Anda di halaman 1dari 6

“Lin, aku pinjam pulpenmu yang ini ya?

“Eh, anu, itu... iya silakan.”

Elin termenung di depan meja belajarnya. Malam itu ia tidak belajar. Sesuatu sedang mengganggu
pikirannya. Sesuatu yang mengawali kegalauannya sejak kemarin. Gadis manis itu menatapi wadah
alat tulisnya. Netra coklat mudanya memantulkan bayangan beberapa pulpen yang memang Elin
letakkan di sana.

Dulu, di wadah alat tulis itu ada sebuah pena bertinta hitam dilapisi badan berwarna merah muda
yang cantik. Sekarang pena itu hilang, hanya ada pena pena berbadan hitam yang membuat tempat
alat tulis Elin tampak monoton. Di situlah kegalauan Elin terletak.

Pena merah muda pemberian sahabatnya hilang.

Kemarin saat di sekolah, pena cantik yang selalu ada di tempat alat tulisnya itu di ambil oleh seorang
teman yang katanya tidak membawa alat tulis. Sebenarnya, Elin rela saja kalau ada temannya yang
meminjam pulpen. Meski pulpen itu hilang sekalipun, Elin jarang menghiraukannya tapi berbeda
dengan pulpen yang satu itu. Pulpen merah muda itu adalah tanda persahabatan miliknya.

Elin menghela napas. “Duh, gimana ya kalau Yuka nanyain pulpen itu? Bodoh banget sih, kenapa aku
bawa pulpennya ke sekolah?” gumam Elin. Ia sibuk menyalahkan dirinya sendiri.

“Udah jelas kalau pulpen dipinjam itu peluang baliknya Cuma sekecil- ah, bahkan 1% aja nggak
mungkin,” lanjutnya sambil menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Saking galaunya hati, Elin sampai
tidak merasakan sakit pada dahinya yang memerah akibat terlalu keras membentur permukaan
meja.

“Kenapa kamu, Dek? Matematikanya dapet telur lagi?” tanya Kasih yang kebetulan sedang lewat di
depan kamar Elin yang pintunya terbuka. Tadinya, Kasih hendak jalan jalan mengitari rumah karena
kurang kerjaan. Namun, melihat adiknya yang bertingkah aneh, dengan membanting kepalanya ke
meja, Kasih jadi penasaran dan mampir ke kamar Elin.

“Aku lagi merenungi kebodohanku, Mbak,” jawab Elin tanpa mengangkat kepalanya.

Kasih melompat ke atas kasur Elin dan mengacak acak kain seprai. “Tumben sadar diri,” katanya
sambil mengganti posisi tidur menghadap punggung adiknya.
“Kenapa ya orang kalau pinjam barang pasti ambilnya yang paling bagus?” tanya Elin. Meski
terdengar seperti monolog tapi Elin ingin mendengar suara kakaknya menanggapi.

Kasih menatap langit langit kamar, ia berpikir keras. “Masa iya sih? Barangmu ada yang hilang ya abis
dipinjam orang?” tanya Kasih tanpa menjawab pertanyaan Elin.

Barulah Elin mengangkat kepalanya dari meja dan memutar kursinya 180 derajat menghadap
kakaknya. Biasanya Elin akan mengamuk melihat kain seprainya diacak acak oleh Kasih tapi kali ini
gadis itu abai. Ia merasa Kasih bisa membantu mengurangi kegalauannya, maka dari itu ia tidak
boleh marah marah dengan kakaknya.

“Keren, kok tau?”

“Iyalah, aku kan-“

“Jadi gini, Mbak. Aku itu punya barang tanda persahabatan sama Yuka. Barangnya itu emang
menarik banget buat dipegang pegang. Kemarin dipinjam sama temenku di sekolah abis itu katanya
hilang. Aku nggak enak lah sama Yuka.”

“Kamu punya temen tah?”

“Ayo kita baku hantam, Mbak!”

“Itu bukan salahmu, Dek. Yang bikin hilang kan bukan kamu. Yuka pasti ngerti lah.”

