“Konflik Tapal Batas Era Otonomi Daerah : Studi Kasus Konflik Tapal
Batas di Nusa Tenggara Timur”
Dosen oleh :
Dominikus Dhima, S.Sos.,M.Sos
Disusun Oleh :
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
penelitiannya. Dan penulis akan membuat critical review dari penelitian Dominikus
Dhima ini.
B. Rumusan Masalah
Dapat diketahui ada sejumlah identifikasi masalah dari beberapa sudut
pandang, seperti dari politik, teknik organisatoris pemerintahan, kultural, serta
kepentingan pembangunan ekonomi. Berdasarkan hal itu didapatkan rumusan
masalah yaitu, resolusi konflik tapal batas era otonomi daerah dengan studi kasus
konflik tapal batas Kabupaten Ngada dan Kabupaten Manggarai Timur Provinsi
NTT pascareformasi.
C. Tujuan Penulisan
Dengan critical review ini bertujuan menyelesaikan tugas mata kuliah
komunikasi antarbudaya dan juga memberi wawasan tentang konflik tapal batas
yang terjadi di kedua kabupaten yang ada pada provinsi NTT dengan memberi
analisis penyelesaian konflik serta resolusinya dari penelitian yang di review.
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Masalah
2
pemerintah antar daerah yang merupakan rangkaian titik-titik koordinat yang
berada pada pembukaan bumi dapat berupa tanda alam seperti igir/punggung
gunung/pengunungan (watershed), median sungai dan/atau unsur buatan di
lapangan yang dituang dalam peta”. Kemudian ayat (4) menjelaskan “batas daerah
di laut adalah pembatas kewenangan sumber daya di laut untuk daerah yang
bersangkutan yang merupakan rangkaian titik-titik kooordinat diukur dari garis
pantai”. Secara lebih spesifik pasal 1 ayat (5) “batas daerah secara pasti di lapangan
adalah kumpulan titik-titik koordinat geografis yang merujuk kepada sistem
georeferensi nasional dan membentuk garis batas wilayah administrasi pemerintah
antar daerah.2 Seperti yang dijelaskan pada latar belakang masalah ada cacat
admisnistrasi menjadi salah satu sumber masalah konflik ini. Yang dimaksud cacat
administrasi sejak keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor khusus 20
Januari 1973 di Aimere dimana Gubernur Nusa Tenggara Timur mengeluarkan
Keputusan Gubernur Nomor 22 Tahun 1973 tentang penegasan perbatasan antara
kabupaten Ngada dan kabupaten Manggarai di Buntal. Berdasarkan Surat
Keputusan tersebut, titik batas yang semula
di Sangan Sipar dipindahkan kurang lebih 28 Km ke arah timur, memasuki wilayah
Kabupaten Ngada, tepatnya di Buntal sebagai titik batas paling utara. Dengan
demikian, wilayah Kabupaten Ngada telah berkurang sejauh kurang lebih 28 Km
dari Sangan Sipar. Surat dan keputusan tersebut ditandatangani oleh Gubernur
NTT, Bupati Manggarai, dan Bupati Ngada, secara sepihak menetapkan titik-titik
batas dengan penanaman pilar tanpa melibatkan atau mendiskusikan dengan
masyarakat setempat yang mendiami kedua kabupaten ini. Menjadikan sebagian
masyarakat kabupaten Ngada merasa dirugikan karena menganggap tidak
dihiraukan oleh gubernur provinsi NTT waktu itu, hingga dibentuk Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai
Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sehingga, masyarakat menilai tindakan
gubernur provinsi NTT waktu itu menunjukan sebuah sikap seorang pemimpin
yang tidak profesional. Karena, adanya pelimpahan tanggung jawab yang diikuti
oleh pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, harusnya dapat
dilaksanakan secara demokratis, transparan, serta egaliter, yang berarti harusnya
menempatkan prioritas keragaman daerah sebagai manifestasi dari Bhineka
Tunggal Ika.
3
Konflik tapal batas daerah biasanya terjadi apabila daerah yang
diperebutkan memiliki potensi sumber daya alam, politik dan sosial budaya. Hal-
hal yang seperti inilah yang menjadi pemicu banyak daerah di kabupaten/kota
terjadi sengketa tapal batas antar daerah induk dengan daerah pemekaran yang
banyak terjadi di Indonesia. Penyelesaian konflik melalui administratif adalah
penyelesaian yang dilakukan didalam lingkungan pemerintahan daerah. Dalam hal
ini terjadi konflik tapal batas daerah otonom didalam provinsi diselesaikan oleh
gubernur namun dalam prakteknya gubernur tidak memiliki kewenangan untuk
menentukan status daerah yang menjadi konflik karena kewenangan tersebut
berada ditangan pemerintahan pusat melalui Kementrian Dalam Negeri dan posisi
gubernur hanya sebagai fasilitator untuk menyelesaikan konflik yang terjadi
antar daerah otonom.
Otonomi daerah itu sendiri adalah kebijakan daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai keadaan, kemampuan dan kebutuhan
daerah yang bersangkutan. Dalam hubungan ini, kebijakan otonomi daerah selalu
dikaitkan dengan penilaian yang menyeluruh atas keadaan, kemampuan dan
kebutuhan daerah untuk menerima sesuatu hak otonom. Tujuan lain dari kebijakan
otonomi daerah adalah desentralisasi tugas dan wewenang yakni membebaskan
pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan
domestik, sehingga ia berkesempatan mempelajari, memahami, merespons
berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya.
Pada`saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi
pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak,
dengan desentralisasi kewenangan ke daerah, maka daerah akan mengalami proses
pemberdayaan yang signifikan.
Desentralisasi sebenarnya tidak hanya mengatur hubungan birokrasi
diberbagai tingkat, tetapi juga mengatur hubungan antara negara dengan rakyat.
Pada dasarnya, otonomi berada di tangan rakyat. Artinya, hak-hak politik rakyat
untuk bersuara dan berpendapat perlu terus diperkuat dan diperluas. Tujuannya
adalah agar ketimpangan atas kesempatan rakyat untuk berpartisipasi dalam
aktivitas politik dapat diperbaiki. Untuk itu, setiap keputusan yang menyangkut
kepentingan publik harus dibicarakan bersama dan pelaksanaankebijakannya harus
didesentralisasikan (Imawan, 2002)3. Secara khusus, hal ini merupakan substansi
4
dari perjuangan demokrasi. Secara umum, pelaksanaan desentralisasi yang
melahirkan otonomi daerah dapat menjadi saran demokrasi oleh rakyat.
Dengan pemerintah daerah memiliki otoritas penuh dapat diharapkan
mengambil kebijakan yang menguntungkan daerahnya, dan ini merupakan hasil
dari konsekuensi desentralisasi. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
desentralisasi dapat dikatakan segala macam bentuk otoritas dipindahkan ke
pemerintah daerah. Dengan itu konflik tapal batas antara Kabupaten Ngada dan
Kabupaten Manggarai Timur belum menemukan kesepakatan yang mana sebab
dari desentralisasi.
Dalam konteks ini, harus dilakukannya perhatian lebih pada hubungan
kemintraan yang satu sama lain dapat bekerja sama dengan mewujudkan good
governance dan berpihak kepada kepentingan dari masyarakat khususnya warga di
perbatasan Kabupaten Ngada dan Kabupaten Manggarai timur. Kurangnya
penyediaan kebutuhan dan pelayanan publik dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat disana yang mana hal ini harusnya
menjadi prioritas pemerintah daerah agar dapat meminimalisir konflik yang ada di
antara masyarakat.
Melihat dari masalah ini bahwa memang ada fakta ketidakadilan yang
terjadi pada masyarakat lokal di kedua kabupaten ini. Sejauh ini pelaksanaan
otonomi daerah secara tidak langsung telah mengubah sistem hubungan pusat-
daerah yang awalnya sentralistik, kini menjadi desentralistik. Tujuan dari
perubahan sistem ini dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan pembangunan dan
ekonomi daerah lebih cepat dan mampu mengeksplorasi potensi lokal yang ada.
Kerangka dasar dari undang-undang ini selain peningkatan disektor ekonomi yaitu
menstimulus partisipasi masyarakat serta memperkuat proses akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintah. Namun demikian, terlepas dari niat baik dari
Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut, dapat kita lihat banyak problematika
yang ditimbul dalam pelaksanaannya. (Kuncoro, 2014)4 Karena dapat dikatakan
harusnya kewenangan dari otonomi daerah akan memudahkan pemerintah daerah
dalam hal mengatur dan mengurus pemerintahannya, maka dari itu akan
memunculkan sinergi antarpemerintahan daerah dalam upaya nya untuk
mewujudkan good governance.
5
B. Kerangka Teori
1
Gudykunts, William B. 2003. Cross-Cultural and Intercultural Communication. Sage Publications.
6
5) Efektivitas.
Kelima kendala berporos pada gagasan jika budaya adalah relasional lebih
sosial (budaya kolektif), atau tugas berorientasi (budaya
individualistis). Pendekatan sosial relasional berfokus pada memiliki perhatian
lebih untuk perasaan penerima, memegang lebih penting pada menyelamatkan
muka bagi orang selain menjadi ringkas. Ketika membangun pesan, pendekatan
sosial relasional yang mempertimbangkan bagaimana kata-kata dan tindakan
mereka dapat mempengaruhi emosi audiens. Setiap budaya memiliki etiket dan
perilaku tertentu yang terkait dengan gaya percakapan mereka. Perilaku ini dapat
disukai di beberapa budaya dan bisa menyinggung budaya lain. Teori pembatasan
percakapan menjelaskan mengapa taktik tertentu berhasil di beberapa budaya tetapi
tidak di budaya lain. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kebiasaan, peraturan, dan
norma-norma di budaya tersebut. Fokus utama dari Conversational Constraint
Theory bukanlah apa yang dikatakan, tetapi bagaimana komunikator
mengatakannya. Percakapan biasanya berorientasi pada tujuan dan membutuhkan
koordinasi antara dua komunikator. Pesan yang dikembangkan didasarkan pada
berbagai kendala pribadi atau budaya dan melacak setiap jenis interaksi.
Kaum muslim di India sebagai kelompok minoritas yang berusaha
mendapatkan hak dan keadilan karena India merupakan negara mayoritas hindu.
Islam masuk ke India tidak dengan cara kekerasan tapi melalui akulturasi yang
dilakukan oleh para pedagang – pedagang Persia dengan sistem niaga. Banyak
peninggalan sejarah juga yang diwariskan untuk India oleh peradaban Islam
pemegang kekuasaan terdahulu. Islampun tidak menghilangkan budaya Hindu
sebagai budaya lokal masyarakat leluhur, karena mereka coba untuk berjalan
berdampingan dalam konsep akulturasi budaya. Konflik tahun lalu yang berawal
dari ucapan seorang juru bicara Bharatiya Janata Party (BJP) menyinggung Nabi
Muhammad ini mulanya konflik dimulai. Seperti pada Conversational Constraint
Theory fokus utama nya adalah bagaimana komunikator mengatakan hal tersebut,
namun ini dapat dipengaruhi oleh latar belakang budaya nya yang mana beliau
adalah bukan seorang muslim. Pola-pola budaya itu tidak dapat dilihat atau dialami
sebab pola-pola itu terdiri dari pikiran, gagasan, bahkan filosofi yang ada dalam
akal manusia. Pola-pola budaya umumnya dibentuk oleh nilai, kepercayaan atau
keyakinan dan norma (aturan). Ada enam pola dasar perbedaan budaya, antara lain:
a) Corak komunikasi yang berbeda, b) Sikap yang berbeda terhadap konflik, c)
7
Pendekatan yang berbeda dalam menyempurnakan tugas, d) Corak pengambilan
keputusan yang berbeda, e) Sikap yang berbeda dalam menyingkap sesuatu, f)
Pendekatan yang berbeda dalam mengetahui sesuatu2.
Perbedaan budaya harus dipahami sebagai sebuah kewajaran dalam
interaksi sosial. Menurut Anugrah dan Kresnowati dalam Aminullah dikatakan
bahwa perbedaan budaya tidak menjadi halangan untuk satu sama lain menjalin
hubungan (relationship), yang terpenting adalah saling memahami (understanding),
saling beradaptasi (adaptation) dan saling bertoleransi (tolerance). Kunci utama
dari pergaulan antarbudaya adalah tidak menilai orang lain yang berbeda budaya
dengan menggunakan penilaian budaya sendiri. Biarkan semua berjalan dengan
latar budaya masing- masing. Justru perbedaan budaya adalah ladang untuk
siapapun belajar budaya orang lain dengan arif dan bijak (wise) 3. Tanpa adanya
pemahaman perbedaan budaya maka akan menyebabkan terjadinya
kesalahpahaman, ketegangan antar satu budaya dengan budaya yang lain termasuk
didalamnya ketegangan kelompok agama sebagaimana yeng terjadi di negara India
ini.
C. Analasis Masalah
Dalam suatu masyarakat majemuk, seperti India atau Indonesia, konflik tidak
bisa dihindarkan. Konflik merupakan satu kesatuan dengan pluralisme. Pemerintah
India juga harusnya menyadari potensi konflik akibat kemajemukan agama yang ada di
India. Perbedaan dalam berbagai aspek, terutama perbedaan dalam aspek agama, baik
perbedaan pemahaman antar aliran dalam internal suatu agama maupun antara agama
yang satu dengan yang lainnya, mau tidak mau akan menimbulkan konflik. Dengan
demikian, konflik melekat pada setiap perbedaan pemahaman agama, baik internal
maupun antar pemeluk agama yang berbeda. Fakta ini, disadari atau tidak, disadari
atau tidak, merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal dalam masyarakat yang
majemuk. Namun, potensi konflik yang melekat pada semua agama sebagai supra
struktur tidak serta merta memanifestasikan menjadi sebuah konflik sosial
tanpa pemicu lainnya. Pada kenyataannya, pemicu konflik tersebut seringkali
mengarah pada infrastruktur berupa kepentingan politik, ketidakadilan, ketimpangan
2
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, loc. cit, h. 12
3
Aminullah dkk, Model Komunikasi Antarbudaya Etnik Madura dan Etnik Melayu, Jurnal Komunikasi
Aspikom, 2 ( 2015): 273
8
ekonomi, kecemburuan sosial, bahkan terkadang dari masalah
keluarga. Artinya, pluralisme agama masih menjadi potensi konflik yang besar bahkan
dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang stabil sekalipun.
Pada konflik agama di India ini memang sedari awal terlihat ada benih
ketidakpercayaan dan kecurigaan antar agama karena memiliki sistem masyarakat dan
persepsi yang berbeda. Hal ini menimbulkan sifat kurangnya toleransi masing-masing
pemilik agama. Penyebab ini bisa dipicu dari mana saja salah satu nya kurangnya
keadilan yang dirasakan oleh kaum muslim yang mana memang sebagai kaum
minoritas. Bentuk protes yang terjadi juga berasal dari tidak ada nya tindakan yang
cepat dari pihak pemerintah, karena pemicu awal dari pihak pemerintah. Komunikasi
yang dilakukan pemerintah tidak sampai pada semua pemeluk agama, yang mana
terkesan memihak salah satu. Tindakan awal yang dilakukan pemerintah dengan
lockdown daerah-daaerah tertentu dan memperketat jam malam. Bukannya
mengkomunikasikan dan merangkul semua agama tapi seperti menunggu ada
kerusuhan baru melakukan tindakan.
Melakukan tindakan dengan menggunakan komunikasi antarbudaya yang
harusnya dilakukan pemerintah India. Jadi, dengan menganalogikan pada komunikasi
antarbudaya, ada komunikasi lintasagama juga berangkat dari satu perkiraan bahwa
seseorang yang menjadi pembuat pesan (komunikator) dan penerima pesan
(komunikan) adalah mereka yang berlatar belakang agama yang berbeda. Inilah yang
harus diidentifikasi, baik dari segi fungsinya, peran-peran yang dimainkannya, hingga
proses komunikasi yang dilaluinya. Karena itu, proses komunikasi yang terjadi
langsung dihadapkan pada situasi, yakni ketika suatu pesan disandi dalam suatu
kacamata agama yang berbeda, maka akan berbeda juga pesan yang diterima. Harus
disadari bahwa agama memengaruhi perilaku para pemeluknya karena agama memiliki
nilai-nilai serta norma-norma yang membingkai perilaku para pemeluknya. Agama
juga memiliki hal sensitif tertentu yang dapat mengendalikan persepsi dan perilaku.
Sebagai faktor terpenting dari suatu kebudayaan, agama memiliki pengaruh bagi
individu-individu pemeluknya dan menjadi penggerak sesuai keyakinan masing-
masing.
Tidak jarang ketegangan terjadi antar komunikator di media sosial atau
tayangan TV yang berbeda agama hanya karena “salah tafsir” atau “gagal paham” atas
pernyataan dari seseorang. Misalnya, seorang komunikator menyampaikan sebuah
pesan menyangkut ritual agamanya sendiri, lalu dipersepsi oleh pembaca lain yang
9
memiliki latar belakang agama berbeda. Ketegangan antar agama pun tak bisa
dihindari, dan bahkan memasuki tahap konflik. Tapi ketegangan itu mencair setelah
masing-masing pihak mengklarifikasi secara face-to-face atau adanya keterangan lebih
lanjut dari orang tersebut. Seperti itulah peluang-peluang terjadinya miskomunikasi di
antara pelaku komunikasi yang berbeda agama. Jadi, saat Sharma akhirnya di pecat
dari partai dan menjelaskan lewat media sosialnya bahwa itu hanya bentuk pembelaan
diri atas penghinaan pada dewa Hindu Siwa, serta menambahkan jika ucapannya
menyebabkan ketidaknyamanan atau menyakiti agama lain, dia menarik ucapannya.
Dari sini terlihat bahwa ketegangan sikap antar agama sangat sering bersinggungan
paham mengakibatkan tindakan yang tidak dipikir panjang. Dari Conversational
Constraint Theory dapat diterapkan disini yang mana harus bisa menyampaikan pesan
sebagai komunikator dengan baik dan memahami bahwa komunikan nya memiliki
berbeda latar belakang, jadi akan dapat mengurangi kesalahpahaman atau singgungan
antar agama.
Dalam komunikasi yang berlangsung di antara pemeluk agama yang berbeda,
aspek budaya, isyarat-isyarat nonverbal, sikap, keyakinan, watak, nilai, dan orientasi
pikiran akan lebih banyak ditemukan sebagai perbedaan besar yang sering
mengakibatkan terjadinya gangguan komunikasi. Karena itu, setiap orang perlu
memahami watak keberagamaan orang lain agar dapat saling memahami untuk
mewujudkan toleransi. Memahami watak keberagamaan orang lain dalam konteks
membentuk sikap inklusif merupakan bahan dasar dalam membentuk sikap
bertoleransi. Dalam situasi toleran inilah peristiwa komunikasi dapat berlangsung
penuh empati. Sebab, dalam prosesnya, komunikasi tidak bisa dilihat dalam konteks
menghubungkan manusia secara pasif, tetapi komunikasi harus dipandang dalam
konteks menghubungkan antar manusia dalam keadaan aktif, yang karenanya harus
terus diperbaharui. Dengan melakukan pola komunikasi yang efektif maka sikap saling
memahami dan toleransi dapat terwujud.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbedaan agama yang dianut oleh masyarakat India sebagai para aktor
komunikasi tidak menghalangi rasa empati untuk mengekspresikan kesadaran
solidaritas sebagai sesama manusia. Menyampaikan pesan tanpa memikirkan
10
bagaimana mengatakan yang dapat dipahami dengan jelas oleh para dengar adalah
hal yang harus lebih diperhatikan lagi. Dengan latar belakang negara yang memiliki
berbagai agama, menyinggung hal yang sensitif bukanlah sebuah tindakan yang
baik. Rasa empati merupakan kunci penting pada proses aktivitas komunikasi yang
dapat mendorong inklusivisme antar pemeluk agama yang berbeda, yang akan
menjadi sikap toleransi. Konflik antar kelompok agama juga sering terjadi karena
di hambat oleh etnosentrisme dan stereotip sebagai akibat menguatnya identintas
suatu kelompok agama yang menyebabkan kelompok tersebut merasa lebih
superior dibanding lainnya dengan didukung mayoritasnya agama tersebut.
Komunikasi antar budaya ini yang dapat mengurangi ketidakpastian diantara
komunikator yang berbeda kebudayaan. Menjadikan pelaku komunikasi dapat lebih
memahami budaya atau agama orang lain sehingga dapat timbul sifat keterbukaan
dan saling menghormati antar agama.
B. Implikasi Teoristis
Dari analisis dan pembahasan sebelumnya menunjukan bahwa ada
hambatan pembicaraan yang mempengaruhi bagaimana pesan di konstruksi dapat
memberikan efek dari perbedaan budaya atau agama seperi pada Conversational
Constraint Theory. Hal ini memberikan peran komunikasi antarbudaya pada
konflik antar agama memang lebih baik dapat menjadi sebuah solusi.
DAFTAR PUSTAKA
Aminullah dkk, Model Komunikasi Antarbudaya Etnik Madura dan Etnik Melayu, Jurnal
Komunikasi Aspikom, 2 ( 2015): 273
11
CNN Indonesia. 2020. Mengurangi Benih Konflik Hindu-Islam di India.
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200228184012-113-479195/
mengurai-benih-konflik-hindu-muslim-di-india
CNN Indonesia. 2022. Apa Biang Kerok Konflik Hindu-Islam di India Makin Sering
Terjadi?. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220630184929-113-
815730/apa-biang-kerok-konflik-hindu-islam-di-india-makin-sering-terjadi
Muhtadi, Asep S. 2019. Komunikasi Lintas Agama: Mencari Solusi Konflik Agama.
Mulyana, Deddy. 2001. Pegantar 2002. Komunikasi Antarbudaya, Rosda Karya, Bandung.
Rizak, Mochamad. 2018. Peran Pola Komunikasi Antar Budaya Dalam Mencegah Konflik
Antar Kelompok Agama. Jurnal, Vol 3, nomor 1, hlm 88-103.
Suparlan, Edi. 2013. Dinamika Komunikasi Antar Budaya dan Agama di Desan Tawakua
Kabupaten Luwu Timur. Makassar.
Sinta & Wulan. 2016. Komunikasi Lintas Budaya dalam Menjaga Kerukunan antara
Umat Beragama di Kampung Jaton Minahasa. Jurnal, Vol 1, No. 2, hlm 153-166.
Suryani, Wahidah. 2013. Komunikasi Antar Budaya Yang Efektif. Jurnal, Vol 14, No. 1,
hlm 91-100.
Widnya, I Ketut. 2018. Penyelesaian Konflik Keagamaan di Indonesia. Jurnal, Vol 1. No.
2, September 2018.
12