Anda di halaman 1dari 9

JURNAL PENELITIAN FIQIH

SUMBER-SUMBER PENGAMBILAN HUKUM MAZHAB


MALIKI

PENULIS:
HARDI
HAMDAN HAMID
INDRA DWI KURNIAWAN S

PENYUNTING:
USTAZ MUHAMMAD S.H., M.H.

SEKOLAH TINGGI ILMU AGAMA ISLAM DAN BAHASA ARAB (STIBA MAKASSAR)
ABSTRACT

SUMBER-SUMBER PENGAMBILAN BHUKUM MAZHAB MALIKI

Oleh:
Hardi, Hamdan Hamid, Indra Dwi Kurniawan S.

Penelitian ini bertujuan untuk memudahkan para penuntut ilmu syar’i dalam mengetahui
sumber-sumber pengambilan hukum mazhab maliki. Sebagian ulama mengambil hukum dari
mazhab imam malik dalam memutuskan suatu permasalahan. Inilah yang mendorong kami
untuk mengkaji sumber-sumber pengambilan hukum mazhab maliki.

Hasil dari pengkajian masalah ini berdampak positif dalam kalangan santri dan mahasiswa
penuntut ilmu syar’i dalam memahami metode imam malik dalam menetapkan suatu hukum.

Kata Kunci: Imam Malik, Sumber Hukum, Ijtihad.

A. Pendahuluan

Islam merupakan satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah SWT. Nabi muhammad
SAW sebagai utusan terakhir yang membawa rissalah islam sekaligus penutup para nabi dan
rasul, beliau telah menyampaikan perintah dan larangan Allah secara sempurna. Baik itu
berupa ibadah, muamalah, dan lain sebagainya. Namun seiring berjalannya waktu setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW, maka muncul lah ulama-ulama mazhab yang mumpuni,
secara khusus pada permasalahan fiqih. Dan diantara ulama yang mumpuni dan relavan
hingga zaman ini salah satunya adalah imam Malik. Maka dalam pembahasan ini kami ingin
mengkaji sumber-sumber pengambilan hukum dari mazhab maliki, sebagai referensi bagi
para penuntut ilmu syar’i dalam memahami metode imam Malik dalam menentukan suatu
hukum.

B. Biografi Imam Malik

Imam malik merupakan pendiri mazhab maliki. Nama asli beliau adalah Malik bin Anas
bin Malik bin Abi Amir Al-Ashbahi. Ashbah ada;ah salah satu kabilah di yaman, dan
dinisbahkan padanya karena salah satu kakeknya pindah ke Madinah dan menetap disana.
Kakeknya yang tertinggi Abu amir adalah seorang sahabat yang agung dan mengikuti semua
peperangan bersama Nabi kecuali perang Badar. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
imam malik itu seorang tabi’in junior, karena beliau pernah bertemu para sahabat dan beliau
adalah salah seorang dari empat orang yang memanggung jenazah Utsman ketika
dimakamkan. Selain itu kakeknya yang terdekat, Malik bin Abi amir termasuk tabi’in senior
dan merupakan tokoh saat itu yang mendapat gelar Abu Anas (Asy-Syurbasyi, 2001:72).
C. Metode dan Sumber-Sumber Pengambilan Hukum Mazhab Maliki

Imam malik berpedoman pada beberapa sumber, yaitu: al-qur’an, sunnah, ijma’, qiyas,
qoul sohabi, amal ahli madinah, masalih mursala, istishab, syaddudz zariah, dan syar’u man
qoblana.

Al-Qur’an.

Imam malik menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam menetapkan hukum dan
beliau mendahulukannya dari dalil-dalil lain. Beliau mensyaratkan bagi orang yang
menafsirkan al-Qur’an hendaklah seorang yang alaim dalam bahasa arab dan ilmu-ilmu
lainnya. Beliau juga tidak mau menerima cerita IsraIiyat dimasukkan dalam tafsir al-Qur’an.

As-Sunnah.

