Anda di halaman 1dari 11

MODERNISASI DJP : QUIET 

REVOLUTION
 7 Comments
Dalam salah satu sambutannya presiden SBY menyebut modernisasi di institusi DJP sebagai quiet revolution.
Mengapa ?, karena dalam kurun waktu cukup cepat (mulai tahun 2000), ditengah pesimisme, dan tanpa hiruk
pikuk, DJP mampu merubah persepsi masyarakat dan menjelma menjadi institusi yang dipercaya dan
dibanggakan masyarakat.

Perjalanan reformasi birokrasi sudah dimulai sejak tahun 2002 yang dimasinisi oleh Depertemen Keuangan
dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai lokomotifnya. Tentunya hal ini tidak mengagetkan dengan
dimulainya DJP sebagai instansi percontohan reformasi birokrasi dalam memberikan pelayanan prima dan
pelaksanaan good governance mengingat kedudukan DJP sebagai instansi yang sangat strategis.
Upaya reformasi berokrasi DJP sudah dimulai sejak 6 tahun lalu, akhirnya terhitung pada 24 November 2008
resmi kantor pajak di seluruh Indonesia Menerapkan sistem modernisasi. Prakarsa modernisasi di tubuh DJP
selain datang dari internal DJP sendiri karena kesadaran kebutuhan ‘perubahan’, juga dorongan IMF yang pada
waktu itu mengadakan LOI dengan pemerintah. Pendanaan program modernisasi DJP ini ditanggung oleh
IMF. Dan ternyata dengan kebijakan reformasi birokrasi ini, hasilnya adalah kenaikan realisasi pajak sebesar
34%, menjadi Rp571 triliun pada tahun 2008, pencapaian tertinggi sepanjang sejarah RI. Realisasi penerimaan
pajak (tidak termasuk PPh migas) pada tahun 2005 mencapai Rp263,35 triliun, tahun 2006 Rp314,86 triliun,
target APBN 2007 Rp411,32 triliun, APBNP 2007 sebesar Rp395,25 triliun.

Namun sebenarnya modernisasi perpajakan merupakan bagian dari perjalanan panjang proses reformasi
perpajakan yang telah dimulai sejak lama. Sejarah mencatat reformasi pajak dimulai pada tahun 1983.

ERA PRA MODERNISASI PERPAJAKAN


Dalam sejarah reformasi perpajakan tercatat bahwa DJP telah melakukan reformasi besar-besaran pertama kali
pada tahun 1983 dengan merubah sistem pemungutan pajak dari semula Official Assessment System menjadi
Self Assesment System yang pada waktu itu Kantor Pajak masih dinamakan Kantor Inspeksi Pajak. Kemudian
pada tahun 1989, Kantor Inspeksi Pajak diubah menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang menjalankan
fungsi pelayanan untuk jenis Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sedangkan KP.
PBB (Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan) yang berfungsi sebagai kantor pelayanan untuk jenis
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).

Fungsi pemeriksaan dijalankan oleh Karikpa (Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak) yang sebelum tahun
1994 disebut Unit Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (UP3) dan Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi
Perpajakan (KP-4) yang sebelum tahun 2001 disebut Kantor Penyuluhan sebagai fungsi penyuluhan.
Stuktur organisasi pada fungsi pelayanan di KPP Pra Modern berdasarkan jenis pajak seperti Seksi PPh Badan,
PPh Perseorangan, PPh Pemotongan Pemungutan, dan PPN. Pada struktur ini fungsi pelayanan dilakukan oleh
KPP namun pemeriksaan juga dilaksanakan oleh KPP selain Karikpa, Fungsional Kanwil, dan Fungsional
Kantor Pusat DJP sehingga terjadi fungsi ganda. Begitu juga dengan pelayanan tidak bersifat satu atap (one
stop service) karena mengingat jenis pajak PPh dan PPN diadministrasikan oleh KPP sedangkan jenis pajak
PBB dan BPHTB oleh KP. PBB. Pengajuan keberatan sebelum modern diproses di KPP disamping Kanwil
dan Kantor Pusat DJP, hal ini memunculkan dualisme fungsi, karena yang memeriksa adalah KPP dan proses
penyelesaian keberatan juga dilakukan di KPP untuk aristasi KPP. Hal inilah yang mendorong dibentuknya
KPP Modern.

ERA MODERNSASI PAJAK


Untuk memberikan pelayanan dan pengawasan yang lebih baik, DJP memerlukan dukungan teknologi
informasi yang memadai. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan organisasi DJP, Sistem
Informasi Perpajakan (SIP), yang digunakan sejak tahun 1994, sudah tidak memadai untuk melayani dan
mengawasi Wajib Pajak secara menyeluruh. Oleh karena itu dalam pembentukan Kanwil dan KPP WP Besar
pada tahun 2002, SIP dikembangkan menjadi Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu (SAPT) yang berbasis
struktur organisasi berdasarkan fungsi.

Selain itu, masih terdapat kelemahan dalam sistem pelaporan Wajib Pajak yaitu pelaporan secara manual
mengharuskan fiskus untuk melakukan perekaman ulang yang rawan kesalahan serta memerlukan sumber daya
yang tidak sedikit. Melalui pengembangan teknologi informasi, DJP mengembangkan beberapa program yang
bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak berupa e-SPT dan e-Filing. Dalam sistem
pembayaran pajak juga ditemukan beberapa masalah antara lain pemalsuan Surat Setoran Pajak (SSP). Untuk
mencegah hal ini, DJP mengembangkan sistem pembayaran secara elektronik yang dikenal dengan sistem
Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3).

Reformasi di bidang administrasi perpajakan terus berlanjut, dan pada tahun 2001 DJP mengusulkan program
reformasi yang dapat meningkatkan kepercayaan Wajib Pajak terhadap sistem perpajakan, yang pada
gilirannya dapat menghasilkan tambahan penerimaan pajak. Program reformasi dimaksud menjadi landasan
bagi program reformasi yang lebih luas di tahun-tahun mendatang.

Dalam konteks program reformasi ekonomi Indonesia yang didukung oleh IMF, Bank Dunia dan Badan-Badan
internasional lainnya, pemerintah bertujuan untuk mencapai pengetatan fiskal yang signifikan dengan cara
mengurangi defisit yang semula diprakirakan sebesar 3,75 % dari PDB dalam tahun 2001 menjadi 2,5 % di
tahun 2002. Untuk mencapai pengurangan tersebut, telah diidentifikasi empat kebijakan strategis DJP, salah
satunya adalah membentuk Kanwil dan KPP Wajib Pajak Besar di dalam organisasi DJP untuk
mengadministrasikan sejumlah kecil wajib pajak yang secara kolektif memberikan sumbangan penerimaan
terbesar.

Untuk merealisasikan keempat kebijakan strategis tersebut di atas, berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 70 /KMK.03/2002 tanggal 5 Maret 2002 telah dibentuk Tim Kerja Tindak Lanjut
Kesepakatan Baru Pemerintah Republik Indonesia dengan International Monetary Fund Tanggal 13 Desember
2001.
KPP LTO

Kala itu, sebagai permulaan dilakukan restrukturisasi fungsi operasional (pelayanan kepada wajib pajak) sesuai
Kepmenkeu No 65/KMK.01/2002 dibentuk 2 KPP LTO (Large Taxpayers Office) yang kemudian disebut KPP
WP BESAR yang berdomisili di Jakarta dengan jumlah masing-masing WP sebanyak 300 WP Badan terbesar
di seluruh Indonesia dan hanya mengadiminstrasikan jenis Pajak PPh dan PPN. Peresmian (soft opening)
Kanwil DJP dan KPP WP Besar dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 2002 dan grand opening dilaksanakan pada
tanggal 9 September 2002 yang menandai secara resmi mulai beroperasinya Kanwil DJP dan KPP WP Besar.
Sejak mulai beroperasi pada tanggal 9 September 2002, Kanwil dan KPP WP Besar telah diberi tugas untuk
mengamankan penerimaan pajak 18,31 % dari penerimaan pajak nasional, sementara untuk tahun 2003 sebesar
20,98 % dari penerimaan pajak nasional, dan dalam tahun 2004 direncanakan sebesar 23,36 % dari penerimaan
pajak nasional. Keberhasilan pendirian KPP WP Besar ditandai dengan realisasi penerimaan pajak termasuk
PPh migas sebesar Rp. 44.448 milyar atau 21,77% dari realisasi penerimaan DJP tahun anggaran 2003 sebesar
Rp. 204.153,82 milyar.
Dalam kiprahnya, Kanwil dan KPP WP Besar terus berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik (excellent
service oriented) kepada para Wajib Pajak sekaligus melakukan pengawasan dan penegakan hukum atas
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Upaya di atas dilakukan secara konsepsional dengan
menggunakan teknologi informasi, sumber daya manusia yang handal, serta sarana pendukung yang mutakhir.

Dengan dukungan penuh dari pimpinan Departemen Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak serta berbagai
pihak, Kanwil dan KPP WP Besar dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Tanggapan terhadap
eksistensi dan kinerja Kanwil dan KPP WP Besar datang dari berbagai pihak antara lain:

Carlos Silvani (International Monetary Fund) dalam laporan IMF bulan Pebruari 2003 menyatakan “…..the
new governance framework has been implemented in the LTO to assure the credibility of this new tax
administration and in effect establishing the LTO as “an island of integrity” within the DGT……..”

Asian Development Bank (ADB) “Indonesia has a good track record of prudent fiscal management. ………….
The proposed establishment of a proposed large- taxpayer office, if properly implemented done, could signal
welcome moves to ensure equity in the sharing of the tax burden.”

Data empiris, yang diambil dari survey AC Nielsen (2004), menunjukkan bahwa pelayanan pajak di kantor ini
memberikan tingkat kepuasan yang sangat tinggi, yaitu sebesar 81, lebih besar dari rata rata tingkat kepuasan
nasional sebesar 75.

Lebih lanjut Survey AC Nielsen Tahun 2004 menyebutkan bahwa kepribadian pegawai pajak, kemudahan dan
efisiensi dalam pelayanan, jumlah pelayanan yang disediakan dan ketersedian informasi di Kantor Pajak Wajib
Pajak Besar-memiliki nilai sangat baik (LTRO Annual Report, 2004).

KPP KHUSUS
Keberhasilan KPP LTO dalam mengamankan penerimaan pajak dan mendapatkan kepercayaan masyarakat
menjadi titk awal dimulainya modernisasi pajak secara luas di tubuh DJP.

Akhir tahun 2003 modernisasi menyentuh KPP di lingkungan Kanwil Khusus. Dengan Kepmenkeu No
519/KMK.01/2003 jo. 587/KMK.01/2003 dibentuk 10 KPP KHUSUS yang berdomisili di Jakarta meliputi
KPP BUMN, Perusahaan PMA, WP Badan dan Orang Asing, dan Perusahaan Masuk Bursa dan hanya
mengadiminstrasikan jenis Pajak PPh dan PPN.
Konsep pembentukan : Kanwil dan KPP di Kanwil DJP Jakarta Khusus mengkonsentrasikan Wajib Pajak
dengan cara pelayanan dan pengawasan modern dalam suatu wadah yang terkendali (controlled environment).

Perubahan Organisasi :

1. Kanwil VII DJP Jaya Khusus menjadi Kanwil DJP Jakarta Khusus

2. KPP Perusahaan Negara dan Daerah (PND) menjadi KPP Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

3. Secara bertahap dalam tahun 2004 seluruh KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus (KPP PMA 1 s/d
6; KPP Badora 1 & 2; KPP PMB) memberlakukan Sistem Administrasi Perpajakan Modern).

Pada tahun 2006 KPP BUMN pindah ke lingkungan Kanwil WP Besar sesuai dengan konsep ‘Large Tax
Payer’ dan lebih meningkatkan pengawasan dan pelayanan kepada Wajib Pajak.

KPP MTO, DAN PRATAMA

Pada tahun 2004 berdasarkan Kepmenkeu No 254/KMK.01/2004 dibentuk KPP MTO (Medium Taxpayers
Office) yang kemudian disebut KPP MADYA yang berjumlah 1 di setiap Kanwil dan 10 di Kanwil Khusus
dengan total 32 KPP Madya di seluruh Indonesia. Jumlah masing-masing WP KPP Madya sebanyak 200-500
perusahaan terbesar di tingkat wilayah Kanwil tersebut termasuk WP lokasi yang domisilinya terdaftar pada
Kanwil modern lain dan Indonesia. KPP Madya juga hanya mengadministrasikan jenis Pajak PPh dan PPN.
Kasus ekspor fiktif ‘Tanjung Priok’ pada awal tahun 2006 dengan potensi kerugian Negara ratusan milyar
rupiah memicu dorongan kuat semua pihak agar modernisasi KPP diseluruh Indonesia dipercepat. Presiden
SBY kembali mengumumkan reshuffle kabinet terbatas pada 7 Mei 2007. Dalam reshuffle Kabinet tersebut ibu
Sri Mulyani ditunjuk sebagai Menkeu baru, diikuti penunjukan Dirjen Pajak baru bapak Darmin Nasution.
Dalam Rapim di Yogyakarta, Menkeu dan Dirjen Pajak menyepakati dipercepatnya modernisasi KPP di
seluruh Indonesia paling lambat tahun 2008.
Pada tahun 2006 hingga 2008 dibentuk KPP Small Taxpayers Office (STO) yang kemudian disebut KPP
PRATAMA dengan total 357 KPP Pratama di seluruh Kanwil. KPP Pratama bertugas melayani WP Badan
menengah ke bawah dan WP Orang Pribadi meliputi jenis pajak PPh, PPN, PBB, dan BPHTB.

KPP HWI (HIGH WEALTH INDIVIDUAL)

Mengingat struktur penerimaan pajak saat ini masih bertumpu pada WP Badan dengan jenis pajak PPh dan
PPN maka kontribusi penerimaan PPh WP Orang Pribadi (WP OP) perlu ditingkatkan sebagaimana lazimnya
di negara maju seperti di Amerika Serikat = 86%, Jepang = 60%, Filipina = 37%, Thailand = 36%, Malaysia =
28% sedangkan Indonesia sendiri 28% itupun hasil kontribusi dari PPh Pasal 21 Karyawan, PPh Pasal 25
Angsuran, dan PPh Pasal 29 Kurang Bayar Akhir Tahun Perseorangan (Makalah Modernisasi Administrasi
Perpajakan KPP Pratama, Kantor Pusat DJP). Oleh karena itu diperlukan upaya agar kontribusi orang pribadi
kaya terhadap penerimaan pajak optimal.

Modernisasi DJP tahap pertama ditutup dengan dibentuknya kantor khusus pelayanan pajak untuk orang-orang
kaya atau pengusaha di Indonesia pada awal 2009, supaya penerimaan pajak perorangan bisa maksimal. kantor
pelayanan pajak besar buat orang-orang terkaya di negeri ini yang disebut KPP “High Wealth Individual” (WP
Besar OP).

LANGKAH – LANGKAH MODERNISASI


Reformasi Ketentuan Peraturan Perpajakan

Salah satu Reformasi perpajakan jilid pertama yaitu reformasi bidang peraturan perpajakan. Hasilnya berupa
diundangkannya UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan UU
No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan melalui proses panjang dan melibatkan stake holder termasuk
pengusaha yang mencerminkan keadilan dan kesetaraan kedudukan antara fiskus dan Wajib Pajak. Penurunan
tarif, penekanan cost of compliance, law enforcement yang lebih tegas kepada Wajib Pajak tidak patuh,
kesataraan fiskus dan Wajib Pajak merupakan poin-poin dalam tax reform UU PPh.

Penghapusan sanksi administrasi bunga bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan ketidakbenaran pelaporan PPh
tahun pajak 2007 ke bawah, paling lambat dilakukan akhir tahun 2008, merupakan fasilitas yang diberikan
pemerintah dalam UU KUP baru. Program ini disebut sunset policy yang diatur dalam pasal 37 A UU No. 28
Tahun 2007 tentang KUP. Sunset policy juga diberikan kepada WP OP yang secara sukarela mendaftarkan diri
ber-NPWP bila melaporkan kekurangan pajak untuk tahun pajak sebelum ber-NPWP. Wajib Pajak yang
memanfaatkan fasilitas ini juga tidak akan diperiksa sepanjang tidak ada data /keterangan yang menunjukkan
ketidakbenaran pelaporan Wajib Pajak.
Dengan adanya Sunset Policy masyarakat berbondong-bondong ke kantor pajak untuk mengurus NPWP.
Aturan perbedaan tarif withholding tax PPh Pasal 21/23 antara subyek pajak ber-NPWP dan tidak ber-NPWP
yang diatur dalam UU PPh baru dan mulai berlaku pada tahun pajak 2009 ikut andil mendorong masyarakat
berbondong-bondong ber-NPWP.

Jika sebelum tahun 2006 pemilik NPWP hanya 4 juta orang, pada 2007 menjadi 7.135.867, dan 2008 menjadi
10.680.943. Data terakhir, per 3 Februari 2009, sudah mencapai 11,67 juta WP.

Tax reform tidak hanya menyentuh undang-undang pajak, tetapi juga aturan pajak lainnya. Misalnya terminasi
P3B dengan Mauritius pada tahun 2005. Terminasi ini menggambarkan keberpihakan terhadap kepentingan
nasional secara luas.

Pekerjaan rumah DJP dalam reformasi ketetentuan peraturan perpajakan adalah percepatan proses amendemen
terhadap UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) dan menuntaskan
reformasi bidang pengawasan dengan membentuk Komite Pengawas Perpajakan sesuai dengan amanat Pasal
36C UU No.36 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Amendemen UU PPN dan PPnBM saat ini telah masuk dalam proses pembahasan di DPR (08/05/2009).
Dengan waktu yang semakin sempit dan fokus anggota DPR yang terpecah karena pemilihan umum, maka
komitmen penyelesaian RUU ini sebelum penggantian anggota DPR merupakan tantangan yang cukup berat.

Reformasi Pelayanan Kepada Wajib Pajak

Dengan model KPP Modern seperti diuraikan di atas diharapkan DJP dapat memberikan pelayanan prima
kepada masyarakat dalam masalah perpajakan. Untuk mensukseskan pelayanan prima tersebut DJP telah
menyiapkan pelayanan ekstra pada setiap KPP Modern.

Tersedianya Account Representatives (AR) sebagai ujung tombak pelayanan dan perantaran antara DJP
dengan WP yang mengemban tugas melayani setiap Wajib Pajak dalam hal antara lain pertama
membimbing/menghimbau WP dan memberikan konsultasi teknis perpajakan. Kedua, memonitor penyelesaian
pemeriksaan pajak, proses keberatan, serta mengevaluasi hasil banding. Ketiga, melakukan pemuktahiran data
WP dan menyusun profil WP. Keempat, menginformasikan ketentuan perpajakan terbaru, Kelima, memonitor
kepatuhan WP melalui pemanfaatan data & SAPT (Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu). Keenam,
menyelesaian permohonan surat keterangan yang diperlukan WP. Ketujuh,menganalisis kinerja wajib pajak.
Kedelapan, merekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka intensifikasi. Dengan demikian setiap WP dapat
menanyakan hak dan kewajiban perpajakannya kepada setiap AR di KPP Pratama yang telah ditunjuk untuk
masing-masing WP sesuai dengan wilayah kelurahan
Pembentukan contact center : complain center, call center, non filers activation center. Dimana pengaduan
yang diterima oleh complain center akan dikoordinasikan dengan unit terkait dan akan ditindaklanjuti dalam
waktu 3 hari kerja dan jenis-jenis pengaduan termasuk mengenai pelayanan, konsultasi, pemeriksaan,
keberatan dan banding. Adapun media penyampaian pengaduan dapat melalui e-mail, pos, nomor telpon bebas
biaya, atau langsung.

Sarana, prasarana, dan pendukung lainnya yang lebih modern meliputi Pertama, Help Desk dengan teknologi
knowledge base pada Tempat Pelayanan Terpadu atau dikenal TPT (service counter), Kedua, pelayanan
dengan menggunakan sistem komunikasi dan teknologi informasi terkini yang dikenal dengan sebutan e-
system antara lain e-payment (pembayaran pajak secara on line), e-registrasion (pendaftaran wajib pajak
melalui internet), e-filling (pelaporan pajak melalui internet), e-spt (pengisian SPT dengan program yang telah
disediakan DJP), dan e-counseling (konsultasi secara on line). Ketiga, Built in control system: pemanfaatan
sistem teknologi informasi untuk pengawasan internal termasuk pengawasan data.

Keempat, petugas pajak yang berkualitas tinggi berbasis kompetensi. Kelima, penerapan Kode Etik Pegawai
yang diawasi oleh Komite Kode Etik Pegawai, Komisi Ombudsman Nasional, Tim Khusus Inspektorat
Jenderal Departemen Keuangan, dan 2 Subdirektorat Kantor Pusat DJP yang menangani Pengawasan Internal.
Keenam, Sistem remunerasi yang lebih baik dengan adanya TKT (Tunjangan Kegiatan Tambahan). Ketujuh,
Layar sentuh Informasi Perpajakan (Touch Screen). Kedelapan, Sistem antrian dan LCD Proyektor berikut
electric screen layaknya di Bank. Kesembilan, tersedianya ruang konseling/closing conference serta brosur,
leaflet, dan majalah perpajakan. Kesepuluh, tersedianya Bank/Tempat Pembayaran Pajak (bekerjasama dengan
PEMDA setempat/Kantor Pos).

Layanan unggulan dicanangkan oleh DJP sebagai standar kinerja pelayanan dan kepastian waktu pelayanan
kepada Wajib Pajak. Layanan unggulan tersebut antara lain : PELAYANAN PENYELESAIAN
PERMOHONAN PENDAFTARAN NPWP : 1 (satu) hari kerja sejak permohonan diterima
lengkap;PELAYANAN PENYELESAIAN PERMOHONAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
(PKP) : 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima lengkap; PELAYANAN PENYELESAIAN
PERMOHONAN RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) : 2 (dua) bulan, 4 (empat) bulan, 12
(dua belas) bulan.

Reformasi Organisasi

Dalam struktur yang modern ini terdapat perbedaan yang cukup radikal dan signifikan yakni yang dulunya
struktur organisasi KPP Pra Modern berdasarkan jenis pajak diubah menjadi berdasarkan fungsi guna
debirokratisasi pelayanan seperti Seksi Pelayanan dan Seksi Pemeriksaan dibentuk secara terpisah. Pelayanan
perpajakanpun sudah mulai satu atap (one stop service) karena semua jenis pelayanan perpajakan baik jenis
pajak PPh, PPN, PBB, dan BPHTB dilakukan di KPP Pratama sedangkan untuk KPP WP Besar dan KPP
Madya hanya jenis pajak PPh dan PPN, sehingga menyebabkan adanya peleburan KP.PBB ke KPP Pratama.
Proses penyelesaian keberatan hanya ada di tingkat Kanwil, mengingat di Kanwil tidak menjalankan fungsi
pemeriksaan lagi karena fungsi pemeriksaan sepenuhnya dilaksanakan oleh KPP Modern yang menyebabkan
pula dileburnya Karikpa ke KPP Modern.

Organisasi Kanwil dan KPP disusun berdasarkan fungsi, yang meliputi fungsi pelayanan, penyuluhan,
pengawasan, penagihan dan pemeriksaan Seorang staf DJP Account Representative (AR) akan
bertanggungjawab melayani dan mengawasi seluruh hak dan kewajiban perpajakan WP tertentu sehingga WP
akan mendapat kemudahan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya Fungsi keberatan dan penyidikan
berada di Kanwil sementara fungsi pelayanan, pengawasan, Penagihan dan pemeriksaan berada di KPP (tidak
ada Kantor Pemeriksa dan Penyidikan Pajak tersendiri dalam Kanwil)

Keunggulan :
1. Adanya pemisahan fungsi yang lebih jelas antara fungsi pelayanan, pengawasan, pemeriksaan, keberatan,
dan pembinaan; Fungsi pelayanan dan pengawasan berada pada Seksi Pengawasan dan Konsultasi, dan fungsi
pemeriksaan berada pada Fungsional Pemeriksa Pajak, sedangkan pada organisasi KPP lain fungsi-fungsi
tersebut dilaksanakan dalam suatu seksi tertentu.

2. Fungsi pelayanan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak lebih efektif karena dilakukan melalui mediator
khusus yaitu Account Representative (AR); Setiap Wajib Pajak memiliki AR khusus.

3. Proses pelaksanaan pekerjaan baik untuk pelayanan, pengawasan, maupun pemeriksaan menjadi lebih
efisien dan mengurangi birokrasi sehingga cost of compliance relatif lebih rendah; Dengan adanya AR maka
penanganan atas berbagai aspek perpajakan akan menjadi lebih cepat dan dapat dimonitor.

4. Manajemen pemeriksaan lebih efisien dan efektif karena berada dalam satu unit dan SDM dispesialisasikan
pada sektor tertentu; Karena fungsi pemeriksaan dan fungsi lainnya berada dalam satu unit maka koordinasi
fungsi tersebut lebih baik, dan karena fungsi pemeriksaan difokuskan kepada sektor-sektor usaha tertentu maka
hasil pemeriksaan akan lebih efektif dengan treatment perpajakan yang seragam

Reformasi SDM

Reformasi perpajakan di segala lini yang telah disusun oleh DJP akan sia-sia jika tanpa dukungan dari pihak
eksternal maupun dari pihak internal.

Reformasi bidang SDM sebenarnya juga sudah dimulai melalui Reformasi Etika, Moral, Integritas pada Tahun
2002. Namun, dalam rangka mewujudkan visi dan misi Ditjen Pajak, peningkatan mutu dan militansi pegawai
mutlak diperlukan.

Dengan begitu, kombinasi dari integritas (moral, etika) yang baik dan kemampuan (mutu dan militansi) yang
cemerlang merupakan nilai [value] yang harus dimiliki oleh setiap pegawai Ditjen Pajak.

Memang mewujudkan hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Salah satu alat yang dapat
digunakan adalah instrumen Individual Key Perfomance Indicator, di mana setiap individu (pegawai) di Ditjen
Pajak dapat diukur kinerjanya dengan menggunakan ukuran atau standar yang baku (terukur dan jelas). Tool
lainnya adalah work load analysis (Analisis Beban Kerja) untuk mengukur efisiensi dan efektivitas kerja unit
organisasi atau pemangku jabatan berdasarkan volume kerja.
Instrumen ini akan semakin mudah diimplementasikan karena penyusunan Standard Operating Procedures
(SOP) setiap pekerjaan di Ditjen Pajak telah selesai dilakukan. Dengan membandingkan hasil kerja pegawai
dengan SOP-nya, maka secara sederhana pegawai tersebut telah dapat dinilai kinerja individunya.

Terlebih dengan alat ini, selain mengurangi bias subjektivitas, tentunya konsep reward and punishment dengan
mudah dilaksanakan.

Sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam melangsungkan modernisasi pajak adalah dengan
menyeimbangkan reward dan punishment serta menegakkan ketertiban etika, moral, dan integritas petugas
pajak. DJP-pun telah menyusun sebuah Kode Etik Pegawai DJP yang diatur dalam Permenkeu No
1/PMK.3/2007 tanggal 23 Juli 2007 tentang 9 kewajiban pegawai dan 8 larangan pegawai baik kepada
masyarakat WP, sesama pegawai, atau pihak lain dengan sanksi setinggi-tingginya pemberhentian dengan
tidak hormat dan serendah-rendahnya pernyataan tidak puas secara tertulis.

Tercatat selama tahun 2006 terdapat 210 pegawai pajak yang telah dijatuhkan sanksi disiplin dan selama
Januari 2007 sebanyak 31 orang (Majalah Berita Pajak Vo. XXXIV No 1583, 15 Maret 2007)

Nampaknya, inilah wajah baru KPP Modern ke depan di seluruh Indonesia. Visi yang dicanangkan oleh DJP
yakni ” Menjadi institusi pemerintah yang menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang
efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi’” nampak bukan
sebatas impian yang jauh di awang-awang. Ekspektasi dari modernisasi pajak ini adalah meningkatkan
kepatuhan (tax compliance), menurunkan keluhan, menurunkan biaya administrasi, menekan/minimalisasi
penggelapan pajak, meningkatkan kepercayaan terhadap administrasi perpajakan, serta tak lupa meningkatkan
integritas dan produktivitas pegawai pajak.

Tentunya tanpa adanya dukungan penuh dari masyarakat luas niscaya modernisasi pajak tidaklah membawa
dampak yang positif bagi masa depan bangsa. Dengan demikian slogan ”Pajak, Bersama Anda Membangun
Bangsa” atau ”Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya” harus kita dukung sepenuhnya agar hasil perjuangan
patriot bangsa dalam memerdekakan bangsa Indonesia bisa dinikmati oleh anak cucu kita dan kita doakan
semoga modernisasi pajak membawa kemandirian dan kehormatan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai