Anda di halaman 1dari 4

NILAI, ETIKA, DAN HAM DALAM PEKERJAAN SOSIAL

PENGERTIAN NILAI

Dosen
Drs. Bambang Sugeng, M.P.

Oleh
Eka Aulia Purwahardiani
21.04.229
1-A Pekerjaan Sosial

Pekerjaan Sosial di Indonesia


Perkembangan pekerja sosial di Indonesia berawal dari nilai gotong royong masyarakat sebagai
sistem pelayanan sosial. Ketika terjadi penjajahan Belanda, pemerintah Belanda memandang
pelayanan sosial hanya berupa kegiatan amal, sehingga pelaksanaannya diserahkan kepada
badan-badan swasta misalnya Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Missi Katholik, dan
sebagainya. Pada masa penjajahan jepang, kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia
semakin memburuk, dan lembaga-lembaga pelayanan sosial yang sudah dibentuk tidak
berjalan sebagaimana mestinya . Pada masa kemerdekaan, sebagai pencerminan akan
pentingnya kesejahteraan sosial dan praktik pekerjaan sosial dalam bentuk pelayanan sosial,
maka dibentuklah Kementrian Sosial pada 19 agustus 1945, setelah kemerdekaan dan dimulai
dengan kursus/ pelatihan dalam bidang pekerjaan/ kesejahteraan sosial. Kemudian mulai
bermunculan perguruan tinggi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/ pekerjaan sosial
seperti Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, STISIP Widuri, UMJ,
Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, dan lain-lain..
- Indonesia tidak mengalami krisis dan permasalahan sosial dampak revolusi
- Tidak mempunyai kelas menengah yang kuat dalam mendukung kegiatan karitas
- Mayoritas agama Islam. Praktek pekerjaan amal tertuang dalam sistem pemberian
zakat. Mesjid tidak terorganisir kegiatan amal, kecuali Muhamadiyah
- Masyarakat pedesaan dengan keluarga besar, kekerabatan dan semangat komunitas
yang kuat sebagai sarana pemecahan masalah sosial
- UUD 1945 menganut sistem kesejahteraan, tetapi Negara belum sanggup memenuhi
kebutuhan.
- PBB melihat bahwa konsep Community Development (CD) sesuai untuk mengatasi
keterbelakangan dan kemiskinan di Negara-negara baru merdeka
- Tahun 1950an, PBB dan Negara barat mengembangkan teori dan praktek serta
menyelenggarakan pelatihan CD bagi para pejabat pemerintah di Negara yang baru
merdeka
- PBB menyebarkan 60 orang penasehat ahli CD ke 25 negara baru merdeka. Termasuk
Indonesia untuk membantu Departemen Sosial dalam mengembangkan CD
- Enam ahli didatangkan diantaranya: Prof. Dr. Herbert Bisno, Prog. Dr. Irving Bregham,
David Drucker. Semuanya ditempatkan di STKS Bandung
- Menyelenggarakan bimbingan sosial masyarakat desa dan terbentuknya Lembaga
Sosial Desa (LSD). Tahun 1970 LSD dibentuk diseluruh desa di Indonesia.
Para Pekerja Sosial kemudian melakukan registrasi dibawah payung Organisasi Profesi Ikatan
Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI). IPSPI merupakan organisasi resmi yang diakui
oleh dunia internasional dan terdaftar sebagai anggota IFSW. Di Indonesia terdapat 32
Perguruan tinggi penyelenggara pendidikan Kesejahteraan Sosial/ Pekerjaan Sosial. Seluruh
Perguruan tinggi tersebut tergabung dalam Asosiasi Pendidikan Pekerjaan Sosial dan
Kesejahteraan Sosial Indonesia (ASPEKSI).
Eksistensi Profesi Pekerjaan Sosial telah memasuki tahapan penting dan strategis dalam rangka
memperkuat perkembangan Pekerja Sosial di Indonesia, antara lain:
1. Semakin kuatnya pengaturan Pekerja Sosial Profesional dalam Peraturan perundang-
undangan, seperti dalam UU No No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang
menyebutkan Pekerja Sosial sebagai “the primary profession” dalam penyelenggaraan
Kesejahteraan.
2. Pekerja Sosial telah memasuki era baru yaitu Sertifikasi Kompetensi Pekerja Sosial
3. Kementerian Sosial memprakarsai penyusunan naskah Akademik dan Rancangan
Kebijakan saat ini yang menjadi arus utama Kementerian Sosial adalah “one stop services”
dengan mengintegrasikan pelayanan pada satu sistem dengan dicanangkan Pelayanan Terpadu
dan Gerakan Masyarakat Peduli Kabupaten/Kota Sejahtera atau PANDU GEMPITA.
Indonesia, perlu mencermati dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengembangkan sistem pendidikan dan pelatihan Pekerjaan Sosial berbasis
kompetensi generalis dan spesialis.
2. Mengembangkan praktek Pekerjaan Sosial berbasis perseorangan, keluarga dan
komunitas yang terintegrasi
3. Mengembangkan organisasi profesi Pekerja Sosial yang mandiri
4. Membangun sistem pencegahan secara dini munculnya masalah sosial
5. Menanamkan kepekaan dan kesalehan sosial
6. Optimalisasi Tri Dharma Perguruan Tinggi
Di Indonesia, jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) ialah sebanyak 15,5
juta rumah tangga. Indonesia masih membutuhkan setidaknya 139 ribu orang pekerja sosial.
Sementara saat ini jumlah pekerja sosial yang tersedia hanya sekitar 15.522 orang. Hal ini
untuk memenuhi rasio ideal antara pekerja sosial dengan masyarakat yaitu 1:100. Kebutuhan
akan pekerja sosial terus meningkat untuk menangani Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) tersebut. Sehingga membutuhkan jumlah pekerja sosial di berbagai bidang
untuk mengatasi masalah sosial dan penyandang masalah kesejahteraan sosial di Indonesia.
Sektor-sektor yang membutuhkan pekerja sosial antara lain untuk keperluan medis di rumah
sakit, industri, forensik di lembaga pemasyarakatan (LP) atau badan pemasyarakatan (bapas),
pekerja sosial klinis di Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Napza, pekerja sosial, spesialis
perlindungan anak serta spesialis manajemen bencana. Walaupun sebagian besar masyarakat
masih tidak mengetahui profesi pekerjaan sosial, namun keberadaan pekerja sosial kini
semakin dikuatkan dengan adanya sertifikasi kompetensi pekerja sosial dan tenaga
kesejahteraan sosial. Pemberian sertifikasi difasilitasi pemerintah melalui Lembaga Sertifikasi
Pekerjaan Sosial (LSPS) yang dapat menerbitkan lisensi. Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS)
akan diakreditasi oleh Badan Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial (BALKS) yang akan
memperkuat eksistensi profesi pekerja sosial, sekaligus menjadi landasan kebutuhan pekerja
sosial profesional di Indonesia.

Nilai-Nilai yang Paling Twpat Diajarkan kepada pekerja Sosial atau Calon-Calon
Pekerja Sosial.
Menurut Northen (1971), nilai-nilai pekerjaan sosial ialah sebaai berikut.
1. Setiap orang bebas untuk mengungkapkan dirinya sendiri.
2. Setiap orang bebas untuk menjaga kerahasiaan dirinya.
3. Setiap orang bebas berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan pribadinya.
4. Setiap orang berkewajiban mengarahkan kehidupan pribadinya secara bertanggung
jawab agar dapat bertindak konstruktif dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam sejarah dan perkembangannya, nilai dalam pekerjaan sosial menapaki beberapa tahapan
perkembangan (Reamer, 1999:5; dalam Huda, 2009:138-141):

Pelayanan (nilai)
Prinsip etiknya adalah pekerja sosial harus mengutamakan tujuan untuk membantu masyarakat
yang membutuhkan dan memusatkan pada permasalahan sosial. prinsip pelayanan diletakkan
diatas kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan. Melayani klien baik individu,
keluarga, kelompok, maupun masyarakat merupakan kewajiban dari pekerja sosial yang harus
diutamakan. Tanpa prinsip pelayanan, pekerjaan sosial tidak memiliki aktivitas profesional

Keadilan Sosial (nilai)

Prinsip etik dari nilai ini adalah pekerja sosial wajib untuk menentang ketidakadilan sosial.
Tujuan inti pekerjaan sosial adalah menuju perubahan sosial yang lebih humanis dan mengarah
kepada kesejahteraan sosial. ketidakadilan sosial maupun penindasan yang terjadi dalam
masyarakat menjadi tanggung jawab pekerja sosial untuk mengubah keadaan tersebut.

Harkat dan Martabat Seseorang (nilai)

Prinsip etik dari nilai ini adalah pekerja sosial menghormati harkat dan martabat seseorang.
Pekerjaan sosial merupakan profesi yang melibatkan diri langsung baik dalam setting individu,
keluarga, kelompok maupun masyarakat. Oleh sebab itu, setting keterlibatan langsung ini
menuntut dari para peker sosial untuk memiliki modal nilai yang menghargai orang lain dalam
melakukan interaksi sosial.

