Dosen Pengampu:
Hikmatul Ula, S.H.,M.Kn.
Disusun Oleh:
A. LATAR BELAKANG
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki banyak pulau serta kaya akan
sumber daya alam. Hal itu tentunya membuat Indonesia sebagai potensi besar untuk
dikembangkan sebagai negara maju. Pemerintah Indonesia pun tentunya melihat hal
ini sebagai peluang besar, tak terkecuali pemerintah Kota Jakarta. Jakarta sebagai Ibu
Kota dari Indonesia tentunya memiliki daya Tarik tersendiri dan selalu diberikan
perbaikan-perbaikan setiap tahunnya. Hal ini diperuntukkan agar Kota Jakarta sebagai
ibu kota negara Indonesia dapat dilihat indah dan apik oleh para orang-orang asing.
Wilayah provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) terdiri dari
wilayah daratan seluas 661,26 km2 dan wilayah perairan seluas 6.997,50 km2
termasuk 110 pulau – pulau kecil. Sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, DKI
Jakarta memiliki tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang cukup tinggi baik dari
segi sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Namun, hal ini menyebabkan DKI
Jakarta sebagai kota padat yang terus membutuhkan lahan, entah lahan untuk
permukiman, industri, rekreasi, dan bahkan perkantoran. Hal ini juga menyebabkan
pemerintah mau tidak mau harus mengorbankan beberapa hal untuk membuat lahan-
lahan baru bagi permukiman, industry, rekreasi, atau perkantoran.
Salah satu pemecahan masalah tersebut adalah mereklamasi pantai di Teluk
Jakarta. Reklamasi adalah menambah lahan dengan cara mengubah pantai, rawa, atau
lahan yang tidak produktif menjadi sebuah daratan yang dapat dimanfaatkan untuk
beraktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Pekerjaan reklamasi
mengisyaratkan kegiatan murni perbaikan pantai yang rusak ke kondisi semula,
membersihkan sampah berlebihan, dan memperkaya tumbuhannya, khususnya
mengembalikan kemampuan fungsinya sebagai penyangga ekosistem dan
perlindungan pantai.
Namun dibalik alasan utama reklamasi tersebut untuk mengatasi kebutuhan
lahan, proyek reklamasi pantai juga digunakan untuk kegiatan komersial. Maka dari
itu, kegiatan reklamasi ini seringkali berisi unsur bisnis yang semata-mata hanya
untuk mendapatkan keuntungan dan tidak memperhatikan lingkungan. Tak hanya itu,
ada banyak masyarakat di tempat lokasi yang akan di reklamasi menolak mentah-
mentah rencana tersebut karena berbagai alasan seperti tempat tersebut merupakan
tempat tinggal mereka atau tempat mereka mencari nafkah. Namun, suara mereka
seringkali tidak didengar oleh pemerintah maka dari itu, advokasi menjadi salah satu
sarana untuk membantu para masyarakat yang tidak mendapat keadilan tersebut.
A. Jenis Advokasi
Dari Kasus Rayuan Pulau Palsu kita dapat melihat bahwasanya dalam kasus
tersebut menggunakan jenis advokasi kelas. Advokasi kelas itu sendiri adalah suatu
bantuan hukum yang menuju pada kegiatan-kegiatan atas nama sekelompok orang
untuk menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara dalam menjangkau kesempatan.
Sebagaimana yang dapat kita lihat dari kasus Rayuan Pulau Palsu ini, bantuan hukum
yang diberikan oleh beberapa aktivis, akademisi, dan juga LSM untuk mewakili dan
menyuarakan aspirasi masyarakat yaitu para nelayan di Muara Angke, Teluk Jakarta.
Organisasi nelayan di Muara Angke Bersatu dengan para aktivis membentuk suatu
koalisi yang menolak reklamasi dan menuntut pemulihan lingkungan hidup akibat
adanya proyek pembangunan di Teluk Jakarta.
Selain itu, fokus advokasi yang dilakukan oleh koalisi yang menolak reklamasi
di Teluk Jakarta ini untuk mempengaruhi atau merubah kebijakan dari Pemerintah
DKI Jakarta yang pada waktu itu dipimpin oleh Bapak Basuki Tjahaja Purnama.
Koalisi yang menolak reklamasi mendesak pemerintah DKI Jakarta untuk
membatalkan adanya reklamasi pulau untuk membentuk Giant Sea Wall sebagai
bentuk pertahanan pesisir. Para nelayan menilai kebijakan yang dibuat pemerintah
daerah untuk melakukan penggusuran dengan alasan di Teluk Jakarta sudah tidak ada
ikan dinilai tidak tepat. Karena pada kenyataannya masih banyak ikan di Teluk
Jakarta yang menjadi sumber pendapatan para nelayan. Para nelayan di Muara Angke
juga menegaskan mereka menolak penggusuran karena mereka disana juga membeli
tanah, mereka berhak untuk mempertahankan tanah miliknya. Dan Indonesia sendiri
yang terkenal sebagai negara maritim, harusnya dapat memberdayakan para nelayan,
bukannya berusaha untuk menghilangkan para nelayan.
Dalam melakukan advokasi, sebelum advokasi ini dilakukan sebagai tindakan
perlawanan reklamasi, koalisi yang menolak reklamasi di Teluk Jakarta telah
melakukan diskusi dengan tokoh masyarakat dan warga sekitar. Setelah koalisi ini
mendengarkan dan menampung aspirasi dari para nelayan di Muara Angke, koalisi
penolakan reklame kemudian melakukan audiensi dan dialog langsung di DPR DKI
Jakarta. Selain itu juga dibarengi aksi demonstrasi penolakan reklamasi Teluk Jakarta.
Koalisi yang menolak reklamasi Teluk Jakarta juga melakukan demonstrasi di
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dan sebagai bentuk advokasi lainnya yaitu
dengan difilmkannya kasus Rayuan Pulau Palsu agar mendapat perhatian dari banyak
lapisan masyarakat.
Advokasi yang dilakukan oleh koalisi yang menolak reklamasi Teluk Jakarta ini
pada akhirnya membuahkan hasil setelah dilakukannya penyelidikan oleh KPK terkait
pelaksanaan reklamasi Teluk Jakarta. Dan dari hasil penyelidikan KPK tersebut telah
ditetapkan anggota DPRD DKI Jakarta yang menerima suap terkait izin pembangunan
pulau buatan yaitu, Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Aries Widjaja. Hasil
lain dari kegiatan advokasi yang dilakukan untuk menolak reklamasi adalah dengan
dihentikannya pembangunan Pulau C, D dan G.
B. Strategi Advokasi
1. Deskripsi Tahapan
2) Solusinya yang diterima, solusinya ada dengan dapat dilihat dari proses
advokasi dalam film Rayuan Pulau Palsu tersebut pekerja sosial dan
Organisasi Nelayan Muara Angke Bersatu bersama warga sekitar untuk
membentuk suatu koalisi yang menyatakan penolakkan terhadap reklamasi
Teluk Jakarta. Solusi yang diberikan pekerja sosial dalam hal ini aktivis,
akademisi, dan juga LSM untuk mewakili dan menyuarakan aspirasi
masyarakat Muara Angke.
3) Adanya kemauan politik dan Semuanya bertindak serentak ditandai dengan
Adanya kemauan upaya yang dilakukan dari membentangkan banner
penolakan terhadap reklamasi di berbagai lokasi, mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara hingga menggelar unjuk rasa di depan Kantor
DPRD Provinsi Jakarta. Penolakan terhadap reklamasi tidak hanya dilakukan
oleh nelayan dan warga yang terdampak, suporter sepak bola Persija Jakarta,
membentangkan spanduk besar bertuliskan “Jakarta Menolak Reklamasi”.
Atas dasar solidaritas dan simpati atas apa yang dialami oleh penduduk Muara
Angke.
e. Tahap kelima: Pada tahap ini, adalah evaluasi. Tahap kelima, penilaian. Penilaian
perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitas kegiatan advokasi. Penilaian bisa
berupa tindakan refleksi atas kerja-kerja yang telah dilakukan. Bila perlu buatlah
sasaran dan strategi baru agar perubahan lebih mudah dilakukan.
Penilaian Puncak advokasi telah usai dilakukan dengan baik oleh pekerja sosial
dan masyarakat yang terlibat dalam proses kegiatan advokasi ini. Masyarakat
nelayan telah didapatkan dengan kerja keras dan konsistensi mereka dalam
mengawal kasus ini. Dari awal nelayan dan warga sekitar Teluk Jakarta kesal
dengan reklamasi bahkan mereka melakukan langkah-langkah hukum untuk
memberhentikan proyek reklamasi karena dinilai merugikan masyarakat nelayan
dan eksistensi tempat tinggal mereka saat ini. Melalui advokasi Advokasi yang
dilakukan oleh koalisi yang menolak reklamasi Teluk Jakarta ini pada akhirnya
membuahkan hasil setelah dilakukannya penyelidikan oleh KPK terkait
pelaksanaan reklamasi Teluk Jakarta. Dan dari hasil penyelidikan KPK tersebut
telah ditetapkan anggota DPRD DKI Jakarta yang menerima suap terkait izin
pembangunan pulau buatan yaitu, Presiden Direktur Agung Podomoro Land,
Aries Widjaja. Hasil lain dari kegiatan advokasi yang dilakukan untuk menolak
reklamasi adalah dengan dihentikannya pembangunan Pulau C, D dan G.
III. Penutup
Permasalahan yang terdapat dalam kasus rencana reklamasi relokasi nelayan dari
Muara Angke ke Kepulauan Seribu yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta dibawah kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama diantaranya adalah penurunan
pendapatan nelayan yang sangat signifikan, dan merupakan solusi sepihak yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Upaya yang ditempuh para pengemban usaha guna
memperlancar proyek ambisinya, dengan mengambil hati masyarakat Muara Angke
melalui jamuan makan yang membahas terkait rencana reklamasi. Maka dari itu warga
yang menolak reklamasi di Teluk Jakarta menolak dilaksanakannya rencana ini melalui
demonstrasi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan melalui advokasi. Strategi
advokasi yang ditempuh dalam permasalahan ini dibagi atas 5 Tahapan diantaranya :
1. mengidentifikasi masalah dengan mengambil tindakan kebijakan dimana pekerja
sosial masyarakat advokat ini menentukan bahwa masalah yang perlu dituju dan
diusahakan adalah mengenai masalah akan dilakukannya reklamasi di Teluk Jakarta.
Hal ini dapat diketahui dari film dokumenter berjudul Rayuan Pulau Palsu tersebut
pekerja sosial mengambil tindakan berdasarkan kondisi yang merugikan nelayan
seperti Ilyas;
2. merumuskan dan memilih solusi melalui pekerja sosial yang berperan sebagai advokat
dan pelaku kunci yang lain mengusulkan solusi mengenai permasalahan tersebut dan
memilih salah satu yang layak ditangani secara politis, ekonomis, dan sosial;
3. membangun kesadaran melalui membangun kemauan politik untuk bertindak
menangani isu dan mendapatkan solusinya dengan membentuk koalisi, menemui
para pengambil keputusan, membangun kesadaran dan menyampaikan pesan secara
efektif;
4. tindakan kebijakan dengan melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan atas
permasalahan yang ada;
5. evaluasi dengan membuat penilaian untuk mengetahui efektivitas kegiatan advokasi.
Dengan peran masing-masing stakeholder adalah :
1. Stakeholder Utama (primer) berperan sebagai penerima manfaat secara langsung dari
hasil advokasi.
2. Stakeholder Pendukung (sekunder) berperan sebagai pendukung stakeholder utama
3. Stakeholder Kunci berperan sebagai pengambil keputusan atas kewenangan hukum
yang dimiliki.
Atas reklamasi pembuatan pulau sintetis yang dilakukan oleh pemerintah yang
memberikan kerugian yang besar, dimana para nelayan tidak dapat melakukan pelayaran
karena laut yang mereka miliki menyempit karena pulau sintetis yang dibuat oleh
pemerintah. Perkumpulan nelayan jakarta secara simbolis memberikan sebuah miniatur
kapal kepada KPK sebagai sebuah tanda bahwa perkara tersebut diperjuangkan dan
dimonitor oleh KPK untuk kepentingan nelayan agar proyek reklamasi dihentikan karena
proyek reklamasi hanya menguntungkan penguasa dan pengembang, serta memberikan
kerugian kepada masyarakat kecil di Muara Angke.
Anggota kelompok menjalankan advokasi dalam bentuk aksi sosial yang dilakukan
oleh baik para aktivis yang terdiri dari Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI),
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), LBH Jakarta, Wahana Lingkungan
Hidup (WALHI) maupun masyarakat muara angke, dapat dilihat dari aksi demonstrasi
yang dilakukan dengan berdialog kepada DPRD DKI Jakarta. Selain itu, mereka juga
melakukan aksi sosial demonstrasi di depan gedung DPRD DKI Jakarta, di PTUN
Jakarta dan melakukan audiensi dan dialog di kantor RW, di DPRD DKI Jakarta dan saat
pertandingan sepakbola dimulai, mereka membentangkan banner panjang
bertuliskan#JakartaTolakReklamasi. Dalam menjalankan advokasi ini menggunakan
pendekatan yang dilakukan dengan pendekatan retrospektif, yang artinya bahwa
pendekatan advokasi ini dilakukan dengan menganalisis dampak-dampak yang
ditimbulkan dari kebijakan pemerintah berupa reklamasi daerah daerah muara angke.