Anda di halaman 1dari 10

PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN

HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DALAM PROSES JUAL BELI


TANAH DAN BANGUNAN DI KABUPATEN LAHAT

Shelvita Andriani, Arief Wisnu Wardhana, Holijah, Abdul Latif Mahfuz


Email: shelvita.andriani@gmail.com
Magister Hukum Pps Universitas Muhammadiyah Palembang

ABSTRAK

Pajak adalah kontribusi pemerintah (yang dapat diberlakukan) yang


terhutang kepada pembayar berdasarkan peraturan, tidak termasuk pendapatan
dari jasa, yang dapat dikenakan langsung untuk tujuan membiayai pengeluaran
umum yang berkaitan dengan fungsi pemerintahan yang diselenggarakan oleh
pemerintah
Biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan atau disingkat BPHTB untuk
Kabupaten Lahat diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lahat No. 3 Tahun
2011. Dalam praktiknya, pemungutan BPHTB di Kabupaten Lahat ke Badan
Pendapatan Daerah (Bapenda) seringkali menimbulkan kendala bagi wajib pajak.
dalam menghitung dan menilai pajak BPHTB atas jual beli tanah dan bangunan.
Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini
adalah kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan dalam jual beli tanah dan bangunan di Kabupaten
Lahat. Metode penelitian hukum empiris digunakan dalam penelitian ini. Data
primer dan sekunder diperoleh melalui tinjauan pustaka dan wawancara dengan
penelitian. Hasil penelitian dianalisis secara kualitatif dan disajikan dengan jelas.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kendala
pelaksanaan survei BPHTB adalah ketidakjujuran wajib pajak dalam mencatat
nilai transaksi jual beli, kesadaran masyarakat terhadap kewajiban perpajakan
masih sangat terbatas dan penjualan barang. Nilai Objek Pajak (NJOP) dalam hal
ini ZNT (Kawasan Nilai Tanah) di Kabupaten Lahat tidak pernah berubah,
kurangnya tata cara pembayaran BPHTB kepada masyarakat, kurangnya tenaga
ahli BAPenda, banyaknya pembelian tanahdan transaksi penjualan dilakukan
secara sembunyi-sembunyi (tidak melalui PPAT) untuk menghindari pembayaran
pajak BPHTB.

Kata kunci : problematika; pelaksanaan pemungutan; bea perolehan hak atas


tanah dan bangunan ; jual beli tanah dan bangunan
Pendahuluan
Pajak adalah kontribusi pemerintah (yang dapat diberlakukan) yang
terhutang kepada pembayar berdasarkan peraturan, tidak termasuk pendapatan
dari jasa, yang dapat dikenakan langsung untuk tujuan membiayai pengeluaran
umum yang berkaitan dengan fungsi pemerintahan yang diselenggarakan oleh
pemerintah (Satya & Dewi, 2010).
Pajak daerah merupakan sumber pembiayaan yang sangat penting bagi
terselenggaranya pembangunan perekonomian dan penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Oleh karena itu, sesuai dengan tujuan otonomi daerah,
maka pendapatan daerah dari pajak daerah harus terus ditingkatkan dari waktu ke
waktu. Tujuannya untuk memperkuat peran daerah dalam memenuhi kebutuhan
daerah, khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
(Christianingrum & Aida, 2020).
Di antara sekian banyak sumber pajak daerah yang potensial untuk
ditelusuri, salah satunya adalah Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB). BPHTB telah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah
sejak diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah berdasarkan Pasal 2 angka(2), yang sebelumnya tidak diatur. Dengan
demikian, BPHTB yang dulunya merupakan sumber penerimaan negara, menjadi
potensi sumber penerimaan baru yang kewenangannya dialihkan ke daerah
Kabupaten/Kota (Buulolo, 2015).

