Anda di halaman 1dari 15

ANALISA RENCANA ADVOKASI RAYUAN PULAU PALSU

Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester


Mata Kuliah Advokasi Kelas A

Dosen Pengampu:
Hikmatul Ula, S.H.,M.Kn.

Disusun Oleh:

Deanisha Sekar Oristania R 195010101111154 / 25


Zulfikar Muhammad Agiel 195010101111155 / 26
Luna Dezeana Ticoalu 195010101111159 / 27
Mayosevin Bernadetta Sihotang 195010101111162 / 28
Diah Ajeng Meliasari 195010101111167 / 29
Muhammad Naufal Irfan Thoriq 195010101111167 / 30
Fairuz Nabila Hasna 195010101111173 / 31
Ailsa Ulandari Humaira 195010101111175 / 32

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2022
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki banyak pulau serta kaya akan
sumber daya alam. Hal itu tentunya membuat Indonesia sebagai potensi besar untuk
dikembangkan sebagai negara maju. Pemerintah Indonesia pun tentunya melihat hal
ini sebagai peluang besar, tak terkecuali pemerintah Kota Jakarta. Jakarta sebagai Ibu
Kota dari Indonesia tentunya memiliki daya Tarik tersendiri dan selalu diberikan
perbaikan-perbaikan setiap tahunnya. Hal ini diperuntukkan agar Kota Jakarta sebagai
ibu kota negara Indonesia dapat dilihat indah dan apik oleh para orang-orang asing.
Wilayah provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) terdiri dari
wilayah daratan seluas 661,26 km2 dan wilayah perairan seluas 6.997,50 km2
termasuk 110 pulau – pulau kecil. Sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, DKI
Jakarta memiliki tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang cukup tinggi baik dari
segi sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Namun, hal ini menyebabkan DKI
Jakarta sebagai kota padat yang terus membutuhkan lahan, entah lahan untuk
permukiman, industri, rekreasi, dan bahkan perkantoran. Hal ini juga menyebabkan
pemerintah mau tidak mau harus mengorbankan beberapa hal untuk membuat lahan-
lahan baru bagi permukiman, industry, rekreasi, atau perkantoran.
Salah satu pemecahan masalah tersebut adalah mereklamasi pantai di Teluk
Jakarta. Reklamasi adalah menambah lahan dengan cara mengubah pantai, rawa, atau
lahan yang tidak produktif menjadi sebuah daratan yang dapat dimanfaatkan untuk
beraktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Pekerjaan reklamasi
mengisyaratkan kegiatan murni perbaikan pantai yang rusak ke kondisi semula,
membersihkan sampah berlebihan, dan memperkaya tumbuhannya, khususnya
mengembalikan kemampuan fungsinya sebagai penyangga ekosistem dan
perlindungan pantai.
Namun dibalik alasan utama reklamasi tersebut untuk mengatasi kebutuhan
lahan, proyek reklamasi pantai juga digunakan untuk kegiatan komersial. Maka dari
itu, kegiatan reklamasi ini seringkali berisi unsur bisnis yang semata-mata hanya
untuk mendapatkan keuntungan dan tidak memperhatikan lingkungan. Tak hanya itu,
ada banyak masyarakat di tempat lokasi yang akan di reklamasi menolak mentah-
mentah rencana tersebut karena berbagai alasan seperti tempat tersebut merupakan
tempat tinggal mereka atau tempat mereka mencari nafkah. Namun, suara mereka
seringkali tidak didengar oleh pemerintah maka dari itu, advokasi menjadi salah satu
sarana untuk membantu para masyarakat yang tidak mendapat keadilan tersebut.

B. KRONOLOGI KASUS (Naufal)


Rencana Reklamasi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dibawah kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama atau lebih dikenal dengan Ahok
menuai kontroversi. Perencanaan Reklamasi tersebut dinilai tidak pro rakyat dan
hanya memperdulikan kepentingan investor/pengembang. Salah satu pengembangnya
adalah PT Muara Wisesa Samudra, yang merupakan anak perusahaan dari Agung
Podomoro Land, yang hendak mendirikan sebuah pulau di area Teluk Jakarta.
Rencana tersebut menuai banyak protes dari Nelayan di Muara Angke.
Seluruh nelayan di Muara Angke mengalami penurunan pendapatan yang sangat
signifikan. Dalam video “Rayuan Pulau Palsu” disebutkan bahwa, Ilyas, seorang
nelayan yang berusia lebih dari 60 Tahun, mengatakan bahwa sejak adanya proyek
reklamasi yang berjarak sekitar 100 – 200 meter dari pantai, pendapatan Pak Ilyas
mengalami penurunan yang sangat signifikan. Sebelum adanya reklamasi, pendapatan
Pak Ilyas adalah Rp200.000,-. Sementara setelah adanya Reklamasi, pendapatan Pak
Ilyas hanya berkisar Rp50.000,-. Itupun hanya pendapatan kotor. Dalam salah satu
adegan video, diperlihatkan bahwa Pak Ilyas hanya dapat membawa pulang 3 ekor
ikan, yang merupakan hasilnya melaut sehari semalam. Alhasil, ikan tersebut hanya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya saja. Sementara penyebab
tangkapan ikan yang menurun menurut Pak Ilyas, adalah kondisi air yang sangat
keruh menyebabkan ikan sulit datang di sekitar Teluk Jakarta, tempat biasa para
nelayan ikan di Muara Angke menangkap ikan. Warga lain juga menyatakan bahwa
kondisi di Teluk Jakarta amat parah semenjak adanya reklamasi. Sebagai
perbandingan, pendapatan bersih salah satu nelayan tersebut ketika sebelum adanya
reklamasi adalah Rp. 200.000,-. Namun sejak adanya reklamasi, pendapatan bersih
mereka turun menjadi Rp. 50.000 yang habis untuk membeli kebutuhan makan sehari-
hari.
Dalam upayanya untuk memperlancar proyek ambisinya, para pengembang
berusaha untuk mengambil hati masyarakat Muara Angke. Salah satu upaya
perusahaan pengembang adalah dengan cara mengajak warga untuk makan-makan
dalam sebuah pertemuan RW. Agenda dalam pertemuan ini adalah memberitahukan
bahwa akan ada rencana reklamasi. Pak Saefudin menjelaskan bahwa masyarakat
tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat reklamasi dan perusahaan
pengembang tidak memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai dampak yang
diakibatkan oleh adanya reklamasi. Dalam salah satu adegan di Film itu, Pak
Saefuddin mengatakan bahwa pada saat ia berusaha menjelaskan kepada warga
mengenai akibat dari adanya reklamasi justru dibilang gila oleh masyarakat setempat.
Hal ini dikarenakan masyarakat kurang memahami dampak yang akan mereka terima
akibat adanya reklamasi.
Problematika lain yang menjadi kontroversi dalam proyek reklamasi adalah
rencana relokasi nelayan dari Muara Angke ke Kepulauan Seribu. Warga
menganggap bahwa rencana relokasi pemukiman ke Kepulauan Seribu dianggap
merupakan solusi sepihak dalam melancarkan proyek Reklamasi. Pemerintah DKI
Jakarta dianggap sewenang-wenang terhadap masyarakat Muara Angke dan dinilai
tidak mempedulikan rakyat.
Rencana reklamasi yang merugikan nelayan dan masyarakat Muara Angke
membuat mereka tergerak untuk melakukan demo di Kantor DPRD Provinsi DKI
Jakarta. Pada Bulan Januari 2016, Ratusan Warga Muara Angke melakukan
demonstrasi kecil di depan kantor DPRD Provinsi Jakarta. Kemudian, beberapa
perwakilan warga diperkenankan masuk untuk menyampaikan tuntutannya kepada
Anggota DPRD. Mereka menyampaikan bahwa pendapat mereka berkurang dan
keberatannya mengenai rencana relokasi pemukiman ke Kepulauan Seribu. Pada
Bulan Februari 2016, warga Muara Angke, perkumpulan nelayan Jakarta, beserta
beberapa organisasi lingkungan hidup yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan
Teluk Jakarta, mendatangi Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat
Pemerintah DKI Jakarta terkait permasalahan yang menimpa para nelayan dan warga
Muara Angke.
Maret 2016, terdapat demo tandingan terhadap penolakan reklamasi yang
dilakukan oleh nelayan dan warga Muara Angke. Demo tandingan ini berisi tuntutan
untuk mendukung Reklamasi. Demo Tandingan ini dilakukan oleh warga Muara
Angke sendiri. Namun, diketahui bahwa aksi tandingan tersebut merupakan aksi
bayaran. Pak Saefuddin menunjukkan bahwa ada salah satu warga yang bernama
Karmina yang merupakan salah satu peserta demo mendukung reklamasi. Saat
ditanya, Pak Karmina bukanlah nelayan, ia adalah penjual jamu. Ia menyebutkan
bahwa ia diajak oleh salah satu koordinator lapangan, yang juga merupakan warga
Muara Angke juga. Ajakan tersebut diterimanya pada malam hari. Demo tersebut
katanya merupakan demo membentuk RT/RW. Kemudian, untuk meyakinkan Pak
Karmina untuk mengikuti demo tersebut, koordinator lapangan demo tersebut
mengatakan kepada Pak Karmina bahwa ia hanya perlu duduk dan kemudian diberi
makan dan uang sebesar Rp. 100.000. Selanjutnya Pak Karmina merasa ditipu dan
malu, karena demo tersebut merupakan demo mendukung reklamasi, yang mana
merupakan tandingan demo tolak reklamasi yang digaungkan oleh kawan-kawannya.
Dalam video ini juga diwawancarai seorang koordinator lapangan demo
tersebut. Ia mengatakan bahwa ia dibayar Rp. 300.000 oleh pengembang untuk
menjadi koordinator lapangan demo tandingang tersebut. Adapun alasan ia mau
karena ia merasa bahwa pengembang dianggap tanggap terhadap kebutuhan
masyarakat Muara Angke. Ia menyebutkan bahwa pada saat acara Pesta Nelayan,
pengembang memberi uang sebesar Rp. 200.000.000, kemudian pada saat mushola
mengalami kerusakan, pengembang memberikan uang sebesar Rp. 147.000.000 dan
kemudian pada saat peringatan Maulid Nabi, pengembang memberikan uang sebesar
Rp. 15.000.000. Selain itu, warga lain yang juga mendukung upaya reklamasi
mengatakan bahwa pengembang kerap membiayai umroh masyarakat Muara Angke.
Ia mengatakan bahwa setiap tahun, pengembang meng-umrohkan 4 orang.
Upaya yang dilakukan oleh Warga Muara Angke membuahkan hasil. Upaya
yang dilakukan dari membentangkan banner penolakan terhadap reklamasi di
berbagai lokasi, mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara hingga
menggelar unjuk rasa di depan Kantor DPRD Provinsi Jakarta. Penolakan terhadap
reklamasi tidak hanya dilakukan oleh nelayan dan warga yang terdampak, suporter
sepak bola Persija Jakarta, membentangkan spanduk besar bertuliskan “Jakarta
Menolak Reklamasi”. Atas dasar solidaritas dan simpati atas apa yang dialami oleh
penduduk Muara Angke. Penolakan Reklamasi akhirnya menjadi pembahasan yang
sering diangkat oleh media. Puncaknya adalah ketika KPK menyelidiki perkara
Reklamasi di Teluk Jakarta ini. Ditangkap anggota DPRD DKI Jakarta yang
menerima suap terkait izin pembangunan pulau buatan yang pada akhirnya, Presiden
Direktur Agung Podomoro Land, Aries Widjaja, ditangkap atas kasus suap terkait
perizinan pembuatan pulau buatan di Teluk Jakarta. Hasil dari upaya yang dilakukan
untuk menolak reklamasi adalah dihentikannya pembangunan Pulau C, D dan G.
II. RENCANA ADVOKASI

A. Jenis Advokasi

Dari Kasus Rayuan Pulau Palsu kita dapat melihat bahwasanya dalam kasus
tersebut menggunakan jenis advokasi kelas. Advokasi kelas itu sendiri adalah suatu
bantuan hukum yang menuju pada kegiatan-kegiatan atas nama sekelompok orang
untuk menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara dalam menjangkau kesempatan.
Sebagaimana yang dapat kita lihat dari kasus Rayuan Pulau Palsu ini, bantuan hukum
yang diberikan oleh beberapa aktivis, akademisi, dan juga LSM untuk mewakili dan
menyuarakan aspirasi masyarakat yaitu para nelayan di Muara Angke, Teluk Jakarta.
Organisasi nelayan di Muara Angke Bersatu dengan para aktivis membentuk suatu
koalisi yang menolak reklamasi dan menuntut pemulihan lingkungan hidup akibat
adanya proyek pembangunan di Teluk Jakarta.
Selain itu, fokus advokasi yang dilakukan oleh koalisi yang menolak reklamasi
di Teluk Jakarta ini untuk mempengaruhi atau merubah kebijakan dari Pemerintah
DKI Jakarta yang pada waktu itu dipimpin oleh Bapak Basuki Tjahaja Purnama.
Koalisi yang menolak reklamasi mendesak pemerintah DKI Jakarta untuk
membatalkan adanya reklamasi pulau untuk membentuk Giant Sea Wall sebagai
bentuk pertahanan pesisir. Para nelayan menilai kebijakan yang dibuat pemerintah
daerah untuk melakukan penggusuran dengan alasan di Teluk Jakarta sudah tidak ada
ikan dinilai tidak tepat. Karena pada kenyataannya masih banyak ikan di Teluk
Jakarta yang menjadi sumber pendapatan para nelayan. Para nelayan di Muara Angke
juga menegaskan mereka menolak penggusuran karena mereka disana juga membeli
tanah, mereka berhak untuk mempertahankan tanah miliknya. Dan Indonesia sendiri
yang terkenal sebagai negara maritim, harusnya dapat memberdayakan para nelayan,
bukannya berusaha untuk menghilangkan para nelayan.
Dalam melakukan advokasi, sebelum advokasi ini dilakukan sebagai tindakan
perlawanan reklamasi, koalisi yang menolak reklamasi di Teluk Jakarta telah
melakukan diskusi dengan tokoh masyarakat dan warga sekitar. Setelah koalisi ini
mendengarkan dan menampung aspirasi dari para nelayan di Muara Angke, koalisi
penolakan reklame kemudian melakukan audiensi dan dialog langsung di DPR DKI
Jakarta. Selain itu juga dibarengi aksi demonstrasi penolakan reklamasi Teluk Jakarta.
Koalisi yang menolak reklamasi Teluk Jakarta juga melakukan demonstrasi di
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dan sebagai bentuk advokasi lainnya yaitu
dengan difilmkannya kasus Rayuan Pulau Palsu agar mendapat perhatian dari banyak
lapisan masyarakat.
Advokasi yang dilakukan oleh koalisi yang menolak reklamasi Teluk Jakarta ini
pada akhirnya membuahkan hasil setelah dilakukannya penyelidikan oleh KPK terkait
pelaksanaan reklamasi Teluk Jakarta. Dan dari hasil penyelidikan KPK tersebut telah
ditetapkan anggota DPRD DKI Jakarta yang menerima suap terkait izin pembangunan
pulau buatan yaitu, Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Aries Widjaja. Hasil
lain dari kegiatan advokasi yang dilakukan untuk menolak reklamasi adalah dengan
dihentikannya pembangunan Pulau C, D dan G.

B. Strategi Advokasi

1. Deskripsi Tahapan

Tahapan : Strategi advokasi dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan


Advokasi ini dilaksanakan melalui tahapan mengidentifikasi masalah,
merumuskan dan memilih solusi, membangun kesadaran, tindakan kebijakan, dan
evaluasi. Tahap-tahap ini hendaknya dipandang lentur atau cair, karena tahap-
tahap tersebut mungkin saja terjadi bersamaan atau berurutan, dan prosesnya
sendiri mungkin saja berhenti atau berbalik.

a. Tahap pertama: Tahap ini yaitu mengidentifikasi masalah untuk mengambil


tindakan kebijakan. Tahap ini juga mengacu pada penetapan agenda. Bisa ada
masalah yang tidak terbatas jumlahnya yang perlu diperhatikan, tetapi tidak
semuanya harus mendapat tempat di dalam agenda tindakan. Pekerja sosial
masyarakat advokat harus menentukan masalah mana yang perlu dituju dan
diusahakan untuk mencapai lembaga yang menjadi sasaran agar diketahui bahwa
isu tersebut memerlukan tindakan. Dalam kasus rayuan pulau palsu dapat
dianalisis bahwa tahap pertama yang dilakukan adalah mengambil tindakan
pekerja sosial masyarakat advokat ini menentukan bahwa masalah yang perlu
dituju dan diusahakan adalah mengenai masalah akan dilakukannya reklamasi di
Teluk Jakarta.
Salah satu pengembangnya adalah PT Muara Wisesa Samudra, yang merupakan
anak perusahaan dari Agung Podomoro Land, yang hendak mendirikan sebuah
pulau di area Teluk Jakarta. Rencana tersebut menuai banyak protes dari Nelayan
di Muara Angke.Isu ini memerlukan tindakan dimana akibat Rencana reklamasi
Teluk Jakarta ini merugikan nelayan dan masyarakat Muara Angke. Hal ini dapat
diketahui dari film dokumenter berjudul Rayuan Pulau Palsu tersebut pekerja
sosial mengambil tindakan berdasarkan kondisi yang merugikan nelayan seperti
Ilyas, seorang nelayan yang berusia lebih dari 60 Tahun, mengatakan bahwa sejak
adanya proyek reklamasi yang berjarak sekitar 100 – 200 meter dari pantai,
pendapatan Pak Ilyas mengalami penurunan yang sangat signifikan. Sementara
penyebab tangkapan ikan yang menurun menurut Pak Ilyas, adalah kondisi air
yang sangat keruh menyebabkan ikan sulit datang di sekitar Teluk Jakarta, tempat
biasa para nelayan ikan di Muara Angke menangkap ikan. Warga lain juga
menyatakan bahwa kondisi di Teluk Jakarta amat parah semenjak adanya
reklamasi.
b. Tahap kedua : Pada tahap ini dilakukan perumusan solusi. Pekerja sosial yang
berperan sebagai advokat dan pelaku kunci yang lain mengusulkan solusi
mengenai permasalahan tersebut dan memilih salah satu yang layak ditangani
secara politis, ekonomis, dan sosial.
Setelah mengidentifikasi masalah yang dituju dan dan diusahakan untuk
mencapai lembaga yang menjadi sasaran agar diketahui bahwa isu reklamasi
Teluk Jakarta tersebut memerlukan tindakan, perumusan sosial dilakukan oleh
pekerja sosial dengan mengusulkan solusi layak ditangani secara sosial dan
politik.
c. Tahap Ketiga: Tahap ini yaitu membangun kemauan politik untuk bertindak
menangani isu dan mendapatkan solusinya merupakan bagian terpenting dari
advokasi. Tindakan pada tahap ini meliputi membentuk koalisi, menemui para
pengambil keputusan, membangun kesadaran dan menyampaikan pesan secara
efektif.
1) Koalisi : Pekerja sosial dalam film dokumenter tersebut adalah aktivis,
akademisi, dan juga LSM untuk mewakili dan menyuarakan aspirasi
masyarakat yaitu para nelayan di Muara Angke, Teluk Jakarta membentuk
koalisi dengan Organisasi nelayan di Muara Angke Bersatu dengan para
aktivis tersebut membentuk yang memiliki tujuan menolak reklamasi dan
menuntut pemulihan lingkungan hidup akibat adanya proyek pembangunan di
Teluk Jakarta.
2) Menemui pengambil keputusan : Dalam film digambarkan bagaimana
masyarakat pesisir kampung nelayan Jakarta Utara ,melakukan perlawanan
terhadap reklamasi yang sebelumnya didahului dengan diskusi dengan tokoh
masyarakat dan warga sekitar.
3) Membangun kesadaran : Perlawanan itu pertama dengan melakukan audiensi
dan dialog langsung di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Hal tersebut dibarengi dengan melakukan aksi
demonstrasi penolakan terhadap reklamasi pantai utara Jakarta di depan
gerbang gedung DPRD. dalam audiensi warga menyampaikan bahwa warga
kampung nelayan sudah bisa hidup mandiri. Hal itu terbukti karena banyak
nelayan membeli perahunya sendiri, jarring beli sendiri. Dan menurutnya Joko
Widodo sebagai presiden harus bisa memberdayakan dan mengapresiasi apa
yang telah nelayan lakukan.
4) Menggalang sekutu dan Menyampaikan pesan secara efektif : Ini dilakukan
dengan cara Warga melakukan demonstrasi yang dilakukan warga kampung
nelayan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada Januari 2016.
Masyarakat yang tergabung dalam koalisi selamatkan teluk Jakarta, yang
didalamnya terdiri dari sejumlah organisasi, dan juga masyarakat nelayan yang
ada di teluk Jakarta. Wacana yang dibawa adalah bahwa mereka ingin
mengembalikan dan memulihkan hak-hak masyarakat nelayan di teluk Jakarta.
Kedua, memulihkan lingkungan hidup yang yang berada di teluk Jakarta.
Mereka percaya, bahwa hanya dengan lingkungan hidup yang baik dan bersih
di perairan teluk Jakarta, maka mereka akan bisa mendapati Jakarta yang lebih
sehat.
d. Tahap Keempat: Tahap ini adalah melaksanakan kebijakan: terjadi jika
masalahnya telah diketahui, solusinya diterima dan ada kemauan politik untuk
bertindak, semuanya secara serentak. Keadaan tumpang tindih in biasanya
merupakan suatu “celah peluang” yang dapat lenyap dengan cepat yang harus
ditangkap oleh pekerja sosial advokat.. Pemahaman akan proses pengambilan
keputusan dan strategi advokasi yang mantap akan meningkatkan kemungkinan
terciptanya celah peluang untuk bertindak.
1) Masalah telah diketahui : Dapat dianalisis bahwa tahap keempat melaksanakan
kebijakan ini telah melewati analisis tahap masalah yang telah diketahui yaitu
penolakan reklamasi pada Teluk Jakarta oleh warga sekitar Muara Angke
karena proyek pembangunan merusak lingkungan dan merugikan warga
sekitar Muara Angke.

2) Solusinya yang diterima, solusinya ada dengan dapat dilihat dari proses
advokasi dalam film Rayuan Pulau Palsu tersebut pekerja sosial dan
Organisasi Nelayan Muara Angke Bersatu bersama warga sekitar untuk
membentuk suatu koalisi yang menyatakan penolakkan terhadap reklamasi
Teluk Jakarta. Solusi yang diberikan pekerja sosial dalam hal ini aktivis,
akademisi, dan juga LSM untuk mewakili dan menyuarakan aspirasi
masyarakat Muara Angke.
3) Adanya kemauan politik dan Semuanya bertindak serentak ditandai dengan
Adanya kemauan upaya yang dilakukan dari membentangkan banner
penolakan terhadap reklamasi di berbagai lokasi, mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara hingga menggelar unjuk rasa di depan Kantor
DPRD Provinsi Jakarta. Penolakan terhadap reklamasi tidak hanya dilakukan
oleh nelayan dan warga yang terdampak, suporter sepak bola Persija Jakarta,
membentangkan spanduk besar bertuliskan “Jakarta Menolak Reklamasi”.
Atas dasar solidaritas dan simpati atas apa yang dialami oleh penduduk Muara
Angke.
e. Tahap kelima: Pada tahap ini, adalah evaluasi. Tahap kelima, penilaian. Penilaian
perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitas kegiatan advokasi. Penilaian bisa
berupa tindakan refleksi atas kerja-kerja yang telah dilakukan. Bila perlu buatlah
sasaran dan strategi baru agar perubahan lebih mudah dilakukan.
Penilaian Puncak advokasi telah usai dilakukan dengan baik oleh pekerja sosial
dan masyarakat yang terlibat dalam proses kegiatan advokasi ini. Masyarakat
nelayan telah didapatkan dengan kerja keras dan konsistensi mereka dalam
mengawal kasus ini. Dari awal nelayan dan warga sekitar Teluk Jakarta kesal
dengan reklamasi bahkan mereka melakukan langkah-langkah hukum untuk
memberhentikan proyek reklamasi karena dinilai merugikan masyarakat nelayan
dan eksistensi tempat tinggal mereka saat ini. Melalui advokasi Advokasi yang
dilakukan oleh koalisi yang menolak reklamasi Teluk Jakarta ini pada akhirnya
membuahkan hasil setelah dilakukannya penyelidikan oleh KPK terkait
pelaksanaan reklamasi Teluk Jakarta. Dan dari hasil penyelidikan KPK tersebut
telah ditetapkan anggota DPRD DKI Jakarta yang menerima suap terkait izin
pembangunan pulau buatan yaitu, Presiden Direktur Agung Podomoro Land,
Aries Widjaja. Hasil lain dari kegiatan advokasi yang dilakukan untuk menolak
reklamasi adalah dengan dihentikannya pembangunan Pulau C, D dan G.

2. Peran dan Tugas dari Masing-masing Stakeholder

Berdasarkan peran, kekuatan, posisi dan pengaruh stakeholder terhadap


permasalahan dalam Film tersebut., stakeholder dapat dikategorikan kedalam
beberapa kelompok yaitu stakeholder primer, sekunder dan stakeholder kunci.
Adapun penjelasan mengenai peran dan tugas masing-masing stakeholder
berdasarkan film tersebut adalah:
a. Stakeholder Utama (primer); merupakan stakeholder yang memiliki kepentingan
secara langsung dengan adanya proyek reklamasi tersebut. Dalam hal ini adalah
kelompok masyarakat nelayan Muara Angke yang terkena dampak penurunan
pendapatan akibat proyek reklamasi Pluit City. Kelompok ini juga sebagai
penerima manfaat secara langsung dari hasil advokasi. Peran nelayan ialah
mengupayakan berbagai cara untuk mengenalkan, menjelaskan, dan melakukan
aksi demonstrasi di depan gedung DPRD DKI Jakarta untuk melakukan audiensi
dan dialog dengan pejabat publik.
b. Stakeholder Pendukung (sekunder); merupakan stakeholder yang tidak memiliki
kepentingan secara langsung terhadap proyek tersebut namun juga memiliki
concern yang sama sehingga turut bersuara mengenai permasalahan tersebut.
Dalam hal ini ialah:
1) Lembaga Swadaya Masyarakat; dalam hal ini ada Koalisi Nelayan
Tradisional Indonesia (KNTI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(KIARA), LBH Jakarta, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI); LSM-LSM
tersebut turut membantu kelompok nelayan untuk melakukan perlawanan
terhadap proyek reklamasi.
2) Mahasiswa; banyak mahasiswa yang melakukan advokasi serta menyuarakan
penolakannya terhadap reklamasi teluk Jakarta untuk mempengaruhi sikap
masyarakat atas proyek reklamasi.
3) Suporter Persija Jakarta; kelompok suporter ini turut bersuara mengenai
#JakartaTolakReklamasi dengan membentangkan banner saat pertandingan
berlangsung di stadion. Dukungan ini kemudian menjadikan proyek
reklamasi menjadi pembahasan yang sering diangkat di media.
c. Stakeholder Kunci; merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan hukum
dalam hal pengambilan keputusan. Dalam hal ini ialah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Peran DPRD disini ialah untuk
mendengarkan keluhan-keluhan dari aksi demonstrasi kelompok terkait dengan
proyek reklamasi serta membuat keputusan terkait dengan kebijakan atas proyek
tersebut.

3. Bagaimana Anggota Kelompok Menjalankan Advokasi

a. Perkumpulan Nelayan Muara Angke


Perkumpulan nelayan Muara Angke melihat akibat dari proses reklamasi
yang direncanakan oleh pemerintah di sekitar wilayah Teluk Jakarta yang
bertujuan untuk membuat sebuah pulau sintetis di wilayah teluk jakarta. Rencana
reklamasi tersebut mendapatkan banyak reaksi negatif terutama dari para nelayan
yang tinggal di daerah muara angke. Reklamasi pembuatan pulau sintetis yang
dilakukan oleh pemerintah memberikan kerugian yang besar dimana para nelayan
tidak dapat melakukan pelayaran karena laut yang mereka miliki menyempit
karena pulau sintetis yang dibuat oleh pemerintah. Dalam prosesnya,
perkumpulan nelayan jakarta melihat proses pemfilman yang dilakukan oleh
koalisi yang menolak reklamasi Teluk Jakarta. Film kasus Rayuan Pulau Palsu
tersebut mendapatkan banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat.
Perhatian atas kasus Rayuan Pulau Palsu tersebut membuahkan beberapa
hasil seperti terungkapnya kasus korupsi yang dilakukan oleh beberapa pihak
yang terlibat dalam proses reklamasi Teluk Jakarta. Beberapa nama diantaranya
adalah Sanusi, dan Aries Widjaja sebagai Direktur Agung Podomoro Land.
Perkumpulan nelayan jakarta secara simbolis memberikan sebuah miniatur kapal
kepada KPK sebagai sebuah tanda bahwa perkara tersebut diperjuangkan dan
dimonitor oleh KPK untuk kepentingan nelayan agar proyek reklamasi dihentikan
karena proyek reklamasi hanya menguntungkan penguasa dan pengembang, serta
memberikan kerugian kepada masyarakat kecil di Muara Angke. Perkara yang
ditangani KPK berujung kepada penyegelan pulau C,D, dan G. Terkait dengan
penyegelan tersebut pemerintah Jakarta menghentikan proyek reklamasi secara
sementara. Hal tersebut dilakukan sampai seluruh persyaratan dan undang-
undang terkait dengan reklamasi terpenuhi.
b. Aktivis dan Masyarakat Muara Angke
Anggota kelompok menjalankan advokasi pada film Rayuan Pulau Palsu
adalah dalam bentuk aksi sosial yang dilakukan oleh baik para aktivis yang terdiri
dari Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan (KIARA), LBH Jakarta, Wahana Lingkungan Hidup
(WALHI) maupun masyarakat muara angke, hal tersebut dapat dilihat dari aksi
demonstrasi yang dilakukan dengan berdialog kepada DPRD DKI Jakarta.
Dimana salah satu masyarakat muara angke mengatakan pendapatnya, yaitu:
“kita tinggal di muara angke tidak gratis pak. Dari tahun 1977 kita
membayar angsuran. Kita beli dan kita sudah melunasi rumah itu. Kok, kenapa
tiba-tiba gubernur kita Ahok ada wacana mau menggusur kita? Kita beli loh pak.
Kita bukan orang liar. Dan kita dipaksa oleh pemerintahan dulu, untuk
menempati kawasan muara angke yang dulunya hutan pak.”
Selain itu, mereka juga melakukan aksi sosial demonstrasi di depan
gedung DPRD DKI Jakarta, di PTUN Jakarta dan melakukan audiensi dan dialog
di kantor RW, di DPRD DKI Jakarta dan saat pertandingan sepakbola dimulai,
mereka membentangkan banner panjang bertuliskan#JakartaTolakReklamasi.
Dalam menjalankan advokasi ini menggunakan pendekatan yang
dilakukan dengan pendekatan retrospektif, yang artinya bahwa pendekatan
advokasi ini dilakukan dengan menganalisis dampak-dampak yang ditimbulkan
dari kebijakan pemerintah berupa reklamasi daerah daerah muara angke. Dampak
yang ditimbulkan dari reklamasi ini adalah dapat menimbulkan hutan bakau di
daerah teluk Jakarta terdegradasi dan hilang sehingga menimbulkan besarnya
abrasi sehingga disini pembuatan tanggul raksasa dan reklamasi pulau bukanlah
cara untuk menanggulangi banjir rob.

III. Penutup

Permasalahan yang terdapat dalam kasus rencana reklamasi relokasi nelayan dari
Muara Angke ke Kepulauan Seribu yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta dibawah kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama diantaranya adalah penurunan
pendapatan nelayan yang sangat signifikan, dan merupakan solusi sepihak yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Upaya yang ditempuh para pengemban usaha guna
memperlancar proyek ambisinya, dengan mengambil hati masyarakat Muara Angke
melalui jamuan makan yang membahas terkait rencana reklamasi. Maka dari itu warga
yang menolak reklamasi di Teluk Jakarta menolak dilaksanakannya rencana ini melalui
demonstrasi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan melalui advokasi. Strategi
advokasi yang ditempuh dalam permasalahan ini dibagi atas 5 Tahapan diantaranya :
1. mengidentifikasi masalah dengan mengambil tindakan kebijakan dimana pekerja
sosial masyarakat advokat ini menentukan bahwa masalah yang perlu dituju dan
diusahakan adalah mengenai masalah akan dilakukannya reklamasi di Teluk Jakarta.
Hal ini dapat diketahui dari film dokumenter berjudul Rayuan Pulau Palsu tersebut
pekerja sosial mengambil tindakan berdasarkan kondisi yang merugikan nelayan
seperti Ilyas;
2. merumuskan dan memilih solusi melalui pekerja sosial yang berperan sebagai advokat
dan pelaku kunci yang lain mengusulkan solusi mengenai permasalahan tersebut dan
memilih salah satu yang layak ditangani secara politis, ekonomis, dan sosial;
3. membangun kesadaran melalui membangun kemauan politik untuk bertindak
menangani isu dan mendapatkan solusinya dengan membentuk koalisi, menemui
para pengambil keputusan, membangun kesadaran dan menyampaikan pesan secara
efektif;
4. tindakan kebijakan dengan melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan atas
permasalahan yang ada;
5. evaluasi dengan membuat penilaian untuk mengetahui efektivitas kegiatan advokasi.
Dengan peran masing-masing stakeholder adalah :
1. Stakeholder Utama (primer) berperan sebagai penerima manfaat secara langsung dari
hasil advokasi.
2. Stakeholder Pendukung (sekunder) berperan sebagai pendukung stakeholder utama
3. Stakeholder Kunci berperan sebagai pengambil keputusan atas kewenangan hukum
yang dimiliki.
Atas reklamasi pembuatan pulau sintetis yang dilakukan oleh pemerintah yang
memberikan kerugian yang besar, dimana para nelayan tidak dapat melakukan pelayaran
karena laut yang mereka miliki menyempit karena pulau sintetis yang dibuat oleh
pemerintah. Perkumpulan nelayan jakarta secara simbolis memberikan sebuah miniatur
kapal kepada KPK sebagai sebuah tanda bahwa perkara tersebut diperjuangkan dan
dimonitor oleh KPK untuk kepentingan nelayan agar proyek reklamasi dihentikan karena
proyek reklamasi hanya menguntungkan penguasa dan pengembang, serta memberikan
kerugian kepada masyarakat kecil di Muara Angke.
Anggota kelompok menjalankan advokasi dalam bentuk aksi sosial yang dilakukan
oleh baik para aktivis yang terdiri dari Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI),
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), LBH Jakarta, Wahana Lingkungan
Hidup (WALHI) maupun masyarakat muara angke, dapat dilihat dari aksi demonstrasi
yang dilakukan dengan berdialog kepada DPRD DKI Jakarta. Selain itu, mereka juga
melakukan aksi sosial demonstrasi di depan gedung DPRD DKI Jakarta, di PTUN
Jakarta dan melakukan audiensi dan dialog di kantor RW, di DPRD DKI Jakarta dan saat
pertandingan sepakbola dimulai, mereka membentangkan banner panjang
bertuliskan#JakartaTolakReklamasi. Dalam menjalankan advokasi ini menggunakan
pendekatan yang dilakukan dengan pendekatan retrospektif, yang artinya bahwa
pendekatan advokasi ini dilakukan dengan menganalisis dampak-dampak yang
ditimbulkan dari kebijakan pemerintah berupa reklamasi daerah daerah muara angke.

Anda mungkin juga menyukai