Anda di halaman 1dari 6

UJIAN AKHIR SEMESTER

HUKUM DAN PERBATASAN NEGARA (KELAS A)

Pengelolaan perbatasan suatu negara memiliki dua dimensi, yaitu dimensi nasional
dan dimensi internasional. Dimensi nasional ditunjukan dengan pengaturan regulasi
nasional berkaitan dengan wilayah perbatasannya, sementara dimensi internasional
ditunjukan dengan kerjasama pengelolaan perbatasan dengan negara tetangga.

Terkait hal tersebut:

1. Inventarisir selengkap mungkin peraturan perundang-undangan Indonesia yang


terkait dengan pengelolaan perbatasan dan analisis efektivitas implementasi dari
berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dalam pengelolaan perbatasan
negara.
2. Tunjukan bentuk kerjasama pengelolaan perbatasan dengan salah satu negara
tetangga Indonesia dan analisis implementasi dari kerjasama tersebut.

Hasil UAS tersebut diserahkan ke Bagian Akademik PSMH paling lambat tanggal 14
Desember 2021.

Pontianak, 11 Desember 2021

Dr. Budi H. Bangun, S.H., M.Hum.


UAS HUKUM & PERBATASAN NEGARA
KELAS A XXI PSMH UNTAN

Nama: Radifan Anhari

NIM: A2021211062 (Kelas A XXI PSMH Untan)

Dosen Pengampu: Dr. Budi6 H. Bangun, S.H., M.Hum


1.) Inventarisir tata aturan pengelolaan perbatasan beserta analisis sebagai
berikut:

1. Undang-undang No. 43 Tahun 2008 tentang Batas Negara


Efektivitas dari aturan diatas, dimensi-dimensi implementasi dalam hal ini
memang membutuhkan begitu banyak aspek, jika diperhatikan dari sudut
pandang pemerintahan dalam negeri, RPJP concern mengatasi masalah
ketimpang atau Gap Rasio nasional yang semakin tinggi hari demi hari, dan
memang pemerintah secara garis besar belum memiliki intensitas dari
concern yang ditujukan dalam RPJP, ini dapat dilihat hanya pada beberapa
PLBN pembangunan itu terlaksana, dan pembangunan proyek PLBN yang
strategis berdasarkan angka lalu lintas keluar masuk masyarakat menuju
malaysia atau menuju Indonesia. Dari undang-undang ini sejati nya banyak
ditemukan masalah, mandat dari pada undang-undang ini terlalu denial
untuk dapat segera diwujudkan dalam waktu dekat, diperlukan begitu
banyak arah pembangunan strategis, dikarenakan pembangunan daerah
perbatasan seharusnya disamakan dengan pembangunan pusat kecamatan.
Tata kekola semisal ini bukan ditujukan dengan elaborasi dari pemerintah
pusat dan pemerintah daerah untuk menemukan titik terang dalam fungsi-
fungsi yang ada hingga dalam pelaksanaan teknis di lapangan. Dilihat dari
analisis pelaksanaan undang- dan sebagainya yang semuanya memiliki nilai
undang tersebut di atas belum mencerminkan, ekonomis yang sangat besar
bagi dan atau belum memperlihatkan asas kesejahteraan rakyat, terutama
kaum nelayan kesejahteraan, khususnya persoalan wilayah yang bertempat
tinggal di wilayah Negara.

2. Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


Tugas-tugas pembagian yang diisyarakat dalam Undang-undang tentang
Wilayah Negara, dimana kekuasaan wilayah ini satu sisi dikuasai oleh
kekuasaan administratif daerah, dan terkait hubungan luar negeri dikuasai
oleh pemerintah pusat, dalam hal ini memang dinyatakan secara teori bahwa
pemerintah daerah selanjutnya kami sebut pemda memiliki kewenangan
dalam pembangunan wilayah administratif nya, pembangunan semacam ini
sudah semestinya turut serta diawasi dengan hadirnya pemerintah pusat
pada PLBN atau yang lainnya untuk membangun daerah perbatasan, dalam
artian daerah perbatasan dalam teorinya memiliki interpensi dan perhatian
khusus terlebih dalam fasilitas dan pelaksanaan administatif
kependudukannya. Dalam kaitannya dengan yang terjadi dilapangan secara
nyata, dapat dilihat bahwa masyarakat di daerah perbatasan terkadang
memiliki mal-administrasi, tidak mendapatkan hak yang sama dalam jaminan
sosial dan kesehatan, dan pemerataan ekonomi yang saat ini bertolak
belakang dengan teori yang ada. Efektivitas ini sejatinya jua tidak memiliki
kaitan dengan mandat tata aturan yang ada, namun ditemukan masalah
dalam ranah-ranah teknis, istilah yang umum semisal tugas perbantuan
diartikan lain oleh pemda sebagai pelepasan tanggung jawab mereka dalam
pengelolaan di daerah perbatasan, adapun terkait dengan pemerintah pusat
juga tidak memberikan evaluasi bagi peranan pemda dalam pembangunan
daerah perbatasan, dan juga pemerintah pusat dengan pendanaan yang
berlebih sejatinya memiliki tim ahli-ahli dalam perencaan dan perancangan
tata kelola daerah perbatasan, kami mengira dalam hal ini sudah
seharusnya dimaksudkan dalam tugas perbantuan itu dialihkan ke
pemerintah daerah untuk pembangunan sehingga ranah-ranah teknis akan
lebih concern dan terkait dengan arus keluar masuk dan politik luar negeri itu
merupakan tugas utama dari pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah
yang lebih mengenal kondisi dan situasi didaerah perbatasan sejatinya
memiliki kewenangan lebih dalam urusan pembangunan menuju batas
Negara.

3. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang dekonstrasi dan Tugas


Perbantuan
Dalam pasal 1 ayat 10 diartikan secara gamblang bahwa Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur sebagai
wakil Pemerintah dan/atau kepada Instansi Vertikal di wilayah tertentu.
Wilayah tertentu ini terkait urusan pemerintah pusat di daerah masing-
masing kepala daerah, adapun terkait dengan tugas perbantuan masih
dalam pasal 1 ayat 11 Tugas Pembantuan adalah penugasan dari
Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten, atau kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten, atau
kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban
melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang
menugaskan. Efektivitas dilapangan tentu terkait tumpang tindih pelaksaan
program-program yang dicanangkan, sejatinya tugas-tugas semisal ini
dijadikan paten tertulis dalam tugas kepala daerah, karna menurut hemat
kami jelas, urusan pembangunan daerah, yang dimana dalam perbatasan itu
masih dianggap sebagai daerah 3 T, ini menjadi tugas utama dalam
program-program pemda, oleh karenanya kami memandang efektivitas dari
tata aturan ini harus nya sudah menjadi hal yang tertulis, bukan lagi
diistilahkan sebagai proyek strategis dan semisalnya.

4. Peraturan Presiden No.12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelolaan


Perbatasan
Kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan wilayah negara dan
kawasan perbatasan menurut undang-undang ini adalah sebagai berikut
(Pasal 10 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008): (1) menetapkan
kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah negara dan kawasan
perbatasan; (2) mengadakan perundingan dengan negara lain mengenai
penetapan batas wilayah negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan hukum internasional; (3) membangun atau
membuat tanda batas wilayah negara; (4) melakukan pendataan dan
pemberian nama pulau atau kepulauan serta unsur geografis lainnya; (5)
memberikan izin kepada penerbangan internasional untuk melintasi wilayah
udara teritorial pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan; (6) memberikan izin lintas damai kepada kapal-kapal asing untuk
melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan pada jalur yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; (7) melaksanakan
pengawasan di zona tambahan yang diperlukan untuk mencegah
pelanggaran dan menghukum pelanggar peraturan perundang-undangan di
bidang bea cukai, fiskal, imigrasi, atau saniter di dalam wilayah negara atau
laut teritorial; (8) menetapkan wilayah udara yang dilarang dilintasi oleh
penerbangan internasional untuk pertahanan dan keamanan; (9) membuat
dan memperbarui peta wilayah negara dan menyampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sekurang-kurangnya setiap 5 (lima) tahun sekali;
dan (10) menjaga keutuhan, kedaulatan dan keamanan wilayah negara serta
kawasan perbatasan. Dalam Pasal 11 ayat (1) disebutkan bahwa dalam
pengelolaan wilayah negara dan kawasan perbatasan pemerintah Provinsi
berwenang: (1) melaksanakan kebijakan pemerintah dan menetapkan
kebijakan lainnya dalam rangka otonomi; (2) melakukan koordinasi
pembangunan di kawasan perbatasan; (3) melakukan pembangunan
kawasan perbatasan antar- pemerintah daerah dan/atau antara pemerintah
daerah dengan pihak ketiga; dan (4) melakukan pengawasan pelaksanaan
pembangunan kawasan perbatasan yang dilaksanakan pemerintah
kabupaten/kota. Dalam Pasal 12 dinyatakan Pemerintah Kabupaten/Kota
dalam pengelolaan wilayah negara dan kawasan perbatasan berwenang
(Pasal 12 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 ) : melaksanakan
kebijakan pemerintah dan menetapkan kebijakan lainnya dalam rangka
otonomi daerah dan tugas pembantuan; menjaga dan memelihara tanda
batas; melakukan koordinasi dalam rangka pelaksanaan tugas
pembangunan di kawasan perbatasan di wilayahnya; dan melakukan
pembangunan kawasan perbatasan antar-pemerintah daerah dan/atau
antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga. Untuk mengelola batas
wilayah negara dan mengelola kawasan perbatasan pada tingkat pusat dan
daerah, pemerintah dan pemerintah daerah membentuk badan pengelolaan
nasional dan badan pengelolaan daerah. Badan pengelolaan tersebut
dipimpin oleh seorang kepala badan yang bertanggung jawab kepada
Presiden atau kepala daerah sesuai dengan kewenanganya. Unsur
keanggotaan kelembagaan ini berasal dari unsur pemerintah dan
pemerintah daerah mengingat posisi strategis wilayah perbatasan terkait
dalam hal seperti kedaulatan negara, keutuhan wilayah, penegakan hukum
dan kesejahteraan rakyat. Badan pengelolaan perbatasan bertugas untuk
(Pasal 15 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008): menetapkan kebijakan
program pembangunan perbatasan; menetapkan rencana kebutuhan
anggaran mengoordinasikan pelaksanaan; dan melaksanakan evaluasi dan
pengawasan. Di dalam Undang- Undang No. 43 Tahun 2008 komitmen
untuk melakukan pengelolaan wilayah negara khususnya perbatasan antar
negara terasa semakin kuat, undang-undang ini secara jelas menegaskan
bahwa tujuan pengaturan wilayah negara adalah menjamin keutuhan
wilayah, kedaulatan dan ketertiban demi kesejahteraan segenap bangsa,
begitu pula dalam undang-undang ini menggarisbawahi wewenang
pemerintah baik pusat maupun daerah dalam wilayah perbatasan adalah
melakukan pembangunan dan koordinasi untuk mewujudkannya, bahkan
undang-undang ini telah menetapkan didirikannya sebuah lembaga yang
khusus menangani pengelolaan wilayah perbatasan

