Anda di halaman 1dari 26

PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA

Sri Untari

Setelah mempelajari bagian ini diharapkan mahasiswa memiliki kemampuan memahami dan menganalisis referensi tentang kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Mahasiswa juga diharapkan memiliki kemampuan memahami dan menganalisis referensi tentang Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia; kemampuan menemu-tunjukkan Pancasila sebagai sistem etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia berdasarkan fenomena sosial; kemampuan mengaplikasikan Pancasila sebagai paradigma keilmuan-ekonomi, politik dan pendidikan; dan kemampauan menentukan sikap dalam menangkap fenomena sosial dan realita globalisasi dengan tetap mempertahankan Pancasila sebagai ideologi terbuka, menseleksi pembentukan nilai baru berdasarkan nilai-nilai dan norma yang berlaku. Setiap kelompok atau bangsa harus memiliki geist (jiwa) agar kelompok atau bangsa itu hidup. Jiwa bangsa itu selanjutnya disebut grundnorm. Dalam istilah F.C. Savigny (1779-1861) disebut Volk geist. Hans Nawiasky (1940) menyebutnya Staatsfundamentalnorm. Hans Kelsen (1973) memberikan istilah Grundnorm, dan Notonagoro (1984) menyebutnya Pokok Kaidah Fundamental Negara atau asas Kerohanian Negara. Suatu bangsa akan lenyap, manakala grundnorm tersebut hilang. Jiwa bangsa atau grundnorm tersebut merupakan aksioma adanya kelompok atau bangsa.

19

Gambar 2.1. Peta Konsep Kedudukan dan Fungsi Pancasila Grundnorm muncul dengan sendirinya, akan tetapi perlu dirumuskan secara formal agar setiap anggota kelompok (bangsa) menyadari keberadaan dan kepentingannya, sehingga grundnorm itu dipelihara. Menjelang Indonesia merdeka, para pendiri negara ( the founding fathers and mothers) menyadari hal tersebut lalu bersepakat merumuskan nilainilai dasar yang akan dijadikan pedoman penyelenggaraan negara serta falsafah kehidupan warga negaranya. Kesepakatan tersebut menurut Darmodiharjo terwujud dalam bentuk Dasar Negara yang diberi nama Pancasila (1980: 21), karena terdiri dari lima sila yang merupakan sari pati nilai yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Indonesia sepanjang perjalanan sejarahnya. Oleh karena itu, lima dasar tersebut tidak lain merupakan perwujudan Kepribadian Bangsa yang dapat membedakan dirinya dari bangsa lain. Rancangan Dasar Negara tersebut akhirnya dituangkan dalam naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Begitu grundnorm telah dirumuskan, maka perlu disebarluaskan, disosialisasikan dan dibudayakan pada generasi penerus kelompok tersebut baik laki-laki maupun perempuan, baik dewasa ataupun yang anak-anak, baik masyarakat awam terlebih masyarakat terpelajar agar mereka tetap memiliki jiwa/ruh bangsanya, sehingga kelompok masyarakat atau bangsa tersebut tetap hidup dan berkembang sesuai dengan watak dasar nilai luhur kepribadiannya. Berdasarkan Teori daluarsa bahwa sesuatu yang baik bisa hilang bila dibiarkan atau dilupakan dan sesuatu yang salah bisa benar bila terus menerus dilakukan. Oleh karena itu grundnorm bangsa Indonesia tidak boleh daluarsa karena dilupakan yang akan mengakibatkan matinya negara kesatuan Republik Indonesia. Pembukaan UUD 1945 sebagai Declaration of Independence bangsa Indonesia (Hakam, 2006) memuat dan merupakan penjabaran nilai-nilai Pancasila. Pancasila teramat penting bagi bangsa Indonesia, karena kedudukannya sebagai dasar negara dan fungsinya sebagai dasar pemersatu bangsa. Koesnardi menyatakan bahwa Pancasila dalam Pembukaan ini merupakan mutiara bangsa (1983:101) menyebutnya falsafah yang merupakan perwujudan keinginan rakyat, yang sampai saat ini tidak mengalami perubahan dalam dinamika ketatanegaraan Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan konsistensi dan komitmen nasional baik secara politis maupun yuridis untuk mempertahankan Pancasila. Dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia sekarang ini, ada kecenderungan terjadinya desintegrasi bangsa serta lunturnya jiwa dan nilai-nilai luhur bangsa (Pancasila) baik karena faktor internal maupun karena pengaruh global. Situasi dan kondisi masyarakat Indonesia saat ini menjadikan kita sangat prihatin dan sekaligus mengundang kita untuk ikut bertanggung jawab atas retaknya mosaik Indonesia yang pecah belah, sementara busana tanah air meretas jahitan, sobek, tercabik-cabik dalam kerusakan sehingga hilang keindahannya. Padahal Indonesia dikenal dengan jamrud katulistiwa, untaian permata di katulistiwa, kata Koes Plus. Namun krisis moneter yang menjadi krisis politik, 2
Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

kepemimpinan, kepercayaan, krisis moral, krisi budaya, menjadikan masyarakat kita kehilangan orientasi nilai, hancur ekonominya, hancur suasana batinnya (Untari, 2010). Kehalusan budi pekerti, sopan santun dalam pergaulan, toleransi, kerukunan, rasa malu, solidaritas sosial, gotong royong dan menyelesaikan permasalahan dengan musyawarah mufakat telah hilang, hanyut oleh derasnya arus modernisasi dan globalisasi. Sikap hidup hedoni (hura-hura), ngamukan, kekerasan, anarkisme menjadi ciri bangsa ini, seolah kehidupan tak lagi ada aturan yang menjadi kesepakatan bersama demi mencapai tujuan bangsa masyarakat adil dalam kemakmuran, makmur dalam keadilan. Gejala ini tidak boleh dibiarkan dengan menyerahkan hanya pada mekanisme politis dan realitas sosial. Pendidikan harus tampil ke depan mengemban misinya sebagai agen konservasi atau pewarisan nilai di samping sebagai agen inovasi atau perubahan (agent of change). Usaha ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan bukan sebagai usaha maupun sebagai hasil sampingan. Oleh karena itu di setiap jenjang pendidikan diperlukan adanya upaya sistematis untuk mewariskan nilai-nilai luhur tersebut kepada generasi penerus melalui berbagai cara dan upaya, yang bertujuan mensosialisasikan, menyampaikan dan membudayakan kembali nilai-nilai Pancasila yang telah dirumuskan oleh pendiri negara Republik ini. Tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran bab ini ini, terutama difokuskan untuk mencapai dua sasaran, yakni sasaran makro dan sasaran mikro. Sasaran makro ditujukan bagi peningkatan pemahaman dan kemampuan mahasiswa dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dan menjaga kelestarian Pancasila sebagai bagian dari pilar-pilar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta menciptakan suasana yang kondusif bagi setiap upaya menginternalisasikan nilai kepribadian bangsa. Sasaran mikro ditujukan pada mahasiswa, agar memiliki kemampuan memahami dan menganalisis referensi tentang kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Mahasiswa juga diharapkan memiliki kemampuan memahami dan menganalisis referensi tentang Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia; kemampuan menemu-tunjukkan Pancasila sebagai sistem etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia berdasarkan fenomena sosial; kemampuan mengaplikasikan Pancasila sebagai paradigma keilmuan-ekonomi, politik dan pendidikan; dan kemampauan menentukan sikap dalam menangkap fenomena sosial dan realita globalisasi dengan tetap mempertahankan Pancasila sebagai ideologi terbuka, menseleksi pembentukan nilai baru berdasarkan nilai-nilai dan norma yang berlaku. Berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan, ruang lingkup pembahasan bab ini meliputi kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa, Pancasila sebagai sistem filsafat, Pancasila sebagai sumber nilai, Pancasila sebagai sistem etika, Pancasila sebagai paradigma keilmuan ekonomi, politik dan pendidikan; dan Pancasila sebagai ideologi terbuka.

KEDUDUKAN DAN FUNGSI PANCASILA Kedudukan Pancasila Pancasila ada dan berkembang seiring dengan bangsa Indonesia, meliputi lima nilai-nilai dasar yang luhur yang menjadi kekuatan dan semangat penggerak perjuangan bangsa saat melakukan perlawanan terhadap kolonialis yang menjajahnya. Nilai-nilai luhur inilah yang menjadi sikap dan cermin serta pandangan hidup bangsa Indonesia. Pancasila 3
Pendidikan Pancasila

secara formal disahkan sebagai Dasar Negara Republik Indonesia oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1845 sebagaimana yang termuat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Pada prinsipnya kedudukan Pancasila dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Pandangan hidup bagi suatu bangsa diperlukan jika bangsa tersebut ingin kokoh dan mengetahui secara jelas ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya. Dengan pandangan hidupnya suatu bangsa akan memandang permasalahan yang dihadapinya dan menentukan arah serta bagaimana memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Bangsa yang tidak memiliki pandangan hidup ibarat sebatang pohon yang senantiasa condong kemana angin bertiup, artinya bangsa tersebut akan terombang ambing dalam menghadapi permasalahan besar, banyak nan kompleks, baik permasalahan dalam masyarakatnya sendiri terlebih permasalahan dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain sedunia. Dengan pandangan hidup yang jelas bangsa akan memiliki pegangan dan pedoman untuk menemukenali dan memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam segala aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya, pertahanan dan keamanan, dan hukum. Dengan pandangan hidup sebagai pedomannya suatu bangsa membangun dirinya. Pandangan hidup mengandung konsep dasar kehidupan yang dicita-citakan oleh bangsa, termuat pikiran-pikiran terdalam dan gagasan sesuatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik, yang akan membawa hidup dan kehidupan bangsa pada tujuan bersama. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia telah mampu mempersatukan bangsa Indonesia yang pluralis dan multikultural serta memberikan petunjuk dalam mencapai kesejahteraan dan kebahagian lahir dan batin dalam masyarakat. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur tersebut merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sendiri dan diyakini kebenarannya. Pancasila sebagai pandangan hidup berfungsi sebagai pedoman dan petunjuk arah bagi bangsa Indonesia dalam semua kegiatan dan aktivitas serta kehidupan di segala bidang. Ia juga berfungsi sebagai kerangka acuan dalam menata kehidupan baik secara pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bangsa Indonesia pada hakekatnya adalah monodualistis, oleh karenanya dalam menempatkan Pancasila sebagai pandangan hidupnya senantiasa mengembangkannya sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial untuk mewujudkan kehidupan bersama menuju pandangan hidup berbangsa dan bernegara yakni Pancasila. Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia Pancasila sebagai dasar negara berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia harus berdasarkan Pancasila. Ini mengandung pengertian setiap peraturan yang berlaku di negara Republik Indonesia harus menjadikan Pancasila sebagai sumber peraturan negara berupa hukum yang berlaku. Dengan demikian hukum yang berlaku yang menjadi norma dalam negara. Dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia, Pancasila sebagai dasar negara tercantum dalam ketentuan tertinggi meskipun dituangkan dalam rumusan yang berbeda. Dalam tiga UUD yang kita miliki, Pancasila tercantum dalam Pembukaan Undang Undang dasar 1945, Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan dalam Mukadimah Undang Undang sementara Republik Indonesia 1950. Pancasila tetap tercantum di dalamnya. Kedudukan sebagai dasar negara secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut. Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber hukum nasional. Pancasila selalu dikukuhkan dalam konstitusi. Pancasila selalu dikehendaki oleh bangsa Indonesia sebagai dasar kerokhanian negara. Pancasila mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar 4
Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

