Iklan
Pendahuluan
Mengkaji literature Fiqh bukan saja membutuhkan kesabaran, akan tetapi juga
kemampuan dan keuletan. Mengapa? Ya, karena seorang bahis di samping harus
mengetahui buku-buku primer fiqh yang sedang dikajinya, juga terlebih dahulu ia harus
memahami dan menguasai paling tidak seluk beluk dasar dari madzhab fiqh yang sedang
dibahasnya. Belum lagi ia harus mengetahui buku-buku yang termasuk kategori
awwalun, mutawasithun, dan muta’akhirun. Hal ini penting, mengingat umumnya buku-
buku literature fiqh satu sama lain saling berkaitan erat.
Ketika anda mendapatkan sebuah syarah atau hasyiyah atau mukhtashar dari
salah satu buku, tidak berarti bahwa itu semua tidak berarti dan tidak penting.
Banyaknya hasyiyah dan syarah, hakikatnya semakin menambah beban seorang bahis,
lantaran satu syarah dan hasyiyah dengan yang lainnya tentu sangat berbeda dan
mempunyai penekanan tersendiri. Semua ini hanya bisa dipahami tentunya oleh mereka
yang telah lama ‘bersentuhan’ dengan literature dimaksud. Karena banyaknya hal yang
harus dikuasai dengan baik oleh seorang bahis inilah, banyak kalangan fiqh sendiri
mengatakan bahwa hakikatnya mengkaji literature turats tidaklah gampang. Masih lebih
mudah mengkaji buku-buku kontemporer ketimbang buku-buku turats.
Pendapat ini tentu tidak berlebihan sekaligus tidak berarti tidak dapat diobati. Kita
semua tentu dapat mengkajinya dengan baik selama ada kerja keras dan kemauan serta
kesabaran. Dalam rangka upaya memahami literature inilah, makalah ini sengaja penulis
sodorkan ke hadapan pembaca. Makalah ini tentu bukan satu-satunya rujukan yang
sudah disegel kebenarannya. Sekali lagi tidak. Masih banyak kekurangan dan boleh jadi
kekeliruan di dalamnya. Hanya saja, paling tidak, semoga makalah ini menjadi jembatan
pertama yang menghubungkan anda dengan dunia literature fiqh, khususnya madzhab
Syafi’i.
Pada awalnya, tema yang disodorkan kepada penulis bersifat umum yakni turats
fiqh. Akan tetapi penulis melihat, bagaimana dapat menyodorkan literature fiqh yang
bejibun, dalam beberapa madzhab, hanya dalam waktu dua setengah jam. Oleh karena
itu, penulis berinisiatif untuk membatasi diri pada kajian fiqh Madzhab Syafi’i,
mengingat madzhab inilah yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Untuk
bahasan madzhab-madzhab fiqh lainnya semoga dapat kita bahas bersama dalam
kesempatan yang lain.
Paling tidak, hemat penulis, untuk mengkaji fiqh satu madzhab, baik Hanafi,
Maliki, Syafi’i maupun Hanbali dibutuhakan tiga kali pertemuan (satu paket) masing-
masing dengan durasi minimal 2 jam. Ketiga pertemuan dimaksud pertama, untuk
mengkaji seputar perkembangan awal sekaligus pendiri dari madzhab bersangkutan
(tingkat dasar), dilanjutkan dengan mengkaji buku-buku primer sekaligus takhrij masail
fiqhiyyah antara pendapat Syafi’i dengan Syafi’iyyah, misalnya. Dan terakhir, mengkaji
ushul, metode istinbat hokum serta qawaid-qawaid istinbath yang digunakan madzhab
tersebut ditambah dengan analisa. Analisa ini sangat diperlukan agar terhindar dari
pengelu-eluan turats yang berlebihan sehingga, dalam istilah Ali Jum’ah tidak qabul
wujdany, menerima secara membabi buta, juga sebaliknya tidak rafdh wujdany, menolak
mentah-mentah.
Makalah kali ini, tentu tidak akan dapat menjawab ketiga hal di atas. Paling tidak,
makalah ini mencoba menjawab salah satunya—disesuaikan dengan tema dari workshop
ini—yakni untuk mengetahui buku-buku primer apa yang harus dipakai dan dijadikan
maraji’ oleh mereka yang hendak mengkaji madzhab Syafi’i. Itu saja, tujuan utama dari
penulisan makalah ini. Hal ini penting, mengingat belakangan ini seringkali para bahis
mengkaji dan menulis fiqh Syafi’i akan tetapi bukan dari sumber primernya. Yang terjadi,
tentu hasil dari penelitian dimaksud tidak dapat diterima dan tidak dapat dipandang sah
secara ilmiah. Bagaimana mengatakan itu adalah pendapat Imam Syafi’i apabila yang
dijadikan maraji’nya adalah buku Mughnil Muhtaj karya al-Khatib Syarbiny, misalnya.
Atau bagaimana dipandang sah apabila mengatakan bahwa pendapat ashhab Syafi’i
begini atau begitu sementara buku yang dijadikan pegangannya adalah buku Safinatun
Najah. Untuk itu, semoga tulisan ini dapat menjadi bekal bagi para pembaca dalam
rangka studi literature primer fiqh Madzhab Syafi’i.
Semoga dalam dua tema lainnya yang belum dibahas serta studi literature
madzhab-madzhab fiqh lainnya dapat kita bahas bersama dalam lain waktu dan lain
kesempatan. Sebelum lebih lanjut penulis mengajak pembaca pada bahasan inti, perlu
penulis kemukakan terlebih dahulu bahwa untuk biografi singkat pendiri Madzhab
Syafi’i yaitu Imam Syafi’i dan sejarah tumbuh dan berkembangnya Madzhab Syafi’i,
dapat dilihat dalam kerangka atau bagan yang sengaja penulis lampirkan. Hal ini
dilakukan, mengingat keterbatasan waktu dan makalah. Apabila dicantumkan, tentu
akan merepotkan paniti, mengingat kemungkinan besar makalah akan menjadi sangat
tebal.
Akhirnya, semoga tulisan kecil ini bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan
umumnya bagi para pembaca semua. Semua kesalahan dan kekurangan tentu datang
dari penulis sendiri, sementara kebenaran datang dari Allah dan RasulNya. Hanya
kepada Allah kita bergantung dan mengabdi, dan hanya kepadaNya jualah kita akan
kembali. Selamat mengikuti.
Setelah itu datang Imam ar-Raf’i (w 624 H) meringkas al-Wajiz karya Imam al-
Ghazali tadi menjadi al-Muharrar. Selang beberapa lama, datang Imam Nawawi (w 676
H), meringkas buku al-Muharrar dalam karyanya Minhajut Thalibin yang kemudian
menjadi pegangan utama para ulama Syafi’iyyah dalam berijtihad dan berfatwa. Tidak
lama kemudian, buku Minhajut Thalibin ini diringkas oleh Syaikhul Islam Zakaria al-
Anshari dalam bukunya al-Manhaj. Buku al-Manhaj ini lalu diringkas oleh Imam al-
Jauhari menjadi an-Nahj.
Imam ar-Rafi’i kemudian mensyarah kitab al-Wajiz karya Imam Ghazali dalam dua
buah karyanya yakni asy-Syarh as-Shagir, namun tidak diberi nama dan dalam asy-Syarh
al-Kabir yang diberi nama dengan al-‘Aziz. Kemudian Imam Nawawi meringkas buku al-
Aziz karya Imam Rafi’i tadi menjadi ar-Raudhah (lengkapnya Raudhatut Thalibin wa
Umdatul Muftin), lalu Ibnu Maqarra meringkas ar-Raudah menjadi ar-Raud. Imam
Zakaria al-Anshari kemudian mensyarah buku ar-Raud ini dalam karyanya berjudul al-
Asna.
Setelah itu, datang Ibnu Hajar al-Haitami (w 974 H) meringkas buku ar-Raud ini
dalam karyanya berjudul an-Na’im. Kitab ar-Raudhah juga diringkas oleh Ahmad bin
Umar al-Muzjid az-Zabidi dalam karyanya berjudul al-‘Ibab, kemudian Ibn Hajar al-
Haitami mensyarahnya menjadi al-Ii’ab hanya saja tidak sampai akhir. Imam Suyuthi
juga meringkas kitab ar-Raudah ini dalam karyanya berjudul al-Gunyah, dan
mengumpulkannya menjadi kumpulan nadham dalam karyanya berjudul al-Khulashah,
akan tetapi tidak sampai selesai. Imam al-Qazuwaini kemudian meringkas buku al-Aziz
karya Imam Rafi’i dalam karyanya berjudul al-Hawi ash-Shagir, kemudian dikumpulkan
dalam nadham-nadham oleh Ibn al-Wardi dalam karyanya berjudul al-Buhjah. Lalu kitab
al-Buhjah ini disyarah oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dengan dua syarah (hanya
tidak disebutkan nama syarah ini). Kemudian datang Ibnu al-Maqarri meringkas buku al-
Hawi ash-Shagir menjadi al-Irsyad, lalu al-Irsyad ini disyarah oleh Ibn Hajar al-Haitami
dalam dua syarah. Setelah masa Ibnu Hajar al-Haitami ini baru bermunculan buku-buku
berupa hasyiyah dari kitab-kitab sebelumnya.
Berikut ini karya-karya Imam Syafi’i yang disusun ketika beliau berada di Mesir:
1. Kitab al-Umm
2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wabni Abi Laila
3. Kitab Ikhtilaf Ali wa Abdillah bin Mas’ud
4. Kitab Ikhtilaf Malik was Syafi’i
5. Kitab Jima’il ‘Ilm
6. Kitab Bayan Faraidhillah
7. Kitab Shifati Nahyi Rasulillah
8. Kitab Ibthalil Istihsan
9. Kitab ar-Radd ‘Ala Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany
10. Kitab Siyaril Auzai.
Semua karya-karya Imam Syafi’i sebagaimana telah penulis sebutkan di atas, telah
ditahkik dengan sangat bagus dan lengkap oleh DR. Ahmad Badruddin Hasun dengan
judul Mausu’ah al-Imam asy-Syafi’i . Buku tahkiknya ini awalnya adalah risalah Dukturah
beliau yang diajukan ke Jami’ah Islamiyyah di Karachi Pakistan. Buku ini dicetak
pertama kali oleh Dar Qutaibah di Beirut pada tahun 1996 dalam 15 Juz yang
dikumpulkan dalam 10 Jilid besar. Hemat penulis, buku tahkikan DR. Ahmad Badruddin
Hasun terhadap kitab al-Umm ini adalah yang paling baik dan paling lengkap dalam segi
tahkikan dan kekayaan maklumat yang dikandungnya apabila dibandingkan dengan
tahkikan lainnya.
Buku-buku karya Imam Syafi’i di atas sangatlah penting dan merupakan marja’
primer bagi mereka yang hendak mengkaji fiqh madzhab Syafi’i. Ketika anda hendak
mengetahui bagaiman pendapat Imam Syafi’i dalam suatu hal masalah fiqh, maka anda
harus kembali kepada kitab-kitab karya Imam Syafi’i di atas yang sudah dirangkum oleh
DR. Ahmad Badruddin Hasun dalam karyanya berjudul Mausu’ah al-Imam asy-Syafi’i .
Apabila anda kaji, seringkali terjadi kesalahan dalam menisbatkan sebuah hokum
kepada madzhab Syafi’i. Seringkali ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa demikian
menurut Imam Syafi’i, padahal sesungguhnya tidak seperti itu. Untuk mengambil salah
satu contoh, berikut ini penulis kemukakan apa yang dituturkan oleh DR. Umar Sulaiman
al-Asyqar dalam bukunya Masail min Fiqh al-Kitab was Sunnah. Dalam buku ini Sulaiman
al-Asyqar mengatakan bahwa sebagian ulama Syafi’iyyah telah salah dalam
menisbahkan pendapat hokum kepada Imam Syafi’i, di mana mereka mengatakan bahwa
menurut Imam Syafi’i, orang yang mengetahui letak Ka’bah (kiblat) maupun yang tidak
mengetahui, harus beribadah tepat menghadap Ka’bah. Padahal dalam kitab al-Umm,
dengan tegas-tegas Imam Syafi’i berkata bahwa bagi yang tidak mengetahui di mana
letak Ka’bah cukup dengan keyakinannya saja terhadap letak Ka’bah tersebut.