Pengelolaan kawasan perbatasan negara, masih menghadapi berbagai


permasalahan antara lain:
1) Kondisi masyarakat di wilayah perbatasan masih terisolir dan kondisi sosial
ekonomi masih tertinggal, padahal potensi sumberdaya cukup besar;
2) Kondisi infrastruktur yang minim dan pos-pos di wilayah perbatasan belum
memadai, sehingga pengawasan wilayah perbatasan masih lemah;
3) Terjadi kasus-kasus pelanggaran lintas batas yang dilakukan oleh warga
masyarakat Indonesia ke negara tetangga dan sebaliknya;
4) Ada kesenjangan sosial ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan negara yang
dapat menimbulkan kecemburuan; dan
5) Beberapa batas wilayah darat dan laut dengan beberapa negara tetangga belum
tuntas

2.) Tunjukan bentuk kerja sama pengelolaan perbatasan dengan salah satu negara
tetangga Indonesia dan analisis implementasi dari kerja sama tersebut.
Kami menggunakan SOSEK MALINDO yang sangat dekat secara geografis dengan
penulis dalam hal ini. Sosek Malindo merupakan organisasi bilateral dalam
pembangunan sosial ekonomi antara Indonesia Malaysia yang berdiri sejak tahun
1985. Pedoman Pokok Organisasi Sosek Malindo menyebutkan bahwa organisasi
ini bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat di wilayah perbatasan . Usaha
tersebut tidak terlepas dengan usaha pembinaan kesiapan dan kewajiban bernegara
masyarakat nya agar mampu berpartisipasi penuh untuk mencapai tujuan stabilitas
wilayah perbatasan. Tugas pokok Kelompok Kerja Sosial Ekonomi Malaysia
Indonesia (KK Sosek – Malindo) atau yang di Malaysia disebut Jawatan Kuasa Kerja
(JKK) Sosek Malindo adalah membuat kajian terhadap proyek-proyek bersama pada
kawasan perbatasan untuk kesejahteraan masyarakat di kedua negara. Bersamaan
dengan ini, kepentingan dari kedua negara harus di-elaborasi guna mengedepankan
kedua kepentingan negara. Efektivitas dalam kerja sama semisal ini kami nilai terasa
akan sangat sulit dijalankan, jika ingin membuka suatu PLBN baru, maka kedua
negara harus menyetujui dahulu tentang tata letak yang pas bagi kepentingan kedua
negara, akan sangat sulit, kepentingan secara geografis bisa saja terjadi lebih dekat
dengan perkampungan masyarakat Indonesia dan akses dari kota menuju ke daerah
perbatasan baru mudah, namun bagi Malaysia ternyata PLBN tersebut sepi akan
akses keluar masuk, hal hal semacam ini menjadi concern bersama sehingga
terkadang lembaga-lembaga yang berwenang enggan masuk dan membangun jika
dari sisi Malaysia tidak menyetujui pembangunan PLBN yang menyesuaikan dengan
kepentingan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai