Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Analisis Sengketa Pajak PT Vale dengan Pemkab Lutim

DISUSUN OLEH

PROGRAM STUDI
FAKULTAS UNIVERSITAS 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul " Analisis Sengketa Pajak PT Vale dengan Pemkab Lutim." Keberhasilan
penulisan makalah ini tidak lepas dari bimbingan dan petunjuk dari dosen mata kuliah
[nama mata kuliah] [Bapak/Ibu] yang senantiasa memberikan arahan dan pengarahan
kepada penulis.

Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas dalam rangka memenuhi
persyaratan akademis pada mata kuliah [nama mata kuliah] di [nama kampus].
Melalui makalah ini, penulis bertujuan untuk memberikan analisis mendalam terkait
kasus sengketa pajak yang melibatkan PT Vale dengan Pemkab Lutim, dengan
harapan dapat memberikan wawasan tambahan kepada pembaca mengenai aspek-
aspek pajak yang relevan.

Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya


kepada [Bapak/Ibu] selaku dosen mata kuliah [nama mata kuliah] yang telah
memberikan tugas ini. Bimbingan dan arahan yang diberikan sangat berarti bagi
penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Tak lupa, penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah ini.
Semua kontribusi dan dukungan dari berbagai pihak memiliki peran penting dalam
menyelesaikan makalah ini.

Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dan
bermanfaat bagi pembaca.

Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini dapat menjadi bahan diskusi
dan pemahaman yang lebih baik mengenai kasus sengketa pajak, khususnya yang
melibatkan PT Vale dengan Pemkab Lutim.

2
Terima kasih.

Penulis

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................2

DAFTAR ISI.................................................................................................................4

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................5

1.1 Latar Belakang................................................................................................5

1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................5

BAB II LANDASAN TEORI........................................................................................6

2.1 Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).....................6

2.2 Penyelesaian Sengketa Pajak..........................................................................7

BAB III PEMBAHASAN.............................................................................................8

3.1 Perbedaan Pandangan Antara PT Vale dan Pemkab Lutim............................8

3.2 Analisis Dasar Hukum PT Vale dan Pemkab Lutim......................................9

3.3 Proses Sidang di Pengadilan Pajak.................................................................9

BAB IV KESIMPULAN.............................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................12

4
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pajak menjadi pilar utama dalam menghasilkan pendapatan bagi negara dan
daerah, mendukung berbagai program dan kegiatan. Sebagai sumber dana terbesar,
pajak memainkan peran vital dalam menjaga stabilitas ekonomi suatu negara. Pajak
tidak hanya membedakan diri dari sektor-sektor pendapatan lain, seperti migas dan
non-migas, tetapi juga memberikan kontribusi yang signifikan.

Menurut Mardiasmo (2009), pajak didefinisikan sebagai "iuran rakyat kepada kas
negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat
jasa timbal balik yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum." Artinya, pajak merupakan kontribusi wajib rakyat
kepada kas negara tanpa mendapatkan imbalan langsung, dan dana yang terkumpul
digunakan untuk kepentingan umum.

Pajak memegang peran sentral dalam hukum dan pembangunan nasional. Dalam
kerangka administrasi negara, hukum pajak menjadi fondasi penting untuk
menunjang pemasukan pajak ke kas negara, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan
meningkatkan pembangunan sosial (Siregar, 2016). Oleh karena itu, sengketa pajak
antara PT Vale Indonesia Tbk dan Pemerintah Kabupaten Luwu Timur (Pemkab
Lutim) di Sulawesi Selatan menjadi fokus analisis yang menarik.

Sengketa ini berasal dari penolakan PT Vale untuk membayar Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp 78 miliar yang ditagihkan oleh
Pemkab Lutim. Situasi ini memberikan tantangan tersendiri dalam konteks hubungan
antara perusahaan dan pemerintah daerah, memerlukan pendekatan hukum yang
cermat untuk mencapai penyelesaian yang adil dan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Dengan memahami latar belakang dan kerumitan kasus ini, kita dapat lebih
mendalam memahami dinamika sengketa pajak di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

5
1. Bagaimana perbandingan pandangan antara PT Vale dan Pemkab Lutim
terkait kewajiban pembayaran pajak BPHTB atas pemanfaatan lahan di
Salonsa, Pontanda, dan area lapangan Golf?
2. Apakah dasar hukum yang menjadi landasan bagi masing-masing pihak dalam
menentukan posisi mereka terkait sengketa pajak ini?

BAB II LANDASAN TEORI

1.3 Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan
suatu kewajiban fiskal yang dikenakan atas setiap transaksi perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan. Dalam kerangka hukum Indonesia, BPHTB diatur oleh
berbagai peraturan, dan pemahaman terhadap dasar hukum dan prinsip-prinsipnya
sangat penting.

Menurut penjelasan dalam buku "Perpajakan Indonesia Mekanisme dan


Perhitungan" yang ditulis oleh Damayanti (2010), "Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan." Hal ini menunjukkan bahwa BPHTB dikenakan
setiap kali ada perpindahan kepemilikan atas tanah dan/atau bangunan, baik
melalui pembelian, warisan, atau cara perolehan hak lainnya.

A. Dasar Hukum BPHTB

Dasar hukum BPHTB di Indonesia antara lain terdapat dalam Undang-


Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal
110 ayat (1) UU tersebut menyebutkan bahwa "Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) huruf a terutang
oleh Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan." Pasal 98 ayat
(2) huruf a UU tersebut menjelaskan bahwa "Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan terutang atas perolehan hak atas tanah dan bangunan."

6
Selain UU Pajak Daerah, beberapa peraturan daerah setempat juga dapat
mengatur tentang BPHTB sesuai dengan otonomi daerah yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. Prinsip-Prinsip Penerapan BPHTB

Prinsip-prinsip penerapan BPHTB melibatkan penilaian atas nilai transaksi


perolehan hak atas tanah dan bangunan. Pemahaman mengenai metode penilaian
dan tarif yang diterapkan menjadi penting untuk menentukan besarnya kewajiban
pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak.

Dalam konteks sengketa antara PT Vale Indonesia Tbk dan Pemerintah


Kabupaten Luwu Timur, pemahaman mendalam terhadap dasar hukum dan
prinsip-prinsip BPHTB menjadi kunci untuk menganalisis apakah penentuan nilai
sebesar Rp 78 miliar tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku. Analisis ini akan
membantu menilai keabsahan gugatan PT Vale dan posisi pemerintah daerah
terkait pemungutan pajak ini.

1.4 Penyelesaian Sengketa Pajak

Mekanisme penyelesaian sengketa pajak antara wajib pajak dan pihak berwenang,
seperti Direktorat Jenderal Pajak, merupakan aspek krusial dalam menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban kedua belah pihak. Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP) menjadi
landasan hukum yang mengatur serangkaian tindakan penagihan pajak.

Menurut UU PPSP, penagihan pajak dapat melibatkan beberapa tahapan,


termasuk teguran atau peringatan, pelaksanaan penagihan seketika dan sekaligus,
pemberitahuan Surat Paksa, pengusulan pencegahan, penyitaan, penyanderaan,
hingga penjualan barang sitaan. Tindakan ini dirancang untuk memastikan bahwa
utang pajak dapat dilunasi, dan penagihan dapat dihentikan ketika utang tersebut telah
dilunasi.

7
Zuraida dan Advianto (2011) menegaskan bahwa pemungutan pajak adalah
serangkaian tindakan yang dapat mencakup teguran atau peringatan, tindakan lebih
memaksa, hingga pelaksanaan penjualan barang sitaan. Meskipun terjadi sengketa,
penagihan akan terhenti ketika utang pajak menjadi tidak ada, baik melalui pelunasan
oleh penanggung pajak sendiri, proses keberatan, banding, atau penghapusan/koreksi
ketetapan pajak. Namun, untuk dapat dianggap sebagai sengketa pajak yang layak
untuk diproses di Pengadilan Pajak, ditegaskan bahwa salah satu pihak harus
melakukan upaya hukum. Sengketa pajak dapat muncul pada saat diterbitkannya surat
ketetapan pajak atau perintah penagihan pajak, dan dapat berlanjut melalui proses-
proses hukum yang diatur oleh Undang-Undang.

Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak mencakup proses keberatan,
banding, peninjauan kembali, dan gugatan. Keberatan atas ketetapan pajak diajukan
ke Direktorat Jenderal Pajak, sementara banding dan gugatan diajukan ke Pengadilan
Pajak (PP). Proses peninjauan kembali (PK) dapat diajukan ke Mahkamah Agung
(MA), tetapi terdapat juga peninjauan kembali yang diajukan ke Direktorat Jenderal
Pajak. Dengan pemahaman yang mendalam mengenai mekanisme penyelesaian
sengketa pajak, kedua belah pihak dapat menjalani proses ini dengan adil dan sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.

BAB III PEMBAHASAN

1.5 Perbedaan Pandangan Antara PT Vale dan Pemkab Lutim

Perbedaan pandangan antara PT Vale dan Pemkab Lutim muncul dalam tiga
aspek utama terkait sengketa pajak BPHTB. PT Vale mengklaim bahwa lahan yang
mereka manfaatkan adalah milik perusahaan, bukan hak pakai Pemkab Lutim setelah
masa perpanjangan hak pakai berakhir pada 21 September 2021. Sebaliknya, Pemkab
Lutim menganggap tiga lokasi tersebut sebagai aset pemerintah daerah dan
menekankan kewajiban PT Vale membayar pajak BPHTB.

Selain itu, perbedaan terdapat pada hak pakai, di mana PT Vale menegaskan tidak
pernah dikenakan pajak BPHTB sejak aset dimanfaatkan pada 24 Desember 1981.

8
Pemkab Lutim, sebaliknya, memandang bahwa setelah berakhirnya masa hak pakai
pada 21 September 2021, PT Vale wajib membayar pajak sesuai ketentuan
perundang-undangan.

Dalam interpretasi peraturan, PT Vale merujuk pada Pasal 23 Perda Lutim Nomor
5 Tahun 2011, menggugat bahwa penetapan BPHTB tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Pemkab Lutim yakin bahwa penerapan pajak BPHTB sesuai dengan
peraturan, dan tagihan pajak yang ditagihkan kepada PT Vale sudah sesuai dengan
ketentuan hukum. Perbedaan pandangan ini mencerminkan kompleksitas interpretasi
dan penerapan regulasi terkait perolehan hak atas tanah dan bangunan di Indonesia.

1.6 Analisis Dasar Hukum PT Vale dan Pemkab Lutim

Masing-masing pihak, PT Vale dan Pemkab Lutim, merujuk pada dasar hukum
tertentu dalam menyusun argumen mereka terkait sengketa pajak BPHTB. PT Vale
menggunakan Pasal 23 Perda Lutim Nomor 5 Tahun 2011 sebagai dasar hukum
dalam gugatannya, dengan menekankan bahwa penetapan BPHTB tidak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan daerah tersebut. Mereka
mempertimbangkan adanya perbedaan pandangan terkait interpretasi pasal tersebut,
yang menurut mereka tidak sejalan dengan penagihan pajak BPHTB atas lahan yang
mereka manfaatkan.

Di sisi lain, Pemkab Lutim merujuk pada ketentuan perundang-undangan terkait


Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai dasar hukum.
Mereka yakin bahwa penerapan pajak BPHTB sesuai dengan peraturan yang berlaku,
dan tagihan pajak yang ditagihkan kepada PT Vale sudah sesuai dengan ketentuan
hukum yang mengatur perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Dalam sengketa ini, perbedaan interpretasi dan penafsiran terhadap dasar hukum
menjadi poin krusial. Oleh karena itu, analisis lebih lanjut diperlukan untuk
memahami bagaimana pasal-pasal dan ketentuan hukum tersebut diinterpretasikan
dan diterapkan dalam konteks konkretnya, sehingga dapat diambil kesimpulan yang
obyektif terkait keberlakuan pajak BPHTB atas lahan yang menjadi subjek sengketa.

9
1.7 Proses Sidang di Pengadilan Pajak

Proses sidang di Pengadilan Pajak menjadi tahapan krusial dalam penyelesaian


sengketa pajak antara PT Vale dan Pemkab Lutim. Berikut adalah pembahasan
mengenai perkembangan sidang, argumentasi yang diajukan, dan pertimbangan
hukum yang mungkin menjadi fokus dalam proses tersebut:

A. Perkembangan Sidang
 Jadwal dan Tahapan Sidang: Proses sidang di Pengadilan Pajak
melibatkan tahapan-tahapan seperti pembacaan gugatan, tanggapan dari
Pemkab Lutim, presentasi argumentasi dari kedua belah pihak, dan tahap-
tahap klarifikasi yang diperlukan.
 Persidangan: Kedua belah pihak hadir dalam persidangan untuk
menyampaikan argumen dan bukti-bukti yang mendukung posisi mereka.
Proses persidangan ini menjadi forum bagi pihak-pihak terkait untuk
memaparkan pandangan mereka terkait sengketa pajak.
B. Argumentasi yang Diajukan
 PT Vale: PT Vale kemungkinan besar akan mengajukan argumentasi yang
lebih mendalam terkait penafsiran Pasal 23 Perda Lutim Nomor 5 Tahun
2011 yang menjadi dasar gugatan mereka. Mereka mungkin juga
memberikan bukti-bukti atau argumen tambahan untuk menunjukkan
bahwa penetapan BPHTB tidak sesuai dengan interpretasi pasal tersebut.
 Pemkab Lutim: Di pihak lain, Pemkab Lutim akan mempertahankan
penetapan BPHTB yang telah dilakukan, mengacu pada ketentuan
perundang-undangan terkait BPHTB. Mereka mungkin juga memberikan
klarifikasi terkait alasan penerapan pajak atas lahan yang menjadi objek
sengketa.
C. Pertimbangan Hukum
 Interpretasi Pasal 23 Perda Lutim Nomor 5 Tahun 2011: Pengadilan Pajak
kemungkinan besar akan mempertimbangkan secara seksama interpretasi
Pasal 23 Perda Lutim Nomor 5 Tahun 2011. Klarifikasi terhadap maksud

10
dan tujuan dari pasal tersebut akan menjadi pertimbangan utama dalam
penentuan keabsahan tagihan pajak BPHTB.
 Ketentuan Perundang-Undangan BPHTB: Pengadilan juga akan meneliti
dengan cermat ketentuan perundang-undangan terkait Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan untuk memastikan kesesuaian penerapan pajak
BPHTB oleh Pemkab Lutim.
 Bukti dan Argumentasi Tambahan: Pertimbangan atas bukti-bukti dan
argumentasi tambahan dari kedua belah pihak akan menjadi bagian
integral dalam penentuan putusan akhir pengadilan.

Proses sidang di Pengadilan Pajak menjadi titik fokus dalam


menyelesaikan sengketa pajak ini. Kesaksian, argumentasi, dan bukti-bukti
yang disajikan oleh kedua belah pihak akan diperhitungkan dengan cermat
oleh pengadilan untuk mencapai keputusan yang adil dan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.

BAB IV KESIMPULAN

Melalui analisis perbedaan pandangan dan landasan hukum, tergambar


substansi sengketa pajak antara PT Vale dan Pemkab Lutim. Perbedaan pandangan
mencakup dua aspek utama: status lahan dan hak pakai. PT Vale berpendapat bahwa
lahan yang mereka manfaatkan merupakan milik perusahaan, sementara Pemkab
Lutim menganggap tiga lokasi tersebut sebagai aset pemerintah daerah. Dasar hukum
menjadi kunci dalam argumen masing-masing pihak. PT Vale mengacu pada Pasal 23
Perda Lutim Nomor 5 Tahun 2011, sementara Pemkab Lutim menggunakan
ketentuan perundang-undangan terkait BPHTB. Perbedaan interpretasi terhadap
ketentuan-ketentuan ini menjadi pokok sengketa.

Proses sidang di Pengadilan Pajak menjadi tahap krusial dalam menyelesaikan


sengketa ini. Argumentasi yang diajukan oleh PT Vale dan Pemkab Lutim, terutama
terkait interpretasi pasal-pasal yang menjadi dasar gugatan, menjadi poin utama
dalam persidangan. Dengan demikian, kesimpulan menunjukkan bahwa sengketa ini

11
tidak hanya mencerminkan perbedaan pandangan terkait kepemilikan lahan, tetapi
juga menyoroti kompleksitas dalam penerapan dan interpretasi ketentuan hukum
perpajakan di tingkat daerah. Proses hukum yang berlangsung di Pengadilan Pajak
akan menentukan kejelasan status pajak BPHTB atas lahan yang menjadi subjek
sengketa ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aji, W. K., Khosafiah, R. K., Jusikusuma, T. D., & Irawan, F. (2022). Penyelesaian
Sengketa Pajak Atas Gugatan Dan Sanggahan: Suatu Perspektif
Keadilan. Jurnal Pajak Indonesia (Indonesian Tax Review), 6(1), 80-88.

Damayanti, S. & T. W. (2010). Perpajakan Indonesia. Andi Offset.

Horman, F., Engka, D. S., & Kawung, G. M. (2023). Peranan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Air Tanah terhadap
Pendapatan Asli Daerah Di Kota Manado. Jurnal Berkala Ilmiah
Efisiensi, 23(1), 25-36.

Mardiasmo. (2018). Perpajakan Edisi Revisi Tahun 2018. Penerbit Andi.

Siregar, R. J. (2016). Analisis terhadap Kewenangan Penyitaan Harta Kekayaan


Wajib Pajak oleh Juru Sita Pajak (Studi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Medan Timur).

Zuraida, I., & Advianto, L. H. S. (2011). Penagihan pajak: pajak pusat dan pajak
daerah: dilengkapi dengan kompilasi Undang-Undang Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa. Ghalia Indonesia.

12

Anda mungkin juga menyukai