Anda di halaman 1dari 69

BAB IV

UNSUR-UNSUR PEMBENTUK PEMIKIRAN KIAI THAIFUR

DAN KONTRIBUSINYA DALAM DUNIA TASAWUF

A.Unsur-Unsur Pembentuk Pemikiran kiai Thaifur


Dari ulasan mengenai pemikiran tasawuf kiai Thaifur

pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik benang mirahnya,

bahwa kecenderungan tasawuf kiai Thaifur tidak lepas dari unsur-

unsur yang dipakai atau hal-hal yang mempengaruhi dalam

dirinya. Artinya, semua pemikiran yang dihadirkan oleh kiai

Thaifur adalah implikasi dari kecendrungan nilai yang dianut

serta diyakininya sebagai kebenaran,1 setidaknya dapat dilihat

dari karyanya Sullamu al-Qa>s}idi>n yang merupakan ringkasan

atas kitab Imam al-Gazali, yakni Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n. atau

karyanya Tanwi>r al-Bas}a>ir serta kitab Firdaus al-Na’i>m

yang telah beliau tulis. Oleh karenanya, pada bab ini, penulis

akan membahas beberapa unsur yang turut serta membentuk

dan mempengaruhi pemikiran kiai Thaifur dalam memahami

term-term tasawuf serta kajian-kajian lain yang berkaitan. Secara

garis besar bahasan ini meliputi unsur epistemologis, unsur

historis-sosiologis, dan unsur kaidah-ideologis sebagaimana akan

dibahas berikut ini:


1
Begitulah cara pandang Karl Manhem dalam membaca kaitan pikiran
seseorang dengan pergumulan dan tradisi, lihat buku tulisan Karl Mannhiem,
Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, ter. Budi Hardiman
(Yogyakarta: Kanisius, 1991), 3-5.

125
1. Unsur Epistemologis
a. Dari Nalar al-Ghaza>li>
Dalam kultur intelektual pesantren Imam al-

Ghaza>li menduduki posisi yang sangat istimiwa,2 terlebih

bagi kiai Thaifur yang hidup dalam lingkungan pesantren.

Bahkan, menurut penulis, pesantren menjadi benteng

terakhir di mana nalar tasawuf Ghaza>liyi>n itu

berkembang dan menyebar kepada kalangan muslim,

khususnya di Madura. Sebagaimana diketahui, beberapa

karya Imam al-Ghaza>li> telah disuguhkan kepada para

santri sebagai salah satu bacaan khas dan khusus di

lingkungan pesantren, meskipun karya-karya pemikirannya

secara umum jarang dikaji secara mendalam.


Secara selektif pilihan terhadap karya-karya al-

Ghaza>li> dalam kajian tasawuf sekaligus karya-karya

yang memiliki kecenderungan sama menyebabkan kajian

atas pemikiran al-Ghaza>li> tidak terbaca secara utuh.

Sebut saja di antaranya, kitab al-Ghaza>li> al-Munqidh Min

al-D}ala>l dan al-Mustas}fa>, tidak menjadi bacaan wajib

bagi kalangan santri, bahkan kitab magnum opusnya

Ihya>’ ‘Ulu>m al-Din yang lebih sering dibaca, apalagi

bagi para santri senior di berbagai pesantren. Padahal, bila

2
Amin Syakur, Intelektualisme tasawuf: studi intelektual tasawuf al-
Ghazali (Semarang: Pustaka Pelajar, 2002), 32.

126
diamati kitab al-Munqidh Min al-D}ala>l adalah kitab yang

menggambarkan perjalanan dan pergumulan intelektual al-

Ghaza>li> di zamannya hingga pada akhirnya ia lebih

memilih jalan tasawuf sebagai standar bagi kebenaran

hakiki dalam ranah kehidupan.3


Menurut hemat penulis, makna penting dari kitab ini

adalah pengetahuan tentang jalan akhir sufistik yang

dipilih al-Ghazali tidak datang tiba-tiba, melainkan melalui

proses pergumulan panjang dengan pemikiran kalam,

filsafat hingga fiqih, yang dipandang semua disiplin itu

menurut al-Ghazali tidak memberikan ketenangan apa-apa,

kecuali proses kontestasi intelektual sesuai dengan

bidangnya4. Artinya, ada pengalaman pribadi yang

mengharuskan al-Ghazali lebih memilih dunia tasawuf,

tepatnya tasawuf sunni akhlaqi atau ‘amali , dibandingkan

kajian-kajian lain sehingga hal ini mestinya juga dikaji

secara serius di lingkungan pasentren. Namun, secara

praktis kecendrungan pesantren dalam memilih karya al-

Ghazali dan karya-karya lainya yang memiliki prinsip sama,

cukup tepat sebab yang dikedepankan di lingkungan

pesantren kala itu adalah prinsip-prinsip praktik

keagamaan, bukan teoritisnya.

3
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Munqid min al-
Addhalal (Mesir: Daru al-Kutub al-Haditsah, tnt), 170
4
Ibid

127
Dalam hal ini pesantren menyadari betul bahwa

yang di hadapi adalah masyarakat lokal dengan karakter

dan keunikannya, maka dalam rangka mencapai tujuan itu

tidak sedikit karya-karya al-Ghazali diringkas atau

dirangkum bahkan diulas kembali dengan menggunkan

bahasa setempat atau menggunakan bahasa Arab dengan

bahasa ulasan yang lebih sederhana sebagai langkah

memperudah pemaham masyarakat atas karya al-Ghazali,

sekaligus dalam mempraktikkan ajaran-ajarannya,

khususnya kaitan bagaimana seharusnya menusia

menyekapi kehidupan meterialistik dalam rangka

mendambakan kebahagiaan hakiki (ma’rifat Allah).

Karenanya, tasawuf al-Ghaza>li> dipilih bukan saja karena

beridiologi sunni, tapi sekaligus ‘amali> (praktis) bukan

naz}ari> (teoritis) cara pandang al-Ghaza>li> dalam

menjaga keberlangsungan antara shari’ah dan tasawuf

menjadi modal tersendiri bagi kalangan pesantren untuk

dijadikan basis nilai dalam menyikapi berbagai isu-isu lokal.


Dalam internalisasinya, tasawuf al-Ghaza>li> telah

berkelindang lama menggiringi perkembangan pesantren-

pesantren di Nusantara, sekaligus membentuk karakter

keislaman Nusantara. Melalui kajian kitab kuning, budaya

pesantren nampaknya mengekuti irama madhab ghazalian

128
dalam dunia tasawuf, bahkan mayoritas masyarakat

muslim Madura, menurut kiai Thaifur, waktu itu lebih

banyak mengekuti madhabnya, sekalipun dalam

perkembangannya muncul bermacam-macam bentuk.5


Kecenderungan pada madhab al-Ghaza>li> dalam

bertasawuf, menurut kiai Thaifur karena tasawuf al-

Ghaza>li> lebih mudah dipraktekkan dibandingkan

dengan tasawuf yang lain seperti halnya tasawuf Abu

Yazi>d al-Bust}a>mi>, al-Hallaj dan Rabi>'ah al-Adawiyah.

Tasawuf Abu Yazi>d al-Bust}a>mi>, al-Hallaj dan Rabi>'ah

al-Adawiyah dirasa sangat tinggi dan sulit dipraktikkan

dikalangan pesantren lebih-lebih bagi masyarakat Madura.6


Dan kecendrungan tersebut memungkinkan

kalangan pesantren bergerak dalam dua jalan yang

bersamaan sehingga tidak mudah terjebak pada penilaian

yang serba formalistik sebagaimana menjadi karakter

tasawuf. Dengannya, dominasi nalar al-Ghazali yang

berkembang dalam lingkungan pesantren berimplikasi

pada munculnya sikap mempertahankan jalan tengah

sebagai ortodoksi dalam memahami Islam sehingga selalu

berkontestasi dengan mereka yang menolak beberapa

pandangan al-Ghazali, khususnya di kalangan wahabi-salafi

5
Hasyim Asy’ri, Risalah ahlu al-Sunnah wa al-Wajama’ah (Jombang:
Maktabah al-Turats al-Islami,tth), 9-10.
6
Wawancara dengan Kiai Thaifur Jumat 29 Juli 2016, jam 15.00 WIB.

129
yang cendrung serba formalistik, eskterm dan tidak

menghargai segala perbedaan. Disamping itu,

kecendrungan kalangan pesantren mengekuti madhab

shafi’iyah dalam berfiqih, nampaknya memiliki kemiripan

dengan apa yang diikuti oleh imam al-Ghazali.7


Karenanya, pengaran tasawuf al-Ghaza>li> yang

disebarkan ke pesantren-pesantren sama masifnya dengan

madhhab fiqih Sha>fi’iyah dari pada madhhab-madhhab

lainnya, walaupun harus diakui madhhab sha>fi’iyah yang

diikuti sebenarnya tidak langsung mengkaji pada karya-

karya Imam Sha>fi’i>, tapi lebih pada ulama Sha>fi’iyyah

melalui karya-karyanya, seperti I’a>nah al-T}a>libi>n,

Fath al-Qari>b, Fath al-Wahha>b, Iqna>’ dan lain-lain,

dalam bertasawuf, kajian kitab kuning di lingkungan

pesantren menggunakan karya-karya lain yang seirama

dengan alur berpikir tasawuf sunni, seperti kitab hikam

karya monomentalnya imam Ibnu Athaillah al-Sakandari,

al-Minah al-Saniyyah karya ‘Abd al-Wahhab al-Sha’rani, dan

lain-lain.8
Secara historis, kecenderungan tasawuf

Ghaza>liyi>n dapat dikaitkan dengan kedekatan pesantren

dengan wali songo, baik sacara nasab maupun secara

7
Muhammad Thalhah Hasab, ahlussunnah wal- jama’ah dalam
perepektif dan tradisi UN (Jakarta: Lantabora Pree, 2005), 22-23.
8
Ibid

130
genealogi intektual. Wali songo yang dipandang sukses

yang menyebarkan islam dengan strategi tasawuf,

nampaknya juga memiiki kemiripan dengan tasawuf sunni,

khususnya tasawufnya al-Ghza>li>. Studi yang dilakukan

oleh Alwi Shihab9 tentang sejarah Islam Nusantara

mengambarkan tentang pandangan ini sehingga tujuan

pokok Wali Songo adalah praktis mengajak masyarakat

agar mengikuti norma-norma keagamaan secara fiqih,

sekaligus memperhatikan betul olah jiwa agar senantiasa

memiliki koneksi yang konsisten dengan Allah SWT, bukan

pada yang lain.


Puncaknya, perseteruan wali songo dengan syeikh

Siti Jenar, misalnya, yang menyebarkan pemikiran

manunggaling kawulo gusti, dipandang telah jauh dari

prinsip-prinsip mainsterm Islam mayoritas, bahkan akan

mengantarkan penganut islam awam jauh dari nilai-nilai

sha>ri’at sehingga patut dianggap sesat. Dengan

legitimasi penguasa Demak dan kesepakatan antar

anggota wali songo, akhirnya shaikh Siti Jenar harus

mengakhiri hidupnya secara tidak lazim.10 Perseteruan ini

layak dijadikan potret bagaimana tasawuf sunni ghazaliyin

9
Alwi Shihb,Akar Tasawuf Di Indonisia: Antara Tasawuf Sunni dan Falsaf
(Jakarta:Pustaka Iman, 2009), 43-44.
10
Ibid

131
yang menggabungkan dimensi tasawuf dengan sha>ri’at

telah berkembang dengan pesat di seantaro Nusantara.


Lambat tapi pasti, ajaran ini kemudian berkembang

dengan pesat melalui prakti-pratik keagamaan lokal hingga

di pertahankan oleh masyarakat setempat, termasuk turut

disebarkan oleh komonitas pesantren. Oleh karenanya,

dominasi nalar tasawuf Ghaza>liyi>n dalam tradisi

intelektual pesantren tidak lepas dari peran para tokoh

awal pesantren, setidaknya para perintis pesantren yang

menuntut ilmu kebeberapa shaikh di Timur Tenggah,

seperti kiai KH. Saleh Darat Semarang, shaikhana> Kholil

Bangkalan, kiai Hasyim Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka,

basis intelektual tasawuf sunni Ghaza>liyi>n menyebar

dengan baik dan masif melalui telaah atas karya-karyanya,

lebih-lebih pesantren yang berada di wilayah jawa dan

Madura.11
Di antara kiai pesantren yang mengulas tentang

pemikiran tasawuf al-Ghazali dalam bahasa lokal adalah

kiai Saleh Darat. Nama kiai Saleh memang jarang dikenal,

tetapi ia memiliki jaringan dengan beberapa kiai-kiai

terkemuka pesantren, bahkan kiai Hasyim pendiri dan

pengasuh pondok pesantren tebuireng serta pandiri NU,

dan kiai Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah adalah

11
Ibid

132
salah satu dari alumni yang pernah mengaji secara

langsung kepda kiai Saleh. Begitu juga, kiai Thaifur

Ambunten Sumenep pernah singgah dan belajar pada

syekh Isma’il Usman Zaein sekalipun tidak begitu lama

yaitu selama 6 tahun. Situasai ini yang memungkinkan

inteltual kiai Thaifur mengalami persambungan secara

genealogis dengan tokoh-tokoh senior pesantren di

Mekah.12
Oleh karenanya, persinggungan kiai Thaifur dengan

tradisi pesantren serta kecendrungannya dalam pemikiran

tasawuf ghazaliyin memungkinkan ia hadir sebagai

benteng dalam menebarkan sekaligus mengamalkan

pemikiran-pemikiran tasawuf, khususnya tasawuf sunni

Ghazaliyin. Dalam konteks ini pula genealogi pemikiran

intelektual kiai Thaifur berkembang, sekalipun pada

akhirnya ia lebih memilih menggunakan bahasa arab dalam

rangka mengintisarikan pemikiran-pemikiran al-Ghazali,

agar tidak hanya dibaca secara lokal, tetapi juga dibaca

secara global sebagaimana sampai hari ini karyanya

Sullamu Al-Qashidin dibaca di beberapa forum alumni

haramai, alumni pondok beliau sendiri dan pondok-pondok

di sumenep seperti halnya pondok al-Hidayah asuhan kiai

12
Kiai Thaifur, Manaru al-Wafa

133
Abdul Hari13, bahkan tahun kemarin kitab Sullamu al-

Qa>s}idi>n diminta untuk diterbitkan di percetaan bairut

dan akan dikaji di berbagai tempat di Mekkah. 14Untuk lebih

mudahnya, kaitan genealogis kiai Thaifur dengan

pasentren dan pemikiran al-Ghaza>li> dapat dilihat pada

kerangka berikut ini:

13
Observasi dan wawancara dengan salah satu alumni PP Assadad 27
juli 2016, jam 09.30 WIB.
14
Wawancara dengan ust Syafa’at, salah satu santri senior kiai Thaifur di
pondok pesantren Assdad Ambunten Kamis 28 Juli 2016, jam 15.00 Wib.

134
POTRET GENEALOGI INTELEKTUAL GHAZALIYIN KIAI TAHIFUR ALI

WAFA MUHARRAR MADURA

Kiai Ali Wafa bin Muharrar


dan Nyai Muthmainnah

Tokoh-Tokoh Sunni
Pesantren di Mekkah al- Kiai Pesantren di
Mukarramah, Shaikh Sumenep yaitu kiai
Isma’il Usman Zain, Ahmad Zaini
Sayyid Muhmmad Bin Alwi
Miftahul Arifin dan
al-Maliki, Shakh
Muahammad Ysin Bin Isa
Kiai Ali Hisyam
Genealogi
al-Fadaniy dan Shakh
intelektual
Abdullah al-Dardum ,
Shakh Sa’duddin al-Murad Kiai Thaifur
dan sebagainya. Ali Wafa Bin
Muharrar Kiai di Pesantren di
Kiai Pesantren di Madura Bangkalan yaitu
Kediri-Jawa yaitu kiai kiai As’ad bin
Jamaluddin Fadhil Ahmad Dahlan

Lahirlah konstruksi
pemikiran Tasawuf Sunni
Ghazaliyin secara Khusus
dapat dilihat dalam
karyanya Sullamu al-
Qa>s}idi>n ila Ihya’ Ulum
al-Di>n

135
b. Nalar Irfani: dari Dhahir ke Bathin
Dengan masuknya kiai Thaifur dalam dunia tasawuf,

baik secara teoritik maupun praktis terlebih mengikuti

tasawufnya Imam al-Ghazali, menunjukkan secara

langsung atau tidak bahwa ia secara epistimologis terlibat

dalam pergumulan denagn nalar irfani, sebuah nalar

epistimulogis yang membedakan denagan nalar bayani dan

burhani. nalar irfani digunakan para sufi dalam rangka

mencari, sekaligus menegaskan, akan kebenaran hakiki

dengan cara dan metode tertentu.


Malalui nalar irfani pula para sufi meyakini bahwa

dunia sebagaimana yang nampak adalah bukanlah tujuan

hakiki bagi penuguhan manusia sejati, sebab ia tidak

sedikit menjadikan manusia larut dalam keinginan hewan

(al-shahwat al-Hayawaniyyah), yang pada gilirannya

mengantarkan manusia itu sendiri lepas dari eksistensinya

sebagai manusia yang berakal sekaligus berspritual.


Secara historis, nama Abid al-Jabiri cukup berjasa

dalam mengembangkan dialektika pemikiran arab Islam

kontemporer, khususnya mendiskusikan secara kritis

kecendrungan nalar arab dalam tiga model, yakni bayani,

burhani dan ‘irfani.15 Bila dipahami, secara khusus, kata

‘irfani memiliki akar kebahasaan dari kata ‘arafa, yang

15
‘A>bid al-Ja>biri, Bunyah al-‘Aql al-‘Ara>bi> (Beirut: Marka>z
Dira>sa>t al-Wih}dah al-‘Arabiah, Cet. I, tth). 32-33.

136
berarti ilmu atau mengetahui, sekaligus merip dengan arti

ma’rifah atau dalam bahasa asing lainnya lebih dikenal

dengan gnose (al-Ghanus) dari bahasa yunani, yakni

gnosis.
Sementara itu dalam konteks model epistemologi,

konsep ‘irfani dimaksudkan sebagai ilmu pengetahuan

yang hadir atau sengaja dihadirkan dalam hati melalui cara

ilham atau kashaf16, dari sini, ‘irfani jelas berbeda dengan

nalar bayani, yang pengetahuannya bertumpu pada

kecendrungan pemahaman atas teks (tekstualis) atau nalar

burhani, yang bertumpu pada nalar spikulasi akal (rasional

spikulatif).
Denagan pengertian seperti ini, maka menurut al-

Jabari pengetahuan model irfani telah berkembang cukup

lama, bahkan sebelum kadatangan Islam. Tidak salah bila

kemudian, perkembangan tasawuf dalam Islam juga tidak

bisa lepas dari pengaruh luar sesuai denagan karakternya

sebagai bagian dari pengetahuan ‘irfan, khususnya

semenjak proses asimilasi dan akulturasi terjadi antara

Islam dan nilai-nilai dari luar, yakni dari Persia dan Yunani.

Hanya saja, memang harus diakaui bahwa nilai-nialai yang

ada kaitannya dengan irfani dalam Islam memiliki akarnya

yang spesifik, berangkat dari sumber-sumber al-Qur’an

16
Ibid

137
atau teladan langsung dari nabi Muhammad Saw. Melalui

haditsnya,17 seperti konsep zuhud, sabar, tafakkur, dan lain-

lain.
Secara aplikatif, epistimologi irfani atau gnosis

muncul dari proses panjang kebersihan pelakunya (‘arif).

Menurut Ali Mahdi Khan, kebersihan pelakunya dibuktikan

dengan kesempurnaan dalam intelektual, sekaligus

moralnya dengan terlibat intens dalam pencurahan diri

secara khusus melalui meditasi, cinta, kesehatan, dan

kesucian.18 Baginya, dunia adalah penyebab dari terjadinya

ikatan, sehingga menyulitkan untuk sampai pada

ketentraman, kesempurnaan dan kebahagiaan abadi. Oleh

sebab itu, pengembaraan dunia harus dilakukan,

setidaknya bermula dari kesadaran untuk mengenal

prinsip-prinsip kedirian sebagai manusia dengan kelemahan

dan kelebihanya.
Pengenalan pada prinsip kediriaan akan menuntun

tersingkapnya apa yang dimaksud dengan kebahagiaan

dan kebenaran abadi bersama Allah, suber sejati segala

pengetahuan (man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu).19

Kaitannya dengan dunia, misalnya, perenungan diri sendiri


17
‘Abd Al-Rah}ma>n Muh}ammad al-Sulla>mi>, Kita}b al-Arba’i>n f>
al-Tas}awwuf (Tk: Mat}ba’ah Majlis Da>irah al-Ma’arif, 1981).
18
Ali Mahdi Khan, Dasar-dasar Filsafat Islam: Pengantar ke Gerbang
Pemikiran, terj. Subarkah (Bandung: Penerbit Nuansa, 2004), 118.
‫ف لربق قهه لهنِلقفهسق قهه‬
‫ف نقلفلسق قهه لهلربق قهه لعق قبر ل‬
‫َ »لمق قفن لعق قبر ل‬:‫ُ قلققاَلل‬،‫ف لربق قهه‬ ‫َ لمق قفن لعق قلر ل‬:‫َ لوهسق قئهل لسق قفهلل لعق قفن قلق قفولههه‬:‫»قلققاَلل‬
‫ف نقلفلسق قهه فلقلقق قفد لعق قلر ل‬
19
‫ل‬
selengkapnya lihat di tulisan abu Na’imbin Ahmad bin Abdullah, Hilytu Auliya’
wa Thabaqatu al-Awliya’ (Bairut: Darul Kitab al-Arabiy, 1974), X: 208.

138
bahwa dunia bukanlah sebagai sumber inti dari

pengetahuan sebab mengalami perubahan (fana’)

sebagaimana dirinya sendiri berada dalam ruang yang

mudah berubah. Oleh karena itu, hati bersih menjadi

sangat penting, agar gemerlap dunia di mana pencari jalan

ma’rifat itu tinggal dan hidup di dalamnya tidak menjadikan

lupa diri, apa lagi melupakan realitas kehidupan hakiki

bersam Allah SWT.


Di samping itu, epistimologi ‘irfani, sebagaimana

dipahami dari kalangan ‘irfaniyyun, dalam memahami

sesuatu senantiasa berpijak pada karangka zahir

(eksoterik) dan batin (esoterik). Cara pandang seperti ini

nampaknya dipakai dalam memahami pesan-pesan agama,

baik al-Qur’an maupun al-Hadits, sebagaimana juga

diperlakukan dalam memahami yang lain. Kaitanya dengan

ini, Nasr Hamid Abu Zaid mengatakan:


‫فكمسسا ان للوجسسود ظسساهرا وباطنسسا وكمسسا للناسسسان‬
‫ظاهرا وباطنا فالخطاب اللهي يتضسسمن بالضسسرورة‬
20
.‫هذين الجانابين الظاهر والباطن‬
Artinya: Sebagaimana disetiap wujud ada deminsi zahir dan
batin, begitu juga setiap manusia terdapat deminsi
zahir dan batin, maka dialek ketuhanan secara pasti
juga memiliki dua sisi, yakni zahir dan batin

Kutipan dari Nasr Hamid menunjukkan bahwa setiap

sesuatu tidak cukup hanya dilihat dari sisi zahir semata,


20
Nasr Hamid Abu Zaid, Hakadza Takallamu Ibnu Arabi (Mesir: al-Haiah
al-Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 2002), 211.

139
menegasikan sisi batin. Karenanya, cara pandangan yang

kurang tepat, bila seluruh aktivitas keagamaan dinilai

hanya sebatas sisi zahir. Misalnya, anjuran nabi bahwa

banyak orang yang berpuasa, hanya memperoleh lapar dan

haus, setidaknya menggambarkan bahwa aktivitas puasa

yang secara zahir telah memenuhi syarat dan rukunnya

ternyata juga tidak berpahala, jika batinnya juga tidak

melakukan puasa, seperti puasa terhindar dari dosa-dosa

social, misalnya, menipu, hasud, mengadu domba, dengki

dan lain-lain.21

c. Pendekatan Intuitif; Pengalaman kiai Thaifur


Penyadaran diri dalam diskusi tasawuf dikenal

sebagai pengenalan diri seseorang (‘arafah nafsahu), yang

memiliki sikap lemah dalam berbagai persoalan sehingga

ketergantungan kembali kepada Allah adalah sebagai

keniscayaan hidup, setidaknya dengan mengikuti perintah

dan menjahui larangan Allah, sekaligus meneladani nila-

nilai yang bersumber darinya. Pengenalan diri itu

memastikan jika benar-benar terjadi dalam batin akan

mengantarkan pada pengenalan hakiki, yakni pengenalan

kepada Allah, sebagaimana tersirat dalam beberapa

sumber kenabian.
21
Abu> H}a>mid al-Gha>za>li>, Ih}ya>’ ‘Ulum al-Di>n (Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiah, 2010), 329: I. dan Ah}mad Mah}mu>d S}ubh}i>, Al-
Tas}awwuf I>ja>biyya>tuhu> wa Salbiyya>tuhu> (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif,
tth), 27-32.

140
Kedua, praktik khumul (menyembunyikan diri).

Praktik ini berkaitan dengan ketidak mauan seseorang

untuk mencari ketenaran di depan orang lain atau

kebaikannya tidak terdengar oleh orang lain. Meminjam

tafsiran Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti bahwa khumul

adalah
‫البتعاد عسسن الضأسسواء وعسسن أسسسباب الشسسهرة و أن‬
‫يكون الناسان مجهول لذى ألخأريسسن ليعرفسسه أكسسثر‬
22
.‫الناس‬
Artinya: Menjauh dari ragam pandangan dan beberapa
sebab yang menjadikan terkenal. Yakni, seseorang
yang tidak kenal berbuat baik dan tidak diketahui
banyak orang.

Pemahaman ini menunjukkan bahwa khumul adalah

langkah seseorang untuk menutupi rapat-rapat atas

kebaikan yang dilakukan agar tidak diketahui orang lain.

Dengan cara lain ini, dalam dirinya akan menumbuhkan

pembiasaan untuk mempraktikkan khalwat secara batin,

sekaligus berusaha untuk tidak riya’ dalam setiap aktifitas,

khusus peribadatan. Pasalnya, dengan sibuk mencari

ketenaran dari orang lain, maka seseorang akan disibukkan

oleh perilaku yang semestinya tidak perlu diperhatikan,

sehingga mengurangi sisi prioritas dan fokus pada apa yang

dipraktikkan. Padahal, prioritas dan fokus seseorang pada

22
Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buti, al-Hikam al-'Athaiyyah: Sharah
wa Tahlil (Bairut: Dar al-Fikir al-Mu'ashir, 2003), 156-158.

141
aktifitas keseharian menjadi yang terbaik menuju nilai-nilai

ideal bersama Allah.


Kaitannya dengan anjuran praktik khumul, Ibn ‘Ata’

Allah al-Sakandari menyebutkan sebagaimana berikut:


‫إدفن وجودك في ارض الحمول * فما نابت مما لم يدفن‬
23
.‫ل يتم ناتاجه‬

Artinya: Tanamkan wujudmu dalam bumi ketersembunyian


(tidak dikenal orang lain). Karena sesuatu yang
tumbuh dari proses tidak ditanam, maka hasilnya
tidak sempurna.

Bagi Ibn ‘Ata’ Allah, proses pertumbuhan manusia

pada dasarnya memiliki kemiripan dengan tanaman.

Artinya, semua tanaman akan tumbuh dengan baik bila

mana awalnya dilakukan proses penanaman dalam bumi

(marhalat al-ta’sis), sekalipun dalam perkambangan berada

di luar bumi (marhalat al-Numuwwi wa al-‘Ata’ ). Begitu juga

manusia, yang memimpikan sebuah cita-cita besar dalam

rangka mencapai kebenaran hakiki, dibutuhkan peneguran

diri agar tidak puas dengan hanya mencari ketenaran.


Alasannya, orang yang suka mencari ketenaran,

sehingga sering berkumpul dengan banyak orang akan

menyebabkan lupa diri. Senada dengan ini, Abdul Wahhab

al-Sya'rani berkomentar bahwa orang yang suka mencari

ketenaran akan menciptakan dirinya dalam kondisi hina di

hadapan orang lain, sehingga memunculkan penyamaan diri

23
Ibnu 'Athaillah al-Sakandari, al-Hikam ()

142
dengannya dalam kontek moralitas yang rusak dan lupa

kepada Allah.24 Jadi lupa diri adalah efek mendasar dari

mereka yang selalu mencari ketenaran dalam setiap

aktivitas, bukan dalam rangka amal kebajikan antar sesama

maupun kepada tuhannya dengan perasaan ikhlas, tanpa

pamrih.
Dengan begitu, maka khumul setidaknya

mengajarkan orang agar tidak mudah senang mencari

ketenaran, apalagi bila sejatinya dia tidak berbuat apa-apa.

Sikap mencari ketenaran, sekali lagi akan menumbuhkan

sikap riya', menjauhkan munculnya sikap ikhlas. Kalau

begitu, maka sangat mungkin perbuatan yang dilakukan,

khususnya praktik-praktik sufistiknya, tidak menghasilkan

buah secara sempurna, apalagi mencapai tahapan

mengenai Allah secara sempurna (kamalat ma'rifat Allah).


Sementara, kaitan khumul yang dilakukan Kiai Thaifur

sebenarnya cukup jelas sebagaimana disebutkan bahwa

beliau menolak untuk menjadi dosen di beberapa perguruan

tinggi Islam, beliau lebih memilih abdi pesantren dan guru

tarekat, yakni dengan begitu, sikap menyembunyikan diri

yang tumbuh sebab meneladani perilaku orang tuanya,

yakni Kiai Ali Wafa yang dikenal sebagai tokoh tasawuf

pesantren. Keteladanan ini tumbuh dengan baik, bahkan

24
Abdul wahhab al-Sya'rani, Tanbih al-Mughtarrin

143
ketika Kiai Thaifur berkelana dalam rangka belajar di

berbagai pesantren, ia senantiasa berusaha

menyembunyikan diri agar tidak dikenal sebagai salah satu

putra kiai besar, bahkan pada detik terakhir menjelang

kepulangannya dari mekkah, beliau menulak untuk menjadi

guru besar di sana. Kiai Thaifur menjadi dirinya sendiri

sebab dengan begitu akan mudah untuk menerapkan prilaku

ikhlas, sekaligus memudahkan fokus pada orientasi belajar,

tidak sibuk mencari ketenaran di hadapan orang lain.


Oleh karenanya, pengalaman sikap khumul,

setidaknya bagian dari pengalaman intuitif Kiai Thaifur

sehingga mengantarkan dirinya sebagai individu sufistik

yang larut dalam praktik-praktik tasawuf, demi menapaki

jalan menuju ma'rifatnya. Pengalaman intuitif model ini

adalah sebuah proeses yang membutuhkan kesabaran

pelakunya. Kiai Thaifur semenjak menjadi pemimpin di

pesantren Assadad Ambunten memfokuskan diri pada

mengajar kitab kuning kepada para santri-santrinya. Ucapan

ini dilakukan dalam rangka agar pengetahuan keislaman,

dari fiqih dan tafsir hingga tasawuf, tetap terpelihara dengan

baik melalui kader-kader Muslim yang mempelajari sekaligus

komitmen pengamalannya.
Melalui pola ini, Kiai Thaifur untuk senantiasa

istiqamah dan ikhlas setiap saat, apalagi Kiai Thaifur dalam

144
mengajar begitu juga dialami kiai-kiai pesantren lainnya

lebih banyak mendapatkan dirinya sebagai pejuang, bukan

dalam rangka mencari kekayaan apalagi mengajar di

pesantren tidak dibayar sebagaimana dialami oleh para

guru-guru di sekolah modern.


Konsistensi Kiai Thaifur pada tarekat mengajar

(tarekat al-ta'lim) kitab kuning di pesantren tidak pernah

goyah, sekalipun beberapa perguruan tinggi Islam pernah

menawarkan agar kiranya Kiai Thaifur dapat mengajar di

universitasnya, setelah beberapa perguruan tinggi

memahami bahwa Kiai Thaifur adalah individu yang 'alim

'allamah melalui karyanya Sullam al-Qashidin, frdausu al-

Na'im 6 jilid dan kitab-kitab yang lain yang beliau tulis,

padahal, dengan mengajar di perguruan tinggi dan

universitas, reputasi Kiai Thaifur akan lebih dikenal bahkan

juga memperoleh fasilitas materi yang tidak sedikit

dibandingkan harus mengajar di pesantren.


Tarekat mengajar ini, sekaligus mengamalkan apa

yang diajarkan, lambat tapi pasti menumbuhkan semangat

kedekatan diri kepada Allah, bahkan pada saat yang

bersamaan pelaku akan memperoleh pengetahuan yang

tidak pernah ia pelajari (mukashafah). Hal ini secara

normatif dapat direkam dari ungkapan Nabi:

145
‫ي لععل ل م‬
.‫م‬ ‫ما لل‬ ‫ه لل م‬
‫ه ل‬ ‫م فلت ل ل‬
‫ح الل م‬ ‫ما ع لل ل ل‬ ‫م ل‬
‫ل بل ل‬ ‫ن عل ل‬
‫م ع‬
25
‫ل‬
Artinya: Barang siapa yang mengamalkan ilmu yang telah
diketahui, maka niscaya Allah Swt. membukakan
ilmu yang tidak diketahui.

Dalam hal ini, ilmu yang tidak pernah dipelajari yang

dianugerahkan oleh Allah kepada hambanya adalah

merupakan ilmu baru yang hadir atas dasar perkembangan

(barakah) dari ilmu yang dimiliki dan diamalkan, ilmu

tersebut dikenal dengan ilmu ladunni. Dengannya, kiai

Thaifir memiliki ilmu yang jarang dimiliki oleh ulama lain.

Ilmu tersebut bukanlah ilmu baru yang hadir dalam Islam,

namun keberadaan ilmu tersebut sangat langka, sehingga

dirasa baru bagi mayoritas cendikiawan muslim. Ilmu

tersebut adalah ilmu nasab, ilmu yang mempelajari tentang

per-nasab-an dengan melihat bagian-bagian tertentu dari

anggota tubuh manusia. Ilmu tersebut banyak diminati oleh

para cendikiawan muslim di luar Nusantara. Beberapa tahun

yang lalu ada dua cendikiawan Arab datang dan mondok

beberapa hari di pondok pesantren Assadad dalam rangka

menimba ilmu nasab tersebut yang dimiliki oleh kiai Thaifur.


Terkait dengan tarekat mengajar, setidaknya adalah

bagian prilaku sufistik dalam rangka meneguhkan tanggung

25
Abu Na'im Ahmad bin Abdillah al-Ashfahaniy, Hilyah al-Auliya' wa
thabaqah al-Ashfya' (Bairut: Daru al-Kutub al-Ilmiyah, 1988), VI: 163.

146
jawab sebagi hamba (ubudiyah), sekaligus tanggung jawab

kepada Allah sebagai tuhannya (rububiyyah) sebab dengan

begitu akan tersebar pesan-pesan agama. Dalam konteks ini,

Kiai Thaifur memahami, menurut tafsiran penulis, bahwa

"keutamaan orang berilmu dari pada orang yang beribadah

tanpa ilmu adalah berkaitan dengan konsisten orang yang

berilmu dalam mengamalkan ilmunya di satu sisi dan

mengajarkan ilmunya kepada orang lain di sisi yang berbeda.

Karenanya, orang yang berilmu layak memperoleh predikat

sebagai orang yang mewarisi visi kenabian (al-nubuwwah),

yakni individu yang memiliki komitmen individu sekaligus

komitmen sosial dalam rangka mengajak kebaikan.


Jadi, tiga intuitif ini (penydaran diri, khumul dan

tarekat mengajar) yang mewarisi perjalanan dan nalar

intektual 'Irfani Kiai Thaifur, yang mungkin saja tidak

dirasakan oleh orang lain. Pengalaman intuitif berbasis

tasawuf adalah pengalaman subyektif, hingga akhirnya

membentuk paradigma tersendiri dalam memahami tasawuf,

termasuk pilihan Kiai Thaifur untuk larut aktif dalam

keorganisasian tarekat tertentu, bahkan hingga tarekat

mengajar di pesantren sebagaimana juga dilakukan oleh

gurunya syekh Isma'il Usman Zaen, serta tokoh seniornya

syekh Dardum (Sibawaihi mekkah) dan Syekh Alwi al-Maliki.


d. Landasan Pemikiran kiai Thaifur

147
Untuk memperkuat pandangannya dalam mengulas

pemikiran tasawuf sebagai dasar epistimologisnya, Kiai

Thaifur menggunakan landasan-landasan pokok. Landasan

pokok yang dimaksud adalah sumber-sumber tekstual-

normatif yang menjelaskan tentang bahasan tasawuf

tertentu, misalnya ketika membahas tentang zuhud, ikhlas,

dan lain-lain.
Landasan pokok ini sekaligus menggambarkan posisi

Kiai Thaifur dalam bingkai intelektual Muslim, khususnya

sebagai karakter intelektual komunitas pesantren yang

menganut paham Sunni. Karenanya, ada empat landasan

pokok yang digunakan Kiai Thaifur dalam memahami

tasawuf, yakni al-Qur’an, Hadith, Ijma’, dan Qiyas. Semua

landasan ini dipahami dengan kerangka nalar ‘Irfani yang

menekankan pada dimensi esoterik (batin), sekaligus tanpa

menegasikan demensi eksoterik (Z}ahir).


Bila diamati, posisi al-Qur’an cukup penting

sebagaimana juga dipahami oleh kalangan pesantren bagi

Kiai Thaifur karena mengenal al-Qur’an adalah sumber pokok

ajaran Islam. Banyak ayat-ayat yang menegaskan

pentingnya prilaku sufistik dalm kehidupan nyata sehingga

sebagai Muslim tidak saja harus terjebak pada persoalan

shari’ah semata. Pilihan ini sejatinya menggambarkan bahwa

tasawuf dalam Islam salah satunya adalah bersumber dari

148
al-Qur’an, bukan penuh dari pengaruh luar Islam

sebagaimana dipahami oleh kalangan orientalis-konservatif.


Sebagaimana al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad Saw.

Menjadi pilihan sumber kedua Kiai Thaifur dalam mengulas

term-term tasawuf sekaligus pandangannya dalam fiqih dan

kalam. Pilihan ini dianggap penting sebab posisi Nabi sebagai

penerima wahyu adalah orang yang mendapat mandat

lansung dalam memahami dan manafsirkan teks-teks al-

Qur’an. Karenanya, prilaku, ucapan hingga ketetapan

kenabian dipandang sebagai sumber kedua, yang layak

digunakan bagi generasi setelahnya.


Menurut Kiai Thaifur, posisi Nabi Muhammad sebagai

Nabi sejatinya tidak lepas dari gelar al-amin dan al-sadiq

yang menempel dalam dirinya baik pra-era kenabian.

Dengan begitu, men-imaninya sebagai sumber ajaran Islam

adalah sebuah keniscayaan, sekalipun perlu pula memahami

konteks sejarahnya agar dalam memahami hadits tidak

“serampangan”, apalagi jika didorong oleh ideology tertentu

yang menggerakkan untuk memahaminya.


Banyak praktik-prakti sufistik yang ditemukan dalam

beberapa Hdiht Nabi yang digunakan Kiai Thaifur dalam

memperkuat ulasannya mengenai pemikiran tasawuf

Ghazali. Misalnya, ketika menjelaskan tentang konsep zuhud,

149
Kiai Thaifur menguti perkataan Nabi yang artinya sebagai

berikut:
‫فرل لقا ل‬ ‫حدث لنا أ لبو ع مبيدة ل ب ل‬
‫ن ع لببسساد د‬ ‫ب بع م‬ ‫شلها م‬ ‫حد بث للنا ل‬ ‫ ل‬:‫ل‬ ‫س ل‬ ‫ن ألبي ال ب‬ ‫لع ل ع م‬ ‫ل ب ل م‬
‫ن الث بسسوعرل ي‬
ِّ،‫ي‬ ‫فليا ل‬‫سسس ع‬‫ن م‬ ‫ِّ ع لسس ع‬،‫ي‬‫ش ي‬ ‫قلر ل‬ ‫رو ال ع م‬ ‫د‬ ‫م‬
‫ن عل ع‬ ‫خأال لد م ب ع م‬‫حد بث للنا ل‬ ‫ ل‬:‫ل‬ ‫لقا ل‬
َ‫ أ لت لسسى‬:‫ل‬ ‫ِّ قلسسا ل‬،‫ي‬‫عد ل ي‬ ‫سسسا ل‬ ‫سسسععدد ال ب‬ ‫ن ل‬ ‫ل ب عسس ل‬ ‫سه ع ل‬‫ن ل‬ ‫ِّ ع ل ع‬،‫م‬
‫حازل د‬ ‫ن ألبي ل‬
‫عل ل‬
‫ع‬
‫ل اللسهل‬‫ب‬ ‫سسو ل‬ ‫ ي ل ا لر م‬:‫ل‬ ‫قسا ل‬ ‫ِّ فل ل‬،‫ل‬
‫جس ل‬ ‫م لر م‬ ‫ب‬
‫سل ل‬ ‫ل‬
‫ه ع للي عهل ول ل‬ ‫صلىَ الل م‬ ‫ب‬ ‫ي ل‬ ‫الن بب ل ب‬
‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬
ُ‫س؟‬ ‫حب بلنسسي البنسسا م‬ ‫ه ولأ ل‬ ‫حب بلني الل ب م‬ ‫هأ ل‬ ‫مل عت م م‬ ‫ذا ألناا ع ل ل‬ ‫ل إل ل‬
‫م د‬ ‫د مل بلني ع لللىَ ع ل ل‬
‫ اعزهلسسد ع فلسسي السسد ينا عليا‬:‫م‬ ‫سل ب ل‬ ‫ه ع لل لي عهل ول ل‬ ‫صبلىَ الل م‬ ‫ل الل بهل ل‬ ‫سو م‬ ‫ل لر م‬ ‫قا ل‬ ‫فل ل‬
‫ل‬
‫حب ي ل‬ ‫ك الل ب م‬ ‫حب ب ل‬
26
.‫س‬‫ك البنا م‬ ‫س يم ل‬ ‫دي البنا ل‬ ‫ما لفي أي ع ل‬ ‫ِّ لواعزهلد ع لفي ل‬،‫ه‬ ‫يم ل‬

Artinya: berzuhudlah anda dalam dunia, niscaya Allah akan


mencintai anda dalam apa yang dimiliki manusia,
niscaya mereka akan mencintai anda”.

Dengan mengutip perkataan Nabi, Kiai Thaifur

menegaskan bahwa praktik zuhud diyakini memiliki

landasannya dalam hadith sehingga posisinya cukup penting

bagi upaya peneguhan diri menuju kebenaran hakiki, yakni

ma’rifat Allah, karenanya melalui praktik zuhud yang

dilakukan oleh Nabi, setidaknya seorang Muslim meyakini

praktik sufistik ini adalah juga warisan dan teladan darinya.

Selanjutnya, Kiai Thaifur juga menggunakan Ijma’

(kesepakatan ulama) dalam mengulas beberapa pemikiran

al-Ghazali, menyebutkan bahwa Ijma’ adalah kesepakatan

umat Muhammad Saw, secara khusus dalam satu perkara di

antara beberapa urusan agama. Dengan pemahaman lebih

luas, Ijma’ ini nampaknya berlaku secara umum sesuai

26
Ibnu Majah, Sunan Ibnu majah (Mesir: Daru ihya al-Kutub al-Arabiyah,
tth). II: 1373.

150
dengan apa yang tersirat dari kata “ummah” meskipun

memang harus ada beberapa persyaratan dalam melakukan

Ijma’ agar tidak mudah dimonopoli oleh orang tertentu dan

atau demi kepentingan ideology tertentu pula. Dengan

begitu, maka kategori Ijma’ yang dipakai oleh Kiai Thaifur

dalam kajian tasawufnya lebih menekankan pada ulam’ yang

memiliki kekuatan dan konsistensinya pada ilmu yakin,

bukan hanya pada ilmu ‘aqli.

Selanjutnya, Kiai Thaifur menggunakan landasan

Qiyas dalam memahali tasawuf. Qiyas dimaknai sebagai

upaya mengaitkan sebuah perkara (far’u) dengan perkara

yang lain (asal) dalam rangka menetapkan atau

menegasikan hukum di antara keduanya karena terdapat

‘illat ‘illat yang sama. Dalam konteks tasawuf, Kiai Thaifur

menjelskan akan pentingnya paktik-praktik tasawuf bagi

orang yang berilmu, agar kiranya keilmuan yang dimilikinya

berdampak positif bagi peneguhannya mencapai nilai-nilai

ma’rifat Allah.

Kiai Thaifur, dengan penggunaanan qiyas, agar orang

yang berilmu tidak seperti lilin, yang dapat menerangi, tapi

dirinya habis. Artinya, orang yang berilmu bukan saja

berkewajiaban menyampaikan ilmu yang dikuasai, tapi

sekaligus mengamalkannya. Jika dengan tidak

151
mengamalkannya, maka berarti posisi orang berilmu

layaknya lilin sehingga dirinya terbakar. Ulasan yang bersifat

qiyas ini juga digunakan dengan mengutip beberapa hadits

sufistik yang maksudnya sama, yakni ingin menyampaikan

tentang eksistensi tarekat sebagai perjalanan hidup menuju

penyucian jiwa. Sebagaimana salah satu hadits nabi:

‫ي‬‫سنخيدن اخلنخهننوُادز م‬ ‫َ نسندمخع ب‬:‫َ قننناَنل‬،‫ف‬


‫ت أنبننناَ بنخكنرر أنخحنمنند بخننن الخبح ن‬ ‫أنخخبْنننرننناَ أنبنبنوُ بمنحممندد بخنبن بيوُبسن ن‬
‫ل بخن بعبْنخيدد ا د‬
‫َ نسندمخع ب‬:‫َ يننبقنوُبل‬،‫لن‬ ‫د‬ ‫َ نسدمخع ب‬:‫َ يننبقوُبل‬،‫صوُفدمي‬
‫ت نسنخهنل بخننن‬ ‫ضدل نعخبْند ا ن ن‬ ‫ت أننباَ الخنف خ‬ ‫ال ص‬
‫لن نعنمز وجنمل نكنناَلخمي د‬ ‫َ " التمنوُصكل أنخن يبكوُنن الخعخبْبد بنخين ينددي ا د‬:‫َ ينبقوُبل‬،‫ي‬ ‫د د‬
‫ت‬ ‫ن‬ ‫نن‬ ‫ن ن ن ن‬ ‫ن ب ن‬ ‫نعخبْد ال التصخستندر م ن‬
." ‫ف يبدريبد‬
27
‫بننخينن يننددي الخنغاَدسدل يبننقليبْبهب نكخي ن‬
Artinya: Dalam bertawakkal seorang hamba merasa berada
di hadapan Allah layaknya seorang mayyid yang
berada di tangan orang yang memandikan yang
dibolak balik menurut kehendaknya.

Hadits di atas menggambarkan akan posisi tawakkal

(pasrah) yang sejati, namun kiai Thiafur dalam hal ini

mengqiyaskan pasrah kepaada Allah ke dalam pasrah

seorang murid kepada gurunya dalam bertarekat, karena

menurut kiai Thaifur seorang murid yang wushul atau

ma'rifah kepada Allah dalam bertarekat apabila seorang

murid tunduk dan pasrah kepada gurunya (mursyidnya) dan

tidak ada 'itirad (penentangan) sedikitpun, artinya pasrah

sepenuh hati layaknya seorang mayyit di tangan orang-

27
Ahmad bin Husin bin ali bin Musa al-Khurasani, Syu'batu al-Iman
(Riyadh: Maktabah al-Rusyd li al-Annasyr wa al-Tuzi', 2003), II: 470

152
orang yang memandikan, dibolak-balik menurut

kehendaknya.28

Dari semua landasan-landasan tersebut, sekali lagi

Kiai Thaifur tetap melihat landasan itu dalam bingkai

dalektika dimensi esoteric (batin) di satu sisi dan eksoterik

(zahir) di sisi yang berbeda. Karenanya, dengan begitu Kiai

Thaifur lebih dikenal sebagai seorang ahli tasawuf, sekaligus

dirinya berkomitmen larut dalam praktik-praktik sufistik.

Kalaupun membahas fiqih, dimensi tasawufnya tetap terasa

sehingga perpaduan fiqih tasawuf atau tasawuf fiqih ini

cukup mewarnai pemahamannya dalam mengulas beberapa

pemikiran Islam.

2. Unsur Historis, Sosiologis dan Ideologis


Setelah fokus pada unsur epistemologis, penulis akan

mengungkapkan unsur-unsur historis-sosiologis yang

mempengaruhi munculnya pemikiran Kiai Thaifur dengan

bahasan sebagai berikut: pergumulan dengan tradisi

Intelektual Pesantren, Mengkaji Kitab Kuning, Fiqih Sufistik;

Keilmuan Pesantren, Dan Nalar Tasawuf al-Ghazali.

a. Pergumulan Dengan Tradisi Intelektual Pesantren

Sebagai bagian yang tumbuh dan besar dalam

lingkungan pesantren, secara historis keberadaan Kiai

28
Wawancara penulis dengan kiai Thaifur di pondok pesantren Assadad kamis 28 juli 2016
jam, 15.00.

153
Thaifur tidak bisa dipastikan. Artinya ada faktor sosiologis

pula yang membentuk dirinya hingga sebagi pelaku

terhadap pemikiran tasawuf, tepatnya tasawuf Ghazali.

Pergumulan ini yang memungkinkan Intelektual Kiai Thaifur

bersambung nyata dengan tradisi intelektual pesantren.

Salah satu dari tradisi intelektual pesantren adalah

menelaah kitab kuning. Telaah atas kitab kuning ini sebagai

bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam setiap langkah

untuk memahami nilai-nilai keislaman, sehingga ada

kontunyuitas tradisi dengan kemunculan Kiai Thaifur,

setidaknya dalam rangka melanggengkan kajian kitab

kuning, khususnya dalam bidang tasawuf di satu pihak dan

dalam rangka meneguhkan pada pemahaman Islam Ahl al-

Sunnah Wa al-jama’ah di pihak yang berbeda.

Secara historis, pada umumnya, pilihan kitab kuning

dalam rangkaian pengumulan tradisi interktual pesantren

dari masa ke masa antar Kiai dan para santrinya, bukan

saja menjadikannya sebagai bahan bacaan semata. tetapi,

sekaligus menggambarkan pilihan ideology komunits

peasntren, termasuk Kiai Thaifur, dalam memahami dan

mempraktikkan nilai-nilai keislaman sebagaimana dipahami

dari kitab kuning dengan beragam disiplin keilmuan.

154
Karena itu, menguatnya ideology Ahl al-Sunnah Wa

al-jama’ah dalam komunitas pesantren bergantung sejauh

mana penggunaan kitab kuning dalam proses pergumulan

intelektual di hadapan para santri dan masyarakatnya

secara luas. Semakin rendah penggunaan kitab kuning

dengan berpindah pada materi lain yang lebih pragmatis

bagi kehidupan modern dimungkin ideology pesantren akan

mengalami pergeseran pradigma.

Untuk melanggengkan ideology kitab kuning di

lingkungan pesatren, komunitas pesantren menyadari betul

pentingnya standarisasi penggunaan kitab kuning melalui

pilihan kitab- kitab tertentu yang layak diajarkan, bahkan

kitab-kitab yang dipandang, mengutip Martin van

Bruinessen, sebagai ortodoksi (al-kutub al-mu’tabarah)

hingga pembacanya memiliki genealogi keilmuan sampai

kepengarangnya (al-muallif).

Langkah ini diharapkan agar kitab yang dibaca dan

diajarkan kepada para santri tidak bertentangan dengan

prinsip-prinsip keislaman di lingkungan pesantren yang

mayoritas menganut paham Islam Ahl al-Sunnah Wa al-

jama’ah, sekaligus secara spiritual memiliki hubungan

secara langsung dengan pengarangnya, yang berbeda

155
dengan apa yang berkembang dalam nalar kritis modern

yang memahami bahwa penulis sebuah karya telah mati.

Dalam rangka menjaga geneologi keilmuan ini,

maka dalam pergumulan intelektual pesantren dikenal

tradisi ijazaj atas kitab-kitab kuning yang akan diajarkan.

Tradisi ijazah ini, menurut kiai Thaifur, melengkapi

pengajaran kitab kuning baik system bandongan dan

wetonan, dan ijazah hanya diperoleh oleh santri-santri

senior. Dengan adanya ijazah dipahami bahwa pembacaan

kitab kuning tidak saja aktifitas membaca dan menyimak

dalam rangka memahami teks yang dibaca, tapi sekaligus

kedekatan spiritual dengan pengarangnya. Dengan cara ini,

menurut keyakinan kalangan santri, ada hubungan

ruhiyyahnya yang tidak pernah putus antara pembaca

(ustadz/kiai) yang telah diberi ijazah membeca kitab kuning

tertentu dengan yang memberi ijazah (al-mujiz) hingga

sampai pengarangnya.

Secara kebahasaan kata ijazah adalah masdar,

berasal dari akar kata ajazah yujizuh ijazatan, yang berarti

menjadikan sesuatu itu boleh, membolehkan atau

membolehkan pendapat atau perkara. Dari arti kebahasan

ini dipahami bahwa ijazah adalah pemberian ijin atau

otoritas untuk melakukan sesuatu kepada seseorang. Bila

156
‫‪dikaitkan dengan ijazah kitab kuning berarti orang yang di-‬‬

‫‪ijazahi (mujaz lahu) untuk membaca kitab kuning di‬‬

‫‪hadapan puplik, khususnya para santri-santri pesantren.‬‬

‫‪Di antara salah satu contoh teks ijazah yang‬‬

‫‪diperoleh kiai Thaifur dari salah satu gurunya, yaitu:‬‬

‫بسققم ال ق الرحققن الرحيققم‪ .‬المحققد ل ق الققذي منِققح أهققل العلققم رفعققة وقققدرا‪ .‬وأعظققم لققم ف ق‬
‫الخآققرة مثوبققة وأج قرا‪ .‬وجعلهققم زينِققة أهققل الكققون ف ق اليققاَة الققدنياَ وف ق الخآققرى‪ .‬والصققلة‬
‫والسلم على سيدناَ ممحد خآي العباَد‪ .‬وعلى آله وصحبه وتاَبعيهم إل يوم العاَد أماَ بعققد‬
‫فققإن ابنِنِققاَ وتلمحيققذناَ وخآاَصق قتنِاَ السققتاَذ العلمققة الريققب والققذكي الققوف اللققوذعي النِجيققب‪.‬‬
‫طيفور ابن الشيخ علي وفاَ الندونيسي الدوري السمحنِب عاَفاَه الق ونفققع بققه وبعلققومه قققد‬
‫لزمن مدة طويلة ملزمة حقيقة‪ .‬ملزمة الستفيد حقاَ‪ .‬رغبة منِققه فق التحصققيل وصققدقاَ‪.‬‬
‫ولقد كاَن مدا متهدا أعجوبة ف إخآوانه ناَدرة ف حسن اللق والسلوك بي أقرانققه‪ .‬مققع‬
‫الدب العظيم‪ .‬والذوق السليم والفهقم الستقيم‪ .‬وحيقث إنقه الن قد بلغ مبلقغ الدراك‪.‬‬
‫وحققق لققه أن ينِتصققب علمحققاَ للنققاَم‪ .‬ورغققب فق ق الرجققوع إلق ق وطنِققه‪ .‬لنِشققر مققاَ يمحلققه مققن‬
‫العلوم‪ .‬تعليمحاَ وتدريساَ وفتوى ووعظاَ وإرشاَدا‪ .‬فهققو أهققل لقذلك‪ .‬وحقري بققاَ هنِاَلققك‪ .‬وقققد‬
‫استجاَزن مرات‪ .‬فأجزته بمحيع مروياَت ومقروات‪ .‬وإن الن أيضاَ أجيققزه بمحيققع مققاَ تصققح‬
‫لق روايتققه‪ .‬وتققق لق درايتققه‪ .‬وأوصققله عققن طريقققي بمحيققع مشققاَيي العلم‪ .‬مققع التأييققد لققه‬
‫والرضققاَ عنِققه الرضققاَ التققاَم‪ .‬سققاَئلي لققه حسققن التوفيققق‪ .‬وأن يسققدد الق خآطققاَه لقققوم طريققق‪.‬‬
‫وف ق التققاَم أصققلي وأسققلم علققى سققيدناَ ممحققد خآي ق النققاَم‪ .‬وعلققى آلققه وصققحبه والتققاَبعي‪.‬‬
‫والمحقد لق رب العقاَلي‪ .‬فق القاَدي والعشقرين مقن شقهر مقرم عقاَم ثالثاقة عشقر وأربعمحاَئقة‬
‫‪29‬‬
‫وألف هجرية‪ .‬الفقي إل ال إساَعيل عثمحاَن زين لطف ال به آمي‪.‬‬
‫‪Artinya: Dengan menyebut nama Allah yang maha‬‬
‫‪pengasih dan maha penyayang. Segala puji bagi‬‬
‫‪Allah yang telah memberikan pangkat dan‬‬
‫‪kekuasaan bagi orang yang berilmu serta kemuliaan‬‬

‫‪29‬‬
‫‪Ini salah satu teks ijazah yang diberikan oleh syekh ismail Usman‬‬
‫‪kepada kiai Thaifur menjelang kepulagan beliau ke tanah air Indonisia, hal ini‬‬
‫‪bisa dilihat pada karya Thaifur, Manarul Wafa,121-122.‬‬

‫‪157‬‬
di akhirat kelak. Dan Allah menjadikan sebagai
hiasan bagi kehidupan dunia dan akhirat. Shalawat
dan salam semuga tercurahkan kepada sebaik-
baiknya hamba yaitu baginda nabi Muhammad,
SAW. dan kelurganya, sahabat-sahabtnya beserta
orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat.
Kemudian, dengan sebenar-benarnya bahwa putra
kami, murid kami, guru murid kami yang pandai,
cakap, cerdas pikirannya dan cerdas hatinya dialah
Thaifur bin Shaikh Ali Wafa> dari Sumenep Madura
Indonisia, semuga Allah memberikan kesempurnaan
dan kemanfaatan terhadap ilmu yang telah
diperolehnya serta kegigihannya dan
kesungguhannya dalam belajar bersamaku serta
keseriusannya dalam memperoleh ilmu dan
kebenaran. Dia sungguh benar-benar murid yang
rajin dan sungguh-sungguh, dan mengagumkan
bagi teman-temannya. Dia satu-satunya murid
yang paling baik budi pekertinya dan tatacara
berteman. Dia sekarang sudah mencapai pringkat
pengetahuan yang baik (cum laude) dan sudah
selayaknya menjadi panutan bagi manusia. Dia
sekarang sudah saatnya kembali ke tanah
kelahirannya untuk menyebarkan dan mengajarkan
ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya serta
pantas memberi fatwa, peringatan dan petunjuk
kepada orang lain. Saya diminta untuk memberikan
ijazah berulanng kali dan saya memberikan ijzah
kepadanya dari apa yang telah saya jelaskan dan
saya sampaikan. Dan sekarang saya juga akan
memberikan ijazah kepadanya (Thaifur Ali Wafa)
terhadap apa yang pantas bagi saya untuk
meriwayatkannya (menjelaskannya) dan
mendirayatkan (memberi pengetahuan) dan akan
saya sambungkan sanadnya dengan guru-guruku
yang sangat ‘a>lim dengan penuh kerelaan dan
semuga Allah menutupi jejak kesalahannya dengan
melalui jalan yang benar. Sebagai penutup saya
menghaturkan rahmat dan keselamatan kepada
tuan kami, paling baiknya manusia yaitu nabi
Muhammad SAW, keluarga-keluarganya dan
sahabat-sahabatnya serta para pengikutnya. Segala
puji bagi Allah zat penguasa alam. (hamba yang
butuh kepada Allah, shakh Isma’il Usman Zain
ditetapkan pada 21 Muharram 1413 H) Amin..

158
Dengan tradisi ijazah, kesinambungan ilmu akan

terjaga melalui hubungan yang tidak terputus dengan para

guru hingga pengarangnya. Hungan ini diharapkan akan

memberikan dampak peositif, yang dalam nalar pesntren

dikenal dengan proses menjalarnya nilai-nilai keberkahan

secara kontinyu. Melestarikan tradisi ijazah dalam pola

pengajaran kitab kuning berate melestarikan hubungan

satu generasi sebelumnya, yang dengan cara ini generasi

yang masih hidup akan mengingat dan engaca

keberhasilan generasi terdahulu, sekaligus sebagai modal

nilai dalam rangka meneladani dan meneruskan kebaikan

sesuatu dengan konteksnya.

b. Mengkaji kitab kuning

Dalam tradisi intelektual pesantren, termasuk

secara khusus pesantren Assadad asuhan kiai Thaifur, kitab

kuning menjadi salah satu unsur yang mesti digunakan

disemua level pendidikan pesantren. Oleh karenanya,

cukup tepat bila dikatakan bahwa penggunaan kitab kuning

yang digunakan sebagai bahan pengajaran di pesantren

menjadi simbol unik keberadaan budaya pesantren,

setidaknya dapat memd=bedakan dengan lembaga-

lembaga lainnya.

159
Tidak ada fakta historis yang menjelaskan kapan

istilah kitab kuning menjadi nama khas kitab-kitab yang

diajarkan di pesantren. Pastinya kitab kuning adalah istilah,

bukan saja kertasnya yang berwarna kuning, tetapi

menggambarkan beberapa referensi keilmuan islam yang

digunakan di lingkungan pesantren dan telah menjadi

ortodoks (al-Kitab al-Mu'tabarah).30 Berasal dari kitab-kitab

karangan para ulama penganut paham syafi'yah. 31

Karakteristik ini yang kemidian pesantren dipandang

sebagai lembaga pendidikan islam yang konsisten

mentransmisikan nilai-nilai islam tradisional melalui

pergumulan para kiai dan santrinya dengan karya-karya

ulama pertengahan.

Ada dua hal menarik dan khas sekaligus unik dalam

melihahat pergumulan kalangan pesantren ketika

mengunakan kitab kuning sebagai bahan ajar. Pertama,

dilihat dari materinya, kitab kuning yang digunakan di

pesantren memuat bernagai materi keislaman, dari fikih,

usul fikih, ilmu kalam, tasawuf sehingga materi ilmu alat 32

seperti ilmu nahwu, ilmu sharraf, mantek dan balaghah.

30
Martin Van, Pesantren dan Kitab kuning, 85
31
Zamakhsyari Dhafier, tradisi pesantren, 86
32
Ilmu alat adalah disiplin keilmuan yang tidak bersentuhan langsung
dengan materi keislaman, tapi sebagai pelengkap untuk memahaminya,
seperti ilmu Nahwu, sharaf, balaghah, mantiq dan lain-lain

160
Keilmuan-keimuan yang diajarkan di pesantren

dilakukan secara bertahap menyesuaikan dengan

kemampuan santri, misalnya untuk pemula dalam kajian

alat akan akrap dengan matan al-Ajrumiyah abdullah

muhammad bin muahmmad al-Shanhaji atau untuk para

senior akan akrap dengan kajian tasawuf al-Ghazali dengan

menelaah magnum opusnya, Ihya ulumuddin. Tetapi, tidak

sedikit pula ada beberapa kiai pesantren yang

mengutamakan proses bacaan dan memahami kitab

kuning, tanpa memperhatikan posisi dan kemanpuan

santrinya yang sering dikenal dengan sistem kilatan.33

Kiai-kiai di pesantren memiliki otoritas untuk

menentukan kitab-kitab mana yang akan digunakan bagi

kalangan santri. Karenanya, antara satu pesantren dengan

pesantren lain sangat mungkin memiliki perbedaan sesuai

dengan kecenderungan masing-masing. Dalam konteks ini

dipahami bahwa tidak ada otoritas luar yang berhak

mengatur sebab wilayah pendidikan pesantren adalah hak

otonom para kiai-kiai pesantren.

33
Secara umum sistem kilatan ini biasa dilaksanakan pada musim
liburan pesantren, yakni liburan bulan Sha’ba>n, liburan bulan Ramad}a>n,
dan liburan maulid Nabi Muhammad SAW. Kilatan ini tidak hanya diikuti oleh
para santri pondok tertentu, melainkan juga dikuti oleh para santri dari
pondok-pondok lain yang berkeinginan mengaji –sekaligus mengalap berkah
terhadap kitab-kitab yang dibaca oleh kiai/ustad yang bersangkutan.

161
Dengan hak otonom yang dimiliki para kiai

pesantren menjadi sebab sebagai pemimpin pesantren

dianggap turut serta mempengaruhi pilihan kitab yang

diajarkan pada santri-santrinya. Misalnya, mayoritas kiai

pesantren yang berhaluan Ahl al-sunnah wa al jama’ah

memastikan pilihan kitab kuning yang diajarkan pada

santrinya adalah kitab-kitab yang para pengarangnya

berasal dari paham yang sama. Proses seleksi dilakukan

secara ketet bahkan sedikit telah atau bahkan diajarka dari

satu guru ke guru yang lain hingga bersambung dengan

pengarangnya (muallif).

Kedua, dari sisi pelaksaannya. Secara garis besar

keunikan pengajaran kitab kuning di pesantren dilakukan

melalui model sorogan dan badongan dan wetonan. Dalan

sistem sorogan, santri sebagai pembaca (al qari’) kitab

kuning tertentu dihadapan kiai dan kiai sebagai pendengar

(al-sami’), yang selanjutnya kiai melakukan pembenahan

terhadap bacaan santrinya, jika ditemukan kesalahan,

sekaligus memberikan petunjuk dan isi kandungannya.

Sistem ini dilakukan secara individual sehingga setiap

santri dibutuhkan persiapan dan keseriusan dalam

menelaah kitab yang akan dibaca agar bukan saja benar,

162
tapi tepat sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan (nahwu

atau saraf).

Sementara system bandongan merupakan aktivitas

pebelajaran dimana kiai berperan sebagai pembaca kitab

yang telah ditentukan dan santri mendengarkannya. kiai

mengulas secara mendalam tentang kitab yang dibacakan,

sesekali melontarkan komentar untuk memestikan

bacaannya sesuai dengan kaidah bahasa arab, misalnya

menggunakn nazama lfiya ibn al-malik sebagai media

pembenar sesuai dengan bahasannya.

Terkait dengan keunikan pengajaran kitab kuning ini,

sahal mahfud menambahkan bahwa pengembangan tradisi

intekstual pesantren juga dilakukan dengan model ijazah,

dimana kiai dan santri tidak membaca kitab kuning, tapi kia

memberikan ijazah kepada santri tertentu yang dipandang

memiliki kemampuan untuk membaca dan mengajarkan

kitab kuning tertentu dan santri pada umumnya. Model ini

biasanya dilakukan kepada para santri-santri senior.

Secara khusus, sistem bandongan dalam mengkaji

kitab kuning nampaknya menurut amatan penulis

dilapangan sampai sekarang masih terus dilestarikan oleh

para generasi pesantren Assadad34 Hal ini menandakan

34
Penulis melakukan amatan mengenai kegiatan pengajian kitab Kuning
di pesantren Assadad Ambunten, yang dilaksanakan di Masjid pesantren.

163
bahwa warisan kiai Ali Wafa (di pondok pesantren al-Aswaj)

tentang kitab kuning dan karakternya telah dijaga dengan

baik oleh generasi setelahnya, Kiai Thaifur (di pondok

Assadad), sekaligus membuktikan fakta historis tentang

kepemimpinan Assadad di era kepimimpinan kiai Thaifur

yang cukup dikenal kajian kitab kuningnya, khususnya kitab

kuning dengan disiplin ilu-ilmu tasawuf dan fikih.

Semua model pembelajaran kitab kuning baik

sorongan maupun bandongan dilakukan melalui proses

pemaknaan terhadap teks-teks yang dibaca dengan

menggunakan bahasa lokal sebagai pilihan. Dalam tradisi

ini akan dikenal istilah tining, ka'dintoh, ponapah, hele dan

dekka, yang semuanya menggambarkan posisi bacaan itu

dilihat dari kajian gramatika bahasa arab, misalnya tining

dan ka'dintoh adalah mubtada’ dan khobar, ponapah

adalah fa'il (subjek), hale adalah hal (keadaan), dekka

adalah maf”ul bih (obyek).

Model pemaknaan ini berlaku bagi pesantren yang

menggunakan penerjemahan dengan bahasa Madura,

sementara tidak sedikit terdapat pesantren-pesantren

tertentu, khususnya yang berada dipulau Madura,

menggunakan bahasa Madura bahkan ada yang

Salah satu kitab yang dibaca adalah Tafsi>r Firdausun Na’im dan sullmul
qashidin dengan pembacanya adalah penulis langsung, yaitu Kiai Thaifur.

164
menggunakan bahasa Indonesia. Secara sosiologis,

penggunaan bahasa lokal dalam memahami dan

mengajarkan kitab kuning dilakukan pesantren

menunjukkan bahwa kiai-kiai pesantren sangat

memperhatikan betul unsur-unsur lokalitas. Dengan itu,

kondisi sosial masyarakat santri Madura akan mudah

memahami apa yang diajarkn melalui bahasa setempat

tanpa terasa dipaksakan.

Dengan mengkaji kitab kuning yang menggunakan

bahasa arab dan diterjemahkan dalam logika kebahasaan

lokal, bukan saja memahami kandungannya, tapi sekaligus

melestarikan bahsa kedaerahannya. Dalam kasus ini,

pesantren Assadad adalah salah satu dari sekian pesantren

yang konsisten yang menggunakan bahasa lokal sebagai

media menerjemahkan kitab kitab kuning yang dibacakan

di hadapan para santrinya hingga penelitian ini dilakukan.

Inilah keunikan pengembangan tradisi intelektual

pesantren melalui pergumulan kiai dan santri dalam

menelaah kitab kuning yang diajarkan secara

berkesinambungan hingga saat ini. Dan ini merupakan

potret pesantren yang menggambarkan sepintas tentang

idiologi pesantren dalam pengkajiankitab kuning. Pastinya,

kitab kuning adalah aset pesantren dan menjadi penegas

165
serta pembeda dengan lembaga pendidikan islam lainnya.

Sudah semestinya kemudian pesantren harus merawat

tradisi baca kitab kuning sebab dengan mengabaikan

memikirkan dan merawatnya dengan beralih secara total

pada keilmuan umum. Sangat dimungkinkan karakteristik

pesantren akan habis sehingga perlu gerakan yang

seimbang.

c. Fiqih sufistik sebagai karakter keilmuan pesantren

Kesimpulan Gusdur dalam menilai karakter

intelektual pesantren sebagai fiqih sufistik35 cukup tepat

setidaknya menggambarkan paradigma yang berkembang

dilingkungan pesantren dalam memaknai teks-teks

keagamaan. Hal ini diukur melalui intensitasnya dalam

menjadikan kitab kuning sebagai bahan bacaan disatu

pihak dan dalam mengakrabkan nilai-nilai lokalitas dipihak

yang berbeda. Karennya, paradigma ini menjadi titik pijak

yang mendasari seluruh praktik keagamaan kalangan

pesantren, sekaligus respon mereka terhadap isu isu sosial

budaya yang dihadapinya.

Paradigma fiqih sutisfik dalam memahami islam

nampaknya juga dilami dan dianut oleh kiai Thaifur, apalagi

dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari komunitas

35
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Islam dan
Transformasi Kebudayaan (Jakarta: Institute, 2010), 27-130

166
pesanten di nusantara, dengan begitu, maka nalar kiai

Thaifur dan kesehariaannya senantiasa bergumul dalam

bingkai dualism (tasawuf dan fikih) pemahaman atas islam

secara bersamaan, tanpa ada sikap ekstrim diantara

keduanya, yakni pergumulan secara intens dengan

normatifitas islam disatu pihak dan substansi nilai nilai

keislaman dinilai yang bebeda. Dualism ini yang kemudian

sekali lagi melahirkan cara pandang dan sikap tertentu kiai

Thaifur, termasuk komunitas pesantren, dalam merespon

dinamika kehidupan.

d. Ideologi aswaja: peneguh sunni pesantren

Ideologis komunitas pesantren adalah penganut

paham Sunni sebagaimana nampak dari pemakaian

referensi kitab kuning yang diajarkan dalam lingkungan

pesantren. Kiai Thaifur, sebagaimana disebutkan

sebelumnya hidup dalam konteks ini, sekalipun ia lebih

dikenal sebagai sufi akibat konsentrasi kajiannya yang lebih

cenderung kepada tasawuf dan sebagai penggeliat laku

thariqah. Untuk itu, referensi-refensi kitab kuning yang

digunakan dalam lingkungan pesantren cukup penting

secara isi sekaligus secara ideologis, tepatnya ideologi

Sunni, selanjutnya disebut Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah.

167
Tradisi intelektual pesantren yang berkelindang

dengan kitab kuning melalui peran strategis kiai dan santri

dalam lingkungan pesantren, berkeinginan mewujudkan

mimpi ideal, yakni lahirnya santri pandai secara intelektual

sekaligus berkepribadian luhur. Dilihat dari perspektif

sosiologis, khususnya sosiologi pengetahuan, pergumulan

ini menggambarkan kerangka sosio-kultural yang dihadapi

kalangan pesantren baik internal maupun eksternal

sebagaimana juga dialami oleh Kiai Thaifur.

Secara internal melalui kitab kuning, kerangka

keilmuan pesantren tidak jauh dari nalar berfikir Ahl al-

Sunnah wa al-Jama>’ah dengan mengadopsi beberapa

kitab abab pertengahan atau kitab-kitab yang seirama dan

berpandangan sama. Sementara, secara eksternal

pesantren dihadapkan dengan kondisi masyarakatnya yang

menjunjung tinggi nilai-nilai lokal sebagai terpraktikkan

dalam kehidupannya. Itu artinya, keilmuan Islam yang

berkembang dalam lingkup pesantren setidaknya

merupakan respon terhadap kenyataan sosial yang

dihadapi, termasuk dalam menentukan kitab kuning

sebagai bacaan dan referensi ortodoksi kajian Islam,

khususnya bagi komunitas pesantren.

168
Oleh karenanya, intensitas penggunaan kitab kuning

berpengaruh pada upaya mempraktikkan nilai-nilai

keislaman yang dilakukan oleh kalangan Santri. Dalam

konteks bertasawuf, secara khusus, kalangan pesantren

lebih menekankan pada praktek amaliyah antara shari’ah

dan tasawuf. Pilihan ini bila dilihat dari tipologi tasawuf

yaitu Sunni dan Falsafi maka kategori tasawuf pesantren

lebih dekat dengan tasawuf Sunni, yaitu praktik tasawuf

yang sesuai dengan prinsip-prinsip luhur al-Qur’an dan

hadith, termasuk ah}wa>l dan maqa>matnya sesuai

dengan prinsip tersebut. Kecenderungan pada tasawuf

Sunni inilah yang memungkinkan pada tingkat kenyataan.

pembumian Tasawuf dengan tradisi local kalangan

pesantren lebih dekat dengan tasawuf ‘amali>, dari pada

naz}a>ri> spekulatif yang banyak dikembangkan dalam

tradisi tasawuf falsafi.36 Karenanya tasawuf Falsafi> kurang

dikenal di lingkungan pesantren sehingga kurang akrab

bahkan menjauh dari interaksi intelektual dengan tokoh-

tokoh Falsafi>, seperti Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi>

penggagas konsep fana’, Abu> Mans}ur al-H}alla>j

penggagas konsep h}ulu>l dan wah}dat al-shuhu>d, Ibn

36
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang mendorong pelakunya pada
shat}ah}a>t, yang mengantarkannya pada kondisi fana>’, ittih}a>d, h}ulu>l
dan lain sebagainya.

169
‘Arabi penggagas wah}dat al-wuju>d, dan lain

sebagainya.37

Dengan begitu, maka sufisme pesantren secara

ideologis tetap dalam kerangka nalar keislamanan Ahl al-

Sunnah wa al-Jama>’ah, yang secara prinsip dalam teologi

mengikuti paham al-Ash’ari> dan al-Maturidi>, dalam

tasawuf mengikuti prinsip Imam Abu> H}a>mid al-Ghazali

dan Imam Junaid al-Baghda>di>, dan dalam berfiqih

mengikuti salah satu dari madhab empat (Abu> H}ani>fah,

Imam Ma>lik, Imam Sha>fi’i dan Imam Ah}mad).38 Di

samping itu, karena memang pesantren berada dalam

lingkungan masyarakat yang menganut kepercayaan pada

dewa-dewa sehingga dibutuhkan pemahaman keagamaan

praksis yang mudah dipahami, terkhusus mengerucut pada

tasawuf ‘amali>.39

Dalam hal ini, kecenderungan kiai Thaifur dalam

bertasawuf adalah pengamalan tentang tarekat (tasawuf

amali), karena tarekat merupakan langkah yang tepat

dalam peneguhan tasawuf amali atau tasawuf sunni

pesantren model Imam al-Ghazali dan Ibnu Athaillah,

sehingga ketika berbicara tentang tasawuf, maka yang


37
Abu > al-Wafa’> al-Ghanimi > al-Taftazan> i,> Madhal> Ila > al-
Tasawuf al-Islam> i > (Kairo: Dar> al-Tsaqaf> ah, tth), 145.
38
Tri Tolgi ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.
39
Alwi Shihb,Akar Tasawuf Di Indonisia: Antara Tasawuf Sunni dan Falsaf
(Jakarta:Pustaka Iman, 2009), 41-42.

170
menjadi rujukan adalah karya Imam al-Ghazali seperti

Ihya>’ ‘Ulum al-Di>n, Minha>j al-‘Abidi>n, al-Munkid min

al-Dhalal atau kitab yang sepaham dengan pemikiran Imam

al-Ghazali seperti Kifayah al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya'

karya al-`Al-alamah Abu Bakr as-sayyid al-Bakri ibn as-

sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathiy, atau merujuk

pada karya Imam Ibnu ‘Athaillah seperti al-Hikam dan

sebagainya.

Hal ini tercermin ketika beliau ditanya pemahaman

tentang zuhud ia menjawab “ zuhud menjadikan dunia di

tangan dan Allah di hati”.40 Dan ketika ditanya tentang

pandangan bagaimana cara untuk memudahkan dalam

berikhlas dan menjaga hati, ia menjawab dalam ini

seseorang harus tajrid atau khumul 41


artinya

mengasingkan hati dari ketenaran dan keterkenalan yang

dapat menyibukkan hati dan mendatang riya’ dalam

beramal. Dengan pengamalan seperti itu peneguhan dan

40
Setara dengan ‫ بالمال ل فقد له تك اعقل‬# ‫وازهد وذا فقد علقة قلبكا‬. (Bersifat
zuhudlah engkau, dan tiadakan ketergantungan hatimu dengan harta, bukan
berarti untuk tidak memilikinya maka dirimu akan menjadi manusia yang
berakal). Lihat tulisan Zainuddin bin Ali al-Ma'bari al-Malibari, Hidayatu al-
Atqiya' (Surabaya: Nurul Hidayah, tt, th), 21.
41
Hal ini senada dengan ‫إدفن وجودك في ارض الحمول * فما نابت مما لم يدفن ل‬
‫يتم ناتاجه‬. Artinya: Tanamkan wujudmu dalam bumi ketersembunyian (tidak
dikenal orang lain). Karena sesuatu yang tumbuh dari proses tidak ditanam,
maka hasilnya tidak sempurna.

171
kontinuitas tasawuf sunni pesantren akan terjaga

sepanjang masa.

B.Kontribusi Tasawuf Kiai Thaifur

Setiap sesuatu yang lahir tidak terlepas dari proses. Dari

proses yang maksimal akan melahirkan hasil yang maksimal.

Perjalanan intelektual keilmuan dan kajian ketasawufan kiai

Thaifur yang sedemikian luas, maka akan melahirkan kontribusi

yang luas pula. Oleh karenanya pada bahasan ini akan mengulas

kontribusi pemikiran kiai Thaifur yang dibangun dengan latar

belakang epistemologis, historis, sosiologis maupun ideologis.

Hal ini yang menjadi pertimbangan dalam rangka pelestarian

karya-karya anak negri,42 sebab dengan cara ini karakter bangsa

akan tetap terjaga dengan belajar dari karya-karya kiai atau

ulama Nusantara termasuk dalam hal ini adalah kiai Thaifur.

Sedangkan kontribusi pemikiran tasawuf kiai Thaifur

terhadap Islam Nusantara pada umumnya dan islam Madura

pada husunya sebagaimana penulis akan uraikan secara kritis

satu persatu pada point-point berikut ini. Yaitu:

1. Merawat Tradisi Tasawuf Sunni


Dalam konteks tradisi intelektual pesantren, sekaligus

dalam bingkai pergolakan Islam Madura, dengan lahirnya

kitab Sullamu al-Qashidin karya kiai Thaifur adalah

merupakan suatu kebanggan bersama sebagai orang


42
Wasid, Tasawuf Nusantara (Surabaya: Pustaka Idea, 2016), 15.

172
pesantren dalam rangka meneguhkan nilai-nilai ajaran islam

yang berideologi aswaja dan pembumian terhadap nilai-nilai

tasawuf sunni model imam al-Ghazali. Pada kajian tasawuf ini,

kiai Thaifur adalah merupakan salah satu promotor dari

komonitas pesantren yang sangat berpengaruh dalam

penyebaran tasawuf di pulau Madura.


Kiai Thaifur dipandang secara historis kehidupannya,

beliau larut dalam pergumulan tradisi ahlu sunnah wal

jamaah dengan segala karakteristik yang dimilikinya. salah

satu karakter utama dari ahl al-sunnah wa al-jama’ah yang

dipahami dan terpraktikkan dalam lingkungan pesantren

adalah mengutamakan sikap moderat dan toleran dalam

menyikapi perbedaan. Menariknya, sebagaimana juga

disebutkan sekilas pada bab-bab sebelumnya, Kiai Thaifur

dalam kajian mengulas dengan singkat pemikiran tasawuf al-

ghazali dalam karyanya tidak seperti yang dilakukan

intelektual muslim Nusantara lainnya, seperti KH. Saleh Darat

Semarang atau Shaikh Abdus Shomad Palembang yang

keduanya mengulas beberapa pemikiran tasawuf al-Ghazali

dengan menggunakan bahasa lokal. Pilihan menggunakan

bahasa lokal cukup beralasan sebab kedua tokoh ini

berhadapan langsung dengan masyarakat yang

173
menggunakan bahasa lokal. Dengan begitu, supaya pembaca

lebih mudah memahami kandungan kitab yang diulasnya.


Upaya internalisasi dalam merawat tasawuf sunni yang

telah nampak dilakukan oleh kiai Thaifur melalui praktek-

pratek tasawuf dalam kesehariannya adalah sebagaimana

penulis akan mengulas secara rinci di antaranya, yaitu:


a. Produktifitas Dalam Berkarya
Pergumulan panjang dengan dialektika intelektual

pesantren dari pesantren ke pesantren yang lain 43 cukup

mengantarkan kiai Thaifur pada posisi penting dalam

dinamika perkembangan intelektual kepesantrenan. Dalam

hal ini, produktifitas berkarya dalam berbagai bidang

keilmuan pesantren dipengaruhi oleh kapasitas dan

pengalaman intelektual beliau dan menggambarkan bahwa

sang penulis kiai Thaifur memiliki basis pengetahuan

keislaman yang mendalam khususnya penguasaan

terhadap pemikiran-pemikiran tasawuf sehingga dalam

mengaktualisasikan pesan-pesan dan nilai-nilai tasawuf al-

Ghazali dalam kegiatan keberagamaan menjadi lebih

mudah dan simpel serta lebih mudah diterima oleh

kalangan masyarakat dari berbagai tahapan. Sehingga apa

yang disampaikan Imam al-Ghazali dalam Ihya>

Ulumuddi>n nya terasa lebih mudah.

43
Kiai thaifur, Manaru al-Wafa, 15-16.

174
Karya-karya kiai Thaifur tidak hanya dalam bidang

tasawuf semata melainkan berbagai bidang disiplin ilmu

pengetahuan yang menjadi bacaan dan kontribusi bersar

bagi dunia Islam yang kesemuanya menggunakan bahasa

Arab fushha. Pilihan kiai Thaifur terhadap penggunaan

bahasa Arab fushah dengan logika kebahasaan yang

mudah dipahami agar dengannya, karya-karya tersebut

tidak hanya dibaca secara lokal, tetapi juga di baca secara

global, sebagaimana sampai sekarang44 karyanya Sullamu

Al-Qashidin dibaca di beberapa forum alumni Haramai,

alumni Assadad pondok beliau sendiri dan beberapa

pondok di Sumenep, bahkan tahun kemaren diminta untuk

diterbitkan di percetaan bairut dan akan dikaji di berbagai

tempat di Mekkah al-Mukarramah.45


Karya-karya kiai Thaifur yang telah tercetak

sebanyak 45 kitab46 sebagaimana telah disebutkan pada

bab sebelumnya. Dan mayoritas kitab-kitab tersebut

cetakan pertama untuk dikaji di kalangan santri beliau

sendiri sekaligus untuk bahan koreksi bersama, 47 karena

setiap karya-karya beliau yang hadir masih jauh dari

44
Sejak kitab itu ditulis Sampai penelitian ini selesai juli 2016 dan insya
Allah akan bertahan sampai hari kiamat.
45
Wawancara dengan Syafaat salah satu santri senior kiai Thaifur yang
masih aktif di Pondok pesantrennya, jumat 29 juli 2016, jam 15. 30 Wib.
46
Berdasaekan penelitina penulis, kamis, 28 Juli 2016, jam 09.30 Wib.
47
Observasi penulis dan wawan cara dengan sanntri senior, ust Romli,
Ust Naufil dan Ust Syafa’at juli 2016.

175
kesempurnaan dan dimungkinkan banyak kesalahan

meskipun hanya sekedar salah ketik dan sebagainya.

Selama ini menurut hemat penulis kesalahan-kesalah yang

terjadi hanya berkutat pada penulisan dan salah ketik

saja.48 Sedangkan karya-karya beliau sangat berfariatif

sekali mulai dari ilmu Nahwu, Sharraf, ilmu Balaghah, ilmu

'Arut, Tafsir, Fikih, Sejarah, dan Tasawuf dan sebagainya.


Keproduktifan kiai Thaifur dalam menulis bisa

dikatakan luar biasa, karena meskipun di tengah kesibukan

dengan kegiatan kemasyarakatan kiai Thaifur masih

sempat melahirkan beberapa karya yang luar biasa

semisal kitab Sullamu al-Qashidin dalam tasawuf,

Firdausun Na'im 6 Jilid dalam bidang tafsir, Daf'u al-Iham

wa al-Hiba f al-Kalami ala al-Hadits Kullu Qardhin Jarra

Manfa'atan Fahuwa Riba, Tanwirul Bashair dan Bulghatu

al-Thullab dalam bidang fikih, Alfyatu Ibnu Ali Wafa dalam

sejarah dan kitab-kitab yang lainnya.


Adapun motivasi yang dapat mengantarkan

keproduktifan kiai Thaifur dalam menulis, menurut hemat

penulis ada dua macam, pertama di samping kapasitas

keilmuan yang memadai, beliau menjadikan "berkarya"

sebagai aktifitas belajar dan catatan dari setiap ilmu yang

48
Pengalaman penulis, saat mengaji kitab secara bandongan di masjid
kediaman beliau pada hari jumat 10 juni 2016 sampai senin 27 Juni 2016.

176
dibelajarnya,49 karena ilmu yang telah dipelajari dan

diperoleh bagaikan hewan buruan yang mudah lari, maka

catatanlah yang mengikatnya, sebagaimana perkataan

beliau yang mengukutip sebuah sya'ir:


‫العلم صيد والكتابة قيده * قيد صيودك بالحبسسال‬
50
‫الواثقة‬
Ilmu bagaikan hewan buruan dan tulisan adalah sebagai
pengikatnya, maka ikatlah hewan buruanmu dengan tali
yang kuat.

Jadi berkarya atau menulis sejatinya adalah

mengenang sejarah pengembaran intelektual seseorang

yang mampu bertahan lama walaupun penulisnya sudah

dikalang bumi, seperti Ihya' Ulumuddin sampai sekarang

masih tetap hidup dan dibaca di berbagai tempat

walaupun penulisnya sudah puluhan tahun wafat, berkarya

seakan-akan berusaha untuk hidup sepanjang masa.


Kemudian motivasi yang kedua sebagaimana

diceritakan bahwa kiai Thaifur pernah bermimpi gurunya

yaitu syekh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-

Fadaniy, dalam mimpinya beliau, syekh Yasin bin

Muhammad menulis pada suatu lembaran dan

membiarkan lembaran berikutnya kosong kemudian

menulis kembali pada lembaran berikutnya, kemudia

beliau berkata kepada kiai Thafur " jika kamu hendak


49
Wawancara dengan Naufil salah satu santri senior kiai Thaifur yang
masih aktif di Pondok pesantrennya, jumat 29 juli 2016, jam 15. 30 Wib.
50
Kiai Thaifur, Manaru al-Wafa, 56

177
menulis, menulislah apa yang kamu ingat dan lewati apa

yang sedang kamu lupakan dan ketika ingat tulislah

kembali dan teruslah menulis jangan sampai berhenti

karena ada yang terlupakan".51


Dengan dua motivasi tersebut menjadikan kiai

Thaifur tetap produktif sampai sekarang. Dalam

kesehariannya, kiai Thaifur tidak terlepas dengan tiga hal

yaitu kitab, buku dan balpoint. Ketika beliau belajar dan

menulis tidak hanya saat beliau duduk di rumahnya

melainkan disetiap kesempatan bahkan di dalam mobilpun

saat melakukan perjalanan, beliau tetap membawa kitab

belajar dan menulis.52


b. Pengajaran kitab kuning; Sebagai Transmisi Nilai-Nilai

Taswuf
Salah satu tradisi agung (great tradition) di

pesantren adalah tradisi pengajaran agama islam yang

bersumber dari kitab-kitab islam klasik.53 Menurut

Dhofier,54 pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam

klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang

diberikan di lingkungan pesantren.” Pada saat ini,

mayoritas pesantren telah mengambil pengajaran

51
Kia Thaifur, Manaru al-Wafa, 236.
52
Informasi didapat dari supir pribadi kiai Thaifir dan ketua pengurus
pondok pesantren beliau, yaitu ustadz Syafaat pada hari kamis 28 juli 2016,
jam 13.00-15.30.
53
Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, 85.
54
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan
Hidup Kyai (Jakarta : LP3ES, 1985), 50.

178
pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga

penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran

kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi.

Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang

sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang

lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa

diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.55


Namun pondok pesantren Assadad asuhan kiai

Thaifur tetap mempertahankan tradisi lama dengan model

pembelajaran kitab-kitab Islam klasik yang diadopsi dari

karya-karya ulama abad pertengahan dan tidak sedikitpun

memasukkan pelajaran umum, namun meskipu demikian

kiai Thaifur tidak melarang para santrinya untuk membaca

buku-buku ilmiah dan buku-buku lain yang menjadi

kesukaan santrinya. Dari metode dan model pembelajaran

tersebut tidak lepas dari pengalaman intelektual beliau

saat nyantri di Mekkah al-Mukarramah dan pergumulannya

dengan ulama bersar seperti halnya sayyid Muhammad

Alwi al-Maliki dan syekh Isma’il Usman Zaien serta ulama

besar lainnya, meurut kiai Thaifur metode dan model

pembelajaran tersebut dipandang sangat evektif dan

menuai banyak hasil dan perlu dipertahankan, karena jika

55
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999),
144.

179
tidak demikian pesantren akan kehilangan karakter

sebagai pendidikan islam tradisional sebagaimana yang

marak terjadi di dunia pendidikan Islam lainnya.56


Setiap menyelesaikan bacaan dari suatu kitab ke

kitab yang lain, para santri dianjurkan mengarang sya’ir-

sya’ir arabi57 sebagai perhormatan kepada kitab dan

pengarangnya serta mengadakan jamuan makanan

seadanya sebagai tasyakkuran atas hatamnya kitab yang

telah dipelajarinya. Hal tersebut merupakan cerminan dari

tradisi agung ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah yang masih

dipertahankan di pondok pesantren Assadad asuhan kiai

Thaifur. Mengarang sya’ir atau nadzam berbahasa arab

adalah merupakan tradisi dan ciri khas pondok pesantren

Assadad yang tidak dimiliki oleh pesantren lainnya di

Madura, tradisi tersebut merupakan cara kiai Thaifur untuk

menanamkan sikap tawaduk dan rasa syukur kepada

santrinya terhadap nikmat yang telah dikaruniakan Allah

kepadanya.58

56
Obserfasi dan amatan penulis selama berada di lingkungan
pesantren Assadad sejak senin 05 sampai 22 Ramadhan 2016.
57
Anjuran tersebut tidak bersifat wajib, namun bersifat sunnah
muakkad bagi setiap santri, anjuran tersebut dalam rangka muraja’ah dan
mengingat kembali terhadap materi yang telah diajarkan. Setiap santri yang
mengarang sya’ir dan sebelum dibacakan pada setiap hataman kitab
dianjurkan untuk disetorkan ke kiai Thaifur untuk dikoreksi dan akan diberikan
masukan seperlunya sesuai dengan kadar kesalahan dan kekurangan yang
terjadi, dengan harapan karya setelahnya lebih baik dari sebelunya.
58
Hal ini berdasarkan observasi dan pengalaman peneliti selama
mengikuti kegiatan pembelajaran dan hataman kitab di pondok pesantren
assadad pada 05-22 Ramadhan 2016

180
Di samping hal itu, memang ada landasan normatif

yang mesti menjadi pijakan dalam meningkatkan nilai

penghambaan dan pengabdian kepada Allah, sebagaimana

yang difirmankan oleh Allah dalam al-Qur’an, yaitu:


         
  
Artinya: dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-
Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".59

c. Tarekat; Upaya Pembumian Nilai-Nilai Tasawuf Pada

Lokalitas Madura
Bertarekat berarti bertasawuf.60 Tarekat adalah cara

praktis dan mudah untuk menterjemahkan ajaran-ajaran

tasawwuf imam Ghazali. Tasawuf al-Ghazali sebagaimana

yang telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa

tasawuf al-Ghazali adalah tasawuf pisikomoral, yaitu dalam

mencapai ma’rifah kepada Allah seorang hamba harus

bersih dari segala kotoran dan penyakit hati dengan cara

takhalliy, tahalliy dan tajalliy dan kesemua itu perlu adanya

latihan atau riyadhah.61 Salah astu latihan agar hati bersih

adalah bertarekat. Tarekat merupakan jalan pintas dan

pantas untuk wushul (sampai) ma’rifah kepada Allah,

karena dengan tarekat semua kotoran dan sifat-sifat hati

59
Al-Ibrahim (14): 7
60
Tarekat dan tasawuf adalah sama, demikian ungkapan kiai Thaifur
saat diwawancarai oleh penulis pada kamis 28 juli 2016, jam 14.00-15.00 WiB.
61
Mauidzatu al-Mu’minin

181
mudah dihilangkan dibandingkan dengan cara-cara yang

lain.62
Tarekat bukanlah hal baru dalam bertasawuf,

melainkan tumbuh dan bekembang lama. Namun dalam

perkembangannya mengalami pasang surut tergantung

pada tokoh sufi yang dianutnya. Jadi ketokohan dalam

perguruan sufi sangat mempengaruhi terhadap

perkembangan tarekat yang dibawanya. Kiai Thaifur dalam

hal ini dipandang memiliki pengaruh yang besar di

samping dari sisi genealogi intelektual ketasawufannya

jelas bersambung kepada Rasulallah dan di sisi yang

berbeda kiai Thaifur keturunan orang berpengaruh yaitu

kiai Ali Wafa mursyid tarekat Naqsabandiyah yang sangat

berpengaruh di masanya. Dengan demikian, posisi kiai

Thaifur sangat berperan dalam pembumisasian nilai-nilai

tasawuf sunni model al-Ghazali di Madura.


2. Kompolan; dalam Upaya Menjaga Kearifan Budaya Lokal
Madura dengan kebudayaan yang beragam menarik

perhatian banyak pihak untuk dibicarakan. Masyarakat

Madura mempunyai basis argumentasi yang rasional dalam

memaknai tradisi, sebagai warisan masa lampau yang sangat

bermanfaat untuk tetap dilaksanakan dan dilestarikan. Lebih

dari itu model pengembangan tradisi masyarakat Madura

62
Wawancara dengan kiai Thaifur pada kamis 28 juli 2016, jam 14.00-
15.00 WiB.

182
yang dampaknya benar-benar positif dalam upaya

membangun harmoni sosial.


Pada tahun tiga puluhan di desa dibentuk sejumlah

besar kompolan keagamaan yang tidak berafiliasi dengan

gerakan-gerakan nasional maupun internasional. Semua

organisasi itu dibentuk oleh para orang terkemuka untuk lebih

menggabungkan nilai-nilai agama Islam dan diri mereka

sendiri. Karena kemunduran sarekat Islam yang memiliki

peranan terkemuka, tetapi sekunder mereka dalam Nahdlatul

Ulama.63
Bagi mereka kompolan-kompolan ini merupakan

alternative yang menarik untuk mempererat ukhuwah

Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah. Pembentukan suatu

kompolan keagamaan membuat mereka lebih terpandang

dan kokoh dikalangan mereka dan juga memberi kesempatan

kepada mereka untuk mengikat orang-orang Islam dalam satu

Misi yaitu mengokohkan nilai-nilai ajaran agama Islam yang

telah diwariskan oleh para leluhur mereka. Dalam hal ini

sebagai tokoh masyarakat atau kiai memiliki peran penting

terhadap berlangsungan tradisi kompolan tersebut.


Kiai Thaifur dalam internalisasinya sebagai intelektual

muslim yang hanyut dalam dunia tasawuf sangat berperan

penting atas keberlangsungan budaya kompolan tersebut.

63
Huub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, Pedagang,
Perkembangan Ekonomi dan Islam: suatu Studi Antropologi Ekonomi (Jakarta:
Gramedia, 1998), 249

183
Dengannya kiai Thaifur merawat kompolan persaudaraan sufi

yang dikenal dengan Hojhegen. Kompolan Hojhegen adalah

merupakan kompolan persandaraan sufi yang telah dibangun

oleh ayahnya, kiai Ali Wafa sebelum wafat. Hojhegen itu

diadakan dalam rangka dzikir bersama untuk menanamkan

Allah di hatinya. Kompolan ini sangat penting diikuti oleh

penganut tarekat di samping untuk mempererat ukhuwah

islamiyah juga untuk menajamkan pandangan hati (ainu al-

Bashirah), kerena dzikir bersama (dzikir al-Jamaah) memiliki

nilai lebih dibandingkan dengan dzikir personal (dzikir al-

Munfarid).
Di samping kompolan persaudaraan sufi, kiai Thaifur

membangun majlis ta'lim alumni (kompolan belajar alumni)

dalam rangka mempererat persadaraan alumni pesantren.

Majlis Alumnia ada dua, pertama alumni Haramain yaitu

santri yang pernah belajar di tanah suci Mekkah dan yang

kedua alumni pondok pesantren Assadad, pondok asuhan

beliau sendiri. Dalam kompolan tersebut yang menjadi bahan

kajian adalah tasawuf sunni model imam al-Ghazali.


Kitab yang menjadi kajian adalah kitab Sullamu al-

Qashidin karya beliau sendiri. Pilihan kitab dengan karya

sendiri tersebut sangat tepat, karena kitab Sullamu al-

Qashidin merupakan kitab yang simple tapi padat sehingga

para anggota majlis mudah memahaminya, ditambah dengan

184
syarah atau penjelasan beliau sendiri yang cukub luas dan

menyentuh hati para anggota majlis serta masyarakat

setempat yang juga mengikutinya.64 Kegiatan tersebut

diselenggarakan setiap satu bulan sekali di rumah alumni

secara bergantian.
3. Dari Pesantren Untuk Islam Nusantara
Istilah Islam Nusantara masih tetap hangat

diwacanakan oleh beberapa kalangan. Namun persoalannya,

hingga kini belum ada konsep yang jelas atas istilah tersebut.

Misalnya saja, Said Aqil Siradj, sebagai salah satu tokoh yang

mendukung penggunaan istilah ini, mendefinisikannya

sebagai Islam yang merangkul budaya, melestarikan budaya,

menghormati budaya; “Berbeda dengan model Islam Arab

yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang

saudara.65
Ahmad Baso menganalogikan bahwa Islam Nusantara

itu ibarat pertemuan dua bibit pohon unggulan yang berbeda

jenis, namun ketika disatukan dalam proses persilangan akan

menghasilkan sebuah bibit baru yang lebih unggul.

Persilangan Islam dan Nusantara diperlukan untuk

memperoleh genius baru dengan karakter atau sifat-sifat

unggulan yang diinginkan. Bibit ini akan tumbuh sehat dan

mampu bertahan dalam situasi dan cengkeraman lingkungan


64
Wawancara dengan beberapa alumni yang aktif dalam mengikuti
kegiatan tersebut yang diadakan setiap sebulan dua kali.
65
Muhammad Pizaro dkk, Islam Nusantara: Islamisasi Nusantara atau
Menusantarakan Islam (tkp: tp, 2015), 27.

185
manapun, toleran dan adaptif terhadap lingkungannya

sehingga bisa tumbuh dan besar dengan sehat, tidak cepat

aus, rusak atau gagal tumbuh. Dengan persilangan dua

spesies berbeda itu maka diharapkan muncul spesies baru

yang populis, kualitas peradaban yang tinggi serta tahan

banting terhadap berbagai kondisi dan tantangan. Dan

spesies baru itulah yang disebut Islam Nusantara.66


Maka tak mengherankan bila Imam Syafi’i seperti

yang dikutip Ahmad Baso dalam kitabnya yang termasyhur,

al-Umm juga menandaskan bahwa:


‫ل‬
‫سالر أهعملسس م‬
‫ه‬ ‫م قلد ع ل‬ ‫عل ع ل‬ ‫ن ب لل لد ل إبل وللفيهل ل‬‫مي ل‬
‫سل ل ل‬ ‫ن ب لللد ل ال ع م‬
‫م ع‬ ‫م ع‬
‫ما ل‬ ‫ل‬
‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬
67
‫ن أهعل لهل لفي أك عث لرل ألقالويل ل ل‬
.‫ه‬ ‫م ع‬ ‫ل ل‬‫ج د‬‫ل لر م‬‫إلىَ ات يلبالع قلوع ل‬
Artinya: Di setiap negeri umat Islam itu ada ilmu yang dijalani
dan diikuti oleh penduduknya dan ilmu itu kemudian
menjadi pegangan para ulamanya dalam kebanyakan
pendapatnya.

Hal demikian menunjukkan bahwa pertimbangan

geografis menjadi sesuatu yang sangat penting 68 dalam

perkembangan dan pertumbuhan Islam. Lebih dari itu, jika

Nusantara tepanya aceh dikenal dengan serambi Madinah,

maka sangat tepat sekali jika Madura juga disebut dengan

serambi Madinah, dengan logika, bahwa Islam yang tumbuh

dan lahir di mekah akan berkembang dengan subur setelah

pindah dari tanah kelahirannya, yaitu Madinah. Madura


66
Ahmad Baso, Islam Nusantara Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama
Indonesia (Jakarta: Pustaka Afid, 2015), I: 17-18.
67
Al-Syafi’e, al-Um lissyaf’e (Bairut: Darul Ma’rifah, 1990), VII: 280.
68
Ahmad Baso, Islam Nusantara,, , I: 17-18.

186
dengan kekayaan alam dan budaya sangat tepat memberikan

warna dan corak keberislaman yang menjadi ciri has islam di

Indonisia. Islam datang ke Madura dengan paham ahlu al-

Sunnah wa al-Jama’ah mudah diterima oleh berbagai

kalangan, karena islam tidak semert-merta menyingkirkan

tradisi dan budaya mereka melainkan Islam merangkul

budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya.69


Di antara tradisi pra islam yang dihormati dan

dilestarikan oleh islam adalah model pendidikan. Model

pendidikan pada zaman pra Islam, Hindu-Budha yang disebut

dukuh. Kemudian pada masa Islam sistem pendidikan itu

diganti dengan nama pesantren atau disebut juga pondok

pesantren. Berasal dari kata funduq (funduq Arab atau

pandokheyon Yunani yang berarti tempat menginap).70

Pondok pesantren digagas dan dikembangkan oleh para

Walisongo.
Agus Sunyoto menjelaskan bahwa proses islamisasi

yang dilakukan oleh Walisongo melalui pendidikan adalah

usaha mengambil alih lembaga pendidikan Syiwa Budha yang

disebut asrama atau dukuh yang diformat sesuai ajaran Islam

menjadi lembaga pendidikan pondok pesantren. Usaha itu

membuahkan hasil yang menakjubkan, karena para guru sufi

69
Muhammad Pizaro dkk, Islam Nusantara,, 27.
70
Agus Sunyoto, Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan
(Jakarta: Transpustaka, 2011), h. 94-95.

187
dalam lembaga walisongo mampu memformulasikan nilai-

nilai sosiokultural religius yang dianut masyarakat Syiwa

Budha dengan nilai-nilai Islam, terutama nilai-nilai ketauhidan

Syiwa Budha dengan ajaran tauhid Islam yang dianut para

guru sufi.71
Senada dengan di atas, Said Aqil Siroj juga

menegaskan bahwa zaman Walisongo, pesantren yang

tadinya bernuansa Hindu-Budha mulai mendapatkan

sentuhan nuansa Islam. Dari pesantren itulah agama

diajarkan secara luas di tengah masyarakat. Semua itu

diajarkan secara mendalam dengan mempelajari berbagai

kitab babon sehingga melahirkan ulama atau kiai besar yang

berpengaruh dalam sejarah Islam Nusantara. Paku Buwono VI,

Pangeran Sambernyowo (Mangkunegoro I) dan Pangeran

Diponegoro adalah tokoh besar yang piawai dalam politik dan

tidak pernah terkalahkan dalam perang itu, semuanya murni

hasil didikan pesantren.72


Kiai Thaifur dengan kepiawaian dalam tasawuf dan

menjadi panutan banyak masyarakat dengan laku

thariqahnya sebagaimana yang dijelaskan pada bab

sebelumnya adalah murni didikan pesantren. Dengannya kiai

Thaifur menjadi salah satu tokoh sufi Madura yang produktif

71
Agus Sunyoto, Walisongo: Rekonstruksi…, h. 94.
72
Said Aqil Siroj, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara Menuju
Masyarakat Mutamaddin, Cet. II (Jakarta Pusat: LTN NU, 2015), 4.

188
dan berkontribusi besar terhadap islam Nusantara serta

usahanya dalam membumisasikan nilai-nilai ajaran islam ahlu

al-Sunnah wa al-Jama’ah sehingga kerekatan islam ahlu al-

Sunnah wa al-Jama’ah sulit dienyahkan dari berbagai sisi.


Banyak hal penting yang menjadi kontribusi besar

kiai Thaifur terhadap dunia Islam khususnya Islam Nusantara

diantaranya, yaitu kitab Sullamu al-Qashidin yang telah

menjadi rujukan dan bahan bacaan dalam memahami tasawuf

al-Ghazali serta kitab-kitab yang lain dari berbagai disiplin

ilmu pengetahuan, seperti kitab Firdausu al-Na’im, Bulghatu

al-Thullab, Tanwiru al-Bashair, Al-Fiyatu Ibnu Ali Wafa, Kutufu

al-Daniyah dan beberapa kitab yang telah disebutkan pada

bab sebelumnya.
Kitab Sullamu al-Qashidin adalah kitab tasawuf yang

dihasilkan dari proses pembacaan dan pengintisarian dari

beberapa pemikiran tasawuf imam al-Ghazali dalam kitab

Ihya Ulumuddin. Karenanya, kontribusi kitab ini yang lahir dari

lingkungan pesantren berkeinginan untuk terus menebarkan

model pemikiran tasawuf Ghazalian kepada masyarakat luas

agar terpraktikkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga

tercipta sebuah masyarakat sufistik, yakni masyarakat yang

konsisten terhadap praktik-praktik syari’ah, sekaligus memiliki

keteguhan untuk terus membersihkan hati dari segala dosa-

dosa batin agar senantiasa intens menjadikan Allah SWT.

189
sebagai pusat tujuan dan berusaha menjadikan sifatsifatnya

sebagai teladan dalam kehidupan sosial.


Penulisnya, Kiai Thiafur yang dikenal sebagai salah

satu tokoh sufi Sunni memiliki kecenderungan dalam

menjadikan al-Ghazali sebagai panutan dalam bingkai

memahami dan mempraktikkan ajaran Islam, khususnya

persoalan tasawuf. Sekalipun dalam karyanya yang lain juga

mengulas mengenai problematika fiqih, tafsir dan disiplin ilmu

yang lain, Kiai Thaifur selalu mengembangkan paradigma

toleran dan moderat sebagai implementasi dari pembumian

ajaran Aswaja, misalnya dalam berfatwa tidak melihat

persoalan hitam putih, tapi menghadirkan pandangan yang

beragam dengan alasan yang beragam pula. Lantas Kiai

Thaifur berusaha memilih pendapat yang lebih pantas

dilakukan, tanpa harus memaksakan pendapatnya kepada

orang lain. Dengan begitu, pembaca dapat leluasa memilih

hukum sesuai dengan kapasitasnya dan dalam kondisi sosial-

budaya yang mereka hadapi.


Dari berbagai karya ini nampaknya Kiai Thaifur

memiliki talenta yang luar biasa sebab menguasai beberapa

disiplin ilmu-ilmu keislaman. Secara khusus dalam kajian

tasawuf, misalnya, gambaran Kiai Thaifur cukup memadai

dalam memahami beberapa perkataan al-Ghazali sehingga

menurut penulis memposisikan dirinya sebagai pembela

190
tasawuf Sunni> Ghazalian. Kondisi ini, karena memang Kiai

Thaifur lahir dan besar dari tradisi kepesantrenan yang sejak

awal memiliki komitmen dalam menjadikan al-Ghazali sebagai

salah satu tokoh panutan, khususnya dalam kajian dan

praktik bertasawuf.
Konsentrasi Kiai Thaifur dalam tasawuf dan fi qih,

sekaligus dalam keilmuan yang lainnya, diyakini mampu

memancarkan citra keislaman yang bernuansa ba>t}in

(esoterik) di satu sisi dan z}a>hir (eksoterik) di sisi yang

berbeda. Perpaduan ini yang kemudian pemikirannya secara

genealogis bersambung dengan praktik keagamaan yang

dianut mayoritas pesantren di Indonesia, sehingga karya-

karyanya sampai hari ini menjadi bahan referensi penting

bagi komunitas pesantren dan Muslim pada umumnya, lebih-

lebih kitab maha karyanya Sullamu al-Qashidin.


Namun, ketokohan Kiai Thaifur dalam dunia

pesantren lebih dikenal sebagai seorang sufi, tepatnya sufi

Sunni>, apalagi secara praktis dirinya bergelut dalam duniai

keorganisasian tarekat yaitu Tarekat Naqsyabandiyah dan

tarekat Syadziliyah sebagaimana juga dilakukan ayahandanya

yaitu kiai Ali Wafa dan para ulama seniornya seperti Kiai

Abdul Adzim atau Kiai Sa’duddin al-Murad sekaligus gurunya.

Maka bertasawuf menurutnya adalah bertarekat atau

bertarekat adalah bertasawuf sehingga mampu berprilaku

191
meneladani nilai-nilai ketuhanan (takhallaq bi akhla>q

Alla>h).
Dari bahasan tersebut, kontribusi Kiai Thaifur lebih

pada upaya meneguhkan kembali basis intelektual pesantren

sebagaimana ia tumbuh dan berkembang dalam dunia

pesantren. Darinya, Kiai Thaifur mampu merespon

problematika kemasyarakatan sesuai dengan semangatnya

membumikan ajaran Islam Aswaja yang juga dianut oleh

mayoritas pesantren di Indonesia. Jadi, kontribusi Kiai Thaifur

tidak saja dalam rangka melestarikan tradisi intelektual itu

menyebar, melalui kesanggupannya berkarya dan menulis

kitab kuning di pondok pesantren Assadad. Tapi, sekaligus

meneguhkan progresifitasnya bahwa intelektual pesantren

harus mampu memberikan solusi kreatif atas problematika

yang dihadapi umat dengan cara-cara yang menyejukkan,

tanpa memaksakan sebagaimana juga sebelumnya dilakukan

oleh komunitas awal pesantren sebagai kelanjutan dari

teladan Wali Songo, para pendakwah Islam awal di bumi

Nusantara atau Indonesia.


Itulah di antara kontribusi Kiai Thaifur dilihat dari

perspektif pesantren. Kontribusi ini setidaknya menjadikan

salah satu gambaran tentang keberagamaan komunitas

pesantren, yakni bahwa praktik-praktik keagamaan lebih-lebih

yang berkaitan dengan tasawuf tidak saja mendorong

192
pelakukan menuai kebaikan individual, tapi sekaligus

kebaikan sosial. Mereka yang baik secara kaffa, tidak lain

adalah mereka yang mampu menyatu dengan “Allah” dalam

ranah kehidupan sosial (takhallaq bi akhlaq Allah).

193

Anda mungkin juga menyukai