Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra merupakan suatu unsur yang tak terlepaskan dari sejarah manusia.

Menurut Sumardjo & Saini (1978), sastra merupakan suatu karya dan kegiatan

seni yang memiliki kaitan erat dengan ekspresi dan kreasi, sementara karya sastra

sendiri adalah karya yang memiliki cerminan pikiran manusia yang diungkapkan

oleh manusia dalam berbagai macam bentuk.

Salah satu jenis karya sastra yang sering masyarakat nikmati adalah film.

Film merupakan suatu jenis karya sastra berupa media audiovisual. Film masuk ke

dalam jenis karya sastra karena segala jenis presentasi yang dihadirkan dalam film

dapat dijabarkan melalui kerangka tekstual. Hal ini sama dengan karya sastra yang

substansinya dapat dijabarkan melalui kerangka tekstual (Narudin, 2017).

Sama halnya dengan karya sastra, film juga memiliki tokoh sebagai

penggerak utama film dan penyampai cerita. Pada dasarnya, tokoh tidak hanya

terdiri atas tokoh protagonis dan antagonis, tetapi ada banyak tokoh yang

memiliki berbagai karakter. Salah satu cara untuk memahami karakter dalam

suatu tokoh film adalah dengan analisis “Arketipe Karakter” yang pertama kali

diperkenalkan oleh Carl Gustav Jung. Arketipe merupakan bentuk penokohan

kuno yang banyak digunakan dalam teater, salah satunya untuk mengetahui emosi

pada suatu tokoh yang datang dari ketidaksadaran kolektif. Ketidaksadaran

kolektif merupakan suatu media untuk mengetahui hubungan manusia dengan


1

pikiran, emosi, dan aksi yang dilakukannya (Feist-Feist, 2009, hal. 104-105).

Arketipe yang dipaparkan oleh Carl Jung terdiri atas Persona, Shadow, Anima,

Animus, Great Mother, Herp, The Wise Old Man, dan Self (Feist-Feist, 2009, hal.

105).

Salah satu film yang menunjukkan adanya arketipe dari ketidaksadaran

kolektif adalah La Haine (1995) karya Mathieu Kassovitz. Film ini merupakan

karya ternama dari Prancis dengan gaya film hitam-putih, drama, dan kriminal.

Mengisahkan tentang tiga sekawan yang hidup di area sub-urban Paris dan banyak

dihuni oleh imigran. Judul “La Haine” sendiri muncul dari dialog yang diutarakan

oleh salah satu tokoh di dalam film ini, yakni Hubert, yang mengatakan “La haine

attire la haine!” yang berarti “Kebencian melahirkan kebencian”.

Film La Haine (1995) menceritakan Vinz (Vincent Cassel), Saïd (Saïd

Taghmaoui), dan Hubert (Hubert Koundé) yang memiliki ambisi untuk balas

dendam kepada pihak kepolisian setelah terjadi tragedi penangkapan dan

penyiksaan terhadap salah satu temannya, Abdel. Keinginan ini semakin

memuncak setelah tiga sekawan itu menemukan pistol yang telah dibuang oleh

polisi.

Dari tiga sekawan di film La Haine (1995), Vinz merupakan salah satu

tokoh dengan peranan yang mencolok. Vinz yang memiliki nama lengkap Vincent

Cassel merupakan seorang pemuda Yahudi dengan emosi yang mudah tersulut

dan melakukan suatu hal tanpa berpikir panjang akan rencananya. Ia juga acapkali

meniru tokoh Travis Bickle dari film Taxi Driver. Vinz memiliki kebencian yang
2

mendalam terhadap para polisi. Oleh karena itu, Vinz adalah orang pertama yang

mengancam akan membunuh “para babi”1 jika terjadi hal buruk pada Abdel.

Walaupun memiliki karakter yang kejam dan pemberani, tetapi saat diberi

kesempatan untuk membunuh para Neo-Nazi, Vinz tetap tidak bisa melakukan hal

tersebut.

Setelah memahami film La Haine (1995), penulis tertarik untuk

menganalisis Vinz sebagai salah satu dari 3 tokoh protagonis di film ini. Hal ini

karena Vinz memiliki peran yang cukup mendominasi di dalam kelompok

dibandingkan dua temannya, Saïd dan Hubert. Pada dasarnya, manusia memiliki 2

sifat utama yang saling berlawanan, yakni sifat baik dan sifat buruk. Pada saat

sifat buruk mendominasi, maka hal tersebut akan membuat seseorang menjadi

kuat sekaligus berbahaya di saat yang bersamaan. Namun, jika sosok tersebut

dapat mengontrol emosinya, maka hal buruk atas sifat buruknya akan dapat

dihindari. Hal yang sama juga muncul dalam tokoh Vinz. Di beberapa menit

pertama, tokoh Vinz ditunjukkan sebagai sosok yang bengis dan bertindak tanpa

berpikir, tetapi di menit pertengahan hingga akhir ditunjukkan bagaimana Vinz

yang tidak mampu untuk membunuh para kaum Neo-Nazi (skinhead) karena

menurut Vinz, kekerasan bukanlah sifat yang dimilikinya.

Penulis akan menggunakan Arketipe untuk menganalisis perbedaan

karakter yang dimiliki oleh Vinz. Arketipe digunakan oleh Carl Jung salah

satunya untuk menganalisis sisi emosi atau karakter manusia yang ada di dalam

karya psikologi literasi. Seperti yang telah dipaparkan di atas, Vinz memiliki dua

1 Para babi mengacu pada para polisi


3

sisi yang saling berlawanan. Mengacu pada karakter Vinz, dalam Arketipe, hal ini

berhubungan dengan adanya persona dan shadow. Dalam film La Haine, Vinz

ditunjukkan sebagai sosok yang kejam dan bertindak tanpa berpikir, memiliki

dendam yang besar kepada para polisi, sekaligus memiliki rasa setia berteman

kepada Abdel, Saïd, dan Hubert. Dibesarkan dari keluarga yang miskin dan

minoritas, yakni Yahudi, Vinz melihat sosok polisi dan pemerintah menjadi

musuh utama di dalam hidupnya. Mengutip dari Feist-Feist (2009, hal. 112),

persona dan shadow selalu muncul di dalam diri manusia. Apabila seseorang

tidak dapat mengontrol shadow, maka sosok tersebut akan kesulitan mengontrol

emosi yang dimiliki dan dapat memunculkan hal-hal yang berbahaya. Sama

halnya dengan bagaimana di awal film, ditunjukkan jika Vinz dapat menjadi

ancaman utama bagi Saïd dan Hubert akibat kebenciannya yang tidak terkontrol

kepada para polisi di Paris. Hasil akhir yang diharapkan dari analisis Arketipe

Persona dan Shadow tokoh Vinz adalah untuk menunjukkan apakah tokoh Vinz

dapat mencapai teori kesadaran (self-realization) milik Carl Jung.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana persona dan shadow ditampilkan pada tokoh Vinz?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui persona dan shadow yang dimiliki oleh tokoh Vinz sekaligus

mengetahui self-realization tokoh Vinz

1.4 Manfaat Penelitian


4

a) Sebagai referensi untuk penelitian berikutnya yang memiliki pendekatan

atau teori yang sama, yakni pendekatan psikologi sastra dengan teori

Arketipe milik Carl Gustav Jung

b) Mengetahui peran persona dan shadow dalam mencapai self-realization

c) Mengetahui pengaruh shadow terhadap ego dan persona yang ditunjukkan

d) Memahami kepribadian manusia dengan teori Arketipe melalui tokoh Vinz

dalam film La Haine (1995)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Adapun batasan dalam penelitian ini adalah hanya membahas Arketipe

Persona dan Shadow milik Carl Jung, sekaligus membuktikan apakah self-

realization mampu dicapai oleh tokoh Vinz.

1.6 Definisi Istilah Kunci

Arketipe: Suatu bentuk pikiran/ide universal yang menciptakan gambaran-

gambaran/visi kehidupan yang normal yang berkait dengan aspek tertentu/situasi

tertentu (Hall dan Linzey 1993:18).

Shadow: Kata shadow digunakan Jung untuk menunjukkan sisi yang gelap atau

sisi yang jahat dalam diri kita. Selain itu, Fresbach (dalam Sebatu, 1994: 9)

menggambarkan bahwa shadow sebagai sisi kebinatangan dari dalam kepribadian

manusia. Shadow berhubungan dengan taraf tak sadar dan justru erat kaitannya

dengan dunia kejahatan.


5

Persona: Menurut teori Arketipe Jung, persona adalah sisi kepribadian manusia

yang secara sadar ditunjukkan kepada dunia. Istilah ini berasal dari bahasa Latin

yang bermakna topeng yang digunakan para aktor di atas panggung.

Self-Realization atau Teori Kesadaran: Self-Realization atau Teori Kesadaran:

Proses pembentukan self atau bentuk jiwa yang utuh, ideal, dan terkontrol melalui

pembentukan ideal-ideal. Hal ini dilakukan oleh individu yang menyadari potensi-

potensi dalam dirinya, lalu mengintegrasikannya menjadi pribadi yang utuh (Jung

dalam Feist-Feist).

Kepribadian: John Milton Yinger mengatakan bahwa kepribadian adalah

keseluruhan dari perilaku seseorang dengan sistem kecenderungan tertentu yang

berinteraksi atau berhubungan dengan serangkaian situasi.


6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Film Sebagai Karya Sastra

Wibowo dalam Rizal (2014) menyampaikan bahwa film merupakan salah

satu alat untuk menyampaikan berbagai pesan kepada khalayak umum dengan

media cerita. Sekaligus, film dapat menampilkan segala mode presentasi sesuai

dengan fitur-fitur yang dimiliki oleh teks sastra dan dapat dijelaskan secara

kerangka tekstual. Dengan kata lain, film merupakan salah satu jenis karya sastra

yang mampu menyampaikan pesan kepada khalayak umum sebagai salah satu

fungsi karya sastra.

Sama halnya dengan karya sastra lainnya, film juga memiliki unsur

pembentuk yang menjadikan film sebagai satu kesatuan. Pratista (2008)

menyampaikan bahwa film memiliki dua unsur pembentuk yang saling

melengkapi. Salah satunya adalah unsur naratif yang memiliki banyak kemiripan

dengan unsur pembangun karya sastra. Adapun bagian dari unsur naratif adalah

sebagai berikut:

1) Waktu

Waktu merupakan salah satu unsur yang memegang peranan penting

dalam film. Tiga faktor utama dalam waktu yang dapat menjadikan film

satu kesatuan yang utuh adalah urutan waktu, durasi, dan frekuensi. Urutan
7

waktu adalah pola dari berlangsungnya alur cerita. Berikutnya, durasi

adalah rentang waktu yang film milik untuk menyampaikan cerita.

Terakhir, frekuensi adalah adegan serupa yang beberapa kali muncul di

waktu yang berbeda dalam film.

2) Ruang

Setiap film memiliki latar, baik nyata, maupun fiksi ilmiah. Hal ini disebut

sebagai ruang yang memiliki fungsi sebagai tempat untuk pelaku cerita

berkreativitas.

3) Pelaku Cerita

Pelaku cerita atau tokoh cenderung memiliki kategori berupa pemeran

utama dan pendukung. Pemeran atau tokoh utama akan menjadi sosok

yang menggerakkan cerita dan menentukan sudut pandang penonton.

4) Konflik

Konflik merupakan unsur penting untuk menggerakkan jalan cerita.

Konflik dapat berupa sebuah masalah yang telah terjadi sejak awal cerita

dimulai atau yang terjadi karena suatu hal yang dilakukan oleh tokoh

utama. Konflik dapat berupa suatu rintangan yang harus dilalui oleh tokoh

utama untuk mencapai tujuannya.

5) Tujuan
8

Tujuan dapat berupa suatu hal yang nyata (fisik) maupun tidak nyata (non-

fisik atau abstrak). Tujuan dimiliki baik oleh tokoh utama maupun tokoh

pendukung.

2.1.2 Psikoanalisis dalam Karya Sastra

Tanpa kita sadari, segala ide dari suatu karya sastra merupakan sebuah

representasi atau manifestasi dari hal nyata yang terjadi dalam kehidupan

manusia, seperti karya sastra yang memiliki unsur naratif berupa ruang untuk

individu (tokoh utama) bertindak, rintangan atau konflik, hingga tujuan yang

hendak dicapai tokoh utama. Dengan kata lain, walaupun sastra dan psikologi

secara sekilas terlihat sebagai dua disiplin ilmu yang berbeda, tetapi ada banyak

unsur kesamaan yang menjadikan sastra sebagai salah satu media penelitian yang

berhubungan dengan disiplin ilmu psikologi. Sastra merupakan karya tulisan

maupun lisan yang mengandung berbagai unsur seperti unsur artistik, orisinil,

keindahan isi dan ungkapan (Sudjiman, 1990:68). Selanjutnya, psikologi

merupakan suatu disiplin ilmu yang mengkaji tentang tingkah laku manusia

(Atkinson, 1996:7). Kendati memiliki dua pemahaman yang berbeda, tetapi baik

karya sastra dan psikologi masing memiliki kaitan yang erat. Salah satunya adalah

hubungan fungsional karya sastra yang mengkaji kondisi kejiwaan yang bersifat

imajinatif, sedangkan ilmu psikologi mengkaji kondisi kejiwaan seseorang yang

bersifat nyata. Hal ini kemudian memunculkan istilah psikologi sastra, yakni

analisis karya sastra dengan menggunakan relevansi dan pertimbangan ilmu

psikologi (Ratna 240:350).


