Anda di halaman 1dari 6

Resume Buku

Judul Buku : Asal Muasal Kapal Banbong


Penulis : Tomi, S.Pd
Penerbit/Tahun Terbit : Tom’s book Publishing, Pontianak, 2017
Jumlah Halaman : 55
Nama/Nim : Dinda Wulandari (12201184)

1. PERAHU BANDONG
Bandong adalah perahu bermotor yang bentuknyamenyerupai sebuah rumah, beratap limas
denganbahan dari kayu sirap atau bilah-bilah kayu yang di buat dandisusun berbaris saling
bertindihan dengan panjang sekitar20 - 25 meter dan lebar 10 - 12 meter. Kapal kayu
inidirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuahrumah terapung.
Kapal Bandong merupakan alat transportasi sungaiyang mulai langka. Hingga tahun 1970-
an, alat transportasisungai ini masih terlihat hilir-mudik di sungai Kapuas,Kalimantan
Barat dengan membawa orang maupun barangyang diangkut melayari sungai hingga ke
daerah-daerahpedalaman. NamunKapal Bandong sekarang ini sudah mulaiterpinggirkan
seiring dengan pesatnya kemajuan akses jalandan transportasi darat. Bahkan banyak dari
generasi mudayang tidak mengetahui keberadaanya.
Kapal Bandong terbuat dari kayu yang terdiri dari tigabagian utama. Bagian depan
digunakan sebagai ruangpengemudi, bagian tengah digunakan sebagai tempatistirahat
karena disertai beberapa bilik atau kamar dantempat menyimpan barang bawaan.
Sedangkan bagianbelakang digunakan sebagai MCK dan dapur.

2. ORANG BANOKNG
Pada tahun 1325 Masehi, berdirilah Kerajaan Lawai yang didirikan oleh Babay Cinga' dan
Dara Nante. Tersebutlah seseorang bernama Singa Takalokng Banokng, anaknya Harakng
Batur yang merupakan keturunan terakhir dari Raja Thang Raya. Pada masa tersebut Singa
Takalokng Banokng bermukim di wilayah Banokng yang kemudian terlogatkan menjadi
Bandong, yang untuk sekarang ini masuk dalam wilayah Kabupaten Landak. Singa
Takalokng Banokng memiliki beberapa orang anak, diantaranya yaitu Tamanggong
Lubishkng, Singa Tobakng Benuaq dan anak perempuan yang bernama Dara Ollakng.
Ketika berdirinya Kerajaan Lawai, Singa Takalokng Banokng mengirim Singa Tobakng
Benuaq bersama Dara Ollakng dan suaminya bernama Lau Biqiun serta Orang- orang
Banokng dan Pontiant untuk menyampaikan restu dari Singa Takalokng Banokng kepada
Kerajaan Lawai.
Rombongan dari Banokng ini pergi ke Kerajaan Lawai menggunakan beberapa buah kapal
yang disebut sebagai Banokng, karena berasal dari Banokng. Kapal itu kemudian disebut
kapal Banokng yang terlogatkan menjadi kapal Bandong. Kapal Bandong adalah perahu
besar yang bentuknya menyerupai sebuah rumah terapung, beratap limas dengan bahan
dari kayu sirap atau bilah-bilah kayu yang di buat dan disusun berbaris saling bertindihan
dengan panjang sekitar 20-25 meter dan lebar 10-12 meter.
the Kapal Bandong terbuat dari kayu yang terdiri dari tiga bagian utama yaitu bagian depan
digunakan sebagai ruang mengemudi, bagian tengah terdapat beberapa bilik atau kamar
sebagai tempat untuk beristirahat ataupun untuk menyimpan barang-barang, dan bagian
belakang sebagai dapur serta tempat untuk buang air.
Setelah menyampaikan restu dari Singa Takalokng Banokng kepada Raja Lawai yaitu
Patee Babay Cinga', rombongan Singa Tobakng Benuaq ini tidak kembali ke Banokng,
karena mereka diberikan sebuah wilayah oleh Patee Babay Cinga', dan Singa Tobakng
Benuaq kemudian diangkat sebagai salah satu Raja dari Sepuluh Raja oleh Patee Babay
Cinga'. Wilayah itu kemudian disebut sebagai Tebang Benua. Rombongan dari Banokng
ini selanjutnya disebut sebagai Orang Tobak atau Toba

