Anda di halaman 1dari 14

Asal usul desa ujungsemi

Asal Usul Ki dan Nyi Patih Semi Dan desa ujung semi
Ujungsemi adalah sebuah nama Desa yang diambil dari nama orang yang bebabak atau
membangun desa. Orang yang membangun Desa Ujungsemi adalah Nyi Mas Ratu Tunjung
Semirah ( Nama yang diberikan oleh Mbah Kuwu Cirebon ) yang nama aslinya Nyi Zainatul
Khafsah, beliau adalah istri dari seorang Patih Kerajaan Islam Cirebon yang kemudian
memakai nama belakang istrinya yaitu Ki Patih Semi. Nama asli Patih kerajaan Islam Cirebon
itu sendiri adalah Syarif Thoyib / Syekh Jamalullah / Syekh Abdus Salam. Ki Patih Semi dan
Nyi Patih Semi adalah pasangan suami istri yang berasal dari Bani Israil.
Konon ceritanya setelah Syarif Hidayatullah Putra Nyi Mas Rara Santang yang berganti nama
Syarifah Mudaim hasil perkawinanya dengan mendiang Sultan Hut dari Bani Israil. Atas izin
Ibundanya, Syarif Hidayatullah pergi ke Pulau Jawa untuk membantu Uwaknya Ki
Somadullah / Pangeran Walang Sungsang / Mbah Kuwu Cirebon untuk menyiarkan agama
Islam di Pulau Jawa.

Setelah kepergian Syarif Hidayatullah, Nyi Syarifah Mudaim merasa tidak tega dan khawatir,
kemudian sang ibu memerintahkan sanak keluarganya untuk mencari jejak Syarif
Hidayatullah, diantara sanak keluarga tersebut ikut serta Ki Patih Semi dan istrinya.
Keberangkatan Keluarga dari Bani Israil dengan menaiki perahu melalui lautan, akan tetapi
Ki Patih Semi melalui dirgantara dengan menaiki sorban sedangkan Nyi Patih Semi melalui
lautan dengan menaiki kerudungnya sebagai perahu.
Ketika Syekh Jamalullah ( Ki Patih Semi ) dengan istrinya sampai di tanah jawa, Syarif
Hidayatullah telah diangkat dan dinobatkan menjadi Sultan di Kerajaan Islam Cirebon
dengan gelar Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati merasa senang atas kehadiran sepasang suami istri yang telah dikenalya
di tanah Bani Israil sebagai satria yang sakti mandraguna.

 Ki Patih Semi Mendapat Tugas Membantu Kerajaan Demak.

Pada suatu hari setelah Syekh Jamalullah beserta istri menetap di Keraton Cirebon, di
Keraton Cirebon kedatangan utusan dari kerajaan Demak yang maksudnya meminta
bantuan kepada Sunan Gunung Jati sehubungan kerajaan Demak sedang dilanda kekacauan.
Pengacau di Kerajaan Demak mengaku bernama Sunda Lelanang yang datangnya dari
hamparan gunung Pajajaran. Sunda Lelanang menginginkan Putri Sultan Demak yang
bernama Nyi Ratu Mas Nyawa,tetapi Putri Sultan Demak menolaknya sehingga Sunda
Lelanang membuat keributan dan kekacauan di daerah Kesultanan Demak. Para Ksatria
Demak sendiri belum bisa membekuknya, sehingga meminta bantuan kepada Sultan
Cirebon.
Syekh Jamalullah dan beberapa Gegeden Cirebon yang mendapat perintah dari Sultan
Cirebon untuk menangkap Pengacau Sunda Lelanang segera pergi ke Demak dan di terima
baik oleh Sultan Demak.
Selanjutnya Syekh Jamalullah berperang tanding melawan Sunda Lelanang, mereka adu
kesaktian di darat, di laut dan di udara. Dalam adu tanding tersebut keduanya sangat sakti
dan tidak terkalahkan.
Tetapi akhirnya perang tanding yang memakan waktu lama dan masing-masing
mengeluarkan ilmu kedigjayaan dan kesaktian, Sunda Lelanang dapat di lumpuhkan oleh
Syekh Jamalullah dan diseret ke Keraton Demak.

 Ki Patih Semi Ikut Menyerang Portugis di Sunda Kelapa.