Mementingkan Hubungan Kemanusiaan (nilai)


Prinsip etik dari nilai ini adalah pekerja sosial mengakui dan mengutamakan hubungan
kemanusiaan. Hubungan kemanusiaan (human relationship) adalah unsur yang sangat penting
di dalam proses perubahan sosial. maka dari itu, menjunjung tinggi hubunga kemanusiaan dan
kemasyarakatan harus dilakukan untuk mendukung perubahan sosial agar berjalan secara
positif. Hubunga kemanusiaan adalah bagian dari proses pertolongan.

Integritas (nilai)

Prinsip etik dari nilai ini adalah pekerja sosial harus mempunyai perilaku yang dapat dipercaya.
Dalam batas tertentu, profesi pekerja sosial adalah seperti dokter, ‘mengobati’ dan
‘menyembuhkan’ individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang sedang sakit. Tanpa
adanya perilaku yang dapat dipercaya, pekerja sosial tidal dapat menjalankan profesi tersebut
dengan baik. Integritas setidaknya ditunjukkan dengan konsistensi pekerja sosial dengan misi
profesional, nilai, dan prinsip etika, dan standar etika dalam aktivitas pertolonga yang
dilakukannya.

Kompetensi (nilai)

Prinsip etik dari nilai ini adalah pekerja sosial harus mempraktikkan keahlian
profesionalismenya dalam proses pertolongan yang dilakukan. Dalam hal ini pengetahuan
dan skill yang memadai harus dimiliki oleh pekerja sosial untuk menunjang kompetensi dari
pekerja sosial. tanpa adanya kompetensi tersebut menjadikan pekerja sosial tidak dapat
profesional dan mencapai tujuannya dengan baik. Sehingga adanya pengetahuan dan keahlian
yang memadai juga menjadi dasar kepemilikan yang sangat penting dalam profesi pekerjaan
sosial.

Meski begitu, terdapat beberapa bentuk dilema etis dalam pekerjaan sosial (Huda, 2009: 54)
yaitu: (1) Dilema etis yang terkait praktek langsung yaitu pemberian pelayanan pada individu,
keluarga dan kelompok kecil. (2) dilema etis yang terkait dengan praktek komunitas,
administrasi, tindakan sosial, penelitian dan evaluasi, relasi dengan teman sejawat dan
pendidikan professional, yaitu paling umum terjadi berkaitan dengan konflik aktual atau
potensial antara aturan tugas-tugas pekerja sosial dalam hal-hal berikut: (a) Kerahasiaan Klien
dan komunikasi bebas. Pekerja sosial memiliki kewajiban untuk menghagai hak klien untuk
kerahasiaan dan harapannya. (b) Memutuskan untuk diri sendiri dan paternalism professional.
Pada kalangan pekerjaan sosial diterima bahwa biasanya klien mempunyai hak sangat
mendasar untuk memutuskan suatu tindakan untuk dirinya sendiri. (c) Undang-undang
kebijakan dan peraturan. Pekerja sosial harus menjunjung tinggi undang-undang, kebijakan dan
aturan yang relevan untuk keberfungsian organisasi pelayanan kemanusiaan dan masyarakat
luas. (d) Nilai-nilai professional dan pribadi. Pekerja sosial terkadang menemukan di lapangan
bahwa nilai-nilai pribadinya bertentangan dengan nilai-nilai pekerjaan sosial atau kedudukuan
resmi pimpinan lembaganya atau organisasi yang terkait. (e) Sumber daya yang langka dan
terbatas. Pekerja sosial dituntut membuat criteria alokasi dan mengambil keputusan dalam
mengalokasiakan sumber-sumber dengan baik. (f) Management care. Pengaruh managemen
care yaitu kebijakan yang dibuat untuk meningkatkan tanggung jawab fiscal dan pengendalian
biaya untuk perawatan kesehatan dan pelayanan kemanusiaan. (g) Whistle-blowing (memberi
peringatan). Pekerja sosial umumnya memahami kewajiban untuk melindungi klien dan public
dari rekan sejawat yang tidak etis, tetapi mereka juga tahu bahwa memberi peringatan dapat
memberikan dampak terhadap rekan maupun pekerja sosial yang perilaku tidak etis (Najib,
2018: 30).

Anda mungkin juga menyukai