Anda di halaman 1dari 27

Perwakilan Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PERSIS) Republik Arab Mesir

Studi Literatur Fiqh Seri I; Pengantar Studi Fiqh Madzhab


Syafi’i
Pwk. PP. Persis Mesir 12 tahun yang lalu

Iklan

STUDI LITERATUR FIQH SERI I

PENGANTAR STUDI FIQH MADZHAB SYAFI’I

Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati***

Pendahuluan

Mengkaji literature Fiqh bukan saja membutuhkan kesabaran, akan tetapi juga
kemampuan dan keuletan. Mengapa? Ya, karena seorang bahis di samping harus
mengetahui buku-buku primer fiqh yang sedang dikajinya, juga terlebih dahulu ia harus
memahami dan menguasai paling tidak seluk beluk dasar dari madzhab fiqh yang sedang
dibahasnya. Belum lagi ia harus mengetahui buku-buku yang termasuk kategori
awwalun, mutawasithun, dan muta’akhirun. Hal ini penting, mengingat umumnya buku-
buku literature fiqh satu sama lain saling berkaitan erat.

Ketika anda mendapatkan sebuah syarah atau hasyiyah atau mukhtashar dari
salah satu buku, tidak berarti bahwa itu semua tidak berarti dan tidak penting.
Banyaknya hasyiyah dan syarah, hakikatnya semakin menambah beban seorang bahis,
lantaran satu syarah dan hasyiyah dengan yang lainnya tentu sangat berbeda dan
mempunyai penekanan tersendiri. Semua ini hanya bisa dipahami tentunya oleh mereka
yang telah lama ‘bersentuhan’ dengan literature dimaksud. Karena banyaknya hal yang
harus dikuasai dengan baik oleh seorang bahis inilah, banyak kalangan fiqh sendiri
mengatakan bahwa hakikatnya mengkaji literature turats tidaklah gampang. Masih lebih
mudah mengkaji buku-buku kontemporer ketimbang buku-buku turats.

Pendapat ini tentu tidak berlebihan sekaligus tidak berarti tidak dapat diobati. Kita
semua tentu dapat mengkajinya dengan baik selama ada kerja keras dan kemauan serta
kesabaran. Dalam rangka upaya memahami literature inilah, makalah ini sengaja penulis
sodorkan ke hadapan pembaca. Makalah ini tentu bukan satu-satunya rujukan yang
sudah disegel kebenarannya. Sekali lagi tidak. Masih banyak kekurangan dan boleh jadi
kekeliruan di dalamnya. Hanya saja, paling tidak, semoga makalah ini menjadi jembatan
pertama yang menghubungkan anda dengan dunia literature fiqh, khususnya madzhab
Syafi’i.

Pada awalnya, tema yang disodorkan kepada penulis bersifat umum yakni turats
fiqh. Akan tetapi penulis melihat, bagaimana dapat menyodorkan literature fiqh yang
bejibun, dalam beberapa madzhab, hanya dalam waktu dua setengah jam. Oleh karena
itu, penulis berinisiatif untuk membatasi diri pada kajian fiqh Madzhab Syafi’i,
mengingat madzhab inilah yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Untuk
bahasan madzhab-madzhab fiqh lainnya semoga dapat kita bahas bersama dalam
kesempatan yang lain.

Paling tidak, hemat penulis, untuk mengkaji fiqh satu madzhab, baik Hanafi,
Maliki, Syafi’i maupun Hanbali dibutuhakan tiga kali pertemuan (satu paket) masing-
masing dengan durasi minimal 2 jam. Ketiga pertemuan dimaksud pertama, untuk
mengkaji seputar perkembangan awal sekaligus pendiri dari madzhab bersangkutan
(tingkat dasar), dilanjutkan dengan mengkaji buku-buku primer sekaligus takhrij masail
fiqhiyyah antara pendapat Syafi’i dengan Syafi’iyyah, misalnya. Dan terakhir, mengkaji
ushul, metode istinbat hokum serta qawaid-qawaid istinbath yang digunakan madzhab
tersebut ditambah dengan analisa. Analisa ini sangat diperlukan agar terhindar dari
pengelu-eluan turats yang berlebihan sehingga, dalam istilah Ali Jum’ah tidak qabul
wujdany, menerima secara membabi buta, juga sebaliknya tidak rafdh wujdany, menolak
mentah-mentah.

Makalah kali ini, tentu tidak akan dapat menjawab ketiga hal di atas. Paling tidak,
makalah ini mencoba menjawab salah satunya—disesuaikan dengan tema dari workshop
ini—yakni untuk mengetahui buku-buku primer apa yang harus dipakai dan dijadikan
maraji’ oleh mereka yang hendak mengkaji madzhab Syafi’i. Itu saja, tujuan utama dari
penulisan makalah ini. Hal ini penting, mengingat belakangan ini seringkali para bahis
mengkaji dan menulis fiqh Syafi’i akan tetapi bukan dari sumber primernya. Yang terjadi,
tentu hasil dari penelitian dimaksud tidak dapat diterima dan tidak dapat dipandang sah
secara ilmiah. Bagaimana mengatakan itu adalah pendapat Imam Syafi’i apabila yang
dijadikan maraji’nya adalah buku Mughnil Muhtaj karya al-Khatib Syarbiny, misalnya.
Atau bagaimana dipandang sah apabila mengatakan bahwa pendapat ashhab Syafi’i
begini atau begitu sementara buku yang dijadikan pegangannya adalah buku Safinatun
Najah. Untuk itu, semoga tulisan ini dapat menjadi bekal bagi para pembaca dalam
rangka studi literature primer fiqh Madzhab Syafi’i.

Semoga dalam dua tema lainnya yang belum dibahas serta studi literature
madzhab-madzhab fiqh lainnya dapat kita bahas bersama dalam lain waktu dan lain
kesempatan. Sebelum lebih lanjut penulis mengajak pembaca pada bahasan inti, perlu
penulis kemukakan terlebih dahulu bahwa untuk biografi singkat pendiri Madzhab
Syafi’i yaitu Imam Syafi’i dan sejarah tumbuh dan berkembangnya Madzhab Syafi’i,
dapat dilihat dalam kerangka atau bagan yang sengaja penulis lampirkan. Hal ini
dilakukan, mengingat keterbatasan waktu dan makalah. Apabila dicantumkan, tentu
akan merepotkan paniti, mengingat kemungkinan besar makalah akan menjadi sangat
tebal.

Akhirnya, semoga tulisan kecil ini bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan
umumnya bagi para pembaca semua. Semua kesalahan dan kekurangan tentu datang
dari penulis sendiri, sementara kebenaran datang dari Allah dan RasulNya. Hanya
kepada Allah kita bergantung dan mengabdi, dan hanya kepadaNya jualah kita akan
kembali. Selamat mengikuti.

Literatur buku-buku Fiqh dalam Madzhab Syafi’i

Dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih lainnya, madzhab Syafi’i tentu


merupakan madzhab yang paling banyak buku-buku fiqhnya. Saking banyaknya buku-
buku fiqh Syafi’i ini, tidak ada seorang ulama pun yang dapat menghitungnya termasuk
anda sendiri. Tidak percaya? Coba sesekali anda main ke maktabah-maktabah dan minta
dikumpulkan buku-buku fiqh Syafi’i, kemungkinan besar buku-buku dimaksud akan
menghabiskan setengahnya bahkan lebih dari isi maktabah tersebut. Banyaknya buku-
buku ini, tentu disamping berkat kejuhudan murid-murid dan ulama Syafi’iyyah, juga
hemat penulis, karena buku-buku fiqh Madzhab Syafi’i ini satu sama lain saling berkaitan
dan bersambung. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan keterkaitan dan
kebersambungan buku-buku dimaksud.
Buku pertama dalam madzhab Syafi’i adalah kitab al-Umm karya Imam Syafi’i (w
150H) sendiri. Pada masa berikutnya, buku al-Umm ini diringkas oleh muridnya yang
bernama Imam al-Muzani (w 264 H) dalam bukunya berjudul Mukhtashar al-Muzani.
Tidak lama kemudian, buku Mukhtashar al-Muzani ini disyarah oleh Imam al-Haramain
al-Juwaini (w 478 H) dalam Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Selang beberapa
lama karya Imam Juwaini ini diringkas oleh muridnya Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam
bukunya al-Basith. Tidak puas dengan al-Basith, Imam Ghazali meringkasnya menjadi al-
Wasith, kemudian al-Wasith diringkas juga dalam bukunya yang lain berjudul al-Wajiz
dan terakhir, buku al-Wajiz ini diringkas lagi dalam bukunya al-Khulashah.

Setelah itu datang Imam ar-Raf’i (w 624 H) meringkas al-Wajiz karya Imam al-
Ghazali tadi menjadi al-Muharrar. Selang beberapa lama, datang Imam Nawawi (w 676
H), meringkas buku al-Muharrar dalam karyanya Minhajut Thalibin yang kemudian
menjadi pegangan utama para ulama Syafi’iyyah dalam berijtihad dan berfatwa. Tidak
lama kemudian, buku Minhajut Thalibin ini diringkas oleh Syaikhul Islam Zakaria al-
Anshari dalam bukunya al-Manhaj. Buku al-Manhaj ini lalu diringkas oleh Imam al-
Jauhari menjadi an-Nahj.

Imam ar-Rafi’i kemudian mensyarah kitab al-Wajiz karya Imam Ghazali dalam dua
buah karyanya yakni asy-Syarh as-Shagir, namun tidak diberi nama dan dalam asy-Syarh
al-Kabir yang diberi nama dengan al-‘Aziz. Kemudian Imam Nawawi meringkas buku al-
Aziz karya Imam Rafi’i tadi menjadi ar-Raudhah (lengkapnya Raudhatut Thalibin wa
Umdatul Muftin), lalu Ibnu Maqarra meringkas ar-Raudah menjadi ar-Raud. Imam
Zakaria al-Anshari kemudian mensyarah buku ar-Raud ini dalam karyanya berjudul al-
Asna.

Setelah itu, datang Ibnu Hajar al-Haitami (w 974 H) meringkas buku ar-Raud ini
dalam karyanya berjudul an-Na’im. Kitab ar-Raudhah juga diringkas oleh Ahmad bin
Umar al-Muzjid az-Zabidi dalam karyanya berjudul al-‘Ibab, kemudian Ibn Hajar al-
Haitami mensyarahnya menjadi al-Ii’ab hanya saja tidak sampai akhir. Imam Suyuthi
juga meringkas kitab ar-Raudah ini dalam karyanya berjudul al-Gunyah, dan
mengumpulkannya menjadi kumpulan nadham dalam karyanya berjudul al-Khulashah,
akan tetapi tidak sampai selesai. Imam al-Qazuwaini kemudian meringkas buku al-Aziz
karya Imam Rafi’i dalam karyanya berjudul al-Hawi ash-Shagir, kemudian dikumpulkan
dalam nadham-nadham oleh Ibn al-Wardi dalam karyanya berjudul al-Buhjah. Lalu kitab
al-Buhjah ini disyarah oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dengan dua syarah (hanya
tidak disebutkan nama syarah ini). Kemudian datang Ibnu al-Maqarri meringkas buku al-
Hawi ash-Shagir menjadi al-Irsyad, lalu al-Irsyad ini disyarah oleh Ibn Hajar al-Haitami
dalam dua syarah. Setelah masa Ibnu Hajar al-Haitami ini baru bermunculan buku-buku
berupa hasyiyah dari kitab-kitab sebelumnya.

Dari penjelasan di atas, nampak sangat jelas bagaimana keterkaitan dan


ketersambungan buku-buku fiqh madzhab Syafi’i ini antara satu dengan yang lainnya.
Inilah yang kemudian menyebabkan buku-buku fiqh Madzhab Syafi’i ini lebih banyak
bila dibandingkan dengan madzhab fiqh lainnya. Dengan saling keterkaitannya antara
satu kitab dengan yang lainnya juga menyebabkan cara penempatan bab-bab fiqh dalam
buku-buku fiqh Syafi’i menjadi sangat berdekatan dan hampir sama. Coba anda
perhatikan bagaimana bab-bab yang disusun dalam kitab al-Umm hampir sama
penempatannya dengan buku Minhajut Thalibin atau syarahnya.

Apabila melihat kitab-kitab Madzhab Syafi’i sebagaimana telah penulis tuturkan di


atas, tentu anda akan sangat sulit dan bingung dalam mendudukan kitab-kitab tersebut.
Nah, untuk lebih memudahkan, berikut ini penulis mencoba membagi kitab-kitab
madzhab Syafi’i ini dalam beberapa kelompok sesuai dengan apa yang telah penulis
jelaskan dalam bahasan periodisasi perkembangan madzhab Syafi’i .

Dengan dasar periodisasi perkembangan madzhab Syafi’i, penulis mencoba


membagi buku-buk fiqh madzhab Syafi’i ini ke dalam tujuh kelompok. Pengelompokan
ini diawali dari sejak awal berdirinya madzhab tersebut sampai masa paling akhir dan
modern belakangan ini. Ketujuh pengelompokan dimaksud adalah:

1. Karya-karya Imam Syafi’i


2. Karya-karya Ulama Syafi’iyyah generasi pertama
3. Karya-karya ulama Syafi’iyyah generasi kedua
4. Karya-karya yang berkaitan dengan fiqih muqaran
5. Karya-karya yang membahas tema-tema tertentu dan khusus
6. Karya-karya yang tidak termasuk salah satu dari lima kelompok di atas
7. Karya-karya Madzhab Syafi’i belakangan

Untuk lebih jelasnya, berikut ini penjelasan ketujuh kelompok dimaksud:

1. Karya-karya Imam Syafi’i .

Berikut ini karya-karya Imam Syafi’i yang disusun ketika beliau berada di Mesir:

1. Kitab al-Umm
2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wabni Abi Laila
3. Kitab Ikhtilaf Ali wa Abdillah bin Mas’ud
4. Kitab Ikhtilaf Malik was Syafi’i
5. Kitab Jima’il ‘Ilm
6. Kitab Bayan Faraidhillah
7. Kitab Shifati Nahyi Rasulillah
8. Kitab Ibthalil Istihsan
9. Kitab ar-Radd ‘Ala Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany
10. Kitab Siyaril Auzai.

Semua karya-karya Imam Syafi’i sebagaimana telah penulis sebutkan di atas, telah
ditahkik dengan sangat bagus dan lengkap oleh DR. Ahmad Badruddin Hasun dengan
judul Mausu’ah al-Imam asy-Syafi’i . Buku tahkiknya ini awalnya adalah risalah Dukturah
beliau yang diajukan ke Jami’ah Islamiyyah di Karachi Pakistan. Buku ini dicetak
pertama kali oleh Dar Qutaibah di Beirut pada tahun 1996 dalam 15 Juz yang
dikumpulkan dalam 10 Jilid besar. Hemat penulis, buku tahkikan DR. Ahmad Badruddin
Hasun terhadap kitab al-Umm ini adalah yang paling baik dan paling lengkap dalam segi
tahkikan dan kekayaan maklumat yang dikandungnya apabila dibandingkan dengan
tahkikan lainnya.

Buku-buku karya Imam Syafi’i di atas sangatlah penting dan merupakan marja’
primer bagi mereka yang hendak mengkaji fiqh madzhab Syafi’i. Ketika anda hendak
mengetahui bagaiman pendapat Imam Syafi’i dalam suatu hal masalah fiqh, maka anda
harus kembali kepada kitab-kitab karya Imam Syafi’i di atas yang sudah dirangkum oleh
DR. Ahmad Badruddin Hasun dalam karyanya berjudul Mausu’ah al-Imam asy-Syafi’i .

Apabila anda kaji, seringkali terjadi kesalahan dalam menisbatkan sebuah hokum
kepada madzhab Syafi’i. Seringkali ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa demikian
menurut Imam Syafi’i, padahal sesungguhnya tidak seperti itu. Untuk mengambil salah
satu contoh, berikut ini penulis kemukakan apa yang dituturkan oleh DR. Umar Sulaiman
al-Asyqar dalam bukunya Masail min Fiqh al-Kitab was Sunnah. Dalam buku ini Sulaiman
al-Asyqar mengatakan bahwa sebagian ulama Syafi’iyyah telah salah dalam
menisbahkan pendapat hokum kepada Imam Syafi’i, di mana mereka mengatakan bahwa
menurut Imam Syafi’i, orang yang mengetahui letak Ka’bah (kiblat) maupun yang tidak
mengetahui, harus beribadah tepat menghadap Ka’bah. Padahal dalam kitab al-Umm,
dengan tegas-tegas Imam Syafi’i berkata bahwa bagi yang tidak mengetahui di mana
letak Ka’bah cukup dengan keyakinannya saja terhadap letak Ka’bah tersebut.
Seandainya tidak tepat sekalipun, tidak mengapa.

Oleh karena itu, sekali lagi, apabila anda hendak mengkaji bagaimana pendapat
Imam Syaf’i dalam satu hal, anda tidak boleh melirik buku lain, tapi kembalikan kepada
buku primernya berupa karya-karya Imam Syafi’i sebagaimana telah disebutkan di atas.

Namun, satu hal yang perlu penulis tambahkan di sini, bahwa untuk membantu
pengkajian anda terhadap kitab al-Umm ini, anda perlu juga membaca buku lainnya
yakni buku Ma’rifatus Sunan wal Atsar karya Imam al-Hafidz al-Baihaki. Buku ini sangat
berguna untuk mengetahui dalil-dalil Imam Syafi’i terutama dalil-dalil dari Sunnah dan
Atsar serta bagaimana kedudukan haditsnya dan sanadnya. Hal ini dikarenakan, dalam
kitab al-Umm, tidak ada perincian seperti di atas. Terkadang, dalam kitab al-Umm tidak
disebutkan dalilnya, tapi langsung hukumnya. Nah, untuk mengetahui apa dalil Imam
Syafi’i dalam menetapkan hokum tersebut, atau bagaimana kedudukan hadits yang
disebutkan Imam Syafi’i dalam al-Umm ini, serta bagaimana sanad hadits yang
dituturkan Imam Syafi’i dalam al-Umm, anda dapat melihat buku Ma’rifatus Sunan wal
Atsar karya Imam Baihaki tersebut. Buku ini dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut
dengan muhakik Sayyid Karwi Hasan, dan tahkikan ini hemat penulis yang paling bagus
apabila dibandingkan dengan tahkikan lainnya.

2. Karya-karya Tokoh Ulama Syafi’iyyah generasi pertama setelah Imam Syafi’i

Yang dimaksud dengan tokoh Syafi’iyyah generasi pertama di sini adalah untuk
menyebut dua imam besar madzhab Syafi’i yakni Imam Rafi’i (557-623H) dan Imam
Nawawi (631-676 H).

Karya-karya dua imam ini dalam madzhab Syafi’i mempunyai kedudukan sangat
penting. Bahkan, boleh dikatakan kedua terpenting dalam madzhab Syafi’i setelah karya-
karya Imam Syafi’i. Artinya, ketika anda hendak mengetahui bagaimana pendapat
Madzhab Syafi’i (bukan pendapat Imam Syafi’i ) tentang sebuah masalah, maka
hendaknya ia melihat karya-karya dua imam ini. Dengan melihat karya-karya dua imam
ini, anda tidak perlu melihat buku-buku fiqh lainnya. Mengapa karya kedua imam ini
begitu penting? Karena sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa kedua imam
inilah yang mempunyai peranan sangat besar dalam pengembangan madzhab Syafi’i .
Jadi, sekali lagi ketika anda hendak melihat bagaimana pendapat madzhab Syafi’i tentang
satu masalah, anda cukup melihat karya-karya kedua imam tersebut.