3. PERANG MELAWAN ORANG JERUJU


Adapun asal usul orang-orang Jeruju dahulunya Adalah pasukan Dharmasraya dan Siak.
Pada tahun 1305 Masehi, Raja Dharmasraya mengutus pasukannya untuk menyelamatkan
Raja Jambi yang kerajaannya sedang di landa peperangan. Tapi rombongan pasukannya
ini salah memilih jalan, mereka malah tiba di wilayah Kerajaan Siak yang juga sedang
dilanda peperangan. Rombongan pasukan Dharmasraya ini tidak pernah kembali ke
Dharmasraya.
Raja Dharmasraya kemudian meminta bantuan Sayyid Kubu di Kerajaan Solot atau Sulu.
Sayyid Kubu terkenal pandai melacak jejak dan ahli membangun benteng dari tanah
sehingga digelari Kubu.
Pasukan Dharmasraya ini berhasil ditemukan Sayyid Kubu di Bukit Dua Belas bersama
Raja Tanjung Pura Siak Bahulun dan pasukan Siak.
Siak Bahulun adalah anak Raja Siak yang menikah dengan Ratu Betung penguasa
Kerajaan Tanjung Pura. Ratu Betung merupakan keturunan Raja Tanjung Pura bernama
Hyang Ta. Ketika Ratu Betung menaiki tahta, suaminya Siak Bahulun yang lebih banyak
memimpin Tanjung Pura.
Rupanya pasukan Dharmasraya ini salah melaksanakan tugas, karena mengira Siak
Bahulun adalah Raja Jambi, Karena telah salah melaksanakan tugasnya, maka pasukan
Dharmasraya ini tidak berani pulang ke Dharmasraya karena takut di hukum oleh Raja
mereka. Selanjutnya sebagian pasukan Dharmasraya memutuskan untuk ikut Siak Bahulun
ke Tanjung Pura bersama Sayyid Kubu yang juga sedang mencari rombongan Aji Melayu
dari Kerajaan Sangkra, sedangkan yang lainnya menetap di Bukit Dua Belas. Namun di
wilayah lautan Kalimantan, rombongan itu terserang badai dan terdampar di wilayah
Pantai Kakap.
Karena kapal mereka rusak parah sehingga rombongan tersebut memutuskan menetap
sementara waktu di wilayah Pantai Kakap sambil memperbaiki kapal yang rusak. Namun
pemukiman mereka mendapat serangan dari Adik kembar Ratu Betung yang bernama
Pangeran Sidang Penape atau Kenyanye, yang juga merupakan Raja Bajak Laut bergelar
Kapkap. Markas Pangeran Sidang Penape ini berada di pulau Maya Karimata dan Tanjung
Salai.
Sedangkan rombongan dari Dharmasraya dan Siak yang berhasil menyelamatkan diri
kemudian membangun tempat pemukiman baru di wilayah yang sekarang disebut Jeruju.
Rombongan dari Dharmasraya dan Siak di Jeruju ini menjadi asal muasal Orang Melayu
Pontianak.
Adapun wilayah yang ditempati oleh rombongan dari Dharmasraya dan Siak disebut Jeruju
karena wilayah itu banyak terdapat tumbuhan Jeruju atau Acanthus llicifolius. Tumbuhan
Jeruju memiliki batang yang bulat silindris, daunnya memanjang, berduri panjang dan
runcing serta berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Duri-duri tumbuhan Jeruju ini
yang digunakan oleh rombongan dari Dharmasraya dan Siak sebagai senjata ketika
menaklukkan Bangsa Pontiant yang selanjutnya merebut wilayah Daratan Sheng Hie.
Karena datang dari wilayah yang dipenuhi oleh tumbuhan Jeruju dan menggunakan senjata
dari duri-duri tumbuhan Jeruju sehingga mereka disebut sebagai Orang Jeruju. Dari bahasa
Orang-orang Jeruju ini yang merupakan pencampuran antara bahasa Orang Dharmasraya
dan Siak yang kemudian menjadi bahasa Melayu Pontianak.
Selanjutnya, pada tahun 1320 Masehi, Orang-orang Jeruju menyerang pemukiman Bangsa
Pontiant di Daratan Sheng Hie. Bangsa Pontiant ini telah menempati wilayah Daratan
Sheng Hie sejak abad ke-9 Masehi.
Bangsa Pontiant pada masa tersebut dipimpin oleh Lau Biqiun. Akibat serangan itu,
Bangsa Pontiant menyingkir dari wilayah daratan Sheng Hie dan mengungsi ke Banokng,
tempat istrinya Lau Biqiun yang bernama Dara Ollakng. Dara Ollakng adalah putrinya
Singa Takalokng Banokng, yang juga merupakan cucuknya Harakng Batur.
Pada tahun 1325 Masehi, Lau Biqiun dan Dara Ollakng bersama Bangsa Pontiant dan
Banokng mengikuti Singa Tobakng Benuaq ke Kerajaan Lawai untuk memberikan restu
atas berdirinya Kerajaan Lawai kepada Patee Babay Cinga'. Rombongan dari Banokng ini
datang ke Kerajaan Lawai menggunakan beberapa buah perahu yang berbentuk rumah.
Perahu berbentuk rumah dari Banokng ini kemudian disebut sebagai Kapal Bandong, dan
menjadi asal muasal Kapal Bandong di Kalimantan Barat.
Selanjutnya Singa Tobakng Benuaq dinobatkan oleh Patee Babay Cinga' sebagai salah
seorang Raja dari Sepuluh Raja dan diberikan wilayah yang kemudian disebut sebagai
Tebang Benua, dan rombongan yang berasal dari Banokng ini kemudian disebut sebagai
Orang Tobak atau Toba.
Kerajaan Jangkangk pada masa itu barusan berperang dengan Kerajaan Majapahit,
menjadi kesulitan untuk menghadapi ancaman serangan dari Negeri Brunai tersebut. Patee
Jangkangk kemudian mengumpulkan Raja Sepuluh dan Demong Sembilan yang
merupakan penguasa wilayah ketika berdirinya Kerajaan Lawai. Semua penguasa wilayah
itu berkumpul di Muara Mengkiang. Dalam pertemuan itu hadir juga utusan dari Kerajaan
Bengkayang dan Kerajaan Landak, yang menghasilkan kata sepakat untuk menghadapi
ancaman serangan dari Kerajaan Brunai tersebut.
Beberapa waktu setelah pertemuan itu, Orang-orang Jeruju melakukan penyerangan ke
wilayah Toba melalui Batu Ampar. Peperangan pun terjadi diperbatasan wilayah Toba.
Orang-orang Jeruju ini mendapat perlawanan dari pasukan Toba yang dipimpin oleh Patee
Raja Rungkap Tobak'ng dan anak-anak Lau Biqiun yaitu Lau Sheng Bie dan Lau Jong
hingga menjauhi wilayah Toba bahkan terdesak juga hingga keluar dari wilayah Batu
Ampar.

4. PERTEMUAN DI SEGUMON TAMPUN JUAH


Pada tahun 1394 Masehi, terjadi penyerangan dari Orang-orang Jeruju ke wilayah Toba.
Serangan dari Orang-orang Jeruju tersebut berhasil di gagalkan oleh pasukan Toba dan
Pontiant yang dipimpin oleh Patee Raja Rungkap Tobak'ng, anaknya Singa Patee dari
Sembiu. Patee Raja Rungkap Tobak'ng bahkan berhasil merebut kembali wilayah Daratan
Dermaga Sheng Hie yang pernah ditempati oleh Bangsa Pontiant namun dikuasai oleh
Orang-orang Jeruju. Wilayah Daratan Dermaga Sheng Hie kemudian diserahkan kembali
kepada Bangsa Pontiant yang dipimpin oleh anaknya Lau Biqiun yang bernama Lau Sheng
Bie. Beberapa waktu kemudian, terjadi serangan dari Negeri Brunai yang dipimpin Awang
Sinuai ke wilayah Sekayam untuk memprotes berdirinya Kerajaan Jangkangk.
Dalam pesan rencana pertemuan kepada seluruh suku Kalimantan terdapat penekanan agar
suku-suku yang masih mengetahui sistim dan peraturan pemerintahan pada masa Tampun
Roban dan Tampun Juah untuk hadir, untuk menghidupkan kembali pemerintahan negeri
yang pernah nenek moyang mereka bangun. Akhirnya Pada tahun 1894, Kepala Suku
Kahayan yang bernama Damang Batu berhasil mengumpulkan suku-suku di Kalimantan
untuk mengadakan musyawarah damai. Musyawarah tersebut dikenal dengan Perjanjian
Tumbang Anoi.
Tumbang Anol adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Damang Batu, wilayah
Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah. Tumbang Anoi merupakan salah
satu pusat pemukiman penduduk suku Dayak Kadorih, yaitu salah satu subsuku Dayak Ot
Danum di hulu Sungai Kahayan. Tumbang Anoi berjarak sekitar 300 kilometer arah utara
Palangka Raya. Tempat itu harus ditempuh dengan perjalanan darat selama tujuh jam,
kemudian dilanjutkan menggunakan perahu motor menyusuri Sungai Kahayan ke arah
hulu selama dua jam dari Tumbang Marikoi.
Dalam musyawarah yang berlangsung selama kurang lebih tiga bulan, yaitu dari tanggal 1
Januari hingga 30 Maret 1894, suku-suku di Kalimantan mencapai kesepakatan untuk
menghindari dan menghilangkan tradisi Mengayau yang telah terjadi selama turun
temurun, karena dianggap telah menimbulkan perselisihan di antara suku-suku
Kalimantan. Dalam pertemuan di Tumbang Anoi tersebut disusun pula keseragaman
Undang-undang atau peraturan adat yang berhasil disepakati sebanyak 96 pasal hukum
adat.

