Disusun Oleh
Agiv Rizkitama 072111333067
Arshya Fatimah Azzahra 072111333027
Cici Arisandi Hidayat 07211133026
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2023
I. PENDAHULUAN
Korupsi telah menjadi salah satu masalah yang merajalela di banyak negara di seluruh
dunia. Korupsi juga merupakan ancaman serius bagi stabilitas politik karena korupsi merusak
prinsip-prinsip demokrasi, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menghalangi pembangunan
sosial. Fenomena ini mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, mulai dari pembangunan
infrastruktur hingga layanan publik, dan secara langsung membahayakan kesejahteraan
masyarakat. Maraknya korupsi menimbulkan dampak serius yang meluas ke berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Di sektor publik, korupsi dapat menghambat efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pelayanan publik, serta mempengaruhi kredibilitas lembaga negara. Di sektor
swasta, korupsi dapat merusak persaingan usaha yang sehat dan menciptakan ketidakadilan
dalam pengalokasian sumber daya. Akibatnya, maraknya korupsi tidak hanya merugikan
pemerintah dan lembaga swasta, tetapi juga merugikan masyarakat luas.
Selain itu, bahaya korupsi tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi dan sosial, tetapi juga
mencakup dampak psikologis dan moral. Praktik korupsi menghancurkan kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga publik, serta memicu sikap skeptisisme dan apatis
terhadap proses demokrasi. Selain itu, korupsi juga menciptakan lingkungan kerja yang tidak
sehat, di mana loyalitas dan integritas diabaikan demi kepentingan pribadi dan kelompok
tertentu. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang penyebab, konsekuensi, dan strategi
pencegahan korupsi menjadi sangat penting bagi pembangunan suatu negara yang berkelanjutan
dan berkeadilan. Melalui penelitian dan upaya pemberantasan yang berkelanjutan, diharapkan
dapat diciptakan sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan berintegritas, sehingga dapat
mengurangi maraknya korupsi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
II. PEMBAHASAN
Kasus korupsi yang dilakukan Siemens AG, melibatkan sejumlah individu dan
praktik korupsi yang sangat merusak reputasi perusahaan. Beberapa individu yang
terlibat dalam skandal ini antara lain Michael Kutschenreuter dan Andy Mattes, anggota
dewan di divisi komunikasi tetap Siemens (Siemens COM), yang diselidiki. Selain itu,
sejumlah mantan eksekutif Siemens juga diharapkan menghadapi tuduhan pelanggaran
kepercayaan karena penyalahgunaan dana lebih dari 200 juta euro, yang diduga
digunakan sebagai suap untuk memperoleh kontrak menguntungkan bagi perusahaan.
Siemens AG telah mengorganisir sistem korupsi global selama beberapa dekade untuk
memperoleh pangsa pasar dan meningkatkan harga. Praktik suap dilakukan melalui
rekening bank tersembunyi, perantara yang tidak jelas, dan "konsultan" semu, dengan
karyawan Siemens menggunakan istilah "nützliche aufwendungen" (pengeluaran yang
berguna) atau secara internal dimaknai sebagai "suap" ketika menghitung biaya proyek.
Akibat dari tindakan korupsi ini, Siemens setuju untuk membayar $350 juta sebagai
penggantian atas tindakan tersebut kepada SEC dan denda $450 juta kepada Departemen
Kehakiman Amerika Serikat untuk menyelesaikan tuntutan pidana. Siemens AG juga
harus membayar denda sekitar $569 juta kepada Kantor Jaksa Agung di Munich, tempat
perusahaan sebelumnya membayar denda sekitar $285 juta pada Oktober 2007. Kasus
korupsi Siemens ini menunjukkan pentingnya kerjasama internasional dalam menangani
tindakan korupsi oleh perusahaan multinasional. Tindakan ini juga menjadi catatan
sejarah dalam penerapan Undang-Undang Praktik Korupsi Asing (Foreign Corrupt
Practices Act, FCPA) sejak tahun 1977.