Apabila BPTHB dimasukkan dalam pajak daerah “Kabupaten/Kota”,


maka seluruh badan administratif/kota di Indonesia wajib menetapkan BPHTB
dalam bentuk peraturan daerah kabupaten/kota, tidak terkecuali Kabupaten Lahat.
Kabupaten Lahat merupakan salah satu wilayah administratif regional di Provinsi
Sumatera Selatan yang wilayah daratannya menawarkan potensi besar bagi
pengembangan perekonomian daerah khususnya pertambangan batubara.
pemerintah Lahat membuat regulasi hukum dengan Nomor 03 Tahun 2011
tentang Pajak Daerah (selanjutnya disebut Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun
2011), dan sampai saat ini Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2011 masih
berlaku dan tidak ada penggantinya (Wawancara dengan Rosneli, aparatur Badan
Pendapatan Daerah Kabupaten Lahat, tanggal 1 Februari 2023).
Pemungutan biaya BPHTB di Kabupaten Lahat diatur dalam Pasal 59 dan
60 Perda No. 03 Tahun 2011. Tarif BPHTB di Kabupaten Lahat sebesar 5% (lima
persen) dan tata cara penghitungan besarnya pajak yang terutang. dihitung dengan
mengalikan persentase BPHTB dengan besaran persentase BPHTB. Perolehan
Objek Pajak (NPOP) adalah peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan setelah
dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
(Wawancara dengan Rosneli, aparatur Badan Pendapatan Daerah Kabupaten
Lahat, tanggal 1 Februari 2023).
Penjelasan Pasal 71 ayat (2) Perda No. 03 Tahun 2011 menyatakan bahwa
sistem pemungutan pajak BPHTB yang digunakan adalah sistem self-assessment
dimana wajib pajak bertanggung jawab menghitung dan membayar sendiri
pajaknya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) adalahdan
tanpa melaporkannya berdasarkan Surat Pajak Daerah (SKPD) (Dwiputrianti,
2013).
Penerapan BPHTB oleh Kantor Pelayanan Pajak Daerah di Kabupaten
Lahat seringkali menimbulkan permasalahan bagi masyarakat khususnya wajib
pajak. Pertanyaan ini menyangkut hasil penilaian/audit BAPENDA dalam
menentukan Nilai Perolehan Barang Kena Pajak (NPOP) dalam peralihan hak atas
tanah dan/atau bangunan akibat jual beli yang sah (Suryanto et al., 2019).
Berdasarkan Pasal 59 ayat 2 huruf a Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2011
beserta penjelasannya, dasar penentuan perolehan hak atas tanah dan hak guna
bangunan karena litigasi niaga dan niaga dinilai berdasarkan “harga jual”. Harga
belinya ditentukan berdasarkan harga jual beli yang disepakati para pihak. Hal ini
terlihat dari Perda No. 03 Tahun 2011 yang menjamin kebebasan para pihak
untuk membuat kontrak jual beli tanah dan bangunan. namun dalam pelaksanaan
BPHTB Warisan, BAPENDA Kabupaten Lahat sering menilai Nilai Perolehan
Barang Kena Pajak (NPOP) BPHTB berdasarkan penentuan harga jual pasar saat
ini (Lakburlawal, 2016).
Proses verifikasi dan pengesahan BPHTB untuk penetapan jual beli hak
atas tanah dan/atau bangunan oleh Pemerintah Kabupaten Lahat pada prinsipnya
sah namun melanggar hakikat akad jual beli. Hukum jual beli pada hakikatnya
adalah perjanjian antara para pihak. Nilai jual Barang Kena Pajak BPHTB
diverifikasi dan disahkan seolah-olah perjanjian jual beli tersebut tidak dibuat
berdasarkan kesepakatan para pihak pada saat menentukan harga jual tanah
tersebut, melainkan karena keterpaksaan pemerintah daerah (Fitriady et al., 2023).
BPHTB merupakan salah satu sumber pendapatan utama Kabupaten Lahat
yang berperan penting dalam pembangunan daerah. Permasalahan dalam
pengumpulan BPHTB dapat menghambat tujuan ini. Pemerintah berperan penting
dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak,
memperbaiki administrasi perpajakan, dan meningkatkan kapasitas administrasi
(Ismail & Syahbandir, 2016).
Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas, rnaka ada beberapa hal yang
menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu hambatan yang timbul
dalam pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
dalam proses jual beli tanah dan bangunan di Kabupaten Lahat
Metode Penelitian
Penelitian Hukum Empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang
menggunakan fakta-fakta empiris yang diambil dari perilaku manusia, baik
perilaku verbal yang didapat dari wawancara maupun perilaku nyata yang
dilakukan melalui pengamatan langsung. Penelitian empiris juga digunakan untuk
mengamati hasil dari perilaku manusia yang berupa peninggalan fisik maupun
arsip (Benuf, 2020).
Diskusi dan Pembahasan
Kendala yang dihadapi dalam penagihan pembayaran perolehan hak atas
tanah dan bangunan pada saat jual beli tanah dan bangunan di Kabupaten Lahat.
Penerapan tarif pajak BPHTB dengan sistem self-assessment ini mengharuskan
wajib pajak untuk memahami dan memverifikasi ketentuan perpajakan sesuai
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Oleh karena itu, dengan
adanya sistem self-assessment ini tidak menutup kemungkinan wajib pajak akan
kesulitan membayar pajaknya. Kesulitan yang dihadapi wajib pajak tersebut juga
menuntut fiskus untuk siap membantu wajib pajak yang kesulitan membayar
pajak, misalnya dengan mengisi formulir pembayaran pajak (Djatmiko, 2004).
Sistem self-assessment yang dilakukan BPHTB tidaklah mudah dan
memiliki banyak kelemahan. Salah satunya sangat bergantung pada kejujuran
wajib pajak. Ketika wajib pajak tidak jujur, maka tidak mudah bagi fiskus untuk
menghitung utangnya agar benar. Selain itu, kerahasiaan bank dan informasi
transaksi pembiayaan pajak masih dibatasi Wawancara dengan Firman
Yurdiansyah, selaku Kepala Bidang PBB P2 dan BPHTB, Kabupaten Lahat,
tanggal 6 Juli 2023.
Pembayaran BPHTB yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan sistem
tersebut harus diverifikasi dan divalidasi oleh otoritas pajak untuk mengetahui
kebenaran pembayaran yang dilakukan. Salah satu unsur yang perlu dipastikan
adalah kebenaran dasar pelaksanaan BPHTB, yakni Nilai Perolehan Objek Pajak
(NPOP) yang merupakan nilai terbesar antara nilai transaksi dan NJOP pada saat
penghitungan PBB. Namun dalam praktiknya ternyata validasi yang dilakukan
Bapenda menimbulkan permasalahan baru. Pengesahan BPHTB oleh Kantor
Pajak Daerah dinilai menjadi kendala dalam pendaftaran peralihan hak karena
memakan waktu lama dan belum ada kepastian batas waktu penyelesaian
verifikasi Wawancara dengan Trisia Susanti, Notaris dan PPAT Kabupaten
Lahat, tanggal 20 Juli 2023.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat banyak kendala dalam pelaksanaan
penetapan dan pemungutan biaya perolehan hak milik dan hak bangunan.
Kendala-kendala tersebut antara lain :
1. Ketidakjujuran Wajib Pajak dalam menyatakan nilai transaksi jual beli, nilai
transaksi yang dinyatakan tidak wajar. Pada saat pengisian SSPD BPHTB,
transaksi yang dilaporkan tidak sesuai dengan harga pembelian sebenarnya,
melainkan bertepatan dengan nilai jual Barang Kena Pajak yang tercantum
dalam SPPT PBB, padahal nilai jual Barang Kena Pajak yang tercantum dalam
SPPT PBB adalah biasa lebih rendah daripada nilai bisnis sebenarnya
Wawancara dengan Firman Yurdiansyah, selaku Kepala Bidang PBB P2 dan
BPHTB, Bapenda Kabupaten Lahat, tanggal 6 Juli 2023.
2. Tingkat kesadaran masyarakat yang masih sangat terbatas pada kewajiban
pembayaran pajak.
3. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam hal ini ZNT (zona Nilai Tanah) di
Kabupaten Lahat yang tidak pernah dilakukan penyesuaian sejak serah terima
KPP Pratama, sehingga nilai NJOP tersebut masih jauh di bawah harga pasar,
harga pasar saat ini (Wanwancara dengan Yensi, selaku Kasubbid Pelayanan
dan Pendaftaran PBB P2 dan BPHTB, Bapenda Kabupaten Lahat, tanggal 6
Juli 2023).
4. Kurangnya sosialisasi terkait pembayaran BPHTB kepada masyarakat sehingga
masyarakat masih membutuhkan jasa PPAT untuk membantu pembayaran
BPHTB langsung ke bank/kantor keuangan daerah yang ditunjuk (Wawancara
dengan Trisia Susanti, Notaris dan PPAT Kabupaten Lahat, tanggal 20 Juli
2023).
5. Kurangnya personil yang berpengalaman di Bapenda. Kepegawaian yang tidak
memadai menyebabkan terbatasnya sosialisasi dan kinerja tugas sehari-hari
yang kurang optimal.
6. Transaksi jual beli tanah banyak dilakukan secara pribadi (tidak melalui
PPAT). Salah satu faktornya adalah menghindari pembayaran pajak BPHTB
(Wawancara dengan Firman Yurdiansyah, selaku Kepala Bidang PBB P2 dan
BPHTB, Bapenda Kabupaten Lahat, tanggal 6 Juli 2023)
Hambatan tersebut menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan jual
beli dan pengalihan hak milik. Sebelum menandatangani akad jual beli, penjual
dan pembeli terlebih dahulu harus membayar pajak-pajak yang berkaitan dengan
jual beli tersebut. Faktor kejujuran wajib pajak dalam mempertimbangkan nilai
transaksi penjualan. Jual beli hendaknya mendapat prioritas dalam akad jual beli,
karena pencantuman nilai transaksi sebenarnya dalam akta jual beli memberikan
kepastian hukum mengenai harga beli. Namun dalam praktiknya, banyak wajib
pajak yang menginginkan nilai transaksi dalam kontrak transaksi dibuat serendah
mungkin agar pembeli tidak perlu membayar pajak terlalu besar.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Kendala yang timbul dalam pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan dalam jual beli tanah dan bangunan di Kabupaten Lahat adalah
ketidakjujuran wajib pajak dalam mencantumkan nilai transaksi jual beli dan
kesadaran masyarakat akan hal tersebut terkait dengan kewajiban perpajakan. .
masih sangat terbatas, nilai NJOP dalam hal ini adalah ZNT (Zona Nilai
Tanah) di Kabupaten Lahat yang tidak pernah mengalami perubahan,
kurangnya sosialisasi tata cara pembayaran BPHTB kepada masyarakat,
kurangnya staf Bappenda yang profesional, banyaknya pihak swasta (tidak
melalui PPAT) transaksi pembelian dan penjualan.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis merekomendasikan beberapa hal,
yaitu Bapenda Kabupaten Lahat harus tanggap terhadap pembayaran BPHTB
kepada masyarakat. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang pembayaran pajak atas transaksi jual beli.