Seandainya tidak tepat sekalipun, tidak mengapa.
Oleh karena itu, sekali lagi, apabila anda hendak mengkaji bagaimana pendapat
Imam Syaf’i dalam satu hal, anda tidak boleh melirik buku lain, tapi kembalikan kepada
buku primernya berupa karya-karya Imam Syafi’i sebagaimana telah disebutkan di atas.
Namun, satu hal yang perlu penulis tambahkan di sini, bahwa untuk membantu
pengkajian anda terhadap kitab al-Umm ini, anda perlu juga membaca buku lainnya
yakni buku Ma’rifatus Sunan wal Atsar karya Imam al-Hafidz al-Baihaki. Buku ini sangat
berguna untuk mengetahui dalil-dalil Imam Syafi’i terutama dalil-dalil dari Sunnah dan
Atsar serta bagaimana kedudukan haditsnya dan sanadnya. Hal ini dikarenakan, dalam
kitab al-Umm, tidak ada perincian seperti di atas. Terkadang, dalam kitab al-Umm tidak
disebutkan dalilnya, tapi langsung hukumnya. Nah, untuk mengetahui apa dalil Imam
Syafi’i dalam menetapkan hokum tersebut, atau bagaimana kedudukan hadits yang
disebutkan Imam Syafi’i dalam al-Umm ini, serta bagaimana sanad hadits yang
dituturkan Imam Syafi’i dalam al-Umm, anda dapat melihat buku Ma’rifatus Sunan wal
Atsar karya Imam Baihaki tersebut. Buku ini dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut
dengan muhakik Sayyid Karwi Hasan, dan tahkikan ini hemat penulis yang paling bagus
apabila dibandingkan dengan tahkikan lainnya.
Yang dimaksud dengan tokoh Syafi’iyyah generasi pertama di sini adalah untuk
menyebut dua imam besar madzhab Syafi’i yakni Imam Rafi’i (557-623H) dan Imam
Nawawi (631-676 H).
Karya-karya dua imam ini dalam madzhab Syafi’i mempunyai kedudukan sangat
penting. Bahkan, boleh dikatakan kedua terpenting dalam madzhab Syafi’i setelah karya-
karya Imam Syafi’i. Artinya, ketika anda hendak mengetahui bagaimana pendapat
Madzhab Syafi’i (bukan pendapat Imam Syafi’i ) tentang sebuah masalah, maka
hendaknya ia melihat karya-karya dua imam ini. Dengan melihat karya-karya dua imam
ini, anda tidak perlu melihat buku-buku fiqh lainnya. Mengapa karya kedua imam ini
begitu penting? Karena sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa kedua imam
inilah yang mempunyai peranan sangat besar dalam pengembangan madzhab Syafi’i .
Jadi, sekali lagi ketika anda hendak melihat bagaimana pendapat madzhab Syafi’i tentang
satu masalah, anda cukup melihat karya-karya kedua imam tersebut.
Apabila kedua imam tersebut sepakat dan tidak berbeda pendapat dalam satu
masalah, maka pendapat itulah yang dipandang sebagai pendapat yang abash sebagai
madzhab Syafi’i . Namun, apabila antara Imam Rafi’i dengan Imam Nawawi berbeda
pendapat dan tidak mungkin dapat digabungkan kedua pendapat tersebut, atau
keduanya tidak dapat dicari mana yang paling rajih, atau dapat diketahui mana yang
paling rajih akan tetapi kedua pendapat tersebut sama, maka yang harus didahulukan
adalah pendapatnya Imam Nawawi. Dalam hal ini Ibnu Hajar al-Haitami (w 974 H)
pernah mengatakan dalam mukaddimah bukunya Tuhfatul Muhtaj bi Syarh al-Minhaj:
, ﻓﺈن اﺧﺘﻠﻔﺎ وﻟﻢ ﻳﻮﺟﺪ ﻟﻬﻤﺎ ﻣﺮﺟﺢ أو وﺟﺪ وﻟﻜﻦ ﻋﻠﻰ اﻟﺴﻮاء,اﻟﺬى أﻃﺒﻖ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﻤﺤﻘﻘﻮن أن اﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﻣﺎ اﺗﻔﻘﺎ اﻟﺸﻴﺨﺎن ﻋﻠﻴﻪ
.ﻓﺎﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ اﻟﻨﻮوى وإن وﺟﺪ ﻷﺣﺪﻫﻤﺎ دون اﻷﺧﺮ ﻓﺎﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ذو اﻟﺘﺮﺟﻴﺢ
Mengingat pentingnya karya-karya dua imam dimaksud, berikut ini penulis ketengahkan
karya-karya keduanya.
1) Kitab al-Muharrar. Buku ini sampai saat ini masih berbentuk makhtutat, manuskrip
dan belum ditahkik serta belum dicetak. Barangkali di antara sebab belum
ditahkik dan belum dicetaknya, lantaran sudah terwakili oleh buku Minhajut
Thalibin yang merupakan ringkasan dari Kitab al-Muharrar tersebut. Dan
sebagaimana telah penulis tuturkan di atas, bahwa buku al-Minhaj ini sangat
masyhur di kalangan para ulama Syafi’iyyah dan sangat banyak syarahnya. Untuk
itulah kitab al-Muharrar belum dicetak dan belum ditahkik sampai saat ini.
2) Kitab asy-Syarhus Shagir. Buku ini merupakan syarah terhadap buku Imam al-
Ghazali yang berjudul al-Wajiz. Buku ini, sudah ditahkik oleh mahasiswa magister
Jami’ah al-Jinan al-Lubnaniyyah, hanya saja sampai saat ini belum dicetak.
3) Kitab al-Aziz Syarh al-Wajiz atau asy-Syarh al-Kabir. Buku ini merupakan buku
terpenting dan terbesar dari karya Imam Rafi’i. Buku ini merupakan syarah dari
buku al-Wajiz karya Imam al-Ghazali, dengan syarah yang sangat luas dan
panjang. Dalam penjabarannya, Imam Rafi’i dalam buku ini terlebih dahulu
menjelaskan persoalan, kemudian kaitannya dengan pendapat Imam Syafi’i serta
pendapat para ashhabnya, kemudian diakhiri dengan pemilihan mana yang
dipandang sebagai madzhab Syafi’i. Buku ini ditahkik oleh Adil Ahmad Abdul
Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad serta dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah
pada tahun 1997.