Beliau Imam Malik menjadikan as-sunnah sebagai sumber hukum yang kedua, karena bagi
Imam Malik sunnah adalah penafsir al-Qur’an dan penjelas baginya. Sesuai susunan
Mutawatir, mahsyur, dan Ahad, lalu susunan nash-nashnya, dzahir-dzahirnya, dan mafhum-
mafhumnya.
Peran sunnah (hadits) sangat penting bagi Imam Malik. Beliau adalah seorang yang sangat
alaim dalam ilmu hadits. Beliau dampai pada tingkatan ini karena sangat tekun dalam
mempelajari ilmu hadits dan brliau sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadits.

Ijma’ dan amal ahlu al-Madinah

‘Aml ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ‘aml ahl Madinah yang asalnya dari al-
naql, hasil dari mencontoh Rasulullah Saw, bukan dari ijtihad ahl Madinah, seperti tentang
ukuran mud, sha’ dan penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi Saw atau tempat
dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat yang tinggi dan lain-lain. ‘Amal
semacam ini yang dijadikan hujjah oleh Imam Malik.

Menurut Ibnu Taimiah, yang dimaksud dengan ‘aml ahl al- Madinah adalah aml ahl
Madinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan dari Nabi Saw, sedangkan
kesepakatan-kesepakatan yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. ‘aml ahl
Madinah yang asalnya dari al-naql, sudah merupakan kesepakatan kaum muslimin sebagai
hujjah. Di kalangan Madzhab Maliki, ‘aml ahl Madinah lebih didahulukan daripada khabar
ahad,1 sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberian oleh jama’ah, sedang khabar ahad
adalah pemberian perorangan.

‘Aml ahl al-Madinah ada beberapa tingkatan:

Kesepakatan ahl Madinah yang asalnya al-Naql


Amalan ahl al-Madinah sebelum terbunuhnya ‘Utsman bin Affan.
‘Amal yang terjadi sebelum masa itu merupakan hujjah bagi Madzhab Maliki. Hal ini
didasarkan bahwa belum pernah diketahui ada amalan ahl Madinah pada masa lalu yang
bertentangan dengan Sunnah Rasulullah.
1
Khabar ahad adalah segala khabar yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang atau lebih, tetapi
tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya masyhur. Membahasakan hadits ini kepada
Rasul berdasar kepada persangkaan semata bukan berdasar keyakinan. Lihat T.M. Hasbi Ash-Syidiqi, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 205.
c. Amalan ahl al-Madinah yang dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang
saling bertentangan. Artinya, ada dua dalil yang satu sama lainnya bertentangan, sedang untuk
mentarjih dari salah satu dari kedua dalil tersebut ada yang merupakan aml ahl al- Madinah,
maka dalil yang diperkuat oleh amal ahl Madinah itulah yang dijadikan hujjah oleh Imam
Malik.

d. Amalan Ahl al-Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi Saw.
Amalan Ahl al-Madinah yang seperti ini, bukan hujjah, baik menurut Imam Syafi’i, Ahmad bin
Hambal, Abu Hanifah maupun ulama’-ulama’ di kalangan Madzhab Malikiah.2

Qaul shahabi

Imam Malik berpegang kepada fatwa-fatwa sahabat (shahabi) karena mereka adalah orang
terdahulu dari golongan orang yang berhijrah ( muhajirin) bersama rasulullah atau dari
golongan penolong ( anshar). Mereka itu orang-orang yang bersahabat dengan rasulullah, orang
yang melihat ajaran-ajaran rasulullah serta mempelajari langsung dari beliau. Qoul shahabi
dijadikan hujjah apabila sanadnya sohih yang keluar dari sahabat terkemuka, dan tidak
menyalhi hadist marfu’ yang baik. Imam al-gazali, dalam kitab al Mustasfa menolak perinsip
ini sebagai hukum, argumennya adalah bahwa para sahabat bukanlah orang-orang yang
mashum (terpelihara dan boleh jadi mereka berbuat kesalahan), maka ucapannya tidak
dijadikan hujjah.