9

Sama halnya dengan ilmu psikologi pada umumnya, dalam psikologi

sastra juga terdapat beberapa teori pendekatan untuk menganalisis suatu kondisi

atau gejala kejiwaan dalam karya sastra. Salah satu teori pendekatan yang dapat

menunjukkan kondisi kejiwaan individu dalam karya sastra adalah teori psikologi

analitik oleh Carl Gustav Jung. Psikologi analitik oleh Carl Gustav Jung pada

dasarnya menekankan pada the self atau keutuhan diri dalam suatu individu.

Dalam à La Psychologie Analytique: Le Séminaire de Psychologie Analytique de

1925, Jung membagi kesatuan kepribadian atau psike ke dalam tiga bagian

penting, yakni kesadaran atau consciousness, ketidaksadaran personal atau

personal unconsciousness, dan ketidaksadaran kolektif atau collective

unconscious.

2.1.3 Consciousness, Personal Unconsciousness, Collective Unconsciousness

Dalam Inaba (2006, hal. 14), Carl Jung mengemukakan pemikirannya

tentang psike ke dalam 3 level, yaitu kesadaran atau consciousness,

ketidaksadaran personal atau personal unconsciousness, dan ketidaksadaran

kolektif atau collective unconsciousness.

1) Kesadaran atau Conscious

Kesadaran atau Conscious merupakan keadaan saat individu mencapai

kesadaran penuh yang berpusat pada kemampuan berpikir, merasa, dan

mengingat. Mengutip dari Feist-Feist (2009:103), Jung menjelaskan bahwa

kesadaran merupakan keseluruhan hal yang diindrai oleh ego. Dalam hal

ini, ego merupakan hal yang menjadi pusat kesadaran, tetapi bukan inti
10

dari suatu kepribadian. Kesadaran merupakan lapisan paling luar dari

struktur psike Jung. Hal ini karena kesadaran hanya merefleksikan

sebagian kecil pengalaman dalam kesadaran, salah satunya berupa

pengalaman yang disembunyikan dan tersimpan di dalam ketidaksadaran

personal (personal unconscious). Dengan demikian, kesadaran memiliki

peranan yang kecil jika dibandingkan dengan ketidaksadaran.

2) Ketidaksadaran Personal atau Personal Unconscious

Ketidaksadaran personal atau personal unconscious memiliki aspek berupa

pengalaman dan ingatan atau kejadian lampau individu. Namun,

ketidaksadaran personal terdiri atas informasi dan pengalaman yang telah

individu lupakan, dapat dirasakan dan ditekan tanpa disadari. Hal ini

berhubungan dengan alam bawah sadar antarindividu yang berbeda,

berdasar atas kejadian atau pengalaman lampau.

3) Ketidaksadaran Kolektif atau Collective Unconscious

Dalam psikologi analitik, ketidaksadaran kolektif atau collective

unconscious merupakan hal yang penting. Jika ketidaksadaran personal

memiliki sifat yang unik dan pribadi, maka ketidaksadaran kolektif

memiliki sifat genetik dan bersifat universal. Dengan demikian, dimiliki

oleh setiap individu karena diwariskan oleh leluhur (Jung dalam Feist-

Feist 2009:104). Hal yang diwariskan oleh leluhur ini menurut Jung

merupakan unsur perkembangan biologis dari generasi leluhur hingga

generasi individu itu sendiri. Dengan adanya memori dari leluhur yang
11

terjadi secara berulang dan turun-temurun kemudian bertransformasi

ketika dirasakan oleh individu dan hadir dalam bentuk emosi dan gambar.

2.1.4 Teori Arketipe dan Self-Realization: Carl Gustav Jung

Jung dalam Feist-Feist (2009, hal. 105) menyatakan bahwa manusia hadir

di dunia dengan respon terhadap suatu aksi dan reaksi dalam pengalaman

hidupnya. Dengan kata lain, manusia memiliki tanggung jawab untuk beradaptasi

dengan segala hal yang berhubungan dengan situasi yang tengah dihadapi.

Dengan demikian, Jung dalam usahanya untuk mengetahui tentang pikiran

manusia dan segala kebiasaannya mencetuskan sebuah ide yang berupa karakter

arketipe dari teori arketipe. Karakter arketipe merupakan suatu gambaran kuno

dari manusia untuk mengetahui emosi yang hadir dari ketidaksadaran kolektif.

Dengan karakter arketipe, suatu individu akan mampu untuk mempelajari tentang

kepribadiannya sendiri maupun kepribadian individu lainnya. Untuk lebih

tegasnya, arketipe tidak dapat hadir secara nyata dalam kehidupan manusia.

Tetapi, arketipe dapat hadir sebagai suatu fantasi, halusinasi, sekaligus perubahan

kebiasaan dalam diri individu.

Berhubungan dengan karakter arketipe, self-realization merupakan suatu

proses untuk menjadi individu yang utuh (whole person), sehingga merupakan

suatu proses yang sangat sulit dan jarang dicapai oleh manusia. Hal ini karena

self-realization hanya dapat dicapai oleh individu yang mampu mengasimilasi

unsur ketidaksadarannya ke dalam kepribadian yang utuh. Untuk mencapai self-

realization, manusia harus menyadari sisi karakter arketipenya. Utamanya,


12

menyadari shadow, persona, dan anima atau animus. Dengan kata lain, individu

yang berhasil mencapai tingkat self-realization tidak didominasi oleh proses atau

memori ketidaksadaran maupun ego kesadaran (conscious ego)2, tetapi mampu

menyeimbangkan kedua aspek kepribadian tersebut. Dengan demikian, untuk

mencapai self-realization, manusia harus beradaptasi dengan dunia (lingkungan)

sekitarnya sekaligus dengan dunianya sendiri (diri sendiri atau inner world)

(Feist-Feist, 2009, hal. 115).

Oleh karena itu, untuk mempermudah proses manusia memahami

kepribadiannya dalam usahanya untuk mencapai self-realization, Jung dalam

Feist-Feist (2009, hal. 97) menjelaskan 7 karakter arketipe. Berikut adalah

penjelasannya.

1) Persona

Setiap individu memiliki persona yang berbeda-beda, sesuai dengan situasi

dan kondisi yang tengah dihadapinya di kehidupan sosial. Hal ini

dipertegas oleh Jung, bahwa persona dapat digambarkan sebagai suatu

topeng yang seseorang kenakan dalam berkehidupan sosial. Dengan kata

lain, persona adalah representasi dari kepribadian atau karakter yang

individu ingin tunjukkan ke hadapan publik, walaupun hal tersebut

memiliki kesan yang berbeda dari dirinya yang sebenarnya (pencitraan).

2 Pusat dari kesadaran yang terdiri atas kesadaran individu akan keberadaan identitas pribadi yang
berkelanjutan. Merupakan pengatur pikiran dan intuisi, perasaan, dan memiliki akses ke ingatan
yang tidak ditekan oleh individu (Jung, C.G. 1921 Psychological Types Collected Works Vol. 6)
13

Persona yang terlalu banyak dimiliki oleh seorang individu dapat

memberikan dampak yang buruk kepada individu itu sendiri. Salah

satunya adalah terciptanya konflik batin, kebohongan publik, dan risiko

individu tersebut akan melupakan dirinya yang sejati.

2) Shadow

Shadow adalah karakter yang berlawanan dengan persona, yaitu sisi

negatif dari kepribadian manusia. Shadow atau bayangan terdiri atas

kepribadian buruk atau kualitas individu yang tidak ingin mereka akui

sekaligus tunjukkan di hadapan publik. Selain itu, shadow juga terdiri atas

kepribadian yang cenderung tidak diterima secara moral dan lingkungan

sosial pemiliknya. Hal ini menyebabkan shadow, secara natural,

tersembunyi di alam bawah sadar manusia.

3) Anima dan Animus

Pada dasarnya, setiap individu memiliki beberapa aspek kepribadian dari

lawan jenisnya. Kepribadian atau kualitas inilah yang disebut sebagai

anima dan animus (Feist-Feist: 108).

Anima merupakan sisi feminin yang hadir dalam kepribadian laki-laki.