وﺣﻮى ﺟﻤﻴﻊ ﻣﺎ وﻗﻊ ﻟﻪ ﻣﻦ اﻟﻜﺘﺐ اﻟﻤﺸﻬﻮرات…ﻓﺄﺗﻰ, وﺟﻤﻊ ﻣﻨﺘﺸﺮه ﺑﻌﺒﺎرات وﺟﻴﺰات,وﻧﻘﺢ اﻟﻤﺬﻫﺐ أﺣﺴﻦ اﻟﺘﻨﻘﻴﺢ
اﻟﻜﺮﻳﻢ ﻓﺸﻜﺮ ا, ﻣﻊ اﻹﻳﺠﺎز واﻹﺗﻘﺎن وإﻳﻀﺎح اﻟﻌﺒﺎرات,ﻓﻰ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺷﺮح اﻟﻮﺟﻴﺰ ﺑﻤﺎ ﻻ ﻛﺒﻴﺮ ﻣﺰﻳﺪ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ اﻻﺳﺘﻴﻌﺎب
… وأﻋﻈﻢ ﻟﻪ اﻟﻤﺜﻮﺑﺎت,ﻟﻪ ﺳﻌﻴﻪ
B. Karya-karya Imam Nawawi
Imam Nawawi mengarang banyak buku fiqh dalam Madzhab Syafi’i . Di antara
karyanya itu ada yang hilang ada juga yang masih ada sampai sekarang. Di antara
yang sudah hilang adalah karyanya berjudul Ruhul Masail fil Furu’ dan ‘Uyun al-
Masail al-Muhimmah. Sementara buku-bukunya yang masih ada yang dipandang
sangat penting, adalah:
1) Kitab Minhajut Thalibin. Buku ini merupakan ringkasan dari buku al-Muharrar
karya Imam Rafi’i. Buku Minhajut Thalibin ini dinilai buku yang sangat penting
bahkan terpenting di antara buku-buku periode pertama Madzhab Syafi’i.
Umumnya, buku ini menjadi rujukan utama para ulama Syafi’iyyah dalam
menetapkan sebuah persoalan. Oleh karena itu, buku ini mempunyai syarah dan
hawasyi yang sangat banyak. Di antara syarah terhadap buku ini adalah Mughnil
Muhtaj karya al-Khatib asy-Syarbini, al-Manhaj wa Syarhuh karya Syaikhul Islam
Zakaria al-Anshari, Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami, dan Nihayatul
Muhtaj karya Imam ar-Ramli.
2) Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin. Buku ini merupakan ringkasan dari buku
al-Aziz Syarh al-Wajiz karya Imam Rafi’i. Buku ini lebih tebal dari pada buku
Minhajut Thalibin di atas.
3) Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Buku ini merupakan buku terbesar dan terpenting
dari karya Imam Nawawi. Buku ini merupakan syarah dari buku al-Muhadzab
karya Abu Ishak as-Syairazi (w 476) sekaligus sebagai buku syarah paling terkenal
dan paling bagus dari pada syarah-syarah al-Muhadzab lainnya. Buku ini sangat
tebal terdiri tidak kurang dari 30 jilid lebih. Dalam buku ini Imam Nawawi bukan
semata mengungkapkan pendapat Madzhab Syafi’i, akan tetapi juga
membandingkannya dengan madzhab-madzhab lainnya yang tentunya disertai
dengan munaqasyah dan rad-rad tajam.
Hanya saja, Imam Nawawi meninggal sebelum beliau menyelesaikan buku
al-Majmu ini. Imam Nawawi menulis buku ini hanya sampai pada Bab Riba dari
Kitab al-Buyu’. Kemudian Imam Taqiyuddin as-Subuki (w 756) mencoba
melengkapinya, hanya saja belum sampai selesai buku al-Majmu’ tersebut, ajal
lebih dahulu merenggutnya. Beliau hanya dapat melengkapi sekitar tiga jilid saja.
Setelah Taqiyuddin al-Subuki meninggal, baru para ulama Syafi’iyyah bangkit
mencoba melengkapinya. Di antara para ulama yang melengkapi buku al-Majmu’
ini adalah al-Allamah Isa bin Yusuf Mannun (w 1376 H) dan Muhammad Najib al-
Muthi’i (w 1406 H). Buku al-Majmu’ ini adalah buku terakhir Imam Nawawi.
Meski demikian, para ulama Syafi’iyyah berikutnya, ketika mereka hendak
menetapkan sebuah persoalan berdasarkan Madzhab Syafi’i dari karya-karya
Imam Nawawi, mereka lebih banyak berpegang kepada Minhajut Thalibin dan
Raudhatut Thalibin dari pada kepada al-Majmu’. Hal ini barangkali di antaranya
disebabkan bahwa kitab al-Majmu’ ditulis bukan oleh Imam Nawawi secara
lengkap, akan tetapi juga ditulis oleh ulama-ulama lainnya sebagaimana telah
disebutkan di atas. Oleh karenanya, mereka menilai, kitab al-Majmu’ bukan karya
asli Imam Nawawi dan karenanya kurang mendapatkan perhatian dari para
ulama Syafi’iyyah berikutnya.
4) Syarah Shahih Muslim. Imam Nawawi juga mensyarah kitab Shahih Muslim dalam
karyanya berjudul al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hijaj. Buku ini dinilai
sebagai buku syarah terpenting dan terbaik juga lebih terkenal dari pada syarah-
syarah lainnya terhadap Shahih Muslim. Buku ini dicetak beberapa kali cetakan
dan oleh beberapa penerbit. Hanya saja, yang penulis pandang lebih baik
tahkikannya adalah yang dicetak oleh Dar Ihya at-Turats al-Arabi yang berikan
nomor oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi’, ditahkik oleh Syaikh Irfan
Hasunah dan diberi kata pengantar oleh DR Muhammad al-Mar’isyli. Hanya saja
buku ini lebih tepat disebut sebagai buku hadits bukan sebagai buku fiqh. Namun
demikian, buku ini juga dipandang penting manakala hadits-hadits tersebut
berkaitan dengan masalah fiqh.
