Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 15)Bedah Urologi
16)Laparaskopi
c. Pelayanan anestesi pada pasien dengan
penyakit penyerta :
1) Hipertensi
2) Diabetes Mellitus
3) CKD
4) Penyakit jantung koroner
5) Kelainan jantung bawaan
6) PPOK
7) Kelainan endokrin.
2. Prosedur Operasional
a. Tatacara konsul pasien swasta danpasien
reguler (kelas 1 sampai dengan kelas 3)
b. Prosedur pelayanan Anestesi
c. Penanggung jawab dari masing-masing
kegiatan pelayanan
d. Tatalaksana penentuan hari pembedahan
e. Tatalaksana pembatalan pembedahan
f. Tatalaksana konsultasi dengan bagian lain
g. Tatacara serah terima pasien dari setiap
peralihan tanggung jawab
UNIT TERKAIT
DOKUMEN TERKAIT
PANDUAN
PERSIAPAN
PRA-BEDAH
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 1/10
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR c) Riwayat pengobatan: obat-obatan
yang diminum saat ini, Intoleransi/
alergi obat
d) Kebiasaan/ habituasi, seperti:
merokok/ minum alkohol, adiksi
obat-obatan
e) Riwayat operasi dan anestesi
sebelumnya
f) A Riwayat penyakit dalam keluarga
g) Tinjauan sistem organ
1. Keseluruhan (termasuk level
aktivitas fisik)
2. Sistem respirasi
3. Kardiovaskular
4. Gastrointestinal
5. Renal
6. Hematologi
7. Endokrin
8. Muskuloskeletal
9. Psikiatrik
10. Dermatologi
4) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum
b) Tanda vital: Tekanan darah, Laju
c) nadi, Laju nafas, SpO2, Suhu
d) Jalan nafas (look, listen, feel)
e) Kardiovaskular (inspeksi, palpasi,
f) perkusi, auskutasi)
g) Paru-paru (inspeksi, palpasi,
h) perkusi, auskultasi)
i) Sistem digestif (inspeksi, palpasi,
j) perkusi, auskultasi)
k) Ekstremitas
l) h). Pemeriksaan neurologis
5) Pemeriksaan
Laboratorium/Penunjang Pedoman
untuk pemeriksaan rutin penunjang pra-
anestesi adalah sebagai berikut:
a) Anak 0-18 Tahun
1. Pemeriksaan: Darah tepi
a. Rekomendasi: Ya
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 3/10
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR b. Penjelasan : Pemeriksaan
darah tepi lengkap rutin
(Hb, Hi leukosit, hitung
jenis, trombosit) dilakukan
pada anak usia <5 tahun,
sedangkan pada anak
usia >5 tahun dilakukan
atas indikasi, yaitu pada
pasien yang diduga menderita
anemia, pasien dengan
penyakit jantung, ginjal, saluran
nafas atau infeksi, serta
tergantung jenis dan derajat
prosedur operasi.
2. Pemeriksaan: Kimia Darah
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Pemeriksaan
kimia darah dilakukan bila
terdapat resiko kelainan
ginjal, hati, endokrin, terapi
perioperatif, dan pemakaian
obat alternatif.
3. Pemeriksaan: Kadar Ureum dan
Elektrolit
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Kadar ureum dan
elektrolit tidak dibutuhkan rutin
pada pasien <50 tahun, akan
tetapi harus diambil pada
keadaan berikut:
1) Jika terdapat diare, muntah,
atau penyakit metabolik
2) Ada penyakit ginjal atau hepar,
diabetes, atau status nutrisi
abnormal
3) Pada pasien yang mendapat
terapi diuretik, antihipertensi,
steroid, atau obat
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 4/10
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR hipoglikemik
4. Pemeriksaan: Tes Fungsi Lever
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Hanya diperlukan
pada:
1. Penyakit hepar
2. Status nutrisi abnormal
atau penyakit metabolic
3. Riwayat konsumsi
alkohol dalam jumlah
banyak (>80gram/hari)
5. Pemeriksaan: Konsentrasi Gula
Darah
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Diperlukan pada
pasien dengan penyakit
diabetes atau penyakit
vaskular, atau sedang
mendapat terapi
kortikosteroid
6. Pemeriksaan: Analisa Gas Darah
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: AGD diperlukan
pada semua pasien dengan
dispneu saat istirahat dan
pada pasien dengan
rencana torakotomi elektif
7. Pemeriksaan: Hemostasis
a. Rekomendasi: Ya
b. Penjelasan: Pemeriksaan
hemostasis dilakukan
pada pasien dengan
riwayat atau kondisi klinis,
mengarah pada kelainan
koagulasi, akan menjalani
operasi yang dapat
menimbulkan gangguan
koagulasi, ketika
dibutuhkan hemostasis
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 5/10
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR yang adekuat (seperti
tonsilektomi), dan
kemungkinan perdarahan
pascabedah
8. Pemeriksaan. Urinalisis
a. Rekomendas : Tidak
b. Penjelasan : Pemeriksaan
urin rutin dilakukan pada
operasi yang melibatkan
manipulasi saluran kemih
dan pasien dengan gejala
infeksi saluran kemih
9. Pemeriksaan: Foto Toraks
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Hanya
dilakukan atas indikasi
10. Pemeriksaan: EKG
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Hanya
dilakukan atas indikasi
11. Pemeriksaan: Fungsi Paru
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Hanya
dilakukan atas indikasi
b) Dewasa >18 Tahun
1. Pemeriksaan: Darah tepi
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Pemeriksaan
darah tepi lengkap
dilakukan pada pasien
dengan penyakit hati,
pasien dalam kemoterapi,
diduga menderita anemia
oleh karena sebab apapun
(perdarahan, defisiensi, dll)
dan kelainan darah lainnya,
serta tergantung jenis dan
derajat prosedur operasi.
2. Pemeriksaan: Kimia Darah
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Pemeriksaan
kimia darah dilakukan bila
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 6/10
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR terdapat resiko kelainan ginjal,
hati, endokrin, terapi
perioperatif, dan pemakaian
obat alternatif.
3. Pemeriksaan: Kadar Ureum dan
Elektrolit
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Kadar ureum
dan elektrolit tidak dibutuhkan
rutin pada pasien < 50 tahun,
akan tetapi harus diambil pada
keadaan berikut:
1. Jika terdapat diare,
muntah, atau penyakit
metabolik
2. Ada penyakit ginjal atau
hepar, diabetes, atau
status nutrisi abnormal
3. Pada pasien yang
mendapat terapi diuretik,
antihipertensi, steroid, atau
obat hipoglikemik
4. Pemeriksaan: Tes Fungsi
Lever.
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Hanya diperlukan
pada:
1. Penyakit hepar
2. Status nutrisi abnormal
atau penyakit metabolik
3. Riwayat konsumsi alkohol
dalam jumlah banyak
(>80gram/hari)
4. Tumor dengan
kemungkinan metastase
ke hati
5. Pemeriksaan: Konsentrasi Gula
Darah
a. Rekomendasi: Tidak
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 7/10
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR b. Penjelasan : Diperlukan pada
pasien dengan penyakit
diabetes atau penyakit
vascular, atau sedang
mendapat terapi
kortikosteroid
6. Pemeriksaan : Anaslisa Gas
Darah
a. Rekomendasi : Tidak
b. Penjelasan : AGD diperlukan
pada semua pasien dengan
dispneu saat istirahat,
penyakit paru sedang-berat,
sakit kritis / sepsis, dan pada
pasien dengan rencana
torakotomi elektif
7. Pemeriksaan : Hemostasisi
a. Rekomendasi : Tidak
b. Penjelasan : Pemeriksaan
hemostasis dilakukan pada
pasien dengan riwayat
kelahiran koagulasi, atau
sedang memakai obat
antioagulan, pasien yang
memerlukan antioagulan
pascabedah, pasien yang
memiliki kelainan hati dan
ginjal
8. Pemeriksaan : Urinalisis
a. Rekomendasi : Tidak
b. Penjelasan : Pemeriksaan
urin rutin dilakukan pada
operasi yang melibatkan
manipulasi saluran kemih
dan pasien dengan gejala
infeksi saluran kemih
9. Pemeriksaan : Foto Toraks
a. Rekomendasi : Tidak
b. Penjelasan : Pemeriksaan
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 8/10
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR foto toraks hanya dilakukan
pada usia >60 tahun, pasien
dengan tanda penyakit
jantung dan atau paru, infeksi
saluran nafas, terdapat
kemungkinan metastasis dari
karsinoma, sebelum operasi
toraks
10. Pemeriksaan : EKG
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Pemeriksaan
EKG dilakukan pada pasien
dengan diabetes mellitus,
hipertensi, riwayat nyeri dada,
gagal jantung, riwayat
merokok, penyakit vaskular
perifer dan obesitas, yang
tidak memiliki hasil EKG
dalam 1 tahun terakhir tanpa
memperhatikan usia. Selain
itu EKG dilakukan pada
pasien dengan gejala
kardiovaskular periodik atau
tanda dan gejala penyakit
jantung tidak stabil, dan
semua pasien dengan usia
>40 tahun
11. Pemeriksaan : Echocardiografi
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Dilakukan pada
pasien dengan penyakit
jantung dengan kelainan EKG
yang bermakna
12. Pemeriksaan : Fungsi Paru
a. Rekomendasi : Tidak
b. Penjelasan : Pasien
c. dengan penyakit paru sedang
sampai berat, seperti; PPOK,
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 9/10
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR bronkiektasis, penyakit paru
retriksi; semua pasien yang
akan menjalani bedah toraks/
reseksi paru, dan semua
pasien usia lanjut
6) Mempelajari hasil-hasil pemeriksaan
dan konsultasi dari bagian lain yang
diperlukan untuk melakukan
tindakan anestesi
7) Klasifikasi ASA.
8) Apabila dari hasil pemeriksaan H-2
didapatkan keadaan pasien yang
belum optimal atau pemeriksaan
laboratorium/penunjang yang belum
lengkap yang akan mempengaruhi
tindakan anestesi yang akan
dilakukan, maka pemeriksa harus
terlebih dahulu melakukan tindakan
koreksi ataupun pemeriksaan
pelengkap lainnya dan kalau
diperlukan dilakukan konsultasi ke
bagian lain untuk mengoptimalkan
keadaan pasien.
9) Semua pasien H-2 yang bermasalah
harus dilaporkan kepada konsulen
saat laporan sore.
10)Untuk kasus-kasus tertentu Bagian
Anestesi dapat meminta untuk
dilakukan Joint Conference terlebih
dahulu
11)Pasien yang memerlukan
optimalisasi atau pemeriksaan
lainnya disarankan untuk konsul
ulang H-2.
12)Penanggung jawab konsul H-2 harus
selalu mengikuti perkembangan
pasien selama periode optimalisasi
dan harus menyerahterimakan
pasiennya bila ia tidak lagi bertugas
H-2 di bagian tersebut.
13)Pasien yang dinilai sudah optimal
disetujui untuk dijadwalkan untuk
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 10/10
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR kemudian dilakukan pemeriksaan
ulang H-1.
14)Semua hasil pemeriksaan pre-
operatif harus dibuat ke dalam status
anestesi pre-operatif
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Residen anestesi
3. Bagian lain yang terkait di lingkungan RSUP Dr.
Hasan Sadikin
DOKUMEN TERKAIT 1. Status pasien
2. Status anestesi pre-operatif
3. Surat izin operasi
4. Surat izin anestesi
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH
ELEKTIF:
KUNJUNGAN PRE-OPERATIF H-1
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0031 - 1/4
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR dilakukan apabila telah terjadi diuresis
yang cukup. Aspirat NGT juga harus
diganti dengan jumlah yang sama dengan
NS. Apabila target sudah tercapai berikan
maintenan dengan Do 0,225NS (1/4 NS)
sebanyak 4 ml/kg/jam.
f. Target Resusitasi
1) Klor serum ≥106 mmol/L
2) Na* serum ≥135 mmol/L
3) HCO3 serum ≤26 mmol/L
4) Cr urin >20 mmol/L
5) Diuresis >1 ml/ kg
E. Manajemen intraoperatif
1. Pastikan abnormalitas asam basa dan
dehidrasi sudah terkoreksi sebelum
memulai induksi.
2. Lakukan aspirasi kembali pada NGT
sebelum induksi dengan posisi bayi miring kiri,
kanan, dan supine.
3. Lakukan preoksigenasi sebelum induksi.
4. Induksi dilakukan dengan rapid sequence
induction, tetapi apabila diperkirakan
terdapat kesulitan pada jalan napas maka
sebaiknya lakukan intubasi dalam keadaan
awake.
5. Maintenan anestesi dapat diberikan dengan
halotan atau sevofluran dan N20, pelemas
otot, opioid, dengan memberikan ventilasi
IPPV, dan jaga agar temperatur tetap
normotermi.
6. Monitoring: EKG, pulse oximetry, NIBP,
EtCO2, temperatur, stetoskop prekordial.
