1. Latar Belakang
Masterplan Kemitraan Pengelolaan Lanskap Sembilang Dangku yang disusun pada tahun
2018 mengamanatkan kepada parapihak, terutama pengelola dan partisipan program, untuk
merenda kerja bersama menuju pengelolaan lanskap berkelanjutan. Suatu upaya untuk merajut
kawasan hutan dengan tekanan pada penguatan aspek legalitas sebagai alas hak masyarakat
untuk mendapatkan fasilitasi pemerintah dan dukungan pihak swasta dalam berbagai inisiatif
Fasilitasi pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang dimaksud adalah peluang
berusaha dalam berbagai skema kemitraan pengelolaan kawasan hutan untuk berbagai kegiatan
produksi komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK), wisata alam dan jasa lingkungan tanpa
mengesampingkan aspek pengawetan keragaman hayati dan penjagaan fungsi bentang alam
Sembilang Dangku. Sementara dukungan pihak swasta diharapkan muncul dalam bentuk
Indonesia Nomor 47 Tahun 2012 tentang: Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan
Terbatas.
Kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan bentang alam
Sembilang Dangku diharapkan akan berdampak positif pada pengurangan emisi karbon berbasis
“pertumbuhan hijau” yang meningkatkan kesejahteraan warga tanpa merugikan masa depan
Kerusakan sumberdaya hutan bisa ditimbulkan oleh aktivitas perluasan lahan pertanian yang
mengurangi luasan lahan berhutan (deforestasi) dan penurunan kualitas sumberdaya hutan
dalam menjalankan fungsi produksi, fungsi konservasi plasma nutfah, fungsi sosial untuk perekat
kehidupan masyarakat tempatan dan penyediaan jasa lingkungan sebagai sumber air bersih,
destinasi wisata serta penyerap emisi karbon dari atmosfer (degradasi hutan).
Pada hari Rabu, 26 Juni 2019, bertempat di Hotel The Zuri Palembang, dilaksanakan
rapat kerja untuk menetapkan Program Prioritas Kemitraan Pengelolaan Lanskap Sembilang
Dangku. Rapat kerja tersebut dihadiri oleh Project Supervisory Unit dan Project Implementation
Unit Kemitraan “Kelola Sendang”. Rapat kerja ini menghadirkan Perwakilan Pemerintah Provinsi
Banyuasin dan Kabupaten Musi Banyuasin, Perwakilan Akademisi dari Perguruan Tinggi di
GAPKI Sumatera Selatan, Perwakilan APHI Sumatera Selatan serta Perwakilan Konsorsium
“Kelola Sendang”.
Parapihak yang hadir dalam rapat tersebut bersepakat untuk menetapkan Program
Penguatan kelembagaan
Resolusi konflik
Program-program prioritas tersebut dikembangkan sesuai kebutuhan di tingkat tapak
(areal model), dilaksanakan secara bersama-sama dan dipantau serta dinilai keberhasilannya
oleh parapihak yang terlibat. Kemitraan “Kelola Sendang” diharapkan berkontribusi positif untuk
skema ‘Pembangunan Hijau’ di Provinsi Sumatera Selatan sehingga harus disinergikan dengan
program pemerintah daerah. Kemitraan ini juga diharapkan berkontribusi terhadap penurunan
angka kemiskinan di Provinsi Sumatera Selatan yang masih berada pada kisaran 13,33 persen.
Untuk menurunkan angka kemiskinan tersebut, potensi ekowisata di Lanskap Sembilang Dangku
perlu mendapatkan sentuhan Kemitraan “Kelola Sendang” supaya pendapatan dari pasar
Beberapa arahan strategis yang bisa dikemukakan untuk program prioritas Areal Model 1 di
Lokasi prioritas untuk program ini terutama untuk masyarakat Desa Sako Suban dan
Desa Dawas yang relatif memiliki akses terbatas terhadap fasilitas pendidikan tingkat menengah
dan fasilitas kesehatan. Kepemilikan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi
warga desa yang telah memenuhi syarat administratif perlu mendapatkan penanganan khusus,
karena untuk bisa mengakses berbagai fasilitas yang disediakan pemerintah seperti fasilitas
Khusus untuk Desa Dawas, teridentifikasi masih banyaknya penduduk yang belum
memiliki KTP dan KK. Masalah ini akan diselesaikan dengan membuat daftar usulan pembuatan
KK dan KTP dari Pemerintah Desa Dawas kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
(Disdukcapil), Kabupaten Musi Banyuasin. Kegiatan ini bersesuaian dengan Rencana Aksi
Disdukcapil tahun 2017 yang menargetkan kepemilikan KTP elektronik sampai dengan 75 persen
di tahun 2019 dengan lama waktu pengurusan maksimal 7 hari, sehingga pada tahun 2020
diharapkan seluruh warga Musi Banyuasin sudah memiliki KTP elektronik. Penanggungjawab
kegiatan ini adalah Bidang Pelayanan Pendaftaran Penduduk di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Pemerintah desa yang mengusulkan pendaftaran penduduk atau
kepemilikan KTP elektronik diharapkan mengikuti prosedur yang berlaku untuk mendapatkan
pelayanan maksimal. Untuk percepatan proses, PIU Kelola Sendang bisa mengusahakan
dan fasilitas kesehatan terutama untuk warga Desa Sako Suban dan Desa Dawas. Hal disebabkan
sulitnya akses menuju sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas serta puskesmas
kemiskinan, pendidikan menengah diperlukan untuk menyiapkan generasi muda yang tangguh
dan mandiri dengan kemampuan bersaing dalam pasar kerja. Paling tidak untuk kebutuhan
tenaga kerja di sektor publik dan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi perusahaan-
mengundang kerentanan kondisi kesehatan bagi warga desa yang bermukim jauh dari ibukota
kecamatan. Kehadiran puskesmas pembantu di tingkat desa akan memudahkan warga desa
mengakses layanan kesehatan. Sebagai misal, keberadaan Bidan di tingkat desa akan
memudahkan pelayanan bagi ibu hamil dan menyusui untuk menghasilkan generasi muda yang
sehat, karena kecukupan nutrisi dan vitamin penting pada masa awal kelahiran hingga tumbuh
menjadi balita sangat menentukan masa depan tumbuh kembang anak. Keuntungan lain dari
kehadiran puskesmas bantu adalah untuk pencegahan wabah yang mungkin menjalar dari luar
wilayah desa dengan pemberian imunisasi untuk meningkatkan kekebalan tubuh warga.
Banyuasin bisa mengusahakan fasilitas pendidikan menengah dan fasilitas kesehatan untuk
warga desa penyangga kawasan hutan. Sumbangsih ZSL untuk perbaikan pendidikan dan
kesehatan merupakan langkah nyata penanganan situasi rendahnya tingkat pendidikan warga
desa dan rendahnya produktifitas akibat masalah kesehatan. Sebagai salah satu aktor utama
pengelolaan lanskap Sembilang Dangku, ZSL diharapkan menjadi penyandang dana utama
kegiatan ini sementara pemerintah daerah Musi Banyuasin diharapkan bisa membantu dengan
fasilitas perizinan, dan jika dimungkinkan mengusahakan ketersediaan lahan untuk lokasi
Langkah awal kegiatan penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan dalam program
prioritas di areal model 1 adalah studi kelayakan untuk mempertimbangkan lokasi dengan
pengembangan rincian rencana teknis bangunan dan tahap konstruksi. Program ini akan dimulai
pelaksanaannya pada tahun 2020 dan diharapkan sudah berakhir tahap akhir pembangunannya
Lahan budidaya warga desa seringkali bersentuhan dengan kawasan hutan dimana
mempermasalahkan sejarah penguasaan lahan akan memicu perdebatan yang tiada ujung.
Parapihak yang mewakili warga desa dan pengelola kawasan hutan perlu difasilitasi untuk
menemukan sinergi pengelolaan lahan dalam skema kemitraan yang memungkinkan diraihnya
solusi bersama untuk penghidupan warga desa dan untuk tujuan-tujuan pengelolaan kawasan
hutan. Program Perhutanan Sosial bisa dijadikan solusi semisal dengan skema Hutan
Kemasyarakatan yang memungkinkan bagi hasil tanaman antara pengelola kawasan hutan
produksi (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi/KPHP) dengan pengelola areal HKm pada akhir
daur. Atau juga dimungkinkan dilakukan kerjasama operasi wisata alam di kawasan hutan
dimana retribusi wisata menjadi bagian pengelola kawasan hutan dan pengelola HKm menjadi
operator wisata alam yang tidak hanya mencari pendapatan tapi juga menjaga kawasan hutan
dari ancaman kerusakan hutan akibat penebangan liar dan kebakaran hutan.
Merujuk pada dokumen Strategi Pelaksanaan Tata Guna Lahan yang disusun oleh Pokja
PTGL-EHKB pada tahun 2016, perubahan tutupan lahan di Kabupaten Musi Banyuasin pada
kisaran tahun 1990 – 2014 mengalami perubahan yang merugikan kepentingan konservasi
sumberdaya hutan dan lingkungan. Pada dekade 90an sampai tahun 2000 tercatat menurunnya
luas tutupan hutan primer hingga 300 ribu hektar dan hutan rawa primer yang berkurang hingga
200 ribu hektar. Periode 2000 - 2010 ditandai dengan perubahan tata guna lahan yang
didominasi oleh penggunaan untuk perkebunan karet dan sawit sehingga luasan hutan primer
dan hutan sekunder semakin menciut. Secara spesifik, periode 2010 – 2014 mencatat
peningkatan luasan kebun karet hingga 100 ribu hektar sehingga bisa dikatakan perkebunan
monokultur telah menggeser tata guna lahan secara signifikan. Bentang alam wilayah Musi
Banyuasin telah berubah menjadi bagian dari skema perdagangan komoditi karet dan sawit
Pertanyaan akan muncul pada legalitas lahan yang dikuasai masyarakat karena sangat
mungkin terjadi penggunaan lahan di luar peruntukannya yang ‘asli’ atau yang secara legal
diakui pemerintah berdasar dokumen tata guna lahan yang baku. Berbeda dengan pihak swasta
yang bisa mengakses berbagai dokumen legal untuk aktivitas usahanya, masyarakat seringkali
beraktivitas secara sporadis untuk kebutuhan bertahan hidup sehingga abai terhadap aspek
legalitas, dan karenanya tidak bisa melindungi kepentingannya sendiri jika ada pihak lain yang
mempunyai klaim legal yang lebih kuat mempermasalahkan alas hak masyarakat.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah kemungkinan aktivitas ekstraktif yang
dilakukan masyarakat berada di kawasan yang jelas peruntukannya untuk hutan. Aktivitas
masyarakat mengumpulkan HHBK seperti jernang, rotan, madu dan lain sebagainya sering
dilakukan pada areal yang luas tetapi tidak berkonsekuensi pembukaan lahan untuk budidaya
secara menetap. Pelaku kegiatan ekstraktif ini hanya beroperasi di titik-titik tertentu dan pada
waktu tertentu untuk kebutuhan bertahan hidup. Hal ini tentu harus dibedakan dari kegiatan
budidaya yang menetap dan berkonsekuensi ‘penguasaan lahan’ untuk kepentingan produksi
jangka panjang.
Pada penguasaan lahan oleh masyarakat dengan kegiatan budidaya yang menetap akan
dilakukan inventarisasi dan identifikasi untuk menemukenali peluang meningkatkan status legal
pengelolaan lahan dalam skema perhutanan sosial yang sedang dipromosikan pemerintah. Hal
ini dilakukan untuk menghapuskan stigma negatif terhadap aktivitas masyarakat dalam kawasan
hutan yang sering dikenal sebagai perambahan, pendudukan lahan atau perusakan kawasan
konservasi dengan tatanan baru yang memungkinkan hak dan kewajiban dituangkan dalam
naskah kesepahaman/kesepakatan atau bahkan dalam sebuah skema perizinan yang mengikat
masyarakat untuk jangka waktu tertentu. Masyarakat pelaku budidaya menetap ini akan
dilibatkan dalam pelestarian kawasan hutan dan akan berperilaku dengan tata aturan sebagai
masyarakat desa penyangga kawasan hutan. Pengenalan tata aturan pengelolaan hutan dan
kerangka kerja bersama yang paling memungkinkan sinergi dan keuntungan bersama dalam
pengelolaan hutan.
kegiatan pemetaan batas desa. Hal ini bersesuaian dengan UU Desa/2014 yang menjelaskan
bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa batas
wilayah yang jelas, akan ditemui kesulitan-kesulitan untuk menjelaskan potensi apa yang dimiliki
desa dan masalah-masalah apa yang mungkin dipecahkan dalam sebuah satuan analisis yang
Dalam hal batas-batas desa penyangga dengan desa lain atau kawasan hutan masih
pihak-pihak lain yang memiliki alas hak (konsesi) dan bekerja di sekitar desa penyangga. Pada
tahapan awal kegiatan ini diusahakan terjadi koordinasi parapihak untuk penyusunan naskah
kesepahaman desa penyangga dan kawasan yang memuat rumusan kesepahaman terkait tujuan
penataan batas desa dan kawasan, hasil kegiatan tata batas, dan jadwal kegiatan yang
kegiatan tata batas desa dimana keterlibatan parapihak untuk menyetujui batas desa dengan
kawasan hutan menjadi sangat penting. Secara singkat proses pemetaan kolaboratif akan
menghasilkan deliniasi batas desa (Peta Desa) dengan akurasi tinggi, bisa diverifikasi di tingkat
tapak dengan adanya batas-batas alam dan buatan untuk kemudian diajukan pengesahannya
kepada lembaga pertanahan nasional di tingkat daerah untuk ditetapkan dalam Peraturan
Tahapan lanjut dari kegiatan ini adalah menyiapkan peta partisipatif yang menunjukkan
lokasi aktivitas warga di dalam kawasan yang menjadi dasar pengajuan usulan areal perhutanan
sosial. Peta ini berupa peta areal kerja kelompok tani/gapoktan yang cukup disetujui oleh KPHP
Unit IV Meranti atau BKSDA Sumatera Selatan sebagai Pengelola Suaka Margasatwa Dangku.
pembentukan desa di tingkat kabupaten. Koordinasi dan penyusunan naskah kesepahaman desa
penyangga dan kawasan Pemerintah Desa, KPHP, SM Dangku, Forum Multipihak Areal Model 1
Perhutanan Sosial
Hingga kini, pemerintah memiliki 2 agenda besar terkait dengan pengelolaan hutan, yakni peningkatan
kesejahteraan masyarakat khususnya di sekitar hutan dan juga penciptaan model pelestarian hutan yang
efektif. Melihat tujuan ini, pemerintah telah menyiapkan sebuah program yang memastikan bahwa
pengentasan kemiskinan masyarakat khususnya di sekitar hutan dapat dilakukan dengan model yang
menciptakan keharmonisan antara peningkatan kesejahteraan dengan pelestarian lingkungan. Program
ini adalah Program Perhutanan Sosial.
Pemerintah telah mentargetkan alokasi perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar kawasan hutan dan
dalam pelaksanaannya akan dibentuk Kelompok Kerja Daerah untuk melaksanakan pendampingan dan
pembinaan bagi masyarakat yang ingin mengajukan diri dalam program ini. Melalui Perhutanan Sosial,
masyarakat dapat memiliki akses kelola hutan sesuai dengan kemampuan pengelolaan dengan bentuk
pemanfaatan hasil hutan yang sesuai prinsip kelestarian sehingga tujuan konservasi lingkungan dapat
sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Program Perhutanan Sosial bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pola
pemberdayaan dan dengan tetap berpedoman pada aspek kelestarian. Program Perhutanan Sosial
membuka kesempatan bagi masyarakat di sekitar hutan untuk mengajukan hak pengelolaan hutan
kepada pemerintah. Setelah usulan disetujui, masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari
hutan dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Dengan ini, masyarakat akan mendapatkan berbagai
insentif berupa dukungan teknis dari pemerintah dalam mengelola areal yang mereka ajukan.
Di tingkat Provinsi Sumatera Selatan telah dibentuk Pokja PPS yang bertugas memfasilitasi kegiatan
penyiapan kawasan perhutanan sosial, penanganan konflik, dan pembinaan usaha perhutanan sosial.
Pokja PPS ini diketuai Prof. Dr. Ir. Rudjito Agus Sugwignyo, M. Agr. Hingga bulan Desember 2018, Pokja
PPS Sumsel telah memfasilitasi penerbitan 93 izin perhutanan sosial seluas 98.947,18 hektar kepada
14.511 KK dalam 5 skema berupa Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman
Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK). Rincian luasan masing-masing skema
Rincian lokasi 93 izin tersebut akan dikoordinasikan dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan
untuk menghindari tumpang tindih pengajuan lokasi baru kegiatan Perhutanan Sosial. Data yang
diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan akan diselaraskan dengan Peta Indikatif Areal
Perhutanan Sosial di Kabupaten Musi Banyuasin untuk melihat relasi antara lokasi yang sudah
mendapatkan izin dengan lokasi Areal Model 1.