Baik buku Tuhfatul Muhtaj maupun Nihayatul Muhtaj merupakan dua buah
buku yang banyak dijadikan pegangan oleh ulama Syafi’iyyah dalam menetapkan
hukum sebuah persoalan atau dalam berfatwa setelah masa Imam Nawawi.
Apabila buku-buku karya al-Haitami dan ar-Ramli tidak membahas satu
persoalan atau membahasnya tapi terlalu singkat, maka yang banyak diambil oleh
ulama Syafi’iyyah generasi akhir adalah karya-karya Syaikhul Islam Zakaria al-
Anshari (w 926 H), khususnya kitab al-Manhaj yakni buku ringkasan dari Kitab
Minhajut Thalibin dan buku al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh Mandhumatil Buhjah al-
Wardiyyah—kedua buku tersebut telah dicetak. Setelah buku-buku Syaikhul Islam
Zakaria al-Anshari, buku berikutnya yang dipandang primer dalam madzhab
Syafi’i adalah Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib
asy-Syarbini (w 977) yang juga merupakan syarah terhadap kitab Minhajut
Thalibin. Buku ini juga dicetak dan sangat terkenal di kalangan madzhab Syafi’i,
termasuk dijadikan referensi utama di lingkungan Universitas al-Azhar fakultas
Syariah Islamiyyah. Setelah buku Mughnil Muhtaj, maraji’ fiqh Syafi’i berikutnya
adalah buku-buku hasyiyah (hasyiyah adalah syarah dari buku syarah) misalnya
hawasyi yang telah disebutkan di atas, juga hasyiyah Qalyuby Umairah karya
Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi dan Syaikh Umairah yang merupakan syarah dari
syarah Imam Jalaluddin al-Mahally terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam
Nawawi.
Sedangkan bagi ulama Hijaj, Hadramaut, Syam, Yaman, bahwa yang harus
diambil manakala terjadi pertentangan antara ar-Ramli dengan al-Haitami adalah
pendapat Ibn Hajar al-Haitami khususnya yang tercantum dalam bukunya Tuhfatul
Muhtaj. Hal ini dikarenakan buku tersebut mencakup juga nushush dari Imam al-
Haramain al-Juwaini.
Meski demikian, apa yang diungkapakan oleh al-Allamah Umar al-Bashri
dalam al-Fawaid al-Makkiyyah (hal 38) berikut ini, hemat penulis lebih tepat untuk
dijadikan pegangan, bahwa apabila antara ar-Ramli dengan al-Haitami terjadi
pertentangan pendapat, apabila mufti tersebut termasuk ulama yang dapat
mentarjih, maka ambillah pendapat yang menurutnya lebih kuat. Namun, apabila
bukan termasuk ulama tarjih, maka ia boleh mengambil pendapat mana saja
menurut kehendaknya, atau mengambil kedua-duanya, atau mengambil hasil
tarjih dari ulama muta’akhir. Umar al-Bashri juga melanjutkan, seorang mufti juga
perlu memperhatikan mustaftinya. Apabila mustaftinya (yang meminta fatwa)
adalah orang-orang yang kuat, maka ambil pendapat yang sedikit memberatkan.
Namun, apabila mustaftinya orang yang lemah, maka ambil pendapat yang paling
ringan dan memudahkan.
1. Banyak para ulama Syafi’iyyah setelah masa Imam ar-Ramli yang memuji
dengan sangat kehebatan dan keunggulan dua buah buku tersebut yakni at-
Tuhfah dan an-Nihayah. Sehingga para ulama Syafi’iyyah menjadikannya
sebagai pegangan utama ketika mereka berfatwa. Salah satu ulama Syafi’iyyah
yang memuji tersebut adalah al-Alamah Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi asy-
Syafi’i (w 1194 H) dalam bukunya berjudul al-Fawaid al-Madaniyyah Fiman
Yufta Biqaulihi Min Aimmah asy-Syafi’iyyah sebagaimana dikutip dalam buku at-
Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i karya Imam al-Baghawi (I/50-51). Untuk lebih
jelasnya berikut ungkapan beliau:
ﻷﻧﻬﺎ,ذﻫﺐ ﻋﻠﻤﺎء ﻣﺼﺮ—أو أﻛﺜﺮﻫﻢ—إﻟﻰ اﻋﺘﻤﺎد ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ اﻟﺸﻴﺦ ﻣﺤﻤﺪ اﻟﺮﻣﻠﻰ ﻓﻰ ﻛﺘﺒﻪ ﺧﺼﻮﺻﺎ ﻓﻰ ﻧﻬﺎﻳﺘﻪ
وأﻛﺜﺮ, ﻓﺒﻠﻐﺖ ﺻﺤﺘﻬﺎ إﻟﻰ ﺣﺪ اﻟﺘﻮاﺗﺮ,ﻗﺮﺋﺖ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺆﻟﻒ إﻟﻰ آﺧﺮﻫﺎ ﻓﻰ أرﺑﻌﻤﺎﺋﺔ ﻣﻦ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻓﻨﻘﺪوﻫﺎ وﺻﺤﺤﻮﻫﺎ
ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ إﺣﺎﻃﺔ,ﻋﻠﻤﺎء اﻟﻴﻤﻦ واﻟﺤﺠﺎز إﻟﻰ أن اﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ اﻟﺸﻴﺦ اﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻓﻰ ﻛﺘﺒﻪ ﺑﻞ ﻓﻰ ﺗﺤﻔﺘﻪ
