Anda di halaman 1dari 2

Jurnal tersebut membahas tentang desentralisasi dan otonomi daerah yang lahir setelah

reformasi pada tahun 1998. Otonomi daerah memberikan wewenang kepada pemerintah daerah
untuk mengelola sektor administrasi pemerintahan di luar bidang-bidang tertentu yang tetap
menjadi wewenang pemerintah pusat. Tujuan utama dari implementasi otonomi daerah adalah
meningkatkan pelayanan publik dan mempromosikan ekonomi lokal. Salah satu solusi yang
dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan adalah dengan memperluas jenis
pajak daerah dan retribusi daerah. Salah satu contoh implementasi kekuasaan pajak daerah di
Indonesia adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Awalnya, BPHTB
merupakan pajak pusat yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat. Namun, setelah adanya
Undang-Undang Pajak Daerah, BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah yang dikelola oleh
kabupaten/kota. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan pajak daerah dan mencapai
kemandirian pengelolaan keuangan dalam pembangunan daerah.

Meskipun pajak properti seperti BPHTB menjadi sumber pendapatan penting bagi pajak
daerah di negara-negara berkembang, pendapatan dari pajak ini tidak selalu meningkat. Hal ini
disebabkan oleh faktor-faktor seperti kewenangan pajak daerah yang belum siap dan variasi
kekuatan ekonomi pemerintah daerah. Jurnal tersebut mengkaji kasus Kota Kediri di Indonesia,
yang telah mengumpulkan BPHTB sebagai pajak daerah dengan pendapatan yang relatif tinggi.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peralihan pajak BPHTB menjadi pajak
daerah di Kota Kediri, termasuk faktor-faktor pendukung dan penghambat yang terlibat dalam
praktik tersebut. Jurnal tersebut juga mencoba menjawab apakah BPHTB lebih efektif sebagai
pajak daerah daripada pajak pusat, dan apakah pengalihan ini dapat menghasilkan pendapatan
yang lebih besar bagi pemerintah daerah.

Statuta yang mendasari BPHTB diubah bersama dengan penetapan Statuta Pajak Daerah
No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) pada tanggal 1 Januari 2011,
sehingga BPHTB resmi menjadi pajak daerah. Statuta Pajak Daerah Kota Kediri No. 6/2010
tentang Pajak Daerah memuat deskripsi BPHTB di Kota Kediri, NPOPTKP, dan tarif yang
ditetapkan.

Sebelumnya, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Kediri mengumpulkan BPHTB


sebagai pajak pusat. Setelah BPHTB menjadi pajak daerah, tugas pengumpulan dialihkan ke
DPPKA (Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset) sebagai lembaga perantara
pemerintah daerah.

Sebelumnya, BPHTB dijalankan melalui Sistem Penilaian Sendiri (SAS) yang


memberikan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung dan melaporkan jumlah
pajak yang harus dibayarkan. Namun, setelah penetapan SE BPN No. 5/SE/IV/2013, mekanisme
pengumpulan berubah dan validasi BPHTB dihapuskan. Namun, kemudian validasi diperlukan
sebelum pembayaran dilakukan.

Infrastruktur, seperti pemindahan basis data dan sistem komputasi BPHTB, dibangun
untuk memfasilitasi pengumpulan BPHTB dengan lebih efisien. DPPKA Kota Kediri
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan mengirim staf mereka untuk pendidikan
dan bekerja sama dengan sektor swasta/konsultan dalam penilaian NJOP.

Setelah pengalihan menjadi pajak daerah, pendapatan BPHTB terhadap pendapatan


daerah Kota Kediri meningkat. Data menunjukkan peningkatan pendapatan BPHTB dari 9,36%
pada tahun 2009 menjadi 12,77% pada tahun 2011. Pendapatan ini digunakan untuk kebutuhan
pemerintah daerah, terutama infrastruktur publik. Pajak properti dan penghasilan lokal sesuai
untuk komunitas kecil di pinggiran area metropolitan, di mana penduduknya mayoritas pemilik
rumah dan basis pajak propertinya terutama properti residensial.

Anda mungkin juga menyukai