PERTEMUAN 6:
ASPEK KONFLIK DALAM PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai aspek konflik dalam pendidikan
kewarganegaraan. Melalui risetasi, Anda harus mampu:
1.1 Menjelaskan kecenderungan timbulnya konflik di antara warga negara;
1.2 Mengidentifikasi Konflik dalam aktivitas warga negara.
B. URAIAN MATERI
Tujuan Pembelajaran 1.1:
Kecenderungan Timbulnya Konflik di antara Warga Negara
tingkah laku masing-masing pihak. Dalam hal ini, terdapat hubungan yang erat
antara anggota sivitas akademika dengan lingkungan tugas atau pekerjaannya
yang dapat menyebabkannya mengalami
tekanan psikologis.
Tekanan psikologis dalam arti psikoneurosis dapat berupa timbulnya perasaan
lelah, tertekan, perasaan tegang, kekhawatiran, rasa cemas, perasaan takut,
perasaan rendah diri, dan kadang-kadang dapat kehilangan rasa harga diri.
Selanjutnya Jchn Rowan Wilson mengungkapkan adanya neurosis ditunjukkan
oleh gejala yang berbeda-beda yaitu:
1. Keadaan cemas adalah setiap konflik emosional menyebabkan adanya
sejumlah kecemasan tertentu. Apabila konflik itu hebat maka begitu pula
kecemasannya. Apabila tidak ada penyelesaian yang mudah untuk suatu
konflik emosional yang serius si penderita mungkin harus hidup dengan
konflik tersebut sebaik-baiknya. Kadang kala konflik itu mungkin ditekan ke
bawah sadar dan kadang kala muncul, tetapi selalu menyebabkan kecemasan
besar.
2. Hipokondria adalah bilamana penderita neurosis yang cemasmengungkapkan
kecemasannya dan mencoba hidup dengan masalahnya,penderita hipokondria
mencoba melarikan diri sebagai jalanpemecahannya.
5. Depresi neurotik adalah suatu keadaan kesedihan dan kelesuan yang berlarut-
larut. Keadaan ini mungkin diakibatkan oleh suatu penyakit keras atau
kehilangan sesuatu, dan selama ini penderita terus-menerus dihinggapi
perasaan kecil hati, gagal dan rendah diri. Dia memberi suatu tafsiran suram
bahkan pada hal-hal yang berjalan baik baginya. Depresi neurotik
menunjukkan bukanya suatu pelarian dari rasa takut, tetapi justru menyerah
kepada rasa takut ini. (Wilson, 1979, hl. 5859).
6. Psikosomatis merupakan suatu penyakit akibat gangguan faal jiwa dan
memperlihatkan kelainan-kelainan serta penyakit pada tubuh, mitara lain sakit
kepala, tidak berdaya mengkonsentrasikan pikiran, selalu merasa lemah, susah
tidur, tidak ada nafsu makan, sakit perut, keringat dingin, impotensia, sakit
waktu haid.
Apabila ganggunan tersebut lebih tinggi kualitasnya dan dalam waktu yang cukup
lama maka gejala yang mungkin timbul memiliki kualitas yang lebih berat lagi,
seperti tekanan darah tinggi, sakit jantung, sakit maag, penyakit kulit dan gejala-
gejala ini dialami oleh banyak anggota sivitas akademika di perguruan tinggi
maupun di masyarakat.
Memang kondisi setiap orang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain
sehingga terdapatnya kemungkinan adanya anggota sivitas akademika yang dapat
mengatasi masalah, sedangkan pada anggota lain menghadapi kegagalan.
Kelompok yang terakhir ini menghadapi suatu tekanan atau stress yang sangat
mengganggu stabilitas kerjanya. ,
W. Clay Hammer dan Dennis W. Morgan mengungkapkan pengertian stress
sebagai berikut:
Stress is defined by a set of circumstances under which an individual cannot
respond adequately or instrumentally to environmental stimuli, or can so respond
only at the cost of excessive wear and tear on the organisme for example, chronic
fatigue, tension, worry, physical damage, nervous breakdown, or loss of
selfesteem. (Hammer dan Organ, 1978, h. 193).
Apabila anggota sivitas akademika perguruan tinggi mengalami keluhan-keluhan
tersebut pada jam-jam tugasnya, dapat dibayangkan kerugian negara ataupun
individu tersebut karena pegawai atau mahasiswa yang tidak produktif serta akan
menurunnya kualitas lulusan perguruan tinggi.
Menurut K.E. Boulding sebagaimana dikutip oleh W. Clay Hammer dan Dennis
W.Organ, mengemukakan ada empat unsur dalam konflik, yaitu "the parties, the
field of conflict, the dynamics of the situation, and the management, control, or
resolution of conflict". (K.E. Boulding, 1978, h. 342).
Hal yang dimaksud dengan parties dari uraian di atas adalah pihak-pihak yang
sedang berada dalam konflik dan minimal terdiri dari dua orang. Konflik yang
terjadi di perguruan tinggi dapat terjadi, misalnya antara Rektor dengan Dekan,
Dekan dengan Ketua Jurusan, Ketua Jurusan dengan Dosen, Dosen dengan
mahasiswa atau di antara anggota kelompok itu sendiri. Dengan demikian, konflik
dapat pula terjadi di antara para mahasiswa, di antara para dosen, di antara para
Ketua Jurusan, dan seterusnya.
Unsur kedua dalam konflik, yaitu the field of conflict, atau areas of conflict atau
medan laga dari konflik. Dalam kaitannya dengan masalah ini K.E. Boulding
menjelaskan: "the whole set of relevant possible states of social system. (Any
state of the social system which either of the parties to a conflict considers
relevant is, of course a relevant state". (K.E. Boulding, 1978, h. 342).
Dengan demikian, dalam unsur tersebut Boulding memasukkan semua
kemungkinan arah perkembangan konflik.
fKhusus pada penelitian ini penulis mencoba menginventarisasi keseluruhan >
medan laga daripada konflik berupa peta pengumpulan informasi, baik konflik
yang dihadapi oleh pimpinan perguruan tinggi, pimpinan fakultas, pimpinan
jurusan, dosen dan asisten serta para mahasiswa.
Selanjutnya unsur ketiga adalah the dynamic of the situation, yaitu suatu situasi
dalam hal mana masing-masing pihak berusaha melakukan pendekatan terhadap
pihak ketiga yang dianggap memiliki kedudukan setingkat atau lebih tinggi dari
pihak yang menjadi lawannya. Situasi ini berkaitan erat dengan keadaan
lingkungan di mana konflik itu sedang terjadi.
Sedangkan unsur keempat adalah the management, control or resolution of
conflict. Dalam unsur ini terkandung suatu pengertian bahwa konflik dapat terjadi
kapan saja dan di mana saja, tidak dapat secara jelas dibedakan kapan mulainya
dan kapan pula berakhirnya. Dalam hubungannya dengan masalah ini Hammer
dan Organ mengemukakan: "Conflict obviously emerges out of a preexisting
situation, and it does not usually end with a seulement, eventhough the intensity
of the conflict may shift, as one would expect in a dynamic situation". (W.Clay
Hammer dan Dennies W. Organ, 1978, h. 342).
Dari uraian tersebut di atas, dapatlah dirumuskan beberapa indikator terjadinya
konflik dalam hubungan kerja antara sivitas akademika, yaitu sebagai berikut.
1. Terdapatnya perbedaan pendapat atau pandangan di antara anggota sivitas
akademika baik Rektor, Dekan, Ketua Jurusan, Dosen dan Asisten serta para
mahasiswa.
2. Adanya perubahan yang terjadi baik berasal dalam lingkungan maupun dari
luar perguruan tinggi yang mempengaruhi setiap anggota sivitas akademika.
Pengaruh tersebut semakin lama semakin meluas terhadap setiap anggota
sivitas akademika dan dapat berupa pengaruh positif maupun negatif.
3. Terdapatnya perbedaan harapan atau kebutuhan antara kebutuhan organisasi
perguruan tinggi dengan kebutuhan anggota sivitas akademika
(disequilibrium).
4. Terdapatnya pertentangan di antara kelompok yang ada di perguruan tinggi,
misalnya antara kelompok mahasiswa dengan pihak dosen atau antara
kelompok dosen yunior dengan pihak dosen senior.
Dari indikator tersebut di atas, terlihat bahwa suasana kerja sangat menentukan
terjadinya konflik dari pihak-pihak yang sedang bersengketa.
Hubungan kerja yang demokratis serta sifat keterbukaan merupakan harapan
setiap organisasi perguruan tinggi. Ciri hubungan kerja yang demokratis ditandai
oleh adanya hubungan „kerja informal. Hal yang dimaksud dengan hubungan
kerja informal, yaitu suatu pola tata kerja yang tidak terikat pada garis struktur
organisasi. Namun, di lain pihak dapat terjadi bahwa dengan ditonjolkannya
hubungan kerja informal akan berakibat kewibawaan terhadap pimpinan dapat
menurun. Sebaliknya, apabila prosedur formal terlalu menonjol maka akan timbul
kekakuan dalam hubungan kerja. Setiap pimpinan perguruan tinggi sebenarnya
dapat saja menggunakan kekuasaan (power) dan kewenangan {authority) guna
Di mana pun kita berkumpul, bergaul bersama baik untuk jangka pendek maupun
untuk waktu yang lama selalu terdapat konflik. Banyak pendapat menyatakan
bahwa kehidupan modern penuh dengan konflik. Memang kenyataan ini
mengandung kebenaran, akan tetapi tidak keseluruhannya dapat dibenarkan
karena seolah-olah dalam kehidupan yang tradisional tidak terdapat konflik.
Di dalam kehidupan tradisional manusia sangat terikat kepada pendapat umum
{public opinion) dan masih kuat ikatan kekeluargaannya (paguyuban) sehingga
konflik yang dihadapi biasanya tertutup (intrapersonal conflict).
Sedangkan pada masyarakat modern ikatan kekeluargaan sangat renggang dan
lebih mengarah pada kehidupan yang individualistis di mana masyarakatnya
sudah berpikir efektif dan efisien, menghargai pentingnya waktu dan rasional
(patembayan). Pada masyarakat ini konflik yang terjadi adalah bersifat terbuka
(interpersonal conflict). Demikian pula dalam suatu organisasi perguruan tinggi,
seperti IKIP dan FKIP, di mana anggota sivitas akademika yang datang dari latar
belakang yang berbeda akan menimbulkan berbagai ragam konflik, baik yang
tertutup maupun yang terbuka.
Dewasa ini masalah konflik banyak dibahas dihampir semua organisasi. Bahkan
banyak biaya yang dikeluarkan untuk dapat mengurangi timbulnya konflik dalam
organisasi kerja, terutama konflik yang dapat merugikan organisasi.
Sebagai contoh, majalah Business Week dalam tulisannya yang berjudul How
Companies Cope with Executive Stress (1978, h. 107108) mengemukakan sebagai
berikut:
"An incresing number of organizations are attempting to combat conflict and
stress by implementing specialized programs. For example, some companies have
called on the famous Menninger Foundation which has been offering its services
to counsel and help solve conflict and stress problems of executives for more than
twenty years. Clients such as International Business Machines, Chase Manhattan
Bank, and Continental Illinois Bank have all implemented format programs to aid
their executives in coping with organizational conflict and stress. Lately,
organizations have also begun to develop programs of their own. For example,
Hughes Aircraft, Connecticut General insurance, and Xerox currently have
conflict and stress reduction program in operationt".
Dengan demikian, terlihat bahwa masalah konflik dan stres selalu ada dalam
organisasi dan dapat mengganggu jalannya organisasi, serta hubungan di antara
warga negara umumnya.
Agar memperoleh gambaran yang jelas tentang konflik dan stres, berikut ini
Ralph H. Kilmann dan Kenneth W. Thomas dalam bukunya Four Perspectives on
Conflict Management: An Attributional Framework for Organizing Descriptive
and Normative Theory (1978, h. 5960) menjelaskan pengertian konflik sebagai
berikut:
"Conflict has been defined as the condition of objective incompatibility between
values or goals, as the behaviors of deribelately interfering with anotherr's goal
achievement, and emotionally in terms of hostility. Descriptive theorists have
explained conflict behavior in terms of objectives conflict of interest, personal
styles, reactions to threats, and cognitive distortions. Normative recommendations
range over the establishment of superordinate goals, consciousness raising,
selection of compatible individuals, and mediating conflict".
Dengan demikian, dalam suatu konflik terdapat adanya petentangan baik nilai-
nilai maupun tujuan yang akan dicapai.
Suatu konflik dapat terjadi di dalam diri manusia maupun di luar diri
manusia, meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. adanya suatu keinginan atau kehendak yang terhalang;
2. adanya suatu tekanan terhadap motif yang sudah ada;
3. adanya pertentangan antara dua motif yang positif;
4. adanya pertentangan antara motif positif dan motif negatif;
5. adanya persaingan antara kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan;
6. adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan diri dengan kebutuhan
organisasi;
7. adanya metode dan teknik yang berbeda yang mendorong peranan atau
kebutuhan itu diwujudkan;
8. kurang sadarnya orang akan saling ketergantungan, antara seseorang dengan
orang lain;
9. tidak mampu orang melakukan penyesuaian diri dengan lingkungannya;
10. tidak sesuainya antara harapan dengan kenyataan.
Pada prinsipnya suatu konflik dapat terjadi, apabila seseorang atau sekelompok
orang terhalang dalam upaya mencapai tujuan.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa di samping konflik dikenal pula
istilah stres. Sebenarnya stres hampir sama dengan konflik, namun pengaruhnya
lebih besar terhadap fisik seseorang. Sebagaimana dikemukakan oleh Fred
Luthans dalam bukunya Organizational Behavior, (1981, hl. 366): "Stress, on the
other hand, has just recently emerged as a topic area for organizational behavior.
Stress, has some of the same characteristics as conflict but it usually associated
with more physiological outcomes".
Selanjutnya, Hans Selye dalam bukunya "Stres dalam Hidup Kita" yang
diterbitkan oleh Pusdiklat Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1981. h.69)
mengemukakan definisi stres sebagai berikut: "Stres adalah keadaan yang
dimanifestasikan oleh suatu sindrom spesifik yang terdiri dari semua perubahan
yang ditimbulkan secara nonspesifik dalam suatu sistem biologis".
Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa stres memiliki bentuk
serta komposisi karakteristiknya sendiri, akan tetapi tidak mempunyai sebab
tertentu (memiliki berbagai macam penyebab).
Berbagai macam penyakit fisik dapat timbul pada diri seseorang akibat adanya
stres, seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung dan pembuluh darah, ginjal,
kejang, rematik dan arthritis rematik, peradangan kulit dan mata, infeksi, alergi,
dan penyakit hypersensitif, urat saraf dan mental, kelainan seksual, penyakit
pencernaan, metabolisme, kanker dan penyakit penyesuaian umumnya.
Dalam menghadapi kehidupan sehari-hari, anggota sitivas akademika perguruan
tinggi tidak lepas dari rintangan-rintangan. Tidak seorang pun yang tidak pernah
mengalami halangan dan kesulitan. Perbedaan antara anggota sivitas akademika
adalah seseorang dapat mengatasi permasalahan, sedangkan yang lainnya
mengalami kegagalan. Perbedaan masirlg-masing orang bersifat relatif.
Apabila setiap warga negara Indonesia dapat mengatasi rintangan yang sedang
dihadapi serta dapat melakukan penyesuaian dengan situasi dan kondisi yang ada
(adjustment) maka ia akan merasa lega dan kadang-kadang disertai perasaan
bangga karena berhasil. Namun, apabila ia tidak dapat melakukan penyesuaian
Dari model konflik yang pertama, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa individu
tertarik oleh dua faktor yang sama-sama disukai, akan tetapi bertentangan satu
sama lain.
Pada model kedua, individu tertarik oleh suatu faktor yang sekaligus mengandung
faktor negatif.
Sedangkan pada model ketiga, indivitu terjepit di antara dua faktor yang negatif
(tidak disukai).
Di samping konflik yang terjadi dalam diri seseorang (intrapersonal conflict),
dikenal pula konflik yang terjadi antarpribadi (interpersonal conflict). Di dalam
suatu organisasi seperti IKIP dan FKIB-IJT, konflik antarpribadi ini merupakan
suatu dinamika yang dianggap sangat penting. Konflik ini dianggap penting
karena melibatkan berbagai macam peranan dari setiap anggota organisasi yang
tidak bisa tidak akan mempengaruhi proses tercapainya tujuan organisasi
(objective goal).
Konflik antarpribadi ini dapat terjadi, apabila dua orang atau lebih berinteraksi
satu sama lain dalam melaksanakan tugas organisasi.
Dalam kaitannya dengan masalah ini Joe Kelly dalam bukunya Organizational
Behavior (1974, h. 563) mengatakan sebagai berikut:
"Conflict situations inevitably are made up of at least two individuals who hold
polarized points of view, who area somewhat intolerant of ambiguitis, who ignore
delicate shades of grey, and who are quick to jump to conclusions".
Dari catatan Joe Kelly tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa situasi konflik
yang tidak dapat dihindari adalah keadaan-keadaan di mana paling sedikit terdapat
dua orang yan memiliki pandangan-pandangan yang tidak dapat disatukan, orang-
orang yang tidak dapat bertoleransi dari sesuatu yang bermakna ganda, seseorang
yang mengabaikan kenikmatan dari indahnya bayang-bayang kelabu, dan
seseorang yang dengan cepatnya suka menarik suatu kesimpulan.
Di lingkungan perguruan tinggi, khususnya di IKIP dan Universitas, dewasa ini
paling banyak dijadikan topik permasalahan adalah tentang konflik peranan (role
conflict).
Konflik peranan dapat terjadi oleh berbagai macam penyebab, antara lain:
1. kurang jelasnya tugas yang harus dilakukan oleh setiap anggota sivitas
akademika;
2. terdapatnya perbedaan harapan antara atasan dan bawahan, di mana seseorang
harus berperan di antara kedua pihak tersebut;
3. terdapatnya kelebihan peranan pada anggota sivitas akademika;
4. terdapatnya peranan ganda pada dua organisasi atau lebih.
Pada penyebab pertama, terlihat bahwa kurang jelasnya tugas yang harus
dilakukan seorang sivitas akademika, berakibat pada ketidakjelasan peranannya,
dan akan menimbulkan kebingungan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Robert L. Khan yang dikutip W. Jack Duncan
dalam bukunya Organizational Behavior (1981, h. 314) bahwa: "Role ambiguity is
the extent to which a personal is uncertain about the behavior expected".
Seorang asisten dosen yang baru diangkat untuk bertugas di perguruan tinggi
memerlukan kejelasan mengenai tugas-tugasnya sehingga jelas perilaku yang
akan diperlihatkannya, serta peranan yang akan dijelaskannya.
Kemungkinan lain, asisten dosen tersebut memilih suatu perilaku menurut
pandangannya sendiri atas dasar persepsinya terhadap peranan yang harus
dilakukannya. Hai ini mungkin saja tidak sesuai dengan harapan staf dosen
lainnya atau pimpinannya, baik Ketua Jurusan, Dekan maupun Rektor.
Dengan demikian, akan menimbulkan perasaan ketidakpuasan di antara masing-
masing pihak.
Menurut Cohen, Scotlan dan Wolfe yang dikutip Duncan bahwa: "Research
suggests that role clarity is, in fact, positively related to job satiscation and
inversely related job stress". (1981, h. 203).
Dari kutipan tersebut dapat penulis jelaskan bahwa hasil penelitian membuktikan
bahwa kejelasan peran mempunyai hubungan yang positif dengan kepuasan kerja,
dan apabila terjadi sebaliknya, akan menimbulkan tekanan pekerjaan.
Pada penyebab kedua, yaitu terdapatnya perbedaan harapan antara atasan dan
bawahan, di mana seseorang harus berperan di antara kedua pihak tersebut, juga
merupakan penyebab timbulnya konflik peranan.
Istilah Johari digunakan, oleh karena model ini dikembangkan oleh Joseph Luft
dan Harry Ingham. Dari kedua nama ini disingkat menjadi Johari. Model tersebut
dapat membantu mengidentifikasi beberapa gaya antarpribadi, karakteristik, hasil-
hasil dari gaya tersebut, dan saran-saran mengenai cara untuk mengartikan suatu
konflik yang dapat berkembang di antara diri sendiri dan orang lain.
Dalam istilah yang sederhana, diri (self) dapat diartikan sebagai uaku" dan orang
lain dapat pula diartikan sebagai ukamu" dalam interaksi antara dua orang. Ada
hal-hal tertentu yang tidak diketahui. Ada pula hal-hal tertentu yang diketahui
seseorang terhadap orang lain dan hal-hal tertentu yang tidak diketahui mengenai
orang lain tersebut.
Selanjutnya Joseph Luft menjelaskan sebagai berikut:
"Open self. In this form of interaction the person knows about himself or herself
and about the other. There would generally be openess and compability and little
reason to be defensive. This type of interpersonal relationship would tend to lead
to little, if any, interpersonal conflict."
Maksud uraian tersebut adalah Membuka Diri (open self). Dalam bentuk interaksi
ini seseorang mengetahui tentang dirinya dan tentang diri orang lain. Dalam hal
ini pada umumnya terdapat keterbukaan, kerja sama dan sedikit alasan untuk
bertahan. Bentuk hubungan antarpribadi seperti ini akan cenderung menyebabkan
sedikit (kalau ada) konflik antarpribadi.
"Hidden self. In this situation the person understands himself or herself but does
not know about the other person. The result is that the person remains hidden
from the other because of the fear of how the other might react. The person may
keep his or her true feelings or attitudes secret and will not open up to the other.
There is potential interpersonal conflict in this situation".
Menutup Diri (Hidden Self). Dalam situasi seperti ini seseorang mengerti dan
memahami dirinya sendiri, akan tetapi tidak mengetahui tentang diri orang lain.
Hasilnya ialah seseorang tersebut akan tetap tertutup dari orang lain karena rasa
takut bagaimana kalau orang lain itu bereaksi. Seseorang akan menutup perasaan
atau sikapnya secara rahasia dan tidak akan membukanya kepada orang lain. Hal
semacam ini merupakan potensi timbulnya situasi konflik antarpribadi.
Kemudian Joseph Luft mengemukakan:
"Blind self. In this situation the person knows about the other but not about
himself or herself. The person may be unintentionally irritating to the other. The
other could tell the person but may be fearful of hurting the person's feelings. As
in the "hidden sel", there is potential interpersonal conflict in thei situation".
Membutakan Diri (Blind Self). Dalam situasi ini seseorang mengetahui diri orang
lain, tetapi tidak mengetahui dirinya sendiri. Orang ini kemungkinan tidak berniat
menyakiti orang lain, dan sebenarnya orang lain dapat pula memberitahukan
kepadanya, akan tetapi takut kalau menyinggung perasaannya.
Sebagaimana diri yang tertutup maka situasi ini merupakan potensi timbulnya
konflik antarpribadi.
Akhirnya pada jendela keempat diungkapkan pengertian Undiscovered Self.
"Undiscovered self. This is potentially the most explosive situation The person
does not know about himself or herself and does not know about the other. In
other words, there is much misunderstanding, and interpersonal conflict is almost
sure to result".
Tidak menemukan diri (undiscoveredself). Situasi seperti ini merupakan potensi
situasi yang paling eksplosif. Seseorang tidak mengetahui dirinya dan juga tidak
mengetahui diri orang lain. Dengan kata lain, selalu terdapat salah pengertian
{misunderstanding) dan konflik antarpribadi sudah hampir dipastikan akan
merupakan hasil interaksinya.
Meskipun pada hakikatnya Johan Window dari Joseph Luft dan Harry Ingham
hanya memberikan uraian dan penjelasan terhadap kemungkinan macam gaya
interaksi antarpribadi. namun hal tersebut sangat berguna untuk menganalisis
kemungkinan-kemungkinan timbulnya situasi konflik. Misalnya, cara untuk
mengurangi serta kemungkinan menghilangkan sikap seseorang yang menutup
din, yaitu dengan melalui suatu proses menghormati dan membuka diri orang
tersebut sehingga sikap terbukanya makin bertambah Dengan melakukan
pendekatan secara kekeluargaan dan mengenal pribadinya secara lebih dekat, akan
memberi peluang orang tersebut akan lebih terbuka sikapnya. Dengan cara
menjadikan dirinya untuk lebih mempercayai orang lam serta membuka informasi
mengenai dirinya maka potensi konflik akan berkurang.
Dalam menghadapi konflik antarpribadi ini, banyak cara yang dapat dilakukan
untuk menanggulanginya. Namun secara umum, penanggulangan konflik
tergantung dari tingkat kematangan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik,
adanya sikap keterbukaan, mau mendengarkan orang lain, adanya kepercayaan
terhadap orang lam, serta adanya keinginan untuk merubah perilaku negatif.
A. SOAL /TUGAS
1. Apakah Ilmu Kewarganegaraan hanya mempelajarai pemerintahan saja?
2. Jelaskan mengapa tekanan psikologis, dalam arti psikoneurosis dapat
mempengaruhi kesehatan mental warga negara!
3. Mengapa sebabnya dalam kehidupan warga negara yang modern dewasa
ini terutama masa reformasi ditemukan banyak konflik? Bagaimana pula
dalam kehidupan tradisional?
B. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Kosasih Djahiri. (1990). Kapita Selekta Sosiologi dan Ilmu Sosial Dasar
Bandung: Laboratirum Program PMP. IKIP Bandung.
Abdul Azis Wahab. (1996-1997). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi PGSD.
(1995). Partisipasi Warganegara. Bandung: Fakultas PIPS.IKIP Bandung.
Astrid S. Susanto. (1977). Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial Bandung:
Binacipta.
Purbopranoto Kuntjoro. (1977). Dasar-dasar Hubungan Warga Negara dengan
Pemerintah. Surabaya: Universitas Airlangga.
Marshall McLuhan. (1963). W e Need a New Picture of Knorledge,
Assosiationfor Supervision and Curriculum Development. USA.
S. Toto Pandoyo. (1982). Himpunan Perundang-undangan Negara, Warga Negara
dan Pemerintah Negara RI. Yogyakarta: Liberty.