DISUSUN OLEH
PROGRAM STUDI
FAKULTAS UNIVERSITAS 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul " Analisis Sengketa Pajak PT Vale dengan Pemkab Lutim." Keberhasilan
penulisan makalah ini tidak lepas dari bimbingan dan petunjuk dari dosen mata kuliah
[nama mata kuliah] [Bapak/Ibu] yang senantiasa memberikan arahan dan pengarahan
kepada penulis.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas dalam rangka memenuhi
persyaratan akademis pada mata kuliah [nama mata kuliah] di [nama kampus].
Melalui makalah ini, penulis bertujuan untuk memberikan analisis mendalam terkait
kasus sengketa pajak yang melibatkan PT Vale dengan Pemkab Lutim, dengan
harapan dapat memberikan wawasan tambahan kepada pembaca mengenai aspek-
aspek pajak yang relevan.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dan
bermanfaat bagi pembaca.
Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini dapat menjadi bahan diskusi
dan pemahaman yang lebih baik mengenai kasus sengketa pajak, khususnya yang
melibatkan PT Vale dengan Pemkab Lutim.
2
Terima kasih.
Penulis
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................5
2.1 Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).....................6
BAB IV KESIMPULAN.............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................12
4
BAB I PENDAHULUAN
Pajak menjadi pilar utama dalam menghasilkan pendapatan bagi negara dan
daerah, mendukung berbagai program dan kegiatan. Sebagai sumber dana terbesar,
pajak memainkan peran vital dalam menjaga stabilitas ekonomi suatu negara. Pajak
tidak hanya membedakan diri dari sektor-sektor pendapatan lain, seperti migas dan
non-migas, tetapi juga memberikan kontribusi yang signifikan.
Menurut Mardiasmo (2009), pajak didefinisikan sebagai "iuran rakyat kepada kas
negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat
jasa timbal balik yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum." Artinya, pajak merupakan kontribusi wajib rakyat
kepada kas negara tanpa mendapatkan imbalan langsung, dan dana yang terkumpul
digunakan untuk kepentingan umum.
Pajak memegang peran sentral dalam hukum dan pembangunan nasional. Dalam
kerangka administrasi negara, hukum pajak menjadi fondasi penting untuk
menunjang pemasukan pajak ke kas negara, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan
meningkatkan pembangunan sosial (Siregar, 2016). Oleh karena itu, sengketa pajak
antara PT Vale Indonesia Tbk dan Pemerintah Kabupaten Luwu Timur (Pemkab
Lutim) di Sulawesi Selatan menjadi fokus analisis yang menarik.
Sengketa ini berasal dari penolakan PT Vale untuk membayar Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp 78 miliar yang ditagihkan oleh
Pemkab Lutim. Situasi ini memberikan tantangan tersendiri dalam konteks hubungan
antara perusahaan dan pemerintah daerah, memerlukan pendekatan hukum yang
cermat untuk mencapai penyelesaian yang adil dan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Dengan memahami latar belakang dan kerumitan kasus ini, kita dapat lebih
mendalam memahami dinamika sengketa pajak di Indonesia.
5
1. Bagaimana perbandingan pandangan antara PT Vale dan Pemkab Lutim
terkait kewajiban pembayaran pajak BPHTB atas pemanfaatan lahan di
Salonsa, Pontanda, dan area lapangan Golf?
2. Apakah dasar hukum yang menjadi landasan bagi masing-masing pihak dalam
menentukan posisi mereka terkait sengketa pajak ini?
1.3 Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan
suatu kewajiban fiskal yang dikenakan atas setiap transaksi perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan. Dalam kerangka hukum Indonesia, BPHTB diatur oleh
berbagai peraturan, dan pemahaman terhadap dasar hukum dan prinsip-prinsipnya
sangat penting.
6
Selain UU Pajak Daerah, beberapa peraturan daerah setempat juga dapat
mengatur tentang BPHTB sesuai dengan otonomi daerah yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mekanisme penyelesaian sengketa pajak antara wajib pajak dan pihak berwenang,
seperti Direktorat Jenderal Pajak, merupakan aspek krusial dalam menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban kedua belah pihak. Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP) menjadi
landasan hukum yang mengatur serangkaian tindakan penagihan pajak.
7
Zuraida dan Advianto (2011) menegaskan bahwa pemungutan pajak adalah
serangkaian tindakan yang dapat mencakup teguran atau peringatan, tindakan lebih
memaksa, hingga pelaksanaan penjualan barang sitaan. Meskipun terjadi sengketa,
penagihan akan terhenti ketika utang pajak menjadi tidak ada, baik melalui pelunasan
oleh penanggung pajak sendiri, proses keberatan, banding, atau penghapusan/koreksi
ketetapan pajak. Namun, untuk dapat dianggap sebagai sengketa pajak yang layak
untuk diproses di Pengadilan Pajak, ditegaskan bahwa salah satu pihak harus
melakukan upaya hukum. Sengketa pajak dapat muncul pada saat diterbitkannya surat
ketetapan pajak atau perintah penagihan pajak, dan dapat berlanjut melalui proses-
proses hukum yang diatur oleh Undang-Undang.
Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak mencakup proses keberatan,
banding, peninjauan kembali, dan gugatan. Keberatan atas ketetapan pajak diajukan
ke Direktorat Jenderal Pajak, sementara banding dan gugatan diajukan ke Pengadilan
Pajak (PP). Proses peninjauan kembali (PK) dapat diajukan ke Mahkamah Agung
(MA), tetapi terdapat juga peninjauan kembali yang diajukan ke Direktorat Jenderal
Pajak. Dengan pemahaman yang mendalam mengenai mekanisme penyelesaian
sengketa pajak, kedua belah pihak dapat menjalani proses ini dengan adil dan sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Perbedaan pandangan antara PT Vale dan Pemkab Lutim muncul dalam tiga
aspek utama terkait sengketa pajak BPHTB. PT Vale mengklaim bahwa lahan yang
mereka manfaatkan adalah milik perusahaan, bukan hak pakai Pemkab Lutim setelah
masa perpanjangan hak pakai berakhir pada 21 September 2021. Sebaliknya, Pemkab
Lutim menganggap tiga lokasi tersebut sebagai aset pemerintah daerah dan
menekankan kewajiban PT Vale membayar pajak BPHTB.
Selain itu, perbedaan terdapat pada hak pakai, di mana PT Vale menegaskan tidak
pernah dikenakan pajak BPHTB sejak aset dimanfaatkan pada 24 Desember 1981.
8
Pemkab Lutim, sebaliknya, memandang bahwa setelah berakhirnya masa hak pakai
pada 21 September 2021, PT Vale wajib membayar pajak sesuai ketentuan
perundang-undangan.
Dalam interpretasi peraturan, PT Vale merujuk pada Pasal 23 Perda Lutim Nomor
5 Tahun 2011, menggugat bahwa penetapan BPHTB tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Pemkab Lutim yakin bahwa penerapan pajak BPHTB sesuai dengan
peraturan, dan tagihan pajak yang ditagihkan kepada PT Vale sudah sesuai dengan
ketentuan hukum. Perbedaan pandangan ini mencerminkan kompleksitas interpretasi
dan penerapan regulasi terkait perolehan hak atas tanah dan bangunan di Indonesia.
Masing-masing pihak, PT Vale dan Pemkab Lutim, merujuk pada dasar hukum
tertentu dalam menyusun argumen mereka terkait sengketa pajak BPHTB. PT Vale
menggunakan Pasal 23 Perda Lutim Nomor 5 Tahun 2011 sebagai dasar hukum
dalam gugatannya, dengan menekankan bahwa penetapan BPHTB tidak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan daerah tersebut. Mereka
mempertimbangkan adanya perbedaan pandangan terkait interpretasi pasal tersebut,
yang menurut mereka tidak sejalan dengan penagihan pajak BPHTB atas lahan yang
mereka manfaatkan.
Dalam sengketa ini, perbedaan interpretasi dan penafsiran terhadap dasar hukum
menjadi poin krusial. Oleh karena itu, analisis lebih lanjut diperlukan untuk
memahami bagaimana pasal-pasal dan ketentuan hukum tersebut diinterpretasikan
dan diterapkan dalam konteks konkretnya, sehingga dapat diambil kesimpulan yang
obyektif terkait keberlakuan pajak BPHTB atas lahan yang menjadi subjek sengketa.
9
1.7 Proses Sidang di Pengadilan Pajak
A. Perkembangan Sidang
Jadwal dan Tahapan Sidang: Proses sidang di Pengadilan Pajak
melibatkan tahapan-tahapan seperti pembacaan gugatan, tanggapan dari
Pemkab Lutim, presentasi argumentasi dari kedua belah pihak, dan tahap-
tahap klarifikasi yang diperlukan.
Persidangan: Kedua belah pihak hadir dalam persidangan untuk
menyampaikan argumen dan bukti-bukti yang mendukung posisi mereka.
Proses persidangan ini menjadi forum bagi pihak-pihak terkait untuk
memaparkan pandangan mereka terkait sengketa pajak.
B. Argumentasi yang Diajukan
PT Vale: PT Vale kemungkinan besar akan mengajukan argumentasi yang
lebih mendalam terkait penafsiran Pasal 23 Perda Lutim Nomor 5 Tahun
2011 yang menjadi dasar gugatan mereka. Mereka mungkin juga
memberikan bukti-bukti atau argumen tambahan untuk menunjukkan
bahwa penetapan BPHTB tidak sesuai dengan interpretasi pasal tersebut.
Pemkab Lutim: Di pihak lain, Pemkab Lutim akan mempertahankan
penetapan BPHTB yang telah dilakukan, mengacu pada ketentuan
perundang-undangan terkait BPHTB. Mereka mungkin juga memberikan
klarifikasi terkait alasan penerapan pajak atas lahan yang menjadi objek
sengketa.
C. Pertimbangan Hukum
Interpretasi Pasal 23 Perda Lutim Nomor 5 Tahun 2011: Pengadilan Pajak
kemungkinan besar akan mempertimbangkan secara seksama interpretasi
Pasal 23 Perda Lutim Nomor 5 Tahun 2011. Klarifikasi terhadap maksud
10
dan tujuan dari pasal tersebut akan menjadi pertimbangan utama dalam
penentuan keabsahan tagihan pajak BPHTB.
Ketentuan Perundang-Undangan BPHTB: Pengadilan juga akan meneliti
dengan cermat ketentuan perundang-undangan terkait Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan untuk memastikan kesesuaian penerapan pajak
BPHTB oleh Pemkab Lutim.
Bukti dan Argumentasi Tambahan: Pertimbangan atas bukti-bukti dan
argumentasi tambahan dari kedua belah pihak akan menjadi bagian
integral dalam penentuan putusan akhir pengadilan.
BAB IV KESIMPULAN
11
tidak hanya mencerminkan perbedaan pandangan terkait kepemilikan lahan, tetapi
juga menyoroti kompleksitas dalam penerapan dan interpretasi ketentuan hukum
perpajakan di tingkat daerah. Proses hukum yang berlangsung di Pengadilan Pajak
akan menentukan kejelasan status pajak BPHTB atas lahan yang menjadi subjek
sengketa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aji, W. K., Khosafiah, R. K., Jusikusuma, T. D., & Irawan, F. (2022). Penyelesaian
Sengketa Pajak Atas Gugatan Dan Sanggahan: Suatu Perspektif
Keadilan. Jurnal Pajak Indonesia (Indonesian Tax Review), 6(1), 80-88.
Horman, F., Engka, D. S., & Kawung, G. M. (2023). Peranan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Air Tanah terhadap
Pendapatan Asli Daerah Di Kota Manado. Jurnal Berkala Ilmiah
Efisiensi, 23(1), 25-36.
Zuraida, I., & Advianto, L. H. S. (2011). Penagihan pajak: pajak pusat dan pajak
daerah: dilengkapi dengan kompilasi Undang-Undang Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa. Ghalia Indonesia.
12