A. Latar Belakang
Sejak disepakatinya agenda pembangunan paska 2015 dalam Sidang Umum PBB pada September
2015, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) telah diadopsi
berbagai negara di dunia sebagai tujuan pembangunan di negara masing-masing. Dalam perkembangannya
di Indonesia, disadari bahwa tujuan ini terancam gagal karena beberapa faktor diantaranya:
1. Adanya peningkatan pemanasan global dari efek Gas Rumah Kaca (GRK) yang mengakibatkan
perubahan iklim yang berdampak terhadap seluruh sendi kehidupan manusia dan ekosistemnya.
2. Mayoritas penduduk bertempat di desa dengan kondisi ketertinggalan di berbagai aspek dan
disparitas pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan perkotaan.
Menyadari hal ini, Pemerintah Indonesia mencanangkan SDGs Desa, dengan programnya adalah
pembangunan total atas desa yang mengarah pada 18 tujuan pembangunan berkelanjutan di desa.
Diluncurkan mulai tahun 2021 sesuai dengan Permendesa PDTT No 13/2020 tentang prioritas penggunaan
dana desa 2021, strategi melokalkan SDGs global ke dalam konteks desa, agar memudahkan kampanye,
implementasi di lapangan hingga pengorganisasian dari pusat ke desa. Melalui SDGs Desa ini diyakini akan
dapat berkontribusi 74% atas pencapaian SDGs nasional.
Disisi lain, mayoritas desa di Indonesia merupakan kantong kemiskinan. Pada masa ekonomi dunia
yang cenderung kapitalistik, kemiskinan di desa menyumbang faktor kerusakan lingkungan yang memicu
pemanasan global melalui deforestasi, skema pertanian dan peternakan yang tidak ramah lingkungan
hingga aktifitas sosial dan budaya yang menurunkan kualitas ekosistem. Padahal jika dikelola dengan prinsip
lingkungan berkelanjutan, seharusnya desa dapat berpotensi sebagai faktor terbesar dalam komitmen
penurunan suhu global dan pengurangan efek GRK.
Bojonegoro, memiliki kompleksitas fakta tersebut. Secara administratif, Bojonegoro terdiri dari 419
desa dan 11 kelurahan, atau sekitar 97,44% berstatus pedesaan. Wilayah Bojonegoro sendiri sekitar 41%
merupakan kawasan hutan. Bojonegoro juga merupakan kabupaten terpanjang yang dilewati Sungai
Bengawan Solo. Terdapat 91 desa dan 5 kelurahan dari 15 kecamatan, langsung berada di tepian Bengawan
Solo (22,33% dari jumlah desa-kelurahan dan 53,57% dari jumlah kecamatan). hal ini akan bertambah
secara prosentase, jika dimasukkan variabel desa di tepian anak sungai Bengawan Solo yang menyebar di
seluruh wilayah Bojonegoro.
Potret kemiskinan dan kerusakan lingkungan masih menjadi wajah kabupaten Bojonegoro.
Ditetapkannya Bojonegoro sebagai salah satu Kabupaten yang mendapat program pengentasan kemiskinan
ekstrim oleh Kementerian Desa, setidaknya menggambarkan hal tersebut. Terlebih mayoritas desa yang
dikategorikan kemiskinan ekstrim ini merupakan desa di kawasan hutan. Selain itu, meski Kabupaten
Bojonegoro sekarang merupakan Kabupaten nomer 2 dalam perolehan APBD terbesar nasional, namun
menghadapi fakta pertumbuhan ekonomi minus 6,16%. Ketergantungan pada sektor migas menjadikan
Bojonegoro mau tak mau turut menjadi bagian, baik langsung maupun tak langsung, dari pelepasan emisi
karbon dengan kontribusinya antara 25% hingga 31% dari kapasitas produksi migas nasional,atau setara
16,01% dari konsumsi energi fosil nasional (1,5 juta BPOD).
Mojodelik menjadi satu dari sekian banyak desa di Bojonegoro yang terdampak akan perubahan
iklim, baik dalam skala global maupun locus daerah. Memiliki luas wilayah ± 868.1 Ha (Data SID Desa
Mojodelik 2023), karakter kawasan cenderung kering yang pada masa lalu didominasi oleh lahan sawah
tadah hujan, ladang dan hutan negara. Ketersediaan air permukaan diandalkan pada sendang (mata air)
yang mayoritas di area timur desa dan Sungai Gandong di area baratnya. Populasi per tahun 2021 sebanyak
4.149 jiwa (perempuan 2.097 jiwa, laki-laki 2.052 jiwa) dengan jumlah rumah tangga 1.363, tersebar di 8
pedukuhan, 5 RW dan 21 RT. Dalam perkembangannya, kemampuan masyarakat desa Mojodelik untuk
melanjutkan ekosistem dan peradabannya, mengalami kondisi ketertekanan yang besar seiring munculnya
kebutuhan pengadaan industri migas. Akibatnya sebagian wilayah Mojodelik, yang mayoritasnya berupa
lahan pertanian, beralih fungsi menjadi areal pertambangan. Selain itu, dari 8 sendang (mata air) yang ada
di wilayah timur desa, menyisakan Sendang Lego yang dilindungi masyarakat desa sebagai situs mata air.