negara, baik hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis. Pancasila sebagai dasar negara dikehendaki oleh seluruh rakyat Indonesia, karena sebenarnya telah tertanam dalam kalbu rakyat Indonesia. Pancasila mengandung norma yang mengharuskan UUD 1945 mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara termasuk para penyelenggara parpol memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Pancasila sebagai sumber spirit/semangat bagi UUD 1945, penyelenggara negara, pelaksana pemerintahan dan seluruh penyelenggara ormas dan parpol. Berdasarkan hal tersebut dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum yang berlaku di Indonesia merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai dasar Pancasila. Sebagaimana diketahui bahwa tata hukum yang berlaku di Indonesia, dimulai dari UUD 1945, Tap MPR, UU, Perpu, Keppres, Perda, hingga Peraturan Desa harus sesuai dengan nilai-nilai dasar Pancasila. Bilamana tidak maka kaidah-kaidah hukum tersebut dinyatakan tidak berlaku di Indonesia, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia. Demikian halnya dengan UUD 1945, meskipun UUD 1945 merupakan kaidah hukum yang tertinggi dalam kehidupan bernegara, isinya harus sesuai dengan Pancasila, termasuk di antaranya isi perubahan-perubahan (amandemen) yang telah dilakukan oleh DPR pada tahun 2000 hingga 2003. AJANG DIALOG APAKAH ANDA MASIH MENGHADAPI MASALAH DALAM MEMAHAMI KEDUDUKAN PANCASILA? Dalam perkembangannya dapatkah pandangan hidup bangsa Indonesia akan berubah? Apa dampaknya bagi eksistensi bangsa Indonesia? Apa yang anda lakukan jika ada keinginan sebagian rakyat yang akan mengganti dasar negara Pancasila dengan dasar negara lain? Coba anda dialogkan dengan teman dalam kelompok anda

Fungsi Pancasila bagi Bangsa Indonesia Pancasila sebagai Identitas dan Kepribadian Bangsa Istilah kepribadian diartikan sebagai sifat hakiki seseorang yang tercermin pada sikap dan perilakunya yang membedakan dirinya dengan orang lain. Mc Leod (1989) sebagaimana yang dikutip Muhibbin Syah (2000) mengartikan kepribadian sebagai sifat khas yang dimiliki seseorang, sifat, sikap, temperamen, watak (karakter), tipe, minat dan pesona (topeng). Sedangkan Sumadi Suryabrata (1983) mendefinisikan kepribadian sebagai: (1) suatu kebulatan yang terdiri dari aspek-aspek jasmaniah dan rohaniah, (2) bersifat dinamik dalam hubungannyan dengan lingkungan, (3) khas (unik) dan berbeda dengan orang-orang lain, dan (4) berkembang yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam dan luar. 5
Pendidikan Pancasila

Susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan perbedaan tingkah-laku atau tindakan dari tiap-tiap individu manusia secara antropologis disebut dengan kepribadian atau personaliti. Istilah "kepribadian" dalam bahasa populer juga berarti ciri-ciri watak seseorang individu yang konsisten, yang memberikan kepadanya suatu identitas sebagai individu yang khusus. Kalau dalam bahasa sehari-hari kita anggap bahwa seorang tertentu mempunyai kepribadian, memang yang biasanya kita maksudkan ialah bahwa orang tersebut mempunyai beberapa ciri watak yang diperlihatkannya secara lahir, konsisten dan konsekuen dalam tingkah-lakunya sehingga tampak bahwa individu tersebut memiliki identitas khusus yang berbeda dari individu-individu lainnya. Rumusan pengertian kepribadian di atas pada dasarnya untuk menggambarkan identitas khas bagi individu, tidak demikian bagi kepribadian bangsa. Konsep kepribadian bangsa harus diberi makna sebagai sebuah komitmen bersama anggota masyarakat dalam bentuk bangsa, yang diangkat dari realitas empirik dan akar kultur masyarakat yang tergambarkan pada pola-pola hidup, nilai-nilai dan moral kehidupan yang dipandang baik dan dapat digunakan sebagai perwujudan jati diri bangsa. Dengan demikian, kepribadian bangsa adalah sebuah jati diri suatu bangsa yang tercermin dalam bentuk aktivitas dan pola tingkah lakunya yang dapat dikenali oleh orang atau bangsa lain. Bagi bangsa Indonesia, jati diri bangsa dalam bentuk kepribadian nasional ini, telah disepakati sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Kesepakatan itu, telah muncul lewat pernyataan pendiri negara (the founding fathers and mothers) dengan wujud Pancasila, yang di dalamnya mengandung lima nilai-nilai dasar sebagai gambaran kelakuan berpola bangsa Indonesia, yang erat dengan jiwa, moral dan kepribadian bangsa. Pancasila adalah kepribadian bangsa yang digali dari nilai-nilai yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan budaya bangsa Indonesia. Sebagaimana pengakuan Bung Karno, dia menolak bahwa Pancasila itu adalah buah ciptaannya; dengan perkataan: Saya bukanlah pencipta Pancasila, saya bukan pembuat Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari ialah sekedar menformulir perasaan-perasaan yang ada di kalangan rakyat dengan beberapa kata yang saya namakan Pancasila. Saya sekedar menggali di dalam bumi Indonesia dan mendapatkannya lima berlian, dan lima berlian inilah saya anggap dapat menghiasi tanah air kita ini dengan cara seindah-seindahnya (Pidato, 17 Agustus 1945). Sebagai identitas dan kepribadian bangsa Indonesia, Pancasila adalah sumber motivasi inspirasi, pedoman berperilaku sekaligus standar pembenarnya. Dengan demikian gerak ide, pola aktivitas, perilaku, serta hasil perilaku bangsa Indonesia harus bercermin pada Pancasila. Ketiga garapan perilaku tersebut (ide, praktik perilaku dan hasil perilaku) menggambarkan bentuk atau wujud budaya bangsa. Pancasila dalam pengertian sebagai moral, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, seperti dijelaskan dalam teori Von Savigny, bahwa setiap bangsa mempunyai jiwanya masing-masing, yang disebut dengan Volkgeist (jiwa rakyat/bangsa). Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia keberadaannya/lahirnya bersamaan dengan adanya bangsa Indonesia (Darmodiharjo, 1981). Selain itu, Pancasila juga berfungsi sebagai kepribadian banga Indonesia, dalam arti, bahwa jiwa bangsa Indonesia mempunyai arti statis (tidak bisa berubah) dan mempunyai arti dinamis (bergerak). Jiwa ini keluar diwujudkan dalam sikap mental dan tingkah-laku serta amal perbuatan. Sikap mental, tingkah-laku dan amal perbuatan bangsa Indonesia mempunyai ciri-ciri khas, sehingga menjadi identitas bangsa. Ciri-ciri khas inilah yang dimaksud dengan kepribadian. Kepribadian dan Identitas bangsa Indonesia adalah Pancasila. 6
Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

DIALOGKAN DENGAN TEMAN SEBELAH KIRIMU Sejatinya saat ini banyak warga bangsa kita yang tidak mengetahui identitas bangsa Indonesia, dialogkan apakah yang menjadi identitas bangsa kita? Lalu gambarkan kepribadian bangsa kita !

Pancasila sebagai Sistem filsafat Falsafah adalah merupakan perwujudan dari watak dan keinginan dari suatu bangsa (rakyat dan bangsanya) sehingga segala aspek kehidupan bangsa harus sesuai dengan falsafahnya. Falsafah suatu bangsa adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki, yang diyakini kebenarannya, menimbulkan tekad untuk mewujudkannya. Dari sudut pandang falsafah, Pancasila dipahami sebagai philosphical way of thingking atau philosophical system, yaitu Pancasila bersifat obyektif ilmiah karena uraiannya bersifat logis dan dapat diterima oleh paham yang lain. Pancasila sebagai Sumber Nilai Definisi Nilai Pengertian nilai sangat bervariasi, sehingga sulit untuk mencari kesimpulan yang komprehensif agar mewakili setiap kepentingan dan berbagai sudut pandang. Meskipun demikian terdapat hal yang disepakati dari semua pengertian nilai, bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan nilai merupakan sesuatu yang penting. Untuk mengetahui betapa bervariasi pengertian nilai tersebut, terutama bagaimana hubungan antara setiap pengertian itu dengan pendekatan-pendekatan pendidikan nilai dan pembudayaan nilai, di bawah ini akan dikemukakan sejumlah definisi yang diharapkan mewakili berbagai sudut pandang. a) Menurut Dardji Darmodihardjo (1986: 36) nilai adalah yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani. b). Menurut John Dewey (dalam Dardji, 1986: 36) value is object of social interest. c). Menurut Jack R. Fraenkel (1977: 6) value is an idea - a concept - about what someone thinks is importent in life. Nilai adalah gagasan - konsep tentang sesuatu yang dipandang penting oleh seseorang dalam hidup. d) Menurut Cheng (dalam Lasyo, 1999: 1) nilai merupakan sesuatu yang potensial, dalam arti terdapatnya hubungan yang harmonis dan kreatif, sehingga berfungsi untuk menyempurnakan manusia, sedangkan kualitas merupakan atribut atau sifat yang seharusnya dimiliki. e) Menurut Charles R. Knikker (1977: 3) Value is a cluster of attitude which generate either an action or decision to deliberately avoid an action. Nilai adalah sekelompok sikap yang menggerakkan perbuatan atau keputusan yang dengan sengaja menolak perbuatan. f) Menurut Dictionary of Sociology and Related Science: the believed capacity of any object to satisfy human desire, the quality of any object which causes it to be of interest to an individual or a group. Nilai adalah 7
Pendidikan Pancasila

g)

h) i)

j)

kemampuan yang diyakini terdapat pada suatu objek untuk memuaskan hasrat manusia, yaitu kualitas objek yang menyebabkan tertariknya individu atau kelompok. Menurut Frankena (dalam Kaelan, 2002: 174) nilai dalam filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya "keberhargaan" (worth) atau "kebaikan" (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian. Menurut Lasyo (1999: 9) nilai bagi manusia merupakan landasan atau motivasi dalam segala tingkah laku atau perbuatannya. Menurut Arthur W. Comb (dalam Hakam Kama, 2000: 45) nilai adalah kepercayaan-kepercayaan yang digeneralisir yang berfungsi sebagai garis pembimbing untuk menyeleksi tujuan serta perilaku yang akan dipilih untuk dicapai. Kosasih Djahiri berpendapat bahwa nilai adalah sesuatu yang berharga, baik menurut standar logika (benar-salah), estetika (bagus-buruk), etika (adil, layak-tidak layak), agama (dosa dan haram-halal) dan hukum (sah-absah) serta menjadi acuan dan atau sistem keyakinan diri maupun kehidupannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa nilai ini ada dan berkembang dalam berbagai gatra hidup, yakni keilmuan dan ipoleksosbudhankam kehidupan.

Apabila diklasifikasikan definisi-definisi nilai yang telah dikemukakan di atas pada wujud, tujuan atau fungsi, posisi serta tingkat kepentingannya, maka dapat terlihat bahwa pengertian nilai ada yang memandang sebagai kondisi psikologis, ada yang memandangnya sebagai objek ideal, ada pula yang mengklasifikasikannya mirip dengan status benda. Namun demikian nilai itu berhubungan dengan manusia, penting bagi manusia, mendorong bersikap dan bertingkah laku, dijadikan sandaran untuk memilih, serta menarik untuk dinilai. Dengan demikian nilai adalah kapasitas manusia yang dapat diwujudkan dalam bentuk gagasan atau konsep, kondisi psikologis atau tindakan yang berharga (nilai subyek), serta berharganya sebuah gagasan atau konsep, kondisi psikologis atau tindakan (nilai obyek) berdasarkan standar agama, filsafat (etika dan estetika), serta norma-norma masyarakat (rujukan nilai) yang diyakini oleh individu sehingga menjadi dasar untuk menimbang, bersikaf dan berperilaku bagi individu dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat (value system). Makna Nilai dalam Pancasila Pancasila telah diterima sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila dijadikan landasan pokok, landasan fundamental bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Pancasila berisi lima sila yang pada hakikatnya berisi lima nilai dasar yang fundamental. Nilai-nilai dasar dari Pancasila tersebut adalah nilai ketuhanan Yang Maha Esa, nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai persatuan Indonesia, nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalan permusyawaratan/ perwakilan, dan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan pernyataan secara singkat bahwa nilai dasar Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Nilai ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa 8
Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

Indonesia akan adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Causa Prima, sangkan paraning dumadi (asal dan tempat kembali kejadian). Dengan nilai ketuhanan yang dimilikinya, dapat dinyatakan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang atheis. Nilai ketuhanan juga memiliki arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antarumat beragama. Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya. Nilai Kemanusiaan berarti menempatkan manusia pada posisi penting, sebagai kholifah dengan menjunjung keadaban, dan menghindari kebiadaban. Nilai persatuan Indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme, patriotisme, menjunjung wawasan kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia, mengakui perbedaan sebagai kenyataan, dan kekayaan bangsa yang mengandung keunggulan. Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan. Nilai Kerakyatan berarti mengakui bahwa rakyatlah sesungguhnya yang memiliki kedaulatan tertinggi, dan mempercayakan atau mengamanahkannya pada wakilwakilnya dalam pelaksanaan. Nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan Makmur secara lahiriah ataupun batiniah. Nilai-nilai dasar itu sifatnya abstrak dan normatif. Karena sifatnya abstrak dan normatif, isinya belum dapat dioperasionalkan. Agar dapat bersifat operasional dan eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh nilai instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai nilai dasar, nilai-nilai tersebut menjadi sumber nilai. Artinya, dengan bersumber pada kelima nilai dasar di atas dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai instrumental penyelenggaraan negara Indonesia. Pancasila sebagai Sistem Etika Secara etimologis etika berasal dari bahasan Yunani ethos berati watak, keharusan, dan adat. Pengetian yang diberikan Magnis Suseno menyatakan etika merupakan pengkajian filsafat tentang bidang yang menyangkut kewajiban-kewajiban manusia serta tentang yang baik dan buruk (1995). Said (1996:15) menjelaskan bahwa etika berasal dari bahasa Yunani ehos dan dari bahasa latin mos jamaknya mores berarti watak, adat atau cara hidup yang menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan atau praktek sekelompok manusia. Dengan demikian etika atau moral sebagai adat kebiasaan yang terikat pada pengertian baik dan buruk dalam tingkah laku manusia. Etika adalah studi tentang benar dan tidak dalam perilaku manusia. Etika juga sering disamakan dengan akhlak dalam bahasa arab yakni perangai atau tabiat. Etika merupakan ilmu tentang akhlak, yang hakekatnya gambaran batin manusia yang tepat. Akhlak dalam kehidupan sehari-hari berarti budi pekerti atau kesusilaan atau sopan santun. 9
Pendidikan Pancasila

Menurut Dictionary of American and Politics (1988: 124), ethics is a set of moral principles or values that can be applied to societies or social groups as a whole, but that may also involve standards of behaviour for any professional activity. There are many ethical people in government, as there are in each of professions. However their ethical standards tend to reflect their personal back ground, rather than some abstract standard or professional conduct. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan etika sebagai berikut. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Dan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika merupakan pemikiran kritis yang memberikan pengertian mengapa manusia harus hidup sesuai dengan aturan norma. Etika adalah merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran moral. Dengan demikian mengantarkan orang pada kemampuan untuk bersikap kritis rasional untuk membedakan yang baik dan tidak baik, yang gilirannya memungkinkan mengambil sendiri serta ikut menentukan perkembangan masyarakat, karena etika mempersoalkan keadaan manusia bagaimana ia harus bersikap dan bertindak. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud etika Pancasila adalah etika yang mengacu dan bersumber pada nilai-nilai, norma Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Karena hakekat inti ajaran Pancasila adalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan maka etika Pancasila mengacu pada substansi atau inti ajaran tersebut. Terminologi di belakang kata etika, yakni Pancasila sekaligus menunjukkan karakteristik konsep, prinsip, dan nilai bangsa Indonesia yang berbeda dengan bangsa lain; contohnya: liberalisme, pragmatisme, feodalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, sekularisme, vitalisme, teologisme, komunisme, machiavelisme, individualisme, dan lain-lain (Winarno, 2007: 9) Pancasila sebagai sumber nilai diwujudkan dengan menjadikan nilai dasar Pancasila sebagai sumber pembentukan norma etik (norma moral) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila adalah nilai moral. Oleh karena itu, nilai Pancasila juga dapat diwujudkan kedalam norma-norma moral (etik). Norma-norma etik tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma-norma etik sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku telah berhasil dirumuskan Bangsa Indonesia saat ini melalui wakil rakyatnya. Norma-norma etik tersebut bersumber pada Pancasila sebagai nilai budaya bangsa. Rumusan norma etik tersebut tercantum dalam ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan Bermasyarakat. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat merupakan penjabaran nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat. Pancasila sebagai suatu sistem etika, menyangkut etika dalam berbagai kegiatan sebagaimana dikemukakan Parwiyanto (2010) yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika sosial budaya, etika penegakan hukum yang berkeadilan, serta etika keilmuan dan disiplin kehidupan. Pancasila sebagai etika politik dan pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance), yakni pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif; 10
Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

transparan dan akuntabel. Di samping itu juga menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat; menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang; serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Etika pemerintahan mengamanatkan agar para pejabat memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila dirinya merasa telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara. Pancasila sebagai etika ekonomi dan bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi, baik oleh pribadi, institusi maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi, dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan bersaing, serta terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui usaha-usaha bersama secara berkesinambungan. Hal itu bertujuan menghindarkan terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang bernuansa KKN ataupun rasial yang berdampak negatif terhadap efisiensi, persaingan sehat, dan keadilan; serta menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan. Pancasila sebagai etika sosial dan budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan tolong menolong di antara sesama manusia dan anak bangsa. Senapas dengan itu juga menghidupkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu, perlu dihidupkan kembali budaya keteladanan yang harus dimulai dan diperlihatkan contohnya oleh para pemimpin pada setiap tingkat dan lapisan masyarakat. Pancasila sebagai etika penegakan hukum dan berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial (social order), ketenangan, dan keteraturan hidup bersama, ketertiban masyarakat hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang ada. Keseluruhan aturan hukum apabila ditaati oleh seluruh masyarakat akan menjamin tegaknya supremasi hukum, terlaksananya pemerintahan berdasarkan hukum. Hal ini sejalan dengan kehendak bersama menuju kepada pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Pancasila sebagai etika keilmuan diwujudkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu berpikir rasional, kritis, logis dan objektif. Etika ini ditampilkan secara pribadi dan ataupun kolektif dalam perilaku gemar membaca, belajar, meneliti, menulis, membahas, dan kreatif dalam menciptakan karya-karya baru, serta secara bersama-sama menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan etika keilmuan dan kedisiplinan akan menjadikan kemanfaatan bagi kehidupan ilmu yang amaliah, amal yang ilmiah. Pancasila sebagai sistem etika, manakala dijadikan acuan dalam kehidupan maka nilai-nilai Pancasila yang tercermin dalam norma-norma etik kehidupan berbangsa dan bernegara dapat kita amalkan. Untuk berhasilnya perilaku bersandarkan pada norma-norma etik kehidupan berbangsa dan bernegara, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai berikut. Proses penanaman dan pembudayaan etika tersebut hendaknya menggunakan bahasa agama dan bahasa budaya sehingga menyentuh hati nurani dan mengundang simpati dan dukungan seluruh masyarakat. Apabila sanksi moral tidak lagi efektif, 11
Pendidikan Pancasila

langkah-langkah penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan konsisten. Proses penanaman dan pembudayaan etika dilakukan melalui pendekatan komunikatif, dialogis, dan persuasif, tidak melalui pendekatan cara indoktrinasi. Pelaksanaan gerakan nasional etika berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat secara sinergik dan berkesinambungan yang melibatkan seluruh potensi bangsa, pemerintah ataupun masyarakat. Perlu dikembangkan etika-etika profesi, seperti etika profesi hukum, profesi kedokteran, profesi ekonomi, dan profesi politik yang dilandasi oleh pokok-pokok etika ini yang perlu ditaati oleh segenap anggotanya melalui kode etik profesi masing-masing. Mengkaitkan pembudayaan etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat sebagai bagian dari sikap keberagaman, yang menempatkan nilai-nilai etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di samping tanggung jawab kemanusiaan juga sebagai bagian pengabdian pada Tuhan Yang Maha Esa (Parwiyanto, 2010). Apakah anda telah memahami Pancasila sebagai sistem etika? Dialogkan dengan teman anda hal-hal berikut. Penyimpangan-penyimpangan apa saja yang terjadi dalam aktivitas politik dan pemerintahan, ekonomi, bisnis, dan hukum? Faktor-faktor apakah yang menjadi pendorong terjadinya penyimpangan dalam aktivitas politik dan pemerintahan, ekonomi dan bisnis, dan hukum? Menurut anda bagaimana solusinya? AJANG DIALOG

12
Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

Pancasila sebagai Paradigma Keilmuan Ekonomi, Politik, Hukum, dan Pendidikan Istilah paradigma sebagai suatu konsep pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962) dalam bukunya The structure of Scientific Revolution. Konsep paradigma ini kemudian dipopulerkan dalam teori sosial oleh Robert Freidrichs (1970). Kuhn (dalam Zamroni, 1988) mempergunakan istilah paradigma dalam tulisannya dengan tujuan untuk menentang asumsi yang berlaku umum di kalangan ilmuwan yang berpendirian bahwa perkembangan atas kemajuan ilmu pengetahuan itu terjadi secara kumulatif. Pandangan ini menurut Kuhn adalah suatu mitos yang harus dihilangkan. Kuhn berpendapat bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukan terjadi secara kumulatif tetapi secara revolusi. Ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh paradigma tertentu, yakni pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan, namun para ilmuwan tidak mengelakkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan (anomalies). Selama memuncaknya penyimpangan, suatu krisis akan timbul dan paradigma itu mulai disangsikan validitasnya, kemudian akan muncul revolusi dan akan muncul paradigma baru yang dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Kuhn tidak pernah merumuskan dengan jelas apa yang dimaksud dengan paradigma, nampaknya dia menggunakan istilah paradigma sebagai model pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan dalam perkembangannya istilah tersebut dipergunakan tidak kurang atas 21 cara yang berbeda. Oleh karena itu Masterman mengintroduksirnya menjadi 3 tipe paradigma, yaitu: paradigma metafisik ( metaphisical paradigm), paradigma sosiologis (sociological paradigm), dan paradigma konstruk (construct paradigm). Pada tahun 1970 Robert Fridrichs merumuskan pengertian paradigma sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Kemudian pada tahun 1975 George Ritzer membuat pengertian yang nampaknya lebih jelas dibandingkan dengan beberapa pengertian paradigma sebelumnya. Paradigma adalah suatu pandangan yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang/disiplin ilmu pengetahuan. Dengan demikian paradigma merupakan alat bantu bagi ilmuwan dalam merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh. Bertolak dari pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa paradigma adalah suatu jendela dimana seseorang akan menyaksikan fenomena, memahami, dan menafsirkan secara obyektif berdasarkan kerangka acuan yang terkandung di dalam paradigma tersebut, baik itu konsep-konsep, asumsi-asumsi, dan kategori-kategori tertentu. Oleh karena itu terhadap suatu fenomena yang sama, yang dilihat dari paradigma yang berbeda akan menghasilkan suatu kesimpulan yang berbeda. Contoh dalam ilmu sosial adalah teori Maltus dan teori Marx dalam memandang atau mengkaji masalah penduduk. Paradigma adalah suatu gambaran umum dari suatu subyek ilmu pengetahuan yang memberikan arah apa yang harus dikaji, pertanyaan apa yang harus digunakan, aturanaturan yang bagaimana yang harus diikuti untuk menginterpretasikan jawaban-jawaban yang telah diperoleh eksistensi suatu paradigma dalam masyarakat tergantung pada kebenaran yang ditampilkan oleh paradigma tersebut dalam menganalisis dan memprediksi fenomena. Bilamana paradigma tersebut memiliki kebenaran, maka akan dianut oleh suatu masyarakat. Masyarakat akan terus menggunakan paradigma tersebut untuk menganalisis dan melakukan prediksi kehidupannya di masa yang akan datang berdasar hasil kajian yang dilakukan dengan menggunakan paradigma tersebut. Bilamana terjadi sebaliknya, yaitu suatu kondisi dimana suatu paradigma tidak mampu menunjukkan kebenarannya dalam menganalisis dan memprediksi suatu 13
Pendidikan Pancasila

fenomena, maka paradigma tersebut akan ditinggalkan/dicampakkan oleh masyarakat. Bilamana terjadi hal yang seperti ini Kuhn (1969) menyebutnya dengan scientific revolution. Dengan demikian paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Pancasila merupakan paradigma ilmu ekonomi. Economics mempelajari tentang perbuatan manusia yang memiliki kebutuhan (need) hidup dan bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidup. Ilmu ekonomi juga mengejar terpenuhinya kebutuhan hidup. Jika kebutuhan hidup terpenuhi, maka bahagialah manusia. Economics mungkin hanya mengejar pemenuhan kebutuhan materi, kebutuhan lahir. Pancasila sebagai paradigma keilmuan ekonomi menekankan tentang perbuatan manusia dalam mengejar kebahagiaan hidup, tidak hanya aspek lahir, tetapi juga aspek batin. Pemenuhan kebutuhan hidup tidak harus menggunakan adagium, tujuan menghalalkan cara. Seharusnya pemenuhan kebutuhan hidup mengacu pada moralitas. Ekonom mungkin sempurna dalam profesi ekonominya, namun apakah dia juga sempurna sebagai manusia, dan layak disebut manusia. Pancasila adalah paradigma ilmu politik. Political science mempelajari perbuatan manusia sebagai homo politicus. Manusia memiliki nafsu atas kekuasaan (power). Secara ekstrim bagaimana manusia merebut kekuasaan, mempertahankan kekuasaan dan bagaimana menggunakan kekuasaan. Manusia menurut Thomas Hobbes: homo homini lupus. Pancasila sebagai paradigma ilmu politik menelaah perbuatan manusia dalam hubungannya dengan kekuasaan, dalam kaitannya tentang bagaimana seharusnya kekuasaan diperebutkan, dipergunakan tanpa mengabaikan moralitas (seharusnya) dan tidak menindas, yang kuat menekan yang lemah. Pancasila juga merupakan paradigma ilmu hukum. Ilmu hukum membicarakan tentang bagaimana seharusnya tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup (masyarakat). Ilmu hukum cenderung menekankan pada perbuatan luar dan legalitas-positif. Oleh karenanya, Pancasila sebagai paradigma keilmuan hukum menuntun secara etika lebih bersifat dalam (batin) pada kehendak dan pengadilan hati nurani ( conscience of man), sehingga tidak mengabaikan untuk mempelajari bagaimana hukum itu seharusnya disusun dan diinterpretasikan serta dilaksanakan. Pancasila adalah paradigma pendidikan. Pendidikan pada dasarnya adalah proses memanusiakan manusia. Pancasila sebagai paradigma pendidikan berarti pendidikan bukan sekedar usaha untuk mencerdaskan anak bangsa di bidang akademik, melainkan harus dapat membentuk karakter dan kepribadian peserta didik, sehingga menjadi generasi yang cerdas dan berakhlak mulia (good and smart generation). Suatu bangsa akan menjadi besar jika generasinya memiliki karakter yang baik dan pembentukan karakter ini hanya akan terjadi melalui proses pendidikan (Al Hakim, 2010:15).

14
Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

AJANG DIALOG COBA ANDA DIALOGKAN DENGAN KELOMPOK ANDA: Bahwa kemajuan Iptek, informasi , transporasi dan komunikasi telah membawa kemajuan dan kemerosotan, Bagaimana Pancasila menjadi spirit dalam memajukan IPTEKICT di Indonesia? Dapatkah IPTEKICT dibangun berbasis nilai-nilai Pancasila? coba kalian analisis, nilai demi nilai!

Pancasila sebagai Ideologi Terbuka Secara etimologi kata ideologi berasal dari bahasa yunani idea artinya raut muka, gagasan, buah pikir dan logika. Hal ini berarti ajaran. Pertama kali istilah ideologi ini diintrodusir oleh A. Destult de Tracy (1836). Ideologi merupakan bagian dari filsafat; ilmu tentang cita-cita, gagasan atau buah pikiran (idein=melihat, logia=kata, ilmu atau ajaran). Mengutip pendapat Alfian, ideologi adalah pandangan hidup atau filsafat yang berisi serangkaian nilai-nilai (norma) atau sistim nilai dasar yang bersifat menyeluruh dan mendalam yang dimiliki suatu masyarakat atau bangsa sebagai wawasan atau pandangan hidup mereka. Nilai-nilai dasar tersebut biasanya bersumber pada budaya dan pengalaman sejarah masyarakat atau bangsa, berakar dan hidup dalam realita kehidupan mereka, terutama pada waktu mereka melakukan konsensus untuk menjadikannya ideologi. Pengertian kata ideologi secara harfiah berarti a system of ideas yakni suatu rangkaian ide yang terpadu menjadi satu. Dalam perkembangannya terdapat banyak pengertian tentang ideologi yang dikemukakan para pakar. Poespowardojo (1992: 47) berpendapat ideologi sebagai kompleksitas pengetahuan dan nilai yang secara keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang (masyarakat) untuk memahami jagat raya dan bumi seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengolahnya. Thompson (1984) menjelaskan bahwa ideologi adalah seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang diorganisasi menjadi suatu sistem yang teratur. Anthony (dalam Chappy dan Suparlan, 1982) mengemukakan bahwa ideologi merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatis maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik. Dcngan demikian ideologi merupakan seperangkat prinsip pengarahan (guiding principle) yang dijadikan dasar. Memberi arahan dan tujuan yang akan dicapai di dalam melangsungkan dan mengembangkan kehidupan bangsa dan negara serta mencakup seluruh aspek eksistensi manusia. Horton & Hunt (1984: 250) menjelaskan ideologi sebagai suatu sistem gagasan yang menyetujui seperangkat norma. Sedangkan Newman (1973: 52) memberi pengertian ideologi sebagai seperangkat gagasan yang menjelaskan atau melegalisasikan tatanan sosial, struktur kekuasaan, atau cara hidup 15
Pendidikan Pancasila

dilihat dari segi tujuan, kepentingan atau status sosial dari kelompok atau kolektivitas di mana ideologi itu muncul. Mubyarto (1992:239) mengatakan bahwa ideologi adalah sejumlah doktrin, kepercayaan dan simbol-simbol kelompok masyarakat atau suatu bangsa yang menjadi pegangan dan pedoman kerja atau perjuangan untuk mencapai tujuan masyarakat bangsa itu. Menarik juga dikemukakan pandangan Tjokroamidjojo (1992: 285) yang menyitir pendapat Shill bahwa ideologi adalah keharusan untuk melaksanakan dalam sikap, perilaku dan perbuatan penganutnya, kemudian juga usaha dapat diundangkannya secara legal dan dihubungkan dengan suatu badan kelembagaan yang didirikan untuk merealisasikan pola kepercayaan tersebut. Secara umum pengertian ideologi adalah suatu kumpulan gagasan, ide, keyakinan serta kepercayaan yang bersifat sistematis yang mengarahkan tingkah laku seseorang dalam berbagai bidang kehidupan, seperti bidang politik (hukum, HAM dan Hankam), ekonomi, sosial, kebudayaan dan keagamaan (Wiyono, 2010: 3). Menurut Patmo Wahyono Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, falsafah hidup bangsa atau ideologi bangsa diharapkan mampu memberikan stabilitas arah dalam hidup berbangsa, sekaligus memberikan dinamika gerak mewujudkan cita-cita. Apapun definisinya, ideologi adalah gagasan, cita-cita, dan nilai dasar yang membentuk sistem nilai yang integral, mendasar (radikal) sebagai pencerminan pandangan hidup suatu bangsa, berbentuk kepercayaan politik yang kokoh sebagai hasil kemauan bersama dan menjadi landasan tangguh serta arah yang jelas dalam mencapai cita-cita bersama. Ideologi yang berisi konsep-konsep abstrak terjadi melalui proses inkrimental, secara berangsur-angsur, tumbuh dan berkembang bersama tumbuh berkembangnya masyarakat. Masyarakat mengakui adanya nilai-nilai dasar sebagai suatu kebenaran, yang kemudian menjadi pegangan hidup bersama. Dapat pula melalui proses kontemplasi cendekiawan yang kemudian dijabarkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Winarno, 2007: 4). Pada lazimnya ideologi mengandung dinamika internal, selalu memperbarui diri atas makna yang terkandung di dalamnya, sehingga selalu relevan dengan tantangan jaman, tanpa mengingkari hakekat jati diri banga itu sendiri. Pada gilirannya relevansi ideologi dengan masyarakat menjadi semakin signifikan mantap dan mapan, serta semakin kokoh. Hal yang demikian hanya mungkin terjadi apabila suatu ideologi berisikan nilainilai esensial, fundamental dan berkualitas. Jika kondisi demikian kemudian didukung kesadaran tinggi masyarakat yang memiliki persepsi, sikap dan perilaku yang memadai, kemampuan mengembangkan pikiran-pemikiran baru yang relevan, maka kebesaran dan kejayaan bangsa tinggal menunggu waktu. Dari berbagai pengertian ideologi tersebut, maka dapat disarikan bahwa ideologi sebagai seperangkat ide dasar masyarakat, bangsa yang dijadikan pcgangan dalam mencapai tujuan atau cita-cita bersama. Karakteristik ideologi sebagai pandangan masyarakat dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) ideologi seringkali muncul dan berkembang dalam situasi krisis; (2) ideologi memiliki jangkauan yang luas, beragam dan terprogram; (3) ideologi mencakup beberapa strata pemikiran dan panutan; (4) ideologi memiliki pola pemikiran yang sistematis; (5) ideologi cenderung eksklusif, absolut dan universal; (6) ideologi memiliki sifat empiris dan normatif; (7) ideologi dapat dioperasionalkan dan didokumentasikan konseptualisasinya; dan (8) ideologi biasanya terjalin dalam gerakan-gerakan politik (Hidayat, 200l). Dengan karakterislik demikian ideologi memiliki fungsi antara lain sebagai berikut: (1) norma-norma yang menjadi pedoman bagi individu, masyarakat, atau bangsa untuk melangkah dan bertindak; (2) kekuatan yang mampu memberi semangat dan motivasi individu, masyarakat, dan bangsa 16
Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan; dan (3) sebagai upaya untuk menghadapi berbagai persoalan yang sedang dan akan dihadapi seseorang, masyarakat, dan bangsa di segala aspek kehidupan. Terdapat berbagai teori tentang ideologi sebagaimana dikemukakan Hidayat (2001: 84) sebagai berikut. Pertama adalah teori idealis. Teori idealis dikembangkan oleh Hegel yang mengemukakan bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari kemampuan pikirnya. Interaksi keduanya menciptakan perilaku dan pranata-pranata di sekitarnya. Kedua adalah teori potential. Teori ini berpandangan bahwa dengan ideologi manusia akan berjuang untuk mendapatkan posisi kekuasaan, mempertahankan status quo suatu kekuasaan, menggulingkan kekuasaan, atau mengacaukan ketertiban masyarakat dan budayanya. Ketiga adalah teori materialis. Teori ini berpandangan bahwa ideologi secara rasional dapat dijadikan dan dikembangkan untuk kepuasan dan kopentingan ekonomi dan sosial. Dengan dasar pemikiran ini masyarakat, bangsa , dan penguasa dapat berkeinginan atau berpikir secara sistematis untuk mempertahankan status quo kekuasaan, kesejahteraan dan kepentingan kelas atau golongan. Makna Ideologi bagi Negara Istilah negara berasal dari bahasa inggris state, bahasa Belanda staat, bahasa Prancis etat yang berarti sesuatu yang bersifat tetap dan tegak. Terdapat banyak pengertian atau definisi tentang negara scbagaimana dikemukakan Plato bahwa negara adalah manusia dalam ukuran besar. Logeman berpendapat negara pada hakikatnya merupakan organisasi kekuasaan yang menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut bangsa. Marx Weber berpendapat negara adalah kewenangan untuk memonopoli penggunaan kekuasaan fisik. Sedangkan Hegel mendefinisikan negara sebagai organisasi kesusilaan yang timbul karena terjadinya perpaduan individual. Pendapat berbeda dikemukakan Hans Kelsen yang menyatakan negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama, suatu tata paksa. Dari banyak definisi ini dapat diambil pengertian umum bahwa negara merupakan suatu organisasi kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk mengatur kehidupan bersama suatu bangsa dalam wilayah tertentu, dalam mencapai tujuan hidup yang dicita-citakan bersama. Dalam rangka mencapai tujuan hidup bersama mencapai kesejahteraan, keamanan dan ketcntcraman diperlukan suatu pandangan dan pegangan hidup bcrsama yakni segala gagasan dan ide yang akan menjawab permasalahan yang bcrkaitan dengan hidup bersarna seluruh warga masyarakat, warga bangsa dan negara. Pandangan hidup kelompok inilah yang dalam perkembangannya menjelma menjadi filosofische gronsdslag bagi negara yang didirikannya, yang terjelma dalam suatu tata nilai yang dicita-citakan bangsa tersebut Dengan demikian makna ideologi dalam negara adalah sebagai kesatuan dari gagasan, cita-cita dan ide-ide dasar dari segala aspek kehidupan manusia di dalam kehidupan berkelompok. Peran dan posisi ideologi bagi suatu negara sangat penting karena menggambarkan dasar negara, tujuan negara sekaligus proses pencapaian tujuan negara. Bagi negara Indonesia tujuan negara secara material dirumuskan sebagai melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial harus diarahkan kepada terwujudnya masyarakt yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan sesuai dengan semangat dan nilai-nilai ideologinya yakni Pancasila. Demikian juga dengan proses pencapaian tujuan tersebut dan perwujudannya mulai dari perencanaan, pengambilan kebijaksanaan, keputusan politik tetap harus 17
Pendidikan Pancasila

