Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MATA KULIAH KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

ANALISIS KESIMPULAN VISUM ET REPERTUM DALAM PUTUSAN NOMOR


1769/PID.B/2016/PN.TNG

oleh Rahadian Bahri, 1506676821

Reguler

I. PENDAHULUAN

A. Kasus Posisi

Putusan nomor 1769/Pid.B/2016/PN.Tng merupakan kasus pembunuhan berencana yang


terjadi pada tanggal 13 Mei 2016 di Desa Jatimulya, Kota Tangerang, Provinsi Banten, dengan
terdakwa bernama Imam Hapriadi. Terdakwa merupakan seorang laki-laki berusia 24 tahun.
Sedangkan korban dari kasus ini adalah seorang perempuan, bernama Eno Fariha, berusia 18
tahun. Kasus ini merupakan kasus yang sempat menyita perhatian publik karena tindakan pelaku
yang tidak berperikemanusiaan. Pembunuhan ini dilakukan oleh tiga orang dimana salah satu
pelakunya masih berusia 15 tahun. Para pelaku secara keji membunuh korban dengan
memasukkan cangkul ke dalam kemaluan korban sampai menuju ke bagian dalam tubuh korban.

Berikut kronologi tindak pidananya:

Pada hari Kamis tanggal 12 Mei 2016 pukul 23.30 , Rahmat Alim (Alim), salah satu
pelaku, yang masih berusia 15 tahun, mendatangi Mess Wanita PT. Polyta Global Mandiri,
tempat dimana Eno Fariha tinggal sebagai pekerja dari PT tersebut. Mereka berdua sebelumnya
sudah merencanakan pertemuan ini siang hari. Dengan memperhatikan lingkungan sekitar, Alim
memasuki Mess tersebut dan menyambangi kamar Eno. Di kamar tersebut, Alim dan Eno
berbincang-bincang dan bercumbu. Ketika Alim berniat untuk menyetubuhi Eno, Eno
menolaknya dengan alasan takut hamil. Mendengar alasan tersebut, Alim kecewa, memakai
pakaiannya kembali, dan langsung keluar menuju halaman depan Mess.

Waktu menunjukkan jam 00.30 Jumat dinihari. Alim yang sedang merokok di depan
Mess tersebut, dihampiri oleh Rahmat Arifin (Arifin), yang juga bertempat tinggal di Mess
tersebut. Arifin menanyakan keberadaan Alim. Alim menjawab bahwa ia habis bertemu
perempuan di Mess. Arifin menanyakan siapa perempuan yang dimaksud, dan bagaimana ciri-
cirinya. Alim pun menjelaskannya. Saat itu juga, datanglah Imam Hapriadi (Imam)
menggunakan sepeda motor, dan memberhentikannya di depan Alim. Sekelebat, Alim menyapa
Imam karena mereka sudah saling kenal sebelumnya. Arifin masih mencurigai Alim dengan
kembali melanjutkan pertanyaan. Imam pun ikut mencurigai Alim. Arifin meminta Alim untuk
memastikan siapa perempuan yang kamarnya didatangi Alim, dan meminta Alim untuk
membuktikan apakah perempuan tersebut pacarnya atau bukan.

Mereka bertiga berjalan masuk ke Mess menuju kamar Eno. Di depan kamar, Alim
masuk ke kamar korban yang tidak terkunci. Melihat korban sedang tertidur, Arif dan Imam ikut
masuk ke kamar, dan mengenali korban. Arifin mengenal korban sebagai salah satu teman
kerjanya di pabrik PT. Polyta Global Mandiri, dimana Arifin pernah merasa sakit hati kepada
korban karena korban mengejek Arifin. Sedangkan Imam mengenal korban sebagai perempuan
yang disukai Imam, namun rasa suka tersebut tidak pernah ditanggapi korban.

Tiba-tiba, Imam langsung mendekap wajah korban dengan bantal. Imam juga
memerintahkan Alim untuk mencari pisau untuk membunuh korban. Imam mengatakan “udah lo
ambil pisau sana, nanti kalo dia gak mati lo juga bakalan ditangkep”. Alim pun menuruti
perintah tersebut dan langsung menuju dapur Mess yang berada di luar. Sesampainya di dapur,
Alim tidak menemukan pisau. Ia pun keluar Mess menuju sebuah bangunan rumah yang belum
selesai yang jaraknya 12 meter dari Mess. Di tempat itu Alim menemukan sebuah cangkul, dan
kembali menuju kamar korban. Cangkul tersebut Ia berikan ke Arifin. Namun Arifin
memerintahkan Alim untuk “mengcangkul’ korban. Alim menurutinya. Ia ayunkan cangkul itu
ke kepala sebanyak satu kali. Pukulan tersebut mengenai dagu sebelah kanan mendekati leher
hingga korban menjulurkan lidahnya keluar.

Tidak kuat melihat kondisi korban, Alim sempat syok dan keluar kamar. Cangkul
tersebut diletakkannya di dekat korban. Arifin dan Imam masih di dalam kamar berusaha
membekap korban. Arifin sempat memperkosa korban, dan mengeluarkan sperma di bagian
selangkangan korban. Korban masih dalam keadaan bergerak, Imam pun membuka bekapannya
dan mengambil garpu yang sudah disiapkannya di saku celananya. Kemudian Imam menyayat
wajah korban sebanyak tiga kali.
Imam masih membekap dan melilit korban dengan bantal dan kain yang sudah
berlumuran darah. Imam juga memegangi tangan korban yang diletakkan Imam di atas kepala
korban, sehingga posisi korban membentang. Sedangkan Arifin menduduki paha korban. Alim,
yang semula di luar, masuk kembali dan langsung mengigit puting susu sebelah kiri korban.
Setelah itu, Alim menduduki paha korban dan melebarkan posisi paha tersebut. Kemudian,
Arifin memasukkan cangkul yang sudah diambil Alim ke dalam kemaluan korban menggunakan
kaki kirinya. Tindakan tersebut membuat darah menyiprat ke Alim.

Melihat kondisi korban yang sudah tidak bergerak, mereka menutupi korban
menggunakan pakaian yang ada di kamar. Telepon seluler milik korban tidak lupa dibawa oleh
Alim. Para pelaku pun keluar kamar. Imam keluar kamar dan mengunci dari luar setiap kamar
Mess tersebut. Sedangkan Arifin mengunci kamar korban menggunakan gembok. Setelah itu,
Imam, Alim, dan Arifin meninggalkan Mess Wanita PT. Polyta Global Mandiri;

B. Hasil Visum et Repertum

Hasil Visum et Repertum sebagaimana yang tercantum dalam putusan ini sebagai alat
bukti surat adalah:

1. Hasil pemeriksaan sementara tanggal 14 Mei 2016 dan Visum et Repertum Nomor :
P.02/038/V/2016 tanggal 22 Mei 2016 yang ditandatangani oleh dr. Evi Untoro, SpF,
dengan kesimpulan:
a. Pada pemeriksaan korban mayat perempuan berusia kurang lebih dua puluh tahun ini
ditemukan:
- memar pada kelopak atas dan bawah sudut mata kiri, sudut kiri bibir atas dan
bawah, tungkai bawah kaki kanan sisi depan, pergelangan kaki kanan ;
- luka terbuka tepi tidak rata dengan patah tulang pada rahang kanan bawah
- patah berkeping pada tulang pipi,
- luka terbuka dangkal, luka lecet gores dan luka lecet tekan pada pipi kanan, leher,
dada yang diakibatkan oleh kekerasan tumpul.
- luka lecet tekan terputus kecil-kecil dikelilingi memar yang pola dan gambarannya
sesuai dengan pola luka akibat gigitan manusia pada bagian dada kiri dan kanan,
maupun puting susu kiri dan kanan korban .
- Pada lubang kemaluan terdapat luka terbuka tepi tidak rata dengan pendarahan akibat
kekerasan tumpul dan tampak gagang cangkul yang masih melekat pada luka;

b. Pada pemeriksaan dalam ditemukan :


- luka terbuka yang menembus lapisan penutup rongga panggul (peritoneum),
rongga perut, merobek penggantung usus besar isi kanan, merobek organ hati,
merobek sekat rongga dada kanan (diafragma), merobek organ paru kanan baga
atas sisi bawah, berakhir di iga kelima dada kanan disertai pendarahan pada
rongga dada sejumlah dua ratus sentimeter kubik dan pendarahan pada rongga
perut sejumlah tiga ratus sentimeter kubik;

c. Sebab kematian pasti diakibatkan kekerasan tumpul berupa gagang cangkul yang
melalui lubang kemaluan menembus rongga panggul, rongga perut, merobek hati,
merobek sekat rongga dada kanan, merobek bagian atas sisi bawah paru paru kanan
sehingga mengalami pendarahan.

d. Kekerasan tumpul pada dada kiri dan kanan maupun puting susu kiri dan kanan
merupakan kekerasan seksual/perbuatan cabul pelaku terhadap korban dan
kekerasan tumpul pada leher secara tersendiri dapat menyebabkan kematian pada
korban;

2. Hasil pemeriksaan CT Scan nomor foto 71/VER.V2016/ML, yang ditandatangani dr. A.


Munir, Sp. Rad, dokter pada Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri Rumah Sakit
Kepolisian Pusat SR. Sukanto, dengan hasil:
a. Tampak gambaran benda padat berbentuk panjang yang berdensitas kayu (gagang pacul)
yang masuk mulai cavum pelvis-abdomen tampak cavum thorac sisi kanan yang
merusak/menembus organ genetalia dan liver lobus kanan, menembus diaphragma kanan
dan paru kanan disertai pendarahan intra abdomen dan cavum thorax terutama
kanan serta pneum othorax kanan.
b. Ginjal kanan kiri intak.
c. Lien intak.

Kesan :
Gambaran benda asing bentuk kayu panjang (gagang pacul) yang masuk melalui
pelvis organ generalis sampai cavum thorax sisi kanan, disertai kerusakan organ-organ
generalis, liver lobus kanan (disertai perdarahan intra abdomen) sampai cavum
thorax kanan disertai kerusakan paru (disertai hemtopneum othorax kanan).

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan kasus posisi dan hasil visum et repertum yang ada, terdapat beberapa hal
yang dapat diidentifikasi sebagai hal-hal yang perlu diketahui atau ditelusuri lebih jauh tentang
ilmu kedokteran forensik, seperti disiplin ilmu kedokteran forensik apa yang digunakan untuk
memeriksa korban; bagaimana disiplin ilmu kedokteran forensik tersebut memeriksa jenazah
korban; dan sudah tepatkah proses pemeriksaan tersebut. Selain itu, juga perlu ditelusuri
mengenai keberlakuan hukum dalam proses visum et repertum, seperti dasar hukum dari
pemeriksaan forensik; dan kekuatan hukum visum et repertum. Oleh karena itu, rumusan
masalah dalam tulisan ini, antara lain:

1. Bagaimana kedudukan Visum et Repertum dalam suatu perkara pidana?


2. Bagaimana hasil Visum et Repertum pada kasus ini berdasarkan ilmu kedokteran
forensik dan kesesuaian dengan fakta yang ada di persidangan?
II. Pembahasan

A. Kedudukan Visum et Repertum

Visum et repertum (VeR) adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan
penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup ataupun
mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah
sumpah, untuk kepentingan peradilan. Visum et Repertum berperan sebagai salah satu alat bukti
yang sah dalam proses pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dalam
VeR terdapat uraian hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang
karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.1

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan definisi,


bahkan tidak menyebutkan Visum et Repertum sebagai salah satu alat bukti. Begitu juga dalam
dalam RIB, yang merupakan bentuk KUHAP yang lama, tidak memuat perkataan Visum et
Repertum. Hanya di dalam lembaran negara Tahun 1973 No. 350 Pasal 1 dan pasal 2 yang
menyatakan bahwa Visum et Repertum (VeR) adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh
dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang
mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana.2

Dalam KUHAP, kedudukan VeR ini diatur sekaligus dengan kewenangan Dokter
Forensik dalam melakukan pemeriksaan terhadap korban dan prosedur permintaan VeR. Dalam
pasal 120 KUHAP, disebutkan bahwa dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta
pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Pasal ini mengatur kedudukan
seorang ahli dalam suatu proses penyidikan yang membutuhkan disiplin ilmu tertentu untuk
menemukan keterangan dari suatu petunjuk. Kemudian, pasal 133 ayat (1) menyatakan bahwa
dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan
ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
1
M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 273
2
Ramadhan Satria Halim, Peranan Ilmu Forensik Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Kekerasan Fisik Dalam
Lingkup Rumah Tangga Yang Dilakukan Istri Terhadap Suami, FH Universitas Hasanudin, Makassar, hlm. 30
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau
ahli lainnya. Pasal ini mengatur tentang peranan seorang Dokter Forensik untuk melakukan
pemeriksaan pada seorang yang terlibat tindak pidana. Selanjutnya, dalam pasal 133 ayat (2)
KUHAP mengatur bahwa permintaan keterangan ahli ini diakukan secara tertulis, yang dalam
surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat.

Mengenai kedudukan Visum et Repertum sebagai alat bukti dalam peradilan pidana,
pasal 184 ayat (1) KUHAP menentukan alat bukti yang sah, yaitu:

a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat ;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.

Pasal 186 KUHAP memberikan pengertian tentang keterangan ahli, yaitu apa yang seorang ahli
nyatakan di sidang pengadilan. Sementara, pasal 184 ayat (1) huruf c menjelaskan mengenai
surat keterangan ahli, yaitu surat yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal atas sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya. Berdasarkan penjelasan
di atas, kedudukan VeR dalam suatu perkara pidana adalah sebagai salah satu alat bukti yang
memberikan jawaban terkait pemeriksaan badan seseorang yang terlibat dalam suatu tindak
pidana. VeR ini dapat menjadi alat bukti surat, sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 187
ayat (1) huruf c. Namun, dapat menjadi lebih kuat dengan adanya keterangan ahli yang diberikan
di persidangan.

KUHAP menentukan siapa yang dapat meminta keterangan VeR ini, yaitu penyidik.
Berdasarkan pasal 6 ayat (1) KUHAP huruf a, yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat
polisi Republik Indonesia. Hal ini dipertegas dengan ketentuan pasal 7 ayat (1) yang menyatakan
bahwa seorang Penyidik memiliki kewenangan untuk mendatangkan orang ahli yang diperlukan
dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. Seorang dokter tidak boleh menolak
permintaan Visum et Repertum yang diajukan oleh Penyidik. Hal ini ditentukan dalam pasal 216
KUHP yang menyatakan: “Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau
permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi
sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk
mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja
mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling
banyak sembilan ribu rupiah.” Oleh karena itu, pemenuhan VeR salah satu bentuk kewajiban
yang diemban oleh Dokter dalam rangka membantu aparat penegak hukum dalam memecahkan
dan menerangkan suatu peristiwa pidana.

Intinya, esensi dari VeR adalah laporan tertulis dari apa yang dilihat dan ditemukan pada
orang yang sudah meninggal atau orang hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan/atau sebab
luka) yang dilakukan atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan dan membuat pendapat
dari sudut pandang kedokteran forensik. Perlu atau tidaknya penyidik meminta bantuan orang
ahli diperlukan, selain dalam hal/keadaan yang dibutuhkan berhubung dengan tindak pidana itu
sendiri, juga bila mana terhadap kasus tindak pidana itu perlu adanya kejelasan agar peristiwanya
menjadi lebih jelas karena kurangnya alat bukti.3

Sebagaimana yang disebut dalam pasal 133 ayat (2) KUHAP, penyidik haruslah
menyatakan pengajuan tersebut secara tertulis dan menyatakan pemeriksaan macam apa yang
diinginkan dengan tegas. Oleh karena itu, terdapat beberapa jenis Visum et Repertum, antara
lain:4

a. Visum et Repertum untuk orang hidup:


1. Visum et Repertum yang diberikan sekaligus, yaitu pembuatan visum et repertum
yang dilakukan apabila orang yang dimintakan visum et repertum tidak memerlukan
perawatan lebih lanjut atas kondisi luka-luka yang disebabkandari tindak pidana.
2. Visum et Repertum sementara, diperlukan apabila orang yang dimintakan visum et
repertum memerlukan perawatan lebih lanjut berhubungan dengan luka-luka yang
disebabkan dari tindak pidana. Visum et repertum sementara diberikan sementara
waktu, untuk menjelaskan keadaan orang yang dimintakan visum et repertum pada
saat pertama kali diperiksa oleh dokter.

3
Desi Mariayu Siregar, “Peranan Visum et Repertum dalam Proses Tindak Pidana Kealapaan Menyebabkan Orang
Lain Mati (Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen No. 670/Pid.B/2014/PN.Kpn),” (Skripsi Sarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan, 2017), hlm. 4
4
Dr. Y.A. Triana Ohoiwutun, S.H, M.H, “Ilmu Kedokteran Forensik”, hlm 24
3. Visum et Repertum lanjutan, diberikan apabila orang yang dimintakan Visum et
Repertum hendak meninggalkan rumah sakit dikarenakan telah sembuh, pulang
paksa, pindah rumah, sakit atau mati.
b. Visum et Repertum Mayat
Tujuan pembuatannya untuk orang yang mati atau diduga kematiannya
dikarenakan peristiwa pidana. Pemeriksaan atas mayat haruslah dilakukan dengan cara
bedah mayat atau otopsi forensik, yang dilakukan untuk mengetahui penyebab pasti
kematian seseorang. Pemeriksaan atas mayat dengan cara melakukan pemeriksaan di luar
tubuh, tidak dapat secara tepat menyimpulkan penyebab pasti kematian seseorang. Hanya
bedah mayat forensik yang dapat menentukan penyebab pasti kematian seseorang. Pada
pembuatan VeR ini, penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran
Forensik untuk dilakukan bedah mayat (otopsi).5

B. Analisis Hasil Visum et Repertum

Mengenai Kesimpulan Visum et Repertum

Menurut Triana Ohoiwutun, isi dari Visum et Repertum adalah terdiri dari Pendahuluan,
Pemberitaan, Kesimpulan, dan Penutup. Selain itu, ciri khas dari VeR adalah adanya kata Pro
Justitia di sudut kiri atas surat, yang merupakan persyaratan yuridis sebagai pengganti materai. 6
Bagian VeR yang dicantumkan dalam putusan ini adalah bagian Kesimpulan. Bagian ini memuat
intisari dari hasil pemeriksaan yang disertai pendapat dokter sesuai dengan pengetahuan dan
pengalamannya. Dalam kesimpulan diuraikan pula hubungan kausal antara kondisi tubuh yang
diperiksa dengan segala akibatnya.7 Selain itu, pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur,
yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka.

Kesimpulan VeR adalah pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh
pengaruh suatu pihak tertentu. Namun, di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat
pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, standar profesi dan

5
Winda Trijhayanti Utama, “Visum et Repertum: A Medicolegal Report As A Combination of Medical Knowledge
and Skill with Legal Jurisdiction,” JUKE, vol. 4 No. 8, (September 2014), hlm.273
6
Dr. Y.A. Triana Ohoiwutun, S.H, M.H, “Ilmu Kedokteran Forensik”, hlm 22
7
Ibid.
ketentuan hukum yang berlaku. Kesimpulan VeR harus dapat menjembatani antara temuan
ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum. Kesimpulan bukanlah hanya
resume hasil pemeriksaan, melainkan lebih ke arah interpretasi hasil temuan dalam kerangka
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.8

Berdasarkan penjelasan kesimpulan tersebut, menurut Penulis, kesimpulan VeR yang


tercantum dalam putusan ini sudahlah memenuhi kriteria kesimpulan suatu VeR. VeR yang
tercantum dalam putusan menyebutkan jenis-jenis luka yang terdapat di tubuh korban bagian
luar. Walaupun tidak menyatakan derajat kualifikasi luka pada setiap luka yang ada, namun
penjelasan-penjelasan mengenai luka luar yang ada di tubuh korban ini cukup menjelaskan, atau
tepatnya sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Selain itu, penjabaran kesimpulan tentang
pemeriksaan luar tubuh korban ini juga dilengkapi dengan hubungan kausal antara kondisi tubuh
yang diperiksa dengan segala akibatnya, seperti menyebutkan adanya luka lecet gores dan luka
lecet tekan pada pipi kanan, leher, dan dada yang diakibatkan oleh kekerasan tumpul.