Anima tercipta karena adanya interaksi antara laki-laki dengan perempuan

yang merupakan hal natural mengingat laki-laki dan perempuan telah

hidup berdampingan sejak dahulu kala. Anima dapat ditampilkan sebagai

sisi kreatif, emosi, kasih sayang, intuisi, dan naluri dalam diri individu

laki-laki. Sementara itu, animus merupakan sisi maskulin yang hadir


14

dalam kepribadian perempuan. Sama halnya dengan anima, animus juga

hadir karena adanya interaksi antara perempuan dengan laki-laki. Dalam

diri perempuan, animus akan ditampilkan sebagai sisi keberanian dan

rasional.

4) The Great Mother

The great mother merupakan perkembangan dari animus yang hadir dalam

diri perempuan, sehingga, baik perempuan, maupun laki-laki memiliki

arketipe the great mother di dalam dirinya. Menurut Jung, The great

mother menggambarkan dua sisi yang saling berlawanan, yaitu the great

mother sebagai penggambaran kesuburan dan mengayomi serta the great

mother yang memiliki penggambaran sebagai kekuatan dan kehancuran.

5) The Wise Old Man

The wise old man merupakan perkembangan dari anima yang hadir dalam

diri laki-laki. Sosok the wise old man digambarkan sebagai seorang laki-

laki tua yang bijaksana dengan pengetahuan dari masa lampau dan masa

depan. Dengan demikian, arketipe the wise old man memiliki peran untuk

menuntun individu dalam mencapai tujuannya. Termasuk saat individu

tengah menghadapi suatu rintangan di dalam hidupnya. The wise old man

muncul dalam diri individu melalui mimpi, yakni adanya sosok ayah,

kakek, filsuf, pendeta, atau dokter di dalam mimpi manusia yang akan

membantunya untuk melewati rintangan yang tengah dihadapi.

6) Hero
15

Umumnya, dalam cerita dongeng, hero atau pahlawan selalu memiliki

tujuan untuk menyelamatkan putri, membangun kerajaan, menemukan

harta karun tersembunyi, dan hal-hal lainnya yang erat hubungannya

dengan tujuan nyata (fisik). Namun, secara psikologis, hero merupakan

suatu metafora untuk potensi unik dan perasaan sejati yang dimiliki oleh

seorang individu.

Hero digambarkan sebagai kepribadian individu yang kuat, berani untuk

melewati rintangan dan melawan kejahatan, sehingga hero hanya dapat

muncul dalam diri seseorang yang memiliki kelemahan sekaligus mampu

untuk menerima kelemahan tersebut.

7) Self

Menurut Jung, self merupakan kemampuan individu untuk tumbuh dan

berkembang sebagai upayanya menuju penyempurnaan diri. Arketipe ini

terletak di antara kesadaran dan ketidaksadaran. Self merupakan pusat dari

semua psike dan arketipe. Hal ini dikarenakan self mampu

menyeimbangkan sekaligus menyempurnakan semua jenis arketipe yang

nantinya akan membantu individu dalam proses self-realization. Dengan

kata lain, self memiliki tiga unsur utama, yakni totalitas, keteraturan, dan

harmoni. Pada akhirnya, individu yang mampu mengintegrasikan self akan

menggambarkan suatu konsep kesempurnaan yang utuh seperti mandala.

2.2. Penelitian Terdahulu


16

Pada bagian ini, penulis akan membahas terkait penelitian terdahulu yang

memiliki kesamaan objek formal ataupun objek material dengan penelitian ini.

Pertama, skripsi karya Rifqi Indra Suksmana, mahasiswa jurusan

Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya tahun

2018 yang berjudul “Roderick’s Persona and Shadow Represented in Edgar Allan

Poe’s “The Fall of The House of Usher” Based on Carl Jung’s Archetypes

Characters”. Penelitian ini menganalisis serta mendeskripsikan shadow dan

persona dari karakter arketipe Carl Jung serta capaian self-realization dari tokoh

Roderick.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa karakter arketipe dapat

digunakan sebagai cara untuk mengetahui kepribadian seorang individu, termasuk

mengetahui apakah individu tersebut telah mencapai titik harmoni dalam

kehidupannya. Penelitian yang berfokus pada arketipe persona dan shadow milik

tokoh Roderick ini berhasil menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-harinya,

Roderick menunjukan persona dalam pemahaman yang umum, yaitu adanya hal

unik dari penampilan wajah Roderick. Tokoh Roderick yang dikatakan memiliki

kesamaan dengan malaikat, yaitu rupawan, indah, bahkan dideskripsikan sebagai

kecantikan yang tiada tanding. Arketipe shadow milik Roderick ditunjukkan

muncul dalam setiap hal yang ia lakukan. Hal ini dapat diketahui dari bagaimana

ekspresi wajahnya yang berubah, berkaitan dengan kesengsaraan yang ia rasakan.

