Anda di halaman 1dari 56

DAFTAR ISI

BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1

1.1. Latar Belakang................................................................................................1


1.2. Rumusan Masalah...........................................................................................4
1.3. Tujuan Penelitian............................................................................................4
1.4. Manfaat Penelitian..........................................................................................4
1.5. Batasan Penelitian...........................................................................................5

BAB II...........................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................6

2.1 Konsep Kekerasan Pada Anak........................................................................6


2.2 Jenis Kekerasan Terhadap anak......................................................................6
2.3 Konsep Eksploitasi..........................................................................................7
2.4 Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Eksploitasi Anak...........................................8
2.5 Konsep Stigma..............................................................................................10
2.6 Perlindungan Khusus Anak...........................................................................13

BAB III........................................................................................................................18
METODEPENELITIAN.............................................................................................18

3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian.............................................................................18


3.2.Jenis dan Metode Pengumpulan Data................................................................18
3.3 Teknik PenggumpulanData...............................................................................20
3.4 Teknis Analisis Data..........................................................................................20

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pembangunan nasional adalah amanat dari konstitusi yang mana sesuai dengan ikrar
dan cita-cita bangsa Indonesia, yakni pembangunan yang didasarkan pada pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut secara tegas disebutkan pada pembukaan UUD
1945 bahwa “hakikat pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa,
menciptakan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dan
membantu melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial” .
Berdasarkan pada konstitusi berbangsa dan bernegara tersebut diatas maka makna
pembangunan sejatinya harus mereduksi nilai-nilai keseimbangan pada setiap aspek
kehidupan sosial masyarakat secara komperhensif. Kebijakan dalam pembangunan tersebut
tidak dapat dilaksanakan dengan hanya mempertimbangkan salahsatu unsur saja. Program
pembangunan selain mengejar pertumbuhan ekonomi juga harus memperhatikan
pelaksanaan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia sebagaimana tertera dalam
konstitusi berbangsa dan bernegara (Prabowo, 2015).
Seiring dengan perkembangan pembangunan nasional, seringkali hak warga negara
terkhusus pada hak-hak anak tidak dijadikan pertimbangan dalam mengambil sebuah
kebijakan pembangunan, sehingga hak-hak anak seringkali menjadi korban dalam proses
pembangunan itu sendiri. anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus cita-cita
perjuangan bangsa sehingga seharusnya hak-hak anak menjadi prioritas utama dalam
mengambil kebijakan.
Dalam rangka mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan mampu
mewujudkan serta meneruskan pembangunan nasional demi kesejahteraan bangsa, maka
diperlukan pembinaan secara terus menerus serta perlindungan secara khusus terhadap hak-
hak anak sesuai dengan amanat pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Anak adalah
amanat yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya, dikarenakan anak-anak masih dalam
masa pertumbuhannya maka, secara fisik dan mental sangat membutuhkan perhatian
khusus, oleh karena itu seluruh bangsa didunia melalui Convention on the right of the child
(CRC) bersepakat bahwa anak diberikan hak-hak asasinya dan perlindungan khusus .
Hak anak secara universal sesuai dengan yang tertera dalam sidang umum PBB
tanggal 20 November 1989 tentang Konvensi Hak-hak Anak dimaksudkan agar anak-anak
dapat menjalani kehidupannya dengan bahagia dan berhak menikmati hak-hak dan
kebebasan untuk kepentingan mereka sendiri. Seluruh pihak baik itu orangtua, organisasi,
sosial, pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat mengakui hak-hak tersebut dan
mendorong seluruh upaya untuk memenuhinya.
Indonesia sebagai sebuah negara ikut juga menyepakati konvensi terkait hak anak
pada sidang PBB, dan konsekuensi atas hal tersebut adalah Indonesia meratifikasi Konvensi
Hak Anak tersebut melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990
Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak

1
Anak). Secara hukum telah timbul kewajiban untuk menghormati dan menjamin hak-hak
yang ditetapkan dalam konvensi tersebut. Bahwa menurut konvensi tersebut hak anak
meliputi 4 bidang yaitu: pertama hak atas kelangsungan hidup, menyangkut hak atas
kualitas hidup dan kesehatan yang layak, kedua hak untuk berkembang, yakni mencakup
pendidikan, informasi, kebebasan berpikir, beragama, serta hak anak cacat (berkebutuhan
khusus) dan perlindungan khusus, ketiga hak perlindungan yang mencakup perlindungan
atas segala bentuk eksploitasi, kekerasan dan perlakuan sewenang-wenang dalam peradilan
pidana, kemudian yang terakhir adalah hak partisipasi yang meliputi kebebasan untuk
menyatakan pendapat, berkumpul serta hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan
menyangkut dirinya (Rumtianing, 2014).
Menindaklanjuti konvensi hak hak atas anak, oleh pemerintah Indonesia kemudian
membuat peraturan khusus terkait perlindungan anak yakni Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang kemudian diamandemen dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Peraturan tersebut
mencantumkan pasal terkait perlindungan khusus, yaitu pada pasal 59 yang menyebutkan
bahwa “Pemerintah dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
tereksploitasi secara ekonomi/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza),
anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik
dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan
penelantaran”
Pemerintah dalam hal ini juga telah mengeluarkan kebijakan terkait dengan
kabupaten/kota layak anak, yaitu sebuah program yang mempunyai sistem pembangunan
berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam
kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak dan perlindungan anak
(Anak, 2018).
Pemerintah menyadari pentingnya ketersediaan bermacam indikator anak. Sebagai
asset pembangunan, maka pemerintah perlu berinvestasi secara intensif pada kesehatan dan
kesejahteraan anak-anak. Bagaimana dengan tumbuh kembang anak terkait dengan
kesehatan dan nutrisi yang diperlukan, pendidikan dan kesejahteraan anak, lingkungan
tempat anak tumbuh dan berkembang dan faktor-faktor lainnya. Beberapa hal tersebut
merupakan penentu masa depan anak (Chandra & Putri, 2021).
Menyikapi dinamika berkehidupan sosial anak-anak yang berorientasi pada
pembangunan anak, maka pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (Kemen PPPA) memiliki 8 program prioritas perlindungan anak guna
menjamin ketersediaan hak-hak anak dalam tumbuh kembanganya yaitu salah satunya
adalah Peningkatan Sarana Publik Ramah Anak. Program tersebut merupakan bagian dari

2
pengembangan Kota Layak Anak (KLA) yang merupakan suatu bentuk komitmen
pemerintah dalam mewujudkan Good Governance atau tata kelola pemerintahan yang baik.
Dalam (Peraturan Menteri Pemberdayaan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
tentang Panduan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, 2011) menjelaskan Panduan
Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, KLA merupakan Kabupaten/kota yang
mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan
dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan,
program dan kegiatan untuk menjamin hak anak (Chandra & Putri, 2021).
Kota layak anak (KLA) adalah Kabupaten/Kota yang mempunyai sistem
pembangunan berbasis hak untuk anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan
berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin pemenuhan hak dan
perlindungan anak. Berkaitan dengan perlindungan anak, maka orangtua, masyarakat
umum maupun pemerintah baik pusat maupun didaerah berkewajiban secara bersama sama
memerangi kejahatan yang sering terjadi pada anak sehingga tercipta lingkungan ramah
anak, karena hal tersebut dapat mengganggu mental dan psikologis sang anak sehingga
mempengaruhi kehidupan masa depan anak. Bentuk kejahatan yang sering dialami oleh
anak-anak adalah kekerasan baik secara fisik, psikis maupun seksual, selain daripada itu
eksploitasi anak adalah bagian yang tak terpisahkan daripada bentuk kejahatan terhadap
anak (Mulyadi, 2018).
Permasalahan pemenuhan hak-hak anak bukan saja menjadi permasalahan bagi
masyarakat dan pemerintah, melainkan menjadi permasalahan negara lain yang diatur
dalam hukum internasional, hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya data dan dokumen
internasional yang mengangkat topik bagaimana pemenuhan hak-hak anak bisa dipenuhi
dan terlepas berbagai aspek tindak kekerasan yang banyak terjadi pada anak-anak,
pemenuhan hak- hak anak menjadi permasalahan hukum internasional yang banyak
memuat dan mencantumkan hak-hak anak dalam berbagai aspek kehidupan, baik dibidang
hukum, sosial, ekonomi, politik dan budaya (Swadesi & dkk, 2020).
Kabupaten Sumbawa juga tidak luput dari berbagai kasus, seperti kasus penganiayaan
terhadap anak dibawah umur, Persetubuhan terhadap anak dibawah umur, Pencabulan
terhadap anak dibawah umur, KDRT, Prostitusi, Tindak Pidana Perdagangan Orang
(TPPO) dan kasus Penelantaran terhadap anak. Tabel 1.1 menunjukkan data kekerasan
terhadap anak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang bersumber dari Data Simfoni
PPA Tahun 2021.
Tabel 1.1 Data Kekerasan Terhadap Anak Provinsi NTB Tahun 2021
Bentuk Kekerasan
N Unit / Kasu
Fisi Psiki Seksu Eksploita Traffickin Penelantara Lainny
o Instansi s
k s al si g n a
1 Bima 28 3 1 22 0 0 2 0
2 Dompu 46 15 16 13 0 0 0 2

3
Lombok
3 Barat 73 12 30 24 1 2 1 3
Lombok
4 Tengah 28 4 8 13 0 0 2 1
Lombok
5 Timur 205 12 1 23 1 0 11 157
Lombok
6 Utara 96 6 2 22 0 0 1 65
Sumbaw
7 a 51 28 0 22 0 0 1 0
Sumbaw
8 a Barat 11 2 1 3 0 0 5 0
Kota
9 Bima 38 11 10 14 0 0 1 2
Kota
Matara
10 m 22 3 9 6 0 1 2 1
Total 598 96 78 162 2 3 26 231

Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa kasus terbesar berada di Kabupaten


Lombok Timur sebanyak 205 kasus. Kabupaten Sumbawa terdapat 51 kasus, yang
terbanyak terjadi pada kekerasan Fisik 28 kasus, dilanjutkan kekerasan seksual 22 kasus
dan 1 kasus penelantaran pada anak dibawah umur. Adapun Tabel 1.2 berikut menunjukkan
data jumlah perkara yang ditangani Unit PPA Polres Sumbawa Tahun 2022.

Tabel 1.2Jumlah Perkara yang ditangani Unit PPA PolresSumbawa Tahun 2022

No. Perkara Jumlah Kasus

1 Penganiayaan Terhadap Anak dibawah Umur 13

2 Persetubuhan Terhadap Anak dibawah Umur 26

3 Pencabulan Terhadap Anak dibawah Umur 8

4 KDRT 11

5 Prostitusi 1

6 Pemerkosaan 1

7 TPPO 1

8 Penelantaran 1

Berdasarkan Tabel 1.2. terdapat 62 tindak pidana dari 8 perkara yang paling dominan
adalah kasus persetubuhan, penganiayaan dan pencabulan terhadap anak dibawah umur.
Hal ini menunjukkan bahwa tahun 2022di Kabupaten Sumbawa terjadi peningkatan kasus

4
kekerasan pada anak, yang disebabkan oleh oknum/ orang yang tidak bertanggung
jawab,dimana pada Tahun 2021 terdapat 51 kasus dan Tahun 2022 terdapat 62 kasus.
Seorang anak yang masih berada pada fase bermain dengan teman seusianya justru
dilibatkan pada kondisi dimana hak bermain anak tersebut direnggut oleh oknum/ orang
yang tidak bertanggungjawab demi memperoleh sebuah keuntungan pribadi. Hal ini tentu
saja berdampak pada perkembangan anak tersebut. Khairunnisa & Apsari (2020)
menyatakan bahwa eksploitasi seksual anak tidak hanya mengganggu mental dan psikis
anak dari aspek biologis, psikologis dan sosialnya sehingga akan berdampak pada
perkembangannya. Sebagai generasi muda yang akan melanjutkan setiap aspek kehidupan
di masa mendatang maka diperlukan perlindungan dari segala hal yang membahayakan
khususnya terkait dengan mental dan psikis (Lismaida & Jempa, 2017).
Sejalan dengan kebijakan pemerintah yakni kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak,
maka Kabupaten Sumbawa sebagai salahsatu Kabupaten yang peduli terhadap anak,
berupaya mewujudkan kota yang ramah terhadap anak. Dalam mewujudkan hal tersebut
tentunya Kabupaten Sumbawa perlu memberikan perhatian khusus terhadap indikator-
indikator Kabupaten Kota Layak Anak salahsatunya adalah perlindungan khusus terhadap
anak, sehingga menarik untuk dikaji lebih mendalam terkait Kesiapan Kabupaten
Sumbawa menjadi Kabupaten Layak Anak ditinjau dari Aspek Korban Kekerasan,
Eksploitasi dan Stigma.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan pada latar belakang, maka
dapat dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Apa saja faktor-faktor terjadinya kekerasan, ekspolitasi dan stigma terhadap anak
di Kabupaten Sumbawa?
2. Bagaimanakah stigma masyarakat terhadap anak sebagai korban kekerasan dan
ekploitasi?
3. Bagaimana kebijakan dan pelaksanaan perlindungan anak di Kabupaten Sumbawa?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan,
ekploitasi, dan stigma Kabupaten Sumbawa.
2. Mendeskripsikan stigma masyarakat terhadap anak korban kekerasan, dan
ekploitasi di Kabupaten Sumbawa.
3. Mendeskripsikan implementasi kebijakan terhadap pelaksanaan perlindungan anak
di Kabupaten Sumbawa.

1.4. Manfaat Penelitian


1. Secara teoritis,mengembangkan model kebijakan tentang pemenuhan hak-hak
anak dan mengimplementasikan peraturan pemerintah dan perundang-undang
mengenai pemenuhan hak-hak anak dalam bentuk khusus berupa kebijakan suatu
daerah, mengeluarkan aturan mengenai dasar-dasar kebijakan guna perlindungan

5
hak anak dan meningkatkan komitmen pemerintah, mengintegrasikan seluruh
potensi daerah, menjalankan kebijakan perlindungan anak melalui strategi dan
perencanaan pembangunan. Penelitian inidiharapkan dapat memberikan kontribusi
ilmu dan memperkaya khasanahilmu pengetahuan khususnya bidang social,
humaniora dan ekonomi, penelitian ini jugadiharapkan dapat memberi kontribusi
terhadap pemenuhan dan perlindungan hak anak di Kabupaten Sumbawa, dengan
merevitalisasiperan pemerintah yangberkaitan dengan pengembangan dasar
kebijakan perlindungan anak di Kabupaten Sumbawa serta merumuskan program
yang dapat meningkatkan pemenuhan hak-hak anak bisa dipenuhi dan terlepas dari
berbagai aspek tindak kekerasan di Kabupaten Sumbawa.
2. Secara praktis, diharapkan dapat menjadi informasi untuk pemangku kebijakan
dalam merumuskan strategi pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak di
Kabupaten Sumbawa.

1.5. Batasan Penelitian


1. Penelitian dilakukan di beberapa kecamatan dengan kasus kekerasan terhadap anak
tertinggi di Kabupaten Sumbawa .
2. Wilayah penelitian yaitu Kecamatan Sumbawa, Kecamatan Labuhan Sumbawa, dan
Kecamatan Unteriwes.
3. Responden terbatas padaanak kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan eksploitasi.
4. Penelitian ini hanya dapat berlaku dalam satu periode waktu, yaitu pada saat
penelitian berlangsung, oleh karena itu hasil penelitian ini tidak dapat
menggambarkan kondisi yang sama pada tahun berikutnya atau pada masa yang akan
datang. Penelitian lebih lanjut dengan penelitian data berkelanjutan atau variabel yang
berbeda perlu dilakukan di masa yang akan datang.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kekerasan Pada Anak


Secara teoritis maka kekerasan dapat diartikan penganiayaan, penyiksaan atau
perbuatan yang salah. Selanjutnya kekerasan terhadap anak dapat didefinisikan sebagai
peristiwa pelukaan fisik, mental maupun seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-
orang yang memiliki tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, yang semuanya itu
diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan
anak.Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 35 Tahun
2014TentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002Tentang Perlindungan
Anak, yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan terhadapAnak yang
berakibat timbulnya kesengsaraanatau penderitaan secara fisik, psikis, seksual,dan/atau
penelantaran, termasuk ancamanuntuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atauperampasan
kemerdekaan secara melawan hukum.
Menurut WHO kekerasan pada anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau
perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan
pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata atau pun tidak
dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya,
tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang bertanggung jawab, dipercaya atau berkuasa
dalam perlindungan anak tersebut. Sedangkan yang dimaksud anak disini menurut Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menurut Pasal 1 angka 1
menyebutkan bahwa anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 5 menyebutkan pengertian anak adalah
“manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk
anak yang di dalam kandungan demi kepentingannya”. Dalam hal ini anak juga mempunyai
hak asasi yang melekat pada dirinya yang harus dilindungi dan juga dihormati.
Kekerasan pada anak sering disebut sebagai Violence against Children (VAC),
merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada anak-anak dan dapat
mengakibatkan efek samping sampai seumur hidup bagi anak, VAC biasanya didefinisikan
sebagai pelecehan fisik, seksual, kelalaian yang disebut dengan penganiayaan anak (Wirtz,
et al., 2016).