ﻫﺬا ﻣﺎ ﻛﺎن ﻓﻰ.… اﻟﺬﻳﻦ ﻻ ﻳﺤﺼﻮن ﻛﺜﺮة, وﻟﻘﺮاءة اﻟﺤﻘﻘﻴﻦ ﻟﻬﺎ ﻋﻠﻴﻪ,ﺑﻨﺼﻮص اﻹﻣﺎم ﻣﻊ ﻣﺰﻳﺪ ﺗﺘﺒﻊ اﻟﻤﺆﻟﻒ ﻓﻴﻬﺎ
إﻟﻰ أن, ﺛﻢ وردت ﻋﻠﻤﺎء ﻣﺼﺮ إﻟﻰ اﻟﺤﺮﻣﻴﻦ وﻗﺮروا ﻓﻰ دروﺳﻬﻢ ﻣﻌﺘﻤﺪ اﻟﺸﻴﺦ اﻟﺮﻣﻠﻲ,اﻟﺴﺎﻟﻒ ﻣﻦ ﻋﻠﻤﺎء اﻟﺤﺠﺎز
ﺑﻞ, ﺣﺘﻰ ﺻﺎر ﻣﻦ ﻟﻪ إﺣﺎﻃﺔ ﺑﻘﻮﻟﻬﻤﺎ ﻳﻘﺮرﻫﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﺮﺟﻴﺢ…وﻋﻨﺪى ﻻ ﺗﺠﻮز اﻟﻔﺘﻮى ﺑﻤﺎ ﻳﺨﺎﻟﻔﻬﺎ,ﻓﺸﺎ ﻗﻮﻟﻪ ﻓﻴﻬﺎ
— ﻓﻴﻔﺘﻰ ﺑﻜﻼم ﺷﻴﺦ اﻹﺳﻼم )ﻳﻘﺼﺪ اﻟﺸﻴﺦ زﻛﺮﻳﺎ اﻻﻧﺼﺎرى, إﻻ إذا ﻟﻢ ﻳﺘﻌﺮﺿﺎ ﻟﻪ,ﺑﻤﺎ ﻳﺨﺎﻟﻒ اﻟﺘﺤﻔﺔ واﻟﻨﻬﺎﻳﺔ
.(ﻫـ977 ﺛﻢ ﺑﻜﻼم اﻟﺨﻄﻴﺐ )ﻳﻘﺼﺪ اﻟﺨﻄﻴﺐ اﻟﺸﺮﺑﻴﻨﻰ ﺗﻮﻓﻰ ﺳﻨﺔ,(ﻫـ926 ﺗﻮﻓﻰ ﺳﻨﺔ
2. Kedua Imam Ibn Hajar al-Haitami dan Syamsud Din ar-Ramli dalam kitabnya at-
Tuhfah dan an-Nihayah, ketika membahas masalah-masalah fiqh, seringkali
menyebut perbedaan pendapat antara Imam Rafi’i dan Imam Nawawi.
Disamping karena usaha dan kejuhudan keduanya dalam menggali gagasan-
gagasan dan pemikiran fiqh Imam Nawawi dan Rafi’i tidak diragukan lagi. Oleh
karena itu, karya keduanya dipandang lumayan mewakili karya Imam Nawawi
dan Rafi’i. Hanya saja, memang sekali lagi, mengkaji dan melihat ulang ke
buku-buku Imam Nawawi dan Imam Rafi’i jauh lebih baik dan lebih menambah
pengembangan dalil.
Kini perhatikan ringkasan bahasan kelompok nomor tiga ini
Buku Yang Harus Dijadikan
No Persoalan yang Dicari Keterangan
Marja’
Kedua buku ini yakni al-Muhadzab dan al-Wasith sempat dijadikan buku
terpenting yang menjadi rujukan para fuqaha Syafi’iyyah dalam memberikan
fatwa sebelum munculnya karya-karya Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Setelah
muncul dua imam tersebut, perhatian beralih kepada karya-karya keduanya,
karena dipandang lebih lengkap dan lebih mendalam.
1. Al-Wajiz fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Buku ini juga dikarang oleh Imam Ghazali sebagai
ikhtishar atas buku sebelumnya yakni al-Wasith. Buku ini telah dicetak oleh Darul
Kutub Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Adil Ahmad Abdul Maujud
dan Ali Muhammad Mu’awwad.
2. At-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Buku ini ditulis oleh Imam Abu Muhammad al-
Husain bin Mas’ud al-Bagawi (w 516 H). Buku ini dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah
Beirut pada tahun 1997 yang terdiri dari delapan jilid besar dengan muhakkik Adil
Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad.
3. Ajalatul Muhtaj Ila Taujih al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Imam Sirajuddin Abu Hafsh
Umar bin Ali yang dikenal dengan samaran Ibn al-Mulaqqan (w 804 H). Buku ini juga
merupakan syarah Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan dicetak oleh Darul Kitab
Jordan dalam empat jilid besar dengan muhakkik Ustadz Izzud Din Hisyam bin Abdul
Karim al-Badrany pada tahun 2001.
4. Kanzur Ragibin fi Syarh Minhajut Thalibin. Buku ini ditulis oleh Imam Jalaluddin
Muhammad bin Ahmad al-Mahalli (w 864 H). Buku ini terkenal dengan nama Syarah al-
Muhalla ‘Alal Minhaj. Buku ini juga dinilai sebagai salah satu buku terpenting dalam
syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan senantiasa dijadikan
rujukan oleh para ulama Syafi’iyyah sebelum datangnya dua buah syarah, Tuhfatul
Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj karya Imam al-Haitami dan ar-Ramli. Begitu datang dua
syarah tersebut, buku Syarah al-Muhalla kemudian ditinggalkan dan berpaling kepada
dua syarah karya ar-Ramli dan al-Haitami. Buku Syarah al-Muhalla ini menjadi
muqarrar pada mata kuliah fiqh di Universitas al-Azhar asy-Syarif sampai saat makalah
ini ditulis. Buku ini mempunyai dua hasyiyah, yang pertama Hasyiyah Syihabuddin
Ahmad al-Burullusy yang mempunyai nama panggilan Umairah (w 957 H) dan Hasyiyah
Syihabuddin Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qalyubi (w 1069 H). Keduanya terkenal
dengan sebutan Hasyiyatai al-Qalyubi wa Umairah. Buku ini beberapa kali dicetak dan
yang penulis pandang lebih bagus adalah yang ditahkik oleh Syaikh Abdul Latif Abdur
Rahman cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dalam lima jilid besar-besar. Dicetak
pertama kali pada tahun 1997.
