Anda di halaman 1dari 12

Concept note:

Pengembangan Program Prioritas di Areal Model I Lanskap Sembilang Dangku:

Arahan Strategis Program Jangka Menengah (2019 – 2024)

1. Latar Belakang

Masterplan Kemitraan Pengelolaan Lanskap Sembilang Dangku yang disusun pada tahun

2018 mengamanatkan kepada parapihak, terutama pengelola dan partisipan program, untuk

merenda kerja bersama menuju pengelolaan lanskap berkelanjutan. Suatu upaya untuk merajut

kebersamaan dalam usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat di desa-desa penyangga

kawasan hutan dengan tekanan pada penguatan aspek legalitas sebagai alas hak masyarakat

untuk mendapatkan fasilitasi pemerintah dan dukungan pihak swasta dalam berbagai inisiatif

lokal untuk pengelolaan sumberdaya alam.

Fasilitasi pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang dimaksud adalah peluang

berusaha dalam berbagai skema kemitraan pengelolaan kawasan hutan untuk berbagai kegiatan

produksi komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK), wisata alam dan jasa lingkungan tanpa

mengesampingkan aspek pengawetan keragaman hayati dan penjagaan fungsi bentang alam

Sembilang Dangku. Sementara dukungan pihak swasta diharapkan muncul dalam bentuk

kerjasama kemitraan yang mendukung kinerja perusahaan dalam memenuhi tanggungjawab

sosialnya kepada masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 47 Tahun 2012 tentang: Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan

Terbatas.
Kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan bentang alam

Sembilang Dangku diharapkan akan berdampak positif pada pengurangan emisi karbon berbasis

lahan. Pemerintah sebagai “leading sector” dalam pengembangan pembangunan berkelanjutan

menyadari pentingnya partisipasi pihak swasta dan masyarakat dalam menciptakan

“pertumbuhan hijau” yang meningkatkan kesejahteraan warga tanpa merugikan masa depan

generasi mendatang dengan mewariskan kerusakan sumberdaya hutan dan lingkungan.

Kerusakan sumberdaya hutan bisa ditimbulkan oleh aktivitas perluasan lahan pertanian yang

mengurangi luasan lahan berhutan (deforestasi) dan penurunan kualitas sumberdaya hutan

dalam menjalankan fungsi produksi, fungsi konservasi plasma nutfah, fungsi sosial untuk perekat

kehidupan masyarakat tempatan dan penyediaan jasa lingkungan sebagai sumber air bersih,

destinasi wisata serta penyerap emisi karbon dari atmosfer (degradasi hutan).

2. Program Prioritas Kemitraan Pengelolaan Lanskap Sembilang Dangku

Pada hari Rabu, 26 Juni 2019, bertempat di Hotel The Zuri Palembang, dilaksanakan

rapat kerja untuk menetapkan Program Prioritas Kemitraan Pengelolaan Lanskap Sembilang

Dangku. Rapat kerja tersebut dihadiri oleh Project Supervisory Unit dan Project Implementation

Unit Kemitraan “Kelola Sendang”. Rapat kerja ini menghadirkan Perwakilan Pemerintah Provinsi

Sumatera Selatan, Perwakilan Pemerintah Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Musi

Banyuasin, Perwakilan Pemerintah Desa di Areal Model, Perwakilan Perusahaan di Kabupaten

Banyuasin dan Kabupaten Musi Banyuasin, Perwakilan Akademisi dari Perguruan Tinggi di

Sumatera Selatan, Perwakilan Mitra Pembangunan di Provinsi Sumatera Selatan, Perwakilan

GAPKI Sumatera Selatan, Perwakilan APHI Sumatera Selatan serta Perwakilan Konsorsium

“Kelola Sendang”.
Parapihak yang hadir dalam rapat tersebut bersepakat untuk menetapkan Program

Prioritas Kemitraan “Kelola Sendang” sebagai berikut:

1. Program Prioritas Areal Model I:

 Perbaikan aspek kependudukan dan pendidikan masyarakat desa hutan

 Pengurusan aspek legalitas lahan masyarakat desa hutan

 Penguatan aspek penghidupan masyarakat desa hutan

 Rehabilitasi lahan dan konservasi sungai secara partisipatif

2. Program Prioritas Areal Model II:

 Penguatan legalitas lahan masyarakat gambut

 Pengembangan Ekonomi Masyarakat Gambut

 Perbaikan aspek kependudukan

 Pengendalian Karhutlah, Pencemaran dan Kerusakan Sungai pada Ekosistem Gambut


Restorasi Gambut

3. Program Prioritas Areal Model III:

 Peningkatan kualitas dan pembangunan sarana prasarana dasar

 Peningkatan produksi pertanian dan perikanan berkelanjutan

 Peningkatan pemasaran hasil produksi pertanian dan perikanan

 Perbaikan aspek kependudukan dan aspek sosial masyarakat

 Pengembangan pariwisata edu-ekologi dan pendukungnya

 Penguatan kelembagaan

 Konservasi SDA dan rehabilitasi ekosistem

 Resolusi konflik
Program-program prioritas tersebut dikembangkan sesuai kebutuhan di tingkat tapak