Pada Tahun 1521 Masehi, saat itu Kerajaan Islam Demak sedang dirongrong oleh penjajah
Portugis yang berkedudukan di Malaka, Portugis telah mengadakan persahabatan dengan
Kerajaan Hindu Blambangan yang berada di sebelah timur Kerajaan Islam Demak, Portugis
juga mengadakan persahabatan dengan kerajaan Hindu Pajajaran disebelah Barat Kerajaan
Islam Demak dan Cirebon.
Portugis akan membuat benteng di wilayah timur yang berpusat di Pasuruan atas izin Raja
Hindu Blambangan, dan akan membuat benteng di wilayah barat yang berkedudukan di
Sunda Kelapa atas izin dari Raja Hindu Pajajaran. Rencana Portugis setelah berdirinya kedua
benteng pertahanan tersebut akan mengadakan penyerangan kewilayah Kesultanan Demak
dari arah timur dan kesultanan Cirebon dari arah barat.
Mendengar rencana Portugis yang sudah matang itu, Sultan Trenggono dari Kesultanan
Demak tidak tinggal diam, beliau menyiapkan pasukan besar yang akan dikirim kedua arah
tersebut. Pengiriman Pasukan ke arah timur (Pasuruan) akan dipimpin oleh Sultan
Trenggono sendiri, sedangkan pengiriman pasukan ke arah barat (Sunda Kelapa) akan
dipimpin oleh Panglima Muda yang sangat alim yaitu Fadhillah Khan yang diberi nama
Fatahillah. Beliau adalah menantu adik ipar Sultan Trenggono keturunan asal Negeri Aceh
yang masih ada hubungan keluarga dengan Syarif Hidayatullah Sultan Cirebon dari jalur
nenek yaitu Nyai Subang Keranjang, Ibu dari Pangeran Walang Sungsang dan Nyi Mas
Rarasantang (Syarifah Mudaim).
Pada tahun 1523 Masehi, Pasukan Perang yang dipimpin oleh Panglima Fatahillah berangkat
meninggalkan Istana Demak menuju Sunda Kelapa, kepergiannya dilepas oleh Sultan
Trenggono dan doa seluruh rakyat Demak dengan harapan agar Fatahillah dalam tugasnya
yang sangat berat itu dapat selamat dengan hasil kemenangan yang gilang gemilang.
Panglima Fatahillah berangkat ke arah barat melalui laut Jawa. Setelah sampai di pantai
Cirebon, Pasukan Fatahillah singgah di Keraton Cirebon menemui Sultan Cirebon Syarif
Hidayatullah untuk menyampaikan maksud dan tujuan serta tugas yang dibebankan oleh
Sultan Trenggono terhadap dirinya Tugas pertama yaitu menyergap dan menyerang Pasukan
Portugis yang akan mendarat di Pelabuhan sunda Kelapa dan tugas kedua untuk
mengislamkan kerajaan Pajajaran yaitu kerajaan kakek Sultan Cirebon (Keluarga Prabu
Siliwangi).
Mendengar tugas yang sangat berat dan mulia yang diberikan Sultan Demak kepada
Fatahillah/Fadhillah Khan yang masih ada hubungan darah dengan Sunan Cirebon, Sunan
Cirebon merasa bangga dan terharu kemudian beliau berdoa memohon kepada Allah yang
Maha kuasa agar saudaranya dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya selamat dan
mencapai hasil yang memuaskan, Sunan Cirebon juga memberikan nasihat dan wejangan
agar selalu waspada dan berhati-hati dan agar meminta bantuan kepada rakyat pribumi di
Sunda Kelapa dan Banten.
Setelah Fatahillah beserta pasukannya menerima nasehat dan bekal-bekal yang penuh dari
Kanjeng Sunan Cirebon, Fatahillah beserta pasukannya melanjutkan perjalanan dan tidak
ketinggalan ikut pula pasukan sukarelawan dari Cirebon yang telah mendapat izin dan restu
dari Kanjeng Sunan Cirebon. Pasukan Sukarelawan dari Cirebon dipimpin oleh Pangeran
Cirebon dan di antaranya turut serta Syekh Jamalullah.
Kemudian mereka berangkat ke Sunda Kelapa menuju benteng Portugis, pada saat itu Sunda
Kelapa masih merupakan pelabuhan kecil yang biasa disinggahi oleh perahu-perahu
penangkap ikan dan sebagai penghubung antar pulau.