7. Ekstubasi harus dilakukan dalam keadaan
benar-benar bangun dengan keadaan
lambung yang telah dikosongkan.
8. Saat akhir operasi dapat diberikan Bupivakain
0,25% secara infiltrasi pada daerah luka
operasi sebagai analgesia pascaoperasi.
F. Manajemen pascaoperasi
1. Berikan oksigen suplemen jika pulse oximetry
<95%
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
PYLORIC STENOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 5/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 2. Pada infant prematur atau riwayat kelahiran
prematur harus dilakukan monitoring
pernapasan terhadap kemungkinan apnoe
selama 6-12 jam pascaoperasi. Hal ini
dikarenakan terdapat kemungkinan
terjadinya apnoe akibat perubahan pH
pada LCS sebagai akibat sekunder dari
hiperventilasi dan alkalosis.
3. Monitor terhadap kemungkinan
hipoglikemia pascaoperasi.
4. Analgesia pascaoperatif dapat diberikan
parasetamol per-rektal dengan loading dose
30-40 mg/kg diikuti dengan dosis 15-20
mg/kg tiap 6 jam. Hindari opioid karena
dapat menambah resiko apnoe pascaoperatif.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter Residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedan anak
4. Dokter/residen IKA di lingkungan RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung.
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
OBSTRUKSI INTESTINAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Permasalahan pada obstruksi intestinal,
PENGERTIAN
manajemen perioperatif.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
pediatri dengan obstruksi intestinal yang akan
menjalani tindakan pembedahan.
Pasien dengan obstruksi intestinal harus dikelola
KEBIJAKAN
sebagai pasien dengan lambung penuh.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Lakukan penilaian defisit cairan berdasarkan
tanda dan gejala klinis.
2. Pada saat pemeriksaan fisik lakukan
pemeriksaan temperatur, laju nadi, tekanan
darah, perfusi perifer, turgor kulit, fontanela,
tekanan okular, derajatenopthalmus,
mukosa bibir, status mental, dan diuresis.
3. Lakukan penentuan derajat dehidrasi.
4. Tentukan besarnya defisit cairan dan
lakukan rehidrasi berdasarkan derajat
dehidrasi.
5. Pada keadaan hipovolemia berat berikan
cairan secara cepat untuk segera
melakukan restorasi sirkulasi dan fungsi
ginjal. Untuk resusitasi awal dapat diberikan
bolus RL 20 ml/kg. Koreksi defisit cairan ekstra
dan intrasel dan juga elektrolit diperbaiki
berikutnya dalam 24-72 jam.
6. Restorasi volume harus dipantau dengan
pemasangan kateter urin untuk menilai
diuresis.
7. Lakukan penilaian ulang secara lebih sering
terhadap status cairan dan elektrolit.
8. Pasang NGT dan lakukan suctioning.
9. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan:
kreatinin serum dan BUN (meningkat pada
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
OBSTRUKSI INTESTINAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR keadaan dehidrasi), leukosit (meningkat pada
keadaan infeksi), elektrolit lengkap (biasanya
abnormal), hemoglobin.
10. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
adalah fotopolos abdomen: air/fluid level.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Pasien dengan obstruksi intestinal harus
dikelola sebagai pasien dengan lambung
penuh.
2. Lakukan induksi dengan rapid sequence
induction dengan penekanan pada krikoid atau
dengan intubasi awake.
3. Sebelum dilakukan induksi berikan
preoksigenasi dengan masker selama 3-5
menit.
4. Induksi inhalasi hanya dilakukan pada pasien
dengan status hidrasi yang baik, lokasi
obstruksi pada kolon bawah, tidak ada distensi
gaster(tidak ada muntah), dan belum
terpasang jalur intravena.
5. Induksi inhalasi dilakukan dengan memakai
sevofluran atau halotan.
6. Hindari pemakaian N2O karena akan
semakin menyebabkan distensi. Pilihan gas
yang lebih baik adalah campuran air dan
oksigen.
7. Berikan suplemen narkotik (misal: fentanil).
Tetapi hindari memberikan dosis besar pada
keadaan hemodinamik yang tidak stabil dan
pada bayi prematur yang beresiko besar
terjadinya apnoe pasca operatif.
8. Lakukan kontrol ventilasi untuk mengatasi
tekanan intra abdominal yang tinggi akibat
obstruksi dan monitoring end tidal CO2
secara ketat.
9. Pemberian cairan intravena tergantung
dari jumlah kebutuhan maintenan, defisit
cairan sebelumnya, dan kehilangan cairan ke
ruang ketiga/darah yang terjadi selama
operasi.
10. Cairan maintenan diberikan ½ NS
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
OBSTRUKSI INTESTINAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR sedangkan cairan pengganti diberikan
balanced salt solution (RL).
11. Kehilangan darah actual diganti dengan 3
ml cairan kristaloid untuk tiap 1 ml darah
yang hilang sampai dicapai maximum
allowable blood lose.
12. Lakukan pemeriksaan factor koagulasi apabila
actual blood lose melebihi estimated
blood volume.
C. Manajemen Pascaoperasi
1. Pada akhir operasi ETT tetap
dipertahankan sampai pasien benar-benar
bangun, ventilasi spontan adekuat,
temperatur inti normal, efek pelemas otot
dan obat-obatan lainnya telah benar-benar
hilang.
2. Bantuan ventilasi dan kardiovaskular
dipertimbangkan pada pasien dengan insisi
yang lebar, sepsis, kardiovaskular yang
tidak stabil, dan depresi pada sistem saraf
pusat.
3. Berikan oksigen suplemen jika pulse
oximetry < 95%
4. Pada infan prematur atau riwayat kelahiran
prematur harus dilakukan monitoring
pernapasan terhadap kemungkinan apnoe
selama 6-12 jam pasca operasi. Monitor
terhadap kemungkinan hipoglikemia pasca
operasi.
5. Transportasi pasien dilakukan dengan posisi
lateral.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/residen bedah anak
4. Dokter/residen IKA
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
TRACHEOESOPHAGEAL FISTULA (TEF)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Diagnosis, manajemen perioperatif.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
pediatri dengan kelainan TEF yang akan
menjalani tindakan pembedahan.
Tindakan pembedahan definitif ditunda sampai
pneumonia teratasi atau telah mengalami
KEBIJAKAN perbaikan dengan antibiotik. Kunci sukses
manajemen pasien TEF adalah penempatan
posisi ETT yang tepat.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Lakukan usaha untuk mencegah terjadinya
aspirasi pneumonia, yaitu dengan
memposisikan pasien dalam keadaan head-
up, hindari pemberian makan/minum,
kantung esophageal harus selalu bersih dari
sekret dengan memasang oral-esofageal
tube.
2. Lakukan chest physiotherapy
3. Berikan antibiotik
4. Gastrostomi untuk dekompresi lambung dan
pemberian nutrisi apabila operasi masih
ditunda. Gastrostomi dapat dilakukan dalam
anestesi lokal.
5. Pasien ini mempunyai kemungkinan yang
besar untuk terjadinya dehidrasi karena
asupan oral yang tidak cukup, oleh karena itu
segera lakukan rehidrasi dengan pemberian
cairan intravena.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Tindakan pembedahan definitive ditunda
sampai pneumonia teratasi atau telah
mengalami perbaikan dengan antibiotik.
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
TRACHEOESOPHAGEAL FISTULA (TEF)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 2. Lakukan suctioning sekret faring pada
kantung esophageal secara berkala
sebelum dan selama pembedahan karena
pada pasien ini bertendensi untuk terjadi
sekresi yang banyak.
3. Pencegahan pneumonia aspirasi juga
dilakukan dengan melakukan suctioning
pada tube gastrostomi.
4. Pastikan pasien sudah dalam keadaan
euvolume.
5. Sebelum operasi dimulai pastikan sudah
terdapat persediaan darah apabila sewaktu-
waktu dibutuhkan transfusi segera.
6. Hindari memberikan ventilasi tekanan positif
sebelum dilakukan intubasi karena akan
menyebabkan distensi lambung yang akan
mengganggu pengembangan paru.
7. Intubasi dilakukan secara awake dan tanpa
pelumpuh atau dengan sedasi dan tetap
mempertahankan napas spontan untuk
menghindari distensi yang berlebihan pada
lambung sehingga meningkatkan resiko
terjadinya aspirasi dan gangguan respirasi.
8. Penggunaan pelumpuh otot untuk intubasi
dapat diberikan hanya setelah dilakukan
penilaian bahwa ventilasi yang kita berikan
secara hati-hati dapat menghasilkan
pergerakan dada yang adekuat tanpa
terjadinya distensi lambung.
9. Apabila terjadi distensi lambung pada
pasien yang telah terpasang gastrostomi
maka udara dari lambung harus dikeluarkan
dengan mengalirkan melalui tube
gastrostomi.
10. Kunci sukses manajemen pasien TEF
adalah penempatan yang tepat posisi ETT.
11. Idealnya ujung ETT harus berada di antara
fistula dan karina sehingga gas anestesi
dapat masuk ke dalam paru dan tidak ke
lambung. Untuk itu dapat dilakukan dengan
memasukkan ujung ETT ke dalam salah
satu bronkus, kemudian sambil dilakukan
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
TRACHEOESOPHAGEAL FISTULA (TEF)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR auskultasi dilakukan penarikan ETT.
Penarikan ETT dihentikan apabila bunyi
suara kedua paru telah sama yang
menandakan ujung ETT telah berada di
atas karina.
12. Lakukan pemasangan stetoskop prekordial.
13. Penurunan saturasi oksigen dapat merupakan
indikasi bahwa terjadi retraksi pada bagian
paru dan memerlukan tindakanuntuk re-
ekspansi.
14. Retraksi selama pembedahan juga dapat
menimbulkan penekanan pada pembuluh
darah besar, trakea, jantung, dan nervus
vagus yang ditandai dengan hipotensi dan
bradikardia. Lakukan monitoring tekanan
darah secara kontinyu dengan arterial line.
15. Padasaat menentukan fraksi oksigen yang
akan diberikan harus dipertimbangkan
adanya resiko terjadinya retinopathy of
prematurity (ROP).
C. Manajemen Pascaoperasi
1. Pertimbangkan untuk dilakukan ventilasi
pasca operasi pada pasien dengan
pneumoni aspirasi sebelumnya, atau
apabila pada anastomosis yang dilakukan
terjadi tension.
2. Berkurangnya kartilago trakea dapat
menyebabkan kolaps pada trakea setelah
dilakukan ekstubasi.
3. Hindari ekstensi pada leher dan tindakan
instrumentasi esophagus (misal: suctioning)
karena dapat menimbulkan kerusakan
daerah operasi.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/residen bedah anak
4. Dokter/residen IKA
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
GASTROSCHISIS dan OMPHALOCELE
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Gastroschisis dan Omphalocele merupakan
kelainan kongenital yang ditandai dengan defek
PENGERTIAN pada dinding abdomen sehingga terjadi herniasi
eksternal organ viscera.
B. Manajemen Intraoperatif.
1. Lakukan dekompresi melalui NGT sebelum
induksi.
2. Intubasi dapat dilakukan dengan pasien dalam
keadaan awake atau tidur, baik dengan
pelemas otot atau tidak.
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
GASTROSCHISIS dan OMPHALOCELE
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 3. Hindari penggunaan N20 untuk mencegah
distensi lebih lanjut pada usus.
4. Pemberian pelemas otot diperlukan saat
memasukkan usus ke dalam rongga
abdomen.
5. Penutupan satu tahap (perbaikan primer)
tidak selalu dianjurkan karena dapat
menyebabkan sindrom kompartemen
abdominal, sehingga dilakukan
pemasangan silastic silo untuk
meregangkan kulit dinding abdomen selama
beberapa hari kemudian dilakukan
penutupan secara komplit.
6. Penutupan primer yang menyebabkan
dinding abdomen menjadi tegang akan
menimbulkan kompresi aortokaval,
hipotensi berat, mengganggu aliran balik
vena dan menyebakan edema pada tubuh
bagian bawah.
7. Apabila terjadi sindrom kompartemen
abdomen, harus dilakukan pembukaan
kembali dinding abdomen yang telah
ditutup, kemudian berikan hidrasi yang
agresif dan inotropik.
8. Kriteria untuk menilai tekanan abdomen
yang aman untuk dilakukan penutupan,
adalah sebagai berikut:
a. Tekanan intragaster < 20 cmH2O
b. Tekanan intravesika < 20 cmH2O
c. End tidal CO2 < 50 mmHg
d. Peak inspiratory pressure < 35 cmH2O
C. Manajemen Pascaoperasi
1. Pasca operasi pasien dipertahankan tetap
dalam keadaan terintubasi.
2. Penyapihan dari ventilator dilakukan 1-2 hari
berikutnya.
3. 3. Cegah terjadinya hipotermi, dehidrasi, dan
infeksi.
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
GASTROSCHISIS dan OMPHALOCELE
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
B. Manajemen Intraoperatif
1. Farmakokinetik dan farmakodinamik obat-
obatan anestesi intravena dan inhalasi tidak
berubah secara signifikan.
