Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH POLITIK ANTI KORUPSI SOP422

“ANALISIS KASUS KORUPSI NASIONAL DAN INTERNASIONAL”

Disusun Oleh
Agiv Rizkitama 072111333067
Arshya Fatimah Azzahra 072111333027
Cici Arisandi Hidayat 07211133026

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2023
I. PENDAHULUAN

Korupsi telah menjadi salah satu masalah yang merajalela di banyak negara di seluruh
dunia. Korupsi juga merupakan ancaman serius bagi stabilitas politik karena korupsi merusak
prinsip-prinsip demokrasi, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menghalangi pembangunan
sosial. Fenomena ini mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, mulai dari pembangunan
infrastruktur hingga layanan publik, dan secara langsung membahayakan kesejahteraan
masyarakat. Maraknya korupsi menimbulkan dampak serius yang meluas ke berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Di sektor publik, korupsi dapat menghambat efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pelayanan publik, serta mempengaruhi kredibilitas lembaga negara. Di sektor
swasta, korupsi dapat merusak persaingan usaha yang sehat dan menciptakan ketidakadilan
dalam pengalokasian sumber daya. Akibatnya, maraknya korupsi tidak hanya merugikan
pemerintah dan lembaga swasta, tetapi juga merugikan masyarakat luas.

Selain itu, bahaya korupsi tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi dan sosial, tetapi juga
mencakup dampak psikologis dan moral. Praktik korupsi menghancurkan kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga publik, serta memicu sikap skeptisisme dan apatis
terhadap proses demokrasi. Selain itu, korupsi juga menciptakan lingkungan kerja yang tidak
sehat, di mana loyalitas dan integritas diabaikan demi kepentingan pribadi dan kelompok
tertentu. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang penyebab, konsekuensi, dan strategi
pencegahan korupsi menjadi sangat penting bagi pembangunan suatu negara yang berkelanjutan
dan berkeadilan. Melalui penelitian dan upaya pemberantasan yang berkelanjutan, diharapkan
dapat diciptakan sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan berintegritas, sehingga dapat
mengurangi maraknya korupsi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
II. PEMBAHASAN

a. Kasus Korupsi Siemens Aktiengesellschaft

Siemens Aktiengesellschaft, atau Siemens AG adalah sebuah perusahaan


multinasional Jerman yang bergerak di bidang konstruksi, komunikasi, peralatan medis,
serta transportasi. Siemens AG, juga termasuk sebagai salah satu perusahaan terbesar di
Jerman. Korupsi yang dilakukan oleh perusahaan ini merupakan salah satu kasus korupsi
perusahaan terbesar dalam sejarah. Perusahaan ini terbukti bersalah karena memberikan
suap kepada pemerintah di berbagai negara, mulai dari negara berkembang hingga negara
maju ditemukan telah membayar suap kepada pejabat pemerintah dan pegawai negeri di
seluruh dunia selama lebih dari satu dekade, dengan total sekitar US$1,4 miliar. Skandal
ini mengejutkan dunia karena skala dan jangkauan geografisnya yang begitu luas.
Sebelum munculnya skandal korupsi, reputasi Siemens sangat baik. Perusahaan ini
dikenal karena produk teknologinya dan layanan yang handal di bidang telekomunikasi,
tenaga, transportasi, dan peralatan medis. Namun, realitasnya sangat berbeda.

Sejak setidaknya tahun 1990-an, Siemens telah mengorganisir sistem korupsi


global untuk mendapatkan pangsa pasar dan meningkatkan harga jual dan keuntungan
perusahaannya. Salah satu proyek yang ditangani oleh Siemens AG adalah pengadaan
barang dalam Program PBB ‘Minyak untuk Makanan’ (United Nations Oil for Food
Program, UN-OFFP). Pada tahun 2000-2002, Siemens AG terbukti memberikan suap
kepada rezim Saddam Hussein selama keikutsertaannya dalam program ini di Irak.
Dalam kasus korupsi yang terjadi di Irak ini, menunjukkan bahwa korupsi dalam
UN-OFFP melibatkan tiga institusi: Siemens AG, rezim Saddam Hussein, dan PBB.
Faktor penyebab korupsi ini termasuk pragmatisme dalam memenuhi motif ekonomi,
didorong oleh budaya yang akomodatif, serta dimungkinkan oleh lemahnya mekanisme
penegakan hukum di negara tujuan. Selain itu, pada tahun 2008, Siemens AG juga
terlibat dalam kasus korupsi yang melibatkan pembayaran suap secara sistematis kepada
pejabat pemerintah asing untuk memperoleh bisnis. Kasus ini melibatkan transaksi luas,
seperti desain dan konstruksi jalur transit metro di Venezuela, pembangkit listrik di Israel,
dan kilang minyak di Meksiko. Siemens juga menggunakan suap untuk memperoleh
bisnis seperti pengembangan jaringan telepon seluler di Bangladesh, kartu identitas
nasional di Argentina, dan perangkat medis di Vietnam, Tiongkok, dan Rusia. Selain itu,
Siemens membayar komisi tersembunyi kepada kementerian Irak terkait penjualan
pembangkit listrik dan peralatan di bawah Program PBB UN-OFFP tersebut.

Kasus korupsi yang dilakukan Siemens AG, melibatkan sejumlah individu dan
praktik korupsi yang sangat merusak reputasi perusahaan. Beberapa individu yang
terlibat dalam skandal ini antara lain Michael Kutschenreuter dan Andy Mattes, anggota
dewan di divisi komunikasi tetap Siemens (Siemens COM), yang diselidiki. Selain itu,
sejumlah mantan eksekutif Siemens juga diharapkan menghadapi tuduhan pelanggaran
kepercayaan karena penyalahgunaan dana lebih dari 200 juta euro, yang diduga
digunakan sebagai suap untuk memperoleh kontrak menguntungkan bagi perusahaan.
Siemens AG telah mengorganisir sistem korupsi global selama beberapa dekade untuk
memperoleh pangsa pasar dan meningkatkan harga. Praktik suap dilakukan melalui
rekening bank tersembunyi, perantara yang tidak jelas, dan "konsultan" semu, dengan
karyawan Siemens menggunakan istilah "nützliche aufwendungen" (pengeluaran yang
berguna) atau secara internal dimaknai sebagai "suap" ketika menghitung biaya proyek.
Akibat dari tindakan korupsi ini, Siemens setuju untuk membayar $350 juta sebagai
penggantian atas tindakan tersebut kepada SEC dan denda $450 juta kepada Departemen
Kehakiman Amerika Serikat untuk menyelesaikan tuntutan pidana. Siemens AG juga
harus membayar denda sekitar $569 juta kepada Kantor Jaksa Agung di Munich, tempat
perusahaan sebelumnya membayar denda sekitar $285 juta pada Oktober 2007. Kasus
korupsi Siemens ini menunjukkan pentingnya kerjasama internasional dalam menangani
tindakan korupsi oleh perusahaan multinasional. Tindakan ini juga menjadi catatan
sejarah dalam penerapan Undang-Undang Praktik Korupsi Asing (Foreign Corrupt
Practices Act, FCPA) sejak tahun 1977.

b. Kasus Korupsi Bantuan Sosial Kemensos RI

Pada tahun 2020 Indonesia mengalami permahasalan ekonomi yang disebabkan


oleh pandemi Covid-19. Untuk memastikan kesejahteraan masyarakat di masa sulit,
pemerintah Indonesia melakukan berbagai langkah jaminan sosial yang salah satunya
dilakukan melalui bantuan sosial. Pembatasan sosial yang diberlakukan di masa ini
membuat pemerintah memberikan bantuan kepada masyarakat terdampak yang tidak bisa
beraktivitas seperti biasanya untuk mencari penghasilan. Ironisnya, imlementasi dari
pembagian bansos yang terjadi di lapangan mengalami permasalahan yaitu korupsi yang
dilakukan oleh pejabat Kementrian Sosial RI. Pada 6 Desember 2020, Komisi
Pemberantasan Korupsi menetapkan Juliari Batu Bara dan tiga orang lainnya sebagai
tersangka Kasus ini.

Ketua KPK menyatakan bahwa petugas kesejahteraan sosial (PPK) Kementrian


Sosial diduga menerima sumbangan dari Penyedia Barang dan Jasa (PJB) untuk bentuan
sosial di Kementrian Sosial. Permasalahan ini diawali dari perolehan bansos penanganan
Covid-19 di Kementrian Sosial berupa paket sembako bernilai sekitar Rp5.9 triliun
rupiah, Mensos yang saat itu menjabat yaitu Juliari Batubara Juliari menunjuk Matheus
Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam
pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung. Kemudian kontrak
pekerjaan dibuat oleh Matheus dan Adi pada bulan Mei-November 2020 dengan
beberapa suplier sebagai rekanan, yang di antaranya adalah Ardian I M dan Harry
Sidabuke (swasta) dan PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus.
Bekerja sama dengan Matheus dan Adi Wahyonoselaku pejabat penanggung jawab
Pelaksaan proyek ini dilakukan sebanyak dua periode. Pada periode pertama, dana yang
diterima adalah Rp12 miliar yang diterima oleh Juliari Batubara melalui Adi Wahyono
yang diberikan oleh Matheus. Dari informasi yang didapatkan KPK, uang tersebut
digunakan oleh Juari untuk keperluan pribadinya. Sedangkan pada periode kedua, uang
yang terkumpul didapatkan juliari sebesar Rp8.8 miliar.

Pada tahun 2020, Juliari, Matheus, dan Adi dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau
Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah
dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo
Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara Ardian I M dan Harry Sidabuke dari unsur
swasta, sebagai pemberi suap, dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1
huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

III. KAJIAN TEORI

Kasus Internasional (Siemens Aktiengesellschaft)

a. Principal-agent Theory

Teori principal-agent dapat dikaitkan untuk melihat motif daripada tindak korupsi
Perusahaan Siemens AG. Teori principal-agent sendiri mengasumsikan bahwa
kepentingan principal (publik) dan agent (pejabat publik) berbeda. Principal menentukan
aturan pembayaran dalam hubungannya dengan agent tetapi terdapat asimetri informasi
yang menguntungkan agent untuk kepentingannya (Groenendijk, 1997). Dikarenakan
keterbatasan informasi, principal tidak dapat secara sempurna memantau tindakan agent,
sehingga memiliki keleluasaan untuk mengejar kepentingan mereka sendiri (Marquette &
Peiffer, 2015). Melihat dari perspektif teori principal-agent, tindakan korupsi Siemens
AG dapat dijelaskan dengan prinsipal sebagai poin pertama, dimana pada konteks ini,
"prinsipal" adalah pemegang kepentingan utama atau pemilik perusahaan, yang mungkin
memiliki kepentingan dalam memaksimalkan keuntungan perusahaan dan memperoleh
pangsa pasar yang lebih besar. Pemegang saham dan manajemen perusahaan dianggap
sebagai prinsipal yang memiliki kepentingan untuk mengoptimalkan kinerja perusahaan
dan meningkatkan nilai bagi pemegang saham. Kemudian ada agen, yang mana"Agen"
dalam kasus ini adalah para eksekutif, manajer, atau karyawan perusahaan yang bertindak
atas nama prinsipal (perusahaan) dalam melakukan bisnis sehari-hari. Dalam beberapa
kasus, agen-agennya dapat memiliki insentif pribadi yang bertentangan dengan
kepentingan prinsipal, seperti memperoleh keuntungan pribadi melalui praktik korupsi,
terlepas dari dampak negatifnya pada perusahaan.
Dalam skandal korupsi Siemens AG, agen-agennya mungkin terlibat dalam
tindakan korupsi seperti memberikan suap kepada pejabat pemerintah atau pejabat asing
untuk memperoleh kontrak bisnis yang menguntungkan. Hal ini bertentangan dengan
kepentingan prinsipal (perusahaan) untuk beroperasi secara etis dan mematuhi hukum
yang berlaku. Oleh karena itu, ada perpecahan kepentingan antara prinsipal (perusahaan)
dan agen-agennya, yang dapat menyebabkan perilaku korupsi. Hal ini terjadi ketika satu
orang atau kelompok prinsipal (Siemens AG) memilih orang atau kelompok lain sebagai
agent, untuk bertindak atas nama principal (Negara atau Individu yang terlibat).

b. Willingness and Opportunity to Corrupt

Teori lainnya yang relevan dengan tindak korupsi perusahaan ini ialah perspektif
teori "willingness and opportunity to corrupt", kasus korupsi yang melibatkan Siemens
AG menyoroti sejumlah faktor yang menciptakan lingkungan yang memungkinkan dan
mendorong tindakan korupsi. Pertama-tama, kesediaan untuk melakukan tindakan
korupsi muncul dari dorongan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dan
memperluas pangsa pasar. Siemens AG, sebagai perusahaan multinasional yang
beroperasi di berbagai negara, mungkin merasa terdorong untuk menggunakan praktik
korupsi sebagai cara untuk menghasilkan keunggulan kompetitif dan meningkatkan
profitabilitasnya. Dorongan ini diperkuat oleh budaya organisasi yang mungkin
ambivalen terhadap etika bisnis, sehingga memungkinkan para pelaku di dalam
perusahaan untuk melihat tindakan korupsi sebagai suatu yang dapat diterima atau
bahkan dianjurkan.

Selanjutnya, kesempatan untuk melakukan korupsi muncul karena adanya celah


dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum, baik di dalam perusahaan maupun di
tingkat nasional atau internasional. Siemens AG menggunakan berbagai mekanisme
untuk menyembunyikan transaksi korupsi mereka, seperti rekening bank tersembunyi,
perantara yang tidak jelas, dan "konsultan" semu. Kurangnya kontrol internal yang efektif
memungkinkan perusahaan untuk melakukan korupsi tanpa takut akan deteksi atau
konsekuensi yang serius. Selain itu, lemahnya penegakan hukum di beberapa negara di
mana Siemens beroperasi juga menciptakan kesempatan bagi perusahaan untuk
melanggar hukum tanpa risiko hukuman yang signifikan. Faktor-faktor seperti
pragmatisme dalam memenuhi motif ekonomi, budaya yang akomodatif terhadap praktik
korupsi, serta kelemahan dalam sistem peradilan di negara-negara tujuan, semuanya
berkontribusi terhadap penciptaan lingkungan yang memungkinkan tindakan korupsi.

Dengan demikian, tindakan korupsi Siemens AG mencerminkan hubungan


kompleks antara kemauan dan kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi. Kesediaan
untuk melakukan korupsi muncul dari dorongan untuk memperoleh keuntungan yang
lebih besar, sementara kesempatan muncul dari celah dalam pengawasan internal
perusahaan dan penegakan hukum di tingkat nasional dan internasional. Oleh karena itu,
untuk mencegah kasus korupsi semacam ini, penting bagi perusahaan untuk memperkuat
kontrol internal mereka, mendorong budaya etika yang kuat, dan mendukung penegakan
hukum yang efektif di semua negara di mana mereka beroperasi.

Kasus Nasional (Bantuan Sosial Kemensos RI)

a. Cost-Benefit Theory

Teori cost-benefit merupakan salah satu teori penyebab teori yang


mengungkapkan bahwa korupsi bisa terjadi apabila manfaat ekonomi yang didapatkan
atau dirasakan lebih besar dari biaya atau resiko akibat melakukan korupsi. Dalam
konteks ini, korupsi dianggap sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh individu atau
pihak terlibat ketika manfaat yang mereka harapkan dari korupsi melebihi risiko atau
biaya yang mungkin mereka hadapi. manfaat yang dimaksud tidak selalu terbatas pada
keuntungan finansial semata, tetapi juga bisa mencakup keuntungan non-finansial, seperti
kekuasaan politik, fasilitas bisnis, atau pengakuan sosial. Di sisi lain, biaya atau resiko
yang terkait dengan korupsi dapat mencakup risiko hukuman atau denda, kerugian
reputasi, atau bahkan kerugian moral. Dalam banyak kasus, individu atau pihak terlibat
dalam korupsi mungkin merasakan bahwa manfaat yang mereka dapatkan dari tindakan
tersebut jauh lebih besar daripada biaya atau resiko yang mereka tanggung.

Pada kasus ini, pelaku tindak pidana korupsi yaitu Juliari Batubara sebagai pelaku
yang terlibat dari korupsi dana bantuan sosial ini mendapatkan manfaat ekonomi yaitu
dana yang didapatkan dari pelaksanaan bantuan sosial. Keuntungan yang didapatkan
Juliari Batubara adalah uang dengan total lebih dariRp17 miliar yang digunakan untuk
kepentingan pribadi. Manfaat ekonomi yang diperoleh Juliari Batubara dari praktik
korupsi tersebut menyoroti aspek penting dari teori cost-benefit dalam konteks korupsi.
Baginya, manfaat finansial yang besar dari dana bantuan sosial tersebut jelas terlihat
lebih besar daripada biaya atau risiko yang mungkin dia tanggung sebagai konsekuensi
dari tindakan korupsi tersebut. Dana yang diperoleh dari pelaksanaan program bantuan
sosial seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan, namun,
Juliari Batubara memilih untuk menggunakan dana tersebut untuk kepentingan
pribadinya.

Disisi lain, akibat perbuatannya, Juliari batubara diminta membayar uang ganti
rugi sebesar Rp14,4 miliar yang besarannya tidak sebanding dengan keuntungan yang
didapatkannya. Disisi lain, kerugaian dirasakan oleh penerima bansos yaitu orang-orang
yang membutuhkan akibat terkena dampak pandemi Covid-19 yang haknya diambil oleh
menteri yang seharusnya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
b. Gone Theory

Teori ini dikemukakan oleh Jack Bologne yang menjelaskan bahwa salah satu
faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meluputi empat aspek yakni Greeds
(keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan), dan Exposures
(pengungkapan). Dari kasus korupsi yang dilakukan pada pelaksanaan Bantuan Sosial
keempat aspek tadi menjadi dasar penyebab pelaku bisa melakukan korupsi. Melihat apa
yang dilakukan oleh Juliari, keempat aspek tersebut memang menjadi faktor penyebab
dia melakukan korupsi.

Pertama, keserakahan (greed), yaitu dorongan untuk memenuhi kebutuhan dengan


berlebihan. Juliari terlihat serakah karena dia memotong bantuan sosial yang seharusnya
diterima masyarakat pada saat mereka sedang mengalami kesulitan ekonomi akibat
pandemi Covid-19. Meskipun secara ekonomi Juliari sudah mampu, namun dorongan
untuk mendapatkan lebih banyak uang membuatnya tega melakukan hal tersebut. Kedua,
kesempatan (opportunities). Kesempatan untuk melakukan korupsi muncul ketika Juliari
diberi tanggung jawab oleh pemerintah untuk menyalurkan bantuan sosial kepada
masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi. Dengan berbagai strategi yang direncanakan
dengan cermat, Juliari memanfaatkan situasi tersebut untuk dengan mudah melakukan
korupsi, mulai dari memilih supplier yang merupakan rekan kerjanya hingga memotong
bagian dari setiap paket bantuan sosial. Ketiga, kebutuhan (needs). Juliari
menginstruksikan dua orang kepercayaannya untuk menyimpan uang hasil korupsi yang
kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Tindakan ini menunjukkan
bahwa Juliari memiliki kebutuhan yang perlu dipenuhi, dan korupsi dianggapnya sebagai
cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Terakhir, paparan (exposure) atau
pengungkapan. Juliari menyadari resiko yang mungkin dia hadapi jika terbukti
melakukan korupsi, namun hukuman yang dia terima tergolong ringan. Ini menunjukkan
bahwa risiko dari tindakan korupsi yang dilakukannya tidak sebanding dengan potensi
keuntungan yang diperolehnya.

Dengan mempertimbangkan keempat aspek tersebut, kita bisa melihat bahwa


kondisi yang memungkinkan korupsi terjadi telah ada dalam kasus Juliari. Kombinasi
dari keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan eksposur memungkinkannya untuk
melakukan tindakan korupsi dengan relatif mudah, dan hal ini menunjukkan bahwa upaya
pencegahan korupsi perlu diprioritaskan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di
masa depan.
KESIMPULAN

Kesimpulan dari kasus korupsi yang melibatkan Siemens Aktiengesellschaft (AG) dan
kasus korupsi Bantuan Sosial Kemensos RI menunjukkan bahwa korupsi dapat terjadi dalam
konteks perusahaan multinasional maupun di tingkat nasional, dan memiliki akibat yang
merugikan bagi masyarakat dan reputasi lembaga terkait. Berdasarkan kajian teori, dapat
disimpulkan beberapa hal. Teori Principal agent ini menjelaskan peran kompleks antara
pemegang kepentingan utama (principal) dan pelaksana (agent) dalam konteks tindakan korupsi.
Pemahaman tentang perbedaan kepentingan antara principal dan agent membantu menerangkan
motivasi dan perbuatan korupsi yang terjadi dalam kasus Siemens AG. Pengelolaan yang buruk
dari hubungan ini memungkinkan tindakan korupsi terjadi. Willingness and Opportunity to
Corrupt, Teori ini menyoroti pentingnya kesediaan dan kesempatan untuk melakukan korupsi.
Dalam kedua kasus tersebut, dorongan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan kelemahan
dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum memberikan kesempatan bagi tindakan korupsi
untuk terjadi. Cost-Benefit Theory, Teori ini menekankan bahwa korupsi bisa terjadi ketika
manfaat yang diperoleh dari tindakan korupsi dianggap lebih besar daripada biaya atau risiko
yang terkait. Dalam kedua kasus tersebut, pelaku korupsi memperhitungkan manfaat ekonomi
yang diperoleh daripada risiko hukuman atau kerugian reputasi. Gone Theory, Teori ini
mengidentifikasi empat aspek yang menjadi penyebab korupsi, yaitu keserakahan, kesempatan,
kebutuhan, dan paparan. Kasus korupsi Bantuan Sosial Kemensos RI memperlihatkan bahwa
keempat aspek tersebut menjadi dasar penyebab pelaku melakukan korupsi.

Secara keseluruhan, kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa korupsi adalah masalah
serius yang perlu ditangani melalui upaya pencegahan yang komprehensif, termasuk penguatan
kontrol internal, penegakan hukum yang tegas, budaya perusahaan yang etis, dan kerjasama
internasional dalam menangani tindakan korupsi oleh perusahaan multinasional. Upaya ini
penting untuk mencegah terulangnya kasus korupsi di masa depan dan memastikan keadilan
serta kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Puspapertiwi, S. (n.d.). Korupsi Siemens Aktiengesellschaft dalam United Nations-Oil


For Food Programme (Un-Offp) di Irak. In Indonesian Journal of International
Studies.

Sutarna, I., & Subandi, T. (2023). Korupsi Dana Desa Dalam Perspektif Principal-Agent.
Jurnal Administrasi Pemerintahan Desa, 04(2), 121–135.
https://doi.org/10.47134

SEC.gov | Siemens Aktiengesellschaft. (2008, December 15).

https://www.sec.gov/litigation/litreleases/lr-20829

Former Siemens executive pleads guilty in Manhattan Federal Court to $100 million

foreign bribery scheme. (2018, March 15).

https://www.justice.gov/usao-sdny/pr/former-siemens-executive-pleads-guilty-ma

nhattan-federal-court-100-million-foreign

Hardiansyah, M.A. et al. (2023) ‘Penyalahgunaan Kekuasaan Dalam Korupsi Dana


Bantuan Sosial Oleh Juliari Batubara Di Era Pandemi Covid-19’, Edu Sociata (
Jurnal Pendidikan Sosiologi), 6(1), pp. 164–171. doi:10.33627/es.v6i1.1157.

Anda mungkin juga menyukai