Kedua, buku-buku yang ditulis setelah masa ulama Syafi’iyyah generasi kedua
(dari tahun 1004 H-1335 H). Buku-buku yang termasuk kelompok ini adalah:
1. Futuhat al-Wahab bi Taudih Syarh Manhaj at-Thulab. Buku ini ditulis oleh al-Allamah
Sulaiman bin Umar bin Manshur al-Ujaili yang terkenal dengan sebutan al-Jamal (w
1204 H). Buku ini merupakan syarah dari kitab Syarah Manhajut Thulab. Dan kitab
Manhajut Thulab ini merupakan ringkasan dari buku Minhajut Thalibin karya Imam
Nawawi. Baik kitab Manhaj at-Thulab maupun Syarahnya, keduanya ditulis oleh
Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w 926 H). Jadi, kitab Futuhat al-Wahab bi Taudih
Syarh Manhaj at-Thulab ini merupakan buku Hasyiyah atas kitab Syarh al-Manhaj.
Buku Futuhat al-Wahab lebih dikenal dengan sebutan Hasyiyah al-Jamal. Buku ini
dicetak berulang-ulang, dan yang paling baik, menurut penulis, adalah yang ditahkik
oleh Syaikh Abdur Razaq Galib al-Mahdi yang dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah
Beirut dalam delapan jilid tebal. Dicetak pertama kali pada tahun 1996.
2. Hasyiyah asy-Syarqawi. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim
asy-Syarqawi (w 1226 H) yang merupakan syarah dari kitab Tuhfatut Thullab bi Syarh
Tahrir Tanqih al-Lubab. Buku ini lebih dikenal dengan Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala Syarh
at-Tahrir. Buku Tahrir Tanqih al-Lubab merupakan ringkasan dari fiqh Syafi’i dan
kemudian buku tersebut disyarah dengan nama Tuhfatut Thulab. Baik buku Tahrir
Tanqih al-Lubab maupun buku Tuhfatut Thulab, keduanya merupakan karya Syaikhul
Islam Zakaria al-Anshari. Buku ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah
Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Syaikh Mushtafa bin Hanafi ad-Dzahabi
dalam empat jilid besar.
3. I’anatut Thalibin. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Utsman bin Muhammad Syatha ad-
Dimyathi al-Bikry (wafat pada abad ke 14 Hijriyyah, tidak diketahui tahun
kewafatannya). Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu’in
yang merupakan syarah dari Kitab Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din. Buku Qurratul ‘Ain
bi Muhimmatid Din merupakan ringkasan dari Fiqh Syafi’i . Syarah dari buku Qurratul
‘Ain bi Muhimmatid Din adalah Fathul Mu’in, dan keduanya merupakan karya al-
Allamah Zainuddin al-Mullibary (w 987 H). Buku I’anatut Thalibin dicetak beberapa kali
dan salah satunya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1995 dalam
empat jilid besar.
4. Tarsyih al-Mustafiidiin. Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah ringkas yang ditulis
oleh al-Allamah Alawy bin Ahmad bin Abdur Rahman as-Saqqaf al- Makky (w 1335 H).
Buku ini merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu’in karya al-Mullibary—
penjelasan mengenai buku Fathul Mu’in ini lihat di nomor tiga. Buku ini dicetak oleh
Maktabah al-Ghazali Damaskus dalam satu jilid.
1. Al-Aqwal. Apabila anda mendapatkan kata al-qaul atau al-aqwal dalam buku-buku
Syafi’iyyah, maka maksudnya adalah perkataan atau hasil ijtihad Imam Syafi’i, baik
dalam qaul qadimnya maupun qaul jadidnya.
2. Al-Qaul al-Qadim, maksudnya adalah pedapat Imam Syafi’i sebelum pindah ke Mesir
baik berupa karya maupun fatwa. Di antara para periwayat qaul qadim ini adalah
Imam az-Za’farany, al-Karabisy dan Abu Tsaur. Jadi apabila anda mendapatkan
pendapat Imam Syafi’i dari riwayat mereka, maka itu adalah pendapat lama Imam
Syafi’i (qaul qadim).
3. Al-Qaul al-Jadid, adalah pendapat Imam Syafi’i ketika di Mesir, baik berupa karya
buku maupun fatwa. Murid-murid Imam Syafi’i yang seringkali meriwayatkan qaul
jadidnya ini di antaranya adalah: al-Buwaithi, al-Muzani dan ar-Rabi’ al-Muradi.
4. Al-Wujuh atau al-Aujuh, maksudnya adalah pendapat para ulama Syafi’iyyah
berdasarkan kaidah-kaidah dan ushul Imam Syafi’i . Menurut Imam Nawawi, bahwa
al-aujuh ini tidak dapat dinisbahkan kepada Imam Syafi’i , lantaran ia hanya pendapat
ulama Syafi’i yyah saja.
5. At-Thuruq adalah istilah untuk perbedaan pendapat para ulama Syafi’iyyah dalam
meriwayatkan madzhabnya. Misalnya, apabila dalam satu masalah, menurut satu
ulama Syafi’iyyah, dalam masalah ini ada dua pendapat, sementara menurut ulama
yang lain, hanya ada satu pendapat, menurut yang lainnya ada beberapa aujuh dan
lainnya, maka perbedaan tersebut disebut dengan ath-thuruq.
6. Al-Adhhar, adalah pendapat yang paling rajih dari dua atau beberapa pendapat Imam
Syafi’i .Jadi al-adhhar digunakan manakala ada dua atau beberapa pendapat Imam
Syafi’i yang sama-sama kuatnya dari segi kekuatan dalilnya, akan tetapi salah satunya
dapat ditarjih sehingga dipandang sebagai lebih kuat dari yang lainnya. Pendapat
Imam Syafi’i yang dipandang lebih kuat ini disebut dengan al-adzhar, sedangkan
pendapat sebaliknya yang tidak kuat disebut dengan ad-dhahir.
7. Al-Masyhur adalah apabila terjadi perbedaan antara dua pendapat atau lebih dari
Imam Syafi’i, hanya saja perbedaan pendapatnya ini tidak kuat, lemah, karena dari
segi kekuatan dalilnya kurang memenuhi misalnya, lalu dari beberapa pendapat
tersebut ada yang dipandang lebih kuat, maka yang lebih kuat, rajihnya ini disebut
dengan al-masyhur. Sebaliknya, pendapat yang tidak kuatnya disebut dengan al-
gharib.
