Anda di halaman 1dari 3

Mata Rantai Penulisan Kitab Fikih Syafi’i

BincangSyariah.Com – Ada tradisi menarik di kalangan ulama lampau yang


kiranya sudah jarang kita temui di era sekarang. Tradisi menulis kitab yang berangkat
dari respon atas karya-karya guru atau ulama sebelumnya. Jika diperhatikan mata
akan didapati sebuah mata rantai penulisan kitab fikih syafi’i.
Jika kita membaca karya-karya ulama madzhab Syafi’i, misalnya, maka sering
kita jumpai kitab yang berbentuk matan. Dari matan tersebut kemudian muncul kitab
penjelasnya yang dinamakan syarah. Tidak berhenti di situ, sebagian kitab-kitab
syarah bahkan dikembangkan lagi oleh ulama setelahnya dengan memberikan
komentar yang kemudian dinamakan hasyiyah.
Di sisi lain terdapat juga kitab-kitab, baik matan, syarah, maupun hasyiyah
yang diringkas oleh seorang ulama yang populer disebut mukhtashar. Ada pula yang
kemudian di-nadzam-kan menjadi bait-bait indah agar mudah dihafal.
Tidak jarang dari nadzam tersebut kemudian dijelaskan lagi dalam bentuk
narasi menjadi sebuah kitab baru. Maka jangan heran jika mendapati sebuah kitab
yang diringkas menjadi mukhtashar, kemudian diperjelas menjadi syarah, lalu diberi
komentar menjadi hasyiyah, dan diringkas lagi menjadi mukhtashar.
Sekedar contoh, dalam madzhab Syafi’i terdapat empat kitab induk yang
menjadi pangkal ajaran-ajaran madzhab ini. Al-Umm, al-Imla’, Mukhtashar al-
Buwayti, dan Mukhtashar al-Muzani. Dua kitab pertama ditulis langsung oleh Imam
Syafi’i, sedangkan dua terakhir ditulis oleh muridnya; al-Buwayti dan al-Muzani.
Empat kitab tersebut menjadi pangkal munculnya kitab-kitab fikih madzhab
Syafi’i. Oleh al-Juwayni kitab-kitab tersebut dikombinasikan dalam karyanya yang
berjudul Nihayatul Mathlab fi Dirayatil Madzhab. Ada pula yang mengatakan bahwa
karya al-Juwayni ini merupakan syarah dari Mukhtashar al-Muzani.
Memang yang menjadi acuan untuk dijelaskan adalah kitabnya al-Muzani,
namun dalam syarah tersebut dapat kita temukan muatan isi yang ada di tiga kitab
lainnya. Maka kedua pendapat tersebut sama benarnya.
Pasca ditulisnya kitab Nihayatul Mathlab para ulama madzhab Syafi’i
mencukupkan untuk merujuk ke kitab tersebut. Oleh al-Ghazali kitab ini diringkas ke
dalam kitab yang berjudul al-Basith. Masih oleh orang yang sama, al-Basith diringkas
menjadi al-Wasith, al-Wasith menjadi al-Wajiz, dan yang terakhir ini diringkas
menjadi al-Khulashah.
Berangkat dari al-Wajiz, al-Rafi’i datang meringkasnya dengan nama al-
Muharrar. Kemudian al-Nawawi meringkas al-Muharrar menjadi Minhajut Thalibin,
dan diringkas lagi oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dengan judul Manhajut
Thullab.
Yang terakhir ini kemudian diberi penjelas oleh orang yang sama dengan judul
Fathul Wahhab dan kemudian dikomentari (hasyiyah) oleh dua ulama: Sulaiman bin
Muhammad al-Bujairomi dan Sulaiman bin Umar al-Jamal. Selain itu, Manhajut
Thullab juga diringkas oleh al-Jauhari menjadi al-Nahj.
Masih terkait dengan Minhajut Thalibin. Selain diringkas, kitab ini juga diberi
penjelas (syarah) oleh banyak ulama. Diantaranya al-Mahally dengan Kanzur
Raghibin, al-Haitami dengan Tuhfatul Muhtaj, al-Ramli dengan Nihayatul Muhtaj,
dan al-Syarbini dengan Mughnil Muhtaj.
Dari Kanzur Raghibin muncul karya komentar yang ditulis Qolyubi dan
Umairoh yang kemudian dikenal dengan Hasyiyatani. Sementara dari Tuhfatul
Muhtaj muncul dua kitab komentar: Hasyiyah Ibni Qosim al-Abbadi dan Hasyiyah al-
Syarwani.
Adapun dari Nihayatul Muhtaj muncul dua kitab kitab komentar yang ditulis
oleh al-Syibromalisi dan al-Maghribi. Sebenarnya masih ada ada kitab-kitab komentar
lainnya, hanya saja kurang populer di kalangan ulama.
Kembali lagi ke Imam al-Rafi’i. Selain meringkas, ia juga menulis dua kitab
syarah atas al-Wajiz-nya al-Ghazali: syarah sederhana tak bernama dan syarah tebal
dengan judul al-Aziz. Adapula yang menyebutnya al-Syarh al-Kabir.
Untuk syarah yang terakhir ini diringkas oleh al-Nawawi menjadi Raudlatut
Thalibin, yang kemudian diringkas lagi oleh setidaknya tiga ulama.
Pertama, Ibnu Muqri dengan karyanya yang berjudul Raudlut Thalib. Raudlut Thalib
ini diberi syarah oleh Syekh Zakariya al-Anshari dengan judul Asnal Mathalib dan
diringkas oleh Ibnu Hajar al-Haitami dengan judul al-Na’im, hanya saja kitab ini tidak
dapat kita temukan.
Kedua, al-Muzajjad dengan karyanya yang berjudul al-Ubab, yang diberi penjelas
oleh al-Haitami dengan judul al-I’ab. Hanya saja penulisan syarah ini belum
sempurna.
Ketiga, al-Suyuthi dengan judul al-Ghunayyah, yang di-nadzam-kan oleh orang yang
sama menjadi al-Khulashah. Tidak hanya itu. Selain al-Nawawi, ternyata kitab al-
Aziz-nya al-Rafi’i juga diringkas oleh Al-Qazwini dengan judul al-Hawi al-Shaghir,
yang di-nadzam-kan oleh Ibnul Wardi dengan judul al-Bahjah. Dan belakangan Imam
Zakariya al-Anshari menulis dua kitab syarah atas nadzam ini.
Selain kitab-kitab mukhtashar, syarah, dan hasyiyah, terdapat juga karya-karya
ulama madzhab Syafi’i yang meneliti sisi hadisnya. Mereka men-takhrij hadis-hadis
yang dituturkan dalam kitab tertentu kemudian meneliti kualitasnya.
Di antara ulama yang menekuni bidang ini adalah Ibnu Hajar al-Asqalani yang
menulis kitab al-Talkhish al-Habir sebagai kitab yang men-takhrij hadis-hadis yang
ada di kitab al-Syarh al-Kabir-nya al-Rafi’i.
Selain itu, Ibnu al-Mulaqqin juga menb-takhrij hadis-hadis yang ada di kitab
tersebut melalui kitabnya yang berjudul al-Badr al-Munir. Ia juga menulis kitab
Tuhfatul Muhtaj ila Adillatil-Minhaj yang merupakan kitab takhrij hadis-hadis yang
ada di kitab Minhajut Thalibin karya al-Nawawi.
Dan terakhir, terdapat kitab Misbahul Munir karya al-Fayumi. Kitab ini
memuat penjelasan tentang istilah-istilah yang digunakan al-Rafi’i dalam kitab al-
Syarh al-Kabir. Karya al-Fayumi ini kemudian menjadi rujukan ulama-ulama
setelahnya dalam memahami kata-kata yang asing di kalangan madzhab Syafi’i.
Demikianlah. Apa yang ditulis oleh ulama-ulama lampau sebagaimana di atas
turut menambah khazanah keilmuan di kalangan penganut madzhab Syafi’i. Karya-
karya yang berupa ringkasan, penjelasan, maupun komentar, menjadi mata rantai
ketersambungan antara satu ulama dengan ulama lainnya.
Pun itu, menjadi semacam penghormatan dari seorang ulama terhadap guru
ataupun ulama yang mendahuluinya. Rasa ta’dzim yang begitu tinggi diartikulasikan
dalam bentuk karya yang merespon karya ulama sebelumnya yang dihormatinya.
Semua didedikasikan untuk para pembaca agar lebih mudah dalam memahami ajaran-
ajaran Islam via madzhab Syafi’i.
“Uraian di atas sekaligus menjawab orang-orang yang mempertanyakan ke-
syafiiyyah-an pesantren-pesantren di Indonesia oleh karena tidak mengkaji kitab al-
Umm.”
Maka mengkaji kitab-kitab di atas minus al-Umm tidak lantas mengaburkan
ajaran madzhab Syafi’i dari pengkajinya. Karena semua telah dikorelasikan oleh
jaringan sanad keilmuan dalam bentuk karya.
Tradisi seperti inilah yang kini alpha dari pantauan ulama-ulama kita di
nusantara dewasa ini. Tradisi meringkas, memperjelas, dan memberi komentar karya
ulama-ulama salaf.
Kini, sukar sekali kita temukan ulama-ulama semisal Imam Nawawi Banten
yang menulis kitab Nihayatuz Zain Syarah Qurratul Ain, atau Syekh Mahfudz Termas
yang menulis Mauhibatu Dzil Fadhl Syarah Minhajul Qowim, atau Kyai Sahal
Mahfudz yang menulis Anwarul Bashair Syarah al-Asybah wa al-Nadzair.
Alih-alih meneruskan tradisi ini, menulis kitab berbahasa Arab saja kini sangat
jarang kita temukan. Wallahu a’lam.
[Catatan Hasil Kajian Kitab Minhajut Thalibin part 1, di Darus-Sunnah]

Anda mungkin juga menyukai