Disusun oleh: Nama kelompok: Anggota kelompok: 1. Catherine Salim (3) 2. Citra Dewi (6) 3. Darren Valenz Su (7) 4. Nicholas Ardian (14)
SMA SWASTA BUDDHIS JAYANTI
TAHUN PELAJARAN 2023/2024 Batas Wilayah Tak Jelas Jadi Sumber Sengketa Baru Antar-daerah Perihal batas wilayah antar-daerah memang sudah ditegaskan dalam setiap UU tentang Pembentukan Suatu Daerah. Namun, batas tersebut ternyata hanya secara umum. Karena batas pastinya, akan dituangkan dalam keputusan menteri dalam negeri yang diterbitkan kemudian. Dikaitkan dengan otonomi daerah, hal ini menjadi sumber sengketa bagi daerah. Peringatan tersebut dilontarkan oleh Direktur Perbatasan Departemen dalam Negeri, Suwarno P. Rahardjo, pada diskusi ilmiah tentang pentingnya penegasan perbatasan antar daerah di Depok. Suwarno mengatakan, di dalam setiap UU Pembentukan Daerah Otonomi--baik provinsi maupun kabupaten/kota--belum didukung dengan batas daerah secara pasti di lapangan yang dilengkapi dengan titik koordinat. "Hal ini sering menimbulkan konflik batas antar-daerah. Apalagi, jika daerah perbatasan yang diperebutkan mengandung sumber daya alam," ujar Suwarno. Peringatan Soewarno ini memang perlu diperhatikan dengan lebih serius. Pasalnya, gejala konflik yang dikhawatirkan sudah mulai terjadi di sana-sini. Kasus Kepulauan Seribu, misalnya. Daerah tersebut menjadi sengketa antar Pemda Provinsi Banten dan Pemda Provinsi DKI Jakarta. Salah satu alasannya itu tadi, batas wilayah antar kedua provinsi tersebut tidak jelas. Suwarno menambahkan, sebenarnya aturan mengenai batas daerah sudah ditegaskan dalam setiap UU pembentukan daerah. Biasanya, terdapat dalam Pasal 5 UU tersebut. Namun, batas tersebut masih bersifat umum. "Misalnya provinsi Jawa Tengah berbatas di sebelah barat dengan Jawa Barat, di sebelah utara dengan laut Jawa, di sebelah timur dengan Jwa Timur, dan sebagainya," jelas Suwarno. Dampak UU Otonomi Daerah Keputusan pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang disusul dengan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dengan Daerah tentu saja memberikan kebahagian tertentu bagi pemerintah daerah. Pasalnya, kedua produk UU tersebut memang sudah diidam- idamkan sejak dahulu. Namun, ternyata pemberlakuan kedua UU tersebut juga mengundang masalah baru. Terutama, berkaitan dengan pelaksanaan kekuasaan pemerintah daerah terhadap wilayahnya. "Dengan berlakunya kedua UU tersebut, kini sejengkal tanah dalam daerah perbatasan menjadi amat berarti dan bisa menjadi sumber konflik," cetus Suwarno, yang mengkaitkan otonomi daerah dengan ketidakjelasan batas wilayah. Misalnya, dengan berlakunya UU tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dengan Daerah. Dahulu, daerah tidak begitu peduli dengan batas wilayah antar daerah. Karena, semua hasil bumi dari wilayah tersebut disetorkan seluruhnya pada pemerintahan pusat. Dengan berlakunya UU tersebut, batas wilayah menjadi sangat berarti, khususnya jika wilayah tersebut kaya akan sumber daya alam. Perihal batas wilayah antar-daerah memang sudah ditegaskan dalam setiap UU tentang Pembentukan Suatu Daerah. Namun, batas tersebut ternyata hanya secara umum. Karena batas pastinya, akan dituangkan dalam keputusan menteri dalam negeri yang diterbitkan kemudian. Dikaitkan dengan otonomi daerah, hal ini menjadi sumber sengketa bagi daerah. Umumnya, pada pasal 6 dalam setiap UU pembentukan daerah otonom disebutkan bahwa batas wilayah berupa titik koordinat secara pasti akan ditentukan dalam keputusan Mendagri yang akan diterbitkan kemudian. "Namun belum sempat keputusan Mendagri itu keluar, sudah keburu diberlakukannya dua UU soal otonomi tersebut," ujar Suwarno. Perlu aturan khusus tentang batas wilayah Masalah lain yang juga perlu diatasi sebagai dampak dari ketidakjelasan batas wilayah adalah masih bervariasinya peta wilayah suatu daerah. Saat ini, peta wilayah masih bervariasi dan dikeluarkan oleh beberapa instansi yang memang berkepentingan dengan batas wilayah, seperti Bakosurtanal, Departemen Kehutanan, dan lain-lain. Dengan tidak adanya kepastian hukum soal perbatasan itu juga, sekarang tiap-tiap daerah otonomi hanya mengakui peta wilayah yang hanya menguntungkan daerahnya saja. Karena itu, Depdagri segera tanggap membentuk sebuah tim penetapan dan penegasan batas daerah. Dengan tim ini, diharapkan konflik daerah dapat terhindarkan. Selain itu juga, menurut Surwarno, perlu disusun aturan khusus yang mengatur secara tegas mengenai batas wilayah negara RI. Alasannya, peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut sekarang ini sudah tidak memadai lagi. Sekarang ini, Depdagri sudah berinisiatif untuk menyusun RUU tentang batas wilayah tersebut dan segera akan diajukan ke pemerintah pusat dan DPR. Faktor-faktor yang mempengaruhipenegakkan hukum batas wilayah perairan lautantara Indonesia dan Malaysia adalah dipengaruhi oleh lima faktor utama yaitu 1. Pertama,Faktor Hukum yang belum dirumuskan secarajelas dan tegas, 2. Kedua, Faktor terbatasnyasumber daya manusia dan kurangnya sinergisitasantara Aparat Penegak hukum yang ada., 3. Ketiga,Faktor sarana dan prasarana yang masih terbatas 4. Keempat, Faktor Sumber Daya Manusia(masyarakat) yang masih rendah dan belumsejahtera, 5. Kelima, Masalah kebudayaan yangberkembang diwilayah perbatasan. Di sampingitu juga dipengaruhi oleh faktor lemahnyadiplomasi pemerintah Indonesia sehinggamembuat kedaulatan Indonesia sering mendapatancaman dari negara lain sehingga penegakkanhukum tidak dapat berjalan secara efektif Dari permasalahan pokok tersebut kemudian penulis menguraikan dalam bentuk permasalahan khusus yaitu pertama, bagaimana upaya dalam menyelesaikan sengketa perbatasan di wilayah laut Indonesia. Kedua, apa yang menjadi faktor penghambat dan pendukung dalam penyelesaian sengketa perbatasan di wilayah laut Indonesia. Ketiga, bagaimana solusi penyelesaian sengketa perbatasan di wilayah laut Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian normatif sehingga metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Penelitian ini mengkaji pengaturan hukum mengenai upaya penyelesaian sengketa perbatasan di wilayah laut Indonesia. Cara penguraian permasalahan dalam penelitian ini menggunakan pola pikir induktif, yaitu menguraikan permasalahan terlebih dahulu dalam lingkup yang khusus mengenai permasalahan perbatasan di wilayah laut Indonesia, kemudian dikaitkan dengan instrumen Hukum Laut Internasional. Dari hasil analisis, penulis menyimpulkan bahwa pertama, upaya penyelesaian sengketa perbatasan di wilayah laut Indonesia yang mempunyai peran strategis berdasarkan kondisi Indonesia adalah upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan/negosiasi. Hal ini dikarenakan hasil kesepakatan antara Indonesia dan negara tetangga dapat mewakili kehendak para pihak yang bersengketa dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara. Kedua, faktor penghambat upaya penyelesaian perbatasan di wilayah laut Indonesia dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: faktor yuridis, diplomatis, dan teknis. Sedangkan faktor pendukung yang mempengaruhi upaya penyelesaian perbatasan wilayah laut di Indonesia antara lain dikarenakan adanya kejelasan konsep negara kepulauan dan keberhasilan para diplomat Indonesia dalam melakukan perundingan untuk menentukan perbatasan wilayah laut Indonesia. Ketiga, berdasarkan permasalahan dalam penyelesaian sengketa perbatasan di wilayah laut Indonesia, diperlukan solusi pada masing-masing zona laut, yaitu pada Laut Teritorial, Zona Tambahan, ZEE, dan Landas Kontinen. Sengketa batas wilayah dipicu oleh faktor politik, dimana pemekaran wilayah tidak didasarkan pada aspirasi masyarakat, sehingga menimbulkan konflik kesenjangan administrasi dan kesejahteraan masyarakat di kedua daerah. Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia.
M.ardowijaya - Resolusi Konflik Batas Wilayah Pasca Pemekaran Daerah Antara Kabupaten Ogan Komering Ulu (Oku) Dengan Kabupaten Oku Timur Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2011 - 2016
Konstruksi Hotel Berbintang Lima Terhadap Tuntutan Pelanggaran Sempadan Pantai - Studi Kasus Pembangunan Hotel Kempinski Dan Ritz Carlton Di Sawangan, Kabupaten Badung, Bali