memperhatikan dimensi-dimensi yang tercermin dalam watak dan wawasan Pancasila. Dengan demikian makna ideologi Pancasila bagi negara kita jelas, yakni sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, keyakinan dan nilai-nilai bangsa Indonesia yang secara normatif perlu diimplementasikan dalam kehidupan nyata bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perbandingan Ideologi Pancasila dengan Ideologi Lain Kehidupan kenegaraan suatu bangsa pada hakikatnya merupakan ide atau gagasan bangsa yang bersangkutan, yang mengejawantah dalam kehidupan kemasyarakatan maupun kenegaraannya. Agar pemahaman tentang ideologi Pancasila semakin mendalam ada baiknya dilakukan perbandingan antara ideologi Pancasila dengan ideologi lainnya antara lain liberalisme dan sosialisme. Liberalisme adalah paham yang mengutamakan kemerdekaan individu sebagai pangkal dan pokok dari kebaikan hidup. Dengan demikian liberalisme lebih menekankan pada manusia sebagai individu dengan masalah hak-hak asasi, kemerdekaan, kebebasan dan lain-lain. Yang terpenting dalam hidup dan kehidupan ini adalah individu sehingga masyarkat dan negara harus mementingkan individu, karena masyarakat terdiri dari individu-individu dan keberadaan masyarakat sebagai akibat adanya individu. Pada hakikatnya liberalisme timbul sebagai reaksi terhadap penindasan yang dilakukan kaum bangsawan dan agama di zaman monarki absolut. Oleh karena itu, orang ingin melepaskan diri dari kekangan bangsawan dan agama serta mengumumkan kemerdekaan individu. Implementasi liberalisme meliputi liberaliasme di bidang politik, ekonomi, dan agama. Pada bidang politik, negara terbentuk atas individu, oleh karenanya individulah yang berhak menentukan segalanya bagi negara. Kekuasaan tertinggi (kedaulatan) harus pada individu, ini berarti kedaulatan ada pada rakyat. Negara terdiri dari individu dan kemerdekaan individu adalah utama, sehingga tiap negara harus merdeka tidak boleh ditindas oleh negara mana pun dan siapa pun. Negara berhak untuk menentukan nasibnya sendiri (self determination). Pada bidang ekonomi, individu mengetahui segala kebutuhan hidupnya sendiri dari pada orang lain maupun negara. Apabila tiap individu diberi kemerdekaan untuk mendapat kebutuhannya, pasti kebutuhan masyarakat akan terpenuhi. Maka perlu diterapkan ekonomi bebas "laisser faire, laisser passer, le monde van de Iui-meme" produksi bebas, perdagangan bebas, hukum kodrat alam menciptakan harmoni dunia. Berdasarkan teori Adam Smith apabila setiap individu dapat kebebasan untuk meningkatkan perekonomiannya, maka akan tercipta pula kesejahtetaan masyarakat secara keseluruhan. Pada bidang agama, liberalism berpendirian bahwa individu harus merdeka untuk memilih sendiri apa pun yang baik, atau buruk baginya, maka mereka harus merdeka dalam beragama. Sosialisme adalah paham yang menghendaki suatu masyarakat disusun secara kolektif (oleh kita semua, untuk kita semua), agar menjadi masyarakat yang bahagia. Menurut Soebantardjo (1954: 220) sosialisme bertitik tolak pada masyarakat dan tidak pada individu, dengan demikian sosialisme merupakan lawan dari liberalisme. Berdasarkan sejarah, sosialisme merupakan reaksi terhadap liberalisme abad XIX. Paham ini diciptakan oleh Karl Marx dengan teori Historis Materialism. Teori ini dapat dijelaskan dalam tiga bagian. Pertama, suatu perubahan metode ilmiah adanya perubahan yang disebabkan adanya peningkatan produksi atau fakta ekonomi, suatu ajaran politik adanya perjuangan kelas, kekuatan, kepercayaan. Kedua, ajaran marxisme bersifat revolusioner dan dilakukan dengan kekerasan. Namun demikian pelaksanaannya dapat dikombinasikan dengan 18
Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

langkah, antara lain penolakan situasi masa lampau, analisis yang cenderung negatif terhadap kondisi sekarang, dan rencana jangka pendek melalui tindakan revolusioner. Ketiga, adanya pembatasan hak milik pribadi atau adanya prinsip sama rasa sama rata. Di samping itu menurut teori marxisime jalan sejarah ditentukan oleh material secara dialektika (these-antithese-sin-these) menuju masyarakat yang sosialitis. These (affirmation) menghancurkan keadaan semula, antithese (negation) menggerakkan kekuatan yang konfliktual, sinthesa (unification) menciptakan situasi baru (Hidayat, 2001: 89). Pada perkembangannya terjadi perpecahan antara kaum sosialis sehingga menjadi dua aliran yakni sosialis-demokratis dan komunisme. Sosialis-demokratis atau disingkat sosialisme memiliki karakteristik untuk mencapai masyarakat sosialis memilih jalan evolusi; milik individu diperbolehkan, hanya perusahaan yang penting bagi masyarakat harus milik negara; dan distribusi dan konsumsi didasarkan atas jasa. Terdapat beberapa pandangan tentang komunisme, antara lain marxisme strukturalis, marxisme instrumentalis, dan marxisme pluralis. Marxisme strukturalis yakni paham yang memandang negara sebagai penjaga stabilitas sosial politik. Marxisme instrumentalis yakni paham komunis yang memandang negara sebagai alat bagi kelas yang berkuasa. Dan Marxisme pluralis yakni paham komunis yang memandang bahwa semua kelompok individu dapat mempengaruhi kekuasaan negara. Adapun karakteristik komunisme adalah (a) untuk mencapai masyarakat sosialis dengan jalan revolusi, (b) milik individu dilarang, (c) distribusi dan konsumsi didasarkan pada kebutuhan (distrtbution and consumtion by need). Sering kali komunisme sama artinya dengan sosialisme, tetapi tahun 1918 ketika Lenin memisahkan diri dari kaum sosialis yang dituduh menyalahi ajaran Karl Marx karena mau bekerjasama dengan kaum kapitalis, maka partai Lenin menyebutnya sebagai partai komunis, dan sejak itu nama komunisme dikenal hingga kini. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka Pancasila sebagai ideologi terbuka telah menjadi wacana sekitar tahun 1985, meskipun sebenarnya secara tersirat sifat terbuka dari ideologi Pancasila telah disemangati oleh para Founding Father Mother kita dalam rumusan UUD 1945 terutama pada penjelasan UUD 1945. Menurut Moerdiono (1992:400) terdapat beberapa faktor yang mendorong pemikiran mengenai Pancasila sebagai ideologi terbuka antara lain. Pertama, suatu realita sosial yang terjadi bahwa proses pembangunan nasional, terjadi perkembangan masyarakat secara cepat, sehingga persoalan-persoalan yang muncul tidak selalu dapat dijawab secara ideologi sesuai dengan pemikiran-pemikiran ideologi sebelumnya. Misalnya globalisasi ekonomi saat ini, peran negara tidak lagi dominan, atau dengan menggunakan istilah Noziex execive, atau Gramsci menyebutnya "hegemoni", karena peran pemerintah mulai terkurangi oleh peran organisasi non-pemerintah, ataupun badan usaha swasta, sehingga gejala ini memerlukan kejelasan sikap secara ideologis. Kedua, realita bangkrutnya ideologi tertutup marxisme-leninisme/komunisme. Jika dengan ideologi terbuka pada dasarnya berarti ideologi yang berinteraksi secara dinamis dengan pcrkembangan lingkungan sekitarnya, maka dengan istilah ideologi tertutup dimaksudkan ideologi yang merasa sudah mempunyai seluruh jawaban terhadap kehidupan ini, sehingga yang perlu dilakukan adalah melaksanakan secara dogmatik. Ketiga, pengalaman sejarah politik Indonesia di masa lampau ketika pengaruh komunisme sangat besar. Karena pengaruh ideologi komunisme yang pada dasarnya bersifat tertutup, Pancasila pernah merosot menjadi semacam dogma yang kaku. 19
Pendidikan Pancasila

Tidak lagi dibedakan antara aturan-aturan pokok yang memang harus dihargai sebagai aksioma yang kita sepakati bersama. Dengan aturan-aturan pelaksanaannya yang seyogyanya bisa disesuaikan dengan perkembangan. Dalam suasana kekakuan tersebut, Pancasila tidak lagi tampil sebagai ideologi yang menjadi acuan bersama, tetapi sebagai senjata konseptual untuk menyerang lawan-lawan politik. Kebijaksanaan pemerintah disaat itu menjadi bersifat absolut, dengan konsekuensi perbedaan pendapat menjadi alasan untuk secara langsung dicap sebagai anti-Pancasila. Hal itu jelas tidak benar dan perlu dikoreksi secara mendasar Keempat, tekad kita untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kualifikasi dalam hidup "bermasyarakat, berbangsa dan bernegara" menunjukkan bahwa ada kawasan kehidupan yang bersifat otonom. Oleh karena itu, secara tidak langsung hal itu mengacu pada nilai Pancasila. Salah satu di antaranya adalah nilai-nilai religi. Peranan Pancasila dalam religi adalah mengayomi, melindungi, dan mendukungnya dari luar. Agama serta kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu bahkan diharapkan menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi pembangunan nasional yang merupakan pengamalan Pancasila itu. Latar belakang pentingnya Pancasila sebagai ideologi terbuka juga tidak terlepas dari upaya agar tetap relevan dengan tututan dan perkembangan zaman, sebagaimana dikemukakan oleh Alfian (1992:192) yang mengemukakan bahwa ideologi perlu mengandung tiga dimensi penting di dalam dirinya agar supaya dapat memelihara relevansinya yang tinggi/kuat terhadap perkembangan aspirasi masyarakatnya dan tuntutan zaman, harus mengandung (1) dimensi realita, (2) dimensi idealisme, dan (3) dimensi fleksibilitas. Bagaimana ideologi Pancasila dapat dianalisis sebagai berikut. Pertama, dimensi realita, ini berarti keadaan nyata dalam pengamalan Pancasila. Pancasila sebagai nilai-nilai dasar bersumber dari nilai-nilai yang riil hidup di dalam masyarakat Indonesia, terutama saat Pancasila lahir, sehingga masyarakat benar-benar merasakan dan menghayati nilainilai dasar tersebut adalah milik mereka bersama, Apabila dianalisa Pancasila mengandung nilai-nilai dasar seperti sifat gotong royong atau kebersamaan yang direkatkan dan dijiwai oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha esa, rasa kemanusiaan, semangat persatuan, musyawarah untuk mufakat, dan menjunjung rasa keadilan sosial tidak lain sebagai nilai yang riil ada dalam masyarakat Indonesia. Kedua, dimensi idealisme artinya suatu ideologi perlu mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara. Dengan idealisme atau cita-cita yang terdapat dalam ideologi yang dihayati suatu masyarakat, bangsa megetahui ke arah mana bangsa ingin membangun kehidupan yang diinginkannya. Oleh karena itu cita-cita atau idealisme tersebut harus "membumi" dalam arti mengandung ekspektasi yang memungkinkan untuk direalisasikan dalam kehidupan nyata, bukan angan-angan yang hanya menjadi "utopia" belaka. Apabila kita analisa Pancasila secara logika mengandung dimensi idealisme, karena dalam Pancasila terkandung cita-cita yang melandasi sekaligus menjadi tujuan kehidupan bersama kita. Ketiga, dimensi fleksibilitas atau dimensi pengembangan yakni dimensi yang memungkinkan berkembangnya pemikiran-pemikiran baru tentang ideologi tersebut tanpa menghilangkan hakikat yang terkandung di dalam dirinya. Dimensi pengembangan ideologi Pancasila beserta nilai-nilai dasarnya tetap berbunyi dan komunikatif dengan masyarakat yang terus berkembang. Dan ini hanya memungkinkan apabila ideologi bersifat terbuka dan demokratis, karena ideologi yang terbuka akan banyak menemukan, meletakkan bahkan mempertaruhkan relevansi keberhasilannya mendorong masyarakatnya 20
Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

untuk terus mengembangkan pemikiran baru tentang nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya. Dalam era yang mengglobal sekarang ini Pancasila akan lebih memberi orientasi ke depan, di mana kemajuan iptek demikian pesat, arus komunikasi demikian cepat sehingga interdepedensi bangsa-bangsa di dunia semakin kuat merupakan tantangan besar bagi eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara. Untuk itu Pancasila perlu tampil sebagai ideologi terbuka, tanpa mengubah nilai-nilai dasar, namun mampu mengimplementasikannya secara konkret, sehingga mampu memecahkan segala persoalanpersoalan baru yang lebih kompleks yang sedang dan akan dihadapi bangsa Indonesia. Bilamana ada kata ideologi terbuka, berarti ada ideologi tertutup. Makna dari ideologi terbuka adalah sebagai suatu sistem pemikiran terbuka, demikian juga sebaliknya. Tabel 1 disajikan perbandingan antara ideologi terbuka dan ideologi tertutup. Tabel 2.1 Perbandingan antara Ideologi Terbuka dan Ideologi Tertutup Ideologi terbuka merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat berupa nilai-nilai dan cita-cita yang berasal dari dalam masyarakat sendiri, hasil musyawarah dan konsensus masyarakat, milik seluruh rakyat. Oleh karena itu sekaligus sebagai kepribadian masyarakat bersifat dinamis dan reformis. Ideologi tebuka senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan aspirasi, pemikiran serta akselerasi dari masyarakat dalam mewujudkan cita-citanya untuk hidup berbangsa dalam mencapai harkat dan martabat kemanusiaan. isinya tidak operasional, menjadi operasional bila diwujudkan dalam konstitusi Ideologi tertutup bukan merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat. Merupakan cita-cita satu kelompok orang yang mendasari suatu program untuk merubah dan membaharui masyarakat. Dibenarkan atas nama ideology, masyarakat harus berkorban. Kepercayaan dan kesetiaan ideologis yang kaku bukan berupa nilai-nilai dan cita-cita. Terdiri atas tuntutan konkrit dan operasional yang diajukan secara mutlak adanya ketaatan yang mutlak, bahkan kadang dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan Atas nama ideologi dibenarkan pengorbanan-pengorbanan dibebankan kepada masyarakat

Pancasila merupakan ideologi terbuka, karena berbagai karakteristik dari ideologi terbuka yang dikemukakan di atas dimiliki oleh Pancasila dan tidak terbantahkan. Hal ini dibuktikan oleh kedudukan Pancasila bagi masyarakat Indonesia sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa yang bersumber dan digali dari nilai-nilai dasar, moral dan budaya masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai suatu ideologi yang bersifat terbuka, reformatif dan dinamis dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka diklasifikasi menjadi nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis. Nilai dasar yaitu hakekat kelima sila Pancasila. Nilai dasar ini merupakan esensi dari sila-sila Pancasila 21
Pendidikan Pancasila

yang bersifat universal, sehingga dalam nilai dasar tersebut terkandung cita-cita, tujuan serta nilai-nilai yang baik dan benar. Nilai dasar tersebut tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu Pembukaan UUD 1945 merupakan suatu norma dasar yang merupakan tertib hukum tertinggi, sebagai sumber hukum positif dan memiliki kedudukan sebagai pokok kaidah negara yang fundamental. Nilai dasar ini bersifat tetap dan terlekat pada kelangsungan hidup negara. Nilai dasar ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal UUD 1945. Nilai instrumental merupakan arahan, kebijakan, strategi, sasaran serta lembaga pelaksanaannya. Nilai instrumental ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai dasar ideologi Pancasila, yang penjabarannya disesuaikan dengan perkembangan jaman, seperti penetapan GBHN, UU, struktur kelembagaan, dan sebaganya. Nilai praktis yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu realisasi pengamalan yang bersifat nyata, dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam realisasi praksis inilah penjabaran nilai-nilai Pancasila senantiasa berkembang dan selalu dapat dilakukan perubahan dan perbaikan (reformasi) (Kaelan, 2003). Menurut Winarno (2007: 6), disebut terbuka sebab ideologi Pancasila bersumber pada kondisi obyektif, konsep, prinsip dan nilai-nilai orisinal masyarakat Indonesia sendiri. Prinsip-prinsip tersebut adalah sila-sila Pancasila itu sendiri yang memuat doktrin mendasar tentang relegiusitas, humanitas, nasionalitas, suveregnitas, dan sosialitas. Religiositas mengandung ide dan fundamental value tentang hubungan manusia dengan dzat mutlak, apapun predikatnya. Humanitas mengandung ide dan fundamental value tentang posisi manusia dengan sesamanya. Interdependensi antar manusia sejalan dengan harkat dan martabat dalam menciptakan justice dan keberadaannya sebagai makhluk tertinggi ciptaanNya. Nasionalitas mengandung ide dan fundamental value bahwa insan yang berada diatas geografis nusantara ini disebut dan layak sebagai bangsa. Loyalitas tunggal, heroisme, patriotisme, bela negara merupakan hubungan mutlak warganagera dengan nation-state Indonesia. Soverenitas mengandung ide dan fundamental value bahwa yang berdaulat di NKRI adalah rakyat. Negara Indonesia negara demokrasi, sehingga segala sesuatunya berasal dari oleh dan untuk rakyat. Karena Indonesia roh demokrasinya Pancasila, maka memiliki ciri khas, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sosialitas mengandung ide dan fundamental value tentang manusia di seberang jembatan emas. Kemerdekaan yang menjadi tujuan berdirinya NKRI adalah bangsa yang berbahagia sejahtera, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukanlah keadilan perorangan atau sekelompok. Semua untuk semua, satu untuk semua, semua untuk satu. Reposisi dan Reaktualisasi Nilai-nilai Pancasila di Era Reformasi dan Era Global Pada era reformasi dan era global ini bangsa ini merasakan, menyaksikan mempertanyakan keberadaan Pancasila. Sering kali kita mendengar ungkapan masih adakah Pancasila, masih terpakaikah Pancasila. Pertanyaan ini mungkin tidak salah, namun sungguh sangat memprihatinkan, menyakitkan karena pertanyaan tersebut menjadi indikator bahwa kepercayaan akan dasar negara Pancasila dan pandangan hidup bangsa telah lenyap dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, padahal ia sesungguhnya merupakan ideologi bangsa/negara Indonesia yang terwujudkan sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, dasar negara kesatuan Republik Indonesia, dan tujuan negara/bangsa Indonesia. 22
Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