Pada tahun 2020, Juliari, Matheus, dan Adi dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau
Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah
dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo
Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara Ardian I M dan Harry Sidabuke dari unsur
swasta, sebagai pemberi suap, dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1
huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
a. Principal-agent Theory
Teori principal-agent dapat dikaitkan untuk melihat motif daripada tindak korupsi
Perusahaan Siemens AG. Teori principal-agent sendiri mengasumsikan bahwa
kepentingan principal (publik) dan agent (pejabat publik) berbeda. Principal menentukan
aturan pembayaran dalam hubungannya dengan agent tetapi terdapat asimetri informasi
yang menguntungkan agent untuk kepentingannya (Groenendijk, 1997). Dikarenakan
keterbatasan informasi, principal tidak dapat secara sempurna memantau tindakan agent,
sehingga memiliki keleluasaan untuk mengejar kepentingan mereka sendiri (Marquette &
Peiffer, 2015). Melihat dari perspektif teori principal-agent, tindakan korupsi Siemens
AG dapat dijelaskan dengan prinsipal sebagai poin pertama, dimana pada konteks ini,
"prinsipal" adalah pemegang kepentingan utama atau pemilik perusahaan, yang mungkin
memiliki kepentingan dalam memaksimalkan keuntungan perusahaan dan memperoleh
pangsa pasar yang lebih besar. Pemegang saham dan manajemen perusahaan dianggap
sebagai prinsipal yang memiliki kepentingan untuk mengoptimalkan kinerja perusahaan
dan meningkatkan nilai bagi pemegang saham. Kemudian ada agen, yang mana"Agen"
dalam kasus ini adalah para eksekutif, manajer, atau karyawan perusahaan yang bertindak
atas nama prinsipal (perusahaan) dalam melakukan bisnis sehari-hari. Dalam beberapa
kasus, agen-agennya dapat memiliki insentif pribadi yang bertentangan dengan
kepentingan prinsipal, seperti memperoleh keuntungan pribadi melalui praktik korupsi,
terlepas dari dampak negatifnya pada perusahaan.
Dalam skandal korupsi Siemens AG, agen-agennya mungkin terlibat dalam
tindakan korupsi seperti memberikan suap kepada pejabat pemerintah atau pejabat asing
untuk memperoleh kontrak bisnis yang menguntungkan. Hal ini bertentangan dengan
kepentingan prinsipal (perusahaan) untuk beroperasi secara etis dan mematuhi hukum
yang berlaku. Oleh karena itu, ada perpecahan kepentingan antara prinsipal (perusahaan)
dan agen-agennya, yang dapat menyebabkan perilaku korupsi. Hal ini terjadi ketika satu
orang atau kelompok prinsipal (Siemens AG) memilih orang atau kelompok lain sebagai
agent, untuk bertindak atas nama principal (Negara atau Individu yang terlibat).
Teori lainnya yang relevan dengan tindak korupsi perusahaan ini ialah perspektif
teori "willingness and opportunity to corrupt", kasus korupsi yang melibatkan Siemens
AG menyoroti sejumlah faktor yang menciptakan lingkungan yang memungkinkan dan
mendorong tindakan korupsi. Pertama-tama, kesediaan untuk melakukan tindakan
korupsi muncul dari dorongan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dan
memperluas pangsa pasar. Siemens AG, sebagai perusahaan multinasional yang
beroperasi di berbagai negara, mungkin merasa terdorong untuk menggunakan praktik
korupsi sebagai cara untuk menghasilkan keunggulan kompetitif dan meningkatkan
profitabilitasnya. Dorongan ini diperkuat oleh budaya organisasi yang mungkin
ambivalen terhadap etika bisnis, sehingga memungkinkan para pelaku di dalam
perusahaan untuk melihat tindakan korupsi sebagai suatu yang dapat diterima atau
bahkan dianjurkan.
a. Cost-Benefit Theory
Pada kasus ini, pelaku tindak pidana korupsi yaitu Juliari Batubara sebagai pelaku
yang terlibat dari korupsi dana bantuan sosial ini mendapatkan manfaat ekonomi yaitu
dana yang didapatkan dari pelaksanaan bantuan sosial. Keuntungan yang didapatkan
Juliari Batubara adalah uang dengan total lebih dariRp17 miliar yang digunakan untuk
kepentingan pribadi. Manfaat ekonomi yang diperoleh Juliari Batubara dari praktik
korupsi tersebut menyoroti aspek penting dari teori cost-benefit dalam konteks korupsi.
Baginya, manfaat finansial yang besar dari dana bantuan sosial tersebut jelas terlihat
lebih besar daripada biaya atau risiko yang mungkin dia tanggung sebagai konsekuensi
dari tindakan korupsi tersebut. Dana yang diperoleh dari pelaksanaan program bantuan
sosial seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan, namun,
Juliari Batubara memilih untuk menggunakan dana tersebut untuk kepentingan
pribadinya.
Disisi lain, akibat perbuatannya, Juliari batubara diminta membayar uang ganti
rugi sebesar Rp14,4 miliar yang besarannya tidak sebanding dengan keuntungan yang
didapatkannya. Disisi lain, kerugaian dirasakan oleh penerima bansos yaitu orang-orang
yang membutuhkan akibat terkena dampak pandemi Covid-19 yang haknya diambil oleh
menteri yang seharusnya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
b. Gone Theory
Teori ini dikemukakan oleh Jack Bologne yang menjelaskan bahwa salah satu
faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meluputi empat aspek yakni Greeds
(keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan), dan Exposures
(pengungkapan). Dari kasus korupsi yang dilakukan pada pelaksanaan Bantuan Sosial
keempat aspek tadi menjadi dasar penyebab pelaku bisa melakukan korupsi. Melihat apa
yang dilakukan oleh Juliari, keempat aspek tersebut memang menjadi faktor penyebab
dia melakukan korupsi.
Kesimpulan dari kasus korupsi yang melibatkan Siemens Aktiengesellschaft (AG) dan
kasus korupsi Bantuan Sosial Kemensos RI menunjukkan bahwa korupsi dapat terjadi dalam
konteks perusahaan multinasional maupun di tingkat nasional, dan memiliki akibat yang
merugikan bagi masyarakat dan reputasi lembaga terkait. Berdasarkan kajian teori, dapat
disimpulkan beberapa hal. Teori Principal agent ini menjelaskan peran kompleks antara
pemegang kepentingan utama (principal) dan pelaksana (agent) dalam konteks tindakan korupsi.
Pemahaman tentang perbedaan kepentingan antara principal dan agent membantu menerangkan
motivasi dan perbuatan korupsi yang terjadi dalam kasus Siemens AG. Pengelolaan yang buruk
dari hubungan ini memungkinkan tindakan korupsi terjadi. Willingness and Opportunity to
Corrupt, Teori ini menyoroti pentingnya kesediaan dan kesempatan untuk melakukan korupsi.
Dalam kedua kasus tersebut, dorongan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan kelemahan
dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum memberikan kesempatan bagi tindakan korupsi
untuk terjadi. Cost-Benefit Theory, Teori ini menekankan bahwa korupsi bisa terjadi ketika
manfaat yang diperoleh dari tindakan korupsi dianggap lebih besar daripada biaya atau risiko
yang terkait. Dalam kedua kasus tersebut, pelaku korupsi memperhitungkan manfaat ekonomi
yang diperoleh daripada risiko hukuman atau kerugian reputasi. Gone Theory, Teori ini
mengidentifikasi empat aspek yang menjadi penyebab korupsi, yaitu keserakahan, kesempatan,
kebutuhan, dan paparan. Kasus korupsi Bantuan Sosial Kemensos RI memperlihatkan bahwa
keempat aspek tersebut menjadi dasar penyebab pelaku melakukan korupsi.
Secara keseluruhan, kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa korupsi adalah masalah
serius yang perlu ditangani melalui upaya pencegahan yang komprehensif, termasuk penguatan
kontrol internal, penegakan hukum yang tegas, budaya perusahaan yang etis, dan kerjasama
internasional dalam menangani tindakan korupsi oleh perusahaan multinasional. Upaya ini
penting untuk mencegah terulangnya kasus korupsi di masa depan dan memastikan keadilan
serta kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Sutarna, I., & Subandi, T. (2023). Korupsi Dana Desa Dalam Perspektif Principal-Agent.
Jurnal Administrasi Pemerintahan Desa, 04(2), 121–135.
https://doi.org/10.47134
https://www.sec.gov/litigation/litreleases/lr-20829
Former Siemens executive pleads guilty in Manhattan Federal Court to $100 million
https://www.justice.gov/usao-sdny/pr/former-siemens-executive-pleads-guilty-ma
nhattan-federal-court-100-million-foreign