 Ki Patih Semi adalah Komandan Pasukan Penyerang Garis Depan

Kedatangan Pasukan Fatahillah di Sunda Kelapa tepat pada saat yang menguntungkan,
karena setelah beberapa hari pasukan Fatahillah berada di Sunda Kelapa hujan turun sangat
lebat dan tidak ada henti-hentinya siang dan malam, angin taupan dan gelombang di lautan
mengebu-gebu sehingga merugikan armada Portugis yang sudah merencanakan bahwa
mereka akan lebih dulu mendarat di Sunda Kelapa daripada pasukan Fatahillah, kini armada
Portugis berhenti ditengah lautan.
Suasana yang tepat itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Fatahillah yang telah lebih
dulu mendarat untuk menyusun kekuatan mengadakan hubungan baik dengan penduduk
pribumi Sunda Kelapa dan Rakyat Banten, dan juga siap mengadakan latihan-latihan serta
mengatur siasat penyerangan dan lain sebagainya.
Dalam pengaturan Strategi penyerangan prajurit dibagi beberapa kelompok untuk
pengaturan komando yang tepat pada sasaran, setiap kelompok pasukan dipimpin oleh
seorang komandan yang gagah berani, berwibawa dan bertanggung jawab terhadap
pasukannya, diantara sekian banyak komandan pasukan, Ki Patih Semi (Syekh Jamalullah)
ditugaskan sebagai komandan pasukan yang bertugas menyerang pada garis depan.
Setelah beberapa minggu berselang, hujan mulai reda, gelombang dan taupan mulai
berkurang, armada-armada Portugis mulai melaju menuju pantai selat Sunda Kelapa. Tapi
karena pada siang hari air laut surut, sehingga kapal-kapal Portugis tidak dapat masuk ke
Bandar pelabuhan dan pasukan portugis menunggu sampai air laut pasang pada malam hari.
Kesempatan yang baik bagi pasukan Fatahillah yang sudah faham tentang situasi medan
pertempuran di Pelabuhan Sunda Kelapa ini. Setelah matahari terbenam di ufuk barat,
pasukan Syekh Jamalullah yang bertugas menyerang di garis depan mulai siap meluncur
ketengah lautan dengan memakai perahu-perahu penangkap ikan, mereka menyamar
sebagai nelayan.
Kemudian Ki Patih Semi (Syekh Jamalullah) mendatangi kapal-kapal Portugis, dengan alasan
meminta pertolongan mereka berpura-pura sebagai nelayan yang tersesat. Setelah Pasukan
Ki Patih Semi naik ke kapal Portugis, Ki Patih Semi mengatur siasat dengan sandi-sandi
tertentu dan mereka baru boleh bergerak setelah ada komando dari Panglima Fatahillah
yang berada di darat.
Setelah diperkirakan oleh Fatahillah bahwa pasukan Ki Patih Semi telah masuk ke dalam
kapal portugis dalam keadaan aman, karena tidak ada tanda-tanda negatif, maka Panglima
Perang Fatahillah memerintahkan beberapa pasukan supaya turun ke laut dengan memakai
perahu-perahu untuk mengadakan pancingan-pancingan, disamping itu di setiap tepi pantai
dijaga oleh pasukan Fatahillah yang dibantu oleh penduduk pribumi.

 Ki Patih Semi Membakar Kapal Portugis

Malam telah larut, air laut mulai pasang dan suasana terasa sepi seolah-olah tidak akan
terjadi sesuatu, semilir angin laut membuat mereka terlena di tempat tidur masing-masing.
Di laut hanyalah terdengar suara deru mesin kapal, seorang komandan pasukan Portugis
memberikan aba-aba peringatan pada anak buahnya bahwa mereka sebentar lagi akan
mendarat, setelah memberikan aba-aba komandan Portugis itu diajak berbincang-bincang
oleh Ki Patih Semi.
Komandan Portugis merasa senang dengan obrolan yang disampaikan oleh Ki Patih Semi
dengan diselingi obrolan yang berisi humor-humor yang membuat Komandan Portugis itu
tertawa terpingkal-pingkal, diantara isi obrolannya ialah tentang keindahan tanah jawa,
penghasilan rempah-rempah yang berlimpah ruah dengan penduduknya yang ramah-ramah
juga tidak ketinggalan menceritakan tentang mojang-mojang (gadis-gadisnya) yang manis-
manis dengan budi bahasa yang sopan serta menggiurkan.
Dalam suasana yang demikian diluar kapal portugis, anak buah Fatahillah telah mengadakan
pancingan-pancingan, dan selanjutnya disusul adanya komando dari panglima perang
Fatahilah yang berada di daratan, terus disambut oleh anak buah Ki Patih Semi yang ada di
kapal portugis dengan menyerukan / meneriakkan “Awas, awas ada bajak laut yang akan
merampok kita”. Mereka sambil meneriakan itu langsung merangkul setiap serdadu portugis
dan membunuhnya. Saat itulah di dalam kapal mulai gaduh dan dalam kesempatan yang
baik bagi Ki Patih Semi yang melihat komandan Portugis sedang tertawa terbahak-bahak,
dengan keris pusakanya digoreskan kebagian tubuh Komandan Portugis dan matilah
tergeletak.
Pada saat itu suasana dilaut yang tadinya tenang mendadak menjadi ribut, suara Takbir
terdengar dari semua pasukan Fatahillah membawa semangat yang berkobar-kobar, jeritan
suara korban di sana sini tidak dihiraukan, masing-masing ingin menyelamatkan jiwanya.
Suasana tambah kacau setelah Ki Patih Semi membakar kapal Portugis itu yang sebelumnya
memberi komando kepada anak buahnya agar segera turun dari kapal Portugis dan pindah
naik ke dalam perahu-perahu yang telah disiapkan sebelumnya.
Di tengah lautan sunda kelapa pada malam itu suasana yang tadinya sepi mendadak menjadi
terang benderang akibat sinar api yang menjulang ke angkasa berasal dari arah kapal
Portugis yang dibakar oleh Ki Patih Semi. Pasukan Portugis yang masih hidup berusaha
menyelamatkan diri dari kepungan api itu, mereka terjun ke laut dengan menggunakan alat
renangnya, akan tetapi pasukan Fatahillah siap mengejar dan membunuhnya dengan senjata
yang ada ditangannya.
Dalam peperangan antara pasukan Fatahillah dengan pasukan Portugis di sunda kelapa
tersebut kemenangan yanga memuaskan berada dipihak pasukan Fatahillah. Sebagian besar
pasukan Fatahillah dapat merampas senjata-senjata dari tangan serdadu portugis.
Kemenangan pasukan Fatahillah di Sunda Kelapa terjadi pada tahun 1527 M.
Dan atas kemenangan Panglima perang Fatahillah tersebut, oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati
Sultan Cirebon Syarif Hidayatullah daerah tersebut dinamakan “JAYA KARTA” yang artinya
“KOTA KEMENANGAN”, dan tepatnya dengan nama Panglimanya ialah “FATAHILLAH” yang
artinya “KEMENANGAN ALLAH”.

 Ki Patih Semi Diangkat Menjadi Patih


Setelah Sunda Kelapa dapat ditaklukan oleh Fatahillah yang daerah tersebut telah diganti
nama menjadi Jayakarta, yang kemudian mendirikan kerajaan Islam yang berpusat di
Banten, dan karena putra Syarif Hidayatullah yaitu Pangeran Sabakiking telah pantas dan
cakap untuk menjadi pimpinan kerajaan, maka kerajaan Banten oleh Kanjeng Sultan Cirebon
pimpinan kerajaan diserahkan kepada Sabakiking yang kemudian bergelar dengan sebutan
Sultan Hasauddin.
Setelah Kerajaan Islam Banten Diserahkan kepada Sabakiking sedangkan Syarif Hidayatullah
tetap membina Kesultanan Cirebon, yang kemudian Syekh Jamalullah karena kecakapannya
dan menurut berita Syekh Jamalullah di negri asalnya sudah menjabat sebagai patih pada
Kerajaan Islam adik Syarief Hidayatullah di Mesir ialah Syarief Nurullah. Oleh karena itu
Syekh Jamalullah diangkat menjadi patih di kesultanan Cirebon, yang kemudian orang
menyebutnya Patih Semi, ia memakai nama istrinya Nyai Semi (Nyai Mas Ratu Tunjung
Semirah). Pengangkatan jabatannya terjadi pada tahun 1532 M.

 Nyi Patih Semi Membuka Hutan

Setelah Kanjeng Sunan Gunung Jati Sultan Cirebon mempunyai daerah yang luas berupa
hutan belantara, beliau memeritahkan kepada Ki Gede untuk dapat membuka tanah hutan
yang penuh dengan pohon-pohon besar yang masih dihuni oleh margasatwa, binatang-
binatang buas, para dedemit, siluman serta rawa-rawa yang luas dan menyeramkan.
Rasanya pekerjaan itu sangat berat untuk dilaksanakan, akan tetapi pekerjaan sangat mulia
dan perintah agama juga.
Para Ki Gede setelah mendapat perintah dari Kanjeng Sultan Cirebon kemudian mereka
berangkat. Ada yang menuju ke timur, selatan, utara adapula yang ke barat.
Ki Patih Semi yang saat itu menjabat sebagai Patih menyaksikan para Ki Gede yang akan
membuka hutan untuk perkampungan yang dikemudian hari akan diwariskan kepada anak
cucu serta keturunannya, Ki Patih Semi merasa sedih karena kesibukannya, beliau tidak bisa
melakukan hal yang sama seperti Ki Gede yang lain.
Untuk menghibur suaminya Nyi Patih Semi mengusulkan kepada suaminya dengan
mengatakan : “Hai Kanda Patih, bagaimana kalau pekerjaan membuka hutan itu saya saja
yang mengerjakannya ?, bagaimana nanti keturunan kita, anak cucu kita, mereka tidak akan
mempunyai tanah pusaka karena sekarang kita tidak berbuat apa-apa. “
Pada mulanya Ki Patih Semi tidak mengizinkan istrinya untuk melakukan pekerjaan itu, tetapi
Nyi Patih Semi selalu saja memohon dan mendesak dengan berbagai alasan yang kuat.
Akhirnya Ki Patih Semi mengizinkannya.
Nyi Patih Semi berangkat meninggalkan kesultanan Cirebon dengan tekad yang bulat. Beliau
berjalan kaki seorang diri memasuki hutan belantara dengan berbagai cobaan dan rintangan.
Beliau menuju ke barat laut lalu berbelok ke arah utara.
Setelah Nyi Patih Semi sampai di ujung utara, Nyi Patih Semi berhenti di suatu tempat dan
merenung. Beliau berkata dalam hati : ‘apa yang akan kulakukan dengan hutan belantara ini,
sedang aku hanya seorang wanita yang bertenaga lemah.” . Ketika sedang merenung beliau
mendengar suara tanpa rupa, “Hai Nyi Patih Semi ! janganlah kamu bermenung diri, kerjakan
dengan niat yang sungguh-sungguh apa yang kau cita-citakan sesuai dangan kemampuanmu,
ambillah batu yang ada disampingmu sampai mengeluarkan api kemudian bakarlah daun-
daun yang kering. Nanti api akan menjalar kemana-mana, dikemudian hari tanah bekas
bakaran api itu adalah tanah milikmu”.
Setelah tersadar dari lamunannya itu Nyi Patih Semi langsung mengerjakan apa yang
dikatakan hatif itu, dalam sekejap hutan itu terbakar habis. Melihat perbuatan Nyi Patih
Semi yang demikian para Ki Gede yang sedang menebangi pohon-pohon besar itu merasa
keheranan dan bertanya kepada beliau “Mengapa Nyi Patih Semi berbuat demikian ?”
kemudian Nyi Patih Semi menjawab “Hai para Ki Gede, ketahuilah bahwa tanah yang ada
bekas apinya adalah tanah milik bagianku”.
Setelah api padam Nyi Patih Semi memberi batas-batas, sebelah barat berbatasan dengan
Wanakajir daerah Jatianom, sebelah timur berbatasan dengan Ggesik, sebelah selatan
berbatasan dengan Prajawinangun dan Karangsambung, dan sebelah utara berbatasan
dengan desa Guwa.

 Ki Patih Semi menengok Nyi Patih Semi

Pada suatu malam Ki Patih Semi merasa hatinya tak tenang, beliau memikirkan Nyi Patih
Semi. Paginya Ki Patih Semi menghadap Kanjeng Sultan untuk minta izin mencari istrinya Nyi
Patih Semi. Setelah mendapat izin dari Kanjeng Sultan beliau langsung berangkat
meninggalkan Kesultanan Cirebon dan mencari istrinya. Ketika sampai di daerah ujung
kesultanan beliau keheranan karena melihat bekas jalannya api. Beliau berpikir, “ siapa dan
mengapa ia berbuat demikian?”. Tiba-tiba Nyi Patih Semi berbisik dan langsung merangkul Ki
Patih Semi, “Wahai Kanda patih janganlah engkau marah atas perbuatanku ini, sayalah yang
membakar hutan dan menghanguskan pohon-pohon besar itu menjadi abu. Ketahuilah
suamiku apa yang telah saya perbuat adalah semata-mata atas petunjuk Allah.” Kemudian Ki
Patih Semi menjawab sambil tersenyum, “ Alhamdulillah, betapa mulia dan bijaksanaya
perbuatanmu ini dinda, semoga Allah memberikan berkah-Nya amiin.”

 Ki Patih Semi Memberi Nama Ujungsemi

Setelah melepas kangen mereka teringat bahwa mereka belum bersyukur atas rahmat Allah
Yang Maha Kuasa, kemudian melakukan sujud syukur. Setelah melakukan sujud syukur
bersama-sama mereka menuju gubug yang terbuat dari daun alang-alang sebagai tempat
bernaung, sesampainya ditempat yang dituju keduanya terlena dengan pikiran masing-
masing. Lalu Ki Patih Semi berkata, “Betapa gembira dan senangnya anak cucu kita yang
menempati tanah seluas ini”. Tibi-tiba Nyi Patih bertanya kepada suaminya, “Kanda Patih,
apakah nama tanah ini?, supaya dikemudian hari dikenal orang”. Ki Patih menjawab : “ Hai
Dinda mari kita melakukan Sholat Istikhoroh dulu agar mendapat petunjuk dari Allah. Lalu
mereka berdua melakukan sholat istikhoroh tak lama kemudian mereka mendapat firasat
yang sama bahwa dihadapannya terlihat sebuah pohon yang ujungnya selalu bersemi
menjulang ke angkasa, setelah itu mereka berdua teringat bahwa tanah itu terletak di ujung
Kesultanan Cirebon dan yang membuka tanah itu adalah Nyi Patih Semi.
Atas persetujuan bersama, Ki Patih Semi memberi nama tanah itu
“ Ujungsemi “ yang mengandung dua arti :
1) Ujung : Tanah tersebut terletak di ujung Kesultanan
Semi : Nama orang yang membuka tanah tersebut yaitu Nyi Patih Semi
2) Ujung : Pucuk (Bhs. Jawa)
Semi : Tumbuh
Jadi artinya pucuk yang selalu bersemi / ujung yang selalu tumbuh.
Siapakah yang akan menempati tanah itu, sedangkan mereka tidak mempunyai anak ?
mereka sangat sedih akan hal itu. Suatu ketika kesedihan itu lenyap ketika Ki Patih Semi
teringat akan keponakan yang juga bermukim di Kesultanan. Mereka adalah sepasang suami
istri muda yang bernama Ki Sokaya dan Nyi Sokaya, konon katanya mereka berasal dari Bani
Israil. Suatu hari atas izin Kanjeng Sultan Ki Patih Semi memboyong Ki Sokaya dan Nyi Sokaya
ke Ujungsemi.
 Ki Sokaya adalah penerus cita-cita Ki Patih Semi

Ki Sokaya dan Nyi Sokaya adalah sepasang suami istri yang taat beribadah dan selalu
menjalankan perintah agama. Ki Sokaya adalah seorang pahlawan dan prajurit Kesultanan
Cirebon yang gagah berani dalam medan perang, ia pantang menyerah dan selalu mendapat
pujian dari kawan dan komandannya.
Ki Sokaya dan Nyi Sokaya kini telah berada di perkampungan yang jauh dari keramaian,
mereka tinggal di gubug yang atap dan dindingnya terbuat dari alang-alang, gubug itu sendiri
tak ada tetangga, tak ada anak-anak bermain ataupun tangisan bayi. Yang ada hanya suara
yang menyeramkan, suara margasatwa di angkasa dan suara binatang buas. Mereka hanya
tinggal berdua walaupun sewaktu-waktu berempat jika Ki Patih Semi sedang tidak bertugas.
Walaupun demikian Ki Sokaya dan Nyi Sokaya tidak pernah mengeluh, mereka selalu
bergembira dan tawakal kepada Allah. Mereka mempunyai cita-cita yang luhur dan mulia
seperti yang dicita-citakan Ki Patih dan Nyi Patih Semi yaitu membangun perkampungan dan
meramaikannya dengan penduduk yang taat dan takwa kepada Allah swt. Setiap saat
mereka berdua selalu berdo’a agar dikaruniai putra dan putri yang sholeh dan sholehah.
Akhirnya mereka dikaruniai empat orang anak yang diberinama : Ki Kam, Nyi Suwiyem, Nyi
Suropati dan Ki Malem yang dikenal dengan julukan Ki Kantok dan Ki Jaka Dolog.
Setelah beberapa tahun kemudian datanglah Ki Kares dan Nyi Kares. Sehingga dari kedua
keturunan tersebut yaitu Ki Sokaya dan Ki Kares kemudian beranak cucu sampai saat ini yang
berjumlah lebih dari 5000 jiwa.

Sumber : http://thearrmely.wordpress.com/2011/08/25/sejarahasal-usul-desa-ujungsemi-
kab-cirebon/

Diposting oleh Wong Cherbon di 15.55


Desa Jungsemi merupakan salah satu desa yang terletak di pantai

utara, yang penduduknya berpmata pencaharian Petani. Pada masa

Kerajaan Mataram yang pimpin oleh Sultan Agung pada waktu itu masa

penjajahan belanda, Raja Mataram memutuskan untuk mengadakan

perlawanan terhadap penjajah Belanda yang pada waktu itu berpusat di

Batavia.

Untuk persiapan mengadakan perlawanan menghadapi Belanda, Raja

Sultan Agung memanggil semua Adipati dan pembesar kerajaan untuk

mengadakan pertemuan besar yang dipimpin oleh Sultan Agung sendiri

yang sebelumnya tidak dikasih tau tempatnya dimana (dirahasiakan).

Ternyata tempatnya di pesisir Utara (sekarang Makam Kemangi) dan

dikelilingi pagar yang tidak kasat mata, Oyot Miman (penduduk

setempat menyebutnya) agar pertemuan tidak bocor oleh telik sandi

penjajah Belanda.

Setelah melalui musyawarah serta saran-saran dari para Adipati dan

para pembesar Kerajaan, maka akhirnya diputuskan bahwa Mataram

mengadakan atau menyatakan perang terhadap Belanda, Namun yang

tadinya tempat musyawarah (sekarang Makam kemangi) dikelilingi oleh

benteng yang tidak kasat mata (Oyot Miman penduduk setempat

menyebutnya), belum dihilangkan sampai dengan saat ini, sehingga

dimanfaatkan oleh para ahli spiritual.

Akhirnya Pimpinan dan Panglima perang pun disusun oleh dan

ditetapkan, diantaranya Tumenggung Bahurekso beliau adalah Adipati

Kendal dan Gubernur Pesisir Laut Jawa.


Dibayangkan bahwa Kendal akan maju dan menjadi tempat ramai dan

menjadi pusat perhatian para Sentono kerajaan-kerajaan para Adipati,

Tumenggung dan para pembesar kerajaan lainnya akan tertuju pada

figur Adipati/ Tumenggung Bahurekso dan Kabupaten Kendal yang akan

menjadi pusat persiapan perang dengan tentara VOC Batavia. Adalah

beliau mbah Sokerto Wongso Dikromo (Mbah Laistiddin/ Simbah

Kemangi) selalu mengajarkan kepada pengikutnya untuk membantai

sifat-sifat rakus seperti penjajah VOC Belanda yaitu orang yang kulitnya

berwarna bule, hingga sampai dengan saat ini selalu diadakan/

diperingati setiap 3-5 tahun sekali penyembelihan Kerbau bule (kerbau

yang warnanya albino) yang diibaratkan orang Bule.

Kendal memiliki cacatan sejarah yang agung, pada saat itu Kendal

menjadi tempat berkumpulnya para pembesar-pembesar kerajaan,

banyak Adipati dan Tumenggung yang harus meninggalkan daerahnya

dan berkumpul di Kendal.

Para pembesar kerajaan yang berkumpul di Kendal dalam rangka

persiapan perang melawan Belanda di Batavia antara lain :

1. Tumenggung Bahurekso 15. Kyai Mojo

2. Pangeran Purboyo 16. Tumenggung Bagamanda

3. Pangeran Juminah 17. Raden Haryo Pungkono

4. Tumenggung Mandurejo 18. Raden Mutahar

5. Tumenggung Upahasanta 19. Tumenggung Pasir Puger


6. Tumenggung Kertiwongso 20. Pangeran Karang Anom

7. Tumenggung Wongsokerto 21. Pangeran Tanjung Anom

8. Tumenggung Rajekwesi 22. Tumenggung Panjirejo

9. Raden Prawito Setyo 23. Pangeran Puger

10. Pangeran Kadilangu 24. Tumenggung Singorono

11. Pangeran Sojomerto 25. Ario Wiro Notopodo (Suropodo)

Raden Sulamjono (putra


12. 26. Tumenggung Wiroguno
Tumenggung Bahurekso)

13. Raden Banteng Bahu 27. Raden Bagus Komojoyo

14. Kyai Akrobudin

Juga masih banyak tokoh-tokoh yang hadir dalam pertemuan persiapan

perang melawan tentara VOC Belanda ke Batavia.

Tumenggung Bahurekso memutuskan bahwa pertemuan persiapan

perang tidak dilakukan di Kadipaten tetapi disebuah tempat yang

dekjat dengan pantai,oleh karena itu peserta pertemuan akhirnya

disepakati bahwa tempat pertemuan harus dirahasiakan, dan tempat

yang dipilih ternyata di tengah hutan tepatnya dibawah pohon yang

sangat rindang, dan pohon itu sekarang dikenal dengan nama pohon

Kemangi yang terletak di Desa Jungsemi.


Disisi lain selama dalam pertemuan di Paseban Kemangi itu

berlangsung, ternyata memunculkan cerita tutur yang menjadi

kenangan masyarakat sekitar diantaranya suasana di daerah yang

menuju ke Paseban Kemangi benar-benar ramai, karena banyak

pertinggalan leluhur Mataram menuju tempat itu.

Disetiap sudut wilayah selalu dijaga oleh banyak prajurit baik yang

berasal dari kadipaten Kendal maupun yang berasal dari daerah lain,

untuk menuju ke Paseban Kemangi para petinggi Mataram tidak

langsung ke tempat paseban, mereka lebih dahulu disambut untuk

istirahat di Padepokan Laduni Faqoh dan milik Tumenggung RajekWesi

yang punya panggilan Semboro dan juga Kyi Akrobudin.

Padepokan Laduni Faqoh memang mempunyai daya dorong dan daya

spiritual yang sangat tinggi, baik terhadap para petinggi Mataram

maupun prajurit lainnya, dan tempat itu kemudian diilhami oleh Ari Wiro

Notopodo atau Suropodo.

Berawal dari cerita tersebut diatas, bahwa Desa Jungsemi berasal dari

dua suku kata yaitu : Ujung dan Semi (bahasa jawa) Ujung bgerarti

Pangkal dan Semi berarti Tambah atau selalu bersemi, jadi Jungsemi

berarti suatu Desa yang terletak dipangkal Ujung utara atau pantai laut

yang selalu bertambah luas.

Pada masa penjajahan Belanda, waktu itu Desa Jungsemi mulanya

terdiri dari 2 (dua) Desa, yaitu Jungsemi bagian Timur adalah dukuh

Kemejing, dan Jungsemi bagian Barat, yaitu dukuh Clumprit dan

Srandu, kemudian disatukan pada masa dipimpin oleh :


1. Tahun 1904-1920 Sumo atau Sumodiwiryo 16 Tahun

2. Tahun 1920-1928 Sirum atau Sastro Diwiryo 8 Tahun

3. Tahun 1928-1936 Mohtar 8 Tahun

4. Tahun 1936-1945 Abdul Hamid 8 Tahun

5. Tahun 1945-1984 Soemarijo (Kades) Soedaryo (Carik) 39 Tahun

6. Tahun 1984-1994 Munawar Soebarjo (Kades) Soedaryo (Carik) 10 Tahun

7. Tahun 1994-2004 Zaenuri (Kades) Sunarto (Carik) 10 Tahun

8. Tahun 2004-2009 Sulton Sunarto (Carik) 5 Tahun

9. Tahun 2009-2010 Randiman (PJ.Kades) Sunarto (Carik) 1 Tahun

10. Tahun 2010-2016 Sugiyono (Kades) Sunarto (Carik) 6 Tahun

Tahun 2016-
11. Dasuki (Kades) Nur Khozin (Carik)
sekarang
TAK banyak orang tahu bahwa di Desa Ujungsemi, Kecamatan Kaliwedi, Kabupaten Cirebon,
terdapat sedikitnya 72 makam pahlawan. Bahkan kalau ditelusuri lebih dalam, di sejumlah
tempat lain di sekitarnya, terdapat pula ratusan persemayaman terakhir pejuang yang
kebanyakan berasal dari kaum santri dan kiai, yang gugur saat mengusir penjajah.

Berdasarkan penelusuran CNC, para pejuang yang dimakamkan di Ujungsemi adalah mereka
yang gugur saat menghambat serangan tentara Belanda yang ingin menghancurkan markas
Laskar Hisbullah, yang saat itu berada di Blok Bundel, Desa Slendra, Kecamatan Kaliwedi,
Kabupaten Cirebon. Peristiwa itu terjadi pada medio Nopember 1947.

"Waktu perang melawan Belanda di Desa Ujungsemi teman-teman saya banyak yang gugur.
Jumlahnya ada sekitar 72 pejuang dan mereka semua dimakamkan di sana," kata Khasan
(82), warga Desa Desa Ujungsemi yang menjadi saksi hidup perjuangan melawan penjajah.

Meski pada akhirnya Belanda memenangkan perang di Ujungsemi tersebut, kata Khasan,
para pejuang sempat melumpuhkan pasukan Belanda pada saat mereka menyerang markas
pejuang di Desa Slendara. "Pada saat pertempuran di Bundel seluruh pasukan Belanda bisa
kita lumpuhkan dan kita berhasil merampas seluruh senjata mereka," kata prajurti veteran
tersebut.

Komandan Rayon Militer Gegesik, Kapten Sunento, membenarkan adanya bukti sejarah
perjuangan kaum santri melawan para penjajah tersebut. Sunento mengatakan, perang di
Ujungsemi terjadi pada Bulan November 1947. Laskar Hisbullah di bawah pimpinan Kyai
Anas berjuang melawan tentara Belanda yang memiliki persenjataan yang lebih canggih.

"Dalam pertempuran di perbatasan Desa Ujungsemi dan Desa Wargabinangun tersebut,


sebanyak 72 pejuang gugur menjadi syuhada," kata Sunento.

Lebih lanjut Sunento mengemukakan, bisa jadi tentara musuh gemas dengan para pejuang
dari Cirebon yang getol melakukan perlawanan. Bahkan, kata, dia, banyak yang tidak tahu
jika kaum santri Cirebon ikut andil dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
"Pada saat peristiwa 10 November di Surabaya, para pejuang di Cirebon ikut menghambat
pasokan amunisi lawan. Bahkan, mereka sempat menghancurkan jembatan Kereta Api di
Kaliwedi untuk memutus pasokan amunisi belanda," tutur Sunento.

Untuk menghormati para pejuang kemerdekaan tersebut, kata Sunento, setiap peringatan
10 November dilakukan Upacara penghormatan di Taman Makam Pahlawan Ujungsemi.
Namun, upacara untuk mengenang jasa para pahlawan tersebut baru diikuti pejabat di
tingkat kecamatan setempat.
"Setiap 10 November kami melakukan upacara di TMP Ujungsemi, namun baru diikuti
muspika dua kecamatan yakni Kaliwedi dan Gegesik," kata Sunento.

Menurut Sunento, sejumlah kalangan menginginkan TMP Ujungsemi diresmikan menjadi


Taman Makam Pahlawan. Apalagi, Kabupaten Cirebon belum memiliki TMP.
"Termasuk kami menginginkan Pemda menjadikan TMP Ujungsemi jadi TMP resmi sehingga
setiap peringatan 10 November tidak numpang di TMP Kesenden Kota Cirebon," kata
Sunento.

Kepala Desa Ujungsemi, Hasan Busro, menilai perhatian dari pemerintah daerah setempat
masih kurang. Pihaknya meminta Bupati memperbaiki akses jalan ke TMP diperbaiki.

"Belum lama ini Bupati memang pernah memberikan bantuan tapi baru untuk pemugaran
makam," ujar Bosro. (Tim CNC)

Di ambil dari: CirebonNews.com

Anda mungkin juga menyukai