5. LAU JONG
Pada tahun 1325 Masehi, berdirilah Kerajaan Lawai yang didirikan oleh Babay Cinga' dan
Dara Nante. Tersebutlah seseorang bernama Singa Takalokng Banokng, anaknya Harakng
Batur yang merupakan keturunan terakhir dari Raja Thang Raya. Pada masa tersebut Singa
Takalokng Banokng bermukim di wilayah Banokng yang kemudian terlogatkan menjadi
Bandong, yang untuk sekarang ini masuk dalam wilayah Kabupaten Landak. Singa
Takalokng Banokng memiliki beberapa orang anak, diantaranya yaitu Tamanggong
Lubishkng, Singa Tobakng Benuaq dan anak perempuan yang bernama Dara Ollakng yang
kemudian menikah dengan Lau Biqiun. Pada masa itu Singa Takalokng Banokng
mengirim utusan dari Banokng yang dipimpin oleh Singa Tobakng Benuaq untuk
menyampaikan restu atas berdirinya Kerajaan Lawal.
Rombongan dari Banokng ini pergi ke Kerajaan Lawai menggunakan beberapa buah kapal
yang disebut sebagai Banokng, karena berasal dari Banokng. Kapal itu kemudian disebut
kapal Banokng yang terlogatkan menjadi kapal Bandong. Kapal Bandong adalah sebuah
perahu besar yang bentuknya menyerupai sebuah rumah terapung, beratap limas dengan
bahan dari kayu sirap atau bilah-bilah kayu yang di buat dan disusun berbaris saling
bertindihan dengan panjang sekitar 20-25 meter dan lebar 10 - 12 meter. Kapal Bandong
terbuat dari kayu yang terdiri dari tiga bagian utama yaitu bagian depan digunakan sebagai
ruang mengemudi, bagian tengah terdapat beberapa bilik atau kamar sebagai tempat untuk
beristirahat ataupun untuk menyimpan barang-barang, dan bagian belakang sebagai dapur
serta tempat untuk buang air.

6. PONTI TAPAU
Pada permulaan tahun 1700-an Masehi, Bangsa Pontiant yang bermukim di sepanjang
daratan Sheng Hie terkena bencana yang terjadi hingga bertahun- tahun lamanya. Bencana
tersebut berupa bayi-bayi yang baru dilahirkan sering menangis berkepanjangan. Tangisan
bayi ini begitu lama tanpa diketahui sebabnya dan tiba-tiba berhenti. Ketika tangisan
berhenti, mereka dapati bayi-bayi tersebut telah menghilang begitu saja tanpa diketahui
kemana perginya. Peristiwa tersebut tersebar hingga ke penjuru wilayah sehingga kejadian
bayi yang berhenti menangis tiba-tiba ini disebut orang sebagai "Pontiant Anak" yang
artinya "Anak Bangsa Pontiant Menghilang", namun ada juga yang mengartikan sebagai
"Anak Dalam Ayunan Berhenti Menangis". Peristiwa yang terjadi selama bertahun-tahun
tersebut menyebabkan masyarakat Bangsa Pontiant tidak bertambah.
Demong Pontiant pada masa tersebut telah berusaha untuk menangkal bencana tersebut,
namun selalu gagal, Akibatnya adalah masyarakat Bangsa Pontiant semakin tahun
semakin berkurang akibat ada yang meninggal dunia, sedangkan bayi-bayi yang
diharapkan sebagai penerus keturunan Bangsa Pontiant sering menghilang begitu saja
ketika sedang dalam ayunan. Bahkan sebagian orang-orang Pontiant yang tidak tahan
dengan kondisi itu kemudian memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, sehingga
masyarakat Bangsa Pontiant semakin sedikit.
Berdasarkan petunjuk dari Pemangku adat Bangsa Pontiant, bahwa bayi-bayi mereka
sering menghilang dalam ayunan secara ghaib karena diambil oleh mahkluk-makhluk
halus. Untuk sebab musabab munculnya bencana makhluk halus tersebut, terdapat riwayat
yang menyatakan bahwa awal mulanya ketika sekelompok Orang-orang Jeruju yang pada
masa tersebut telah bermukim di wilayah pedalaman Jeruju mencari intan. Menurut
petunjuk yang telah mereka dapatkan bahwa diseberang daratan Jeruju terdapat intan yang
tertimbun tanah. Orang-orang Jeruju itu kemudian pergi ke seberang daratan yang
sekarang telah dibangun tugu Khatulistiwa. Daratan tersebut mereka gali, dan intan yang
mereka maksudkan berhasil mereka dapatkan dalam sebuah lubang yang tertimbus tanah.
Intan yang ditemukan oleh Orang-orang Jeruju dalam bentuk bongkahan yang sangat
besar. Setelah mereka mengambil intan tersebut, maka terjadilah bencana yang kemudian
menimpa Bangsa Pontiant.
Sementara itu di Negeri Matan Tanjung Pura telah kedatangan seorang Ulama bernama
Habib Husein AlQadri. Suatu hari Sultan Matan mengadakan perjamuan. Dalam acara
perjamuan itu terjadi peristiwa Saiyid Hasyim AlYahya merusak kacip besi berukiran
kepala ular. Kacip yang telah patah itu diambil oleh Habib Husein AlQadri, kemudian
kacip tersebut ia usap-usap dengan air liurnya sehingga kacip yang patah itu kembali utuh
sediakala.
Kejadian karomah Habib Husein AlQadri itu tersiar ke seluruh pelosok negeri, hingga
terdengar oleh masyarakat Bangsa Pontiant di Daratan Dermaga Sheng Hie. Demong
Pontiant kemudian mengirim utusan untuk menemui Habib Husein AlQadri guna
menolong mengatasi bencana yang telah menimpa mereka. Rupanya tidak seorang pun
dari mereka yang mengerti arah menuju Negeri Matan Tanjung Pura. Namun Pemangku
adat Bangsa Pontiant membekali mereka dengan nasi yang dibungkus dengan daun dan
berpesan bahwa jika bungkusan tersebut terbuka maka disitulah tempat yang mereka tuju.
Maka berangkatlah utusan Bangsa Pontiant tersebut. Namun di tengah perjalanan para
utusan ini tersesat. Berhari-hari mereka mendayung sampan hingga di suatu tempat mereka
dapati bungkus nasi itu sedikit terbuka. Mereka beranggapan barangkali ditempat tersebut
lah keberadaan Habib Husein AlQadri.
Orang-orang utusan dari Demong Pontiant tersebut akhirnya berhasil bertemu dengan
Habib Husein AlQadri yang baru beberapa bulan menetap di Negeri Mempawah dan
menyampaikan tentang bencana yang telah mereka alami selama bertahun-tahun. Mereka
berharap bahwa Habib Husein AlQadri bersedia untuk menolong melepaskan bencana
yang mereka alami.
Selanjutnya Habib Husein AlQadri berangkat bersama para utusan Bangsa Pontiant
tersebut menuju daerah Daratan Dermaga Sheng Hie. Sesampainya disana, Habib Husein
AlQadri mendapati bahwa begitu banyak makhluk halus yang telah mengganggu dan
mencuri bayi-bayi Bangsa Pontiant yang baru dilahirkan. Gangguan para makhluk halus
itu sangat dahsyat. Dalam tafakurnya, Habib Husein AlQadri mendapat petunjuk untuk
mencari Tiang Cahaya Penyangga Langit dan melaksanakan ibadah ditempat itu. Karena
hanya dengan berdo'a dari tempat itu saja para makhluk halus itu dapat di usir dari kawasan
tersebut.
Habib Husein AlQadri bersama Demong Pontiant dan beberapa orang Bangsa Pontiant
selanjutnya mencari Tiang Cahaya Penyangga Langit tersebut. Pada tanggal 18 Jumadil
Tsani 1160 Hijriah, Tiang Cahaya Penyangga Langit tersebut ditemukan. Tiang Cahaya
Penyangga Langit tersebut keluar dari sebuah lubang besar didaratan bekas tempat Orang-
orang Jeruju menggali Intan.
Habib Husein AlQadri kemudian beribadah dan berdo'a di tempat tersebut. Selepas
beribadah, bayi-bayi Bangsa Pontiant tidak lagi menangis berkepanjangan dan tidak lagi
menghilang secara ghaib. Makhluk halus juga tidak lagi mengganggu masyarakat Bangsa
Pontiant dan bencana yang mereka alami terhenti.

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai