أح ًَدا يفسره‬،‫ ال نفسر هذا‬: ‫يضحك ؟ وكيف وضع قدمه ؟ قلنا‬

“Ini adalah hadits-hadits shahih yang dibawakan oleh para ahli hadits
dan fuqahaa’ sebagian mereka dari sebagian yang lain. Hal itu di sisi kami adalah benar,
tidak ada keraguan padanya. Akan tetapi jika dikatakan : Bagaimana Allah tertawa ? dan
bagaimana Allah meletakkan telapak kaki-Nya ? Kami katakan : Kami tidak menafsirkan ini,
dan kami pun tidak pernah mendengar seorang pun (ulama) menafsirkannya” [Siyaru
A’laamin-Nubalaa’, 10/505].

[7]      Sangatlah mengherankan – dengan pernyataan yang sangat jelas dan tegas dari ini –
masih ada segelintir harakiyyiin/hizbiyyiin yang menisbatkan ‘aqidah tafwidl ini ada pada
diri Syaikhul-Islaam hanya karena mereka menemukan satu atau dua kalimat dari beliau
yang mirip dengan kalimat mufawwidlah yang kebetulan mereka (atau tokoh mereka)
berdiri di atasnya. Sungguh, Syaikhul-Islam adalah ulama yang jauh dari ‘aqidah tafwidl.
Mereka hanya memotong sebagian tanpa memperhatikan keseluruhan penjelasan
Syaikhul-Islam – yang begitu gamblang – dalam masalah sifat Allah. Akan saya bawakan
satu di antara banyak perkataan beliau yang membantah klaim mereka. Beliau berkata :

‫ أنهم يصفون هللا بما وصف به نفسه وبما وصفه به رسوله من غ((ير تحري((ف وال تعطي((ل ومن غ((ير تك((ييف وال‬:‫ومذهب السلف‬
‫تمثيل ونعلم أن ما وصف هللا به من ذلك فهو حق ليس فيه لغ((ز وال أح(اجي؛ ب(ل معن((اه يع(رف من حيث يع((رف مقص(ود المتكلم‬
‫بكالمه؛ ال سيما إذا كان المتكلم أعلم الخلق بما يقول وأفصح الخلق في بي(ان العلم وأفص(ح الخل(ق في البي(ان والتعري(ف والدالل(ة‬
‫ وهو سبحانه مع ذلك ليس كمثله شيء ال في نفسه المقدسة المذكورة بأسمائه وصفاته وال في أفعاله فكم((ا ن((تيقن أن هللا‬.‫واإلرشاد‬
‫ فكذلك له صفات حقيقة وه((و ليس كمثل((ه ش((يء ال في ذات((ه وال في ص((فاته وال في أفعال((ه‬:‫سبحانه له ذات حقيقة وله أفعال حقيقة‬
‫وكل ما أوجب نقصا أو حدوثا فإن هللا منزه عنه حقيقة فإنه س((بحانه مس((تحق للكم((ال ال((ذي ال غاي((ة فوق((ه ويمتن((ع علي((ه الح((دوث‬
‫المتناع العدم عليه واستلزام الحدوث سابقة العدم؛ والفتقار المحدث إلى محدث ولوجوب وجوده بنفسه سبحانه وتعالى‬

Dan madzhab salaf adalah bahwa mereka mensifatkan Allah dengan apa-apa yang telah
disifatkan-Nya untuk diri-Nya dan dengan apa-apa yang disifatkan oleh Rasul-Nya untuk-
Nya tanpa tahrif dan ta’thil, juga tanpa takyif dan tamtsil. Kita yakin bahwa apa-apa yang
disifatkan oleh Allah itu kebenaran, bukan teka-teki maupun rekaan, bahkan maknanya
dapat langsung diketahui sebagaimana orang yang berbicara mengetahui maksud dari

[180]
pembicaraannya, apalagi yang berbicara itu merupakan makhluk yang paling tahu apa
yang diucapkannya; yang paling fasih dalam menjelaskan ilmu, dan yang paling fasif dalam
penyampaian keterangan, pengenalan, penunjukkan, dan bimbingan. Allah subhaanahu wa
ta’ala bersamaan dengan penetapan sifat-sifat itu, tidak ada satupun makhluk yang serupa
dengan-Nya. Tidak pada diri-Nya yang disucikan dan disebutnya dengan nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, dan tidak pula pada perbuatan-perbuatan-Nya. Sebagaimana kita meyakini
bahwa Allah ta’ala memiliki Dzat Yang Hakiki dan memiliki perbuatan-perbuatan yang
hakiki pula. Demikian pula Dia memiliki sifat-sifat yang hakiki. Dan Dia, tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan-Nya, tidak pada Dzat-Nya, tidak pada sifat-sifat-Nya, dan tidak
pula pada perbuatan-perbuatan-Nya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 5/26].

Lihatlah bagaimana Syaikhul-Islam menetapkan sifat-sifat Allah dengan adanya


pengetahuan terhadap maknanya. Dan makna yang dimaksud di sini adalah makna dhahir
(hakiki), karena makna itulah yang langsung terambil dari pembicaraan sebagaimana yang
beliau katakan di atas.

Penjelasan Asy-Syaikh 'Abdul-Qadiir Al-Jaelaniy


rahimahullah tentang Ciri-Ciri 'Aqidah Jahmiyyah

Prolog : Dalam artikel ini, insya Allah akan dibahas secara ringkas ‘aqidah Jahmiyyah
sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh ‘Abdul-Qadiir Al-Jiilaaniy rahimahullah.
Sebagaimana diketahui bersama, beliau ini seorang ulama yang banyak diikuti dan
diagung-agungkan oleh sebagian besar masyarakat Nusantara. Sayangnya, banyak di
antara mereka yang menukil perkataan-perkataan dusta yang kemudian dinisbatkan
kepada beliau, padahal beliau berlepas diri dari apa yang mereka katakan. Di sini akan kita
lihat, bagaimana ciri-ciri kelompok sesat Jahmiyyah sebagaimana dikatakan oleh beliau
(yang justru ada pada sebagian mereka yang mengagung-agungkan beliau).

Saya berikan penjelasan seperlunya pada catatan kaki dengan harapan akan menambah
faedah bagi ikhwan Pembaca semua. Jika ada kekeliruan, mohon kiranya diberikan kritikan
konstruktif yang insya Allah - jika memang itu benar – akan segera saya tindaklanjuti
(untuk perbaikannya).

[181]
Asy-Syaikh ‘Abdul-Qadiir Al-Jiilaaniy rahimahullah (wafat 561 H) berkata dalam kitab Al-
Ghun-yah li-Thaalibiy Thariiqil-Haqq (1/128; Daar Ihyaa At-Turaats, Cet. 1/1416) :

[182]
“Pasal : Adapun Jahmiyyah, maka ia dinisbatkan pada Jahm bin Shafwaan dimana ia
berkata :

1. Iman adalah hanyalah ma’rifah kepada Allah dan Rasul-Nya, serta seluruh apa yang
datang di sisinya[1];

2. Al-Qur’an adalah makhluq[2];

3. Allah tidak pernah berbicara kepada Musa (secara langsung)[3];

4. Allah ta’ala tidak pernah berfirman (= menafikkan sifat kalaam – Abu Al-Jauzaa’)[4];

5. Allah tidak bisa dilihat[5];

6. Allah tidak diketahui mempunyai tempat tertentu[6];

7. Allah tidak mempunyai ‘Arsy dan Kursiy, dan Ia tidak berada di atas ‘Arsy[7];

8. Mengingkari adanya mawaaziin (timbangan-timbangan) amal (di akhirat)[8];

9. Mengingkari adzab qubur[9];

10. Surga dan neraka telah diciptakan yang memiliki sifat fana (tidak kekal)[10];

11. Allah ‘azza wa jalla tidak akan berbicara kepada makhluk-Nya[11] dan tidak akan


melihat mereka di hari kiamat[12];

12. Penduduk surga tidak akan (bisa) melihat Allah ta’ala dan tidak pula melihat-Nya di
surga[13];

13. Iman itu cukup dengan ma’rifatul-qalb tanpa pengikraran dengan lisan[14]; dan

14. Mengingkari seluruh sifat-sifat Al-Haqq (Allah) ‘azza wa jallaa”[15] [selesai].

Catatan kaki/Penjelasan :

[1] Ini adalah paham khas Jahmiyyah dalam masalah iman yang kemudian dipopulerkan


olehghullatul-Murji’ah. Mereka tidak memasukkan perkataan dan perbuatan dalam
cakupan iman. Oleh karena itu, iman tidak akan hilang (dan bahkan tetap dalam
kesempurnannya) walau dikotori oleh kekufuran dalam perkataan dan amal perbuatan.
Mereka tidak mengenal bertambah dan/atau berkurangnya iman.
[183]
Ahlus-Sunnah telah berijma’ bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan; bisa naik
dengan ketaatan, dan turun (bahkan hilang sama sekali) dengan kemaksiatan.

‫ اإليم(ان ق(ول‬: ‫س(معت معم(راً وس(فيان الث(وري ومال(ك بن أنس وابن چ(ريج وس(فيان بن عيين(ة يقول(ون‬
ُ : ‫ قال‬،‫عن عبد الرزاق‬
‫ يزيد وينقص‬،‫وعمل‬.

Dari ‘Abdurrazzaaq, ia berkata : Aku mendengar Ma’mar, Sufyaan Ats-Tsauriy, Maalik bin
Anas, Ibnu Juraij, dan Sufyaan bin ‘Uyainah berkata : “Iman adalah perkataan dan
perbuatan, dapat bertambah dan berkurang” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-
Syarii’ah, 1/272, tahqiq : Al-Waliid bin Muhammad An-Nashr; Muassasah Qurthubah, Cet.
1/1417 – dengan sanad shahih].

ُ
‫ ويزيد وينقص‬،‫ اإليمان قول وعمل‬: ‫سمعت الشافعي رضي هللا عنه يقول‬ : ‫عن الربيع بن سليمان قال‬.

Dari Ar-Rabii’ bin Sulaimaan ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy radliyallaahu


‘anhuberkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang”
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Manaaqibusy-Syaafi’iy, 1/385, tahqiq As-Sayyid
Ahmad Shaqr; Maktabah Daar At-Turaats].

ُ
‫ يزيد وينقص‬،‫ اإليمان قول وعمل‬: ‫سمعت أحمد بن حنبل يقول‬ : ‫ قال‬،‫عن أبي داود‬.

Dari Abu Daawud, ia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata : “Iman adalah
perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy
dalam Asy-Syarii’ah, 1/272; shahih].

Al-Imaam Al-Baghawiy rahimahullah berkata :

َ‫ (إِنَّ َما ْال ُم ْؤ ِمنُونَ الَّ ِذين‬: ‫ لقوله سبحانه وتعالى‬،‫ فمن بعدهم من علماء السنة على أن األعمال من اإليمان‬،‫اتفقت الصحابة والتابعين‬
‫ق ب((ه‬ ْ َ‫إِ َذا ُذ ِك َر هَّللا ُ َو ِجل‬
َ (‫ وكم((ا نط‬،ً‫ فجع((ل األعم((ال كله((ا إيمان(ا‬،]٢،٣ : ‫) إلى قوله ( َو ِم َّما َرزَ ْقنَاهُ ْم يُ ْنفِقُ((ونَ ) [األنف((ال‬.....‫ت قُلُوبُهُ ْم‬
‫ح((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((ديث أبي هري((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((رة‬.
‫ وينقص بالمعصية‬،‫ يزيد بالطاعة‬،ٌ‫ إن اإليمان قو ٌل وعم ٌل وعقيدة‬: ‫وقالوا‬.......

“Para shahabat, tabi’in, dan para ulama Ahlus-Sunnah telah bersepakat bahwa perbuatan
termasuk bagian dari iman, berdasarkan firman Allah subhaanahu wa
ta’ala : ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal, (yaitu)
orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami
berikan kepada mereka’ (QS. Al-Anfaal : 2-3). Allah telah menjadikan seluruh perbuatan
sebagai iman, sebagaimana juga dijelaskan oleh hadits Abu Hurairah.
[184]
Dan mereka pun berkata : ‘Sesungguhnya iman itu adalah perkataan, perbuatan, dan
‘aqidah. Bertambah dengan ketaatan, dan berkurang dengan kemaksiatan….” [Syarhus-
Sunnah oleh Al-Baghawiy, 1/38-39, tahqiq & takhrij : Syu’aib Al-Arna’uth & Zuhair
Syaawisy; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 2/1403].

Al-Imaam Muhammad bin Husain Al-Aajurriy rahimahullah berkata :

‫ وإق((رار‬،‫ وه((و تص((ديق ب((القلب‬،‫ أن اإليمان واجب على جمي((ع الخل((ق‬: ‫ أن الذي عليه علماء المسلمين‬: ‫اعلموا رحمنا هللا وإياكم‬
‫ وعمل بالجوارح‬،‫باللسان‬.

‫ ونط((ق‬،‫ وال تجزيء معرفة ب((القلب‬،ًَ‫ إال أن يكون معه اإليمان باللسان نطقا‬،‫ أنه ال تجزيء المعرفة بالقلب والتصديق‬: ‫ثم اعلموا‬
ً ‫ كان مؤمنا‬: ‫ فإذا كملت فيه هذه الثالث الخصال‬،‫ حتى يكون عمل بالجوارح‬،‫باللسان‬.

‫د ّل على ذلك القرآن والسنة وقول علماء المسلمين‬.

“Ketahuilah – semoga Allah merahmati kami dan juga kalian – bahwasannya apa yang
diyakini oleh ulama kaum muslimin adalah : Iman adalah wajib bagi seluruh makhluk, dan
ia adalah tashdiiq dengan hati, iqraar dengan lisan, dan beramal dengan anggota badan.
Apabila lengkap tiga hal ini, maka ia seorang mukmin.

Kemudian ketahuilah bahwasannya tidaklah mencukupi (dalam iman) ma’rifah dengan hati


dan tashdiiq (membenarkan), kecuali disertai ucapan dengan lisan. Dan tidaklah
mencukupima’rifah dengan hati dan ucapan dengan lisan kecuali diwujudkan dalam
perbuatan anggota badan” [Asy-Syarii’ah, 1/274].

Adapun dalil yang diisyaratkan oleh para ulama di atas tentang iman terdiri dari perkataan
dan perbuatan serta bisa bertambah dan berkurang; antara lain :

‫ض َو َكانَ هَّللا ُ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬ ِ ‫ب ْال ُم ْؤ ِمنِينَ لِيَ ْزدَادُوا إِي َمانًا َم َع إِي َمانِ ِه ْم َوهَّلِل ِ ُجنُو ُد ال َّس َما َوا‬
ِ ْ‫ت َواألر‬ ِ ‫هُ َو الَّ ِذي أَ ْن َز َل ال َّس ِكينَةَ فِي قُلُو‬

“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan
kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”[QS. Al-Fat-h : 4].

‫اخ َشوْ هُ ْم فَ َزا َدهُ ْم إِي َمانًا َوقَالُوا َح ْسبُنَا هَّللا ُ َونِ ْع َم ْال َو ِكي ُل‬
ْ َ‫اس قَ ْد َج َمعُوا لَ ُك ْم ف‬ َ َ‫الَّ ِذينَ ق‬
َ َّ‫ال لَهُ ُم النَّاسُ إِ َّن الن‬

“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang
yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan

[185]
itu menambahkeimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi
Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung" [QS. Aali ‘Imraan : 173].

‫ وم((ا رأيت من ناقص((ات عق((ل ودين أغلب ل((ذي لب‬....." : ‫ عن رس((ول هللا ص((لى هللا علي((ه وس((لم أن((ه ق((ال‬،‫عن عبدهللا بن عمر‬
‫ فه((ذا نقص((ان‬.‫ يا رسول هللا! وما نقصان العقل والدين؟ قال "أما نقصان العقل فشهادة ام((رأتين تع((دل ش((هادة رج((ل‬:‫منكن" قالت‬
‫ فهذا نقصان الدين‬.‫ وتفطر في رمضان‬.‫ وتمكث الليالي ما تصلي‬.‫"العقل‬.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya


beliau bersabda : “….Dan aku tidak melihat ada yang kurang akal dan agamanya yang dapat
mengalahkan seseorang yang mempunyai keteguhan akal daripada kalian (para wanita)”.
Mereka (para wanita) berkata : “Wahai Rasulullah, apa kekurangan akal dan agama itu ?”.
Beliau menjawab : “Adapun kekurangan akal, persaksian dua orang wanita sebanding
dengan persaksian seorang laki-laki. Inilah maksud kekurangan akal. Kalian berhenti
selama beberapa malam (hari) tidak melakukan shalat dan berbuka di bulan Ramadlan.
Inilah maksud kekurangan agama” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 79 – dan beliau
memasukkannya dalamBaab : Bayaani Nuqshaanil-Iimaan bi-Naqshith-Thaa’aat…].

‫ وأدناه((ا‬.‫ فأفض((لها ق((ول ال إل((ه إال هللا‬.‫ "اإليمان بض((ع وس((تون ش((عبة‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن أبي هريرة؛ قال‬
‫ والحياء شعبة من اإليمان‬.‫"إماطة األذى عن الطريق‬.

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam :“Iman itu lebih dari tujuh puluh cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan Laa
ilaha illallaah (= tidak ada tuhan yang berhak diibadahi melainkan Allah), dan yang paling
rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Rasa malu termasuk bagian dari
iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 35, Ahmad 2/414, Abu Dawud no. 4676, Ibnu Maajah
no. 147, Ibnu Hibbaan no. 166, Al-Baghawiy no. 17, dan yang lainnya].

[2] Ini adalah ‘aqidah sesat, yang kemudian lebih dipopulerkan oleh Mu’tazillah, yang
merupakanderivate firqah Jahmiyyah. Ahlus-Sunnah mengatakan bahwa Al-Qur’an
adalah Kalaamullah, bukan makhluk. Allah ta’ala berfirman :

َ ِ‫ك فَأ َ ِجرْ هُ َحتَّى يَ ْس َم َع َكال َم هَّللا ِ ثُ َّم أَ ْبلِ ْغهُ َمأْ َمنَهُ َذل‬
َ‫ك بِأَنَّهُ ْم قَوْ ٌم ال يَ ْعلَ ُمون‬ َ ‫َوإِ ْن أَ َح ٌد ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكينَ ا ْست ََجا َر‬

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar ‘kalaamullah’ (firman Allah), kemudian
antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang
tidak mengetahui” [QS. At-Taubah : 6].

Kalimat ‘supaya ia sempat mendengar kalaamullah’ maksudnya adalah Al-Qur’an.

[186]
‫ فإِن قريشا ً قد منعوني أن أبلغ كالم ربي‬..... ‫ قال رسول هّللا صلى هّللا عليه وسلم‬: ‫"عن جابر بن عبد هّللا قال‬.

Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam :“….Sesungguhnya kaum Quraisy telah menghalangiku untuk menyampaikan kalam
Rabb-ku”[Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. no. 4734, At-Tirmidziy no. 2925, Ibnu Majah
no. 197, Ad-Daarimi no. 3354, Ahmad no. 15229, dan Al-Haakim no. 4220; shahih.
Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 1947].

Maksud dari perkataan ‘kalaam Rabb-ku’ adalah Al-Qur’an.

Mari kita simak debat menarik dari Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah sebagaimana


yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy :

‫ عن أبي‬،‫ عن عب((د الواح(د بن محم(د األرغي(اني‬،‫ أخبرني أبو عبد هللا محمد بن إبراهيم الم(ؤذن‬: ‫ قال‬،‫أخبرنا أبو عبد هللا الحافظ‬
‫ ق((ال‬.‫ فمخل(وق ؟‬: ‫ ق(ال‬.‫ اللهم ال‬: ‫ ق(ال الش(افعي‬.‫ خ(الق ه(و ؟‬،‫ أخ((برني عن الق(رآن‬: ‫ ق(ال رج(ل للش(افعي‬: ‫ قال‬،‫محمد الزبيري‬
‫ فرف((ع الش((افعي رأس((ه‬.‫ فما الدليل على أنه غير مخلوق ؟‬: ‫ قال‬.‫ اللهم نعم‬: ‫ قال الشافعي‬.‫ فغير مخلوق ؟‬: ‫ قال‬.‫ اللهم ال‬: ‫الشافعي‬
َ‫(وإِ ْن أَ َح( ٌد ِمنَ ْال ُم ْش( ِر ِكين‬
َ : ‫ سب ْقت في هذه الكلمة؛ قال هللا تعالى ذكره‬: ‫ قال الشافعي‬.‫ نعم‬: ‫ قال‬.‫ تق ّر بإن القرآن كالم هللا ؟‬: ‫وقال‬
‫ فَتُقِرُّ بأن هللا كان وكان كالمه ؟ أو ك((ان هللا‬: ‫ قال الشافعي‬.)‫ ( َو َكلَّ َم هَّللا ُ ُمو َسى تَ ْكلِي ًما‬: ‫ك فَأ َ ِجرْ هُ َحتَّى يَ ْس َم َع َكال َم هَّللا ِ) وقال‬ َ ‫ا ْست ََج‬
َ ‫ار‬
،‫ إنكم لتأتوني بعظيم من الق((ول‬،‫ يا كوفيون‬: ‫ فتبسَّم الشافعي وقال‬: ‫ قال‬.‫ وكان كالمه‬،‫ بل كان هللا‬: ‫ فقال الرجل‬.‫ولم يكن كالمه ؟‬
.‫ أو دون هللا ؟‬،‫ أو غ((ير هللا‬،‫ أو س((وى هللا‬،‫ إن الكالم هللا‬: ‫ فمن أين لكم الكالم‬،‫ وكان كالمه‬،‫إذا كنتم تقرون بأن هللا كان قبل القَبْل‬
‫ فسكت الرجل وخرج‬: ‫قال‬.

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafid, ia berkata : Telah


mengkhabarkan kepadaku Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ibraahiim Al-Muadzdzin, dari
‘Abdul-Waahid bin Muhammad Al-Arghiyaaniy, dari Abu Muhammad Az-Zubairiy, ia
berkata : Berkata seorang laki-laki kepada Asy-Syaafi’iy : “Beritahukan kepadaku tentang
Al-Qur’an, apakah ia Khaaliq (Allah) ?”. Asy-Syaafi’iy berkata : “Allaahumma, bukan !”. Laki-
laki itu berkata : “Kalau begitu, ia makhluk ?”. Asy-Syaafi’iy berkata : “Allaahumma,
bukan !”. Laki-laki itu berkata : “Bukan makhluk (maksudmu) ?”. Asy-Syaafi’iy berkata :
“Allaahumma, benar !”. Laki-laki itu berkata : “Apa dalil yang melandasinya bahwa Al-
Qur’an itu bukan makhluk ?”. Asy-Syaafi’iy pun mengangkat kepalanya lalu berkata :
“Apakah engkau mengakui bahwa Al-Qur’an ituKalaamullah ?”. Laki-laki itu berkata : “Ya”.
Asy-Syaafi’iy berkata : “Engkau telah mendahului dalam kalimat ini (maksudnya, laki-laki
itu telah mengetahui jawabannya – Abul-Jauzaa). Allahta’ala telah berfirman : ‘Dan jika
seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia supaya ia sempat mendengar ‘kalaamullah’ (firman Allah)’ – QS. At-Taubah :
6 – dan juga : ‘Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung’ – QS. An-Nisaa’ :
164”. Asy-Syaafi’iy melanjutkan : “Apakah engkau mengakui bahwa Allah itu telah ada dan
[187]
begitu juga kalam-Nya; ataukah Allah itu telah ada namun tidak demikian halnya
dengan kalam-Nya ?”. Laki-laki itu berkata : “Allah itu telah ada dan begitu juga kalam-
Nya”. Asy-Syaafi’iy pun tersenyum dan berkata : “Wahai orang-orang Kufah, sungguh kalian
telah mendatangiku dengan satu perkataan yang besar. Jika kalian mengakui bahwasannya
Allah itu telah ada sebelum segala sesuatu ada, begitu juga dengankalaam-Nya; lantas dari
mana asalnya perkataan kalian : Kalaam itu adalah Allah, ataukalaam itu selain dari Allah
(= makhluk) ?”. Maka laki-laki itu terdiam dan lantas pergi” [Manaaqibusy-Syaafi’iy oleh Al-
Baihaqiy, 1/407-408, tahqiq As-Sayyid Ahmad Shaqr; Maktabah Daar At-Turaats].

Maksud perkataan Asy-Syaafi’iy adalah jika saja orang tersebut mengakui bahwa Al-Qur’an
itu adalah Kalaamullah yang termasuk bagian dari sifat-sifat-Nya, dan bahwa tidak ada
permulaan baginya sebagaimana tidak ada permulaan bagi Allah sebagai pemilik sifat,
maka tidak boleh dikatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk.

‫ ليس خ(الق وال‬: ‫ أخ(الق أو مخل(وق ؟ ق(ال‬: ‫ عن الق(رآن‬- ‫ رض(ي هللا عنهم(ا‬- ‫ سئل جعفر بن محم(د‬: ‫ قال‬،‫عن معاوية بن عمار‬
‫ ولكنه كالم هللا تعالى‬،‫مخلوق‬.

Dari Mu’aawiyyah bin ‘Ammaar, ia berkata : Ja’far bin Muhammad radliyallaahu


‘anhumaapernah ditanya tentang Al-Qur’an : Apakah ia termasuk Khaaliq (= Allah) ataukah
makhluk. Ia pun menjawab : “Bukan Khaaliq, bukan pula makhluk. Akan tetapi ia (Al-
Qur’an) adalahKalaamullah ta’ala” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-
Syarii’ah 1/217, ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 132 & 134, Abu Nu’aim 3/188,
dan yang lainnya; hasan lighairihi].

Para ulama Ahlus-Sunnah dengan tegas menolak paham Jahmiyyah ini, bahkan
mengkafirkan siapa saja yang mengatakan/berpendapat Al-Qur’an itu makhluk.

،‫ الق((رآن مخل((وق‬: ‫ لم أسمع أحدا من أهل العلم بالمدينة وأه((ل الس((نن إال وهم ينك((رون على من ق((ال‬: ‫عن هارون القزويني يقول‬
‫ويكفرونه‬.

Dari Haaruun Al-Qazwiiniy, ia berkata : “Aku tidak pernah mendengar seorang pun ulama
di Madinah, begitu pula para ahli hadits, melainkan mereka semua mengingkari orang yang
mengatakan Al-Qur’an itu makhluk dan mengkafirkannya” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy
1/219; shahih].

ُ
‫القرآن كالم هللا عزوجل من قال مخلوق فهو ك((افر ومن ش((ك في كف((ره‬ : ‫سمعت سفيان بن عيينة يقول‬ : ‫عن غياث بن جعفر قال‬
‫فهو كافر‬

[188]
Dari Ghiyaats bin Ja’far ia berkata : Aku mendengar Sufyaan bin ‘Uyainah berkata : ”Al-
Qur’an adalah Kalamullah. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk, maka ia kafir. Dan barangsiapa yang ragu akan kekafiran orang tersebut, maka ia
juga kafir” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 25; hasan].

‫ من قال القرآن مخلوق فهو كافر‬: ‫عن وكيع يقول‬.

Dari Wakii’, ia berkata : “Barangsiapa yang berkata Al-Qur’an itu makhluk, maka ia kafir”
[Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/222; shahih].

‫ ومن قال مخلوق فهو كافر‬، ‫ القرآن كالم هللا عز وجل غير مخلوق‬: ‫سمعت الشافعي رحمه هللا تعالى يقول‬ : ‫عن الربيع قال‬

Dari Ar-Rabii’, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syafi’iy rahimahullah ta’ala berkata : ”Al-


Qur’an itu adalah Kalamullah ’azza wa jalla. Bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan
bahwasannya ia adalah makhluk, maka ia telah kafir” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy
dalamAsy-Syarii’ah 1/224; shahih].

Al-Imaam Al-Baihaqiy rahimahumallah berkata tentang ‘aqidah Al-Imam Asy-Syaafi’iy :

‫في مص(احفنا يس(مى كالم هللا ع(ز‬ ‫ونكتب(ه‬ ‫وقد ذكر الشافعي رحمه هللا ما دل على أن ما نتلوه في القرآن بألسنتنا ونس(معه بآذانن(ا‬
‫وجل وأن هللا عز وجل كلم به عباده بأن أرسل به رسوله صلى هللا عليه وسلم‬

“Dan telah disebutkan oleh Asy-Syafi’iy rahimahullah keterangan yang menunjukkannya


bahwa apa yang kita baca di dalam Al-Qur’an dengan lisan-lisan kita, kita dengar melalui
telinga-telinga kita, dan kita tulis di dalam mushhaf-mushhaf kita; semua itu
dinamakanKalamullah ‘azza wa jalla (bukan makhluk – Abul-Jauzaa’). Dan bahwa
Allah ‘azza wa jallatelah berbicara dengannya kepada hamba-hamba-Nya melalui
pengutusan Rasul-Nyashallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Al-I’tiqaad wal-Hidaayah ilaa Sabiilir-
Rasyaad oleh Al-Baihaqiy, hal. 108, tahqiq : Ahmad bin ‘Ishaam Al-Kaatib, Daarul-Aafaaq,
Cet. Thn. 1401, Beirut].

Adapun suara hamba beserta gerakan-gerakan mereka dengan Al-Qur’an, kertas mushhaf,
kulitnya, dan tintanya; maka itu semua makhluk.

Silakan baca juga artikel terkait di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/02/paham-


asyariyyah-adalah-cucu-paham.html. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa ‘aqidah
Asyaa’irah/Asy’ariyyah merupakan anak cucu ‘aqidah Jahmiyyah.

[3] Ini satu pengingkaran yang sangat jelas terhadap firman Allah ta’ala :

‫ ُمو َسى تَ ْكلِي ًما‬ ُ ‫هَّللا‬ ‫ َو َكلَّ َم‬  َ‫ك ِم ْن قَ ْب ُل َو ُرسُال لَ ْم نَ ْقصُصْ هُ ْم َعلَ ْيك‬
َ ‫صصْ نَاهُ ْم َعلَ ْي‬
َ َ‫َو ُرسُال قَ ْد ق‬
[189]
“Dan (kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka
kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu.
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” [QS. An-Nisaa’ : 164].

Untuk melegalkan keyakinan mereka, mereka pun merubah firman Allah dengan
menashabkan kata Allah (yang seharusnya rafa’), sehingga Allah yang seharusnya berperan
sebagai subjek menjadi objek. Ayat tersebut (setelah mereka ubah) berbunyi :

‫ ُمو َسى تَ ْكلِي ًما‬ َ ‫هَّللا‬ ‫ َو َكلَّ َم‬ ‫ك‬


َ ‫ك ِم ْن قَ ْب ُل َو ُرسُال لَ ْم نَ ْقصُصْ هُ ْم َعلَ ْي‬
َ ‫صصْ نَاهُ ْم َعلَ ْي‬
َ َ‫َو ُرسُال قَ ْد ق‬

“Dan (kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka
kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka
kepadamu. Dan Musa telah berbicara kepada Allah dengan langsung” [QS. An-Nisaa’ : 164].

[perhatikan yang diwarnai merah].

[4] Penetapan sifat kalam bagi Allah ta’ala merupakan salah satu bagian ‘aqidah Ahlus-


Sunnah sangat penting. Penetapan ‘aqidah inilah yang membuat garis pemisah yang sangat
kentara antara barisan Ahlus-Sunnah dengan Ahlul-Bid’ah dimana Jahm bin Shafwan
berdiri di gerbong paling depan – dalam permasalahan sifat Allah ta’ala.

Banyak dalil yang menunjukkan sifat kalam bagi Allah, diantaranya :

Allah ta’ala berfirman :

‫ت‬ َ ‫ْض ِم ْنهُ ْم َم ْن َكلَّ َم هَّللا ُ َو َرفَ َع بَ ْع‬


ٍ ‫ضهُ ْم د ََر َجا‬ َ ‫ك الرُّ ُس ُل فَض َّْلنَا بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم َعلَى بَع‬ َ ‫تِ ْل‬

“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka
ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya
beberapa derajat…” [QS. Al-Baqarah : 253].

َ‫ي ِم ْن َشا ِط ِئ ْال َوا ِد األ ْي َم ِن فِي ْالبُ ْق َع ِة ْال ُمبَا َر َك ِة ِمنَ ال َّش َج َر ِة أَ ْن يَا ُمو َسى إِنِّي أَنَا هَّللا ُ َربُّ ْال َعالَ ِمين‬
َ ‫فَلَ َّما أَتَاهَا نُو ِد‬

“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah
yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: "Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah,
Tuhan semesta alam” [QS. Al-Qashshsash : 30].

‫عن عبد هللا قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إن هللا إذا تكلم بالوحي سمع أهل السماء للسماء صلصلة كج((ر السلس((لة على‬
‫الصفا فيصعقون فال يزالون كذلك حتى يأتيهم جبريل فإذا جاءهم فزع عن قلوبهم فيقولون يا جبريل ماذا ق((ال رب((ك فيق((ول الح(ق‬
‫فينادون الحق الحق‬

[190]
Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : “Sesungguhnya Allah jika akan berbicara melalui wahyu, para penduduk langit
mendengar di langit suara seperti gemerincing rantai yang ditarik di atas batu rata.
Merekapun pingsan dan terus menerus dalam keadaan seperti itu hingga Jibriil tiba. Ketika
Jibriil mendatangi mereka, hilanglah rasa takut dalam diri mereka lalu berkata : ‘Wahai
Jibriil, apa gerangan yang difirmankan oleh Rabb-mu ?’. Jibril menjawab : ‘Al-haq
(kebenaran)’. Mereka pun lantas berseru : ‘Al-haq, al-haq” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud
no. 4738, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat hal. 201, Ibnu Khuzaimah dalam At-
Tauhiid hal. 145, dan Al-Khathiib dalam At-Taariikh 11/392; shahih].

[5] Silakan lihat penjelasannya pada catatan kaki no. 13.

[6] Ini ‘aqidah baathil Jahmiyyah yang diikuti oleh sebagian Asy’ariyyah !! ‘Aqidah
Jahmiyyah ini mengkonsekuensikan bahwa Allah ada dimana-mana/setiap tempat.

Al-Imaam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkomentar tentang ‘aqidah Jahmiyyah


yang satu ini dengan perkataannya :

‫وجح((دوا أن‬،‫تعالى في كل مك((ان‬ ‫ وأنه‬،‫وقهر‬ ‫ إن معنى استوى إستولى وملك‬: ‫وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية‬
‫فلو كان كما قالوا كان ال فرق بين الع((رش وبين األرض‬ ،‫وذهبوا في اإلستواء إلى القدرة‬ ،‫كما قال أهل الحق‬ ،‫يكون على عرشه‬
‫فاهلل قادر عليها وعلى الحشوش‬ ،‫واألرض شيء‬ ،‫السابعة ألنه قادر على كل شيء‬.

‫ هو مستو على األشياء كلها ولم يج((ز عن((د أح((د من المس((لمين‬: ‫لجاز أن يقال‬ ،‫وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى اإلستيالء‬
‫ اإلستيالء‬: ]‫فبطل أن يكون اإلستواء [على العرش‬ ،‫ إن هللا مستو على األخلية والحشوش‬: ‫أن يقول‬.

“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah
(Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan
mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah
di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka
(Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan)
makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang
mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena
Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya
dan atas rerumputan.

Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan
berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’.
Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata :
‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu,
[191]
terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy)
adalah istilaa’(menguasai)” [selengkapnya, silakan lihat Al-Ibaanah, hal. 34-37 – melalui
perantaraanMukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabiy oleh Al-Albaaniy, hal. 239; Al-Maktab Al-
Islamiy, Cet. 1/1401 H].

Bandingkan dengan golongan Asy’ariyyah yang berpendapat bahwa Allah ta’ala tidak di


dalam alam dan tidak pula di luar alam ! (lantas dimanakah Allah ?).

Sebagai seorang muslim ketika muncul pertanyaan dimana Allah, maka dengan tegas harus
kita jawab : “Di langit, bersemayam di atas ‘Arsy-Nya”. Ini sebagai wujud ittiba’ kita
terhadap hadits :

‫ ف(اطلعت ذات ي((وم ف((إذا ال((ذيب‬.‫وكانت لي جاري((ة ت((رعى غنم((ا لي قب((ل أح((د والجواني((ة‬..... : ‫عن معاوية بن الحكم السلمي؛ قال‬
‫ ف(أتيت رس(ول هللا ص(لى هللا‬.‫ لكني صككتها ص(كة‬.‫ آسف كما يأسفون‬.‫ وأنا رجل من بني آدم‬.‫[الذئب؟؟] قد ذهب بشاة من غنمها‬
.‫ في الس((ماء‬:‫ فق(ال له((ا "أين هللا؟" ق(الت‬.‫ يا رسول هللا! أفال أعتقها؟ قال "ائتني بها" فأتيت((ه به((ا‬:‫ قلت‬.‫عليه وسلم فعظم ذلك علي‬
‫ فإنها مؤمنة‬.‫ قال "أعتقها‬.‫ أنت رسول هللا‬:‫"قال "من أنا؟" قالت‬.

Dari Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata : “…..Aku mempunyai seorang budak
wanita yang menggembalakan kambingku kea rah gunung Uhud dan Jawwaaniyyah. Pada
suatu hari aku memantaunya, tiba-tiba ada seekor serigala yang membawa lari seekor
kambing yang digembalakan budakku itu. Aku sebagaimana manusia biasa pun marah
sebagaimana orang lain lain marah (melihat itu). Namun aku telah menamparnya, lalu aku
mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menganggap besar apa
yang telah aku lakukan. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, apakah aku harus
memerdekakannya ?’. Beliau menjawab : ‘Bawalah budak wanita itu kepadaku’. Aku pun
membawanya kepada beliau. Lalu beliau bertanya kepada budak wanita itu : ‘Dimanakah
Allah ?’. Ia menjawab : ‘Di langit’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah aku ?’. Ia
menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun bersabda : ‘Bebaskanlah,
sesungguhnya ia seorang wanita beriman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. no. 537, Abu
Dawud no. 930, An-Nasai 3/14-16, dan lain-lain].

Allah ta’ala telah berfirman :

‫(ر‬َ (‫س َو ْالقَ َم‬َ ‫الش( ْم‬ ْ َ‫ار ي‬


َّ ‫طلُبُ(هُ َحثِيثً((ا َو‬ ِ ْ‫ثُ َّم ا ْست ََوى َعلَى ْال َعر‬ ‫ض فِي ِستَّ ِة أَي ٍَّام‬
َ َ‫يُ ْغ ِشي اللَّ ْي َل النَّه‬ ‫ش‬ َ ْ‫ت َواألر‬ َ َ‫إِ َّن َربَّ ُك ُم هَّللا ُ الَّ ِذي َخل‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬
‫ت بِأ َ ْم ِر ِه‬ٍ ‫َوالنُّجُو َم ُم َس َّخ َرا‬

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang

[192]
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-
bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya” [QS. Al-A’raaf : 54].

Catatan kecil :

Hadits Mu’awiyyah bin Al-Hakam di atas telah didla’ifkan oleh Muhammad Zaahid Al-
Kautsariy – lokomotif paham Jahmiyyah abad 14 H – . Ia mendla’ifkan karena bertentangan
dengan ‘aqidahnya. Oleh karena itu, dibuatlah alasan yang bermacam-macam untuk
mendla’ifkannya dari sisi sanad (dan matannya – sehingga ia simpulkan sebagai
hadits mudltharib). Namun ia gagal, karena hadits itu memang shahih dan disepakati
keshahihannya oleh para imam ahli hadits. Silakan baca bantahan ringkas As-Syaikh Al-
Albaaniy rahimahullah dalam Mukhtashar Al-‘Ulluw hal. 82-83.

[7] ‘Aqidah ini sangat jelas bertentangan dengan firman Allah ta’ala :

‫(ر‬َ (‫س َو ْالقَ َم‬َ ‫الش( ْم‬ ْ َ‫ار ي‬


َّ ‫طلُبُ(هُ َحثِيثً((ا َو‬ ِ ْ‫ثُ َّم ا ْست ََوى َعلَى ْال َعر‬ ‫ض فِي ِستَّ ِة أَي ٍَّام‬
َ َ‫يُ ْغ ِشي اللَّ ْي َل النَّه‬ ‫ش‬ َ ْ‫ت َواألر‬ َ َ‫إِ َّن َربَّ ُك ُم هَّللا ُ الَّ ِذي َخل‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬
‫ت بِأ َ ْم ِر ِه‬ٍ ‫َوالنُّجُو َم ُم َس َّخ َرا‬

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-
bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya” [QS. Al-A’raaf : 54].

ِ ‫الس( َما ِء أَ ْن يُرْ ِس( َل َعلَ ْي ُك ْم َح‬


َ‫اص(بًا فَ َس(تَ ْعلَ ُمونَ َك ْي((ف‬ َّ ‫ض فَإ ِ َذا ِه َي تَ ُم((و ُر * أَ ْم أَ ِم ْنتُ ْم َم ْن فِي‬
َ ْ‫أَ ْن يَ ْخ ِسفَ بِ ُك ُم األر‬ ‫ َم ْن فِي ال َّس َما ِء‬ ‫أَأَ ِم ْنتُ ْم‬
ِ ‫نَ ِذ‬
‫ير‬

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir
balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?, atau
apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan
badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan)
peringatan-Ku?” [QS. Al-Mulk : 16-17].

‫ض َم ْن َذا الَّ ِذي يَ ْش(فَ ُع ِع ْن( َدهُ إِال بِإ ِ ْذنِ( ِه يَ ْعلَ ُم َم(ا‬
ِ ْ‫ت َو َم(ا فِي األر‬ ِ ‫هَّللا ُ ال إِلَهَ إِال هُ َو ْال َح ُّي ْالقَيُّو ُم ال تَأْ ُخ ُذهُ ِسنَةٌ َوال نَوْ ٌم لَهُ َما فِي ال َّس َما َوا‬
‫(و ْال َعلِ ُّي‬
َ (ُ‫ض َوال يَئُ((و ُدهُ ِح ْفظُهُ َم((ا َوه‬ َ ْ‫ت َواألر‬ َّ ُ‫بَ ْينَ أَ ْي ِدي ِه ْم َو َما َخ ْلفَهُ ْم َوال ي ُِحيطُونَ بِ َش ْي ٍء ِم ْن ِع ْل ِم ِه إِال بِ َما َشا َء َو ِس َع ُكرْ ِسيُّه‬
ِ ‫الس( َما َوا‬
‫ْال َع ِظي ُم‬

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus
menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa
yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.
Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka
[193]
tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi
Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” [QS. Al-Baqarah : 255 – ayat kursiy].

Dan juga bertentangan dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

‫ما السماوات السبع في الكرسي إال كحلقة بأرض فالة وفضل العرش على الكرسي كفضل تلك الفالة على تلك الحلقة‬

“Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti lingkaran yang
dilemparkan di padang sahara yang luas. Dan keunggulan ‘Arsy atau Kursi seperti
keunggulan padang sahara yang luas itu atas lingkaran tersebut” [lihat Silsilah Al-Ahaadiits
Ash-Shahiihah, 1/223-227 no. 109].

[8] Ahlus-Sunnah beriman akan adanya miizaan (timbangan) di hari akhirat, tidak ada


perbedaan pendapat mengenai hal ini. Allah ta’ala berfirman :

‫ازينُهُ فَأُولَئِكَ الَّ ِذينَ خَ ِسرُوا أَ ْنفُ َسهُ ْم بِ َم((ا َك((انُوا بِآيَاتِنَ((ا‬ ْ َّ‫ازينُهُ فَأُولَئِكَ هُ ُم ْال ُم ْفلِحُونَ * َو َم ْن َخف‬
ِ ‫ت َم َو‬ ُّ ‫َو ْال َو ْزنُ يَوْ َمئِ ٍذ ْال َح‬
ْ َ‫ق فَ َم ْن ثَقُل‬
ِ ‫ت َم َو‬
َ‫ظلِ ُمون‬ ْ َ‫ي‬

“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan
kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan
timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri,
disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami” [QS. Al-A’raaf : 8-9].

َ‫اسبِين‬ ْ ُ‫ازينَ ْالقِ ْسطَ لِيَوْ ِم ْالقِيَا َم ِة فَال ت‬


ِ ‫ظلَ ُم نَ ْفسٌ َش ْيئًا َوإِ ْن َكانَ ِم ْثقَا َل َحبَّ ٍة ِم ْن خَ رْ َد ٍل أَتَ ْينَا بِهَا َو َكفَى بِنَا َح‬ ِ ‫ض ُع ْال َم َو‬
َ َ‫َون‬

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan
seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi (dzarrah) pun
pasti Kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat
perhitungan”[QS. Al-Anbiyaa’ : 47].

‫ (ما من شيء يوضع في الميزان أثقل من حسن الخلق‬:‫ سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول‬: ‫عن أبي الدرداء قال‬

Dari Abud-Dardaa’, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallambersabda : “Tidak ada sesuatupun yang diletakkan pada miizaan (timbangan) yang
lebih berat daripada akhlaq yang baik” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2002-2003,
Ath-Thayaalisiy no. 978, ‘Abdurrazzaaq no. 20157, Al-Bukhariy dalam Al-Adabul-
Mufrad no. 270 & 464, Abu Dawud no. 4799, dan yang lainnya; shahih. Lihat Silsilah Ash-
Shahiihah no. 876].

[194]
‫ ثقيلت((ان‬،‫ خفيفتان على اللس(ان‬،‫ (كلمتان حبيبتان إلى الرحمن‬:‫ قال النبي صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬
)‫ سبحان هللا العظيم‬،‫ سبحان هللا وبحمده‬:‫في الميزان‬.

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi


wa sallam bersabda : “Dua kalimat yang dicintai oleh Ar-Rahmaan (Allah), ringan di lisan
namun berat di timbangan yaitu : Subhaanallaahi wa bihamdihi
subhaanallaahil-‘adhiim”[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6406 & 6682 & 7563 dan
Muslim no. 2694, Ahmad 2/232, At-Tirmidziy no. 3463, Ibnu Maajah no. 1264, Al-Baghawiy
dalam Syarhus-Sunnahno. 1264, dan yang lainnya].

Timbangan (miizaan) tersebut adalah timbangan hakiki yang mempunyai dua daun


timbangan. Berbeda halnya dengan Mu’tazillah yang berpendapat bahwa timbangan
tersebut adalah kinaayah pada penegakan keadilan. Namun kita tidak
mengetahui kaifiyah timbangan karena hal itu termasuk perkara-perkara akhirat. Kebaikan
akan diletakkan pada satu daun timbangan, dan kejelekan akan diletakkan di daun
timbangan lainnya [lihat Syarh Lum’atil-I’tiqaad li-Ibni Qudaamah oleh Asy-Syaikh Shaalih
Al-Fauzaan, hal. 209-210].

Umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah umat pertama yang akan


diperhitungkan (dihisab) dan ditimbang amal perbuatannya.

‫ أين األم((ة األمي((ة ونبيه((ا؟ فنحن‬:‫ يق(ال‬.‫ وأول من يحاس(ب‬،‫ ((نحن آخر األمم‬: ‫عن ابن عباس؛ أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
))‫اآلخرون األولون‬.

Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kita


adalah umat yang paling akhir, namun paling awal diperhitungkan (amal perbuatannya (di
hari kiamat)”. Dikatakan : “Dimanakah umat-umat lain beserta nabinya ?”. (Beliau
menjawab) :“Kita adalah umat yang paling akhir sekaligus paling awal” [Diriwayatkan oleh
Ibnu Maajah no. 4290; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 2374].

Para ulama meenjelaskan bahwa yang akan ditimbang pada hari kiamat adalah amal
perbuatan, manusia itu sendiri (shaahibul-‘amal), dan lembaran-lembaran catatan amal
[Diambil dari penjelasan Asy-Syaikh Shaalih bin ‘Abdil-‘Aziiz Aalusy-
Syaikh hafidhahullahterhadap kitab Lum’atul-I’tiqaad karya Ibnu
Qudaamah rahimahullah yang disampaikan di Masjid Hamzah bin ‘Abdil-Muthallib,
Dammam, 1413 H. Lihat juga Ushuulus-Sunnah oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 54,
syarh & tahqiq Al-Waliid bin Muhammad An-Nashr; Maktabah Ibn Taimiyyah, Cet. 1/1416].

[195]
[9] Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata saat menjelaskan prinsip-prinsip
‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah :

‫ ومن ربُّهُ ؟ ومن نبي((ه؟ ويأتي((ه منك((ر ونك((ير‬،‫ وأن هذه األمة تفتن في قبورها وتُسأ ُل عن اإليمان واإلسالم‬،‫واإليمان بعذاب القبر‬
‫ واإليمان به والتصديق به‬،‫كيف شاء هللا عز وجل وكيف أراد‬.

“Dan beriman terhadap ‘adzab kubur. Bahwasannya umat ini akan diuji dalam kuburnya
dan akan ditanya tentang iman, Islam, siapa Rabb-nya ? dan siapa Nabinya ? Malaikat
Munkar dan Nakiir akan mendatanginya sebagaimana yang Allah ‘azza wa jalla kehendaki
dan inginkan. Beriman dan membenarkannya [Ushuulus-Sunnah, hal. 56. Lihat
juga Thabaqaatul-Hanaabilah oleh Ibnu Abi Ya’laa, 1/59, tahqiq Dr. ‘Abdurrahmaan bin
Sulaimaan Al-‘Utsaimiin; Universitas Ummul-Qurra’].

Banyak dalil yang menjadi dasar adanya ‘adzab qubur. Diantaranya :

Allah ta’ala berfirman :

‫ضنكا ً َونَحْ ُش ُرهُ يَوْ َم ْالقِيـ َم ِة أَ ْع َمى‬ َ ‫َو َم ْن أَ ْع َر‬


َ ً‫ض عَن ِذ ْك ِرى فَإ ِ َّن لَهُ َم ِعي َشة‬

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan


yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan
buta” [QS.Thaahaa : 124].

Al-Haafidh Ibnu Katsir rahimahullah saat menjelaskan ayat tersebut membawakan riwayat


Al-Bazzar :

‫ عن الن((بي ص((لى‬،‫ عن أبي هري((رة‬،‫ عن أبي سلمة‬،‫ عن محمد بن عمرو‬،‫ حدثنا حماد بن سلمة‬،‫ حدثنا أبو الوليد‬،‫حدثنا أبو ُزرْ عَة‬
َ ً‫ { فَإ ِ َّن لَهُ َم ِعي َشة‬:‫هللا عليه وسلم‬
‫ إسناد جيد‬."‫ "عذاب القبر‬:‫ض ْن ًكا } قال‬

Telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah : Telah menceritakan kepada kami Abul-
Waliid : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Muhammad bin
’Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam tentang
ayat ”Maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit” (QS. Thaha : 124), beliau
bersabda : “Yaitu adzab qubur” ; sanad hadits ini jayyid [Tafsir Ibnu Katsiir, 5/324, tahqiq
Saamiy bin Muhammad Salamah; Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1420].

‫ فقال "يهود تعذب في قبورها‬.‫ فسمع صوتا‬.‫ خرج رسول هللا صلى هللا عليه وسلم بعدما غربت الشمس‬: ‫"عن أبي أيوب قال‬.

Dari Abu Ayyuub, ia berkata : ”(Satu saat), Rasulullah shallallaahu ‘alaihi


wasallam pernahkeluar setelah tenggelam matahari; lalu beliau mendengar

[196]
suara, lalu bersabda : “(Mereka itu adalah orang-orang) Yahudi yang disiksa di
dalam kubur mereka” [Diriwayatkan oleh Muslimno. 2869].

‫عن أم مبشر قالت دخل علي رسول هللا ص(لى هللا علي((ه وس(لم وان((ا في حائ(ط من حوائ((ط ب((ني النج(ار في((ه قب(ور مهم وهم يق(ول‬
‫استعيذوا باهلل من عذاب القبر فقلت يا رسول هللا وللقبر عذاب قال نعم وإنهم ليعذبون في قبورهم تسمعه البهائم‬

Dari Ummu Mubasysyir, dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, beliau


bersabda :”Berlindunglah kalian kepada Allah dari adzab kubur”. Aku (Ummu Mubasyir)
berkata : “Wahai Rasulullah, apakah kubur itu terdapat adzab ?”. Beliau menjawab : “Ya,
mereka diadzab dengan adzab yang dapat didengar oleh binatang-binatang” [Diriwayatkan
oleh Ibnu Hibban no. 3125, Ibnu Abi Syaibah 3/362, Ath-Thabaraaniy 25/268, Al-Baihaqiy
dalam Itsbaatu ’Adzzabil-Qabr no. 95, dan yang lainnya; shahih sesuai persyaratan Muslim
sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Arna’uth dalam Takhriij Shahih Ibni
Hibbaan 7/396].

‫ ح((تى إن((ه ليس((مع‬،‫ (العبد إذا وضع في قبره وتولي وذهب أصحابه‬: ‫ عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬،‫عن أنس رضي هللا عنه‬
‫ أش(هد أن(ه عب(د هللا‬:‫ ما كنت تقول في هذا الرجل محمد صلى هللا علي(ه وس(لم؟ فيق(ول‬:‫ فيقوالن له‬،‫ أتاه ملكان فأقعداه‬،‫قرع نعالهم‬
)‫ أبدلك هللا به مقعدا من الجنة‬،‫ انظر إلى مقعدك في النار‬:‫ فيقال‬،‫ورسوله‬.

Dari Anas radliyallaahu ’anhu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam, beliau


bersabda :”Seorang hamba apabila telah diletakkan dalam kuburnya serta para
shahabatnya (yang mengantar) telah berpaling dan pergi, maka ia benar-benar mendengar
suara sandal-sandal mereka. Lalu, datanglah dua malaikat yang mendudukinya. Dua
malaikat itu bertanya : ’Apa yang dulu engkau katakan tentang laki-laki ini, yaitu
Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam ?’. Ia menjawab : ’Aku bersaksi bahwasannya ia
adalah hamba Allah dan utusan-Nya’. Maka dikatakan padanya : ’Lihatlah tempat dudukmu
di neraka. Allah telah menggantikannya untukmu tempat duduk di surga” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1338 dan Muslim no. 2870].

‫]" ق((ال‬27/ ‫إب((راهيم‬/ 14[ }‫ عن النبي ص((لى هللا علي((ه وس((لم ق((ال "{يثبت هللا ال((ذين آمن((وا ب((القول الث((ابت‬،‫عن البراء بن عازب‬
‫ {يثبت هللا‬:‫ ربي هللا ونبيي محمد صلى هللا عليه وس((لم ف((ذلك قول((ه ع((ز وج((ل‬:‫ من ربك؟ فيقول‬:‫ فيقال له‬.‫"نزلت في عذاب القبر‬
}‫"الذين آمنوا بالقول الثابت في الحياة الدنيا وفي اآلخرة‬.

Dari Al-Barraa’ bin ’Aazib, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam belaiu


bersabda : ”Firman Allah : ’Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan
ucapan yang teguh’ (QS. Ibraahiim : 27); turun tentang adzab kubur. Maka dikatakan
padanya (penghuni kubur) : ’Siapakah Rabb-mu ?’, ia pun menjawab : ’Rabb-ku adalah
Allah dan Nabiku adalah Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam’. Itulah makna firman-

[197]
Nya ’azza wa jalla : ’Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan
yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat’ [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy
no. 1369 dan Muslim no. 2871].

Ibnu Abdil-Barr rahimahullah berkata : “Tidak ada perselisihan antara ahlus-sunnah


tentangiman akan adanya adzab kubur” [At-Tamhiid 9/230].

‘Aqidah Jahmiyyah dalam pengingkaran adzab kubur di era kontemporer dihidupkan


kembali oleh kelompok Hizbut-Tahrir. Penolakan/pengingkaran terhadap ‘aqidah adzab
kubur merupakan ciri yang sangat kentara dari kelompok ini. Bahkan, untuk
mengokohkannya, mereka harus rela bersusah payah menulis buku tak bermanfaat yang
berjudul : Absahkah ? Berdalil dengan Hadits Ahad dalam Masalah ‘Aqidah dan Siksa
Kubur, karangan Syamsuddin Ramadlan, Hanifah Press, Jakarta. Buku ini sarat dengan
kedustaan dan kebodohan.

[10] Surga dan neraka adalah dua makhluk Allah yang telah diciptakan.
Allah ta’ala berfirman :

‫ك ْالفَوْ ُز ْال َع ِظي ُم‬ ٍ ‫أَ َع َّد هَّللا ُ لَهُ ْم َجنَّا‬


َ ِ‫ت تَجْ ِري ِم ْن تَحْ تِهَا األ ْنهَا ُر خَالِ ِدينَ فِيهَا َذل‬

“Allah telah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah : 89].

‫ت ُمرْ تَفَقًا‬ َ ‫إِنَّا أَ ْعتَ ْدنَا لِلظَّالِ ِمينَ نَارًا أَ َحاطَ بِ ِه ْم ُس َرا ِدقُهَا َوإِ ْن يَ ْست َِغيثُوا يُغَاثُوا بِ َما ٍء َك ْال ُم ْه ِل يَ ْش ِوي ْال ُوجُوهَ بِ ْئ‬
ْ ‫س ال َّش َرابُ َو َسا َء‬

“Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang lalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum
dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang
paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek” [QS. Al-Kahfiy : 29].

‫ ول(و أخذت(ه ألكلتم من((ه م(ا‬.‫ قتناولت منها عنق((ودا‬. ‫إني رأيت الجنة‬.... : ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن ابن عباس قال‬
‫ ورأيت أكثر أهلها النساء‬.‫ فلم أر كاليوم منظرا قط‬.‫ ورأيت النار‬.‫بقيت الدنيا‬

Dari Ibnu ’Abbaas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa


sallam :”....Sesunguhnya aku telah melihat surga. Kemudian aku mencoba meraih darinya
satu tandan. Seandainya aku mampu meraihnya, sungguh kalian akan memakannya selama
dunia ini masih ada. Dan aku juga telah melihat neraka. Aku belum pernah melihat seperti
hari itu satu pemandangan pun (yang lebih mengerikan darinya). Dan aku melihat
kebanyakan penduduknya adalah para wanita” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1052,

[198]
Muslim no. 907, Ibnu Khuzaimah no. 1377, Ibnu Hibbaan no. 2832 & 2853, dan yang
lainnya].

Keduanya (surga dan neraka) adalah kekal, tidak akan pernah binasa.

Allah ta’ala berfirman :

ِ ‫ُزقُوا ِم ْنهَا ِم ْن ثَ َم َر ٍة ِر ْزقًا قَالُوا هَ َذا الَّ ِذي ر‬


‫ُز ْقنَا‬ ٍ ‫ت أَ َّن لَهُ ْم َجنَّا‬
ِ ‫ت تَجْ ِري ِم ْن تَحْ تِهَا األ ْنهَا ُر ُكلَّ َما ر‬ ِ ‫َوبَ ِّش ِر الَّ ِذينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬
َ‫ِم ْن قَ ْب ُل َوأُتُوا بِ ِه ُمتَ َشابِهًا َولَهُ ْم فِيهَا أَ ْز َوا ٌج ُمطَهَّ َرةٌ َوهُ ْم فِيهَا خَ الِ ُدون‬

”Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa
bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap
mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah
yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan
untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya” [QS. Al-
Baqarah : 25].

َ ( ِ‫ت أُولَئ‬
‫ك‬ ُّ ‫ور إِلَى‬
ِ ‫الظلُ َم((ا‬ ُ ‫ور َوالَّ ِذينَ َكفَرُوا أَوْ لِيَا ُؤهُ ُم الطَّا ُغ‬
ِ ُّ‫وت ي ُْخ ِر ُج((ونَهُ ْم ِمنَ الن‬ ُّ َ‫هَّللا ُ َولِ ُّي الَّ ِذينَ آ َمنُوا ي ُْخ ِر ُجهُ ْم ِمن‬
ِ ‫الظلُ َما‬
ِ ُّ‫ت إِلَى الن‬
ِ َّ‫أَصْ َحابُ الن‬
َ‫ار هُ ْم فِيهَا خَ الِ ُدون‬

”Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya
ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka
itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” [QS. Al-Baqarah : 257].

Al-Imam Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :

،‫ والم((يزان‬،‫ والص((راط‬،‫ والعق((اب‬،‫ والث((واب‬،‫ وقراءة الكت((اب‬،‫ والحساب‬،‫ والعرض‬،‫ وجزاء األعمال يوم القيامة‬،‫ونؤمن بالبعث‬
‫ ال تفنيان أبدا وال تبيدان‬،‫والجنة والنار مخلوقتان‬.

”Kita (Ahlus-Sunnah) beriman kepada kebangkitan, pembalasan amal perbuatan di hari


kiamat, pemeriksaan, hisab, pembacaan tulisan, pahala, siksaan, ash-shiraath, miizaan,
surga dan neraka yang keduanya telah diciptakan yang tidak akan musnah selama-lamanya
dan tidak akan hancur” [Al-’Aqiidah Ath-Thahaawiyyah, hal. 26; Daar Ibni Hazm, Cet.
1/1416].

[11] Ini adalah konsekuensi pengingkaran mereka terhadap sifat kalam sebagaimana telah


lalu pembahasannya. Padahal telah tetap dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa Allah
akan mengajak bicara orang-orang yang beriman kelak di hari kiamat.

[199]
‫ب َويَ ْشتَرُونَ بِ ِه ثَ َمنًا قَلِيال أُولَئِكَ َما يَأْ ُكلُونَ فِي بُطُ((ونِ ِه ْم إِال النَّا َر َوال يُ َكلِّ ُمهُ ُم هَّللا ُ يَ((وْ َم ْالقِيَا َم( ِة‬
ِ ‫إِ َّن الَّ ِذينَ يَ ْكتُ ُمونَ َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ ِمنَ ْال ِكتَا‬
‫َوال يُزَ ِّكي ِه ْم َولَهُ ْم َع َذابٌ أَلِي ٌم‬

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu
Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak
memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan
berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi
mereka siksa yang amat pedih” [QS. Al-Baqarah : 174].

Apabila ada segolongan kaum yang tidak akan diajak bicara oleh Allah, maka mafhum-nya
ada segolongan lain akan diajak bicara oleh Allah kelak di hari kiamat.

َ‫َويَوْ َم نَحْ ُش ُرهُ ْم َج ِميعًا ثُ َّم نَقُو ُل لِلَّ ِذينَ أَ ْش َر ُكوا أَ ْينَ ُش َر َكا ُؤ ُك ُم الَّ ِذينَ ُك ْنتُ ْم ت َْز ُع ُمون‬

“Dan (ingatlah), hari yang di waktu itu Kami menghimpun mereka semuanya kemudian
Kami berkata kepada orang-orang musyrik: "Di manakah sembahan-sembahan kamu yang
dahulu kamu katakan (sekutu-sekutu Kami)?" [QS. Al-An’aam : 22].

َ ‫ثُ َّم يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة ي ُْخ ِزي ِه ْم َويَقُو ُل أَ ْينَ ُش َر َكائِ َي الَّ ِذينَ ُك ْنتُ ْم تُ َشاقُّونَ فِي ِه ْم قَا َل الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِع ْل َم إِ َّن ْال ِخ ْز‬
َ‫ي ْاليَوْ َم َوالسُّو َء َعلَى ْال َكافِ ِرين‬

“Kemudian Allah menghinakan mereka di hari kiamat, dan berfirman: "Di manakah sekutu-
sekutu-Ku itu (yang karena membelanya) kamu selalu memusuhi mereka (nabi-nabi dan
orang-orang mukmin)?" Berkatalah orang-orang yang telah diberi ilmu): "Sesungguhnya
kehinaan dan azab hari ini ditimpakan atas orang-orang yang kafir" [QS. Al-Hijr : 27].

‫وبين(ه ترجم(ان وال‬ ‫بين(ه‬ ‫ م(ا منكم من أح(د إال س(يكلمه رب(ه ليس‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن عدي بن حاتم قال‬
‫)) حجاب يحجبه‬

Dari ‘Adiy bin Haatim ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam :“Tidaklah ada seorangpun di antara kalian kecuali ia akan diajak bicara oleh Rabb-
nya. Tidak ada antara keduanya penerjemah dan penghalang yang
menghalanginya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 6889].

‫ وعن علم((ه‬،‫ ال تزول قدما عبد حتى يسأل عن عمره فيم((ا أفن((اه‬: ‫عن أبي برزة األسلمي قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫فيما فعل وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه وعن جسمه فيما أباله‬

Dari Abu Barzah Al-Aslamiy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam : “Tidak akan bergeser telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum
ditanyakan tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya seberapa jauh ia
amalkan, tentang hartanya dari mana ia mendapatkannya dan kemana ia
belanjakan/nafkahkan, dan tentang badannya untuk apa ia rusakkan” [Diriwayatkan oleh
[200]
At-Tirmidziy no. 2417, Abu Ya’laa no. 7434, dan Abu Nu’aim 1/232; shahih. Lihat Silsilah
Ash-Shahiihah no. 946].

[12] Ar-Ru’yah (melihat) adalah salah satu sifat Allah yang shahih dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Di hari kiamat nanti, Allah akan melihat sebagian hamba-hamba-Nya dan tidak
akan melihat sebagian yang lain (karena kemaksiatan yang mereka lakukan).

Allah ta’ala berfirman :

‫اآلخ( َر ِة َوال يُ َكلِّ ُمهُ ُم هَّللا ُ َوال يَ ْنظُ ( ُر إِلَ ْي ِه ْم يَ((وْ َم ْالقِيَا َم( ِة َوال‬
ِ ‫ق لَهُ ْم فِي‬ َ ( ِ‫إِ َّن الَّ ِذينَ يَ ْش (تَرُونَ بِ َع ْه( ِ(د هَّللا ِ َوأَ ْي َم((انِ ِه ْم ثَ َمنً((ا قَلِيال أُولَئ‬
َ ‫ك ال َخال‬
‫يُزَ ِّكي ِه ْم َولَهُ ْم َع َذابٌ أَلِي ٌم‬

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah
mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di
akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada
mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab
yang pedih”[QS. Aali ‘Imraan : 77].

‫عن أبي ذر عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال ثالثة ال يكلمهم هللا ي((وم القيام((ة وال ينظ((ر إليهم وال ي((زكيهم ولهم ع((ذاب أليم ق((ال‬
‫فقرأها رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ثالث مرار قال أبو ذر خابوا وخسروا من هم يا رسول هللا ق(ال المس(بل والمن((ان والمنف((ق‬
‫سلعته بالحلف الكاذب‬

Dari Abi Dzarr radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau


bersabda : “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat, tidak
dilihat, dan tidak pula disucikan serta baginya adzab yang sanga pedih”. Abu Dzar berkata :
“Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam mengucapkannya tiga kali”. Kemudian Abu Dzarr
bertanya : “Sungguh sangat jelek dan meruginya mereka itu wahai Rasulullah ?”.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “(Mereka adalah) Musbil (orang yang
melakukan isbal), orang yang gemar mengungkit-ungkit kebaikan yang telah diberikan,
dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 106, Abu Dawud no.4087, At-Tirmidziy no. 1211, dan yang lainnya].

[13] Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata :

‫أجمعوا على أن المؤمنين( يرون هللا عز وجل يوم القيامة بأعين وجوههم على ما أخبر به تعالى‬

“Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa orang-orang mukmin akan melihat


Allah ‘azza wa jalla kelak di hari kiamat dengan mata kepala mereka berdasarkan apa yang
telah dikhabarkan Allah ta’ala” [Risaalah ilaa Ahlits-Tsaghr, hal. 237 – melalui perantaraan

[201]
kitabShifatullaahi ‘azza wa jalla Al-Waaridatu fil-Kitaab was-Sunnah oleh ‘Alawiy bin
‘Abdil-Qaadir As-Saqqaaf, hal. 170; Ad-Durarus-Saniyyah, Cet. 3/1426].

Allah ta’ala berfirman :

ٌ‫ َو ِزيَا َدة‬ ‫ ْال ُح ْسنَى‬ ‫لِلَّ ِذينَ أَحْ َسنُوا‬

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya”[QS. Yunus : 26].

Al-Haafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

‫ وعبد هللا بن عب((اس [ق((ال البغ((وي‬،‫ وحذيفة بن اليمان‬،‫ عن أبي بكر الصديق‬،‫وقد روي تفسير الزيادة بالنظر إلى وجه هللا الكريم‬
،‫ وعكرم((ة‬،‫ ومجاه((د‬،‫ وعبد الرحمن بن س((ابط‬،‫ وعبد الرحمن بن أبي ليلى‬،‫وأبو موسى وعبادة بن الصامت] وسعيد بن المسيب‬
‫ وغ(((يرهم من الس(((لف والخلف‬،‫ ومحم(((د بن إس(((حاق‬،‫ والس(((دي‬،‫ وقت(((ادة‬،‫ والحس(((ن‬،‫ والض(((حاك‬،‫ وعط((اء‬،‫وع((امر بن س((عد‬.
ُ
‫ فمن ذل((((ك م((((ا رواه اإلم((((ام أحمد‬،‫ عن رس((((ول هللا ص((((لى هللا علي((((ه وس((((لم‬،‫أح((((اديث كث((((يرة‬ ‫وق((((د وردت في ذل((((ك‬:
‫ عن صهيب؛ أن رسول هللا ص((لى هللا علي((ه‬،‫ عن عبد الرحمن بن أبي ليلى‬،‫ عن ثابت البُناني‬،‫ أخبرنا حماد بن سلمة‬،‫حدثنا عفان‬
‫ ي((ا أه((ل‬:‫ ن((ادى من((اد‬،‫ وأهل الن((ار الن((ار‬،‫ "إذا دخل أهل الجنة الجنة‬:‫ { لِلَّ ِذينَ أَحْ َسنُوا ْال ُح ْسنَى َو ِزيَا َدةٌ } وقال‬:‫وسلم تال هذه اآلية‬
،‫ وي((دخلنا الجن((ة‬،‫ وي((بيض وجوهن((ا‬،‫ وم((ا ه((و؟ ألم يُثقِّل موازينن((ا‬:‫ فيقول((ون‬.‫ إن لكم عن((د هللا موع(دًا يري((د أن يُ ْن ِج َز ُك ُم((وه‬،‫الجن((ة‬
‫ وال أق((ر‬،‫ فوهللا ما أعطاهم هللا شيئا أحب إليهم من النظر إلي((ه‬،‫ فينظرون إليه‬،‫ "فيكشف لهم الحجاب‬:‫ قال‬."‫ويزحزحنا من النار؟‬
‫"ألعينهم‬.

“Telah diriwayatkan penafsiran kata az-ziyaadah (tambahan) dengan melihat wajah Allah


Yang Mulia dari Abu Bakr Ash-Shiddiq, Hudzaifah bin Al-Yamaan, ‘Abdullah bin Al-‘Abbaas,
[Al-Baghawiy berkata : Abu Musa, ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit], Sa’iid bin Al-Musayyib,
‘Abdurrahman bin Abi Lailaa, ‘Abdurrahman bin Saabith, Mujaahid, ‘Ikrimah, ‘Aamir bin
Sa’d, ‘Atha’, Adl-Dlahhaak, Al-Hasan, Qataadah, As-Suddiy, Muhammad bin Ishaaq, dan yang
lainnya dari kalangan salaf dan khalaf. Dan telah banyak hadits yang membicarakan hal itu
dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh
Al-Imam Ahmad : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah mengkhabarkan kepada
kami Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, dari ‘Abdurrahman bin Abi Lailaa,
dari Shuhaib : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat : ‘Bagi
orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya’, beliau
bersabda : “Bila penduduk surga telah memasuki surga dan penduduk neraka telah
memasuki neraka, maka ada seorang penyeru yang memanggil : ‘Wahai penduduk surga,
sesungguhnya kalian mempunyai apa yang telah dijanjikan di sisi Allah, Allah ingin
memenuhinya untuk kalian. Maka mereka berkata : ‘Apakah itu ? bukankah Allah telah
memberatkan timbangan (amal baik) kami, memutihkan wajah kami, memasukkan kami ke

[202]
dalam surga, dan menyelamatkan kami dari neraka ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam melanjutkan :“Maka dibukalah hijab untuk mereka, lalu mereka melihat kepada
wajah-Nya. Maka demi Allah, tidak ada sesuatupun yang Allah berikan kepada mereka yang
lebih dicintai oleh mereka dan lebih menyenangkan mereka daripada melihat kepada
wajah-Nya” [Tafsir Ibnu Katsir, 4/262, tahqiq : Saamiy bin Muhammad Salaamah; Daaruth-
Thayyibah, Cet. 2/1420].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan doa yang masyru’ dibaca


setelahtasyahud akhir sebelum salam :

‫ اللهم إني وأس(ألك‬، ‫اللهم بعلمك الغيب وقدرتك على الخلق أحيني م(ا علمت الحي(اة خ(يراً لي وتوف(ني م(ا علمت الوف(اة خ(يراً لي‬
، ‫ وأسألك نعيما ً ال ينف((د‬، ‫ وأسألك القصد في الغنى والفقر‬، ‫ وأسألك كلمة الحق في الرضا والغضب‬، ‫خشيتك في الغيب والشهادة‬
‫والشوق‬ ‫لذة النظر إلى وجهك‬  ‫ وأسألك‬، ‫ وأسألك برد العيش بعد الموت‬، ‫ وأسألك الرضا بعد القضاء‬، ‫وأسألك قرة عين ال تنقطع‬
‫ واجعلنا هداة مهتدين‬، ‫ اللهم زينا بزينة اإليمان‬، ‫إلى لقائك من غير ضرَّاء مضرة وال فتنة مضلة‬

“Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas yang ghaib dan dengan ke-Mahakuasaan-Mu atas seluruh
makhluk, perpanjanglah hidupku, bila Engkau mengetahui bahwa kehidupan selanjutnya
lebih baik bagiku. Dan matikanlah aku dengan segera, bila Engkau mengetahui bahwa
kematian lebih baik bagiku. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar takut
kepada-Mu dalam keadaan sembunyi (sepi) atau ramai. Aku mohon kepada-Mu agar dapat
berpegang dengan kalimat hak di waktu rela atau marah. Aku mohon kepada-Mu agar aku
bisa melaksanakan kesederhanaan dalam keadaan kaya atau faqir, aku mohon kepada-Mu
agar diberikan nikmat yang tidak habis, dan aku mohon kepada-Mu agar diberikan
penyejuk mata yang tidak putus. Aku mohon kepada-Mu agar aku dapat rela setelah qadla-
Mu (turun pada kehidupanku). Aku mohon kepada-Mu kehidupan yang menyenangkan
setelah aku mati. Aku mohon kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di surga),
rindu bertemu dengan-Mu tanpa penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang
menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan keimanan dan jadikanlah kami sebagai
penunjuk jalan (lurus) yang memperoleh bimbingan dari-Mu” [Diriwayatkan oleh An-
Nasa’iy 3/54 no. 1305, Ahmad 4/264, Al-Haakim 1/524, Ibnu Abi Syaibah 10/265, dan Al-
Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 120; shahih].

Tidak mungkin beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kalimat : “Aku mohon


kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di surga)” jika hal itu tidak akan terwujud
(mustahil terjadi) kelak di akhirat.

Selengkapnya, silakan baca artikel kami di : http://abul-


jauzaa.blogspot.com/2009/10/aqidah-ahlus-sunnah-kaum-mukminin-kelak.html.
[203]
[14] Lihat kembali catatan kaki no. 1.

[15] Ini adalah inti ‘aqidah Jahmiyyah yang mengingkari seluruh sifat Allah ta’ala. Pada
hakekatnya, mereka seperti menyembah sesuatu yang tidak ada (karena tidak mempunyai
sifat). Maha Suci Allah dari yang mereka katakan.

Ketinggian Allah ta’ala di Atas Semua


Makhluk-Nya

Allah ta’ala berfirman :

َ‫يَ َخافُونَ َربَّهُ ْم ِم ْن فَوْ قِ ِه ْم َويَ ْف َعلُونَ َما ي ُْؤ َمرُون‬

“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang
diperintahkan (kepada mereka)” [QS. An-Nahl : 50].

‫تَ ْع ُر ُج ْال َمالئِ َكةُ َوالرُّ و ُح إِلَ ْي ِه فِي يَوْ ٍم َكانَ ِم ْقدَا ُرهُ َخ ْم ِسينَ أَ ْلفَ َسنَ ٍة‬

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya
lima puluh ribu tahun” [QS. Al-Ma’aarij : 4].

Ayat ini merupakan salah satu dalil yang bahwa Allah ta’ala berada di atas makhluk-
Nyasecara hakiki. Dijelaskan lagi di ayat lain :

َ ْ‫أَأَ ِم ْنتُ ْم َم ْن فِي ال َّس َما ِء أَ ْن يَ ْخ ِسفَ بِ ُك ُم األَر‬


‫ض‬

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan
menjungkir balikkan bumi bersama kamu” [QS. Al-Mulk : 16].

Al-Baihaqiy rahimahullah berkata tentang ayat ini :

ِ ْ‫ق األَر‬
‫ض‬ َ ْ‫ فَو‬: ْ‫ض أَي‬
ِ ْ‫ فَ ِسيحُوا فِي األَر‬:‫ َك َما قَا َل‬،‫ش‬
ِ ْ‫ق ال َّس َما ِء َعلَى ْال َعر‬
ِ ْ‫ َم ْن فَو‬:ُ‫ َوقَ ْد َذكَرْ نَا أَ َّن َم ْعنَاه‬،

“Dan kami telah menyebutkan bahwa maknanya : Allah yang berada di atas langit di atas
‘Arsy, sebagaimana firman-Nya : ‘Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi
(fil-ardli)’ (QS. At-Taubah : 2), yaitu : fauqal-ardli (di atas permukaan bumi)...” [Al-Asmaa’

[204]
wash-Shifaat oleh Al-Baihaqiy, 2/334, tahqiq : ‘Abdullah Al-Haasyidiy; Maktabah As-
Suwaadiy].

Berikut ini akan saya bawakan beberapa atsar dari para shahabat dan ulama setelahnya
yang menjelaskan ketinggian Allah di atas makhluk-Nya, dan Ia di atas langit-langit-Nya
lagi beristiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya.

1.     Zainab bintu Jahsy radliyallaahu ‘anhaa

ِ ‫َب بِ ْن‬
‫ت‬ َ ‫ت هَ( ِذ ِه اآْل يَ(ةُ فِي زَ ْين‬ ْ َ‫ نَ( َزل‬:‫ قَ(ا َل‬،‫س‬ٍ َ‫ ع َْن أَن‬،‫ت‬ ٍ ِ‫ ع َْن ثَ(اب‬،‫ َح( َّدثَنَا َح َّما ُد بْنُ َزيْ( ٍد‬،‫ض( ِل‬ْ َ‫( َح( َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ْالف‬،‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد بْنُ ُح َميْ( ٍد‬
،‫َّج ُك َّن أَ ْهلُ ُك َّن‬
َ ‫ زَ و‬:ُ‫ص(لَّى هللاُ َعلَ ْي( ِه َو َس(لَّ َم تَقُ((ول‬ ِ ‫َت تَ ْف َخ( ُر َعلَى أَ ْز َو‬
َ ‫اج النَّبِ ِّي‬ ْ ‫ فَ َك((ان‬:‫ضى َز ْي ٌد ِم ْنهَا َوطَرًا َز َّوجْ نَا َكهَ((ا قَ((ا َل‬ َ َ‫ش فَلَ َّما ق‬
ٍ ْ‫َجح‬
ٌ ‫ هَ َذا َح ِد‬:‫ال أَبُو ِعي َسى‬
َ ‫يث َح َس ٌن‬
‫ص ِحي ٌح‬ َ َ‫ق‬." ‫ت‬
ٍ ‫اوا‬ ِ ْ‫َوزَ َّو َجنِي هَّللا ُ ِم ْن فَو‬
َ ‫ق َسب ِْع َس َم‬

Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin Humaid : Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Al-Fadhl : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari
Tsaabit, dari Anas, ia berkata : “Ayat ini turun berkenaan dengan Zainab bintu Jahsy : ‘Maka
tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), maka
Kami nikahkan engkau dengannya’ (Al-Ahzab: 37)”. Anas berkata : “Adalah Zainab
membanggakan dirinya atas istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : ‘Yang
menikahkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga-keluargamu, sedangkan yang
menikahkan aku adalah Allah yang berada di atas tujuh langit” [Diriwayatkan oleh At-
Tirmidziy no. 3213, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”].

2.     ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.

ٍ ‫ ع َْن ِز ِّر ب ِْن حُ بَ ْي‬،َ‫َاص ِم ا ْب ِن بَ ْه َدلَة‬


‫ ع َِن اب ِْن‬،‫ش‬ َ َ‫ ق‬،‫ ثنا أَ َس ٌد‬:‫ قَا َل‬،‫ق ْال َخوْ النِ ُّي‬
ِ ‫ ع َْن ع‬،َ‫ ثنا َح َّما ُد بْنُ َسلَ َمة‬:‫ال‬ ٍ ِ‫َح َّدثَنَا بَحْ ُر بْنُ نَصْ ِر ْب ِن َساب‬
َّ َ‫ َوبَ ْين‬،‫(ام‬
‫الس( َما ِء‬ ٍ (‫س ِمائَ( ِة َع‬ ِ ‫ َوبَ ْينَ ُك( ِّل َس( َما ٍء َم ِس(ي َرةَ خَ ْم‬،‫(ام‬ ِ ‫ " َما بَ ْينَ َس َما ِء ال ُّد ْنيَا َوالَّتِي تَلِيهَا َم ِس(ي َرةَ خَ ْم‬:‫ قَا َل‬،‫َم ْسعُو ٍد‬
ٍ (‫س ِمائَ( ِة َع‬
‫ َوه َُو يَ ْعلَ ُم َما أَ ْنتُ ْم َعلَ ْي ِه‬،‫ش‬
ِ ْ‫ق ْال َعر‬ َ ْ‫ َو ْال َعرْ شُ فَو‬،‫َام‬
َ ‫ َوهَّللا ُ تَبَا َر‬،‫ق ال َّس َما ِء‬
َ ْ‫ك َوتَ َعالَى فَو‬ ِ ‫" السَّابِ َع ِة َوبَ ْينَ ْال ُكرْ ِس ِّي خَ ْم‬
ٍ ‫س ِمائَ ِة ع‬

Telah menceritakan kepada kami Bahr bin Nashr bin Saabiq Al-Khaulaaniy, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Asad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Hammaad bin Salamah, dari ‘Aashim bin Bahdalah, dari Zirr bin Hubaisy, dari Ibnu
Mas’uud, ia berkata : “Jarak antara langit dunia dan langit di atasnya sejauh perjalanan
selama 500 tahun. Jarak antara setiap langit dengan langit lainnya sejauh perjalanan
selama 500 tahun. Jarak antara langit ketujuh dan kursi sejauh perjalanan selama 500
tahun. Dan ‘Arsy di atas langit, dan Allahtabaaraka wa ta’ala berada di atas ‘Arsy. Ia
mengetahui apa yang kalian lakukan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam At-
Tauhiid, hal. 242-243, tahqiq : Dr. ‘Abdul-‘Aziiz Asy-Syahwaan; Daarur-Rusyd, Cet. 1/1408
H].
[205]
Sanadnya hasan.

3.     Adl-Dlahhaak bin Muzaahim rahimahullah (w. 105/106 H).

‫ ع َِن‬، َ‫(ل ب ِْن َحيَّان‬ ِ (ِ‫ ع َْن ُمقَات‬،‫ُوف‬ٍ ‫ ثن((ا بُ َك ْي( ُر بْنُ َم ْع( ر‬:‫ قَ((ا َل‬، ُ‫ض(رُوب‬ ْ ‫(ون ْال َم‬ٍ (‫ ث((ني نض((ر بْنُ َم ْي ُم‬:‫ قَ((ا َل‬،‫َح( َّدثَنِي َع ْب( ُد هَّللا ِ بْنُ أَبِي ِزيَ((ا ٍد‬
‫ َو ِع ْل ُم( هُ َم َعهُ ْم أَ ْينَ َم((ا َك((انُوا ثُ َّم يُنَبِّئُهُ ْم بِ َم((ا‬،‫ش‬
ِ ْ‫ق ْال َعر‬
َ ْ‫ هُ َو فَو‬:‫ قَا َل‬.‫هُ َو َم َعهُ ْم‬:‫ َما يَ ُكونُ ِم ْن نَجْ َوى ثَالثَ ٍة إِلَى قَوْ لِ ِه‬:‫ فِي قَوْ لِ ِه‬،‫ك‬ َّ ‫ال‬
ِ ‫ضحَّا‬
‫َع ِملُوا يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة إِ َّن هَّللا َ بِ ُكلِّ َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬

Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Abi Ziyaad, ia berkata : Telah menceritakan
kepadaku Nadlr bin Maimuun Al-Madlruub, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Bukair bin Ma’ruuf, dari Muqaatil bin Hayyaan, dari Adl-Dlahhaak bin Muzaahim tentang
firman-Nya : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang’ hingga firman-Nya : ‘melainkan
Dia berada bersama mereka’ (QS. Al-Mujaadilah : 7). Ia (Adl-Dlahhaak) berkata : “Ia (Allah)
berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka, di mana pun mereka berada.
Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka
kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Diriwayatkan oleh Ath-
Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 23/237, tahqiq : Ahmad Muhammad Syaakir; Muassasah
Ar-Risaalah, Cet. 1/1420 H].

Catatan : Penyebutan Nadlr bin Maimuun Al-Madlruub ini keliru. Yang benar adalah : Nuuh
bin Maimuun Al-Madlruub sebagaimana riwayat ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-
Sunnah no. 592, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 909, dan Al-Aajuriiy
dalam Asy-Syarii’ah no. 388. Selain itu, ia lah perawi yang meriwayatkan dari Bukair bin
Ma’ruuf.

Nuuh bin Maimuun seorang yang tsiqah.