“Tetap aja. Kalau tanda persahabatan sampai hilang berarti aku nggak menghargai hubungan
dekatku sama Yuka. Aku jahat banget kalau anggap enteng seolah yang hilang itu Cuma benda
biasa.”

“Ck, kamu itu banyak mikirin hal yang gak penting. Daripada mikirin benda entah apa itu, mending
kamu belajar biar Ayah nggak ngamuk melulu pas lihat nilai matematikamu.”

“Apa sih? Nilai rapotku banyak A-nya kok. Matematika masih ketutupan.”
“Parah. Mata pelajaran wajib dapat C, kok nyantai gitu? Belajarlah! Matematika ilmu yang
menyenangkan.”

“Hoax.”

Kasih tertawa melihat wajah masam adiknya. Elin menggerutu dan kembali memutar kursinya
menghadap meja. Berkali kali gadis itu menghela napas di tengah lamunannya. Rasa gelisah
menyelimuti hatinya. Ia membayangkan bagaimana sahabatnya, Yuka, akan bereaksi terhadap
kejadian hilangnya harta karun persahabatan mereka. Elin semakin resah ketika membayangkan
Yuka tiba tiba muncul dengan sahabat baru yang lebih bisa menghargai barang pemberian orang
lain.

Teman memang gampang dicari tapi beda halnya dengan sahabat. Sejauh ini, hanya ada Yuka yang
begitu paham dan menerima Elin apa adanya. Yuka selalu ikut bahagia saat Elin mendapat peringkat
di atas Yuka. Yuka juga selalu ikut sedih ketika Elin berduka. Yuka tidak pernah menampakkan rasa
keberatan ketika Elin curhat mengenai masalah hidupnya, bahkan ketika Elin curhat di hari Yuka
berulang tahun, Yuka tetap mendengarkan dan ikut sedih saat itu juga.

Elin jadi berpikir bahwa ia telah begitu banyak merepotkan Yuka. Elin selalu membicarakan hal hal
yang tidak penting tapi Yuka selalu di sana mendengarkannya mengoceh. Yuka sangat baik padanya.
Elin jadi merasa sangat jahat ketika mengingat pulpen kembar mereka telah hilang.

“Kalau Mbak jadi aku, Mbak bakal ngapain?”

“Belajar matematika.”

“Ih, yang bener jawabnya!”

“Lha, bener ini. Aku malu lah jadi kamu. Bunda pintar matematika, Ayah juga matematikanya bagus
tapi kamu malah Cuma dapat C?”

“Yaampun, ngaca dong. Ijazah Mbak itu matematikanya mepet kriteria ketuntasan semua.”

“Kamu kan nanya kalau aku jadi kamu bakal gimana. Beda lagi jawabannya kalau kamu nanya aku
jadi aku bakal gimana. Jawabannya ya aku bakal gini.”
“Gini gimana?”

“Menikmati hidup tanpa terikat nilai.”

Elin mengedipkan mata lalu memasang wajah datar, menggambarkan seberapa besar rasa kesalnya
dengan sang Kakak yang tidak pernah serius ketika diajak membicarakan suatu konflik. Elin berusaha
menjaga lisannya tetap suci meski di dalam batin ia sibuk mengumpat.

“Terus terang aja sih. Kalau Yuka emang murni mau temenan sama kamu, dia nggak bakal
mempermasalahkan benda itu. Apalagi kalau kamu bikin suatu hadiah buat ganti benda tanda
persahabatan kalian yang udah hilang itu. Misalnya, kembaran gelang atau kalung. Dulu waktu aku
seumuranmu, biasanya suka janjian sama temen mau pakai pita rambut yang warnanya sama.”

Elin menepuk tangannya sesaat setelah mendengar ide kakaknya. “Bener banget! Kalau aku bikin
sendiri pasti bakal berkesan buat Yuka. Oke, sekarang aku harus beli manik manik!” kata Elin dengan
penuh semangat.

Seharian itu, Elin menghabiskan waktunya untuk membuat roncean sepasang gelang yang cantik
dengan inisial namanya dan Yuka. Kasih ikut membantu Elin dengan menendang wadah manik manik
hingga semuanya menggelinding menyebar ke sana dan ke mari. Dan akhirnya, setelah mengalami
berbagai macam perseteruan dan sakit mata karena terlalu fokus memasukkan senar ke lubang
manik manik, sepasang gelang berwarna kuning dan merah jambu itu sudah jadi.

Meski gelang semacam ini sangat kekanak-kanakan untuk dipakai gadis seumurannya, Elin tidak
peduli. Ia sudah membuatnya dengan penuh perjuangan dan rasa sayang.

Esoknya, Elin sudah siap dengan segala macam hal yang bakal ia lakukan saat bertemu Yuka. Gadis
itu berniat akan basa basi lalu segera minta maaf dan menyerahkan hadiah yang telah ia buat. Yuka
akan menerimanya dengan senang hati, Elin yakin sekali dengan itu.

“Hello! Ngapain kamu bengong begitu di depan kelas?” Tiba tiba saja seseorang menepuk pundak
kiri Elin.

Elin tersentak kaget. Ketika ia berbalik, rupanya orang itu adalah targetnya hari ini, Yuka. Elin
menarik napas dan mempersiapkan kalimat maaf yang menurutnya sudah paling bagus, tulus, dan
mudah diterima.
“Apa kabar, Ka?”

“Apa? Kamu yang apa kabar? Kenapa akhir akhir ini suka ngilang kalau aku datangi?”

“Eh, itu....” Elin menghela napas, gugup. “Pulpen kita hilang. Aku nggak enak sama kamu. Jadi, ini!”
Elin menyodorkan sebuah kotak kecil yang isinya sudah ditata sedemikian rupa oleh Elin agar terlihat
cantik.

Yuka menatap kotak itu dengan wajah kaget. “Pulpen yang aku kasih itu ya?” tanyanya. Sesaat
setelah Elin mengangguk, Yuka mengambil sesuatu dari saku roknya.

Itu pena Elin yang hilang!

“Ini, dari kemarin aku mau kasih ini ke kamu tapi kamu ngilang terus tiap ada aku.”

“Kok bisa?” Elin mengambil pulpen itu dan mengamatinya dengan teliti. Iya, itu memang benar
pulpennya yang hilang setelah dipinjam teman kemarin.

“Waktu nyapu kelas, aku nemu itu di kolong podium. Kukira itu punyaku tapi ternyata itu punyamu
karena ada namamu di pipa tintanya. Btw, terimakasih hadiahnya, apa ini?”

“Gelang buat gantiin pulpennya. Aku kira kamu bakal marah kalau tahu pulpen yang kamu kasih ke
aku hilang.”

“Aduh, aduh, kamu jangan gak enakan gitu. Nanti gampang dimanfaatin orang, tau? Itu kan Cuma
pulpen, kalau tintanya habis juga nggak guna. Oh my god, ini cantik banget. Kamu bikin sendiri?”

“Tahu darimana aku bikin sendiri?”

“Urutan warna manik maniknya acak. Cuma kamu yang suka warna warna nyentrik dijadiin satu
begini.”
“Lain kali kalau ada apa apa, kasih tau dong! Jangan langsung tiba tiba menjauh kayak kemarin. Aku
kan bingung.”

“Hehe iya. Maaf. Aku kan nggak enak udah ngilangin barang pemberian orang, kayak nggak
menghargai aja.”

Yuka tertawa kecil lalu merangkul Elin dengan akrab. Mereka berjalan berdampingan melalui koridor
menuju kelas mereka. Beberapa kali Yuka melempar candaan yang garing tapi Elin tetap tertawa
seolah Yuka adalah komedian yang hebat.

Hati Elin lega, kegalauannya telah sirna dibawa pergi suara tawa yang mengudara.

Anda mungkin juga menyukai