Perubahan topografi dan fungsi kawasan ini, tidak disadari oleh banyak warga juga berdampak pada pada
menurunnya tingkat resiliensi (daya tahan menghadapi tekanan/masalah). Pola konvensional dan cara
tradisional dijalankan secara dogmatis tanpa memahami perubahan iklim dan dampak yang menyertainya.
Ditambah lagi ketidaktahuan terhadap indikator dan parameter, membuat warga tidak menyadari tentang
perubahan iklim global dan kausanya dilingkungan sekitar.
Banyak institusi baik pemerintah, swasta hingga komunitas menjalankan program-program adaptasi
dan mitigasi lingkungan. Namun terlihat pula jika upaya itu masih cenderung sektoralis dan seolah berdiri
sendiri. Seperti program SDGs Desa di pilar lingkungan hidup, terdapat pula program Kampung Proklim dan
Adiwiyata Sekolah yang digawangi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Belum lagi
jika memasukkan program CSR atau program lainnya dari berbagai institusi. Tak jarang, ini menimbulkan
tumpang tindih bahkan menjadi konflik kepentingan. Skema collaborative governance (kebijakan yang
kolaboratif) lingkungan berkelanjutan, diharapkan dapat menjembatani kepentingan para pihak. Sehingga
pada akhirnya dapat bersama-sama meningkatkan resiliensi (daya tahan menghadapi tekanan/masalah)
masyarakat menghadapi dampak perubahan iklim untuk mewujudkan SDGs.
B. Tujuan dan Hasil Yang Diharapkan
Tujuan:
“Mewujudkan pembangunan berkelanjutan secara total di desa pada bidang lingkungan hidup dengan
generasi mendatang tetap menjadi bagian dari pelaksanaan dan pemanfaatan pembangunan”.
Program ini diharapkan secara langsung bermanfaat bagi lintas stake holders yang memiliki
kemampuan dalam menetapkan suatu kebijakan, agar dapat menjalankan adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim di tingkat tapak secara efektif dan efisien. Selain itu, menghindari tumpang tindih
program lingkungan antar pihak di teritori yang sama; atau sebaliknya, ketiadaan komunikasi dan
koordinasi yang membuat program berjalan terpisah, parsial bahkan soliter. Pihak yang dimaksud
antara lain:
Sedangkan secara tak langsung, seluruh warga desa Mojodelik merupakan penerima manfaat
utama. Lebih lanjut diharapkan, masyarakat di desa-desa yang berbatasan dengan Mojodelik juga
menjadi penerima manfaat program ini.
Implementasi program ini didasari semboyan SDGs yaitu “No One Left Behind”. Maka pendekatannya
berprinsip pada:
1. Universal, artinya dilaksanakan dengan tujuan dan sasaran yang transformatif, berpusat
pada manusia, komprehensif dan berjangka panjang.
2. Integrasi, artinya dilaksanakan dengan saling mengaitkan pada semua dimensi sosial,
ekonomi dan lingkungan.
3. Inklusi, artinya dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan serta
memberi manfaat bagi semua terutama yang rentan.
C.3 Relevansi program terhadap isu Gender dan Generasi Masa Depan
Bahwa panduan Sekolah Ramah Anak yang disusun oleh Kemen PPPA tahun 2015,
pun menyebutkan bahwa definisi Sekolah Ramah Anak adalah satuan pendidikan formal,
nonformal, dan informal yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan
hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak dan perlindungan anak
dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya. Serta mendukung partisipasi
anak di satuan pendidikan, terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran,
pengawasan, dan mekanisme pengaduan terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Mendasarkan dari hal diatas, maka peningkatan resiliensi masyarakat terhadap
perubahan iklim sesungguhnya merupakan upaya bersama hari ini untuk mewujudkan
lingkungan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Secara umum program dilaksanakan dalam 3 bagian yaitu: 1. adaptasi terhadap perubahan
ekosistem, 2. mitigasi terhadap dampak perubahan ekosistem dan terakhir, 3. peningkatan resiliensi
masyarakat terhadap perubahan iklim. Bagian pertama, dilakukan dengan cara mendorong masyarakat
desa untuk melakukan kegiatan yang dapat mengatasi permasalahan ekologi terdekat seperti
pengurangan timbulan sampah melalui pengelolaan sampah dengan metode reduce, reuse, recycle (3R),
penghematan energi dan air, penanaman dan pemeliharaan pohon/tanaman, pembuatan lubang
biopori dan sumur resapan serta konservasi energi dan air.
Pada masa perintisan direncanakan dalam waktu 1 tahun program dengan penitikberatan pada
upaya pemenuhan capaian minimum dari pendampingan desa yakni pemenuhan syarat formil dari
Adiwiyata Sekolah tingkat Kabupaten serta sebagian syarat formil dari Kampung Iklim (Proklim).
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program. Pada masa perencanaan, dilakukan kegiatan
koordinasi para pihak dan FGD (Focus Group Discussion). Pada masa pelaksanaan program sebagai
berikut.
D.1 Pendampingan Program Mitigasi dan Adaptasi Program “Kampung Iklim (PROKLIM)” di Desa
Mojodelik
D.2 Pendampingan Program Adiwiyata Tingkat Sekolah Dasar (SD) di Desa Mojodelik
D.3 Kolaborasi Program Mitigasi & Adaptasi Perubahan Iklim serta Gerakan PBLHAS (Peduli &
Berbudaya Lingkungan Hidup di Sekolah)
3. Pembuatan MoU 1. Adanya komitmen 1. Adanaya Dokumen MoU 1. Tim drafting MoU
bersama dan 2. Risalah kegiatan 2. Dokumen FGD
pembagian peran 3. Daftar hadir 3. Akomodasi
dari para pihak 4. Berita acara 4. Tranport
(Desa + Forum 5. Dokumentasi kegiatan 5. Konsumsi
Gandong +
Sekolah)
E. Mitigasi Resiko Program
4. Pihak Sekolah Keberatan dari pihak sekolah • Mendorong pihak Pemerintah Desa
menjalankan program mendukung baik secara komitmen,
kebijakan dan pengalokasian anggaran
dalam program ini.
• Adannya dukungan dalam menyusun
anggaran untuk program lingkungan di
sekolah mengacu sesuai regulasi yang ada.
• Adanya daya dukungan dari mitra
pendamping/tenaga ahli dalam pembagian
peran dan kerja dalam program ekologi di
sekolah.
5. Pihak Swasta Ketiadaan dukungan dari pihak • Menyiapkan desain tahapan program
swasta dalam giat berdasarkan periode tahun program kerja.
kegiatan/program skala multi • Memberikan ruang kegiatan dan sub
years
program yang berpeluang didukung oleh
pihak swasta.
F. Strategi Komunikasi dan Pelibatan Pemangku Kepentingan
Sementara dalam pelaksanaan kegiatan, pendekatan strategi komunikasi SDGs yang digunakan
adalah pendekatan Awareness, Interest, Searching, Action and Sharing (AISAS). Seperti uraian di bawah,
pendekatan komunikasi akan melalui tahap-tahap; membangun kesadaran (awareness), menciptakan minat
(interest), menginisiasi pencarian (search) dalam isu-isu SDGs, menciptakan aksi (action) dan berbagi
(sharing) pengetahuan, pengalaman dan pembelajaran.
1. Awarenes
Publik diajak menyadari terhadap isu-isu lingkungan hidup dan perubahan iklim. Pada tahap ini
publik hanya sekedar tahu terhadap suatu isu, tanpa adanya keinginan untuk tahu lebih dalam
terhadap isu tersebut.
2. Interest
Publik ditingkatkan minatnya untuk mendalami isu tersebut. Peningkatan minat terhadap isu,
memungkinkan dua potensi dari kecenderungan publik. Pertama, publik akhirnya tertarik dan ingin
mencari tau tentang isu tersebut. Kedua, publik kehilangan rasa ketertarikan dan berhenti pada
tingkat menyadari potensi dan masalah dari isu tersebut.
3. Search
Publik mempunyai keinginan secara mandiri untuk mencari informasi dan pengetahuan tentang isu
yang membuat mereka tertarik. Kemajuan teknologi informasi saat ini memungkinkan tahap
search ini ada. Mencari referensi tentang isu sangat mudah saat ini, potensi dan masalah dari
lingkup isu hingga bagaimana perkembangan terakhir dari isu tersebut.
4. Action
Setelah mendapat informasi dan pengetahuan yang cukup, itulah saat dimana publik membuat
sebuah keputusan untuk melakukan respon dan aksi menanggapi isu tersebut.
5. Share
Tahap ini juga merupakan tahap yang merupakan tahap yang muncul seiring dengan
perkembangan teknologi saat ini. Sikap dan tindakan dari publik tidak hanya berhenti pada tataran
aksi. Jika publik menganggap keputusannya ini penting, maka hal tersebut akan mereka salurkan
pada media sosialnya. Jejak-jejak review di media sosial inilah yang akan berputar kembali menjadi
circle awareness yang baru untuk orang lain.