Ketiadaan Pancasila ini setidaknya adanya tiga fenomena, yang dapat dilihat dan dipertontonkan dalam praktek kehidupan berikut. Pertama adalah praktek politik kenegaraan dan pemerintahan. Dalam penyelenggarakan aktivitas politik dan pemerintahan, Pancasila tidak lagi menjadi asas tunggal, maka sejak reformasi yang menonjol kini adalah aktualisasi ideologi-ideologi-aliran/ideologi-ideologi-partisan yang ditunjukan oleh pribadi-pribadi, partai-partai politik, ormas-ormas, daerah-daerah, dan lain sebagainya. Mereka cenderung mendahulukan kepentingan pribadi, kelompok, golongan, atau daerah daripada kepentingan bangsa dan negara untuk bersama-sama mengatasi krisis bangsa yang multidimensional. Praktek politik yang diwarnai dengan dagang sapi tidak lagi mencerminkan amanah yang diberikan rakyat. Kedua adalah praktek ekonomi nasional. Kebijakan dan penyelenggaraan ekonomi nasional dijiwai dengan materialistis, yang menonjol kini adalah aktualisasi jual-beli uang, lobi bisnis politik-uang, perebutan jabatan publik ekonomis, dan lain sebagainya yang ditunjukan oleh para konglomerat, para pialang saham (baik pemain domestik maupun internasional), para politisi/partisan partai politik, atau yang lainnya yang seringkali mengabaikan kepentingan yang lebih luas, lebih besar, dan lebih jauh ke depan untuk kepentingan bangsa dan negara. Neoliberalisme menjadi ideologi baru dalam penyelenggaraan ekonomi nasional, yang memberikan peran besar pada pasar, telah menjauhkan cita-cita mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan makmur. Ketiga adalah praktek sosial kemasyarakatan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatanpun tampak egosentrisme, individualis, dan meninggalkan kerukunan, dan kebersamaan. Kompetisi dan kompetensi menjadi alasan dalam menata kehidupan kemasyarakatan, yang telah mulai melunturkan nilai-nilai luhur mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Agama sering dijadikan topeng untuk membenarkan tindakan anarkis, dan tindakan tidak manusiawi seolah nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan tidak dimiliki bangsa ini. Timbul pertanyaan besar dalam pikiran kita Bagaimana mengatasinya? Secara ideologis, jawabannya adalah dengan cara reposisi, reinterpretasi dan reaktualisasi nilainilai Pancasila. Agar reposisi, reinterpretasi dan reaktualisasi Pancasila itu tepatyang pada akhirnya akan dapat memahami UUD 1945 secara benar, diperlukan pemahaman Pancasila dan pembudayaan kembali melalui knowing Pancasila, doing Pancasila, dan building Pancasila. Knowing Pancasila, yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan empiris dan objektif dari sejarah nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sejak budaya suku-suku asli sampai dengan saat menjelang tanggal 18 Agustus 1945 ketika Pancasila disahkan oleh PPKI. Ini diperlukan untuk lebih meyakini bahwa Pancasila itu milik bangsa Indonesia sejak dahulu kala yang lahir dan berkembang di dalam sejarah manusia dan bangsa Indonesia. Doing Pancasila yang dilakukan berangkat dari keyakinan bahwa ideologi Pancasila itu berguna dalam menjawab dan mengatasi permasalahan bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang, yaitu terutama permasalahan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan: (1) yang tidak terjawab oleh masing-masing agama di Indonesia, (2) yang tidak terjangkau oleh masing-masing budaya-lokal, oleh ideologi-ideologi partisan di Indonesia, atau oleh ideologi-ideologi global di dunia, (3) yang tidak terakomodasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, (4) yang tidak terpikirkan oleh ilmuwan/pemimpin/ tokoh bangsa di Indonesia, dan (5) yang belum teralami oleh hidup manusia/masyarakat Indonesia. Building Pancasila (repositioning, reintepreting) adalah membangun Pancasila dengan memposisikan kembali kedudukan dan fungsi Pancasila yang sedang ditantang 23
Pendidikan Pancasila

oleh globalisasi ilmu pengetahuan dan informasi, liberalisasi ekonomi/perdagangan, globalisasi politik dan hukum/HAM yang liberal (west-vision), standardisasi kualitas lingkungan hidup (yang ramah lingkungan) global, dan seterusnya. Tegasnya, kini tidak bisa lagi memahami Pancasila dan UUD 1945 secara mengabaikan nilai-nilai budaya asli bangsa Indonesia, berpikir dan bersikap eksklusif seakan-akan pihak dirinya yang paling benar, dan menutup diri dari pengaruh globalisasi (Wiyono, 2010). PENUTUP Dalam era reformasi dan globalisasi, bangsa Indonesia harus menata kembali kembali kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, caranya dengan mereposisikan Pancasila dalam kedudukan dan fungsinya. Dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia sekarang ini, ada kecenderungan terjadinya desintegrasi bangsa serta lunturnya jiwa dan nilai-nilai luhur bangsa (Pancasila) baik karena faktor internal maupun karena pengaruh global. Situasi dan kondisi masyarakat Indonesia saat ini menjadikan kita sangat prihatin dan sekaligus mengundang kita untuk ikut bertanggung jawab. krisis moneter yang menjadi krisis politik, kepemimpinan, kepercayaan, krisis moral, krisi budaya, menjadikan masyarakat kita kehilangan orientasi nilai, hancur ekonominya, hancur suasana batinnya. Pancasila sebagai ideologi terbuka telah menjadi wacana sekitar tahun 1985, meskipun sebenamya secara tersirat sifat terbuka dari ideologi Pancasila telah disemangati oleh para Founding Father kita dalam rumusan UUD 1945 terutama pada penjelasan UUD 1945. Keterbukaan Pancasila sebagai ideologi diperlukan agar, bangsa ini mampu mengikuti perkembangan jaman. Sebab telah disadari akibat tekanan kekuatan transnasional kapitalistik, memunculkan indikasi lunturnya nilai-nilai Pancasila, identitas nasional dan eksistensi NKRI. Sebagai bangsa yang tidak ingin obyek dalam tata kehidupan global, maka pilihan yang tepat adalah berusaha memreposisi kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa, dan mereaktualisasi dan mereintepretasikan fungsi Pancasila, sebagai identitas dan kepribadian bangsa, sebagai sistem filsafat, sebagai sumber nilai dan sebagai sistem etika dalam politik dan pemerintahan, ekonomi nasional, penegakan hukum, dan keadilan, sosial budaya, dan sebagainya. Pengembangan keilmuan yang pada hakekatnya bertujuan meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan manusia, perlu memperhatikan nilai-nilai dasar Pancasila, sehingga pengembangan ilmu politik, tidak mengajarkan bagaimana memmperoleh, melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan, namun yang terpenting melaksanakan kekuasaan dengan penuh amanah, etis, dan demokratis. Ilmu ekonomi yang dikembangkan berbasis Pancasila akan mengutamakan kesejahteraan rakyat, tidak hanya mengejar kepentingan materi semata, yang hanya melahirkan homo economicus yang serakah, tapi yang memperhatikan kemakmuran bersama. Reposisi dan reaktualisasi Pancasila di era global, harus dimulai dari diri setiap individu, dan dikawal oleh political will negara, sehingga akan memantapkan bangsa Indonesia menyongsong masa depan yang lebih baik dengan tetap menjaga empat pilar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara kesatuan Republik Indonesia. Sebagai generasi muda, mahasiswa merupakan penerus pelaksana Pancasila di masa yang akan datang, meskipun demikian Pancasila tidak hanya diwariskan, namun perlu dibelajarkan Pancasila is not herited, but it is learned untuk itu yang harus mahasiswa lakukan adalah mempelajari dan memahami Pancasila, melakukan atau mengamalkan nilai-nilai luhur bangsa dalam kehidupan, dan membangun masyarakat 24
Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

Pancasila yang kritis, kreatis dan inovatif. Disarankan kepada mahasiswa untuk mengkaji Pancasila lebih dalam, untuk dapat memahaminya, sehingga memiliki tekad untuk mempertahankan dan melestarikan dan mengaplikasikannya.

DAFTAR RUJUKAN Alfian. 1992. Pancasila Sebagai Ideologi dalam Kehidupan Politik. Jakarta: BP-7 Pusat. Cahyono, C.H. & Alhahim, S. 1982. Ideologi Potitik, Yogyakarta: PT Hanindita. Depdiknas, 2006. Naskah Akademik Pembudayaan Nilai Pancasila . Jakarta: Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar Fraenkel, J.R. 1977. How to Teach About Values: An Analytic Approach. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Frondizi, R. 2001 Pengantar Filsafat Etika, Terjemahan Cuk Ananta Wijaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gandal, J.E. & Finn, E.S. 1992. Education for Democracy, Calabasas: CCE. Hadiwardoyo, P. 1990. Moral dan Masalahnya. Kanisius: Yogyakarta. Hakam, K.A. 2000. Pendidikan Nilai. Bandung: Value Press. Hakam, K.A. 2005. Nilai Sosial Budaya dalam Pendidikan Umum. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Hardiman, F.B. 2004. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik. Hartono & Hunt. 1987. Sosiologi. Jakarta: Erlangga. Hidayat, I. 2001. Teori-teori Politik. Malang: Penerbit Panti Asuhan Nurul Abyadh. Kartohadiprodjo, S. 1983: Pancasila dan/dalam Undang Undang Dasar 1945. Jakarta: Bina Cipta. Kelsen, H. 1973. General Theory of Law and State. New York: Russell & Russell. Kniker, C.K. 1977. You and Values Education. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company. Kohlberg, L. 1981. Essay on Moral Development, the Philosophy of Moral Development San Fransisco: Harper & Row Publisher, Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (LPPKB). 2005. Pedoman Umum Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Bernegara. Jakarta: PT Cipta Prima Budaya. Lickona, T. 1992. Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books. Mahkamah Konstitusi. 2009. Kongres Pancasila: Pancasila dalam Berbagai Perspektif. Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Mangunwijaya, Y.B. 1998. Menuju Republik Indonesia Serikat. Jakarta: Gramedia. Moerdiono. 1992. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka. Jakarta; BP-7 Pusat. Mubyarto. 1992. Ideologi Pancasila dalam Kehidupan Ekonomi. Jakarta: BF-7 Pusat. Newmann, F.M. 1975. Education for Citizen Action. California: Mc.Cutchan Publishing Corporation. Notonagoro. 1984. Pancasila Dasar Filsafat Negara. Jakarta: PT Bina Aksara. Notonagoro. 1971. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Bumi Aksara. Oesman, U. 1992. Pancasila Sebagai Ideologi. Jakarta: BP-7 Pusat. Parwiyanto, H. 2010. Pancasila sebagai sistem etika. (Online) (http://ulum.blog.com/index.php/ opini/pancasila-sebagai-sistem-etika.html/) 25
Pendidikan Pancasila

Poespowardojo, S. 1992. Pancasila sebagai ideologi Ditinjau dari Segi Pandangan Hidup Bersama. Jakarta: BP-7 Pusat. Poespowardojo, S. 1989. Filsafat Pancasila sebuah Pendekatan Sosio-Budaya. Jakarta: Gramedia. Puspoprodjo, W. 1999. Filsafat moral, Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Pustaka Grafika. Soebantardjo. 1959. Sari Sejarah. Yogyakarta: Bopkri. Sumaatmadja, N. 2002. Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi. Bandung: Alfabeta. Syam, M.N. 2000. Penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (Sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), (disertasi edisi II ), Malang: Penerbit Lab. Pancasila UM. Thompson, J.B. 1984. Studies in The Theory of Ideology Polity. New York: Oxford Press. Tjokroamidjojo, B. 1992, Pancasila Sebagai Ideologi Birokrasi/Aparatur Pemerintah. Jakarta: BP-7 Pusat. Wright, M.C. 1959. The Sociological Imagination. New York: Oxford University Press.

26
Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

Anda mungkin juga menyukai