2. Peningkatan SVR secara akut dan persisten
serta penurunan PVR harus dihindari karena
akan memperbesar aliran shunting dari kiri
PROSEDUR ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
VENTRIKEL SEPTAL DEFECT (VSD)
PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 2/2
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR kanan, oleh karena itu pemakaian anestestik
volatile yang dapat menyebabkan penurunan
SVR serta pemberian ventilasi tekanan positif
yang dapat menyebabkan peningkatan PVR
dapat ditoleransi dengan baik pada pasien
VSD.
3. Bila fungsi miokardial masih baik maka induksi
dapat dilakukan dengan anestesi inhalasi
maupun anestesi intravena. Tetapi apabila
fungsi ventrikel kiri tidak begitu baik maka
ketamin/opioid adalah pilihan yang lebih baik.
4. Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk
mengurangi shunt dari kiri-kanan:
a. Ventilasi tekanan positif, meningkatkan
PVR sehingga mengurangi aliran darah
pulmoner.
b. Oksigen konsentrasi rendah; Oksigen
bersifat sebagai vasodilator pulmoner,
sehingga dengan mengurangi FiO2
diharapkan dapat mengurangi aliran darah
paru.
c. N20; membantu mengurangi konsentrasi
oksigen.
d. Agen inhalasi; mengurangi SVR dan
meningkatkan aliran darah sistemik.
e. Opioid; membantu memblok respon
terhadap stres.
f. Ketamin; akan meningkatkan shunt dari
kiri-kanan.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah anak
4. Dokter/residen IKA
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDURANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD) PADA
PEMBEDAHAN NON KARDIAK
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/2
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Berdasarkan lokasi, ASD terdiri atas 3 tipe yaitu:
1. Defek sekundum: lokasi pada daerah mid
atrium pada sisi foramen ovale.
2. Defek primum: lokasinya berdekatan dengan
katup atrioventrikular yang diakibatkan oleh
defek endocardial cushion.
3. Defek sinus venosus: pada cavoatrial junction
PENGERTIAN
Hampir 75% ASD merupakan tipe sekundum.
Pada tiap-tiap tipe ASD biasanya memiliki
kelainan jantung tambahan yang berbeda. Prolaps
katup mitral sering terjadi pada tipe sekundum
dan regurgitasi terjadi akibat adanya celah pada
bagian anterior katup mitral sering terjadi pada
ASD tipe primum.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
pediatri dengan ASD yang akan menjalani tindakan
pembedahan non kardiak.
Intervensi yang dapat meningkatkan tekanan atrial
KEBIJAKAN kanan melebihi atrial kiri dapat menyebabkan
aliran shunt berubah arah.
PROSEDUR Konsiderasi Anestesi
1. Hindari masuknya gelembung udara ke aliran
darah sistemik melalui jalur intravena.
2. Premedikasi dapat diberikan pada pasien ASD
yang asimptomatik.
3. Shunt yang dominan pada ASD adalah dari kiri-
kanan.
4. Shunt dari kiri-kanan pada ASD hanya
memberikan sedikit implikasi pada manajemen
anestesi yang akan diberikan.
5. Intervensi yang dapat meningkatkan tekanan atrial
kanan melebihi atrial kini seperti pemberian
ventilasi tekanan positif yang terlalu besar dan
valsava manufer (batuk) dapat menyebabkan
aliran shunt berubah arah.
PROSEDURANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD) PADA
PEMBEDAHAN NON KARDIAK
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 2/2
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 6. Keadaan hiperkarbia dan hipoksemia juga dapat
secara cepat merubah arah shunt.
7. Penggunaan FiO2 konsentrasi tinggi akan
menurunkan PVR sehingga meningkatkan aliran
darah paru dan shunt dari kiri-kanan.
8. Sebaliknya penurunan SVR akibat pemakaian
anestesi volatile atau peningkatan PVR karena
pemberian ventilasi tekanan positif pada paru,
bertendensi untuk menurunkan besarnya shunt
dari kiri-kanan.
9. Berikan antibiotik profilaksis bila ASD disertai
dengan kelainan katup.
10. Monitoring standar: EKG, pulse oximetry, NIBP,
etCO2, temperatur rektal/ esophageal, dieresis,
stetoskop precordial.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Penurunan SVR akibat pemakaian volatile
anestesi akan meningkatkan aliran darah
sistemik dengan menurunkan shunt dari kiri-
kanan.
2. Pemberian ventilasi tekanan positif juga
dapat ditoleransi dengan baik, karena
penignkatan pada tekanan arteri pulmonal
akan menurunkan perbedaan tekanan pada
PDA.
3. Peningkatan SVR atau penurunan PVR harus
dihindari karena akan meningkatkan besarnya
shunt dari kiri-kanan.
PROSEDUR ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
PATENT DUCTUS ARTERIOSUS (PDA)
PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 2/2
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 4. Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk
mengurangi shunt dari kiri-kanan:
a. Ventilasi tekanan positif, meningkatkan
PVR sehingga mengurangi aliran darah
pulmoner,
b. Oksigen konsentrasi rendah; Oksigen
bersifat sebagal vasodilator pulmoner,
sehingga dengan mengurangi FiO2
diharapkan dapat mengurangi aliran darah
paru.
c. N20; membantu mengurangi konsentrasi
oksigen.
d. Agen inhalasi; mengurangi SVR dan
meningkatkan aliran darah sistemik.
e. Opioid; membantu memblok respon
terhadap stres.
f. Ketamin; akan meningkatkan shunt dari
kiri-kanan.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah anak
4. Dokter/residen IKA
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRI:
ANESTESI PADA PEDIATRI:
MALROTASI INTESTINAL DAN VOLVULUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/2
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Malrotasi intestinal merupakan suatu abnormalitas
perkembangan saluran cerna dimana terjadi rotasi
spontan yang abnormal di daerah midgut di
PENGERTIAN
sekitar mesenterium. Mayoritas malrotasi terjadi
pada periode infansi dengan gejala-gejala
obstuksi saluran cerna akut maupun kronis.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
pediatri yang akan menjalani tindakan
pembedahan malrotasi intestinal dan volvulus.
Stabilisasi dari keadaan pasien, pemasangan pipa
KEBIJAKAN nasogastrik untuk dekompresi, antibiotik,
penggantian cairan dan elektrolit.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Bila terdapat tanda-tanda obstruksi tetapi
belum terjadi volvulus maka harus dilakukan
stabilisasi keadaan pasien terlebih dahulu.
2. Dekompresi abdomen dengan pemasangan
NGT atau OGT.
3. Lakukan rehidrasi dengan memberikan terapi
cairan dan koreksi gangguan elektrolit.
4. Berikan antibiotik spektrum luas.
5. Hindari hipotermia, berikan selimut
penghangat.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Pasien ini mempunyai resiko yang tinggi untuk
terjadinya aspirasi paru selama induksi, oleh
karena itu sebaiknya intubasi dilakukan dalam
keadaan awake atau dengan teknik rapid
sequence induction.
2. Pasien dengan volvulus biasanya berada
dalam keadaan hipovolemik dan asidosis
sehingga mempunyai toleransi yang rendah
terhadap zat anestetik.
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRI:
ANESTESI PADA PEDIATRI:
MALROTASI INTESTINAL DAN VOLVULUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 2/2
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 3. Dalam keadaan tersebut maka ketamine
merupakan obat pilihan.
4. Pemeliharaan anestesi dapat dilakukan
dengan volatile konsentrasi rendah atau
opioid.
5. Perhatikan kemungkinan terjadinya edema
terhadap usus. Edema pada usus dapat
menyulitkan saat dilakukan penutupan
dinding abdomen dan dapat mengakibatkan
sindroma kompartemen abdomen.
6. Sindrom kompartemen abdomen akan
mengakibatkan gangguan ventilasi, gangguan
aliran balik vena, dan gangguan fungsi renal.
Pada keadaan ini harus dilakukan penutupan
sementara dinding abdomen dengan silastic
silo selama 24-48 jam.
7. Monitoring: pulse oksimetri, stetoskop
prekordial, EKG, tensimeter, temperatur.
B. Tornikuet Pneumatik
1. Pemakaian tornikuet pneumatik pada
ekstremitas atas maupun bawah dipergunakan
untuk memfasilitasi daerah operasi dengan
menurunkan aliran aliran darah ke ekstremitas
tersebut.
2. Permasalahan yang dapat ditimbulkan akibat
pemakaian tornikuet pneumatik:
a. Perubahan hemodinamik
b. Nyeri
c. Perubahan metabolik
d. Tromboemboli arterial
e. Emboli paru
3. Tekanan inflasi yang diberikan kira-kira 100
mmHg di atas tekanan darah sistolik.
4. Inflasi yang telalu lama (> 2 jam) secara terus-
menerus dapat mengakibatkan disfungsi otot,
cedera saraf perifer yang permanen, bahkan
rhabdomiolisis.
5. Inflasi tornikuet pada pasien-pasien pediatrik
dapat mengakibatkan peningkatan suhu
tubuh.
6. Nyeri tornikuet selama operasi dengan teknik
PROSEDUR ANESTESI :
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI
ORTOPEDI
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 3/7
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR anestesi umum dapat dimar dengan
peningkatan secara gradual dari MAP
(mean arterial blood pressure) kira-kira setelah
45 menit - 1 jam setelah inflasi.
7. Tanda terjadinya aktivasi simpatis yang
progresif adalah: hipertensi, takikardia, dan
diaphoresis.
8. Kemungkinan terjadinya nyeri tornikuet
tergantung dari banyak faktor diantaranya
adalah tergantung dari teknik anestesi yang
kita pilih (anestesi regional intravena >
epidural > spinal > anestesi umum), intensitas
dan level blok anestesi regional, pilihan obat
anestesi lokal (spinal dengan tetrakain
hiperbarik > bupivakain hiperbarik), dan
suplementasi blok dengan opioid.
9. Sensasi nyeri tornikuet dan keadaan hipertensi
dapat segera hilang dengan melakukan deflasi
dari tornikuet.
10. Pada saat deflasi dari tornikuet dapat terjadi
penurunan signifikan dari CVP dan tekanan
darah arterial, laju nadi meningkat, temperatur
inti menurun, akumulasi zat-zat metabolit pada
daerah ekstremitas yang mengalami iskemik
akan meningkatkan PaCO2, ETCO2, laktat
serum, dan kadar kalium.
11. Perubahan metabolik ini akan meningkatkan
ventilasi semenit pada pasien yang tetap
bernapas spontan, dan kadang dapat
menimbulkan disritmia.
12. Deflasi dari tornikuet dapat menyebabkan
‘reperfusion injury' akibat terbentuknya lipid
peroksida saat terjadi reoksigenasi aliran
darah yang semakin memperburuk trauma
jaringan iskemik.
13. Reperfusion injury dapat semakin berat akibat
pemakaian propofol yang menghambat
pembentukan superoksida.
14. Iskemik pada ekstremitas bawah akibat
pemakaian tornikuet dapat menyebabkan
pembentukan thrombosis vena dalam (DVT/
PROSEDUR ANESTESI :
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI
ORTOPEDI
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 4/7
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR deep vein thrombosis).
15. Pemakaian tornikuet dikontraindikasikan
pada pasien dengan penyakit kalsifikasi
arterial.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa
pilihan teknik anestesi regional mempunyai
angka mortalitas pasca operasi yang lebih
rendah, hal ini dikarenakan menurunnya resiko
tromboemboli.
2. Pemilihan teknik epidural kontinyu dengan
atau tanpa anestesi umum memberikan
keuntungan tambahan untuk pengelolaan nyeri
pasca operasi.
3. Bila teknik spinal yang menjadi pilihan,
penggunaan obat hipobarik akan memudahkan
dalam pengaturan posisi pasien dimana
tindakan dapat dilakukan dengan posisi fraktur
di atas sehingga tidak perlu lagi dilakukan
perubahan posisi operasi.
4. Teknik operasi open reduction dan fiksasi
internal yang akan dilakukan mempengaruhi
konsiderasi anestesi. Teknik ini tergantung dari
sisi fraktur, derajat pergeseran, status
fungsional preoperatif, dan pertimbangan ahli
bedah.
5. Pada fraktur intrakapsular yang tidak
bergeser biasanya akan dilakukan tindakan
dengan cannulated screw fixation, sedang
pada fraktur intrakapsular yang mengalami
pergeseran akan dilakukan tindakan fiksasi
internal, hemiartroplasti, atau total hip
replacement.
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI :
FRAKTUR HIP
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 6. Pada prosedur hemiartroplasti dapat dilakukan
dengan semen atau tidak dengan semen..
Pada prosedur yang dilakukan dengan semen
perhatikan konsiderası terhadap perubahan-
perubahan akibat pemakaian bone cement
(lihat panduan anestesi: Konsiderasi khusus
pada operasi ortopedi).
7. Hemiartroplasti dan total hip replacement
merupakan operasi yang lebih lama dan lebih
invasive dibandingkan prosedur lainnya.
Biasanya dilakukan dengan posisi lateral
dekubitus dengan resiko perdarahan yang
lebih banyak sehingga terjadi perubahan
hemodinamik yang besar.
8. Konsiderasi yang dilakukan dengan resiko
tersebut adalah dengan melakukan monitoring
tekanan arterial secara direk, menyediakan
jalur intra vena berukuran besar untuk
transfusi, dan monitoring ketat hemodinamik
terutama pada orang tua.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah ortopedi
4. Dokter/residen IPD
5. Dokter/residen IKA
6. Dokter/residen radiologi
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL HIP ARTHROPLASTY
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/4
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Manajemen perioperatif.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien ortopedi
TUJUAN
yang akan menjalani tindakan pembedahan total hip
arthroplasty.
Pemilihan teknik regional anestesi dengan
KEBIJAKAN epidural dapat menurunkan insiden DVT dan
emboli paru
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Sebagian besar pasien yang akan menjalani
total hip replacement biasanya mempunyai
riwayat penyakit osteoarthritis, rheumatoid
arthritis, atau osteonekrosis (avascular
necrosis).
2. Pada osteoarthritis sering melibatkan proses
pada daerah tulang belakang sehingga waktu
melakukan pengaturan posisi leher saat akan
melakukan intubasi harus dilakukan secara
hati-hati untuk menghindari terjadinya kompresi
nerve root atau protrusi nucleus pulposus.
3. Terdapat 3 aspek yang harus kita perhatikan
pada Reumatoid arthritis, yaitu:
a. Destruksi sendi terjadi karena proses imun
dengan proses inflamasi kronis dan
progresif pada membran synovial.
b. Reumatoid arthritis dapat melibatkan
proses yang bersifat sistemik.
c. Rheumatoid arthritis melibatkan sendi yang
multipel.
4. Manifestasi sistemik yang terjadi pada
rheumatoid arthritis adalah aspek yang paling
penting bagi anestesiologis, oleh karena itu
pada persiapan preoperative harus dilakukan
skrining dengan teliti terhadap aspek tersebut.
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL HIP ARTHROPLASTY
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 2/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 5. Kasus rheumatoid arthritis yang ekstrim
melibatkan hampir semua membran synovial
termasuk cervical spine dan sendi
temporomandibular.
6. Perhatikan apakah terdapat gambaran
subluksasi atlantooksipital pada gambaran
radiologis. Pada keadaan terdapat subluksası
atlantooksipital dapat mengakibatkan terjadinya
protrusi prosesus odontoid kedalam foramen
magnum saat dilakukan intubasi, hal Ini akan
mengakibatkan terganggunya aliran darah
vertebral, dan menimbulkan kompresi spinal
cord atau batangotak.
7. Foto ronsen cervical spine pada posisi fleksi
dan ektensi harus dilakukan pada semua
pasien rheumatoid arthritis berat yang
mendapatkan terapi steroid atau metotreksat.
8. Bila dari gambaran radiologis didapatkan
instabilitas atlanto aksial melebihi 5 mm, maka
intubasi harus dilakukan dengan stabilisasi
leher dengan memakai teknik fiberoptik dalam
keadaan awake.
9. Terlibatnya sendi temporomandibular akan
menyebabkan terbatasnya pembukaan rahang
sehingga membutuhkan tindakan intubasi
dengan fiber optic melalui nasal.
10. Suara serak atau stridor inspirasi merupakan
tanda terdapatnya penyempitan pada
pembukaan glotik yang disebabkan oleh
arthritis krikoaritenoid. Pada keadaan ini
dibutuhkan ETT dengan nomor yang lebih kecil
dan terdapat kemungkinan terjadinya obstruksi
jalan nafas pasca ekstubasi.
11. Riwayat terapi pada pasien dengan
osteoarthritis atau rheumatoid arthritis biasanya
terdapat riwayat pengobatan nyeri dengan
NSAID. Efek samping dari penggunaan NSAID
dapat berupa perdarahan gastrointestinal,
toksisitas renal, dan disfungsi platelet yang
dapat mengancam nyawa pasien dan
mempengaruhi rencana anestesi yang akan
dilakukan.
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL HIP ARTHROPLASTY
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR A. Manajemen Intraoperatif
1. Total hip replacement dapat menimbulkan 3
komplikasi yang sangat berbahaya, yaitu:
a. Bone cement implantation syndrome
b. Perdarahan intra danpascaoperatit
c. Tromboemboli vena
2. Oleh karena itu direkomendasikan untuk
memakai monitoring arterial invasive pada
prosedur ini.
3. Fenomena emboli biasanya terjadi pada saat
insersi dari protesis femoral.
4. Tindakan preventif yang harus kita lakukan
adalah sebagai berikut:
a. Tingkatkan konsentrasi oksigen inspirasi
sebelum proses cementing.
b. Konfirmasi ahli bedah untuk membuat vent
hole pada bagian distal femur untuk
menghilangkan tekanan intramedular.
c. Lakukan lavase tekanan tinggi pada
femoral shaft untuk menyingkirkan
debris yang potensial menimbulkan
mikroemboli.
d. Gunakan komponen yang bersifat
uncemented.
5. Tromboemboli vena merupakan penyebab
mortalitas dan morbiditas yang paling
signifikan pada hip replacement surgery.
6. Pemilihan teknik regional anestesi dengan
epidural dapat menurunkan insiden DVT dan
emboli paru, oleh karenanya dianjurkan untuk
memakai teknik epidural baik dengan atau
tanpa kombinasi dengan anestesi umum bila
memungkinkan.
7. Tindakan lain yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya DVT adalah penggunaan alat
intermitten leg compression (ILC) dan
pemberian profilaksis antikoagulan dengan
dosis rendah.
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL HIP ARTHROPLASTY
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah ortopedi
4. Dokter/residen IPD/IKA
5. Dokter/residen radiologi
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL KNEE REPLACEMENT
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/2
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Manajemen perioperatif.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien ortopedi
TUJUAN
yang akan menjalani tindakan pembedahan total
knee replacement.
Bone cement implantation syndrome pada prosedur
ini masih mungkin terjadi walaupun kemungkinannya
KEBIJAKAN
lebih kecil bila dibandingkan dengan total hip
replacement.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Pasien yang akan menjalani total knee
replacement biasanya mempunyai keadaan
yang hampir sama dengan pasien pada total
hip replacement dimana penyakit yang
mendasari biasanya adalah osteoarthritis dan
rheumatoid arthritis.
(Untuk persiapan preoperative lihat panduan
anestesi pada ortopedi: total hip replacement).
B. Manajemen Intraoperatif
1. Durasi total knee artroplasti lebih singkat bila
dibandingkan dengan total hip replacement.
2. Pasien berada pada posisi supine dengan
resiko perdarahan yang hanya sedikit dengan
penggunaan tornikuet.
3. Pada pasien yang kooperatif dapat
mentoleransi pemilihan teknik regional
anestesi dengan sedasi intravena.
4. Bone cement implantation syndrome pada
prosedur ini masih mungkin terjadi walaupun
kemungkinannya lebih kecil bila dibandingkan
dengan total hip replacement.
5. Pada saat pelepasan tornikuet terdapat resiko
untuk terjadinya pelepasan emboli ke dalam
sirkulasi sistemik yang bertendensi untuk
terjadinya hipotensi.
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL KNEE REPLACEMENT
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 2/2
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
6. (lihat panduan konsiderasi khusus operasi
panduan anestesi pada ortopedi dan ortopedi:
total hip replacement)
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah ortopedi
4. Dokter/residen IPD/IKA
5. Dokter/residen radiologi
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
:
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI :
SCOLIOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/6
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Scoliosis merupakan suatu keadaan dimana
terdapat kurvatura tulang belakang kearah lateral
yang dapat bersifat struktural atau nonstruktural.
Scoliosis nonstruktural biasanya terjadi pada
daerah lumbal akibat dari perbedaan panjang
antara kedua tungkai yang biasanya akan hilang
bila pasien berada pada posisi supine atau
menggunakan alat suportif pada tungkai sehingga
PENGERTIAN tidak memerlukan tindakan koreksi. Sedangkan
pada scoliosis yang bersifat struktural terjadi
fleksibilitas tulang belakang yang tidak normal.
Kurvatura tulang belakang kearah lateral akan
menyebabkan rotasi pada vertebrae dan
menyebabkan deformitas pada rongga toraks.
Deformitas rongga toraks ini akan menyebabkan
penurunan secara signifikan dari volume total
paru.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
dengan scoliosis yang akan menjalani tindakan
pembedahan.
Lakukan identifikasi terhadap lokasi scoliosis, onset,
KEBIJAKAN
derajat, dan etiologi dari scoliosis.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Lakukan identifikasi terhadap
a. Lokasi kurvatura scoliosis: Lokasi scoliosis
sangat penting karena scoliosis yang terjadi
pada daerah torakal akan menyebabkan
gangguan fungsi paru. Skoliosis pada
daerah servikal akan menyebabkan
kesulitan pada pengelolaan jalan nafas dan
biasanya berhubungan dengan kelainan
lainnya.
b. Usia saat timbulnya scoliosis:
pertumbuhan dan perkembangan paru
terjadi sejak lahir sampai dengan usia 8
tahun, jumlah alveoli akan terus
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI :
SCOLIOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 2/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
bertambah sampai usia 4 tahun. Scoliosis
yang terjadi dalam kurun waktu tersebut
akan menyebabkan gangguan
perkembangan paru.
c. Derajat scoliosis: penentuan derajat
scoliosis adalah hal yang sangat penting
untuk memprediksi fungsi pernafasan.
Kurva toraks > 60 derajat pada umumnya
menyebabkan penurunan fungsi paru
secara signifikan. Kurva > 100 derajat
berhubungan erat dengan gangguan
pertukaran gas.
d. Etiologi scoliosis; pengetahuan tentang
penyebab scoliosis akan memberikan
gambaran tentang penyakit yang
mendasari (misal: distrofi muscular atau
serebral palsy) yang mungkin akan
mempengaruhi pengelolaan anestesi.
2. Anamnesa untuk menilai reserve
kardiopulmonal dengan menanyakan riwayat
bernafas pendek, sesak saat aktivitas, dan
toleransi terhadap aktivitas.
3. Gejala-gejala paru seperti wheezing atau batuk
dapat merupakan indikasi adanya penyakit
parenkim paru.
4. Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada
pemeriksaan jantung dan paru.
5. Auskultasi suara nafas berupa wheezing dan
ronkhi mengindikasikan kemungkinan penyakit
paru obstruktif atau penyakit parenkim paru.
Pada pemeriksaan jantung harus diperhatikan
adanya auskultasi murmur atau gallop, tanda
hipertensi pulmonal, dan hipertropi ventrikel
kanan. Hipertensi pulmonal akan
menyebabkan aksentuasi komponen pulmonik
pada bunyi jantung kedua. Bila didapatkan
gagal jantung kanan maka akan ditemukan
peningkatan JVP, pembesaran liver, dan
edema pada ekstremitas bawah.
6. Evaluasi jalan nafas secara teliti terhadap
adanya abnormalitas jalan nafas.
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI :
SCOLIOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 3/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 7. Lakukan penilaian terhadap fungsi neurologis.
Penentuan fungsi neurologis preoperatif harus
dilakukan untuk mengetahui bila terjadi
komplikasi neurologis pascaoperasi. Pada
pasien yang sebelumnya telah mengalami
defisit neurologis akan meningkatkan resiko
terjadinya spinal cord injury.
8. Pemeriksaan penunjang dilakukan
berdasarkan derajat scoliosis dan kondisi yang
mendasarinya. Bila dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik didapatkan penurunan fungsi
paru maka lakukan pemeriksaan tes fungsi
paru. Pemeriksaan AGD dilakukan bila vital
capacity turun secara signifikan.
9. Paseien dengan onset scoliosis pada umur < 8
tanun harus dilakukan pemeriksaan TFT, AGD,
dan EKG. Pemeriksaan ekhokardiografi
dilakukan bila pada pemeriksaan EKG
didapatkan abnormalitas ,seperti: hipertrofi
ventrikel kanan, pembesaran atrium kanan,
atau adanya kardiomiopati.
10. Lakukan pulmonary toilet secara agresif dan
atau terapi bronkodilator preoperatif pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif atau
penyakit parenkim paru.
11. Hindari pemberian premedikasi berat dan
opioid pada pasien dengan penyakit
neuromuscular, hipertensi pulmonal, gangguan
pertukaran gas, penurunan fungsi paru.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Sebagian besar penderita dengan scoliosis
idiopatik merupakan pasien dewasa yang
sehat sehingga dapat mentoleransi anestesi
dan pembedahan dengan baik. Berbagai
teknik anestesi telah dipakai dengan
memberikan hasil yang memuaskan.
2. Hindari penggunaan suksinilkolin pada pasien
dengan gangguan otot dikarenakan dapat
menyebabkan hiperkalemia, aritmia, dan
mioglobinuria. Penggunaan pelemas otot
golongan non depolarisasi dapat di toleransi
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI :
SCOLIOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 5/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR sejumlah yang sama dengan jumlah darah
yang diambil.
a. Teknik hipotensi: Teknik ini dilakukan
dengan mempertahankan MAP 60-65
mmHg, tetapi besarnya penurunan
tergantung dari kondisi masing-masing
pasien dengan keberadaan penyakit
penyertanya. Dengan teknik ini dapat
menurunkan perdarahn sebanyak 30-50%.
6. Teknik yang dipergunakan intraoperasi untuk
menilai fungsi spinal cord adalah dengan
somatosensory evoked potentials dan wake up
test.
7. Bila pemeliharaan dilakukan dengan
memberikan inhalasi yang poten, maka
sebaiknya hentikan pemakaiannya 20 menit
sebelum dilakukan wake-up test.
8. Wake up test dilakukan untuk mengevaluasi
fungsi motorik spinal dan dilakukan dengan
mendangkalkan kedalaman anestesi
sehingga pasien dapat mengikuti perintah.
Pertama-tama perintahkan pasien untuk
menggenggam tangan pemeriksa yang
menandakan bahwa pasien sudah dalam
keadaan responsive. Kemudian perintahkan
pasien untuk menggerakkan kaki dan jarinya.
Bila pasien dapat menggenggam tangan
pemeriksa tetapi tidak dapat menggerakkan
kakinya, maka distraksi. tulang belakang
harus dikurangi sampai pada derajat yang
aman. Apabila pasien sudah dapat
menggerakkan kakinya segera dalamkan lagi
anestesinya dengan memberikan
obatanestesi secara intravena seperti
propofol, thiopental, atau benzodiazepin.
9. Monitoring minimal yang dibutuhkan pada
operasi posterior spine fusion, adalah:
tekanan darah, EKG, pulse oxymetri, EtCO2,
stetoskop esophageal, dan pengukuran
temperatur inti.
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI :
SCOLIOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 6/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR C. Manajemen Pascaoperatif
1. Keputusan untuk melakukan ventilasi mekanik
pascaoperasi biasanya telah diperkirakan pada
masa preoperatit. Pasien scoliosis tipe
idiopatik dengan gangguan paru ringan-
sedang dapat dilakukan ekstubasi di kamar
operasi.
2. Ventilasi mekanik pascaoperasi dilakukan
pada pasien dengan gangguan paru restriktif
berat (vital capacity < 30% normal) atau
abnormalitas pertukaran gas berat dengan
retensi CO2, juga pada pasien dengan
Duchene muscular dystrophy, disautonomia
familial, atau serebral palsy berat.
3. Parameter untuk dilakukan ekstubasi:
a. Vital capacity > 10 ml/ kg
b. Tidal volume > 5 ml/ kg
c. Laju nafas spontan < 30x menit
d. Negative inspiratory force> -30 cm H2O
4. Lakukan latihan batuk dan bernafas dalam.
5. Berikan bronkodilator pada pasien dengan
gangguan paru obstruktif.
6. Hindari pemberian narkotik yang berlebihan
karena dapat menimbulkan depresi nafas dan
mengurangi kemampuan pasien untuk batuk.
7. Perhatikan tanda-tanda terjadinya komplikasi
pascaoperasi.
8. Komplikasi pascaoperasi yang dapat terjadi
adalah:
a. Pneumotoraks
b. Atelektasis
c. Efusi pleura
d. Hematotoraks
e. Trauma neurologis
f. lleus paralitik
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah
4. Dokter/residen IPD
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PANDUAN
ANESTESI PADA OPERASI
TELINGA, HIDUNG
DAN TENGGOROKAN (THT)
:
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung 1/6
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Tindakan-tindakan yang tergolong endoskopi
disini adalah: laringoskopi (diagnostik dan
PENGERTIAN
operatif), mikrolaringoskopi, esofagoskopi, dan
bronkoskopi.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien THT
yang akan menjalani tindakan endoskopi.
Tujuan utama pemberian anestesi pada prosedur
endoskopi adalah melakukan paralise otot untuk
merelaksasi muskulus masseter sehingga
memudahkan memasukkan laringoskop dan
KEBIJAKAN mendapatkan lapangan operasi yang baik,
ventilasi dan oksigenasi yang adekuat selama
dilakukan manipulasi pada jalan nafas, dan
menjaga stabilitas kardiovaskular selama
stimulasi terhadap jalan nafas.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Pasien yang akan menjalani prosedur
endoskopi harus dilakukan evaluasi terlebih
dahulu terhadap kemungkinan adanya keluhan
suara serak, stridor, dan hemoptisis
sebelumnya.
2. Apabila terdapat keluhan seperti di atas,
maka lakukan penelusuran lebih lanjut
terhadap beberapa kemungkinan sebagai
penyebabnya, yaitu: aspirasi benda asing,
trauma saluran aerodigestif, papillomatosis,
stenosis trakeal, obstruksi tumor, atau
disfungsi pita suara.
3. Lakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik
secara teliti terutama terhadap
kemungkinan adanya masalah potensial
pada jalan nafas untuk kemudian dapat
disusun rencana anestesi yang tepat.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 2/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 4. Biasanya pada pasien yang akan menjalani
prosedur ini telah menjalani laringoskopi
indirek di poliklinik, lakukan evaluasi dan
diskusi dengan operator terhadap temuan
pada pemeriksaan tersebut.
5. Hal yang terpenting harus dilakukan adalah
melakukan penilaian apakah pada saat
induksi pasien dapat dengan mudah
dilakukan ventilasi dengan masker dan
mudah untuk dilakukan intubasi dengan
laringoskopi direk.
6. Bila dari hasil penilaian didapatkan
kemungkinan kesulitan untuk dilakukan
ventilasi dan atau intubasi maka susunlah
rencana anestesi dan lakukan persiapan
sesuai dengan algoritme difficult airway.
(lihat algoritme: difficult airway).
7. Premedikasi dengan obat sedative
merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan obstruksi jalan nafas. Untuk
mengurangi sekresi pada jalan nafas dapat
diberikan glikopirolat 0,2-0,3 mg secara
intramuskular 1 jam sebelum operasi sehingga
visualisasi jalan nafas dapat lebih baik lagi.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Tujuan utama pemberian anestesi pada
prosedur endoskopi adalah melakukan
paralise otot untuk merelaksasi muskulus
masseter sehingga memudahkan
memasukkan laringoskop dan mendapatkan
lapangan operasi yang baik, ventilasi
dan oksigenasi yang adekuat selama
dilakukan manipulasi pada jalan nafas, dan
menjaga stabilitas kardiovaskular selama
stimulasi terhadap jalan napas.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 3/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 2. Relaksasi otot intraoperatif dapat
dilakukan dengan memberikan suksinilkolin
dengan infus kontinyu atau pelemas otot
golongan nondepolarizing intermediate secara
intermiten.
3. Kerugian penggunaan drip suksinilkolin ·bila
terjadi pemanjangan prosedur adalah potensi
terjadinya blok fase II, sedangkan kerugian
penggunaan golongan nondepolarizing
intermediate dapat memperlambat kembalinya
reflek proteksi jalan nafas dan ekstubasi.
4. Relaksasi yang baik sangat diperlukan sampai
pada saat paling akhir dari prosedur, namun
pemulihan juga harus dilakukan secara cepat
dikarenakan prosedur endoskopi biasanya
dilakukan pada pasien-pasien ODS.
5. Teknik pilihan pada prosedur ini adalah
dengan intubasi memakai ETT untuk
mencegah aspirasi dan memudahkan
pemberian anestesi inhalasi serta monitoring
EtCO2 secara kontinyu.
6. Pada beberapa kasus, teknik intubasi. dengan
ETT dapat mengganggu visualisasi operator.
Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan insuflasi oksigen aliran tinggi
melalui kateter kecil yang ditempatkan di
trakea.
7. Meskipun dengan insuflasi dapat menjaga
oksigenasi dalam periode singkat pada pasien
dengan fungsi paru yang baik, tetapi ventilasi
tetap tidak adekuat pada prosedur yang lebih
panjang kecuali pasien tetap dibiarkan
bernafas secara spontan.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 4/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR
8. Kemungkinan teknik lain yang dapat
dilakukan adalah dengan teknik apnoe
intermiten. Pada teknik ini terdapat periode
ventilasi oksigen dengan masker atau ETT
yang bergantian dengan periode apnoe
selama prosedur dilakukan.
9. Durasi apnoe dapat dilakukan selama 2-3
menit, tergantung dari seberapa baik
pasien dapat menjaga saturasi oksigen yang
diukur dengan pulse oksimeter.
10. Teknik apnoe intermiten mempunyai resiko
untuk terjadinya hipoventilasi, hiperkarbia, dan
pneumonia aspirasi.
11. Pendekatan yang lebih modern lagi adalah
dengan pendekatan memakai manual jet
ventilator yang dihubungkan dengan side port
laringoskop. Selama inspirasi (1-2 detik)
akan dihantarkan oksigen tekanan tinggi
(30-50 psi) melalui pembukaan glotik dan
memasuki ruangan udara paru-paru (efek
venturi). Kemudian ekspirasi terjadi secara
pasif selama 4-6 detik. Hal yang krusial adalah
melakukan monitoring pergerakan dinding
dada secara konstan dan menjaga waktu yang
cukup untuk ekshalasi sehingga tidak terjadi
terperangkapnya udara dan barotrauma.
12. Variasi teknik di atas adalah dengan high
frequency jet ventilation dengan memakai
kanul kecil atau tube ke dalam trakea dan
kemudian gas akan diinjeksikan 80-300 kali
permenit.
13. High frequency jet ventilation membutuhkan
anestetik intravena.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 5/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR
14. Tekanan darah dan laju jantung sering
berfluktuasi pada prosedur endoskopi. Hal
ini dikarenakan sebagian besar pasien
adalah perokok berat dan peminum alkohol
yang merupakan faktor predisposisi dari
penyakit jantung, dan periode stress dari
laringoskopi dan intubasi yang diselingi
dengan periode dimana terjadi stimulasi
pembedahan yang minimal.
B. Manajemen Intraoperatif .
1. Operasi rekonstruksi dan ortognatik dapat
mengakibatkan hilangnya darah dalam jumlah
besar.
2. Strategi yang dapat dilakukan untuk
meminimalisasi perdarahan, adalah: posisi
sedikit head-up, kontrol hipotensi, dan infiltrasi
lokal dengan larutan epinefrin.
3. Pastikan terdapat minimal 2 jalur intravena
berukuran besar dimana salah satu jalur
mungkin akan dipergunakan untuk
memasukkan obat hipotensif.
4. Pergunakan pack orofaring untuk
meminimalisassi masuknya darah dan debris
ke dalam laring dan trakea.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
REKONSTRUKSI MAKSILOFASIAL DAN
OPERASI ORTHOGNATIK
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 5. Prosedur pada daerah kepala dan leher akan
menempatkan anestesiolog jauh dari jalan
napas pasien, hal ini dapat meningkatkan
terjadinya masalah yang serius pada jalan
napas selama operasi berlangsung, seperti:
ETT mengalami tertekuk, diskoneksi, atau
perforasi akibat instrumentasi bedah. Oleh
karena itu lakukan monitoring yang ketat pada
jalan nafas pasien dengan memantau EtCO2,
peak inspiratory pressure, dan stetoskop
esophageal breath sound.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 4. Apabila terdapat keraguan yang serius
terhadap masalah yang potensial pada jalan
nafas, maka induksi dengan anestesi intravena
harus dihindari.
B. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
1. Prosedur yang akan dilakukan berpotensi
untuk terjadinya kehilangan darah dalam
jumlah yang besar. Pada pasien dengan
penyakit penyerta kardiopulmonal
dipertimbangkan untuk memakai kanulasi
arteri untuk monitoring tekanan darah, gas
darah, dan hematokrit.
2. Untuk menghadapi kemungkinan
perdarahan yang banyak maka
dibutuhkan minimal 2 jalur intravena berukuran
besar.
3. Teknik hipotensi ringan dapat membantu untuk
mengurangi perdarahan.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT: OPERASI
KANKER PADA KEPALA DAN
LEHER
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
4. Pemilihan teknik hipotensi harus
mempertimbangkan kondisi pasien. Pada
tumor yang melibatkan arteri karotis
(terjadi penurunkan tekanan arterial serebral),
atau melibatkan vena jugular (terjadi
peningkatkan tekanan vena serebral), maka
pemakainan teknik hipotensi akan
menyebabkan gangguan yang besar pada
perfusi serebral.
5. Mengurangi perdarahan dengan posisi sedikit
head up juga akan meningkatkan resiko
terjadinya emboli udara.
6. Pada operasi diseksi leher atau
parotidektomi kadang efek pelemas otot
harus dihilangkan apabila operator akan
melakukan identifikasi terhadap nervus
(misal spinal accessory, n.fasialis) dengan
melakukan stimulasi direk.
7. Manipulasi sinus karotis dan ganglion
stellata saat diseksi leher dapat
menyebabkan instabilitas hemodinamik,
bradikardi, aritmia, sinus arrest, dan
pemanjangan interval QT. Masalah ini
dapat dihilangkan dengan melakukan
infiltrasi pada carotid sheath dengan
abestesi local.
8. Diseksi leher bilateral dapat menyebabkan
hipertensi pascaoperatif dan hilangnya
hypoxic drive akibat denervasi sinus karotis
dan badan karotis.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen THT-KL
4. Dokter/ residen IPD/IKA
5. Dokter/ residen radiologi di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
OPERASI TELINGA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah
untuk pelaksanaan tindakan anestesi pada
TUJUAN
pasien THT yang akan menjalani tindakan operasi
telinga.
N20 harus dihindari selama timpanoplasti atau
KEBIJAKAN dihentikan 15-30 menit sebelum dilakukan
pemasangan graft.
PROSEDUR A. Manajemen Intraoperatif
1. Pada keadaan normal, perubahan tekanan
pada telinga tengah yang disebabkan oleh
N20 dapat ditoleransi dengan baik karena
adanya passive venting melalui tuba
eustachii. Tetapi pada pasien dengan riwayat
gangguan telinga kronis (misal: otitis media,
sinusitis) dapat terjadi obstruksi pada tuba
eustachii dan kadang dapat terjadi
hilangnya pendengaran atau ruptur
membrane timpani akibat pemakaian N20
selama anestesi walaupun kejadian ini jarang
terjadi.
2. Selama timpanoplasti, telinga tengah akan
terbuka terhadap atmosfer dan pada
keadaan tersebut tidak terjadi adanya
tekanan. Pada saat operator meletakkan
graft membran timpani maka telinga
tengah akan menjadi suatu ruangan yang
tertutup. Apabila pada saat itu kita
menggunakan N20 maka gas tersebut
akan berdifusi ke dalam ruangan ini
sehingga tekanan pada telinga tengah akan
meningkat dan dapat mengakibatkan graft
akan terlepas. Sebaliknya penghentian
N20 setelah peletakan graft akan
menimbulkan tekanan negatif pada telinga
tengah yang juga akan menyebabkan graft
terlepas.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
OPERASI TELINGA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 3. Oleh karena itu N2O harus dihindari selama
timpanoplasti atau dihentikan sebelum
dilakukan pemasangan graft.
4. Waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan
N20 tergantung dari beberapa faktor,
antara lain ventilasi alveolar dan fresh gas
flow, namun waktu yang direkomendasikan
adalah 15-30 menit sebelum pemasangan
graft.
5. Tindakan operasi mikro pada telinga
memang tidak menimbulkan perdarahan yang
banyak, namun perdarahan yang terjadi
dapat mengganggu lapangan pandang
operator.
6. Untuk mengurangi perdarahan yang terjadi
dapat dilakukan dengan sedikit elevasi
kepala (15 derajat), penggunaan epinefrin
(1:50.000 - 1:200.000) secara infiltrasi atau
topical, dan kontrol hipotensi.
7. Sebaiknya ekstubasi dilakukan dalam
keadaan anestesi masih dalam, hal ini
untuk menghindari terjadinya batuk yang
akan meningkatkan tekanan vena dan
menimbulkan perdarahan.
8. Telinga bagian dalam sangat berperanan
dalam menjaga kesimbangan, sehingga
pascaoperasi telinga dapat menyebabkan
timbulnya vertigo, mual, dan muntah. Induksi
dan pemeliharaan dengan menggunakan
propofol pada operasi telinga tengah telah
terbukti menurunkan mual dan muntah
pascaoperasi. Dan harus dipertimbangkan
pula untuk memberikan profilaksis dengan
memberikan decadron sebelum induksi dan
pemberian 5-HT3 bloker sebelum pasien
dibangunkan.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
OPERASI TELINGA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen THT-KL
4. Dokter/ residen IPD/IKA
5. Dokter/ residen radiologi di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
TONSILEKTOMI DAN/ATAU ADENOIDEKTOMI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah
timbulnya komplikasi
KEBIJAKAN
PROSEDUR A. Preoperatif:
1. Pasien dengan tonsilitis mungkin mengalami
gejala obstructive sleep anea (OSA). Pasien
dengan OSA seringkali disebabkan oleh
obesitas dan berpotensi untuk terjadinya
kesulitan penguasaan jalan nafas (difficult
airway).
2. Premedikasi sedatif pada pasien seperti ini
harus dihindari.
3. Pada pasien pediatrik, seringkali disertai
dengan adanya infeksi saluran nafas atas.
Pada pasien yang akan menjalani
operasi elektif, keadaan infeksi saluran
nafas akut ini (sputum purulen, sekret
hidung, demam, dll) harus ditatalaksanai
terlebih dahulu. Operasi selayaknya ditunda
hingga gejalagejala tersebut diatas
tertanggulangi. Alasan penundaan tindakan
operasi tersebut adalah keadaan ini dapat
mengakibatkan infeksi menyebar ke saluran
nafas bawah, sekresi jalan nafas dapat
menyumbat ETT dan saluran nafas yang
kecil, merupakan suatu predisposisi
terjadinya laringospasme intraoperatif
maupun pasca operasi, dan penurunan
fungsi respirasi.
4. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai
indikasi.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
TONSILEKTOMI DAN/ATAU ADENOIDEKTOMI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR B. Intraoperatif:
1. Teknik anestesi umum dengan intubasi
trakea. Pada pasien dengan riwayat OSA
terjadi peningkatan sensitivitas terhadap
narkotik dan sedatif sehingga merupakan
indikasi untuk dilakukan intubasi awake
dengan fiber optic. Gunakan ETT berspiral
(non-kinking). Hemostasis diamankan
dengan pemasangan tampon laring.
2. Induksi: Preoksigenasi O2 100% dengan
sungkup selama 1-3 menit. Fentanyl pada
permulaan induksi 1-3 mcg/kg. Propofol 1.5 -
2.5 mg/KgBB IV secara perlahan dan
bertahap, Atracurium 0.3 – 0.5 mg/kg.
3. Pemasangan mouth gag: pada saat
pemasangan mouth gag harus
diperhatikan bahwa ETT mungkin tertarik,
tertekuk, ataupun terdorong. Oleh
karena itu, pengecekan kembali posisi ETT
setelah pemasangan mouth gag harus
dilakukan.
4. Pemeliharaan: 02 30-100%, N2O 0-70%,
Fentanyl 1-10 mcg/kg/jam, volatil, pelumpuh
otot tidak diperlukan.
5. Pengakhiran: Keluarkan tampon laring.
Ekstubasi dilakukan saat pasien sadar
penuh (fully awake) ketika semua refleks
mempertahankan jalan nafas sudah timbul.
Lakukan penyedotan (suctioning) dengan
hati-hati untuk mencegah perdarahan di area
operasi.
C. Pascaoperatif:
1. Posisi pasien: pasien diposisikan miring
dengan posisi kepala lebih rendah (tonsillar
position).
2. Monitoring: monitoring standar, perhatikan
tanda-tanda perdarahan.
3. Komplikasi pasca operasi, tampon tertinggal,
laringospasme/bronkospasme, perdarahan
tonsil (bleeding tonsil).
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
TONSILEKTOMI DAN/ATAU ADENOIDEKTOMI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
4. Penatalaksanaan nveri dengan Meperidine0.5-
1 mg/Kg/jam IV, Acetaminophen supp. 240 mg
(usia 4-5 tahun), 325 – 650 mg (usia 10-11
tahun) setiap 4-6 jam.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR e. Fleksi tungkai yang berlebihan dapat
menyebabkan trauma pada nervus
obturator dan kadang-kadang n. femoralis.
Posisi fleksi tungkai yang ekstrim juga
dapat menyebabkan peregangan pada n.
sciatic.
f. Posisi litotomi yang terlalu lama dilaporkan
dapat menyebabkan sindrom kompartemen
pada ekstremitas bawah dengan
rhabdomiolisis.
g. Posisi litotomi akan menyebabkan
perubahan fisiologis pada pasien,
yaitu: penurunan FRC yang menjadi
predisposisi untuk terjadinya atelectasis dan
hipoksia.
h. Efek ini akan diperkuat dengan posisi
trendelenburg (> 30 derajat).
i. Elevasi tungkai akan menyebabkan
peningkatan aliran balik darah vena secara
akut yang dapat mengeksaserbasi
terjadinya gagal jantung kongestif. Tekanan
darah rata-rata sering kali meningkat tetapi
curah jantung tidak berubah secara
signifikan.
j. Sebaliknya menurunkan tungkai secara
mendadak dapat menyebabkan penurunan
aliran darah balik vena yang mengakibatkan
terjadinya hipotensi. Keadaan hipotensi ini
akan diperberat oleh efek vasodilatasi dari
anestesi regional atau umum. Oleh karena
itu maka pemantauan tekanan darah
harusdilakukan segera setelah kaki
diturunkan.
C. Pilihan Teknik Anestesi:
1. Anestesi Umum:
a. Anestesi umum dengan menggunakan
LMA merupakan teknik yang paling sering
menjadi pilihan pada pasien yang akan
menjalani prosedur sistoskopi dikarenakan
durasi yang singkat (15-20 menit), dan
biasanya dilakukan pada pasien ODS.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: SISTOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR b. Pemantauan saturasi oksigen harus
dilakukan secara ketat pada pasien-
pasien obesitas atau geriatri dengan
cadangan fungsi paru terbatas yang
akan diposisikan litotomi atau
trendelenburg.
2. Anestesi Regional:
a. Pilihan anestesi regional dapat dilakukan
baik dengan spinal maupun epidural
dengan hasil yang sama-sama
memuaskan.
b. Sebagian besar anestesiolog lebih banyak
memilih teknik anestesi spinal
dibandingkan epidural dikarenakan
mula kerja lebih cepat (5 menit)
dibandingkan epidural (15-20 menit)
terutama pada prosedur yang tidak terlalu
lama.
c. Beberapa anestesiolog berpendapat
bahwa mengangkat tungkai untuk
memposisikan pasien dalam posisi
litotomi hanya boleh dilakukan setelah
blokade level sensorik tercapai, namun
penelitian-penelitian yang dilakukan tidak
dapat membuktikan bahwa elevasi
tungkai yang dilakukan segera
setelah injeksi intratekal akan
menyebabkan peningkatan level
anesthesia atau peningkatan kejadian
hipotensi berat.
d. Tindakan sistoskopi memerlukan blockade
sensoris setinggi T10.
e. Namun teknik anestesi regional tidak
dapat menghilangkan reflek obturator
(gerakan rotasi eksternal dan adduksi
sebagai akibat sekunder dari stimulasi
n. obturator oleh kauter elektrik pada
dinding lateral vesika).
f. Reflek obturator ini hanya dapat
dihilangkan dengan memakai pelemas otot
dalam anestesi umum.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: SISTOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen Urologi
4. Dokter/ residen IPD/IKA
5. Dokter/ residen radiologi di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/8
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Hipertropi prostat seringkali menimbulkan
keluhankeluhan akibat obstruksi pada saluran keluar
vesika urinaria yang sebagian besar terjadi pada laki-
laki pada usia > 60 tahun. Indikasi untuk dilakukan
tindakan operasi, adalah: adanya simptom traktus
urinarius bagian bawah (lower urinary tract
symptoms/ LUTS) moderat sampai berat yang tidak
memberikan respon terhadap terapi medikamentosa,
gross hematuri persisten, infeksi saluran urinari
PENGERTIAN persisten, insufisiensi renal, atau batu vesika.
Tindakan operasi transuretra biasanya dilakukan
pada pasien dengan volume kelenjar prostat kurang
dari 40-50 ml. TURP dilakukan dengan memakai alat
sistoskop (resektoskop) dengan irigasi kontinyu dan
visualisasi direk, kemudian jaringan prostat direseksi
dengan cutting current. Tindakan ini juga dilakukan
pada pasien karsinoma prostat untuk mengatasi
keluhan obstruksi urin.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Pasien yang akan menjalani operasi prostat
harus dilakukan evaluasi yang ketat terhadap
kemungkinan penyakit penyerta pada jantung
dan paru seperti halnya evaluasi terhadap
disfungsi renal yang ada.
2. Hal ini dikarenakan umur pasien yang akan
menjalani operasi prostat biasanya relatif lanjut
(30-60%) yang merupakan prevalensi baik
kelainan kardiovaskular maupun paru.
3. Lakukan optimalisasi terhadap penyakit
penyerta sebelum operasi dilakukan.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Pilihan teknik anestesi untuk TURP dengan
anestesi regional spinall epidural memberikan
kondisi anestesi dan operasi yang sangat baik
sekali.
2. Target level sensoris yang diharapkan adalah
pada level T10.