Apabila kedua imam tersebut sepakat dan tidak berbeda pendapat dalam satu
masalah, maka pendapat itulah yang dipandang sebagai pendapat yang abash sebagai
madzhab Syafi’i . Namun, apabila antara Imam Rafi’i dengan Imam Nawawi berbeda
pendapat dan tidak mungkin dapat digabungkan kedua pendapat tersebut, atau
keduanya tidak dapat dicari mana yang paling rajih, atau dapat diketahui mana yang
paling rajih akan tetapi kedua pendapat tersebut sama, maka yang harus didahulukan
adalah pendapatnya Imam Nawawi. Dalam hal ini Ibnu Hajar al-Haitami (w 974 H)
pernah mengatakan dalam mukaddimah bukunya Tuhfatul Muhtaj bi Syarh al-Minhaj:

,‫ ﻓﺈن اﺧﺘﻠﻔﺎ وﻟﻢ ﻳﻮﺟﺪ ﻟﻬﻤﺎ ﻣﺮﺟﺢ أو وﺟﺪ وﻟﻜﻦ ﻋﻠﻰ اﻟﺴﻮاء‬,‫اﻟﺬى أﻃﺒﻖ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﻤﺤﻘﻘﻮن أن اﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﻣﺎ اﺗﻔﻘﺎ اﻟﺸﻴﺨﺎن ﻋﻠﻴﻪ‬
.‫ﻓﺎﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ اﻟﻨﻮوى وإن وﺟﺪ ﻷﺣﺪﻫﻤﺎ دون اﻷﺧﺮ ﻓﺎﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ذو اﻟﺘﺮﺟﻴﺢ‬

Mengingat pentingnya karya-karya dua imam dimaksud, berikut ini penulis ketengahkan
karya-karya keduanya.

A. Karya-karya Imam Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi’i

1) Kitab al-Muharrar. Buku ini sampai saat ini masih berbentuk makhtutat, manuskrip
dan belum ditahkik serta belum dicetak. Barangkali di antara sebab belum
ditahkik dan belum dicetaknya, lantaran sudah terwakili oleh buku Minhajut
Thalibin yang merupakan ringkasan dari Kitab al-Muharrar tersebut. Dan
sebagaimana telah penulis tuturkan di atas, bahwa buku al-Minhaj ini sangat
masyhur di kalangan para ulama Syafi’iyyah dan sangat banyak syarahnya. Untuk
itulah kitab al-Muharrar belum dicetak dan belum ditahkik sampai saat ini.

2) Kitab asy-Syarhus Shagir. Buku ini merupakan syarah terhadap buku Imam al-
Ghazali yang berjudul al-Wajiz. Buku ini, sudah ditahkik oleh mahasiswa magister
Jami’ah al-Jinan al-Lubnaniyyah, hanya saja sampai saat ini belum dicetak.

3) Kitab al-Aziz Syarh al-Wajiz atau asy-Syarh al-Kabir. Buku ini merupakan buku
terpenting dan terbesar dari karya Imam Rafi’i. Buku ini merupakan syarah dari
buku al-Wajiz karya Imam al-Ghazali, dengan syarah yang sangat luas dan
panjang. Dalam penjabarannya, Imam Rafi’i dalam buku ini terlebih dahulu
menjelaskan persoalan, kemudian kaitannya dengan pendapat Imam Syafi’i serta
pendapat para ashhabnya, kemudian diakhiri dengan pemilihan mana yang
dipandang sebagai madzhab Syafi’i. Buku ini ditahkik oleh Adil Ahmad Abdul
Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad serta dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah
pada tahun 1997.

Mengingat pentingnya buku ini, Imam Nawawi dalam mukaddimah bukunya


Raudhah ath-Thalibin (I/47) pernah berkata:

‫ وﺣﻮى ﺟﻤﻴﻊ ﻣﺎ وﻗﻊ ﻟﻪ ﻣﻦ اﻟﻜﺘﺐ اﻟﻤﺸﻬﻮرات…ﻓﺄﺗﻰ‬,‫ وﺟﻤﻊ ﻣﻨﺘﺸﺮه ﺑﻌﺒﺎرات وﺟﻴﺰات‬,‫وﻧﻘﺢ اﻟﻤﺬﻫﺐ أﺣﺴﻦ اﻟﺘﻨﻘﻴﺢ‬
‫اﻟﻜﺮﻳﻢ‬ ‫ ﻓﺸﻜﺮ ا‬,‫ ﻣﻊ اﻹﻳﺠﺎز واﻹﺗﻘﺎن وإﻳﻀﺎح اﻟﻌﺒﺎرات‬,‫ﻓﻰ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺷﺮح اﻟﻮﺟﻴﺰ ﺑﻤﺎ ﻻ ﻛﺒﻴﺮ ﻣﺰﻳﺪ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ اﻻﺳﺘﻴﻌﺎب‬
…‫ وأﻋﻈﻢ ﻟﻪ اﻟﻤﺜﻮﺑﺎت‬,‫ﻟﻪ ﺳﻌﻴﻪ‬
B. Karya-karya Imam Nawawi
Imam Nawawi mengarang banyak buku fiqh dalam Madzhab Syafi’i . Di antara
karyanya itu ada yang hilang ada juga yang masih ada sampai sekarang. Di antara
yang sudah hilang adalah karyanya berjudul Ruhul Masail fil Furu’ dan ‘Uyun al-
Masail al-Muhimmah. Sementara buku-bukunya yang masih ada yang dipandang
sangat penting, adalah:
1) Kitab Minhajut Thalibin. Buku ini merupakan ringkasan dari buku al-Muharrar
karya Imam Rafi’i. Buku Minhajut Thalibin ini dinilai buku yang sangat penting
bahkan terpenting di antara buku-buku periode pertama Madzhab Syafi’i.
Umumnya, buku ini menjadi rujukan utama para ulama Syafi’iyyah dalam
menetapkan sebuah persoalan. Oleh karena itu, buku ini mempunyai syarah dan
hawasyi yang sangat banyak. Di antara syarah terhadap buku ini adalah Mughnil
Muhtaj karya al-Khatib asy-Syarbini, al-Manhaj wa Syarhuh karya Syaikhul Islam
Zakaria al-Anshari, Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami, dan Nihayatul
Muhtaj karya Imam ar-Ramli.
2) Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin. Buku ini merupakan ringkasan dari buku
al-Aziz Syarh al-Wajiz karya Imam Rafi’i. Buku ini lebih tebal dari pada buku
Minhajut Thalibin di atas.
3) Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Buku ini merupakan buku terbesar dan terpenting
dari karya Imam Nawawi. Buku ini merupakan syarah dari buku al-Muhadzab
karya Abu Ishak as-Syairazi (w 476) sekaligus sebagai buku syarah paling terkenal
dan paling bagus dari pada syarah-syarah al-Muhadzab lainnya. Buku ini sangat
tebal terdiri tidak kurang dari 30 jilid lebih. Dalam buku ini Imam Nawawi bukan
semata mengungkapkan pendapat Madzhab Syafi’i, akan tetapi juga
membandingkannya dengan madzhab-madzhab lainnya yang tentunya disertai
dengan munaqasyah dan rad-rad tajam.
Hanya saja, Imam Nawawi meninggal sebelum beliau menyelesaikan buku
al-Majmu ini. Imam Nawawi menulis buku ini hanya sampai pada Bab Riba dari
Kitab al-Buyu’. Kemudian Imam Taqiyuddin as-Subuki (w 756) mencoba
melengkapinya, hanya saja belum sampai selesai buku al-Majmu’ tersebut, ajal
lebih dahulu merenggutnya. Beliau hanya dapat melengkapi sekitar tiga jilid saja.
Setelah Taqiyuddin al-Subuki meninggal, baru para ulama Syafi’iyyah bangkit
mencoba melengkapinya. Di antara para ulama yang melengkapi buku al-Majmu’
ini adalah al-Allamah Isa bin Yusuf Mannun (w 1376 H) dan Muhammad Najib al-
Muthi’i (w 1406 H). Buku al-Majmu’ ini adalah buku terakhir Imam Nawawi.
Meski demikian, para ulama Syafi’iyyah berikutnya, ketika mereka hendak
menetapkan sebuah persoalan berdasarkan Madzhab Syafi’i dari karya-karya
Imam Nawawi, mereka lebih banyak berpegang kepada Minhajut Thalibin dan
Raudhatut Thalibin dari pada kepada al-Majmu’. Hal ini barangkali di antaranya
disebabkan bahwa kitab al-Majmu’ ditulis bukan oleh Imam Nawawi secara
lengkap, akan tetapi juga ditulis oleh ulama-ulama lainnya sebagaimana telah
disebutkan di atas. Oleh karenanya, mereka menilai, kitab al-Majmu’ bukan karya
asli Imam Nawawi dan karenanya kurang mendapatkan perhatian dari para
ulama Syafi’iyyah berikutnya.
4) Syarah Shahih Muslim. Imam Nawawi juga mensyarah kitab Shahih Muslim dalam
karyanya berjudul al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hijaj. Buku ini dinilai
sebagai buku syarah terpenting dan terbaik juga lebih terkenal dari pada syarah-
syarah lainnya terhadap Shahih Muslim. Buku ini dicetak beberapa kali cetakan
dan oleh beberapa penerbit. Hanya saja, yang penulis pandang lebih baik
tahkikannya adalah yang dicetak oleh Dar Ihya at-Turats al-Arabi yang berikan
nomor oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi’, ditahkik oleh Syaikh Irfan
Hasunah dan diberi kata pengantar oleh DR Muhammad al-Mar’isyli. Hanya saja
buku ini lebih tepat disebut sebagai buku hadits bukan sebagai buku fiqh. Namun
demikian, buku ini juga dipandang penting manakala hadits-hadits tersebut
berkaitan dengan masalah fiqh.

Bagaimana cara mentarjih antara aqwal dalam madzhab Syafi’i .


Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa pendapat Imam Syafi’i
(al-aqwal) terkadang lebih dari satu demikian juga dengan pendapat para ulama
Syafi’iyyah generasi awal (al-aujuh). Untuk itu, dibutuhkan upaya tarjih di antara
pendapat-pendapat tersebut. Upaya untuk mentarjih aqwal tersebut telah
dilakukan oleh dua Imam besar yakni Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Artinya, kini
kita lebih mudah dan sedikit gampang. Apabila hendak melihat pendapat mana
yang lebih dipandang sebagai pendapat madzhab Syafi’i, anda tinggal melihat hasil
tarjih dari Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Apabila antara Imam Rafi’i dan Imam
Nawawi terjadi pertentangan dan tidak dapat digabungkan juga tidak dapat
ditarjih, maka apa yang diungkapkan oleh Imam Nawawi lebih didahulukan
daripada hasil tarjih Imam Rafi’i. Lantas apa yang dipakai oleh Imam Nawawi
dalam mentarjih aqwal tersebut?
Berikut ini ringkasan penuturan Imam Nawawi dalam mukaddimah kitab al-
Majmu’ Syarah al-Muhadzab, mengenai metode tarjih yang dipakainya apabila
terjadi perbedaan di antara aqwal tersebut:
1. Pendapat Imam Syafi’i yang tidak bertentangan dengan dalil baik pendapat lama
(al-qaul al-qadim) maupun pendapat baru (al-qaul al-jadid) adalah yang diambil
sebagai pendapat Madzhab Syafi’i . Hal ini dikarenakan Imam Syafi’i pernah
berkata:
‫ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ودﻋﻮا ﻗﻮﻟﻰ‬ ‫ﺻﻠﻰ ا‬ ‫ﻓﻘﻮﻟﻮا ﺑﺴﻨﺔ رﺳﻮل ا‬ ‫إذا وﺟﺪﺗﻢ ﻓﻰ ﻛﺘﺎﺑﻰ ﺧﻼف ﺳﻨﺔ رﺳﻮل ا‬
2. Qaul Jadid Imam Syafi’i dipandang sebagai Madzhab Syafi’i apabila secara
terang-terangan bertentangan dengan qaul qadim. Namun, apabila qaul jaded
tidak bertentangan dengan qaul qadim, atau tidak diketemukan pendapat Imam
Syafi’i dalam qaul jaded, hanya ada dalam qaul qadim, maka qaul qadim itulah
yang dipandang sebagai madzhab Syafi’i dan itulah yang harus dijadikan
pijakan dalam berfatwa.
3. Apabila ada dua pendapat Imam Syafi’i yang sama baik dari segi baru, lama atau
dalilnya, maka ambillah pendapat yang paling akhir dari kedua pendapat
tersebut, apabila diketahui pendapat mana yang paling akhir. Namun, apabila
tidak diketahui pendapat yang paling akhir, maka ambil pendapat yang ditarjih
sendiri oleh Imam Syafi’i .
4. Apabila pendapat-pendapat Imam Syafi’i tersebut tidak diketahui mana yang
murajjah dan mana yang murajjihnya, baik dari segi qadim jadidnya atau dari
sisi tidak ada tarjih sama sekali dari Imam Syafi’i , maka harus dicari mana
yang paling rajih dengan jalan disesuaikan dengan nash-nash dari Imam Syafi’i
lainnya, metode dan kaidah pengambilan hukumnya serta ushul-ushul yang
biasa dipakai oleh Imam Syafi’i .
Untuk lebih memudahkan ketika anda hendak mengkaji bagaimana pendapat
tentang satu masalah menurut Madzhab Syafi’i, berikut ini penulis ringkaskan
dalam bentuk table yang mana hemat penulis masalah tersebut tidak akan lepas
dari lima keadaan berikut ini:
Masalah yang dicari ketetapan Buku apa yang harus anda
No hukumnya dalam Madzhab jadikan rujukan (tautsiq
Syafi’i marja’)

1 Pendapat Imam Rafi’i Karya-karya Imam Rafi’i

2 Pendapat Imam Nawawi Karya-karya Imam Nawawi

Antara Imam Nawawi dan Imam Karya-karya Imam Rafi’i dan


Rafi’i sepakat mengenai Imam Nawawi dan keduanya
3
hukumnya dipandang mempunyai kekuatan
dan tingkatan yang sama

4 Antara Imam Rafi’i dan Imam Karya-karya fiqh Imam Nawawi


Nawawi berbeda pendapat harus lebih didahulukan

Baik Imam Rafi’i maupun Imam Karya-karya para ulama


Nawawi tidak membahas Syafi’iyyah generasi kedua
5 persoalan tersebut, atau sebagaimana akan dibahas di
membahasnya namun terlalu bawah ini
ringkas dan sedikit

3. Karya-karya para ulama Syafi’iyyah generasi kedua


Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang karya-karya pada generasi ini, terlebih
dahulu perlu penulis kemukakan apa yang dimaksud dengan karya-karya para ulama
Syafi’iyyah generasi kedua dalam tulisan ini. Dimaksudkan dengan karya-karya para
ulama Syafi’iyyah generasi kedua ini adalah masa munculnya dua Imam besar yakni
Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H) dan Syamsud Din Muhammad ar-Ramli (w 1004 H).
Kedua imam ini penulis jadikan sub tersendiri mengingat penting dan besarnya
sumbangsih keduanya dalam meneruskan pengembangan dan perluasan madzhab
Syafi’i setelah sebelumnya dipelopori oleh Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Besarnya
sumbangsih kedua Imam ini terutama dengan syarah keduanya terhadap kitab
Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi. Untuk tidak memperbanyak kalam, berikut
ini di antara karya kedua imam dimaksud.
1. Tuhfatul Muhtaj bi Syarh al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Imam Ibn Hajar al-Haitami
sebagai syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi. Buku ini dicetak
beberapa kali dan mempunyai dua hasyiyah yaitu Hasyiyah al-Allamah Ahmad bin
Qasim al-Ubady (w 994 H) dan Hasyiyah al-Allamah Abdul Hamid asy-Syarwany. Buku
ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dengan muhaqiq Syaikh
Muhammad Abdul Aziz al-Khalidy—dan tahkikan beliau hemat penulis lebih bagus dan
lebih lengkap.
2. Nihayatul Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj. Buku ini juga merupakan syarah dari buku
Minhajut Thalibin Imam Nawawi yang ditulis oleh Imam Syamsud Din ar-Ramly. Buku
ini juga dicetak beberapa kali serta mempunyai dua hasyiyah yakni Hasyiyah al-
Allamah Nurud Din Ali bin Ali asy-Syibramalisi (w 1087 H) dan Hasyiyah al-Allamah
Ahmad Abdur Razaq yang dikenal dengan sebutan al-Maghriby ar-Rasyidy (w 1096 H)

Baik buku Tuhfatul Muhtaj maupun Nihayatul Muhtaj merupakan dua buah
buku yang banyak dijadikan pegangan oleh ulama Syafi’iyyah dalam menetapkan
hukum sebuah persoalan atau dalam berfatwa setelah masa Imam Nawawi.
Apabila buku-buku karya al-Haitami dan ar-Ramli tidak membahas satu
persoalan atau membahasnya tapi terlalu singkat, maka yang banyak diambil oleh
ulama Syafi’iyyah generasi akhir adalah karya-karya Syaikhul Islam Zakaria al-
Anshari (w 926 H), khususnya kitab al-Manhaj yakni buku ringkasan dari Kitab
Minhajut Thalibin dan buku al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh Mandhumatil Buhjah al-
Wardiyyah—kedua buku tersebut telah dicetak. Setelah buku-buku Syaikhul Islam
Zakaria al-Anshari, buku berikutnya yang dipandang primer dalam madzhab
Syafi’i adalah Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib
asy-Syarbini (w 977) yang juga merupakan syarah terhadap kitab Minhajut
Thalibin. Buku ini juga dicetak dan sangat terkenal di kalangan madzhab Syafi’i,
termasuk dijadikan referensi utama di lingkungan Universitas al-Azhar fakultas
Syariah Islamiyyah. Setelah buku Mughnil Muhtaj, maraji’ fiqh Syafi’i berikutnya
adalah buku-buku hasyiyah (hasyiyah adalah syarah dari buku syarah) misalnya
hawasyi yang telah disebutkan di atas, juga hasyiyah Qalyuby Umairah karya
Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi dan Syaikh Umairah yang merupakan syarah dari
syarah Imam Jalaluddin al-Mahally terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam
Nawawi.

Persoalan berikutnya, bagaimana apabila antara Imam Ibnu Hajar al-


Haitami dengan Imam Syamsuddin ar-Ramli terjadi pertentangan pendapat?
Sebagaimana antara Imam Rafi’i dan Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-Haitami
dan Imam Syamsuddin ar-Ramli juga terkadang terjadi perbedaan pendapat,
hanya saja perbedaan tersebut tidak sebanyak perbedaan antara Imam Nawawi
dengan Imam Rafi’i. Apabila terjadi perbedaan, mana yang harus didahulukan?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat antara ulama Mesir dengan ulama Hijaj.
Bagi ulama Mesir, maka pendapat ar-Ramli yang harus didahulukan khususnya
apa yang tertera dalam kitabnya, Nihayatul Muhtaj. Hal ini karena buku tersebut
telah disodorkan, dibaca, diminta kritik serta dibetulkan oleh pengarangnya
sendiri kepada 400 ulama. Sehingga dengan demikian, keabsahan buku tersebut
dapat dikatakan mutawatir dan karenanya harus lebih didahulukan dari pada
yang lainnya.

Sedangkan bagi ulama Hijaj, Hadramaut, Syam, Yaman, bahwa yang harus
diambil manakala terjadi pertentangan antara ar-Ramli dengan al-Haitami adalah
pendapat Ibn Hajar al-Haitami khususnya yang tercantum dalam bukunya Tuhfatul
Muhtaj. Hal ini dikarenakan buku tersebut mencakup juga nushush dari Imam al-
Haramain al-Juwaini.
Meski demikian, apa yang diungkapakan oleh al-Allamah Umar al-Bashri
dalam al-Fawaid al-Makkiyyah (hal 38) berikut ini, hemat penulis lebih tepat untuk
dijadikan pegangan, bahwa apabila antara ar-Ramli dengan al-Haitami terjadi
pertentangan pendapat, apabila mufti tersebut termasuk ulama yang dapat
mentarjih, maka ambillah pendapat yang menurutnya lebih kuat. Namun, apabila
bukan termasuk ulama tarjih, maka ia boleh mengambil pendapat mana saja
menurut kehendaknya, atau mengambil kedua-duanya, atau mengambil hasil
tarjih dari ulama muta’akhir. Umar al-Bashri juga melanjutkan, seorang mufti juga
perlu memperhatikan mustaftinya. Apabila mustaftinya (yang meminta fatwa)
adalah orang-orang yang kuat, maka ambil pendapat yang sedikit memberatkan.
Namun, apabila mustaftinya orang yang lemah, maka ambil pendapat yang paling
ringan dan memudahkan.

Soal berikutnya, apabila hendak mencari bagaimana pendapat yang


mu’tamad menurut ulama Syafi’iyyah terhadap satu persoalan, apakah cukup dan
dipandang sah apabila hanya merujuk kepada dua buah buku Tuhfatul Muhtaj dan
Nihayatul Muhtaj atau salah satunya saja jika persoalan yang dicari memang
dibahas dalam dua buah kitab tersebut tanpa melihat dan merujuk kepada karya-
karya Imam Rafi’i dan Imam Nawawi? Untuk menjawab persoalan ini, hemat
penulis, anda boleh dan cukup hanya berpegang kepada dua buah buku tersebut.
Hanya saja, ketika anda mau melihat buku karya Imam Nawawi dan Imam ar-
Rafi’i, tentu itu lebih baik karena akan menambah wawasan dan dalil serta
penguat lainnya. Bahkan dengan mengkaji karya Imam Nawawi dan Rafi’i juga,
besar kemungkinan akan dapat menghindari kesalahan dan kekeliruan.

Mengapa merujuk dua kitab di atas dipandang cukup? Untuk menjawab


pertanyaan ini, penulis akan sodorkan dua hal penting:

1. Banyak para ulama Syafi’iyyah setelah masa Imam ar-Ramli yang memuji
dengan sangat kehebatan dan keunggulan dua buah buku tersebut yakni at-
Tuhfah dan an-Nihayah. Sehingga para ulama Syafi’iyyah menjadikannya
sebagai pegangan utama ketika mereka berfatwa. Salah satu ulama Syafi’iyyah
yang memuji tersebut adalah al-Alamah Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi asy-
Syafi’i (w 1194 H) dalam bukunya berjudul al-Fawaid al-Madaniyyah Fiman
Yufta Biqaulihi Min Aimmah asy-Syafi’iyyah sebagaimana dikutip dalam buku at-
Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i karya Imam al-Baghawi (I/50-51). Untuk lebih
jelasnya berikut ungkapan beliau:
‫ ﻷﻧﻬﺎ‬,‫ذﻫﺐ ﻋﻠﻤﺎء ﻣﺼﺮ—أو أﻛﺜﺮﻫﻢ—إﻟﻰ اﻋﺘﻤﺎد ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ اﻟﺸﻴﺦ ﻣﺤﻤﺪ اﻟﺮﻣﻠﻰ ﻓﻰ ﻛﺘﺒﻪ ﺧﺼﻮﺻﺎ ﻓﻰ ﻧﻬﺎﻳﺘﻪ‬
‫ وأﻛﺜﺮ‬,‫ ﻓﺒﻠﻐﺖ ﺻﺤﺘﻬﺎ إﻟﻰ ﺣﺪ اﻟﺘﻮاﺗﺮ‬,‫ﻗﺮﺋﺖ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺆﻟﻒ إﻟﻰ آﺧﺮﻫﺎ ﻓﻰ أرﺑﻌﻤﺎﺋﺔ ﻣﻦ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻓﻨﻘﺪوﻫﺎ وﺻﺤﺤﻮﻫﺎ‬
‫ ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ إﺣﺎﻃﺔ‬,‫ﻋﻠﻤﺎء اﻟﻴﻤﻦ واﻟﺤﺠﺎز إﻟﻰ أن اﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ اﻟﺸﻴﺦ اﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻓﻰ ﻛﺘﺒﻪ ﺑﻞ ﻓﻰ ﺗﺤﻔﺘﻪ‬
‫ﻫﺬا ﻣﺎ ﻛﺎن ﻓﻰ‬.…‫ اﻟﺬﻳﻦ ﻻ ﻳﺤﺼﻮن ﻛﺜﺮة‬,‫ وﻟﻘﺮاءة اﻟﺤﻘﻘﻴﻦ ﻟﻬﺎ ﻋﻠﻴﻪ‬,‫ﺑﻨﺼﻮص اﻹﻣﺎم ﻣﻊ ﻣﺰﻳﺪ ﺗﺘﺒﻊ اﻟﻤﺆﻟﻒ ﻓﻴﻬﺎ‬
‫ إﻟﻰ أن‬,‫ ﺛﻢ وردت ﻋﻠﻤﺎء ﻣﺼﺮ إﻟﻰ اﻟﺤﺮﻣﻴﻦ وﻗﺮروا ﻓﻰ دروﺳﻬﻢ ﻣﻌﺘﻤﺪ اﻟﺸﻴﺦ اﻟﺮﻣﻠﻲ‬,‫اﻟﺴﺎﻟﻒ ﻣﻦ ﻋﻠﻤﺎء اﻟﺤﺠﺎز‬
‫ ﺑﻞ‬,‫ ﺣﺘﻰ ﺻﺎر ﻣﻦ ﻟﻪ إﺣﺎﻃﺔ ﺑﻘﻮﻟﻬﻤﺎ ﻳﻘﺮرﻫﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﺮﺟﻴﺢ…وﻋﻨﺪى ﻻ ﺗﺠﻮز اﻟﻔﺘﻮى ﺑﻤﺎ ﻳﺨﺎﻟﻔﻬﺎ‬,‫ﻓﺸﺎ ﻗﻮﻟﻪ ﻓﻴﻬﺎ‬
—‫ ﻓﻴﻔﺘﻰ ﺑﻜﻼم ﺷﻴﺦ اﻹﺳﻼم )ﻳﻘﺼﺪ اﻟﺸﻴﺦ زﻛﺮﻳﺎ اﻻﻧﺼﺎرى‬,‫ إﻻ إذا ﻟﻢ ﻳﺘﻌﺮﺿﺎ ﻟﻪ‬,‫ﺑﻤﺎ ﻳﺨﺎﻟﻒ اﻟﺘﺤﻔﺔ واﻟﻨﻬﺎﻳﺔ‬
.(‫ﻫـ‬977 ‫ ﺛﻢ ﺑﻜﻼم اﻟﺨﻄﻴﺐ )ﻳﻘﺼﺪ اﻟﺨﻄﻴﺐ اﻟﺸﺮﺑﻴﻨﻰ ﺗﻮﻓﻰ ﺳﻨﺔ‬,(‫ﻫـ‬926 ‫ﺗﻮﻓﻰ ﺳﻨﺔ‬
2. Kedua Imam Ibn Hajar al-Haitami dan Syamsud Din ar-Ramli dalam kitabnya at-
Tuhfah dan an-Nihayah, ketika membahas masalah-masalah fiqh, seringkali
menyebut perbedaan pendapat antara Imam Rafi’i dan Imam Nawawi.
Disamping karena usaha dan kejuhudan keduanya dalam menggali gagasan-
gagasan dan pemikiran fiqh Imam Nawawi dan Rafi’i tidak diragukan lagi. Oleh
karena itu, karya keduanya dipandang lumayan mewakili karya Imam Nawawi
dan Rafi’i. Hanya saja, memang sekali lagi, mengkaji dan melihat ulang ke
buku-buku Imam Nawawi dan Imam Rafi’i jauh lebih baik dan lebih menambah
pengembangan dalil.
Kini perhatikan ringkasan bahasan kelompok nomor tiga ini
Buku Yang Harus Dijadikan
No Persoalan yang Dicari Keterangan
Marja’

Mencari ketetapan Buku Tuhfatul Muhtaj bi Syarh Merujuk juga


hokum suatu persoalan al-Minhaj karya Ibnu Hajar al- kepada karya-
menurut Madzhab Haitami dan buku Nihayatul karya Imam
Syafi’i Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj Nawawi dan
1 karya Imam ar-Ramli Imam Rafi’i
lebih bagus,
tapi tidak pun
tidak
mengapa

Apabila terjadi Tarjih, kalau hal itu


pertentangan antara memungkinkan, kalau tidak,
Imam al-Haitami boleh diambil yang mana saja
2
dengan Imam ar-Ramli dengan memperhatikan
mustaftinya (orang yang
meminta fatwanya)
3 Apabila dalam buku- Lihat karya-karya Syaikhul
buku Imam al-Haitami Islam Zakaria al-Anshari
dan ar-Ramli tidak
membahas persoalan
yang dicari atau
bahasannya sangat
singkat

Apabila bahasannya Lihat Mughnil Muhtaj Ila


juga kurang lengkap Ma’rifati Ma’ani Alfadh al-
4
atau tidak dibahas Minhaj karya al-Khatib asy-
sama sekali Syarbini

Bila kurang lengkap Lihat buku-buku Hawasyi


5 juga atau bahasannya dari semua Syarah Minhajut
sedikit Thalibin

4. Karya-karya fiqh perbandingan (al-fiqh al-muqaran)


Apabila pada buku-buku fiqh sebelumnya berkaitan dengan bagaimana untuk
mengetahui hokum atau pendapat suatu masalah dari sisi Madzhab Syafi’i, kini
persoalannya, bagaimana kalau hendak mengetahui pendapat Madzhab Syafi’i juga
pendapat madzhab lainnya dalam satu persoalan akan tetapi buku-buku tersebut
dikarang oleh ulama Syafi’iyyah? Dengan bahasa lebih mudah, bagaimana kalau
hendak mengetahui argument-argumen ulama Syafi’iyyah ketika dihadapkan dengan
pendapat-pendapat para ulama madzhab lainnya? Apa yang menjadi alasan dan dalil
sehingga pendapat Syafi’iyyah lebih ‘dimenangkan’ dari pada madzhab lainnya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, anda jangan melihat buku-buku sebelumnya.
Boleh jadi anda akan mendapatkannya, hanya sedikit. Apabila anda ingin
mendapatkannya secara gamblang dan lengkap, maka anda kini harus melirik buku-
buku bermadzhab Syafi’i yang di dalamnya bukan semata mengungkapakan
pendapat Syafi’iyyah akan tetapi juga madzhab fiqh lainnya. Buku-buku yang
membandingkan juga me-rad dan mentarjih buku-buku fiqh madzhab lainnya, pada
masa lalu disebut dengan buku yang berbicara tentang ilmul khilaf atau dalam istilah
sekarang, al-fiqh al-muqaran, fiqh perbandingan. Jadi, kelebihan buku ini, anda akan
mendapatkan argument dan pendapat suatu persoalan yang bukan hanya
bermadzhab Syafi’i, akan tetapi juga bermadzhab lainnya, selain Syafi’i . Untuk lebih
mempesingkat kalam, berikut ini buku-buku fiqh Muqaran yang ditulis oleh ulama
madzhab Syafi’i yang dapat anda jadikan rujukan. Buku-buku ini karena jelas ditulis
oleh ulama bermadzhab Syafi’i , hamper semua persoalan “dimenangkan” oleh
madzhab Syafi’i . Buku-buku dimaksud adalah:
a. Al-Hawi al-Kabir. Buku ini ditulis oleh al-Imam Ali bin Muhammad bin Habib al-
Mawardi ( w 450 H) yang merupakan syarah dari kitab Mukhtashar al-Muzani
karya Imam Muzani. Buku ini merupakan syarah al-Mukhtashar yang sangat
panjang. Di dalamnya dikemukakan pendapat-pendapat Imam Syafi’i, juga
pendapat ashshab Imam Syafi’i berikut dalil-dalilnya serta dibandingkan dengan
madzhab fiqh lainnya semisal dengan madzhab Malikiyyah, Hanabilah,
Dhahiriyyah. Di akhir pembahasan, semua persoalan “dimenangkan” oleh
madzhab Syafi’i. Buku ini pertama kali dicetak, sepengetahuan penulis, oleh Darul
Kutub al-Ilmiyyah Beirut tahun 1994 dalam 18 jilid besar dengan muhakkik Ali
Muhammad Mu’awwad dan Adil Ahmad Abdul Maujud.
b. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Untuk maklumat mengenai buku ini telah penulis
bahas di atas, silahkan merujuk ke bahasan sebelumnya.
c. Hilyatul Ulama fi Ma’rifati Madzahib al-Fuqaha. Buku ini ditulis oleh Imam Saifud
Din Abu Bakar Muhammad bin Ahmad asy-Syasyi al-Qaffal (w 507 H). Buku ini
bukan merupakan syarah atau ringkasan dari buku-buku sebelumnya. Buku ini
berdiri sendiri, dan sesuai dengan namanya, mencoba menjelaskan argument dan
pendapat para ahli fiqh yang bukan semata dalam madzhab Syafi’i akan tetapi juga
dalam madzhab-madzhab lainnya. Hanya saja, dalam buku ini sedikit sekali
menyantumkan dalil. Buku ini dicetak oleh Maktabah ar-Risalah Amman pada
tahun (cetakan pertama) 1988 yang terdiri dari delapan jilid besar-besar.
5. Buku-buku Fiqh Madzhab Syafi’i yang berbicara tentang bab-bab / tema-tema
tertentu.
Buku-buku ini adalah buku-buku madzhab Syafi’i akan tetapi hanya membahas
tema-tema tertentu dan terbatas. Namun, buku-buku ini juga dipandang penting,
terutama ketika anda hendak membahas dan hendak mengetahui lebih dalam tema
yang dibahas oleh kitab tersebut. Misalnya, ketika anda hendak mengetahui tentang
persoalan-persoalan yang menyangkut ilmu warits menurut madzhab Syafi’i, maka
anda harus membaca buku Nihayatul Hidayah Ila Tahrir al-Kifayah fi Ilm al-Faraid.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini buku-buku bermadzhab Syafi’i yang membahas
tema-tema tertentu.
1) Al-Ahkam as-Sulthaniyyah wal Wilayat ad-Diniyyah. Buku ini dikarang oleh Imam
Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi ( w 450 H). Buku ini merupakan buku
madzhab Syafi’i paling popular yang berbicara tentang siyasah syar’iyyah. Dalam
menyajikan persoalannya, Imam Mawardi dalam buku ini mencoba
mengetengahkan dengan model perbandingan (muqaranah). Buku ini terdiri dari
dua puluh bab, di antaranya menjelaskan tentang hokum khilafah, wizarah,
wilayah al-madhalim, qadha, hokum-hukum yang berkaitan dengan fai, jizyah,
kharaj dan lainnya.
2) Giyas al-Umam fit Tiyas adh-Dhulam. Buku ini sering disingkat dengan nama al-
Giyasi. Dikarang oleh Imam al-Haramain al-Juwaini (w 478 H) yang
dipersembahkan untuk salah seorang menteri saat itu yang bergelar Giyas ad-
Daulah Nidham al-Mulk (w 485 H). Buku ini hamper sama dengan buku al-Ahkam
as-Sulthaniyyah karya Imam Mawardi dari segi tema-tema yang dibahasnya, hanya
saja buku ini lebih menekankan pada pembahasan teori-teori khilafah Islamiyyah
dan kejadian-kejadian masa silam. Buku ini dicetak beberapa kali oleh beberapa
penerbit, di antaranya pernah dicetak oleh Kuliyyah Syari’ah Jami’ah Qatar.
3) Adabul Qadha. Buku ini seringkali disebut juga dengan nama ad-Durar al-
Munadhamat fil Aqdiyyah wal Hukumat. Ditulis oleh sejarawan ternama al-Qadhi
Syihabuddin Ibrahim bin Abdullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn
Abid Dam al-Hamawi (w 642 H). Buku ini merupakan buku terpenting dalam
madzhab Syafi’i yang berbicara tentang hokum-hukum yang berkaitan dengan
dakwaan, bukti, saksi atau yang sering kita kenal sekarang dengan Ilmu Beracara
di pengadilan. Buku ini pernah ditahkik oleh DR. Muhyiud Din Hilal Sarhan al-Iraqi
untuk mengambil gelar duktur di Universitas al-Azhar fakultas Syari’ah dan
dicetak di Beirut dalam dua jilid lumayan tebal.
4) Nihayatul Hidayah Ila Tahrir al-Kifayah fi Ilm al-Fara’id. Buku ini ditulis oleh
Syaikhul Islam Zakaria bin Muhammad al-Anshari (w 926 H). Buku ini sesuai
dengan namanya merupakan buku yang berbicara tentang hokum warits Islam
bermadzhab Syafi’i. Dan buku ini, hemat penulis, merupakan buku yang sangat
penting dalam mengkaji Ilmu Warits. Buku ini dicetak oleh Dar Ibn Khuzaemah
Riyad, tahun 1420 H.
6. Buku-buku Madzhab Syafi’i yang tidak termasuk salah satu bagian dari lima
kelompok sebelumnya.
Buku-buku ini adalah buku-buku bermadzhab Syafi’i juga, hanya saja bukan
termasuk atau berkaitan dengan karya-karya Imam Nawawi, Imam Rafi’i atau Imam
al-Haitami dan Imam ar-Ramli, juga bukan buku-buku tentang ilmul khilaf. Buku-buku
ini sama dipandang penting, hanya tidak sepenting buku-buku sebelumnya. Buku-
buku ini juga pernting dibaca sebagai bahan pengayaan dan penambahan wawasan
serta hujjah. Buku-buku yang termasuk kelompok ini dibagi kepada dua bagian, yakni
buku-buku yang dikarang sebelum karya-karya ulama Syafi’iyyah generasi kedua dan
setelah generasi kedua.
Pertama, buku-buku yang dikarang sebelum masa ulama Syafi’iyyah generasi
kedua (sekitar setelah wafatnya Imam Syafi’i sampai abad ke-10 Hijriyyah) adalah:
1. Al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i. Buku ini dikarang oleh Imam Abu Ishak asy-
Syairazi (w 476 H). Buku ini dicetak beberapa kali oleh beberapa penerbit yang salah
satunya dicetak oleh Darul Qalam Damaskus sebanyak enam jilid tebal-tebal dan
ditahkik oleh Muhammad az-Zuhaili.
2. Al-Wasith fil Madzhab. Buku ini ditulis oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (w 505 H) yang
merupakan ringkasan dari bukunya yang berjudul al-Basith dan al-Basith ini juga
merupakan ringkasan dari buku karya Imam al-Haramain al-Juwaini yang berjudul
Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Buku ini juga telah dicetak beberapa kali di
antaranya oleh Wizaratul Auqaf was Syu’un al-Islamiyyah, Qatar pada tahun 1993 yang
ditahkik oleh DR Ali Muhyiyud Din al-Qurrah Dagi.

Kedua buku ini yakni al-Muhadzab dan al-Wasith sempat dijadikan buku
terpenting yang menjadi rujukan para fuqaha Syafi’iyyah dalam memberikan
fatwa sebelum munculnya karya-karya Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Setelah
muncul dua imam tersebut, perhatian beralih kepada karya-karya keduanya,
karena dipandang lebih lengkap dan lebih mendalam.
1. Al-Wajiz fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Buku ini juga dikarang oleh Imam Ghazali sebagai
ikhtishar atas buku sebelumnya yakni al-Wasith. Buku ini telah dicetak oleh Darul
Kutub Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Adil Ahmad Abdul Maujud
dan Ali Muhammad Mu’awwad.
2. At-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Buku ini ditulis oleh Imam Abu Muhammad al-
Husain bin Mas’ud al-Bagawi (w 516 H). Buku ini dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah
Beirut pada tahun 1997 yang terdiri dari delapan jilid besar dengan muhakkik Adil
Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad.
3. Ajalatul Muhtaj Ila Taujih al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Imam Sirajuddin Abu Hafsh
Umar bin Ali yang dikenal dengan samaran Ibn al-Mulaqqan (w 804 H). Buku ini juga
merupakan syarah Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan dicetak oleh Darul Kitab
Jordan dalam empat jilid besar dengan muhakkik Ustadz Izzud Din Hisyam bin Abdul
Karim al-Badrany pada tahun 2001.
4. Kanzur Ragibin fi Syarh Minhajut Thalibin. Buku ini ditulis oleh Imam Jalaluddin
Muhammad bin Ahmad al-Mahalli (w 864 H). Buku ini terkenal dengan nama Syarah al-
Muhalla ‘Alal Minhaj. Buku ini juga dinilai sebagai salah satu buku terpenting dalam
syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan senantiasa dijadikan
rujukan oleh para ulama Syafi’iyyah sebelum datangnya dua buah syarah, Tuhfatul
Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj karya Imam al-Haitami dan ar-Ramli. Begitu datang dua
syarah tersebut, buku Syarah al-Muhalla kemudian ditinggalkan dan berpaling kepada
dua syarah karya ar-Ramli dan al-Haitami. Buku Syarah al-Muhalla ini menjadi
muqarrar pada mata kuliah fiqh di Universitas al-Azhar asy-Syarif sampai saat makalah
ini ditulis. Buku ini mempunyai dua hasyiyah, yang pertama Hasyiyah Syihabuddin
Ahmad al-Burullusy yang mempunyai nama panggilan Umairah (w 957 H) dan Hasyiyah
Syihabuddin Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qalyubi (w 1069 H). Keduanya terkenal
dengan sebutan Hasyiyatai al-Qalyubi wa Umairah. Buku ini beberapa kali dicetak dan
yang penulis pandang lebih bagus adalah yang ditahkik oleh Syaikh Abdul Latif Abdur
Rahman cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dalam lima jilid besar-besar. Dicetak
pertama kali pada tahun 1997.

Kedua, buku-buku yang ditulis setelah masa ulama Syafi’iyyah generasi kedua
(dari tahun 1004 H-1335 H). Buku-buku yang termasuk kelompok ini adalah:
1. Futuhat al-Wahab bi Taudih Syarh Manhaj at-Thulab. Buku ini ditulis oleh al-Allamah
Sulaiman bin Umar bin Manshur al-Ujaili yang terkenal dengan sebutan al-Jamal (w
1204 H). Buku ini merupakan syarah dari kitab Syarah Manhajut Thulab. Dan kitab
Manhajut Thulab ini merupakan ringkasan dari buku Minhajut Thalibin karya Imam
Nawawi. Baik kitab Manhaj at-Thulab maupun Syarahnya, keduanya ditulis oleh
Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w 926 H). Jadi, kitab Futuhat al-Wahab bi Taudih
Syarh Manhaj at-Thulab ini merupakan buku Hasyiyah atas kitab Syarh al-Manhaj.
Buku Futuhat al-Wahab lebih dikenal dengan sebutan Hasyiyah al-Jamal. Buku ini
dicetak berulang-ulang, dan yang paling baik, menurut penulis, adalah yang ditahkik
oleh Syaikh Abdur Razaq Galib al-Mahdi yang dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah
Beirut dalam delapan jilid tebal. Dicetak pertama kali pada tahun 1996.
2. Hasyiyah asy-Syarqawi. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim
asy-Syarqawi (w 1226 H) yang merupakan syarah dari kitab Tuhfatut Thullab bi Syarh
Tahrir Tanqih al-Lubab. Buku ini lebih dikenal dengan Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala Syarh
at-Tahrir. Buku Tahrir Tanqih al-Lubab merupakan ringkasan dari fiqh Syafi’i dan
kemudian buku tersebut disyarah dengan nama Tuhfatut Thulab. Baik buku Tahrir
Tanqih al-Lubab maupun buku Tuhfatut Thulab, keduanya merupakan karya Syaikhul
Islam Zakaria al-Anshari. Buku ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah
Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Syaikh Mushtafa bin Hanafi ad-Dzahabi
dalam empat jilid besar.
3. I’anatut Thalibin. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Utsman bin Muhammad Syatha ad-
Dimyathi al-Bikry (wafat pada abad ke 14 Hijriyyah, tidak diketahui tahun
kewafatannya). Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu’in
yang merupakan syarah dari Kitab Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din. Buku Qurratul ‘Ain
bi Muhimmatid Din merupakan ringkasan dari Fiqh Syafi’i . Syarah dari buku Qurratul
‘Ain bi Muhimmatid Din adalah Fathul Mu’in, dan keduanya merupakan karya al-
Allamah Zainuddin al-Mullibary (w 987 H). Buku I’anatut Thalibin dicetak beberapa kali
dan salah satunya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1995 dalam
empat jilid besar.
4. Tarsyih al-Mustafiidiin. Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah ringkas yang ditulis
oleh al-Allamah Alawy bin Ahmad bin Abdur Rahman as-Saqqaf al- Makky (w 1335 H).
Buku ini merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu’in karya al-Mullibary—
penjelasan mengenai buku Fathul Mu’in ini lihat di nomor tiga. Buku ini dicetak oleh
Maktabah al-Ghazali Damaskus dalam satu jilid.

7. Karya-karya madzhab Syafi’i belakangan.


Pada bagian ini, kita akan berbicara tentang buku-buku yang ditulis seputar fiqh
Syafi’i yang berkisar antara tahun 1335 H sampai sekarang 1426 H. Buku-buku yang
berbicara tentang madzhab Syafi’i pada abad belakangan ini akan penulis
kemukakan, tentunya sepengetahuan penulis yang sangat sederhana.
Namun sebelumnya, perlu penulis kemukakan, bahwa buku-buku fiqh Syafi’i yang
ditulis belakangan ini mempunyai dua kelebihan: Pertama, bahasa dan susunanya
mudah dipahami, jelas dan padat berisi tidak bertele-tele. Kedua, bahasan dan
persoalan yang dikemukakan betul-betul yang terjadi saat ini, bukan sesuatu yang
tidak terjadi lagi. Misalnya tidak adanya bahasan tentang perbudakan dan atau yang
sejenisnya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini buku-buku yang termasuk kelompok
terakhir, abad belakangan, masa kini, di antaranya:
1) Zadul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Hasan Ali
Hasan al-Kuhaji (w 1400 H) dan merupakan syarah dari kitab Minhajut Thalibin
karya Imam Nawawi yang dalam penyusunannya berpegang kepada kitab Mughnil
Muhtaj Ila Ma’rifat Ma’ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib asy-Syarbini (w 977 H).
Buku ini terdiri dari empat jilid dan dicetak oleh al-Maktabah al-Ashriyyah Beirut
dengan muhakkik Ustadz Abdullah al-Anshari.
2) Al-Fiqh al-Manhaji ‘Ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i . buku ini ditulis oleh tiga
ulama besar Damaskus masa kini yaitu oleh DR. Mustafa Sa’id al-Khinn, DR.
Mushtafa Dibul Bugha, dan Syaikh Ali asy-Syarbiji. Buku ini selesai ditulis pada
tahun 1978 M, dan dicetak beberapa kali di antaranya oleh Darul Qalam
Damasykus pada tahun 1998 (cetakan ketiga) dan terdiri dari tiga jilid.
3) Ad-Durar an-Naqiyyah fi Fiqh as-Sadah asy-Syafi’iyyah. Buku ini ditulis oleh Syaikh
Muhammad ash-Shadiq Qamhawi, salah seorang pengawas umum al-Azhar asy-
Syarif Mesir. Buku ini ditulis untuk dijadikan muqarrar bagi siswa tingkat Aliyah di
Ma’had-ma’had al-Azhar. Buku ini teleh dicetak beberapa kali di antaranya oleh al-
Maktabah al-Azhariyyah lit Turats pada tahun 1997 yang terdiri dari empat jilid
ukuran kecil.
4) Taisir Fathil Qarib al-Mujib lit Thalib al-Azhary an-Najib fi Shurah Sail wa Mujib.
Buku ini ditulis oleh dua ulama kenamaan Mesir saat ini yakni oleh DR. Nashr
Farid Muhammad Washil, mantan mufti Jumhuriyyah Mesir sebelum Prof. DR.
Ahmad Thayyib juga ketua jurusan Fiqh Islam Universitas al-Azhar dan DR. Abdul
Hamid as-Sayyid Muhammad Abdul Hamid, dekan Ma’had I’dad ad-Du’ah di
propinsi Qana, Mesir. Buku ini ditulis juga untuk dijadikan muqarrar bagi siswa
siswi Tsanawiyyah (menengah) di seluruh ma’had al-Azhar. Buku ini dicetak oleh
al-Maktabah al-Azhariyyah lit Turats, Kairo pada tahun 1996 yang terdiri dari tiga
jilid kecil.

Istilah-Istilah dalam madzhab Syafi’i iyah

Para ulama Syafi’iyyah dalam buku-bukunya seringkali menggunakan beberapa


istilah khusus. Terkadang ada beberapa istilah dalam satu buku madzhab Syafi’i yang
makna dan maksudnya berbeda dengan apa yang ada dalam buku lain. Untuk
mengetahui makna dari istilah-istilah dimaksud, anda dapat membacanya pada
pendahuluan atau lembar-lembar awalnya. Biasanya di sana terdapat petunjuk praktis
untuk hal tersebut. Penjelasan istilah-istialah di awal ini, misalnya anda dapat temukan
dalam buku al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab karya Imam Nawawi. Namun, demikian,
berikut ini adalah istilah-istilah yang digunakan hampir dalam semua buku fiqh
Syafi’iyyah yang mempunyai pengertian dan maksud yang sama. Di antara istilah-istialah
dimaksud adalah:

1. Al-Aqwal. Apabila anda mendapatkan kata al-qaul atau al-aqwal dalam buku-buku
Syafi’iyyah, maka maksudnya adalah perkataan atau hasil ijtihad Imam Syafi’i, baik
dalam qaul qadimnya maupun qaul jadidnya.

2. Al-Qaul al-Qadim, maksudnya adalah pedapat Imam Syafi’i sebelum pindah ke Mesir
baik berupa karya maupun fatwa. Di antara para periwayat qaul qadim ini adalah
Imam az-Za’farany, al-Karabisy dan Abu Tsaur. Jadi apabila anda mendapatkan
pendapat Imam Syafi’i dari riwayat mereka, maka itu adalah pendapat lama Imam
Syafi’i (qaul qadim).

3. Al-Qaul al-Jadid, adalah pendapat Imam Syafi’i ketika di Mesir, baik berupa karya
buku maupun fatwa. Murid-murid Imam Syafi’i yang seringkali meriwayatkan qaul
jadidnya ini di antaranya adalah: al-Buwaithi, al-Muzani dan ar-Rabi’ al-Muradi.
4. Al-Wujuh atau al-Aujuh, maksudnya adalah pendapat para ulama Syafi’iyyah
berdasarkan kaidah-kaidah dan ushul Imam Syafi’i . Menurut Imam Nawawi, bahwa
al-aujuh ini tidak dapat dinisbahkan kepada Imam Syafi’i , lantaran ia hanya pendapat
ulama Syafi’i yyah saja.

5. At-Thuruq adalah istilah untuk perbedaan pendapat para ulama Syafi’iyyah dalam
meriwayatkan madzhabnya. Misalnya, apabila dalam satu masalah, menurut satu
ulama Syafi’iyyah, dalam masalah ini ada dua pendapat, sementara menurut ulama
yang lain, hanya ada satu pendapat, menurut yang lainnya ada beberapa aujuh dan
lainnya, maka perbedaan tersebut disebut dengan ath-thuruq.

6. Al-Adhhar, adalah pendapat yang paling rajih dari dua atau beberapa pendapat Imam
Syafi’i .Jadi al-adhhar digunakan manakala ada dua atau beberapa pendapat Imam
Syafi’i yang sama-sama kuatnya dari segi kekuatan dalilnya, akan tetapi salah satunya
dapat ditarjih sehingga dipandang sebagai lebih kuat dari yang lainnya. Pendapat
Imam Syafi’i yang dipandang lebih kuat ini disebut dengan al-adzhar, sedangkan
pendapat sebaliknya yang tidak kuat disebut dengan ad-dhahir.

7. Al-Masyhur adalah apabila terjadi perbedaan antara dua pendapat atau lebih dari
Imam Syafi’i, hanya saja perbedaan pendapatnya ini tidak kuat, lemah, karena dari
segi kekuatan dalilnya kurang memenuhi misalnya, lalu dari beberapa pendapat
tersebut ada yang dipandang lebih kuat, maka yang lebih kuat, rajihnya ini disebut
dengan al-masyhur. Sebaliknya, pendapat yang tidak kuatnya disebut dengan al-
gharib.

8. Al-Ashah. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama
Syafi’iyyah (al-aujuh), dan kedua pendapat yang bertentangan tersebut sama-sama
kuat dari segi dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih rajih disebut dengan al-
ashah. Sedangkan pendapat ulama Syafi’i yyah yang tidak kuatnya disebut dengan
ash-shahih.

9. Ash-Shahih. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat
ulama Syafi’i yyah (al-aujuh), namun kedua pendapat tersebut lemah dari segi
kekuatan dalilnya, maka pendapat yang dipandang paling rajih disebut dengan ash-
shahih, sementara sebaliknya, pendapat yang lemahnya disebut dengan adh-dha’if
atau al-fasid.

10. Al-Madzhab. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara para ulama Syafi’iyyah
dalam meriwayatkan madzhab Syafi’i (ath-thuruq), namun salah satunya dipandang
sebagai yang lebih kuat, maka yang dipandang lebih kuat tersebut disebut dengan al-
madzhab.

11. Al-Asybah. Apabila dalam satu masalah ada dua hokum yang didasarkan kepada
Qiyas, akan tetapi salah satunya illatnya lebih kuat dari pada yang lain, maka yang
lebih kuat illatnya ini disebut dengan al-asybah.

12. An-Nash adalah pendapat yang diambil langsung dari buku-buku karya Imam Syafi’i.
Kebalikan dari an-nash adalah al-mukharraj. Al-Mukharraj adalah pendapat yang
bukan dari Imam Syafi’i akan tetapi dari ulama Syafi’iyyah.

13. Al-Ashhab adalah para fuqaha Syafi’iyyah yang ilmunya sangat dalam dan luas
sehingga mereka dapat beristinbath sendiri dalam hokum-hukum fiqih namun tetap
berpegang kepada ushul Imam Syafi’i .

Beberapa istilah ulama Syafi’i yyah

Dalam buku-buku Syafi’iyyah, selain istilah-istilah fiqh, juga seringkali didapatkan


laqab bagi para ulamanya. Hal ini tentu dimaksudkan selain untuk memudahkan, juga
untuk menunjukkan penghormatan dan kedudukan ulama tersebut di kalangan
madzhab Syafi’i . Di antara istilah-istilah ulama Syafi’i yyah dimaksud adalah:

1. Al-Imam. Apabila didapatkan kata al-Imam, maka maksudnya adalah Imam Haramain
al-Juwaini (w 478 H)

2. Al-Qadhi, maksudnya adalah al-Qadhi Husain (w 462 H)

3. Al-Qadiyain maksudnya adalah Imam ar-Ruwiyani (w 502 H) dan Al-Mawardi (w 450).

4. Ar-Rabi’, maksudnya adalah ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, murid Imam Syafi’i (w
270 H).

5. Asy-Syarih al-Muhaqiq, maksudnya adalah Jalaluddin al-Mahally (w 864 H)

6. Asy-Syaikhaini, maksudnya adalah Imam an-Nawawi (w 676 H) dan Imam ar-Rafi’i (w


623 H)

7. Asy-Syuyukh, maksudnya adalah Imam Nawawi, Imam Rafi’i dan Taqiyuddin as-
Subuki (w 756)

8. Apabila al-Khatib asy-Syarbini (w 977 H) dan Syamsuddin ar-Ramli (w 1004 H) dalam


karya-karyanya mengatakan Syaikhul Islam, maka maksudnya adalah Imam Zakaria
al-Anshari (w 926 H). Namun, apabila al-Khatib asy-Syarbini berkata Syaikhii,
maksudnya adalah Syihabuddin ar-Ramli (w 957)

9. Apabila Imam Nawawi dalam bukunya al-Majmu’ berkata al-Qaffal, maksudnya


adalah Imam al-Maruzi (w 417 H).

10. Apabila dalam kitab al-Muhadzab disebutkan istilah Abu Hamid, maka maksudnya
adalah dua orang ulama yakni al-Qadhi Abu Hamid al-Maruzi Ahmad bin Basyar bin
Amir (w 362 H) dan asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfarayaini Ahmad bin Muhammad (w
406 H).

Buku-buku yang membahas istilah-istilah fiqh Syafi’i dan laqab, kunyah ulama
Syafi’iyyah

Di antara buku-buku yang merupakan ma’ajim al-musthalahat al-fiqhiyyah dalam


madzhab Syafi’i adalah:

1. Kitab Gharib al-Alfadz Allatis Ta’malaha al-Fuqaha karya asy-Syaikh Muhammad


bin Ahmad bin al-Azhar al-Hirawy Abi Mansur (w 370 H). Buku ini membahas maksud
dari istilah-istilah sulit yang sering digunakan oleh para Fuqaha.

2. Tahdzib al-Asma wal Lughat, karya Imam Abu Zakariya Muhyiyud Din bin Syaraf an-
Nawawi (w 676 H). Buku ini menjelaskan istilah-istilah fiqh Syafi’i yang terdapat
dalam enam buku fiqh Madzhab Syafi’i yakni Mukhtashar al-Muzani, al-Muhadzab, at-
Tanbih, al-Wasith, al-Wajiz dan ar-Raudhah.

3. Al-Mishbah al-Munir fi Gharib asy-Syarh al-Kabir lir-Rafi’i, karya Abul Abbas


Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayumi (w 770 H).

Penutup

Di penghujung tulisan ini, penulis hendak menuturkan satu pengalaman penulis ketika
menyusun tulisan ini. Tulisan ini sengaja penulis susun di Mesjid Imam Syafi’i, tepatnya
di depan makam Imam Syafi’i dengan maksud sebagai penghormatan dan rasa takjub
penulis untuk beliau. Di penghujung penyusunan tulisan ini, tepatnya hari Jum’at 8 Juli
2005, saat itu menjelang Isya, karena lelah, saya tertidur persis di samping makam Imam
Syafi’i sambil buku berceceran nggak karuan. Dalam tidur itu saya bermimpi ditemui
oleh seorang laki-laki setengah tua dengan sorban putih dan perawakan segar sembari
datang menghampiri. Tanpa panjang kalam, saya lalu sodorkan tulisan tersebut dengan
maksud untuk dikoreksi; apakah yang ditulis itu sudah benar atau salah atau ada
kekurangan. Laki-laki tua itu lalu mengambil tulisan saya, dan dengan teliti beliau
melihat-lihat. Tidak berapa lama, tulisan saya itu diserahkan kembali. Dengan penuh
penasaran saya bertanya: “Bagaimana syaikh, apakah yang saya tulis salah dan ada
kekurangan?“. Laki-laki tua itu tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan pergi kembali
entah kemana. Saking penasaran, saya hendak mencoba mengejarnya, namun sayang
saya segera terbangun seiring dikumandangkannya adzan Isya.

Saya tidak terlalu mempercayai mimpi tersebut. Tapi senyuman laki-laki tua yang hadir
dalam mimpi saya, sampai saat ini masih membekas. Senyumannya penuh makna. Tentu
yang tahu makna itu hanyalah laki-laki tua itu. Namun, hati ini begitu yakin bahwa
senyuman laki-laki tua itu berarti bahwa tulisan saya banyak kekurangannya. Hanya
saja, layaknya laki-laki tua bijak yang tidak mau mematahkan semangat thalib ilmu, ia
tidak menjawabnya secara togmol (sunda). Senyuman itulah yang hendak saya
sampaikan kepada para pembaca. Artinya, tulisan ini jelas banyak kekurangan bahkan
boleh jadi ada kekeliruan. Namun demikian, paling tidak tulisan ini dapat anda jadikan
sebagai pijakan dasar dan pertama dalam mengkaji lebih dalam fiqh Syafi’i. Kekurangan
dan kesalahan tentu datang dari penulis sendiri dan kebenaran dari Allah serta
RasulNya. Kini kita mempunyai tugas bersama untuk “mengejar” laki-laki tua itu agar
ketika kembali mengoreksi tulisan ini, ia tidak lagi “tersenyum”, tapi paling tidak berkata:
“inta wa ma katabta kuwais wa mmtaz“. Wallahu ‘alam bis shawab.

***Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Universitas al-Azhar asy-Syarif Fakultas


Syari’ah wal Qanun Jurusan Ushul Fiqh Kairo, alumni madrasah Thibrisiyyah li Tahfidz al-
Qur’an masjid al-Azhar Kairo, anak bimbing Dompet Dhuafa Republika dan pembimbing
pengajian remaja rutin Sabtuan Siswa Siswi Sekolah Indonesia Cairo (SIC). Makalah ini
dipresentasikan pada acara diskusi di Keluarga Paguyuban Masyarakat Jawa Barat
(KPMJB) pada tanggal 30 September. Makalah ini juga pernah disampaikan pada acara
Workshop Telaah Literatur yang diselenggarakan oleh PMIK dan ICMI Orsat Kairo, pada
hari Selasa, 12 Juli 2005.

Depan Makam Imam Syafi’i, Jum’at 24 Juni, 1 dan 8 Juli 2005 menjelang Maghrib dan Isya.
Iklan

Share this:

 

Kategori: Fiqh

Tag: Literatur

Berikan Komentar

Perwakilan Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PERSIS) Republik Arab Mesir


Kembali ke atas

Iklan

Anda mungkin juga menyukai