Khobar ahad

Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah
SAW. Jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat
Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali khabar-khabar ahad itu dikuatkan oleh
dalil-dalil yang qath’i. dalam menggunakan khabar ahad ini, imam malik tidak selalu konsisten.
Kadang-kadang ia mendahulukan qias dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak
popular dikalangan masyarakat madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa
khabar ahad tersebut, tidak benar berasal dari Rasulullah saw Saw. Dengan demikian maka
Khabar Ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qias dan
maslahah.3

Qiyas

Metode qiyas dipraktekkan atau digunakan oleh Imam Malik apabila ada nass tertentu,
baik al-Qur’an maupun as-Sunnah yang mendasarinya. Imam Malik sedikit menggunakan
Qiyas, karena beliau lebih mengutamakan penggunaan Amal Ahlu Madinah dan Qaul sahabat
yang di pandang sahih. Qias dalam mazhab Maliki tidak memperoleh kedudukan seperti dalam
mazhab Hanafi, dalam mempergunakan hadis dia tidak mensyaratkan kmasyhuran, hanya
prsesuaan dengan amal ulama madinah4

2
Huzaimah Tahido Yango, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos, 1997), hal.107
3
Huzaimah Tahido Yango, Pengantar…, hal. 109
4
Hasby ash-Siddiqy,Pengantar Ilmu Fiqh, ( Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999) Hal. 133
Istihsan

Istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan Qiyas yang Jalli (nyata)
kepada tuntutan Qiyas yang khofi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum yang
istisna’ (pengecualian) ada yang menyebabkan beliau mencela akalnya dan memenangkan
perpalingan ini.5 Imam Malik dalam berijtihad itu menggunakan istihsan. Imam Malik tidak
menjadikan istihsan sebagai kaidah, tetapi dijadikan sebagai dasar pengecualian dalam kaidah
Ulama Malik menghindari pemakaian qiyas yang berlebihan dengan jalan kembali kepada urf
(adat kebiasan) dan kepada prinsip menolak kepicikan dan menolak kesukaran. Dalam
pendapat Imam Malik kebanyakan itu adalah mengikuti sahabat Umar yaitu lebih
mengedepankan istihsan dari pada qiyas sedangkan qiyas itu adalah pendapat sahabat Ali. 6

Dalam pendapat Imam Malik, istihsan itu berarti melaksanakan sesuatu berdasarkan dalil
yang paling kuat di antara dua dalil yang umum Menurut Madzhab Maliki al-istihsan adalah
“menurut hukum yang mengambil masalah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat
kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal almursal daripada qiyas, sebab
menggunakan qiyas itu tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata,
melainkan mendasarkan pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan. Dari ta’rif tersebut,
jelas bahwa istihsan lebih mementingkan juz’iyyah atau maslalah tertentu dibandingkan
dengan dalil-dalil kully atau dalil yang umum, atau dalam ungkapan lain sering dikatakan
bahwa istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih dilihat dari
tujuan syari’at diturunkan,7 Artinya jika terdapat suatu masalah yang menurut qiyas yang
semestinya diterapkan hukum tertentu, tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata akan
menghilangkan suatu maslahah atau membawa madharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang
demikian itu harus dialihkan ke qiyas yang lain yang tidak akan membawa kepada akibat
negatif.

Mashalih al-Mursalah

Adalah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’, suatu hukum untuk
mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil yang memerintahkan untuk
mengantikannya atau mengabaikannya.8 Imam Malik menggunakan maslahah mursalah
apabila tidak ada nash qur’ani atau hadis an Nabawi, karena syara’ itu tidak dating kecuali
untuk kemaslahatan manusia, setiap maslahah syara’ mengandung kemaslahatan, tanpa ada
keraguan. Apabila tidak ada nash, maka masalah yang hakiki itu memenuhi tahap tujuan
(maqasid) syara’.9

Teori maslahah-mursalah pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik (W. 97 H) pendiri
mazhab Malik. Namun karena pengikutnya yang lebih akhir mengingkari hal tersebut, maka
setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahah-mursalah
kepada Imam Malik,10 sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yangmenyatakan bahwa

5
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,( Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hal. 110.
6
Yusuf al Qardhawi, Fiqh Praktis Bagi Kehidupan Modern,( Jakarta: Gema Insani, 2002), hal. 71-72
7
Abd al-Wahab Khallaf... , hal. 104
8
Abdul Wahhab Khalaf,…, hal. 116
9
Teungku Muhammad Hasbi Asy Siddieqy…, hal. 222
10
Wael B. Hallag, (2000), A History of Islamic Legal Theories, Terj. E.Kusnadiningrat, (Jakarta:Rajawali Press),
hal. 165-166
teori maslahah-mursalah ditemukan dan dipopulerkan oleh ulama-ulama usul fiqih dari
kalangan asy-Syafi’iyah yaitu Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H.), guru Imam al-
Ghazali. Dan menurut beberapa hasil penelitian, ahli usul fiqih yang paling banyak membahas
dan mengkaji maslahah-mursalah adalah Imam al-Ghazali yang dikenal dengan sebutan
hujjatul Islam.11

Sad al-Dzara’i

Dzara’i secara lughah bermakna wasilah dan makna saddud dzari’ah adalah menyumbat
wasilah.12 Dasar istinbath yang banyak dipakai Imam Malik, banyak dijumpai masalah
furu’iyyah yang dinukil darinya yaitu sarana yang membawa pada hal-hal yang diharamkan,
maka akan menjadi haram pula, sarana yang menyampaikan pada yang halal maka hukumnya
adalah halal sesuai dengan tuntutan kehalalannya, begitu pula yang membawa kemaslahatan
adalah haram.13

Istishab

Imam Malik menjadikan istishab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishab
adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang,
berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah
diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya
tersebut, hukumnya tetap seperti hukum yang pertama. Yaitu tetap ada, begitu pula sebaliknya.
Misalnya orang yang yakin telah berwudlu’ dan dikuatkan lagi, bahwa ia baru saja
menyelesaikan salat shubuh, kemudian datang keraguan kepada orang tersebut tentang sudah
batal atau belum batal wudhu’nya, maka hukum yang dimiliki oleh orang tersebut adalah belum
batal wudhu’nya. Sebaliknya apabila ada seorang yang belum berwudhu’ dan dikuatkan pula
bahwa ia belum melakukan suatu salat apapun, dan dia baru hendak mengerjakan salat,
kemudian dating keraguan tentang sudah berwudhu’ atau belum, maka hukum yang dimiliki
orang tersebut adalah, bahwa dia belum berwudhu. Inilah yang disebut istishab.14

Syar’u man qablana

Makna syar’u man qablana merupakan syariat yang dibawa oleh Rasul terdahulu sebelum
Nabi Muhammad atau bisa dikatakan suatu syariat yang menjadi ketentuan suatu kaum
sebelum datangnya syariat Islam. Secara prinsip, syariat tersebut sama dengan syariat yang
dibawa oleh Nabi Muhammad, yaitu tegaknya agama dan agar tidak berpecah belah. (QS Asy
Syuara 42:13)

‫س ٰٰۖٓى أ َ ۡن أَقِّي ُمواْ ٱلدِّينَ َو ََل‬َ ‫س ٰى َوعِّي‬ َ ‫ِّيم َو ُمو‬ َّ ‫ص ٰى ِّب ِّۦه نُوحٗ ا َوٱ َّلذِّي أ َ ۡو َح ۡينَا ِّإ َل ۡيكَ َو َما َو‬
َ ‫ص ۡينَا ِّب ِّۦه ِّإ ۡب ٰ َره‬ ِّ ‫ع لَكُم ِّمنَ ٱلد‬
َّ ‫ِّين َما َو‬ َ ‫ش ََر‬
ۡ ۡ
ُ‫علَى ٱل ُمش ِّركِّينَ َما ت َۡدعُوه ُۡم إِّلَ ۡي ِۚ ِّه ٱ َّّللُ يَ ۡجتَبِّي إِّلَ ۡي ِّه َمن يَشَا ُء َويَهۡ دِّي إِّلَ ۡي ِّه َمن يُنِّيب‬ ْ ُ
َ ‫} تَتَف ََّرقوا فِّي ِۚ ِّه َكب َُر‬

“Dia (Allah) telah mensyariatkan padamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah
Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan
ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang

11
Penulis sendiri cenderung dengan pendapat pertama yang menyatakan teori maslahah-mursalah pertama
kali diperkenalkan oleh Imam Malik dan menjadi popoler di tangan Imam al-Ghazali
12
Teungku Muhammad Hasbi Asy Siddieqy…, hal. 277.
13
Teungku Muhammad Hasbi…, hal. 229-230
14
Huzaimah Tahido Yango, Pengantar…, hal. 112
musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang
yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi
orang yang kembali (kepada-Nya)”

Menurut sebagian ulama malikiah dan mayoritas para ulama mengatakan bahwa hukum-
hukum itu menjadi syariat kita yang wajib kita ikuti dan kita terapkan selama telah diceritakan
kepada kita dan dalam syariat kita tidak ada dalil yang menggantikannya.

D. Murid-murid imam Malik yang menyebarkan madzhabnya

Beberapa murid Imam Malik yang berjasa dalam menyebarkan Madzhab Maliki adalah:
pertama, Abdurrahman bin al-Qasim al-Misri al-Faqih al-Maliki yang berguru kepada Imam
Malik selama 20 tahun hingga matang dalam fiqihnya dan ia tidak mencampur adukkan ilmu
Malik dengan ilmu yang lainnya. Ia meriwayatkan hadits dari Imam Malik dan belajar fiqih
darinya. Sedangkan yang meriwayatkan hadits dan fiqih darinya adalah Ashbagh bin al-Faraj
dan Muhammad bin Salamah al-Muradiy. Ulama telah mengakui kesiqahannya. Imam Malik
berkata, “Ia seperti kendi yang dipenuhi dengan minyak kasturi.” Dalam hal ini an-Nasa‟i juga
pernah berkata, “Ia terpercaya (tsiqah) lagi menentramkan.” Yahya guru para hakim di Andalus
menyatakan bahwa beliau adalah orang yang paling mengetahui tentang fiqih Imam Malik dan
dialah yang membuat tentram manusia.
Ibnu al-Qasim sebenarnya telah mencapai tingkatan mujtahid mutlak, namun karena rasa
ta‟dzimnya, ia tetap bergabung dengan Madzhab Maliki. Ia banyak mengeluarkan fatwa hingga
Asad bin Furat dari sahabat-sahabat Abu Hanifah di Irak, memfatwakan hal tersebut ke negeri
Maghrib dengan membawa fatwa-fatwa tersebut. Kemudian fatwa tersebut dikembangkan di
sana, kemudian diambil oleh Sahnun alMaghribi al-Maliki, lalu Sahnun diutus ke Mesir dan
menuturkan fatwa tersebut di hadapan Ibnu al-Qasim, maka Ibnu al-Qasim memperhatikannya
dan membenarkannya. Masalah-masalah tersebut disusun berdasarkan susunan fiqih dan
dibukukan. Masalah-masalah tersebut menjadi terkenal di antara kitab-kitab madzhab Maliki
dengan nama alMudawwanah. Ibnu al-Qasim dikenal dari sisi keilmuannya, takwa, wara dan
zuhud sehingga ia tidak mau menerima hadiah dari Sultan, dan beliau wafat di Mesir pada
tahun 191 H.

E. Kesimpulan

Ada beberapa pokok pikiran dalam madzhab Maliki, di antaranya adalah bahwa
amal/perbuatan Penduduk Madinah dijadikan sebagai hujjah bagi Imam Maliki dan
didahulukan daripada Qiyas dan Khabar Ahad, karena menurutnya Amal Penduduk Madinah
itu lebih kuat daripada keduanya karena perbuatan mereka berkedudukan sebagai riwayat
mereka dari Rasulullah dan riwayat jama‟ah dari jama‟ah itu lebih utama didahulukan daripada
riwayat individu dari individu.
Imam Malik mendahulukan beramal dengan Mashalih Al-Mursalah yaitu kemaslahatan-
kemaslahatan yang tidak diperlihatkan oleh syara‟ kebatalannya dan tidak pula disebutkan oleh
nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan maksud syara‟ yang keadaan maksudnya
dapat diketahui dengan al-Qur‟an, Sunnah, Ijma dan tidak diperselisihkan mengikutinya
kecuali ketika terjadi pertentangan dengan maslahat lain. Contoh: Imam Malik berpendapat
membolehkan memukul orang disangka pencuri agar mengakuinya dan oleh ulama yang
lainnya berselisih dengannya, karena kemaslahatan ini bertentangan dengan kemaslahatan lain,
yaitu kemaslahatan orang yang dipukul. Karena barangkali ia benar-benar tidak mencuri, dan
tidak memukul orang yang berdosa lebih ringan dosanya daripada memukul orang yang tidak
bersalah. Meskipun bila benar adanya maka terbukalah kesulitan penyerahan harta, namun
dalam memukul juga pintu penyiksaan orang yang tidak bersalah.
Qaul sahabi apabila shahih sanadnya, keluar dari sahabat terkemuka, dan tidak menyalahi
hadits marfu‟ yang baik dijadikan hujjah, sedang hujjah menurutnya mesti didahulukan
daripada Qiyas. Imam Al-Ghazali benar-benar menolak prinsip ini dalam kitab Al-Mustashfa–
sebagai argumennya bahwa para sahabat bukanlah orang-orang yang ma‟shum (terpelihara dan
boleh jadi mereka berbuat kesalahan), maka ucapannya tidak dapat dijadikan hujjah.
Berkenaan dengan masalah Sunnah, Imam Malik tidak mensyaratkan dalam menerima
hadits syaratnya harus masyhur dalam masalah umum al-balwa sebagaimana disyaratkan
madzhab Hanafi. Ia tidak menolak hadits Ahad karena berselisihan dengan Qiyas atau karena
bertentangan dengan perbuatan perawinya, tidak mendahulukan Qiyas daripada hadits Ahad
dan digunakan Mursal. Dalam hadits Ahad disyaratkan tidak berselisih dengan Amal/perbuatan
penduduk Madinah dan sandaran Imam Malik dalam hadits adalah apa yang diriwayatkan para
ulama Hijaz. Beliau berpendapat menggunakan Istihsan dalam berbagai masalah, seperti
jaminan pekerja, menolong pemilik dapur roti dan mesin giling, bayaran kamar mandi bagi
semua orang itu sama dan pelaksanaan Qisas harus menghadirkan beberapa orang saksi dan
sumpah; hanya saja Malik tidak meluaskan dalam pendapatnya tidak seperti madzhab Hanafi.
DAFTAR PUSTAKA

Ridwan, Muhammad. "Menilik Rahasia Belajar Imam Madzhab." Misykah: Jurnal Pemikiran
dan Studi Islam 1.2 (2017): 202-227.

Adiah, Halimatus, and Muhammad Sibawaih. "Metode Ijtihad Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik." Jurnal Cerdas Hukum 1.1 (2022): 89-99.

Al Amin, Habibi, Masrokhin Masrokhin, and Khoirul Anwar. "Guardians Concept in Qur'an
Perspective." Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam 6.1 (2021): 95-
114.

Wahyudi, Ilham. Empat Imam Mazhab yang Mempengaruhi Dunia: Kisah Hidup Inspiratif
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
LAKSANA.

Saputra, Askar. "Metode Ijtihad Imam Hanafi Dan Imam Malik." Jurnal Syariah Hukum
Islam 1.1 (2018): 16-37.

Qorib, Ahmad, and Isnaini Harahap. "Penerapan Maslahah Mursalah Dalam Ekonomi
Islam." Journal Analytica Islamica 5.1 (2016): 55-80.

Saputra, Askar. "Metode Ijtihad Imam Hanafi Dan Imam Malik." Jurnal Syariah Hukum
Islam 1.1 (2018): 16-37.

Sodiqin, Ali. "FIQH, DAN USHUL FIQH Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di
Indonesia." (2012).

Niza, Nur Azizah. ANALISIS SADD AL-DZARI’AH TERHADAP PROBLEMATIKA AKIBAT


PERCERAIAN YANG DILAKUKAN DI LUAR PROSEDUR PENGADILAN (Studi
Kasus di Kampung Banjarsari Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan). Diss.
UIN RADEN INTAN LAMPUNG, 2022.

Saputra, Askar. "Metode Ijtihad Imam Hanafi Dan Imam Malik." Jurnal Syariah Hukum
Islam 1.1 (2018): 16-37.

Adiah, Halimatus, and Muhammad Sibawaih. "Metode Ijtihad Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik." Jurnal Cerdas Hukum 1.1 (2022): 89-99.

Kasdi, Abdurrohman. "Menyelami Fiqih Madzhab Maliki (Karakteristik Pemikiran Imam


Maliki dalam Memadukan Hadits dan Fiqih)." YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum
dan Hukum Islam 8.2 (2018): 315-329.

Anda mungkin juga menyukai