Sanadnya hasan.

4.     Sulaimaan At-Taimiy rahimahullah (w. 143 H).

‫ ثَنَ((ا‬:‫(ال‬
َ (َ‫ ق‬،‫ُوف‬ ٍ ‫ َح َّدثَنَا هَا ُرونُ بْنُ َم ْعر‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،َ‫ أَ ْخبَ َرنَا أَحْ َم ُد بْنُ أَبِي َخ ْيثَ َمة‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ أَ ْخبَ َرنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ْال ُح َس ْي ِن‬:‫ال‬
َ َ‫( ق‬،‫أَ ْخبَ َرنَا أَحْ َم ُد بْنُ ُعبَ ْي ٍد‬
‫(ل أَ ْن‬
َ (‫ فَأ َ ْينَ َعرْ ُش(هُ قَ ْب‬:‫ال‬
َ َ‫ فَإ ِ ْن ق‬،‫ فِي ال َّس َما ِء‬:‫ت‬ ُ ‫ك َوتَ َعالَى؟ قُ ْل‬ َ ‫ار‬ َ َ‫ أَ ْينَ هَّللا ُ تَب‬:‫ت‬ُ ‫ لَوْ ُسئِ ْل‬:ُ‫ يَقُول‬،‫ي‬ َّ ‫ْت التَّ ْي ِم‬
ُ ‫ َس ِمع‬:‫ قَا َل‬،َ‫ص َدقَة‬ َ ‫ ع َْن‬،ُ‫ض ْم َرة‬ َ
‫ ال أَ ْد ِري‬:‫ت‬
ُ ‫ق ْال َما َء ؟ قُ ْل‬
َ ُ‫ أَ ْينَ َكانَ َعرْ ُشهُ قَ ْب َل أَ ْن يَ ْخل‬:‫ فَإ ِ ْن قَا َل لِي‬،‫ َعلَى ْال َما ِء‬:‫ت‬
ُ ‫ق ال َّس َما َء؟ قُ ْل‬
َ ُ‫يَ ْخل‬

Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Ubaid, ia berkata : Telah mengkhabarkan
kepada kami Muhammad bin Al-Husain, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami
Ahmad bin Abi Khaitsamah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin
Ma’ruuf, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Dlamrah, dari Shadaqah, ia berkata :
Aku mendengar At-Taimiy berkata : “Seandainya aku ditanya : ‘dimanakah Allah ?’, akan
[206]
aku jawab : ‘Di langit’. Jika ia kembali bertanya : ‘Lalu, dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum ia
menciptakan langit ?’.  Aku akan menjawab : ‘Di atas air’. Dan jika ia bertanya lagi kepadaku
: ‘Dimanakah ‘Arsy-Nya dahulu sebelum Allah menciptakan air ?’. Aku akan menjawab :
‘Aku tidak tahu” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad, hal.
401, tahqiq : Ahmad bin Mas’uud Al-Hamdaan; Cet. 2/1411 H].

5.     Maalik bin Anas rahimahullah (w. 179 H).

‫حدثني أبي رحمه هللا حدثنا سريج بن النعمان حدثنا عبدهللا بن نافع قال كان مالك بن أنس يق(ول االيم((ان ق(ول وعم((ل ويق((ول كلم‬
‫هللا موسى وقال مالك هللا في السماء وعلمه في كل مكان ال يخلو منه شيء‬

Telah menceritakan kepadaku ayahku rahimahullah : Telah menceritakan kepada kami


Suraij bin An-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata :
“Maalik bin Anas pernah berkata : ‘Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, Allah
berbicara kepada Muusaa, Allah berada di atas langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat –
tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad
dalam As-Sunnah, hal. 280 no. 532, tahqiq : Dr. Muhammad bin Sa’iid Al-Qahthaaniy; Daaru
‘Aalamil-Kutub, Cet. 4/1416 H. Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud dalam Masaail-nya hal.
263, Al-Aajuriiy dalamAsy-Syarii’ah, 2/67-68 no. 695-696, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh
Ushuulil-I’tiqaad hal. 401 no. 673, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 7/138, dan Ibnu
Qudaamah dalamItsbaatu Shifaatil-‘Ulluw hal. 166 no. 76].

Sanadnya shahih.

6.     ‘Abdullah bin Al-Mubaarak rahimahullah (w. 181 H).

َ ْ‫ " بِأَنَّهُ فَو‬:‫ال‬


‫ق‬ ِ ‫ َك ْيفَ نَع‬:ُ‫يل َله‬
َ َ‫ْرفُ َربَّنَا؟ ق‬ َ ِ‫ ق‬:‫ال‬َ َ‫ ق‬،‫ك‬ َ َ‫ َع ِن اب ِْن ْال ُمب‬،‫ق‬
ِ ‫ار‬ ٍ ‫ ثنا َعلِ ُّي بْنُ ْال َح َس ِن ْب ِن َشقِي‬،‫َّاح ْالبَ َّزا ُز‬
ِ ‫صب‬ َّ ‫َح َّدثَنَا ْال َح َسنُ بْنُ ال‬
‫ بَائِ ٌن ِم ْن خَ ْلقِ ِه‬،‫ش‬ِ ْ‫" ال َّس َما ِء السَّابِ َع ِة َعلَى ْال َعر‬

Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ash-Shabbaah Al-Bazzaaz : Telah


menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq, dari Ibnul-Mubaarak. Syaqiiq
berkata : Dikatakan kepadanya : “Bagaimana kita mengetahui Rabb kita ?”. Ia (Ibnul-
Mubaarak) berkata : “Bahwasannya Allah berada di atas langit yang ketujuh, di atas ‘Arsy,
terpisah dari makhluk-Nya” [Diriwayatkan oleh Abu Sa’iid Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd
‘alal-Jahmiyyah, hal. 39-40 no. 67, tahqiq : Badr Al-Badr; Ad-Daarus-Salafiyyah, Cet. 1/1405
H. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy dalamKhalqu Af’aalil-‘Ibaad 2/15 no. 13-14 dan
‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 22 & 216 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’
wash-Shifaat no. 903].

[207]
Sanadnya hasan.

7.     Muhammad bin Mush’ab Al-‘Aabid rahimahullah (w. 228 H).

:ُ‫ يَقُ((ول‬،َ‫ب ْال َعابِ(د‬ ُ ‫ َس ِمع‬:‫ال‬


ٍ ‫ْت ُم َح َّم َد بنَ ُمصْ َع‬ َ َ‫ ق‬،‫ار‬ ِ َّ‫ ثنا ُم َح َّم ُد بْنُ ُم َح َّم ِد ْب ِن ُع َم َر ْب ِن ْال َح َك ِم أَبُو ْال َح َس ِن بْنُ ْال َعط‬،‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َم ْخلَ ٍد‬
َ ‫ لَي‬،‫ت‬
‫ْس َك َما‬ َ ْ‫ فَو‬،‫ش‬
ٍ ‫ق َسب ِْع َس َم َوا‬ ِ ْ‫ق ْال َعر‬
َ ْ‫ك فَو‬َ َّ‫ أَ ْشهَ ُد أَن‬، َ‫ْرفُك‬
ِ ‫ َوال يَع‬،َ‫ فَهُ َو َكافِ ٌر بِ َوجْ ِهك‬،‫ك ال تَتَ َكلَّ ُم َوال تُ َرى فِي اآل ِخ َر ِة‬ َ َّ‫" َم ْن زَ َع َم أَن‬
َ ‫" يَقُو ُل أَ ْعدَا ُؤ‬
ُ‫ك ال َّزنَا ِدقَة‬

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Muhammad bin ‘Umar bin Al-Hakam Abul-Hasan bin Al-‘Aththaar, ia
berkata : Aku mendengar Muhammad bin Mush’ab Al-‘Aabid berkata : “Barangsiapa yang
menyangka bahwasannya Engkau tidak berbicara dan tidak dapat dilihat di akhirat, maka
ia kafir terhadap wajah-Mu dan tidak mengetahui-Mu. Aku bersaksi bahwasannya Engkau
berada di atas ‘Arsy, di atas tujuh langit. Tidak seperti yang dikatakan musuh-musuh-Mu,
yaitu Zanaadiqah” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Ash-Shifaat, hal. 72-73 no.
64, tahqiq : Dr. ‘Aliy bin Muhammad bin Naashir Al-Faqiihiy – dicetak bersama kitab An-
Nuzuul lid-Daaruquthniy; Cet. 1/1403 H. Diriwayatkan juga oleh ‘Abdullah bin Ahmad
dalam As-Sunnah no. 167, An-Najjaad dalam Ar-Radd ‘alaa Man Yaquulu Al-Qur’aan
Makhluuq no. 110, dan Al-Khathiib dalam At-Taariikh 4/452].

Sanadnya shahih.

8.     Qutaibah bin Sa’iid rahimahullah (w. 240 H).

َ ِّ‫ الر‬:‫ْالم َوال ُّسنَّ ِة‬


‫ضا‬ ِ ‫ " هَ َذا قَوْ ُل األَئِ َّم ِة ْال َمأْ ُخو ِذ فِي‬:‫ قَا َل‬،‫ْت أَبَا َر َجا ٍء قُتَ ْيبَةَ ْبنَ َس ِعي ٍد‬
ِ ‫اإلس‬ ُ ‫ َس ِمع‬:‫ال‬ َّ ِ‫ق الثَّقَف‬
َ َ‫ ق‬،‫ي‬ ُ ‫َس ِمع‬
َ ‫ْت ُم َح َّم َد ْبنَ إِس َْحا‬
‫ت َو َم((ا فِي‬
ِ ‫الس( َم َوا‬ ِ ْ‫ الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬:‫ْرفَ هَّللا َ فِي ال َّس َما ِء السَّابِ َع ِة َعلَى َعرْ ِش ِه َك َما قَا َل‬
َّ ‫ش ا ْستَ َوى لَهُ َما فِي‬ ِ ‫ َويَع‬......... ،ِ ‫ضا ِء هَّللا‬
َ َ‫بِق‬
ِ ْ‫األَر‬
‫ض َو َما بَ ْينَهُ َما َو َما تَحْ تَ الثَّ َرى‬

Aku mendengar Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy, ia berkata : Aku mendengar Abu
Rajaa’ Qutaibah bin Sa’iid berkata : “Ini adalah perkataan para imam yang diambil dalam
Islam dan Sunnah : ‘Ridlaa terhadap ketetapan Allah…… dan mengetahui Allah berada di
langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana firman Allah : ‘Ar-Rahmaan di atas ‘Arsy
beristiwa’. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang
di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah’ (QS. Thaha : 5)…..” [Diriwayatkan oleh
Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar Ashhaabil-Hadiits, hal. 30-34 no. 17, tahqiq : As-
Sayyid Shubhiy As-Saamiraa’iy; Daarul-Khulafaa’, Cet. Thn. 1404 H].

Sanadnya shahih.

9.     Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w. 241 H).


[208]
‫{ونَحْ نُ أَ ْق َربُ إِلَي ِه ِم ْن َحب ِْل ْال َو ِري((د} وبقول((ه ع((ز‬
َ ‫ فإن احتج مبتدع( أو مخالف بقوله تعالى‬.‫وهو على العرش فوق السماء السابعة‬
‫ { َما ي ُكونُ ِم ْن نَجْ وى ثالثة إال هُ َو َرابِ ُعهُ ْم} ونحو هذا من متشابه القران‬: ‫ { َوه َُو َم َع ُك ْم أَ ْينَ َما ُك ْنتُ ْم} أو بقوله تعالى‬: ‫وجل‬

“Ia (Allah) berada di atas ‘Arsy, di atas langit ketujuh. Sesungguhnya ahli bid’ah atau orang
yang menyimpang dari kebenaran berhujjah dengan firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16), atau dengan firman-Nya : ‘Dan Ia (Allah)
bersama kalian di mana saja kalian berada’ (QS. Al-Hadiid : 4), atau dengan firman-Nya :
‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-
Mujaadilah : 7), dan yang lainnya dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasyaabih” [As-
Sunnah oleh Ahmad bin Hanbal melalui kitab Al-Masaail war-Rasaail Al-Marwiyyatu ‘anil-
Imaam Ahmad fil-‘Aqiidah oleh ‘Abdullah Al-Ahmadiy, 1/318-319; Daaruth-Thayyibah, Cet.
1/1412 H].

Catatan : Penjelasan Al-Imaam Ahmad itu menggugurkan klaim kelompok Asyaa’irah yang
mengklaim bahwa lafadh Allaahu ‘alal-‘Arsy atau yang semisalnya itu sifatnya mutasyaabih.
Justru mafhum yang terambil dari perkataan beliau, lafadh itu adalah muhkam (jelas); dan
yang samar (mutasyaabih) adalah lafadh nash-nash yang menyatakan bahwa
Allah ta’ala bersama hamba-Nya.[1]

As-Sijziy rahimahullah menukil :

‫ وعلمه بكل مكان‬،‫ونص أحمد بن حنبل رحمة هللا عليه على أن هللا تعالى بذاته فوق العرش‬

“Dan Ahmad – semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya – mengatakan bahwa


Allah ta’ala di atas ‘Arsy dengan Dzat-Nya, sedangkan ilmu-Nya ada di setiap tempat”
[Risaalah As-Sijziy ilaa Ahli Zubaid, hal. 125, tahqiq : Muhammad ba-Kariim; Daarur-
Raayah, Cet. 1/1414 H].

10.   Al-Muzaanniy rahimahullah (w. 264 H).

[‫ أحاط علمه باألمور ]عال‬،‫ وهو دان بعلمه من خلقه‬،‫على عرشه‬، ....

“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, Ia (Allah) dekat pada hamba-Nya dengan ilmu-Nya. Ilmu-Nya
meliputi segala sesuatu....” [Syarhus-Sunnah lil-Muzanniy, hal. 79 no. 1, tahqiq : Jamaal
‘Azzuun].

‫ موجود وليس بمعدوم وال بمفقود‬،‫ بائن من خلقه‬،‫عال على عرشه‬

“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya. Allah itu ada, bukannya tidak ada
dan hilang” [idem, hal. 82].

[209]
11.   Abu ‘Iisaa At-Tirmidziy rahimahullah (w. 279 H).

‫ وهو على العرش كما وصف في كتابه‬،‫وعل ُم هللا وقدرته وسلطانه في كل مكان‬

“Dan ilmu Allah, kemampuan, dan kekuasaan-Nya ada di setiap tempat. Adapun Allah ada
di atas ‘Arsy sebagaimana yang Ia sifatkan dalam kitab-Nya” [Al-Jaami’ lit-Tirmidziy 5/403-
404 melalui perantaraan kitab ‘Aqiidah Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah lil-Imaam At-
Tirmidziy oleh Abu Mu’aadz Thaariq bin ‘Iwadlillah, hal. 95; Daarul-Wathan, Cet. 1/1421
H].

12.   Abu Zur’ah (w. 264 H) dan Abu Haatim Ar-Raaziy (w. 277 H) rahimahumallah.

‫ َح( َّدثَنَا أَبُ(و ُم َح َّم ٍد َعبْ( ُد ال(رَّحْ َم ِن بْنُ أَبِي‬:‫(ال‬


َ َ‫ ق‬،ُ‫(رئ‬ ِ ‫ش ْال ُم ْق‬ َ ‫ َح( َّدثَنَا ْالح‬:‫(ال‬
ٍ َ‫ُس(يْنُ بْنُ ُم َح َّم ِد ب ِْن َحب‬ َ َ‫ ق‬،ُ‫أَ ْخبَ َرنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ْال ُمظَفَّ ِر ْال ُم ْق ِرئ‬
‫ َو َم((ا‬،‫ار‬
ِ (‫ص‬ َ ‫(ع األَ ْم‬
ِ (‫( َو َم((ا أَ ْد َر َك((ا َعلَ ْي( ِه ْال ُعلَ َم((ا َء فِي َج ِمي‬،‫ص(و ِل ال(دِّي ِن‬ُ ُ‫الس(نَّ ِة فِي أ‬
ُّ ‫ب أَ ْه ِل‬ِ ‫ت أَبِي َوأَبَا ُزرْ َعةَ ع َْن َم َذا ِه‬ ُ ‫ َسأ َ ْل‬:‫ قَا َل‬،‫َحاتِ ٍم‬
،ٌ‫ " ا ِإلي َم((انُ قَ((وْ ٌل َو َع َم( ل‬:‫ار ِح َجا ًزا َو ِع َراقًا َو َشا ًما َويَ َمنًا فَ َكانَ ِم ْن َم ْذهَبِ ِه ُم‬ ِ ‫ص‬ َ ‫يع األَ ْم‬
ِ ‫ أَ ْد َر ْكنَا ْال ُعلَ َما َء فِي َج ِم‬:‫ فَقَاال‬،َ‫يَ ْعتَقِدَا ِن ِم ْن َذلِك‬
‫ان َر ُس(ولِ ِه‬ ِ (‫ َو َعلَى لِ َس‬،‫ص(فَ نَ ْف َس(هُ فِي ِكتَابِ( ِه‬ ْ ‫ َوأَ َّن هَّللا َ َع َّز َو َج َّل َعلَى َعرْ ِش ِه بَائِ ٌن ِم ْن‬...... ، ُ‫ يَ ِزي ُد َويَ ْنقُص‬K ،‫(ف‬
َ ‫خَلقِ ِه َك َما َو‬ ٍ (‫بِال َك ْي‬
‫صي ُر‬ ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوه َُو ال َّس ِمي ُع ْالب‬
َ ‫ لَي‬،‫أَ َحاطَ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء ِع ْل ًما‬.

Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Mudhaffar Al-Muqriy, ia berkata :


Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Muhammad bin Habsy Al-Muqriy, ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin
Abi Haatim, ia berkata : ”Aku pernah bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah tentang
madzhab Ahlus-Sunnah dalam ushuuluddiin (pokok-pokok agama) dan apa yang mereka
temui dari para ulama di seluruh pelosok negeri dan yang mereka berdua yakini tentang
hal itu, maka mereka berdua berkata : ”Kami telah bertemu dengan para ulama di seluruh
pelosok negeri, baik di Hijaz, ’Iraq, Mesir, Syaam, dan Yaman, maka yang termasuk
madzhab mereka adalah : ”Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah
maupun berkurang........ dan bahwasannya Allah ’azza wa jalla berada di atas ’Arsy-Nya,
terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana yang Ia sifatkan diri-Nya dalam Kitab-Nya dan
melalui lisan Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wa sallam, tanpa menanyakan ’bagaimana’,
ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Allah berfirman : ’Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Diriwayatkan oleh Al-
Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/176, tahqiq : Ahmad bin Sa’d Hamdaan; Cet.
2/1411 H].

Shahih.

[210]
13.   ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy rahimahullah (w. 280 H).

‫ف إِلَهَهُ الَّ ِذي يَ ْعبُ ُد‬ ِ ‫ك لَ ْم يَع‬


ْ ‫ْر‬ ِ ‫ فَ َم ْن لَ ْم يَع‬،‫ بَائِ ٌن ِم ْن خَ ْلقِ ِه‬،‫ق َس َم َواتِ ِه‬
َ ِ‫ْر ْفهُ بِ َذل‬ َ ‫فَاهَّلل ُ تَبَا َر‬
َ ْ‫ك َوتَ َعالَى فَو‬
َ ْ‫ فَو‬،‫ق َعرْ ِش ِه‬

“Allah tabaraka wa ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya, terpisah dari


makhluk-Nya. Barangsiapa yang tidak mengetahui hal itu, maka itu berarti ia tidak
mengetahui tuhan yang ia sembah/ibadahi” [Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyaholeh ‘Utsmaan bin
Sa’iid Ad-Daarimiy, hal. 39 no. 66].

14.   Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah rahimahullah (w. 297 H).

‫ علمه في خلقه ال يخرجون من علمه‬،‫متخلصا من خلقه بائنا منهم‬ ‫فهو فوق السماوات وفوق العرش بذاته‬

“Allah berada di atas langit-langit dan di atas ‘Arsy dengan Dzat-Nya, terlepas dari
makhluk-Nya lagi terpisah darinya. Adapun ilmu-Nya pada makhluk-Nya, mereka
(makhluk-Nya) tidak terlepas dari ilmu-Nya” [Al-‘Arsy oleh Muhammad bin ‘Utsmaan bin
Abi Syaibah, hal. 291-292, tahqiq : Dr. Muhammad bin Khaliifah At-Tamiimiy; Maktabah Ar-
Rusyd, Cet. 1/1418 H].

15.   Ibnu Khuzaimah rahimahullah (w. 311 H).

‫ َم ْن لَ ْم يُقِ َّر بِأ َ َّن هَّللا َ تَ َعالَى َعلَى َعرْ ِش ( ِه‬:ُ‫ يَقُول‬،َ‫ق ْب ِن ُخ َز ْي َمة‬
َ ‫ْت أَبَا بَ ْك ٍر ُم َح َّم َد ْبنَ ِإ ْس َحا‬
ُ ‫ َس ِمع‬:ُ‫ يَقُول‬،‫ح ْب ِن هَانِ ٍئ‬ ُ ‫َس ِمع‬
َ َ‫ْت ُم َح َّم َد ْبن‬
ِ ِ‫صال‬
ُ‫ت ُعنُقُه‬ ْ َ‫ضُرب‬
ِ ‫ َوإِال‬،‫َاب‬َ ‫ فَإ ِ ْن ت‬، ُ‫ فَه َُو َكافِ ٌر بِ َربِّ ِه يُ ْستَتَاب‬،‫ق َسب ِْع َس َما َواتِ ِه‬ َ ْ‫قَ ِد ا ْستَ َوى فَو‬

Aku mendengar Muhammad bin Shaalih bin Haani’ berkata : Aku mendengar Abu Bakr
Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah berkata : “Barangsiapa yang tidak mengatakan
bahwasannya Allah ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy, di atas tujuh lagit, maka ia telah kafir
terhadap Rabbnya. Ia diminta untuk bertaubat. Jika mau bertaubat, maka diterima, jika
tidak, dipenggal lehernya” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Abdillah Al-Haakim dalam Ma’rifatu
‘Uluumil-Hadiits hal. 84; Daarul-Afaaq].

Sanadnya shahih.

16.   Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah (w. 324 H).

‫ {أأمنتم من في الس((ماء أن يخس((ف بكم‬: ‫ وق((د دل على ذل((ك بقول((ه‬، ‫ أن((ه ف((وق س((ماواته على عرش((ه دون أرض((ه‬. . ‫وأجمع((وا‬
‫ وليس اس((تواءه‬،}‫ {ال((رحمن على الع((رش اس((توى‬: ‫ وق((ال‬.}‫ {إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الص((الح يرفع((ه‬: ‫ وقال‬،}‫األرض‬
‫ ألنه عز وجل لم يزل مستوليا على كل شيء‬،‫على العرش استيالء كما قال أهل القدر‬

“Dan mereka (para ulama Ahlus-Sunnah) bersepakat..... bahwasannya Allah berada di atas
langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, bukan di bumi-Nya. Dan hal itu ditunjukkan melalui
firman-Nya : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan
[211]
menjungkir balikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Dan Allah berfirman :
‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’
(QS. Faathir : 10). Allah berfirman : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwaa’
di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Dan bukanlah yang dimaksud istiwaa’-nya Allah di atas ‘Arsy
itu adalah istilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Qadariyyah.
Karena Allah ‘azza wa jalla senantiasa berkuasa atas segala sesuatu” [Risaalatun ilaa Ahlits-
Tsaghr oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 231-234, tahqiq : ‘Abdullah bin Syaakir Al-
Junaidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 2/1422 H].

17.   Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain Al-Aajurriy rahimahullah (w. 360 H).

‫ ال يخفى عليه شيء في األرض وال في السماء‬،‫ وعلمه محيط بكل شيء‬،‫أن هللا عز وجل على عرشه فوق سبع سمواته‬

“Bahwasannya Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas tujuh langit-langit-Nya.


Dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun dibumi dan di langit yang
tersembunyi darinya” [Asy-Syarii’ah oleh Abu Bakr Al-Aajurriy, 2/70, tahqiq : Al-Waliid bin
Muhammad; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1417 H].

18.   Ibnu Abi Zaid Al-Qairuwaaniy rahimahullah (w. 386 H).

‫ وأنه في كل مكان بعلمه‬، ‫وأنه تعالى فوق عرشه المجي ِد بذاته‬

“Allah ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya yang mulia dengan Dzat-Nya, dan bahwasannya Ia


berada di setiap tempat dengan ilmu-Nya” [Risaalah Ibni Abi Zaid Al-Qairuwaaniy yang
termuat dalam kitab ‘Aqaaidu Aimmatis-Salaf oleh Fawwaaz Ahmad Zamarliy, hal. 163;
Daarul-Kitaab Al-‘Arabiy, Cet. 1/1415 H].

‫ وأنه في كل مكان بعلمه‬،‫وأنه فوق سماواته على عرشه دون أرضه‬

“Dan Allah berada di atas langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, bukan di bumi-Nya. Dan
bahwasannya ia ada di setiap tempat dengan ilmu-Nya” [Al-Jaami’ hal. 141 melalui
perantaraan Masaailul-‘Aqiidah Allatii Qarrarahaa Aimmatul-Maalikiyyah oleh Abu
‘Abdillah Al-Hammaadiy, hal. 199; Ad-Daarul-Atsariyyah, Cet. 1/1429 H].

19.   Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ishaaq bin Mandah rahimahullah (w. 395 H).

‫بيان اخر يدل على أن هللا تعالى فوق عرشه بائنا عن خلقه‬

“Penjelasan lain yang menunjukkan bahwa Allah ta’ala di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari
makhluk-Nya” [At-Tauhiid oleh Ibnu Mandah, hal. 666, tahqiq : Muhammad Al-Wuhaibiy &
Muusaa bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Ghushn; Daarul-Hadyin-Nabiy, Cet. 1/1428 H].
[212]
‫ذكر االيات المتلوة واألخبار المأثورة بنقل الرواة المقبولة التي تدل على أن هللا تعالى فوق سمواته وعرشه وخلق((ه ق(اهرا س((ميعا‬
‫عليما‬

“Penyebutan ayat-ayat dan khabar-khabar ma’tsuur dengan penukilan dari para perawi


yang diterima, yang menunjukkan bahwa Allah ta’ala berada di atas langit-langit-Nya,
‘Arsy-Nya, dan makhluk-Nya; berkuasa, Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui” [At-
Tauhiid oleh Ibnu Mandah, hal. 761].

20.   Ibnu Abi Zamaniin rahimahullah (w. 399 H).

‫ث ع َْن‬ ِ (‫ َوفِي َغ ْي‬،ِ ‫ب هَّللا‬


ٍ ‫(ر َم((ا َح( ِدي‬ ً ‫ َوهُ َو أَي‬،‫ض‬
ِ ‫ْض(ا بَي ٌِّن فِي ِكتَ((ا‬ ِ ْ‫يث بَيَّنَ أَ َّن هَّللا َ َع َّز َو َج َّل َعلَى َعرْ ِش ِه فِي ال َّس َما ِء ُدونَ األَر‬
ُ ‫َوهَ َذا ْال َح ِد‬
‫صلَّى هللاُ َعلَي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫َرسُو ِل هَّللا‬

“Hadits ini menjelaskan bahwa Allah ‘azza wa jalla di atas ‘Arsy-Nya di langit, bukan di
bumi. Dan hadits itu juga dijelaskan dalam Kitabullah dan hadits lain dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Ushuulus-Sunnah oleh Ibnu Abi Zamaniin, hal.
113, tahqiq : ‘Abdullah Al-Bukhaariy; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 1/1415
H].

21.   Abul-Qaasim Hibatullah bin Al-Hasan Al-Laalikaa’iy rahimahullah (w. 418 H).

‫ص( َع ُد ْال َكلِ ُم‬


ْ َ‫ إِلَ ْي( ِه ي‬:َّ‫اس(تَ َوى َوأَ َّن هَّللا َعلَى عرش((ه فِي الس((ماء وق(ال َع( َّز َو َج( ل‬ ْ ‫ش‬ ِ ْ‫ي فِي قَوْ لِ ِه تَ َعالَى الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َع((ر‬ َ ‫ق َما ر ُِو‬ ُ ‫ِسيَا‬
‫ق ِعبَ((ا ِد ِه َويُرْ ِس ( ُل‬ َ ْ‫ َوهُ َو ْالقَا ِه ُر فَ((و‬:‫ وقال تعالى‬.‫ض‬
َ ْ‫ أَأَ ِم ْنتُ ْم َم ْن فِي ال َّس َما ِء أَ ْن يَ ْخ ِسفَ بِ ُك ُم األَر‬:‫ وقال‬.ُ‫الطَّيِّبُ َو ْال َع َم ُل الصَّالِ ُح يَرْ فَ ُعه‬
‫ وعلمه محيط بكل مكان ِمن أرضه وسمائه‬،‫ فدلت هذه اآلية أَنَّهُ تعالى فِي السماء‬.ً‫َعلَ ْي ُك ْم َحفَظَة‬

“Pembicaraan tentang apa-apa yang diriwayatkan dalam firman-Nya ta’ala : ‘(Yaitu) Tuhan


Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Dan bahwasannya
Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di langit. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Kepada-Nya lah
naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10).
Dan firman-Nya ta’ala : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa
Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Dan firman-
Nya ta’ala : ‘Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya,
dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga’ (QS. Al-An’aam : 61). Ayat-ayat ini
menunjukkan bahwasannya Allah ta’ala berada di langit dan ilmu-Nya meliputi seluruh
tempat di bumi-Nya dan langit-Nya” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad oleh Al-Laalikaa’iy, hal. 387-
388].

22.   Abun-Nashr As-Sijziy Al-Hanafiy rahimahullah (w. 444 H).

‫واعتقاد أهل الحق أن هللا سبحانه فوق العرش بذاته من غير مماسة‬

[213]
“Dan orang-orang yang menetapi kebenaran berkeyakinan bahwasannya Allahsubhaanahu
wa ta’ala di atas ‘Arsy dengan Dzaat-Nya tanpa bersentuhan” [Risaalah As-Sijziy ilaa Ahli
Zubaid, hal. 126-127].

23.   Abu ‘Amru Ad-Daaniy rahimahullah (w. 444 H).

‫ غير بائن بعلمه‬،‫ وبائن منهم بذاته‬،‫ ومستول على جميع خلقه‬،‫ مستو على عرشه‬،‫ أنه سبحانه فوق سماواته‬: ‫ومن قولهم‬

“Dan termasuk di antara perkataan mereka : Bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala di


atas langit-langit-Nya, beristiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya, berkuasa atas segala makhluknya. Ia
terpisah dari mereka dengan Dzaat-Nya, namun tidak terpisah dengan ilmu-Nya” [Ar-
Risaalah Al-Waafiyah hal. 52 melalui perantaraanMasaailul-‘Aqiidah Allatii Qarrarahaa
Aimmatul-Maalikiyyah, hal. 194].

24.   Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah (w. 449 H).

‫ كما نط((ق ب((ه كتاب((ه في قول((ه ع((ز‬،‫ويعتقد أصحاب الحديث ويشهدون أن هللا سبحانه وتعالى فوق سبع سمواته على عرشه مست ٍو‬
ِ ْ‫ض فِي ِستَّ ِة أَي ٍَّام ثُ َّم ا ْستَ َوى َعلَى ْال َعر‬
‫ش‬ َ ْ‫ت َواألَر‬ َ َ‫ إِ َّن َربَّ ُك ُم هّللا ُ الَّ ِذي خَ ل‬:‫)وجل في سورة يونس‬...
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬

“Para ahli hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwasannya Allah subhaanahu wa


ta’ala berada di atas tujuh langit, di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Kitab-
Nya dalam surat Yuunus : ‘Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur
segala urusan’ (QS. Yuunus : 3)…” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 44, tahqiq :
Abul-Yamiin Al-Manshuuriy;  Daarul-Minhaaj, Cet. 1/1423 H].

25.   Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah (w. 463 H).

‫ وه(و من حججهم على‬،‫ كم((ا ق(الت الجماع((ة‬،‫ في السماء على العرش من فوق س(بع س((موات‬- ‫ عز وجل‬- ‫وفيه دليل على أن هللا‬
‫ والدليل على صحة ما قالوه أه((ل الح((ق في‬،‫ وليس على العرش‬،‫ في كل مكان‬- ‫ عز وجل‬- ‫ في قولهم إن هللا‬،‫المعتزلة والجهمية‬
‫ وقال جل ذكره {سبح اسم رب((ك‬...}‫وقوله {إليه يصعد الكلم الطيب‬...}‫ {الرحمن على العرش استوى‬- ‫ عز وجل‬- ‫ذلك قول هللا‬
‫األعلى} وهذا من العلو‬...

“Padanya terdapat dalil bahwasannya Allah ‘azza wa jallaa berada di langit di atas ‘Arsy,


dari atas tujuh langit sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Dan
hadits tersebut (yaitu hadits nuzuul – Abul-Jauzaa’) merupakan hujjah mereka terhadap
Mu’tazilah dan Jahmiyyah atas perkataan mereka : ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla ada
di setiap tempat, dan tidak berada di atas ‘Arsy’. Dalil atas kebenaran apa yang dikatakan
oleh ahlul-haq (orang-orang yang menetapi kebenaran) terhadap permasalahan tersebut
adalah firman Allah ‘azza wa jalla : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam
[214]
di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5), dan firman-Nya : ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan
yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10), dan firman-Nya :
‘Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi’ (QS. Al-A’laa : 1). Dan ini termasuk
sifat Al-‘Ulluw....” [At-Tamhiid, 7/129-131 dengan peringkasan – melalui perantaraan
kitab ‘Aqiidatu Al-Imaam Ibni ‘Abdil-Barr fit-Tauhiid wal-Iimaan, oleh Sulaimaan bin
Shaalih Al-Ghushn, hal. 318; Daarul-‘Aashimah, Cet. 1/1416 H].

26.   Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah (w. 620 H).

‫ وأجم((ع على ذل(ك جمي((ع العلم(اء من الص(حابة‬،‫فإن هللا تعالى وصف نفسه بالعلو في السماء ووصفه ب((ذلك محم((د خ(اتم األنبي((اء‬
‫ وتواترت األخبار بذلك على وجه حصل به اليقين‬،‫األتقياء واألئمة من الفقهاء‬

“Sesungguhnya Allah ta’ala telah mensifatkan diri-Nya dengan al-‘ulluw (ketinggian) di atas


langit, dan juga telah mensifatkan-Nya dengan hal itu Muhammad penutup para Nabi.
Seluruh ulama dari kalangan shahabat yang bertaqwa dan para imam
kalangan fiqahaa’ telah bersepakat tentang hal itu (ketinggian Allah di atas langit). Dan
telah mutawatir hadits-hadits yang berkenaan dengannya yang menghasikan keyakinan...”
[Itsbaatu Shifatil-‘Ulluw oleh Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy, hal. 63, tahqiq : Dr. Ahmad bin
‘Athiyyah Al-Ghaamidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1409 H].

27.   Abu ‘Abdillah Al-Qurthubiy rahimahullah (w. 671 H).

‫ بائن من جميع خلقه هذا جملة مذهب السلف الصالح فيما نقل‬،‫ بال كيف‬،‫ وعلى لسان نبيه‬،‫أن هللا على عرشه كما أخبر في كتابه‬
‫عنهم الثقات‬

“Bahwasannya ‘Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Ia khabarkan dalam


kitab-Nya dan melalui lisan Nabi-Nya, dan terpisah dari seluruh makhluk-Nya. Ini
merupakan perkataan madzhab as-salafush-shaalih yang dinukil oleh para
perawi tsiqaat dari mereka” [Al-Asnaa fii Syarh Al-Asmaail-Husnaa, 2/132 – melalui
perantaraan muqaddimah muhaqqiq kitab Khalqu Af’alil-‘Ibaad lil-Bukhaariy, 1/171;
Daarul-Athlas, Cet. 1/1425 H].

Ketinggian Allah di atas langit-langit-Nya adalah sesuatu yang sangat jelas dan sangat
mudah dipahami oleh generasi salaf. Bahkan budak wanita yang tidak terpelajar pun
paham, ketika ia ditanya : ‘Dimanakah Allah ?’, maka ia menjawab : ‘Di atas langit’.

‫ حدثنا إسماعيل بن إب((راهيم عن حج((اج‬:‫ وأبو بكر بن أبي شيبة (وتقاربا في لفظ الحديث) قاال‬،‫حدثنا أبو جعفر محمد بن الصباح‬
...... :‫ عن معاوي((ة بن الحكم الس((لمي؛ ق((ال‬،‫ عن عط((اء بن يس((ار‬،‫ عن هالل بن أبي ميمون((ة‬،‫ عن يحيى بن أبي كث((ير‬،‫الصواف‬
‫ وأنا رج((ل‬.‫ فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [الذئب؟؟] قد ذهب بشاة من غنمها‬.‫وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية‬

[215]
!‫ ي((ا رس((ول هللا‬:‫ قلت‬.‫ فأتيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فعظم ذلك علي‬.‫ لكني صككتها صكة‬.‫ آسف كما يأسفون‬.‫من بني آدم‬
.‫ قال "أعتقه((ا‬.‫ أنت رسول هللا‬:‫ قال "من أنا؟" قالت‬.‫ في السماء‬:‫ فقال لها "أين هللا؟" قالت‬.‫أفال أعتقها؟ قال "ائتني بها" فأتيته بها‬
‫"فإنها مؤمنة‬.

Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ash-Shabbaah dan Abu Bakr
bin Abi Syaibah (yang keduanya berdekatan dalam lafadh hadits tersebut), mereka berdua
berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Hajjaaj Ash-
Shawaaf, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Hilaal bin Abi Maimuunah, dari ‘Athaa’ bin
Yasaar, dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata : “…..Aku mempunyai
seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku ke arah gunung Uhud dan
Jawwaaniyyah. Pada suatu hari aku memantaunya, tiba-tiba ada seekor serigala yang
membawa lari seekor kambing yang digembalakan budakku itu. Aku sebagaimana manusia
biasa pun marah sebagaimana orang lain lain marah (melihat itu). Namun aku telah
menamparnya, lalu aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun
menganggap besar apa yang telah aku lakukan. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, apakah
aku harus memerdekakannya ?’. Beliau menjawab : ‘Bawalah budak wanita itu kepadaku’.
Aku pun membawanya kepada beliau. Lalu beliau bertanya kepada budak wanita itu :
‘Dimanakah Allah ?’. Ia menjawab : ‘Di langit’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah aku ?’. Ia
menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun bersabda : ‘Bebaskanlah,
sesungguhnya ia seorang wanita beriman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 537 – lihat
bahasannya di sini].

Begitu juga dengan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu yang berisyarat ke langit


ketika berbicara tentang Allah ta’ala.

‫ ي((ا أم((ير المؤم((نين ل((و ركبت‬: ‫ لما قدم عمر الشام استقبله الناس وهو على البعير فق((الوا‬: ‫حدثنا وكيع عن إسماعيل عن قيس قال‬
‫ وأشار بيده إلى السماء‬- ‫ إنما االمر من هنا‬، ‫ ال أراكم ههنا‬: ‫ فقال عمر‬، ‫برذونا يلقاك عظماء الناس ووجوههم‬

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika ‘Umar
baru datang dari Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu itu masih di
atas onta tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau
mengendarai kuda tunggangan yang tegak, niscaya para pembesar dan tokoh-tokoh
masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah kalian lihat,
bahwasannya perintah itu datang dari sana ? – Dan ia (‘Umar) berisyarat dengan tangannya
ke langit” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/40; shahih].

Namun, datanglah kemudian generasi yang tersibukkan dengan ilmu filsafat/kalam.


Mereka menolak pemahaman generasi salaf tentang keberadaan Allah di atas langit.
[216]
Mereka pun membuat aneka macam teori yang membingungkan. Jika kita mengatakan
Allah berada di atas langit ketujuh dan di atas ‘Arsy-Nya, maka – kata mereka - itu sama
saja Allah membutuhkan tempat. Lalu dengan lancangnya mereka kemudian berfatwa
untuk ‘melarang’ pelaziman perkataan : ‘Dimanakah Allah (ainallah) ?’. Ini adalah sebodoh-
bodoh pemahaman. Abu Muhammad ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiyrahimahullah (w. 600 H)
berkata :

‫ بعد ما تصريح صاحب الشريعة بقول((ه‬،‫ أين هللا‬: ‫ وأضل سبيال ممن يقول إنه ال يجوز أن يقول‬،‫ وأسخف عقال‬،‫ومن أجهل جهال‬
‫![إين هللا] ؟‬.

“Dan termasuk kebodohan yang paling bodoh, akal yang paling lemah, dan jalan yang
paling sesat adalah orang yang mengatakan tidak diperbolehkannya untuk berkata :
‘Dimanakah Allah ?’, setelah adanya kejelasan dari shaahibusy-syarii’ah (yaitu
Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam) dengan sabdanya : ‘Dimanakah Allah ?” [Al-Iqtishaad fil-
I’tiqaad oleh ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy, hal. 89, tahqiq : Dr. Ahmad bin ‘Athiyyah Al-
Ghaamidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1414 H].

Seandainya mereka (ahli kalam) ditanya : ‘Dimanakah Allah ?’, mereka akan menjawab :
‘Allah itu tidak di langit, tidak di bumi, tidak di atas, tidak di bawah, tidak di dalam alam,
tidak di luar alam.

Lantas dimanakah sebenarnya Allah itu menurut mereka ?.

Dan mereka (ahli kalam) mengatakan bahwa jika kita menetapkan bahwa Allah ta’alaada di
atas, di atas langit, dan di atas ‘Arsy-Nya; maka itu sama saja menyamakan
Allah ta’ala dengan makhluk. Akhirnya, Ahlus-Sunnah mereka gelari dengan gelaran-
gelaran buruk seperti mujassim atau musyabbih.

Adz-Dzahabiy rahimahullah (w. 748 H) berkata :

‫ وأن هللا‬،‫ وأن هللا على الع(رش‬،‫ أن هللا ع(ز وج(ل في الس(ماء‬،‫مقالة السلف وأئمة السنة بل والص(حابة وهللا ورس(وله والمؤمن(ون‬
‫ وحجتهم على ذلك النصوص واآلثار‬،‫ وأنه ينزل إلى السماء الدنيا‬،‫فوق سماواته‬.

‫ ب(((ل ه(((و معن(((ا أينم(((ا كن(((ا بعلمه‬،‫ تع(((الى هللا عن ق(((ولهم‬،‫( أن هللا تب(((ارك وتع(((الى في جمي(((ع األمكن(((ة‬:‫ومقال(((ة الجهمي(((ة‬.
‫ وال داخ((ل‬،‫ وال في األرض‬،‫ وال على الس((موات‬،‫ وال على الع((رش‬،‫( أن هللا تع((الى ليس في الس((ماء‬:‫ومق((ال مت((أخري المتكلمين‬
‫ جميع هذه األشياء صفات األجس((ام وهللا تع((الى م((نزه عن‬:‫ وال هو بائن عن خلقه وال متصل بهم! وقالوا‬،‫ وال خارج العالم‬،‫العالم‬
‫!الجسم‬

[217]
‫ فإن ه((ذه‬،‫ وال نقول بقولكم‬...‫ وإن زعمتم‬،‫ ونقول ما ذكرناه اتباعا للنصوص‬،‫ نحن ال نخوض في ذلك‬:‫قال لهم أهل السنة واألثر‬
‫ من أن((ه‬،‫ موصوف بما وصف ب((ه نفس((ه‬،‫ بل هو موجود متميز عن خلقه‬،‫ تعالى هللا جل جالله عن العدم‬،‫السلوب نعوت المعدوم‬
‫فوق العرش بال كيف‬.

“Perkataan salaf dan para imam sunnah, bahkan para shahabat, Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman : Bahwasannya Allah ‘azza wa jalla di langit. Dan bahwasannya
Allah berada di atas ‘Arsy, di atas langit-langit-Nya. Ia turun ke langit dunia. Hujjah mereka
atas hal itu adalah nash-nash dan atsar-atsar.

Adapun perkataan Jahmiyyah : Allah tabaaraka wa ta’ala ada di seluruh tempat. Maha


Tinggi Allah dari perkataan mereka itu. Namun, Allah bersama kita di mana saja kita
berada dengan ilmu-Nya.

Dan perkataan ahli kalam kontemporer : Allah ta’ala tidak di langit, tidak di atas ‘Arsy,
tidak di atas langit-langit-(Nya), tidak di bumi, tidak berada di dalam alam, tidak di luar
alam, tidak terpisah dari makhluk-Nya, dan tidak pula melekat dengannya !. Mereka (ahli
kalam) berkata : ‘Semua hal ini merupakan sifat jism (tubuh), dan Allah ta’ala suci dari
sifat jism (tubuh)’.[2]

Orang-orang yang berpegang pada sunnah dan atsar (Ahlus-Sunnah wal-Atsar) berkata
kepada mereka : ‘Kami tidak akan berlarut-larut dalam hal itu. Kami mengatakan apa yang
telah kami sebutkan tentangnya, yaitu mengikuti nash-nash. Dan seandainya kalian
menyangkakan sesuatu, .... maka kami tidak akan berkata dengan perkataan kalian,karena
pernyataan-pernyataan tersebut adalah sifat-sifat bagi sesuatu yang tidak ada (ma’duum).
Maha Tinggi Allah jalla jalaaluhu dari ketiadaan. Bahkan Ia ada (maujuud) lagi terpisah dari
makhluk-Nya. Allah disifati dengan apa-apa yang Ia sifatkan dengannya bagi diri-Nya,
bahwasannya Ia di atas ‘Arsy tanpa perlu ditanyakan ‘bagaimana’” [Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-
Ghaffaar oleh Adz-Dzahabiy, hal. 107, tashhiih : ‘Abdurrahmaan bin Muhammad ‘Utsmaan;
Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1388 H].

Adapun tentang tuduhan tasybiih, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah


menjelaskan :

‫ ولكن لفظ التش((بيه في‬,‫ ال في ذاته وال في صفاته وال في أفعاله‬,‫والمقصود هنا أن أهل السنة متفقون على أن هللا ليس كمثله شيء‬
‫ فإن خصائص الرب تعالى ال يماثله شيء‬,‫ ودل عليه العقل فهذا حق‬,‫ فإن أراد بنفي التشبيه ما نفاه القرآن‬,‫كالم الناس لفظ مجمل‬
,‫ وال قدرة وال حياة‬,‫ فال يقال له علم‬,‫ وإن أراد بالتشبيه أنه ال يثبت هلل شيء من الصفات‬,.....‫من المخلوقات في شيء من صفاته‬
‫ وك((ذلك في كالم((ه وس((معه‬,‫ قدير ألن العبد يسمى بهذه األسماء‬,‫ عليم‬,‫ حي‬:‫ألن العبد موصوف بهذه الصفات فيلزم أن ال يقال له‬
‫وبصره ورؤيته وغير ذلك‬......

[218]
“Dan yang dimaksud di sini, Ahlus-Sunnah sepakat bahwa tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Allah. Tidak dalam Dzaat-Nya, sifat-Nya, ataupun perbuatan-perbuatan-Nya.
Akan tetapi lafadh tasybiih dalam perkataan manusia adalah lafadh yang mujmal. Apabila
yang diinginkan dengan penafikan tasybiih adalah apa-apa yang dinafikkan Al-Qur’an dan
ditunjukkan oleh akal (sehat), maka ini benar. Hal ini dikarenakan kekhususan-kekhususan
Rabb ta’ala tidaklah disamai sesuatupun dari makhluk-makhluk,.... Dan apabila yang
diinginkan dengan tasybiih tersebut bahwa tidak ada satu pun sifat yang boleh ditetapkan
untuk Allah, sehingga tidak boleh dikatakan pada-Nya ilmu, qudrah, dan hidup, karena
hamba juga disifati dengan sifat-sifat ini; maka ia mengkonsekuenskan tidak boleh
dikatakan pada-Nya : Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengetahui, dan Maha Berkuasa,
karena hamba juga dinamai dengan nama-nama ini. Begitu juga halnya dengan firman-Nya,
pendengaran-Nya, pengelihatan-Nya, ru’yah-Nya, dan yang lainnya.....” [Minhajus-Sunnah,
melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabiy oleh Al-Albaaniy, hal. 68; Al-
Maktab Al-Islaamiy, Cet. 2/1412 H].

Tasybih menurut pemahaman Ahlus-Sunnah tidaklah seperti yang mereka sangka.

‫ َس( ْم ٌع َك َس( ْم ٍع أَوْ ِم ْث( ُل‬:‫(ال‬َ َ‫ فَإ ِ َذا ق‬،‫ يَ ٌد َكيَ ٍد أَوْ ِم ْث ُل يَ ٍد أَوْ َس ْم ٌع َك َس ْم ٍع أَوْ ِم ْث ُل َس ْم ٍع‬:‫ إِنَّ َما يَ ُكونُ التَّ ْشبِيهُ إِ َذا قَا َل‬:‫ال إِ ْس َحاق بْنُ إِ ْب َرا ِهي َم‬
َ َ‫وق‬
‫ فَهَ( َذا اَل‬،‫ َواَل يَقُو ُل ِم ْث ُل َس( ْم ٍع َواَل َك َس( ْم ٍع‬، َ‫ص ٌر " َواَل يَقُو ُل َك ْيف‬ َ َ‫ " يَ ٌد َو َس ْم ٌع َوب‬:‫ َك َما قَا َل هَّللا ُ تَ َعالَى‬:‫ َوأَ َّما إِ َذا قَا َل‬،ُ‫َس ْم ٍع فَهَ َذا التَّ ْشبِيه‬
ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوه َُو ال َّس ِمي ُع ْالب‬
‫صي ُر‬ َ ‫ لَي‬:‫ال هَّللا ُ تَ َعالَى فِي ِكتَاب ِه‬
َ َ‫ َوهُ َو َك َما ق‬،‫يَ ُكونُ تَ ْشبِيهًا‬

Dan Ishaaq bin Rahawaih berkata : “Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu
mengatakan : ‘Tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti
pendengaran (makhluk)”. Jika ia berkata : ‘Pendengaran (Allah) seperti pendengaran
(makhluk)’, maka inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang
mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak
mengatakan : ’bagaimana’ dan tidak pula mengatakan ’seperti’ pendengaran makhluk;
maka itu tidak termasuk tasybih. Dan itu sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat (QS. Asy-Syuuraa : 11)”  [Sunan At-Tirmidziy, 2/43, tahqiq : Basyaar ‘Awwaad
Ma’ruuf; Daarul-Gharb Al-Islaamiy, Cet. 1/1996 M].

Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah berkata :

‫ وال‬،-‫( أو الق((وتين؛ تحري((ف المعتزل((ة والجهمي((ة – أهلكهم هللا‬،‫ بحم((ل الي((دين على النعم((تين‬،‫وال يحرف((ون الكالم عن مواض((عه‬
‫ تشبيه المشبهة –خذلهم هللا‬،‫ أو يشبهونهما بأيدي المخلوقين‬،‫يكيفونهما بكيف‬-

[219]
“Dan tidak mentahrif (merubah) perkataan dari tempatnya, (seperti misal) dengan
membawa makna ‘dua tangan’ pada makna ‘dua nikmat’ atau ‘dua kekuatan’
sebagaimana tahrif kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyyah – semoga Allah membinasakan
mereka - . Tidak pula men-takyif-nya dengan (pertanyaan) ‘bagaimana’, atau men-tasybih-
nya dengan tangan kedua makhluk seperti tasybih-nya kelompok Musyabbihah – semoga
Allah tidak memberi pertolongan kepada mereka – “ [Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits,
hal. 37].

Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :

،‫ يد ال تش(به األي(دي‬:‫ وأما إذا قيل‬... ‫ ي ٌد كيدنا‬:‫ فإن التشبيه إنما يقال‬،‫ليس يلزم من إثبات صفاته شيء من إثبات التشبيه والتجسيم‬
ّ ‫كما‬
‫ فإن ذلك تنزيه‬،‫ وبصره ال يشبه األبصار وال فرق بين الجمع‬،‫ وسمعه ال يشبه األسماع‬،‫أن ذاته ال تشبه الذوات‬

“Tidaklah penetapan sifat-sifat-Nya mengkonsekuensikan adanya


penetapan tasybiih dantajsiim, karena tasybiih itu hanyalah jika dikatakan : ‘tangan seperti
tanganku’...... Adapun jika dikatakan : ‘tangan namun tidak menyerupai tanganku’,
sebagaimana Dzaat-Nya tidak menyerupai dzat-dzat makhluk, pendengaran-Nya tidak
menyerupai pendengaran-pendengaran makhluk, dan penglihatan tidak menyerupai
penglihatan-penglihatan makhluk, maka itulah yang disebut tanziih” [Al-Arba’iin min
Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabiy, hal. 104, tahqiq : ‘Abdul-Qaadir ‘Athaa’;
Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1413 H].

Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :

‫ وأق ّر أنه ليس كمثله شيء‬،‫و ُمحا ٌل أن يكون َمن قال عن هللاِ ما هو في كتابه منصوصٌ ُمشبهًا إذا لم يُكيّف شيئا‬

“Dan tidaklah mungkin terjadi pada orang yang berbicara tentang Allah sesuatu yang
ternashkan dalam kitab-Nya disebut sebagai musyabbih, ketika ia tidak men-takyif-nya
sedikitpun dan mengatakan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya” [Al-
Istidzkaar oleh Ibnu ‘Abdil-Barr, 8/150, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Mu’thiy Al-Qal’ajiy; Daar
Qutaibah, Cet. 1/1414 H].

Kembali ke bahasan, penetapan bahwa Allah dengan Dzat-Nya mempunyai sifat ketinggian
di atas semua makhluk-Nya itu tidaklah mengkonsekuensikan tasybiih hanya karena ada
sebagian kesamaan bahwa sifat tinggi juga dimiliki oleh makhluk-Nya. Hanya saja,
ketinggian Allah adalah ketinggian yang sempurna yang tidak ada sesuatu pun yang
menyamainya.

[220]
[1]      Karena yang bersama hamba-Nya itu adalah ilmu-Nya.

[2]      Jika Anda perhatikan, apa yang dikatakan Adz-Dzahabiy tentang ahli kalam ini
merupakan realitas perkataan Asyaa’irah. Lebih-lebih, ketika mereka membantah Ahlus-
Sunnah yang mereka sebut dengan Wahabiy !.

Allah lebih dekat dari urat leher

Tanya : Apa makna dua ayat berikut :

‫َونَحْ نُ أَ ْق َربُ إِلَ ْي ِه ِم ْن َح ْب ِل ْال َو ِري ِد‬

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” [QS. Qaaf : 16].

‫َونَحْ نُ أَ ْق َربُ إِلَ ْي ِه ِمن ُك ْم‬

“Dan Kami lebih dekat dengannya daripada kamu” [QS. Al-Waqi’ah : 85].

Apakah ini menunjukkan bahwa Allah memang dekat dan “menyatu” dengan diri kita ?

Jawab : Makna kedekatan dalam dua ayat di atas tidaklah bermakna bahwa Allah menyatu
dengan hambanya (Al-Hulul/Wahdatul-Wujud). Ini adalah aqidah bathil. Makna kedekatan
dalam dua ayat tersebut adalah kedekatan malaikat terhadap manusia. Perinciannya
adalah sebagai berikut :

§   Pada ayat pertama (QS. Qaaf : 16), sifat “dekat” dibatasi pengertiannya dengan penunjukkan
ayat tersebut. Selengkapnya, ayat di atas lengkapnya berbunyi :

[221]
ِ ‫َولَقَ ْد خَ لَ ْقنَا ا ِإلن َسانَ َونَ ْعلَ ُم َما تُ َوس ِْوسُ بِ ِه نَ ْف ُسهُ َونَحْ نُ أَ ْق َربُ إِلَ ْي ِه ِم ْن َح ْب ِل ْال َو ِري ِد* إِ ْذ يَتَلَقّى ْال ُمتَلَقّيَا ِن َع ِن ْاليَ ِم‬
ِ ‫ين َوع َِن ال ّش َم‬
‫ال قَ ِعي ٌد‬
‫* ّما يَ ْلفِظُ ِمن قَوْ ٍل إِالّ لَ َد ْي ِه َرقِيبٌ َعتِي ٌد‬

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya; (yaitu) ketika dua
orang malaikat mencatat amal perbuatannya, yang satu duduk di sebelah kanan dan yang
lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan (seseorang) melainkan
ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” [QS. Qaaf : 16-18].

ِ َ‫ ]إِ ْذ يَتَلَقّى ْال ُمتَلَقّي‬: “(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal
Firman Allah [‫(((ان‬
perbuatannya” ; adalah dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas
adalah dekatnya dua malaikat yang mencatat amal.

§   Pada ayat kedua (QS. Al-Waqi’ah : 85), kata “dekat” di situ berkaitan dengan keadaan
seseorang yang sakaratul-maut. Padahal yang hadir dalam sakaratul-maut adalah para
malaikat berdasarkan firman Allah ta’ala :

ُ ْ‫َحتّ َى إِ َذا َجآ َء أَ َح َد ُك ُم ْال َمو‬


َ‫ت تَ َوفّ ْتهُ ُر ُسلُنَا َوهُ ْم الَ يُفَ ّرطُون‬

“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, malaikat-
malaikat Kami akan mewafatkannya, dan malaikat-malaikat Kami itu tidakakan melalikan
kewajibannya” [QS. Al-An’am : 61].

Sehingga, …. kedekatan yang dimaksud adalah kedekatan malaikat maut yang diutus Allah
untuk mencabut nyawa seorang hamba.

Adapun Allah adalah berada di atas langit dan bersemayam (istiwa’) di atas ‘Arsy,
sebagaimana firman-Nya :

ِ ‫أَ ْم أَ ِمنتُ ْم ّمن فِي ال ّس َمآ ِء أَن يُرْ ِس َل َعلَ ْي ُك ْم َحا‬


ِ ‫صبا ً فَ َستَ ْعلَ ُمونَ َك ْيفَ نَ ِذ‬
‫ير‬

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit kalau Dia hendak menjungkir-
balikkan bumi beserta kamu sekalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang” [QS.
Al-Mulk : 16].

ِ ْ‫الرّحْ َمـَنُ َعلَى ْال َعر‬


َ ‫ش ا ْستَ َو‬
‫ى‬

“Ar-Rahman (Allah) beristiwaa’ di atas ‘Arsy” [QS. Thaha : 5].

Dalam Shahih Al-Bukhari di Bab Firman Allah : Wa kaana ‘Arsyuhu ‘alal-Maa’, Anas bin
Malik radliyallaahu ‘anhu menceritakan :

‫فكانت زينب تفخر على أزواج النبي صلى هللا عليه وسلم تقول زوجكن أهاليكن وزوجني هللا تعالى من فوق سبع سماوات‬

[222]
Adalah Zainab membanggakan dirinya atas istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, ia
berkata : “Yang menikahkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga-keluargamu, sedangkan
yang menikahkan aku adalah Allah ta’ala yang berada di atas tujuh langit”.

Dalam riwayat lain : Zainab binti Jahsy berkata :

‫إن هللا أنكحني في السماء‬

“Sesungguhnya Allah telah menikahkan aku (dengan Nabi) dari atas langit” [HR. Bukhari
8/176].

Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu berkata :

‫والعرش على الماء وهللا على العرش يعلم ما أنتم عليه‬

‘Arsy itu di atas air dan Allah di atas ‘Arsy. Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan”
[Dikeluarkan oleh Imam Thabrani dari Al-Mu’jamul-Kabiir nomor 8987, dengan sanad
shahih].

Wallahu a’lam.

[223]
Dialog-dialog
Ustadz Abu Al-Jauza Yth.

Mohon kiranya diberikan penjelasan mengenai hukum atsar dibawah ini menurut
pendapat Ulama Mutaqadimin/Mutaakhirin.

1. Atsar Kharijah bin Mus'ab disebut oleh Imam Abdullah bin Imam Ahmad (wafat:
290H) di dalam kitabnya 'Al-Sunnah'.

‫حدثني أحمد بن سعيد أبو جعفر الدارمي قال سمعت أبي قول سمعت خارجة يقول الجهمية كفار بلغوا نساءهم انهن‬
‫طوالق وانهن ال يحللن الزواجهن ال تعودوا مرضاهم وال تشهدوا جنائزهم ثم تال طه ما أنزلنا عليك القرآن لتشقى الى‬
‫قوله عزوجل الرحمن على العرش استوى وهل يكون االستواء اال بجلوس‬

(kitab: Al-Sunnah 2/105-106)

2. Atsar dari Wakie', disebut juga oleh Imam Abdullah bin Imam Ahmad (wafat:
290H) dalam Al-Sunnah.

‫حدثني أبي نا وكيع بحديث إسرائيل عن أبي إسحاق عن عبدهللا بن خليفة عن عمر رضي هللا عنه قال إذا جلس الرب‬
‫عز و جل على الكرسي فاقشعر رجل سماه أبي عند وكيع فغضب وكيع وقال أدركنا االعمش وسفيان يحدثون بهذه‬
‫االحاديث ال ينكرونها‬

(kitab: Al-Sunnah 1/302)

kalau memungkinkan penjelasan Ulamanya dijelaskan dalam bahasa Indonessia


juga, supaya para netters yang belum belajar bahasa Arab bisa mengambil
manfaatnya.

Jazakallah Ustadz

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

[224]
1. Atsar pertama sanadnya sangat lemah, karena Khaarijah adalah kadzdzaab dan
Sa'iid bin Sakhr majhul.

2. Atsar kedua sanadnya lemah. Semua perawinya tsiqat kecuali 'Abdullah bin
Khaliifah, ia berstatus maqbul. Selain itu, sebagian ulama mengkritik penyimakan
riwayat 'Abdullah bin Khaliifah dari 'Umar. Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Afwan "akh"...(hmm, masih canggung dgn panggilan ini)...

Bukan kah di akhir hayatnya Imam Abul Hasan Al Asy'ari rohimahulloh telah ruju'
kepada pemahaman salafushsholih dlm hal tauhid asma wa shifat?

Lantas, apa masih tepat penisbatan "Asy'ariyah" utk orang-orang yg suka menta'wil
shifat tangan, mata, dan turun..bagi Alloh Subhanahu wa Ta'ala?

-ibn ruhadi-

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Yang pertama adalah benar, bahwa Abul-Hasan Al-Asy'ariy telah rujuk kepada
pemahaman Ahlus-Sunnah sebagaimana dinukil banyak ulama.

Adapun yang kedua, maka di sini penghukumannya menurut keumumannya.


Maksudnya, ketika disebut Asy'ariyyah/Asyaa'irah, semua orang telah tahu bahwa
maksudnya adalah mereka yang menakwilkan sifat-sifat Allah - walau pada
kenyataannya bertentangan dengan 'aqidah Abul-Hasan Al-Asy'ariy.

Dalam kitab para ulama pun disebut demikian. Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Jazakallohu khoyr atas jawabannya.

-ibn ruhadi-

[225]
Anonim mengatakan...

Bagaimana dengan pendapat abu hanifah tentang Allah ada tanpa tempat.

Mohon pencerahan.

“Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau barada di
bumi maka ia telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam itu memberikan
pemahaman bahwa Allah bertempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah
bertempat maka ia adalah seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan
makhuk-Nya” (Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini dikutip oleh banyak ulama. Di
antaranya oleh al-Imam Abu Manshur al-Maturidi dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, al-
Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam Hall ar-Rumuz, al-Imam Taqiyuddin al-Hushni
dalam Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad, dan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i
dalam al-Burhan al-Mu’yyad)

Gandung.
di Pulisen.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tempat, jika yang dimaksudkan adalah ruang yang melingkupi sesuatu; maka di sini
kita katakan Allah tidaklah dilingkupi oleh tempat (Allah tidak bertempat). Karena,
Allah adalah Maha Besar dan tidak ada satu pun makhluk yang dapat melingkupi-
Nya. Inilah yang dinafikkan para ulama, bahwa Allah tidak bertempat.

Namun jika tempat di sini maksudnya menunjukkan keberadaan Allah di atas langit,
maka ini adalah benar; sebab Allah sendiri telah berfirman :

‫س‬ َ ‫طلُبُهُ َحثِيثًا َوال َّش ْم‬ ْ َ‫ش يُ ْغ ِشي اللَّي َْل النَّهَا َر ي‬
ِ ْ‫ض فِي ِستَّ ِة أَي ٍَّام ثُ َّم ا ْستَ َوى َعلَى ْال َعر‬
َ ْ‫ت َواألر‬ َ َ‫إِ َّن َربَّ ُك ُم هَّللا ُ الَّ ِذي َخل‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬
‫ت بِأ َ ْم ِر ِه‬
ٍ ‫َو ْالقَ َم َر َوالنُّجُو َم ُم َس َّخ َرا‬

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari,
bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya” [QS. Al-

[226]
A’raaf : 54].

dan ayat-ayat lainnya.

Inilah yang ditetapkan salaf. Silakan baca artikel : http://abul-


jauzaa.blogspot.com/2010/06/shahih-hadits-muawiyyah-bin-al-hakam.html?
showComment=1286529263413 dan http://abul-
jauzaa.blogspot.com/2009/06/allah-berada-di-atas-punggung-delapan.html.

Intinya, tempat tidaklah ditetapkan atau dinafikkan secara mutlak. Wallaahu a'lam.

Ardi S mengatakan...

Ustadz Abu al-Jauza Yth

Untuk dalil keempat saya tidak paham siapa-siapa yang berbicara, dan saya
temukan terjemahan dari situs lain yang cukup berbeda:

-----
‘Ubaidullah bin Miqsam : Bahwasannya ia melihat kepada ‘Abdullah bin ‘Umar
bagaimana ia menirukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : “Allah
‘azza wa jalla memegang langit-langit-Nya dan bumi-bumi-Nya dengan tangan-Nya,
lalu berfirman : ‘Aku adalah Allah’ – lalu Ibnu ‘Umar menggenggam jari jemarinya
dan membentangkannya - . Aku adalah Raja – hingga aku (Ibnu Umar) melihat ke
mimbar bergerak/goyang di bagian bawah karena sesuatu darinya. Hingga aku
(Ibnu Umar) pun ingin berkata : “Apakah akan jatuh menimpa
rasulullah?” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2788].
--------

Mohon penjelasannya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Aku di situ adalah perawi yang melihat Ibnu 'Umar sedang menirukan Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam berkhutbah. 

[227]
Jadi Ibnu 'Umar sedang berkhutbah dengan menirukan perkataan dan gerakan
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, hingga perawi menyangka ia bahwa Ibnu
'Umar telah menggantikan beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam berkhutbah,
karena saking persisnya ia dengan beliau.

wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

ust, bgmn mengkompromikan ijma ttg Allah ta'ala berada di atas langit dengan ayat
yg menyebutkan Allah turun ke langit dunia, allah sedekat urat leher dll.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Allah berada di atas langit-langit-Nya yang tujuh, dan setiap 1/3 malam terakhir,
Allah turun ke langit dunia menurut yang Ia kehendaki.

Adapun tentang kedekatan dengan urat leher, silakan baca : 

ALLAH LEBIH DEKAT DARIPADA URAT LEHER.

semoga ada manfaatnya.

wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaykum ustadz,

apakah benar sikap ibnu hibban terhadap hadits-hadits sifat Allah sebagaimana
yang di nukil oleh blog ini, http://umarmnoor.blogspot.com/2011/05/ibn-hibban-
dan-hadis-hadis-sifat.html#comment-form

Anonim mengatakan...

Ubaidullah bin Miqsam : Bahwasannya ia melihat kepada ‘Abdullah bin ‘Umar


bagaimana ia menirukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : “Allah
‘azza wa jalla memegang langit-langit-Nya dan bumi-bumi-Nya dengan tangan-Nya,
[228]
lalu berfirman : ‘Aku adalah Allah’ – lalu Ibnu ‘Umar menggenggam jari jemarinya
dan membentangkannya - . Aku adalah Raja – hingga aku (Ibnu Umar) melihat ke
mimbar bergerak/goyang di bagian bawah karena sesuatu darinya. Hingga aku
(Ibnu Umar) pun ingin berkata : “Apakah akan jatuh menimpa rasulullah?”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2788].

Apakah ini hadist shahih ? 

Jazakallah khoiron

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kata Al-Imaam Muslim shahih.

Anonim mengatakan...

Ustdz Abul Jauza


saya dulu aqidah asy'ariyah, skrg belajar aqidah salaf, tapi masih ada yang
mengganjal dan bingung. an nukilkan pendapat2 ulama berikut. an dapet dari
internet. bisa minta klarifikasi.ni murni untuk minta penjelasan,soalnya ada nama
shohabah yang dicatut. apakah benar demikian?
syukron.
1. Ibnu Jarir berkata dalam Tafsir Jâ mi’ al Bayâ n; 3/7.

“Ahli takwil berselisih tentang makna al-Kursiy. Sebagian dari mereka berkata ia
adalah ilmu Allah -Ta’alâ -.

Dzikru, sebutan tentang orang yang berpendapat demikian:


... ... ...
Abu Kuraib dan Salami ibn Jinadah dari Ibnu Idris dari Mathraf dari Ja’far ibn Abi al
Mughirah dari Sa’id ibn Jubair dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

‫ علمه‬- ‫كرسيه‬

“Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.”

Ya’qub ibn Ibrahim dari Hasyîm dari Mathraf dari Ja’far ibn Abi al Mughirah dari
[229]
Sa’id ibn Jubair dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu:

‫ علمه‬- ‫كرسيه‬

“Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.”

Tidakkah engkau memerhatikan firman-Nya:

‫َو الَ يَ ُؤوْ ُدهُ ِح ْفظُهُ َما‬

“dan Ia tidak merasa berat memelihara keduanya.”

Anonim mengatakan...

lalu yang lain...


2. al-Imam al-Bukhari mengatakan dalam Shahih Bukhari:
ُ‫ك إِالَّ َوجْ هَهُ اَيْ ُم ْل َكه‬
ٌ ِ‫بَابُ – ُكلُّ َش ْي ٍء هَال‬

Artinya, “Bab tentang ayat : Segala sesuatu akan hancur kecuali Wajah-Nya, artinya
Kekuasaan-Nya.”
3. Imam Malik dan Imam Ahmad mentakwilkan ayat berikut:
Firman Allah Taala berbunyi:
Dan datanglah Tuhanmu.
(Surah al-Fajr: Ayat 22).
Imam Ahmad mentakwikan ayat al-Quran al-Karim di atas dengan makna: Dan
datanglah pahala dari Tuhan. (al-Bidayah wa al-Nihayah karangan Imam Ibnu
Katsir).
4. Imam Malik mentakwilkan sebuah hadis (riwayat al-Bukhari) tentang turunnya
Tuhan pada waktu tengah malam dengan turunnya perintah-Nya. ( Siyar Alam al-
Nubala : Imam al-Dzahabi)
5. Imam Sufyan al-Tsauri mentakwilkan ayat istiwa (surah al-Baqarah: Ayat 29)
dengan maksud berkehendak menciptakan langit. (Jami' al-Bayan : Ibnu Jarir al-
Thabari).
6. Imam al-Bukhari mentakwilkan sebuah hadis (riwayat al-Bukhari dan Muslim)
tentang Allah SWT tertawa dengan maksud rahmat Allah SWT. (al-Asma wa al-Sifat :
Imam al-Baihaqi)
[230]
Anonim mengatakan...

8. Firman Allah Ta’ala tentang ‘tangan’:

ٌ‫ت ْاليَهُو ُد يَ ُد هَّللا ِ َم ْغلُولَة‬


ِ َ‫َوقَال‬

“Dan orang Yahudi berkata: tangan Allah terbelenggu ..”


... 
Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:

“Maknanya bukanlah tangan Allah terikat, tetapi mereka mengatakan:


Sesungguhnya Allah Ta’ala bakhil, lantaran telah menahan apa-apa yang ada
padaNya, Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang
besar.”

Sementara Qatadah Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:

“Ada pun tentang firmanNya, Tangan Allah Terbelenggu, mereka mengatakan:


“Allah itu bakhil tidak dermawan.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari,Jami’ul
Bayan fi Ta’wilil Quran, 10/452-453) 
9. Imam Ibnu Katsir telah menyebutkan, dari Ibnu Abbas tentang makna
‘terbelenggu’: yakni bakhil. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/146)

Anonim mengatakan...

lalu tambah lagi,(mav kalo banyak, karena nukilan2 ini, sempet buat an bingung,
semoga mau untuk menjawab)
11. Ayat lainnya:

“ Katakanlah: “Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah..” (QS. Ali Imran (3): 73)

Imam Ibnu Katsir menta’wil ayat ini, katanya:

“Yaitu semua urusan di bawah pengaturanNya. Dialah yang memberi dan menolak.
Dia memberikan karunia berupa ilmu, iman, dan seluruh tindakan kepada siapa saja
secara sempurna. Serta menyesatkan, membutakan penglihatannya dan mata

[231]
hatinya, menutup pendengarannya dan hatinya, dan menjadikan pada
pandangannya halangan, dan Dialah yang memiliki hujjah dan hikmah.” (Tafsir Al
Quran Al ‘Azhim, 2/60)
12. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

ٌ ِ‫ { ُكلُّ َش ْي ٍء هَال‬:‫وهكذا قوله ها هنا‬.


‫ إال إياه‬:‫ك إِال َوجْ هَهُ } أي‬

“Demikian juga, firmanNya di sini: “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya”,
yaitu kecuali DiriNya” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261)
13. Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan, tentang makna ‘Wajah Allah’:

‫ ” إنما نطعمكم لوجه هللا ” أي لرضائه وطلب‬:‫قال‬

)‫ (من بنى مسجدا يبتغي به وجه هلل بنى هللا له مثله في الجنة‬:‫ ومنه قوله صلى هللا عليه وسلم‬،‫ثوابه‬.

“Allah Ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian,


hanyalah demi wajah Allah.’ Yaitu demi ridhaNya, dan mencari pahalaNya, dari
itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa membangun
masjid dengan mengharap wajah Allah, maka akan Allah bangunkan baginya yang
seumpama itu di surga.” (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 2/84)
14. Imam Al Qurthubi juga mengatakan:

“Dan Yang tersisa hanyalah wajah Rabbmu, yaitu yang tersisa hanyalah Allah, wajah
merupakan ibarat (perumpamaan) dari wuudNya dan ZatNya yang Maha Suci.
Berkata seorang penyair:

“Telah ditetapkan atas hambaNya kematian, Segala sesuatu selainNya adalah binasa
(fana).”
... 
Inilah yang disetujui para muhaqqiq (peneliti) dari ulama kami, seperti: Ibnu Furak,
Abu Al Ma’ali, dan lainnya.
Ibnu Abbas mengatakan: Wajah merupakan ibarat dariNya, sebagaimana frmanNya:
“Dan yang tersisa hanyalah wajah Rabbmu yang memiliki keagungan dan
kemuliann.” Abul Ma’ali mengatakan: “Ada pun wajah maksudnya adalah menurut

[232]
imam-imam besar kami adalah wujud Allah Ta’ala, dan itulah yang disetujui oleh
guru kami.” (Al Jami' li Ahkamil Qur'an,, 17/165)

Anonim mengatakan...

Ayat lainnya:

‫غ لَ ُك ْم أَيُّهَا الثَّقَالن‬
ُ ‫َسنَ ْف ُر‬

“Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu Hai manusia dan jin.” (QS. Ar
Rahman: 31)
... 
Imam Ibnu Jarir berkata tentang ayat tersebut:

‫ فإنه وعيد من هللا لعباده وتهدد‬: ‫وأما تأويله‬

“Ada pun ta’wilnya adalah ancaman dari Allah dan menakut-nakuti.” Begitu pula
yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Adh Dhahak. (Jami’ul Bayan, 23/41-42)

Anonim mengatakan...

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/03/at-tafwidl.html

Ibnu Mas'ud tertawa berarti terlihat gigi gerahamnya seperti Rasulullah, tetapi
apakah Rasul tertawa dengan gigi gerahamnya itu berarti Allah juga tertawa dengan
gigi gerahamnya juga alias Allah punya gigi atau bagaimana ? Karena kan seperti Ar-
rab(Allah).

Mohon penjelasannya
Jazakallh khoiron

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Yang hendak dijelaskan di situ adalah tertawanya Allah itu dalam pengertian hakiki.
Anda bisa baca sabda beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam :

‫ أتهزؤ بي وأنت رب العزة‬:‫لضحك الرب حين قال‬

[233]
"“(Aku tertawa) karena tertawanya Ar-Rabb (Allah) saat hamba tadi
mengatakan : ‘Apakah Engkau memperolok-olokku padahal Engkau adalah
Rabbul-‘Izzah ?” [selesai].

Tentang perkataan Anda bahwa konsekuensinya Allah juga tertawa sampai


kelihatan gigi geraham-Nya, maka dalam hal ini Anda lah yang mentasybih. Tidak
ada keterangan dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bahwa tertawanya
Allah seperti tertawa beliau atau tertawanya Ibnu Mas'uud.

Ini juga sama ketika Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa Allah itu
tidak buta matanya sebelah seperti Dajjal dengan berisyarat kepada mata beliau.
Maknanya, shifat mata Allah itu adalah dalam pengertian hakiki, bukan majaziy.
Namun itu tidak mengkonsekuensikan bahwa kaifiyyah mata Allah seperti mata
beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Maaf Pak Jauza, bukankah itu sudah jelas, Ibnu mas'ud tertawa karena tertawa
Rasul gigi gerahamnya pasti Rasul terlihat, Juga sekarang Rasul tertawa
sebagaimana tertawa Allah, dan Rasul tertawanya pasti terlihat gigi geraham, nah
sekarang bagaimana dengan Allah ? Rasul tertawa sepertinya tertawanya Allah
kan ?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya kira saya tidak perlu menjelaskan ulang. Kejelasan versi Anda adalah kelucuan
bagi saya. Maaf, perkataaan Anda itulah yang mengandung tasybiih. 

[anyway, sebenarnya saya tahu arah logika Anda].

Ibnu Abi Irfan mengatakan...

@anonim

[234]
cara tertawa ana dengan cara tertawa antum saja sudah beda. bisakah dari sini
antum menalar bahwa cara tertawa Alloh beda dengan cara tertawa makhluq?

lagipula, dalam hadits di atas tidak ada sabda Rosululloh dikatakan : "Alloh tertawa
seperti aku tertawa" kan?

Anonim mengatakan...

ustadz abu yth : jika anda berpendapat bahwa allah punya tangan, maka ketika Allah
berfirman segala sesuatu binasa kecuali wajah Allah, apakah anda juga sependapat
bahwa tangan Allah akan hancur juga nantinya, jika anda berfaham bahwa harus
dimaknai sesuai dzahir ayat maka jawaban di atas yang tepat, jika anda menjawab
dengan apologi ini menunjukkan lemahnya faham anda. terimakasih

Ibnu Abi Irfan mengatakan...

anonim 31 Agustus 2012 03:20

hindarilah pemikiran falsafati seperti itu dan berpikirlah dengan cara bijak seperti
bijaknya para salaf dalam menggunakan akalnya. cara berpikir seperti anda itu
hanya akan mendzolimi akal.

para salaf mengimani ayat "setiap sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya", namun
mereka tidak memberikan konsekuensi bahwa tangan Allah akan binasa/hancur.

Anonim mengatakan...

Assalammu'alaikum Pak Ustadz,


Saya ingin penerangannya disini, dimana allah ia di langit, lalu dimana arsy sebelum
diciptakan langit jawabnya di atas air, lalu dimana arsy sebelum diciptakan air
jawabnya tidak tahu ? Saya mandeg disini bingung, supaya saya nyantol sama yg
menanyakan dimana Alloh sebelum menciptakan arsy. 
1. Kapan Allah menciptakan arsy ?
2. Kapan Allah menciptakan air ?
3. Kapan Allah menciptakan langit dan bumi ?
4. Apakah arsy itu diciptakan sesudah diciptakannya langit dan bumi ?
5. Yg diciptakan Allah langit dulu atau bumi ?

[235]
6. Apakah yang pertama Allah ciptakan itu arsy dulu, lalu sesudah itu Allah
menciptakan langit dan bumi apakah begitu ?
7. Sebelum menciptakan arsy Allah menciptakan apa ? Apakah al qolam ?
7. Lalu dimana arsy sebelum diciptakan air ? Kan yang pertama arsy diciptakan
sebelum langit dan bumi, berarti arsy yg pertama kali diciptakan lalu Allah
menciptakan langit dan bumi apa begitu ? Kenapa ketika ditanya dimana arsy
sebelum diciptakan air, kenapa tidak dijawab di atas langit saja ? Karena, kapan di
ciptakan airnya ? Sesudah atau sebelum diciptakan arsy ? Atau air itu diciptakan
sebelum langit dan bumi atau setelahnya ? 
Sebenarnya ada kerancuan di dalam riwayat ini, Aku menjawab Allah ada di langit,
tetapi kenapa tidak dijawab Allah ada di atas arsynya.
Telah berkata Dlamrah bin Rabii’ah, dari Shadaqah : Aku mendengar Sulaimaan At-
Taimiy berkata : “Seandainya aku ditanya : ‘dimana Allah’, pasti akan aku
menjawab : ‘di langit’. Jika ia berkata : ‘lalu dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum
(diciptakan) langit ?’ ; akan aku jawab : ‘di atas air’. Jika ia kembali berkata : ‘lalu
dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum (diciptakan) air ?’ ; akan aku jawab : ‘aku tidak tahu’
[Khalqu Af’alil-‘Ibaad oleh Al-Bukhaariy, 2/38 no. 64, tahqiq Fahd bin Sulaimaan Al-
Fahiid; Daaru Athlas Al-Khadlraa’, Cet. 1/1425. Riwayat ini shahih. Diriwayatkan
juga oleh Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 671, Ibnu Abi Syaibah
dalam Kitaabul-‘Arsy no. 15, Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya no. 30609, dan Abusy-
Syaikh dalam Al-‘Adhamah no. 194.].

Jazakallah khoiron

Ridho Amrullah

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya tidak tahu. Pengetahuan akan Allah ta'ala hanyalah didapatkan melalui nash.
Bukan dengan pandangan atau logika. Adapun nash hanya menyebutkan Allah ada
di (atas) langit (bahasa Arabnya : fis-samaa'), beristiwaa' di atas 'Arsy-Nya.

Adapun riwayat Sulaimaan At-Taimiy yang saya sebutkan tersebut hanyalah sebagai
penegasan bahwa ia memahami nash sebagaimana dhahirnya, bahwa Allah ada di
(atas) langit (fis-samaa'), di atas 'Arsy-Nya, dan 'Arsy-Nya ada di atas air.

[236]
Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Salam ustaz, apa tanggapan antum kepada kalam Malik ini yang dinaqal oleh Ibnu
Abdi Barr (7/145)

‫ت هَّللا ِ ِم ْث َل‬
ِ ‫صفَ َش ْيئًا ِم ْن َذا‬ َ ‫س يَقُو ُل َم ْن َو‬ ٍ َ‫ْت َمالِكَ ْبنَ أَن‬ ُ ‫ب يَقُو ُل َس ِمع‬ ٍ ‫ْت َع ْب َد هَّللا ِ ْبنَ َو ْه‬
ُ ‫ال َس ِمع‬ َ َ‫َر َوى َحرْ َملَةُ بْنُ يَحْ يَى ق‬
‫صي ُر فَأ َ َشا َر إِلَى َع ْينَ ْي ِه أَوْ أُ ُذنِ ِه أَوْ َش ْيئًا‬
ِ َ‫ار بِيَ ِد ِه إِلَى ُعنُقِ ِه َو ِم ْث َل قَوْ لِ ِه َوهُ َو ال َّس ِمي ُع ْالب‬
َ ‫ت ْاليَهُو ُد يَ ُد هَّللا ِ َم ْغلُولَةٌ َوأَ َش‬
ِ َ‫قَوْ لِ ِه َوقَال‬
‫ِم ْن بَ َدنِ ِه قُ ِط َع َذلِكَ ِم ْنهُ أِل َنَّهُ َشبَّهَ هَّللا َ بِنَ ْف ِس ِه ثُ َّم‬

“ Harmalah bin Yahya meriwayatkan, ia berkata, “ Aku mendengar Abdullah bin


Wahb berkata, “ Aku mendengar Malik bin Anas berkata : “ Barangsiapa yang
mensifati Dzat Allah seperti firman-Nya : “ Berkata Yahudi, “ Tangan Allah
dibelenggu “ dan ia mengisyaratkan tangannya ke pundaknya, dan semisal firman-
Nya, “ Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat “, lalu ia mengisyaratkan ke
kedua mata atau telinganya atau sesuatu dari bagian tubuhnya, maka bagian
tubuhnya itu harus dipotong, karena dia telah menyerupakan Allah dengan dirinya
“.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Riwayat Harmalah tidak shahih karena keterputusan antara dirinya dan Ibnu 'Abdil-
Barr.

Anyway, menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya melalui perkataan atau


perbuatan tidak diperbolehkan.

Ryan Arifandi mengatakan...

Sikap kita tetap menerjemahkannya dengan "Wajah", Namun jika pada suatu Ayat
tertentu ttg wajah Allah trdapat konsekuensi tambahan makna lain, ya kita tetapkan
makna pokoknya,yaitu "Allah memiliki wajah" ditambah dg penetapan "makna
konsekuensinya". Misal : Surat Al-Lail:20, selain diartikan "wajah-Nya", juga diyakini
bahwa Ayat tersebut menunjukkan konsekuensi makna : "mengharap keridhoan
Allah". Jadi makna yg pokok harus ditetapkan, yaitu wajah Allah.

[237]
dalam Bahasa Arab tidaklah digunakan wajah sebagai majas kecuali memang benar
objeknya memiliki wajah. Jadi kita harus mengimani Allah memiliki Wajah dan
kadang Wajah-Nya disebutkan dalam Alquran untuk mewakili Dzat-Nya atau
keridhoan-Nya.

http://muslim.or.id/aqidah/apakah-allah-memiliki-wajah.html

Anonim mengatakan...

‫هللا موجود بال مكان‬

Allah itu wujud (ada) dan tak bertempat. Tidak dilangit.!!

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya, itu kata Anda. Akan tetapi kata Allah :

‫س‬ َ ‫طلُبُهُ َحثِيثًا َوال َّش ْم‬ ْ َ‫ش يُ ْغ ِشي اللَّي َْل النَّهَا َر ي‬
ِ ْ‫ض فِي ِستَّ ِة أَي ٍَّام ثُ َّم ا ْستَ َوى َعلَى ْال َعر‬
َ ْ‫ت َواألر‬ َ َ‫إِ َّن َربَّ ُك ُم هَّللا ُ الَّ ِذي َخل‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬
‫ت بِأ َ ْم ِر ِه‬
ٍ ‫َو ْالقَ َم َر َوالنُّجُو َم ُم َس َّخ َرا‬

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari,
bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya” [QS. Al-
A’raaf : 54].

dan ayat-ayat lainnya.

Anonim mengatakan...

dalam redaksi riwayat al-Imam al-Bayhaqi bahwa Rasulullah bertanya kepada


budak perempuan tersebut dengan mempergunakan redaksi: “Aina Allah?”, lalu
kemudian budak perempuan tersebut berisyarat dengan telunjuknya ke arah langit.
Dalam riwayat ini disebutkan bahwa budak tersebut adalah seorang yang bisu.

[238]
bisakah orang bisu menjawab fis samaa'..??

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sayang sekali Anda tidak menyebutkan riwayatnya di sini untuk memvalidasinya....

Deliansyah mengatakan...

@anonim.
dalam redaksi riwayat al-Imam al-Bayhaqi bahwa Rasulullah bertanya kepada
budak perempuan tersebut dengan mempergunakan redaksi: “Aina Allah?”, lalu
kemudian budak perempuan tersebut berisyarat dengan telunjuknya ke arah langit.
Dalam riwayat ini disebutkan bahwa budak tersebut adalah seorang yang bisu.

bisakah orang bisu menjawab fis samaa'..??


-----
Katakanlah sanad bahwa perempuan itu bisu adalah shohih, menurut anda kalau
perempuan bisu itu menunjuk ke langit, artinya Alloh dimana ?
Atau renungkan ini : jika anda (sdg didalam kamar)bertanya pada istri Anda yang
sedang terlentang tiduran memakai masker wajah sehingga dia tidak bisa bicara,
"dimana anak kita?" dan istri menjawab pertanyaan anda dengan menunjuk ke arah
luar atau ke arah pintu, akankah anda menoleh atau melihat ke kolong tempat tidur
untuk mencarinya ?
semoga hidayah Alloh atas Anda dan atas kita semua.

Anonim mengatakan...

Analisa yg sangat bagus dari Deliansyah. Memang org2 yg mencoba mendhoifkan


hadits yg udh shahih ini selalu mencoba berbagai2 cara untuk mencari celahnya
namun sayangnya hujjah mereka rapuh.

Jazakalloh khoir

Zon Jonggol mengatakan...

Assalamualaikum

[239]
Pa Ustadz, kami bertanya kenapa hadits tentang jariyah diletakkan oleh Imam
Muslim bukan pada bab imam/akidah ? Menurut sebagian pendapat ulama karena
hadits tersebut shahih namun syadz (meragukan) sebagai landasan rujukan tentang
iman / akidah. Sebagian ulama lainya berpendapat syadz (meragukan) karena
status periwayat hadits yang baru masuk islam. Hadits yang dimaksud adalah
http://www.indoquran.com/index.php?
surano=6&ayatno=29&action=display&option=com_muslim

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Peletakan hadits dalam suatu bab bukanlah pembatasan mengenai hukum yang
termuat di dalamnya. 

Ulama hadits siapa yang mengatakan itu ? Siapa pula yang berpendapat syadz ? Al-
Kautsariy ?

Kalau dikatakan shahih, ya namanya bukan syadz. Hadits syadz itu bukan katagori
hadits shahih.

Mas Yudith mengatakan...

ASSALMU`ALAIKUM 
USTADZ APAKAH BENAR BILA MATANNYA(WALAUPUN PERAWINYA TSIQAH)
BERTENTRANGAN DENGAN MATAN HADITS YANG PERAWI LEBIH TSIQAH MAKA
HADITS ITU DPT DITOLAK SEBAGI HUJAH? BAGAIMANA MAKSUNYA USTADZ?
MOHON JELASKAN!

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

wa'alaikumus-salaam warahmatullaah

sebelumnya, kalau boleh usul dan diterima, komentarnya jangan pake huruf kapital
semua ya... dalam bahasa verbal, seringkali itu dianggap kurang etis. mungkin
antum kepencet kaps lock-nya.

[240]
adapun mengenai pertanyaan antum, benar. Secara umum seperti itu. Dan itu
adalah dalam ranah bahasan hadits syaadz dalam matannya. Agar memberi sedikit
gambaran, akan saya bawakan satu contoh berikut :

‫ كل‬: ‫حدثنا حفص بن عمر النمري ثنا همام ثنا قتادة عن الحسن عن سمرة عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫غالم رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم السابع ويحلق رأسه ويدمى‬

Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ‘Umar An-Namiriy : Telah menceritakan
kepada kami Hammaam : Telah menceritakan kepada kami Qataadah, dari Al-Hasan,
dari Samuurah, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda : “Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya yang disembelih pada hari
ketujuh, dicukur rambut kepalanya, dan kepalanya dilumuri darah
(yudammaa)” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2837].

Para ulama mengatakan bahwa Hammaam dalam riwayat ini telah keliru dalam
membawakan hadits yang mengatakan ‘yudammaa’ (dilumuri darah). Hammaam
adalah seorang yang terpercaya. Namun ia telah menyelisihi beberapa orang dan
lebih dlabth darinya dalam penyampaian khabar (periwayatan) dari Qataadah;
dimana mereka menggunakan lafadh : yusammaa (diberikan nama) – bukan
yudammaa. Mereka adalah : Sa’iid bin Abi ‘Aruubah (ia adalah orang yang paling
tsabt periwayatannya di antara ashhaab Qataadah), Abaan bin Yaziid Al-‘Aththaar,
Sallaam bin Abi Muthii’, dan Ghailaan bin Jaami’ [Irwaaul-Ghaliil oleh Al-Albaaniy
4/387-388 dan Taisiru ‘Uluumil-Hadits oleh ‘Amr bin ‘Abdil-Mun’im hal. 81].

Semoga dapat memberi kejelasan.

wallaahu a'lam.

Rios mengatakan...

mau tanya ustadz jadi apakah perbedaan antara hadist mudltharib dan hadist
syaadz?

apakah jika hadist mudltharib itu hadist yang memiliki perbedaan matan yang
terjadi pada perawi yang sama. dan jika hadist syaadz hadist yang memiliki
perbedaan matan yang terjadi pada perawi yang beda???? mohon penjelasannya
[241]
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Jika yang antum maksud seputer matan, maka perbedaannya secara gampang
adalah bahwa hadits mudltharib itu dibawakan lebih dari satu jalan dengan matan
yang berlainan, sama kuat, tidak bisa ditarjih. Sedangkan hadits syaadz adalah
adalah hadits yang dibawakan perawi dengan matan yang menyelisihi perawi lain
yang lebih kuat (dalam aspek tarjih yang dikenal para ulama) - dan di sini sudah
melewati proses pentarjihan.

Syarat hadits mudltharib adalah mempunyai poros yang sama dalam jalan riwayat
yang berlainan itu. Jika dua jalan atau lebih itu dapat ditarjih, maka yang kuat
disebut mahfudh, dan yang lemah disebut syaadz.

Panjang sebenarnya pembahasan hadits syaadz, apalagi jika dikaitkan dengan


tafarrud (dan/atau ziyaadatuts-tsiqaat). Wallaahu a'lam.

Anyway, orang yang menghukumi syaadz hadits Mu'aawiyyah bin Al-Hakam di atas
- seperti As-Saqqaaf - adalah orang yang ndak mengerti ilmu hadits.

Anonim mengatakan...

1.Apakah Muawiayah melakukan tindakan salah?


2.Pernahkah Nabi Muhammad SAW membebaskan hukuman bagi orang yang
bersalah?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

1. Ya. Oleh karenanya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menganggap apa


yang dilakukan Mu'aawiyyah sebagai sesuatu yang besar, dan kemudian
menyuruhnya untuk membebaskan budak yang ditamparnya itu.

2. Saya tidak tahu.

Anonim mengatakan...

http://alnof.multiply.com/journal/item/145/Benarkah_Allah_berada_di_langit_ber
dasarkan_hadits_shahih

[242]
dan

http://www.ijabah.co.cc/2011/03/takhrij-dan-taliq-hadist-jariyah-aena.html

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

gak jelas takhrijnya....

Artikel di atas justru menjawab apa yang ada dalam dua artikel yang ditunjuk
tersebut.

baca juga : 

Hadits Jaariyyah Riwayat Maalik Bin Anas Rahimahullah

Anonim mengatakan...

Pak, apa hukumnya menolak salah satu atau beberapa hadits yang sudah terbukti
kesahihannya? ada teman bilang, kita tidak akan menjadi murtad dengan menolak
beberapa hadits sahih. semisal tentang turunnya Isa, adzab kubur, atau soal yang di
bahas dalam artikel di atas. Mohon kiranya penjelasan mengenai pentingnya hadits
sahih dan konsekuensi dari menolaknya.

terima kasih

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Menolak hadits yang terbukti keshahihannya adalah haram dan diancam dengan
neraka.

SALAFIE mengatakan...

JazakAllah, ana izin copas ustad BarrakAllahu fikk

SALAFIE mengatakan...

Syukran, Ustad ana izin copas

[243]
andi saputra mengatakan...

izin copas ustadz

Satria Art mengatakan...

Kenapa makna alloh di atas Arsy tetap dhohir sedang makna Alloh ada dimana saja
kamu berada dan Alloh lebih dekat dari urat nadi di takwil dng ilmu Alloh bukan
makna dhohir, ini sdah menyeleweng dari kaidah tauhid asma wa shifat bahwa sifat
Alloh tanpa taktil dn takwil, pemahaman Alloh ada di atas tanpa ada dimana mana
dan dekat sudah tdk mauquf dlm memaknainya sperti mnhaj salaf, kenapa kok
mengaku manhaj salaf

Anonim mengatakan...

5.Adapun riwayat yang dikemukan oleh Suraij ibn an-Nu’man dari Abdullah ibn
Nafi’ dari al-Imam Malik, bahwa ia -al-Imam Malik- berkata: “Allah berada di langit,
dan ilmu-Nya di semua tempat”, adalah riwayat yang sama sekali tidak benar (Ghair
Tsabit). Abdullah ibn Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if.
Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang
ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”. Al-Imam Ibn Adi berkata: “Dia -Abdullah
ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam
Malik”. Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak
membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-
Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan
lainnya).
Dengan demikian pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Malik di atas adalah
riwayat yang sama sekali tidak benar. Dan kata-kata tersebut yang sering kali
dikutip oleh kaum Musyabbihah dan dinisbatkan kepada al-Imam Malik tidak lain
hanyalah kedustaan belaka.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sumber copi paste Anda itu tidak valid dan curang dalam mengutip komentar
ulama.

‘Abdullah bin Naafi’ bin Abi Naafi’ Ash-Shaaigh Al-Makhzuumiy, Abu Muhammad Al-
Madaniy; seorang yang tsiqah, shahiihul-kitaab, namun pada hapalannya terdapat
[244]
kelemahan (layyin). Wafat tahun 206 H [idem, hal. 552, no. 3683].

Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Tidak mengapa dengannya”.
An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Di lain tempat ia berkata :
“Tsiqah”. Ibnu Hibbaan berkata : “Shahiihul-kitaab, namun jika ia meriwayatkan
dari hapalannya, kadang keliru”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Al-Khaliiliy berkata :
“Tsiqah, Asy-Syaafi’iy memujinya”. Ibnu Qaani’ berkata : “Madaniy, shalih”. Al-
Haakim berkata : "Tsiqah".

Memang benar, ada beberapa huffaadh mengkritik hapalan Ibnu Naafi' seperti Abu
Haatim, Al-Bukhaariy, Ad-Daaruquthniy, dan Abu Zur'ah dalam riwayatnya yang
lain.

Akan tetapi, bersamaan dengan itu, ia dikenal shaahibu Maalik dalam periwayatan
dan lebih diutamakan dibanding yang lainnya.

Ibnu Sa’d rahimahullah berkata :

‫كان قد لزم مالك بن أنس لزوما شديدا ال يقدم عليه أحد‬

“Ia melazimi Maalik bin Anas dengan amat sangat, tidak ada seorang pun yang
mendahuluinya”.

Ibnu ‘Adiy rahimahullah berkata :

‫ و هو فى رواياته مستقيم الحديث‬، ‫روى عن مالك غرائب‬

“Ia meriwayatkan beberapa riwayat ghariib dari Maalik. Dan ia dalam riwayatnya
(Maalik) mustaqiimul-hadiits”.

Ibnu Ma’iin rahimahullah berkata :

‫وعبد هللا بن نافع ثبت فيه‬

“Dan ‘Abdullah bin Naafi’ tsabt dalam riwayat Maalik”.

[245]
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :

‫ كان يحفظ حديث مالك كله ثم دخله بآخرة شك‬، ‫كان عبد هللا بن نافع أعلم الناس برأى مالك و حديثه‬

“’Abdullah bin Naafi’ adalah orang yang paling mengetahui tentang pendapat dan
hadits Maalik. Ia menghapal semua hadits Maalik, namun timbul keraguan di akhir
hayatnya”.

Abu Daawud rahimahullah berkata :

‫ و كان صاحب فقه‬، ‫وكان عبد هللا عالما بمالك‬

“’Abdullah adalah seorang ‘aalim tentang Maalik, seorang ahli fiqh”.

Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy rahimahullah berkata :

‫ و حديثه‬،‫كان أعلم الناس بمالك‬

“Ia adalah orang yang paling mengetahui tentang Maalik dan haditsnya”.

[lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 6/52].

Dan khusus Al-Imaam Ahmad (yang perkataannya di atas sering dijadikan alasan
untuk melemahkan atsar ini), maka beliau menyepakati apa yang dikatakan Al-
Imaam Maalik bin Anas rahimahullah dengan periwayatan dari ‘Abdullah bin Naafi’
ini.

: ‫ سمعت أبا عبد هللا أحمد بن حنبل يقول‬: ‫ حدثنا الفضل بن زياد قال‬: ‫حدثنا أبو الفضل جعفر بن محمد الصندلى قال‬
‫ من أخبرك عن مالك‬: ‫ فقلت‬، ‫ ال يخلو منه مكان‬، ‫ هللا عز وجل في السماء وعلمه في كل مكان‬: ‫قال مالك بن أنس‬
‫ عن عبد هللا بن نافع‬، ‫ سمعته من شريح بن النعمان‬: ‫بهذا ؟ قال‬

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

[246]
Telah menceritakan kepada kami Abul-Fadhl Ja’far bin Muhammad Ash-Shandaliy,
ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Ziyaad, ia berkata : Aku
mendengar Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata : Telah berkata Maalik bin
Anas : “Allah ‘azza wa jalla berada di langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat. Tidak
ada sesuatupun yang luput dari-Nya”. Lalu aku (Al-Fadhl bin Ziyaad) berkata :
“Siapakah yang mengkhabarkan kepadamu dari Maalik perkataan ini ?”. Ahmad
berkata : “Aku mendengarnya dari Syuraih bin An-Nu’maan, dari ‘Abdullah bin
Naafi’” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah, no. 696].

Perkataan Ahmad bahwa 'Abdullah bin Naafi' itu mengalami keraguan di akhir
hayatnya, maka itu tidaklah menggugurkan semua periwayatan 'Abdullah bin Naafi'.
Tentu saja ini dengan melihat penjamakan semua ulama tentangnya. Riwayatnya
dihukumi wahm jika memang ada bukti kongkrit ia wahm dalam periwayatan. Jika
tidak, maka shahih.

Catatan terhadap komentar Anda (atau sumber copas Anda tentang 'Abdullah bin
Naafi') :

Perkataan Anda :

Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari
al-Imam Malik.

maka ini memotong secara tidak fair perkataan Ibnu 'Adiy. Sebab, kelanjutab
perkataan beliau adalah : wahuwa fii riwayatihi mustaqiimul-hadiits (dan ia dalam
riwayat Maalik, mustaqiimul-hadiits). Artinya, Ibnu 'Adiy menghukumi riwayatnya
dari Maalik adalah lurus atau shahih.

Perkataan Anda :

Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang
ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”.

Ini juga merupakan manipulasi dari perkataan Ahmad. Memang benar Ahmad

[247]
berkata :

‫ولم يكن صاحب حديث‬

"Ia bukanlah seorang shaahibul-hadiits".

Namun Ahmad tidak mengatakan : "ia adalah seorang yang dla'iif". Lain kali, kalau
menukil perkataan ulama yang benar ya.... Seandainya Anda memang
menemukannya dari kutub rijaal, silakan dicantumkan sumbernya, sebab saya
sudah memeriksa di kitab Mausu'ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad, perkataan beliau
seperti yang Anda nukil itu tidak ada.

Perkataan Anda :

" Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca
dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam
kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya)".

Perkataan Ibnu Farhuun itu bukan jarh yang menjatuhkan mas. Jadi, Anda salah
alamat mencantumkannya di sini. [Dan memangnya, sejak kapan seorang rawi yang
tidak bisa membaca dan menulis itu dapat dilemahkan ?]. Selain itu, tidak ada dalam
kitab Adl-Dlu'afaa'-nya An-Nasaa'iy yang mencantumkan 'Abdullah bin Naafi', sebab
An-Nasaa'iy mentautsiqnya.

Kesimpulan : Anda atau sumber copasan Anda menghukumi 'Abdullah bin Naafi'
tidak dengan membuka kitab biografi.

Oleh karena itu, riwayat 'Abdullah bin Naafi' ini adalah shahih. Seandainya tidak
bisa dihukumi shahih, maka ia tidak jatuh dari derajat hasan.

Anonim mengatakan...

mau tanya,langsung saja,...


apakah pak abul jauzaa menetapkan tempat dan arah bagi Allah SWT ?

gg mengatakan...

[248]
Keenam : Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (223 H-311 H)
Beliau berkata dalam kitabnya At-Tauhiid 1/254
“Bab : Penyebutan penjelasan bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit:
Sebagaimana Allah kabarkan kepada kita dalam Al-Qur’an dan melalui lisan
NabiNya –’alaihis salaam- dan sebagaimana hal ini dipahami pada fitroh kaum
muslimin, dari kalangan para ulama mereka dan orang-orang jahilnya mereka,
orang-orang merdeka dan budak-budak mereka, para lelaki dan para wanita, orang-
orang dewasa dan anak-anak kecil mereka. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah
jalla wa ‘alaa hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua
tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan kearah bawah”
Tanggapan : Ibnu Khuzaimah Mujassim terkenal dan sangat sadis. Beliaulah yang
berfatwa Kafirnya orang yang tidak mengakui Bahwa Allah berada di atas langit
maka orang tersebut harus dibunuh jika tidak mau tobat dan mayatnya dibuang ke
tempat sampah. Namun al-hamdulillah akhirnya beliau tobat dari Aqidah tajsim ini
seperti yang dinyatakan oleh Imam al-baihaqi dalam asma wa as-sifat hal. 269.
Begitu juga dinyatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam fathul bari juz 13 hal 492.
Jadi rupanya Ustadz firanda belum tahu atau pura-pura tidak tahu jika penulis kitab
” at-Tauhid ” (ibnu khuzaimah) telah tobat dari aqidah yang tertulis dalam kitabnya
itu. Sehingga gugur-lah sandaran ke-enam atas klaim Ijmaknya Ustadz Firanda ini,
sebab penulisnya pun sudah Tobat.
Read more: http://aswaja.webnode.com/news/firanda-berdusta-atas-nama-
konsesnsus-ulama-tentang-allah-berada-di-langit/

Bagaimana dengan hal ini Pak Ustadz ?

Jazakallah khoiron.

Anonim mengatakan...

Keempat : Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimi (wafat 280 H)


Beliau berkata dalam kitab beliau Ar-Rod ‘alal Marriisi
“Dan telah sepakat perkataan kaum muslimin dan orang-orang kafir bahwasanya
Allah berada di langit, dan mereka telah menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu
bahwasanya Allah berada di atas langit -pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang sesat
dan para sahabatnya. Bahkan anak-anak yang belum dewasa merekapun
mengetahui hal ini, jika seorang anak kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara
[249]
maka ia mengangkat kedua tangannya ke Robb-Nya berdoa kepadaNya di langit,
dan tidak mengarahkan tangannya ke arah selain langit. Maka setiap orang lebih
menetahui tentang Allah dan dimana Allah daripada Jahmiyah” (Rod Ad-Darimi
Utsmaan bin Sa’iid alaa Bisyr Al-Mariisi Al-’Aniid Hal 25)
Tanggapan :
1). Abu said Ustman bin said ad-darimi as-sajzi bermadzhab hanbali, dia seorang
mujassim musyabih dari golongan Hasywiyah wafat tahun 282 Hijriyah. Konon
wafat tahun 280 hijriyah, Tasybih yang jelas terlihat dari Ucapannya : ”bahwa orang
yang berada di puncak gunung lebih dekat kepada Allah ketimbang orang yang
berdiri di bawah gunung.” Lihat al- Maqolat il Allamah al-Kautsari hal 282.
Saya Ahmad Syahid katakan: Sungguh ucapan ini bertentangan dengan Hadist
shahih di dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rosulallah SAW
bersabda: ” seorang Hamba Lebih dekat kepada Tuhannya ketika ia dalam keadaan
Sujud”, dan bahkan bertentangan dengan Al- Qur’an: ”Sujudlah dan mendekatlah. ”
(qs. Al-alaq. 19). Dalam ayat ini posisi sujud digandengkan dan diidentikkan dengan
kedekatan dengan Allah, ayat ini jelas bertentangan dengan perkataan dan
keyakinan Abu said ad-darimi diatas.
2). Status Hujjah gugur karena dua hal:
1. Abu said ad-Darimi menyandarkan aqidahnya ini kepada ucapan ummat islam
(entah ummat islam yang mana) dan ucapan Ummat Kafir ( yang tantu aqidahnya
berbeda dengan muslimin ). Harusnya Abu Said Ustman ad-Darimi menyandarkan
Aqidahnya kepada Qur’an dan Hadist yang shahih atau minmal kepada pernyataan
Ulama Muslimin (ahlu Sunnah ), bukan kepada Ucapan orang Kafir.
2. Aqidah abu said ustman ad-darimi bertentangan dengan Qur’an dan Hadist
sebagaimana saya sebutkan diatas.
3. Abu Said Ustman ad-Darimi bukanlah Imam Ahlu sunnah yang terkenal itu, sebab
Imam ahlu sunnah adalah : Al-imam Al-hafidz Abu Muhammad abdullah bin
Abdurohman bin Fadl bin Bahrom ad-Darimi at-Tamimi as-Samarqondi, beliaulah
penulis kitab Sunan ad-darimi wafat tahun 255 hijriyah. Hati-hatilah jangan sampai
tercapur aduk antara ad-darimi Imam ahlu sunnah dengan ad-darimi ahlu Bid`ah.
Dengan demikian Status hujjah gugur, karena omongan ini keluar dari Ahlul Bid`ah
Ustman ad-Darimi yang bertentangan dengan Qur`an dan Hadist diatas.

Read more: http://aswaja.webnode.com/news/firanda-berdusta-atas-nama-


konsesnsus-ulama-tentang-allah-berada-di-langit/

[250]
Bagaimana dengan hal ini Ustadz ?
Syukron

Anonim mengatakan...

Kesembilan: Syaikhul Islam Abu Utsman Ash Shabuni (372 – 449H)


Beliau berkata, “Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas
langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab(Al Qur’an)
….
Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah
di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa
Ashaabil hadiits hal 44)
Adz Dzahabi berkata, “Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang faqih, ahli
hadits, dan sufi pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi di
zamannya” (Al-’Uluw 2/1317)
Tanggapan: Yang shahih dari Ucapan Imam As-shobuni hanya : “Para Ahli Hadits
berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya
sebagaimana tertuang dalam Al Kitab (Al Qur’an) …. kata-kata setelah ini (para
pemuka dst….) adalah tambahan yang entah Imam aDzahabi dapat dari mana?
Silahkan rujuk ”Majmu`ah ar-Rosail al-Muniriyah juz 1 hal 109 risalah as-Shobuni,
pernyataan al-imam as-Shobuni ini sama sekali tidak mendukung klaim Ijma’
tentang keberadaan Allah di langit sebagaimana yang di Klaim oleh Ustadz firanda.
Inilah yang disebut dengan tafwidh yang juga ditolak oleh Salafi Wahabi. Status
Hujjah salah alamat!

Juga dg ini !

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Lagi-lagi copasan dari artikel Ahmad Syaahid. Saya telah memberikan sedikit
komentar tentang kebodohan dan kedustaan orang ini. Termasuk sebagian copasan
Anda di atas.

Anda bisa baca di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/10/beberapa-catatan-


tentang-ijmaa.html (juga di bagian kolom komentarnya).

[251]
Orang ini (Ahmad Syahid) tidak segan-segan menggelari mujassim pada para ulama
Ahlus-Sunnah, termasuk Ibnu Khuzaimah dan Ad-Daarimiy. Begitu juga imam-imam
lain. Justru 'aqiidah Ibnu Khuzaimah itu lah yang lurus, karena beliau membantah
orang-orang Mutazillah dan Asyaa'irah di jamannya. Begitu juga dengan Ad-
Daarimiy. Tidaklah gelar mujassim disematkan kepada mereka berdua, kecuali
muncul di akhir-akhir ini saja, yang salah satunya melalui pemungut sampah,
Ahmad Syahiid, yang membebek pada Al-Kautsariy (yang memang punya 'aqidah
Jahmiyyah).

Anonim mengatakan...

bagaimana pak kok belum di jawab,...


apakah pak abul jauzaa menetapkan tempat dan arah bagi Allah SWT ?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Maaf, pertanyaan Anda lambat saya jawab karena sudah seringnya pertanyaan itu
muncul di Blog ini. Sampai 'bosan' menjawabnya.

Lafadh makaan (tempat) dan jihah (arah) tidaklah terdapat dalam Al-Qur'an dan As-
Sunnah. Oleh karena itu kita tidak menetapkannya bagi Allah, karena 'aqidah al-
asmaa' wash-shifaat tidaklah ditetapkan kecuali melalui dengan dalil.

Namun jika penolakan ini adalah dimaksudkan untuk menolak keberadaan Allah di
atas langit secara hakiki (seperti yang dilakukan oleh Asyaa'irah), maka ini keliru. 

Atau dengan kata lain, seandainya penafikan ini maksudnya adalah untuk
menafikan Allah berada di atas langit-Nya, di atas 'Arsy-Nya secara hakiki, maka kita
pun menetapkannya.

Adapun tafshil mengenai tempat yang itu disandarkan kepada Allah, jika yang
dimaksud adalah yang melingkupi sesuatu; maka kita menafikkannya, karena tidak
ada sesuatu pun dari makhluk-Nya yang dapat melingkupi-Nya. Allah Maha Besar.
Namun jika yang dimaksudkan dengan 'tempat' ini adalah amrun 'adamiyyun yang
berada di luar alam, maka ini benar.

[252]
Anyway, semua hal itu Anda sebutkan tersebut, begitu juga dengan perkataan
ikhwan yang lain, adalah hasil pemikiran ilmu kalaam yang tidak mau menetapkan
apa yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan serta tidak mau berhenti apa yang Allah dan
Rasul-Nya berhenti darinya.

wallaahul-musta'aan.

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Anonim mengatakan...

Alhamdulillah di hapus pertanyaan sy,..


dr nya tsb Insya Allah sy dpt pelajaran ttg apa,siapa dan bagaimana ttg blog ini...
thanks for pak abul jauzaa...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Benar. Saya hapus pertanyaan Anda. Dan itu saya perlihatkan kepada Anda (agar
Anda mengetahuinya), walau sebenarnya saya bisa memasukkannya langsung
dalam kotak spam.

Anonim mengatakan...

Numpang komen akhi abu jauza..


bagi yang menyatakan Allah Ada tanpa tempat arah (seperti saya dulu),
penyebabnya adalah imajinasi mereka sendiri, kemudian imajinasi ini menyebabkan
tasybih (penyerupaan) kepada makhluk, setelah tasybih maka spontan akan timbul
penolakan oleh akal (ta'thil), pada akhirnya terjadi kesalahan fatal yaitu ta'wil,tahrif,
maupun tawfidh. dan saya yakin sekali apda awalnya bahwa imajinasi ini adalah
tipu daya syetan.. wallohu a'lam..

gg mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

i hope you know why i deleted your comments above.

[253]
Anonim mengatakan...

Ust. Mohon di jelaskan mengenai para perawi terkait perkataan Imam Syafi'i yang
ini:

1. Manipulasi Salafi terhadap kalam imam Syafi’i dalam hal Aqidah :

" ‫ والحافظ أبو محمد المقدسي بإسنادهم إلى أبي ثور وأبي شعيب كالهما عن‬، ‫روى شيخ اإلسالم أبو الحسن الهكاري‬
‫ القول في السنة التي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها‬:‫اإلمام محمد بن إدريس الشافعي ناصر الحديث رحمه هللا قال‬
‫أهل الحديث الذين رأيتهم وأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما االقرار بالشهادة أن ال إله إال هللا وأن محمدا‬
‫ وأن هللا تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وأن هللا ينزل إلى السماء الدنيا كيف شاء‬، ‫" رسول هللا‬

“ Syaikhul Islam Abu Hasan Al-Hakary meriwayatkan dan Al-Hafidz Abu Muhammad
Al-Muqoddasi dengan isnad mereka kepada Abu Tsaur dan Abu Syu’aib, keduanya
dari imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, Nashirul hadits Rh, beliau berkata “
Pendapat di dalam sunnah yang aku pegang dan juga para sahabatku dari Ahli
hadits yang telah aku saksikan dan aku ambil dari mereka seperti Sufyan, Malik dan
selain keduanya adalah pengakuan dengan syahadah bahwa tiada Tuhan selain
Allah Swt, Muhammad adalah utusan Allah dan sesungguhnya Allah Swt di atas
Arsy-Nya di dalam langit-Nya yang mendekat kepada makhluk-Nya kapan saja DIA
kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia kapan saja DIA kehendaki
“.
(Mukhtashor Al-‘uluw halaman : 176)

Jawaban :

Dari sisi sanad :

1. Al-Hafidz Adz-Dzahaby di dalam kitabnya MIZAN AL-I’TIDAL juz : 3 halaman : 112


berkata :

‫ أحد الكذابين الوضاعين‬: ‫أبي الحسن الهكاري‬

“ Abu Al-Hasan Al-Hakkari adalah salah satu orang yang suka berdusta dan sering

[254]
memalsukan ucapan “

2. Abul Al-Qosim bin Asakir juga berkata :

‫ لم يكن موثوقا ً به‬: ‫قال أبو القاسم بن عساكر‬

“ Dia (Abu Al-Hasan) orang yang tidak dapat dipercaya “

3. Ibnu Najjar berkata :

‫ متهم بوضع الحديث وتركيب األسانيد‬: ‫وقال ابن النجار‬

“ Dia dicurigai memalsukan hadits dan menyusun-nysun sanad “

4. Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab LISAN AL-MIZAN juz : 4 halaman : 159
berkata :

‫ وفي حديثه أشياء موضوعة‬، ‫وكان الغالب على حديثه الغرائب والمنكرات‬

“ Kebanyakan hadits yg diriwayatkannya adalah ghorib dan mungkar dan juga


terdapat hadits-hadits palsunya “.

5. Ibrahim bin Muhammad Ibn Sibth bin Al-Ajami di di dalam kitabnya Al-Kasyfu Al-
Hatsits juz ; 1 halaman : 184 :

‫وهو كذاب وضاع‬

“ Dia adalah seorag yang suaka berdusta dan suka memalsukan hadits “.

Dari sisi tarikh / sejarah :

Mereka (wahhaby salafy) mengaku atsar tersebut diriwayatkan oleh Abu Syu’aib
dari imam Syafi’i. Benarkah ??

Ini sebuah kedustaan yang nyata karena di dalam kitab-kitab tarikh / sejarah
[255]
bahwasanya Abu Syu’aib ini dilahirkan dua tahun setelah wafatnya imam Syafi’i,
sebagaimana disebutkan dalam kitab Tarikh Al-Baghdadi juz : 9 halaman : 436.

http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/membongkar-kedustaan-salafi-
wahhabi.html

Semoga Ustadz, berkenan menjelaskannya..amin

Jazakallah

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya sebanrnya tidak mengerti pengertian 'manipulasi' yang dimaksudkan.


Manipulasi itu maknanya : sebuah proses rekayasa dengan melakukan
penambahan, pensembunyian, penghilangan atau pengkaburan terhadap bagian
atau keseluruhan sebuah realitas, kenyataan, fakta-fakta ataupun sejarah yang
dilakukan berdasarkan sistem perancangan sebuah tata sistem nilai, manipulasi
adalah bagian penting dari tindakan penanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir,
perilaku dan kepercayaan tertentu.

Kalau yang dimaksudkan 'salafiy' itu adalah Syaikh Al-Albaaniy dalam kitab
Mukhtashar Al-'Ulluw, dimanakah letak proses rekayasa ?. Kalau yang bersangkutan
membaca kitab asli Mukhtashar Al-'Ulluw, niscaya tidak ada proses rekayasa dalam
riwayat tersebut. Syaikh Al-Albaaniy hanya membawakan riwayat saja, tanpa
memberikan komentar shahih atau dla'if. Apakah sekedar membawakan riwayat
bisa disebut sebagai proses manipulasi ?.

Tentang Syaikhul-Islaam Al-Hakkaariy, memang benar para ulama mengkritisi


riwayatnya. Ia seorang yang sangat lemah dalam hadits.

Begitu juga dengan masalah Abu Syu'aib. Yang mengatakan bahwa Al-Hakkariy
membawakan rangkaian sanadnya dari Abu Tsaur dan Abu Syu'aib, keduanya dari
Asy-Syaafi'iy; maka yang menyatakan itu adalah Adz-Dzahabiy. Dan kenyataannya
memang benar sanad yang ada adalah demikian. Jika misal yang bersangkutan
menghukumi bahwa terdapat inqitha' antara Abu Syu'aib dan Asy-Syaafi'iy, lantas
apa hubungannya dengan manipulasi ?. Apalagi sampai mengatakan dusta ?.
[256]
[jika yang bersangkutan - dengan kekerdilan akalnya - menghukumi setiap
orang yang membawakan riwayat yang dihukumi lemah sebagai pelaku
manipulasi, maka ia pun harus menghukumi sama pada para imam hadits dalam
kitab-kitab mereka yang membawakan hadits-hadits lemah atau bahkan maudlu'.
begitu pula ia harus menghukumi para kiyai-kiyainya yang sering membawakan
hadits lemah sebagai tukang manipulasi].

Dan saya sepakat bahwa riwayat tersebut lemah dalam sanadnya.

Jika pengkritik menghukumi riwayat yang dibawakan oleh pihak yang dikritik
sebagai riwayat lemah, sangat lemah, atau maudlu', maka tidaklah selalu
berkonsekuensi orang yang dikritiknya melakukan manipulasi. Saran saya,
belajarlah ilmu riwayat dan ilmu bahasa Indonesia sehingga bisa menyusun
sanggahan yang bermutu lagi bermanfaat. Bukan sekedar sanggahan yang membabi
buta.

Anonim mengatakan...

Jazakallah ustadz

Mungkin si pengkritik riwayat tersebut ingin membantah salah satu point yang
terdapat dalam artikel dibawah ini, terkait Aqidah Imam Syafi'i:

http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2973-di-manakah-allah-4.html

Alhamdulillah artikel yang Ustadz tuliskan diatas dijelaskan juga mengenai status
Riwayatnya, setidaknya sejauh ini belum ada yang membantah artikel ustadz.

sekali lagi jazakallah

Anonim mengatakan...

Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun telah mengabarkan kepada kami
Humaid dari Anas, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika
seorang hamba melaksanakan shalat maka sesungguhnya ia sedang berdialog

[257]
dengan Tuhannya, atau Tuhannya berada di antara dirinya dan Kiblat. Kemudian
apabila salah seorang di antara kalian meludah, maka hendaknya ia meludah ke
samping kirinya atau di bawah kakinya." Atau beliau mengatakan: "Meludah di
pakaiannya dan menggosok sebagian kainnya dengan sebagian yang lain."-Sahih
Sunan AdDarimi

ِ ‫ق َو ْال َم ْغ ِربُ فَأ َ ْينَ َما تُ َولُّوا فَثَ َّم َوجْ هُ هَّللا ِ إِ َّن هَّللا َ َو‬
‫اس ٌع َعلِي ٌم‬ ُ ‫َوهَّلِل ِ ْال َم ْش ِر‬
Dan Milik Allah lah timur dan barat, maka di mana sahaja kalian menghadap,maka
di situlah wajah Allah,Sungguh Allah Maha Luas , Maha Mengetahui.-AlBaqarah 115

Al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi (w 321 H) berkata:

ِ ‫ِّت َك َسائِ ِر ْال ُم ْبتَ َدعَا‬


"‫ت‬ ُ َ‫ت الَ تَحْ ِو ْي ِه ْال ِجه‬
ُّ ‫ات الس‬ ِ ‫ت َو ْاألرْ َك‬
َ ‫ان َواأل ْع‬
ِ ‫ضا ِء َواأل َد َوا‬ ِ ‫"تَ َعالَـى (يَ ْعنِي هللاَ) َع ِن ْال ُح ُدوْ ِد َو ْالغَايَا‬

"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak
mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar
(seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti
mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu
maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang); tidak
seperti makhlukNya yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut".

Perkataan al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi ini merupakan Ijma’ para sahabat dan
ulama Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil
dari perkataan tersebut bahwasannya bukanlah maksud dari Mi'raj bahwa Allah
berada di arah atas lalu Nabi Muhammad naik ke arah sana untuk bertemu
denganNya. Melainkan maksud Mi'raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dan
memperlihatkan kepadanya keajaiban-keajaiban makhluk Allah sebagaimana
dijelaskan dalam al Qur'an surat al-Isra ayat 1.

Sulaiman mengatakan...

@ Anonim 8 Desember 2011 16:18

[258]
Kutipan nya Imam Thahawi yang sampeyan bawakan itu yang no 52 ya?..coba baca
juga ini: 

73: Arasy dan Kursi adalah benar.

74: Allah tidak memerlukan Arasy dan apa saja yang berada di bawahnya.

75: Allah meliputi segala sesuatu dan Dia berada di atas segala sesuatu, dan Dia
tidak memberikan kepada makhluk-Nya kemampuan untuk meliputi segala sesuatu.

Jadi, pernyataan Allah diatas Arasy yang dikatakan oleh Shahabat dan Ulama Salaf
sudah cocok, jangan dibikin pusing.

Sudah jelas-jelas Nabi Mi'raj itu ceritanya naik ke atas langit kenapa dikarang-
karang jadi kesannya Nabi itu mimpi jalan-jalan ke atas langit atau istilahnya Mi'raj
nya Nabi cuma Kiasan/Majaz/Perumpamaan aja. (senangnya kok ngarang aneh yah,
weleh, weleh)

O iya, kalau sampeyan mau lebih kritis dan tulisan sampeyan bisa lebih bermanfaat.

dalam artikel ini Ust. Abul Jauza sudah bawakan 27 perkataan Shahabat dan Ulama
Salaf mengenai ketinggian Allah diatas makhluknya.

Tantangan buat sampeyan bawakan 28 saja perkataan Shahabat dan Ulama Salaf
yang menyatakan Allah Tidak Diatas Langit/Arasy.

SAYA YAQIN SAMPEYAN GAK AKAN MAMPU!!!

Hanya kelompok SESAT SYI'AH, MU'TAZILAH, JAHMIYAH, yang mengingkari


keberadaan Allah Diatas Langit/Arasy, kalau ada yang ngaku Asy'ariyah juga mau
ikutan club sesat tersebut ya silahkan.

Yang jelas Imam Asy'ari Tidak pernah mencontohkan pemahaman sesat tersebut.

Banyak belajar, banyak bersabar, Insya Allah ada jalan keluar.

[259]
Sulaiman mengatakan...

O iya, tantangan yang saya berikan mengenai 28 perkataan Shahabat dan Ulama
Salaf yang menyatakan Allah Tidak Diatas Langit/Arasy atau Allah Ada Tanpa
Tempat, harus yang SHAHIH/HASAN ya.

Anonim mengatakan...

@akhi sulaiman,

Afwan akhi, mungkin maksud komentar antum ditujukan pada @anonim 22 Januari
2012 02:01 yg membawakan riwayat Imam Abu Ja'far Ath Thahawiy no. 52. Riwayat
tersebut memang banyak dijadikan dalil (mungkin dalih lebih tepatnya) oleh para
jahmi di negeri ini untuk tidak menerima keberadaan Allah diatas 'arsyNya.

Ibnu Abi Irfan mengatakan...

sayang sekali ada saudara muslim kita yang menyebut bahwa Aqidah ketinggian
Alloh ini dipengaruhi oleh ajaran Paganisme.

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/19/dipengaruhi-oleh-paganisme/

Hasan mengatakan...

@ Ibnu Abi Irfan

Ya benar, sangat disayangkan yang demikian, itu contoh nyata dari penganut Ilmu
FALSAMPAH (Filsafat/Falsafah).

Saking ngeyelnya Sifat Allah juga di FALSAMPAH kan, terlalu mereka.

Kalau seandainya si pemilik blog mau melihat artikel yang disusun Ust. Jauza ini,
saya yaqin ia tidak akan mampu mengumpulkan ucapan Ulama Salaf dan Shahabat
yang lahir sebelum 300 H, terkait dengan Paham Allah Maujud Bila Makan (Allah
ada tanpa tempat) sebanyak barisan Shahabat dan Ulama Salaf yang menyatakan
Allah Diatas Langit/Diatas Arsy.

[260]
Isi tulisannya pemilik blog tersebut kurang vitamin, contoh:
- Bawa nukilan perkataan Imam Syafi' yang konon berasal dari Kitab Fiqhul Akbar,
padahal Ulama Asy'ariyah seperti Syaikh Sa'id Fawdah sendiri meragukan kitab
tersebut pernah ditulis Imam Syafi'i.

Sampai sekarang sepertinya belum ada uji validasi Kitab Fiqhul Akbar (Asy-Syafi'i)
tersebut dari Asy'ariyah (kalau dari Wahabi sepertinya sudah dan hasilnya kitab
tersebut tidak layak disandarkan pada Imam Syafi'i)..yang penting beda dengan
Wahabi ya sikat aja bleh

- Bawa nukilan perkataan Imam Ahmad tapi melalui lisannya Imam Ibnu Hajar Al-
Haitami...Imam Ahmad lahir tahun berapa dan Imam Ibnu Hajar lahir tahun
berapa?...apa gak sempat ya dipikirin sebentar aja, kira-kira pas gak sih berdalil
dengan yang gak sezaman/ketemuan gitu?...pokoknya asal beda dengan Wahabi
sikat aja bleh..

- Bawa nukilannya Imam Abu Sa’id al-Mutawalli asy-Syafi’i (w 478 H..ini sih bukan
Ulama Salaf..ya lewatin dulu aja deh..cari yang Ulama Salaf dulu deh

- Bawa nukilannya Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki..ini juga bukan Ulama Salaf,
jadi lewatin dulu aja deh

Lalu mana ucapan Ulama Salaf yang mengatakan Allah Ada Tanpa Tempat???

Intinya, pemahaman mereka itu (Yang ngaku-ngaku Asy'ariyah) banyak bedanya


dengan Shahabat dan Ulama Salaf, yang KENTAL BANGET itu NYEREMPET-
NYEREMPET bahkan MIRIP JAHMIYAH/MU'TAZILAH.

Mudah-mudahan Allah bagi hidayah pada kita semua, amin

Anonim mengatakan...

Mana mau pemilik blog mutiarazuhud membaca artikelnya Al Akh Abul Jauzaa'? Lah
wong berkunjung kesini aja mungkin dia alergi hehehe...

Si Mutiarazuhud a.k.a Zon Jonggol memang sudah terkenal dengan aqidah


[261]
jahmiyahnya (bahkan lebih parah dari sekedar asy'ari). Berulangkali dia menafikan
ketinggian Allah diatas semua makhluknya bahkan bukan cuma di blognya tp jg di
FB. Ana berlindung kepada Allah dari org2 spt ini...

gg mengatakan...

Bagaimana kedudukan hadis-hadis di bawah, shohikah ?

HADIS PERTAMA :

Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallohuanhu ia


berkata. Rasulullah Sholallohu'alaihiwasallam bersabda : "Penghuni surga yang
paling terendah tempatnya adalah : yang bisa melihat taman-taman, istri-istrinya,
kenikmatannya, pelayannya, dan tempat tidurnya. Yang ia tempuh selama 1000
tahun. Dan penghuni surga di sisi Allah adalah yang dapat melihat wajahNya pagi
dan petang." Kemudian Rasulullah membacakan ayat, "Wajah-wajah (orang
mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuha-nyalah mereka melihat."

HADIS KEDUA :

Diriwayatkan bahwa seseorang menempati tempat yang tinggi. Ia


menemukan di sampingnya berupa pakaian. Ia tidak habis-habisnya
menceritakan keadaan tersebut (kenikmatan surga) hingga (pikirannya
habis) membayangkan apa yang lebih baik darinya. Sebab, hal ini tidak
mesti dicemaskan, bahkan hal yang menggembirakan. Kemudian mereka
kembali ke rumah menemui istri-istri mereka. Istri mereka berkata,
"Selamat datang. Sungguh, setelah sekian lama kita berpisah, sekarang
engkau datang dengan keadaan lebih tampan dari sebelumnya." Ia
menyahut, "Wajar saja, karena kami telah bercengkrama bersama Tuhan
kami Yang Maha Perkasa, dan kami berhak kembali kepadamu dengan
keadaan seperti ini." Sebagian para wanita berkata," Kami melihat
seorang pemuda yang sedang beribadah sendirian, tidak ada seorangpun
yang menemaninya,"Wahai anak muda, kenapa engkau sendirian, tidak ada
teman dan pembantu ?" Demi kekuasaan-Nya, sungguh Dia (Allah) berada
di atasku. Dengan ilmu dan hikmah-Nya, Dia senantiasa berada
bersamaku. Di sampingku ada petunjuk-Nya. Di kananku nikmat-Nya dan di
[262]
kiriku pemeliharaan-Nya. Ia berkata, "Ketika aku mendenar perkataan
tersebut, saya katakan padanya, "Adakah Anda ditemani seseorang ? "Ia
menjawab, "Tidak usah lah, saya tidak inign menyibukkan Anda." Saya
katakan lagi kepadanya, "Tidakkah Anda merasa kesepian di tempat ini
?" Tidakkah Anda merasa kesepian di tempat ini? " Ia menjawab,"Duhai,
mana mungkin yang akan kesepian orang yang senantiasa bersama Sang
Kekasih ?" Saya bertanya, " Di mana kamu makan ? Ia menjawab, "Dialah
yang menemaniku di kegelapan malam ketika aku diserang penyakit asma
di saat kecil, dan yang memeliharaku di saat sudah dewasa. Dia telah
menentukan rezki untukku, lalu aku berdoa kepada-Nya. Kemudian Dia
(Allah) menyahui doaku, "Allah telah menjauhkan dari maksiat dan
memenuhi hatimu dengan rasa takut kepada-Nya. Dia-lah yang senantiasa
menyibukkanmu untuk mengabdi kepada-Nya. Lalu dia pergi untuk
melaksanakan shalat. Saya bertanya kepadanya,"Saudaraku, kapan Dia
bertemu dengan-Mu. Ia tersenyum lalu berkata, "Setelah hari ini, tidak
akan terjadi lagi peristiwa di dunia dan pada hari kiamat, hari dimana
berkumpulnya seluruh manusia. Jika engkau bertemu denganku, maka kita
memohon kepada Allah termasuk orang yang bisa melihat Allah." Saya
bertanya lagi,"Dari mana engkau tahu hal itu ?" Ia menjawab," Allah
telah menjanjikan kepadaku. Karena aku jaga pandanganku dari melihat
yang haram, aku tahan diri dari mengikuti hawa nafsu yang
menjerumuskan, dan aku berkhalwat untuk mengabdi kepada-Nya di
kegelapan malam. Dia Dzat yang tersembunyi, sehingga aku tidak bisa
melihat-Nya."

Ya Allah, jadikan kami termasuk golongan yang disifati dengan sifat


yang tiga ini. Hingga aku bisa bertemu dengan-Mu di hari kiamat kelak
yang berkata kepada mereka penjaga-penjaga surga, "Kesejahteraan
(dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu ! Maka masukilah surga ini,
sedang kamu kekal di dalamnya."

Tapi,di buku sumbernya Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari berbahasa


Indonesia, tidak disertakan dengan sanadnya. Mungkin Pak Ustadz
mengetahui sanadnya. Pernah membaca di kitab Pak Ustadz.

[263]
Jazakallah khoiron

Anonim mengatakan...

Mengomentari manipulasi Imam Syafii di atas. 

hehehe.... lucu sekali mereka, memang yg pertama kali menukil perkataan Imam
Syafi'i tadi siapa? Bukannya Imam Dzahabi dlm kitabnya Mukhtashor Al Uluww?
Ala kulli haal, Ibnul Qayyim dlm kitab beliau Ijtima'ul Juyusy Al Islamiyyah, menukil
dari Al Imam Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Raazi, yg mengatakan:
‫ القول في السنة التي أنا‬:‫ عن أبي عبد هللا محمد بن إدريس الشافعي رحمه هللا تعالى قال‬،‫حدثنا أبو شعيب وأبو ثور‬
‫ اإلقرار بشهادة أن‬،‫عليها ورأيت أصحابنا عليها أهل الحديث الذين رأيتهم وأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما‬
‫ وأن هللا تعالى‬،‫ وأن هللا تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء‬،‫ال إله إال هللا وأن محمدا رسول هللا‬
‫ينزل إلى سماء الدنيا كيف شاء‬.
Sanad ini jelas shahih, sebab Ibnul Qayyim menukilnya dari kitab Abdurrahman bin
Abi Hatim, seorang imam ahli hadits dari kalangan ahlussunnah wal jama'ah, dan
beliau mendengarnya secara langsung dari Abu Tsaur (murid imam Syafi'i yg
tsiqah)... adapun Abu Syu'aib dlm sanad ini, maka baik dia disebut ataupun tidak,
tetap saja sanadnya shahih, sebab dia tak lebih dari sekedar penyerta...
keberadaannya tidak akan melemahkan sanad hadits yg sudah shahih.
Jadi, ketika Imam Dzahabi menukil penggalan sanad hadits tadi melalui jalur Abul
Hasan Al Hakkari dll, beliau sengaja membuang sanadnya yg dianggap tidak perlu,
sebab asal-usul hadits tsb telah dikenal dan memiliki sanad shahih (yaitu yg ana
nukil di atas), sehingga cukuplah beliau menyebutkan titik temu sanad-sanad tadi...
yaitu pada Abu Tsaur dan Abu Syu'aib.

Anehnya, mereka (habaib dan pengikutnya), justru berdalil dengan riwayat-riwayat


tanpa sanad sama sekali, dan dinukil dari kitab-kitab yg ditulis oleh ulama abad ke-8
H dan setelahnya... padahal antara mereka dan Imam Syafi'i terpaut 6 abad... Dan yg
memuat riwayat2 tsb adalah kelompok yg terkenal menyelisihi para salaf dlm
masalah akidah (As Subki, dkk).

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

[264]
Tanpa ada maksud membela hujjah para shuufiyyah,.... Yang saya dapati dari
perkataan Ibnul-Qayyim dalam Ijtimaa'ul-Juyuusy adalah sebagai berikut :

‫قال اإلمام ابن اإلمام عبد الرحمن بن أبي حاتم الرازي حدثنا أبو شعيب وأبو ثور عن أبي عبد هللا محمد بن إدريس‬
‫الشافعي رحمه هللا تعالى قال القول في السنة التي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها أهل الحديث الذين رأيتهم وأخذت‬
‫عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما االقرار بشهادة أن ال إله إال هللا وأن محمدا رسول هللا وأن هللا تعالى على عرشه في‬
‫سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وأن هللا تعالى ينزل إلى سماء الدنيا كيف شاء‬

Di sini Ibnul-Qayyim tidak menyandarkan penukilan dari kitab Ibnu Abi Haatim
(sehingga kita bisa hukumi jalan pengambilan riwayat ini sebagai wijaadah, yang
dianggap shahih dan muttashil menurut pendapat yang raajih). tentu saja, sanad
antara Ibnul-Qayyim dengan Ibnu Abi Haatim adalah munqathi'. 

Dan sebatas yang saya ketahui, riwayat dengan sanad di atas merupakan potongan
dari riwayat yang sanad lengkapnya sebagai berikut :

ُ‫ ثَنَا َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن بْن‬، ُّ‫ أَ ْنبَأ َ أَبُو ْالقَا ِس ِم بْنُ ع َْلقَ َمةَ األَ ْبهَ ِري‬،ُ‫ َوأَ ْخبَ َرنَاهُ أَبُو يَ ْعلَى ْالخَ لِي ُل بْنُ َع ْب ِد هَّللا ِ ْال َحافِظ‬:‫قَا َل َش ْي ُخ ا ِإل ْساَل ِم‬

‫ ْالقَوْ ُل‬:‫ قَا َل‬،ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه‬ َ ‫ ع َْن أَبِي َع ْب ِد هَّللا ِ ُم َح َّم ِد ب ِْن إِ ْد ِر‬،‫ب َوأَبِي ثَوْ ٍر‬
ِ ‫يس ال َّشافِ ِع ِّي َر‬ ٍ ‫ ع َْن أَبِي ُش َع ْي‬، ُّ‫َّازي‬
ِ ‫أَبِي َحاتِ ٍم الر‬
ُ ‫ث الَّ ِذينَ َرأَ ْيتُهُ ْم فَأَخ َْذ‬
ٍ ِ‫ َو َمال‬، َ‫ مثل ُس ْفيَان‬،‫ت َع ْنهُ ْم‬
،‫ َو َغي ِْر ِه َما‬،‫ك‬ ِ ‫ أَ ْه َل ْال َح ِدي‬،‫ْت أَصْ َحابَنَا َعلَ ْيهَا‬
ُ ‫ َو َرأَي‬،‫فِي ال ُّسنَّ ِة أَنَا َعلَ ْيهَا‬

‫ يُقَ ِّربُ ِم ْن‬،‫ َوأَ َّن هَّللا َ َعلَى َعرْ ِش ِه فِي َس َمائِ ِه‬:‫ َو َذ َك َر َش ْيئًا ثُ َّم قَا َل‬،ِ ‫ َوأَ َّن ُم َح َّمدًا َرسُو ُل هَّللا‬،ُ ‫اإل ْق َرا ُر بِ َشهَا َد ِة أَ ْن اَل إِلَهَ إِاَّل هَّللا‬
ِ
‫ َو َذ َك َر َسائِ َر اال ْعتِقَاد‬،‫ َوأَ َّن هَّللا َ تَ َعالَى يَ ْن ِز ُل إِلَى ال َّس َما ِء ال ُّد ْنيَا َك ْيفَ َشا َء‬،‫خَ ْلقِ ِه َك ْيفَ َشا َء‬

Ini adalah riwayat Ibnu Qudaamah dalam kitab Itsbaat Shifatil-'Ulluw, hal. 180-181
no. 92.

Syaikhul-Islaam dalam sanad di atas adalah Al-Hakkaariy. Seandainya sanadnya


memang hanya berasal dari jalur Al-Hakkariy, maka kualitasnya lemah. Kecuali
kalau memang ada sanad lain dari selain ini yang shahih.

Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Bagaimana akidahnya Ibnu HAjjar asqolani apakah beliau mengimani bahwa Allah
berada di atas arsy ?

[265]
Syukron

Anonim mengatakan...

1. Abul 'Aliyah mengatakan bahwa maksud dari 'istiwa' di atas langit' adalah naik.
Bagaimana sanad riwayat tersebut ? Bisakah Akhi Abul Jauza memberikan rawinya
dan terdapat dalam kitab apa ?

2. Ketika seseorang yg menanyakan kaifiyat Allah, pertanyaan dia bid'ah, padahal


kan bid'ah adalah sesuatu yang baru dlm agama. Ini artinya kata-kata pun termasuk
pembagian tauhid menjadi 2 uluhiyah asma wa sifat dan rububiyah adalah bid'ah.
Karena, pertanyaan saja dianggap bid'ah. Artinya pengertian bid'ah disini
bagaimana ? Kalau pertanyaan Anda Menyimpang atau pertanyaan yang tidak perlu
dipertanyakan, tidak usah ditanyakan dan jika menanyakannya adalah dosa karena
telah menanyakan dzat Allah saya paham tapi kenapa ini disebutnya pertanyaan
anda bid'ah.

syukron

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

1. Dibawakan oleh Al-Bukhaariy secara mu'allaq. Ibnu Hajar menyambungkannya


dalam Taghliiqut-Ta'liiq.

2. Pertanyaan kaifiyyat Allah itu bid'ah karena salaf (para shahabat) ketika disebut
nash-nash shifaat, mereka menerima lafadh dan maknanya tanpa mempertanyakan
bagaimana. Hal itu dikarenakan pertanyaan 'bagaimana' atau kaifiyyat Dzat Allah
adalah mustahil. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pun telah melarangnya
dalam sabdanya :

ِ ‫ َوال تَفَ َّكرُوا فِي هَّللا‬،ِ ‫تَفَ َّكرُوا فِي آال ِء هَّللا‬

"Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, namun jangan berpikir tentang Dzat


Allah".

memikirkan kaifiyat Allah adalah sesuatu yang mustahil (dilakukan oleh makhluk).
[266]
Oleh karenanya, perbuatan itu termasuk maksiat dan bid'ah.

Adapun pengklasifikasian bahwa tauhid dibagi menjadi dua atau tiga, maka itu
dilakukan berdasarkan istiqraa' atas nash-nash. Sama halnya dalam ilmu nahwu,
bahwa ia juga dihasilkan memperhatikan ucapan-ucapan orang Arab dan istiqraa'
dalam nash (Al-Qur'an dan As-Sunnah). Semuanya itu bertujuan untuk
memudahkan dalam pemahaman.

Bererapa ulama (non Muhammad bin 'Abdil-Wahhab dan Ibnu Taimiyyah) telah
menjelaskan dalam perkataan mereka tentang Rubuubiyyah, Uluhiyyah, dan Asmaa'
wa Shifaat Allah. Misalnya :

AL-Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit w. 150H, berkata dalam kitab Fiqhul
Absath hal 51: “Allah ‫ تعالى‬itu diseru dengan sifat yang tinggi bukan dengan sifat
rendahan, karena sifat yang rendah bukanlah termasuk sifat Rububiyyah dan
Uluhiyah sedikitpun”.

Imam Abu Hatim Muhammad bin Hibban Al-Busti w. 354H, berkata dalam
mukaddimah kitab Roudhotul Uqola’ wa Nuzhatul Fudholaa’: “Segala puji bagi Allah
Yang Maha Tunggal dalam ke-esaan Uluhiyyah-Nya, yang maha mulia dengan
Rubbubiyyah-Nya, yang mengurusi segala yang hidup dengan ketentuan ajal…

Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusy w. 520H, dalam mukaddimah


kitab Sirajul Muluk (1/7): “Dan aku bersaksi bahwa sungguh bagi Allah sifat
Rububiyyah dan Ke-Esaan, dan dengan apa apa yang Allah telah persaksikan bagi
diri-Nya dan Nama nama-Nya baik dan sifat sifat-Nya yang maha tinggi serta sifat
sifat-Nya yang maha sempurna”.

Dan yang lainnya.

Oleh karena itu kemudian para ulama menghimpun dari penjelasan para ulama
tersebut bahwa tauhid menurut Ahlus-Sunnah terdiri dari tiga. Tentu saja, semua ini
dilandaskan pada dalil-dalilnya.

Wallaahu a'lam.

[267]
Anonim mengatakan...

Riwayat Abul 'aliyah di atas. Dibawakan oleh Al-Bukhaariy secara mu'allaq. Ibnu
Hajar menyambungkannya dalam Taghliiqut-Ta'liiq.
Berarti bisa dibilang riwayat tersebut dhaif ya ?

Terus riwayat Mujaahid Al-Makkiy ketika menjelaskan ayat istiwaa’ berkata :


‫عال على العرش‬
“Tinggi di atas ‘Arsy” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy secara mu’allaq dengan
shighah jazm, 6/2698].

Hadits Mu’allaq adalah hadits mardud (ditolak) karena gugur dan hilangnya salah
satu syarat diterimanya suatu hadits, yaitu bersambungnya sanad, dengan cara
menggugurkan seorang atau lebih dari sanadnya tanpa dapat diketahui keadaannya.

Artinya kedua riwayat di atas adalah dhaif. benar begitu ?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Hadits mu'allaq itu pada asalnya adalah hadits dla'if. Namun jika ia telah
disambungkan dalam sanad yang lain, dan sanad sambungan itu shahih, maka
hadits mu'allaq tadi menjadi shahih. 

Adapun hadits mu'allaq dalam Shahiihain, pada asalnya hukumnya sama. Namun
ketika Al-Bukhaariy menjazmkannya, maka riwayat tersebut dihukumi shahih. Hal
itu dipertimbangkan melihat ketinggian kedudukan Al-Bukhaariy dan kitab Shahiih-
nya, serta penelitian yang telah dilakukan para ulama bahwa riwayat mu'allaq Al-
Bukhaariy dengan shighah jazm adalah shahih karena ada sanad penyambungnya. 

Ibnu Hajar rahimahullah telah menyambungkan sanadnya dalam At-Taghliiq


sebagai berikut :

‫ ا ْستَ َوى َعلَى‬:‫ في قوله تعالى‬،‫ عن مجاهد‬،‫ عن ابن أبي نجيح‬،‫ فقال الفريابي في تفسيره ثنا ورقاء‬،‫وأما قول مجاهد‬

ِ ْ‫ْال َعر‬
‫ قال " عال على العرش‬،‫ش‬

"Adapun perkataan Mujaahid, maka Al-Faryaabiy berkata dalam Tafsiirnya : Telah


[268]
menceritakan kepada kami Warqaa', dar Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid tentang
firman-Nya ta'ala : istawaa' 'alal-'Arsy, maka ia (Mujaahid) berkata : "Tinggi di atas
'Arsy" [At-Taghliiq, 5/345].

Riwayat ini sanadnya shahih. 

Al-Faryaabiy namanya Muhammad bin Yuusuf. Ia merupakan syaikh dari Al-


Bukhaariy, seorang yang tsiqah lagi faadlil. Warqaa' bin 'Umar Al-Yasykuuriy,
seorang yang shaduuq atau tsiqah. Ibnu Abi Najiih adalah seorang yang tsiqah.
Hanya saja, sebagian ulama membicarakan periwayatan tafsir Ibnu Abi Najiih dari
Mujaahid. Akan tetapi, Al-Bukhaariy dan Muslim menshahihkan riwayat Ibnu Abi
Najiih dari Mujaahid dalam kitab Shahihnya.

Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

1. Bagaimana tafsir dari Ibnu Abbas tentang istiwa ? Juga dengan bagaimana
sanadnya. Apakah yang ada adalah dari muridnya saja yaitu Mujahid ? 

2. Bagaimana tanggapan Ustadz tentang hal ini Al-Baghawi mengatakan bahwa ayat,
“Ar-Rahman alal arsy istawa” (20:5) menurut Ibn Abbas dan kebanyakan mufasir
Quran adalah “Dia mengangkat Diri-Nya Sendiri” " (irtafa`a).18 Ini adalah penafsiran
yang dikutip dari al-Bukhari dalam Sahih dari Tabi’in Rufay` ibn Mahran Abu al-
`Aliya (w. 90H). Al-Bukhari juga mengutip dari Mujahid (w. 102H) penafsiran
"menaikan" atau "mengangkat Diri-Sendiri ke atas" (`ala). Ibn Battal menyatakan
bahwa pendapat tersebut adalah sikap dan perkataan yang benar dari Ahlu Sunah,
karena Allah menyatakan Diri-Nya Sendiri sebagai Al-‘Ali,Yang Maha Ditinggikan”
(2:255), dab berfirman: “maka Maha Tinggilah Dia (Ta’ala) dari apa yang mereka
persekutukan. (QS. 23:92)” .19
Bisa Ustadz lihat di situsnya.
http://soni69.tripod.com/istiwa.htm

3.. Hal itu dipertimbangkan melihat ketinggian kedudukan Al-Bukhaariy dan kitab
Shahiih-nya, serta penelitian yang telah dilakukan para ulama bahwa riwayat
mu'allaq Al-Bukhaariy dengan shighah jazm adalah shahih karena ada sanad
[269]
penyambungnya. Yang saya tanyakan ulama mana saja siapa saja yang meneliti
bahwa riwayat mu'allaq Al-Bukhaariy dengan shighah jazm adalah shahih karena
ada sanad penyambungnya. Juga di riwayat Abul 'Aliyah itu dimana sanad
penyambungnya ? Yg dijelaskan di atas adalah sanad penyambung mujahid tinggi di
atas arsy bukan riwayat dari Abul 'Aliyah.

Jazakallah khoiron

Anonim mengatakan...

Mengomentari pengandaian tabi'in Sulaimaan At-Taimiy, dimanakah Arsynya


sebelum diciptakan air ya tentu jawabannya arsynya itu di atas langit kan sudah di
kasih tahu kalau arsynya itu di atas air dan air itu di atas langit dan air itu kan di
atas surga firdaus atau jawaban lain dimana arsynya sebelum diciptakan air
jawaban lainnya belum diciptakan arsynya jadi mengapa jawaban Sulaimaan At-
Taimiy Tidak Tahu ???

Afqi Al-Pantouw mengatakan...

Dan saya akan mengomentari pengandaianmu yaa al-Majhul. Afwan, saya menyebut
antum dengan kata ‘al-Majhul’. Itu karena antum berkomentar hanya dengan nama
‘Anonim’.

Perkataan antum :
“Jadi mengapa jawaban Sulaimaan At-Taimiy Tidak Tahu ???.”

Kita tahu bahwasanya para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut at-tabi’in, dan para
ulama ahlus sunnah wal jama’ah (termasuk empat imam mazhab) ialah mereka-
mereka yang sangat berpegang teguh dengan al-Qur`an dan as-Sunnah ash-
Shahihah. Ketika mereka berkata, mereka sangat berhati-hati dalam mengucap
perkataan. Entah itu perkataan ketika sedang bersosialisasi ataupun ketika
memberikan pengajaran kepada orang lain. Singkatnya ialah, perkataan mereka itu
sangat :
“Singkat, Padat dan Jelas.”

Tidak seperti perkataan orang-orang yang telah terpengaruh paham filsafat dan

[270]
paham sebagainya.
Itulah sebabnya Sulaimaan At-Taimiy rahimahullah, berkata :
“Saya tidak tahu/Ana, laa adri”

Apakah antum sudah mengerti ?

Jazaakallahu khayran, yaa Anonim al-Majhul..

Khosib Black mengatakan...

assalam.. afwan Ust. saya minta Izin untuk Share tulisan Ust di blog saya.

Aditya Rachman mengatakan...

Lafadz 'amrun 'adamiyyun tidak ada di dalam hadits ataupun perkataan salaf.

Aditya Rachman mengatakan...

Abul Jauza al mujassimah berhujjah atas keyakinan sesungguhnya Allah berada di


atas Arsy dengan firman Allah ta'la :

َ‫يَ َخافُونَ َربَّهُ ْم ِم ْن فَوْ قِ ِه ْم َويَ ْف َعلُونَ َما ي ُْؤ َمرُون‬

“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa
yang diperintahkan (kepada mereka)” [QS. An-Nahl : 50].

Sumber : http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2011/10/ketinggian-allah-taala-di-
semua-makhluk.html?m=1

Jawabannya :
Imam Qurthubiy menafsirkan ayat tersebut di dalam kitab tafsirnya :
:‫ ﻭﻗﻴﻞ‬.‫ ﻷﻥ اﻟﻌﺬاﺏ اﻟﻤﻬﻠﻚ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻨﺰﻝ ﻣﻦ اﻟﺴﻤﺎء‬،‫ﻭﻣﻌﻨﻰ (ﻳﺨﺎﻓﻮﻥ ﺭﺑﻬﻢ ﻣﻦ ﻓﻮﻗﻬﻢ) ﺃﻱ ﻋﻘﺎﺏ ﺭﺑﻬﻢ ﻭﻋﺬاﺑﻪ‬
"‫ ﻣﻌﻨﻰ" ﻳﺨﺎﻓﻮﻥ ﺭﺑﻬﻢ ﻣﻦ ﻓﻮﻗﻬﻢ‬:‫ ﻭﻗﻴﻞ‬.‫ ﻓﻔﻲ اﻟﻜﻼﻡ ﺣﺬﻑ‬،‫اﻟﻤﻌﻨﻰ ﻳﺨﺎﻓﻮﻥ ﻗﺪﺭﺓ ﺭﺑﻬﻢ اﻟﺘﻲ ﻫﻲ ﻓﻮﻕ ﻗﺪﺭﺗﻬﻢ‬
‫ ﻓﻸﻥ ﻳﺨﺎﻑ ﻣﻦ ﺩﻭﻧﻬﻢ‬،‫ ﻳﺨﺎﻓﻮﻥ ﺭﺑﻬﻢ ﻭﻫﻲ ﻣﻦ ﻓﻮﻕ ﻣﺎ ﻓﻲ اﻷﺭﺽ ﻣﻦ ﺩاﺑﺔ ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻳﺨﺎﻓﻮﻥ‬،‫ﻳﻌﻨﻲ اﻟﻤﻼﺋﻜﺔ‬
‫ (ﻭﻳﻔﻌﻠﻮﻥ ﻣﺎ ﻳﺆﻣﺮﻭﻥ) ﻳﻌﻨﻰ اﻟﻤﻼﺋﻜﺔ‬:‫ ﺩﻟﻴﻞ ﻫﺬا اﻟﻘﻮﻝ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬،‫ﺃﻭﻟﻰ‬.
Dan makna : mereka takut kepada tuhan mereka yang di atas mereka, tegasnya
adalah siksa tuhan mereka dan azabnya, karena azab yang membinasakan
[271]
sesungguhnya turun dari langit, dan dikatakan sebagian ulama : maknanya adalah
mereka takut kepada kekuasaan tuhan mereka yang mana di atas kekuasaan
mereka. Dan dikatakan sebagian ulama : makna mereka takut kepada tuhan mereka
yang di atas mereka, yakni para malaikat, mereka takut kepada tuhan mereka, dan
malaikat berada di atas apa-apa yang di bumi dari hewan melata, disertai yang
demikian itu mereka takut, lalu mahluk di bawah mereka lebih takut lagi, dalil
perkataan ini adalah firman Allah ta'ala : dan mereka mengerjakan apa yang
diperintahkan kepada mereka, yakni para malaikat.

Al Hafidz ibnu katsir menafsirkan ayat tersebut didalam kitab tafsirnya :


{‫}ﻳﺨﺎﻓﻮﻥ ﺭﺑﻬﻢ ﻣﻦ ﻓﻮﻗﻬﻢ‬ 
‫ ﻳﺴﺠﺪﻭﻥ ﺧﺎﺋﻔﻴﻦ ﻭﺟﻠﻴﻦ ﻣﻦ اﻟﺮﺏ ﺟﻞ ﺟﻼﻟﻪ‬:‫ﺃﻱ‬،
Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka. (An-Nahl: 50)

Yakni mereka bersujud dengan rasa takut dan malu kepada Tuhan Yang Mahaagung
lagi Mahabesar.

Jadi jelas bahwasanya ulama ahli tafsir ahlussunnah wal jama'ah tidak menjadikan
ayat tersebut dalil bahwasanya Allah menetap di atas, karena yang demikian
menyalahi aqidah ahlussunnah wal jama'ah yang meyakini Allah wujud tanpa
tempat dan arah.

Oleh : aditya rachman Asy Syafi'i

Aditya Rachman mengatakan...

Semua penetapan sifat di atas yg di lakukan ulama salaf adalah dari sisi maknawiy,
bukan dari sisi hissiy..
‫ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﻘﺮ ﺑﺄﻥ اﻪﻠﻟ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﻗﺪ‬:‫ ﺳﻤﻌﺖ اﺑﻦ ﺧﺰﻳﻤﺔ ﻳﻘﻮﻝ‬،‫ ﺳﻤﻌﺖ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺻﺎﻟﺢ ﺑﻦ ﻫﺎﻧﺊ‬:‫ﻗﺎﻝ اﻟﺤﺎﻛﻢ‬
‫ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﺎﻟﻪ ﻓﻴﺌﺎ‬،‫ ﻓﻬﻮ ﻛﺎﻓﺮ ﺣﻼﻝ اﻟﺪﻡ‬،‫اﺳﺘﻮﻯ ﻓﻮﻕ ﺳﺒﻊ ﺳﻤﺎﻭاﺗﻪ‬.
‫ ﻭﺁﻣﻦ ﺑﻪ ﻣﻔﻮﺿﺎ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺇﻟﻰ‬-‫ﺻﻠﻰ اﻪﻠﻟ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫ ﻭﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺭﺳﻮﻝ اﻪﻠﻟ‬،‫ ﻣﻦ ﺃﻗﺮ ﺑﺬﻟﻚ ﺗﺼﺪﻳﻘﺎ ﻟﻜﺘﺎﺏ اﻪﻠﻟ‬:‫ﻗﻠﺖ‬
‫اﻪﻠﻟ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ‬،

‫سير أعالم النبالء‬

[272]
Telah berkata al hakim : aku mendengar muhammad bin solih bin hani, aku
mendengar ibnu khuzaimah berkata :
barang siapa yang tidak membaca sesungguhnya Allah di atas arsy Nya beristiwa di
atas 7 langit langit nya maka dia adalah kafir dan halal darahnya, dan hartanya
menjadi harta fai,
aku (adz dzahabiy) katakan : barang siapa membaca yang demikian hal nya
membenarkan kitabullah dan hadits hadits rasulullah saw dan mengimaninya
dengan menyerahkan maknanya kepada Allah dan rasul Nya.

siyar a'lam an nubala

Aditya Rachman mengatakan...

‫ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﻘﺮ ﺑﺄﻥ اﻪﻠﻟ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﻗﺪ‬:‫ ﺳﻤﻌﺖ اﺑﻦ ﺧﺰﻳﻤﺔ ﻳﻘﻮﻝ‬،‫ ﺳﻤﻌﺖ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺻﺎﻟﺢ ﺑﻦ ﻫﺎﻧﺊ‬:‫ﻗﺎﻝ اﻟﺤﺎﻛﻢ‬
‫ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﺎﻟﻪ ﻓﻴﺌﺎ‬،‫ ﻓﻬﻮ ﻛﺎﻓﺮ ﺣﻼﻝ اﻟﺪﻡ‬،‫اﺳﺘﻮﻯ ﻓﻮﻕ ﺳﺒﻊ ﺳﻤﺎﻭاﺗﻪ‬.
‫ ﻭﺁﻣﻦ ﺑﻪ ﻣﻔﻮﺿﺎ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺇﻟﻰ‬-‫ﺻﻠﻰ اﻪﻠﻟ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫ ﻭﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺭﺳﻮﻝ اﻪﻠﻟ‬،‫ ﻣﻦ ﺃﻗﺮ ﺑﺬﻟﻚ ﺗﺼﺪﻳﻘﺎ ﻟﻜﺘﺎﺏ اﻪﻠﻟ‬:‫ﻗﻠﺖ‬
‫اﻪﻠﻟ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ‬،

‫سير أعالم النبالء‬


Telah berkata al hakim : aku mendengar muhammad bin solih bin hani, aku
mendengar ibnu khuzaimah berkata :
barang siapa yang tidak membaca sesungguhnya Allah di atas arsy Nya beristiwa di
atas 7 langit langit nya maka dia adalah kafir dan halal darahnya, dan hartanya
menjadi harta fai,
aku (adz dzahabiy) katakan : barang siapa membaca yang demikian hal nya
membenarkan kitabullah dan hadits hadits rasulullah saw dan mengimaninya
dengan menyerahkan maknanya kepada Allah dan rasul Nya.

siyar a'lam an nubala 

Mereka mentafwidh,menetapkan sifat di atas dari sisi maknawiy, bukan memahami


secara hissiy (indrawi)

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

[273]
Tulisan di atas sudah sedemikian jelas saya rasa. Singkat dari saya atas komentar
Anda adalah riwayat 'Umar berikut (yang ini juga sudah saya bawakan di atas):

‫ يا أمير المؤمنين‬: ‫ لما قدم عمر الشام استقبله الناس وهو على البعير فقالوا‬: ‫حدثنا وكيع عن إسماعيل عن قيس قال‬
‫ وأشار بيده إلى‬- ‫ إنما االمر من هنا‬، ‫ ال أراكم ههنا‬: ‫ فقال عمر‬، ‫لو ركبت برذونا يلقاك عظماء الناس ووجوههم‬
‫السماء‬

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika
‘Umar baru datang dari Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia
waktu itu masih di atas onta tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-
Mukminiin, jika saja engkau mengendarai kuda tunggangan yang tegak, niscaya para
pembesar dan tokoh-tokoh masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab :
“Tidakkah kalian lihat, bahwasannya perintah itu datang dari sana ? – Dan ia
(‘Umar) berisyarat dengan tangannya ke langit” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah, 13/40; shahih].

Ucapkan selamat tinggal pada retorika.

Tulang Besi Malaysiawaves mengatakan...

Pak Abu Jauzaa,

Ini sanad yg saya bawa dari kitab Itsbat Al Uluw.

Di dalamnya tiada Al Hakkari dan ianya bersambung terus ke Ibnu Qudamah

‫حدثنا عبد الرحمن بن ابي حاتم الرازية عن ابي شعيب وابي ثور عن ابي عبد هللا محمد بن ادريس الشافعي‬

[ 124 ‫] صفحة‬ 

‫رضي هللا عنه قال القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم‬
‫مثل سفيان ومالك وغيرهما اإلقرار بشهادة ان الاله اال هللا وان محمدا رسول هللا وذكر شيئا ثم قال وان هللا على‬
‫عرشه في سمائه يقرب من خلفه كيف شاء وان هللا تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر االعتقاد‬
[274]
Ertinya riwayat ini sahih

kusmardiyanto mengatakan...

Alloh swt tidak butuh tempat, buktinya ketika ruang/tempat belum ada Dia sudah
ada….tapi ketika tercipta ruang/tempat (dengan terciptanya Arsy) maka dengan
sendirinya Dia swt memiliki posisi berkaitan ruang/tempat itu, yaitu Dia swt diluar
ruang/tempat itu…dan posisi itu di atas Arsy….sebab dengan Dia swt berada di luar
ruang maka dengan sendirinya Dia swt tidak menempati ruang/tempat, jadi tetap
masih bisa dikatakan Dia swt tidak butuh ruang/tempat…..nah kalau sekarang ada
pertanyaan “dimana Alloh swt ketika Arsy (ruang/tempat) belum ada?”….ada
jawabannya di dalam al-hadits yakni ” fi amaa’, laisa fauqohu hawaa’ wa laisa
tahtahu hawaa’ ” artinya ” di amaa’, tidak ada ruang di atas-Nya maupun di bawah-
Nya “…..jadi amaa’ adalah kondisi tidak ada ruang…..

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Berbicara tentang Allah tidak usah membawakan teori keruangan/geometri seperti


itu.

kusmardiyanto mengatakan...

Alloh swt tidak butuh tempat, buktinya ketika ruang/tempat belum ada Dia sudah
ada….tapi ketika tercipta ruang/tempat (dengan terciptanya Arsy) maka dengan
sendirinya Dia swt memiliki posisi berkaitan ruang/tempat itu, yaitu Dia swt diluar
ruang/tempat itu…dan posisi itu di atas Arsy….sebab dengan Dia swt berada di luar
ruang maka dengan sendirinya Dia swt tidak menempati ruang/tempat, jadi tetap
masih bisa dikatakan Dia swt tidak butuh ruang/tempat…..nah kalau sekarang ada
pertanyaan “dimana Alloh swt ketika Arsy (ruang/tempat) belum ada?”….ada
jawabannya di dalam al-hadits yakni ” fi amaa’, laisa fauqohu hawaa’ wa laisa
tahtahu hawaa’ ” artinya ” di amaa’, tidak ada ruang di atas-Nya maupun di bawah-
Nya “…..jadi amaa’ adalah kondisi tidak ada ruang…..

Anonim mengatakan...

[275]
Semoga tdk seperti blog salafay lain yang berstrategi:
(1) "Masukkan komen2 yg penuh caci-maki thd manhaj kita dan hapus segera
komen-komen yg kritis dan masuk akal"
(2) "Masukkan komen-komen awal yg kritis dan masuk akal, kemudian hapus
komen-komen selanjutnya, agar pembaca awam percaya bahwa mereka sdh tdk
memiliki argumen lagi untuk membantah"

Salam
Abujafar

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tujuan saya membuat Blog dan menulis di dalamnya bukanlah tempat sampah bagi
semua tulisan. Tentu saja, tidak semua komentar yang dikirimkan ke Blog ini akan
saya tampilkan. Kata-kata kotor, pujian yang berlebihan, dan yang semisalnya tidak
akan saya tampilkan. Termasuk komentar-komentar yang tidak cerdas yang tidak
memberikan manfaat bagi Pembaca.

Kalau yang Anda inginkan adalah dialog ilmiah disertai dalil-dalil dan kaidah-kaidah
yang telah ma’ruf dalam agama, insyaAllah akan saya tampilkan. Termasuk jika
Anda ingin mengkoreksi apa yang tertulis di dalam Blog ini. Namun jika yang Anda
inginkan hanyalah berupa dialog-dialog yang mengandalkan logika dan posisi
kontra semata, maka maaf…. Anda salah alamat membuka dan membaca Blog ini.
Dialog seperti ini tidak akan ada selesainya, karena tujuannya adalah bagaimana
memenangkan satu perdebatan. Blog ini bukan ajang pertandingan debat.
Kebenaran bukanlah ditentukan melalui pemenang perdebatan.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Al-Qur’an adalah Kalamullah. Adapun mushhaf yang tercetak dan kita pegang adalah
makhluk. Kalamullah adalah bagian dari sifat-sifat Alah yang Maha sempurna.

Anonim mengatakan...

[276]
assalamu'alaikum warahmatullah wabaraktuh

maksudnya bagaimana Akhi?? Ana kurang mengerti, kutip : "Al Qur'an adalah
kalmullah, dan mushhaf yang kita pegang merupakan makhluk"

kenapa bisa dikatakan makhluk Akhi??

wassalam

Anonim mengatakan...

”Al-Qur’an adalah Kalamullah. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an


adalah makhluk, maka ia kafir...."
Ungkapan "kafir" pada perkataan diatas apakah berkonsekwensi "kufur akbar"
ataukah hanya sekedar "kufur asghor/ghoirul mukaffiroh ? Mohon
penjelasannya...syukron.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Anonim pertama, karena mushhaf itu dapat berarti lembaran-lembaran buku, dan
itu makhluk.

@Anonim kedua, kufur akbar.

Anonymous mengatakan...

Assalamu'alaikum. 
Akhi, saya mau ngambil artikel ini sebagai bahan liqo, tapi saya masih bingung kalau
misalnya saya mengucap kata-kata dari hadist, karena saat mengucap hadist, nah yg
saya takutkan adalah saat ada yg bertanya "darimana sanadnya dan apakah hadist
itu shahih/tha'if."

saya boleh minta ngga' tolong ditambahin shahih atau apa setelah hadist pada
artikel ini, sehingga pembaca dapat mengetahui apakah hukum hadist ini shahih
atau thai'if.

terimakasih

[277]
Anonim mengatakan...

afwan ustdz,
ana ada copy paste nie pernyataan dari org2 sebelah :

Imam Abu Hanifah (150 H) Mengatakan :

ّ ‫وصفاته في األزل غير محدَثة وال مخلوقة فمن قال إنها مخلوقة أو محدَثة أو وقف أو ش‬
‫ك فهو كافر باهلل تعالى‬
‫والقرءان أي كالم هللا تعالى في المصاحف مكتوب وفي القلوب محفوظ وعلى األلسن مقروء وعلى النبي عليه الصالة‬
‫والسالم منزل ولفظنا بالقرءان مخلوق وكتابتنا له مخلوقة وقراءتنا مخلوقة والقرءان غير مخلوق‬

“ Sifat-sifat Allah di Azali tidaklah baru dan bukan makhluk (tercipta), barangsiapa
yang mengatakan itu makhluk atau baru, atau dia diam (tidak berkomentar), atau
dia ragu maka dia dihukumi kafir kepada Allah. Al-Quran yakni Kalamullah tertulis
di mushaf-mushaf, terjaga dalam hati, terbaca dalam lisan dan diturunkan kepada
Nabi Saw. Dan lafadz kami dengan al-Quran adalah makhluk, penulisan kami kepada
Al-Quran adalah makhluk, bacaan kami dengannya adalah makhluk sedangkan al-
Quran bukanlah makhluk “.

Kemudian imam Abu Hanifah melanjutkan :

‫ونحن نتكلم باآلالت والحروف وهللا تعالى يتكلم بال ءالة وال حروف والحروف مخلوقة وكالم هللا تعالى غير مخلوق‬

“ Kami berbicara dengan alat dan huruf sedangkan Allah Ta’ala berbicara tanpa alat
dan huruf, sedangkan huruf itu makhluk dan kalamullah bukanlah makhluk “.
(Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Akbar,al-Washiyyah, al-Alim w al-Muta’allim dan
lainnya)
Penjelasan :
Dengan terang-terangan imam Abu Hanifah yang merupakan ulama salaf di awal
kurun seratus hijriyyah ini mengatakan lafadz Quran dan penulisan al-Quran adalah
makhluk sedangkan al-Quran kalamullah bukanlah makhluk.

Dari sinilah berangkat ulama asy-Ariyyah dan Maturudiyyah bahwa definsi al-Quran
terbagi menjadi dua sebagaimana pendapat imam Abu Hanifah di atas. Yakni Jika
[278]
yang dimaksudkan adalah kalam Allah, maka dia adalah kalam yang qadim dan azali
yang suci dari alat, suara dan huruf, sedangkan jika yang dimaksudkan adalah
kalimat yang terlafadzkan dan terbukukan dalam kertas-kertas, maka dia adalah
kalimat-kalimat berhuruf dan bersuara yang baru dan mengibaratkan kepada kalam
Allah yang qadim dan azali tersebut.

bgmn menurut ustdz

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sebelumnya, perlu kiranya antum membaca dua artikel berikut :

APAKAH KITAB AL-FIQHUL-AKBAR MERUPAKAN KARYA AL-IMAM ABU


HANIFAH ?.

Sanad Kitab ‘Aqidah Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah.

Intinya, penisbatan kitab-kitab 'aqidah kepada Abu Haniifah masih diragukan


kebenarannya atau keotentikannya.

Adapun kemudian,.....

Sifat Allah memang bukan makhluk, sehingga Al-Qur'an yang merupakan


Kalamullah juga bukan makhluk.

Namun jika dikatakan bahwa Allah berfirman tanpa suara dan huruf, ini keliru.
Perkataan ini menyelisihi 'aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah, 'aqidah salaf. Silakan
baca :

Allah Berfirman dengan Suara yang Dapat Didengar.

Anonim mengatakan...

Assalamu 'alaykum Akhi Abu aljauzaa,

barusan saya menemukan tulisan seseorang, yang cenderung mengatakan Alqur'an


adalah makhluq:
[279]
pada surah Az-Zukhruf 43:3 “Sesungguhnya Kami JADIKAN Al-Quran berbahasa
Arab …. “. Di dalam ayat ini Allah SWT menegaskan Al-Quran adalah kitab atau
kalam yang DIJADIKAN. Allah SWT sendiri yang mengatakan Al-Quran itu makhluk
(benda yang dijadikan). Kenapa pula manusia mahu bertengkar, mahu mengatakan
Al-Quran itu bukan makhluk sedangkan Allah SWT sendiri mengatakan Al-Quran itu
makhluk? Yang menjadi masalah ialah para alim ulamak tidak pernah merujuk
kepada ayat 43:3 ini untuk menjelaskan samada Al-Quran itu makhluk atau tuhan
(zat Allah SWT).

(selesai)

mohon bantahannya terhadap syubhat ini.

jazakallohu khoyron

Arif Rahman

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Pertama, melihat nash itu adalah dengan melihat keseluruhan nash. Bukan
menggunakan satu nash, dan membutakan diri terhadap nash-nash yang lainnya. 

Allah ta’ala berfirman :

َ ِ‫ك فَأ َ ِجرْ هُ َحتَّى يَ ْس َم َع َكال َم هَّللا ِ ثُ َّم أَ ْبلِ ْغهُ َمأْ َمنَهُ َذل‬
َ‫ك بِأَنَّهُ ْم قَوْ ٌم ال يَ ْعلَ ُمون‬ َ ‫َوإِ ْن أَ َح ٌد ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكينَ ا ْست ََجا َر‬

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan


kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar ‘kalaamullah’ (firman
Allah), kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui” [QS. At-Taubah : 6].

Kalimat ‘supaya ia sempat mendengar kalaamullah’ maksudnya adalah Al-Qur’an.

[280]
‫ فإِن قريشا ً قد منعوني أن أبلغ كالم ربي‬..... ‫ قال رسول هّللا صلى هّللا عليه وسلم‬: ‫"عن جابر بن عبد هّللا قال‬.

Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam : “….Sesungguhnya kaum Quraisy telah menghalangiku untuk
menyampaikan kalam Rabb-ku” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. no. 4734, At-
Tirmidziy no. 2925, Ibnu Majah no. 197, Ad-Daarimi no. 3354, Ahmad no. 15229,
dan Al-Haakim no. 4220; shahih. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 1947].

Maksud dari perkataan ‘kalaam Rabb-ku’ adalah Al-Qur’an.

Dan banyak dalil lainnya.

Kedua,..istidlaal mereka dengan ayat tersebut pada dasarnya ada pada pemahaman
bahwa makna ja'ala itu mesti khalaqa (menciptakan). Ini keliru. Allah ta'ala
berfirman :

َ‫َو َج َعلُوا ْال َمالئِ َكةَ الَّ ِذينَ هُ ْم ِعبَا ُد الرَّحْ َم ِن إِنَاثًا أَ َش ِهدُوا خَ ْلقَهُ ْم َستُ ْكتَبُ َشهَا َدتُهُ ْم َويُسْأَلُون‬

"Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba


Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka
menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian
mereka dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban" [QS. Az-Zukhruuf : 19].

Ayat di atas juga memakai kata ja'ala. Lantas, apakah itu bermakna bahwa orang-
orang musyrik telah menciptakan para malaikat ?. Tentu tidak bukan ?. 

Ayat tersebut (yaitu QS. Az-Zukhruuf : 3) hanyalah bermakna bahwa Allah ta'ala
menurunkan Al-Qur'an melalui lisan Rasul-Nya shallallaahu 'alaihi wa sallam, dan
menjadikannya berbahasa 'Arab. Atau dengan kata lain, makna ja'alnaahu adalah
sharafnaahu - yaitu kami palingkan Al-Qur'an dari satu bahasa menjadi bahasa lain,
yaitu bahasa 'Arab, agar dipahami oleh manusia.

wallaahu a'lam.

Faisal Ichal mengatakan...

[281]
ya Allah kok sy blm jg faham, ustdz bisa dijelaskan melalui ilustrasi gk,, agr sy bs
memahami bahwa kata makhluq itu sngt fatal bila di dikaitkan dgn kalmullah,,,
syukron ustadz

muhammad basyir Anshori mengatakan...

melanjutkan komentar Faisal Ichal, saya juga minta untuk dijelaskan akibat buruk
mengatakan Al Qur'an itu makhluk.
Selama ini yang saya pahami, keyakinan Al Qur'an adalah makhluk merupakan
aqidah yang tidak pernah diyakini oleh Rasulullah dan para shahabat. Sehingga
akibat buruknya adalah menyimpang dari aqidah yang benar. 
apakah benar yang saya pahami tersebut? dan apakah ada akibat buruk lain yang
menjadikan pelakunya kufur?

Jazakumullah khairan.

Anonim mengatakan...

dulu saya pernah bertanya pada ust mengapa tidak boleh meyakini bahwa al qur'an
itu mahluk. dijjawab +_
"kalau al qur'an itu mahluk, sebagaimana mahluk yg lain maka al quran itu punya
kekurangan, punya kesalahan. jadi al qur'an boleh dirubah-rubah karena punya
kesalahan."

Anonim mengatakan...

Maaf, saya memahami bahwa Allah SWT memanglah berbicara, yakni mengeluarkan
suara dari zat-Nya berupa suara yang mengandung huruf-huruf/kata-kata. Maka
apa yang menjadi pertanyaan saya: 1. Apakah sifat Allah yang berupa kalam-Nya
bisa melekati zat selain Dia, misalnya melekati mushhaf dengan tertuliskan padanya
? 2. Bagaimana jika seseorang mengatakan bahwa apa yang tertulis pada mushhaf
adalah apa yang menunjukan adanya al-kalam yang menyifati Allah, karena kalam-
Nya adalah sifat-Nya dan sifat-Nya senantiasa melekati zat-Nya ?

[282]
Makna Sifat Dzatiyah Dan Sifat Fi’liyah
Allah ta’ala

[283]
Tanya :

Apa yang dimaksud dengan sifat dzatiyah dan sifat fi’liyah Allah ta’ala ?

Jawab :

Yang dimaksud dengan sifat dzatiyah Allah ta’ala adalah sifat-sifat yang selalu dilazimi dan
menyatu dengan Allah ta’ala dan tidak terpisah dari-Nya, seperti ilmu, mendengar, melihat
dan lain-lain, demikian pula sifat-sifat yang berkaitan dengan fisik Allah ta’ala , seperti
Allah mempunyai tangan, kaki, wajah dan lain sebagainya.

Sedangkan yang dimaksud dengan sifat fi’liyah Allah ta’ala adalah sifat-sifat yang
berkenaan dengan perbuatan-perbuatan yang dikehendaki Allah ta’ala, jika Dia
menghendakinya Ia melakukannya dan jika Dia tidak menghendaki-Nya maka Ia akan
meninggalkannya, seperti bersemayam di atas Arsy, turun ke langit dunia dan lain-lain.
(Lihat Al Qawaidul Mutsla, Syeikh Muhammad bin Shalih Utsaimin : 63 dan Muqarrar
Tauhid, Syeikh Shalih Fauzan : 87)

Apakah Allah Memiliki Wajah ?

Allah ta’ala berfirman tentang diri-Nya,

ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوه َُو ال َّس ِمي ُع الب‬


‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬
[284]
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)

Syaikh Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan di dalam kitab


tafsirnya, “[Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya] maknanya tidak ada yang
menyerupai Allah ta’ala dan tidak ada satu makhluk pun yang mirip dengan-Nya, baik
dalam Zat, nama, sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Hal ini karena seluruh nama-Nya
adalah husna (paling indah), sifat-sifatNya adalah sifat kesempurnaan dan keagungan……”

Beliau melanjutkan, “[dan Dia Maha Mendengar] maknanya Dia Maha Mendengar segala
macam suara dengan bahasa yang beraneka ragam dengan berbagai macam kebutuhan
yang diajukan. [Dia Maha Melihat] maknanya Allah bisa melihat bekas rayapan semut
hitam di dalam kegelapan malam di atas batu yang hitam……”

Beliau melanjutkan, “Ayat ini dan ayat yang semisalnya merupakan dalil Ahlu Sunnah wal
Jamaah untuk menetapkan sifat-sifat Allah dan meniadakan keserupaan sifat Allah dengan
sifat makhluk. Di dalam ayat ini terdapat bantahan bagi kaum musyabbihah (kelompok
yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk -ed) yaitu dalam firman-Nya:

‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء‬


َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.”

Juga bantahan bagi kaum mu’aththilah (kelompok yang menolak penetapan sifat Allah -ed)
dalam firman-Nya

ِ َ‫َوه َُو ال َّس ِمي ُع الب‬


‫صي ُر‬

“Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

(Taisir Karimir Rahman)

Tidak Ada Sesuatu Pun yang Serupa Dengannya


[285]
Saudaraku, ayat ini adalah ayat yang sangat penting yang dijadikan para ulama sebagai
pedoman dalam hal keimanan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Perlu kita ketahui
bersama bahwa dalam mengimani nama-nama dan sifat Allah, kita harus bersikap
sebagaimana sikap seorang muslim yang baik. Imam Syafi’i mengatakan, “Aku beriman
kepada Allah dan segala berita yang datang dari Allah sesuai dengan maksud Allah. Aku
beriman kepada Rasulullah dan berita yang datang dari Rasulullah sesuai dengan maksud
Rasulullah.” (lihat Lum’atul I’tiqad, Imam Ibnu Qudamah). Oleh sebab itu yang kita jadikan
pegangan dalam memahami ayat ataupun hadits adalah petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya.
Bukankah Allah ta’ala telah menerangkan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-
orang yang bertakwa. Allah juga menerangkan bahwa Nabi Muhammad benar-benar
menunjukkan kepada jalan yang lurus. Oleh karena itu marilah kita cermati ayat di atas
dengan seksama.

Pada penggalan ayat yang pertama Allah menyatakan (‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء‬


َ ‫) لَي‬. Tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan-Nya. (‫)ال ِم ْثل‬ dalam bahasa Arab bermakna Asy-Syibhu wan
Nadhiir (serupa dan sepadan) (lihat Mu’jamul Wasiith, cet Maktabah Islamiyah, hal. 854).
Maka arti dari ayat ini adalah tidak ada sesuatu pun yang serupa dan sepadan dengan
ِ َ‫)وه َُو ال َّس ِمي ُع الب‬ Dan
Allah. Pada penggalan ayat yang kedua Allah menyatakan (‫صي‬ َ Dia Maha
َّ
Mendengar lagi Maha Melihat. (ُ‫)الس ( ِميع‬ berasal dari kata (‫)س ( ِم َع‬ yang
َ artinya mendengar.
Sedangkan (ُ‫ص(((ير‬
ِ َ‫)الب‬ berasal dari kata (‫ص((( َر‬
َ َ‫) ب‬ yang artinya melihat. Nah, perhatikanlah
terjemahan ayat ini dengan baik dan simaklah soal jawab berikut ini.

1. Bukankah di dalam ayat ini Allah menyatakan tidak ada sesuatu pun yang serupa dan
sepadan dengan-Nya? Anda tentu akan menjawab iya
2. Bukankah di dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat? Anda tentu akan menjawab iya
3. Nah, sekarang apakah kemampuan mendengar yang dimiliki Allah sama dengan
kemampuan mendengar yang dimiliki makhluk? Tentu Anda akan menjawab tidak
4. Apakah kemampuan melihat yang dimiliki Allah sama dengan kemampuan melihat yang
dimiliki makhluk? Tentu Anda akan menjawab tidak
5. Apakah makhluk memiliki sifat mendengar dan melihat? Anda tentu menjawab iya.
6. Apakah sifat mendengar dan melihat yang ada pada makhluk serupa dengan sifat
mendengar dan melihat yang ada pada Allah ? Anda tentu menjawab tidak.
7. Apakah letak kesamaan antara sifat Allah dan sifat makhluk itu? Jawabnya adalah sama
namanya, akan tetapi hakikatnya berbeda.

[286]
8. Nah, dari sini, maka kalau Allah menyebutkan di dalam ayat atau hadits bahwa Allah
memiliki sebuah sifat tertentu yang nama sifat tersebut sama dengan nama sifat yang ada
pada makhluk, apakah kita akan mengatakan bahwa sifat Allah itu sama dengan sifat
makhluk? Tentunya tidak. Karena sama nama belum tentu hakikatnya sama. Manusia
punya kaki, gajah punya kaki. Akan tetapi hakikat kaki gajah berbeda dengan kaki manusia.
Sesama makhluk saja bisa terjadi sama nama dengan hakikat yang berbeda. Maka antara
makhluk dengan Allah tentu jauh lebih berbeda. Makhluk disifati dengan berbagai
kekurangan sedangkan Allah disifati dengan berbagai kesempurnaan. Apakah sama Zat
yang sempurna dengan yang penuh kekurangan? Tentu tidak! Maka demikian pula dalam
menyikapi sifat wajah. Allah telah menyebutkan di dalam Al Quran maupun As Sunnah
bahwa Dia memiliki wajah maka kita katakan pula bahwa wajah Allah tidak sama dengan
wajah makhluk, meskipun sama namanya yaitu wajah. Lalu apa susahnya (mengakui bahwa
Allah memiliki wajah -ed)?
Dalil dari Al-Qur’an

Kalau kita mencermati ayat-ayat al-Qur’an maka niscaya akan kita temukan sekian banyak
ayat yang menyebutkan tentang wajah Allah. Di antaranya adalah:

“… Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari wajah


Allah.” (QS. Al-Baqarah: 272)

“Dan orang-orang yang sabar karena mencari wajah Tuhannya, mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau
terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang
mendapat tempat kesudahan (yang baik)” (QS. Ar-Ra’d: 22)

“Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang
yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar-Ruum: 38)

“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia,
Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mengharapkan wajah Allah, Maka (yang berbuat demikian)
Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)

[287]
“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-
Rahman: 27)

“Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari wajah Tuhannya yang Maha
tinggi.” (QS. Al-Lail: 20)

Dalil dari As-Sunnah

Kalau kita membuka hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka niscaya akan


kita dapatkan sekian banyak hadits yang menyebutkan tentang keberadaan wajah Allah,
diantaranya adalah: HR. Bukhari : 54, 407, 431, 113, 1197, 1213, 2917, 3153, 3608, 3623,
3643, 3741, 3773, 3990, 3991, 4057, 4982, 5236, 5599, 5635, 5817, 5861, 5896, 5943,
5967, 6236, 6425, HR. Muslim : 828, 1052, 1562, 1759, 1760, 3076, 5297 (karena hadits
yang berbicara tentang hal ini terlalu banyak maka kami mencukupkan diri untuk
menyebutkan nomor haditsnya saja, itupun yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim
saja belum ditambah dengan referensi dari kitab-kitab yang lainnya)

Penjelasan Ulama

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat
yang terbukti keberadaannya berdasarkan dalil Al-Kitab, As-Sunnah dan
kesepakatan ulama salaf.” Kemudian beliau menyebutkan ayat ke-27 dalam surat Ar-
Rahman… (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 48) Beliau menjelaskan di dalam kitabnya yang
lain: “Nash-nash yang menetapkan wajah dari Al-Kitab dan As-Sunnah tidak
terhitung banyaknya, semuanya menolak ta’wil kaum mu’aththilah yang
menafsirkan wajah dengan arah, pahala atau dzat. Sedangkan keyakinan yang dipegang
oleh para pengikut al-haq yaitu menetapkan bahwasanya wajah adalah sifat dan bukan
dzat. Dan penetapan sifat tersebut tidaklah melahirkan konsekuensi dzat
Allah ta’ala tersusun dari berbagai anggota tubuh (seperti makhluk -pent) sebagaimana
yang dikatakan oleh kaum Mujassimah. Akan tetapi sifat itu benar-benar sifat Allah yang
sesuai dengan keagungan-Nya. Wajah-Nya tidak menyerupai wajah apapun. Dan wajah
apapun tidak ada yang menyerupai wajah-Nya…” (lihat Syarah ‘Aqidah Wasithiyah)

Apakah Kata Wajah Itu Bermakna Hakiki ?


[288]
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya hukum asal suatu kata di dalam ayat maupun hadits
harus dimaknai dengan makna hakiki. Tidak boleh menyimpangkan makna hakiki kepada
makna lainnya kecuali apabila ada dalilnya yang tepat. Demikian pula hukum asal kata
dalam ayat atau hadits adalah dimaknai sebagaimana adanya (zhahir nash). Tidak boleh
menta’wilnya kecuali apabila ada dalilnya yang tepat. (silakan baca kitab-kitab Ushul Fiqih)
Oleh sebab itu kita katakan bahwa kata wajah adalah bermakna wajah yang sebenarnya,
bukan majas dan bukan makna yang lainnya.

Kalau muncul pertanyaan:

“Bukankah kalau kita menetapkan Allah punya wajah berarti kita telah
menyerupakan Allah dengan makhluk? Bukankah Allah berfirman laisa kamitsilihi
syai’un ?!”

Maka kami jawab:

Apakah dalam pandangan kalian, Allah melihat dan mendengar? Kalau kalian menjawab iya.
Karena Allah sendiri menyatakan wahuwas samii’ul bashiir.

Maka kami tanyakan:

Apakah sifat mendengar dan melihat yang Allah miliki sama dengan makhluk? Maka kalian
akan menjawab: Tidak.

Kami tanyakan:

Kenapa kok tidak sama, padahal sama namanya yaitu mendengar dan melihat? Maka
mungkin kalian akan menjawab: Karena sifat mendengar dan melihat yang ada pada
makhluk terbatas adapun sifat mendengar dan melihat yang ada pada Allah sempurna ?

Maka kami tanyakan:

Kenapa sifat tersebut sempurna ?


[289]
Maka kalian akan menjawab: Karena dimiliki oleh Dzat yang Maha sempurna Pencipta dan
Penguasa alam semesta.

Nah, sekarang kami katakan kepada kalian:

Maka kalian pun harus bersikap yang sama dalam menerima sifat wajah yang sudah
ditetapkan oleh Allah di dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Allah punya wajah. Makhluk punya wajah. Akan tetapi wajah Allah tidak sama dengan
wajah makhluk. Karena wajah Allah itu sempurna. Lalu apa susahnya kita meyakininya ?
Kalau kalian tidak bersikap seperti ini maka itu artinya kalian tidak konsisten.

Oleh sebab itu orang yang menyimpangkan makna kata wajah kepada makna yang lainnya
kami bantah dengan beberapa alasan :

Pertama:

Penafsiran seperti itu bertentangan dengan zhahir nash

Kedua:

Penafsiran seperti itu tidak didukung oleh dalil yang sah lagi tegas

Ketiga:

Penafsiran seperti itu bertentangan dengan kesepakatan ulama salaf

(lihat bantahan lainnya dalam Fathu Rabbil Bariyah, hal. 57-58)

Lalu bagaimana dengan ayat ‘Kullu syai’in haalikun illa wajhah’

[290]
Arti dari ayat tersebut adalah: Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya. (QS. Al-
Qashash:88 ) Nah, kalau memang kata wajah itu bermakna wajah yang sebenarnya lalu
apakah ini artinya pada hari kiamat kelak segala sesuatu selain wajah Allah termasuk di
dalamnya tangan Allah juga akan hancur, ah masa Allah tidak bisa menjaga tangan-Nya
sendiri dari kehancuran ?! Maka kami jawab:

Jawaban Pertama:

Ini adalah mahfum mukholafah, mafhum ini berlaku jika tidak bertentangan dengan dalil
yang lain. Berdasarkan kaidah ushul fiqih yang ada kita tidak boleh menyimpangkan makna
kata wajah kepada makna lainnya. Inilah hukum asalnya. Selain itu tidak ada dalil sah lagi
tegas yang mendukungnya. Selain itu penafsiran semacam itu juga bertentangan dengan
metode penafsiran ulama salaf.

Jawaban Kedua:

Kalau kalian beralasan bahwa apabila kita memaknai wajah Allah sebagai wajah
sebenarnya kemudian jika makna itu diterapkan pada ayat di atas maka itu artinya tangan
Allah juga ikut hancur maka sungguh ini adalah pemahaman yang sangat keliru !!!

Cobalah perhatikan ayat yang lain:

Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Allah adalah pencipta segala sesuatu”

Saya bertanya: Apakah Allah juga menciptakan diri-Nya sendiri? Tentu tidak !! Bukankah
kata ‘segala sesuatu’ itu juga mencakup Allah, lalu mengapa kalian keluarkan Allah dari
makna ayat ini ?!

Lihat ayat yang lain:

Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Dan Kami ciptakan segala yang hidup dari air.”

[291]
Saya bertanya: Apakah malaikat dan jin juga termasuk yang diciptakan dari air ? Tentu saja
tidak !! Lalu mengapa kalian tidak memasukkannya padahal jin dan malaikat juga termasuk
cakupan istilah ‘segala sesuatu’ ?!

Lihat ayat yang lain:

Allah ta’ala berfirman tentang bencana angin yang dikirimkan kepada kaum ‘Aad, “Angin


itu menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya.”

Saya bertanya: Apakah langit dan bumi juga ikut hancur ? Tentu saja tidak !! Bukankah
langit dan bumi juga termasuk cakupan kata ‘segala sesuatu’ ? Lalu mengapa kalian
mengeluarkannya dari kata yang umum ini ?!!

Oleh sebab itu maka kami katakan pernyataan segala sesuatu akan hancur kecuali wajah
Allah bukanlah berarti tangan Allah juga ikut hancur, karena hal itu bertentangan dengan
dalil naqli maupun aqli.

Jawaban Ketiga:

Taruhlah makna kata wajah dalam ayat kullu syai’in haalikun illa wajhah adalah bukan
wajah yang sebenarnya lalu bagaimana kalian akan memaknai hadits-hadits berikut ini:

Hadits pertama:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Wa as’aluka ladzdzatan nazhari ila wajhika wasy


syauqa ila liqaa’ika.” Artinya: “Dan aku memohon kenikmatan memandang wajah-Mu serta
kerinduan untuk menemui-Mu.” (HR. An-Nasa’I dalam Ash-Shughra (1305), disahihkan Al-
Albani dalam Takhrij As-Sunnah: 424, lihat Fathu Robbil Bariyah, hal. 57) Apakah kata
wajah ini akan dimaknai pahala, atau dzat atau yang lainnya ?!!

Hadits kedua:

[292]
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan ayat lilladziina ahsanul husna
wa ziyaadah (orang-orang yang berbuat baik maka mereka akan mendapatkan tambahan)
Beliau menjelaskan bahwa makna tambahan dalam ayat tersebut adalah memandang
wajah Allah (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 8/223 Maktabah Syamilah)
Apakah kata wajah ini akan dimaknai pahala, atau dzat atau yang lainnya ?!!

Al-Kaffu (Telapak Tangan) dan Al-Ashaabi’


(Jari-Jari)

Al-Kaffu (telapak tangan) dan Al-Ashaabi’ (jari-jari) merupakan sifat dzaatiyyah


khabariyyah yang tetap bagi Allah ‘azza wa jalla berdasarkan hadits-hadits shahih dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diantara dalil-dalil tetapnya sifat telapak tangan bagi
Allah ta’ala adalah:

[293]
‫صلَّى‬
َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ ق‬:ُ‫ يَقُول‬،َ‫ أَنَّهُ َس ِم َع أَبَا هُ َري َْرة‬،‫ار‬ٍ ‫( ع َْن َس ِعي ِد ْب ِن يَ َس‬،‫ ع َْن َس ِعي ِ(د ْب ِن أَبِي َس ِعي ٍد‬،‫ْث‬ ٌ ‫ َح َّدثَنَا لَي‬،‫وح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْنُ َس ِعي ٍد‬
َ
ْ ‫ إِاَّل أَ َخ َذهَا الرَّحْ َمنُ بِيَ ِمينِ ِ(ه َوإِ ْن َكان‬،‫ِّب‬
‫ فَتَرْ بُو فِي‬،ً‫َت تَ ْم َرة‬ َ ‫ َواَل يَ ْقبَ ُل هَّللا ُ إِاَّل الطَّي‬،‫ب‬ َ ِ‫ق أَ َح ٌد ب‬
َ ‫ص َدقَ ٍة ِم ْن‬
ٍ ِّ‫طي‬ َ ‫ص َّد‬َ َ‫ َما ت‬:‫هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ِ َ‫ َك َما ي َُربِّي أَ َح ُد ُك ْم فَلُ َّوهُ أَوْ ف‬،‫كَفِّ الرَّحْ َم ِن َحتَّى تَ ُكونَ أَ ْعظَ َم ِمنَ ْال َجبَ ِل‬
ُ‫صيلَه‬

Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami
Laits, dari Sa’iid bin Abi Sa’iid, dari Sa’iid bin Yasaar, bahwasannya ia pernah mendengar
Abu Hurairah berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak
seorangpun bershadaqah dengan shadaqah dari yang baik – sedangkan Allah tidaklah
menerima kecuali yang baik - , melainkan Allah mengambilnya dengan tangan kanan-Nya,
meskipun hanya sebiji kurma. Ia akan mengembang di telapak tangan Ar-Rahmaan hingga
menjadi lebih besar daripada gunung. Sebagaimana salah seorang di antara kalian
memelihara anak kuda atau anak onta” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1014].

ٍ (ِ‫ ع َْن يَحْ يَى ْب ِن أَبِي َكث‬،ِ ‫ْض( ُم بْنُ َع ْب( ِد هَّللا‬
‫ ع َْن زَ ْي( ِد ب ِْن‬،‫(ير‬ َ ‫ َح( َّدثَنَا َجه‬، ُّ‫ َح َّدثَنَا ُم َعا ُذ بْنُ هَانِ ٍئ أَبُو هَانِ ٍئ ْاليَ ْش ُك ِري‬،‫ار‬
ٍ ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ بَ َّش‬
‫ض(( َي‬ ِ ِ‫ ع َْن َمال‬،ُ‫ش ْال َحضْ َر ِم ِّي أَنَّهُ َح َّدثَه‬
ِ ‫ ع َْن ُم َعا ِذ ب ِْن َجبَ ٍل َر‬،‫ك ب ِْن يَ َخا ِم َر ال َّس ْك َس ِك ِّي‬ ٍ ِ‫ ع َْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ْب ِن عَاي‬،‫ ع َْن أَبِي َساَّل ٍم‬،‫َساَّل ِم‬
‫ فَخَ( َر َج‬،‫س‬ َّ َ‫(را َءى َع ْين‬
ِ ‫الش( ْم‬ َ (َ‫ْح َحتَّى ِك( ْدنَا نَت‬ ُّ ‫ص(اَل ِة‬
ِ ‫الص(ب‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َذاتَ َغدَا ٍة ع َْن‬ َ ِ ‫س َعنَّا َرسُو ُل هَّللا‬ َ ِ‫ احْ تُب‬:‫ قَا َل‬،ُ‫هَّللا ُ َع ْنه‬
‫ص((افِّ ُك ْم‬
َ ‫ " َعلَى َم‬:‫ فَقَا َل لَنَا‬،‫صوْ تِ ِه‬َ ِ‫ فَلَ َّما َسلَّ َم َدعَا ب‬،‫صاَل تِ ِه‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوتَ َج َّو َز فِي‬ َ ِ ‫صلَّى َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫صاَل ِة ف‬ َّ ‫ب بِال‬ َ ‫َس ِريعًا فَثُ ِّو‬
،‫ْت َم((ا قُ( ِّد َر لِي‬ُ ‫ص(لَّي‬ ُ ْ ‫ض (أ‬
َ ‫ت َو‬ َّ ‫ت ِمنَ اللَّ ْي( ِل فَت ََو‬ُ ‫ " أَ َما إِنِّي َسأ ُ َح ِّدثُ ُك ْم َما َحبَ َسنِي َع ْن ُك ُم ْال َغ( دَاةَ أَنِّي قُ ْم‬:‫ال‬َ َ‫ ثُ َّم ق‬،‫ ثُ َّم ا ْنفَتَ َل إِلَ ْينَا‬،" ‫َك َما أَ ْنتُ ْم‬
‫ فِي َم‬:‫ قَ(ا َل‬،" ِّ‫ " لَبَّ ْي(كَ َرب‬:‫ت‬ ُ ‫ قُ ْل‬،ُ‫ يَ(ا ُم َح َّمد‬:‫ فَقَ(ا َل‬،‫ص(و َر ٍة‬ ُ ‫ت فَإ ِ َذا أَنَا بِ َربِّي تَبَا َركَ َوتَ َعالَى فِي أَحْ َس ِن‬
ُ ‫صاَل تِي َحتّى ا ْست َْثقَ ْل‬ َ ‫ْت فِي‬ ُ ‫فَنَ َعس‬
‫ي‬ َّ َ‫ت بَرْ َد أَنَا ِملِ ِه بَ ْينَ ثَ ْدي‬
ُ ‫ي َحتَّى َو َج ْد‬ َ ‫ " فَ َرأَ ْيتُهُ َو‬:‫ قَا َل‬،‫ قَالَهَا ثَاَل ثًا‬،" ‫ " اَل أَ ْد ِري‬:‫ت‬
َّ َ‫ض َع َكفَّهُ بَ ْينَ َكتِف‬ ُ ‫ص ُم ْال َمأَل ُ اأْل َ ْعلَى؟ قُ ْل‬ِ َ‫يَ ْخت‬

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar : Telah menceritakan kepada
kami Mu’aadz bin Haani’ Abu Haani’ Al-Yasykuriy : Telah menceritakan kepada kami
Jahdlam bin ‘Abdillah, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Zaid bin Sallaam, dari Abu Sallaam,
dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aayisy Al-Hadlramiy bahwasannya ia telah menceritakan
kepadanya, dari Maalik bin Yakhaamir As-Saksakiy, dari Mu’aadz bin Jabalradliyallaahu
‘anhu, ia berkata : Suatu pagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamtertahan melakukan
shalat Shubuh, hingga kami hampir-hampir melihat munculnya matahari. Kemudian
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan segera lalu mengerjakan shalat
sunnah, kemudian melakukan shalat Shubuh, dan beliau melakukan seperlunya dalam
shalat. Ketika selesai salam, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallamberkata : “Tetaplah di shaf-
shaf kalian. Bagaimana keadaan kalian ?”. Lalu beliau menghadap kami dan bersabda :
“Sesungguhnya akan aku ceritakan kepada kalian apa yang telah menahanku dari kalian
pagi ini. Semalam aku bangun, berwudlu, lalu melakukan shalat sesuai kemampuanku. Lalu
aku mengantuk dalam shalatku, hingga terasa berat (dan tertidur). (Dalam mimpi) tiba-tiba
aku berjumpa Rabb-ku dalam sebaik-baik bentuk, lalu Dia berfirman : ‘Wahai Muhammad’.
[294]
Aku menjawab : ‘Labbaika Rabb’. Allah berfirman : ‘Apakah engkau tahu tentang apa yang
diperbantahkan oleh Al-Malaul-A’laa ?’. Aku menjawab : ‘Aku tidak tahu’
- beliau shallallaahu ‘alaihi w sallammengulanginya sebanyak tiga kali – . Lalu aku melihat
Dia meletakkan telapak tangan-Nya di antara dua pundakku, hingga aku merasakan
dinginnya jari-jemari-Nya di antara dadaku.....” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3235,
dan ia berkata : ‘Hadits ini hasan shahih’. Penilaian yang sama dikatakan juga oleh Al-
Bukhaariy].

Abul-Qaasim Al-Ashbhaaniy rahimahullah berkata:

))‫ وقول((ه ((يض((ع الس((ماوات على إص((بع واألرض((ين على أص((بع‬،))‫وقوله ((إن أحدكم يأتي بصدقته فيضعها في ك((ف ال((رحمن‬
‫ وأن البحث عن كيفية ذلك باطل‬،‫ وأن اإليمان به واجب‬،‫ ولم يتعصب؛ بان له صحة ذلك‬،‫ فإذا تدبر متدبر‬،‫وأمثال هذه األحاديث‬

“Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya salah seorang diantara


kalian datang dengan shadaqahnya lalu ia meletakkannya pada telapak tangan Ar-
Rahmaan’, dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Allah meletakkan langit-langit
di atas satu jari dan bumi-bumi di atas satu jari’; dan hadits-hadits yang semisal. Apabila
seseorang mentadaburinya tanpa ada sikap fanatik, maka akan jelas baginya kebenaran hal
itu. Iman kepadanya wajib, sedangkan membahas tentang kafiyyah-nya adalah batil” [Al-
Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 2/259].

‫ وليس يحتم((ل‬،‫وكذلك قوله ((حتى يضع الجبار فيها قدمه)) وقوله ((حتى يضعه فِي كف الرحمن)) وللق((دم مع((ان وللك((ف مع((ان‬
َ ِ‫الحديث شيئا من َذل‬.
‫ك إال َما هو المعروف فِي كالم العرب فهو معلوم بالحديث مجهول الكيفية‬

“Begitu juga dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Hingga Al-Jabbaar (Allah)
meletakkan kaki-Nya di dalamnya’, dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘hingga
ia meletakkannya pada telapak tangan Ar-Rahmaan’. Kaki mempunyai beberapa maknanya,
dan telapak tangan pun mempunyai beberapa makna, akan tetapi hadits tersebut tidaklah
dibawa kepada makna-makna tersebut, kecuali apa yang telah diketahui dalam perkataan
orang ‘Arab. Dan itu diketahui dari hadits, sedangkankaifiyyah-nya tidak diketahui” [idem,
2/262].

Shiddiiq Hasan Khaan rahimahullah berkata:

‫ واإلصبع‬،‫( والكف‬،‫ واليمين‬،‫ اليد‬:‫ومن صفاته سبحانه‬....

“Dan termasuk diantara sifat-Nya subhaanahu wa ta’ala : tangan, kanan, telapak tangan,


jari,....” [Qathfuts-Tsamar, hal. 66].

Adapun dalil-dalil tetapnya sifat jari-jari bagi Allah ta’ala adalah:


[295]
‫(رنِي‬ َ (َ‫ أَ ْخب‬،ُ‫(وة‬ َ َ‫ ق‬،ُ‫ َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ يَ ِزي َد ْال ُم ْق ِرئ‬:ٌ‫ قَا َل ُزهَ ْير‬،‫ئ‬
َ (‫ َح( َّدثَنَا َح ْي‬:‫ال‬ ِ ‫ ع َْن ْال ُم ْق ِر‬،‫ َوابْنُ نُ َمي ٍْر كالهما‬،‫ب‬ ٍ ْ‫َح َّدثَنِي ُزهَ ْي ُر بْنُ َحر‬
‫ص(لَّى هللاُ َعلَ ْي( ِه‬َ ِ ‫ول هَّللا‬ َ (‫ أَنَّهُ َس( ِم َع َر ُس‬:ُ‫ يَقُ((ول‬،‫(اص‬
ِ (‫(رو ْب ِن ْال َع‬ ِ (‫ أَنَّهُ َس ِم َع َع ْب َد هَّللا ِ ْبنَ َع ْم‬،‫ي‬
َّ ِ‫ أَنَّهُ َس ِم َع أَبَا َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ْال ُحبُل‬،‫أَبُو هَانِ ٍئ‬
ُ‫ص(لَّى هللا‬
َ ِ ‫(ال َر ُس(و ُل هَّللا‬
َ (َ‫ ثُ َّم ق‬،‫ْث يَ َشا ُء‬
ُ ‫ُص ِّرفُهُ َحي‬
َ ‫ب َوا ِح ٍد ي‬ ٍ ‫صابِ ِع الرَّحْ َم ِن َكقَ ْل‬
َ َ‫وب بَنِي آ َد َم ُكلَّهَا بَ ْينَ إِصْ بَ َعي ِْن ِم ْن أ‬
َ ُ‫ إِ َّن قُل‬:ُ‫َو َسلَّ َم يَقُول‬
َ ‫ف قُلُوبَنَا َعلَى‬
َ‫طا َعتِك‬ ْ ‫ص ِّر‬
َ ‫ب‬ ِ ‫ص ِّرفَ ْالقُلُو‬َ ‫ اللَّهُ َّم ُم‬:‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair, keduanya dari Al-Muqri –
Zuhair berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yaziid Al-Muqri’ - , ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Haiwah : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu
Haani’, bahwasannya ia mendengar Abu ‘Abdirrahmaan Al-Hubuliy, ia mendengar
‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash berkata bahwa ia pernah mendengar
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya hati-hati Bani Adam
(manusia) semuanya berada di antara dua jari dari jari-jari Ar-Rahmaan, seperti satu hati
yang dapat dipalingkannya sesuai kehendak-Nya”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam berdoa: "Allaahumma musharrifal-quluub, sharrif quluubanaa ‘alaa thaa’atika
(Ya Allah, Dzat Yang membolak-balikkan hati, palingkanlah hati-hati kami pada perbuataan
taat kepada-Mu)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2654].

‫(ار إِلَى‬ِ (َ‫ َج( ا َء َح ْب( ٌر ِمنَ اأْل َحْ ب‬:‫ قَ((ا َل‬،ُ‫ض( َي هَّللا ُ َع ْن(ه‬
ِ ‫ ع َْن َع ْب( ِد هَّللا ِ َر‬،َ‫ ع َْن َعبِي( َدة‬،‫(را ِهي َم‬ ٍ ‫ ع َْن َم ْنص‬، ُ‫ َح َّدثَنَا َش ْيبَان‬،‫َح َّدثَنَا آ َد ُم‬
َ (‫ ع َْن إِ ْب‬،‫ُور‬
َّ ‫ َو‬،‫ص(بَ ٍع‬
‫الش( َج َر‬ ْ ‫ض(ينَ َعلَى ِإ‬ ِ ‫ َواأْل َ َر‬،‫ص(بَ ٍع‬
ْ ِ‫ت َعلَى إ‬ ِ ‫الس( َم َوا‬ َّ ‫ ِإنَّا ن َِج ُد أَ َّن هَّللا َ يَجْ َع ُل‬،ُ‫ " يَا ُم َح َّمد‬:‫ال‬
َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَق‬
َ ِ ‫َرسُو ِل هَّللا‬
‫ص(لَّى هللاُ َعلَ ْي( ِه َو َس(لَّ َم َحتَّى‬
َ ‫ك النَّبِ ُّي‬ َ َ‫ ف‬،ُ‫ أَنَا ْال َملِك‬:ُ‫ فَيَقُول‬،‫ق َعلَى ِإصْ بَ ٍع‬
َ ‫ض ِح‬ ِ ِ‫ َو َسائِ َر ْالخَاَل ئ‬،‫ َو ْال َما َء َوالثَّ َرى َعلَى ِإصْ بَ ٍع‬،‫َعلَى إِصْ بَ ٍع‬
َ ‫ق قَ( ْد ِر ِه َواألَرْ ضُ َج ِمي ًع((ا قَب‬
‫ْض(تُهُ يَ((وْ َم‬ َ ِ ‫ ثُ َّم قَ َرأَ َرسُو ُل هَّللا‬،‫َت نَ َوا ِج ُذهُ تَصْ ِديقًا لِقَوْ ِل ْال َحب ِْر‬
َّ (‫ َو َما قَ( َدرُوا هَّللا َ َح‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ْ ‫بَد‬
َ‫َّات بِيَ ِمينِ ِه ُس ْب َحانَهُ َوتَ َعالَى َع َّما يُ ْش ِر ُكون‬ ْ ‫ات َم‬
ٌ ‫ط ِوي‬ ْ
ُ ‫"القِيَا َم ِة َوال َّس َم َو‬

Telah menceritakan kepada kami Aadam : Telah menceritakan kepada kami Syaibaan, dari
Manshuur, dari Ibraahiim, dari ‘Abiidah, dari ‘Abdullah (bin Mas’uud) radliyallaahu ‘anhu,
ia berkata : Datang seorang pendeta Yahudi kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, lalu berkata : “Wahai Muhammad, sesungguhnya kami mendapati bahwasannya
Allah menjadikan langit-langit di atas satu jari, bumi-bumi di atas satu jari, pohon-pohon di
atas satu jari, air dan tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari;
kemudian Ia (Allah) berfirman : ‘Aku-lah Raja’”. Maka Nabishallallaahu ‘alaihi wa
sallam tertawa sehingga gigi gerahamnya terlihat karena senang mengakui kebenaran
ucapan pendeta Yahudi tersebut. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam membaca firman-Nya ta’ala : “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan
pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari
Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia
dari apa yang mereka persekutukan (QS. Az-Zumar : 67)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 4811].
[296]
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

ِ َ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو َس (لَّ َم َعلَى ْالب‬


‫اط( ل َو ُس ( ُكوته ع َْن اإْل ِ ْن َك((ار‬ َ ‫َّاوي بِالظَّنِّ لَلَ ِز َم ِم ْنهُ تَ ْق ِرير النَّبِ ّي‬
ِ ‫َولَوْ َكانَ اأْل َ ْمر َعلَى ِخاَل ف َما فَ ِه َمهُ الر‬
َ ِ‫َو َحا َشا هَّلِل ِ ِم ْن َذل‬
‫ك‬

“Dan seandainya perkaranya berbeda dengan apa yang dipahami perawi (bahwasannya
tertawanya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai tanda pembenaran terhadap
ucapan pendeta tersebut dan rasa heran beliau terhadapnya) berdasarkan dugaan, tentu
hal itu menunjukkan pengakuan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas kebathilan dan
sikap diam dalam pengingkaran (terhadap kebathilan); padahal mustahil atas diri beliau
melakukannya....” [Fathul-Baariy, 13/399].

Perkataan beliau rahimahullah di atas untuk menyanggah kalangan ahli ta’wil yang


mengingkari hadits ‘Abdullah bin Mas’uud di atas atas penetapan sifat jari-jari, dengan
menganggap tertawanya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan bentuk
pengingkaran terhadap si pendeta Yahudi tersebut. Dan..... alasan pengingkaran tersebut
sangatlah aneh sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Haafidh rahimahullah di atas.

Al-Aajurriy rahimahullah berkata:

‫ بال كيف‬،‫باب اإليمان بأن قلوب الخالئق بين إصبعين من أصابع الرب عز وجل‬

“Bab : Iman bahwa hati-hati manusia berada di antara dua jari dari jari-jari Rabb ‘azza wa
jalla, tanpa perlu menanyakan kaifiyyah-nya” [Asy-Syarii’ah, 2/115].

Al-Baghawiy rahimahullah berkata:

ِ ‫ت هَّللا‬
ِ ‫صفَا‬
ِ ‫يل فِي‬ ِ ِ‫ك ُكلُّ َما َجا َء بِ ِه ْال ِكتَابُ أَ ِو ال ُّسنَّةُ ِم ْن هَ َذا ْالقَب‬
َ ِ‫ت هَّللا ِ َع َّز َو َج َّل َو َك َذل‬ ِ ‫صفَةٌ ِم ْن‬
ِ ‫صفَا‬ ِ ‫ث‬ ِ ‫َوا ِإلصْ بَ ُع ْال َم ْذ ُكو َرةُ فِي ْال َح ِدي‬
َّ ‫ َوالنُّ ُزو ِل إِلَى‬،‫ َو ْال َم ِجي ِء‬،‫اإل ْتيَ(ا ِن‬
‫ َوااِل ْس(تِ َوا ِء َعلَى‬،‫الس( َما ِء ال( ُّد ْنيَا‬ ِ ‫ َو‬،‫ َوال ِّرجْ( ِل‬،‫ َو ْاليَ( ِد‬،‫ َو ْال َوجْ( ِه َو ْال َع ْي ِن‬،‫س‬
ِ ‫ َك((النَّ ْف‬،‫ُس( ْب َحانَهُ َوتَ َع((الَى‬
ِ ‫ َو ْالفَ َر‬،‫ك‬
‫ح‬ َّ ‫ َوال‬،‫ش‬
ِ ‫ض ِح‬ ْ
ِ ْ‫ال َعر‬.

“Dan jari yang disebutkan dalam hadits merupakan sifat dari sifat-sifatAllah ‘azza wa jalla.
Begitu juga dengan semua hal yang disebutkan dalam Al-Kitab atau As-Sunnah dalam
perkara ini termasuk sifat-sifat Allah subhaanahu wa ta’ala seperti an-nafs, al-
wajh (wajah), al-‘ain (mata), al-yadd (tangan), ar-rijl (kaki), al-ityaan (kedatangan), al-
majii’ (tiba), turun ke langit dunia, istiwaa’ di atas ‘Arsy, al-dlahik (tertawa), dan al-
farah (gembira)” [Syarhus-Sunnah, 1/116].

Ibnu Qutaibah rahimahullah menjelaskan:

[297]
‫ وال‬، ‫ وك((ذا على أص((بعين‬، ‫فإن قال لنا ما اإلصبع عندك هاهنا قلنا هو مثل قوله في الح((ديث اآلخ((ر يحم((ل األرض على أص((بع‬
َّ ‫ْض(تُهُ يَ((وْ َم ْالقِيَا َم( ِة َو‬
ُ ‫الس( َم َو‬
‫ات‬ َ ‫ق قَ( ْد ِر ِه َواألَرْ ضُ َج ِميعً(ا قَب‬
َّ (‫ َو َما قَ( َدرُوا هَّللا َ َح‬: ‫ وكقوله تعالى‬، ‫يجوز أن تكون اإلصبع هاهنا نعمة‬
‫ عز وج((ل‬- ‫ وال قبضة كقبضاتنا ؛ ألن كل شيء منه‬، ‫ وال يد كأيدينا‬، ‫ وال نقول أصبع كأصابعنا‬، ‫ ولم يجز ذلك‬ .‫َّات بِيَ ِمينِ ِه‬ ْ ‫َم‬
ٌ ‫ط ِوي‬
‫ ال يشبه شيئا منا‬-.

“Apabila ditanyakan kepada kami : ‘Apa makna jari di sini menurutmu ?’. Maka kami
katakan : Jari di sini seperti sabdanya shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain :
‘Allah membawa bumi di atas satu jari’, dan demikian juga dengan ‘dua jari’. Tidak boleh
memaknai jari di sini sebagai nikmat, seperti firman-Nya ta’ala : ‘Dan mereka tidak
mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya
dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-
Nya’ (QS. Az-Zumar : 67). Maka, tidak boleh mengartikan jari dengan nikmat. (Meski
demikian), kami tidak mengatakan jari (Allah) seperti jari-jari kita, tangan (Allah) seperti
tangan-tangan kita, genggaman (Allah) seperti genggaman-genggaman kita, karena segela
sesuatu yang berasal dari-Nya ‘azza wa jalla – tidak menyerupai kita sedikitpun” [Tawiil
Mukhtalafil-Hadiits, hal. 245].

Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

Menetapkan Kedua Kaki Milik Allah

Saya adalah seorang pelajar yang sedang mengalami keraguan. Apakah benar Allah
memiliki kedua kaki, sebagaimana terdapat dalam bentuk mutsanna (dua) dalam sebuah
hadits mauquf dari Ibnu Abbas (Kursi tempat kedua kaki). Atau apakah kita hanya
menetapkan bahwa Allah memiliki satu kaki saja, sebagaimana ditetapkan dalam hadits, "...
hingga akhirnya Allah yang Mulia meletakkan kakinya padanya.." dalam sebuah riwayat, "...
meletakkan kaki di atasnya.."? Jika Allah memiliki dua kaki, apakah Allah meletakkan kedua
kakinya di neraka jahanam. Perlu diketahui bahwa dalam sabda nabi "kakinya" bersifat

[298]
idhafah (disandarkan) dan sebagaimana kita ketahui sesuatu yang disandarkan bersifat
umum? Mohon penjelasannya.

Alhamdulillah

Di antara sifat yang tetap bagi Allah adalah: Kaki

Dalil hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, no. 6661 dan Mulsim, no.
2848, dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

ُ ‫ك َوي ُْز َوى بَ ْع‬


ٍ ‫ضهَا إِلَى بَع‬
‫ْض‬ ْ َ‫ط ق‬
َ ِ‫ط َو ِع َّزت‬ ْ َ‫ض َع َربُّ ْال ِع َّز ِة فِيهَا قَ َد َمهُ فَتَقُو ُل ق‬
َ َ‫اَل تَزَا ُل َجهَنَّ ُم تَقُو ُل هَلْ ِم ْن َم ِزي ٍد َحتَّى ي‬

"(Neraka) jahanam masih saja berkata, 'apakah ada tambahan' hingga akhirnya Tuhan
Pemiliki Kemuliaan meletakkan kaki-Nya. Kemudian dia berkata, cukup, cukup, demi
kemuliaan-Mu, lalu. Lalu neraka satu sama lain saling terlipat."

Imam Bukhari, no. 4850 dan Muslim, no. 2847, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia
berkata, "Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫(ال هَّللا‬ َ (َ‫اس َو َسقَطُهُ ْم ق‬ ُ ‫ت ْال َجنَّةُ َما لِي اَل يَ ْد ُخلُنِي إِاَّل‬
ِ َّ‫ض َعفَا ُء الن‬ ْ َ‫ت بِ ْال ُمتَ َكب ِِّرينَ َو ْال ُمتَ َجب ِِّرينَ َوقَال‬ُ ْ‫ت النَّا ُر أُوثِر‬ ْ َ‫َّت ْال َجنَّةُ َوالنَّا ُر فَقَال‬
ْ ‫ت ََحاج‬
ِّ‫ك َم ْن أَ َش(ا ُء ِم ْن ِعبَ((ا ِدي َولِ ُك((ل‬ِ ِ‫ت َع َذابِي أُ َع ِّذبُ ب‬
ِ ‫ار إِنَّ َما أَ ْن‬
ِ َّ‫ك َم ْن أَ َشا ُء ِم ْن ِعبَا ِدي َوقَا َل لِلن‬ ِ ِ‫ت َرحْ َمتِي أَرْ َح ُم ب‬ِ ‫تَبَا َركَ َوتَ َعالَى لِ ْل َجنَّ ِة أَ ْن‬
‫ظلِ ُم هَّللا ُ َع( َّز‬ْ َ‫ْض َواَل ي‬
ٍ ‫ْض (هَا إِلَى بَع‬ ُ ‫ك تَ ْمتَلِ ُئ َوي ُْز َوى بَع‬ َ ِ‫ط فَهُنَال‬ ْ َ‫ط ق‬ْ َ‫ض َع ِرجْ لَهُ فَتَقُو ُل ق‬َ َ‫َوا ِح َد ٍة ِم ْنهُ َما ِم ْل ُؤهَا فَأ َ َّما النَّا ُر فَاَل تَ ْمتَلِ ُئ َحتَّى ي‬
‫) َو َج َّل ِم ْن خَ ْلقِ ِه أَ َحدًا َوأَ َّما ْال َجنَّةُ فَإ ِ َّن هَّللا َ َع َّز َو َج َّل يُ ْن ِش ُئ لَهَا خَ ْلقًا‬.

'Surga dan neraka saling berdebat. Neraka berkata, 'Aku mendapatkan orang-orang yang
sombong dan bengis.' Lalu surga berkata, 'Mengapa saya hanya dimasuki oleh orang-orang
yang lemah dan rendah.' Allah Tabaraka wa ta'ala berkata kepada surga, 'Engkau adalah
rahmat-Ku, denganmu aku rahmati hamba-Ku yang aku suka.' Lalu Dia berkata kepada
neraka, 'Engkau adalah azab-Ku, denganmu aku mengazab hamba-Ku yang aku suka. Setiap
dari keduanya akan penuh. Adapun neraka tidak akan penuh kecuali setelah Allah
meletakkan kaki-Nya, baru dia berkata, 'cukup', 'cukup' maka ketika itu neraka akan penuh
dan neraka satu sama lain akan terlipat, dan Allah tidak akan menzalimi makhluknya
satupun. Adapun surga Allah akan ciptakan makhluk untuknya."

Dalam redaksi Muslim disebutkan, "Adapun neraka, tidak penuh kecuali setelah dia
meletakkan kaki-Nya di atasnya."

Maka hal ini menunjukkan ditetapkannya kaki bagi Allah Ta'ala.

Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata,

‫ والعرش ال يقدر أحد قدره‬، (‫الكرسي موضع القدمين‬


[299]
"Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsya tidak ada seorang pun yang dapat
memperkirakan ukurannya."

(Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab 'At-Tauhid' (1/248, no. 154) Begitu pula
Ibnu Abi Syaibah dalam 'Al-Arasy' (61), Ad-Darimi dalam 'Ar-Radd  Alal-Muraisy', Abdullah
bin Imam Ahmad dalam 'As-Sunah', Al-Hakim dalam 'Al-Mustadrak' (2/282). Dia (Al-
Hakim) menyatakan shahih berdasarkan syarat kedua syaikh (Bukhari dan Muslim) serta
disetujui oleh Adz-Dzahabi, dishahihkan oleh Al-Albany dalam 'Mukhtashar Al-'Uluw', hal.
102, Ahmad Syakir dalam 'Umdatu Tafsir' (2/163)

Abu Musa Al-Asy'ari radhiallahu anhu berkata,

" ‫كأطيط الرَّحْ ل‬


ِ ٌ‫ وله أطيط‬،‫" الكرسي موضع القدمين‬

'Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, dia memiliki suara gesekan seperti seperti suara
gesekan kendaraan tunggangan.'

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad dalam kitab 'As-Sunah', Ibnu Abi Syaibah
dalam 'Al-Arasy' (60), Ibnu Jarir, Baihaqi dan lainnya. Sanadnya dinyatakan shahih oleh
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (8/47) serta oleh Al-Albany dalam 'Mukhtashar Al-Uluw', hal.
123-124.

Kedua atsar di atas menunjukkan ditetapkannya kedua kaki bagi Allah Ta'ala. Dan itulah
yang dipegang oleh Ahlussunnah.

Imam Abu Ubaid Al-Qasim rahimahullah berkata, "Hadits-hadits yang didalamnya


dinyatakan, 'Tuhan kami tertawa dengan keputusasaan hamba-Nya padahal sedikit lagi
Allah akan merubahnya (kepada yang lebih baik)' dan bahwa 'Neraka jahanam tidak penuh
sebelum Tuhanmu meletakkan kaki-Nya padanya', 'Al-Kursy adala tempat kedua kaki'.
Hadits-hadits yang diriwayatkan ini menurut kami adalah haq/benar, disampaikan oleh
orang tsiqah (benar keimanan dan ketakwaannya serta kuat hafalannya) kepada orang
yang tsiqah hingga seterusnya. Hanya saja jika kami ditanya tentang penafsirannya, maka
kami tidak akan menafsirkannya dan tidak kami dapati seorang pun yang menafsirkannya."
(Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam 'Al-Asma wa Ash-Shifat', 2/198, Ibnu Abdil Barr
dalam 'At-Tamhid, 7/149)

Dalam Fatawa Lajnah Da'imah (2/376), 'Yang wajib adalah menetapkan apa yang telah
Allah tetapkan untuk dirinya, seperti kedua tangan, kedua kaki, jari jemari dan sifat lainnya
yang disebutkan dalam Al-Quran dan Sunah dengan kedudukan yang sesuai dengan
kemuliaan Allah Ta'ala, tanpa dirubah, dibagaimanakan, diserupakan (dengan makhluk)

[300]
dan digugurkan. Berdasarkan firman Allah Ta'ala, “Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha
Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak
dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." Dan
Fiirman-Nya:

ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوهُ َو ال َّس ِمي ُع ْالب‬


)11 :‫ (سورة الشورى‬ ‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan
melihat." (QS. Asy-Syura: 11)

Itu semua adalha hakikat, bukan majaz (kiasan). Adapun berlebihan menetapkan apa yang
tidak ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunah, maka seharusnya ditinggalkan.

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts wal Ifta

Bakar Abu Zaid, Abdul Aziz Alu Syaikh, Shalih Al-Fauzan, Abdullah bin Ghudayyan, Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz

Syekh Abdurrahman Al-Barrak hafizahullah berkata, "Dalam hadits ini terdapat penetapan
kaki bagi Allah Ta'ala. Ahlussunnah menetapkan bagi Allah apa yang telah ditetapkan
dalam hadits berdasarkan hakikatnya, sebagaimana mereka menetapkan seluruh sifat.
Sebagaimana mereka menetapkan kedua tangan, kedua mata bagi Allah Ta'ala, lalu mereka
berkata, 'Allah Ta'ala memiliki kedua kaki, sebagaimana terdapat dalam atsar yang
masyhur dari Ibnu Abbas dalam tafsir Al-Kursy bahwa dia adalah tempat kedua kaki, yaitu
kedua kaki Allah Ta'ala.

Penetapan dalam masalah kedua kaki dan kedua tangan adalah sama, tidak dapat
dibedakan." Syarh Wasithiyah, hal. 172.

Maka riwayat yang tetap adalah bahwa Allah Ta'ala meletakkan kakinya di atas neraka.
Kita beriman terhadap hal tersebut dan berhenti sampai disitu serta tidak melampauinya.
Tidak boleh kita katakan, 'meletakkan kedua kakinya' dengan dalil bahwa mufrad (tunggal)
yang disandarkan bersifat umum. Sebagaiman kita tidak boleh mengatakan 'Dia menulis
Taurat dengan kedua tangan-Nya' . Tapi hendaknya kita membatasi sebagaimana adanya
yang terdapat dalam nash. Karena sifat Allah dasarnya adalah tauqifi (wahyu)

[301]
Penjelasan Tentang Sifat 'Istiwa', 'Betis', 'Wajah'
Adalah Milik Allah. Apakah 'Tubuh' Termasuk Sifat
Allah Ta'ala

Saya mendengar kalangan salafiyyin meyakini dengan makna literal tentang sifat Allah
Ta'ala. Yaitu mereka beriman bahwa Allah berada di atas Arasy-Nya dan bahwa Dia
memiliki tubuh, wajah, betis. Aku berlindung kepada Allah. Apakah hal tersebut benar?

Alhamdulillah

Pertama:

Baik sekali jika anda menghubungi kami untuk mengenal hakikat aqidah kaum salafiyyin.
Sehingga dapat mengenal apa yang mereka iman dalam bab sifat-sifat Allah Ta'ala serta
mengetahui bantahan mereka atas tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada mereka
oleh musuh-musuh mereka serta orang-orang yang bodoh di antara mereka.

Kedua:

Prinsip kalangan salafiyyin dalam masalah nama-nama Allah Ta'ala dan sifat-sifat-Nya
adalah prinsip para pendahulu mereka dari kaum salaf umat ini, khususnya para shahabat
yang mulia serta para tabiin yang terhormat, dengan kemudian prinsip ini menjadi pokok
yang disepakati oleh kalangan Ahlussunnah wal Jamaah. Yaitu:

a. Mereka menetapkan apa yang Allah Ta'ala tetapkan untuk dirinya dan apa yang
ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tanpa merubah (tahrif),
menyerupakan (tamtsil) dan menggugurkan (ta'thil).

b. Mereka menafikan apa yang Allah nafikan untuk diri-Nya dan apa yang dinafikan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

c. Terkait dengan sifat yang tidak dinyatakan penetapannya (itsbat) dan penafiannya
(nafy), maka mereka tidak berkomentar sebelum diketahui makna yang dimaksud. Jika
maknanya ternyata rusak, maka mereka nafikan lafaz dan maknanya, jika maknanya benar,
maka tetapkan maknanya tapi bukan lafaznya.

Ketiga:
[302]
Kita akan praktekkan prinsip yang agung ini terkait dengan sifat-sifat yang anda sebutkan;

1.            Allah Ta'ala telah menetapkan sifat 'Bersemayam (istiwa) di atas arasynya'  dalam
banyak tempat dalam Al-Quran;

Allah Ta'ala berfirman,

ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ال َعر‬


 )5 :‫ (سورة طه‬ ‫ش ا ْستَ َوى‬

"(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy." (QS. Thaha: 5)

ِ ْ‫ثُ َّم ا ْستَ َوى َعلَى ال َعر‬


، 4 :‫ س((ورة الس((جدة‬، 59 :‫ سورة الفرقان‬، 2 :‫ سورة الرعد‬، 3 :‫ سورة يونس‬، 54 :‫ (سورة األعراف‬  ‫ش‬
)4 :‫سورة الحديد‬

"Lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. " (QS. Al-A'raf: 54), Yunus: 3, Ar-Ra’du: 2, Al-Furqan:
59 As-Sajdah: 4, Al-Hadid: 4)

Istiwa (bersemayam) merupakan sifat fi'liyah (sifat perbuatan) bagi Allah Ta'ala.
Ahlussunnah wal Jamaah menetapkannya sesuai dengan makna yang layak bagi-Nya, tanpa
dirubah (tahrif) maknanya, sebagaimana yang dilakukan oleh ahli ta'wil yang merubah
maknanya menjadi 'menguasai' (istii'la)! Tidak juga diserupakan dengan bersemayamnya
makhluk, karena sesungguhnya Allah tidak ada satupun yang menyerupai dzat-Nya dan
tidak ada satupun yang menyerupai sifatnya.

Ucapan Imam Malik bin Anas radhiallahu anhu dalam masalah sifat yang mulia ini akan
tetap menjadi kaidah bagi Ahlussunnah wal Jamaah dalam seluruh bab sifat. Meskipun
pertanyaannya khusus tentang sifat istiwa yang sedang kita bicarakan ini. Beliau pernah
ditanya tentang bersemayamnya Allah, bagaimana hakikatnya. Maka beliau menjawab,

" ‫ والسؤال عنه بدعة‬، ٌ‫ واإليمان به واجب‬، ‫ والكيف مجهو ٌل‬، ‫ االستواء معلو ٌم‬.

"Istiwa telah diketahui, caranya majhul (tidak diketahui), beriman dengannya adalah wajib,
bertanya tentangnya adalah bid'ah"

Riwayat Al-Laalikai dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahlussunnah wal Jamaah (3/441), Baihaqi
dalam Al-Asma wa Sifat (hal. 408) dishahihkan oleh Az-Zahabi, Syaikhul Islam dan Al-Hafiz
Ibnu Hajar. Lihat Mukhtashar Al-Uluw (hal. 141), Majmu Fatawa (5/365), Fathul Bari
(13/501). Ada beberapa redaksi yang berdekatan dengan makna yang sama.

Istiwa (bersemayam) telah diketahui, maksudnya telah diketahui maknanya dalam bahasa
Arab. Sedangkan tata caranya tidak diketahui. Beriman kepadanya wajib. Bertanya
tentangnya, maksudnya tentang caranya, merupakan bid'ah.
[303]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, "Perkara istiwa di atas Arasy telah
ditetapkan berdasarkan Al-Quran dan Sunah serta kesepakatan pendahulu (salaf) umat ini
serta para tokoh ulamanya. Bahkan dia telah ditetapkan dalam seluruh kitab yang
diturunkan dan oleh seluruh nabi yang diutus." (Majmu Fatawa, 2/188)

Ibnu Qayim rahimahullah berkata dalam rangka membantah orang yang hendak mengubah
sifat istiwa atau hendak menggugurkannya, "Apa yang mereka nyatakan adalah batil dari
empatpuluh dua sisi;

Salah satunya, bahwa kata istiwa dalam bahasa Arab yang Allah jadikan sebagai bahasa
untuk menurunkan firman-Nya dan menyampaikannya kepada kita, terdiri dari dua
macam; Mutlak dan muqayyad (terikat). Yang dimaksud mutlak adalah yang mengantarkan
pada sebuah makna tanpa bantuan huruf lain. Seperti firman Allah Ta'ala,

 )14 :‫ (سورة القصص‬  ‫َولَ َّما بَلَ َغ أَ ُش َّدهُ َوا ْستَ َوى‬

"Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya," SQ. Al-Qasa: 14.

Yang ini artinya; Sempurna. Maka dikatakan ‫( استوى النبات‬tumbuhan itu sempurna) dan

‫ استوى الطعام‬makanan telah matang.

Adapun yang bersifat muqayyad ada tiga macam;

Pertama, terikat dengan "‫ "إلى‬seperti firman-Nya:

 )29 :‫ثم استوى إلى السماء (سورة البقرة‬

yang ini bermakna 'tinggi' dan 'di atas' berdasarkan ijmak kaum salaf.

Kedua, terikat dengan katan "‫ "على‬seperti firman-Nya )13 :‫لتس((تووا على ظه((وره (س((ورة الزخ((رف‬
inipun maknanya adalah tinggi, di atas dan tegak, berdasarkan kesepatakan ahli bahasa.

Ketiga, disandingkan dengan huruf  '‫ 'و‬seperti ungkapan; ‫ استوى الماء الخشبة‬maksudnya adalah
bahwa air sudah sejajar dengan kayu.

Inilah makna yang masuk akal berdasarkan ucapan mereka (dalam bahasa Arab). Tidak
ada sama sekali yang bermakna '‫( 'استولى‬menguasai). Tidak ada satupun dari ahli bahasa
yang ucapannya dijadikan pedoman mengatakan demikian. Akan tetapi hal tersebut
dikatakan oleh ahli tata bahasa (nahwu) di masa belakangan yang menempuh jalan kaum
Mu'tazilah dan Jahmiyah.

(Mukhtashar Ash-Shawa'iq, hal. 371-372)

[304]
2.Allah Ta'ala telah menetapkan bagi diri-Nya, sifat '‫( 'الوجه‬wajah), demikian pula Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam menetapkannya demikian. Maka kaidah syariah disini berlaku;
Yaitu kita menetapkan sifat Allah Ta'ala ini tanpa merubah maknanya bahwa dia
merupakan 'dzat' dan juga tidak menyerupakannya, sehingga kita mengatakan bahwa
wajahnya seperti wajah salah seorang dari makhluk-Nya, atau tidak boleh
menggugurkannya sama sekali sebagai sifat. Dalil tentang sifat ini cukup kita ambil dari
satu dari Al-Quran dan satu lagi dari Sunah.

a. Firman Allah Ta'ala,

)27 :‫ (سورة الرحمن‬  ‫َويَ ْبقَى َوجْ هُ َربِّكَ ُذو ْال َجاَل ِل َواإْل ِ ْك َر ِام‬

"Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (QS. Ar-
Rahman: 27)

Abu Hasan Al-Asy'ari rahimahullah berkata, "Allah Azza wa Jalla berfirman, "Dan tetap
kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (QS. Ar-Rahman: 27).
Dia telah mengabarkan bahwa diri-Nya memiliki wajah yang tidak akan binasa dan tidak
akan hancur." (Al-Ibanah, hal. 77)

Beliau juga berkata, "Siapa yang bertanya kepada kami, 'Apakah kalian berpendapat bahwa
Allah Ta'ala memiliki wajah?"  Maka dikatakan kepadanya, "Kami berkata demikian,
berbeda dengan apa yang  dikatakan oleh ahli bid'ah. Dan hal itu telah ditunjukkan oleh
firman Allah Ta'ala, "Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan." (Al-Ibanah, hal. 78-79)

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata, "Semua yang berada di muka bumi, baik dari
kalangan jin dan manusia, seluruhnya akan binasa, dan yang kekal tetaplah wajah tuhanmu
wahai Muhammad (pemilik kebesaran dan kemuliaan). Kalimat '‫ 'ذو الجالل واإلكرام‬merupakan
na'at (sifat) dari kata '‫ 'الوجه‬karena itu dia dibaca marfu' '‫ 'ذو‬. Diriwayatkan bahwa dia dalam
qiraat Abdullah dibaca '‫ 'ذي الجالل واإلكرام‬yaitu sebagai sifat bagi bagi '‫( 'الرب‬Jami'ul Bayan,
27/134)

Apa yang dinisbatkan kepada Ibnu Masud radhiallahu anhu (dibaca ‫ )ذي الجالل‬tidaklah
benar. Yang disepakati adalah bacaan marfu'.

Syekh Abdul Fattah Al-Qadhi rahimahullah berkata, "Ibnu Amir membaca, '‫تبارك اسم ربك ذو‬
‫'الجالل واإلكرام‬  dengan '‫ 'و‬sedangkan yang lainnya membaca '‫ 'ذي الجالل‬dengan '‫ 'ي‬sementara
dalam tulisannya dengan '‫ 'و‬. Adapan firman Allah Ta'ala, '‫ 'ويبقى وجه ربك ذو الجالل واإلكرام‬telah

[305]
disepakati bacaannya dengan '‫ 'و‬begitu penulisannya dengan '‫ 'و‬daam semua mushaf
Utsmani. (Al-Wafi Fi Syarh Syatibiyah, hal. 366)

Ibnu Qoyim rahimahullah berkata, "Perhatikanlah, firman-Nya '‫ 'ذو الجالل واإلك(((رام‬saat
menyebutkan '‫'الوجه‬, sementara dibaca jar dalam firman-Nya '‫'تبارك اسم ربك ذي الجالل واإلكرام‬
(QS. Ar-Rahman: 78). Maka '‫ 'ذو‬menunjukkan bahwa 'wajah' dikaitkan dengan keagungan
dan kemuliaan, ketika tujuannya hendak mengabarkannya. Sedangkan '‫ 'ذي‬yang
disandingkan dengan 'kemuliaan dan keagungan' di akhir surat tujuannya adalah
menunjukkan dzat yang disebut, bukan namanya. Maka hendaknya hal ini diperhatikan."
(Mukhtashar Ash-Shawa'iq, hal. 409)

b. Imam Bukhari rahimahullah berkata, "Bab firman Allah Ta'ala, 'Segala sesuatu binasa
kecuali wajah-Nya." (QS. Al-Qashash: 88)"

Kemudian beliau meriwayatkan hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu, dia berkata,
'Ketika turun ayat berikut "

َ ‫قُلْ هُ َو ْالقَا ِد ُر َعلَى أَ ْن يَ ْب َع‬


)65  :‫ث َعلَ ْي ُك ْم َع َذابًا ِم ْن فَوْ قِ ُك ْم (سورة األنعام‬

"Katakanlah: " Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu." 

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Aku berlindung dengan wajah-Mu." Lalu
diturunkan lagi ayat kelanjutannya,

 )65  :‫(سورة األنعام‬  ‫ت أَرْ ُجلِ ُك ْم‬


ِ ْ‫أَوْ ِم ْن تَح‬

"Atau dari bawah kakimu." (QS. Al-An'am: 65)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, " Aku berlindung dengan wajah-Mu." Lalu
diturunkan lagi ayat kelanjutannya,

 )65  :‫ (سورة األنعام‬  ‫أَوْ يَ ْلبِ َس ُك ْم ِشيَعًا‬

"atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan)."

Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Ini perkaranya mudah."

Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata, "Kami dan seluruh ulama kami, baik dari
Hijaz, Tihama, Yaman, Irak, Syam, Mesir, mazhab kami adalah bahwa kami menetapkan
bagi Allah apa yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya. Kami tetapkan hal itu dengan lisan
kami dan kami benarkan dalam hati kami, tanpa menyerupai wajah Pencipta kami dengan
wajah seorang pun dari kalangan makhluk. Maha suci Tuhan kami dari keserupaan dengan
makhluk-Nya. Maha suci Tuhan kami dari pendapat orang-orang yang tidak mempercayai
adanya sifat Allah." (Kitab Tauhid, 1/18)
[306]
3- Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menetapkan sifat '‫( 'الساق‬betis). Maka kaidah
syar'iah di sini adalah; Menetapkan sifat Allah tersebut tanpa merubah maknanya dengan
makna '‫( 'الشدة‬bencana berat), tidak boleh menyerupakannya dengan makhluk, seperti kita
serupakan dengan betis makhuk atau kita tiadakan sama sekali sifat tersebut.

Di antara dalil tentang sifat ini adaah;

Hadits Abu Said Al-Khudry, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,

 ... ) 7001  ‫ رقم‬،‫فَيَ ْك ِشفُ ع َْن َساقِ ِه فَيَ ْس ُج ُد لَهُ ُكلُّ ُم ْؤ ِم ٍن (رواه البخاري‬

"… Lalu Dia menyingkap betisnya, maka sujudlah seluruh orang beriman kepada-Nya…"
(HR. Bukhari, no. 7001)

Ibnu Qoyim rahimahullah berkata, "Yang menetapkan hal tersebut sebagai sifat seperti
kedua tangan atau jari, mereka tidak mengambilnya dari zahir Al-Quran, akan tetapi
mereka menetapkannya dari hadits Abi Said Al-Khudry yang diriwayatkan muttafaq alaih,
yaitu hadits tentang syafaat yang panjang, di dalamnya terdapat sabda beliau, "… Lalu Dia
menyingkap betisnya, maka sujudlah seluruh orang beriman kepada-Nya…" Siapa yang
mengartikan ayat dengan hadits tersebut, mereka berkata bahwa firman Allah Ta'ala,

 )42 :‫ (سورة القلم‬ ‫يوم يكشف عن ساق ويدعون إلى السجود‬

"Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; Maka mereka tidak
kuasa." (QS. Al-Qalam: 42)

Sesuai dengan sabdanya, "… Lalu Dia menyingkap betisnya, maka sujudlah seluruh orang
beriman kepada-Nya…" Bahwa kata '‫ 'س(((اق‬dinyatakan dalam bentuk nakirah (tidak
disandingkan dengan lafaz 'Allah') adalah untuk menunjukkan keagungan dan kebesaran.
Seakan hendak dikatakan, '(Hari itu) itu disingkap betis yang agung, yang keagungannya
tidak ada yang menandingi dan menyerupainya. Mereka berkata bahwa memaknai kalimat
ini dengan arti 'bencana berat' tidak dibenarkan dari satu sisi; yaitu karena dalam
ungkapan sehari-hari, ungkapan dengan makna seperti itu (bencana berat)  dikatakan '‫كشفت‬
‫( الشدة عن القومط‬Bencana telah hilang dari suatu kaum), bukan dengan kata '‫( ' ُكشف‬disingkap),
sebagaimana firman Allah Ta'ala,

)50 :‫ (سورة الزخرف‬ ‫فلما كشفنا عنهم العذاب إذا هم ينكثون‬

"Maka tatkala Kami hilangkan azab itu dari mereka, dengan serta merta mereka
memungkiri (janjinya)." (QS. Az-Zukhruf: 50)

)75  :‫ولو رحمناهم وكشفنا ما بهم من ضر (سورة المؤمنون‬

[307]
"Andaikata mereka Kami belas kasihani, dan Kami lenyapkan kemudharatan yang mereka
alami." (QS. Al-Mukminun: 75)

Azab dan bencana adalah dihilangkan, bukan yang disingkap. Demikian pula disana terjadi
kondisi yang berat dan terus terjadi kecuali setelah masuk surga. Sedangkan makna yang
ini tidak diserukan sujud, akan tetapi mereka diserukan kepada yang lebih besar dari
bencana tersebut." (Ash-Shawaiq Al-Mursalah, 1/252-253)

4. Lafaz '‫ 'الجسد‬tidak ada penyebutannya bagi Allah Ta'ala, tidak dalam bentuk penetapan,
tidak pula dalam bentuk peniadaan. Kaidah Ahlussunnah dalam masalah seperti ini; Tidak
boleh disandingkan kepada Allah Ta'ala dan dinisbatkan kepadanya. Karena mensifati
Allah dengan sesuatu tidak dibolehkan kecuali dengan dalil yang shahih berdasarkan
Kitabullah dan sunah Nabinya shallallahu alaihi wa sallam. Demikian pula, tidak boleh
dinafikan hanya karena tidak ada dalil yang menetapkannya. Akan tetapi hendaknya
diperinci tentang hal tersebut; Jika maknanya batil dalam syariat, maka kita harus nafikan
makna yang batil tersebut, juga dinafikan redaksinya yang bid'ah. Apabila maknanya benar,
maka kita tetapkan makna yang benar dan hendaknya  kita gunakan lafaz syar'i yang
menunjukkan hal tersebut, kecuali jika ada tuntutan dalam penggunaan lafaz yang bid'ah
dengan disertai maknanya yang benar.  

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, "Wajib diperhatikan dalam bab ini. Apa
yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, maka kita tetapkan dan apa yang dinafikan
Allah dan Rasul-Nya, maka kami nafikan. Kalimat yang tertera dalam nash, itulah yang
dijadikan pedoman, baik dalam penetapan dan penafian. Maka kita tetapkan lafaz dan
makna yang telah ditetapkan oleh nash dan menafikan lafaz dan makna yang telah
dinafikan oleh nash. Adapun lafaz yang dipertentangkan dari kalangan generasi
belakangan, seperti lafaz '‫( 'الجسم‬tubuh), '‫( 'الجوهر‬inti), '‫( 'المتحيز‬tersimpan), '‫( 'الهجة‬arah) dan
semacamnya, maka kita tidak meniadakannya atau menetapkannya secara mutlak sebelum
mengetahui maksud yang berkata. Jika yang dia maksud dengan meniadakan atau
menetapkan memiliki makna yang benar sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka dibenarkan makna yang dimaksud dalam
lafaz tersebut, akan tetapi seharusnya diucapkan dengan lafaz yang terdapat dalam nash,
tidak menggunakan lafaz-lafaz bid'ah tersebut dan yang bersifat umum, kecuali jika
dibutuhkan dengan tetap menjelaskan korelasi yang menjelaskan tujuannya. Kebutuhan
misalnya jika menyampaikan kepada orang yang tidak dapat menangkap tujuannya dengan
sempurna kecuali disampaikan dengan lafaz tersebut. Adapun jika makna yang dimaksud

[308]
adalah batil, maka hendaknya makan tersebut dinafikan. Jika terkumpul antara makna
yang hak dan makna yang batil, maka yang hak ditetapkan dan yang batil ditiadakan."

(Minhajus-Sunah, 2/554-555) Beliau telah menjelaskan panjang lebar saat membicarakan


lafaz '‫'الجسم‬. Hendaknya dibaca, karena masalah ini penting.

Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah berkata, "Masalah '‫( 'الجسمية‬tubuh)
tidak terdapat dalam Al-Quran maupun Sunah, baik dalam bentuk penetapan atau
peniadaan. Akan tetapi, terkait dengan lafaz tersebut kita katakan bahwa kami tidak
menafikan atau menetapkan. Tidak kita katakan, tubuh yang bukan tubuh. Akan tetapi,
terkait maknanya, maka hendaknya kita rinci dan bertanya kepada yang berkata, 'Apa yang
engkau maksud dengan '‫ ?'الجسم‬Apakah yang engkau maksud adalah sesuatu yang berdiri
sendiri dan memiliki sifat yang layak untuk-Nya, yang berbuat dengan kehendaknya,
mennggenggam dan membuka? Jika itu yang engkau maksud, maka itu hak dan maknanya
benar. Sebab Allah Ta'ala berdiri dengan sendirinya dan melakukan apa yang Dia
kehendaki. Dia memiliki sifat yang layak dengan-Nya, dia mengambil, menggenggam dan
membuka. Menggenggam seluruh langit dengan tangan-Nya dan menggerakkannya. Jika
yang engkau maksudkan dengan '‫ 'الجسم‬adalah sesuatu yang satu sama lain saling
membutuhkan dan tidak dikatakan sempurna sebelum sempurnya anggota-anggotanya,
maka hal itu tidak boleh bagi Allah, karena hal tersebut menunjukkan adanya kejadian dan
ketersusunan. Ini perkara yang tidak boleh diyakini terhadap Allah Azza wa Jalla.  (Syarh
Al-Aqidah As-Safariniyah, hal. 18-19)

Kini engkau telah mengetahi wahai penanya, bahwa kaum salafi adalah orang yang paling
berbahagia dengan Al-Quran dan Sunah. Mereka tidak meyakini sesuatu tentang dzat
Tuhannya kecuali jika mereak mendapatkan dalil dari kedua rujukan yang bersumber dari
wahyu. Kaidah mereka terhadap seluruh perkara yang mereka tetapkan bagi Allah Ta'ala,
baik berupa nama, sifat dan perbuatan-Nya, adalah firman Allah Ta'ala, "Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengannya." (QS. Asy-Syura: 11).

Bahkan mereka sepakat bahwa siapa yang menyerupai Allah Ta'ala dengan makhuknya,
maka dia kafir. Hendaknya tidak menghiraukan orang yang terpedaya, hendaknya
berpegang teguh dengan buhul yang kuat dari nash-nash wahyu, maka akidahmu akan
selamat dan anda akan mulia berada dalam kelompok yang selamat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata dalam penjelasan tentang akidah
Ahlussunnah wal Jamaah, "Mereka tidak menafikan sifat yang telah Dia tetapkan untuk

[309]
dirinya. Mereka tidak merubah ucapan dari tempatnya, mereka tidak mengingkari nama
Allah dan tanda-tanda kebesaran-Nya, mereka tidak meneliti bagaima sifatnya, tidak
mengumpamakan dengan sifat makhluknya. Karena Allah Ta'ala tidak ada  yang
menyamai-Nya, sebanding dengan-Nya dan menandingi-Nya. Dia tidak boleh diqiyaskan
dengan makhluk-Nya. Karena Allah Ta'ala lebih mengetahui terhadap diri-Nya dan
terhadap selain-Nya. Dia yang paling benar ucapannya dan paling bagus ucapannya.
(Majmu Fatawa, 3/130)

Wallahua'lam .

Pada salah satu blog penentang dakwah Ahlussunnah, terdapat tulisan berjudul: “AL-
ALBANY MENGKAFIRKAN IMAM BUKHARY”. Berikut akan kami nukilkan tulisan dari blog
tersebut. Kutipan di antara tanda “[[ .........]]”  adalah isi tulisan dari blog penentang
Ahlussunnah tersebut.
[[
Antara Fatwanya lagi, mengingkari takwilan Imam Bukhari. Sesungguhnya Imam Bukhari
telah mentakwilkan Firman Allah :

‫كل سيء هالك إال وجهه‬


‫ أي ملكه‬: ‫قال البخاري بعد( هذه األية‬

Tetapi Al-Albaany mengkritik keras takwilan ini lalu berkata :

(( ‫)) هذا ال يقوله مسلم مؤمن‬


” Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang Muslim yang beriman “. Lihatlah kitab
(( Fatawa Al-Albaany )) m/s 523. Tentang takwilan Imam Bukhari ini adalah suatu yang
diketahui ramai kerana jika dilihat pada naskhah yang ada pada hari ini tidak ada yang lain
melainkan termaktub di sana takwilan Imam Bukhari terhadap ayat Mutasyabihat tadi. Di
samping itu juga, ini adalah antara salah satu dalil konsep penakwilan nusush sudah pun
wujud pada zaman salaf (pendetailan pada pegertian makna). Bagaimana Beliau berani
melontarkan pengkafiran terhadap Imam Bukhary As-Salafi dan mendakwa Imam Bukhary
tiada iman dalam masa yang sama beriya-riya mengaku dirinya sebagai Muhaddits??!!
memalukan ..]]

Jika kita cermati, nukilan dari blog tersebut mengandung beberapa arti:

[310]
1.    Imam al-Bukhari dianggap telah melakukan takwil terhadap Sifat Allah Subhaanahu Wa
Ta’ala, beliau menakwilkan ‘Wajah’ Allah pada Qur’an surat al-Qoshosh ayat 88 dengan
‘Kekuasaan’/ ‘milik’Nya.

2.    Syaikh Al-Albany dalam kitab ‘Fataawa al-Albaany’ dianggap telah mengkafirkan Imam
Al-Bukhari karena telah menyatakan:

‫هذا ال يقوله مسلم مؤمن‬


“ Ini tidaklah (pantas) diucapkan seorang muslim yang beriman”

Sehingga, secara garis besar bisa disimpulkan 2 pertanyaan mendasar, sekaligus syubhat
yang perlu dijawab dan diluruskan. Benarkah Imam al-Bukhari telah mentakwilkan ‘Wajah’
Allah dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ ?

Kemudian, benarkah Syaikh al-Albany mengkafirkan Imam al-Bukhari? Berikut ini kami
sebutkan masing-masing syubhat tersebut berikut bantahannya. Semoga Allah Subhaanahu
Wa Ta’ala memberikan taufiqNya kepada kita semua.

Syubhat ke-1: Imam al-Bukhari telah Mentakwilkan ‘Wajah’ yang Merupakan Sifat Allah
dengan ‘Kekuasaan’/’milik’. Itu Menunjukkan Imam al-Bukhari berpemahaman
Al-‘Asyaairoh.

Bantahan:
Al-Imam al-Bukhari memahami ‘Asma’ WasSifat Allah sesuai dengan pemahaman Salafus
Sholih. Beliau tidaklah mentakwil dengan takwil yang batil. Mari kita simak penjelasan al-
Imam al-Bukhari dalam Shahihnya:

ٌ ِ‫إِاَّل ُم ْل َكهُ َويُقَا ُل إِاَّل َما أُ ِري َد بِ ِه َوجْ هُ هَّللا ِ } ُكلُّ َش ْي ٍء هَال‬
{ ُ‫ك إِاَّل َوجْ هَه‬
“ { Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya} yaitu KekuasaanNya, dan dinyatakan juga :
‘kecuali segala yang diinginkan dengannya Wajah Allah “ (Shahih al-Bukhari juz 14
halaman 437).

Ini adalah pernyataan beliau yang bisa didapati pada sebagian naskah Shahih al-Bukhari,
dan pada naskah yang lain tidak ada. Pernyataan Imam al-Bukhari ini bisa dijelaskan dalam
beberapa hal penting:

[311]
Pertama, Imam al-Bukhari menukilkan beberapa tafsiran yang masyhur terhadap ayat
tersebut. Dalam hal ini beliau menyebutkan makna : “Segala sesuatu binasa kecuali
WajahNya, dalam 2 penafsiran :

a.    ‫إال ملكه‬  : kecuali ‘Kekuasaan’ / ‘milik’Nya.

b.    ‫ إال م((ا أري((د ب((ه وج((ه هللا‬: kecuali segala yang diinginkan dengannya Wajah Allah. Artinya,
segala sesuatu yang dilakukan ikhlas karena Allah.

Imam al-Bukhari menukilkan 2 penafsiran ini, namun sebenarnya beliau lebih cenderung
memilih pendapat yang kedua. Maknanya, segala sesuatu akan binasa/lenyap kecuali
amalan yang dilakukan ikhlas hanya untuk Allah.

Bagaimana kita bisa tahu bahwa Imam al-Bukhari lebih cenderung pada pendapat yang
kedua, bukan yang pertama?

Mudah sekali. Hal itu dijelaskan oleh alHafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Beliau
menyatakan:

ٌ ِ‫ { ُكلُّ َش ْي ٍء هَال‬:‫وقال مجاهد والثوري في قوله‬


‫ وحكاه البخاري في صحيحه كالمقرر له‬،‫ إال ما أريد به وجهه‬:‫ك إِال َوجْ هَهُ } أي‬
“ Mujahid dan ats-Tsaury berkata tentang firman Allah : ‘Segala sesuatu akan binasa,
kecuali WajahNya’, yaitu: kecuali segala sesuatu yang diharapkan dengannya WajahNya.
AlBukhari menghikayatkan dalam Shahihnya sebagai pendapatnya” (Lihat Tafsir Ibnu
Katsir dalam menafsirkan Quran Surat al-Qoshosh ayat 88 juz 6 halaman 135 cetakan
alMaktabah atTaufiqiyyah ta’liq dari Haani al-Haj).

Kedua, penukilan penafsiran ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’ / ‘milik’ Allah ini perlu
ditinjau ulang.

AlHafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menjelaskan dalam Fathul Baari:

‫ َوهَ َذا كَاَل مه فِي‬، ‫ َو َم ْع َمر هَ َذا هُ َو أَبُو ُعبَ ْيدَة بْن ْال ُمثَنَّى‬. ُ‫ فَ َذ َك َره‬: ” ‫ إِاَّل ُم ْلكه ) فِي ِر َوايَة النَّ َسفِ ِّي ” َوقَا َل َم ْع َمر‬: ‫ ( إِاَّل َوجْ هه‬: ‫قَوْ له‬
‫ َو َك((( َذا َذ َك((( َرهُ ْالفَ(((رَّاء‬، ‫(((ريُّ ع َْن بَعْض أَ ْه(((ل ْال َع َربِيَّة‬
ِ َ‫(((ظ ” إِاَّل هُ((( َو ” َو َك((( َذا نَقَلَ(((هُ الطَّب‬
ِ ‫ِكتَاب(((ه ” َم َج((( از ْالقُ(((رْ آن ” لَ ِك ْن بِلَ ْف‬
Ucapan al-Bukhari {kecuali WajahNya : kecuali Kekuasaan/milikNya} ada pada riwayat
anNasafiy dengan menyatakan : ‘Ma’mar berkata….’kemudian disebutkan ucapan tersebut.
Ma’mar ini adalah Abu Ubaidah bin alMutsanna. Ucapan tersebut terdapat dalam kitabnya
“Majaazul Qur’aan”, akan tetapi dengan lafadz ‘kecuali Dia’. Demikian juga dinukil oleh
atThobary dari sebagian ahli bahasa Arab, dan disebutkan juga oleh al-Farra’ (Lihat Fathul
Baari syarh Shahih alBukhari juz 13 halaman 292).

[312]
Dari penjelasan alHafidz di atas bisa disimpulkan bahwa Imam alBukhari menukilkan
tafsiran ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ Allah berdasarkan riwayat anNasafiy dari
perkataan Ma’mar. Namun, perkataan Ma’mar dalam kitabnya Majaazul Qur’an bukanlah
menafsirkan kalimat ‘kecuali Wajah Allah’ dengan ‘kecuali Kekuasaan Allah’, tapi dengan
‘kecuali Dia’. Dari sini nampak jelas bahwa penukilan tafsir ‘Wajah Allah’ dengan
‘Kekuasaan’/’Milik’ Allah sebagai ucapan Ma’mar adalah penukilan yang tidak benar.     Atas
dasar inilah, maka Syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbaany ketika ditanya tentang hal ini
beliau meragukan tafsiran itu sebagai tafsiran dari Imam alBukhari sendiri, dan tidak
mungkin Imam alBukhari menyatakan demikian (InsyaAllah nanti akan diperjelas pada
bantahan syubhat ke-2).

Ketiga, Imam alBukhari menetapkan ‘Wajah’ Allah.

Tidak seperti al-‘Asya-iroh yang menakwilkan Sifat Allah dengan Sifat yang batil, Imam
alBukhari menakwilkannya dengan takwilan yang benar.

Takwilan yang benar adalah takwilan yang merupakan penjelas dari maksud suatu kalimat.
Penakwilan tersebut tidaklah keluar dari kaidah bahasa Arab. Sedangkan takwilan yang
batil adalah penakwilan yang pada dasarnya mengingkari adanya Sifat itu, kemudian dia
palingkan maknanya pada makna yang lain. Intinya, seseorang yang menakwil dengan
takwil yang batil mengingkari makna hakiki dari Sifat tersebut. Dia tidak menolaknya
secara terang-terangan seperti para Mu’aththilah (Jahmiyyah), namun dia palingkan
maknanya kepada makna yang lain.

Sebagai contoh, takwilan yang batil adalah menakwilkan ‘Tangan’ Allah dengan
‘Kekuasaan’. Seseorang yang menakwilkan ini tidaklah menetapkan bahwa Allah memiliki
Tangan. Padahal Ahlussunnah tidaklah menetapkan kecuali yang Allah tetapkan untuk
dirinya sendiri, sesuai dengan Kesempurnaan Sifat yang ada pada Allah tanpa
memalingkannya pada makna yang lain.

Imam al-Bukhari menetapkan Wajah Allah sesuai dengan Kesempurnaan Sifat Allah, tanpa
beliau palingkan pada makna lain. Bagaimana kita tahu bahwa beliau menetapkan ‘Wajah’
bagi Allah? Bisa kita simak dalam kitab Shahih beliau sendiri pada bagian yang lain. Beliau
menempatkan bab tersendiri dalam penafsiran ayat itu, kemudian menyebutkan riwayat
hadits yang menjelaskan kandungan bab  itu sendiri.

Imam alBukhari menyatakan dalam kitab Shahihnya:

ٌ ِ‫بَاب قَوْ ِل هَّللا ِ تَ َعالَى { ُكلُّ َش ْي ٍء هَال‬


} ُ‫ك إِاَّل َوجْ هَه‬
[313]
‫ث‬ َ ‫ت هَ ِذ ِه اآْل يَةُ { قُلْ ه َُو ْالقَا ِد ُر َعلَى أَ ْن يَ ْب َع‬ْ َ‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْنُ َس ِعي ٍد َح َّدثَنَا َح َّما ُد بْنُ زَ ْي ٍد ع َْن َع ْم ٍرو ع َْن َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ قَا َل لَ َّما نَ َزل‬
َ ‫ت أَرْ ُجلِ ُك ْم } فَقَا َل النَّبِ ُّي‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬ ِ ْ‫ك فَقَا َل{ أَوْ ِم ْن تَح‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَعُو ُذ بِ َوجْ ِه‬
َ ‫َعلَ ْي ُك ْم َع َذابًا ِم ْن فَوْ قِ ُك ْم } قَا َل النَّبِ ُّي‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم هَ َذا أَ ْي َس ُر‬
َ ‫ك قَا َل { أَوْ يَ ْلبِ َس ُك ْم ِشيَعًا } فَقَا َل النَّبِ ُّي‬
َ ‫َو َسلَّ َم أَعُو ُذ بِ َوجْ ِه‬
“Bab firman Allah Ta’ala : ‘Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya’
Telah memberitahukan kepada kami Qutaibah bin Sa’id (ia berkata) telah memberitahukan
pada kami Hammad bin Zaid dari ‘Amr dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: ketika turun
ayat ini : ‘Katakan: Dialah (Allah) Yang mampu untuk mengirim adzab dari atas kalian’,
Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian
firman Allah : ‘atau dari bawah kaki kalian’, Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘aku
berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah: atau Dia mencampurkan kamu
dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan), Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam
berkata: ‘Ini lebih ringan’(Lihat Shahih alBukhari juz 22 halaman 410).

Telah dimaklumi di kalangan para Ulama’ Ahlul hadits bahwa pemilihan riwayat hadits
dalam suatu bab merupakan representasi pemahaman Imam alBukhari terhadap makna
yang ada pada bab tersebut. Ketika Imam alBukhari menyebutkan hadits perkataan/ doa
Nabi: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, beliau tidaklah mentakwilkan ucapan Nabi
tersebut pada makna-makna lain. Beliau sekedar menyebutkan riwayat itu saja. Ini
menunjukkan bahwa Imam alBukhari menetapkan Sifat ‘Wajah’ bagi Allah tanpa mentahrif
(memalingkan) pada makna yang lain.

Mungkin masih tersisa pertanyaan: ‘Jika benar Imam alBukhari memilih pendapat yang
kedua dalam menafsirkan ayat itu, bukankah juga berarti beliau menakwilkan ayat
tersebut. Kalimat: ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali Wajah Allah’ ditakwilkan sebagai
‘Segala sesuatu akan binasa kecuali yang mengharapkan Wajah Allah’. Benar, itu adalah
takwil yang beliau lakukan sebagaimana penakwilan atTsaury. Penakwilan tersebut
tidaklah batil, karena memang dipahami dari ucapan lafadz Arab.

Al-Imam atThobary menyatakan dalam tafsir atThobary juz 19 halaman 643 bahwa
penafsiran tersebut sesuai dengan perkataan syair:
َ ‫صيهُ… َربُّ ال ِعبا ِد إلَ ْي ِه‬
‫الوجْ هُ وال َع َم ُل‬ ُ ‫أَ ْستَ ْغفِ ُر هللاَ َذ ْنبًا لَس‬
ِ ْ‫ْت ُمح‬
“Aku memohon ampun kepada Allah dari dosa yang aku tak mampu menghitungnya.

(Dialah) Rabb hamba-hamba, yang kepadaNya wajah (kehendak) dan amalan


Lafadz ‫الوجه‬   (wajah) dalam kalimat syair tersebut berarti kehendak dan keinginan.

Takwil yang demikian bukanlah takwil yang batil, karena merupakan salah satu penjelasan
terhadap makna kalimat yang sesuai dengan konteks bahasa Arab yang biasa dipahami.

[314]
‫‪Selain itu, penakwilan ini tidaklah menafikan penetapan ‘Wajah’ bagi Allah sesuai dengan‬‬
‫‪Keagungan, Kemulyaan, dan Kesempurnaan Allah, yang tidak sama dengan makhlukNya,‬‬
‫‪dan tidak diketahui kaifiyatnya kecuali Allah.‬‬

‫‪Syubhat ke-2: Syaikh alAlbany Mengkafirkan Imam alBukhari.‬‬

‫‪Bantahan:‬‬
‫‪Ini adalah kedustaan yang besar. Syaikh alAlbany tidaklah mengkafirkan Imam alBukhari.‬‬
‫‪Jika yang dimaksud adalah ucapan Syaikh alAlbany dalam Fataawa alAlbaany, maka mari‬‬
‫‪kita simak nukilan percakapan tanya jawab tersebut:‬‬

‫السؤال‬
‫لي عدة أسئلة‪ ،‬ولكن قبل أن أبدأ أقول‪ :‬أنا غفلت باألمس عن ذكر هذه المسألة‪ ،‬وهي عندما قلت‪ :‬إن اإلمام البخاري ترجم في‬
‫ك إِاَّل َوجْ هَهُ } [القصص‪ ]88:‬قال‪ :‬إال ملكه‬
‫‪.‬صحيحه في معنى قوله تعالى‪ُ { :‬كلُّ َش ْي ٍء هَالِ ٌ‬
‫صراحة أنا نقلت هذا الكالم عن كتاب اسمه‪ :‬دراسة تحليلية لعقيدة ابن حجر ‪ ،‬كتبه أحمد عصام الكاتب ‪ ،‬وكنت معتقداً أن نقل‬
‫‪.‬هذا الرجل إن شاء هللا صحيح‪ ،‬والزلت أقول‪ :‬يمكن أن يكون نقله صحيحاً‪ ،‬ولكن أقرأ عليك كالمه في هذا الكتاب‬
‫ك إِاَّل َوجْ هَهُ } [القصص‪ ،]88:‬أي‪ :‬إال ملكه‪،‬‬
‫إذ يقول‪ :‬قد تقدم ترجمة البخاري لسورة القصص في قوله تعالى‪ُ { :‬كلُّ َش ْي ٍء هَالِ ٌ‬
‫ويقال‪( :‬إال) ما أريد به وجه هللا‪ ،‬وقوله‪ :‬إال ملكه‪ ،‬قال الحافظ في رواية النسفي وقال معمر فذكره‪ ،‬و معمر هذا هو أبو عبيدة بن‬
‫المثنى ‪ ،‬وهذا كالمه في كتابه مجاز القرآن ‪ ،‬لكن بلفظ (إال هو)‪ ،‬فأنا رجعت اليوم إلى الفتح نفسه فلم أجد ترجمة للبخاري بهذا‬
‫الشيء‪ ،‬ورجعت لـ صحيح البخاري دون الفتح ‪ ،‬فلم أجد هذا الكالم لإلمام البخاري ‪ ،‬ولكنه هنا كأنه يشير إلى أن هذا الشيء‬
‫موجود برواية النسفي عن اإلمام البخاري ‪ ،‬فما جوابكم؟‬
‫الجواب‬
‫‪.‬جوابي تقدم سلفا ً‬
‫‪ .‬السائل‪ :‬أنا أردت أن أبين هذا مخافة أن أقع في كالم على اإلمام البخاري‬
‫الشيخ‪ :‬أنت سمعت مني التشكيك في أن يقول البخاري هذه الكلمة؛ ألن تفسير قوله تعالى‪َ { :‬ويَ ْبقَى َوجْ هُ َربِّكَ ُذو ْال َج ِ‬
‫الل‬
‫َواأْل ِ ْك َر ِام } [الرحمن‪ ]27:‬أي‪ :‬ملكه‪ ،‬يا أخي! هذا ال يقوله مسلم مؤمن‪ ،‬وقلت أيضاً‪ :‬إن كان هذا موجوداً فقد يكون في بعض‬
‫النسخ‪ ،‬فإذاً الجواب تقدم سلفاً‪ ،‬وأنت جزاك هللا خيراً اآلن بهذا الكالم الذي ذكرته تؤكد أنه ليس في البخاري مثل هذا التأويل‬
‫الذي هو عين التعطيل‬
‫‪.‬‬
‫السائل‪ :‬يا شيخنا! على هذا كأن مثل هذا القول موجود في الفتح ‪ ،‬وأنا أذكر أني مرة راجعت هذه العبارة باستدالل أحدهم‪،‬‬
‫فكأني وجدت مثل نوع هذا االستدالل‪ ،‬أي‪ :‬أنه موجود وهو في بعض النسخ‪ ،‬لكن أنا قلت له‪ :‬إنه ال يوجد إال هللا عز وجل‪ ،‬وإال‬
‫مخلوقات هللا عز وجل‪ ،‬وال شيء غيرها‪ ،‬فإذا كان كل شيء هالك إال وجهه‪ ،‬أي‪ :‬إال ملكه‪ ،‬إذاً ما هو الشيء الهالك؟!! الشيخ‪:‬‬
‫هذا يا أخي! ال يحتاج إلى تدليل على بطالنه‪ ،‬لكن المهم أن ننزه اإلمام البخاري عن أن يؤول هذه اآلية وهو إمام في الحديث‬
‫وفي الصفات‪ ،‬وهو سلفي العقيدة‪  ‬والحمد هلل‬

‫‪Pertanyaan:’Saya memiliki beberapa pertanyaan, akan tetapi sebelum saya mulai, saya‬‬

‫]‪[315‬‬
katakan: Saya lupa kemarin untuk menyebutkan masalah ini, yaitu: Sesungguhnya al-Imam
alBukhari menjelaskan dalam Shahihnya tentang firman Allah Ta’ala:’ Segala sesuatu
binasa kecuali WajahNya’ (Q.S alQoshosh: 88), beliau berkata: ‘kecuali
kekuasaan/milikNya’. ‘Secara jelas saya menukil ucapan ini dari kitab yang berjudul:
‘Diraasah Tahliiliyah li ‘aqiidati Ibni Hajar’, ditulis oleh Ahmad ‘Ishaam al-Kaatib. Dan saya
yakin bahwa nukilan penulis ini Insya Allah benar. Aku terus menerus berkata: mungkin
nukilannya benar. Akan tetapi saya bacakan di hadapan anda ucapan beliau di dalam kitab
ini.

Telah berlalu penjelasan alBukhari dalam surat alQoshosh tentang firman Allah Ta’ala :
‘Segala sesuatu akan binasa kecuali WajahNya’ (Q.S alQoshosh:88): Segala yang diharapkan
dengannya Wajah Allah. Dan ucapan beliau: ‘Kecuali kekuasaanNya/ milikNya. AlHafidz
Ibnu Hajar berkata dalam riwayat anNasafiy dan berkata Ma’mar, kemudian disebutkan
ucapan tersebut. Ma’mar ini adalah Abu Ubaidah bin alMutsanna. Ini adalah ucapannya
dalam kitabnya Majaazul Qur’an. Akan tetapi dengan lafadz ‘kecuali Dia’. Aku pada hari ini
berusaha melihat kembalai Fathul Baari tetapi tidak aku temui penjelasan alBukhari
tentang itu. Kemudian aku juga melihat kembali kitab Shahih alBukhari yang tanpa syarh
Fathul Baari, aku juga tidak mendapati ucapan ini dari alBukhari. Akan tetapi, seakan-akan
itu mengisyaratkan bahwa kalimat itu ada pada riwayat anNasafiy dari al-Imam al-Bukhari.
Bagaimana jawaban anda? Jawaban: “Jawaban saya adalah seperti yang tersebutkan lalu”.

Penanya bertanya lagi: “Saya ingin menjelaskan ini karena khawatir terjatuh dalam
kesalahan terhadap ucapan al-Imam al-Bukhari.

Syaikh alBany berkata lagi: Anda telah mendengar dari saya keraguan bahwa alBukhari
mengucapkan kalimat tersebut. Karena sesungguhnya tafsir firman Allah Ta’ala: ‘Dan tetap
kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (ArRahman:27), (Wajah)
yaitu Kekuasaan/MilikNya. Wahai saudaraku, ucapan ini tidak sepantasnya diucapkan
seorang muslim yang beriman. Aku juga katakan bahwa: Jika (perkataan) tersebut ada,
mungkin terdapat pada sebagian naskah. Kalau demikian, maka jawabannya adalah pada
yang telah lalu. Kepada anda, Jazaakallah khairan (semoga Allah membalas anda dengan
kebaikan), sekarang dengan ucapan yang telah anda sebutkan itu memperjelas bahwa tidak
ada dalam alBukhari semisal takwil tersebut yang merupakan bentuk peniadaan.
Penanya bertanya lagi: Wahai Syaikh kami, sepertinya ucapan semacam ini terdapat dalam
Fathul Baari. Saya telah menyebutkan bahwa saya berkali-kali mengecek kembali kalimat
ini dengan pendalilan salah satu dari mereka. Sepertinya saya menemukan sebagian
bentuk pendalilan ini, bahwasanya itu terdapat dalam sebagian naskah. Akan tetapi saya

[316]
katakan kepadanya: Sesungguhnya tidak ada kecuali Allah dan kecuali makhluk-makhluk
Allah. Tidak ada selain keduanya. Jika tidak ada yang binasa kecuali WajahNya artinya
miliknya, maka apa lagi yang binasa?

Syaikh alAlbany berkata: ‘ Wahai saudaraku, ini tidak membutuhkan lagi dalil untuk
menunjukkan kebatilannya. Akan tetapi yang penting adalah membersihkan persangkaan
bahwa al-Imam alBukhari telah menakwilkan ayat (seperti itu), dalam keadaan beliau
adalah Imam dalam masalah hadits dan Sifat Allah. Beliau adalah seorang Salafy dalam
aqidahnya, alhamdulillah (Fataawa alAlbaany halaman 522-523).

Saudaraku kaum muslimin…..

Kalau dialog tanya jawab dengan Syaikh alAlbaany tersebut kita baca dengan baik niscaya
kita akan dengan mudah memahami bahwa sungguh dusta tuduhan tersebut. Sama sekali
Syaikh alAlbany tidak mengkafirkan Imam alBukhari.

Ada seorang penanya yang dalam suatu kesempatan menanyakan kepada Syaikh AlBany,
apakah benar Imam alBukhary telah menakwilkan ‘Wajah Allah’ dengan
‘Kekuasaan/’Milik’Nya. Awalnya Syaikh tidaklah menanggapi terlalu banyak. Cukuplah
penjelasan dalam pertemuan-pertemuan majelis beliau sebelumnya bahwa Imam
alBukhari menafsirkan surat alQoshosh ayat 88, dengan ‘Segala sesuatu akan binasa,
kecuali yang diharapkan dengannya Wajah Allah’. Penjelasan Syaikh alAlbany ini sama
dengan ucapan Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang menukil juga pendapat Imam alBukhari
(telah kami sebutkan di atas). Penanya tersebut mengatakan sendiri bahwa ia telah
berulang kali berusaha cross check ulang pada naskah Shahih alBukhari yang ada pada
dirinya, namun ia tidak mendapati perkataan Imam alBukhari yang menakwilkan
demikian. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran ‘Wajah’ dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ ada
pada sebagian naskah (manuskrip), dan penukilan pada naskah tersebut tidak benar,
sebagaimana dijelaskan oleh alHafidz Ibnu Hajar bahwa kalau yang dimaksud adalah
ucapan Ma’mar maka seharusnya penafsirannya adalah : ‘segala sesuatu akan binasa,
kecuali Dia’.

Penanya juga dapat menarik kesimpulan sendiri bahwa penafsiran tersebut terlihat tidak
benar. Kalau diartikan bahwa ‘segala sesuatu akan binasa, kecuali milik Allah’, maka berarti
tidak akan ada yang binasa. Karena yang ada hanyalah Allah dan makhlukNya, sedangkan
makhluk Allah adalah milik Allah. Itulah yang dimaksud dengan ucapan Syaikh alAlbany
bahwa tidak mungkin seorang muslim yang beriman akan mengucapkan demikian, karena
berarti dia akan berkeyakinan bahwa semua akan kekal.

[317]
Di sini nampak jelas kedustaan tuduhan itu, karena sama sekali Syaikh alAlbany tidak
menyatakan bahwa Imam alBukhari adalah bukan seorang muslim dan mukmin, justru
Syaikh meragukan kalimat itu sebagai ucapan Imam al-Bukhari. Syaikh menyatakan:  “Anda
telah mendengar dari saya keraguan bahwa alBukhari mengucapkan kalimat tersebut”…
kemudian beliau juga menyatakan: …”Akan tetapi yang penting adalah membersihkan
persangkaan bahwa al-Imam alBukhari telah menakwilkan ayat (seperti itu)”.
Kemudian, sebagai bantahan telak bahwa Syaikh alAlbany sama sekali tidak mengkafirkan
Imam alBukhari, bahkan justru memujinya sebagai salah seorang Imam kaum muslimin, di
akhir dialog Syaikh alAlbany menyatakan: “…dalam keadaan beliau adalah Imam dalam
masalah hadits dan Sifat Allah. Beliau adalah seorang Salafy dalam aqidahnya,
Alhamdulillah”.

Sedemikian jelasnya masalah ini jika dipandang secara adil. Namun, musuh dakwah
Ahlussunnah bersikap tidak amanah, dan memang yang dicarinya adalah fitnah untuk
menjauhkan Ulama’ Ahlussunnah dari kaum muslimin.

Kami menasehatkan pengelola blog tersebut ataupun seluruh situs/blog yang banyak
menukil tulisan tersebut untuk bertaubat kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala karena
mereka telah menyebarkan tuduhan dusta di tengah kaum muslimin. Jika kepada sesama
muslim yang awam saja merupakan dosa besar jika kita memberikan tuduhan yang keji
padanya, maka bagaimana jika tuduhan itu disematkan kepada seorang Ulama’
Ahlussunnah.

‫ت بِ َغي ِْر َما ا ْكتَ َسبُوا فَقَ ِد احْ تَ َملُوا بُ ْهتَانًا َوإِ ْث ًما ُمبِينًا‬
ِ ‫َوالَّ ِذينَ ي ُْؤ ُذونَ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َو ْال ُم ْؤ ِمنَا‬
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan
dan dosa yang nyata” (Q.S al-Ahzaab: 58).

Sifat Mata Bagi Allah

Tanya :

[318]
Saya membaca di banyak media internet, salah satu keyakinan Wahabi adalah Allah
mempunyai mata, dan ini adalah aqidah mujassimah. Menurut saudara, apakah benar
pernyataan seperti ini ?

Jawab :

Statement yang Anda sebutkan itu ada benarnya, namun ada pula salahnya. Sisi benarnya
adalah Allahta’ala memang mempunyai mata; sedangkan sisi salahnya adalah anggapan
‘aqidah itu adalah ‘aqidah mujassimah. Yang benar, penetapan Allah ta’ala mempunyai
mata merupakan bagian dari ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah yang shahih, dulu dan
sekarang. Banyak dalil yang menetapkannya, di antaranya :

Allah ta’ala berfirman :

َ َ‫ك بِأ َ ْعيُنِنَا َو َوحْ يِنَا َوال تُخَا ِط ْبنِي فِي الَّ ِذين‬
َ‫ظلَ ُموا إِنَّهُ ْم ُم ْغ َرقُون‬ َ ‫َواصْ ن َِع ْالفُ ْل‬

“Dan buatlah bahtera itu dengan (pengawasan) mata-mata dan petunjuk wahyu Kami, dan
janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang yang lalim itu; sesungguhnya mereka
itu akan ditenggelamkan” [QS. Huud : 37].

‫ بعين هللا ووحيه‬:‫ قال‬، )‫(بأعيننا ووحينا‬:‫ عن قتادة في قوله‬،‫ عن معمر‬،‫ حدثنا محمد بن ثور‬، ‫حدثنا محمد بن عبد األعلى قال‬.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil-A’laa, ia berkata : Telah


menceritakan kepada kami Muhammad bin Tsaur, dari Ma’mar, dari Qataadah tentang
firman-Nya : ‘dengan (pengawasan) mata-mata dan petunjuk wahyu Kami’, ia berkata :
“Dengan mata Allah dan wahyu-Nya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jariir dalam Tafsir-nya,
15/309 no. 18131; shahih].

‫ك فَإِنَّكَ بِأ َ ْعيُنِنَا َو َسبِّحْ بِ َح ْم ِد َربِّكَ ِحينَ تَقُو ُم‬


َ ِّ‫َواصْ بِرْ ِل ُح ْك ِم َرب‬

“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada
dalam penglihatan mata-mata Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika
kamu bangun berdiri” [QS. Ath-Thuur : 48].

‫ (إن هللا‬:‫ فق(ال‬،‫ ذكر الدجال عند النبي صلى هللا عليه وس(لم‬:‫ عن عبد هللا قال‬،‫ عن نافع‬،‫ حدثنا جويرية‬:‫حدثنا موسى بن إسماعيل‬
)‫ كأن عينه عنبة طافية‬،‫ وإن المسيح الدجال أعور العين اليمنى‬- ‫ وأشار بيده إلى عينه‬- ‫ إن هللا ليس بأعور‬،‫ال يخفى عليكم‬.

Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami
Juwairiyyah, dari Naafi’, dari ‘Abdullah (bin ‘Umar), ia berkata : Disebutkan Dajjaal di sisi
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak
tersembunyi dari kalian. Sesungguhnya Allah itu tidak buta sebelah matanya– lalu beliau
[319]
berisyarat dengan tangannya ke matanya - . Dan bahwasannya Al-Masiih Ad-Dajjaal itu
buta sebelah matanya yang kanan seakan-akan matanya itu seperti buah anggur yang
mengapung (menonjol keluar)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7407].

‫حدثنا علي بن نصر ومحمد بن يونس النسائي المعنى قاال ثنا عبد هللا بن يزيد المق((رئ ثن((ا حرمل((ة يع((ني بن عم((ران ح((دثني أب((و‬
‫يونس سليم بن جبير مولى أبي هريرة قال سمعت أبا هريرة يقرأ هذه اآلية إن هللا يأمركم أن تؤدوا األمان((ات إلى أهله((ا إلى قول((ه‬
‫ رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يضع إبهام(ه على أذن(ه وال(تي تليه(ا على عين(ه ق(ال أب(و هري(رة‬: ‫تعالى سميعا بصيرا قال‬
‫رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقرؤها ويضع إصبعيه قال بن ي(ونس ق(ال المق(رئ يع(ني إن هللا س(ميع بص(ير يع(ني أن هلل‬
‫سمعا وبصرا‬

‫قال أبو داود وهذا رد على الجهمية‬

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Nashr dan Muhammad bin Yuunus An-Nasaa’iy
secara makna, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Yaziid Al-Muqri’ : Telah menceritakan kepada kami Harmalah, yaitu Ibnu ‘Imraan : Telah
menceritakan kepadaku Abu Yuunus Sulaim bin Jubair maulaa Abu Hurairah, ia berkata :
Aku mendengar Abu Hurairah membaca ayat ini : ‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya’ hingga firman-Nya ta’ala :
‘Maha Mendengar lagi Maha Melihat’ (QS. An-Nisaa’ : 58). Ia (Abu Hurairah) berkata : “Aku
melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meletakkan ibu jarinya pada telinganya,
dan jari telunjuknya ke matanya”. Abu Hurairah berkata : “Aku melihat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat itu seraya meletakkan kedua
jarinya tersebut”. Ibnu Yuunus berkata : Berkata Al-Muqri’ : “Yaitu, sesungguhnya Allah
Maha Mendengar dan Maha Melihat, yaitu Allah mempunyai pendengaran dan
penglihatan”.

Abu Daawud berkata : “Hadits ini merupakan bantahan terhadap sekte Jahmiyyah”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4728; dishahihkan sanadnya oleh Al-Albaaniy
dalamShahih Sunan Abi Daawud 3/156].

Hadits di atas merupakan penunjukkan yang jelas dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa


sallam (dan juga para perawi hadits dari kalangan shahabat dan ulama setelahnya)
bahwasannya Allah ta’ala benar-benar mempunyai mata secara hakiki, bukan dalam arti
majaz seperti persangkaan sebagian orang. Adapun perkataan Abu Daawud bahwa hadits
tersebut merupakan bantahan terhadap sekte Jahmiyyah, hal itu dikarenakan mereka
menafikkan sifat dzaatiyyah ini dari Allah ta’ala.

Di antara perkataan para imam Ahlus-Sunnah tentang penetapan mata bagi Allah ta’ala :

[320]
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata :

‫ من ينفي عن هللا تب(ارك‬: ‫ غ(ير م(ؤمن‬،‫ من العين‬،‫فواجب على كل مؤمن أن يثبت الخالقه وبارئه م(ا ثبّت الخ(الق الب(ارئ لنفس(ه‬
‫ (وأنزلن((ا‬: ‫ في قول((ه‬،‫ عز وج((ل‬،‫ ببيان النبي صلى هللا عليه وسلم الذي جعله هللا مبينًا عنه‬،‫وتعالى ما قد ثبته هللا في محكم تنزيله‬
‫ ال((ذي‬،‫فكان بيانه موافقًا لبيان محكم التنزيل‬ (،‫فبين النبي صلى هللا عليه وسلم أن هللا عينين‬ ،)‫إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم‬
‫ مقروء في المحاريب الكتاتيب‬،‫هو مسطور بين الدفتين‬.

“Maka, wajib bagi setiap mukmin untuk menetapkan bagi Al-Khaaliq Al-Baari (Allah) apa-
apa yang telah ditetapkan oleh Al-Khaaliq Al-Baari bagi diri-Nya, yaitu
sifat ‘ain(mata). Sebaliknya, bukan termasuk golongan mukmin orang yang menafikkan
dari Allah tabaaraka wa ta’ala apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam Muhkam
At-Tanzil-Nya (Al-Qur’an) dan ditambah penjelasan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam yang memang dijadikan Allah sebagai juru penerang untuk setiap khabar yang
berasal dari-Nya, melalui firman-Nya : ‘Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka’ (QS. An-
Nahl : 44). Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan bahwa bagi Allah itu
mempunyai dua mata, dan penjelasannya itu sejalan dengan penjelasan Muhkam At-
Tanzil (Al-Qur’an) yang tertera di antara lembaran-lembaran yang dibaca di mihrab-
mihrab ataupun di tempat-tempat pengajian” [Kitaabut-Tauhiid wa Itsbaati Shifaatir-Rabb
‘Azza wa Jalla, hal. 97, tahqiq : Dr. ‘Abdul-‘Aziiz bin Ibrahim Asy-Syahwaan; Daar Ar-Rusyd,
Cet. 1/1408 H].

Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata :

)‫ (تجري بأعيننا‬:‫ كما قال سبحانه‬،‫وأن له سبحانه عينين بال كيف‬.

“Bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala mempunyai dua mata tanpa perlu ditanyakan


bagaimananya (kaifiyah-nya), sebagaimana Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman : ‘Yang
berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan mata) Kami” (QS. Al-Qamar : 14)” [Al-Ibaanah,
hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1].

Al-Laalikaa’iy rahimahullah membuat satu bab dalam kitab ‘aqidahnya :

‫سياق ما دل من كتاب هللا عز وجل وسنة رسول هللا صلى هللا عليه وسلم على أن صفات هللا عز وجل الوجه والعينين واليدين‬

“Konteks apa-apa yang ditunjukkan dari Kitabullah ‘azza wa jalla dan sunnah


Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya di antara sifat-sifat Allah ‘azza wa
jallaadalah wajah, dua mata, dan dua tangan” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 3/412, tahqiq :
Ahmad bin Mas’uud Al-Hamdaan]

[321]
Abu Ismaa’iil Al-Harawiy rahimahullah membuat satu bab dalam kitabnya Al-Arba’uun fii
Dalaailit-Tauhiid : Baab Istbaatil-‘Ainain lahu ta’alaa (Bab Penetapan Dua Mata Bagi
Allah ta’ala) [3/1].

Abu ‘Amru Ad-Daaniy rahimahullah setelah menyebutkan hadits Dajjaal di atas berkata :

‫فأثبت له العينين‬

“Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menetapkan dua mata bagi Allah ta’ala” [Ar-


Risaalah Al-Waafiyyah, hal. 123].

Inilah ‘aqidah yang shahih, walau banyak orang bodoh tidak menyukainya.

Walaupun begitu, sifat mata yang dimiliki Allah ta’ala berbeda dengan makhluk-Nya,


sebagaimana firman-Nya ta’ala :

ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوه َُو ال َّس ِمي ُع ْالب‬


‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].

Adapun Asyaa’irah – walau mereka mengaku Ahlus-Sunnah – maka kenyataannya mereka


bukanlah pengamal sunnah. Mereka menafikkan apa-apa yang telah ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya serta menyelisihi perkataan salaf.

Wallaahu a’lam.

Al-Qur'an adalah Kalamullah, Bukan


Makhluk !!

Keyakinan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah (firman Allah)


yang diturunkan dengan huruf serta maknanya, dan bukan makhluk, berasal dari-Nya dan
akan kembali kepada-Nya. Al-Qur’an adalah mukjizat yang membuktikan kebenaran apa
yang dibawa oleh Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam dan akan terpeliharan hingga
hari kiamat. Allah ‘azza wa jallaberbicara/berfirman sesuai dengan kehendak-Nya, kapan
Dia kehendaki, dan bagaimana Dia kehendaki. Ucapan Allah ’azza wa jalla adalah hakiki
[322]
dengan huruf dan suara, hanya saja kita tidak tahu bagaimana hakikatnya serta tidak perlu
menelusurinya.

Abu ’Utsman Ash-Shabuni berkata dalam risalahnya yang berjudul ’Aqiidatus-Salaf


Ashhaabil-Hadiits:

‫افر‬--‫و ك‬--‫ده فه‬--‫ ومن قال بخلقه واعتق‬،‫ ووحيه وتنزيله غير مخلوق‬،‫ويشهد أصحاب الحديث ويعتقدون أن القرآن كالم هللا وكتابه‬
‫وم‬-‫ا لق‬--‫ا عربي‬-‫لم قرآن‬--‫ه وس‬-‫لى هللا علي‬-‫ول ص‬-‫ل على الرس‬--‫ه جبري‬--‫نزل ب‬--‫ذي ي‬-‫و ال‬--‫ه ه‬--‫ والقرآن الذي هو كالم هللا ووحي‬،‫عندهم‬
‫ون من‬--‫ك لتك‬--‫ على قلب‬.‫روح األمين‬--‫ه ال‬--‫زل ب‬--‫ ن‬.‫المين‬--‫ل رب الع‬--‫ه لتنزي‬--‫ (وإن‬:‫ل‬--‫ز من قائ‬-‫ ع‬.‫ال‬-‫ا ق‬--‫ كم‬،‫ذيرا‬--‫ بشيرا ون‬،‫يعلمون‬
‫ول‬--‫ (يا أيها الرس‬:‫ كما أخبر به في قوله تعالى‬،‫ بلسان عربي مبين) وهو الذي بلغه الرسول صلى هللا عليه وسلم أمته‬،‫المنذرين‬
‫غ‬--‫وني أن أبل‬--‫ أتمنع‬:‫ وفيه قال صلى هللا عليه وسلم‬،‫بلغ ما أنزل إليك من ربك) فكان الذي بلغهم بأمر هللا تعالى كالمه عز وجل‬
،‫ظ‬--‫ظ الف‬--‫ارئ ? لف‬--‫راءة ق‬--‫رف بق‬--‫ا تص‬--‫ف م‬--‫ كي‬،‫احف‬--‫نة يكتب في المص‬--‫ وتتلوه األلس‬،‫كالم ربي " وهو الذي تحفظه الصدور‬
‫ل‬-‫ه كالم هللا ج‬--‫ا كل‬-‫بيانهم وغيره‬--‫ وألواح ص‬،‫ وفي أي موضع قرئ وكتب في مصاحف أهل اإلسالم‬،‫ وحيث تلي‬،‫وحفظ حافظ‬
‫ غير مخلوق ق فهو كافر باهلل العظيم‬،‫جالله‬.

”Ashhaabul-Hadits bersaksi dan meyakini bahwasannya Al-Qur’an adalah Kalamullah,


kitab-Nya, wahyu-Nya, yang diturunkan-Nya, dan bukan makhluk. Barangsiapa yang
mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk serta meyakininya, maka ia adalah kafir
menurut mereka (Ashhaabul-Hadits). Al-Qur’an adalah Kalamullah, wahyu-Nya, yan
diturunkan melalui perantaraan Jibril kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallamdalam bahasa Arab yang dapat dipahami oleh kaumnya. Ia merupakan kabar
gembira, sekaligus sebagai peringatan sebagaimana firman-Nya : ” Dan sesungguhnya Al
Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh
Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara
orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”  (QS. Asy-
Syu’araa’ : 192-195). Ia adalah kitab yang disampaikan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasalam kepada umatnya sebagaimana dikhabarkan melalui firman Allah : ”Hai Rasul,
sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu”  (QS. Al-Maaidah : 67). Jadi,
semua itu merupakan Kalamullah ’azza wa jalla. Jadi, apa yang disampaikan
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tersebut adalah Kalamullah. Oleh karena itu
beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Apakah kalian menghalangiku untuk
menyampaikan kalam Rabb-ku ?” [1] . Al-Qur’an adalah yang dihafal di dalam dada, yang
dibaca dengan lisan, dan yang dituliskan dalam mushhaf. Bagaimanapun qari’membacanya,
lafadh yang diucapkan dan yang dihafal oleh penghafal, mana saja dibacakan, di tempat
mana saja dibaca atau tertulis dalam mushhaf umat Islam atau di papan tulis anak-anak
mereka; semuanya itu adalah Kalamulah. Bukan makhluk. (Barangsiapa yang mengatakan
bahwa Al-Qur’an adalah makhluk), maka ia kafir kepada Allah Yang Maha Agung” [selesai].
[323]
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitabnya As-Sunnah (no. 25) dari Al-
Imam Sufyan bin ’Uyainah bahwa ia berkata :

‫القرآن كالم هللا عزوجل من قال مخلوق فهو كافر ومن شك في كفره فهو كافر‬

”Al-Qur’an adalah Kalamullah. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah


makhluk, maka ia kafir. Dan barangsiapa yang ragu akan kekafiran orang tersebut, maka ia
juga kafir” [selesai].

Diriwayatkan dari ’Utsman Al-Wasithi, ia berkata :

‫ يقول ما يقول هذا الدويه يعني بشر المريس قالوا يا أبا محمد بن أبي عمران القرآن مخلوق قال فقد كذب قال‬-‫سمعت ابن عيينه‬
‫يى‬--‫د بن يح‬--‫اد ومحم‬--‫ل ونعيم بن حم‬--‫د بن حنب‬--‫ال أحم‬-‫هللا عز وجل أال له الخلق واألمر فالخلق خلق هللا واألمر القرآن وكذلك ق‬
‫الذهلي وعبد السالم بن عاصم الرازي وأحمد بن سنان الواسطي وأبو حاتم الرازي‬

”Aku mendengar Ibnu ’Uyainah berkata : ”Apa yang dikatakan oleh hewan kecil ini ?” –
yaitu Bisyr Al-Marisi - . Mereka berkata : ”Wahai Abu Muhammad bin Abi ’Imran, (ia
mengatakan) bahwa Al-Qur’an itu makhluk”. Ibnu ’Uyainah berkata : ”Dia dusta, karena
Allah ’azza wa jalla berfirman : ”Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah”  (QS. Al-A’raf : 54)”.

Al-Khalqu adalah makhluk Allah dan amru adalah Al-Qur’an”.

(Setelah membawakan riwayat tersebut, Al-Imam Al-Laalika’i berkata : ) ”Begitulah yang


dikatakan Ahmad bin Hanbal, Nu’aim bin Hammad, Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhliy,
’Abdus-Salam bin ’Ashim Ar-Razi, Ahmad bin Sinan Al-Wasithi, dan Abu Hatim Ar-Razi”
[Syarh Ushul I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Imam Al-Laalika’i hal. 219;
Maktabah Al-Misykah].  

Telah berkata Ar-Rabi’ :

‫ ومن قال مخلوق فهو كافر‬، ‫ القرآن كالم هللا عز وجل غير مخلوق‬: ‫سمعت الشافعي رحمه هللا تعالى يقول‬

Aku mendengar Asy-Syafi’i rahimahullah ta’ala berkata : ”Al-Qur’an itu adalahKalamullah


’azza wa jalla. Bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan bahwasannya ia adalah
makhluk, maka ia telah kafir” [Asy-Syarii’ah oleh Al-Imam Al-Ajurri hal. 59; Maktabah Al-
Misykah].

Syaikhul-Islam Ibnu Tamiyyah berkata :

‫ير‬--‫ة وال غ‬--‫ مخلوق‬:‫ون‬-‫ فال يقول‬،‫ديث‬--‫نة والح‬-‫ة الس‬--‫ائر أئم‬-‫ وس‬،‫حابه‬-‫ان أص‬-‫ وأعي‬،‫د‬--‫ام أحم‬--‫ريح عن اإلم‬-‫وأما المنصوص الص‬
‫ وال غيرالمسمى‬،‫ االسم هو المسمى‬:‫ وال غير المتلو مطل ًقا كما ال يقولون‬،‫ التالوة هي المتلو مطل ًقا‬:‫ وال يقولون‬،‫مخلوقة‬.
[324]
ً ‫ ولفظ يلفظ‬،‫ وقرأ يقرأ قراءة‬،‫تالوة‬ ‫وذلك أن [التالوة والقراءة] كاللفظ قد يراد به مصدر تلى يتلو‬
‫و‬--‫در ه‬--‫مى المص‬--‫ ومس‬،‫ ا‬-‫لفظ‬
‫د‬--‫ وق‬.‫و‬--‫المتل‬ ‫و‬--‫ذي ه‬--‫موع ال‬--‫ول المس‬--‫ وليس ذلك هو الق‬،‫ واللفظ مخلوق‬.‫المراد باسم التالوة والقراءة‬ ‫ وهذا‬،‫فعل العبد وحركاته‬
‫ ومعلوم أن القرآن المتلو الذي‬،‫ وذلك هو المتلو‬،‫ القول المسموع‬ ‫ وهو‬،‫ وبالقراءة المقروء‬،‫ وبالتالوة المتلو‬،‫يراد باللفظ الملفوظ‬
‫ق عن‬--‫نفي الخل‬ ‫ع وال‬--‫ق على الجمي‬--‫ فال يجوز إطالق الخل‬،‫ وقد يراد بذلك مجموع األمرين‬،‫به غير مخلوق‬  ‫ ويلفظ‬،‫يتلوه العبد‬
.‫الجميع‬

”Nash-nash yang jelas dari Imam Ahmad dan shahabat-shahabatnyanya, para imam
sunnah, serta para ahli hadits menyatakan bahwa mereka tidaklah mengatakan bahwaAl-
Qur’an yang aku lafadhkan adalah makhluk atau bukan makhluk. Mereka juga tidak
menyatakan bahwa bacaan itu identik dengan yang dibaca secara mutlak. Hal itu
sebagaimana mereka tidak mengatakan bahwa nama itu identik dengan yang diberi nama
atau tidak identik dengan yang diberi nama.

Hal tersebut dikarenakan tilawah dan qira’ah seperti lafadh, terkadang yang dimaksud


adalah mashdar-nya :

ُ ‫ َولَ َف َظ – َي ْل َف‬،‫ ق َِرا َء ًة‬- ُ ‫ َي ْق َرأ‬- َ‫ َو َق َرأ‬،‫ِالو ًة‬


‫ َل ْف ًظا‬- ‫ظ‬ َ ‫ ت‬- ‫َتلَى – َي ْتلُ ْو‬

Dan dinamakan mashdar itu adalah karena ia merupakan perbuatan hamba dan


gerakannya. Jadi itulah yang dimaksud dengan kata tilawah, qira’ah, dan lafadh itu adalah
makhluk. Bukanlah hal itu merupakan ucapan yang terdengar, yaitu sesuatu yang dibaca.
Terkadang maksud lafadh adalah sesuatu yang dilafadhkan, tilawah yang
ditilawahkan, qira’ah yang dibacakan; yaitu ucapan yang didengar atau dibaca.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Al-Qur’an yang dibaca, yaitu yang dibaca dan
yang dilafadhkan oleh seorang hamba. Al-Qur’an yang dibaca ini bukan makhluk. Dan
terkadang maksudnya adalah kedua hal yang telah disebutkan. Tidak boleh memutlakkan
untuk mengatakan semuanya adalah makhluk atau menafikkannya bukan makhluk”
[Majmu ’ Fataawaa oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah 12/107; Maktabah Al-Misykah].

Terakhir kami tegaskan kembali bahwa : Al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan makhluk.
Tidak boleh melemah untuk mengatakan Al-Qur’an itu makhluk, akrena sesungguhnya
Kalam Allah itu tidak terpisah dari-Nya, dan tidak ada suatu bagian pun dari-Nya yang
merupakan makhluk. Hindarilah berdebat dengan orang yang membuat perkara baru
dengannya, orang yang mengatakan lafadhku dengan Al-Qur’an adalah makhluk dan
selainnya, serta orang yang tawaquf (abstain) tentangnya yang mengatakan : ”Aku tidak
tahu Al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk, akan tetapi ia adalah Kalamullah”. Karena
orang seperti ini adalah ahli bid’ah, serupa halnya dengan orang yang mengatakan Al-

[325]
Qur’an adalah makhluk. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah, dan bukan
makhluk [2]

[1]     HR. Abu Dawud no. 4734, At-Tirmidzi no. 2925 dan Ibnu Majah no. 197, Ad-Daarimi
no. 3354, Ahmad no. 15229, dan Al-Hakim no. 4220 dengan lafadh :

‫فإن قريشا ً قد منعوني أن أبلغ كالم ربي‬

“Sesungguhnya kaum Quraisy telah menghalangiku untuk menyampaikan kalam Rabb-ku” .

[2]  Diambil dari perkataan Imam Ahmad dalam Ushulus-Sunnah.

Penjelasan Ibnu Rajab tentang Tauhid Al-Asmaa' wash-


Shifaat

‫بسم هللا الرحمن الر حيم‬

‫ ومن‬، ‫ه‬--‫ من يهده هللا فال مضل ل‬، ‫ وسيئات أعمالنا‬، ‫ ونعوذ باهلل من شرور أنفسنا‬، ‫ ونستغفره‬، -‫ نحمده ونستعينه‬، ‫إن الحمد هلل‬
‫وا هللا‬--‫وا اتق‬--‫ذين آمن‬--‫{ يا أيها ال‬. ‫ وأشهد أن ال إله إال هللا وحده ال شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله‬، ‫يضلل فال هادي له‬
‫ا‬--‫{ يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهم‬، } ‫حق تقاته وال تموتن إال وأنتم مسلمون‬
‫وال‬--‫وا ق‬--‫وا هللا وقول‬--‫وا اتق‬--‫{ يا أيها الذين آمن‬،}‫رجاال كثيرا ونساء واتقوا هللا الذي تساء لون به واالرحام إن هللا كان عليكم رقيبا‬
} ‫سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع هللا ورسوله فقد فاز فوزا عظيما‬.

‫ أما بعـــد‬:

Pembahasan asma’ wa shifat Allah merupakan salah satu asas aqidah yang diyakini oleh
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Banyak ulama yang telah menuliskan bahasan penjelasan
mengenai hal ini. Salah satunya adalah Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-
Hanbaly rahimahullah.Beliau adalah seorang ulama Ahlus-Sunnah yang dikenal luas
ilmunya, baik dalam bidang tafsir, hadits, maupun fiqh. Berikut ini akan coba dituliskan
sebuah pokok bahasan tentang tauhid al-asma’ wash-shifat Allah yang terdapat dalam kitab

[326]
Ibnu Rajab yang berjudul : Fadl-lu ‘Ilmis-Salaf ‘alal-Khalaf (Keutamaan ‘Ilmu Kaum Salaf
Dibanding Kaum Khalaf).

Ibnu Rajab berkata :

‫و‬--‫ول وه‬--‫ة العق‬--‫فاته بأدل‬--‫الى وص‬--‫ومن ذلك أعني محدثات األمور ما أحدثه المعتزلة ومن حذا حذوهم من الكالم في ذات هللا تع‬
‫أشد خطراً من الكالم في القدر ألن الكالم في القدر كالم في أفعاله وهذا كالم في ذاته وصفاته‬.

“Dan di antara perkara-perkara baru yang muncul adalah golongan Mu’tazilah dan orang-
orang yang mengikuti jejak langkah mereka dalam pembicaraan mengenai Dzat dan Shifat-
Shifat Allah ta’ala dengan berlandaskan akal pikiran semata. Masalah ini jauh lebih besar
bahayanya daripada pembicaraan mengenai qadar. Hal itu disebabkan karena pembicaraan
masalah qadar hanya berkisar pada perbuatan Allah. Adapun masalah ini, pembicaraan
menyangkut Dzat dan Shifat-Shifat-Nya ta’ala.

‫ول‬--‫المخلوقين كق‬--‫بيه ب‬--‫ده للتش‬--‫وينقسم هؤالء إلى قسمين أحدهما من نفى كثيراً مما ورد به الكتاب والسنة من ذلك الستلزامه عن‬
‫تواء‬--‫ما ووافقهم من نفى االس‬--‫ان جس‬--‫مع لك‬--‫ه كالم يس‬--‫ان ل‬--‫و ك‬--‫ وقولهم ل‬:‫المعتزلة لو رؤي لكان جسما ألنه ال يرى إال في جهة‬
‫ور‬--‫بيلهم في بعض األم‬--‫لك س‬--‫ وتضليلهم وقد س‬-‫ وهذا طريق المعتزلة والجهمية وقد اتفق السلف على تبديعهم‬:‫فنفوه لهذه الشبهة‬
‫ر ورد على‬--‫ا األث‬--‫رد به‬--‫تي لم ي‬--‫ والثاني من رام إثبات ذلك بأدلة العقول ال‬.‫كثير ممن انتسب إلى السنة والحديث من المتأخرين‬
‫و‬--‫ وه‬.ً‫ديثا‬--‫ديما ً وح‬--‫أولئك مقالتهم كما هي طريقة مقاتل بن سليمان ومن تابعه كنوح بن أبي مريم وتابعهم طائفة من المحدثين ق‬
‫ا‬-‫أت به‬-‫فات لم ي‬-‫ ومنهم من أثبت هَّلل ص‬.‫نى‬-‫ا مع‬-‫ا وإم‬-‫ا لفظ‬-‫أيضا ً مسلك الكرامية فمنهم من أثبت إلثبات هذه الصفات الجسم إم‬
‫الكتاب والسنة كالحركة وغير ذلك مما هي عنده الزم الصفات الثابتة‬.

Orang-orang yang membahas masalah Dzat dan Shifat Allah dengan berlandaskan akal
semata ini terbagi menjadi dua golongan :

Pertama; Golongan yang banyak menafikkan apa-apa yang datang dari Al-Kitab (Al-Qur’an)
dan As-Sunnah tentang Dzat dan Shifat Allah ta’ala, karena angapan mereka bahwa
penetapan shifat-shifat tersebut kepada Allah akan menimbulkan penyerupaan kepada
makhluk-makhluk-Nya. Hal ini seperti perkataan Mu’tazilah bahwa bila Allah dapat dilihat,
tentu Dia adalah jism (benda). Sebab, Dia tidaklah dapat dilihat kecuali dalam satu ruang.
Perkataan mereka yang lain : Apabila Allah mempunyai Kalam (pembicaraan) yang dapat
didengar, tentu Dia adalah jism (benda). Dan juga peniadaan mereka akan istiwaa’ Allah
juga akibat dari syubhat ini.

Ini adalah jalan/metode yang ditempuh oleh Mu’tazilah dan Jahmiyyah. Para ulama salaf
telah sepakat tentang kebid’ahan dan kesesatan mereka. Namun sungguh disayangkan
banyak orang belakangan (muta’akhirin) yang menempuh jalan mereka pada sebagian
perkara dari kalangan yang menisbatkan diri pada As-Sunnah dan Al-Hadits.
[327]
Kedua; Golongan yang condong terhadap penetapan Dzat dan Shifat Allah dengan dasar
akal semata yang tidak terdapat dalam atsar. Telah datang perkataan-perkataan mereka
yang membantah golongan yang pertama sebagaimana yang dilakukan oleh Muqatil bin
Sulaiman dan pengikut-pengikutnya seperti Nuh bin Abi Maryam; yang kemudian diikuti
oleh (sebagian) kalangan Muhadditsin dulu dan sekarang. Jalan ini pulalah yang ditempuh
golongan Karamiyyah. Di antara mereka (golongan Karamiyyah) ada yang menetapkan
shifat jism bagi Dzat Allah secara lafadh atau makna. Dan di antara mereka pula ada yang
menetapkan shifat yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti shifat
“bergerak” (al-harakah) dan semisalnya yang menurut anggapan mereka merupakan
shifat-shifat yang tidak boleh dipisahkan dari shifat-shifat yang tsabit.

‫ منهم مكي بن‬،‫ه‬--‫تحل قتل‬--‫ ومنهم من اس‬.‫وقد أنكر السلف على مقاتل قوله في رده على جهم بأدلة العقل وبالغوا في الطعن عليه‬
‫ير‬--‫ والصواب ما عليه السلف الصالح من إمرار آيات الصفات وأحاديثها كما جاءت من غير تفس‬.‫إبراهيم شيخ البخاري وغيره‬
‫رب‬--‫ا وال ض‬--‫وض في معانيه‬--‫د وال خ‬--‫ام أحم‬--‫ وال يصح من أحد منهم خالف ذلك البتة خصوصا ً اإلم‬-:‫لها وال تكييف وال تمثيل‬
‫ل فال‬--‫ة مقات‬--‫ا ً لطريق‬-‫ك اتباع‬--‫ وإن كان بعض من كان قريبا ً من زمن اإلمام أحمد فيهم من فعل شيئا ً من ذل‬: ‫مثل من األمثال لها‬
‫ وأبي‬.‫حق‬--‫ واس‬.‫د‬--‫ وأحم‬.‫افعي‬--‫ والش‬.‫وري واألوزاعي‬--‫ والث‬.‫ك‬--‫ ومال‬.‫ارك‬--‫يقتدى به في ذلك إنما اإلقتداء بأئمة اإلسالم كابن المب‬
‫ك في‬--‫دخل ذل‬--‫ ولم ي‬:‫فة‬--‫ال عن كالم الفالس‬--‫يء من جنس كالم المتكلمين فض‬--‫د في كالمهم ش‬--‫ؤالء ال يوج‬--‫ ونحوهم وكل ه‬.‫عبيد‬
‫يء من‬--‫ره إلى ش‬--‫اج في نش‬--‫كالم من سلم من قدح وجرح وقد قال أبوزرعة الرازي كل من كان عنده علم فلم يصن علمه واحت‬
‫الكالم فلستم منه‬.

Para ulama salaf telah mengingkari dan mengecam tindakan Muqatil saat ia membantah
Jahmiyyah dengan dasar akal semata. Di antara para ulama salaf bahkan sampai ada yang
menghalalkannya untuk dibunuh, seperti Makki bin Ibrahim yang merupakan guru Imam
Al-Bukhari; dan selainnya.

Yang benar dalam permasalahan ini adalah apa yang telah dipegang oleh As-Salafush-
Shalih, yaitu memperlakukan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits tentang Shifat Allah
sebagaimana adanya, tanpa mentafsirkannya (yaitu : men-ta’wil-kannya – Pent.),
menanyakan bagaimananya (takyif), atau menyerupakannya dengan makhluk-Nya
(tamtsil). Tidak dinukil perselisihan diantara mereka dalam masalah ini, khususnya dari Al-
Imam Ahmad. Dan golongan salaf tidak berlebih-lebihan dalam memahami makna shifat-
shifat tersebut dan tidak pula membuat permisalan baginya.

Walaupun ada sebagian ulama yang hidup dekat dengan jaman Imam Ahmad mengikuti
jalan yang ditempuh oleh Muqatil, akan tetapi perbuatan mereka tidak dapat dijadikan
landasan. Sebab, contoh yang dapat dijadikan panutan hanyalah para imam besar seperti
Ibnu Mubarak, Malik (bin Anas), Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq (bin

[328]
Rahawaih), Abu ‘Ubaid, dan semisal dengan mereka. Seluruh perkataan para imam tersebut
tidak ada kemiripan dengan perkataan ahlul-kalam dan juga para filosof. Abu Zur’ah Ar-
Razi telah berkata : “Setiap orang yang memiliki ilmu yang tidak membentengi ilmunya
(dari ilmu kalam dan filsafat), namun ia malah menggunakan ilmu kalam dan filsafat itu
untuk menyebarkan ilmunya; maka janganlah kalian masuk ke dalam golongannya”.

[selesai perkataan Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah]

Dimana Allah ?
Sahabat Mu'awiyah bin Al-Hakam As-Sulami menceritakan tentang seorang jariyah (hamba
perempuan) yang dimilikinya. Beliau berkata:

‫ني‬--‫ل من ب‬--‫ا رج‬--‫وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية؛ فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب قد ذهب بشاة من غنمها وأن‬
‫ول هللا‬--‫ا رس‬--‫ ي‬: ‫ قلت‬،‫ك على‬--‫لم فعظم ذل‬--‫ه وس‬--‫ه وآل‬--‫آدم آسف كما يأسفون؛ لكني صككتها صكة فأتيت رسول هللا صلى هللا علي‬
‫أعتقها‬ ‫أفال‬

Maksudnya:

“Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembala kambing di sekitar pergunungan
Uhud dan Juwaniyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan
membawa lari seekor kambing di bawah tugas pemeliharaannya (hamba perempuan
tersebut). Dan aku adalah termasuk salah seorang anak Adam, oleh yang demikian aku juga
ada perasaan tidak berpuas hati sebagaimana mereka (manusia lain juga yang ada rasa
tidak puas hati). Namun (apabila kambingnya dimakan serigala) aku menampar hamba
perempuan tersebut dengan tamparan (pukulan) yang kuat. Maka aku pergi lagi berjumpa
Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam, lalu Beliau menyalahkanku atas perbuatanku.

Saya lalu berkata:

“Wahai Rasulullah! Adakah aku harus memerdekakannya?”

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:

"Bawa dia kepadaku".


[329]
Setelah hamba perempuan itu datang lalu Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam
diriwayatkan bersabda (melalui riwayat Imam Muslim ini):

‫أين هللا‬

Maksudnya: "Ainallah?"

Hamba tersebut menjawab:

‫في السماء‬

"Di langit".

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam lalu bersabda:

‫من أنا‬

"Siapakah aku?"

Hamba perempuan itu menjawab:

‫أنت رسول هللا‬

"Kamu Rasulullah"

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda lagi:

‫أعتقها فأنها مؤمنة‬

"Merdekakanlah dia. Sesungguhnya dia seorang yang beriman."

Hadith dengan "lafaz" ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanadnya seperti
berikut:

Saidina Mu'awiyah bin Al-Hakam radhiallahu anha meriwayatkan kepada:

'Atho' bin Yasar yang meriwayatkan kepada:

Hilal bin Abi Maimunah yang meriwayatkan kepada:

Yahya bin Abi Kathir yang meriwayatkan kepada:

Hajjaj As-Showwaf yang meriwayatkan kepada:

Ismail bin Ibrahim yang meriwayatkan kepada:

[330]
Abu Ja'far Muammad dan Abu Bakr bin Abi Syaibah yang meriwayatkannya kepada:

Imam Muslim yang meriwayatkannya dalam Sahihnya.

Pengkajian Kedudukan Perawi: Adapun tentang Hilal bin Ali bin Usamah (iaitu Hilal bin Abi
Maimunah), maka sebahagian para nuqqad (ahli pengkaji sanad hadith) menyatakan
seperti berikut:-

Imam Abu Hatim berkata: "Dia seorang sheikh yang ditulis hadithnya". Ungkapan ini
menunjukkan kepada darjat hasan atau sahih peringkat rendah menurut Imam Az-Zahabi
dalam kitab Al-Muqizhoh.

DI MANA ALLAH ?
Tulisan Ustad Abdul Hakim bin Amir Abdat

Saya akan menjelaskan salah satu aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang telah hilang dari
dada sebagian kaum muslimin, yaitu : tentang istiwaa Allah di atas Arsy-Nya yang sesuai
dengan kebesaran dan kemuliaan-Nya. Sehingga bila kita bertanya kepada saudara kita ;
Dimana Allah ? Kita akan mendapat dua jawaban yang bathil bahkan sebagiannya kufur..! :

1. Allah ada pada diri kita ini ..!


2. Allah dimana-mana di segala tempat !

Jawaban yang pertama berasal dari kaum wihdatul wujud (kesatuan wujud Allah dengan
manusia) yang telah dikafirkan oleh para Ulama kita yang dahulu dan sekarang. Sedangkan
jawaban yang kedua keluar dari kaum Jahmiyyah (faham yang menghilangkan sifat-sifat
Allah) dan Mu’tazilah, serta mereka yang sefaham dengan keduanya dari ahlul bid’ah.

Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang


budak perempuan milik Mua’wiyah bin Al-Hakam As-Sulamy sebagai ujian keimanan
sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya yaitu Mu’awiyah :

Artinya :

”Beliau bertanya kepadanya : ”Di manakah Allah ?. Jawab budak perempuan : ”Di atas
langit. Beliau bertanya (lagi) : ”Siapakah Aku ..?. Jawab budak itu : ”Engkau adalah
Rasulullah”. Beliau bersabda : ”Merdekakan ia ! .. karena sesungguhnya ia mu’minah
(seorang perempuan yang beriman)”.

[331]
Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Jama’ah ahli hadits, diantaranya :

1. Imam Malik (Tanwirul Hawaalik syarah Al-Muwath-tho juz 3 halaman 5-6).


2. Imam Muslim (2/70-71)
3. Imam Abu Dawud (No. 930-931)
4. Imam Nasa’i (3/13-14)
5. Imam Ahmad (5/447, 448-449)
6. Imam Daarimi 91/353-354)
7. Ath-Thayaalis di Musnadnya (No. 1105)
8. Imam Ibnul Jaarud di Kitabnya ”Al-Muntaqa” (No. 212)
9. Imam Baihaqy di Kitabnya ”Sunanul Kubra” (2/249-250)
10. Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di Kitabnya ”Tauhid” (hal. 121-122)
11. Imam Ibnu Abi ‘Aashim di Kitab As-Sunnah (No. 489 di takhrij oleh ahli hadits besar
Muhammad Nashiruddin Al-Albanni).
12. Imam Utsman bin Sa’id Ad-Daarimi di Kitabnya ”Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyyah” (No.
60,61,62 halaman 38-39 cetakan darus Salafiyah).
13. Imam Al-Laalikai di Kitabnya ”As-Sunnah ” (No. 652).

PEMBAHASAN

Pertama.
Hadist ini merupakan cemeti dan petir yang menyambar di kepala dan telinga ahlul bid’ah
dari kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah dan yang sefaham dengan mereka, yaitu ; dari kaum
yang menyandarkan aqidah mereka kepada Imam Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ary,
yaitu ; mereka mempunyai i’tiqad (berpendapat) :

”ALLAH BERADA DI TIAP-TIAP TEMPAT ATAU ALLAH BERADA DIMANA-MANA .!?”

Katakanlah kepada mereka : Jika demikian, yakni Allah berada dimana-mana tempat, maka
Allah berada di jalan-jalan, di pasar-pasar, di tempat kotor dan berada di bawah mahluknya
!?.

Jawablah kepada mereka dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla :

Artinya :

”Maha suci Engkau ! ini adalah satu dusta yang sangat besar” (An-Nur : 16)

”Maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sifatkan ” (Al-Mu’minun : 91)

”Maha Suci Dia ! Dan Maha Tinggi dari apa-apa yang mereka katakan dengan ketinggian
yang besar”. (Al-Isra : 43)

Berkata Imam Adz-Dzahabi setelah membawakan hadits ini, di kitabnya ”Al-Uluw” (hal : 81
diringkas oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani).
Artinya :

”Dan demikian ra’yu kami (setuju dengan hadits) setiap orang yang ditanya : ”Dimana Allah
? ”Dia segera dengan fitrahnya menjawab : Di atas langit !. Didalam hadits ini ada dua
[332]
masalah : pertama : Disyariatkan pertanyaan seorang muslim : Dimana Allah ?. Kedua :
Jawaban orang yang ditanya : (Allah) di atas langit ! Maka barangsiapa yang mengingkari
dua masalah ini berarti ia telah mengingkari Al-Musthafa (Nabi) sholallahu alaihi wa
sallam”.

Dan telah berkata Imam Ad-Daarimi setelah membawakan hadits ini di kitabnya ”Ar-Raddu
‘Alal Jahmiyah (hal: 39): ”Di dalam hadits Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam ini, ada
dalil bahwa seseorang apabila tidak mengetahui sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berada
di atas langit bukan bumi, tidaklah ia seorang mu’min”.

Tidaklah engkau perhatikan bahwa Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam telah


menjadikan tanda/alamat keimanannya (yaitu budak perempuan) tentang
pengetahuannya sesungguhnya Allah diatas langit. Dan pada pertanyaan Rasulullah
sholallahu alaihi wa sallam (kepada budak perempuan): ”Dimana Allah ?”. Mendustakan
perkataan orang yang mengatakan : ”Dia (Allah) ada di tiap-tiap tempat (dan) tidak boleh
disifatkan dengan (pertanyaan) : Dimana .?

Kedua
Lafadz ‘As-Samaa” menurut lughoh/bahasa Arab artinya : Setiap yang tinggi dan berada di
atas. Berkata Az-Zujaaj (seorang Imam ahli bahasa) :

Artinya :

”(Lafadz) As-Samaa/langit di dalam bahasa dikatakan : Bagi tiap-tiap yang tinggi dan
berada diatas. Dikatakan : Atap rumah langit-langit rumah”.

Dinamakan ”Awan” itu langit/As-Samaa, karena ia berada di atas manusia. Firman Allah
‘Azza wa Jalla.
Artinya :

”Dan Ia turunkan dari langit Air (hujan)” (Al-Baqarah : 22).

Adapun huruf ”Fii” dalam lafadz hadits ”Fiis-Samaa” bermakna ” ‘Alaa” seperti firman Allah
‘Azza wa Jalla:
Artinya :

”Maka berjalanlah kamu di atas/di muka bumi” (At-Taubah : 2)

”Mereka tersesat di muka bumi” (Al-Ma’dah : 26).

Lafadz ”Fil Arldhii” dalam dua ayat diatas maknanya ” ‘Alal Arldhii”, Maksudnya : Allah
‘Azza wa Jalla berada dipihak/diarah yang tinggi -di atas langit- yakni di atas ‘Arsy-Nya
yang sesuai dengan kebesaran-Nya. Ia tidak serupa dengan satupun mahluk-Nya dan tidak
satupun mahluk menyerupai-Nya.

Firman Allah ‘Azza wa Jalla :


Artinya :

”Tidak ada sesuatupun yang sama dengan-Nya, dan Ia-lah yang Maha Mendengar (dan)
Maha Melihat”. (As-Syura : 4)

[333]
”Dan tidak ada satupun yang sama/sebanding dengan-Nya” (Al-ikhlas : 4)

”Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa (bersemayam)”. (Thaha : 5)

”Sesungguhnya Tuhan kamu itu Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam
hari, kemudian ia istiwaa (bersemayam) di atas ‘Arsy”.(Al-A’raf :54).

Madzhab Salaf -dan yang mengikuti mereka- seperti Imam yang empat : Abu Hanifah,
Malik, Syafi’iy dan Ahmad bin Hambal dan lain-lain Ulama termasuk Imam Abul Hasan Al-
Asy’ari sendiri, mereka semuanya beriman bahwa ; Allah ‘Azza wa Jalla ISTIWAA diatas
‘Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.

Mereka tidak menta’wil ISTIWAA/ISTAWAA dengan ISTAWLA yang artinya : Berkuasa.


Seperti halnya kaum Jahmiyyah dan yang sefaham dengan mereka yang mengatakan ”Allah
istiwaa di atas ‘Arsy” itu maknanya : Allah menguasai ‘Arsy !. Bukan Dzat Allah berada di
atas langit yakni di atas ‘Arsy-Nya, karena Allah berada dimana-mana tempat !?… Mereka
ini telah merubah perkataan dari tempatnya dan telah mengganti perkataan yang tidak
pernah dikatakan Allah kepada mereka sama seperti kaum Yahudi (baca surat Al-baqarah :
58-59).

Katakan kepada mereka : Kalau makna istiwaa itu adalah istawla/berkuasa, maka Allah
‘Azza wa Jalla berkuasa atas segala sesuatu bukan hanya menguasai ‘Arsy. Ia menguasi
langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya dan sekalian mahluk (selain Allah
dinamakan mahluk). Allah ‘Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang istawaa-Nya diatas
‘Arsy-Nya dalam tujuh tempat di dalam kitab-Nya Al-Qur’an. Dan semuanya dengan lafadz
”istawaa”. Ini menjadi dalil yang sangat besar bahwa yang dikehendaki dengan istawaa
ialah secara hakekat, bukan ”istawla” dengan jalan menta’wilnya.

Telah berfirman Allah ‘Azza wa Jalla di Muhkam Tanzil-Nya.

Artinya :

”Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istawaa” (Thaha : 5)

”Kemudian Ia istawaa (bersemayam) di atas ‘Arsy”.

Pada enam tempat. Ia berfirman di kitab-Nya yaitu :

1. Surat Al-A’raf ayat 54


2. Surat Yunus ayat 3
3. Surat Ar-Ra’du ayat 2
4. Surat Al-Furqaan ayat 59
5. Surat As-Sajdah ayat 4
6. Surat Al-Hadid ayat 4
Menurut lughoh/bahasa, apabila fi’il istiwaa dimuta’adikan oleh huruf ‘Ala, tidak dapat
dipahami/diartikan lain kecuali berada diatasnya.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
Artinya :

”Dan berhentilah kapal (Nuh) diatas gunung/bukit Judi” (Hud : 44).

[334]
Di ayat ini fi’il ”istawaa” dimuta’addikan oleh huruf ‘Ala yang tidak dapat dipahami dan
diartikan kecuali kapal Nabi Nuh Alaihi Salam secara hakekat betul-betul
berlabuh/berhenti diatas gunung Judi. Dapatkah kita artikan bahwa ”Kapal Nabi Nuh
menguasai gunung Judi” yakni menta’wil lafadz ”istawat” dengan lafadz ”istawlat” yang
berada di tempat yang lain bukan di atas gunung Judi..? (yang sama dengan ayat di atas,
baca surat Az-Zukhruf : 13).

Berkata Mujahid (seorang Tabi’in besar murid Ibnu Abbas).


Artinya :

”Ia istawaa (bersemayam) di atas ”Arsy” maknanya :

”Ia berada tinggi di atas ”Arsy”

(Riwayat Imam Bukhari di sahihnya Juz 8 hal : 175)

Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di kitabnya ”At-Tauhid” (hal: 101):
Artinya :

”Kami beriman dengan khabar dari Allah Jalla wa A’laa (yang Maha Besar dan Maha tinggi)
sesungguhnya pencipta kami (Allah) Ia istiwaa di atas ‘Arsy-Nya. Kami tidak akan
mengganti/mengubah Kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan perkataan
yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagimana (kaum) Jahmiyyah yang
menghilangkan sifat-sifat Allah, dengan mengatakan ”Sesungguhnya Ia (Allah) istawla
(menguasai) ‘Arsy-Nya tidak istawaa!”. Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak
pernah dikatakan (Allah) kepada mereka seperti perbuatan Yahudi tatkala mereka
diperintah mengucapkan : ”Hith-thatun (ampunkanlah dosa-dosa kami)” Tetapi mereka
mengucapkan : ”Hinthah (gandum).?”. Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah
Allah yang Maha Besar dan Maha tinggi, begitu pula dengan (kaum) Jahmiyyah”.

Yakni, Allah telah menegaskan pada tujuh tempat di kitab-Nya yang mulia, bahwa Ia
istiwaa di atas ‘Arsy-Nya (Dzat Allah istiwaa/bersemayam di atas ‘Arsy-Nya yang sesuai
dengan kebesaran-Nya, sedangkan ilmu-Nya berada dimana-mana/tiap-tiap tempat tidak
satupun tersembunyi dari pengetahuan-Nya). Kemudian datanglah kaum Jahmiyyah
mengubah firman Allah istawaa dengan istawla yakni menguasai ‘Arsy sedangkan Dzat
Allah berada dimana-mana/tiap-tiap tempat !!!. Maha Suci Allah dari apa-apa yang
disifatkan kaum Jahmiyyah !

Adapun madzhab Salaf, mereka telah beriman dengan menetapkan (istbat) sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla istiwaa -dan bukan istawla- di atas ‘Arsy-Nya tanpa :

1. Tahrif yakni ; Merubah lafadz atau artinya.


2. Ta’wil yakni ; Memalingkan dari arti yang zhahir kepada arti yang lain.
3. Ta’thil yakni ; Meniadakan/menghilangkan sifat-sifat Allah baik sebagian maupun secara
keseluruhannya.
4. Tasybih yakni ; Menyerupakan Allah dengan mahluk.
5. Takyif yakni ; Bertanya dengan pertanyaan : Bagaimana (caranya) ?

[335]
Alangkah bagusnya jawaban Imam Malik ketika beliau ditanya :
”Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas ‘Arsy ?. Beliau menjawab :
Artinya :

”Istiwaa itu bukanlah sesuatu yang tidak dikenal (yakni telah kita ketahui artinya), tetapi
bagaimana caranya (Allah istiwaa) tidaklah dapat dimengerti, sedang iman dengannya
(bahwa Allah istiwaa) wajib, tetapi bertanya tentangnya (bagaimana caranya) adalah
bid’ah”.

(baca : Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 45-46).

Perhatikan !

1. ‘Arsy adalah mahluk Allah yang paling tinggi berada diatas tujuh langit dan sangat besar
sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas :
Artinya :

”Dan ‘Arsy tidak seorangpun dapat mengukur berapa besarnya”.

Berkata Imam Dzahabi di kitabnya ”Al-Uluw” (hal : 102) : rawi-rawinya tsiqaat


(terpercaya).

Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan : Sanadnya shahih semua riwayatnya


tsiqaat. (dikeluarkan oleh Imam ibnu Khuzaimah di kitabnya ”At-Tauhid”).

2. Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla -istiwaa-Nya di atas ‘Arsy- tidak tergantung kepada ‘Arsy.
Bahkan sekalian mahluk termasuk ‘Arsy bergantung kepada Allah Azza wa Jalla.

Firman Allah ‘Azza wa Jalla.


Artinya :

”Sesungguhnya Allah Maha Kaya dari sekalian alam” (Al-Ankabut : 6) Yakni : Allah tidak
berkeperluan kepada sekalian mahluk”.

Ketiga
Penunjukan Beberapa Dalil dari Al-Qur’an dan Hadits yang Shahih.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla.
Artinya :

”Apakah kamu merasa aman terhadap DZAT yang di atas langit, bahwa Ia akan
menenggelamkan ke dalam bumi, maka tiba-tiba ia (bumi) bergoncang ?” (Al-Mulk : 16)

”Ataukah kamu (memang) merasa aman terhadap DZAT yang di atas langit bahwa Ia akan
mengirim kepada kamu angin yang mengandung batu kerikil ? Maka kamu akan
mengetahui bagaimana ancaman-Ku”. (Al-Mulk : 17).

Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -setelah membawakan dua ayat di atas di kitabnya ”At-
Tauhid” (hal : 115).
Artinya :

”Bukankah Ia telah memberitahukan kepada kita -wahai orang yang berakal- yaitu ; apa
yang ada diantara keduanya sesungguhnya Ia di atas langit”.

[336]
Berkata Imam Abul Hasan Al-Asy’ary di kitabnya ”Al-Ibanah Fi Ushulid-diayaanah hal : 48)
setelah membawakan ayat di atas : ”Di atas langit-langit itu adalah ‘Arsy, maka tatkala ‘Arsy
berada di atas langit-langit. Ia berfirman : ”Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang
berada di atas langit ?” Karena sesungguhnya Ia istiwaa (bersemayam) di atas ‘Arsy yang
berada di atas langit, dan tiap-tiap yang tinggi itu dinamakan ‘As-Samaa” (langit), maka
‘Arsy berada di atas langit. Bukankah yang dimaksud apabila Ia berfirman : ”Apakah kamu
merasa aman terhadap Dzat yang diatas langit ?” yakni seluruh langit ! Tetapi yang Ia
kehendaki adalah ‘Arsy yang berada di atas langit”.

Saya berpandangan (Abdul Hakim bin Amir Abdat) : Dua ayat di atas sangat tegas sekali
yang tidak dapat dibantah dan ta’wil bahwa lafadz ”MAN” tidak mungkin difahami selain
dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bukan Malaikat-Nya sebagaimana dikatakan oleh kaum Jahmiyyah
dan yang sepaham dengannya, yang telah merubah firman Allah ‘Azza wa Jalla. Bukankah
dlamir (kata ganti) pada fi’il (kata kerja) ”yakhtsif” (Ia menenggelamkan) dan ”yartsil” (Ia
mengirim) adalah ”huwa” (Dia) ? siapakah Dia itu kalau bukan Allah ‘Azza wa Jalla.

Firman Allah :
Artinya :

”Mereka (para Malaikat) takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka, dan
mereka mengerjakan apa-apa yang diperintahkan”. (An-Nahl : 50).

Ayat ini tegas sekali menyatakan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berada di atas bukan di mana-
mana tempat. Karena lafadz ”fawqo” (di atas) apabila di majrur dengan huruf ”min” dalam
bahasa Arab menunjukan akan ketinggian tempat. Dan tidak dapat di ta’wil dengan
ketinggian martabat, sebagaimana dikatakan kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan
mereka. Alangkah zhalimnya mereka ini yang selalu merubah-rubah firman Tuhan kita
Allah Jalla Jalaa Luhu.

Berkata Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya ”At-Tauhid” (hal : 111): ”Tidaklah kalian
mendengar firman pencipta kita ‘Azza wa Jalla yang mensifatkan diri-Nya.
Artinya :

”Dan Dialah (Allah) yang Maha Kuasa di atas hamba-hamba-Nya”. (Al-An’am : 18 & 61).

Berkata Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya tersebut : ”Tidakkah kalian mendengar wahai
penuntut ilmu. Firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala kepada Isa bin Maryam :
Artinya :

”Wahai Isa ! Sesungguhnya Aku akan mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku” (Ali
Imran : 55)

Ibnu Khuzaimah menerangkan : Bukankah ”mengangkat” sesuatu itu dari bawah ke atas
(ke tempat yang tinggi) tidak dari atas ke bawah!. Dan firman Allah ‘Azza wa Jalla.
Artinya :

”Tetapi Allah telah mengangkat dia (yakni Nabi Isa) kepada-Nya” (An-Nisa’ : 158).

Karena ”Ar-raf’ah” = mengangkat dalam bahasa Arab yang dengan bahasa mereka kita
diajas berbicara (yakni Al-Qur’an) dalam bahasa Arab yang hanya dapat diartikan dari
bawah ke tempat yang tinggi dan di atas” (kitab At-Tauhid : 111).
[337]
Sekarang dengarlah wahai orang yang berakal, kisah Fir’aun bersama Nabi Allah Musa
‘Alaihis Salam di dalam kitab-Nya yang mulia, dimana Fir’aun telah mendustakan Musa
yang telah mengabarkan kepadanya bahwa Tuhannya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas
langit :
Artinya :

”Dan berkata Fir’aun : Hai Haman! Buatkanlah untukku satu bangunan yang tinggi supaya
aku (dapat) mencapai jalan-jalan. (Yaitu) jalan-jalan menuju ke langit supaya aku dapat
melihat Tuhan(nya) Musa, karena sesungguhnya aku mengira dia itu telah berdusta”. (Al-
Mu’min : 36-37. Al-Qashash : 38).

Perhatikanlah wahai orang yang berakal!. Perintah Fir’aun kepada Haman -menterinya-
untuk membuatkan satu bangunan yang tinggi supaya ia dapat jalan ke langit untuk
melihat Tuhannya Musa. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Musa telah memberitahukan
kepadanya bahwa Tuhannya -Allah Subhanahu wa Ta’ala- berada di atas langit-.

Kalau tidak demikian, yakni misalnya Nabi Musa mengatakan bahwa Tuhannya ada
dimana-mana tempat -sebagaimana dikatakan kaum Jahmiyyah- tentu Fir’aun yang
disebabkan karena kekafirannya dan pengakuannya sebagai Tuhan, akan mengerahkan
bala tentaranya untuk mencari Tuhannya Musa di istananya, di rumah-rumah Bani Israil, di
pasar-pasar dan di seluruh tempat di timur dan di barat !?. Tetapi tatkala Nabi Musa
dengan perkataannya: ”Sesungguhnya aku mengira dia ini berdusta !”. Yakni tentang
perkataan Musa bahwa Tuhannya di atas langit.

Perhatikanlah, wahai orang yang berakal !. Keadaan Fir’aun yang mendustakan Nabi Musa
dengan kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka yang telah merubah firman
Allah dengan mengatakan : Allah ada di segala tempat !.

Ketahuilah ! Bahwa pemahaman di atas bukanklah hasil dari pikiran saya (Abdul Hakim bin
Amir Abdat) tetapi pemahaman Ulama-ulama kita diantaranya :

1. Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya ”At-Tauhid” (hal : 114-115) diantara


keterangannya :”Perkataan Fir’aun (sesungguhnya aku menyangka/mengira ia termasuk
dari orang-orang yang berdusta) terdapat dalil bahwa Musa telah memberitahukan kepada
Fir’aun :” Bahwa Tuhannya Yang Maha Besar dan Maha Tinggi berada di tempat yang tinggi
dan di atas”.

2. Berkata Imam Al-Asy’ary setelah membawakan ayat di atas : ”Fir’aun telah mendustakan
Musa tentang perkataannya : Sesungguhnya Allah di atas langit” (Al-Ibanah : 48).

3. Berkata Imam Ad-Daarimi di kitabnya ”Raddu ‘Alal Jahmiyyah hal : 37 Setelah


membawakan ayat di atas : ” Di dalam ayat ini terdapat keterangan yang sangat jelas dan
dalil yang nyata, bahwa Musa telah mengajak Fir’aun mengenal Allah bahwa Ia berada di
atas langit. Oleh karena itu Fir’aun memerintahkan membuat bangunan yang tinggi”.

4. Berkata Syaikhul Islam Al-Imam As-Shaabuny di kitabnya ”Itiqad Ahlus Sunnah wa


Ashabul Hadits wal A’imah ” (hal : 15) : ”Bahwasanya Fir’aun mengatakan demikian (yakni
menuduh Musa berdusta) karena ia telah mendengar Musa AS menerangkan bahwa

[338]
Tuhannya berada diatas langit. Tidakkah engkau perhatikan perkataannya : ”Sesungguhnya
aku mengira dia itu berdusta” yakni tentang perkataan Musa : ”Sesungguhnya di atas langit
ada Tuhan”.

5. Imam Abu Abdillah Haarits bin Ismail Al-Muhaasiby diantara keterangannya :”Berkata
Fir’aun : (Sesungguhnya aku mengira dia itu berdusta) tentang apa yang ia (Musa) katakan
kepadaku : ”Sesungguhnya Tuhannya berada di atas langit”. Kemudian beliau menerangkan
: ”Kalau sekiranya Musa mengatakan :
”Sesungguhnya Allah berada di tiap-tiap tempat dengan Dzatnya, nisacaya Fir’aun akan
mencari di rumahnya, atau di hadapannya atau ia merasakannya, -Maha Tinggi Allah dari
yang demikian- tentu Fir’aun tidak akan menyusahkan dirinya membuat bangunan yang
tinggi”. (Fatwa Hamawiyyah Kubra : 73).

6. Berkata Imam Ibnu Abdil Bar : ”Maka (ayat ini) menunjukan sesungguhnya Musa
mengatakan (kepada Fir’aun) : ”Tuhanku di atas langit ! sedangkan Fir’aun menuduhnya
berdusta”. (baca Ijtimaaul Juyusy Al-Islamiyyah hal : 80).

7. Berkata Imam Al-Waasithi di kitabnya ”An-Nahihah fi Shifatir Rabbi Jalla wa ‘Alaa” (hal :
23 cetakan ke-3 th 1982 Maktab Al-Islamy) : ”Dan ini menunjukkan bahwa Musa telah
mengabarkan kepadanya bahwa Tuhannya yang Maha Tinggi berada di atas langit. Oleh
karena itu Fir’aun berkata : ”Sesungguhnya aku mengira dia ini berdusta”.

Demikianlah penjelasan dari tujuh Imam besar di dalam Islam tentang ayat di atas, selain
masih banyak lagi yang kesimpulannya : ”Bahwa mendustakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
berada di atas langit di atas ‘Arsy-Nya, Ia istiwaa (bersemayam) yang sesuai dengan
kebesaran dan keagungan-Nya, adalah ; sunnahnya Fir’aun”. Na’udzu billah !!.

Sampai disini pembahasan beberapa dalil dari kitab Allah -salain masih banyak lagi- yang
cukup untuk diambil pelajaran bagi mereka yang ingin mempelajarinya. Firman Allah
Subahanhu wa Ta’ala.
Artinya :

”Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai pandangan !” (Al-Hasyr : 2).

Adapun dalil-dalil dari hadits Nabi sholallahu alaihi wa sallam banyak sekali. Dibawah ini
akan disebutkan beberapa diantaranya :
Nabi kita sholallahu alaihi wa sallam telah bersabda :
Artinya :

”Orang-orang yang penyayang, mereka itu akan disayang oleh Allah Tabaaraka wa Ta’ala
(Yang Maha berkat dan Maha Tinggi). oleh karena itu sayangilah orang-orang yang di muka
bumi, niscaya Dzat yang di atas langit akan menyayangi kamu”. (Shahih. Diriwayatkan oleh
Imam-imam : Abu Dawud No. 4941. Ahmad 2/160. Hakim 4/159. dari jalan Abdullah bin
‘Amr bin ‘Ash. Hadits ini telah dishahihkan oleh Imam Hakim dan telah pula disetujui oleh
Imam Dzahabi. Demikian juga Al-Albani telah menyatakan hadits ini shahih dikitabnya
”Silsilah Shahihah No. 925”.

[339]
”Barangsiapa yang tidak menyayangi orang yang dimuka bumi, niscaya tidak akan di
sayang oleh Dzat yang di atas langit”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Thabrani di
kitabnya ”Mu’jam Kabir No. 2497 dari jalan Jarir bin Abdullah. Imam Dzahabi di kitabnya
”Al-Uluw” hal : 83 diringkas oleh Al-Albani) mengatakan : Rawi-rawinya
tsiqaat/kepercayaan).

”Tidakkah kamu merasa aman kepadaku padahal aku orang kepercayaan Dzat yang di atas
langit, datang kepadaku berita (wahyu) dari langit di waktu pagi dan petang”. (Shahih,
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim 3/111 dan Ahmad 3/4 dari jalan Abu Sa’id Al-
Khudry).

”Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya ! Tidak seorang suamipun yang mengajak
istrinya ke tempat tidurnya (bersenggama), lalu sang istri menolaknya, melainkan Dzat
yang di atas langit murka kepadanya sampai suaminya ridla kepadanya ”.(Shahih,
diriwayatkan oleh Imam Muslim 4/157 dari jalan Abu Hurarirah).

Keterangan :

”Dzat yang di atas langit yakni Allah ‘Azza wa Jalla (perhatikan empat hadits diatas)”.

”Silih berganti (datang) kepada kamu Malaikat malam dan Malaikat siang dan mereka
berkumpul pada waktu shalat shubuh dan shalat ashar. Kemudian naik malaikat yang
bermalam dengan kamu, lalu Tuhan mereka bertanya kepada mereka, padahal Ia lebih tahu
keadaan mereka : ”Bagaimana (keadaan mereka) sewaktu kamu tinggalkan hamba-hamba-
Ku ? Mereka menjawab : ”Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat dan kami datang
kepada mereka dalam keadaan shalat”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari 1/139
dan Muslim 2/113 dll).

Keterangan :

”Sabda Nabi sholallahu alaihi wa sallam : ”Kemudian NAIK Malaikat-malaikat yang


bermalam …dst” Menunjukan bahwa Pencipta kita Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di
atas. Hal ini juga menunjukan betapa rusaknya pikiran dan fitrahnya kaum Jahmiyyah yang
mengatakan Pencipta kita, tidak berada di atas tetapi di segala tempat ? Maha Suci Allah !
Dan Maha Tinggi Allah dari segala ucapan kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan
mereka !.

”Jabir bin Abdullah telah meriwayatkan tentang sifat haji Nabi sholallahu alaihi wa sallam
dalam satu hadits yang panjang yang didalamnya diterangkan khotbah Nabi sholallahu
alaihi wa sallam di padang ‘Arafah : ”(Jabir menerangkan) : Lalu Nabi sholallahu alaihi wa
sallam mengangkat jari telunjuknya ke arah langit, kemudian beliau tunjukkan jarinya itu
kepada manusia, (kemudian beliau berdo’a) : ”Ya Allah saksikanlah ! Ya Allah saksikanlah !
( Riwayat Imam Muslim 4/41).

Sungguh hadits ini merupakan tamparan yang pedas di muka-muka kaum Ahlul Bid’ah
yang selalu melarang kaum muslimin berisyarat dengan jarinya ke arah langit. Mereka
berkata : Kami khawatir orang-orang akan mempunyai i’tiqad bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala berada di atas langit ! Padahal Allah tidak bertempat tetapi Ia berada di segala
tempat !?.

[340]
Demikianlah kekhawatiran yang dimaksudkan syaithan ke dalam hati ketua-ketua mereka.
Yang pada hakekatnya mereka ini telah membodohi Nabi sholallahu alaihi wa sallam yang
telah mengisyaratkan jari beliau ke arah langit.

Perhatikanlah perkataan mereka : ”Allah tidak bertempat tetapi Ia berada di segala


tempat !?”

Perhatikanlah ! Adakah akal yang shahih dan fitrah yang bersih dapat menerima dan
mengerti perkataan di atas !?.

Mereka mengatakan Allah tidak bertempat karena akan menyerupai dengan mahluk-Nya.
Tetapi pada saat yang sama mereka tetapkan bahwa Allah berada disegala tempat atau
dimana-mana tempat !?.

Ya Subhanallah !

Artinya :

”Dari Ibnu Abbas (ia berkata) : ” Bahwa Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam berkhotbah
kepada manusia pada hari Nahr (tgl. 10 Zulhijah) -kemudian Ibnu Abbas menyebutkan
khotbah Nabi sholallahu alaihi wa sallam - kemudian beliau mengangkat kepalanya (ke
langit) sambil mengucapkan : Ya Allah bukankah Aku telah menyampaikan ! Ya Allah
bukankah aku telah menyampaikan !. (Riawayat Imam Bukhari Juz 2 hal : 191).

Perhatikan wahai orang yang berakal ! Perbuatan Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam
mengangkat kepalanya ke langit mengucapkan : Ya Allah !.

Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam menyeru kepada Tuhannya Allah Subhanahu wa


Ta’ala yang berada di atas langit yakni di atas ‘Arsy di atas sekalian mahluk-Nya. Kemudian
perhatikanlah kaum Jahmiyyah yang mengatakan Allah ada di segala tempat, dibawah
mahluk, di jalan-jalan, di tempat-tempat yang kotor, dan di perut-perut hewan !?

Maha Suci Allah ! Maha Suci Allah dari apa yang disifatkan oleh kaum Jahmiyyah dan yang
sama dengan mereka !.
Artinya :

”Dari Aisyah, ia berkata : ”Nabi sholallahu alaihi wa sallam mengangkat kepalanya ke langit.
(Riwayat Imam Bukhari 7/122).

Keempat
Keterangan Para Sahabat Nabi sholallahu alaihi wa sallam, dan Ulama-Ulama Islam.

Adapun keterangan dari para sahabat Nabi sholallahu alaihi wa sallam, dan Imam-imam
kita serta para Ulama dalam masalah ini sangat banyak sekali, yang tidak mungkin kami
turunkan satu persatu dalam risalah kecil ini, kecuali beberapa diantaranya.

1. Umar bin Khatab pernah mengatakan :


Artinya :

[341]
”Hanyasanya segala urusan itu (datang/keputusannya) dari sini”. Sambil Umar
mengisyaratkan tangannya ke langit ” [Imam Dzahabi di kitabnya ”Al-Uluw” hal : 103.
mengatakan : Sanadnya seperti Matahari (yakni terang benderang keshahihannya)].

2. Ibnu Mas’ud berkata :


Artinya :

”’Arsy itu diatas air dan Allah ‘Azza wa Jalla di atas ‘Arsy, Ia mengetahui apa-apa yang kamu
kerjakan”.

Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Thabrani di kitabnya ”Al-Mu’jam Kabir” No.
8987. dan lain-lain Imam.

Imam Dzahabi di kitabnya ”Al-Uluw” hal : 103 berkata : sanadnya shahih,dan Muhammad
Nashiruddin Al-Albani menyetujuinya (beliau meringkas dan mentakhrij hadits ini di kitab
Al-Uluw).

Tentang ‘Arsy Allah di atas air ada firman Allah ‘Azza wa Jalla.

”Dan adalah ‘Arsy-Nya itu di atas air” (Hud : 7)

3. Anas bin Malik menerangkan :


Artinya :

”Adalah Zainab memegahkan dirinya atas istri-istri Nabi sholallahu alaihi wa sallam, ia
berkata : ”Yang mengawinkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga kamu, tetapi yang
mengawinkan aku (dengan Nabi) adalah Allah Ta’ala dari ATAS TUJUH LANGIT”.

Dalam satu lafadz Zainab binti Jahsyin mengatakan :

”Sesungguhnya Allah telah menikahkan aku (dengan Nabi) dari atas langit”. (Riwayat
Bukhari juz 8 hal:176). Yakni perkawinan Nabi sholallahu alaihi wa sallam dengan Zainab
binti Jahsyin langsung Allah Ta’ala yang menikahinya dari atas ‘Arsy-Nya.

Firman Allah di dalam surat Al-Ahzab : 57

”Kami kawinkan engkau dengannya (yakni Zainab)”.

4. Imam Abu Hanifah berkata :


Artinya :

”Barangsiapa yang mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka


sesungguhnya ia telah kafir”.

Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan ”aku tidak tahu apakah
Tuhanku di langit atau di bumi”. Berkata Imam Abu Hanifah : ”Sesungguhnya dia telah
‘Kafir !”. Karena Allah telah berfirman : ”Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa”. Yakni : Abu
Hanifah telah mengkafirkan orang yang mengingkari atau tidak tahu bahwa Allah istiwaa
diatas ‘Arsy-Nya.

5. Imam Malik bin Anas telah berkata :


Artinya :

[342]
”Allah berada di atas langit, sedangkan ilmunya di tiap-tiap tempat, tidak tersembunyi
sesuatupun dari-Nya”.

6. Imam Asy-Syafi’iy telah berkata :


Artinya :

”Dan sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy-Nya di atas langit-Nya”

7. Imam Ahmad bin Hambal pernah di tanya : ”Allah di atas tujuh langit diatas ‘Arsy-
Nya, sedangkan kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya berada di tiap-tiap tempat .?
Jawab Imam Ahmad :
Artinya :

”Benar ! Allah di atas ‘Arsy-Nya dan tidak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-
nya”.

8. Imam Ali bin Madini pernah ditanya : ”Apa perkataan Ahlul Jannah ?”.
Beliau menjawab :
Artinya :

”Mereka beriman dengan ru’yah (yakni melihat Allah pada hari kiamat dan di sorga khusus
bagi kaum mu’minin), dan dengan kalam (yakni bahwa Allah berkata-kata), dan
sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla di atas langit di atas ‘Arsy-Nya Ia istiwaa”.

9. Imam Tirmidzi telah berkata :


Artinya :

”Telah berkata ahli ilmu : ”Dan Ia (Allah) di atas ‘Arsy sebagaimana Ia telah sifatkan diri-
Nya”.

(Baca : ”Al-Uluw oleh Imam Dzahabi yang diringkas oleh Muhammad Nashiruddin Al-
Albani di hal : 137,140,179,188,189 dan 218. Fatwa Hamawiyyah Kubra oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah hal: 51,52,53,54 dan 57).

10. Telah berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para imam- :


Artinya :

”Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya Ia


istiwaa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya…”.

(Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Hakim di kitabnya Ma’rifah ”Ulumul Hadits” hal
: 84).

11. Telah berkata Syaikhul Islam Imam Abdul Qadir Jailani -diantara perkataannya- :

”Tidak boleh mensifatkan-Nya bahwa Ia berada diatas tiap-tiap tempat, bahkan (wajib)
mengatakan : Sesungguhnya Ia di atas langit (yakni) di atas ‘Arsy sebagaimana Ia telah
berfirman :” Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa (Thaha : 5). Dan patutlah memuthlakkan
sifat istiwaa tanpa ta’wil sesungguhnya Ia istiwaa dengan Dzat-Nya di atas ‘Arsy. Dan
keadaan-Nya di atas ‘Arsy telah tersebut pada tiap-tiap kitab yang. Ia turunkan kepada
tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa (bertanya) :”Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas
‘Arsy-Nya ?” (Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 87).
[343]
Yakni : Kita wajib beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala istiwaa di atas ‘Arsy-Nya
yang menunjukan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas sekalian mahluk-Nya. Tetapi
wajib bagi kita meniadakan pertanyaan : ”Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas ‘Arsy-
Nya ?”. Karena yang demikian tidak dapat kita mengerti sebagaimana telah diterangkan
oleh Imam Malik dan lain-lain Imam. Allah istiwaa sesuai dengan kebesaran-Nya tidak
serupa dengan istiwaanya mahluk sebagaiamana kita meniadakan pertanyaan : Bagaimana
Dzatnya Allah ?.

Demikianlah aqidah salaf, salah satunya ialah Imam Abdul Qadir Jailani yang di Indonesia,
di sembah-sembah dijadikan berhala oleh penyembah-penyembah qubur dan orang-orang
bodoh. Kalau sekiranya Imam kita ini hidup pada zaman kita sekarang ini dan beliau
melihat betapa banyaknya orang-orang yang menyembah dengan meminta-minta kepada
beliau dengan ”tawasul”, tentu beliau akan mengingkari dengan sangat keras dan berlepaas
diri dari qaum musyrikin tersebut.

Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’un !!.

Kelima

Kesimpulan

Hadits Jariyah (budak perempuan) ini bersama hadits-hadits yang lain yang sangat banyak
dan berpuluh-puluh ayat Al-Qur’an dengan tegas dan terang menyatakan : ”Sesungguhnya
Pencipta kita Allah ‘Azza wa Jalla di atas langit yakni di atas ‘Arsy-Nya, yang sesuai dengan
kebesaran dan keagungan-Nya”. Maha Suci Allah dari menyerupai mahluk-Nya.!.

Dan Maha Suci Allah dari ta’wilnya kaum Jahmiyyah yang mengatakan Allah ada dimana-
mana tempat !??.

Dapatlah kami simpulkan sebagai berikut :

1. Sesungguhnya bertanya dengan pertanyaan : ”Dimana Allah ?, disyariatkan dan penanya


telah mengikuti Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam.

2. Wajib menjawab : ”Sesungguhnya Allah di atas langit atau di atas ‘Arsy”. Karena yang
dimaksud di atas langit adalah di atas ‘Arsy. Jawaban ini membuktikan keimanannya sebagi
mu’min atau mu’minah. Sebagaimana Nabi sholallahu alaihi wa sallam, telah menyatakan
keimanan budak perempuan, karena jawabannya : Allah di atas langit !.

3. Wajib mengi’tiqadkan sesungguhnya Allah di atas langit, yakni di atas ‘Arsy-Nya.

4. Barangsiapa yang mengingkari wujud Allah di atas langit, maka sesungguhnya ia telah
kafir.

5. Barangsiapa yang tidak membolehkan bertanya : Dimana Allah ? maka sesunguhnya ia


telah menjadikan dirinya lebih pandai dari Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam, bahkan
lebih pandai dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Na’udzu billah.

[344]
6. Barangsiapa yang tidak menjawab : Sesungguhnya Allah di atas langit, maka bukanlah ia
seorang mukmin atau mukminah.

7. Barangsiapa yang mempunyai iti’qad bahwa bertanya :”Dimana Allah ?” akan


menyerupakan Allah dengan mahluk-nya, maka sesunguhnya ia telah menuduh Rasulullah
sholallahu alaihi wa sallam jahil/bodoh !. Na’udzu billah !

8. Barangsiapa yang mempunyai iti’qad bahwa Allah berada dimana-mana tempat, maka
sesunguhnya ia telah kafir.

9. Barangsiapa yang tidak mengetahui dimana Tuhannya, maka bukankah ia penyembah


Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi ia menyembah kepada ”sesuatu yang tidak ada”.

10. Ketahuilah ! Bahwa sesunguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas langit, yakni di atas
‘Arsy-Nya di atas sekalian mahluk-Nya, telah setuju dengan dalil naqli dan aqli serta fitrah
manusia. Adapun dalil naqli, telah datang berpuluh ayat Al-Qur’an dan hadits yang
mencapai derajat mutawatir. Demikian juga keterangan Imam-imam dan Ulama-ulama
Islam, bahkan telah terjadi ijma’ diantara mereka kecuali kaum ahlul bid’ah. Sedangkan
dalil aqli yang sederhanapun akan menolak jika dikatakan bahwa Allah berada di segala
tempat !. Adapun fitrah manusia, maka lihatlah jika manusia -baik muslim atau kafir-
berdo’a khususnya apabila mereka terkena musibah, mereka angkat kepala-kepala mereka
ke langit sambil mengucapkan ‘Ya … Tuhan..!. Manusia dengan fitrahnya mengetahui bahwa
penciptanya berada di tempat yang tinggi, di atas sekalian mahluk-Nya yakni di atas ‘Arsy-
Nya. Bahkan fitrah ini terdapat juga pada hewan dan tidak ada yang mengingkari fitrah ini
kecuali orang yang telah rusak fitrahnya.

Tambahan

Sebagian ikhwan telah bertanya kepada saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) tentang ayat :

Artinya :

”Dan Dia-lah Allah di langit dan di bumi, Dia mengetahui rahasia kamu dan yang kamu
nyatakan, dan Dia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan ”. (Al-An’am : 3)

Saya jawab : Ahli tafsir telah sepakat sebagaimana dinukil Imam Ibnu Katsir mengingkari
kaum Jahmiyyah yang membawakan ayat ini untuk mengatakan :

”Innahu Fii Qulli Makaan”

”Sesungguhnya Ia (Allah) berada di tiap-tiap tempat !”.

Maha Suci Allah dari perktaan kaum Jahmiyyah ini !

Adapun maksud ayat ini ialah :

1. Dialah yang dipanggil (diseru/disebut) Allah di langit dan di bumi.

2. Yakni : Dialah yang disembah dan ditauhidkan (diesakan) dan ditetapkan bagi-Nya
[345]
Ilaahiyyah (Ketuhanan) oleh mahluk yang dilangit dan mahluk yang di bumi, kecuali
mereka yang kafir dari golongan Jin dan manusia.

Ayat tersebut seperti juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Artinya :

”Dan Dia-lah yang di langit (sebagai) Tuhan, dan di bumi (sebagai) Tuhan, dan Dia Maha
Bijaksana (dan) Maha mengetahui”. (Az-Zukhruf : 84)

Yakni : Dia-lah Allah Tuhan bagi mahluk yang di langit dan bagi mahluk yang di bumi dan Ia
disembah oleh penghuni keduanya. (baca : Tafsir Ibnu Katsir Juz 2 hal 123 dan Juz 4 hal
136).

Bukanlah dua ayat di atas maksudnya : Allah ada di langit dan di bumi atau berada di segala
tempat!. Sebagaimana ta’wilnya kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka. Atau
perkataan orang-orang yang ”diam” Tidak tahu Allah ada di mana !.

Mereka selain telah menyalahi ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi serta keterangan para
sahabat dan Imam-imam Islam seluruhnya, juga bodoh terhadap bahasa Arab yang dengan
bahasa Arab yang terang Al-Quran ini diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Imam Abu Abdillah Al-Muhasiby dalam keterangan ayat di atas (A-Zukhruf : 84)
menerangkan : ”Yakni Tuhan bagi penduduk langit dan Tuhan bagi penduduk bumi. Dan
yang demikian terdapat di dalam bahasa, (umpamanya ) engkau berkata : ”Si Fulan
penguasa di (negeri) Khirasan, dan di Balkh, dan di Samarqand”, padahal ia berada di satu
tempat”. Yakni : Tidak berarti ia berada di tiga tempat meskipun ia menguasai ketiga negeri
tersebut. Kalau dalam bahasa Indonesia, umpamanya kita berkata ”Si Fulan penguasa di
Jakarta, dan penguasa di Bogor, dan penguasa di Bandung”. Sedangkan ia berada di
satu tempat.Bagi Allah ada perumpamaan/misal yang lebih tinggi (baca : Fatwa
Hamawiyyah Kubra hal : 73).

Adapun orang yang ”diam” (tawaqquf) dengan mengatakan : ”Kami tidak tahu Dzat Allah di
atas ‘Arsy atau di bumi”, mereka ini adalah orang-orang yang telah memelihara
kebodohan !. Allah Rabbul ‘Alamin telah sifatkan diri-Nya dengan sifat-sifat ini, yang salah
satunya bahwa Ia istiwaa (bersemayam) di atas ‘Arsy-Nya supaya kita mengetahui dan
menetapkannya. Oleh karena itu ”diam” darinya dengan ucapan ”kita tidak tahu” nyata
telah berpaling dari maksud Allah. Pantaslah kalau Abu Hanifah mengkafirkan orang yang
berfaham demikian, sama seperti orang yang menta’wilnya.

Aswaja mengatakan :

Ati2 dosa pak.. klo pikiran gak menjangkau jgn coba dijelasin Allah dimana Jgn ikut2an
wahabu mengatakan Allah butuh tempat apalagi membutuhkan arsy utk bersemayam...
hanya mahkluk yg butuh tempat..jgn samakan Allah Tuhan saya dengan mahkluk...

Jawab :

[346]
Allah itu ada sebelum adanya tempat dan keberadaanya sekarang seperti keberadaan
sebelum adanya tempat.
Allah menciptakan arsy (makhluk allah yg paling besar)untuk memperlihatkan
kekuasaannya bukan untuk menjadikan tempat bagi dzatnya.

MAKNA DEKATNYA ALLAH (PADA SURAT QAAF : 16 DAN


AL-WAQIAH : 85)
________________________________________________________________________
Melanjutkan syubhat ahlu takwil yang menuduh ahlu sunnah juga melakukan takwil, kali
ini dibahas ayat surat Qaff : 16 dan Al-Waqi’ah. Juga ayat Al-Qamar : 14 dan ayat Thaha : 39.
Disarikan dari Al-Qawai’id Al-Mutsla oleh Ahmas Faiz Asifuddin

________________________________________________________________________

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

‫َو َنحْ نُ أَ ْق َربُ إِلَ ْي ِه مِنْ َحب ِْل ْال َو ِري ِد‬

Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. [Qaff : 16]

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

‫َو َنحْ نُ أَ ْق َربُ إِلَ ْي ِه مِن ُك ْم‬

Dan Kami lebih dekat kepadanya dari kamu. [Al-Waqi’ah : 85]

Ahlul takwil melancarkan sybuhat berupa tuduhan kepada Ahlus Sunnah bahwa
merekapun telah melakukan takwil terhadap dua ayat di atas, yaitu ketika menafsirkan
kata-kata “lebih dekat” yang dimaknai “lebih dekatnya malaikat”.

Jawaban terhadap syubhat itu ialah : “Bahwa penafsiran kata-kata “ Kami lebih dekat” pada
dua ayat diatas dengan “dekatnya malaikat” bukanlah takwil, bukan menyelewengkan
perkataan dari makna dhahirnya. Dan hal ini akan jelas bagi orang yang merenungkannya.

Penjelasannya sebagai berikut.

1. Tentang Ayat Pertama : Sesungguhnya kata-kata “Kami lebih dekat” pada ayat itu terkait
dengan sesuatu yang membuktikan bahwa maksudnya adalah “malaikat yang lebih dekat”
karena ayat tersebut berlanjut.

ِ ‫ِين َو َع ِن ال ِّش َم‬


‫ ٌد‬--‫ال َقعِي‬ ِ ‫ان َو َنعْ لَ ُم َما ُت َوسْ ِوسُ ِب ِه َن ْف ُس ُه ۖ َو َنحْ نُ أَ ْق َربُ إِلَ ْي ِه مِنْ َحب ِْل ْال َو ِري ِد إِ ْذ َي َتلَ َّقى ْال ُم َتلَ ِّق َي‬
ِ ‫ان َع ِن ْال َيم‬ َ ‫َولَ َق ْد َخلَ ْق َنا اإْل ِن َس‬
‫ِظ مِن َق ْو ٍل إِاَّل لَدَ ْي ِه َرقِيبٌ َعتِي ٌد‬ُ ‫مَّا َي ْلف‬

Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang Malaikat
mencatat amal perbuatannya. Seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk
disebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya Malaikat
pengawas yang selalu hadir. [Qaf : 16-18]
[347]
ِ ‫( إِ ْذ َي َتلَ َّقى ْال ُم َتلَ ِّق َي‬Yaitu ketika dua orang malaikat mencatat amal
Maka firman Allah : ‫ان‬---
perbuatannya), terdapat dalil bahwa yang dimaksud “lebih dekat” adalah dekatnya dua
orang Malaikat yang mencatat amal perbuatannya.

2. Tentang Ayat Kedua : Kata-kata “lebih dekat” pada ayat ini berkaitan dengan keadaan
seseorang yang tengah menghadapi sakaratul maut. Ketika seorang sedang menghadapi
sakaratul maut, maka yang datang untuk mencabut nyawanya adalah malaikat,
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

‫ون‬
َ ‫ط‬ ُ ‫َح َّت ٰى إِ َذا َجا َء أَ َح َد ُك ُم ْال َم ْو‬
ُ ِّ‫ت َت َو َّف ْت ُه ُر ُسلُ َنا َو ُه ْم اَل ُي َفر‬

Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh
malaikat-malaikat (utusan) Kami, dan malaikat-malaikat itu tidak melalaikan
kewajibannya. [Al-An’am : 61]

Kemudian pada ayat Al-Waqi’ah : 85, lengkapnya berbunyi.

َ ‫َو َنحْ نُ أَ ْق َربُ إِلَ ْي ِه مِن ُك ْم َو ٰلَكِن اَّل ُتبْصِ ر‬


‫ُون‬

Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat. [Al-Waqi’ah :
85]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ‫ُون‬ ِ ‫( اَّل ُتب‬kamu tidak melihat) pada ayat itu
َ ‫ر‬---‫ْص‬
menyatakan dalil sangat jelas bahwa yang tidak kamu (manusia-pent) lihat adalah para
malaikat. Sebab ayat diatas menunjukkan bahwa pencabut nyawa berada sangat dekat
dengan manusia, dalam arti ia berada di tempat manusia itu berada, namun manusia tidak
dapat melihatnya.

Dengan demikian, yang dekat dan berada di tempat manusia (yang sedang sakaratul maut
untuk dicabut nyawanya) tidak lain adalah malaikat. Sebab adalah mustahil jika Allah
Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang berada di situ. Maka jelaslah bahwa yang dimaksud
“lebih dekat” adalah dekatnya Malaikat.

Tinggal sekarang permasalahannya, yaitu kalau yang dimaksud adalah dekatnya malaikat,
mengapa kata-kata “dekat” kemudian disandarkan kepada Allah, yakni : “Kami lebih dekat
kepadanya”. Adakah contoh ungkapan lain dalam Al-Qur’an yang menandaskan bahwa
sesuatu disandarkan kepada Allah, tetapi maksudnya adalah malaikat?

Jawaban Pertanyaan Pertama.

Karena malaikat itu merupakan tentara dan utusan Allah. Dan dekatnya mereka kepada
manusia hanyalah karena perintah Allah. Sehingga ketika mereka dekat dengan manusia,
maka diakuinya kedekatan itu sebagai kedekatan Allah kepada manusia.

Jawaban Pertanyaan Kedua.

Memang ada contoh ungkapan lain dalam Al-Qur’an yang menandaskan bahwa sesuatu
disandarkan kepada Allah tetapi maksudnya adalah malaikat. Misalnya firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

‫َفإِ َذا َق َر ْأ َناهُ َفا َّت ِبعْ قُرْ آ َن ُه‬


[348]
Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. [Al-Qiyamah : 18]

Disini Allah mengatakan : “Bila Kami (Allah) telah selesai membacakannya”. Sedangkan
yang dimaksud adalah : “Bila malaikat Jibril telah selesai membacakan Al-Qur’an kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Sekalipun diakuinya bacaan itu sebagai bacaan
yang disandarkan kepada Allah dengan firmanNya : Apabila Kami (Allah) telah selesai
membacakannya” . Mengapa ? Sebab ketika Jibril membacakan Al-Qur’an kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanyalah semata-mata karena perintah Allah.
Dengan demikian, boleh saja jika kemudian Allah mengklaim bahwa bacaan Jibril tersebut
sebagai bacaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Begitu pula misal yang terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

ٍ‫ب َعنْ إِب َْراهِي َم الرَّ ْو ُع َو َجا َء ْت ُه ْال ُب ْش َر ٰى ي َُجا ِدلُ َنا فِي َق ْو ِم لُوط‬
َ ‫َفلَمَّا َذ َه‬

Maka tatkala rasa takut telah hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang
kepadanya, diapun bersoal-jawab dengan Kami tentang kaum Luth. [Hud : 74]

Kata-kata : ‫( ي َُجا ِدلُ َنا‬bersoal jawab dengan Kami/Allah) maksudnya adalah bersoal jawab
dengan para malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diutus untuk menemui Ibrahim

Kesimpulan:
Dua ayat dalam surat Qaaf 16 dan surat Al-Waqi’ah : 85 di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyatakan bahwa “Kami (Allah) lebih dekat”, maksudnya adalah “malaikat lebih dekat”
karena dekatnya malaikat merupakan perintah Allah. Dan penafsiran ini bukan takwil
terhadap ayat-ayat sifat dan bukan pula pengalihan makna dari makna dzahirnya,
berdasarkan penjelasan yang sudah dikemukakan di muka. Alhamdulillah.

Sementara itu syubhat lain yang dituduhkan oleh ahlu takwil bahwa Ahlus Sunnah juga
melakukan takwil, adalah berkenan dengan firman Allah tentang perahunya Nabi Nuh
Alaihissallam pada surat al-Qamar.

‫َتجْ ِري ِبأَعْ ُي ِن َنا‬

Yang (perahu itu) berlayar dengan pengawasan mata Kami. [Al-Qamar : 14]

Dan berkenaan dengan firman Allah kepada Musa dalam surat Thaha.

‫َولِ ُتصْ َن َع َعلَ ٰى َع ْينِي‬

Dan supaya engkau (Musa) diasuh dibawah pengawasan mata-Ku. [Thaha : 39]

Ahlu takwil menuduh bahwa Ahlus Sunnah pun melakukan takwil ketika menafsirkan
kedua ayat tersebut di atas. Tuduhan ahlu takwil bahwa Ahlus Sunnah melakukan takwil
pada ayat diatas, jelas tidak benar.

Keterangannya adalah sebagai berikut : Bahwa dua ayat diatas diartikan dibawah/dengan
pengawasan mata Allah adalah pengertian/penafsiran yang benar yang sesuai dengan
dhahirnya ayat dan sesuai dengan hakikatnya.

Tetapi yang perlu dijelaskan ialah tentang maksud dhahir dan hakikat ayat di atas.

[349]
Apakah yang dimaksud dengan dhahir dan hakikat ayat di atas lantas dikatakan bahwa
perahunya Nabi Nuh berlayar di dalam mata Allah dan bahwa Musa diasuh diletakkan di
atas mata Allah? (sebab pada kasus perahu Nabi Nuh, ayatnya berbunyi ‫ ِبأَعْ ُي ِن َنا‬bi’a’yunina
dengan ba’, sedangkan pada kasus Nabi Musa, ayatnya berbunyi : ‘ala ‘ainiy ‫ َعلَ ٰى َع ْينِي‬dengan
‘ala ‫علَ ٰى‬.
َ

Jelas jika itu yang dimaksudkan dengan dhahir dan hakikat ayat, maka tidak ragu lagi
bahwa pemahaman itu adalah pemahaman yang batil, berdasarkan beberapa alasa berikut.

1 Bahwa pemahaman tentang dhahirnya ayat seperti pemahaman di atas adalah


pemahaman yang tidak sesuai dengan tuntutan pembicaraan bahasa Arab. Padahal Al-
Qur’an turun dengan berbahasa Arab.

Allah berfirman.

َ َ‫إِ َّنا أ‬
َ ُ‫نز ْل َناهُ قُرْ آ ًنا َع َر ِب ًّيا لَّ َعلَّ ُك ْم َتعْ قِل‬
‫ون‬

Sesungguhnya Kami menurukannya sebagai Al-Qur’an (bacaan) yang berbahasa Arab, agar
kamu memahaminya. [Yusuf : 2]

‫ين‬
ٍ ‫ان َع َر ِبيٍّ م ُِّب‬ َ ‫ون م َِن ْالمُنذ ِِر‬
ٍ ‫ين ِبل َِس‬ َ ‫ِين َن َز َل ِب ِه الرُّ و ُح اأْل َمِينُ َعلَ ٰى َق ْل ِب‬
َ ‫ك لِ َت ُك‬ َ ‫نزي ُل َربِّ ْال َعالَم‬
ِ ‫َوإِ َّن ُه لَ َت‬
Al-Qur’an itu dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad)
agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan
bahasa Arab yang jelas. [Asy-Syu’araa : 192-195]

Ketika ada seorang berbicara dalam bahasa Arab : ‫( بعين‬bi’aini, dengan huruf ba’), tidak
seorangpun yang memahami bahwa Fulan berjalan di dalam matanya. Tetapi yang
dipahaminya ialah Fulan berjalan di bawah pengawasan (mata)nya. Begitu pula ketika ada
seseorang yang berbicara dalam bahasa Arab : ‫‘( عل عين‬ala ‘aini, dengan ‘ala), juga tidak ada
seorangpun yang memahami bahwa Fulan telah lulus dalam keadaan ia naik di atas mata
orang yang berbicara. Tetapi yang dipahaminya ialah bahwa Fulan telah lulus si bawah
pengawasan (mata)nya. Jika ada orang yang nekad bahwa pemahamannya terhadap dhahir
suatu perkataan adalah seperti pemahaman di atas, maka tentu akan ditertawakan oleh
orang-orang bodoh sekalipun. Apalagi oleh orang-orang yang berakal.

2. Bahwa pemahaman terhadap dhahirnya ayat dengan pemahaman seperti di atas, adalah
sangat mustahil. Tidak mungkin orang yang betul-betul memahami Allah dan mengerti ke
Maha Luhuran Allah, mempunyai pemahaman demikian, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala
bersemayam di atas Arsy, berada tinggi di atas segenap makhluk-Nya. Tidak ada
sesuatupun di antara makhluk-Nya yang menempel pada Allah dan tidak pula Allah
menempati sesuatupun di antara makhluk-Nya. Maha Suci Allah dari semuanya itu.

Nah, jika pemahaman terhadap dhahirnya ayat tidak demikian, maka menjadi jelaslah
bahwa pemahaman terhadap dhahirnya ayat adalah bahwa perahunya Nabi Nuh berlayar,
sedangkan mata Allah senantiasa mengawasi dan memeliharanya.

Begitu pula Nabi Musa. Beliau diasuh sedangkan mata Allah selalu melihat, mengawasi dan
memeliharanya.

[350]
Dengan demikian pemahaman dhahir terhadap nash di atas seperti pemahaman yang
pertama jelas batil. Dan pemahaman yang benar adalah pemahaman yang kedua. Dan itu
tidak berarti mengalihkan perkataan dari makna yang sesuai dengan dhahirnya. Maka
terbantahlah sudah syubhat ahlu bid’ah yang menuduh Ahlus Sunnah juga telah melakukan
takwil. Syubhat yang dilancarkan dalam rangka membenarkan tindakan batil mereka.
Alhamdulillah.

Syubhat Ahlul Bid'ah


“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun
orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS at-Taubah: 32

Jawaban Ahlussunnah Terhadap Argumentasi Takwil


Para Pengingkar Sifat ‘Uluw
da dua cara yang dilakukan oleh para pengingkar sifat ‘Uluw terhadap nash-nash yang
menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah:
Cara Pertama: Mereka mencoba menolak dalil-dalil yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah
dengan caramentafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah) dan mengingkari makna
yang terkandung lafaz secara zohir. Sebahagian mereka menisbahkan cara ini kepada para
ulama salaf. Mereka tidak bisa membedakan antar tafwidh yang dipahami oleh ulama salaf
dengan tafwidh yang pahami oleh Ahlul kalam. Tafwidh yang dipahami oleh ulama salaf
adalah dalam masalah kaifiyah (bentuk /hakikat) tentang sifat tersebut bukan makna dari
sifat. Adapun tafwidh yang pahami oleh Ahlul kalam adalah tafwidh terhadap makna sifat.
Tentang kebatilan manhaj Tafwidh yang dipahami oleh Ahlul kalam sudah pernah kita
jelaskan dalam pembahasan tentang kaedah-kaedah dalam memahami nash-nash sifat.
Secara ringkas dapat kita sebutkan kembali di sini sisi-sisi kebatilan mahaj Ahlul Tafwidh;
1. Mereka telah menutup jalan yang paling utama untuk mengenal Allah, yaitu melalui
nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Karena menurut Ahlu Tafwidh nash-nash sifat
tersebut tidak bisa dipahami dan tidak dimengerti makna dan maksudnya.
[351]
2. Menurut mereka Al Qur’an tidak dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk mengenal
Allah, karena menurut mereka ayat-ayat sifat tersebut adalah lafaz-lafaz yang tidak
diketahui maknanya.
3. Mereka telah menuduh -tanpa mereka sadari- bahwa Nabi r dan para sahabat y
dalam membaca ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah mereka tidak
memahaminya dan tidak mengetahui maknanya. Ini adalah prasangka yang amat buruk
kepada Nabi r dan para sahabat mulia y.
Cara Kedua: Mereka mentakwil ayat dan hadits-hadits yang menetapkan sifat tersebut.
Namun bila kita cermati sesungguhnya takwil-takwil yang mereka sebutkan sangat
bertolak belakang dengan maksud dari nash-nash tersebut, bahkan terkesan mereka telah
mempermainkan ayat-ayat Allah atau hadits-hadits Rasulullah r. Sebelum kita masuk
kepada topik pembahasan takwil para Ahli kalam terhadap dalil-dalil ‘Uluw, ada baiknya
terlebih dahulu kita kemukakan penjelasan para ulama tentang pengertian takwil secara
ringkas.
Takwil dalam penjelasan para ulama memiliki tiga pengertian[1]:
Pertama takwil bermakna: tafsir, pengertian takwil dengan makna ini sangat masyhur
dikalangan ulama salaf dan sangat banyak terdapat dalam ungkapan para ulama ahli tafsir
yang terdahulul (mutaqaddimin).
Seperti yang terdapat dalam do’a Nabi r untuk sahabat yang mulia Ibnu ‘Abbas t:
”‫ وعلمه التأويل‬،‫“اللهم فقهه في الدين‬
“Ya Allah! Pahamkanlah ia tentang agama dan ajarkan kepadanya takwil (tafsir)” [2]
Demikian pula ungkapan Imam Thobary -yang digelari sebagai imam mufassirin- berulang
kali menggunakan kata takwil untuk makna tafsir dalam kitab tafsir beliau yang
monumental “Jaami’ul Bayaan“:      ““‫القول في تأويل قوله تعالى‬
“Penjelasan tentang takwil (tafsir) firman Allah Ta’alaa“.
Kedua takwil bermakna: hakikat tentang sesuatu perkara/kejadian, sebagaimana hakikat
dari mimpi nabi Yusuf u, ketika beliau melihat sebelas bintang, matahari dan bulan
bersujud kepadanya. Lalu mimpi tersebut terbukti setelah beberapa waktu kemudian,
sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
]100/‫اي مِنْ َق ْب ُل َق ْد َج َعلَ َها َربِّي َح ًّقا} [يوسف‬
َ ‫ت َه َذا َتأْ ِوي ُل ر ُْؤ َي‬
ِ ‫ش َو َخرُّ وا لَ ُه سُجَّ ًدا َو َقا َل َيا أَ َب‬
ِ ْ‫{ َو َر َف َع أَ َب َو ْي ِه َعلَى ْال َعر‬
“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya)
menundukkan diri seraya bersujud kepada Yusuf. Dan berkatalah Yusuf: “Wahai ayahku
inilah takwil mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu
kenyataan”.
Makna yang kedua ini juga makna yang sering dipergunakan oleh para ulama salaf dalam
ungkapan mereka.
Ketiga takwil bermakna: memalingkan lafaz dari maknanya yang zohir kepada makna lain
karena adanya qorinah (dalil) yang membolehkannya. Takwil dengan pengertian ini hanya
dikenal dikalangan para ulama yang zaman terakhir (muta-akhirin) secara khusus lebih
banyak dipergunakan oleh para ulama ahli ushul fiqh. Para ulama yang memakai takwil
untuk makna ini menetukan syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk melakukan takwil
terhadap sebuah nash/dalil.
Diantara syarat-syarat tersebut adalah:
1. Penentuan makna dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat harus ada
qorinah/dalil lain yang mendukungnya, baik dalil syar’i atau dalil lughawi (bahasa).

[352]
Maka seseorang tidak boleh mentakwil hanya sekedar berdasarkan kepada logikanya
semata, dan mengabaikan dalil-daliil yang lain, karena hal tersebut akan menimbulkan
kontradiksi /kerancuan dalam memahami nash-nash agama.
2. Penetuan makna dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat harus memperhatikan
gramatika bahasa Arab serta memperhatikan susunan rangkaian kata-kata dari sebuah
lafaz dan kalimat.
Dalam bahasa Arab sebuah kata bisa memiliki bebrapa makna, seperti kata ‘Ainun bisa
berarti mata yang dapat melihat, dan bisa berarti mata air, atau berarti jasus (intel) dan
bisa juga berarti bagian dari sesuatu untuk diteliti di labor. Yang dapat menetukan makna
yang sebenarnya adalah tergantung dari gramatika dan susunan rangkaian kata yang
terdapat dalam sebuah ungkapan.
3. Makna yang menjadi pilihan dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat haruslah
diantara makna-makna yang tercakup dan terkandung dalam lafaz/kalimat tersebut
dalam bahasa Arab.
Maka tidak boleh mentakwilkan sebuah lafaz dengan kata yang tidak tercakup dalam
makna lafaz tersebut. Seperti takwilan orang-orang bathiniyah terhadap lafaz puasa
dengan makna menjaga rahasia guru-guru mereka.
4. Tidak terdapat dalil lain yang menolak lebih kuat terhadap makna yang ditakwilkan
tersebut, baik dalil syar’i maupun dalil lughawi (garamatika bahas Arab).
Seperti mentakwilkan kata tangan dengan qudrat dalam firman Allah berikut ini:
ُ ‫ك أَنْ َتسْ ُج َد لِ َما َخلَ ْق‬
]75/‫ت ِب َي َديَّ } [ص‬ َ ‫{ َقا َل َيا إِ ْبلِيسُ َما َم َن َع‬
“Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-
ciptakan dengan kedua tangan-Ku?.
Seandainya kata tangan ditakwil dengan qutrat, berarti qudrat Allah ada dua! karena kata
tangan dalam ayat di atas dikaitkan dengan bilangan dua. Kemudian
jika tangan diartikan qutrat berarti tidak ada keistimewaan Adam dari Iblis karena Iblis
juga diciptakan dengan qudrat Allah.
Jika salah satu syarat yang kita sebutkan di atas tidak terpenuhi maka takwil tersebut
dinilai sebagai takwil fasid (cacat). Takwil dalam pengertian terakhir ini yang selalu
menjadi perdebatan kalangan para ulama. Karena takwil dalam pengertian ini bisa benar
atau bisa salah, dan bahkan bisa menimbulkan kesesatan dalam agama. Konsep takwil
seperti ini sering dipergunakan oleh para pengingkar sifat-sifat Allah dalam argumentasi
mereka, sebagaimana yang akan kita jelaskan pada berikutnya nanti. Alat untuk mengukur
dan memastikan kebenaran takwil tersebut adalah dengan merujuk kepada pemahaman
para ulama salaf dalam memahami nash /dalil.
Takwil-takwil Ahlul kalam terhadap dalil-dalil ‘Uluw
Pada berikut ini kita kemukakan beberapa takwil yang digunakan Ahlul kalam dalam
mengingkari sifat-sifat Allah subhaanahu wata’alaa  yang terdapat dalam Al Qur’an dan
sunnah, secara khusus sifat ‘Uluw.
Pertama: Mentakwil nash-nas yang menunjukkan tentang sifat ‘Uluw dan Fauqiyyah
(Allah di atas seluruh zat makhluk) dengan makna ketinggian nilai dan kekuasan
(rutbah dan qohhar).
Mereka mencontohkannya dalam ungkapan seseorang: “emas lebih tinggi dari perak”,
“ketua lebih tinggi dari wakilnya”. Ketinggian yang dimaksud dalam ungkapan tersebut
adalah ketinggian nilai dan kekuasaan, bukan ketinggian zat masing-masing di atas yang
[353]
lainnya. Demikian analogi yang mereka pakai dalam mentakwil nash-nash yang
menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah subhaanahu wata’alaa.
Sebagai contoh firman Allah:    {‫[ }أَأَ ِم ْن ُت ْم َمنْ فِي ال َّس َماء‬16/‫]الملك‬
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit”
Maka menurut pemahaman Ahlu Takwil maksud firman Allah tersebut ialah: Allah lebih
mulia dari langit atau Allah lebih berkuasa dari langit. Bukan berarti Allah berada di atas
langit.
َ ُ‫[ } َي َخاف‬50/‫]النحل‬
Contoh lain firman Allah:    {‫ون َر َّب ُه ْم مِنْ َف ْوق ِِه ْم‬
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka“
Menurut Ahlu Takwil maksud firman Allah tersebut ialah: Allah lebih mulia dari mereka
atau Allah lebih berkuasa dari mereka. Bukan berarti Allah berada di atas mereka.
Maka mereka tidak mengimani bahwa Zat Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya,
akan tetapi mereka hanya membatasi keimanan pada bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha
Mulia di atas seluruh makhlukn-Nya.
Adapun Ahlussunnah mengimani seluruh bagian dari makna ‘uluw secara mutlak bagi
Allah, baik dari segi zat maupun sifat-sifat-Nya termasuk sifat Maha Kuasa dan sifat Maha
Mulia.
Jawaban Ahlussunnah:
Jika kita cermati takwil mereka terhadap sifat ‘Uluw dengan makna ketinggian nilai dan
kekuasan seperti dalam dua ayat di atas memiliki kesalahan dari beberapa sisi:
1. Mentakwil nash-nas ‘Uluw dengan makna Maha Mulia dan Maha Kuasa tidak sesuai
dengan gramatika yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut. Karena ayat-ayat tersebut
tidak berbicara tentang konteks perbandingan kelebihan Allah di atas makhluk-Nya
dalam segi kekuasan dan kemulian. karena tidak ada sedikitpun kedekatan antara Allah
dan makhluk dalam hal tersebut! Hal tersebut sama dengan ungkapan seseorang:
“permata lebih tinggi nilainya dari kulit bawang” atau “pedang lebih tajam dari pada
tongkat”. Bila ada seseorang yang berkata demikian sungguh semua orang akan ketawa
mendengarkannya. Karena hal tiu tidak perlu dibandingkan sebab begitu jauh perbedaan
anatar keduanya. Ungkapan tersebut adalah sesuatu yang sia-sia, apalagi perbandingan
kemulian dan kekuasaan Allah dengan kemulian dan kekuasaan makhluk! Sesungguhnya
Allah Maha Suci dari segala perkataan yang sia-sia.
2. Allah tidak pernah dalam memuji diri-Nya baik dalam Al Qur’an maupun melalui
sabda Rasul r, bahwasanya Dia (Allah) lebih mulia dari ‘Arasy, atau lebih baik dari langit.
Akan tetapi perbandingan yang sering disebutkan dalam Al Qur’an tentang sesembahan
dari selain Allah manakah yang lebih baik dari Allah? Seperti dalam firman Allah:
َ -‫ا أَ ْن‬--‫اؤُ ُك ْم َم‬--‫ َّم ْي ُتمُو َها أَ ْن ُت ْم َوآَ َب‬-‫ َما ًء َس‬-‫ ِه إِاَّل أَ ْس‬-‫ون مِنْ ُدو ِن‬
ْ‫ا مِن‬--‫ز َل هَّللا ُ ِب َه‬- -َ ‫) َما َتعْ ُب ُد‬39( ‫ون َخ ْي ٌر أَ ِم هَّللا ُ ْال َوا ِح ُد ْال َقهَّا ُر‬ َ ُ‫{أَأَرْ َبابٌ ُم َت َفرِّ ق‬
]40 ،39/‫ُون} [يوسف‬ َ ‫اس اَل َيعْ َلم‬ ِ ‫ك ال ِّدينُ ْال َق ِّي ُم َو َلكِنَّ أَ ْك َث َر ال َّن‬
َ ِ‫ان إِ ِن ْال ُح ْك ُم إِاَّل هَّلِل ِ أَ َم َر أَاَّل َتعْ ُب ُدوا إِاَّل إِيَّاهُ َذل‬
ٍ ‫س ُْل َط‬
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa
lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah)
nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan
suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia
telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

[354]
3. Nash-nash yang menyatakan tentang sifat ‘Uluw (keMahatinggian Zat Allah) di atas
seluruh makhluk-Nya diungkapkan dalam berbagai redaksi dan sinonim yang menafikan
takwil terhadap sifat tersebut.
Sebagai contoh firman Allah:
]10/‫الطيِّبُ َو ْال َع َم ُل الصَّالِ ُح َيرْ َفعُه}ُ [فاطر‬ َّ ‫ان يُري ُد ْالع َِّز َة َفلِلَّ ِه ْالع َِّزةُ َجمِي ًعا إِلَ ْي ِه َيصْ َع ُد ْال َكلِ ُم‬
ِ َ ‫{ َمنْ َك‬
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu
semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh Ia
angkat kepada-Nya“.
Dan firman Allah:    {‫[ } َب ْل َر َف َع ُه هَّللا ُ إِلَيْه‬158/‫]النساء‬
“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya“.
Kata-kata; naik dan diangkat dalam dua ayat tersebut sangat jelas lafaz yang menunjukan
posisi dari bawah ke atas dan tidak mungkin ditakwil lagi dengan ketinggian nilai dan
kekuasaan atau makna-makna lain yang mau dicari oleh Ahlu Takwil.
Kedua: Mereka mentakwil lafaz Istawaa (‫)استوى‬ yang terdapat dalam Al Qur’an dengan
makanaIstawlaa  (‫)استولى‬.
Dianatara dalil yang menyatakan bahwa Allah bersifat ‘Uluw adalah ayat-ayat yang
menyatakan bahwa Allah beristiwaa di atas ‘Arasy. Sebagaimana telah kita jelaskan
permasalahan ini dalam pembahasan tentang dalil-dalil ‘Uluw dari ayat-ayat Al Qur’an.
Namun orang-orang Ahlul kalam berusaha menolak makna Istiwaa dengan cara
mentakwilnyat dengan makna istilaa (berkuasa).
Jawaban Ahlussunnah:
1. Garamatika penggunaan lafaz istiwaa dalam bahasa Arab ada dua bentuk:
A. Mutlak yaitu penggunaannya tidak dihubungkan dengan huruf bantu .
B. Muqayyad yaitu penggunaannya dihubungkan dengan huruf bantu .
Ketika lafaz istiwaa dalam gramatika Mutlak berbeda maknanya ketika berrada dalam
gramatikaMuqayyad, begitu pula dalam garamatika Muqayyad dengan huruf tertentu maka
maknanya bisa sama atau bebrbeda bila saat Muqayyad dengan huruf yang lain.
Bila lafaz istiwaa berada dalam gramatika Mutlak maka ia bermakna: sempurna atau
matang (‫ )كمل وت ّم‬. seperti diungkapkan dalam bahasa Arab:   (‫ واستوى الطعام‬،‫ )استوى النبات‬atinya:
tanaman itu telah tumbuh sempurna dan makanan itu telah matang.
Adapun lafaz istiwaa yang Muqayyat dengan huruf, ia berada dalam tiga gramatika:
1. Digabung dengan huruf banru Ilaa (‫ )إلى‬seperti dalam ungkapan berikut:  ‫استوى فالن‬
‫طح‬--‫إلى الس‬ artinya: Sipulan naik ke atas loteng”. Untuk gramatika ini terdapat dalam Al
Qur’an dalam dua ayat:
Pertama dalam firman Allah:
]29/‫ض َجمِي ًعا ُث َّم اسْ َت َوى إِلَى ال َّس َما ِء َف َس َّواهُنَّ َسب َْع َس َم َواتٍ} [البقرة‬ ِ ْ‫{ه َُو الَّذِي َخلَ َق لَ ُك ْم َما فِي اأْل َر‬
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit”.
Kedua dalam firman Allah:    { ٌ‫ِي ُد َخان‬ ُ [11/‫]فصلت‬
َ ‫}ث َّم اسْ َت َوى إِلَى ال َّس َما ِء َوه‬
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap“.
Dalam konteks ini istawaa mennjukkan dua Makna:  ‫قصد‬ (bermaksud) dan makna ‫عال‬
‫وارتفع‬ (tinggi/ di atas) untuk menetukkan makna yang tepat dari dua makna tersebut dilihat
dari sisi gramatikanya, sebagaimana dalam contoh di atas.
b. Digabung dengan huruf bantu ‘Alaa (‫ )على‬sebagaimana dalam beberpa ayat berikut:
Pertama dalam firman Allah:         { ِّ‫ت َعلَى ْالجُودِي‬ ْ ‫}واسْ َت َو‬َ [44/‫]هود‬

[355]
“Dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi“
ُ
ِ ‫[ }لِ َتسْ َتوُ وا َعلَى ظه‬13/‫]الزخرف‬
Kedua firman Allah:                          {ِ‫ُوره‬
“Supaya kamu duduk di atas punggungnya“.
Ketiga firman Allah:                             {ِ‫[ } َفاسْ َت َوى َعلَى سُو ِقه‬29/‫]الفتح‬
“Tegak lurus di atas rumpunnya”.
Dalam konteks ini dalam semua nash istawaa menunjukkan makna ‫عال وارتفع‬ (tinggi/ di
atas) dan tidak bisa tawil dengan makna dari selain itu. Dalam sifat Istiwaa Allah terdapat
tujuh ayat[3] yang muqayyad dengan huruf ‘Alaa (‫ )على‬sebagaimana telah jelaskan ketika
membahas dalil-dalil ‘Uluwdalam Al Qur’an.
Bila kita cermati semua nash yang menunjukkan tentang Istiwaa Allah hanya berada dalam
hal yaitu: muqayyad dengan huru  Ilaa (‫ )إلى‬atau huruf  ‘Alaa (‫ )على‬saja.
c. Digabung dengan huruf penghubung Waaw  (‫ )واو‬yang menunjukkan akan makna
maf’ul ma’ah (kesamaan /sebanding) seperti ungkapan seseorang:   (‫بة‬-‫اء والخش‬-‫توى الم‬-‫)اس‬
artinya air dan kayu sejajar.
Jika kita cermati lafaz Istawaa (‫ )استوى‬dalam dari berbagai gramatika bahasa Arab tidak ada
satupun yang bermakna Istawlaa (‫ )استولى‬dan tidak ada satupun dari ulama pakar bahasa
arab yang terpercaya menyebutkannya.
Seorang ulama pakar bahasa Arab yaitu Khalil bin Ahmad pernah ditanya: apakah engkau
pernah menemukan dalam bahasa Arab Istawaa (‫ )استوى‬dengan makna Istawlaa (‫تولى‬--‫?)اس‬
Beliau menjawab: “ini adalah sesuatu yang tidak pernah dikenal orang Arab dan tidak
pernah digunakan dalam bahasa mereka”[4].
2. Istawaa (‫ )استوى‬dan Istawlaa (‫ )استولى‬adalah dua kata yang berbrbeda dari sisi lafaz
dan makna. Karena tidak penah ditemukan penggunaan Istawlaa (‫ )استولى‬dalam Al Qur’an
dan sunnah maupun dalam bahasa Arab untuk menunjukkan makna Istawaa (‫)استوى‬, ini
membuktikan bahwa lafaz Istawaa (‫توى‬-----‫ )اس‬tidak boleh ditakwilkan dengan
makna Istawlaa (‫تولى‬----‫)اس‬,  kalau hal tesebut diperbolehkan tentu akan terdapat
penggunaan kedua lafaz tersebut saling bergantian.
Andaikan lafaz Istawlaa (‫تولى‬--‫ )اس‬disebutkan dalam Al Qu’an, namun bila dibandingkan
lafaz Istawaa(‫توى‬---‫ )اس‬jumlahnya lebih banyak disebutkan umpamanya, tentu yang
seharusnya dilakukan adalah menggunakan makna Istawaa (‫ )استوى‬untuk lafaz Istawlaa (
‫)استولى‬, bukan sebaliknya! Apalagi kenyataanya justru lafaz Istawlaa (‫ )استولى‬tidak pernah
penah disebut dalam Al Qur’an, lalu dari mana bisa kita bisa menjadikan makna Istawlaa (
‫ )استولى‬sebagai takwil bagi lafaz Istawaa (‫?)استوى‬
3. Bila Istawaa (‫ )استوى‬ditakwilkan dengan makna Istawlaa (‫ )استولى‬hal tersebut akan
melazimkan kerancuan dalam makna dan dalam pemahaman kaum muslimin. Hal
tersebut ditinjau dari beberapa segi:
1. Tatanan gramatika bahasa Arab, kalimat Istawaa (‫ )استوى‬didahului oleh kata
penghubung Tsumma (‫ )ثم‬yang menunjukkan runtutan kejadian /peristiwa (tartib).
Sebagaimana dalam firman Allah:
]4/‫ش} [السجدة‬ ِ ْ‫َّام ُث َّم اسْ َت َوى َعلَى ْال َعر‬ َ َ ْ‫ت َواأْل َر‬
ٍ ‫ض َو َما َب ْي َن ُه َما فِي سِ َّت ِة أي‬ ِ ‫{هَّللا ُ الَّذِي َخلَ َق ال َّس َم َاوا‬
“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam
enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy“.
Bila lafaz Istawaa (‫توى‬---‫ )اس‬ditakwilkan dengan makna Istawlaa (‫تولى‬---‫ )اس‬berarti ‘Arsy
sebelumn pencitaan langit dan bumi berada di luar kekuasaan Allah. Lalu ‘Arasy tersebut di
bawah kekuasaan siapa sebelumnya? Karena arti dari makna Istawlaa (‫تولى‬----‫)اس‬
itu menguasai  jauh beda dengan makna Istawaa (‫)استوى‬.
[356]
b. Bila Bila lafaz Istawaa (‫توى‬-‫ )اس‬ditakwilkan dengan makna Istawlaa (‫تولى‬-‫ )اس‬berarti
ada yang berusaha menguasai ‘Arasy dari selain Allah! karena penggunaan
lafza Istawlaa (‫ )استولى‬dalam bahsa Arab adalah untuk menunjukkan dua pihak yang saling
berebut menguasai sesuatu, bila salah satu di anatara keduanya dapat mengalahkan yang
lainnya maka ia disebut menguasanya (‫استولى‬ ‫)عليه‬. Apakah ada yang berusaha merebut
‘Arasy dari kekuasaan Allah sebelumnya? Bila ada di anatara manusia yang berasumsi
demikian sesunggunya ia telah jatuh kedalam kesesatan yang nyata.
4. Jika lafaz Istawaa (‫توى‬----‫ )اس‬ditakwilkan dengan makna Istawlaa (‫تولى‬----‫ )اس‬yang
artinya menguasai. Melazimkan para Ahlu Takwil memilih salah satu dari dua pilihan
yang kedua-duanya bagaikan memakan buah simalakama:
1. Berarti boleh dikatakan oleh seseorang bahwa Allah Istiwaa (‫ )استواء‬di atas gunung,
di atas pohon, dan di atas semua makhluk yang ada di muka bumi. Karena kekuasaan
tidak terbatas atas ‘Arasy saja. Lalu apa artinya Allah mengkhusus ‘Arasy dengan
sifat istiwaa (‫ )استواء‬dalam setiap ayat dalam Al Qu’an!?
2. Atau Allah hanya mengusai ‘Arasy saja setelah menciptakan langit dan bumi, karena
Allah mengkhusus ‘Arasy dengan sifat istiwaa (‫ )استواء‬dalam setiap ayat dalam Al Qu’an!?
Lalu siapa yang menguasai langit dan bumi kalau bukan Allah!?
Kesimpulanya lafaz Istawaa (‫ )استوى‬tidak bisa ditakwilkan dengan makna Istawlaa (‫)استولى‬
karena kedua saling berbeda dilalahnya menurut syara’ dan lughah.
5. Jika lafaz Istawaa (‫توى‬----‫ )اس‬ditakwilkan dengan makna Istawlaa (‫تولى‬----‫ )اس‬ini
adalah tahrif  (penyelewengan) terhadap kalam Allah. Seperti perbuatan orang-orang
Bani Irail ketika diperintahkan Allah untuk mengucapkan Hiththoh (ampunan) mereka
menukar ucapan tersebut dengan kata Hinthoh (gandum).
Sebagaimana diceritakan dalam firman Allah:
]59 ،58/‫ِين َظلَمُوا َق ْواًل َغي َْر الَّذِي قِي َل لَ ُه ْم} [البقرة‬ َّ ‫{وقُولُوا ح‬
َ ‫ِط ٌة َن ْغفِرْ لَ ُك ْم َخ َطا َيا ُك ْم َو َس َن ِزي ُد ْالمُحْ سِ ن‬
َ ‫) َف َب َّد َل الَّذ‬58( ‫ِين‬ َ
“Dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa”, niscaya Kami ampuni kesalahan-
kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (kebaikan) kepada orang-orang yang
berbuat baik. Lalu orang-orang yang zalim mengganti ucapan yang tidak dikatakan kepada
mereka“.
Maka orang yang suka metakwil kalam Allah adalah telah meniru kebiasaan orang-orang
Bani Israil yang telah merubah-rubah kalam Allah yang diturunkan kepada mereka. Oleh
sebab itu ulama kita mengatakan Laam  (‫ )ل‬yang ditambahkan oleh Ahlu Kalam terhadap
lafaz (‫ )استوى‬sehinggga menjadi (‫تولى‬--‫ )اس‬sama dengan perbuatan orang Bani Israil yang
menambah Nuun (‫ )ن‬terhadap kalimat (‫)حطة‬ ّ sehingga menjadi (‫)حنطة‬.
6. Alasan utma orang Ahlul kalam mentakwil lafaz Istawaa (‫توى‬----‫ )اس‬dengan
makna Istawlaa (‫تولى‬--‫ )اس‬adalah takut terjatuh kedalam aqidah Tasybih (menyerupakan
Allah dengan makhluk). Akan tetapi dalam kenyataannya justru mereka terjatuh pada
lubang yang mereka gali sendiri, karena makhluk juga memilki sifat Istawlaa (‫)استولى‬. Jika
mereka menetapkan sifat Istawlaa (‫ )استولى‬bagi Allah berarti mereka juga menyerupakan
Allah dengan makhluk. Bahkan lebih keliru lagi ketika mereka mentakwil sifat Allah
dengan makna yang tidak pantas dinisbahkan kepada Allah. Karena  Istawlaa (‫تولى‬--‫)اس‬
maknanya menyadingkan Allah dengan makhluk dalam berebut menguasai ‘Arasy. Oleh
sebab itu Allah tidak pernah menisbahkan sifat tersebut kepada diri-Nya dalam Al Qu;an,
demikian pula Rasulullah r dalam sabdanya.

[357]
Di sini mereka harus mengakui kebenaran pandangan Ahlussunnah tentang sifat Istiwaa’ (
‫تواء‬--‫)اس‬: bahwa Allah beristiwaa di ‘Arasy sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya,
tidak sama seperti beristiwaa’nya makhluk.
7. Takwil yang dilakukan oleh Ahlul kalam terhadap ayat-ayat tentang sifat ‘Uluw
adalah takwil yang cacat hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat dan kriteria yang
ditetukan oleh para ulama sebagaimana yang kita sebutkan di awal bahasan ini. Bahkan
Tidak ditemukan seorang pun dari para sahabat dan para ulama salaf dikalangan umat ini
yang mentakwil ayat-ayat tentang sifat ‘Uluw bagi Allah. Kecuali mereka yang
terpengaruh dengan aqidah filsafat Yunani.
8. Sebagai pemungkas untuk orang-orang yang mengaku mengikuti aqidah Imam Abu
hasan Asy’ari. Di sini kami sebutkan bantahan beliau terhadap orang yang mentakwil
lafaz (‫توى‬--‫ )اس‬dengan makna (‫تولى‬--‫ )اس‬dalam kitab munumental beliau “Al Ibaanah“[5]:
“Sesungguhnya orang-orang Mu’tazilah, Jahmiyah dan Haruriyah berpendapat bahwa
ِ ْ‫[ }الرَّ حْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬5/‫]طه‬
firman Allah:  {‫ش اسْ َت َوى‬
“Tuhan Yang Maha Pemurah beristiwaa’ di atas ‘Arsy“.
Menurut mereka makna  (‫ )استوى‬adalah menguasai  (‫استولى‬ ‫ )وملك وقهر‬dan zat Allah berada
disetiap tempat. Mereka mengikari bahwa Allah berada di atas ‘Arasy sebagaimana yang
diyakini oleh Ahlul Haq, mereka mengartikan Istiwaa’ dengan Qudrah.
Kalau benar apa yang mereka sebutkan tentu tidak ada perbedaanya antara ‘Arasy dengan
bumi yang dilapisan ketujuh! Karena segala sesuatu berada di bawah kekuasan Allah. Bumi,
tempat buang kotoran dan segala yang di dalam alam ini adalah di bawah kekuasaan Allah.
Jika istiwaa’ Allah di atas ‘Arasy diartikan istilaa’  tentu Allah itu beristiwaa’ di atas segala
sesuatu?! berarti Allah beristiwaa’ di atas ‘Arasy, bumi, langit, tempat buang hajat dan di
atas segala tempat yang kotor?! Karena Zat Yang kuasa atas segala sesuatu  berarti Ia telah
memilikinya (‫تول عليه‬--‫)مس‬. Sekalipun Allah menguasai segala sesuatu, namun tidak ada
seorangpun dari kalangan kaum muslimin yang membolehkan ungkapan: Allah beristiwaa’
di atas  tempat buang hajat dan kotoran…”.
“Asumsi orang-orang Mu’tazilah, Haruriyah dan Jahmiyah bahwa zat Allah berada disetiap
tempat, melazimkan Allah berada dalam perut Maryam, tempat buang kotoran dan tempat
buang hajat, hal ini adalah bertentangan dengan agama”. Hal ini juga melazimkan Allah
berada diantara diantara langit dan bumi, dianatara dua langit dan dianatara dua lapis
bumi, ini senua merupakan kemustahilan dan saling bertentangan”.
Demikian bantahan Imam Abu Hasan Asy’ary secara ringkas. Semoga orang-
orang Asyaa’irah yang mengaku sebagai pengikut beliau mau menerima keyakinan imam
mereka dan meninggalkan keyakinan orang-orang Mu’Tazilah, Haruriyah dan Jahmiyah.

Oleh: DR. Alimusri Semjan Putra, MA

Wallahu A’lam wa Ahkam

[1]  Penjelasan lebih luas tentang hal ini dapat dilihat dalam kitab “Jinayah at Takwil al
Faasid” karangan Dr. Muhammad Ahmad Luh, MA. Dan kita-kitab ‘Ulumuttafsir.
[2]  H.R. Imam Ahmad no (2397), dan dishohihkan oleh Syeikh Al Bany dalam “silsilah
shohihah” no (2589).

[358]
[3]   Lihat: Q.S. Al A’raaf: (54), Yunus: (3), Thohaa: (5), Ar Ra’d: (2), Al Furqon: (59), As
Sajdah: (4), Fushshilat: (11).
[4]   Lihat: Aqoowiil Ats Tsiqqoot karangan Al karmy, hal: 124.
[5]   Lihat: ‘Al Ibaanah”, hal: 98-99.

Pembagian Tauhid Adalah Bid’ah


Para Pembenci dakwah tauhid menebarkan tuduhan bahwa pembagian tauhid menjadi
Tauhid Rubbubiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma’ wa sifat adalah bid’ah. Mereka
hanya ingin menjauhkan umat dari dakwah tauhid. mereka tidak sadar atau pura-pura
tidak tahu bahwa sesungguhnya merekapun mengakui adanya 3 tauhid ini.

Kita katakan :

1. Apakah anda mengakui bahwa Allahlah satu-satunya yang Menciptakan, yang memberi
rizqi, yang mengatur alam ini ? Jika ya, maka anda telah mentauhidkan Rubbubiyah Allah.

2. Apakah anda meyakini bahwa hanya Allah lah yang berhak untuk diibadahi? jika ya,
maka anda telah mengakui Tauhid ulluhiyah, yaitu mentauhidkan Allah dlm ibadah.

3. Apakah anda meyakini bahwa Allah mempunyai Nama dan sifat Yang Maha Sempurna
dan Maha Agung ? jika ya, maka anda telah mengakui Tauhid ‘Asma wa sifat.

Namun jika anda tidak mengimani satu saja dari ketiga tauhid tsb diatas, maka anda telah
rusak tauhidnya, naudzubillah.

maka dari jalan manakah kita menolak ketiga tauhid ini ??

Kita katakan : banyak pembagian istilah dalam Islam oleh para ulama yang tujuannya
untuk memperjelas agar umat islam lebih mudah memahami.

Sebagai contoh :

pembagian hukum : Wajib, sunnah, mubah, makruh, haram

Istilah nama-nama shalat : shalat tarawaih, tahiyatul masjid, sukrul wudhu’ dsb..

syarat wajib, syarat sah, dan rukun.

Jenis-jenis najis : mukhafafah, mutawasithah, mugholadhoh.

dsb..

yang lebih aneh bin ajaib, mereka yg menolak pembagian tauhid ini -padahal itu diambil
dari ayat Al-Qur’an- , mereka malah membela pembagian / istilah yang sama sekali tidak
dikenal,

seperti sifat 20. dari mana mereka membatasi sifat Allah hanya 20 saja ?!! Contoh lain,
Pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyiah – yang sejatinya, mereka membela
pembagian ini hanya untuk melegalkan perbuatan bid’ah mereka, tidak seperti apa yang

[359]
dimaui oleh ulama yang mengatakan bid’ah hasanah. dengan memanfaatkan istilah bid’ah
hasanah, Semua ritual yg mereka ada-adakan mereka masukkan ke dalam bid’ah hasanah.

Contoh yang lain, membagi ilmu agama ini menjadi : syariat, hakikat dan ma’rifat. atau
dibagi menjadi 2 : kulit dan isi. ini semua pembagian batil yang tidak saja tanpa dalil yang
shohih tapi juga menyelisihi pemahaman salafussholih.

Berikut penjelasan lengkap tentang pembagian tauhid :

Tauhid terbagi menjadi 3 ( Tauhid rububiyyah, uluhiyyah, dan Asma’ wa sifat )


berdasarkan istiqra’ ( penelitian menyeluruh ) terhadap dalil-dalil yang ada di dalam Al-
Quran dan As-Sunnah, sebagaimana ulama nahwu membagi kalimat di dalam bahasa arab
menjadi 3 : Isim, fi’il, dan huruf, berdasarkan penelitian menyeluruh terhadap kalimat-
kalimat yang ada di dalam bahasa arab.

Betapa tepatnya perkataan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam risalahnya “At-Tahdzir” halaman
30 berkisar pembagian tauhid. Kata beliau : “Pembagian ini adalah hasil istiqra (telaah)
para ulama Salaf terdahulu seperti yang diisyaratakan oleh Ibnu Mandah dan Ibnu Jarir
Ath-Thabari serta yang lainnya. Hal ini pun diakui oleh Ibnul Qayim. Begitu pula Syaikh
Zabidi dalam “Taaj Al-Aruus” dan Syaikh Syanqithi dalam “Adhwa Al-Bayaan” dan yang
lainnya. Semoga Allah merahmati semuanya( Lihat Kitab At-Tahdzir min Mukhtasharat
Muhammad Ash-Shabuny fii At-Tafsir karangan Syeikh Bakr Abu Zaid hal: 30, cet. Darur
Rayah- Riyadh ) .

BENARKAH PEMBAGIAN TAUHID INI TIDAK DIKENAL ULAMA SALAF ?

Kami sebutkan disini diantara ulama-ulama yang menyebutkan pembagian ini baik secara
jelas maupun dengan isyarat.

Berkata Syaikh Al-Baijuri dalam “Syarh Jauharah At-Tauhid” halaman 97. Firman Allah ;
‘Alhamdulillahir rabbil ‘alamiin’, mengisyaratkan pada pengakuan ‘Tauhid Rububiyah, yang
konsekwensinya adalah pengakuan terhadap Tauhid Uluhiyah. Adapun konsekwensi
Tauhid Uluhiyah adalah terlaksananya Ubudiyah. Hal ini menjadi kewajiban pertama bagi
seorang hamba untuk mengenal Allah Yang Maha Suci. Kata beliau selanjutnya :
“Kebanyakan surat-surat Al-Qur’an dan ayat-ayatnya mengandung macam-macam tauhid
ini, bahkan Al-Qur’an dari awal hingga akhir menerangkan dan mengejawantahkan
(menjelaskan).

Kemudian berkata Imam Ibnu Athiyah (wafat ; 546H) dalam kitabnya Al-Muharrar Al-
Wajiiz, juz I, hal.75. Firman-Nya : ‘Iyaaka Na’budu’ adalah ucapan seorang yang beriman
kepada-Nya yang menunjukkan pengakuan terhadap ke-rububiyah-an Allah, mengingat
kebanyakan manusia beribadah kepada selain-Nya yang berupa berhala-berhala dan lain
sebagainya”.

1. Imam Abu Ja’far Ath-Thahawy ( wafat th. 321 ) , di dalam muqaddimah kitab beliau Al-
Aqidah Ath-Thahawiyyah . Beliau berkata :

‫ و ال إله غيره‬، ‫ و ال شيء يعجزه‬، ‫ و ال شيء مثله‬، ‫ بتوفيق هللا إن هللا واحد ال شريك له‬-‫نقول في توحيد هللا معتقدين‬
[360]
Artinya: Kami mengatakan di dalam pengesaan kepada Allah dengan meyakini : bahwa
Allah satu tidak ada sekutu bagiNya, tidak ada yang serupa denganNya, tidak ada yang
melemahkanNya, dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selainNya.

Perkataan beliau ” tidak ada yang serupa denganNya ” : ini termasuk tauhid Asma’ dan Sifat
.

Perkataan beliau ” tidak ada yang melemahkanNya ” : ini termasuk tauhid Rububiyyah.

Perkataan beliau ” dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selainNya.” : ini termasuk
tauhid Uluhiyyah.

2. Ibnu Abi Zaid Al-Qairawany Al-Maliky ( wafat th. 386 H ) , di dalam muqaddimah kitab
beliau Ar-Risalah Al-Fiqhiyyah hal. 75 ( cet. Darul Gharb Al-Islamy ) . Beliau mengatakan :

‫ أال‬، ‫يء‬--‫ل ش‬--‫ خالقا لك‬، … ،‫ و ال شبيه له و ال نظير‬، ‫ اإليمان بالقلب و النطق باللسان بأن هللا إله واحد ال إله غيره‬: ‫من ذلك‬
‫ هو رب العباد و رب أعمالهم والمقدر لحركاتهم و آجالهم‬.

Artinya : Termasuk diantaranya adalah beriman dengan hati dan mengucapkan dengan
lisan bahwasanya Allah adalah sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang berhak
disembah kecuali Dia, tidak ada yang serupa denganNya dan tidak ada tandinganNya…
Pencipta segala sesuatu, ketahuilah bahwa Dia adalah pencipta hamba-hambaNya dan
pencipta amalan-amalan mereka, dan yang menakdirkan gerakan-gerakan mereka dan
ajal-ajal mereka .

Perkataan beliau ” sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali
Dia ” : ini termasuk tauhid Uluhiyyah .

Perkataan beliau ” tidak ada yang serupa denganNya dan tidak ada tandinganNya ” : ini
termasuk tauhid Asma’ wa Sifat.

Perkataan beliau ” Pencipta segala sesuatu, ketahuilah bahwa Dia adalah pencipta hamba-
hambaNya dan pencipta amalan-amalan mereka, dan yang menakdirkan gerakan-gerakan
mereka dan ajal-ajal mereka ” : ini termasuk tauhid Rubiyyah.

3. Ibnu Baththah Al-‘Akbary ( wafat th. 387 H ), di dalam kitab beliau Al-Ibanah ‘an Syariatil
Firqatin Najiyyah wa Mujanabatil Firaq Al-Madzmumah ( 5 / 475 )

‫ه‬-‫د ربانيت‬-‫د العب‬-‫ أن يعتق‬: ‫دها‬-‫ أح‬: ‫ياء‬-‫ة أش‬-‫ه ثالث‬-‫وذلك أن أصل اإليمان باهلل الذي يجب على الخلق اعتقاده في إثبات اإليمان ب‬
‫ل‬--‫ذاهب أه‬--‫ذلك م‬--‫ا ب‬--‫ون مباين‬--‫ ليك‬، ‫ه‬--‫ أن يعتقد وحدانيت‬: ‫ الثاني‬. ‫ليكون بذلك مباينا لمذهب أهل التعطيل الذين ال يثبتون صانعا‬
‫ون‬-‫ أن يعتقده موصوفا بالصفات التي ال يجوز إال أن يك‬: ‫ والثالث‬. ‫الشرك الذين أقروا بالصانع وأشركوا معه في العبادة غيره‬
‫موصوفا بها من العلم والقدرة والحكمة وسائر ما وصف به نفسه في كتابه‬

Artinya : Dan yang demikian itu karena pokok keimanan kepada Allah yang wajib atas para
makhluk untuk meyakininya di dalam menetapkan keimanan kepadaNya ada 3 perkara :

Pertama : Hendaklah seorang hamba meyakini rabbaniyyah Allah ( kekuasaan Allah )


supaya dia membedakan diri dari jalan orang-orang atheisme yang mereka tidak
menetapkan adanya pencipta.

[361]
Kedua : Hendaklah meyakini wahdaniyyah Allah ( keesaan Allah dalam peribadatan )
supaya dia membedakan diri dari jalan orang-orang musyrik yang mereka mengakui
adanya pencipta alam kemudian mereka menyekutukanNya dengan selainNya.

Ketiga : Hendaklah meyakini bahwasanya Dia bersifat dengan sifat-sifat yang memang
harus Dia miliki, seperti ilmu, qudrah ( kekuasaan ), hikmah ( kebijaksanaan ) , dan sifat-
sifat yang lain yang Dia tetapkan di dalam kitabNya.

4. Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusyi ( wafat th. 520 H ), di dalam
muqaddimah kitab beliau Sirajul Muluk ( 1 / 1 ) , beliau berkata :

‫ والنعت األوفى‬.‫ والصفات العلى‬.‫ وبما شهد به لنفسه من األسماء الحسنى‬-.‫وأشهد له بالربوبية والوحدانية‬

Artinya : Dan aku bersaksi atas rububiyyahNya dan uluhiyyahNya, dan atas apa-apa yang
Dia bersaksi atasnya untuk dirinya berupa nama-nama yang paling baik dan sifat-sifat yang
tinggi dan sempurna.

5. Al-Qurthuby ( wafat th. 671 H ) , di dalam tafsir beliau (1/ 102) , beliau berkata ketika
menafsirkan lafdzul jalalah ( ‫ )هللا‬di dalam Al-Fatihah:

‫ ال إله إال هو سبحانه‬،‫ المنفرد بالوجود الحقيقي‬،‫ المنعوت بنعوت الربوبية‬،‫فاهلل اسم للموجود الحق الجامع لصفات اإللهية‬.

Artinya : Maka ( ‫ ) هللا‬adalah nama untuk sesuatu yang benar-benar ada, yang
mengumpulkan sifat-sifat ilahiyyah ( sifat-sifat sesuatu yang berhak disembah ) , yang
bersifat dengan sifat-sifat rububiyyah ( sifat-sifat sesuatu yang berkuasa ) , yang sendiri
dengan keberadaan yang sebenarnya, tidak ada sesembahan yang berhak disembah
selainNya.

6. Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy ( wafat th. 1393 H ) di dalam Adhwaul Bayan
(3 / 111-112), ketika menafsirkan ayat:

))9:‫ت أَنَّ لَ ُه ْم أَجْ راً َك ِبيراً) (االسراء‬ َ ُ‫ِين َيعْ َمل‬


ِ ‫ون الصَّال َِحا‬ َ ‫ِي أَ ْق َو ُم َو ُي َب ِّش ُر ْالم ُْؤ ِمن‬
َ ‫ِين الَّذ‬ َ ْ‫إِنَّ َه َذا ْالقُر‬
َ ‫آن َي ْهدِي لِلَّتِي ه‬

7. Syeikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, diantaranya dalam kitab beliau Kaifa Nuhaqqiqu
At-Tauhid ( hal. 18-28 ) .

8. Syeikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, diantaranya dalam Fatawa Arkanil Islam
( hal. 9-17 )

9. Syeikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr ( pengajar di Masjid Nabawy ),
diantaranya dalam muqaddimah ta’liq beliau terhadap kitab Tathhir ul I’tiqad ‘an Adranil
Ilhad karangan Ash-Shan’any dan kitab Syarhush Shudur fi Tahrim Raf’il Qubur karangan
Asy-Syaukany (hal . 12-20.)

10 Syeikh Abdul Aziz Ar-Rasyid, di dalam kitab beliau At-Tanbihat As-Saniyyah ‘ala Al-
Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 14) .

11. Syeikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, di dalam kitab beliau Al-Mukhtashar Al-
Mufid fi Bayani Dalaili Aqsamit Tauhid. Kitab ini adalah bantahan atas orang yang
mengingkari pembagian tauhid.

[362]
12. Dan lain-lain.

Jadi pembagian tauhid menjadi tiga tersebut adalah pembagian secara ilmu dan merupakan
hasil tela’ah seperti yang dikenal dalam kaidah keilmuan. Barangsiapa yang
mengingkarinya berarti tidak ber-tafaquh terhadap Kitab Allah, tidak mengetahui
kedudukan Allah, mengetahui sebagian dan tidak mengetahui sebagian yang lainnya. Allah
pemberi petunjuk ke jalan nan lurus kepada siapa yang Dia kehendaki.

DALIL-DALIL TENTANG MACAM-MACAM TAUHID :

Sesungguhnya pembagian tauhid menjadi tiga ini, dikandung dalam banyak surat di dalam
Al-Qur’an Al-Karim. Yang paling tampak serta paling jelas adalah dalam dua surat, yaitu Al-
Fatihah dan An-Naas, dimana keduanya adalah pembuka dan penutup Al-qur’an.

‘Alhamdulillahir rabbil ‘alamiin’, : mengandung pengukuhan akan ke-rububiyah-an Allah


Jalla wa Alaa terhadap seluruh makhluk-Nya,

‘Ar-Rahmanir Rahiim Maliki Yaumid Diin’ di disini mengandung pengukuhan terhadap


sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi dan nama-nama-Nya Yang Maha Mulia,

‘Iyaaka Na’budu Wa Iyaaka Nasta’iin’ : di sana mengandung pengukuhan ke-ubudiyah-an


seluruh makhluk kepada-Nya dan ke-uluhiyah-an Allah atas mereka.

demikian didalam surat An-Naas :

“Katakanlah : “Aku berlindung kepada Rabb manusia”

“Raja Manusia”

“Sembahan manusia”

Kesemuanya memberikan penjelasan tentang Tauhid Rubbubiyah, ulluhiyah dan tauhid


Asma’ wa sifat.

berikut dalil-dalil lain tentang 3 tauhid tsb :

Tauhid Rububiyyah

Tauhid Rububiyyah adalah : Suatu keyakinan yang pasti bahwa Allah subhaanahu wa ta’ala
satu-satunya pencipta, pemberi rizki, menghidupkan dan mematikan, serta mengatur
semua urusan makhluk-makhluk-Nya tanpa ada sekutu bagi-Nya. Dalil-dalil yang
menunjukkan Tauhid Rububiyyah ini diantaranya firman Allah subhaanahu wa ta’ala :

َ ‫ْال َحمْ ُد هَّلِل ِ َربِّ ْال َعالَم‬


‫ِين‬

”Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” [QS. Al-Fatihah : 2].

Juga firman-Nya :

َ ‫ك هَّللا ُ َربُّ ْال َعالَم‬


‫ِين‬ َ ‫أَال لَ ُه ْال َخ ْل ُق َواأل ْم ُر َت َب‬
َ ‫ار‬

[363]
”Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan
semesta alam” [QS. Al-A’raf : 54].

Dalam ayat di atas Allah menjelaskan kepada hamba-Nya bahwa Dia-lah satu-satunya
pencipta dan pemilik seluruh alam semesta ini serta Dia pulalah yang mengaturnya secara
mutlak, tidak ada pengecualian (yang luput) dari-Nya sesuatupun.

Di samping dua ayat di atas, Allah juga menjelaskan tentang Rububiyyah-Nya dengan
firman-Nya :

ُ ‫ض قُ ِل هَّللا‬ ِ ‫قُ ْل َمنْ َربُّ ال َّس َم َاوا‬


ِ ْ‫ت َواألر‬

Katakanlah: “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Jawabnya: “Allah.” [QS. Ar-Ra’d : 16].

Dan juga firman-Nya :

‫ش ْال َعظِ ِيم‬ ِ ْ‫ ر‬-‫ب ِْع َو َربُّ ْال َع‬- ‫الس‬ ِ ‫ُون * قُ ْل َمنْ َربُّ ال َّس َم َاوا‬
َّ ‫ت‬ َ ‫ون هَّلِل ِ قُ ْل أَ َفال َت َذ َّكر‬
َ ُ‫ُون * َس َيقُول‬
َ ‫قُ ْل لِ َم ِن األرْ ضُ َو َمنْ فِي َها إِنْ ُك ْن ُت ْم َتعْ لَم‬
‫أ َ َّنى‬--‫ ْل َف‬- ُ‫ون هَّلِل ِ ق‬
َ ُ‫ُون * َس َيقُول‬
َ ‫وت ُك ِّل َشيْ ٍء َوه َُو ُي ِجي ُر َوال ي َُجا ُر َعلَ ْي ِه إِنْ ُك ْن ُت ْم َتعْ لَم‬ ُ ‫ون * قُ ْل َمنْ ِب َي ِد ِه َملَ ُك‬ َ ُ‫ون هَّلِل ِ قُ ْل أَ َفال َت َّتق‬
َ ُ‫* َس َيقُول‬
َ ‫ُتسْ َحر‬
‫ُون‬

Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu
mengetahui?”. Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah
kamu tidak ingat?”. Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang
Empunya ‘Arsy yang besar?”. Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah:
“Maka apakah kamu tidak bertakwa?”. Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada
kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat
dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?”. Mereka akan menjawab: “Kepunyaan
Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” [QS. Al-
Mukminun : 84-89].

Dari pengertian ayat di atas, tiada keraguan bagi orang yang berakal tentangrububiyyah
Allah bahwa Dia-lah satu-satunya Dzat yang mampu menciptakan langit dan bumi,
memberi rizki, menghidupkan dan mematikan. Demikian pula pengakuan mereka (orang-
orang Quraisy) ketika ditanya tentang siapa pencipta langit dan bumi ? Dan siapa Rabb
langit dan bumi ? Mereka akan mengatakan : ”Allah”. Sebagaimana firman Allah :

ُ ‫ض لَ َيقُولُنَّ هَّللا‬ ِ ‫َولَئِنْ َسأ َ ْل َت ُه ْم َمنْ َخلَ َق ال َّس َم َاوا‬


َ ْ‫ت َواألر‬

”Dan jika kamu bertanya kepada mereka : Siapakah yang menciptakan tujuh langit dan
bumi. Pasti mereka akan mengatakan : Allah” [QS. Luqman : 25].

Juga firman-Nya :

َ ُ‫ون هَّلِل ِ قُ ْل أَ َفال َت َّتق‬


‫ون‬ َ ُ‫ش ْال َعظِ ِيم * َس َيقُول‬
ِ ْ‫ت ال َّسب ِْع َو َربُّ ْال َعر‬
ِ ‫قُ ْل َمنْ َربُّ ال َّس َم َاوا‬

Katakanlah : ”Siapakah Rabb langit yang tujuh dan ’Arsy yang besar ?”. Pasti mereka akan
mengatakan : ”Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” [QS. Al-Mukminun
: 86-87].

Allah banyak menyebutkan dalam Al-Qur’an pengakuan orang-orang kafir Quraisy


terhadap rububiyyah Allah, akan tetapi dengan pengakuan tersebut mereka tetap
[364]
menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.

Tauhid Uluhiyyah

Tauhid Uluhiyyah adalah : Pengesaan Allah subhaanahu wa ta’ala dalam hal ibadah dengan
penuh ketaatan dan rendah diri serta cinta pada setiap peribadatan tanpa menyekutukan-
Nya dengan sesuatu apapun.

Dalil tentang Tauhid Uluhiyyah di antaranya adalah firman Allah subhaanahu wa ta’ala:

َ ‫ْال َحمْ ُد هَّلِل ِ َربِّ ْال َعالَم‬


‫ِين‬

”Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” [QS. Al-Fatihah : 2].

Lafadh Allah maknanya adalah Al-Ma’luh (yang disembah) dan Al-Ma’bud (Yang diibadahi).
Dan juga firman Allah :

ُ‫ك َنسْ َتعِين‬


َ ‫د َوإِيَّا‬-ُ ‫ك َنعْ ُب‬
َ ‫إِيَّا‬

”Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan” [QS. Al-Fatihah : 5].

Kemudian juga firman-Nya :

َ ‫َيا أَ ُّي َها ال َّناسُ اعْ ُب ُدوا َر َّب ُك ُم الَّذِي َخلَ َق ُك ْم َوالَّذ‬
َ ُ‫ِين مِنْ َق ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َت َّتق‬
‫ون‬

”Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa” [QS. Al-Baqarah : 21].

Juga firman-Nya :

‫ ُد ُه ْم إِال‬-‫ا َنعْ ُب‬--‫ا َء َم‬--‫ ِه أَ ْولِ َي‬-‫ ُذوا مِنْ ُدو ِن‬-‫ِين ا َّت َخ‬
َ ‫ الِصُ َوالَّذ‬-‫ ِّدينُ ْال َخ‬-‫ين * أَال هَّلِل ِ ال‬
َ ‫ ِّد‬-‫اب ِب ْال َح ِّق َفاعْ ُب ِد هَّللا َ م ُْخلِصًا َل ُه ال‬ َ ‫إِ َّنا أَ ْن َز ْل َنا إِلَي‬
َ ‫ْك ْال ِك َت‬
‫لِ ُي َقرِّ بُو َنا إِلَى هَّللا ِ ُز ْل َفى‬

”Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an) dengan (membawa)


kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” [QS. Az-
Zumar : 2-3].

Dan firman Allah subhaanahu wa ta’ala :

‫الز َكا َة َو َذل َِك دِينُ ْال َق ِّي َم ِة‬


َّ ‫ين ُح َن َفا َء َو ُيقِيمُوا الصَّال َة َوي ُْؤ ُتوا‬ َ ِ‫َو َما أ ُ ِمرُوا إِال لِ َيعْ ُب ُدوا هَّللا َ م ُْخلِص‬
َ ‫ين َل ُه ال ِّد‬

”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka
mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”[QS.
Al-Bayyinah : 5].

[365]
Ayat-ayat di atas menjelaskan kepada kita agar kita mengesakan Allah dalam beribadah.
Oleh sebab itu dilarang menyembah selain Allah baik dia seorang Nabi, wali, raja, atau
malaikat sekalipun.

Yang dimaksud dengan ibadah adalah segala aktifitas kehidupan yang Allah ridlai dan Allah
cintai baik berupa perkataan atau perbuatan yang lahir maupun yang batin. Ibadah
dibangun di atas tiga hal yang sangat besar dan sangat penting pengaruhnya dalam
perjalanan ibadah seseorang, yaitu : cinta (mahabbah), takut (khauf), dan harapan (raja’).
Cinta kepada Allah dalam beribadah akan membuahkan keikhlasan, takut kepada Allah
akan membawa seseorang untuk menjauhi segala larangan Allahsubhaanahu wa ta’ala dan
membimbingnya untuk selalu taat kepadanya. Sedangkan pengharapan akan
membangkitkan semangat dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya
untuk mendapatkan janji-janji Allah subhaanahu wa ta’ala. Kalau ketiga penggerak hati
tersebut sudah tumbuh dengan kuat di hari seorang hamba, maka akan mudah baginya
untuk mendapatkan ridla dan cinta Allahsubhaanahu wa ta’ala.

Dengan kata lain kalau seseorang masih berbuat maksiat atau suatu hal yang tidak dicintai
dan diridlai Allah berarti kecintaannya dan ketakutannya terhadap Allah sangat rendah,
bahkan dapat dikatakan orang tersebut tidak mengharapkan atau tidak percaya terhadap
janji-janji Allah dan meremehkan ancaman-ancaman Allahsubhaanahu wa ta’ala. Na’uudzu
billahi min-dzaalik.

Dari dalil-dalil dan keterangan di atas dapat diketahui bahwa tauhid ibadah (uluhiyyah)
adalah hakekat makna Laa ilaaha illallaah yang mengandung nafi(peniadaan) dan itsbat
(penetapan). Makna nafi adalah meniadakan segala macam peribadatan kepada selain
Allah bagaimanapun bentuk dan macamnya, atau peniadaan segala macam bentuk
ketuhanan. Sedangkan makna itsbat adalah menetapkan ke-Esa-an Allah dalam beribadah
dengan berbagai bentuk ibadah yang sesuai dengan tuntunan syari’at Islamiyyah yang
telah disampaikan oleh Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam dan penetapan bahwa
tidak ada ilah yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah saja.

Dua kandungan di atas – yaitu nafi dan itsbat – tidak boleh dipisahkan dan harus dipahami
dan diambil keduanya. Karena kalau diambil salah satu saja, tidaklah seseorang dikatakan
muslim. Misalnya, seseorang yang mengambil nafi saja tanpa itsbat, berarti dia seorang
komunis karena dia meniadakan segala macam bentuk ketuhanan tanpa menetapkan
ketuhanan bagi Allah. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang hanya mengambil itsbat
saja tanpa nafi, dia juga bukan seorang muslim. Bahkan dia seorang kafir karena disamping
menetapkan Allah sebagai ilah, ia juga menetapkan selain Allah sebagai ilah. Penyebabnya
adalah karena dia tidak mengingkari tuhan-tuhan selain Allah sebagaimana orang-orang
kafir Quraisy yang disamping mengakui Allah sebagai Rabb alam semesta, juga mengakui
adanya sesembahan selain Allah seperti Latta, ’Uzza, dan lain-lain. Dengan perbuatan
mereka ini, Allah dan Rasul-Nya menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir.

Oleh sebab itu tidaklah cukup seseorang mengambil nafi saja tanpa itsbat, begitu pulaitsbat
saja tanpa nafi. Kalau seseorang mengakui dirinya seorang muslim, maka wajib baginya
untuk mengambil, meyakini, dan mengamalkan keduanya secara bersamaan tanpa
memisah-misahkannya dalam rangka membenarkan persaksian (syahadat) Laa ilaaha
illallaah (tiada Rabb yang berhak untuk diibadahi dengan benar kecuali Allah).
[366]
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keesaan Allah dalam uluhiyyah-Nya adalah firman
Allah subhaanahu wa ta’ala :

ِ ‫ُول إِال ُنوحِي إِلَ ْي ِه أَ َّن ُه ال إِلَ َه إِال أَ َنا َفاعْ ُب ُد‬
‫ون‬ َ ِ‫َو َما أَرْ َس ْل َنا مِنْ َق ْبل‬
ٍ ‫ك مِنْ َرس‬

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah
olehmu sekalian akan Aku” [QS. Al-Anbiyaa’ : 25].

Juga firman-Nya :
َّ ‫َولَ َق ْد َب َع ْث َنا فِي ُك ِّل أ ُ َّم ٍة َرسُوال أَ ِن اعْ ُب ُدوا هَّللا َ َواجْ َت ِنبُوا‬
َ ‫الطا ُغ‬
‫وت‬

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut (= segala sesuatu yang diibadahi selain Allah
dan dia ridla dengan peribadatannya tersebut)” [QS. An-Nahl : 36].

Juga firman-Nya :

‫َش ِه َد هَّللا ُ أَ َّن ُه ال إِلَ َه إِال ه َُو َو ْال َمال ِئ َك ُة َوأُولُو ْالع ِْل ِم َقا ِئمًا ِب ْالقِسْ طِ ال إِلَ َه إِال ه َُو ْال َع ِزي ُز ْال َحكِي ُم‬

”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia,
Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia,
Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [QS. Ali-’Imran : 18].

Ayat-ayat di atas adalah dalil yang sangat jelas akan keesaan Allah dalam haluluhiyyah-Nya.

Kerancuan (syubhat) yang biasa dilontarkan oleh sebagian manusia adalah pernyataan
mereka : ”Bagaimana kamu menyatakan tidak ada Rabb (Tuhan) selain Allah sedangkan
Allah sendiri menyatakan keberadaan tuhan-tuhan selain-Nya ? sebagaimana firman-Nya :

َ ‫َوال َت ْد ُع َم َع هَّللا ِ إِلَهًا‬


‫آخ َر‬

”Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain”[QS. Al-
Qashash : 88].

Juga firman-Nya :

‫ان لَ ُه‬ َ ‫َو َمنْ َي ْد ُع َم َع هَّللا ِ إِلَهًا‬


َ ‫آخ َر ال بُرْ َه‬

”Dan barang siapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu
dalil pun baginya tentang itu” [QS. Al-Mukminun : 117].

Juga firman-Nya :

ِ ‫ون هَّللا‬ ْ ‫َف َما أَ ْغ َن‬


َ ‫ت َع ْن ُه ْم آلِ َه ُت ُه ُم الَّتِي َي ْدع‬
ِ ‫ُون مِنْ ُد‬
”Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang
mereka seru selain Allah” [QS. Huud : 101].

Jawaban atas kerancuan tersebut :

[367]
Pertama, yang perlu diketahui bahwa ketuhanan selain Allah adalah ketuhanan yang bathil
atau tidak hak (benar), walaupun tuhan-tuhan tersebut diibadahi atau disembah oleh
orang-orang yang bodoh dan sesat. Sesungguhnya tuhan-tuhan tersebut adalah sesuatu
yang tidak pantas untuk diibadahi sebagaimana firman-Nya :

َ ‫ك ِبأَنَّ هَّللا َ ه َُو ْال َح ُّق َوأَنَّ َما َي ْدع‬


‫ُون مِنْ ُدو ِن ِه ْالبَاطِ ُل‬ َ ِ‫َذل‬

”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak dan sesungguhnya apa saja
yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil” [QS. Luqman : 30].

Kedua, sebutan tuhan bagi tuhan-tuhan selain Allah adalah sekedar penamaan saja
sebagaimana firman-Nya subhaanahu wa ta’ala :

ٍ ‫ِي إِال أَسْ َما ٌء َس َّم ْي ُتمُو َها أَ ْن ُت ْم َوآ َباؤُ ُك ْم َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ ِب َها مِنْ س ُْل َط‬
‫ان‬ َ ‫إِنْ ه‬

”Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-
adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya”[QS.
An-Najm : 23].

Dua macam tauhid di atas (Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah) tidak ada yang
menentangnya dan tidak ada pula yang mengingkarinya dari kalangan ahli kiblat yang
menyandarkan diri kepada Islam, kecuali orang yang berlebih-lebihan dari kalangan Syi’ah
Rafidlah.

Mereka menyatakan bahwa ’Ali bin Abi Thalib adalah tuhan sebagaimana yang dilakukan
oleh ’Abdullah bin Saba’ (pemimpin Syi’ah yang pertama) yang datang kepada ’Ali bin Abi
Thalib dan berkata kepadanya : ”Kamu (wahai ’Ali) adalah Allah yang sebenarnya”. Akan
tetapi ’Abdullah bin Saba’ adalah Yahudi yang berpura-pura masuk Islam. Dengan
pengakuan ingin melindungi keluarga Rasulullah, dia berusaha menghancurkan Islam dari
dalam. Perbuatan ’Abdullah bin Saba’ ini diingkari oleh ’Ali bin Abi Thalib dan beliau tidak
ridla kepada siapa saja yang menempatkan dirinya lebih dari semestinya. Karena beliau
juga seorang hamba Allah, bahkan di atas mimbar Kuffah beliau berkata : ”Sebaik-baik
umat setelah Nabi-Nya (shallallaahu ’alahi wa sallam) adalah Abu Bakar, kemudian ’Umar”.
’Ali juga memerintahkan untuk membakar ’Abdullah bin Saba’ dan pengikut-pengikutnya.
Yang jelas, kedua macam tauhid di atas tidak ada yang mengingkari secara terang-terangan
dari ahli kiblat (kaum muslimin) walaupun ada dari kalangan ahli bid’ah yang
mengingkarinya dengan berbagai penakwilan (penyelewengan makna).

Tauhid Asmaa’ wa Shifat

Tauhid Asmaa’ wa Shifat Allah adalah : Berkeyakinan dengan keyakinan yang pasti tentang
nama-nama Allah, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya yang termuat dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah, tanpa merubah-rubah atau menolak atau menanyakan bagaimana
hakekatnya atau menyerupakan dengan makhluk-Nya. Dalil tentang Tauhid Asmaa’ wa
Shifaat ini adalah firman Allah subhaanahu wa ta’ala :

‫ًًّيا َما َت ْدعُوا َفلَ ُه األسْ َما ُء ْالحُسْ َنى‬-َّ‫قُ ِل ْادعُوا هَّللا َ أَ ِو ْادعُوا الرَّ حْ َم َن أ‬

Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu
seru, Dia mempunyai al asmaaulhusna (nama-nama yang terbaik)” [QS. Al-Israa’ : 110].
[368]
Juga firman-Nya :

‫ًًّيا‬-ّ‫َه ْل َتعْ لَ ُم لَ ُه َس ِم‬

”Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia)?” [QS. Maryam : 65].

Juga firman-Nya :

‫هَّللا ُ ال إِلَ َه إِال ه َُو لَ ُه األسْ َما ُء ْالحُسْ َنى‬

”Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Dia mempunyai al
asmaul-husna (nama-nama yang baik)” [QS. Thaha : 8].

Juga firman-Nya :

‫ْس َكم ِْثلِ ِه َشيْ ٌء َوه َُو ال َّسمِي ُع ْالبَصِ ي ُر‬


َ ‫لَي‬

”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].

Ayat-ayat di atas merupakan hujjah yang menyatakan tentang tauhid asma’ wa shifatAllah.

Dalam mengimani nama-nama Allah subhaanahu wa ta’ala ada beberapa kaedah, antara
lain :

Semua nama Allah adalah terbaik dan berada dalam puncak kebaikan. Karena nama Allah
mengandung atau menunjukkan sifat-Nya yang sempurna, tidak ada cacat atau kekurangan
ْ ”Yang Maha Hidup”, salah satu dari nama Allah
dari segi apapun. Seperti Al-Hayyu ( ُّ‫)ال َحي‬
yang mengandung arti bahwa Allah hidup secara mutlak, tidak didahului oleh ketiadaan
dan tidak pula berakhir dengan kebinasaan. Dia hidup dengan kesempurnaan-Nya.

Nama Allah adalah nama sekaligus sifat bagi-Nya subhaanahu wa ta’ala. (Al-Hayyu,
Al-’Aliim, As-Samii’) ”Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Mendengar” ;
semua adalah nama untuk Dzat yang satu, yaitu Allahsubhaanahu wa ta’ala. Nama-nama
tersebut mengandung makna dan sifat yang berbeda-beda, karena makna Al-Hayyu lain
dengan makna Al-’Aliimdan lain pula dengan makna As-Samii’. Dan begitu pula nama-nama
Allah yang lain. Nama Al-Hayyu mengandung sifat al-hayat (hidup), Al-’Aliimmengandung
sifat al-’ilmu (ilmu/mengetahui), As-Samii’ mengandung sifatas-sam’u (mendengar). Dan
begitu pula nama-nama Allah yang lain.

Nama Allah yang mengandung sifat Muta’addi (sifat yang pengaruhnya mengenai makhluk-
Nya), ia mengandung tiga perkara :

a. Penetapan nama tersebut untuk Allah.

b. Penetapan sifat yang terkandung dalam nama tersebut bagi-Nya.

c. Penetapan hukum dan pengaruh-Nya.

Contohnya : As-Samii’ – salah satu nama Allah yang artinya Yang Maha Mendengar. Lafadh
tersebut ditetapkan sebagai nama Allah dan ditetapkan pula sebagai sifat Allah. Adapun

[369]
hukum dan pengaruhnya adalah Dia mendengar apa saja, baik yang tersembunyi ataupun
yang tampak pada makhluk-Nya.

Sedangkan jika nama Allah menunjukkan sifat yang Lazim (yang tidak berpengaruh kepada
yang lainnya), maka ia menunjukkan dua perkara :

– Penetapa nama bagi-Nya.

– Penetapan sifat yang terkandung dalam nama tersebut untuk-Nya.

Seperti nama Al-Hayyu yang berarti Yang Maha Hidup. Maka lafadh Al-Hayyu ditetapkan
sebagai nama Allah dan sekaligus sifat bagi Allah semata.

Nama-nama Allah menunjukkan atas Dzat dan sifat-Nya sesuai dengan kandungannya,
nama dan sifat itu akan terus ada dan tidak pernah sirna, seperti : Al-Khaaliq, salah satu
nama Allah yang artinya Yang Maha Menciptakan – menunjukkan atas Dzat dan sifat Allah
yang mengandung makna bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia tetap serta
terus-menerus sebagai Sang Pencipta.

Nama-nama Allah semuanya harus diambil dari Al-Qur’an atau As-Sunnah. Tidak ada
tempat bagi akal untuk menentukannya. Oleh karena itu janganlah menambah atau
menguranginya, karena nama-nama Allah adalah merupakan permasalahan ilmu yang
ghaib, dan hanya Allah sajalah yang mengetahuinya.

Nama-nama Allah tidak terbatas dengan jumlah tertentu sebagaimana diterangkan dalam
hadits yang masyhur tentang doa ketika dalam kesedihan :

َ ‫ب عِ ْن‬
‫دَك‬ َ ْ‫ك أَ ِو اسْ َتأْ َثر‬
ِ ‫ت ِب ِه فِي عِ ْل ِم ْال َغ ْي‬ َ ‫ك أَ ْو أَ ْن َز ْل َت ُه فِي ِك َت ِاب‬
َ ِ‫ك أَ ْو َعلَّ ْم َت ُه أَ َحداً مِنْ َخ ْلق‬
َ ‫ْت ِب ِه َن ْف َس‬ َ ُ‫أَسْ أَل‬
َ َ‫ك ِب ُك ِّل اسْ ٍم ه َُو ل‬
َ ‫ك َس َّمي‬

”(Ya Allah), aku minta dengan (menyebut) segala nama yang Engkau miliki, yang Engkau
namakan diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan pada kitab-Mu, atau Engkau ajarkan
pada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau tentukan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-
Mu…” [HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim].

Dalil ini menunjukkan ketidakterbatasan nama Allah. Adapun nama Allah yang disebutkan
dalam hadits 99 (sembilan puluh sembilan) nama tidak menunjukkan batas akhir. Hadits
yang menunjukkan perincian atau penyebutan nama-nama-Nya yang berjumlah 99 adalah
hadits yang lemah(dla’if).

Haram bagi seseorang untuk mengingkari, menolak sifat-sfat Allah, atau menyerupakan
dengan makhluk-Nya.

Tentang masalah sifat-sfat Allah, Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah mengimaninya tanpa merubah


(tahrif), mengingkari (ta’thil), menanyakan bagaimana (takyif), dan tidak pula
menyerupakan (tasybih) dengan sifat makhluk-Nya.

1. Tanpa tahrif (merubah) artinya tdak merubah makna yang terkandung dalam sifat
tersebut. Seperti perkataan Jahmiyyah tentang sifat istiwaa’ (bersemayam), mereka rubah
menjadi istaulaa’ (menguasai). Juga perkataan sebagian ahlul-bid’ah tentang makna al-
[370]
ghadlab (marah) diartikan dengan iradatul-intiqaam (kehendak untuk menyiksa); dan
makna ar-rahmah dirubah menjadi iradatul-in’am (kehendak untuk memberi nikmat).
Semuanya ini tidak benar. Yang benar adalah bahwa maknaistiwaa’ bagi Allah adalah
bahwa Allah mempunyai sifat ketinggian dan berada dalam ketinggian yang sesuai dengan
keagungan dan kemuliaan-Nya. Begitu pula dengan al-ghadlab dan ar-rahmah, adalah sifat
bagi Allah secara hakekat sesuai dengan kemuliaan Allah dan keagungan-Nya.

2. Tanpa ta’thil (menolak) adalah tidak mengingkari sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pengingkaran atas hal ini adalah seperti yang dilakukan
oleh Jahmiyyah dan semisalnya. Perbuatan mereka merupakan puncak kebatilan. Padahal
dalam Al-Qur’an dan As-Sunah banyak sekali diterangkan sifat-sifat Allah yang sesuai
dengan keagungan dan kebesaran-Nya.

3. Tanpa tasybih (menyerupakan) adalah tidak menyerupakan sifat-sifat Allah dengan


sifat-sifat makhluk-Nya. Untuk itu kita tidak boleh mengatakan bahwa sifat Allah itu adalah
seperti sifat kita. Hal itu dikarenakan Allah sudah menyatakan tidak ada yang serupa
dengan-Nya sesuatupun.

4. tanpa takyif (menanyakan bagaimananya) adalah tidak menanyakan bagaimana


hakekatnya. Seperti menanyakan bagaimana istiwaa’-nya Allah ? Atau menanyakan
bagaimana wajah dan tangan Allah ? Yang seharusnya kita lakukan adalah kita beriman
akan keberadaan sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an maupun As-Sunnah
sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa menanyakan bagaimana hakekat sifat itu, karena
Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mengkhabarkan bagaimana hakekat sifat tersebut.

Pedoman yang harus dipegang oleh setiap muslim adalah :

Semua sifat Allah adalah sifat yang paling sempurna, tidak memiliki kekurangan sama
sekali dari segi apapun.

Sifat Allah dibagi menjadi dua :

Sifat tsubutiyyah, yaitu sifat yang ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya dalam Al-Qur’an
atau melalui lisan Rasul-Nya. Semuanya adalah sifat yang sempurna, tidak ada unsur
kekurangan sama sekali.

Sifat salbiyyah, yaitu sifat yang di-nafi-kan (ditiadakan) oleh Allah untuk diri-Nya, baik
peniadaan tersebut termuat dalam Al-Qur’an mapun As-Sunnah. Semuanya yang di-nafi-
kan tersebut berupa sifat-sifat kekurangan seperti sifat mati, bodoh, lemah, dan lain-lain.
Untuk itu wajib bagi kaum muslimin untuk meniadakan sifat-sifat tersebut dari Allah
subhaanahu wa ta’ala dan menetapkan sifat kesempurnaan lawan sifat tersebut.

Semua sifat Allah harus berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada tempat bagi akal untuk
menentukannya.

[371]
Dari dalil-dalil pada pembagian di atas dapat diketahui oleh siapa saja tentang kebenaran
pembagian tauhid menjadi tiga, yaitu :

– Tauhid Rububiyyah.

– Tauhid Uluhiyyah.

– Tauhid Asmaa’ wa Shifat.

Orang yang mengingkari pembagian tauhid ini adalah orang yang mengingkari sesuatu
tanpa ilmu dan berbicara atas nama Allah tanpa didasari ilmu. Karena orang yang
mempunyai ilmu sedikit saja dari kalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dimana saja ia
berada dan kapan saja, mesti akan mengetahui kebenaran pembagian tersebut. Seseorang
tidak dikatakan beriman kalai ia tidak mengimani tiga macam tauhid di atas. Barangsiapa
mengimani tauhid rububiyyah saja, maka ia belum dikatakan mukmin. Demikian juga kalau
dia hanya mengimani tauhid uluhiyyah atau tauhid asmaa’ wa shifaat saja. Jadi, seseorang
dikatakan mukmin kalau dia mengimani ketiga macam tauhid di atas.

SIKAP AHLUS SUNNAH DALAM MASALAH NAMA DAN


SIFAT ALLAH

Pembicaraan tentang Nama-nama Allâ h Azza wa Jalla dan Sifat-sifat-Nya adalah satu bagian
dari pembicaraan tentang Dzat Allâ h Azza wa Jalla dan ini termasuk perkara ghaib. Oleh
karena itu, manusia tidak mungkin mengetahuinya secara rinci kecuali dengan wahyu.
Karena kemampuan akal manusia tidak akan bisa mengetahui segala hal tentang Allâ h Azza
wa Jalla , sebagaimana firman-Nya:

‫ون ِب ِه عِ ْلمًا‬
َ ‫ِيط‬ ِ ‫َيعْ لَ ُم َما َبي َْن أَ ْيد‬
ُ ‫ِيه ْم َو َما َخ ْل َف ُه ْم َواَل ُيح‬

Dia (Allâ h) mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang
mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. [Thaha/20: 110]

Jadi, pembicaraan tentang Nama-nama Allâ h Subhanahu wa Ta’ala dan Sifat-sifat-Nya


adalah adalah tauqifiyyah, artinya: berhenti pada keterangan di dalam al-Qur’an dan as-
Sunnah, tidak ditambah, tidak dikurangi. Karena kalau kita menambahi, berarti kita telah
berbicara tanpa ilmu. Allâ h Azza wa Jalla berfirman:

[372]
‫ان َع ْن ُه َمسْ ُئواًل‬ َ ‫ص َر َو ْالفُ َؤا َد ُك ُّل أُو ٰلَ ِئ‬
َ ‫ك َك‬ َ ‫َّمْع َو ْال َب‬
َ ‫ك ِب ِه عِ ْل ٌم ۚ إِنَّ الس‬ َ ‫َواَل َت ْقفُ َما لَي‬
َ َ‫ْس ل‬

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya. [Al-Isrâ ’/17: 36]

Dan jika kita mengurangi, berarti kita menyembunyikan atau mengingkari Nama yang telah
Allâ h Azza wa Jalla beritakan kepada kita, dan itu merupakan kejahatan terhadap hak Allâ h
Azza wa Jalla . Allâ h Azza wa Jalla berfirman:

‫ون‬ َ ‫ب ۙ أُو ٰلَئ‬


َ ‫ِك َي ْل َع ُن ُه ُم هَّللا ُ َو َي ْل َع ُن ُه ُم الاَّل عِ ُن‬ ِ ‫اس فِي ْال ِك َتا‬ ِ ‫ُون َما أَ ْن َز ْل َنا م َِن ْال َب ِّي َنا‬
ِ ‫ت َو ْال ُه َد ٰى مِنْ َبعْ ِد َما َب َّي َّناهُ لِل َّن‬ َ ‫إِنَّ الَّذ‬
َ ‫ِين َي ْك ُتم‬

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada
manusia dalam al-Kitab, mereka itu dila’nati Allâ h dan dila’nati (pula) oleh semua (mahluk)
yang dapat mela’nati. [Al-Baqarah/2:159]

Oleh karena itu, kita wajib beradab dalam masalah ini dan mencukupkan diri dengan
mengenal Nama dan Sifat Allâ h lewat wahyu-Nya.

SIKAP AHLUS SUNNAH BERKAITAN DENGAN NAMA DAN SIFAT ALLAH SUBHANAHU
WA TA’ALA

Jalan yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam pembicaraan tentang Nama-
nama Allâ h Azza wa Jalla dan Sifat-sifat-Nya terangkum dalam tiga perkara:

Pertama: Menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allâ h dan Rasul-Nya, dengan tanpa tahrîf,
ta’thîl, takyîf, juga tanpa tamtsîl.

Ahlussunnah mengimani semua sifat-sifat Allâ h yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan as-
Sunnah yang shahih, dan mereka juga mengimani bahwa sifat-sifat itu adalah sifat yang
sebenarnya yang sesuai dengan keagungan Allâ h Azza wa Jalla serta tidak menyerupai sifat
makhluk sama sekali.

Semua sifat itu adalah sifat kesempurnaan, tidak ada sisi kekurangan sama sekali.

Mereka juga mengimani semua Nama-nama Allâ h al-husna (yang paling indah), yang
ditetapkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Dan mengimani bahwa setiap
nama memuat sifat Allâ h Azza wa Jalla , seperti nama Allâ h Azza wa Jalla al-‘Aziz memuat
sifat ‘izzah (mulia, perkasa, kuasa). Nama al-Qawi memuat sifat quwah (kekuatan) dan
seterusnya.

Kedua: Meniadakan apa yang ditiadakan oleh Allâ h dan Rasul-Nya dari diri-Nya, dengan
meyakini kesempurnaan lawan sifat yang ditiadakan itu.

Semua sifat yang ditiadakan oleh Allâ h Azza wa Jalla dari diri-Nya atau yang ditiadakan
oleh Rasul-Nya dari diri Allâ h Azza wa Jalla adalah sifat kekurangan. Dan maksud dari
meniadakan semua sifat kekurangan itu dari Allâ h Azza wa Jalla adalah bukan hanya
meniadakan sifat-sifat tersebut tapi harus disertai dengan adanya penetapan sifat yang
[373]
menjadi lawan dari sifat kekurangan tersebut secara sempurna. Karena jika hanya
menafikan atau meniadakan sifat-sifat kekurangan itu dari Allâ h Azza wa Jalla tersebut
tidak menunjukkan kesempurnaan Allâ h Azza wa Jalla , namun hanya menetapkan sifat
terpuji yang ada padanya.

Di antara sifat yang Allâ h Azza wa Jalla tiadakan dari diri-Nya adalah sifat zhulm (berlaku
zhalim). Peniadaan sifat ini berarti (pertama) meniadakan sifat zhulm itu sendiri dari Allâ h
Azza wa Jalla dan (kedua) menetapkan bahwa yang ada pada Allah adalah lawan dari sifat
zhulm secara sempurna, yaitu sifat maha adil.

Allâ h Azza wa Jalla juga meniadakan dari diri-Nya sifat lughû b (lelah atau capek).
Peniadaan sifat ini berarti (pertama) meniadakan sifat lughû b (lelah atau capek) itu sendiri
dari Allâ h Azza wa Jalla dan (kedua) menetapkan bahwa yang ada pada Allah adalah lawan
dari sifat lughû b secara sempurna, yaitu sifat maha kuat atau maha perkasa.

Dan begitu seterusnya, berkaitan dengan sifat-sifat yang ditiadakan oleh Allâ h dan Rasul-
Nya dari diri-Nya.

Ketiga: Tentang sifat-sifat yang tidak ada dalil penetapan atau peniadaan dari Allâ h dan
Rasul-Nya, dan manusia berselisih tentangnya, maka sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah
dalam hal ini adalah tawaqquf pada lafazhnya, yaitu mereka tidak menetapkannya dan
tidak meniadakannya. Adapun maknanya, maka perlu perincian. Jika yang diinginkan
adalah kebatilan, maka Ahlus Sunnah menolaknya dan jika yang dimaksudkan adalah
kebenaran, maka Ahlus Sunnah menerimanya.

Contohnya adalah sifat jism (badan), haiz (batas), jihat (arah) dan semacamnya.

Jika ada seseorang bertanya, “Apakah kamu menetapkan jihat (arah) untuk Allâ h? Untuk
menanggapi pertanyaan ini:

Pertama: Kita jawab bahwa kami tidak menetapkan dan tidak meniadakan lafazh jihat
(arah) sebagai sifat Allâ h Azza wa Jalla , karena tidak ada dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah
yang menetapkan atau yang meniadakannya.

Kedua: kita tanyakan kepadanya, ‘Apakah maksud anda dengan kata jihat (arah) untuk
Allâ h?’

Jika dia menjawab, “Yang aku maksudkan Adalah Allâ h berada di suatu tempat yang
meliputinya (dan memerlukan tempat itu-red)”, maka jawabannya adalah bahwa ini
kebatilan, Allâ h Maha Suci darinya.

Jika dia menjawab, “Yang aku maksudkan bahwa Allâ h berada di atas seluruh makhluk,
terpisah dengan makhluk-Nya, dan bahwa Dia berada di jihat (arah) atas secara mutlak”.

Maka jawabannya adalah ini sebuah kebenaran dan wajib diimani. Tetapi lafazh jihat
(arah) adalah lafazh yang tidak ada dalilnya, maka seharusnya ditinggalkan.

Jika penanya bermaksud mencari petunjuk, maka itu bagus. Namun jika maksud penanya
adalah menolak sifat-sifat yang ditetapkan oleh dalil-dalil syari’at di dalam al-Qur’an dan
[374]
as-Sunnah, maka ini merupakan kesalahan, dia wajib bertaubat darinya. [Lihat: Majmû ’
Fatâ wâ Syaikhul Islam, 5/299, 366; Syarah ath-Thahawiyah, hlm. 9; dll]

DALIL-DALIL SIKAP AHLUS SUNNAH

Jalan yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah Nama-nama Allâ h
Subhanahu wa Ta’ala dan Sifat-sifat-Nya ini merupakan jalan yang wajib diikuti, jalan
tengah antara ahli ta’thîl (orang-orang yang menolak keberadaan sifat-sifat Allâ h Azza wa
Jalla ) dengan ahli tamtsîl (orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allâ h Azza wa Jalla
dengan sifat makhluk). Kebenaran jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini ditunjukkan oleh
dalil akal, wahyu, dan ijma’ (kesepakatan Salaf)

DALIL AKAL
Pembicaraan tentang apa yang wajib, apa yang boleh, dan apa yang mustahil bagi Allâ h
Azza wa Jalla , termasuk perkara ghaib. Oleh karena itu, manusia tidak mungkin
mengetahuinya secara rinci kecuali dengan wahyu. Jadi dalam masalah ini, kita wajib
mengikuti wahyu. Yaitu dengan menetapkan apa yang ditetapkan oleh wahyu, menolak apa
yang ditolak oleh wahyu, serta mendiamkan (tidak berbicara tentang) apa yang didiamkan
oleh wahyu.

DALIL WAHYU

Di antaranya:

Firman Allâ h Azza wa Jalla :

َ ُ‫ون فِي أَسْ َما ِئ ِه ۚ َسيُجْ َز ْو َن َما َكا ُنوا َيعْ َمل‬
‫ون‬ َ ‫َوهَّلِل ِ اأْل َسْ َما ُء ْالحُسْ َن ٰى َف ْادعُوهُ ِب َها ۖ َو َذرُوا الَّذ‬
َ ‫ِين ي ُْل ِح ُد‬

Hanya milik Allâ h asmâ -ul husna (nama-nama yang paling indah), maka berdoa-lah
kepada-Nya dengan menyebut asmâ -ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. [Al-A’râ f/7:180]

Ayat ini menunjukkan wajibnya menetapkan Nama-nama Allâ h al-husna dengan tanpa
tahrîf (merubah-rubah), ta’thîl (menolak), serta tanpa tamtsîl (menyerupakan-Nya dengan
makhluk). Karena tiga perkara ini termasuk ilhâ d (penyimpangan dalam masalah Nama-
nama Allâ h Azza wa Jalla ).

Firman Allâ h Azza wa Jalla :

‫ْس َكم ِْثلِ ِه َشيْ ٌء ۖ َوه َُو ال َّسمِي ُع ْالبَصِ ي ُر‬


َ ‫لَي‬

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Melihat. [Asy-Syura/42: 11]

Ayat ini menunjukkan wajibnya menolak tamtsîl (penyerupaan Allâ h Azza wa Jalla dengan
makhluk), dan wajib menetapkan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sifat-
sifatNya.

[375]
Firman Allâ h Subhanahu wa Ta’ala :
‫ان َع ْن ُه َمسْ ُئواًل‬ َ ‫ص َر َو ْالفُ َؤا َد ُك ُّل أُو ٰلَ ِئ‬
َ ‫ك َك‬ َ ‫َّمْع َو ْال َب‬
َ ‫ك ِب ِه عِ ْل ٌم ۚ إِنَّ الس‬ َ ‫َواَل َت ْقفُ َما لَي‬
َ َ‫ْس ل‬

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya. [Al-Isrâ ’/17: 36]

Ayat ini menunjukkan wajibnya kita menolak takyîf (penyerupaan Allâ h Azza wa Jalla
dengan makhluk), dan kita wajib tawaqquf (diam) dalam perkara yang tidak ditetapkan
dan tidak ditolak dalam agama kita.

[Lihat: Fath Rabbil Bariyyah bi Talkhîsh al-Hamawiyyah, yang dicetak bersama Majmû ’
Fatâ wa wa Rasâ il, 4/19-24, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin]

IJMA’ SAHABAT

Jika umat Islam ijma’ (bersepakat) dalam suatu masalah, maka kesepakatan itu merupakan
kebenaran. Dalam masalah yang sedang kita bicarakan ini, para Sahabat Nabi g dan para
Ulama setelahnya telah ijma’ dalam masalah wajibnya mengimani sifat-sifat Allâ h Azza wa
Jalla yang diberitakan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan wajibnya meyakini bahwa sifat-
sifat itu adalah sifat yang sebenarnya, bukan kiasan (majaz).

Ini dinyatakan oleh para Ulama terkemuka, antara lain al-Hafizh Ibnu Abdil Barr al-
Andalusi al-Mâ liki (lahir th 368 H). Beliau rahimahullah berkata:

“Ahlus Sunnah bersepakat mengakui semua sifat-sifat Allâ h Azza wa Jalla yang disebutkan
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, juga mengimaninya, dan memahaminya sebagai hakekat,
bukan majaz (kiasan). Tetapi mereka tidak menggambarkannya sama sekali, dan tidak
membatasi padanya dengan sifat yang terbatas. Adapun Ahli bid’ah, Jahmiyyah, Mu’tazilah,
dan Khawarij, semua mengingkarinya, memahaminya sebagai hakekat. Mereka menyangka
bahwa orang yang mengakui sifat-sifat Allâ h sebagai Musyabbihah (golongan yang
menyerupakan Allâ h dengan makhluk). Tetapi mereka ini (yaitu orang-orang yang
mengingkari sifat-sifat Allâ h-pen) menurut orang-orang yang mengakui sifat-sifat Allâ h
adalah orang-orang yang meniadakan Allâ h Yang diibadahi. Yang benar adalah apa yang
dikatakan oleh orang-orang yang berkata berdasarkan apa yang dikatakan oleh Kitab Allâ h
dan Sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah para imam al-Jama’ah, segala puji milik Allâ h”.
[Kitab at-Tamhîd, 7/145]

Demikian juga dikatakan oleh al-Hâ fizh Abul Qâ sim al-Ash-bihani (lahir th 457 H):

“Yang ada dalam kitab Allâ h atau diriwayatkan (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
dengan sanad-sanad yang shahih, tentang sifat-sifat (Allâ h), maka jalan Salaf adalah
menetapkannya dan membiarkannya sesuai dengan zhahirnya, dan menolak (gambaran)
bentuknya. Karena pembicaraan tentang Sifat-sifat Allâ h adalah satu bagian dari
pembicaraan tentang Dzat Allâ h. Dan menetapkan Dzat Allâ h adalah menetapkan

[376]
keberadaan, bukan menetapkan bentuk, demikian juga tentang sifat-sifat Allâ h”. (al-Hujjah
fii Bayâ nil Mahajjah, 1/188-189)

PENYIMPANGAN KHALAF TIDAK DIANGGAP

Ijma’ yang sudah terjadi di zaman dahulu adalah haq, jika ada penyimpangan dari orang-
orang yang datang kemudian, maka penyimpangan itu adalah kesalahan. Kaum Muslimin
harus mengikuti jalan orang-orang shalih yang telah terdahulu.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam kitab tafsirnya, ketika menjelaskan
firman Allâ h Subhanahu wa Ta’ala :

ِ ْ‫ُث َّم اسْ َت َو ٰى َعلَى ْال َعر‬


‫ش‬

Lalu Dia (Allâ h) berada di atas ‘Arsy [Al-A’raaf/7: 54]

“Dalam permasalahan ini banyak sekali pendapat manusia, (namun-red) bukan di sini
tempat menjabarkannya. Tetapi dalam permasalahan ini yang (harus-red) diikuti adalah
jalan Salafus Shalih: yaitu (imam) Mâ lik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, asy-Syafi’i,
Ahmad bin Hanbal, Ishâ q bin Rahawaih, dan para imam kaum Muslimin yang lain
rahimahumullah, dahulu dan sekarang, yaitu membiarkannya sebagaimana datangnya
(yaitu meyakini apa adanya-pen) dengan tanpa takyîf (menggambarkan), tasybîh
(menyerupakan dengan makhluk) dan tanpa ta’thîl (menolak). Maksud yang segera
ditangkap pada fikiran orang-orang yang menyerupakan sifat Allâ h dengan makhluk
ditolak dari Allâ h, karena tidak ada satupun makhluk-Nya yang menyerupai Allâ h Azza wa
Jalla dan (Allâ h Azza wa Jalla berfirman yang artinya,) “Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat’. [Asy-Syura/42: 11]

Bahkan permasalahan ini adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh para imam,
seperti Imam Nu’aim bin Hammad guru Imam al-Bukahri, ‘Barangsiapa menyerupakan
Allâ h Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya, maka dia telah berbuat kekafiran. Dan
barangsiapa mengingkari apa yang Allâ h Azza wa Jalla sifatkan untuk diri-Nya, maka dia
telah berbuat kekafiran juga’.

Dan menyifati Allâ h Azza wa Jalla dengan sifat yang Allâ h tetapkan untuk diri-Nya atau
disifatkan oleh Rasul-Nya bukanlah tasybîh (menyerupakan Allâ h dengan makhluk).
Barangsiapa menetapkan pada Allâ h Azza wa Jalla semua yang disebutkan di dalam ayat-
ayat yang nyata dan hadits-hadits yang shahih, sesuai dengan keagungan Allâ h Azza wa
Jalla , dan menolak semua sifat kekurangan dari Allâ h Azza wa Jalla , maka dia telah meniti
jalan petunjuk”. [Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim, 3/426-427]

Begitulah kebenaran yang sangat gamblang, berdasarkan keterangan-keterangan al-Qur’an


dan penjelasan para Ulama yang terpandang.

Sesudah kita memahami kebenaran, maka yang ada adalah menerima dan pasrah kepada
kebenaran, karena kebenaran lebih berhak untuk diikuti.

Wallâ hul A’lam

_______

[377]
Footnote

[1] Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâ miyyah,
hlm. 87-96, Penerbit: Darul ‘Ushaimi Lin Nasyr wa Tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin
Abdul ‘Aziz bin Hammaadah al-Jibrin dan beberapa rujkan yang lain.

TERTAWANYA ALLOH

Tertawa (Adl-Dlahik) merupakan salah satu sifat di antara sifat-sifat fi’liyyah


khabariyyah Allah‘azza wa jalla yang ditetapkan berdasarkan hadits-hadits yang shahih, di
antaranya :

،َ‫هَّللا ُ إِلَى َر ُجلَي ِْن يَ ْقتُ ُل أَ َح ُدهُ َما اآْل َخ َر يَ( ْدخُاَل ِن ْال َجنَّة‬ ‫ك‬
ُ ‫يَضْ َح‬ :‫ال‬ َ ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ َر‬
‫ ثُ َّم يَتُوبُ هَّللا ُ َعلَى ْالقَاتِ ِل فَيُ ْستَ ْشهَ ُد‬،ُ‫يُقَاتِ ُل هَ َذا فِي َسبِي ِل هَّللا ِ فَيُ ْقتَل‬

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallampernah bersabda : “Allah tertawa kepada dua orang yang salah satunya membunuh
yang lain, sedangkan kedua-duanya (akhirnya) masuk surga. Orang yang satu berperang di
jalan Allah, lantas ia terbunuh (di tangan laki-laki kedua). Kemudian Allah menerima taubat
si pembunuh (karena masuk Islam), lalu si pembunuh tadi akhirnya juga mati syahid (di
jalan Allah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2826, Muslim no. 1890, An-Nasaa’iy no.
3165, dan yang lainnya].

‫(ل ْال َجنَّ ِة‬


ِ (‫آخ( َر أَ ْه‬ِ ‫ َو‬،‫ار ُخرُو ًج((ا ِم ْنهَ((ا‬ ِ َّ‫ " إِنِّي أَل َ ْعلَ ُم آ ِخ( َر أَ ْه( ِل الن‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس(لَّ َم‬ َ ِ ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬:‫ قَا َل‬،‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َم ْسعُو ٍد‬
‫ فَيَرْ ِج( ُع‬،‫ فَيَأْتِيهَا فَيُ َخيَّ ُل إِلَ ْي ِه أَنَّهَ((ا َمأْل َى‬،َ‫ ْاذهَبْ فَا ْد ُخ ِل ْال َجنَّة‬:ُ‫ك َوتَ َعالَى لَه‬ َ ‫ار‬َ َ‫ فَيَقُو ُل هَّللا ُ تَب‬،‫ار َح ْب ًوا‬ ِ َّ‫ َر ُج ٌل يَ ْخ ُر ُج ِمنَ الن‬،َ‫ُد ُخواًل ْال َجنَّة‬
:ُ‫ فَيَرْ ِج( ُع فَيَقُ((ول‬،‫ فَيَأْتِيهَا فَيُ َخيَّ ُل إِلَ ْي ِه أَنَّهَا َمأْل َى‬:‫ قَا َل‬،َ‫ ْاذهَبْ فَا ْد ُخ ِل ْال َجنَّة‬:ُ‫ك َوتَ َعالَى لَه‬ َ ‫ فَيَقُو ُل هَّللا ُ تَبَا َر‬،‫ يَا َربِّ َو َج ْدتُهَا َمأْل َى‬:ُ‫فَيَقُول‬
:‫(ال‬ َ (َ‫ ق‬،‫َش( َرةَ أَ ْمثَ((ا ِل ال( ُّد ْنيَا‬
َ ‫كع‬ َ (َ‫ أَوْ إِ َّن ل‬،‫ك ِم ْث َل ال ُّد ْنيَا َو َع َش َرةَ أَ ْمثَالِهَ((ا‬
َ َ‫ فَإ ِ َّن ل‬،َ‫ ْاذهَبْ فَا ْد ُخ ِل ْال َجنَّة‬:ُ‫ فَيَقُو ُل هَّللا ُ لَه‬،‫يَا َربِّ َو َج ْدتُهَا َمأْل َى‬

[378]
َ (َ‫ ق‬،ُ‫اج( ُذه‬
:‫(ال‬ ِ ‫َت ن ََو‬ ْ ‫ َحتَّى بَد‬،َ‫ض ِحك‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ُ ‫ لَقَ ْد َرأَي‬:‫ قَا َل‬،‫بِي َوأَ ْنتَ ْال َملِكُ؟‬ ‫ك‬
َ ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬ ُ ‫أَتَضْ َح‬  ْ‫ أَو‬،‫ أَتَ ْس َخ ُر بِي‬:ُ‫فَيَقُول‬
ً‫ك أَ ْدنَى أَ ْه ِل ْال َجنَّ ِة َم ْن ِزلَة‬
َ ‫ َذا‬:ُ‫" فَ َكانَ يُقَال‬

Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam: “Sesungguhnya aku mengetahui penghuni neraka yang keluar darinya, dan
penduduk surga yang paling akhir masuk surga. Yaitu seorang laki-laki yang keluar dari
neraka dalam keadaan merangkak. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman kepadanya :
‘Pergilah dan masuklah ke dalam surga !’. Lalu ia mendatangi surga dan terbayang olehnya
bahwa surga telah penuh. Ia pun kembali dan berkata : ‘Wahai Rabb, aku mendapatinya
sudah penuh’. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman : ‘‘Pergilah dan masuklah ke dalam
surga !’. Lalu ia mendatangi surga dan terbayang olehnya bahwa surga telah penuh. Ia pun
kembali dan berkata : ‘Wahai Rabb, aku mendapatinya sudah penuh’. Allah berfirman
kepadanya : ‘Pergilah dan masuklah ke dalam surga. Sesungguhnya bagimu semisal dunia
dan sepuluh kali lipatnya – atau : Sesungguhnya bagimu sepuluh kali lipat semisal dunia’.
Laki-laki itu berkata : ‘Apakah engkau mengolok-olokku atau menertawakanku, padahal
Engkau adalah Al-Malik (Raja)”. Ibnu Mas’uud berkata : “Sungguh, aku melihat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya”. Ia
berkata : “Oleh karena itu dikatakan, itu adalah penduduk surga yang paling rendah
kedudukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6571 dan Muslim no. 186].

َ‫الص (فِّ يَ ْلفِتُ((ون‬


َّ ‫ " الَّ ِذينَ إِ ْن ي ُْلقَ((وْ ا فِي‬:‫(ال‬
َ (َ‫ض (لُ؟ ق‬ َ ‫الش (هَدَا ِء أَ ْف‬
ُّ ُّ‫ص (لَّى هللاُ َعلَ ْي ( ِه َو َس (لَّ َم أَي‬ َ ‫ي‬َّ ِ‫ أَ َّن َر ُجاًل َس (أ َ َل النَّب‬،‫ار‬ٍ ‫ع َْن نُ َعي ِْم ْب ِن هَ َّم‬
ْ َ
‫ فَاَل‬،‫ َربُّكَ إِلى َع ْب( ٍد فِي ال( ُّدنيَا‬  َ‫ض( ِحك‬ َ َ َّ ْ
ُ ‫ َويَضْ َح‬ ،‫ف ال ُعلى ِمنَ ال َجن ِة‬
َ  ‫ َوإِذا‬،‫إِل ْي ِه ْم َربُّهُ ْم‬ ‫ك‬ َ ْ ُ ْ
ِ ‫ك يَنطلِقونَ فِي الغ َر‬ُ َ ْ َ ُ
َ ِ‫ أولئ‬،‫ُوجُوهَهُ ْم َحتَّى يُ ْقتَلوا‬
ُ
‫اب َعلَ ْي ِه‬َ ‫" ِح َس‬

Dari Nu’aim bin Hammaar : Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada
Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Syuhadaa’ apa yang paling utama ?”.
Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang apabila masuk di barisan
perang/jihad, maka mereka akan memfokuskan wajah-wajah mereka hingga terbunuh.
Mereka itulah orang-orang yang pergi menempati kamar-kamar di surga yang tinggi. Rabb
mereka tertawa kepada mereka. Dan apabila Rabb mu tertawa kepada seorang hamba di
dunia, maka ia kelak tidak akan dihisab” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/287, Sa’iid bin
Manshuur no. 2566, Abu Ya’laa no. 6855, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy
dalam Shahiih At-Targhiib no. 1371].

Para ulama menetapkan sifat tertawa sebagaimana dhahirnya

[Bahkan, dalam hadits Ibnu Mas’uud tentang orang yang paling akhir keluar dari neraka
dan kemudian masuk ke dalam surga, menjelaskan pemahaman Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam dan Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu akan dhahir makna ‘tertawa’ dalam hadits
yang dibawakan :

‫حدثنا عبد هللا حدثني أبي حدثنا يزيد أخبرنا حماد بن سلمة عن ثابت البناني عن أنس بن مالك عن عبد هللا بن مس((عود عن الن((بي‬
‫ ما يصريني منك أي عبدي أيرض((يك أن أعطي((ك من الجن((ة ال((دنيا ومثله((ا معه((ا‬:‫ فيقول عز وجل‬...... :‫صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫ لم‬:‫ أال تس(ألوني لم ض(حكت ق(الوا ل(ه‬:‫ فض(حك عب((د هللا ح(تى ب((دت نواج(ذه ثم ق(ال‬:‫ أتهزؤ بي وأنت رب العزة ق(ال‬:‫ فيقول‬:‫قال‬
‫ لم‬:‫ أال تسألوني لم ضحكت ق((الوا‬:‫ لضحك رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ثم قال لنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫ضحكت قال‬
‫ أتهزؤ بي وأنت رب العزة‬:‫ لضحك الرب حين قال‬:‫ضحكت يا رسول هللا قال‬.

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah
[379]
menceritakan kepada Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, dari Anas bin
Maalik, dari ‘Abdullah bin Mas’uud, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda : “…..Maka Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apa yang memberhentikan-Ku dari
permintaanmu ? Hai hamba-Ku, apakah engkau suka jika Aku berikan kepadamu dunia dan
semisalnya bersamanya ?’. Orang itu menjawab : ‘Apakah Engkau memperolok-olokku
padahal Engkau adalah Rabbul-‘Izzah ?’. Perawi berkata : “Lalu ‘Abdullah (bin Mas’uud)
tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya. Ia berkata : ‘Tidakkah kalian bertanya kepadaku
mengapa aku tertawa ?’. Mereka pun berkata kepadanya : ‘Apa yang membuatmu
tertawa ?’. Ibnu Mas’uud menjawab : ‘(Aku tertawa) karena tertawanya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda kepada
kami : ‘Tidakkah engkau bertanya kepadaku mengapa aku tertawa ?’. Para shahabat pun
bertanya : ‘Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah ?’. Beliau menjawab : “(Aku
tertawa) karena tertawanya Ar-Rabb (Allah) saat  hamba tadi mengatakan : ‘Apakah
Engkau memperolok-olokku padahal Engkau adalah Rabbul-‘Izzah ?” [Diriwayatkan oleh
Ahmad 1/391; sanadnya shahih sesuai dengan Muslim, para perawinya tsiqaat termasuk
perawi Syaikhaan kecuali Hammaad bin Salamah, ia hanya dipakai oleh Muslim saja].] 

tanpa menafikkannya, menta’wilkannya (baca : mentahrifnya), atau menyamakannya


dengan sifat-sifat makhluk. Allah ta’ala berfirman :

ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوه َُو ال َّس ِمي ُع ْالب‬


‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].

Tentang masalah ini, Ibnu Khuzaimah rahimahullah (w. 311 H) berkata :

‫ بال صفة تصف ضحكه جل ثناؤه ال وال يشبه ضحكه بضحك المخلوقين وضحكهم كذلك‬.‫باب ذكر إثبات ضحك ربنا عز و جل‬
‫بل نؤمن بأنه يضحك كما أعلم النبي ونسكت عن صفة ضحكه جل وعال إذ هللا عز و جل استأثر بص((فة ض((حكة لم يطلعن((ا على‬
‫ذلك فنحن قائلون بما قال النبي مصدقون بذلك بقلوبنا منصتون عما لم يبين لنا مما استأثر هللا بعلمه‬

“Bab : Penyebutan tentang Penetapan Sifat Tertawanya Rabb kita ‘azza wa jalla. (Yaitu


dilakukan) tanpa sifat yang mensifatkan tertawa-Nya ‘azza wa jalla, tanpa menyerupakan
tertawa-Nya dengan tertawa makhluk-makhluk-Nya. Akan tetapi kita mengimani bahwa
Allah tertawa sebagaimana yang diberitahukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan
kami diam (tak berkomentar) tentang sifat tertawa-Nya ‘azza wa jalla karena Allah
memang tidak memberitahukan kepada kami tentang (kaifiyah) sifat tertawa-Nya. Kami
hanyalah mengatakan apa-apa yang dikatakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
membenarkannya dengan hati-hati kami serta diam terhadap apa-apa yang tidak
dijelaskan kepada kami di antara hal-hal yang hanya diketahui oleh Allah dengan ilmu-Nya”
[At-Tauhiid, 2/563].

Abu Bakr Al-Aajurriy rahimahullah (w. 360 H) berkata :

- ‫ وفقنا هللا وإياكم للرش((اد من الق((ول والعم((ل‬- ‫ اعلموا‬: ‫ فقال محمد بن الحسين رحمه هللا‬.‫باب اإليمان بأن هللا عز و جل يضحك‬
‫أن أهل الحق يصفون هللا عز و جل بما وصف به نفسه عز و جل وبما وصفه به رسوله صلى هللا علي((ه و س(لم وبم(ا وص(فه ب((ه‬
‫الصحابة رضي هللا عنهم‬

[380]
 ‫ أن هللا ع((ز و ج((ل يض((حك ك((ذا روي‬: ‫ كيف ؟ بل التسليم له واإليمان ب((ه‬: ‫وهذا مذهب العلماء ممن اتبع ولم يبتدع( وال يقال فيه‬
‫عن النبي صلى هللا عليه و سلم وعن صحابته رضي هللا عنهم فال ينكر هذا إال من ال يحمد حاله عند أهل الحق‬

“Bab : Beriman bahwa Allah ‘azza wa jalla Tertawa. Muhammad bin Al-


Husain rahimahullah(yaitu dirinya sendiri, Al-Aajurriy) berkata : ‘Ketahuilah, - semoga
Allah memberikan taufiq kepada kami dan kalian semuanya kepada petunjuk-Nya baik
perkataan maupun perbuatan – bahwasannya orang-orang yang menetapi kebenaran
(ahlul-haq) mensifati Allah ‘azza wa jalladengan apa saja yang Ia sifatnya pada diri-
Nya ‘azza wa jalla, dengan apa saja yang disifatkan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, dan dengan apa saja yang disifatkan para shahabatradliyallaahu ‘anhum. Inilah
madzhab para ulama yang mengikuti petunjuk dan tidak mengada-adakan bid’ah. Tidak
boleh dikatakan tentangnya : ‘Bagaimana (sifat Allah itu) ?’, akan tetapi mesti tunduk
padanya dan  mengimaninya : Bahwasannya Allah ‘azza wa jalla tertawa. Demikianlah yang
diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatradliyallaahu
‘anhum. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali oleh orang yang tidak terpuji keadaannya
menurut ahlul-haq” [Asy-Syarii’ah, hal. 277].

Al-Imaam Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah (w. 204 H) pun menetapkan


sifat ini dengan perkataannya :

‫ " إنه لقي هَّللا وهو يضحك إليه‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم للذي قتل فِي سبيل هَّللا‬
َ ‫ بقول النَّبِ ّي‬،‫" وأنه يضحك من عبده المؤمن‬

“Dan bahwasannya Allah tertawa terhadap hamba-Nya yang mukmin, berdasarkan sabda
Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang terbunuh di jalan Allah :
‘Sesungguhnya ia menjumpai Allah, sedangkan Allah tertawa kepadanya” [Thabaqaatul-
Hanaabilah oleh Ibnu Abi Ya’laa, 1/284].

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[1]      Bahkan, dalam hadits Ibnu Mas’uud tentang orang yang paling akhir keluar dari neraka
dan kemudian masuk ke dalam surga, menjelaskan pemahaman Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam dan Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu akan dhahir makna ‘tertawa’ dalam hadits
yang dibawakan :

‫حدثنا عبد هللا حدثني أبي حدثنا يزيد أخبرنا حماد بن سلمة عن ثابت البناني عن أنس بن مالك عن عبد هللا بن مس((عود عن الن((بي‬
‫ ما يصريني منك أي عبدي أيرض((يك أن أعطي((ك من الجن((ة ال((دنيا ومثله((ا معه((ا‬:‫ فيقول عز وجل‬...... :‫صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫ لم‬:‫ أال تس(ألوني لم ض(حكت ق(الوا ل(ه‬:‫ فض(حك عب((د هللا ح(تى ب((دت نواج(ذه ثم ق(ال‬:‫ أتهزؤ بي وأنت رب العزة ق(ال‬:‫ فيقول‬:‫قال‬
‫ لم‬:‫ أال تسألوني لم ضحكت ق((الوا‬:‫ لضحك رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ثم قال لنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫ضحكت قال‬
‫ أتهزؤ بي وأنت رب العزة‬:‫ لضحك الرب حين قال‬:‫ضحكت يا رسول هللا قال‬.

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah
menceritakan kepada Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, dari Anas bin
Maalik, dari ‘Abdullah bin Mas’uud, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau
[381]
bersabda : “…..Maka Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apa yang memberhentikan-Ku dari
permintaanmu ? Hai hamba-Ku, apakah engkau suka jika Aku berikan kepadamu dunia dan
semisalnya bersamanya ?’. Orang itu menjawab : ‘Apakah Engkau memperolok-olokku
padahal Engkau adalah Rabbul-‘Izzah ?’. Perawi berkata : “Lalu ‘Abdullah (bin Mas’uud)
tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya. Ia berkata : ‘Tidakkah kalian bertanya kepadaku
mengapa aku tertawa ?’. Mereka pun berkata kepadanya : ‘Apa yang membuatmu
tertawa ?’. Ibnu Mas’uud menjawab : ‘(Aku tertawa) karena tertawanya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda kepada
kami : ‘Tidakkah engkau bertanya kepadaku mengapa aku tertawa ?’. Para shahabat pun
bertanya : ‘Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah ?’. Beliau menjawab : “(Aku
tertawa) karena tertawanya Ar-Rabb (Allah) saat  hamba tadi mengatakan : ‘Apakah
Engkau memperolok-olokku padahal Engkau adalah Rabbul-‘Izzah ?” [Diriwayatkan oleh
Ahmad 1/391; sanadnya shahih sesuai dengan Muslim, para perawinya tsiqaat termasuk
perawiSyaikhaan kecuali Hammaad bin Salamah, ia hanya dipakai oleh Muslim saja].

ANTARA KETINGGIAN DAN KEBERSAMAAN ALLAH


Sesungguhnya aqidah ketinggian Allah di atas langit adalah aqidah salaf yang haq
berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an, hadits, ijma’, akal dan fithrah manusia[1]. Tidak ada yang
mengingkarinya kecuali orang yang menyimpang. Namun aneh tapi nyata, sebagian orang
menabur debu dan membingungkan kaum muslimin dengan beberapa syubhat
(kerancuan) yang nampaknya ilmiyah padahal pada hekakatnya hanyalah suatu kerancuan
yang dibangun di atas pondasi yang sangat lemah.

Di antara syubhat yang sangat laris manis beredar adalah ucapan mereka bahwa Allah ada
di mana-mana bersama para hambaNya. Seandainya Allah berada di atas langit, lantas
bagaimana kiranya dengan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah bersama para
hambaNya?! Mereka kemudian mengemukakan sejumlah dalil seperti firman Allah:

ُ ‫و َساد‬-َ -‫ ٍة إِاَّل ُه‬-‫و َر ِاب ُع ُه ْم َواَل َخمْ َس‬-َ -‫ض ۖ َما َي ُكونُ مِن َّنجْ َو ٰى َثاَل َث ٍة إِاَّل ُه‬
‫ ُه ْم َواَل‬-‫ِس‬ ِ ْ‫ت َو َما فِي اأْل َر‬ ِ ‫أَلَ ْم َت َر أَنَّ اللَّـ َه َيعْ لَ ُم َما فِي ال َّس َم َاوا‬
٧﴿ ‫ك َواَل أَ ْك َث َر إِاَّل ه َُو َم َع ُه ْم أَي َْن َما َكا ُنوا ۖ ُث َّم ُي َن ِّب ُئهُم ِب َما َع ِملُوا َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة ۚ إِنَّ اللَّـ َه ِب ُك ِّل َشيْ ٍء َعلِي ٌم‬َ ِ‫﴾أَ ْد َن ٰى مِن ٰ َذل‬

Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Alloh mengetahui apa yang ada di langit
dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.
dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula)
pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada
bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada
mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Alloh Maha
mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Mujadilah: 7)

[382]
‫َوه َُو َم َع ُك ْم أَي َْن َما ُكن ُت ْم‬

Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. (QS. Al-Hadid: 4)

Nah, bagaimanakah menjawab syubhat ini?! Mungkinkah dalil-dalil itu bertentangan antara
satu dalil dengan lainnya?! Tidak ragu lagi bahwa pendalilan seperti ini adalah bathil dari
beberapa segi: 

Pertama: Makna Kebersamaan di sini adalah Ilmu Allah Dengan Kesepakatan Salaf

Telah tegak suatu ijma’ (konsesus ulama) bahwa maksud kebersamaan di sini adalah ilmu
Alloh, sedangkan kalau sudah tegak suatu ijma’ maka ucapan orang siapapun tidak ada
artinya. Tidak sedikit para ulama telah menukil ijma’ ini, di antaranya:

Ishaq bin Rahawaih berkata: “Ahli Sunnah telah bersepakat bahwa Alloh tinggi di atas Arsy
dan Dia mengetahui segala sesuatu yang di bawah bumi tingkat ke tujuh sekalipun”.[2]

Ibnu Abi Syaibah berkata: “Paraulama menafsirkan firman Alloh (yang artinya): “Dan Dia
bersama kalian” yakni ilmuNya”.[3]

Al-Ajurri berkata setelah menafsirkan ayat-ayat tentang kebersamaan Alloh dengan ilmu:
“Ini adalah pendapat ulama kaum muslimin”.[4]

Ibnu Baththoh berkata: “Kaum muslimin dari kalangan sahabat dan tabi’in serta seluruh
ahli ilmu dari kalangan yang beriman telah bersepakat bahwa Alloh di atas Arsy-Nya di
atas langitNya, terpisah dari para makhlukNya dan ilmuNya meliputi semua makhluk”.[5]

Ath-Tholmanki berkata: “Kaum muslimin dari Ahli Sunnah wal Jama’ah telah bersepakat
bahwa makna firman Alloh (yang artinya): “Dan Dia bersama kalian dimanapun kalian
berada” dan ayat-ayat sejenisnya dalam Al-Qur’an bahwa maksudnya adalah ilmu Alloh
dan Alloh tinggi di atas ArsyNya”.[6]

Ibnu Abdil Barr berkata: “Adapun hujjah mereka dengan firman Alloh (QS. Al-Mujadilah: 7)
maka tidak ada hujjah bagi mereka dengan ayat ini, sebab para ulama sahabat dan tabi’in
yang paling mengerti tentang makna Al-Qur’an, mereka mengatakan tentang tafsir ayat ini:
“Dia di atas Arsy dan ilmuNya ada di segala tempat, tidak ada seorangpun yang dianggap
ucapannya menyelisihi penafsiran ini”.[7]

Sebagaimana penafsiran kebersamaan dengan ilmu juga telah diriwayatkan dari banyak
salaf seperti Ibnu Abbas, Dhohak, Muqotil bin Hayyan , Sufyan ats-Tsauri, Nuaim bin
Hammad, Ahmad bin Hanbal dan lain sebagainya.[8]

Kedua: Konteks Ayat Mendukung Penafsiran Di Atas

Bila kita memperhatikan secara tajam konteks ayat  dalam surat al-Mujadilah: 7, niscaya
akan kita fahami bahwa maksudnya adalah ilmu Alloh, yakni ilmu Alloh meliputi segala
sesuatu tetapi Dia di atas langit, sebagaimana difahami oleh para ulama. Bagaimana bisa
demikian? Karena Alloh memulai ayat ini dengan ilmu dalam firmanNya:

ِ ْ‫ت َو َما فِي اأْل َر‬


‫ض‬ ِ ‫أَلَ ْم َت َر أَنَّ اللَّـ َه َيعْ لَ ُم َما فِي ال َّس َم َاوا‬

[383]
Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Alloh mengetahui apa yang ada di langit
dan di bumi? Dan mengakhirinya dengan ilmu dalam firmanNya:

 ٧﴿ ‫﴾إِنَّ اللَّـ َه ِب ُك ِّل َشيْ ٍء َعلِي ٌم‬

Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui segala sesuatu

Jadi, Alloh memulai ayat ini dengan ilmu dan menutupnya dengan ilmu. Maka ilmu Alloh
meliputi segala sesuatu dan Dia di atas ArsyNya. Inilah pemahaman ulama kaum
muslimin”.[9]

Demikian juga surat al-Hadid: 4, perhatikan ayat sebelumnya:

ِ ْ‫َيعْ لَ ُم َما َيلِ ُج فِي اأْل َر‬


ِ ‫ض َو َما َي ْخ ُر ُج ِم ْن َها َو َما َي‬
‫نز ُل م َِن ال َّس َما ِء َو َما َيعْ ُر ُج فِي َها‬

Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa
yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya.

Kemudian Alloh mengakhirinya dengan firmanNya:

َ ُ‫﴾ َواللَّـ ُه ِب َما َتعْ َمل‬


٤﴿ ‫ون بَصِ ي ٌر‬

Dan Alloh Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Dengan demikian, dapat kita ketahui kebenaran penafsiran salaf bahwa makna
kebersamaan dalam ayat ini adalah ilmu Alloh.  

Ketiga: Memahami Lafadz Ma’a (bersama)

Lafadz Ma’a (bersama) baik dalam bahasa Arab maupun Al-Qur’an tidak ada yang
maksudnya adalah menempel antara satu dengan yang lain menjadi satu. Dalam bahasa,
kalau ada orang berkata: “Saya berjalan bersama bulan” hal ini dibenarkan, kalau ada
seorang ayah mengatakan kepada anaknya yang sedang ketakutan: “Jangan takut, ayah
bersamamu” juga dibenarkan dan hal itu tidak berarti bahwa mereka bersatu dzatnya.
Adapun dalam Al-Qur’an, seperti firman Alloh:
َ
ِ ‫ِين َم َع ُه أشِ دَّا ُء َعلَى ْال ُك َّف‬
‫ار ر َُح َما ُء َب ْي َن ُه ْم‬ َ ‫م َُّح َّم ٌد رَّ سُو ُل اللَّـ ِه ۚ َوالَّذ‬

Muhammad itu adalah utusan Alloh dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS. Al-Fath: 29)

َ ‫أُولَ ٰـئ‬
َ ‫ِك َم َع ْالم ُْؤ ِمن‬
‫ِين‬

Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman. (QS. An-Nisa’: 146)

َ ‫﴾ َيا أَ ُّي َها الَّذ‬


َ ‫ِين آ َم ُنوا ا َّتقُوا اللَّـ َه َو ُكو ُنوا َم َع الصَّا ِدق‬
١١٩﴿ ‫ِين‬

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Alloh, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar. (QS. At-Taubah: 119)

َ ‫اجرُوا َو َجا َه ُدوا َم َع ُك ْم َفأُولَ ٰـئ‬


‫ِك مِن ُك ْم‬ َ ‫َوالَّذ‬
َ ‫ِين آ َم ُنوا مِن َبعْ ُد َو َه‬

[384]
Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu
Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). (QS. Al-Anfal: 75)

Dengan demikian, maka tidak mungkin maksud firman Alloh (yang artinya): “Dan Dia
bersama kalian” yakni bahwa Dzat Alloh bersatu dengan dzat makhluk”.[10] Maha suci
Alloh dari kejinya ucapan mereka, karena penafsiran ini adalah bathil ditinjau dari
beberapa segi:

Pertama: Penafsiran ini menyelisihi penafsiran Ulama salaf, tidak ada seorang ulama-pun
yang menafsirkan kebersamaan Alloh dengan penafsiran tersebut.

Kedua: Penafsiran ini menyelisihi ketinggian Alloh yang telah tetap dengan dalil Al-Qur’an,
hadits mutawatir, ijma’, akal dan fithrah.

Ketiga: Penafsiran ini mengharuskan hal-hal bathil yang tidak pantas bagi Alloh.[11] 

ANTARA KETINGGIAN DAN KEBERSAMAAN ALLAH

Dan sesungguhnya penafsiran kebersaman dengan ilmu tidaklah bertentangan dengan


ketinggian Alloh di atas arsyNya, hal ini ditinjau dari beberapa segi:

Pertama: Alloh telah menggabungkan antara keduanya dalam Al-Qur’anNya yang tiada
kontradiksi di dalamnya.

Semoga Alloh merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tatkala berkata: “Janganlah
seorang menyangka bahwa ayat-ayat Alloh saling bertentangan. Seperti mengatakan: “Ayat
yang menerangkan bahwa Alloh berada di atas arsy bertentangan dengan ayat: “Dan Dia
bersama kalian di manapun kalian berada” atau selainnya. Maka ini merupakan kekeliruan.

Karena Alloh bersama kita secara hakikat dan Alloh juga berada diatas arsy secara hakikat
pula. SebagaimanaAlloh menggabungkan hal ini dalam firmannya:

ِ -‫ا َي‬--‫ا َو َم‬--‫ض َو َما َي ْخ ُر ُج ِم ْن َه‬


‫نز ُل م َِن‬- ِ ْ‫ش ۚ َيعْ َل ُم َما َيلِ ُج فِي اأْل َر‬ ِ ْ‫َّام ُث َّم اسْ َت َو ٰى َع َلى ْال َعر‬ َ َ ْ‫ت َواأْل َر‬
ٍ ‫ض فِي سِ َّت ِة أي‬ ِ ‫ه َُو الَّذِي َخلَ َق ال َّس َم َاوا‬
٤﴿ ‫ون بَصِ ي ٌر‬ َ ُ‫﴾ال َّس َما ِء َو َما َيعْ ُر ُج فِي َها ۖ َوه َُو َم َع ُك ْم أَي َْن َما ُكن ُت ْم ۚ َواللَّـ ُه ِب َما َتعْ َمل‬

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian dia bersemayam
diatas arsy. Dia mengetahui apa yang masuk pada bumi dan apa yang kelaur darinya, dan
apa yang turun dari langit dan apa yang naik padanya. Dan dia bersama kalian dimana saja
kalian berada, dan Alloh maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Hadid: 4)

Alloh mengabarkan dalam ayat ini bahwasanya Dia berada di atas arsy, mengetahui segala
sesuatu, dan Dia-pun bersama kita dimanapun kita berada. Inilah ma’na perkataan salaf:
“Sesungguhnya Alloh bersama hamba dengan ilmuNya”[12]

[385]
Kedua: Kebersamaan tidak menafikan ketinggian, karena kedua-duanya bisa berkumpul
dalam satu waktu pada makhluk, dalam bahasa dikatakan: “Kami berjalan bersama bulan”
hal ini dibenarkan dan tak ada seorangpun yang memahami bahwa maksudnya adalah
bahwa bulan bersatu dengan dirinya.

Ketiga: Anggaplah bahwa terkumpulnya kebersamaan dan ketinggian mustahil bagi


makhluk, tetapi bagi Alloh yang tidak ada sesuatupun yang serupa denganNya bukanlah hal
yang mustahil.[13]

Walhasil, hendaknya bagi kita tidak tertipu dengan syubhat para ahli bid’ah yang
mengambil satu dalil untuk menguatkan pemikiran sesat mereka, lalu meninggalkan
ribuan dalil yang menunjukkan ketinggian Allah di atas langitNya.

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

[1]  Lihat masalah ini secara luas dalam buku penulis “Di Mana Allah? Pertanyaan Penting
Yang Terabaikan”, cet Media Tarbiyah, Bogor.

[2]  Dar’u Ta’arudh 6/260, Ijtima’ul Juyusy Islamiyyah hlm. 266, al-Uluw hlm. 179.

[3]  Kitabul Arsy hlm. 288.

[4] As-Syari’ah 3/1076.

[5] Al-Ibanah (Al-Mukhtar 136)

[6]  Dar’u Ta’arudh 6/250.

[7] At-Tamhid 7/138.

[8] Lihat As-Sunnah Abdullah bin Ahmad 1/306, asy-Syari’ah al-Ajurri 3/1078-1079, al-
Asma’ wa Shifat al-Baihaqi 4/341-342.

[9]  Asy-Syari’ah 3/1075.

[10] Lihat Syarh Hadits Nuzul hlm. 360, Majmu Fatawa 5/103, 104.

[11]  Al-Qowaid al-Mutsla hlm. 72, Ibnu Utsaimin.

[12])Aqidah Washitiyah” hal. 22-23.

[13]  Lihat Al-Qowaidul Mutsla hlm. 77-79, Ibnu Utsaimin.

TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA


Yang mengatakan bahwa Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam akhir itu adalah
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabda beliau:

[386]
‫ألني‬-‫ من يس‬،‫ه‬-‫تجيب ل‬-‫دعوني فأس‬-‫ من ي‬:‫ول‬-‫ر فيق‬-‫ل اآلخ‬-‫ة حين يبقى ثلث اللي‬-‫ينزل ربنا تبارك وتعالى إلى السماء الدنيا كل ليل‬
‫ حتى ينفجر الفجر‬،‫ من يستغفرني فأغفر له‬،‫فأعطيه‬

“Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia setiap sepertiga malam akhir. Ia lalu
berkata: ‘Barangsiapa yang berdoa, akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku
akan Aku beri. Siapa yang memohon ampun kepada-Ku, akan Aku ampuni. Hingga terbit
fajar‘ ” (HR. Bukhari 1145, Muslim 758)

Hadits ini disepakati keshahihannya. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud nuzul
(turun) di sini adalah sifat nuzul yang layak bagi Allah bukan sebagaimana kita turun. Tidak
ada yang mengetahui bagaimana bentuk turunnya kecuali Allah. Allah Ta’ala turun ketika
Ia menginginkannya, dan ini tidak berarti ketika itu Arsy kosong, karena sifat nuzul di sini
adalah nuzul yang layak bagi Allah Jalla Jalaluhu.

Hadits tentang turunnya Allah (an-nuzuul) ini merupakan hadits-hadits yang mutawatir
(diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut akal mustahil mereka berdusta -pent).
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan sebanyak 29 Sahabat Radhiyallahu anhum yang
meriwayatkan hadits tentang turunnya Allah ke langit dunia ini.[Mukhtasharush Shawaa-
iq al-Mursalah (II/232).]
Juga masalah sepertiga malam akhir itu tidak sama waktunya di semua belahan bumi,
nuzul Allah itu khusus bagi Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya sedikitpun,
sebagaimana firman Allah Ta’ala:

‫ْس َكم ِْثلِ ِه َشيْ ٌء َوه َُو ال َّسمِي ُع البَصِ ي ُر‬


َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)

Allah Jalla Jalaluhu juga berfirman:

‫ون ِب ِه عِ ْلمًا‬
َ ‫ِيط‬ ِ ‫َيعْ لَ ُم َما َبي َْن أَ ْيد‬
ُ ‫ِيه ْم َو َما َخ ْل َف ُه ْم َواَل ُيح‬

“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka,
sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya” (QS. Thaha: 110)

Allah Azza Wa Jalla juga berfirman dalam ayat kursi:

‫ون ِب َشيْ ٍء مِّنْ عِ ْل ِم ِه إِالَّ ِب َما َشاء‬ ُ ‫َوالَ ُيح‬


َ ‫ِيط‬

“Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”
(QS. Al Baqarah: 255)

Ayat-ayat yang semakna dengan ini banyak sekali. Hanya Allah yang tahu bagaimana
bentuk nuzul-Nya. Yang wajib bagi kita adalah menetapkan sifat nuzul bagi Allah sesuai apa
yang layak bagi-Nya, dalam keadaan Ia berada di atas Arsy. Karena yang dimaksud nuzul di
sini adalah sifat nuzul yang layak bagi Allah bukan sebagaimana kita turun. Yaitu jika
seseorang turun dari suatu tempat yang tinggi, maka tempat tersebut akan kosong. Atau
jika seseorang turun dari mobil maka mobil tersebut akan kosong. Ini adalah qiyas

[387]
(analogi) yang rusak. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak boleh dianalogikan dengan
makhluk-Nya. Dan tidak menyerupai sifat makhluk-Nya sedikitpun.

Sebagaimana juga kita mengatakan, Allah beristiwa di atas Arsy sesuai sifat istiwa yang
layak bagi-Nya dan kita tidak tahu bagaimana bentuk istiwa tersebut. Janganlah kita
menyerupakan atau memisalkan istiwa Allah tersebut dengan istiwa makhluk. Yang benar,
kita katakan bahwa Allah beristiwa di atas Arsy sesuai sifat istiwa yang layak bagi-Nya dan
keagungan-Nya.

Ketika orang-orang berbicara mengenai hal ini tanpa hak (ilmu), mereka jadi sangat
bingung. Bahkan terkadang mereka cenderung mengingkari sifat Allah seluruhnya. Sampai-
sampai ada yang berkata: “Allah itu tidak di dalam alam semesta dan tidak di luar alam
semesta, tidak begini dan tidak begitu”. Sampai mereka mensifati Allah dengan sifat-sifat
yang maknanya ketidak-adaan dan hingga mengingkari keberadaan Allah. Oleh karena itu
para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan juga Ahlus Sunnah Wal Jama’ahyang
mengikuti mereka, menetapkan sifat-sifat Allah sesuai nash-nash Al Kitab dan As Sunnah.
Mereka berkata, tidak ada yang mengetahui kaifiyah(deskripsi) dari sifat-sifat Allah kecuali
Allah Ta’ala. Oleh karena itu Imam Malik rahimahullah berkata:

‫ واإليـمان به واجب والسؤال عنه بدعة‬،‫ والكيف مجهول‬،‫االستواء معلوم‬

“Istiwa itu maknanya sudah dipahami orang-orang. Adapun kaifiyah-nya tidak ada yang
mengetahui. Mengimaninya wajib dan bertanya tentangnya itu bid’ah”

yang beliau maksud adalah bertanya tentang kaifiyah-nya. Semisal itu juga, apa yang
diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiallahu’anha dan juga dari Rabi’ah bin Abi
Abdirrahman (guru Imam Malik), mereka berkata:

‫ والكيف غير معقول واإليـمان بذلك واجب‬،‫االستواء غير مجهول‬

“Istiwa itu maknanya sudah dipahami orang-orang. Adapun kaifiyah-nya tidak bisa
dibayangkan. Mengimaninya wajib”

Barangsiapa yang berpegang pada kaidah ini, ia akan selamat dari berbagai syubhat yang
banyak dan juga dari keyakinan-keyakinan Ahlul Batil. Cukup bagi kita menetapkan apa
yang datang dari nash-nash Qur’an dan Sunnah, tanpa menambah-nambah.

Maka kita katakan, Allah itu memiliki sifat mendengar, berfirman, melihat, marah, ridha
sesuai dengan sifat yang layak bagi-Nya dan tidak ada yang mengetahui kaifiyah-Nya
kecuali Allah. Inilah jalan yang selamat, jalan ilmu, yaitu madzhab salafus shalih. Ia adalah
madzhab yang a’lam, aslam wa ahkam. Dengan jalan ini, seorang mukmin selamat dari
syubhat, penyimpangan, dengan perpegang pada Qur’an dan Sunnah, dan menyerahkan
kaifiyah sifat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wallahu Waliyut Taufiq.

========================

AHLUS SUNNAH MENGIMANI TENTANG AN-NUZUL (TURUNNYA ALLAH KE LANGIT


DUNIA)

[388]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat tentang wajibnya beriman tentang turunnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala (an-nuzul) ke langit dunia pada setiap malam. ‫( اَل ُّن ُز ْو ُل‬an-Nuzul)
termasuk di antara Sifat-Sifat Khabariyah Fi’liyyah. Terdapat sejumlah dalil yang
menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit terendah (langit dunia)
pada setiap malam. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:

‫أَلُنِي‬-‫ َو َمنْ َي ْس‬،ُ‫ه‬-‫ْب َل‬ َ ‫ َت ِجي‬-‫دع ُْونِي َفأ َ ْس‬-ْ -‫ َمنْ َي‬:ُ‫ َف َيقُ ْول‬،‫ث اللَّي ِْل ْاآلخ ِِر‬
ُ ُ‫ك َو َت َعالَى ُك َّل لَ ْيلَ ٍة إِلَى ال َّس َما ِء ال ُّد ْن َيا ِحي َْن َي ْب َقى ُثل‬ َ ‫َي ْن ِز ُل َر ُّب َنا َت َب‬
َ ‫ار‬
َ ُ
‫ َو َمنْ َيسْ َت ْغفِ ُرنِي َفأ ْغف َِر لَ ُه‬،ُ‫ َفأعْ طِ َيه‬.

“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia ketika tinggal
sepertiga malam, seraya menyeru: ‘Siapa yang berdo’a kepada-Ku, maka Aku
memperkenankan do’anya, siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku memberinya, dan
siapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku mengampuninya.” [HR. Al-Bukhari
(no. 7494), Muslim (no. 758 (168)), at-Tirmidzi (no. 3498), Abu Dawud (no. 1315, 4733)
dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 492) dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab at-
Tauhiid (I/280).]

Abu ‘Utsman ash-Shabuni (wafat th. 449 H) rahimahullah berkata: “Para ulama ahli hadits
menetapkan turunnya Rabb Azza wa Jalla ke langit terendah pada setiap malam tanpa
menyerupakan turun-Nya Allah itu dengan turunnya makhluk (tasybih), tanpa meng-
umpamakan (tamtsil) dan tanpa menanyakan bagaimana turun-Nya (takyif). Tetapi
menetapkannya sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam dengan mengakhiri perkataan padanya (tanpa komentar lagi), memperlakukan
kabar shahih yang memuat hal itu sesuai dengan zhahirnya, serta menyerahkan ilmunya
kepada Allah.”[Lihat ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadits (no. 38, hal. 46) oleh Abu ‘Utsman
Isma’il bin ‘Abdurrahman ash-Shabuni, tahqiq Badr bin ‘Abdillah al-Badr.]

Ibnu Khuzaimah rahimahullah (wafat th. 311 H) berkata: “Pembahasan tentang kabar-
kabar yang benar sanadnya dan shahih penopangnya telah diriwayatkan oleh ulama Hijaz
dan Irak, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang turunnya Allah Azza wa Jalla ke
langit dunia (langit terendah) pada setiap malam, yang kami akui dengan pengakuan
seorang yang mengaku dengan lidahnya, membenarkan dengan hatinya serta meyakini
keterangan yang tercantum di dalam kabar-kabar tentang turunnya Allah Azza wa Jalla
tanpa menggambarkan kaifiyahnya (bagaimananya), karena Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam memang tidak menggambarkan kepada kita tentang kaifiyah (cara) turunnya Khaliq
kita ke langit dunia dan beliau Shallallahu alaihi wa sallam hanya memberitahukan kepada
kita bahwa Rabb kita turun. Sementara itu, Allah Azza wa Jalla dan Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam tidak menjelaskan bagaimana Allah turun ke langit dunia. Oleh karena itu, kita
mengatakan dan membenarkan apa-apa yang terdapat di dalam kabar-kabar ini perihal
turunnya Rabb, tanpa memaksakan diri membicarakan sifat dan kaifiyatnya, sebab
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memang tidak mensifatkan kepada kita tentang
kaifiyah turun-Nya.[Diringkas dari Kitaabut Tauhiid (I/275) oleh Imam Ibnu Khuzaimah,
tahqiq Samir bin Amin az-Zuhairi, cet. I/ Darul Mughni lin Nasyr wat Tauzi’, th. 1423 H.]

Lalu setelah itu Ibnu Khuzaimah pun menyebutkan sejumlah hadits yang berisi keterangan
tentang hal itu, yaitu hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu di atas.

[389]
Hadits-hadits yang memuat pengertian seperti ini banyak jumlahnya, bahkan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah sampai menuliskan tentang hal tersebut secara khusus dalam bagian
kitab-nya Syarah Hadiitsin Nuzuul. Dan di antara yang dikatakan dalam kitabnya itu
adalah: “Sesungguhnya pendapat yang mengatakan tentang turunnya Allah pada setiap
malam telah tersebar luas melalui Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para
Salafush Shalih serta para Imam ahli ilmu dan ahli hadits telah sepakat membenarkannya
dan menerimanya. Siapa yang berkata dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam, maka perkataan itu adalah haq dan benar, kendati ia tidak
mengetahui tentang hakekat dan kandungan serta makna-maknanya, sebagaimana orang
yang membaca Al-Qur-an tidak memahami makna-makna ayat yang dibacanya. Karena,
sebenar-benar kalam adalah Kalam Allah (Al-Qur-an) dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam (As-Sunnah).

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan perkataan ini dan yang semisalnya secara
umum, tidak mengistimewakan seseorang atas orang lain, dan tidak pula
disembunyikannya dari seseorang. Sedangkan para Sahabat serta para Tabi’in
menyebutkannya, menukilnya, menyampaikannya dan meriwayatkannya di majelis-majelis
khusus dan umum pula, yang selanjutnya dimuat dalam kitab-kitab Islam yang dibaca di
majelis-majelis khusus maupun umum, seperti Shahiihul Bukhari, Shahiih Muslim,
Muwaththa’ Imaam Malik, Musnad Imaam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi,
Sunan an-Nasa-i, dan yang semisalnya.”[Lihat Majmuu’ Fataawaa (V/322-323) oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:


ُ ‫وأَ َّن ُه َيه ِْب‬.َ
ِ ‫ط ُك َّل لَ ْيلَ ٍة إِلَى َس َما ِء ال ُّد ْن َيا ل َِخ َب ِر َرس ُْو ِل‬
‫هللا‬

“Bahwasanya Allah turun pada setiap malam ke langit dunia berdasarkan kabar dari
Rasulullah. Shallallahu alaihi wa sallam” [Lihat Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil
‘Aqiidah (II/358).]

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah dalam kitabnya menukil perkataan Imam asy-
Syafi’i rahimahullah, beliau berkata:

َ ‫ْف َشا َء َو َي ْن ِز ُل إِلَى ال َّس َما ِء ال ُّد ْن َيا َكي‬


‫ْف َشا َء‬ َ َّ‫أَن‬.
َ ‫هللا َعلَى َعرْ شِ ِه فِيْ َس َما ِئ ِه َي ْقرُبُ مِنْ َخ ْلقِ ِه َكي‬

“Bahwasanya Allah Azza wa Jalla di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya, lalu mendekat kepada
makhluk-Nya menurut bagaimana yang Dia kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke
langit dunia menurut bagaimana yang Dia kehendaki.” [Lihat Ijtimaa’ul Juyuusy al-
Islaamiyyah ‘alaa Ghazwil Mu’aththilah wal Jahmiyah (hal. 122) oleh Imam Ibnul Qayyim,
tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun.]

Ahlus Sunnah menetapkan tentang turunnya Allah Subhanhu wa Ta’ala ke langit dunia
setiap malam sebagaimana mereka menetapkan seluruh sifat-sifat Allah yang terdapat
dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, orang-orang shalih senantiasa mencari
waktu yang mulia ini untuk mendapatkan karunia Allah k dan Rahmat-Nya, mereka
melaksanakan ibadah kepada Allah dengan khusyu’, memohon ampunan kepada-Nya dan
[390]
memohon kebaikan di dunia dan di akhirat. Mereka menggabungkan antara khauf (rasa
takut) dan raja’ (rasa harap) dalam beribadah kepada-Nya.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir
Jawas]

_______

Diantara para ulama yang menulis risalah khusus tentang Turunnya Allah. Dan berikut ini
adalah komentar mereka:

1. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aqidah yang aku yakini dan diyakini oleh orang-
orang yang pernah aku temui seperti Sufyan, Malik dan selainnya adalah menetapkan
syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan
Muhammad adalah Rasulullah dan bahwasanya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di langit-
Nya, lalu mendekat kepada makhluk-Nya sesuai dengan apa yang Dia kehendaki, dan
sesungguhnya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang Dia kehendaki.”
[Lihat Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyyah (hal. 94 dan 122), Mukhtashar Al-‘Uluw (hal.
176), Majmu’ Fatawa (IV/181), dan ‘Aunul Ma’bud (XIII/41 dan 47)]

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyahrahimahullah berkata, “Sesungguhnya pendapat tentang


turunnya Allah setiap malam, telah tersebar luas melalui Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para Salafush Shalih serta para ulama dan ahli hadits telah sepakat
membenarkannya dan menerimanya. Siapa yang berkeyakinan sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka perkataan itu adalah haq dan
benar, kendati ia tidak mengetahui tentang hakikat dan kandungan serta makna-
maknanya. Sebagaimana orang yang membaca Al-Qur’an sedang dia tidak memahami
makna ayat yang dibacanya. Karena sebenar-benar kalam adalah Kalam Allah (Al-Qur’an)
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (as-
sunnah).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan ini dan yang semisalnya secara


umum, tidak mengistimewakan seseorang atas orang lain, dan tidak pula
disembunyikannya dari seseorang. Sedangkan para Sahabat serta para Tabi’in
menyebutkannya, menukilnya, menyampaikannya dan meriwayatkannya di majelis-majelis
khusus dan umum pula, yang selanjutnya dimuat dalam kitab-kitab Islam yang dibaca di
majelis-majelis khusus maupun umum, seperti Shahih Al-Bukhari, Shahih
Muslim, Muwaththa’ Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan At-
Tirmidzi, Sunan An-Nasa’i, dan yang semisalnya.” [LihatMajmu’ Fatawa (V/322-323)
dan Syarah Hadits Nuzul(hal. 69)]

3. Abdul Ghani Al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tentang turunnya Allah ke


langit dunia setiap hari telah mencapai derajat mutawatir dan (sanadnya) shahih. Maka
wajib bagi kita untuk mengimaninya, pasrah menerimanya, tidak menentangnya,
menjalankannya tanpa takyif (menanyakan caranya) dantamtsil (menyerupakan dengan
makhluk) sertatakwil (menyelewengkan artinya) sehingga meniadakan hakikat turunnya
Allah.” [Lihat Al-Iqtishad fil I’tiqad(hal. 100)]
[391]
4. Imam Al-Ajurri rahimahullahberkata, “Mengimaninya adalah wajib, tetapi tidak boleh
bagi seorang muslim untuk bertanya, ‘Bagaimana cara Allah turun?’ Dan tidak ada yang
mengingkari hal ini, kecuali golongan Mu’tazilah. Adapun ahlul haq, mereka mengatakan,
“Mengimaninya adalah wajib tanpa takyif(menanyakan caranya), sebab telah datang
hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam. Orang-orang yang
meriwayatkan hadits ini kepada kita, mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits
tentang hukum halal haram, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Maka seperti halnya para
ulama dalam menerima semua itu, mereka (ahlul haq) juga menerima hadits-hadits ini,
bahkan mereka menegaskan, ‘Barang siapa yang menolaknya maka dia sesat dan keji.’”
Mereka (ahlul haq) bersikap waspada darinya (para penolak kebenaran itu) dan
memperingatkan ummat dari penyimpangannya.”[Lihat Asy-Syari’ah(II/93) dan ‘Aqidatus
Salaf Ash-habil Hadits (hal. 81)]

5. Imam Ash-Shabuni rahimahullah berkata, “Para ulama ahli hadits menetapkan turunnya


Rabb ‘Azza wa Jalla ke langit terendah pada setiap malam tanpa menyerupakan turun-Nya
Allah itu dengan turunnya makhluk (tasybih), tanpa memisalkan (tamtsil) dan tanpa
menanyakan bagaimana sifat turun-Nya (takyif). Tetapi menetapkannya sesuai dengan apa
yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengakhiri perkataan
padanya (tanpa ada komentar lagi), memperlakukan kabar shahih yang memuat hal itu
sesuai dengan zhahirnya, serta menyerahkan ilmunya kepada Allah.” [Lihat ‘Aqidatus Salaf
Ash-habil Hadits (hal. 75)]

=============

Syarah Hadits Nuzul 


diantaranya adalah: [Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 18)]

1. Allah berada di atas langit, istiwa’ di atas ‘arsy-Nya. 

Hadits di atas merupakan bukti yang terang dan jelas yang menyebutkan bahwa Allah
berada tinggi di atas sekalian makhluk-Nya. Karena jika benar perkataan sebagian orang
bahwa Allah berada dimana-mana maka tidak akan dikatakan bahwa Allah turun, sebab
Allah sudah berada dimana-mana, termasuk di bumi atau di langit dunia.

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang
menyebutkan bahwa Allah berada di atas langit, (istiwa’) di atas ‘arsy sebagaimana
dikatakan oleh para ulama. Dan hadits ini termasuk dalam salah satu hujjah para ahlus
sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah ada
dimana-mana dan bukan di atas ‘arsy.” [Lihat At-Tamhid(III/338),Kitab At-Tauhid(hal.
126), danDar’u Ta’arudz Al-‘Aqli wan Naqli(VII/7]

2. Allah memiliki sifat kalam (bicara).

[392]
Disebutkan dalam hadits di atas bahwa Allah akan menjawab do’a-do’a hamba-Nya.
Sebagaimana disebutkan juga dalam firman-Nya,

‫َو َكلَّ َم هللاُ مُو َسى َت ْكلِ ْيمًا … ۝‬

Artinya: “Dan Allah berbicara kepada Musa secara langsung…” (Qs. An-Nisa’: 164) 

3. Penetapan sifat fi’liyyah bagi Allah, yaitu turunnya Allah ke langit dunia, sebagaimana


yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara yang Dia kehendaki.

4.Waktu yang paling baik bagi seorang hamba adalah pada sepertiga malam terakhir.

Sepertiga malam terakhir merupakan waktu yang paling baik untuk berdzikir dan
bermunajat kepada Allah, karena saat itulah ketika Allah berada paling dekat dengan
hamba-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,

. ْ‫َّاع ِة َف ُكن‬ َ ‫ت أَنْ َت ُك ْو َن ِم َمنْ َي ْذ ُك ُر هللا فِي ت ِْل‬


َ ‫ك الس‬ َ ْ‫ َفإِ ِن اسْ َت َطع‬،‫أَ ْق َربُ َما َي ُك ْونُ الرَّ بُّ م َِن ْال َع ْب ِد فِي َج ْوفِ اللَّي ِْل اآْل خ ِِر‬

“Keadaaan paling dekat antara Rabb dengan hamba-Nya adalah pada waktu separuh
malam terakhir. Oleh karena itu, jika engkau bisa menjadi orang yang berdzikir kepada
Allah ketika itu maka lakukanlah.” [Hadits shahih, riwayat Tirmidzi (no. 3579), Abu Dawud
(no. 1277), dan An-Nasa’i (no. 572), dari jalur ‘Amru bin Abasah radhiyallahu’anhu]

MEMBANTAH SYUBHAT Turunnya Allah Ke Langit Dunia

Tauhid Asma’ wa Sifat merupakan perkara urgen dalam wilayah tauhid, karena bagaimana
mungkin seorang beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya tanpa mengenal nama
dan sifat Dzat yang dia ibadahi. Pada zaman salaf dahulu, masalah ini tidak terlalu rumit,
lantaran mereka dapat menyikapinya secara proporsional. Namun, masalah ini kini
menjadi krusial, lantaran percikan syubhat para ahli bid’ah yang kurang puas dengan
manhaj salaf dalam Asma wa Sifat, sehingga mereka memplintir dan merubah dalil yang
shahih dari makna aslinya, padahal -kalau disadari- sebenarnya mereka telah membeo
kaum Yahudi yang terlaknat.

Contohnya terlalu banyak kalau mau diuraikan satu persatu, tetapi cukuplah sebagai
perwakilan, hadits tentang nuzul (turunnya) Allah ke langit dunia pada sepertiga malam
terakhir, dimana hadits ini telah diobok-obok oleh tangan sebagian kalangan yang tersesat
jalan dan terombang-ambing dalam kebingungan nan kegelapan.

Nah, pada kesempatan kali ini kita akan mencoba untuk mengkaji hadits tersebut dan
menguraikan belitan syubhat para pengekor hawa nafsu seputar hadits tersebut. Semoga
Allah selalu meneguhkan kita untuk meniti di atas jalanNya yang lurus. Amiin.

[393]
TEKS HADITS
َ ُ ُ‫ ُّد ْن َيا ِحي َْن َي ْب َقى ُثل‬-‫ َما ِء ال‬-‫الس‬ ِ ‫َعنْ أَ ِبيْ ه َُري َْر َة أَنَّ َرس ُْو َل‬
ْ‫ َمن‬: ‫و ُل‬-ْ -ُ‫ر َيق‬- ِ -‫ث األ ِخ ْي‬ َّ ‫ ٍة إِلَى‬-َ‫ َّل لَ ْيل‬-‫ الَى ُك‬-‫ك َو َت َع‬ ِ -‫ َي ْن‬: ‫ا َل‬--‫هللا َق‬
َ -‫ا َت َب‬--‫ز ُل َر ُّب َن‬-
َ ‫ار‬-
ُ
‫ َمنْ َيسْ َت ْغفِ ُرنِيْ َفأ َ ْغف َِر لَ ُه‬,ُ‫ َمنْ َيسْ أَلُنِيْ َفأعْ طِ َيه‬,ُ‫ْب لَه‬ َ ‫َي ْدع ُْونِيْ َفأَسْ َت ِجي‬

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada
setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa
kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku
berikan, dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”. [1]

HADITSNYA MUTAWATIR
Hadits tentang nuzulnya Allah tidak diragukan lagi keabsahannya. Seluruh ulama ahli
hadits menshahihkannya, tidak ada satupun dari mereka yang melemahkannya. Bahkan,
para ulama ahli hadits menilai bahwa derajat haditsnya mutawatir. Diantaranya:

1. Imam Abu Zur’ah berkata[2]: “Hadits-hadits tentang turunnya Allah ke langit dunia ini
derajatnya mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Rasulullah.
Hadits tersebut menurut kami adalah shahih dan kuat”.

2. Utsman bin Sa’id Ad-Darimi berkata: “Hadits nuzul diriwayatkan dari dua puluh tiga
lebih sahabat dari Nabi”.[3]

3. Abdul Ghani Al-Maqdisi: “Telah mutawatir dan shahih hadits-hadits tentang turunnya
Allah setiap hari ke langit dunia. Maka wajib bagi kita untuk beriman dengannya, pasrah
menerimanya, tidak menentangnya, menjalankannya tanpa takyif (membagaimanakan)
dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk) serta takwil(menyelewengkan artinya)
sehingga meniadakan hakekat turunnya Allah”.[4]

4. Imam Ibnu Abdil Barr: “Hadits ini adalah shahih sanadnya. Tidak ada perselisihan
pendapat di kalangan ahli hadits tentang keabsahannya”. Beliau juga berkata: “Hadits ini
dinukil dari jalan-jalan yang mutawatir dan jalur yang banyak sekali dari orang-orang yang
adil dari Nabi”.[5]

5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa hadits ini mutawatir dan dinukil
dari generasi ke generasi selanjutnya[6]. Beliau juga berkata: “Hadits masyhur yang
diriwayatkan oleh banyak sahabat”.[7]

6. Imam Ad-Dzahabi berkata :“Saya telah menulis hadits-hadits tentang nuzul (turunnya


Allah) dalam sebuah kitab khusus, derajat hadits-haditsnya saya berani menetapkannya
mutawatir”.[8]

7. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Sesungguhnya turunnya Allah ke langit dunia


telah dijelaskan dalam hadits-hadits mutawatir dari Rasulullah, yang diriwayatkan oleh
kurang lebih dua puluh delapan sahabat”. [9]

Demikian pula ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Hadi[10],  Al-Kattani [11]dan Al-


Albani[12].

DAFTAR SAHABAT  PERIWAYAT HADITZ NUZUL

Hadits nuzul ini diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi, diantaranya


[394]
 Abu Bakar Ash-Shiddiq,
 Ali bin Abi Thalib,
 Abu Hurairah,
 Jubair bin Muth’im,
 Jabir bin Abdullah,
 Abdullah bin Mas’ud,
 Abu Sa’id Al-Khudri,
 Amr bin ‘Abasah,
 Rifa’ah bin ‘Arabah Al-Juhani,
 Utsman bin Abi ‘Ash Ats-Tsaqafi,
 Abdul Hamid bin Salamah dari ayahnya dari kakeknya,
 Abu Darda’,
 Mu’adz bin Jabal,
 Abu Tsa’labah Al-Khusyani,
 Aisyah,
 Abu Musa Al-Asy’ari,
 Ummu Salamah,
 Anas bin Malik,
 Hudzaifah bin Yaman,
 Laqith bin Amir Al-‘Uqaili,
 Abdullah bin Abbas,
 Ubadah bin Shamith,
 Asma’ binti Yazid,
 Abul Khaththab,
 ‘Auf bin Malik,
 Abu Umamah Al-Bahili,
 Tsauban,
 Abu Haritsah, dan
 Khaulah binti Hakim. [13]

SYARH HADITS

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan:


[395]
“Para salaf, para imam dan para ahli ilmu dan hadits telah bersepakat membenarkan dan
menerima hadits ini. Barangsiapa yang berkata seperti perkataan rasul, maka dia benar.
Tetapi barangsiapa yang memahami hadits ini atau hadits-hadits sejenisnya dengan
pemahaman yang Allah suci darinya, seperti menyerupakanNya dengan sifat makhluk, dan
menyifatinya dengan kekurangan, maka dia telah salah. Oleh karena itu madzhab salaf
menyakini dalam sifat ini dengan menetapkan sifat-sifat bagi Allah dan tidak
menyerupakannya dengan makhluk. Karena Allah disifati dengan sifat-sifat yang terpuji dan
suci dari penyerupaan dengan makhlukNya”. [14]

Imam Al-Ajurri berkata:

“Iman dengan ini wajib, tetapi tidak boleh bagi seorang muslim untuk bertanya: Bagaimana
Allah turun? Dan tidak ada yang mengingkari ini kecuali kelompok Mu’tazilah. Adapun ahli
haq, mereka mengatakan: Beriman dengannya adalah wajib
tanpa takyif (membagaimanakan), sebab telah shahih sejumlah hadits dari Rasulullah
bahwasanya Allah turun ke langit dunia setiap malam.  Orang-orang yang meriwayatkan
hadits ini kepada kita, mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits tentang hukum halal
haram, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Maka, sebagaimana para ulama menerima semua
itu, maka mereka juga menerima hadits-hadits ini, bahkan mereka menegaskan:
“Barangsiapa yang menolaknya maka dia adalah sesat dan keji”. Mereka waspada darinya
dan memperingatkan umat dari penyimpangannya”. [15]

Imam Ibnu Khuzaimah berkata:

“Bab penyebutan hadits-hadits yang shahih sanad dan matan-nya. Para ulama Hijaz dan
‘Iraq meriwayatkan dari Nabi tentang turunnya Allah ke langit dunia setiap malam. Kita
bersaksi dengan persaksian seorang yang menetapkan dengan lisannya dan membenarkan
dengan hatinya penuh keyakinan terhadap hadits-hadits seputar turunnya Allah tanpa
membagaimanakan sifatnya, sebab Nabi kita tidak menyifatkan kepada kita tentang sifat
turunnya Allah ke langit dunia, tetapi hanya memberitakan kepada kita bahwa Dia turun,
sedangkan Allah dan NabiNya tidak mungkin lalai untuk menjelaskan sesuatu yang
dibutuhkan kaum muslimin dalam agama mereka. Maka kita membenarkan  hadits-hadits
ini yang berisi penetapan turunnya Allah tanpa menyulitkan diri untuk membagaimanakan
sifat turunNya, lantaran Nabi tidak menerangkan kepada kita tentang sifat turunnya Allah”.
[16]

Imam Ibnu Abdil Barr berkata:

“Mayoritas imam Ahli Sunnah berpendapat bahwa Allah turun sebagaimana dikhabarkan
oleh Rasulullah, mereka membenarkan hadits ini dan tidak membagaimanakannya”. [17]

SYUBHAT DAN JAWABANNYA

Dari segi sanad, sepertinya para ahli bid’ah tidak dapat berkutik apa-apa lagi lantaran
sangat kuatnya. Namun mereka tetap tidak putus asa untuk menaburkan debu dengan
mengarahkan bidikan pada matan (kandungan) hadits ini, seperti:

[396]
A. TASYBIH

Mereka mengatakan[18]: Kalau kita tetapkan bahwa Allah punya sifat turun itu berarti
Allah serupa dengan makhluk, padahal ini bertentangan dengan ayat:

‫ْس َكم ِْثلِ ِه َشىْ ُُء‬


َ ‫لَي‬

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. [19](QS. Asy-Syura: 11).

Jawaban:

KAIDAH KITA DALAM MASALAH ASMA WA SIFAT ADALAH MENETAPKAN APA


YANG TELAH DITETAPKAN OLEH ALLAH DALAM AL-QUR’AN ATAU
RASULULLAH DALAM HADITSNYA YANG SHAHIH TANPA MENYERUPAKANNYA
DENGAN SESUATUPUN DAN MENSUCIKANNYA TAPA MENGINGKARI SIFAT-
SIFATNYA SEBAGAIMANA FIRMAN ALLAH:

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Maha mendengar dan
melihat. (QS. Asy-Syura: 11).

Firman  Allah: ‫ىْ ُُء‬------‫ ِه َش‬------ِ‫ْس َكم ِْثل‬


 َ ‫ لَي‬ “Tidak ada sesuatupun yang serupa
denganNya” merupakan bantahan terhadap golongan musyabbihah (yang
menyerupakan Allah dengan makhluk).
 Adapun firmanNya: ‫ ْي ُر‬---‫ص‬ ِ ‫ ِم ْي ُع ْال َب‬---‫الس‬
َّ ‫و‬---ُ
َ ‫“وه‬Dan
َ Dia Maha mendengar lagi Maha 
melihat”. Merupakan bantahan terhadap golongan yang merubah makna sifat dan
mengingkarinya. Jadi, kewajiban kita adalah menetapkna apa yang telah ditetapkan
oleh Alloh dan menafikan apa Dia nafikan tanpa tahrif (merubah makna) dan ta’til
(mengingkarinya). Inilah manhaj (metode) selamat yang harus ditempuh oleh setiap
muslim, karena dibangun di atas ilmu dan kelrusan dalam i’tiqad. [20]
Imam Syaukani berkata,

“ Barangsiapa yang memahami dan merenungi ayat mulia ini dengan sebenar-benarnya
niscaya dia akan meniti di atas jalan yang putih dan jelas di persimpangan perselisihan
manusia dalam masalah sifat-sifat Alloh. Lebih mantap lagi apabila engkau merenungi
makna firman Allah: “Dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat”. karena penetapan ini
setelah peniadaan sesuatu yang serupa telah mengandung keyakinan yang mantap dan obat
penawar hati. Wahai pencari kebenaran, pegangilah hujjah yang jelas dan kuat ini, niscaya
engkau dapat memberantas berbagai corak kebid’ahan dan meremukkan argumen para
tokoh kesesatan dan ahli filsafat”. [21]

 Jadi, kita menetapkan sifat “turun” bagi Allah sebagaimana dikhabarkan oleh Nabi
yang mulia tanpa menyerupakannya dengan turunnya makhluk. Apabila ada yang
mengingkarinya dengan alasan “kalau kita tetapkan berarti kita menyerupakannya
dengan makhluk”, maka ini bathil. Kita tanyakan kepadanya: Apakah anda
menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi Allah? Kalau dia tidak
menetapkannya, maka dia telah mengingkari ayat di atas. Dan apabila dia
menetapkannya, maka dia telah kontradiksi karena makhluk juga mempunyai sifat
mendengar dan melihat. Kalau dia berkata: Kita tetapkan sifat melihat dan
mendengar bagi Allah tetapi sama seperti makhlukNya. Kita jawab: Demikian pula

[397]
kita tetapkan turunnya Allah tetapi tidak sama seperti makhlukNya. Mengapa kalian
menetapkan sebagian sifat, tetapi tidak menetapkan sifat lainnya, padahal sama-
sama berlandaskan dalil yang shahih? Sungguh ini suatu kontradiksi yang sangat
ajaib sekali!!!.
 Jadi sekali lagi, menetapkan sifat turun bagi Allah bukan berarti kita
menyerupakannya dengan makhluk, tidak ada seorang ulama salaf-pun yang
berfaham demikian, bahkan kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’
Fatawa 5/252: “Apabila seseorang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat
makhlukNya, seperti mengatakan istiwa’ Allah serupa dengan istiwa’ makhlukNya,
atau turunnya Allah serupa dengan turunnya makhluk, maka dia adalah mubtadi’
(ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan, karena Al-Qur’an dan As-Sunnah serta akal
menjelaskan bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk dalam segala segi”.[22]
 Lucunya, mereka menuding kaum salaf yang menetapkan sebagaimana manhaj yang
benar sebagai kaum musyabbihah atau mujassimah! Subhanallah, hanya kepada
Allah kita mengadu!.
Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan:
“Seluruh Ahli Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah serta mengartikannya secara dhahirnya. Tetapi mereka tidak
menggambarkan bagaimananya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah, Mu’tazilah dan
Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah dan tidak mengartikannya secara dhahirnya.
Lucunya mereka meuding bahwa orang yang menetapkannya termasuk
Musyabbih[23] (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk)”. [24]

B. TAHRIF

Banyak sekali takwil dan tahrif yang menyelimuti hadits yang tegas ini. Mereka
mengatakan: Bukan Allah yang turun, tetapi perintah Allah!. Ada lagi yang mengatakan:
Rahmat Allah! Lain lagi mentakwilkan: Malaikat dari para malaikat Allah!. Adapun KH.
Sirajuddin Abbas, dia berpendapat lain lagi: “Maksud hadits ini -menurut Ahlus Sunnah-
bahwasanya pintu rahmat Tuhan terbuka malam hari seluas-luasnya, khusus pada akhir-
akhir malam. Sekalian do’a dan permohonan diterima ketika itu. Oleh karena itu hendaklah
mendo’a banyak-banyak setiap malam. Inilah maksudnya hadits ini”. (I’tiqad Ahlussunnah
wal Jama’ah hal. 276).

Jawab:

Tahrif seperti ini adalah bathil ditinjau dari dua segi:

Secara global: Asli dalam ungkapan seseorang adalah hakekat (bukan majaz) sehingga ada
dalil yang memalingkannya kepada makna majaz. Sungguh amat mustahil sekali, bila Nabi
Muhammad seringkali dan berulangkali mengucapkan suatu ungkapan yang didengar oleh
banyak sahabatnya, namun kemudian beliau tidak menjelaskan makna sesungguhnya!.
Siapakah orang yang lebih sayang terhadap umat manusia?! Nabi kita Muhammad ataukah
kaum Mu’tazilah dan Asyairah?! Tidakkah mereka menyadari bahwa merubah arti dari
dhahirnya adalah perilaku kaum Yahudi yang dikecam oleh Allah?!:

Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.


[398]
(QS. An-Nisa’: 46)

Lalu orang-orang yang zhalim mengganti ucapan yang tidak dierintahkan kepada mereka.

(QS. Al-Baqarah: 59)

SEMOGA ALLAH MERAHMATI IMAM IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH TATKALA


MENGATAKAN DALAM NUNIYAHNYA 1923-1930:

َّ ‫ ح‬: ‫أَُم َِر ْال َيه ُْو ُد ِبأَنْ َيقُ ْولُ ْوا‬
ِ ‫ ِح ْن َط ٌة لِ َه َو‬:‫ َفأ َ َب ْوا َو َقالُ ْوا‬             ‫ِط ٌة‬
‫ان‬

‫ان‬
ِ ‫ص‬ َ ْ‫ َفأ َ َبى َو َزا َد ْال َحر‬          ‫ اسْ َت َوى‬: ‫َو َك َذل َِك ْال َج ْهمِيُّ قِ ْي َل لَ ُه‬
َ ‫ف لِل ُّن ْق‬

ِ ْ‫ فِيْ َوحْ يِ َربِّ ْال َعر‬              ‫ُن ْونُ ْال َيه ُْو ِد َوالَ ُم َج ْهمِيٍّ ُه َما‬
ِ ‫ش َزائِدَ َت‬
‫ان‬

Orang Yahudi diperintahkan untuk mengatakan Hithah (ampunilah).

Mereka enggan, bahkan berkata: Hinthah (gandum) demi kehinaan.

Demikian pula Jahmi dikatakan padanya: Istawa (tinggi)

Mereka enggan dan menambah huruf (istaula/berkuasa)[25].

Tambahan huruf “Nun” Yahudi dan “Lam” Jahmi

Keduanya dalam timbangan syar’I adalah tambahan.

Adapun secara terperinci:

 Urusan dan nikmat Allah tidaklah turun pada saat khusus sepertiga malam terakhir
saja, bahkan kapanpun waktunya. Allah berfirman, yang artinya:
Dan apa saja nikmat yang ada ada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).
(QS. An-Nahl: 53)

 Kemudian apalah faedahnya nikmat dan urusan Allah hanya turun ke langit dunia
saja tetapi tidak turun ke bumi?!

Adapun kalau diartikan “malaikat” maka kita jawab: Apakah masuk akal kalau
malaikat mengatakan: Siapa yang berdo’a kepadaKu, maka akan Aku kabulkan…?!
Maka jelaslah bahwa tahrif ini adalah bathil, termentahkan oleh hadits fakta
lapangan. [26]
 Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Al-Allamah Imam Abdul Aziz bin Baz tatkala
membantah perubahan makna seperti ini:
“Ini merupakan kesalahan yang nyata sekali, bertentangan dengan nash-nash yang shahih
yang menetapkan nuzul (turunnya) Allah. Pendapat yang benar adalah pendapat salaf
shaleh, yaitu menyakini turunnya Allah dan memahami riwayat ini sebagaimana datangnya,
tanpa takyif (membagaimanakan), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).
Inilah jalan yang paling benar, paling selamat, paling cocok, dan paling bijaksana.
Pegangilah keyakinan ini dan gigitlah dengan gigi gerahammu serta waspadalah dari
keyakinan-keyakinan yang menyelisihnya. Semoga engkau bahagia dan selamat”. [27]

C. AKAL-AKALAN
[399]
KH. SIRAJUDDIN ABBAS BERKATA DALAM BUKU HITAMNYA “AQIDAH AHLUS
SUNNAH WAL JAMA’AH” HAL. 276: “SEBAGAIMANA DIMAKLUMI DUNIA INI BUNDAR,
MALAM DI SUATU TEMPAT, SIANG DI TEMPAT YANG LAIN, KALAU DI INDONESIA
MATAHARI SUDAH TERBENAM DAN SUDAH MALAM MAKA DI MAKKAH BARU PUKUL
DUA BELAS SIANG. KALAU DI INDONESIA SIANG BOLONG UMPAMANYA PUKUL
SEPULUH PAGI, MAKA DI BELANDA BETUL-BETUL PUKUL DUA MALAM. DAN
BEGITULAH SETERUSNYA. NAH, KALAU TUHAN TURUN KE BAWAH PADA SEPETIGA
MALAM SEBAGAIMANA TURUNNYA IBNU TAIMIYAH, MAKA PEKERJAAN TUHAN
HANYA TURUN-TURUN SAJA SETIAP WAKTU BAGI SELURUH PENDUDUK DUNIA.
KARENA WAKTU MALAM SEPERTIGA MALAM TERAKHIR BERGANTIAN DI SELURUH
DUNIA, SEDANG TUHAN HANYA SATU”.

Jawaban:

Penulis sudah pernah membantah syubhat ini[28], saya katakan waktu itu: Demikianlah
jika seorang telah dimotori oleh akalnya! Mengapakah tuan menggambarkan Allah
sedemikian rupa? Mengapakah tuan tiak pasrah terhadap hadits Rasul yang shahih?
Bukankah Allah berfirman:

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadapan keputusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.

(QS. An-Nisa’: 65: )

Imam Bukhari meriwayatkan dari Imam az-Zuhri bahwasanya beliau


mengatakan: “Wahyu itu dari Allah, Rasulullah hanya menyampaikan, kewajiban
kita hanyalaha pasrah dan tunduk”. [29]
 Imam ath-Thohawi berkata: “Tidaklah selamat seorang hamba dalam agamanya
kecuali apabila dia tunduk dan pasrah terhadap Allah dan RasulNya dan
mengembalikan segala kesamaran kepada Dzat yang maha mengetahui”. [30]
Kewajiban kita dalam hadits-hadits seperti ini adalah:

1. Beriman dengan nash-nash yang shahih.


2. Tidak bertanya bagaimannya serta menggambarkannya, baik dalam fikiran,
terlebih lagi dalam ungkapan. Karena hal itu termasuk berkata terhadap Allah tanpa
dasar ilmu, sedangkan Allah tak dapat dijangkau dengan akal fikiran.
3. Tidak menyerupakan sifatNya dengan sifat makhluk. Allah berfirman, yang
artinya:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Maha mendengar dan melihat.

(QS. Asy-Syura: 11)

Apabila kita memahami kewajiban ini, maka tidak akan ada lagi kerancuan dalam hadits
nuzul atau lainnya yang menerangkan sifat-sifat Allah. Yang penting, jika tibasepertiga
malam terakhir maka Rabb turun ke langit dunia, sebagaimana diberitakan oleh Nabi”. [31]

FIQIH HADITS
[400]
Hadits ini memiliki beberapa faedah yang banyak sekali. Dalam kitabnya Al-Kawasyif Al-
Jaliyyah hal. 451-454, Syaikh Abdul Aziz Al-Muhammad As-Salman dapat menarik 38
faedah dari hadits di atas, diantaranya:

1. Ketinggian Allah di atas arsy-Nya.

Dalam hadits ini terdapat faedah berharga tentang sebuah aqidah yang banyak dilupakan
oleh mayoritas kaum muslimin saat ini yaitu tentang ketinggian Allah di atas langit. Hal itu
diambil dari lafadz “Turun” karena makna “turun” dalam bahasa adalah dari atas ke bawah
bukan sebaliknya.


Imam Utsman bin Sa’id ad-Darimi berkata: “Hadits ini sangat pahit bagi kelompok
Jahmiyah dan mematahkan faham mereka bahwa Allah tidak di atas arsy tetapi di
bumi sebagaimana Dia juga di langit. Lantas bagaimanakah Allah turun ke bumi
kalau memang Dia sendiri sudah di atas bumi? Sungguh lafazh hadits ini
membantah faham mereka dan mematahkan argumen mereka”.[32]
 Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya Allah
berada di atas langit, di atas arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini
termasuk salah satu hujjah Ahli Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan
Jahmiyah yang berpendapat bahwa Allah ada dimana-mana, bukan di atas
arsy”. [33]
2. Menetapkan sifat “kalam” (berbicara) bagi Allah


Faedah ini diambil dari kandungan hadits: “Barangsiapa yang berdoa kepadaKu
maka akan Aku kabulkan…”.Sifat “kalam” merupakan salah satu sifat yang sempurna
dan hakekat (bukan majaz) bagi Allah. Banyak sekali dalil yang mendukungnya,
salah satunya adalah firman Allah, yang artinya:
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (QS. An-Nisa’: 164)

Pernah dikisahkan bahwa sebagian Mu’tazilah pernah datang kepada Abu ‘Amr bin Al-‘Alaa’,
salah seorang pakar ahli qira’ah: Saya ingin agar anda membaca:

َ ‫َو َكلَّ َم‬


‫هللا م ُْو َسى َت ْكلِ ْيمًا‬

Dengan menashabkan (menfathah) lafadz Allah, agar supaya yang berbicara (subyek)
adalah Musa, bukan Allah. Abu ‘Amr lantas menjawab: Taruhlah aku membaca ayat ini
seperti itu, lantas apa yang akan kau perbuat dengan firman Allah:

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat kepada kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya. (QS. Al-A’raf: 143)

Akhirnya, seorang Mu’tazilah itu diam seribu bahasa!. [34]

3. Keutamaan sepertiga malam terakhir

Malam hari adalah saat keheningan hati, ketenangan, keikhlasan, dimana  saat itu manusia
dalam kelelapan tidur. Oleh karenanya, doa pada saat itu mustajab, terutama pada malam
terakhir.

Allah berfirman, yang artinya:


[401]
Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (QS. Adz-Dzariyat: 16-17)

Nabi juga bersabda:

ِ ‫ت ْال َم ْك ُت ْو َبا‬
‫ت‬ ِ ‫صلَ َوا‬ ِ ‫ قِ ْي َل ل َِرس ُْو ِل‬: ‫َعنْ أَ ِبيْ أ ُ َما َم َة َقا َل‬
َّ ‫ َج ْوفُ اللَّي ِْل اآلخ ِِر َو ُد ُب ُر ال‬: ‫ أَيُّ ال ُّد َعا ِء أَسْ َمعُ؟ َقا َل‬: ‫هللا‬

Dari Abu Umamah berkata: Ditanyakan kepada Rasulullah: “Doa apakah yang paling
mustajab? Beliau menjawab: “Akhir malam dan penghujung shalat lima waktu”. [35]


Imam Abu Bakar Ath-Thurthusi berkata dalam: “Sebagai penutup bab ini, tidak
pantas bagi seorang yang butuh kepada Allah kemudian dia tidur di waktu malam
terakhir”.[36]
Maka pergunakanlah kesempatan berharga ini -wahai saudaraku- untuk memperbanyak
doa, istighfar dan taubat sebelum maut menjemputmu.

َ ‫ َف َع َسى أَنْ َي ُك ْو َن َم ْو ُت‬            ‫اغ َفضْ َل ُر ُك ْو ٍع‬


‫ك َب ْغ َت ْة‬ ْ ْ
ِ ‫اغ َت ِن ْم فِيْ ال َف َر‬
‫ت َن ْف ُس ُه ْال َع ِزي َْزةُ َف ْل َت ْة‬ َ ‫ْح َرأَي‬
ْ ‫ َذ َه َب‬                      ‫ْت مِنْ َغي ِْر ُس ْق ٍم‬ َ ‫َك ْم‬
ٍ ‫ص ِحي‬

Gunakanlah waktu luangmu untuk memperbanyak shalat

Barangkali kematianmu datang tiba-tiba secara cepat.

Betapa banyak orang yang sehat wal afiat, tiada cacat.

Jiwanya yang sehat melayang  cepat[37].

Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

[1]HR. Bukhari: 1145 dan Muslim: 758.


[2] Sebagaimana dinukil oleh Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam Kitab As-Sunnah.
(Lihat Umdatul Qary 7/199 oleh Al-‘Ainiy).

[3] Naqdu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Marisi Al-Anid hal. 283

[4] Al-Iqtishad fil I’tiqad hal. 100

[5] At-Tamhid 3/338

[6] Majmu Fatawa 5/372

[7] Majmu Fatawa 5/382 dan 16/421

[8] Al-Uluw hal. 116 -Mukhtashar Al-Albani-

[9] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah 2/221 -Mukhtashar Al-Mushiliy-

[10] Ash-Sharimul Munki hal. 229

[402]
[11] Nadhmul Mutanasir hal. 192

[12] Silsilah Ash-Shahihah 2/716-717 dan Adh-Dha’ifah 8/365

[13] Lihat Mukhtashar Shawaiq Mursalah Ibnul Qayyim 2/230, Umdatul Qori Al-‘Aini


7/198, Kitab Nuzul Ad-Daruqutni.

[14] Syarah Hadits Nuzul hal. 69-70.

[15] Asy-Syari’ah 2/93 -Tahqiq Walid bin Muhammad-.

[16] Kitab At-Tauhid wa Itsbat Shifat Ar-Rabb hal. 125 -Tahqiq Muhammad Khalil Harras-.

[17] At-Tamhid 3/349

[18] Bandingkan dengan buku “I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah” hal. 272-273 oleh KH.
Sirajuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, cet ke 19 Jakarta 1994. Ironisnya, tatkala penulis ke
sebuah toko buku di Surabaya, ternyata kitab sesat dan menyesatkan ini dicetak ulang lagi
oleh penerbit tersebut dengan cetakan yang baru dan mewah!!!

[19] Perhatikanlah -wahai saudaraku- para ahli bid’ah memenggal dalil dan tidak
menyempurnakannya, karena lafadz berikutnya akan membungkam fahamnya!! Inikah
amanah ilmiyah ataukah ini perilaku keji kaum Yahudi yang beriman dengan sebagian dan
mengkufuri sebagian lainnya?!.

[20] Taqrib at-Tadmuriyyah hal 12 oleh Syaih Muhammad bin Shalih Utsaimin.

[21] Fathul Qadir 4/528.

[22] Ucapan mantap ini mendustakan cerita yang banyak beredar bahwa Ibnu Taimiyah
menyerupakan turunnya Allah dengan turunnya beliau dari mimbar, sebagaimana sering
didengungkan oleh kaum kuburiyyun dan ahli bid’ah, termasuk KH. Sirajuddin Abbas
dalam buku hitamnya I’tiqad Ahli bid’ah hal. 266-267 dan 40 Masalah Agama 2/215-217.

[23] Contoh mudah,  tuduhan KH. Sirajuddin Abbas terhadap Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, katanya dalam buku yang sama hal. 262: “Akan tetapi sangat disayangkan,
bahwa beliau terpengaruh dengan faham-faham kaum Musyabbihah dan Mujassimah, yang
menyerupakan Tuhan dengan makhluk”.  Pada hal. 263: “Jadi beliau sebenarnya harus
dimasukkan dalam Bab kaum Mujassimah atau Musyabbihah, karena ada persamaannya
dalam I’tiqad”.

[24] At-Tamhid 3/351.

[25] Termasuk keajaiban dunia, KH. Sirajuddin Abbas dalam buku hitamnya I’tiqad Ahli
bid’ah hal. 271-273 termasuk pembela tahrif makna istawa dengan menguasai, bahkan
membantah para ulama yang mengartikannya secara lahirnya yaitu tinggi, tak cukup hanya
itu dia juga menggap bahwa mereka sesat lagi menyesatkan!!!.

[26] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 5/415-417, Mukhtashar Shawaiq Mursalah Ibnu


Qayyim 2/221-224,Syarh Aqidah Wasithiyah Ibnu Utsaimin 2/434-435).

[27] Ta’liq Fathul Bari 3/30.


[403]
[28] Dlam makalahnya berjudul “Membongkar Kebohongan Terhadap Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah” dimuat dalam Majalah As-Sunnah edisi 12/Th V/1422 H/2001 M.

[29] Lihat Fathul Bari 13/512).

[30] Lihat Syarah Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 199).

[31] Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Utsaimin 1/216.

[32] Naqdhu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Mirrisi Al-Jahmi Al-Anid hal. 285).

[33] At-Tamhid 3/338. Lihat pula Kitab At-Tauhid hal. 126 oleh Imam Ibnu


Khuzaimah, Dar’u Ta’arudzil Aqli wa Naqli 7/7 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

[34] Syarh Aqidah Ath-Thohawiyah 1/177 oleh Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi, tahqiq Syu’aib Al-
Arnauth.   Sebab kata “Rabbuhu” dalam ayat di atas mesti dan wajib sebagai subyek, tidak
mungkin dirubah sebagai obyek sebagaimana tertera dalam kaidah nahwu. (Lihat Syarh
Qathr Nada, Ibnu Hisyam hal. 182-183).

[35] HR. Tirmidzi: 3499 dan dihasankan Imam Tirmidzi dan Al-Albani dalam Shahih Sunan
Tirmidzi 3/442.

[36] Ad-Du’a Al-Ma’tsur wa Adabuhu hal. 68

[37] Bahjatul Majalis 3/260.

=====================================

Perkataan Ulama 4 Madzhab :

1. Sikap Keras Abu Hanifah Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah

Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar,

‫من انكر ان هللا تعالى في السماء فقد كفر‬

“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.” [Lihat
Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait,
cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy.]

Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-, beliau
berkata,

‫رش‬--‫رحمن على الع‬--‫ول ال‬--‫الى يق‬--‫ر ألن هللا تع‬--‫د كف‬--‫ال ق‬-‫ماء أو في األرض فق‬-‫سألت أبا حنيفة عمن يقول ال أعرف ربي في الس‬
‫استوى وعرشه فوق سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال ال يدري العرش في السماء أو في األرض قال‬
‫يى عن الحكم‬---‫ير بن يح‬---‫ر بن نص‬---‫ناد عن أبي بك‬---‫اروق بإس‬---‫احب الف‬---‫ا ص‬---‫ر رواه‬---‫د كف‬---‫ماء فق‬---‫ه في الس‬---‫ر أن‬---‫إذا أنك‬

[404]
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku
tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah
lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,

ِ ْ‫الرَّ حْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش اسْ َت َوى‬

“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”.[QS. Thaha: 5.] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.”
Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas
‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi.
Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka
dia kafir.”[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus
Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995.]

2. Imam Malik bin Anas, Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit

Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan
bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia
berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,

‫هللا في السماء وعلمه في كل مكان ال يخلو منه شيء‬

“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu
tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 138.]

Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama
lainnya, mereka berkata,

‫ه‬--‫يء كموجدت‬--‫د من ش‬--‫جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد هللا الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وج‬
‫ول‬-‫ير مجه‬--‫ه غ‬-‫تواء من‬--‫ول واإلس‬--‫من مقالته وعاله الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معق‬
‫واإليمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضاال وأمر به فأخرج‬

“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam
Malik), Allah Ta’ala berfirman,

ِ ْ‫الرَّ حْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش اسْ َت َوى‬

“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[QS. Thaha: 5.]. Lalu bagaimana Allah beristiwa’
(menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu
(artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun
naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,

ًّ‫اال‬- ‫ض‬
َ ‫و َن‬-ْ -‫ افُ أَنْ َت ُك‬-‫ة َوإِ ِّني أَ َخ‬-
ٌ -‫ ُه ِب ْد َع‬-‫ َؤا ُل َع ْن‬- ‫الس‬
ُّ ‫ ِه َوا ِجبٌ َو‬- ‫انُ ِب‬--‫و ٍل َواإلِ ْي َم‬-ْ -‫ ُر َمجْ ُه‬-‫ ُه َغ ْي‬-‫ت َِوا ُء ِم ْن‬- ‫و ٍل َواإلِ ْس‬-ْ -ُ‫ ُر َمعْ ق‬-‫فُ َغ ْي‬--‫ال َك ْي‬

“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui
maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai

[405]
(hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian
orang tersebut diperintah untuk keluar.[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 378.]

Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang
pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.

3. Imam Asy Syafi’i -yang menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam
masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit

Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin
Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim
bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah
telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata,

‫ا‬--‫ك وغيرهم‬--‫فيان ومال‬--‫ل س‬--‫القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مث‬
‫ف‬-‫ه كي‬-‫رب من خلق‬-‫مائه يق‬-‫ه في س‬-‫ال وان هللا على عرش‬-‫اإلقرار بشهادة ان الاله اال هللا وان محمدا رسول هللا وذكر شيئا ثم ق‬
‫شاء وان هللا تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر االعتقاد‬

“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya,
juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui
bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan,
“Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun
walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah
Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah
menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-
124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165]

4. Imam Ahmad bin Hambal Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya

Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai


ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela
sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam
Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana
telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah
(Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh
makhluk-Nya).”[Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 176. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal.
189.]

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,

‫ل‬--‫ط بك‬--‫ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثالثه اال هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محي‬
‫موات واألرض‬----‫يه الس‬----‫ع كرس‬----‫فه وس‬----‫د وال ص‬----‫رش بال ح‬----‫ا على الع‬----‫وب يعلم الغيب ربن‬----‫اهد عالم الغي‬----‫يء ش‬----‫ش‬

“Apa makna firman Allah,

[406]
‫َوه َُو َم َع ُك ْم أَي َْن َما ُك ْن ُت ْم‬

“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.”[QS. Al Hadiid: 4]

‫َما َي ُكونُ مِنْ َنجْ َوى َثاَل َث ٍة إِاَّل ه َُو َر ِاب ُع ُه ْم‬

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.”[QS. Al


Mujadilah: 7]

Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang
ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang
tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan
ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun
meliputi langit dan bumi.”

Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,

‫قيل ألبي عبد هللا احمد بن حنبل هللا عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم‬
‫على العرش و اليخلو منه مكان‬

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas
langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan
ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali.
Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[Lihat Itsbat
Sifatil ‘Uluw, hal. 116]

Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan
padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok
ketika ada yang bertanya padanya,

‫كيف نعرف ربنا‬

“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab,

‫في السماء السابعة على عرشه‬

“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,

‫هكذا هو عندنا‬

“Begitu juga keyakinan kami.”[Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118]

Kami tutup tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan Abu Nu’aim Al Ash-bahani,
penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah berkata, “Metode kami (dalam menetapkan
sifat Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As Sunnah dan ijma’
(konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang dipegang oleh mereka (para
[407]
ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan mereka meyakini bahwa Allah beristiwa’
(menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Mereka menetapkan hal ini tanpa melakukan takyif
(menyatakan hakekat sifat tersebut), tanpa tamtsil (memisalkannya dengan makhluk) dan
tanpa tasybih (menyerupakannya dengan makhluk). Allah sendiri terpisah dari makhluk
dan makhluk pun terpisah dari Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur dengan
makhluk-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan bukan menetap di
bumi ini bersama makhluk-Nya.”[Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim
Al Haroni, 5/60, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.]

==========================================

Aqidah para sahabat radhiallohu ‘anhum

1. Abu Bakr As Shiddiq radliyallohu ‘anhu

Ketika Rosululloh shollallaahu ‘alaihi wasallam meninggal, Abu Bakr As Shiddiq


rodliyallohu ‘anhu menyatakan: “Wahai sekalian manusia! Jika Muhammad adalah
sesembahan kalian yang kalian sembah, sesungguhnya sesembahan kalian telah mati. Jika
sesembahan kalian adalah Yang berada di atas langit, maka sesungguhnya sesembahan
kalian tidak akan mati.” (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah)

2. Abdulloh bin Mas’ud rodliyallohu ‘anhu

Ibnu Mas’ud rodliyallohu ‘anhu menyatakan: “Antara langit dunia dengan (langit)
berikutnya sejauh perjalanan 500 tahun, dan antara 2 langit sejauh perjalanan 500 tahun,
antara langit ke-7 dengan Al Kursiy 500 tahun, antara Al Kursiy dengan air 500 tahun, dan
‘Arsy di atas air, dan Alloh Ta’ala di atas ‘Arsy dalam keadaan Dia Maha Mengetahui apa
yang terjadi pada kalian” (diriwayatkan oleh Ad Darimi)

3. Zainab bintu Jahsy radliyallohu ‘anha

Dari Anas bin Malik rodliyallohu ‘anhu, bahwa Zainab binti Jahsy radliyAllohu ‘anha
berbangga terhadap istri-istri Nabi yang lain, ia berkata: “Kalian dinikahkah oleh keluarga
kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Alloh dari atas tujuh langit”. Dalam lafadz lain beliau
berkata: “Sesungguhnya Alloh telah menikahkan aku di atas langit.” (diriwayatkan oleh Al
Bukhori)

4. Abdulloh bin Abbas rodliyallohu ‘anhu

Sahabat Nabi yang merupakan pakar tafsir AlQur’an ketika menafsirkan firman Alloh
tentang ucapan Iblis yang akan mengepung manusia dari berbagai penjuru. Iblis
menyatakan sebagaimana diabadikan oleh Alloh dalam Al Quran:

‫ِيه ْم َومِنْ َخ ْلف ِِه ْم َو َعنْ أَ ْي َمان ِِه ْم َو َعن َش َمآ ِئل ِِه ْم‬
ِ ‫ْن أَ ْيد‬
ِ ‫ُث َّم آل ِت َي َّنهُم مِّن َبي‬
“Kemudian sungguh-sungguh aku akan mendatangi mereka dari arah depan mereka, dan
dari belakang mereka, dan dari kanan dan kiri mereka” (QS Al A’raaf [7]:17).
Abdulloh bin Abbas rodliyallohu ‘anhu menyatakan: “Iblis tidak bisa mengatakan:

[408]
‘(mendatangi mereka) dari atas mereka’, karena dia tahu bahwa Alloh berada di atas
mereka.” (diriwayatkan oleh Al Lalika’i)

5. Abdulloh bin Umar rodliyallohu ‘anhu

Dari Zaid bin Aslam rohimahulloh beliau berkata: “Ibnu Umar melewati seorang
penggembala (kambing), kemudian beliau bertanya: ‘Apakah ada kambing yang bisa
disembelih?’ Penggembala itu menyatakan: ‘Pemiliknya tidak ada di sini’. Ibnu Umar
rodliyallohu ‘anhu menyatakan: ‘Katakan saja bahwa kambing tersebut telah dimangsa
serigala’. Kemudian penggembala kambing tersebut menengadahkan pandangannya ke
langit dan berkata: ‘Kalau demikian, di mana Alloh?’ Maka Ibnu Umar rodliyallohu ‘anhu
berkata: ‘Demi Alloh, aku lebih berhak untuk bertanya: Di mana Alloh? (daripada kamu)’
Sehingga kemudian Ibnu Umar membeli penggembala dan kambingnya, memerdekakan
penggembala tersebut dan memberikan padanya satu kambing itu” (diriwayatkan oleh Ath
Thobroni)

====================================

Apakah Allah Turun dengan Dzatnya ataukah Tidak?


Muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama Ahlussunnah apakah dikatakan Allah turun
dengan Dzat-Nya ataukah tidak? Mereka berselisih dalam tiga pendapat :

1. Di antara mereka berpendapat Allah turun dengan Dzat-Nya. Kita perlu


mengatakannya agar hal ini tidak disalahpahami bahwa yang turun
adalah amrullah(urusan/perintah Allah) atau rahmat Allah seperti perkataan ahlu
ta’thil (kelompok yang menolak nama dan sifat Allah).
2. Di antara mereka   berpendapat tidak mengatakan Allah turun dengan Dzat-Nya dan
menolak perkataan tersebut. Menurut mereka perkataan Allah turun dengan Dzat-
Nya ke langit dunia adalah batil dan tertolak.
3. Di antara mereka mengatakan tidak memutlakkan kedua-duanya, mereka tidak
menetapkan dan juga tidak menolak perkataan tersebut.
Di antara tiga pendapat di atas  pendapat ketigalah yang benar – wallahu a’lam-. Karena
kaedah yang benar berdasarkan sunnah adalah kita tidak melampaui al Quran dan al
Hadist. Dalam sabda Nabi “Allah turun“ di dalamnya terdapat penetapan sifat turun (tidak
disertai keterangan lainnya), maka kita tidak mengatakan Allah turun dengan Dzat-Nya dan
juga tidak mengatakan tidak bolehnya mengatakan Allah turun dengan Dzat-Nya. Kita tidak
menetapkannya dan tidak pula menolaknya .

Apakah ‘Arsy Allah Kosong ketika Allah Turun?

Telah kita ketahui bersama bahwasanya Allah Ta’ala istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya. Ketika Allah
turun ke langit dunia, apakah ‘Arsy Allah kosong? Dalam hal ini para ulama juga berselisih
menjadi tiga pendapat :

Pendapat pertama. Arsy Allah tidak kosong. Syaikhul Islam Ibnu Taimyah berkata


dalamRisalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya
kosong, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil

[409]
yang muhkam(dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang
turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka
wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam
keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit
dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara akal kita terbatas untuk
melliputi ilmu AllahTa’ala”

Pendapat kedua .Tawakuf. Mereka tidak mengatakan ‘arsy Allah kosong dan tidak pula
mengatakan tidak kosong.

Pendapat ketiga. Turun-Nya Allah menjadikan ‘arsy-Nya kosong.

Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan : “ Tidak ada hak


bagi kita berbicara apakah ketika Allah turun ‘Arsy-Nya kosong atau tidak kosong,
hendaknya kita diam sebagaimana para sahabat radhiyallahu ‘anhum diam (tidak
membahas) masalah ini.

Beberapa Kesalahan Makna Nuzul dan Bantahannya

Sudah menjadi kebiasaan ahlul bid’ah bahwasanya mereka akan menyelewengkan sifat-


sifat Allah yang tidak mereka imani, termasuk sifat nuzul ini. Mereka menyelewengkan
makna nuzul dan memaksudkan makna nuzul bukan dengan makna yang hakiki, di
antaranya :

Pertama. Yang turun adalah amrullah (urusan/perintah Allah) yang Allah tetapkan. Ini


adalah makna yang batil. Karena turunnya urusan Allah akan senantiasa ada pada setiap
waktu, tidak khusus pada sepertiga malam terakhir saja . Allah Ta’ala berfirman :

ِ ‫سمَاءِ إِلَى اأْل َ ْر‬


ُ ‫ض ُث َّم َي ْع ُر‬
‫ج إِلَ ْي ِه‬ َّ ‫ُيدَ ِّب ُر اأْل َ ْم َر مِنَ ال‬

Artinya : ” Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik
kepadanya“(As Sajadah :5)

‫َوإِلَ ْي ِه ُي ْر َج ُع األَ ْم ُر ُكلُّ ُه‬

Artinya : “Dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya” (Huud: 123)

Kedua. Yang turun adalah rahmat Allah Ta’ala ke langit dunia pada sepertiga malam
terakhir. Ini juga merupakan makna yang batil. Rahmat Allah tidak turun kecuali hanya
pada waktu itu saja?! Ini sama saja dengan membatasi rahmat Allah.  Padahal Allah
berfirman :

ِ ‫َو َما بِ ُكم ِّمن ِّن ْع َم ٍة َفمِنَ هّللا‬

Artinya : “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” (An
Nahl : 53). Sedangkan seluruh nikmat Allah merupakan buah dari rahmat Allah dan itu
turun pada setiap waktu. Selain itu jika yang turun adalah rahmat Allah, apa faedahnya
dengan turunnya rahmat Allah hanya sampai ke langit dunia?!

Ketiga. Yang turun adalah malaikat Allah.  Ini juga makna yang batil. Jika yang turun adalah
malaikat, apakah masuk akal jika malaikat berkata : “Barang siapa yang berdoa kepadaku
[410]
akan Aku kabulkan, barang siapa meminta kepadaku akan Aku beri, barang siapa memohon
ampun kepadaku akan Aku ampuni?”. Dengan ini jelaslah kebatilan perkataan mereka.

Inilah beberapa kesalahan makna nuzul yang diselewengkan oleh ahlul bid’ah. Padahal


demi Allah, mereka tidaklah lebih mengetahui tentang Allah daripada Rasulullah, mereka
juga tidaklah lebih baik niatnya terhadap umat manusia daripada Rasulullah, mereka juga
tidaklah lebih fasih dalam perkataan mereka daripada Rasulullah. Dan pemahaman seperti
itu tidak pernah ada dalam pemahaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Menjawab Kerancuan

Jika ada yang mengatakan : “Mengapa engkau katakan Allah turun? Jika Allah turun,
bagaimana dengan ke-Maha Tinggian Allah ? Jika Allah turun, bagaimana dengan istiwa’-
Nya Allah di atas ‘arsy? Jika Allah turun, maka turun adalah bergerak dan berpindah!! Jika
Allah turun, turun adalah haadist (sesuatu yang baru), dan sesuatu yang baru tidak terjadi
kecuali dengan sesuatu yang baru pula?”

Kita katakan bahwa itu semua itu adalah anggapan yang batil. Dan itu semua tidak
bertentangan dengan hakikat turun-Nya Allah. Apakah kalian lebih tahu tentang hakikat
turun-Nya Allah  daripada sahabat Rasulullah?. Para sahabat tidak pernah mengatakan
kemungkinan-kemungkinan seperti yang kalian katakan sama sekali. Mereka semua (para
sahabat) mengatakan. : kami mendengar, kami beriman, kami menerima, dan kami
membenarkan. Sedangkan ahlu ta’thil mereka memperdebatkan dengan perdebatan yang
batil dengan bertanya mengapa begini, mengapa begitu. Cukuplah kita katakan
Allah Ta’alaturun dan kita tidak memperdebatkan tentang apakah ‘arsy Allah kosong atau
tidak. Adapun sifat ke-Maha Tinggian Allah, kita katakan bahwa Allah turun akan tetapi
Allah tetap di atas para makhluk-Nya, karena bukanlah makna turun-Nya Allah diliputi dan
dinaungi langit, karena tidak ada satu makhluk pun yang dapat meliputi Allah Ta’ala.

Lain lagi dengan pertanyaan orang-orang zaman sekarang. Mereka mempertentangkan


masalah ini dengan pengetahuan bahwa bumi ini bulat. Mereka mengatakan bagaimana
mungkin Allah turun ke langit dunia di sepertiga malam terakhir? Sepertiga malam jika
berpindah dari satu tempat akan terjadi di tempat di dekatnya dan seterusnya sesuai arah
berputarnya bumi. Jika demikian, Allah akan selalu turun ke langit dunia  karena akan ada
dalam setiap waktu bagian bumi yang mengalami sepertiga malam?

Kita katakan bahwa kita mengimani Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam
terakhir. Jika kita sudah beriman dengan yakin, tidak ada lagi keraguan sedikit pun di balik
keyakinan tersebut. Kita tidak perlu dan tidak pantas bertanya bagaimana dan mengapa.
Kewajiban kita beriman jika sepertiga malam terjadi di satu daerah, maka ketika itu pula
Allah  turun, jika sepertiga malam terakhir terjadi di daerah lain, maka ketika itu pula Allah
turun di daerah tersebut. Jika telah terbit fajar di daerah tersebut maka berakhir sudah
waktu turun-Nya Allah di daerah tersebut.

[411]
MAKNA KEDEKATAN DAN KEBERSAMAAN ALLAH
Segala puji hanya bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di
atas petunjuk dan agama yang lurus. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak
disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-
Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada beliau dan orang-orang yang
senantiasa mengikuti ajaran beliau hingga hari Kiamat kelak. Amma ba’d.

Saudariku yang saya cintai karena Allah, perlu kita ketahui bahwasanya mengenal Dzat
yang menciptakan kita merupakan suatu kenikmatan yang sangat besar. Bagaimana
mungkin seorang hamba tidak mengenal Rabbnya? Bukankah di alam kubur nanti kita
akan ditanya oleh malaikat, “Siapakah Rabbmu?” Dan tentu saja orang-orang yang teguh
imannya dan mereka mengenal Rabbnya di dunia yang mampu menjawab. Lalu kita akan
bertanya, “Bagaimana cara mengenal Allah? Sedangkan kita tidak pernah melihat-Nya
sama sekali.”

Diantara cara mengenal Allah Ta’ala adalah mengenal nama dan sifat-Nya. Sebagaimana
yang dikabarkan oleh Allah di dalam al-Qur’an dan hadist nabi kita shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

Dalam kesempatan kali ini, izinkan saya untuk menulis sedikit mengenai sifat Allah yaitu
Qurbullah min kholqihi (Kedekatan Allah dengan hamba-Nya) dan Ma’iyyatullah li kholqihi
(Kebersamaan Allah dengan hamba-Nya). Semoga kita semua selalu diberi petunjuk
kepada jalan yang lurus. Aamiin.

Manhaj Salaful Ummah dalam Kaidah Asma’ wa Shifat

Sebelum kita mengetahui apa itu Kedekatan dan Kebersamaan Allh dengan Hamba-Nya,
sedikit saya bahas disini bagaimana kaidah para salaf -para pedahulu kita dalam Islam dari
kalangan sahabat Rasulullah dan para pengikutnya, yang disebut juga dengan ahlussunnah
wal jama’ah- dalam memahami nama dan sifat Allah. Hal ini ditujukan agar kita memahami
dengan kaidah yang shahih, karena para sahabat nabi adalah generasi yang langsung
ditarbiyah oleh Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga yang paling mendekati
kebenaran.

Adapun kaidah ahlussunnah wal jama’ah tentang nama dan sifat Allah yang harus kita
yakini, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,
“Diantara iman kepada Allah adalah mengimani segala yang Allah sifatkan tentang diri-Nya
di dalam kitab-Nya (al-Qur’an -pen) dan apa yang Rasul sifatkan tentang Allah (al-Hadist
-pen) tanpa tahrif (dirubah), ta’thil (ditiadakan), takyif (dibagaimanakan), dan tamtsil
(diserupakan dengan makhluk). Tetapi mereka beriman bahwasanya Allah Subahanahu wa
Ta’ala,

‫ْس َكم ِْثلِ ِه َشيْ ٌء َوه َُو ال َّسمِي ُع ْالبَصِ ي ُر‬


َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Melihat.” (QS. asy-Syura: 11) [ al-Aqidah al-Wasithiyyah, Ahmad bin Taimiyah]
[412]
Mengapa kita harus memahami nama dan sifat Allah melalui kitab dan sunnah?
Jawabannya masih dalam perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Karena Allah
Subhanahu adalah Dzat yang paling mengetahui tentang diri-Nya bukan selain-Nya, yang
paling benar perkataan-Nya, dan yang paling baik ucapan-Nya. Adapun Rasulullah adalah
manusia yang paling jujur perkataannya.” [al-Aqidah al-Wasithiyyah, Ahmad bin Taimiyah]

Makna Kedekatan dan Kebersamaan Allah

Makna kedekatan Allah dengan hamba-Nya adalah Allah Subhanahu Maha dekat dengan
orang-orang yang berdo’a dan yang bermunajat kepada-Nya, Maha Mendengar do’a dan
bisik-bisik hamba-Nya, dan Allah akan mengabulkan do’a para hamba-Nya kapan saja dan
dengan cara apa saja yang Dia kehendaki, maka Allah Maha dekat dengan ilmu-Nya dan
pengawasan-Nya. [] Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal 197, Muhammad Khalil Kharras]

Sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta’ala dalam kitab-Nya yang mulia,

‫ان َف ْل َيسْ َت ِجيبُوا لِي‬ ُ َ َ‫ون َوإِ َذا َسأَل‬ ُ ْ‫َو ْلي ُْؤ ِم ُنوا ِبي لَ َعلَّ ُه ْم َير‬
ِ ‫َّاع إِ َذا َد َع‬
ِ ‫ك عِ َبادِي َع ِّني َفإِ ِّني َق ِريبٌ أ ِجيبُ دَعْ َو َة الد‬ َ ‫ش ُد‬

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),


bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila
ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.“ (QS.
al-Baqarah: 186)

Sedangkan makna kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya adalah kebersamaan yang


sesuai dengan kemahatinggian-Nya, yang mengandung arti bahwa Allah meliputi semua
makhluk-Nya dengan pengetahuan-Nya, penglihatan-Nya, pengawasan-Nya, pendengaran-
Nya, kekuasaan-Nya dan sifat-sifat maha sempurna Allah lainnya yang merupakan makna
Rububiyah-Nya. [Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal 401, Syaikh Muhammad bin Sholih
al-‘Utsaimin]

Makna tersebut adalah makna yang dijelaskan oleh para Imam ahli tafsir dari kalangan
ahlus sunnah wal jama’ah, ketika menafsirkan firman Allah,

ِ ْ‫َّام ُث َّم اسْ َت َوى َعلَى ْال َعر‬ َ ِ ‫ه َُو الَّذِي َخلَ َق ال َّس َم َاوا‬
ِ ‫ا َي ْن‬-‫ا َو َم‬-‫ض َو َما َي ْخ ُر ُج ِم ْن َه‬
‫ز ُل م َِن‬- ِ ْ‫ َيعْ لَ ُم َما َيلِ ُج فِي األر‬،‫ش‬ ٍ ‫ض فِي سِ َّت ِة أي‬
َ ْ‫ت َواألر‬
َ ُ‫ َوه َُو َم َع ُك ْم أَي َْن َما ُك ْن ُت ْم َوهَّللا ُ ِب َما َتعْ َمل‬،‫ال َّس َما ِء َو َما َيعْ ُر ُج فِي َها‬
‫ون بَصِ ي ٌر‬

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia beristiwaa’
(tinggi berada) di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang
ke luar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia
bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” (QS. al-Hadid: 4)

Diantara yang menafsirkan adalah Imam Ibnu Katsir rahimahullah:

“Dia maha mengawasi kalian lagi menyaksikan perbuatan-perbuatan kalian, kapan dan di
manapun kalian berada, di darat maupun di laut, di waktu malam maupun siang, di dalam
rumah atau di tempat yang sunyi. Pengetahuan-Nya meliputi semua mahluk-Nya secara

[413]
menyeluruh, semua dalam pengawasan dan pendengaran-Nya. Dia mendengar (semua)
ucapan serta meyaksikan (semua) keadaan kalian. Dan Dia mengetahui apa yang kalian
tampakkan dan rahasiakan.” [Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah]

Pembagian Ma’iyyah Allah

Para ulama membagi ma’iyyah menjadi 2, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-
Sunnah:

Ma’iyyah ‘Ammah (Ma’iyyah Umum)

Adalah kebersamaan Allah dengan seluruh hamba-Nya dalam pengawasan dan


penglihatan-Nya, mengetahui seluruh perbuatan hamba-Nya baik perbuatan yang baik atau
buruk, dan Dzat yang membalas semua perbuatan mereka.

Ma’iyyah Khoshshoh (Ma’iyyah Khusus)

Adalah kebersamaan Allah dengan hamba-Nya yang beriman saja, yaitu dengan
pertolongan-Nya dan penjagaan-Nya. [Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal 79, Syaikh
Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan]

Lalu, Dimanakah Allah?

Setelah kita mengetahui bahwasanya Allah itu Maha dekat dan bersama dengan hamba-
Nya, mungkin ada diantara kita yang bertanya, “Lalu, dimanakah Allah? Jika dia dekat dan
bersama hamba-Nya berarti Allah berada di sekitar kita? Berarti Allah ada dimana-mana?”.

Tentu saja ini pernyataan yang salah saudariku, karena Allah tetap beristiwa’ di atas ‘Arsy.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,

“Telah disebutkan perkara iman kepada Allah (dalam nama dan sifat-Nya -pen) adalah
beriman kepada semua yang Allah kabarkan dalam kitab-Nya, hadist mutawatir dari Rasul-
Nya, dan kesepakatan (ijma’) ulama salaf. Diantara perkara tersebut adalah Allah
Subhanahu berada di atas ‘Arsy, Maha tinggi di atas para makhluk-Nya, Dan Allah
Subhanahu bersama dengan mereka dimanapun mereka berada, Mengetahui apa saja yang
mereka kerjakan. Sebagaimana Allah menggabungkan sifat-sifat tersebut dalam firman-
Nya,

ِ ْ‫َّام ُث َّم اسْ َت َوى َعلَى ْال َعر‬ َ ِ ‫ه َُو الَّذِي َخلَ َق ال َّس َم َاوا‬
ِ ‫ا َي ْن‬-‫ا َو َم‬-‫ض َو َما َي ْخ ُر ُج ِم ْن َه‬
‫ز ُل م َِن‬- ِ ْ‫ َيعْ لَ ُم َما َيلِ ُج فِي األر‬،‫ش‬ ٍ ‫ض فِي سِ َّت ِة أي‬
َ ْ‫ت َواألر‬
َ ُ‫ َوه َُو َم َع ُك ْم أَي َْن َما ُك ْن ُت ْم َوهَّللا ُ ِب َما َتعْ َمل‬،‫ال َّس َما ِء َو َما َيعْ ُر ُج فِي َها‬
‫ون بَصِ ي ٌر‬

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia beristiwaa’
(tinggi berada) di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang
ke luar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia
bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan” (QS al-Hadid: 4) [al-Aqidah al-Wasithiyyah, Ahmad bin Taimiyah]

‘Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhhuma, yang merupakan ulama tafsir dari kalangan
sahabat radhiyallahu ‘anhhum , menafsirkan kalimat “Dan Dia bersama kamu di mana saja
kamu berada” dalam QS. al-Hadid ayat 4 di atas:

[414]
[‫]وه َُو َم َع ُك ْم‬
َ “Dia (Allah) Mengetahui kalian,

[‫ ]أَي َْن َما ُكن ُت ْم‬baik di darat maupun di lautan.” [Tafsir Ibnu Abbas, Maktabah Syamilah]

Adapun kata ma’a tidak harus bersatu di dalam satu tempat, adanya percampuran dan
saling bersentuhan. Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan menuliskan bantahan
dari syubhat ini:

Tidak terdapat dalam kaidah bahasa Arab bahwa kata ma’a harus bersatu dalam satu
tempat, adanya percampuran, dan saling bersetuhan.

Menyelisihi ijma’ salaful ummah dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

Menyelisihi fitrah manusia bahwasanya Allah Maha Tinggi di atas para makhluk-Nya..

Menyelisihi al-Qur’an dan al-Hadist bahwa Allah berada di atas ‘Arsy. [Syarh al-Aqidah al-
Wasithiyyah, hal 115, Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauza]

Disebutkan sebelumnya, bahwa Allah Maha dekat dengan hamba-Nya yang berdoa.
Maknanya Allah Maha mendengar dan mengabulkan do’a hamba-Nya, serta bersama
seluruh hamba-Nya dengan ilmu-Nya, dan keduanya tidak menafikan istiwa’nya Allah di
atas ‘Arsy. Maka sudah sepantasnya kita berhenti pada perkataan ini saja, tanpa mengubah
maknanya sebagaimana sikap para sahabat dan ulama salaf.

Renungan Bagi Kita Semua

Saudariku yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah, kita telah bersama-sama
mengetahui makna dari kedua sifat Allah di atas. Kita tahu bahwa Allah bersama kita
dengan pengetahuan-Nya, penglihatan-Nya, pengawasan-Nya, pendengaran-Nya, dan
kekuasaan-Nya. Akan tetapi mengapa dengan mudahnya kita bermaksiat kepada Dzat yang
melihat gerak-gerik kita? Tidakkah kita takut dengan adzab Allah yaitu neraka menyala-
nyala yang panasnya 70 kali lipat panasnya api dunia?

Kita tahu bahwa Allah Maha dekat dengan mendengar dan mengabulkan do’a para hamba-
Nya, akan tetapi mengapa kita masih saja enggan berdo’a? Padahal seorang hamba
sangatlah butuh kepada Rabbnya. Untuk itu marilah kita kembali berbenah saudariku,
tidak ada kata terlambat untuk bertaubat sebelum nyawa sampai di kerongkongan. Semoga
tulisan ini bermanfaat terkhusus untuk penulis dan dapat mengingatkan kita semua akan
kebesaran dan kekuasaan Allah.

Wallahu a’lam.

Allah itu Dekat dalam Doa

[415]
Allah itu dekat dengan hamba ketika ia berdoa. Jadi selalu yakinlah bahwa Allah
mendengar doa dan akan mengabulkan doa tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,

‫ان َفْليَ ْستَ ِجيبُوا يِل َولُْي ْؤ ِمنُوا يِب لَ َعلَّ ُه ْم َي ْر ُش ُدو َن‬
ِ ‫َّاع إِ َذا دع‬
َ َ ِ ‫يب َد ْع َو َة الد‬
ِ ‫وإِ َذا سأَلَك ِعب ِادي عيِّن فَِإيِّن قَ ِر‬
ُ ‫يب أُج‬
ٌ َ َ َ َ َ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), “Aku itu
dekat”. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku,
maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)
Allah itu Dekat
Selain ayat di atas,terdapat dalil dalam Shahih yang menunjukkan bahwa Allah itu dekat.
Dari Abu Musa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َح ِد ُك ْم‬ ِ ِ ِ ِ ‫والَّ ِذى تَ ْدعونَه أَْقرب إِىَل أ‬


َ ‫َحد ُك ْم م ْن ُعنُ ِق َراحلَة أ‬
َ ُ َ ُ ُ َ

“Yang kalian seru adalah Rabb yang lebih dekat pada salah seorang di antara kalian
daripada urat leher unta tunggangan kalian.” (HR. Muslim no 2704)
Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa ada seseorang bertanya pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,

‫ أقريب ربنا فنناجيه أم بعيد فنناديه ؟‬: ‫يا رسول اهلل‬

“Wahai Rasulullah, apakah Rabb kami itu dekat lantas cukup kami bermunajat dengan-Nya
ataukah jauh sehingga kami harus menyeru-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun diam dan turunlah ayat yang kita bahas di atas. (HR. Ibnu Abi Hatim 2: 767, Ibnu Jarir,
2: 158. Di dalamnya ada perawi yang majhul -yang tidak diketahui- yaitu Ash Shult bin
Hakim bin Mu’awiyah, ia, ayah dan kakeknya majhul. Lihat tahqiq Abu Ishaq Al Huwaini
terhadap Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 63).

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud Allah itu dekat yaitu Allah dekat
dengan kalian dari urat leher hewan tunggangan kalian. Namun kedekatan yang dimaksud
di sini adalah dalam do’a. Kedekatan yang dimaksud bukanlah pada setiap kedekatan.
Namun hanya ada pada sebagian keadaan. Sebagaimana disebut pula dalam hadits,
“Tempat yang seorang hamba sangat dekat dengan Rabbnya yaitu ketika ia sujud.” Ada
hadits lainnya pula yang semisal itu.” (Majmu’atul Fatawa, 5: 129).

Allah itu Dekat, Namun Keberadaan Allah Menetap Tinggi di Atas ‘Arsy

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Al Aqidah Al Wasithiyyah,

“Kedekatan dan kebersamaan Allah yang disebutkan dalam Al Kitab dan As Sunnah
tidaklah bertentangan dengan ketinggian Allah Ta’ala. Tidak ada sesuatu pun yang semisal
dengan-Nya dalam setiap sifat-sifat-Nya. Allah Maha Tinggi, namun dekat. Dia Maha Dekat,
namun tetap berada di ketinggian.”
[416]
Dalil yang menyatakan Allah menetap tinggi di atas langit tidaklah bertentangan dengan
keyakinan Allah itu dekat. Adapun dalil-dalil yang mendukung keyakinan Allah menetap
tinggi di atas langit adalah:

Pertama: Ayat tegas yang menyatakan Allah beristiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy. ‘Arsy
adalah makhluk Allah yang paling tinggi dan paling besar.

Contoh ayat tersebut adalah,

ْ ‫الرَّمْح َ ُن َعلَى الْ َع ْر ِش‬


‫اسَت َوى‬

“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy .” (QS. Thaha: 5)
Kedua: Dalil yang menanyakan di manakah Allah. Seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bertanya pada seorang budak, “Di mana Allah?” Budak itu menjawab,  “Di
atas langit.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa saya?” Budak
tersebut menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Merdekakanlah dia karena dia adalah seorang mukmin.” (HR. Muslim)
Adz Dzahabi mengatakan, “Inilah pendapat kami bahwa siapa saja yang ditanyakan di
mana Allah, maka akan dibayangkan dengan fitrohnya bahwa Allah di atas langit. Jadi
dalam riwayat ini ada dua permasalahan: (1) Diperbolehkannya seseorang menanyakan,
“Di manakah Allah?” dan (2)] Orang yang ditanya harus menjawab, “Di atas langit”.” Lantas
Adz Dzahabi mengatakan, “Barangsiapa mengingkari dua permasalah ini berarti dia telah
menyalahkan Musthofa (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Mukhtashor Al
‘Uluw, Syaikh Al Albani, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani,
hal. 81, Al Maktab Al Islamiy, cetakan kedua, 1412 H)

Ketiga: Dalil yang menyatakan bahwa Allah menceritakan mengenai Fir’aun yang ingin
menggunakan tangga ke arah langit agar dapat melihat Tuhannya Musa. Lalu Fir’aun
mengingkari keyakinan Musa mengenai keberadaan Allah di atas langit.
Allah Ta’ala berfirman,
‫وسى َوإِيِّن أَل َظُنُّهُ َك ِاذبًا‬ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ‫) أَسباب‬36( ‫وقَ َال فِرعو ُن يا هاما ُن اب ِن يِل صرحا لَعلِّي أَبلُ ُغ اأْل َسباب‬
َ ‫الس َم َاوات فَأَطَّل َع إىَل إلَه ُم‬ َ َْ َ َْ ْ َ ً َْ ْ َ َ َ َْ ْ َ

“Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi
supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat
Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”.” (QS. Al Mu’min: 36-
37)
Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di
atas langit, mereka itu termasuk pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian
Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.”  (Syarh Al
‘Aqidah Ath Thohawiyah, Ibnu Abil ‘Izz Ad Dimasyqi , Dita’liq oleh Dr. Abdullah bin Abdul
Muhsin At Turki dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth, 2/441, Mu’assasah Ar Risalah, cetakan
kedua, 1421 H)

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

[417]
[418]

Anda mungkin juga menyukai