8. Al-Ashah. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama
Syafi’iyyah (al-aujuh), dan kedua pendapat yang bertentangan tersebut sama-sama
kuat dari segi dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih rajih disebut dengan al-
ashah. Sedangkan pendapat ulama Syafi’i yyah yang tidak kuatnya disebut dengan
ash-shahih.
9. Ash-Shahih. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat
ulama Syafi’i yyah (al-aujuh), namun kedua pendapat tersebut lemah dari segi
kekuatan dalilnya, maka pendapat yang dipandang paling rajih disebut dengan ash-
shahih, sementara sebaliknya, pendapat yang lemahnya disebut dengan adh-dha’if
atau al-fasid.
10. Al-Madzhab. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara para ulama Syafi’iyyah
dalam meriwayatkan madzhab Syafi’i (ath-thuruq), namun salah satunya dipandang
sebagai yang lebih kuat, maka yang dipandang lebih kuat tersebut disebut dengan al-
madzhab.
11. Al-Asybah. Apabila dalam satu masalah ada dua hokum yang didasarkan kepada
Qiyas, akan tetapi salah satunya illatnya lebih kuat dari pada yang lain, maka yang
lebih kuat illatnya ini disebut dengan al-asybah.
12. An-Nash adalah pendapat yang diambil langsung dari buku-buku karya Imam Syafi’i.
Kebalikan dari an-nash adalah al-mukharraj. Al-Mukharraj adalah pendapat yang
bukan dari Imam Syafi’i akan tetapi dari ulama Syafi’iyyah.
13. Al-Ashhab adalah para fuqaha Syafi’iyyah yang ilmunya sangat dalam dan luas
sehingga mereka dapat beristinbath sendiri dalam hokum-hukum fiqih namun tetap
berpegang kepada ushul Imam Syafi’i .
1. Al-Imam. Apabila didapatkan kata al-Imam, maka maksudnya adalah Imam Haramain
al-Juwaini (w 478 H)
4. Ar-Rabi’, maksudnya adalah ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, murid Imam Syafi’i (w
270 H).
7. Asy-Syuyukh, maksudnya adalah Imam Nawawi, Imam Rafi’i dan Taqiyuddin as-
Subuki (w 756)
10. Apabila dalam kitab al-Muhadzab disebutkan istilah Abu Hamid, maka maksudnya
adalah dua orang ulama yakni al-Qadhi Abu Hamid al-Maruzi Ahmad bin Basyar bin
Amir (w 362 H) dan asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfarayaini Ahmad bin Muhammad (w
406 H).
Buku-buku yang membahas istilah-istilah fiqh Syafi’i dan laqab, kunyah ulama
Syafi’iyyah
2. Tahdzib al-Asma wal Lughat, karya Imam Abu Zakariya Muhyiyud Din bin Syaraf an-
Nawawi (w 676 H). Buku ini menjelaskan istilah-istilah fiqh Syafi’i yang terdapat
dalam enam buku fiqh Madzhab Syafi’i yakni Mukhtashar al-Muzani, al-Muhadzab, at-
Tanbih, al-Wasith, al-Wajiz dan ar-Raudhah.
Penutup
Di penghujung tulisan ini, penulis hendak menuturkan satu pengalaman penulis ketika
menyusun tulisan ini. Tulisan ini sengaja penulis susun di Mesjid Imam Syafi’i, tepatnya
di depan makam Imam Syafi’i dengan maksud sebagai penghormatan dan rasa takjub
penulis untuk beliau. Di penghujung penyusunan tulisan ini, tepatnya hari Jum’at 8 Juli
2005, saat itu menjelang Isya, karena lelah, saya tertidur persis di samping makam Imam
Syafi’i sambil buku berceceran nggak karuan. Dalam tidur itu saya bermimpi ditemui
oleh seorang laki-laki setengah tua dengan sorban putih dan perawakan segar sembari
datang menghampiri. Tanpa panjang kalam, saya lalu sodorkan tulisan tersebut dengan
maksud untuk dikoreksi; apakah yang ditulis itu sudah benar atau salah atau ada
kekurangan. Laki-laki tua itu lalu mengambil tulisan saya, dan dengan teliti beliau
melihat-lihat. Tidak berapa lama, tulisan saya itu diserahkan kembali. Dengan penuh
penasaran saya bertanya: “Bagaimana syaikh, apakah yang saya tulis salah dan ada
kekurangan?“. Laki-laki tua itu tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan pergi kembali
entah kemana. Saking penasaran, saya hendak mencoba mengejarnya, namun sayang
saya segera terbangun seiring dikumandangkannya adzan Isya.
Saya tidak terlalu mempercayai mimpi tersebut. Tapi senyuman laki-laki tua yang hadir
dalam mimpi saya, sampai saat ini masih membekas. Senyumannya penuh makna. Tentu
yang tahu makna itu hanyalah laki-laki tua itu. Namun, hati ini begitu yakin bahwa
senyuman laki-laki tua itu berarti bahwa tulisan saya banyak kekurangannya. Hanya
saja, layaknya laki-laki tua bijak yang tidak mau mematahkan semangat thalib ilmu, ia
tidak menjawabnya secara togmol (sunda). Senyuman itulah yang hendak saya
sampaikan kepada para pembaca. Artinya, tulisan ini jelas banyak kekurangan bahkan
boleh jadi ada kekeliruan. Namun demikian, paling tidak tulisan ini dapat anda jadikan
sebagai pijakan dasar dan pertama dalam mengkaji lebih dalam fiqh Syafi’i. Kekurangan
dan kesalahan tentu datang dari penulis sendiri dan kebenaran dari Allah serta
RasulNya. Kini kita mempunyai tugas bersama untuk “mengejar” laki-laki tua itu agar
ketika kembali mengoreksi tulisan ini, ia tidak lagi “tersenyum”, tapi paling tidak berkata:
“inta wa ma katabta kuwais wa mmtaz“. Wallahu ‘alam bis shawab.
Depan Makam Imam Syafi’i, Jum’at 24 Juni, 1 dan 8 Juli 2005 menjelang Maghrib dan Isya.
Iklan
Share this:
Kategori: Fiqh
Tag: Literatur
Berikan Komentar
Iklan