2.2 Jenis Kekerasan Terhadap anak


Jenis kekerasan terhadap Anak Usia Sekolah menurut WHO dalam Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A, 2011) terdapat jenis-
jenis kekerasan yang terjadi pada anak, yaitu:

7
1) Kekerasan Fisik yaitu, untuk perilaku yang dapat mengakibatkan kerusakan pada
tubuh, secara kontak langsung dengan orang lain yang dilakukan sekali maupun
berulang kali
2) Kekerasan Seksual merupakan perilaku aktivitas seksual yang sukar dipahami oleh
seorang anak, kekerasan seksual ini dapat juga berupa memegang alat kelamin teman,
menonton video porno, memegang payudara teman perempuan, perbuatan cabul.
Menurut Komnas HAM tahun 2015 bahwa 9% anak pernah menjadi korban perlakuan
tindak senonoh dari orang lain, 97% anak pernah menonton video porno, ucapan yang
tidak senonoh dan tindakan pelecehan organ reproduksi anak.
3) Kekerasan Psikis yaitu Segala bentuk perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya
dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.Misalnya dengan terlalu sering
meremehkan, memaki dengan suara yang keras dan kata-kata yang kasar.
4) Kekerasan Ekonomi yaitu, Apabila seseorang yang diberikan kewenangan untuk
mengasuh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk menafkahi anaknya tersebut,
mempekerjakan anak di bawah umur juga merupakan tindakan kekerasan secara
ekonomi.

2.3 Konsep Eksploitasi


Secara umum eksploitasi adalah pemanfaatan untuk keuntungan sendiri, pengisapan,
pemerasan tenaga orang. Sedangkan menurut terminologi Eksploitasi adalah
kecenderungan yang ada pada diri seseorang untuk menggunakan pribadi lain demi
pemuasan kebutuhan orang pertama tanpa memperhatikan kebutuhan pribadi pertama.
Eksploitasi secara seksual, Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, bahwa eksploitasi seksual adalah segala bentuk
pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan
keuntungan termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.
Eksploitasi anak adalah tindakan sewenang-wenang dan perlakuan yang bersifat
diskriminatif terhadap anak yang dilakukan oleh masyarakat ataupun keluarga dengan
tujuan memaksa anak tersebut untuk melakukan sesuatu tanpa memperhatikan hak anak,
seperti perkembangan fisik dan mentalnya (UU Perlindungan anak No. 35 Tahun 2014).
Tindak kejahatan eksploitasi terhadap anak dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan,
yang pada dasarnya bertujuan untuk merampas hak-hak dan kebebasan anak untuk tumbuh
dan berkembang dalam lingkungan yang wajar. Tindakan eksploitasi terhadap anak harus
mampu dihentikan demi menjamin kemerdekaan pada anak, untuk tumbuh dan berkembang
secara baik dan benar (UU Perlindungan anak No. 35 Tahun 2014).
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi juga memberikan
perlindungan terhadap anak dari tindakan eksploitasi dalam bidang pornografi dan
pornoaksi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (PKDRT) yang mengatur dan melindungi anak dari tindakan eksploitasi
dalam lingkup lingkungan rumah tanggga, maupun dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Perlindungan Anak

8
Nomor 23 Tahun 2002 yang mengatur secara lebih luas mengenai hak-hak anak dan bentuk
perlindungannya dalam upaya menjaga dan merawat tumbuh kembang anak. Serta Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi yang melekat pada diri anak dari tindakan
eksploitasi.

2.4 Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Eksploitasi Anak


Kasus kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun psikis, masih banyak terjadi di
Indonesia. Data Kementerian Sosial menyebutkan, prevalensi kekerasan anak antara usia
13-17 tahun yaitu kekerasan fisik (Roza & S, 2018). Tindak pidana eksploitasi terhadap
anak dapat dilakukan oleh siapapun, baik dalam lingkungan terdekat seperti orang tua,
keluarga, maupun orang di luar keluarga. Tindak eksploitasi terhadap anak dilatar
belakangi banyak hal, salah satunya motif ekonomi. Laurensius A.S (2016), banyak anak
dipergunakan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan oleh pelaku, salah satunya
dijadikan sebagai pekerja. Tindak eksploitasi anak dapat dibedakan, diantaranya;
1. Eksploitasi seksual; Salah satu tindak eksploitasi anak adalah dengan melakukan
tindakan eksploitasi seksual. Tindakan ini biasanya menjadikan seksualitas anak sebagai
objek untuk mendapatkan keuntungan. Tindakan ini biasanya dilakukan oleh anak
dengan diawali adanya unsur paksaan. Tindakan ini sangat merugikan bagi
perkembangan anak, karena seksualitas merupakan salah satu hal terpenting dalam
perkembangan anak di masa depan. Adapun tindak eksploitasi anak dalam bidang
seksualitas seperti; (a) Mempekerjakan anak sebagai pekerja seksual, (b)
Mempekerjakan anak sebagai terapi spa di salon kecantikan, (c) Menjadikan anak
sebagai objek pornografi dan (d) Menjadikan anak sebagai objek dalam kawin kontrak.
2. Eksploitasi Ekonomi; Salah satu faktor utama adanya tindakan eksploitasi anak adalah
faktor ekonomi, artinya tindakan eksploitasi anak yang terjadi adalah untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi. Tindakan eksploitasi anak melalui eksploitasi ekonomi biasanya
dilakukan oleh lingkungan terdekat dengan anak, seperti orang tua atau keluarga.
Adapun tindakan eksploitasi anak dengan tujuan eksploitasi ekonomi diantaranya;
Menjadikan anak untuk bekerja di jalanan; Anak sebagai korban eksploitasi melakukan
kegiatan atau pekerjaanya dijalanan dengan tujuan untuk mendapatkan uang. Kegiatan
ini dilakukan dengan berbagai alasan yang melatar belakangi, ada yang disuruh ataupun
dengan kesadaran sendiri, karena ingin membantu orang tua atau keluarganya. Di sisi
lain ada juga yang dalam keadaan terpaksa, keadaan ini menyebabkan anak tidak mampu
untuk menolak kegiatan atau pekerjaan tersebut. Adapun eksploitasi ekonomi seperti; (1)
Pengemis; (2) Pengamen; (3) Penjual makanan atau pedagang asongan; dan (4) Penjual
koran.
3. Menjadikan anak sebagai tulang punggung keluarga; Situasi dan kondisi ekonomi
keluarga yang tidak memungkinkan menyebabkan anak harus terjun membantu
perekonomian keluarga, dalam situasi ini anak tidak dapat menerima ataupun menolak
perintah dari orang tua atau keluarga. Karena bagaimanapun alasan berbakti selalu
menjadi dasar untuk melaksanakan perintah orang tua tersebut. Adapun tindak

9
eksploitasi anak sebagai tulang punggung keluarga seperti; (1) Pembantu rumah tangga
anak, dan (2) Menjadikan anak sebagai pemulung.
M. Ghufran (2015), perlu penanganan yang serius dari berbagai pihak, baik orang
tua, keluarga, masyarakat maupun aparat yang terkait, agar kasus eksploitasi anak tidak
terjadi. Pendampingan terhadap korban eksploitasi anak harus dilakukan, baik pasca
menjalani pemulihan maupun saat menjalani proses hukum. Luka secara fisik maupun
psikis yang dialami korban, harus mendapatkan penanganan yang serius, agar korban dapat
kembali pulih dan tidak mengalami trauma ketika kembali dalam lingkungan kehidupan
sosial masyarakat.
Pencegahan dan perlindungan terhadap anak dari tindak kejahatan eksploitasi
harus dilakukan oleh semua pihak, tidak hanya aparat penegak hukum, melainkan juga
orang-orang terdekat yang berinteraksi secara langsung dengan anak. Orang tua sebagai
pihak yang paling dekat dengan anak dalam lingkup keluarga, sudah seharusnya
memberikan perlindungan yang maksimal terhadap keberadaan dan tumbuh kembang anak.
Masyarakat juga harus memastikan, bahwa perlindungan terhadap anak harus berjalan
secara maksimal. Selain itu aparat penegak hukum juga harus mampu memastikan, bahwa
segala bentuk tindak kejahatan eksploitasi terhadap anak harus ditegakan dan pelakunya
harus mendapatkan hukuman yang maksimal (M. Ghufran, 2015).
Secara umum perlindungan terhadap anak dari tindak eksploitasi telah diatur
secara luas dalam berbagai peraturan yang ada, baik dalam ketentuan Undang-Undang
Dasar 1945, maupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lebih lanjut ketentuan
tentang tindak eksploitasi anak lebih dispesifikan dalam lingkup dan tindakan yang lebih
detail, seperti dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
mengatur dan melindungi anak dalam lingkup dunia kerja. Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang yang melindungi anak dari tindak
kesewenangan dalam perekrutan dan pengiriman anak, dengan maksud dan tujuan untuk
dipekerjakan atau dieksploitasi secara tidak benar.
United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) telah
menetapkan beberapa kriteria eksploitasi terhadap anak yang bekerja (Usman dan
Nachrowi, 2004), antara lain bekerja penuh waktu (full time) untuk umur yang terlalu dini,
terlalu banyak waktu yang digunakan untuk bekerja, pekerjaan yang menimbulkan tekanan
fisik, sosial dan psikologis, upah yang tidak mencukupi, tanggung jawab yang terlalu
banyak, pekerjaan yang menghambat ke akses pendidikan, pekerjaan yang mengurangi
martabat dan harga diri anak, serta pekerjaan yang merusak perkembangan sosial dan
psikologis.
Suharto (2005), permasalahan mengenai anak bekerja semakin berkembang, selain
mengenai masalah anak bekerja itu sendiri, juga masalah eksploitasi terhadap anak yang
bekerja. Dengan kondisi anak yang masih lemah, maka rentan terjadi eksploitasi.
Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang- wenang
terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga atau masyarakat. Memaksa anak untuk
melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial ataupun politik tanpa memperhatikan

10
hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis
dan status sosialnya.
Suharti (2018) menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan eksploitasi anak
yaitu; (1) Faktor ekonomi, (2) Faktor budaya, (3) Faktor kontrol sosial. Anak dalam situasi
eksploitasi adalah segala kondisi yang menyebabkan anak tersebut berada dalam keadaan
terancam, tertekan, terdiskriminasi dan terhambat aksesnya untuk bisa tumbuh kembang
secara optimal. Praktek yang umum diketahui misalnya dijadikan pekerja seksual, joki
narkotika, pekerja anak, pekerja rumah tangga, anak dalam lapangan pekerjaan terburuk
bagi anak, perdagangan dan penculikan anak, atau pengambilan organ tubuh. Untuk itu,
perlu memastikan adanya program pencegahan dan pengawasan agar anak-anak tidak
berada dalam situasi eksploitasi dan memastikan bahwa pelakunya harus ditindak. Selain
itu, anak-anak korban eksploitasi harus ditangani secara optimal mulai dari pelayanan
kesehatan, rehabilitasi sosial hingga kepada pemulangan dan reintegrasi (Irawati &
Nawangsari, 2019).
Okurut dan Yinusa (2009) menggunakan beberapa variabel untuk meneliti faktor-
faktor yang memengaruhi anak-anak untuk bekerja dan bersekolah yakni, karakteristik
demografi individu, yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, status anak yatim dan
kewarga- negaraan, serta karakteristik rumah tangga, yang meliputi tingkat pendidikan
kepala rumah tangga, jenis kelamin kepala rumah tangga, status bekerja kepala rumah
tangga dan ukuran rumah tangga (banyaknya anggota rumah tangga).

2.5 Konsep Stigma


Alo Liliweri (2015), stigma adalah persepsi, yakni sebuah proses kognitif yang
dilalui setiap orang untuk memahami dan proses kognitif yang dilalui setiap orang untuk
memahami informasi lingkungan melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan,
perasaan, dan penciuman. Secara umum didefinisikan sebagai proses dimana seseorang
berasimilasi dan memanfaatkan data indrawi. Kajian Fenomenologi, Schutz menjelaskan
bahwa tindakan sosial dipahami melalui penafsiran. Proses penafsiran tersebut akan
menghasilkan pemahaman mengenai tindakan sehari- hari, kemudian didapatkan “makna”
terhadapnya (Rakhmania, 2019). Di dalam kehidupan sehari-hari memiliki makna yang
beragam dan manusia di tuntut untuk memahami satu sama lain. Maka dari itu adanya
hubungan timbal balik dan pemahaman atas pengalaman yang sama.
Proses pemaknaan diawali dengan proses penginderaan melalui proses
pengalaman yang terus menerus berkesinambungan. Pengalaman indrawi awalnya tidak
memiliki makna, namun makna tersebut muncul ketika dihubungkan dengan pengalaman-
pengalaman sebelumnya serta melalui proses interaksi dengan orang lain. Metodologi ini
hanya akan menangkap makna tindakan orang awam sebagaimana orang awam memahami
makna tersebut. Pemaknaan/ stigma akan memperkaya wawasan disebut sebagai stock of
knowledge, agar dapat menentukan tindakan apa yang seharusnya dilakukan untuk dapat
diterima oleh masyarakat dan menjalankan aktifitas seperti biasa, serta meminimalisir
adanya perlakuan negatif yang diberikan oleh masyarakat (Rakhmania, 2019).

11
Erving Goffman (Ritzer, 2012) apabila seseorang memiliki karakteristik/atribut
yang berbeda dari orang-orang yang berada dalam kategori sama dengan dia (seperti
berbahaya, tidak sempurna kondisi fisiknya, lemah), maka ia akan diasumsikan sebagai
orang yang ternodai. Atribut inilah yang disebut sebagai “stigma”. Berdasarkan hal
tersebut, Goffman (1959) membedakan stigma menjadi 3 jenis, diantaranya;
1. Abominations of the body (ketimpangan fisik); Stigma yang berhubungan dengan
kerusakan karakter individu secara fisik, seperti tuli, bisu, pincang dan sebagainya.
2. Blemishes of indivdual character; Stigma yang berhubungan dengan kerusakan karakter
individu seperti homoseks, pemabuk, pecandu, dan sebagainya.
3. Tribal stigma; stigma yang berhubungan dengan suku, agama, dan bangsa.
Ketiga konsep Goffman mengenai Self, Identity dan Stigma memiliki hubungan
antara satu dan yang lainnya dalam proses pemberian stigma. Dari pengkontruksian pikiran
masyarakat yang diberikan terhadap anak orang lain, muncul sebuah Identity yang
diperoleh dari masyarakat. Dengan adanya Identity yang telah diperoleh, maka masyarakat
akan memberikan stigma didasarkan pada karakteristik perilaku anak/ orang lain.
Stigma merupakan perkataan yang diberikan masyarakat sebagai bentuk dari
adanya respon yang negatif dari mereka, di berikan dalam bentuk hasutan, kata-kata kotor
dan kalimat mengejek. Masyarakat memberikan perkataan tersebut dikarenakan adanya
ketimpangan baik dari segi karakter maupun fisik(Rakhmania, 2019).
Stigma masyarakat adalah proses mengamati lingkungan melalui penggunaan
indera yang dimilikinya sehingga sadar akan segala sesuatu yang ada di lingkungan. Maka
stigma masyarakat yang dimaksud adalah tanggapan, penilaian atau respon masyarakat
terhadap suatu berita dalam penelitian ini adalah berita eksploitasi anak (Arifin, 2015).
Setelah individu melakukan interaksi dengan obyek-obyek yang dipersepsikan
maka hasil persepsi/ stigma dapat dibagi mejadi dua yaitu;
1. Stigma positif; menggambarkan persepsi/ stigma dari semua pengetahuan (tahu atau
tidak tahu) dan reaksi untuk terus bekerja keras untuk menggunakannya. Ini akan terus
bertindak atau menerima dan mendukung objek yang dipersepsikan.
2. Stigma negatif; menggambarkan segala pengetahuan (tahu tidaknya atau kenal tidaknya)
dan tanggapan yang tidak selaras dengan obyek yang dipersepsi. Hal itu akan diteruskan
dengan kepasifan atau menolak dan menantang terhadap obyek yang dipersepsikan.
Stigma dibagi menjadi dua ranah yaitu pengetahuan dan sikap. Pengetahuan
adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan suatu
ojbek. Adapun sikap adalah istilah yang mencerminkan perasaan seseorang yang
menyenangkan, tidak menyenangkan atau biasa-biasa saja (netral) tentang sesuatu. Sesuatu
yang dimaksud bisa berupa kejadian, benda, situasi serta orang- orang atau kelompok.
Sikap muncul sebagai respon seseorang untuk menaggapi dan menilai objek sosial dengan
hasil yang positif maupun negatif (Milla, 2018).
Stigma pada hakikatnya adalah proses mengevaluasi persepsi seseorang terhadap
suatu objek atau peristiwa tertentu, dimulai dengan adanya rangsangan berupa fenomena
yang terjadi di lingkungan sosial, kemudian menarik perhatian sehingga membentuk stigma

12
yang berbeda-beda pada setiap orang. Stigma seseorang dapat muncul dari pengalaman
yang diperolehnya, baik dari dirinya sendiri maupun dari kesan orang lain. Akumulasi
stigma dapat membentuk sebuah opini, hipotesis atau kesimpulan tentang apa yang telah
dialami (Alo, 2015).
Stigma menuntut individu untuk dapat mengklasifikasikan hal-hal yang telah
diperolehnya secara mental dan individu juga memperoleh dan merespon informasi dengan
pengalaman serupa yang pernah dialaminya. Individu akan membuka kembali ingatannya
dan melihat pengalamannya saat ini, kemudian mengingatnya dan mengaitkannya dengan
pengalaman masa lalu, kemudian menarik kesimpulan atau tebakan tentang sifat dari
pengalaman saat ini dan kemudian menganalisis faktor penyebab dan konsekuensi yang
mungkin terjadi di masa depan. Stigma tersebut dapat berasal dari luar individu atau dari
dalam individu yang bersangkutan (Alo, 2015).
Syarat-syarat munculnya stigma masyarakat adalah Adanya objek yang dipersepsi,
adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam
mengadakan persepsi, adanya alat indera atau reseptor sebagai alat penerima stimulus dan
saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang kemudian sebagai alat
untuk mengadakan respon (Sunaryo,2004) .
Adapun Alex Sobur (2013) menyebutkan beberapa tahapan proses pembentukan
stigma diantaranya;
1. Stimulus adalah rangsangan dari dunia sekitar yang ditangkap oleh indera. Kontak
antara indera dan stimulus itulah yang kita sebut dengan reaksi dan proses stimulasi
berlangsung pada saat ini.
2. Respon adalah tanggapan terhadap stimulus yang diimplementasikan melalui perilaku.
Hubungan antara stimulus dan respon sebagai hubungan sebab akibat sering
didefinisikan sebagai "respon stimulus."
3. Seleksi adalah proses sensorik untuk memilih informasi (stimulus). Manusia selalu
dihadapi dengan begitu banyak rangsangan, sulit untuk berkonsentrasi pada semua
informasi, maka mereka memilih informasi yang sesuai dengan kebutuhannya.
4. Pengorganisasian merupakan cara menafsirkan segmen (informasi) dengan
mengelompokkan segmen (informasi) ke dalam unit berdasarkan karakteristik tertentu.
Organisasi menuntut individu memiliki kemampuan untuk mengenali dan mengenali
objek perseptual. Tanpa kemampuan ini, individu tidak dapat menggunakan inderanya
secara selektif.
5. Memori, yang menggambarkan kemampuan individu untuk menyimpan informasi
setelah stimulus berakhir. Memori memungkinkan seseorang untuk menyimpan
rangsangan yang telah diatur dan kemudian diinterpretasikan atau dievaluasi.
6. Recall, ketika seseorang mengingat informasi tertentu, seperti memori. Memori
berkaitan erat dengan cara individu merekonstruksi apa yang dilihat, didengar dan
dirasakan, yang sangat penting bagi individu. Stigma masyarakat atau mengamati sama
dengan percaya pada dunia (etre-au-monde) dan persepsi ialah relasi asli manusia
dengan dunia.

13
2.6 Perlindungan Khusus Anak
Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tetang Perlindungan anak, pada pasal 1 disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan (1) Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. (2) Perlindungan Anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak terkait erat dengan lima pilar yakni, orang
tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan negara. Kelimanya memiliki
keterkaitan satu sama lain sebagai penyelenggara perlindungan anak. Dalam bentuknya
yang paling sederhana, perlindungan anak mengupayakan agar setiap hak anak tidak
dirugikan. Perlindungan anak bersifat melengkapi hak-hak lainnya menjamin bahwa anak-
anak akan menerima apa yang mereka butuhkan agar mereka dapat bertahan hidup,
berkembang dan tumbuh. Akan tetapi pada kenyataannva kondisi anak-anak di Indonesia
masih sangat memprihatinkan terutama yang menyangkut masalah pekerja anak, anak
jalanan, dan anak-anak korban kekerasan seksual, eksploitasi seksual, dan eksploitasi
seksual komersial. Rini Fitriani (2016)
Menurut Ahmad Kamil dan Fauzan (2008:5), Perlindungan anak adalah segala
usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak
dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik,
mental dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu
masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat
hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum
merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Upaya perlindungan anak perlu
dilaksanakan sedini mungkin, yaitu sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia
delapan belas tahun. Bertitik tolak pada konsep perlindungan anak yang utuh, menyeluruh,
dan komprehensip, maka Undang-undang tersebut meletakkan kewajiban memberikan
perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas Non diskriminasi, asas kepentingan yang
terbaik untuk anak, asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta
asas penghargaan terhadap pandangan/pendapat anak. Perlindungan anak dapat dibedakan
dalam 2 (dua) bagian yaitu:
a. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam bidang
hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan.
b. Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi: perlindungan dalam bidang sosial,
bidang kesehatan, bidang pendidikan Menurut Ahmad Kamil Perlindungan Anak
merupakan pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara

14
yang merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi
terlindunginya hak-hak anak.
Perlindungan anak dapat terwujud apabila mendapatkan dukungan dan tanggung
jawab dari berbagai pihak. Dukungan yang dibutuhkan guna mewujudkan perlindungan
atas hak anak di Indonesia diatur Pasal 20 UU Perlindungan anak tersebut menyebutkan
bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau
wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Negara dan Pemerintah Republik Indonesia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab
untuk menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama,
ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran
anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. Negara dan pemerintah juga berkewajiban serta
bertanggungjawab untuk memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam
penyelenggaraan perlindungan anak.
Pengaturan mengenai kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah
tercantum dalam ketentuan Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-Undang tentang Perlindungan
Anak. Pasal 23 dan Pasal 24 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak mengatur
mengenai jaminan negara dan pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan anak. Negara
dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum
bertanggungjawab terhadap anak. Negara dan pemerintah juga menjamin anak untuk
menggunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat
kecerdasan anak.
Jaminan yang diberikan oleh negara dan pemerintah tersebut diikuti dengan
pengawasan dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Kewajiban dan tanggung jawab
masyarakat atas perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 25. Kewajiban dan
tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan
peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Ketentuan Pasal 72 ayat (2)
Undang-Undang tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa peran masyarakat
dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial
kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan,
badan usaha, dan media massa. Pasal 26 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak
mengatur mengenai kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua. Orang tua
berkewajiban dan bertanggungjawab untuk : (a). mengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindungi anak; (b). menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan anak, bakan
dan minatnya; (c). mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.(d). Memberikan
pendidikan karakter dan penanaman budi pekerti pada anak.
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi
Anak. merupakan turunan untuk melaksanakan ketentuan pasal 71C UU 35 tahun 2014
tentang Perlindungan Anak. Dalam Peraturan tersebut termuat 95 pasal. Perlindungan
khusus bagi anak bertujuan untuk memberikan jaminan rasa aman bagi anak yang
memerlukan perlindungan khusus, memberikan layanan yang dibutuhkan anak, serta

15
mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak anak. Pada Pasal 1 dalam peraturan tersebut
ditegaskan yang dimaksudkan dengan Anak adalah mereka yang belum berusia 18 tahun,
termasuk yang masih berada di dalam kandungan. Pengertian perlindungan khusus adalah
suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh Anak dalam situasi dan kondisi tertentu
untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan
jiwa dalam tumbuh kembangnya,demikian ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 nomor
2 Peraturan Pemerintah tersebut.
Dalam peraturan tersebut tercantum daftar anak yang perlu mendapat perlindungan
khusus. Setidaknya ada 15 kategori anak yang wajib mendapat perlindungan dari negara.
Mereka adalah anak dalam situasi darurat; anak yang berhadapan dengan hukum; anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi; anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual. Kemudian, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba; anak yang
menjadi korban pornografi; anak dengan HIV dan AIDS; anak korban penculikan,
penjualan, dan/atau perdagangan; anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis. Selanjutnya,
anak korban kejahatan seksual; anak korban jaringan terorisme; anak penyandang
disabilitas; anak korban perlakuan salah dan penelantaran; anak dengan perilaku sosial
menyimpang; serta anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan
kondisi orang tuanya.
Aturan tersebut menjelaskan perlindungan khusus bagi anak dilakukan dengan
berbagai upaya yang harus dilakukan pemerintah pusat, daerah, hingga lembaga negara.
Beberapa di antaranya; penanganan yang cepat, pendampingan psikososial pada saat
pengobatan sampai pemulihan. Kemudian, pemberian bantuan sosial bagi anak yang
berasal dari keluarga tidak mampu, serta memberikan perlindungan dan pendampingan bagi
anak pada setiap proses peradilan. Berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2021, Tentang
Perlindungan Khusus Anak, Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah, dan Lembaga Negara
lainnya wajib melaksanakan perlindungan khusus untuk anak.

16
Kerangka Berfikir

Kekerasan Seksual Eksploitasi Seksual;


Kekerasan Fisik Eksploitasi Ekonomi;
Kekerasan Psikis Menjadi Tulang Punggung
Keluarga

Kekerasan Eksploitasi

Kesiapan Kabupaten Sumbawa


menjadi Kabupaten Layak Anak

Stigma Perlindungan Khusus Anak

Stigma Positif; Anak yang berhadapan dengan


Stigma Negatif hukum; Anak yang dieksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual;
Anak korban kekerasan fisik
dan/atau psikis; Anak korban
kejahatan seksual

Perda KLA; Terlembaga KLA; Keterlibatan Masyarakat; Dunia Usaha dan

17
BAB III
METODEPENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian


PenelitianiniakandilaksanakandiKabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat dari
bulan Agustus sampai denganbulanOktober2023.Penentuan sampel penelitian dilakukan
secara purposive sampling,yaitupenentuan sampel secara sengaja dengan
mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu yang telah dibuat terhadap obyek yang sesuai
dengan tujuan penelitian.Penentuan lokasi ditentukan berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan peneliti yaitu daerah yang telah terjadi kekerasan dan eksploitasi terhadap anak,
yaitu Kecamatan Sumbawa, Kecamatan Labuhan Sumbawa, Kecamatan Unteriwes.

3.2. Jenisdan Metode Pengumpulan Data


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan penelitian yangbermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjekpenelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain
secaraholistik dan dengan cara deskripsi (Moleong, 2000).
Penelitian sebagai sistem ilmu pengetahuan memainkan peranan penting untuk dapat
meng-upgrade ilmu pengetahuan menjadi lebih up-to-date, canggih, dan aplicated (Bungin,
2017). Pendekatan kualitatif (naturalistik) digunakan untuk mengungkap makna dibalik
hasil penelitian. Tahapan penelitian kualitatif melampaui berbagai tahapan berpikir kritis-
ilmiah dimana seorang peneliti memulai berfikir secara induktif yaitu menangkap berbagai
fakta atau fenomena sosial melalui pengamatan dilapangan yang diarahkan oleh produk
berfikir induktif untuk menemukan jawaban logis terhadap apa yang menjadi pusat
perhatian dalam penelitian.
Penelitian kualitatif adalah untuk memahami fenomena atau gejala sosial dengan
lebih menitikberatkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji. Hal ini
berarti mengindentifikasi suatu komunitas culture-sharing, lalu meneliti bagaimana
komunitas tersebut mengembangkan pola-pola perilaku dengan cara mengobservasi para
perilaku partisipan dengan cara terlibat langsung dalam aktivitas mereka (Creswel, 2017).
Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam
penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci. Oleh karena itu, menurut Strauss dan
Corbin (2003) peneliti harus memiliki keterampilan: (1) meninjau kembali dan
menganalisis situasi secara kritis; (2) mengenai dan menghindari bias; (3) mendapatkan
data yang sahih dan andal; dan (4) berpikir secara abstrak.
Denzin dan Lincoln (2009) dalam bukunya Handbook of Qualitative Research
menjelaskan bahwa esensi penelitian kualitatif bersifat ganda yaitu : suatu komitmen
terhadap pandangan naturalistik, pendekatan interpretif terhadap pokok persoalan studi dan
suatu kritik yang berkelanjutan terhadap politik dan metode positivisme. Oleh karena itu,
peneliti kualitatif menekankan realitas yang dibentuk secara sosial, hubungan yang erat
antara peneliti dan yang diteliti, serta ciri penelitian yang sarat nilai. Penelitian kualitatif

18
sering disebut etno-metodologi atau penelitian lapangan karena menghasilkan data
mengenai kelompok manusia dalam latar (setting) sosial.
Karakteristik dasar yang telah disepakati secara umum pada penelitian kualitatif
dijelaskan oleh Hatch (2012), Marshall dan Roman (2011) dalam Creswel (2017) meliputi;

1) Lingkungan alamiah (natural setting); peneliti kualitatif cenderung mengumpulkan


data lapangan di lokasi dimana para partisipan mengalami isu atau masalah yang
akan diteliti.
2) Peneliti sebagai instrumen kunci; peneliti kualitatif mengumpulkan sendiri data
melalui dokumentasi, observasi perilaku, atau wawancara dengan para partisipan
3) Beragam sumber data; peneliti kualitatif biasanya memilih mengumpulkan data dari
beragam sumber dan mereviu semua data tersebut memberikannya makna dan
mengolahnya ke dalam kategori atau tema yang melintasi semua sumber data.
4) Analisis data induktif dan deduktif; peneliti kualitatif membangun pola, kategori,
dan temanya dari bawah keatas (induktif). Kemudian secara deduktif melihat
kembali data dari tema-tema untuk menentukan apakah lebih banyak bukti dapat
mendukung setiap tema dan apakah perlu menggabungkan informasi tambahan.
5) Makna dari partisipan; dalam keseluruhan proses penelitian kualitatif peneliti terus
fokus pada usaha mempelajari makna yang disampaikan para partisipan.
6) Rancangan yang berkembang; bagi peneliti kualitatif proses penelitian selalu
berkembang dinamis. Hal ini berarti bahwa rencana awal penelitian tidak bisa
secara ketat dipatuhi. Semua tahap dalam proses ini dapat berubah setelah peneliti
masuk ke lapangan dan mulai mengumpulkan data.
7) Refleksivitas; peneliti merefleksikan bagaimana peran mereka dalam penelitian dan
latar belakang pribadi, budaya, dan pengalamannya berpotensi membentuk
interpretasi.
8) Pandangan menyeluruh; para peneliti kualitatif berusaha membuat gambaran
kompleks dari suatu masalah atau isu yang diteliti. Hal ini melibatkan usaha
pelaporan perspektif, identifikasi faktor-faktor yang terkait dengan situasi tertentu
dan secara umum usaha membuat sketsa atas gambaran besar yang muncul.
Penelitian kualitatif sifatnya lebih fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan
latar yang ada. Konsep-konsep, alat-alat pengumpul data, dan metode pengumpulan data
dapat disesuaikan dengan perkembangan penelitian. Penelitian kualitatif memiliki berbagai
model seperti pendekatan patisipatoris, analisis wacana, pendekatan naratif, riset
fenomenologi, grounded theory, etnografi, dan studi kasus (Creswel, 2017).

3.3 Teknik PenggumpulanData

a. Observasi
Istilah observasi diturunkan dari bahasa Latin yang berarti “melihat” dan
“memperhatikan.”Observasi merupakan metode pengumpulan data dengan memperhatikan
secara akurat dan melakukan pencatatan terhadap fenomena yang muncul (Sugiono, 2015).
b. Wawancara

19
Wawancara merupakan metode pengumpulan data melalui percakapan yang
diarahkan pada suatu permasalahan tertentu. Wawancara terdiri dari beberapa jenis, yakni
wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur (Sugiono, 2015). Dalam penelitian
ini menggunakan wawancara tidak terstruktur.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan cara atau metode untuk mengumpulkan data dari sumber
terkait melalui pencarian dan penemuan bukti-bukti. Baik itu dalam bentuk foto, tulisan
atau surat, dokumen, video, karya monumental (Sugiono, 2015). Dokumentasi dalam
penelitian ini berupa data daerah yang telah terjadi tindak kekerasan dan eksploitasi
terhadap anak, yang diperoleh dari Dinas Sosial, Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga
Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten
Sumbawa, Dinas Kesehatan,Kepolisian Resort Sumbawa, Kabupaten Sumbawa.

3.4 Teknis Analisis Data


Teknis analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah Model Analisis
Interaktif Miles & Huberman(2014), dalam penelitian kualitatif memungkinkan dilakukan
analisis data pada waktu peneliti berada di lapangan maupun setelah kembali dari lapangan
baru dilakukan analisis. Pada penelitian ini analisis data telah dilaksanakan bersamaan
dengan proses pengumpulan data. Alur analisis mengikuti model analisis interaktif
sebagaimana diungkapkan Miles dan Huberman. Proses analisis dalam penelitian model ini
dilakukan dengan empat tahap, yaitu (Miles & Huberman, 2014);

1) Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dicatat
dalam catatan lapangan yang terdiri dari dua bagian yaitu deskriptif dan reflektif. Catatan
deskriptif adalah catatan alami, (catatan tentang apa yang dilihat, didengar, disaksikan dan
dialami sendiri oleh peneliti tanpa adanya pendapat dan penafsiran dari peneliti terhadap
fenomena yang dialami. Catatan reflektif adalah catatan yang berisi kesan, komentar,
pendapat, dan tafsiran peneliti tentang temuan yang dijumpai, dan merupakan bahan
rencana pengumpulan data untuk tahap berikutnya.

2) Reduksi Data
Setelah data terkumpul, selanjutnya dibuat reduksi data, guna memilih data yang
relevan dan bermakna, memfokuskan data yang mengarah untuk memecahkan masalah,
penemuan, pemaknaan atau untuk menjawab pertanyaan penelitian. Kemudian
menyederhanakan dan menyusun secara sistematis dan menjabarkan hal-hal penting
tentang hasil temuan dan maknanya. Pada proses reduksi data, hanya temuan data atau
temuan yang berkenaan dengan permasalahan penelitian saja yang direduksi. Sedangkan
data yang tidak berkaitan dengan masalah penelitian tidak direduksi. Dengan kata lain
reduksi data digunakan untuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan
dan membuang yang tidak penting, serta mengorganisasikan data, sehingga memudahkan
peneliti untuk menarik kesimpulan.

20
3) Penyajian Data
Penyajian data dapat berupa bentuk tulisan atau kata-kata, gambar, grafik dan
tabel. Tujuan sajian data adalah untuk menggabungkan informasi sehingga dapat
menggambarkan keadaan yang terjadi. Dalam hal ini, agar peneliti tidak kesulitan dalam
penguasaan informasi baik secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari hasil
penelitian, maka peneliti harus membuat naratif, matrik atau grafik untuk memudahkan
penguasaan informasi atau data tersebut. Dengan demikian peneliti dapat tetap menguasai
data dan tidak tenggelam dalam kesimpulan informasi yang dapat membosankan. Hal ini
dilakukan karena data yang terpencar-pencar dan kurang tersusun dengan baik dapat
mempengaruhi peneliti dalam bertindak secara ceroboh dan mengambil kesimpulan yang
memihak, tersekat-sekat dan tidak mendasar. Untuk display data harus disadari sebagai
bagian dalam analisis data.