(areal model), dilaksanakan secara bersama-sama dan dipantau serta dinilai keberhasilannya

oleh parapihak yang terlibat. Kemitraan “Kelola Sendang” diharapkan berkontribusi positif untuk

skema ‘Pembangunan Hijau’ di Provinsi Sumatera Selatan sehingga harus disinergikan dengan

program pemerintah daerah. Kemitraan ini juga diharapkan berkontribusi terhadap penurunan

angka kemiskinan di Provinsi Sumatera Selatan yang masih berada pada kisaran 13,33 persen.

Untuk menurunkan angka kemiskinan tersebut, potensi ekowisata di Lanskap Sembilang Dangku

perlu mendapatkan sentuhan Kemitraan “Kelola Sendang” supaya pendapatan dari pasar

internasional bisa ditingkatkan. Sementara untuk memperluas dukungan terhadap Program

Kemitraan “Kelola Sendang” akan diusahakan keberlanjutan promosi capaian program di

berbagai kegiatan berskala nasional dan internasional.

3. Program Prioritas Areal Model 1

Beberapa arahan strategis yang bisa dikemukakan untuk program prioritas Areal Model 1 di

Kabupaten Musi Banyuasin adalah sebagai berikut:

3.1.Perbaikan aspek kependudukan dan pendidikan masyarakat desa hutan:

Lokasi prioritas untuk program ini terutama untuk masyarakat Desa Sako Suban dan

Desa Dawas yang relatif memiliki akses terbatas terhadap fasilitas pendidikan tingkat menengah

dan fasilitas kesehatan. Kepemilikan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi

warga desa yang telah memenuhi syarat administratif perlu mendapatkan penanganan khusus,

karena untuk bisa mengakses berbagai fasilitas yang disediakan pemerintah seperti fasilitas

kesehatan dan pendidikan diperlukan dokumen kependudukan berupa KK dan KTP.


3.1.1. Pendampingan Pembuatan KK dan KTP di Desa Sako Suban dan Dawas

Khusus untuk Desa Dawas, teridentifikasi masih banyaknya penduduk yang belum

memiliki KTP dan KK. Masalah ini akan diselesaikan dengan membuat daftar usulan pembuatan

KK dan KTP dari Pemerintah Desa Dawas kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

(Disdukcapil), Kabupaten Musi Banyuasin. Kegiatan ini bersesuaian dengan Rencana Aksi

Disdukcapil tahun 2017 yang menargetkan kepemilikan KTP elektronik sampai dengan 75 persen

di tahun 2019 dengan lama waktu pengurusan maksimal 7 hari, sehingga pada tahun 2020

diharapkan seluruh warga Musi Banyuasin sudah memiliki KTP elektronik. Penanggungjawab

kegiatan ini adalah Bidang Pelayanan Pendaftaran Penduduk di Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Pemerintah desa yang mengusulkan pendaftaran penduduk atau

kepemilikan KTP elektronik diharapkan mengikuti prosedur yang berlaku untuk mendapatkan

pelayanan maksimal. Untuk percepatan proses, PIU Kelola Sendang bisa mengusahakan

pendampingan untuk mengawal kegiatan di tingkat desa, kecamatan dan Disdukcapil.

3.1.2. Penyediaan Fasilitas Pendidikan dan Kesehatan

Hasil penilaian lapang menunjukkan kebutuhan fasilitas pendidikan tingkat menengah

dan fasilitas kesehatan terutama untuk warga Desa Sako Suban dan Desa Dawas. Hal disebabkan

sulitnya akses menuju sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas serta puskesmas

terdekat. Dalam kerangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia untuk pengentasan

kemiskinan, pendidikan menengah diperlukan untuk menyiapkan generasi muda yang tangguh

dan mandiri dengan kemampuan bersaing dalam pasar kerja. Paling tidak untuk kebutuhan

tenaga kerja di sektor publik dan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi perusahaan-

perusahaan di Kabupaten Musi Banyuasin.


Fasilitas kesehatan seperti puskesmas cuma bisa ditemui di ibukota kecamatan yang

mengundang kerentanan kondisi kesehatan bagi warga desa yang bermukim jauh dari ibukota

kecamatan. Kehadiran puskesmas pembantu di tingkat desa akan memudahkan warga desa

mengakses layanan kesehatan. Sebagai misal, keberadaan Bidan di tingkat desa akan

memudahkan pelayanan bagi ibu hamil dan menyusui untuk menghasilkan generasi muda yang

sehat, karena kecukupan nutrisi dan vitamin penting pada masa awal kelahiran hingga tumbuh

menjadi balita sangat menentukan masa depan tumbuh kembang anak. Keuntungan lain dari

kehadiran puskesmas bantu adalah untuk pencegahan wabah yang mungkin menjalar dari luar

wilayah desa dengan pemberian imunisasi untuk meningkatkan kekebalan tubuh warga.

Zoological Society London (ZSL) bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Musi

Banyuasin bisa mengusahakan fasilitas pendidikan menengah dan fasilitas kesehatan untuk

warga desa penyangga kawasan hutan. Sumbangsih ZSL untuk perbaikan pendidikan dan

kesehatan merupakan langkah nyata penanganan situasi rendahnya tingkat pendidikan warga

desa dan rendahnya produktifitas akibat masalah kesehatan. Sebagai salah satu aktor utama

pengelolaan lanskap Sembilang Dangku, ZSL diharapkan menjadi penyandang dana utama

kegiatan ini sementara pemerintah daerah Musi Banyuasin diharapkan bisa membantu dengan

fasilitas perizinan, dan jika dimungkinkan mengusahakan ketersediaan lahan untuk lokasi

pembangunan fasilitas-fasilitas tersebut di atas.

Langkah awal kegiatan penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan dalam program

prioritas di areal model 1 adalah studi kelayakan untuk mempertimbangkan lokasi dengan

aksesibilitas terbaik dan ketersediaan moda transportasi. Langkah selanjutnya adalah

pengembangan rincian rencana teknis bangunan dan tahap konstruksi. Program ini akan dimulai

pelaksanaannya pada tahun 2020 dan diharapkan sudah berakhir tahap akhir pembangunannya

pada tahun 2022.


3.2.Pengurusan aspek legalitas lahan masyarakat desa hutan:

Lahan budidaya warga desa seringkali bersentuhan dengan kawasan hutan dimana

mempermasalahkan sejarah penguasaan lahan akan memicu perdebatan yang tiada ujung.

Parapihak yang mewakili warga desa dan pengelola kawasan hutan perlu difasilitasi untuk

menemukan sinergi pengelolaan lahan dalam skema kemitraan yang memungkinkan diraihnya

solusi bersama untuk penghidupan warga desa dan untuk tujuan-tujuan pengelolaan kawasan

hutan. Program Perhutanan Sosial bisa dijadikan solusi semisal dengan skema Hutan

Kemasyarakatan yang memungkinkan bagi hasil tanaman antara pengelola kawasan hutan

produksi (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi/KPHP) dengan pengelola areal HKm pada akhir

daur. Atau juga dimungkinkan dilakukan kerjasama operasi wisata alam di kawasan hutan

dimana retribusi wisata menjadi bagian pengelola kawasan hutan dan pengelola HKm menjadi

operator wisata alam yang tidak hanya mencari pendapatan tapi juga menjaga kawasan hutan

dari ancaman kerusakan hutan akibat penebangan liar dan kebakaran hutan.

Merujuk pada dokumen Strategi Pelaksanaan Tata Guna Lahan yang disusun oleh Pokja

PTGL-EHKB pada tahun 2016, perubahan tutupan lahan di Kabupaten Musi Banyuasin pada

kisaran tahun 1990 – 2014 mengalami perubahan yang merugikan kepentingan konservasi

sumberdaya hutan dan lingkungan. Pada dekade 90an sampai tahun 2000 tercatat menurunnya

luas tutupan hutan primer hingga 300 ribu hektar dan hutan rawa primer yang berkurang hingga

200 ribu hektar. Periode 2000 - 2010 ditandai dengan perubahan tata guna lahan yang

didominasi oleh penggunaan untuk perkebunan karet dan sawit sehingga luasan hutan primer

dan hutan sekunder semakin menciut. Secara spesifik, periode 2010 – 2014 mencatat

peningkatan luasan kebun karet hingga 100 ribu hektar sehingga bisa dikatakan perkebunan

monokultur telah menggeser tata guna lahan secara signifikan. Bentang alam wilayah Musi
Banyuasin telah berubah menjadi bagian dari skema perdagangan komoditi karet dan sawit

untuk memasok kebutuhan pasar domestik dan pasar internasional.

Pertanyaan akan muncul pada legalitas lahan yang dikuasai masyarakat karena sangat

mungkin terjadi penggunaan lahan di luar peruntukannya yang ‘asli’ atau yang secara legal

diakui pemerintah berdasar dokumen tata guna lahan yang baku. Berbeda dengan pihak swasta

yang bisa mengakses berbagai dokumen legal untuk aktivitas usahanya, masyarakat seringkali

beraktivitas secara sporadis untuk kebutuhan bertahan hidup sehingga abai terhadap aspek

legalitas, dan karenanya tidak bisa melindungi kepentingannya sendiri jika ada pihak lain yang

mempunyai klaim legal yang lebih kuat mempermasalahkan alas hak masyarakat.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah kemungkinan aktivitas ekstraktif yang

dilakukan masyarakat berada di kawasan yang jelas peruntukannya untuk hutan. Aktivitas

masyarakat mengumpulkan HHBK seperti jernang, rotan, madu dan lain sebagainya sering

dilakukan pada areal yang luas tetapi tidak berkonsekuensi pembukaan lahan untuk budidaya

secara menetap. Pelaku kegiatan ekstraktif ini hanya beroperasi di titik-titik tertentu dan pada

waktu tertentu untuk kebutuhan bertahan hidup. Hal ini tentu harus dibedakan dari kegiatan

budidaya yang menetap dan berkonsekuensi ‘penguasaan lahan’ untuk kepentingan produksi

jangka panjang.

Pada penguasaan lahan oleh masyarakat dengan kegiatan budidaya yang menetap akan

dilakukan inventarisasi dan identifikasi untuk menemukenali peluang meningkatkan status legal

pengelolaan lahan dalam skema perhutanan sosial yang sedang dipromosikan pemerintah. Hal

ini dilakukan untuk menghapuskan stigma negatif terhadap aktivitas masyarakat dalam kawasan

hutan yang sering dikenal sebagai perambahan, pendudukan lahan atau perusakan kawasan

konservasi dengan tatanan baru yang memungkinkan hak dan kewajiban dituangkan dalam

naskah kesepahaman/kesepakatan atau bahkan dalam sebuah skema perizinan yang mengikat
masyarakat untuk jangka waktu tertentu. Masyarakat pelaku budidaya menetap ini akan

dilibatkan dalam pelestarian kawasan hutan dan akan berperilaku dengan tata aturan sebagai

masyarakat desa penyangga kawasan hutan. Pengenalan tata aturan pengelolaan hutan dan

tujuan-tujuan pemerintah dalam pengelolaan hutan perlu dilakukan untuk membentuk

kerangka kerja bersama yang paling memungkinkan sinergi dan keuntungan bersama dalam

pengelolaan hutan.

3.2.1. Pemetaan Batas Desa Penyangga Kawasan

Desa-desa penyangga kawasan hutan perlu diperkuat legalitas lahannya dengan

kegiatan pemetaan batas desa. Hal ini bersesuaian dengan UU Desa/2014 yang menjelaskan

bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang

untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan atau hak tradisional yang diakui dan

dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa batas

wilayah yang jelas, akan ditemui kesulitan-kesulitan untuk menjelaskan potensi apa yang dimiliki

desa dan masalah-masalah apa yang mungkin dipecahkan dalam sebuah satuan analisis yang

jelas dan mengikat.

Dalam hal batas-batas desa penyangga dengan desa lain atau kawasan hutan masih

mengalami ketidakjelasan diperlukan upaya terobosan untuk mendapatkan pengakuan dari

pihak-pihak lain yang memiliki alas hak (konsesi) dan bekerja di sekitar desa penyangga. Pada

tahapan awal kegiatan ini diusahakan terjadi koordinasi parapihak untuk penyusunan naskah

kesepahaman desa penyangga dan kawasan yang memuat rumusan kesepahaman terkait tujuan

penataan batas desa dan kawasan, hasil kegiatan tata batas, dan jadwal kegiatan yang

memungkinkan pemantauan dan evaluasi secara kolaboratif.


Peta batas desa kesepakatan parapihak diharapkan menjadi hasil dari rangkaian

kegiatan tata batas desa dimana keterlibatan parapihak untuk menyetujui batas desa dengan

kawasan hutan menjadi sangat penting. Secara singkat proses pemetaan kolaboratif akan

menghasilkan deliniasi batas desa (Peta Desa) dengan akurasi tinggi, bisa diverifikasi di tingkat

tapak dengan adanya batas-batas alam dan buatan untuk kemudian diajukan pengesahannya

kepada lembaga pertanahan nasional di tingkat daerah untuk ditetapkan dalam Peraturan

Bupati (Perbup) atau Peraturan Daerah (Perda).

Tahapan lanjut dari kegiatan ini adalah menyiapkan peta partisipatif yang menunjukkan

lokasi aktivitas warga di dalam kawasan yang menjadi dasar pengajuan usulan areal perhutanan

sosial. Peta ini berupa peta areal kerja kelompok tani/gapoktan yang cukup disetujui oleh KPHP

Unit IV Meranti atau BKSDA Sumatera Selatan sebagai Pengelola Suaka Margasatwa Dangku.

Gambar 1 berikut ini menjelaskan alur pemetaan di Areal Model 1:

3.2.2. Resolusi Konflik Batas Desa dan Kawasan


Bagian ini terkait dengan pemantapan batas desa dan kawasan sebelum penetapan

pembentukan desa di tingkat kabupaten. Koordinasi dan penyusunan naskah kesepahaman desa

penyangga dan kawasan Pemerintah Desa, KPHP, SM Dangku, Forum Multipihak Areal Model 1

(Forum Dangku Meranti)

Perhutanan Sosial

Hingga kini, pemerintah memiliki 2 agenda besar terkait dengan pengelolaan hutan, yakni peningkatan
kesejahteraan masyarakat khususnya di sekitar hutan dan juga penciptaan model pelestarian hutan yang
efektif. Melihat tujuan ini, pemerintah telah menyiapkan sebuah program yang memastikan bahwa
pengentasan kemiskinan masyarakat khususnya di sekitar hutan dapat dilakukan dengan model yang
menciptakan keharmonisan antara peningkatan kesejahteraan dengan pelestarian lingkungan. Program
ini adalah Program Perhutanan Sosial.
Pemerintah telah mentargetkan alokasi perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar kawasan hutan dan
dalam pelaksanaannya akan dibentuk Kelompok Kerja Daerah untuk melaksanakan pendampingan dan
pembinaan bagi masyarakat yang ingin mengajukan diri dalam program ini. Melalui Perhutanan Sosial,
masyarakat dapat memiliki akses kelola hutan sesuai dengan kemampuan pengelolaan dengan bentuk
pemanfaatan hasil hutan yang sesuai prinsip kelestarian sehingga tujuan konservasi lingkungan dapat
sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Program Perhutanan Sosial bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pola
pemberdayaan dan dengan tetap berpedoman pada aspek kelestarian. Program Perhutanan Sosial
membuka kesempatan bagi masyarakat di sekitar hutan untuk mengajukan hak pengelolaan hutan
kepada pemerintah. Setelah usulan disetujui, masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari
hutan dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Dengan ini, masyarakat akan mendapatkan berbagai
insentif berupa dukungan teknis dari pemerintah dalam mengelola areal yang mereka ajukan.
Di tingkat Provinsi Sumatera Selatan telah dibentuk Pokja PPS yang bertugas memfasilitasi kegiatan

penyiapan kawasan perhutanan sosial, penanganan konflik, dan pembinaan usaha perhutanan sosial.

Pokja PPS ini diketuai Prof. Dr. Ir. Rudjito Agus Sugwignyo, M. Agr. Hingga bulan Desember 2018, Pokja

PPS Sumsel telah memfasilitasi penerbitan 93 izin perhutanan sosial seluas 98.947,18 hektar kepada

14.511 KK dalam 5 skema berupa Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman

Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK). Rincian luasan masing-masing skema

perhutanan sosial yang sudah difasilitasi adalah sebagai berikut:

Skema Perhutanan Sosial Kelompok Masyarakat (Unit) Luasan (hektar)


Hutan Desa (HD) 23 32.961
Hutan Kemasyarakatan 41 21.529,64
(HKm)
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) 23 16.258,32
Hutan Adat 1 336
Kemitraan Kehutanan 5 27.862,22
Total 93 98.947,18

Rincian lokasi 93 izin tersebut akan dikoordinasikan dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan
untuk menghindari tumpang tindih pengajuan lokasi baru kegiatan Perhutanan Sosial. Data yang
diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan akan diselaraskan dengan Peta Indikatif Areal
Perhutanan Sosial di Kabupaten Musi Banyuasin untuk melihat relasi antara lokasi yang sudah
mendapatkan izin dengan lokasi Areal Model 1.

Anda mungkin juga menyukai