Penyakit yang dimiliki oleh Roderick juga membuatnya semakin depresi sehingga

ia menjadi sosok yang melankolis. Selain itu, arketipe shadow milik Roderick

juga muncul dalam rasa takut dan fantasinya, yaitu adanya rasa takut akan risiko
17

kehilangan sosok adik perempuannya, Madeline. Hal ini menunjukkan shadow

yang dimiliki Roderick lebih dominan daripada arketipe persona miliknya. Salah

satunya, terlihat dari bagaimana Roderick mengubur Madeline di dalam peti mati

yang ditempatkan di area bawah tanah rumahnya.

Pada akhirnya, tokoh Roderick tidak dapat mencapai self-realization

secara sempurna karena arketipe shadow yang lebih dominan daripada persona.

Roderick tidak dapat mengidentifikasi shadow yang ia miliki, ia hanya berfokus

pada bagaimana personanya ditampilkan, sehingga shadow yang Roderick miliki

tertutupi oleh persona miliknya.

Kedua, skripsi karya Muhammad Aby Prasetyo, mahasiswa jurusan

Bahasa dan Sastra Prancis, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya tahun

2021 yang berjudul “Sikap Otoriter Oknum Polisi dalam Film La Haine karya

Mathieu Kassovitz”. Penelitian ini bertujuan untuk mencari gambaran perilaku

dari kepribadian otoriter pada oknum polisi dalam film La Haine (1995). Adapun

teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kriteria dari tes F-Scale yang

terdapat pada buku The Authoritarian Personality.

Kesimpulan yang didapat adalah bahwa oknum polisi menunjukkan

gambaran kepribadian otoriter berdasarkan kriteria F-Scale. Dalam film La Haine

(1995), oknum polisi menunjukkan gambaran dari kriteria konvensionalisme,

agresi, otoriter, takhayul dan stereotip, kepatuhan otoriter, proyektivitas, serta

kekuasaan dan ketangguhan. Selain itu, prasangka buruk kerap kali ditunjukkan

terhadap masyarakat yang tinggal di sub-urban karena tempat tersebut


18

digambarkan sebagai komunitas pinggiran kota yang bermasalah, tempat tersebut

juga memiliki angka pengangguran dan tingkat kejahatan yang tinggi. Maka dari

itu, oknum polisi merasa lebih bebas untuk melakukan kekerasan berlebih

terhadap mereka yang tinggal di daerah tersebut


19

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Dalam menganalisis persona dan shadow dari karakter Vinz dalam film

La Haine (1995) karya Mathieu Kassovitz, penulis menggunakan metode

penelitian secara kualitatif deskriptif yang menekankan pada analisis karya sastra.

Menurut Saryono (2010), penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang

menyelidiki, menemukan, menggambarkan, sekaligus menjelaskan kualitas

maupun keistimewaan dari pengaruh sosial yang tidak dapat dijelaskan secara

teratur, diukur, atau digambarkan oleh pendekatan kuantitatif.

3.2 Data dan Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam penulisan merupakan subjek dari data yang akan

didapat, sementara itu data penulisan merupakan objek atau variabel penulisan

(Arikunto, 2006, hal. 129). Dalam sumber data dibagi menjadi dua, yaitu data

utama dan data pendukung. Data utama merupakan data yang diperoleh langsung

dari objek penelitian. Adapun sumber data utama dalam penelitian ini berupa

penggalan dialog dan cuplikan adegan pada film La Haine. Film La Haine

disutradarai oleh Mathieu Kassovitz dan ditayangkan pada tahun 1995 dengan

durasi 98 menit atau 1 jam 38 menit. Sementara itu, data pendukung adalah data

yang berasal dari hasil penelitian orang lain, seperti buku, jurnal, artikel,

dokumen, dan lain-lain. Adapun data pendukung dalam penelitian ini berupa
20

jurnal, artikel, buku, dan ulasan yang berkaitan dengan film La Haine (1995) serta

persona dan shadow milik Carl Jung.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data penelitian, penulis menggunakan tiga teknik,

yaitu:

1. Observasi

Teknik ini merupakan tahap awal dari proses pengumpulan data yang

membutuhkan pengamatan secara langsung dengan cara menonton dan

mengamati setiap tindakan dari tokoh Vinz. Selain itu, penulis juga

mengamati elemen-elemen pembangun cerita, seperti ketegangan sosial,

kekerasan, identitas, persahabatan, atau perlawanan terhadap otoritas, serta

mengidentifikasi pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara

melalui narasi dan visual film. Hasil observasi ini kemudian akan

dianalisis dan ditarik kesimpulan berdasarkan teori yang digunakan.

2. Transkrip Dialog

Teknik ini dilakukan dengan mencatat dialog atau percakapan yang terjadi

dalam film dan relevan dengan penelitian. Penulis mencatat narasi,

monolog, dan dialog tokoh Vinz untuk menganalisis pilihan kata yang

digunakan, gaya bicara, dan percakapan yang terjadi. Selanjutnya, penulis

berfokus pada bagaimana Vinz berkomunikasi dengan karakter lain, serta

bagaimana dia menyampaikan pemikiran, emosi, atau pandangannya.


21

3. Dokumentasi Adegan

Teknik ketiga dalam pengumpulan data adalah mengumpulkan

dokumentasi berupa tangkapan layar (screenshot) dari adegan tokoh Vinz

yang menunjukkan karakteristik persona dan shadow. Hal ini dilakukan

sebagai upaya untuk memastikan bahwa arketipe persona dan shadow

benar-benar muncul dalam diri tokoh Vinz.

3.4 Teknik Analisis Data

Dalam teknik analisis data, ada 3 tahapan yang penulis lalui, yakni:

1) Analisis Persona dan Shadow Tokoh Vinz

Teknik ini merupakan tahapan awal dalam menganalisis data yang telah

dikumpulkan oleh penulis. Dalam tahapan ini, penulis akan melakukan

analisis atas tutur kata (penggalan dialog) dan perilaku (cuplikan adegan)

tokoh Vinz. Utamanya, yang ditunjukkannya terhadap teman, keluarga,

masyarakat, maupun polisi. Kemudian, penulis akan mengaitkannya

dengan teori arketipe milik Carl Gustav Jung untuk mengetahui sisi

persona dan shadow yang ditunjukkan.

2) Analisis Capaian Self-Realization tokoh Vinz

Setelah mengetahui persona dan shadow yang dimiliki oleh tokoh Vinz,

berikutnya penulis akan menganalisis pencapaian self-realization dari

tokoh Vinz. Hal ini dilakukan dengan membandingkan dan menyimpulkan


22

analisis persona dan shadow dari tokoh Vinz sehingga dapat diketahui

apakah self-realization berhasil atau gagal dicapai oleh tokoh Vinz.

3) Kesimpulan

Terakhir, setelah dua proses analisis di atas dilakukan, maka penulis akan

menyimpulkan hasil dari analisis. Hal ini akan dilakukan setelah

menggabungkan bukti adanya karakter arketipe persona dan shadow milik

Carl Jung dalam diri tokoh Vinz dari film La Haine (1995). Dengan

demikian, penulis akan mendapat jawaban atas persona, shadow, sekaligus

capaian self-realization dari tokoh Vinz.


23

DAFTAR PUSTAKA

Fatihah, N., & Mustofa, A. (2022). Archetypes & Self realization in

Disney’s Cruella (2021) Movie: Jungian Psychoanalysis.

Feist, J. & Feist, G.J. (2009). Theories of Personality 7th Edition. New

York : McGraw-Hill.

Kassovitz, M. (Director). (1995). La Haine [Film]. StudioCanal.

Prasetyo, M. A. (2021). Sikap Otoriter Oknum Polisi dalam Film La

Haine karya Mathieu Kassovitz.

Siciliano, A. (2007). La Haine: Framing the ‘Urban Outcasts’. ACME: An

International Journal for Critical Geographies, 6(2), 211-230.

Stein, M. (2020). In Jung's Map of the Soul: An Introduction. Shambhala

Suksmana, R. I. (2013). Roderick's Persona and Shadow Represented in

Edgar Allan Poe’s “The Fall of The House of Usher” Based on Carl

Jung’s Archetype Characters.

Virnindyta, A. (2021). Analisis Arketipe Karakter Utama dalam Novel Le

Bleu Est Une Couleur Chaude: Kajian Psikologi Analitik Carl Gustav

Jung.

Anda mungkin juga menyukai