4) Penarikan Kesimpulan.
Penarikan kesimpulan dilakukan selama proses penelitian berlangsung seperti
halnya proses reduksi data, setelah data terkumpul cukup memadai maka selanjutnya
diambil kesimpulan sementara, dan setelah data benar-benar lengkap maka diambil
kesimpulan akhir. Sejak awal penelitian, peneliti selalu berusaha mencari makna data yang
terkumpul. Untuk itu perlu mencari pola, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering
timbul, hipotesis dan sebagainya. Kesimpulan yang diperoleh pada awalnya bersifat
tentatif, kabur dan diragukan akan tetapi dengan bertambahnya data baik dari hasil
wawancara maupun dari hasil observasi dan dengan diperolehnya keseluruhan data hasil
penelitian maka kesimpulan–kesimpulan itu harus diklarifikasikan dan diverifikasikan
selama penelitian berlangsung. Data yang ada kemudian disatukan ke dalam unit-unit
informasi yang menjadi rumusan kategori-kategori dengan berpegang pada prinsip holistik
dan dapat ditafsirkan tanpa informasi tambahan. Data mengenai informasi yang dirasakan
sama disatukan ke dalam satu kategori, sehingga memungkinkan untuk timbulnya ketegori
baru dari kategori yang sudah ada.

Gambar 3.1. Model Analisis Interaktif Miles & Huberman (2014)

21
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian


4.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Sumbawa
a. Perekonomian Masyarakat Sumbawa
Sejak era reformasi tahun 1999 terjadi pergeseran paradigma dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahandari pola sentralisasi menjadi pola desentralisasi
ataudisebut Otonomi daerah yang bermakna, beralihnya sebagian besar proses
pengambilankeputusan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
penyelenggaraan pemerintahan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah dapat memberikan beberapa manfaat bagi masyarakat
di suatu daerah, yaitu: Mendorong terwujudnya efisiensi-efektivitas dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi maupun
pembangunan ekonomi daerah.
Faktor ekonomi dalam kehidupan bermasyarakat memegang peran penting
dalam menentukan tingkat status sosial seseorang atau sekelompok orang di dalam
lingkungannya.Dalam kehidupan bermasyarakat ada beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat status sosial seseorang, yaitu faktor ekonomi, faktor
pendidikan, faktor keturunan, dan pekerjaan. Namun, umumnya dalam kehidupan
bermasyarakat faktor ekonomi adalah hal utama yang dapat dijadikan sebagai
tolok ukur status sosial seseorang. Bila ekonomi seseorang berada dalam kondisi
baik, maka akan muncul kecenderungan penilaian baik pada diri seseorang. Selain
itu, faktor ekonomi juga dapat memberikan dampak negatif terhadap tingginya
angka kejahatan yang terjadi di suatu daerah.Hal tersebut disebabkan karena
kurang baiknya ekonomi akan dapat mendorong seseorang untuk berbuat
kejahatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Berdasarkan hasil studi oleh Bank Indonesia, perekonomian Provinsi Nusa
Tenggara Barat tumbuh sebesar 6,95% pada tahun 2022, dibandingkan dengan
pertumbuhan 2,30% padatahun 2021 (BI.go.id). Pertumbuhan positif tersebut
didorong oleh peningkatan konsumsi, belanja pemerintah, dan ekspor luar negeri
yang sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan aktivitas ekonomi masyarakat di
tengah pandemi.
Sejalan dengan hal tersebut, Badan Pusat Statistik Kabupaten juga mencatat
bahwa PDRB atau Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Sumbawa pada 3
(tiga) tahun terakhir telah mengalami peningkatan, yaitu 2020-2022. Peningkatan
PDRB tentunya dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan ekonomi
masyarakat. Peningkatan PDRB dapat menunjukkan adanya peningkatan produksi
barang dan jasa, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat
dan daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa, baik untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi maupun kebutuhan sosial seperti pendidikan dan kesehatan,
yang pada intinya adalah meningkatnya kesejahteraan.

22
Gambar 4.1. PDRB Kabupaten Sumbawa mengalami peningkatan (Sumber: Badan
Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa (bps.go.id))

Berdasarkan data laju pertumbuhan PDRB tersebut, dapat disimpulkan


bahwa ekonomi masyarakat Kabupaten Sumbawa pada tahun 2022 cenderung
meningkat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Walaupun demikian,
peningkatan PDRB tidak sepenuhnya dapat menyimpulkan kondisi ekonomi
masyarakat secara keseluruhan, mengingat peningkatan PDRB tidak selalu diikuti
dengan peningkatan distribusi pendapatan yang merata di masyarakat. Secara
umum, mata pencaharian masyarakat Sumbawa didominasi oleh sektor jasa dan
pertanian, yaitu sekitar 43,17 persen penduduk Kabupaten Sumbawa bekerja di
sektor jasa, sedangkan sisanya tersebar di sektor pertanian dan manufaktur.
Sebanyak 42,13 persen bekerja di sektor pertanian, dan 14,70 persen bekerja di
sektor manufaktur (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa, 2021). Sehingga
untuk memastikan peningkatan ekonomi secara pasti perlu dilakukan penelitian
lanjut.

b. Prilaku Sosial Masyarakat Sumbawa


Perilaku sosial adalah segala bentuk aktivitas fisik dan psikis seseorang
terhadap orang lain atau sebaliknya dalam rangka memenuhi diri atau orang lain
yang sesuai dengan tuntutan sosial. Paradigma perilaku sosial merupakan salah
satu kajian paradigma dalam ilmu sosiologi yang memiliki fokus terhadap
interaksi dalam masyarakat. Paradigma perilaku sosial adalah alat penting dalam
menjelaskan dan memahami perilaku manusia dalam berbagai konteks sosial.
Paradigma perilaku sosial memiliki fokus terhadap interaksi dalam
masyarakat. Paradigma perilaku sosial adalah alat penting dalam menjelaskan dan
memahami perilaku manusia dalam berbagai konteks sosial. Dalam paradigma
perilaku sosial, konsep kontingensi atau konsekuensi dari perilaku adalah kunci.
Skinner (gramedia.com) memandang bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh
konsekuensi atau akibat dari tindakan mereka. Jadi tentang paradigma perilaku

23
sosial, bisa digambarkan dengan kondisi jika suatu tindakan menghasilkan hasil
yang diinginkan, maka individu cenderung mengulangi perilaku tersebut.
Kekuatan nilai pribadi yang tertanam di tengah masyarakat Sumbawa, bisa
dilihat dari adagium yang digaungkan oleh tokoh masyarakat terdahulu. Di
Kabupaten Sumbawa, terdapat adagium yang sangat populer di kalangan
masyarakat muslim yaitu “Adat Barenti Ko Syara’, Syara’Baarenti Ko
Kitabullah”. Dari kalimat indah tersebut, dapat diketahui beberapa hal penting.
Pertama, dalam kalimat tersebut menandakan betapa pedulinya tau Samawa
(sebutan orang dalam bahasa Sumbawa) terhadap adat istiadat. Kedua bagi orang
Sumbawa, adatistiadat juga tidak boleh lepas dari Syara’ (ketentuan Allah).Semua
harus berkesinambungan, tidak boleh berlawanan satu dengan yang lain. Jika ada
pertentangan, maka harus mengambil nilai-nilai Syara’ (syariat agama). Ketiga,
sebagai sumber utama dari keduanya adalah Kitabullah (Al-Qur’an). Sekali lagi,
kalimat yang indah tersebut, menjadi bukti bahwa masyarakat muslim utamanya
Ulama terdahulu di tana Samawa sangat cinta dan peduli kepada Adat Istiadat,
Syariat dan Kitab Allah.
Hal menarik lainnya bahwasanya ulama’ Sumbawa (pakar ilmu agama Islam
di Sumbawa) ingin memberikan penegasan, bahwa Kitab Allah itu adalah sesuatu
yang hidup, baik dalam Syariat, ada istiadat, atau dalam kehidupan sosial dan
semua lini kehidupan.Lebih jauh lagi, Kitab itu sebagai tuntunan hidup bagi tau
dan tana Samawa. Artinya, tidak cukup hanya ngaji atau baca Al-Qur’an saja,
namun lebih pada pengamalan nilainya. Dalam Al-Qur’an sendiri Allah swt
memerintahkan manusia untuk beramal saleh. Setelah beriman, harus amal saleh,
setelah shalat, harus amal saleh dan seterusnya.Tidak cukup seseorang hanya
menyakini Allah ada, namun harus dibuktikan dengan amal saleh yang jelas dan
konkret. Baik berupa kesalehan individu lebih penting lagi kesalehan sosial
sebagai manifestasi khalifah di muka bumi.
Maka, secara umum gambaran pribadi tau Samawa meyakini kalimat “Adat
Baarenti Ko Syara’, Syara’Baarenti Ko Kitabullah” tidak cukup paham tanpa
pengamalan baik berupa penjagaan adat istiadat, penjagaan bumi hingga penjagaan
terhadap peradaban manusia.
Muara dari adagium tersebut adalah munculnya pribadi-pribadi tau Samawa yang
taat terhadap perintah sang maha kuasa dan jauh dari perbuatan buruk atau tercela.
Dalam ungkapan Sumbawa ”Takit ko Nene Kangila Boat Lenge” yang artinya
malu berbuat salah atau dosa, karena rasa penghambaan kepada Allah SWT
sebagai maha pencipta atas segala kehidupan di atas muka bumi.
Pentingnya sikap penghambaan dan rasa takut berbuat salah dapat dibentuk
melalui pendidikan karakter di lingkungan keluarga ataupun disatuan pendidikan.
Bupati Sumbawa melalui Perbup Nomor 33 Tahun 2021 tentang Pendidikan
Karakter di Kabupaten Sumbawa memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi

24
satuan pendidikan untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam setiap mata
pelajaran yang dipelajari.

c. Capaian Kabupaten Layak Anak di Kabupaten Sumbawa


Anak sebagai generasi penerus bangsa haruslah tumbuh dan berkembang
dalam kondisi yang baik sesuai dengan perkembangan usia dan psikologinya.
Anak sebagai manusia yang telah dibekali akal, pikiran, dan perasaan terus belajar
dan berkembang menjadi manusia yang seutuhnya. Melalui pengalaman indera
dan akal pikir setiap anak mengikuti berbagai stimulus atau ransangan
lingkungannya selama masa kehidupannya. Skinner (1984) menjelaskan bahwa
prilaku manusia dapat mempengaruhi kondisi suatu lingkungan, dan kondisi suatu
lingkungan dapat mempengaruhi prilaku manusia. Dengan kata lain, perubahan
tingkah laku dan kemampuan seorang anak akan sangat dipengaruhi oleh pola
prilaku lingkungan sebagai respon atas berbagai peristiwa yang ada disekitarnya
(’Ulwan, A. N., 2017).
Melihat urgensi anak sebagai generasi penerus bangsa, maka negara harus
hadir untuk memastikan bahwa setiap anak sudah hidup layak dan sekaligus
memberikan perlindungan dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang
berujung pada peristiwa pelanggaran hak asasi manusia. Melalui Konvensi Hak
Anak (KHA) telah disepakati oleh seluruh negara agar setiap anak dapat tumbuh
dan berkembang, sehat, dilindungi, didengar pendapatnya, dan diperlakukan secara
adil. Hasil KHA tersebut selanjutnya dituangkan dalam Undang Undang No. 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Apriyanita, T.,
2017).
Pemerintah pusat melalui KementrianPemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KP3A) Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan
Menteri Nomor 11 Tahun 2011 tentang KebijakanPengembangan Kabupaten/Kota
Layak Anak (KLA). Konsep implementasi KLA menekankan pada pembangungan
berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan
dalam kebijakan, program dan kegiatan untukmenjamin terpenuhinya hak dan
perlindungan anak.

25
Gambar 4.2: Suasana malam penganugerahan Kabupaten Layak Anak Tahun 2022
(Sumber: https://kabarsumbawa.com/)
Pemerintah kabupaten Sumbawa melalui Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga
Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2KBP3A) telah
berupaya menindaklanjuti kebijakan pemerintah pusat agar Kabupaten Sumbawa
dapat menjadi Kabupaten Layak Anak. Upaya tersebut tercermin pada beberapa
upaya yang telah dilakukan dalam rangka memenuhi indikator-indikator penilaiai
KLA, seperti terbentuknya Satgas KLA, tersedianya Rencana Aksi Daerah (RAD),
keterlibatan media dalam upaya mempublikasikan informasi berkaitan dengan hak
anak, dan berbagai aksi lainnya. Hasilnya, pada tahun 2022 Kabupaten Sumbawa
berhasil meraih penghargaan sebagai Kabupaten Layak Anak Kategori
Pratama dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia (PPPA) RI. Komitmen pemerintah kabupaten setelah
mendapatkan penghargaan pada kategori tersebut terus berlanjut hingga saat ini di
tahun 2023, Kabupaten Sumbawa kembali berada pada kategori pratama.

Gambar 4.3: Suasana malam penganugerahan Kabupaten Layak Anak


Tahun 2023 (Sumber: https://kabarsumbawa.com/)

26
Berada pada kategori pratama tentu bukanlah hal yang mudah bagi Kabupaten
Sumbawa yang mempunyai banyak keterbatasan dalam memenuhi berbagai
indikator-indikator penilaian yang telah ditentukan. Namun, karena adanya
semangat dan hajat yang sama di berbagai sektor, pemerintah kabupaten terus
berupaya untuk mewujudkan pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak yang
dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan oleh berbagai pihak
yang berbondong-bondong bekerja keras mewujudkan cita-cita menuju
Kabupaten/Kota Layak Anak dan Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030 serta
Indonesia Emas 2045.

Gambar 4.4 Peringkat Skor KLA (Sumber: Petunjuk Teknis Pengisian Evaluasi
Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Layak Anak, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia)

27
4.2 Faktor-Faktor Terjadinya Kekerasan, Ekspolitasi Dan Stigma Terhadap Anak Di
Kabupaten Sumbawa
4.2.1 Faktor - Faktor Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak Di Kabupaten Sumbawa
Penyebab terjadinya baik pada kekerasan Fisik, kekerasan verbal dan kekerasan
seksual pada anak seperti tidak ada habisnya. Kasus ini menjadi fenomena gunung es,
karena para korban enggan untuk melapor atau bercerita tentang perlakuan asusila/ tindak
kekerasan yang di alami. Bahkan tidak sedikit dari orang tua korban juga tidak berani untuk
melapor, hal ini dilatari berbagai alasan, seperti ancaman dari pelaku atau perasaan takut
dan malu jika diketahui oleh masyarakat lain. Sehingga hal ini tidak menutup kemungkinan
akan membuat pelaku semakin berani untuk melakukan tindak kekerasan. Hal ini akan
terus terulang kembali apabila para korban tidak berani menempuh jalur hukum, agar
pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal dan mendapatkan efek jera.Dari berbagai
studi diketahui bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat terjadi dalam aneka
bentuk, mulai dari kata-kata (tertulis dan lisan) dan gerak tubuh hingga kontak fisik yang
tidak diinginkan seperti pemerkosaan, inses, penganiayaan, pelecehan seksual dan sodomi.
Kasus terbaru yang juga meningkat adalah pornografi anak dan pelecehan seksual di media
siber. Pemerintah telah melakukan pendekatan hukum untuk menciptakan efek jera bagi
pelaku kekerasan seksual anak. Sanksi atas pelanggarannya diatur oleh Pasal 81 Perpu
nomor 1 tahun 2016 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D, dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak lima miliar rupiah”.
Pada zaman yang semakin modern seperti saat ini, tingkat pengawasan dari orang tua
terhadap anak justru semakin berkurang,apalagi yang berhubungan dengan pengawasan
dalam penggunaan gadget, media sosial dan informasi yang membuat anak mudah dan
dapat terpengaruh serta terjerumus dalam tindak kekerasan dan tindak yang melanggar
hukum. Pentingnya anak- anak mendapatkan pemahaman atau edukasi untuk mencegah
terjadinya tindak kekerasan terhadap anak. Sejalan dengan Queen & Sutanto (2021) yang
menjelaskan bahwa pentingnya pendidikan kekerasan terhadap anak karena kasus
kekerasan terhadap anak semakin hari semakin memburuk dan meningkat. Namun,
meskipun pengetahuan orang tua mengenai perlindungan anak tinggi, hal tersebut masih
belum cukup untuk mengurangi kasus kekerasan terhadap anak. Dibutuhkan peran aktif
dari setiap lapisan masyarakat baik dari pemerintah, masyarakat sendiri maupun media
massa. Untuk memaksimalkan perannya, diperlukan pendidikan yang menyeluruh dan
mendalam mengenai kekerasan terhadap anak sehingga dapat meminimalisir tindak
kekerasan terhadap anak.
Dyah Muliawati &Ery Fatmawati (2020) yang menjelaskan bahwa orang tua tidak
selalu sabar dalam membantu anak memahami karakter anak- anaknya. Faktor lain seperti
ekonomi juga membuat penghasilan orang tua menurun. Hal tersebut membuat psikis orang
tua menjadi tidak stabil sehingga dapat menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap anak.
Kekerasan yang dilakukan terhadap anak yakni semua bentuk tindakan yang dapat
membuat sakit fisik, mental, spiritual dan sosial serta penyalahgunaan seksual. Pelecehan

28
seksual terhadap anak berpotensi tinggi karena anak merupakan kelompok yang rentan.
Pelakunya bukan hanya orang asing atau tidak mereka kenal, akan tetapi bisa juga
dilakukan oleh keluarga, teman, tetangga atau orang-orang terdekat mereka. Lokasi
kejadian juga bisa terjadi di lingkungan rumah, sekolah, maupun tempat lainnya yang biasa
dikunjungi. Seperti yang terjadi di Dusun Sering Ai Beta Kabupaten Sumbawa,
berdasarkan informasi dari salah satu masyarakat yang berinisial KD sebagai petugas
Penyuluh KB di daerah tersebut serta mendapatkan informasi langsung dari ibu korban,
yang menjelaskan bahwa;
“...telah terjadi tindak kekerasan seksual di dusun Sering Ai Beta Kecamatan Unter
Iwes,korban merupakan anak dibawah umur dan pelaku adalah ayah kandung korban,
kejadian tersebut terjadi di rumah korban pada pagi hari dan pada saat ibu korban tidak
sedang berada di rumah, namun selang beberapa saat kejadian berlangsung, ibu korban
datang dan langsung memergoki suaminya yang sedang melakukan tindak pemerkosaan
terhadap anak kandungnya sendiri, serentak ibu korban berteriak dan langsung
melaporkan kejadian tersebut kepada Ketua RT setempat, yang kemudian Ketua RT dan
masyarakat setempat segera menangkap pelaku dan dibawa ke Kantor Polisi Kabupaten
Sumbawa...”
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Bapak AM selaku Ketua RT 1 RW 7 Dusun
Sering Ai Betayang menyatakan bahwa;
“...Benar telah terjadi tindak kekerasan seksual yang dilakukan ayah kandung
korban, korban merupakan anak dibawah umur, pada saat kejadian ibu korban sedang
keluar, tidak berapa lama ibu korban kembali dan melihat langsung kejadian tersebut, lalu
ibu korban berteriak dan berlari melaporkan kepada kami selaku ketua RT, kami bersama
masyarakat lainnya langsung menuju ke rumah korban dan mengamankan pelaku, sebab
masyarakat sudah banyak berkumpul, kami hawatir masyarakat akan melakukan tindak
main hakim sendiri terhadap pelaku, sehingga pelaku kami amankan terlebih dahulu dan
kemudian kami bawa ke kantor Polisi dan saat ini pelaku sudah mendapatkan
hukumannya...”