Sebuah kesimpulan VeR pada jenazah harus memuat identitas korban, jenis luka, jenis
kekerasan, dan sebab kematian.9 VeR yang ada di putusan ini telah lengkap dan jelas dalam
menyatakan jenis luka, jenis kekerasan, dan sebab kematian korban. Kesimpulan ini menjelaskan
luka-luka yang dialami korban, baik yang ada di tubuh korban, maupun bagian dalam tubuh
korban. Kemudian, VeR ini juga menyatakan sebab kematian korban, yaitu diakibatkan
kekerasan tumpul berupa gagang cangkul yang dimasukkan melalui lubang kemaluan hingga
menembus rongga panggul, rongga perut, merobek hati, merobek sekat rongga dada kanan,
merobek paru-paru kanan sehingga mengalami pendarahan.

Walaupun secara struktur kesimpulan VeR ini telah benar, namun menurut Penulis
terdapat satu kejanggalan dalam VeR ini. VeR yang dilakukan terhadap korban ini merupakan
VeR terhadap mayat, dimana VeR tersebut dilakukan dengan cara pembedahan atau otopsi
forensik. Namun dalam kesimpulan VeR putusan ini tidaklah dinyatakan secara tegas bahwa
VeR ini dilakukan dengan pembedahan. Pada bagian alat bukti, hasil VeR ini hanya disebutkan
sebagai VeR biasa yang disertai dengan kesimpulan VeR tersebut, tanpa menyatakan bahwa VeR
ini merupakan VeR terhadap mayat sehingga dilakukan otopsi. Namun pada bagian kesimpulan,
8
Winda Trijhayanti Utama, hlm 274
9
dr. Zaenal Sugiyanto, Visum et Repertum, http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/VeR_copy.pdf. Diakses pada
tanggal 24 Oktober 2018
selain menjelaskan jenis luka dan jenis kekerasan yang ada pada tubuh korban, juga terdapat
pemeriksaan dalam, yang menjelaskan luka yang dialami bagian dalam tubuh korban. Dari hal
inilah Penulis menyimpulkan bahwa pada VeR ini, juga dilakukan otopsi pada korban, yaitu
dengan adanya penjelasan pemeriksaan dalam. Hal ini disebabkan karena untuk mendapatkan
hasil pemeriksaan dalam, diperlukan pembedahan pada korban.

Selain dilakukan otopsi, Dokter juga melakukan pemeriksaan menggunakan CT Scan.


Hal ini dibutuhkan untuk memindai bagian dalam tubuh. Menurut Penulis, CT Scan ini
dilakukan sebelum dilakukan otopsi sebagai pemeriksaan sementara pada bagian dalam tubuh
korban.

Mengenai Adanya Kejahatan Seksual

Fakta yang ada dalam putusan menyatakan bahwa para pelaku melakukan pembunuhan
dengan cara memasukkan cangkul ke dalam lubang kemaluan korban. Selain itu, dikatakan
dalam dakwaan bahwa sebelum pembunuhan tersebut dilakukan, salah satu pelaku melakukan
pemerkosaan terhadap korban dan mengeluarkan sperma di selangkangan korban. Namun,
kesimpulan VeR yang ada di dalam putusan tidak menyebutkan adanya tanda-tanda perkosaan,
seperti adanya robekan selaput dara atau luka pada bibir kemaluan. Hal ini mungkin disebabkan
tanda-tanda perkosaan tersebut memiliki kesamaan hasil pemeriksaan dengan dimasukkannya
cangkul. Sehingga, yang tergambar dalam kesimpulan adalah adanya kekerasan pada lubang
kemaluan yang menyebabkan kematian. Akan tetapi, terdapat salah satu tanda yang dapat
menggambarkan terjadinya perkosaan yang luput dalam VeR, yaitu adanya sperma yang
dikeluarkan di sekitar selangkangan.

Berdasarkan perkuliahan Kedokteran Forensik dan Medikolegal yang diajarkan oleh


salah satu Pengajar Mata Kuliah tersebut tentang Kejahatan Seksual, adanya sperma di sekitar
kemaluan dapat menggambarkan adanya kejahatan seksual. Sebelumnya, yang perlu diingat
adalah bahwa dalam pemeriksaan korban perkosaan, seorang Dokter hanya membuktikan adanya
persetubuhan dan kekerasan. Dokter tidaklah berwenang untuk menyatakan bahwa adanya
perkosaan. Namun, setidaknya dengan adanya sperma ini, seharusnya dapatlah ditarik
kesimpulan oleh penyidik bahwa adanya kejahatan seksual, entah itu perkosaan atau pencabulan,
karena tidak tergambar adanya penis melakukan penetrasi ke vagina.

Kesimpulan mengenai adanya kekerasan seksual dalam VeR ini dibuktikan dengan
ditemukannya luka lecet tekan terputus kecil-kecil dikelilingi memar yang pola dan
gambarannya sesuai dengan pola luka akibat gigitan manusia pada payudara dan puting. Menurut
Penulis hal ini sudah tepat untuk membuktikan adanya kekerasan seksual yang dialami korban
sebelum dibunuh.
III. Penutup

Kesimpulan

Visum et Repertum merupakan salah satu alat bukti yang sah berdasarkan pasal 184
KUHAP. VeR digolongkan sebagai alat bukti surat. Hal ini juga telah ditentukan dalam pasal
187 ayat (1) huruf c KUHAP yang memuat surat keterangan ahli sebagai salah satu jenis alat
bukti surat. Selain itu, VeR ini dapat dikuatkan dengan adanya keterangan ahli di persidangan.

Secara keseluruhan, kesimpulan VeR yang ada di putusan sudah tepat dan lengkap
memuat hasil VeR. VeR ini memuat jenis luka, jenis kekerasan, dan sebab kematian. Selain itu,
adanya pemeriksaan bagian dalam tubuh korban menjelaskan adanya tindakan lain selain
kekerasan yang tergambar dari bagia luar tubuh korban. Kemudian, pemeriksaan korban juga
dilakukan menggunakan CT Scan. Menurut penulis, pemeriksaan tersebut dilakukan sebelum
dilaksanakannya otopsi, sebagai pemeriksaan sementara.

Berdasarkan kesimpulan VeR yang ada dalam putusan , VeR ini dilakukan dengan otopsi.
Hal ini Penulis nyatakan bukan hanya karena objek pemeriksaan ini adalah mayat, tapi juga
dengan adanya hasil pemeriksaan pada bagian dalam tubuh. Pemeriksaan bagian dalam tubuh ini
didapatkan dengan melakukan pembedahan tubuh korban. Namun, VeR ini tidaklah menyatakan
secara tegas bahwa VeR dilakukan dengan otopsi forensik, melainkan hanya menyatakan sebagai
VeR biasa. VeR ini tidak menyatakan secara spesifik jenis VeR yang dilakukan. Hal inilah yang
menjadi dasar Penulis membahas mengenai jenis VeR pada putusan ini.

Dalam putusan ini disebutkan bahwa tanda adanya kekerasan seksual adalah adanya
bekas gigitan di bagian payudara dan puting korban. Menurut Penulis, selain bekas gigitan,
seharusnya bekas sperma yang dikeluarkan salah satu pelaku di sekitar kemaluan korban dapat
menjadi tanda adanya kekerasan seksual yang mengarah pada perkosaan. Hal ini dikarenakan
sperma tersebut terdapat di sekitar kemaluan. Sedangkan bekas gigitan tidaklah dapat menjadi
tanda adanya perkosaan, melainkan hanya adanya perbuatan cabul.
Saran

Pada suatu VeR, seharusnya dinyatakan jenis VeR tersebut. Walaupun mungkin secara
logis dan berdasarkan fakta yang ada di putusan dapat disimpulkan jenis VeR, namun
dinyatakannya jenis VeR dapat membantu penyidik dalam mengartikan dan memahami hasil dari
VeR, dan mengetahui kekurangan dari VeR tersebut.

Anda mungkin juga menyukai