Daftar Pustaka
Benuf, K. (2020). Metodologi Penelitian Hukum Sebagai Instrumen Mengurai
Permasalahan Hukum Kontemporer. Jurnal Gema Keadilan, 7(1), 145–160.
https://doi.org/10.24246/jrh.2019.v3.i2.p145-160
Buulolo, Y. K. (2015). Evaluasi Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) di Pemerintah Kota Gunungsitoli. Jurnal Ilmu
Administrasi, XII.
https://jia.stialanbandung.ac.id/index.php/jia/article/view/52
Christianingrum, R., & Aida, A. N. (2020). Analisis Peta Kemampuan keuangan
provinsi Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah. Jurnal Budget, 5(2), 18–43.
Djatmiko, A. (2004). PENERAPAN SISITEM SELF ASSESMENT PADA BEA
PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN ( BPHTP ) OLEH
WAJIB PAJAK UNTUK MENETUKAN PAJAK TERHUTANG. Journal
Ilmu Hukum, 1, 1–14.
Dwiputrianti, S. (2013). Analisis Self Assessment System Dalam Meningkatkan
Kepatuhan Wajib Pajak Hotel Di Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan
Riau. Jurnal Ilmu Administrasi, x(1).
http://jia.stialanbandung.ac.id/index.php/jia/article/view/249%0Ahttp://
180.250.247.102/index.php/jia/article/download/249/227
Fitriady, E., Effendy, M., & Buana, M. S. (2023). Harga Jual Beli dalam Akta Jual
Beli (AJB) dikaitkan dengan Pajak Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB). NoLaJ, 2(3), 203–215.
Ismail, I., & Syahbandir, M. (2016). Peranan Pajak Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
Kabupaten Pidie. Kanun - Jurnal Ilmu Hukum, 18(2), 299–318.
Lakburlawal, M. A. (2016). Akses Keadilan bagi Masyarakat Adat dalam
Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat yang Diberikan Hak Guna Usaha.
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 2(1), 59–75.
https://jhaper.org/index.php/JHAPER/article/view/24
Satya, V. E., & Dewi, G. P. (2010). Perubahan Undang Undang Pajak Penghasilan
dan Perannya Dalam Memperkuat Fungsi Budgetair Perpajakan. Jurnal
Ekonomi Dan Kebijakan Publik, 1(1), 75–100.
https://jurnal.dpr.go.id/index.php/ekp/article/view/75
Suryanto, Hermanto, B., & Rasmini, M. (2019). Analisis Potensi Bea Perolehan
Hak Atas Tanah Dan Bangunan Sebagai Salah Satu Pajak Daerah.
AdBispreneur, 3(3), 273. https://doi.org/10.24198/adbispreneur.v3i3.19205
(Wawancara dengan Firman Yurdiansyah, selaku Kepala Bidang PBB P2 dan
BPHTB, Bapenda Kabupaten Lahat, tanggal 6 Juli 2023)
1

Anda mungkin juga menyukai