Gambar 4.4. Wawancara bersama Ketua RT 1 RW 7 Dusun Sering Ai Beta

Salah satu tetangga korban juga menjelaskan bahwa pada saat kejadian rumah dalam
keadaan sepi. Ibu korban sedang keluar, selang beberapa saat ibu korban kembali dan
menemukan suaminya sedang melakukan tindakan kekerasan seksual kepada anak

29
kandungnya, ibu korban panik dan berteriak sambil berlari menuju rumah ketua RT untuk
melaporkan kejadian tersebut. Ketua RT dan masyarakat Dusun Sering Ai Beta segera
berdatangan untuk menangkap pelaku. Pelaku tidak dapat melarikan diri dan akhirnya
ditangkap dan diamankan ke kantor Polisi. Jika saja ketua RT terlambat mengamankan
pelaku, tidak menutup kemungkinan pelaku akan dibakar hidup hidup oleh masyarakat
yang sudah emosi karena tindakan yang dilakukan pelaku melanggar norma susila dan
melanggar hukum,yang membuat geram masyarakat juga disebabkan karena, menurut
keterangan tetangga korban, bahwa korban tidak hanya mendapat perlakuan pada kekerasan
seksual saja, akan tetapi korban yang merupakan anak kandung pelaku sendiri, juga
dijadikan sebagai pemulung, yang kemudian hasil dari memulung dijual oleh pelaku dan
hasilnya digunakan oleh pelaku untuk kebutuhan pelaku itu sendiri. Berikut Gambar 4.2
wawancara bersama tetangga korban di Dusun Sering Ai Beta.

Gambar 4.5. Wawancara bersama tetangga korban di Dusun Sering Ai Beta

Tindak kekerasan seksual di Kabupaten Sumbawa secara kualitatif masih banyak


terjadi. Banyaknya korban yang tidak berani melaporkan tindak kekerasan tersebut
disebabkan karena beberapa faktor, salah satunya yaitu korban merasa malu dan lebih
memilih untuk menyelesaikan secara kekeluargaan. Padahal hal ini justru menyebabkan
pelaku tidak memiliki efek jera. Kelemahan korban seperti ini dimanfaatkan oleh pelaku
dan menjadi faktor penyebab sering terjadinya tindak kekerasan seksual. Berdasarkan hasil
wawancara bersama Bapak Iwan S. selaku Camat Kecamatan Sumbawa yang menjelaskan
bahwa setiap hari banyak laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Secara kualitatif
banyak dan sering terjadi, namun korban dan orang tua korban banyak yang tidak mau
meneruskan laporannya dan hanya sampai pada penyelesaian tingkat kekeluargaan saja, hal
ini disebabkan karena malu dan menganggap ini adalah aib keluarga. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa faktor lain juga disebabkan karena pergaulan bebas, gaya hidup, faktor
ekonomi dan regulasi. Berikut kutipan wawancara bersama Bapak Iwan S. Camat
Kecamatan Sumbawa yang menerangkan bahwa;
“...kekerasan seksual terhadap anak ini sudah menjadi masalah global yang harus
segera dipecahkan dan ditangani secara lebih serius, paling tidak dapat diminimalisir,
pentingnya peran semua lini, karena tidak cukup sebatas guru sebagai pendidik di sekolah,

30
pemerintah melalui regulasinya, yang paling penting perannya disini adalah orang tua,
sebab orang tua adalah orang yang paling dekat dengan anak anak nya, bagaimana pola
didikan di rumah itu penting, terutama anak anak yang bersekolah dan jauh dari orang
tua, artinya dia ngekos dan tinggal sendiri. Ini sangat rentan terjadi tindak asusila, karena
kurangnya kontrol dari orang tua yang menyebabkan anak tersebut bisa melakukan apa
saja tanpa sepengetahuan orang tua nya...”

Lebih lanjut juga dijelaskan bahwa;

”...faktor ekonomi, gaya hidup, pergaulan bebas dan kurangnya perhatian dari
orang tua merupakan faktor utama yang menyebabkan banyaknya terjadi tindak asusila
atau kekerasan seksual pada anak, salah satunya juga karena negara kita belum mampu
menyiapkan anggaran untuk sidang, karena negara kita tidak mampu itulah yang
menyebabkan praktek penegakan hukum kita tumpul sehingga yang terjadi adalah tindak
kekerasan seksual terjadi berulang ulang...”

Ketua Penggerak PKK Kecamatan Sumbawa yaitu Ibu Dewi Indiastuti juga
menerangkan bahwa;

“...dalam hal ini perlu juga kita mengembangkan kurikulum seperti memasukkan
pelajaran tentang reproduksi remaja melalui dinas pendidikan bekerja sama dengan PKK
dan Dinas KB untuk memberikan edukasi di sekolah sekolah tentang pentingnya
pemahaman terkait kekerasan seksual, narkoba dan reproduksi remaja, namun hingga saat
ini belum dapat dilaksanakan disebabkan karena regulasi yang banyak dan berbelit
belit...”

Penegakan hukum yang tidak efektif dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku,
bahkan banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual baik umum maupun pada anak-anak
khususnya, sering kali proses hukumnya tidak ada kejelasan. Hal tersebut, membuat kasus-
kasus tindak asusila terkesan dipandang sebelah mata. Penyebab kekerasan seksual pada
anak tidak pernah ada habisnya, yang perlu diperhatikan adalah kekerasan seksual yang
dialami oleh anak dapat berdampak dalam jangka panjang, misalnya hilangnya rasa
kepercayaan pada orang dewasa, trauma secara seksual, perasaan tidak berguna dan stigma
yang menghantui.Karena dapat berpengaruh secara mental maupun fisik, kasus penyebab
kekerasan seksual pada anak harus mendapat perhatian yang serius dari berbagai lingkup,
mulai dari keluarga yang dapat melindungi hingga penegakan hukum yang memberikan
efek jera terhadap pelaku.

31
Gambar 4.6. Wawancara bersama Camat dan Ketua PKK Kecamatan Sumbawa

Huraerah (2007) mendefinisikan child abuse yaitu tindakan melukai berulang-ulang


secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat,
hukuman badan yang tidak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan
seksual, biasanya dilakukan para orangtua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.
Anak yang sering mendapatkan kekerasan fisik maupun emosional akan menimbulkan
masalah perilaku di usia-usia berikutnya. Misalnya sulit berkonsentrasi, malas sekolah,
kurang percaya diri, mudah cemas, dan lainnya.
Pelaku kekerasan anak lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya
menjadi pelindung bagi anak itu sendiri, misalnya orang tua, kerabat dekat, tetangga,
hingga guru (Menkokesra, 2013). Hal ini terjadi karena banyak orangtua menganggap
kekerasan pada anak merupakan bagian dari mendisiplinkan anak (The National Child
Traumatic Stress Network, 2009). Penyebab paling tinggi orang tua melakukan kekerasan
terhadap anak adalah untuk mendisiplinkan anak. Kebanyakan orang tua masih melakukan
tindak kekerasan dengan tujuan tersebut padahal menurut Setyawan (2015) hukuman fisik
akan menyebabkan anak mengalami permasalahan dikemudian hari. Artinya hukuman fisik
atau kekerasan fisik termasuk juga kekerasan emosional tidak efektif untuk membentuk
disiplin pada anak. Tujuan disiplin adalah untuk membentuk karakter anak. Penanaman
dispilin idealnya dilakukan sejak masih anak-anak. Penanaman displin sebaiknya dilakukan
dengan pendekatan positif tanpa kekerasan. Gambar berikut menunjukkan data kekerasan
fisik terhadap anak yang bersumber dari Unit PPA Polres Sumbawa Tahun 2022.

32
Gambar 4.7. data Unit PPA Polres Sumbawa

Adapun hasil penelitian ini ditemukan data bahwa alasan orangtua melakukan
kekerasan terhadap anaknya adalah faktor ekonomi, rendahnya ekonomi berpengaruh pada
emosi orang tua yang tidak stabil, apabila melihat anaknya yang dianggap tidak patuh atau
nakal. Tidak sedikit dari orang tua yang memaksakan anaknya untuk melakukan kegiatan
seperti memulung dan berjualan. Apabila anak tersebut menolak, hal ini berdampak pada
tindak kekerasan fisik yang dilakukan orang tua kepada anaknya. Berikut kutipan hasil
wawancara bersama Bapak Arifin selaku Kanit PPA Satuan Reskrim Polres Sumbawa;
“...kasus terkait kekerasan fisik terhadap anak ini sebenarnya banyak terjadi, namun
tidak semua melaporkan ke kami (kepolisian), hal ini bukan tanpa alasan, karena hampir
80 persen kejadian kekerasan pada anak tersebut dilakukan oleh orang tua atau keluarga
terdekat mereka, sehingga kasus tersebut selesai ditingkat keluarga atau damai...”

Fitriana et al (2015) bahwa faktor yang mempengaruhi kekerasan pada anak antara
lain penyesuaian emosi orangtua, sikap orangtua terhadap pengasuhan, dan perilaku
orangtua saat mengasuh anak. Kekerasan terhadap anak juga disebabkan oleh tingkat
pengetahuan orang tua lebih lanjut diungkapkan Fitriana et al (2015) menemukan bahwa
beberapa faktor yang menyebabkan orangtua melakukan kekerasan antara lain tingkat
pengetahuan, sikap, pengalaman dan pengaruh lingkungan. Dalam hal ini orangtua dilihat
sebagai faktor utama ketika terjadi kekerasan terhadap anak.

4.2.2 Faktor - Faktor Terjadinya Eksploitasi Terhadap Anak Di Kabupaten Sumbawa

Meivy (2016) mengatakan eksploitasi pada anak memperlihatkan sikap diskriminatif


ataupun tindakan sewenang-wenang terhadap seorang anak yang dilakukan oleh para orang
tua ataupun masyarakat yang memaksa seorang anak untuk melakukan sesuatu untuk
kepentingan ekonomi, sosial ataupun politik tanpa memperdulikan hak-hak anak untuk
mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya.
Permasalahan eksploitasi terhadap anak terjadi di berbagai daerah di Indonesia, tidak
terkecuali di kabupaten Sumbawa. Tindakan eksploitasi pada anak tidak hanya dilakukan
oleh orangtua/keluarga terdekat namun juga di temukan fenomena lain yaitu anak

33
mengeksploitasi diri sendiri terkhusus pada eksploitasi seksual. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan, eksploitasi pada anak yang terjadi di kabupaten Sumbawa dikelompokkan
menjadi 2 bentuk yaitu eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi.

a. Eksploitasi Seksual

Nachrowi dalam Melvy (2016) mengatakan Eksploitasi seksual melibatkan seorang


anak dalam kegiatan seksual yang tidak dipahaminya. Eksploitasi seksual tersebut dalam
bentuk perlakuan tidak senonoh dari orang lain yang menjurus pada sifat pornografi,
perkataan-perkataan porno, sehingga membuat anak menjadi malu, menelanjangi anak-
anak, menjerumuskan anak-anak pada prostitusi, memanfaatkan anak-anak untuk produk
pornografi.
Sebenarnya masalah eksploitasi anak bukanlah masalah sosial yang baru saja
muncul tiba-tiba di Indonesia. Eksploitasi anak di bawah umur sudah terjadi sejak lama
dan penyebabnya juga sangat beragam. Begitu pula eksploitasi seksual terhadap anak yang
ada di kabupaten Sumbawa bukanlah fenomena baru, namun sudah lama terjadi.
Eksploitasi seksual yang terjadi di kabupaten Sumbawa dialami oleh anak-anak baik dari
tingkat SD, SMP,dan SMA, hingga perguruan tinggi. Maraknya kasus prostitusi yang
melibatkan anak-anak sekolah disampaikan langsung oleh Kepala Lembaga Perlindungan
Anak yaitu Ibu Fatriatul Amanda atau yang akrab di panggil Bu Atul ;
“...Ada di sumbawa, sampai ada yang delivery.,,maminya atau germonya share foto
di pelanggan, dia pesan delevery ke mami, lalu tinggal pilih yang mana maunya
anak SD,SMP atau SMA tinggal diantar dah ke tempat dimana orang pesan itu.
Nah, Kenapa saya tau seperti itu karena ada di penyaring orang yang pesan
delivery. Pernah saya dapat juga anak-anak itu satu avanza diantar ke hotel sernu,
jayani dan lainnya…paling dibayar 300ribu biasanya itupun dikasi ke mami seratur
lima puluh ribu dan si anak dapat seratus lima puluh ribu juga...”

Eksploitasi seksual pada anak melibatkan mucikari atau germo yang mereka sebut
“mami”. Proses transaksi dilakukan secara online baik melalui media sosial maupun aplikasi
khusus, mulai dari proses penawaran hingga pilih korban melalui foto yang di
bagikan. Setelah memilih dan menentukan tarif terjadi kesepakatan maka korban
tersebut diantar menuju alamat yang telah ditentukan.
Anak korban eksploitasi terbujuk untuk melakukan kegiatan prostitusi dikarenakan
beberapa alasan yakni, faktor ekonomi, gaya hidup dan faktor lingkungan baik lingkungan
sekolah maupun lingkungan keluarga bahkan bisa disebabkan karena sudah pernah
melakukan hubungan seksual dengan pacar, seperti yang diungkapkan oleh salah seorang
yang pernah menjadi korban eksploitasi yang tidak ingin disebutkan namanya;
“...Saya sudah ga perawan lagi, waktu SMA pernah sama pacar lakukan hubungan
itu...tapi putus juga sama pacar, makanya saya merasa udah terlanjur ya sekalian
aja, takut pasti ada tapi mau bagaimana lagi siapa yang mau sama perempuan yang
udah ga perawan. sekarang umur saya sudah 19 tahun bu, jadi udah dewasa ya

34
hahahaha....awalnya mulai kenal dengan beginian ya lewat teman kos, dia punya
kenalan yang mau makai dengan bayaran lumayan lah untuk kebutuhan saya. Dari
situ berlanjut sampai sekarang masih saya kerjakan, mau gimana lagi...”

Pergaulan bebas dikalangan anak remaja semakin meresahkan, bagi sebagian anak,
melihat melakukan hubungan intim (seks) sebagai pembuktian rasa cinta terhadap
pasangan/pacar. Kondisi ini di perparah dengan mudahnya anak-anak mengakses video
porno dan mendapatkan alat kontrasepsi seperti kondom. Hal lainnya disampaikan oleh
Andi salah satu warga dikelurahan Bugis yang melihat terjadinya eksploitasi seksual karena
faktor rendahnya ekonomi keluarga, berasal dari keluarga yang broken home;
“...Menurut yang saya lihat bu, kebanyakan yang bekerja kayak gitu kalau khusus
yang di Sumbawa sendiri itu karena mereka stress rusak pikirannya, banyak yang
broken home, keadaan ekonomi, dan mereka itu bahkan hidup disatu himpunan kos
yang sama.. bahkan saya punya kenalan yang punya profesi sebagai perempuan
pemuas nafsu, dia tinggal di kos-kosan karena orangtuanya broken home jadi malas
dia dirumah stress katanya liat kehidupan keluarganya, dia bilang kadang dia pulang
ke rumah untuk antarkan uang sekolah adiknya hitung-hitung bantu ibunya...”.

Kondisi memprihatinkan juga terjadi pada salah satu keluarga yang tinggal di
kelurahan Pekat, dimana ditemukan bahwa dalam satu rumah terdapat ibu dan anak yang
terlibat dalam prostitusi. Apa yang dilakukan oleh anak berangkat dari pengalaman hidup
yang di lihat dan dilakoni oleh orang tua. Berasal dari latar belakang keluarga yang bercerai,
dengan jumlah anak yang banyak menjadikan seorang ibu menjual dirinya kepada lelaki
hidung belang, namun pada akhirnya si Ibu menikah dengan pria lain dan meninggalkan
anak-anaknya yang masih sekolah berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan kondisi desakan kebutuhan ekonomi, anak-anak perempuannya menjadi korban
eksploitasi bahkan salah satu anak akhirnya putus sekolah. Seperti yang diungkapkan oleh
salah satu warga sebut saja Bunga (yang tidak ingin di sebutkan namanya) di kelurahan
Pekat;
“...Di tempat saya di kampung pekat ada bu, ga tau aslinya orang mana tapi yang
pasti warga pendatang. Dari Ibu sampai anaknya kayak gitu, tapi sekarang ibunya
udah nikah lagi, terus tinggal jauh dari anak-anaknya. Jadi makin bebas anaknya.
Kadang di jemput sama om-om gitu, mungkin biar dapat uang cepat...ada anaknya
yang masih SMP,SMA. Anaknya yang paling besar itu udah putus sekolah...setahu
saya banyak juga yang datang tagih hutang ke rumahnya. Bapak dan mamanya udah
lama cerai, jadi mereka tinggal di rumah itu sama neneknya. Sekarang ibunya udah
nikah lagi, jadi ga tinggal disitu...”.

Beberapa kasus yang menjerumuskan mereka menjadi pekerja seks komersil adalah
orang dekat korban sendiri. Pada umumnya mereka dimanfaatkan oleh orang-orang dekat
korban, atau bahkan kenal baik dengan korban. Bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang

35
dialami oleh anak tersebutdapat dari berbagai pihak diantaranya pihak germo, atau
pelanggan.
Selain faktor tersebut, ada pula yang dengan sukarela dan kesadaran sendiri mau
terlibat untuk menjual diri atau mengeksploitasi diri sendiri karena kebutuhan akan gaya
hidup melalui iming-iming bayaran yang menggiurkan. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu
Atul selaku Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yang menyatakan bahwa;
“...Alasan anak-anak itu menjajakan diri mereka karena orang tua ga bisa kasi kita
uang bu, kita pengen beli baju,hp ga dikasi..kita pengen pakai baju bagus…ini kan
kita kerjanya enak, dapat uang enak...”.
Keinginan untuk memiliki barang-barang bagus seperti pakaian, handphone dan
lainnya yang tidak dipenuhi atau didapatkan dari orangtuanya menjadi salah satu faktor
penyebab anak-anak mau untuk menjual diri. Pergaulan dan gaya hidup yang konsumtif
tidak disertai dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, menjadikan anak-
anak menggunakan cara pintas,mudah dan enak karena hanya dengan menjajakan tubuh bisa
mendapatkan barang dan gaya hidup yang mereka inginkan. Kondisi menunjukkan gaya
hidup hedonisme dikalangan anak-anak remaja semakin meningkat.
Anak-anak korban eksploitasi mendapatkan bayaran yang beragam, namun
umumnya pembayaran dibagi dua yaitu mucikari mendapat lima puluh persen dan anak
korban eksploitasi mendapatkan lima puluh persen juga. Sebagian besar anak korban masih
sekolah. Untuk melakoni pekerjaannya dan terhindar dari kehamilan, anak korban
menggunakan kontrasepsi. Mereka mendapatkan alat kontrasepsi yang dijual bebas. Apalagi
saat ini sangat mudah untuk mendapatkan alat kontrasepsi tersebut seperti kondom, pil KB,
dan lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian, eksploitasi seksual terhadap anak yang terjadi di
kabupaten Sumbawa diketahui bahwa faktor penyebabnya antara lain (a). Faktor Ekonomi
keluarga yang rendah, (b). Faktor kondisi tertentu karena sebagai korban kekerasan
seksual, tidak percaya diri karena sudah tidak perawan. (c). Faktor Lingkungan dan
Komunitas Anak (pergaulan), (d). Faktor Keretakan dan Kekerasan Kehidupan Rumah
Tangga Orang Tua.
b. Eksploitasi Ekonomi
Berdasarkan Hasil Penelitian Dewi Ayu (2022) Eksploitasi anak adalah
fenomena sosial yang mengakibatkan kerugian pada anak di masyarakat sebab
ketidakberdayaannya dalam mendapatkan hak-hak sebagaimana mestinya. Anak-anak
yang di eksploitasi terpaksa bekerja dimana seharusnya waktu tersebut digunakan untuk
belajar di sekolah, tetapi karena suatu alasan tertentu, waktu tersebut justru dipergunakan
untuk bekerja guna mencari nafkah atau menghasilkan uang. Biasanya, anak yang di
eksploitasi akan melakukan pekerjaan yang terdapat di jalanan dan disekitar tempat
tinggalnya yang dianggap mampu untuk mereka kerjakan seperti mengemis, mengamen,
mulung, dan lain-lain.
Kondisi rendahnya ekonomi keluarga, ditambah dengan jumlah tanggungan
keluarga yang relatif banyak membuat beban pemenuhan kebutuhan yang berat bagi

36
keluarga ekonomi rendah. Dalam rumah tangga miskin, dihadapkan pada rendahnya
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti kebutuhan pokok dan
sekolah anak. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari disebabkan oleh
rendahnya penghasilan orangtua atau pencari nafkah, kondisi orang tua yang sudah renta
dan sakit-sakitan, bahkan termasuk anak-anak yang ditelantarkan oleh orangtua dan di
titipkan pada keluarga seperti kakek atau neneknya yang sebenarnya sudah tidak mampu
lagi untuk bekerja mencari nafkah, dan lain sebagainya, seperti yang disampaikan oleh
Papin Dau beserta istri selaku pemulung di Karang Gudang Kebayan;
“...Waktu anak-anak masih SD sering saya ajak keliling pakai gerobak bantu kita
cari botol plastik dan rongsokan…saya suruh bantu mulung karena kita sudah
tua. Sehari kita hanya terima 20 ribu sampai 30 ribu..itu-itu si…lumayan anak-
anak bisa untuk beli beras dan uang jajan mereka di sekolah. Sekarang anak
putus sekolah, hanya sekolah sampai SD saja, kakaknya juga sudah ada yang
menikah...”
Penghasilan harian dua puluh ribu sampai tiga puluh ribu rupiah sehari maka dalam satu
bulan penghasilan yang didapatkan sebesar Rp.600.000 sampai Rp.700.000., rendahnya
pendapatan keluarga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan primer dan pendidikan
anak-anak.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Natalina (2019) Kebutuhan primer
keluarga sering tidak terpenuhi sewajarnya. Kondisi ini semakin rawan karena keluarga
sering kali tidak mampu mendiami rumah yang layak, bahkan hanya mampu menempati
rumah yang kumuh. Kondisi ini memaksa orang tua untuk memprioritaskan pengeluaran
pada hal-hal yang dianggap langsung dapat dipergunakan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup saja. Sudah tentu pengeluaran yang dirasa kurang penting seperti
pendidikan anak prioritasnya menjadi sangat rendah. Orang tua yang hidup seperti ini
lalu menganjurkan anak menjadi anak jalanan, selain memang anak pun mempunyai
kemauan.
Keterlibatan anak-anak untuk bekerja membantu memenuhi kebutuhan keluarga
selain dilakukan karena dipaksa, ada juga yang melakukannya dengan kemauan sendiri,
hal ini diungkapan oleh pak Arif salah satu warga Brangbiji;
“ ...Yang saya tau di karang unter dan karang gudang itu biasanya anak-anak
mulung ada yang karena disuruh sama orangtuanya, tapi ada juga karena
keinginan mereka sendiri, katanya untuk jajan disekolah. Jadi mereka ramai-
ramai dengan temannya mulung dan biasanya ga si tiap hari, karena mereka
sekolah juga. Tapi sekarang sudah mulai jarang saya liat mereka lagi, mungkin
sudah SMP jadi malu mau mulung lagi...”.
Hal senada juga disampaikan oleh Ahmad ;
“...Masih banyak saya jumpai anak-anak yang mulung bu disekitaran desa
sering ini, waktu saya tanyakan ke mereka katanya mau sendiri si karena uang
belanja yang dikasi sama orang tua sedikit, ga bisa pakai beli jajan dan mainan,

37
tapi ada juga si yang disuruh sama orangtua tapi uangnya untuk anak-anak itu si
bu...”
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, dijumpai juga anak-anak yang berjualan cakwe
dengan menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki keliling kota Sumbawa. Hal ini
disampaikan juga oleh Bu Dewi salah seorang warga yang tinggal di BTN Griya Samota
Indah mengatakan;
“...ada anak-anak yang jualan cakwe sampai ke BTN ini, kita aja kaget karena
biasanya sering kita liat dia jualan di kampung bugis, nongkrong depan ATM
Tambora dan keliling sekitaran Brangbiji…asli kaget saya mereka sampai
kesini, entah mereka naik ojek atau jalan kaki mungkin....”

Gambar 4.7. contoh eksploitasi ekonomi..

Pada tempat yang berbeda, eksploitasi terhadap anak juga terjadi di kelurahan Pekat seperti
yang diungkapkan oleh Ica menyatakan ;
“...Di kampung pekat ini sering ada anak cowok dua orang yang datang keliling
ke rumah-rumah atau kios-kios warga untuk mengemis, termasuk ke warung
mama saya. Mereka disuruh sama neneknya, neneknya tunggu mereka dari jauh
sambil perhatikan mereka ngemis…mereka ga mau pergi kalau belum kita kasih
uang...”.

Hal senada juga diungkapkan oleh Bu Dian salah seorang pedagang dipasar Seketeng yang
mengatakan ;
“...Sering ada anak-anak yang ngemis keliling pasar, ga kita kasi kasian kalau
kita kasi nanti jadi kebiasaan...”
Secara mental psikologis dan usia anak yang tergolong masih kecil akan sangat
mudah untuk dikendalikan oleh orang dewasa seperti orangtua, kakek, nenek, paman atau
bibi dan keluarga terdekat lainnya. Anak menjadi pihak yang wajib patuh kepada semua
aturan dan perintah, apalagi sosial budaya kita yang mengajarkan bahwa harus taat, patuh
dan berbakti kepada orang tua.Fenomena terjadinya anak yang dieksploitasi secara

38
ekonomi ini tidak dapat terlepas dari realitas yang ada pada masyarakat, yang secara
kultural memandang anak sebagai potensi keluarga yang wajib berbakti terhadap orang tua.

Gambar 4.8. contoh eksploitasi ekonomi..

Eksploitasi anak yang dilakukan oleh orangtua dengan memerintahkan anak untuk
mencari uang juga di jumpai di taman mangga pada malam hari. Dari pengamatan yang
dilakukan, anak disuruh untuk menjajakan dagangan seperti cemilan/makanan ringan ke
para pengunjung dengan cara berjalan keliling menawarkan dagangannya, cara ini dianggap
cepat untuk menjual habis dagangannya karena pengunjung cenderung merasa iba dan
simpatik pada anak-anak. Memanfaatkan keberadaan anak-anak untuk mencari keuntungan
ekonomi kerap dilakukan. Penuturan serupa juga disampaikan oleh Bu Arif warga
Brangbiji;
“...ada ibu yang sering bonceng anaknya ya mungkin sekitar kelas 3 SD, kalau
sudah dekat perumahan dia suruh anaknya turun dan jalan ke rumah-rumah jual
jajan seperti pizza mini, roti, terus mamanya ada diam di motor liatin anaknya
dari jauh…nanti kalau sudah selesai dia jemput dah anaknya terus pindah lagi ke
gang lain, kok gitu ya? Mungkin malu ibu itu mau jualan sendiri jadi dia suruh
anaknya yang jualan... ”

Kondisi lainnya juga pernah jumpai di depan Toko Roberto, pasar, dan beberapa
tempat umum lainnya, dimana orang tua/keluarga terdekat memanfaatkan kondisi anak
yang disabilitas dan menderita sakit untuk menarik perhatian dan rasa iba dari masyarakat
sehingga memberikan sejumlah uang untuk membantu mereka. Padahal dengan kondisi
anak yang sakit sangat rentan terkena paparan virus dan penyakit lainnya ketika diajak
keluar rumah seperti ditempat umum.

39
Gambar 4.9. contoh eksploitasi ekonomi..

Berdasarkan pemaparan tersebut, eksploitasi ekonomi terhadap anak yang terjadi di


Sumbawa di sebabkan oleh beberapa faktor antara lain (a). Faktor Ekonomi keluarga yang
rendah, (b). Faktor Sosial budaya, Fenomena terjadinya anak yang dieksploitasi secara
ekonomi ini tidak dapat terlepas dari realitas yang ada pada masyarakat, yang secara
kultural memandang anak sebagai potensi keluarga yang wajib berbakti terhadap orang tua.
(c). Faktor Keretakan dan Kekerasan Kehidupan Rumah Tangga Orang Tua.

4.2.3 Faktor-Faktor Terjadinya Stigma Terhadap Anak Korban Kekerasan dan


Eksploitasi Di Kabupaten Sumbawa

Tindakan kejahatan yang dialami oleh anak korban kekerasan maupun korban
eksploitasi disebabkan karena tersangka memiliki kondisi mental kepribadian yang kurang
baik sehingga cenderung untuk melakukan kejahatan. Beberapa faktor yang mempengaruhi
timbulnya kejahatan pada anak, diantaranya faktor lingkungan, faktor ekonomi, sosial dan
faktor psikologis. Hal ini mendorong tersangka untuk melakukan perbuatan yang
didalamnya mengandung unsur niat, hasrat, kehendak, dorongan kebutuhan yang
kemudian diwujudkan dengan lahirnya perbuatan kriminalitas. Kaitannya, jika seseorang
salah mengaplikasikan hasrat maka akan timbul perbuatan yang mengarah pada tersangka
tindak pidana kriminal. Faktor ekonomi dan rendahnya pendidikan dapat membentuk
kepribadian dan mental yang kurang baik. Faktor lingkungan juga dapat membentuk
kepribadian yang kurang baik jika bergaul dengan orang yang salah.
Kasus kekerasan dan eksploitasi yang terjadi di Kabupaten Sumbawa secara kualitatif
terus mengalami peningkatan, sesuai data lapangan bahwa 2 tahun terakhir yakni sejak
2021 dan 2022 terus mengalami peningkatan tingkat kekerasan dan eksploitasi terhadap
anak dibawah umur. Berdasarkan hasil wawancara bersana ibu Fatriatul Amanda yang
akrab disapa ibu “Atul” yang bertugas di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) menyatakan
bahwa;
“...5 tahun terakhir ini tingkat kekerasan terhadap anak dibawah umur terus
mengalami peningkatan, terutama pada 2 tahun terakhir ini, hingga membuat sy hampir
menyerah, namun jiwa sosial saya memanggil untuk tetap memberikan pelayanan kepada

40
korban dan keluarga korban, hampir setiap hari ada saja kasus kekerasan, seperti kasus
pemerkosaan, pencabulan, juga kasus eksploitasi...”
Lebih lanjut ibu Atul juga menjelaskan bahwa;
“...kasus kekerasan seksual yang terjadi ini, pelakunya bukan orang lain, dalam hal
ini bahwa pelakunya biasanya adalah ayah kandung atau keluarga yang masih sedarah,
tetangga dan ada juga pacarnya si korban, dan rata-rata mereka berasal dari keluarga
yang ekonominya lemah atau miskin...”
Tindak kekerasan yang terjadi tersebut banyak menimbulkan berbagai stigma dari
masyarakat dilingkungan sekitar kejadian. Beragam stigma tersebut ada yang positif dan
ada yang negatif. Seperti stigma salah satu tetangga korban di Dusun Sering Ai Beta
Kabupaten Sumbawa, yang tidak ingin disebutkan namanya. Berikut hasil kutipan
wawancara yang menyatakan bahwa;
“...kami sangat prihatin terhadap korban, korban masih dibawah umur sekitar 12
tahun. Si korban tidak mampu melawan pelaku yang merupakan ayah kandungnya itu, dan
kejadian ini sudah lama dilakukan setiap ibu korban tidak sedang di rumah, saya sebagai
tetangga tidak setuju jika pelaku itu masih tinggal di kampung ini, karna kami sangat
hawatir jika pelaku juga akan melakukan perbuatannya pada anak anak lain yang ada
dikampung ini, harapan kami semoga pelaku dapat hukuman yang berat sesuai
perbuatannya dan korban bisa hidup normal seperti anak anak yang lain....”

4.3 Stigma Masyarakat Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan dan


Eksploitasi
4.3.1 Stigma Masyarakat Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan

Kekerasan seksual berdampak buruk bagi kondisi fisik dan psikis korban, korban tidak
hanya mempertimbangkan luka fisik akan tetapi berpengaruh pada perkembangan mental
korban. Korban akan mengalami kesulitan bersosialisasi pada lingkungan sekitarnya,
disebabkan adanya rasa malu dan tidak percaya diri. Berikut kutipan hasil wawancara
bersama tetangga korban yang tidak ingin disebutkan identitasnya, menyatakan bahwa ;

”...kami sangat prihatin terhadap kekerasan yang terjadi di RT kami, korban adalah anak di
bawah umur yang masih duduk di bangku SD, pelaku sudah sering melakukan perbuatan
seksual kepada anaknya, kami sangat terkejut, marah, sakit hati dengan tindakan yang
dilakukan oleh pelaku terhadap anaknya, seharusnya anak tersebut diberikan kasih sayang
selayaknya orang tua kepada anaknya, bukan dihancurkan masa depannya, kami juga
berharap pelaku dihukum dan kami tidak ingin pelaku kembali ke kampung kami, karna
kami hawatir akan terulang lagi ...”

41
Lebih lanjut dijelaskan bahwa ;

“…Setelah kejadian tersebut, korban mengalami ketakutan, takut bergaul, takut bermain
bersama teman sebaya, bahkan tidak mau pergi ke sekolah, karna malu dan tidak percaya
diri, sehingga sampai akhinya anak itu putus sekolah…”

Sebuah studi yang dilakukan oleh Piri, M. T. (2013) mengungkapkan bahwa korban
kekerasan seksual yang masih anak-anak atau remaja rentan terhadap bullying, terutama
dari teman sebaya di sekolah, melalui ejekan, intimidasi, dan komentar seksual. anak yang
masih duduk di bangku sekolah mengalami kesulitan untuk berintegrasi kembali dengan
lingkungan sekolahnya. Bullying dari teman sebaya di sekolah memperburuk kesehatan
mental korban kekerasan seksual. Selanjutnya, stigma yang dilekatkan masyarakat kepada
korban menyebabkan mereka menarik diri dan kehilangan kepercayaan terhadap orang lain
(Simbolon, N. D, 2019).
Stigma masyarakat tidak lepas dari budaya masyarakat yang tidak mendukung
korban. Hal seperti itu terjadi di semua lapisan masyarakat dan di pedesaan maupun
perkotaan. Meski demikian , korban kekerasan seksual menghadapi stigma di masyarakat
yang lebih konservatif karena masyarakat konservatif mempertahankan budaya kesucian
(Tumengkol, M. R, 2016). Terlibat dalam aktivitas seksual di luar nikah dianggap sebagai
aib besar dalam kelompok masyarakat tertentu dan karenanya patut dihukum, salah satunya
adalah sanksi sosial. Namun, budaya ini tidak pernah berpihak pada korban. Studi
sebelumnya menemukan bahwa stigma yang dikenakan oleh masyarakat merupakan
penghalang untuk mencegah kekerasan dan membantu korban untuk bertahan hidup
(Usman et al., 2004). Beragam pendapat masyarkat, diantaranya menyatakan bahwa;

”...kami berharap keluarga korban kekerasan pada anak lebih memperhatikan korban agar
tidak terjadi kembali hal – hal yang tidak diinginkan dan kami harap korban sebaiknya di
bawa ke Dokter Psikolog untuk memulihkan mental korban agar korban dapat beraktifitas
seperti biasa dan dapat melupakan kejadian yang dialaminya tanpa mengucilkan anak
tersebut karna korban juga tidak mengharapkan hal itu terjadi...”

Pendapat lain menyatakan bahwa;

“...anak yang menjadi korban ekploitasi biasanya anak yang masih sekolah dan jarang
bergaul dengan teman teman sebayanya, dia melakukan hal itu karena ekonomi keluarga
yang kurang mampu, bapak dan ibunya tidak bekerja, kurang perhatian keluarga dan
melakukannya karena uang dan gaya hidup...”

Masalah seperti itulah yang menyebabkan para orang tua khususnya orangtua anak
yang menjadi korban eksploitasi, mengeksploitasi anaknya untuk bekerja guna membantu
memenuhi kebutuhan keluarga. Hal tersebut bahwa sesuai dengan ciri-ciri kemiskinan yang

42
di ungkapkan (Usman, 2004) bahwa kemiskinan absolut adalah asuatu kondisi dimana
tingkat pendapatan seseorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti
pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Hal ini menyebabkan orang tua maupun
keluarga korban memanfaatkan korban untuk mendapatkan keuntungan yang digunakan
untuk memenuhi kebutuhan pribadinya (Simbolon, 2019).

4.3.2 Stigma Masyarakat Terhadap Anak Sebagai Korban Eksploitasi


Eksploitasi seksual anak didefinisikan sebagai kegiatan yang melibatkan anak laki-
laki maupun perempuan, terkait dengan prilaku anak yang kurang baik yang menjerumus
ke hal- hal negative seperti perkataan porno.” kegiatan yang termasuk dalam kategori
eksploitasi seksual adalah Prostitusi anak, Perdagangan anak dan Pornografi anak. tidak
sedikit anak perempuan yang telah terjerumus dalam dunia pelacuran dapat keluar dengan
mudah dalam pekerjaan yang mereka lakukan. Berikut kutipan hasil wawancara bersama
ibu Fatriatul Amanda selaku Ketua LPA yang menyatakan bahwa;
“ …rata – rata anak –anak yang terjerumus dalam eksploitasi seksual adalah anak –anak
usia remaja seperti anak – anak SMP dan SMA. Kebanyakan dari mereka
mengeksploitasi dirinya sendiri, hal ini disebabkan karna faktor ekonomi, gaya hidup
dan lingkungan pergaulannya, misalnya keinginan untuk memiliki hp dan barang
mewah lainnya yang meyebabkan mereka terjerumus dalam tindakan prostitusi anak
…”
Berdasarkan hasil penelitian Ikawaty (2002) menyatakan bahwa terjadinya eksploitasi anak
disebabkan oleh faktor rendahnya ekonomi, lingkungan, tingkat pendidikan dan broken
home. Anak korban eksploitasi Era globalisasi seperti sekarang ini, semua kebutuhan
manusia semakin mahal sehingga banyak masyarakat hidup dalam kemiskinan dan tidak
dapat mencukupi kebutuhan keluarga. mengakibatkan masyarakat sulit mencari pekerjaan
terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki pendidikan tinggi atau masyarakat yang
sama sekali tidak pernah sekolah. Hal inilah yang dirasakan oleh masyarakat golongan
menengah kebawah, yang amat sangat susah mencari uang untuk biaya hidup mereka
sehari-hari. Kondisi seperti inilah yang memaksa mereka bekerja menjadi pemulung,
pengamen bahkan pengemis dan mereka juga mempekerjakan anaknya untuk membantu
memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kehidupan ekonomi keluarga anak dikategorikan
dalam kehidupan ekonomi kebawah tidak dapat untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
ditambah dengan jumlah tanggungan keluarga yang relatif banyak. Adapun hasil penelitian
Sumiarni (2003) menyatakan bahwa tindakan ekploitasi bagi pekerja anak haruslah
mendapat perlindungan dari negara, pemerintah, masyarakat dan orang tua. Jadi orang tua,
keluarga, masyarakat dan negara bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak
asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Eksploitasi terhadap
anak sampai saat ini banyak terjadi di lingkungan masyarakat ,eksploitasi terjadi karna
faktor ekonomi atau kemiskinan didalam keluarga sehingga memaksa anak untuk
melakukan sesuatu, orang tua dan keluarga mempengaruhi perkembangan anak sehingga
banyak muncul eksplotasi terhadap anak seperti eksploitasi fisik seperti: pekerja anak dan

43
pengemis anak jalanan, Bentuk eksploiatasi pada anak jalanan sangat beragam, diantaranya:
bentuk eksploitasi terhadap anak jalanan yang dilakukan oleh orang tua, bentuk eksploitasi
terhadap anak jalanan yang dilakukan oleh anak jalanan yang lain dan bentuk eksploitasi
terhadap anak jalanan yang dilakukan oleh preman). Berikut kutipan hasil wawancara
bersama ibu Tati Hartatiselaku Kabid PPA yang menyatakan bahwa ;
“… stigma yang muncul dimasyarakat itu beragam, ada stigma positif dan ada stigma
negatif, misalnya beberapa masyarakat berpendapat buruk terhadap korban dan ada juga
yang perduli terhadap korban, ini bukan karna tanpa alasan, pendapat buruk itu muncul
apabila pelaku dan korban melakukan eksploitasi atas dasar suka sama suka sebaliknya
rasa peduli itu muncul apabila korban dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak atas
kehendaknya sendiri …”
Eksploitasi terhadap anak tidak selamanya berdampak buruk kepada sang anak, karena
temyata setelah menjalani proses eksploitasi temyata sang anak bisa menerima kenyataan
tersebut dan tetap menjalani hal tersebut sampai mereka anggap sudah cukup untuk
menempuh kehidupan normal seperti yang lainnya (Tumengkol, 2016). Eksploitasi pada
anak-anak memperlihatkan sikap diskriminatif ataupun tindakan sewenang-wenang
terhadap seorang anak yang dilakukan oleh para orang tua ataupun masyarakat yang
memaksa seorang anak untuk melakukan sesuatu untuk kepentingan ekonomi, sosial
ataupun politik tanpa mempedulikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai
dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya. Anak-anak yang mengalami
eksploitasi oleh pihak keluarganya cenderung mengalami pendewasaan mental lebih dini
oleh karena pada usia yang seharusnya mereka pergunakan untuk bermain dan
bersenangsenang dengan Leman sebayanya, justru mereka harus gunakan untuk bekerja.
Akibat dari eksploitasi anak dapat berdampak panjang dalam kehidupan anak, seperti
sulitnya membaur dengan masyarakat dan sulit membedakan antara yang benar dan yang
salah (Suharto, 2005).

4.4 Kebijakan dan Pelaksanaan Perlindungan Anak di Kabupaten Sumbawa


4.4.1 Kebijakan Perlindungan Anak di Kabupaten Sumbawa

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23


Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 1 angka 2 memberikan pengertian
terkait apa yang disebut sebagai Perlindungan Anak. Perlindungan anak menurut Pasal 1
angka 2 tersebut diatas adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak haknya agar dapat hidup tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan hasrat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Kekerasan yang terjadi pada anak dapat memberikan dampak yang sangat
berbahaya dan merusak masa depan anak yang menjadi korban kekerasan baik secara fisik,
verbal maupun seksual begitupula dengan anak yang menjadi korban eksploitasi. Berkaitan
dengan perlindungan anak maka tanggung jawab terhadap hal tersebut adalah kewajiban

44
daripada orangtua secara khusus, masyarakat umum dan juga pemerintah baik pusat
maupun daerah secara umum. Kewajiban pemerintah untuk menjaga segenap tumpah darah
bangsa Indonesia termasuk didalamnya adalah kewajiban melindungi hak-hak anak adalah
sesuatu yang mutlak diwujudkan, maka dengan hal tersebut pemerintah harus menjamin
hak setiap anak memperoleh perlindungan dari kekerasan fisik, verbal maupun seksual dan
juga kegiatan eksploitasi secara ekonomi begitupula setiap pekerjaan yang membahayakan
dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik maupun mental serta
kehidupan sosialnya. Namun kenyataannya di lapangan hal tersebut diatas belum terpenuhi
secara sistematis dan berkelanjutan (Rumtianing, 2016).
Berdasarkan data Unit PPA Polres Sumbawa setidaknya terdapat terdapat 51 kasus
kekerasan anak pada Tahun 2021 dan Tahun 2022 terdapat 62 kasus kekerasan anak di
Kabupaten Sumbawa, mengenai hal tersebut maka untuk memberikan perlindungan kepada
anak korban kekerasan dan eksploitasi diperlukan kebijakan pemerintah daerah terkait
dengan perangkat hukum yang memadai, sehingga melahirkan kepastian dan kemanfaatan
hukum bagi anak-anak di Kabupaten Sumbawa. Pasal 59 Undang-Undang Perlindungan
Anak mengamanahkan bahwa Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi
darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
anak tereksploitasi secara ekonomi/seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza),
anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik
dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan
penelantaran (Rumtianing, 2016).
Berdasarkan pada Peraturan menteri Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Panduan
Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak mengenai Kabupaten/Kota Layak Anak yang
selanjutnya disebut sebagai KLA, adalah Kabupaten/Kota yang memiliki sistem
pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan
berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan demi tercapainya hak anak.
Kabupaten Sumbawa sendiri telah merespon Peraturan Menteri tersebut diatas
dengan membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Tentang Penyelenggaraan
Perlindungan Anak kemudian Pemerintah Kabupaten Sumbawa membentuk Peraturan
Bupati Sumbawa Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Rencana Aksi Daerah Kabupaten Layak
Anak Di Kabupaten Sumbawa Tahun 2018-2022. Rencana Aksi Daerah adalah dokumen
yang dibuat oleh Pemerintah Daerah terkait dengan rencana program/kegiatan secara
terintegrasi dan terukur dalam jangka waktu tertentu, sebagai instrumen dalam mewujudkan
Kabupaten/Kota Layak Anak. Berdasarkan hal tersebut diatas secara payung hukum,
Pemerintah Kabupaten Sumbawa telah memfasilitasi payung hukum terkait dengan
perlindungan khusus kepada anak.
Berkaitan dengan kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak di Kabupaten Sumbawa,
maka tidak hanya berbicara terkait dengan payung hukum yang telah disediakan oleh

45
Pemerintah Daerah, akan tetapi implementasi daripada kebijakan Pemerintah Daerah yaitu
mengenai aturan yang telah dibuat apakah aturan tersebut telah terimplementasikan dengan
baik di tengah masyarakat atau belum, hal tersebut menjadi salahsatu faktor meningkat
atau menurunnya tingkat kekerasan seksual, eksploitasi dan juga stigma terhadap anak-anak
di tengah masyarakat.
Secara teoritis menurut Profesor Sudikno Mertokusumo, beliau memaparkan terkait
dengan cita-cita hukum yang harus ada secara proporsional dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang aman dan tertib, beliau mengutarakan bahwa ada 3 unsur cita hukum yaitu
kepastian hukum (Rechtssicherkeit), keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan
(Zweckmasigkeit). Cita hukum tersebut tidak dapat dipisahkan dan harus selalu ada dalam
setiap aturan hukum yang berlaku. Dalam pelaksanaannya 3 unsur tersebut saling berkaitan
satu dengan yang lainnya, jika ingin memenuhi kepastian hukum, maka aturan tersebut
harus memenuhi rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat. Rasa keadilan tidak mungkin
tercapai jika aturan yang dibuat tidak bermanfaat dan tidak terimplementasikan dengan baik
kepada masyarakat, maka 3 unsur cita hukum tersebut haruslah terpenuhi.
Implementasi kebijakan Kota Layak Anak dalam hal ini Perlindungan Khusus anak,
dapat dianalisis menggunakan beberapa indikator yang dipaparkan oleh Kementerian
Pemberdayaan dan Perlindungan Anak yaitu: korban kekerasan, eksploitasi, stigma dan
Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 35 Tahun
2014TentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002Tentang Perlindungan
Anak, yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan terhadapAnak yang
berakibat timbulnya kesengsaraanatau penderitaan secara fisik, psikis, seksual,dan/atau
penelantaran, termasuk ancamanuntuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atauperampasan
kemerdekaan secara melawanhukum.
Secara umum eksploitasi adalah pemanfaatan untuk keuntungan sendiri dan,
pemerasan tenaga orang.Eksploitasi anak adalah tindakan sewenang-wenang dan perlakuan
yang bersifat diskriminatif terhadap anak yang dilakukan oleh masyarakat ataupun keluarga
dengan tujuan memaksa anak tersebut untuk melakukan sesuatu tanpa memperhatikan hak
anak, seperti perkembangan fisik dan mentalnya (UU Perlindungan anak No. 35 Tahun
2014). Tindak kejahatan eksploitasi terhadap anak dilakukan dalam berbagai bentuk
kegiatan, yang pada dasarnya bertujuan untuk merampas hak-hak dan kebebasan anak
untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang wajar.
Berdasarkan data yang diperoleh oleh tim peneliti di lapangan tindakan kekerasan
kepada anak masih marak terjadi bahkan dalam kurun waktu 2 tahun terakhir. Berdasarkan
data yang kami peroleh telah terjadi peningkatan tindak kekerasan terhadap anak yakni 51
kasus kekerasan anak pada Tahun 2021 dan Tahun 2022 terdapat 62 kasus kekerasan anak
di Kabupaten Sumbawa. Berkaitan dengan hal tersebut diatas pemerintah melalui Dinas
Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, Kepolisian Resor Sumbawa bersama dengan
pemerintah daerah telah melakukan tindakan tegas dan terukur kepada para pelaku
kekerasan terhadap anak yang dalam hal ini tindakan tersebut dilakukan oleh Kepolisian

46
Resor Sumbawa dengan cara menerima laporan baik dari Dinas Pemberdayaan dan
Perlindungan anak, pemerintah daerah melalui dinas terkait, dan juga pelaporan langsung
dari masyarakat, setelah itu Kepolisian Resor Sumbawa melakukan penyelidikan dan
penyidikan sehingga para pelaku bisa diadili di muka persidangan.
Terhadap anak yang menjadi korban kekerasan, Pemerintah Daerah baik di tingkat
desa, Kelurahan maupun kecamatan, Dinas sosial beserta Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak Kabupaten Sumbawa telah melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap anak
yang menjadi korban kekerasan agar anak tersebut tidak terganggu secara mental dan
mengurangi rasa trauma yang dialami akibat tindakan kekerasan baik fisik, verbal maupun
seksual yang dialaminya.
Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tersebut diatas sudah sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku, akan tetapi maraknya kasus kekerasan terhadap anak di
Kabupaten Sumbawa yang terjadi belakangan ini mengisyaratkan bahwa yang perlu
diperhatikan oleh pemerintah tidak hanya hilirisasi permasalahan saja, dalam hal ini proses
penindakan, akan tetapi proses pencegahan juga perlu mendapat perhatian lebih.
Penegakkan hukum tidak akan efektif jika hanya melakukan tindakan terhadap kasus yang
sudah terjadi berdasarkan laporan masyarakat dalam hal ini berkaitan dengan pidana, dalam
hukum pidana dikenal asas yang menyatakan bahwa hukuman pidana adalah ultimum
remidium yakni hukuman atas tindak pidana adalah upaya terakhir dalam penyelesaian
masalah, selain daripada itu tindakan pencegahan berkaitan dengan kekerasan terhadap
anak juga perlu dilakukan demi menurunkan angka kekerasan terhadap anak yang terjadi di
Kabupaten Sumbawa.
Berdasarkan pada pasal 5 Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 7 Tahun
2017 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak menyatakan bahwa ruang lingkup
penyelenggaraan perlindungan anak meliputi beberapa aspek yaitu pencegahan,
pengurangan resiko, penanganan dan sistem informasi data anak. Dalam hal ini peneliti
menemukan fakta bahwa proses pencegahan, pengurangan resiko dan sistem informasi data
anak masih kurang efektif diberlakukan. Salahsatu faktor kekerasan terhadap anak,
eksploitasi, stigma, dan ABH masih marak terjadi di Kabupaten Sumbawa adalah
dikarenakan kurangnya program pencegahan terkhusus pada sosialisasi terhadap aturan
yang berkaitan dengan perlindungan anak sehingga aturan-aturan yang telah dibuat tersebut
belum terimplementasikan dengan baik di tengah-tengah masyarakat dan juga belum
menimbulkan kesadaran hukum yang merata, sehingga kasus kekerasan terhadap anak
masih marak terjadi.
Faktor lain penghambat implementasi Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak adalah
minimnya ketersediaan data kekerasan anak, eksploitasi, stigma dan ABH (anak yang
berhadapan dengan hukum). berdasarkan pada pasal 15 Peraturan Daerah Kabupaten
Sumbawa Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak menyatakan
bahwa Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan sistem informasi data anak secara
detail untuk kepentingan evaluasi. Pada dasarnya pelaksanaan kebijakan Kabupaten/Kota
Layak Anak sangat membutuhkan kerjasama yang baik antar OPD (Organisasi Perangkat

47
Daerah) yang ada di Kabupaten Sumbawa, sehingga para pemangku kebijakan dapat
mengetahui data secara riil dilapangan dan dapat mengambil kebijakan-kebijakan serta
membentuk program-program yang nantinya akan menunjang penurunan angka kekerasan,
eksploitasi, stigma dan ABH (anak yang berhadapan dengan hukum) di Kabupaten
Sumbawa.

4.4.2 Pelaksanaan Perlindungan Anak di Kabupaten Sumbawa

Tolak ukur keberhasilan kebijakan yang telah diambil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Sumbawa terkait dengan Kabupaten/Kota Layak Anak dapat dilihat berdasarkan presfektif
proses implementasi kebijakan dan hasil kebijakan. Proses implementasi program
pemerintah dianggap berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan hukum positif yag berlaku
dan juga sesuai dengan petunjuk serta ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pemerakarsa
program yang mencakup diantaranya adalah cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok
sasaran dan manfaat program, sedangkan dari presfektif hasil maka kebijakan pemerintah
dianggap berhasil jika berbagai program yang dilaksanakan untuk mensukseskan kebijakan
pemerintah telah memberikan dampak sesuai dengan yang diharapkan (Akib & Tarigan,
2008).
Pelaksanaan Implementasi Kebijakan Kabupaten/kota Layak Anak di Kabupaten
Sumbawa sesuai dengan yang telah diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016, telah direspon oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Sumbawa dengan membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 7
Tahun 2017 Tentang Perlindungan Anak, kemudian membuat Peraturan Bupati Sumbawa
Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Rencana Aksi Daerah Kabupaten Layak Anak di
Kabupaten Sumbawa Tahun 2018-2022. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa
berdasarkan pada Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak sebagai tindak
lanjut dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pedoman
Pembentukan dan Klasifikasi Cabang dan Unit Pelaksana Teknis Daerah membentuk
Peraturan Bupati Sumbawa Nomor 33 Tahun2020Tentang Pembentukan, Kedudukan,
Susunan Organisasi, Tugas Dan Fungsi Serta Tatakerja Unit PelaksanaTeknis Pada Dinas
Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, Dan
Perlindungan Anak Kabupaten Sumbawa demi mempermudah Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan kegiatan teknis operasional dan atau kegiatan teknis tertentu dalam hal ini
berkaitan dengan perlindungan anak.
Berkaitan dengan kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak secara payung hukum
terkhusus pada lingkup perlindungan anak maka Kabupaten Sumbawa telah mempunyai
payung hukum yang kuat terhadap hal tersebut. Penyelenggaraan perlindungan anak dalam
pasal 5 Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Perlindungan Anak yakni penyelenggaraan perlindungan anak meliputi:

48
1. pencegahan
2. pengurangan resiko
3. penanganan
4. sistem informasi
Pencegahan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 huruf a Peraturan Daerah
Kabupaten Sumbawa Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Anak adalah Pertama
merumuskan kebijakan, program dan mekanisme tentang salahsatunya pencegahan,
pengawasan, pengaduan/pelaporan dan pengembangan data masalah perlindungan anak.
Kedua meningkatkan kesadaran dan sikap masyarakat melalui sosialisasi, edukasi dan
informasi mengenai hak anak, perlindungan anak, dan pengasuhan anak kemudian
mengenai dampak buruk kekerasan, perlakuan yang salah, eksploitasi dan penelantaran
anak. Ketiga meningkatkan kapasitas pelayanan perlindungan anak meliputi
pengembangan kapasitas kelembagaan dan tenaga penyedia layanan. Keempat
meningkatkan kemampuan anak untuk mengenali resiko dan bahaya dari situasi atau
perbuatan yang dapat menimbulkan kekerasan, eksploitasi, perlakuan yang salah dan
penelantaran.
Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Sumbawa melalui Dinas Pengendalian
Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak
Kabupaten Sumbawa telah melakukan proses pencegahan akan tetapi menurut peneliti
terkhusus pada poin peningkatan kesadaran masyarakat melalaui program sosialisasi masih
kurang dan belum merata sehingga kurangnya sosialisasi terkait dengan perlindungan anak
dapat menjadi faktor masih maraknya terjadi kekerasan, eksploitasi dan stigma terhadap
anak di Kabupaten Sumbawa.
Berdasarkan pada pasal 11 Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 7 Tahun
2017 Tentang Perlindungan Anak penanganan perlindungan anak meliputi kegiatan:
1. identifikasi dan menerima laporan/pengaduan;
2. tindakan penyelamatan;
3. penempatan anak di rumah perlindungan sementara;
4. rehabilitasi berupa layanan pemulihan kesehatan, layanan pemulihan psikologis, sosial,
dan bantuan pendampingan hukum;
5. reintegrasi sosial berupa layanan dukungan pasca rehabilitasi.
Pelaksanaan penanganan perlindungan anak di Kabupaten Sumbawa telah
dilakukan oleh Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan
Perempuan, dan Perlindungan Anak Kabupaten Sumbawa atau selanjutnya disebut sebagai
Dinas P2KBP3A. Pelaksanaan penanganan yang dilakukan meliputi menerima laporan
masyarakat berkaitan dengan salahsatunya adalah kasus kekerasan dan ekspolitasi terhadap
anak, kemudian setelah menerima laporan Dinas P2KBP3A melakukan tindakan
penyelamatan dengan cara turun langsung ke lapangan untuk mengamankan korban
beserta pelaku, setelah itu melaporkan kasus tersebut kepada pihak Kepolisian dengan
harapan dapat dilakukan penyidikan sehingga pelaku dapat dijerat pidana sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan, kemudian tidak sampai disitu Dinas P2KBP3A melakukan

49
pendampingan terhadap korban dengan cara memberikan layanan pemulihan secara
psikologis dengan melibatkan psikiater. Hambatan yang dirasakan oleh Dinas P2KBP3A
adalah kurangnya sarana dan prasarana berkaitan dengan penanganan perlindungan anak,
hal tersebut sesuai dengan yang dituturkan langsung oleh salahsatu pegawai Dinas
P2KBP3A, selain daripada itu sumber daya manusia menjadi kendala dalam hal
penanganan kasus - kasus yang berkaitan dengan perlindungan anak, dalam hal ini masih
kurangnya tenaga psikiater dan tenaga lainnya yang sudah mendapatkan pelatihan khusus
terkait penanganan perlindungan anak.
Hal terpenting selanjutnya dalam penyelengaraan perlindungan anak adalah sistem
informasi data anak. Menurut pasal 15 Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 7
Tahun 2017 Tentang Perlindungan Anak bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan
sistem informasi data anak demi kebutuhan evaluasi penyelenggaraan perlindungan anak.
Dalam hal ini menurut peneliti data berkaitan dengan perlindungan anak masih sulit untuk
ditemukan, dan data yang tersedia dilapangan masih sangat tidak lengkap sehingga data
yang ditemukan oleh peneliti di berbagai instansi yang berkaitan dengan perlindungan
anak berbeda-beda, sehingga kepentingan evaluasi terkait perlindungan anak di Kabupaten
Sumbawa belum maksimal.

4.4.3 Temuan Penelitian


Berdasarkan hasil penelitian ditemukan beberapa faktor-faktor terjadinya kekerasan
terhadap anak di Kabupaten Sumbawa diantaranya;
1. Faktor Ekonomi; Faktor ekonomi menjadi penyebab kekerasan seksual terhadap anak, tidak
dapat dipungkiri bahwa kekerasan seksual yang terjadi disebabkan karena faktor ekonomi.
Hal tersebut membuat psikis orang tua menjadi tidak stabil sehingga dapat menyebabkan
timbulnya kekerasan terhadap anak. Kekerasan yang dilakukan terhadap anak yakni
semua bentuk tindakan yang dapat membuat sakit fisik, mental, spiritual dan social serta
penyalahgunaan seksual.
2. Faktor Lingkungan; Pengaruh lingkungan dalam hal ini adalah lingkungan sosial dapat
menjadi pemicu pelaku kekerasan seksual melakukan aksinya. Bisa disebabkan karena
pergaulan, gaya hidup dan penyalahgunaan media sosial yang ada.
3. Faktor Rendahnya Pendidikan; Minimnya pendidikan juga menjadi penyebab terjadinya
kekerasan seksual terhadap anak. Bahkan yang lebih memprihatinkan adalah tindakan
pelecehan seksual dilakukan oleh orang-orang terdekat, baik dari dalam keluarga maupun di
lingkungan sekitar tempat tinggal.
4. Faktor Implementasi Regulasi; implementasi kebijakan di tengah-tengah masyarakat
sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan dan kesadaran hukum masyarakat
Berkaitan dengan kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak di Kabupaten Sumbawa
Berdasarkan hasil penelitian juga ditemukan bahwa kekerasan psikis dominan tidak
sampai pada tahap pelaporan, hal ini karena umumnya kasus kekerasan psikis hanya
terselesaikan di tingkat sekolah dan tidak dilanjutkan sampai ketingkat kepolisian.

50
Adapun temuan penelitian terkait faktor-faktor terjadinya eksploitasi terhadap anak di
Kabupaten Sumbawa diantaranya;
1. Eksploitasi seksual; Faktor-faktor penyebab terjadinya eksploitasi seksual antara lain ;
(a) Faktor Ekonomi keluarga yang rendah; (b) Faktor kondisi tertentu karena sebagai
korban kekerasan seksual, tidak percaya diri karena sudah tidak perawan; (c) Faktor
Lingkungan dan Komunitas Anak (pergaulan); (d) Faktor Keretakan dan Kekerasan
Kehidupan Rumah Tangga Orang Tua.
2. Eksploitasi ekonomi; (a) Faktor Ekonomi keluarga yang rendah. Sebagian besar anak-
anak korban eksploitasi ekonomi berasal dari golongan kurang mampu. Temuan
dilapangan penghasilan orang tua kurang lebih Rp. 600.000 sampai Rp.700.000.,
rendahnya pendapatan keluarga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan primer dan
pendidikan anak-anak; (b) Faktor sosial budaya. Fenomena terjadinya anak yang
dieksploitasi secara ekonomi ini tidak dapat terlepas dari realitas yang ada pada
masyarakat, yang secara kultural memandang anak sebagai potensi keluarga yang wajib
berbakti terhadap orang tua; dan (c) Faktor Keretakan dan Kekerasan Kehidupan Rumah
Tangga Orang Tua.

51
BAB V
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 SIMPULAN
1. faktor utama terjadinya kekerasan, eksploitasi dan stigma di tengah tengah masyarakat
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah faktor ekonomi, selain daripada itu
terdapat beberapa faktor penunjang lainnya yakni faktor lingkungan, faktor rendahnya
pendidikan dan faktor implementasi regulasi yang masih kurang.
2. Stigma masyarakat terhadap anak korban kekerasan bergantung pada prilaku sosial
budaya masyarakat sekitar. Masyarakat yang menjunjung tinggai rasa malu, ada
kecendrungan menolak kahadiran korban maupun pelaku.
3. Kebijakan Kabupaten/kota Layak Anak di Kabupaten Sumbawa telah direspon oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa dengan membentuk Peraturan Daerah
Kabupaten Sumbawa Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Anak, kemudian
membuat Peraturan Bupati Sumbawa Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Rencana Aksi
Daerah Kabupaten Layak Anak di Kabupaten Sumbawa Tahun 2018-2022.
Pelaksanaan penanganan perlindungan anak di Kabupaten Sumbawa telah dilakukan
oleh Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan,
dan Perlindungan Anak Kabupaten Sumbawa atau selanjutnya disebut sebagai Dinas
P2KBP3A. Pelaksanaan penanganan yang dilakukan meliputi, penerimaan laporan,
melakukan tindakan penyelamatan korban, melakukan pelaporan dan melakukan
pendampingan kepada korban pasca pelaporan kepolisian. Hambatan yang dirasakan
oleh Dinas P2KBP3A adalah kurangnya sarana dan prasarana berkaitan dengan
penanganan perlindungan anak.

5.2 REKOMENDASI

Berdasarkan pada kesimpulan yang telah diuraikan tersebut diatas, maka peneliti
memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Perlu meningkatkan kerjasama antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkhusus
OPD yang tergabung dalam satgas KLA Kabupaten Sumbawa.
2. Perlu penyajian sistem informasi yang seragam dan akurat berkaitan dengan data
kekerasan dan eksploitasi yang dapat diakses secara umum untuk kepentingan evaluasi.
3. perlu adanya program-program yang langsung melibatkan masyarakat berkaitan dengan
pencegahan dan pengurangan resiko kekerasan terhadap.

4. Faktor utama terjadinya kekerasan, eksploitasi dan stigma di Kabupaten Sumbawa


adalah faktor ekonomi, yang ditopang dengan adanya faklor lain yaitu faktor
lingkungan, faktor rendahnya pendidikan dan faktor implementasi regulasi yang masih
kurang.

52
5. Stigma masyarakat terhadap anak korban kekerasan bergantung pada prilaku sosial
budaya masyarakat sekitar. Masyarakat yang menjunjung tinggai rasa malu, ada
kecendrungan menolak kahadiran korban maupun pelaku.

6. perlu adanya program-program yang langsung melibatkan masyarakat berkaitan dengan


pencegahan dan pengurangan resiko kekerasan terhadap.

53
DAFTAR PUSTAKA
Alex Sobur (2013). Filsafat Komunikasi: Tradisi dan Metode Fenomenologi.
Bandung:PT.Remaja Rosdakarya, h. 363.

Apriyanita, Triana. 2017. Perlindungan Anak dan Hak Kesejahteraan Anak Dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002. SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i. 4(2). 243-
260.

A.Michael Huberman, dan Matthew B. Miles. (2014). Analisis data Kualitatif


Terj. Tjejep Rohidi. Jakarta : UI Press.

Alo Liliweri (2015). Komunikasi Antarpersonal. Jakarta: Kencana. h. 161.


Arifin, Bambang Syamsul (2015). Psikologi Sosial. Bandung: Pustaka Setia.

Bungin, Burhan. (2017). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa. 2021. Statistik Ketenagakerjaan Kabupaten


Sumbawa Tahun 2021. Sumbawa: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa.

Creswell, J.W. (2017). Research Design. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Diterjemahkan dari
Research Design Qualitative, quantitative and Mixed Methods Approaches, 4e, Sage
Publication, 2014.

Chandra, P. S., & Putri, S. S. E. (2021). Analisis Pelaksanaan Kebijakan Kota Layak Anak
(Studi Kasus Pelaksanaan Program Ruang Bermain Ramah Anak Di Ruang Terbuka
Hijau Kacang Mayang Kota Pekanbaru). Jurnal Manajemen Dan Ilmu Administrasi
Publik (JMIAP), 3(1), 72–83. https://doi.org/10.24036/jmiap.v3i1.261

Fitriana, Y., Pratiwi, K., & Sutanto, A.V. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan
perilaku orangtua dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah.
Jurnal Psikologi Undip, 14(1), 81-93.

Huraerah, Abu. (2007). Child Abuse (Edisi Revisi). Bandung: Nuansa.

Irawati, H. P., & Nawangsari, E. R. (2019). Implementasi Kebijakan Pengembangan


Kabupaten/Kota Layak Anak Di Kota Surabaya. Dinamika Governance : Jurnal Ilmu
Administrasi Negara, 9(2). https://doi.org/10.33005/jdg.v9i2.1675

Rakhmania, A. (2019). Orangtua Anak Tunagrahita Dalam Memaknai Stigma Masyarakat


Kepada Anak. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

Roza, D., & S, L. A. (2018). Peran Pemerintah Daerah Untuk Mewujudkan Kota Layak

54
Anak Di Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 25(1), 198–215.
https://doi.org/10.20885/iustum.vol25.iss1.art10
Setyawan, D. (2015). KPAI: Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Tiap Tahun Meningkat.
www.kpai.go.id

Simbolon, N. D. (2019). Analisis Eksploitasi Anak Di Bawah Umur. Sosiatri-Sosiologi,


7(2), 95–108. https://ejournal.ps.fisip-unmul.ac.id

Swadesi, U., & dkk. (2020). Implementasi program kebijakan kota layak anak. Jurnal
Administrasi Negara, 16(1), 77–83.

https://jiana.ejournal.unri.ac.id/index.php/JIANA/article/view/7932

The National Child Traumatic Stress, Network, Physical Abuse Collaborative Group.
(2009). Child physical abuse fact sheet. Los Angeles, CA & Durhma, NC; National
Center for Child Traumatic Stress

55

Anda mungkin juga menyukai