3. Bila dibandingkan dengan teknik anestesi
umum, maka teknik anestesi regional
memberikan keuntungan untuk mengurangi
insiden thrombosis pascaoperasi, dan dengan
teknik ini maka tanda-tanda bila terjadi TURP
atau perforasi vesika urinaria lebih mudah
dikenali.
4. Tetapi dari penelitian yang telah dilakukan
didapatkan hasil bahwa tidak terdapat
perbedaan bermakna antara teknik anestesi
umum dengan anestesi regional terhadap
jumlah perdarahah, fungsi kognitif
pascaoperasi, dan mortalitas.
5. Apabila akan dilakukan teknik anestesi
regional pada pasien dengan karsinoma maka
harus terlebih dahulu dipastikan tidak adanya
metastase ke tulang vertebrae.
6. Bila pasien yang dilakukan TUPR dengan
anestesi umum mengalami kesulitan untuk
dibangunkan, maka harus dipikirkan
kemungkinan adanya hiponatremia.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 3/8
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 7. Evaluasi status mental pada pasien yang tetap
sadar merupakan cara monitoring yang terbaik
untuk mendeteksi secara dini terjadinya
sindrom TURP dan perforasi vesika urinaria.
8. Tanda dini apabila terjadi kelebihan cairan
adalah penurunan saturasi oksigen -arteri.
9. Lakukan pemantauan EKG secara ketat
terhadap kemungkinan terjadinya iskemik.
Insiden iskemik pada pasien yang menjalani
TURP bisa mencapai 18%.
10. Temperatur harus dipantau untuk mencegah
terjadinya hipotermia terutama pada prosedur
yang panjang.
11. Jumlah perdarahan pada TURP akan sulit
diukur dikarenakan pemakaian cairan irigasi.
Jumlah perdarahan diperkirakan 3-5 ml/ menit
saat reseksi dilakukan (biasanya perdarahan
total berkisar antara 200-300 ml). Biasanya
transfusi diperlukan bila volume prostat >:45 g
dan durasi > 90 menit.
C. Komplikasi Turp
1. Turp Syndrome
a. Tindakan TURP akan menyebabkan
terbukanya sinus venosus yang ekstensif,
hal ini potensial untuk menyebabkan
absorbs sistemik dari cairan irigasi.
b. Absorbsi cairan irigasi yang berlebihan (2
liter atau lebih) akan menimbulkan berbagai
gejala yang dinamakan dengan TURP
syndrome yang dapat terjadi selama atau
setelah operasi.
c. Gejala klinis dari TURP syndrome adalah
sakit kepala, lemas, konfusi, sianosis,
sesak, aritmia, hipotensi, kejang
d. Manifestasi TURP syndrome seperti
hiponatremia, hipoosmolalitas, kelebihan
cairan (gagal jantung kongestif, edema
paru, hipotensi), hemolisis, toksisitas solut;
hiperglisinemia, hiperammonia,
hiperglisinemia (glisin)ekspansi volume
intravaskular (manitol)
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 4/8
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR e. Manifestasi klinis di atas disebabkan oleh
beberapa kemungkinan seperti kelebihan
cairan pada sirkulasi, intoksikasi air,
toksisitas dari cairan irigasi
f. Besarnya jumlah cairan yang diabsorbsi
tergantung pada:
1) Tonisitas cairan irigasi, absorbs
terhadap cairan irigasi dapat terjadi
terhadap semua cairan irigasi yang
bersifat hipotonik yang digunakan,
misalkan: glisin 1,5% (230 mOsm/L),
atau: campuran sorbitol 2,7% dan
manitol 0,54% (195 mOsm), sorbitol
3,3%, mannitol 3%, dekstrosa 2,5-5%,
dan urea 1%.
2) Tekanan irigasi yang tinggi; semakin
tinggi tekanan akan mengakibatkan
jumlah cairan yang diabsorbsi semakin
besar.
3) Durasi reseksi; reseksi dengan TURP
biasanya membutuhkan waktu 45-60
menit, dengan rata-rata absorbs cairan
irigasi 20 ml/ menit.
g. Absorbsi cairan irigasi dalam jumlah besar
akan segera menyebabkan terjadinya
kongesti paru atau edema paru. Hal ini
terjadi terutama pada pasien dengan fungsi
jantung yang terbatas.
h. Hipotonisitas cairan irigasi akan
mengakibatkan hiponatremia akut
dan hipoosmolalitas yang akan
mengakibatkan manifestasi neurologis
yang serius.
i. Gejala-gejala akibat hiponatremia
biasanya terjadi bila kadar natrium
menurun di bawah 120 mEq/ L, dan
apabila terjadi hipotonis berat pada
plasma (natrium < 100 mEq/ L)
akan mengakibatkan hemolisis
intravaskular.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 5/8
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR j. Toksisitas dapat terjadi akibat absorbsi
dari solut cairan irigasi. Hiperglisinemia
terjadi pada penggunaan cairan irigasi
glisin bila konsentrasi glisin dalam plasma
melebihi 1000 mg/ L (normal: 13-17 mg/L)
yang akan mengakibatkan depresi
sirkulasi dan toksisitaas pada SSP. Glisin
akan didegradasi menghasilkan amoniak
sehingga dapat terjadi hiperammonemia
(normal: 5-50umoll L). Penggunaan
sorbitol dan dekstrosa akan mengakibatkan
hiperglikemia, sedangkan penggunaan
manitol akan meningkatkan ekspansi
volume intravascular dan mengeksaserbasi
kelebihan cairan.
k. Penatalaksanaan sindrom TURP:
1) Lakukan restriksi cairan
2) Berikan loop diuretik
3) Hiponatremia berat yang
menimbulkankejang dan koma
diterapi dengan memberikan salin
hipertonik.
4) Lakukan koreksi hiponatremia dengan
salin hipertonik (3% atau 5%)
berdasarkan konsentrasi natrium
dalam serum pasien sampai tercapai
level yang aman.
5) Salin hipertonik tidak boleh diberikan
melebihi 100 ml/ jam karena dapat
terjadi eksaserbasi kelebihan cairan
pada sirkulasi.
6) Atasi kejang dengan memberikan dosis
kecil midazolam (2-4 mg), diazepam (3
mg), atau thiopental (50-100 mg).
7) Pencegahan kejang diberikan fenitoin
intravena 10-20 mg/kg (tidak lebih dari
50 mg/ menit).
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 6/8
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 8) Pencegahan kejang diberikan fenitoin
intravena 10-20 mg/kg (tidak lebih dari 50
mg/ menit).
9) Disarankan untuk melakukan
pemasangan ETT selama kesadaran
pasien belum pulih untuk menghindari
terjadinya aspirasi
2. Hipotermia
a. Volume cairan irigasi dengan suhu kamar
yang diberikan dalam jumlah besar
merupakan penyebab utama hilangnya
panas dari tubuh pasien.
b. Untuk mencegah terjadinya hipotermia maka
cairan irigasi harus dihangatkan sampai suhu
tubuh terlebih dahulu sebelum dipakai.
c. Terjadinya menggigil akibat hipotermia
pascaoperasi harus dicegah karena dapat
mengakibatkan terlepasnya bekuan darah
/clot sehingga menimbulkan perdarahan
pascaoperasi.
3. Perforasi Vesika Urinaria
a. Perforasi dapat terjadi karena resektoskop
yang menembus dinding, vesika atau
distensi yang berlebihan pada vesika akibat
cairan irigasi.
b. Sebagian besar perforasi vesika terjadi
pada daerah retroperitoneal yang ditandai
dengan aliran balik cairan irigasi yang
sangat sedikit.
c. Perforasi yang terjadi pada pasien yang
tetap sadar akan mengalami keluhan
nausea, diaphoresis, dan nyeri pada
daerah retropubis atau abdomen bagian
bawah.
d. Perforasi yang berukuran besar pada
ekstraperitoneal atau intraperitoneal akan
mengakibatkan hipotensi (atau hipertensi)
yang terjadi secara mendadak disertai
dengan keluhan nyeri seluruh abdomen
(bila pasien sadar). Dugaan perforasi ini
akan semakin diperkuat apabila didapatkan
bradikardi yang disebabkan oleh vagal.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 7/8
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 4. Koagulopati
a. Disseminated intravascular coagulation
(DIC) yang terjadi pada TURP disebabkan
karena pelepasan tromboplastin dari
prostat kedalam sirkulasi selama
pembedahan.
b. Trombositopeni dilusional juga dapat terjadi
akibat absorbsi cairan irigasi.
c. Pada pasien dengan karsinoma terjadinya
koagulopati dikarenakan karena sekresi
enzim fibrinolitik oleh sel tumor sehingga
terjadi fibrinolisis,
d. Dugaan diagnosa DIC adalah apabila
terjadi perdarahan difus yang tidak
terkontrol, kemudian dugaan ini harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan
laboratorium.
e. Fibrinolisis. primer diterapi dengan
memberikan E-amino caproic acid (Amicar)
5 g dilanjutkan dengan 1 g/ jam secara
intravena.
5. Septikemia
a. Prostat sering menjadi tempat kolonisasi
bakteri dan dapat menyebabkan infeksi
kronis.
b. Manipulasi pembedahan yang ekstensif
bersamaan dengan terbukanya sinus
venosus dapat menyebabkan masuknya
organisme ke dalam aliran darah sehingga
terjadilah septicemia atau syok septik.
c. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
bakteriemia dan episode septik dapat
diberikan antibiotic profilaksis, seperti:
gentamisin, levofloksasin, atau sefazolin.
6. Manajemen Pascaoperasi
Pascaoperasi lakukan pemantauan terhadap
komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi akibat
TURP.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 8/8
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen Urologi
4. Dokter/ residen IPD/IKA
5. Dokter/ residen radiologi di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PANDUAN
ANESTESI PADA
PASIEN OBSTETRI
PROSEDUR ANESTESI PADA
SECTIO CAESARIA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/5
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah
untuk pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
hamil yang akan mejalani operasi sectio caesaria
(SC).
Pilihan teknik anestesi pada SC ditentukan oleh
banyak faktor, yaitu: indikasi operasi, urgensi,
KEBIJAKAN
pertimbangan pasien dan ahli kebidanan, serta
keterampilan dokter anestesi.
PROSEDUR A. Indikasi Sectio Caerasia
1. Resiko tinggi bagi ibu dan janin bila dilahirkan
pervaginam:
a. Peningkatan resiko ruptur uterus:
1) Riwayat SC sebelumnya.
2) Riwayat miomektomi yng ekstensif dan
rekonstruksi uterus.
b. Peningkatan resiko perdarahan:
1) Plasenta previa sentral atau parsial.
2) Abruptio plasenta.
3) Rekonstruksi vagina sebelumnya.
2. Distosia
a. Relasi fetopelvik abnormal:
1) Disproporsi fetopelvik.
2) Presentasi fetus abnormal.
b. Disfungsi aktivitas uterus.
3. Terminasi kehamilan segeral emergensi:
1. Fetal distress
2. Prolaps tali pusat
3. Perdarahan maternal
4. Amnionitis
5. Herpes genital dengan ruptur membrane
6. Ancaman kematian maternal.
B. Pilihan Teknik Anestesi
Pilihan teknik anestesi pada SC ditentukan oleh
banyak faktor, yaitu: indikasi operasi, urgensi,
pertimbangan pasien dan ahli kebidanan, serta
keterampilan dokter anestesi.
PROSEDUR ANESTESI PADA
SECTIO CAESARIA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR C. Anestesi Regional.
1. Spinal
a. Keuntungan
1) onset cepat
b. b. Kerugian
1) Potensial hipotensi
2) Penyebaran sulit dikontrol
3) Durasi terbatas
4) PDPH
2. Epidural
a. Keuntungan
1) Penyebarannya lebih mudah dikontrol
2) Penurunan tekanan darah lebih kecil
3) Durasi lebih lama
b. Kerugian
1) Onset lebih lama
2) Resiko toksisitas anestesi lokal lebih
besar
3. Teknik regional anestesi sering menjadi
pilihan. Hal ini dikarenakan tingginya mortalitas
ibu pada teknik anestesi umum akibat masalah
jalan napas, seperti kesulitan intubasi,
kesulitan ventilasi, atau pneumonia aspirasi.
4. Resiko mortalitas akibat regional anestes
biasanya diakibatkan blok neural yang
terlalutinggi atau toksisitas obat anestesi
5. Teknik anestesi apapun yang dipilih akan
menghasilkan Apgar score yang lebih rendah
dan AGD yang asidotik bila waktu yang
dibutukan untuk melahirkan bayi lebih dari 3
menit.
6. Kontraindikasi absolut anestesi regional:
a. Infeksi pada tempat suntikan
b. Hipovolemia berat
c. Pasien menolak
d. Gangguan koagulasi
7. Kontraindikasi relatif anestesi regional:
a. Gangguan neurologis
b. Riwayat sakit pinggang
c. Riwayat operasi pada tulang belakang
d. Infeksi sistemik
PROSEDUR ANESTESI PADA
SECTIO CAESARIA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
D. Prosedur umum teknik anestesi regional:
1. Persiapkan mesin anestesi, peralatan
resusitasi, alat dan obat-obatan untuk anestesi
umum.
2. Transportasi pasien dalam posisi miring kiri.
3. Berikan profilaksis aspirasi dengan 30 ml
sodium sitrat 30-45 menit sebelum induksi,
ranitidine 50 mg i.v, dan atau metoklopramid
10 mg 1-2 jam sebelum induksi.
4. Preloading 10-20 ml kgbb dengan cairan
kristaloid atau koloid.
5. Pasang monitor NIBP, EKG, dan pulse
oksimeter.
6. Berikan oksigen melalui nasal kanul atau
masker
7. Epidural
a. Setelah kateter epidural dipasang berikan
test dose terlebih dahulu.
b. Monitor tanda-tanda kemungkinan
injeksiintravaskular atau subarachnoid.
c. Setelah dipastikan posisi kateter sudah
benar kemudian masukkan obat anestesi
lokal secara bertahap 5 ml tiap 5 menit
dengan target ketinggian sampai dengan
level T4.
8. Spinal
a. Disarankan menggunakan jarum spinal
nomor kecil dengan tipe pencil point untuk
meminimalkan kemungkinan PDPH.
b. Masukkan 1,5-2 ml bupivakain 0,75%
hiperbarik.
c. Monitor tekanan darah setiap menit sampai
bayi lahir kemudian tiap 2 menit sampai
durasi obat 20 menit, dan setelah itu tiap 5
menit bila hemodinamik stabil.
d. Bila terjadi hipotensi berikan bolus kristaloid
250-500 ml dan efedrin dosis inkremental
mulai dari 5 mg sampai tekanan darah
kembali normal.
PROSEDUR ANESTESI PADA
SECTIO CAESARIA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
9. Anestesi Umum:
a. Keuntungan utama anestesi umum adalah
waktu preparasinya yang lebih singkat
dibandingkan anestesi regional dan tidak
adanya simpatektomi. Sedangkan kerugiannya
adalah kemungkinan terjadinya pneumonia
aspirasi yang lebih besar dan depresi janin
akibat obat anestesi.
b. Antisipasi terhadap kemungkinan kesulitan
intubasi endotrakeal. Lakukan evaluasi
terhadap leher, mandibula, gigi, dan orofaring
untuk memprediksi adanya masalah.
c. Pada pasien yang gemuk posisikan pasien
dengan elevasi bahu, fleksi servikal, dan
ekstensi sendi atlantooksipital.
d. Persiapkanrencana menghadapi kemungkinan
kesulitan intubasi. (lihat algoritme kesulitan
intubasi pada pasien obtetrik di bawah).
e. Teknik anestesi umum:
1) Persiapkan mesin anestesi, peralatan
resusitasi, alat dan obat-obatan untuk
anestesi umum.
2) Transportasi pasien dalam posisi miring kiri.
3) Berikan profilaksis aspirasi dengan 30 ml
sodium sitrat 30-45 menit sebelum induksi,
ranitidine 50 mg i.v, dan atau metoklo-
pramid 10 mg 1-2 jam sebelum induksi.
4) Pasang monitor NIBP, EKG, dan pulse
oksimeter.
5) Preoksigenasi dengan oksigen 100%
selama 3-5 menit.
6) Lakukan persiapan pada pasien dan
lakukan drapping.
7) Bila ahli bedah telah siap lakukan rapid
sequence induction dengan penekanan
krikoid menggunakan propofol 2 mg/kg
(atau pentotal 4 mg/kg), dan suksinil kolin
1.5 mg/kg atau rokuronium 0,9-1,2 mg/kg.
Pada keadaan hipovolemik atau pasien
asma dapat digunakan ketamin 1 mg/kg.
8) Operasi dapat dimulai bila sudah dipastikan
ETT berada pada posisi yang tepat.
PROSEDUR ANESTESI PADA
SECTIO CAESARIA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PRODUSER 9) Hindari hiperventilasi berlebihan karena
dapat menurunkan aliran darah uterus dan
menyebabkan asidosis.
10)Maintenan anestesi dengan 50% N20
dalam oksigen dengan volatile konsentrasi
rendah (< 0,75 MAC, misal 1% sevofluran,
0,75% isofluran, atau 3% desfluran) untuk
menghindari relaksasi uterus yang
berlebihan. Relaksasi otot dengan pelemas
otot durasi sedang.
11)Setelah bayi dan plasenta dilahirkan berikan
20-30 unit oksitosin dalam tiap liter cairan.
Konsentrasi N20 dapat ditingkatkan sampai
70% dan berikan opioid sebagai analgesia.
12)Bila kontraksi uterus tidak baik maka
hentikan pemakaian anestesi inhalasi dan
berikan opioid.
13)Metergin 0,2 mg dapat diberikan tetapi
harus dipertimbangkan pengaruh
peningkatan tekanan darah arterial pada
pasien.
14)Pada akhir operasi lakukan ekstubasi dalam
keadaan bangun bila sudah terpenuhinya
kriteria ekstubasi.
E. Komplikasi Perdarahan Pascaoperasi monitoring
1. Lakukan terhadap tanda-tanda perdarahan
pascaoperasi.
2. Diagnosa differensial perdarahan postpartum:
atoni uterus, sisa plasenta, laserasi vagina
atau servik, koagulopati.
Preeklampsia Ringan
Hipertensi:
Sistolik 140 mmHg
30 mmHg dari baseline
Diastolik 90 mmHg
15 mmHg dari baseline
MAP 105 mmHg
20 mmHg dari baseline
B. Patofisiologi
1. Etiologi preeklamsia sampai saat ini belum
diketahui, namun faktor yang berperanan
penting adalah terjadinya iskemik
uteroplasenta yang kemungkinan terjadi akibat
perubahan imunitas sebagai reaksi graft
versus host.
2. Kemungkinan juga terjadi ketidakseimbangan
prostaglandin antara tromboksan dan
prostasiklin sehingga terjadilah preeklampsia.
Peningkatan jumlah tromboksan akan
menyebabkan vasokonstriksi dan agregasi
trombosit, serta gangguan aktivitas uterus
akibat penurunan aliran darah uteroplasenta.
3. Iskemia uteroplasenta mengakibatkan produksi
substan yang similar dengan renin dan
tromboplastin. Renin akan menyebabkan
pelepasan angiotensin dan aldosteron.
4. Peningkatan kadar renin, aldosteron, dan
katekolamin dalam sirkulasi akan menimbulkan
vasospasme, retensi sodium dan air, sehingga
terjadilah hipertensi dan kemudian berlanjut
menjadi edema.
5. Tromboplastin akan menginisiasi koagulopati
dan pada akhirnya dapat terjadi DIC.
PROSEDUR ANESTESI PADA PREEKLAMPSIA
Pulmoner
Edema jalan napas atas/ laring:
Kesulitan intubasi
Predisposisi terhadap infeksi saluran napas atas
Kebocoran kapiler paru:
Peningkatan gradien A-a
Kardiovaskular.
Vasokonstriksi:
Hipertensi, gangguan perfusi jaringan, hipoksia
selular, peningkatan beban kerja jantung, gagal
jantung.
Translokasi cairan:
Edema general, hipovolemia, hemokonsentrasi.
Peningkatan viskositas darah Hipertrofi dan
disfungsi ventrikel kini
Renal:
Penurunan aliran darah ginjal
Penurunan GFR
Penurunan creatinin clearance
Peningkatan level asam urat yang berkorelasi
dengan beratnya penyakit.
Hepar:
Perdarahan periportal
Hematoma subkapsular
Tes fungsi hati abnormal
Hematologi:
Penurunan jumlah dan fungsi platelet
Profil koagulasi abnormal (pemanjangan PTT).
DIC
HELLP sindrom
Uteroplasenta:
Penurunan aliran darah intervillous
Kelahiran premature
Small plasenta
Hiperaktivitas uterin
Sensitivitas uterus terhadap oksitosin
Abrupsio plasenta
OBAT KERUGIAN
Hidralazin Takikardia
Propanolol Bradikardia dan
hipoglikemia pada fetus
Sodium Fetal cyanide toxicity
Nitroprusid (dosis > 10 mcg/kg/mt)
Meningkatkan tekanan
intracranial matemal
Nitrogliserin Meningkatkan tekanan
intracranial matemal
Metildopa Neonatal tremor
Captopril Fetal death
Diuretik Hipotensi
Nifedipin Kombinasi dengan Mg
akan menyebabkan
hipotensi
Klonidin Hipoksia fetal
Peningkatan tonus
uterus (penurunan uterin
blood flow) Pada
umumnya tidak
direkomendasikan
D. Pencegahan Eklampsia
1. MgSO4 merupakan obat pilihan pertama untuk
mencegah terjadinya kejang yang bekerja
pada mioneural junction.
F. Manajemen Pascaopearatif
1. Gejala-gejala akibat preeclampsia
membutuhkan waktu beberapa jam sampai
beberapa hari setelah plasenta dan fetus
dilahirkan untuk hilang secara komplit
sehingga pasien tetap beresiko untuk
terjadinya kejang.
2. Lakukan monitoring tekanan darah
pascaoperasi dan pemberian infus MgSO4
harus diteruskan minimal 24 jam pascaoperasi.
3. Kontrol nyeri pascaoperasi
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen obgin
4. Dokter/ residen IPD/IKA di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR B. Prosedur Pemasangan Double Lumen Tube (Left
Sided)
1. Penggunaan bilah laringoskop Macintosh
biasanya memberikan visualisasi yang lebih
baik dibanding dengan bilah lurus.
Penggunaan bilah lurus sangat membantu
pada keadaan pasien dengan posisi laring
yang anterior.
2. Double lumen tube dimasukkan dengan
kurvatura distal dalam posisi konkaf kearah
anterior.
3. Setelah ujung tube melewati laring, dilakukan
rotasi 90 derajat kearah bronkus yang ingin
diintubasi (kearah kiri pada left sided)
4. Dorong tube sampai terasa ada tahanan.
Kedalaman rata-rata tube dari gigi adalah
sekitar 29 cm.
5. Kembangkan balon trakeal (5-10 ml udara)
6. Periksa bunyi nafas bilateral. Bunyi nafas
unilateral mengindikasikan bahwa tube terlalu
dalam sehingga bukaan trakeal berada di
bronchial.
7. Kembangkan balon bronchial (1-2 ml)
8. Klem lumen trakeal
9. Periksa suara nafas unilateral:
a. Bunyi nafas yang masih terdengar pada
paru kanan menandakan bahwa ujung
bronkial masih berada di atas karina. Pada
keadaan ini tube harus didorong lebih
dalam lagi.
b. Bila bunyi nafas terdengar unilateral pada
sisi kanan, mengindikasikan bahwa tube
masuk pada bronkus yang salah (bronkus
kanan).
c. Hilangnya suara nafas pada seluruh paru
kanan dan lobus kiri atas mengindikasikan
bahwa tube terlalu dalam bronkus kiri.
d. Lepaskan klem lumen trakeal dan lakukan
klem pada lumen bronchial.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 5. Intervensi yang dilakukan bila terjadi
hipoksemia selama ventilasi satu paru:
a. Inflasi oksigen secara periodik pada paru
yang kolaps
b. Segera lakukan ligasi dan penjepitan arteri
pulmonal ipsilateral (selama pneumektomi)
c. Berikan CPAP (5-10 cmH2O) pada paru.
yang kolaps
d. Berikan PEEP (5-10 cmH2O) pada paru
yang diventilasi
e. Lakukan penyesuaian volume tidal dan
frekuensi nafas.
6. Tindakan yang pertama kali harus dilakukan
bila terjadi hipoksia pada saat ventilasi satu
paru (melalui pengukuran pulse oksimeter)
adalah dengan memberikan CPAP pada paru
yang kolaps, kemudian bila tidak terdapat
perbaikan maka berika PEEP pada paru yang
diventilasi.
7. Hipoksemia yang persisten harus
diatasi dengan segera melakukan re-ekspansi
pada paru yang kolaps. Lakukan kembali
konfirmasi posisi ETT yang kemungkinan
dapat berubah akibat manipulasil traksi
pembedahan.
8. Kedua lumen ETT harus dilakukan Suctioning
untuk memastikan tidak adanya kumpulan
darah/ sekret yang dapat menimbulkan
obstruksi.
9. Kemungkinan pneumotorak pada sisi
dependen harus dipertimbangkan dan
disingkirkan, keadaan ini biasanya dapat
timbul pada diseksi mediatinal yang ekstensif
atau akibat pemberian peak inspiratory
pressure yang tinggi.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR H. Monitoring
1. Monitoring direk tekanan arterial
diindikasikan pada ventilasi satu paru,
reseksi tumor berukuran besar (terutama
tumor yang ekstensi ke mediastinum atau
dinding dada), dan pada tiap prosedur yang
dilakukan pada pasien dengan keterbatasan
funfsi paru dan penyakit kardiovaskular yang
signifikan.
2. Monitoring CVP sangat disarankan pada
pasien yang akan menjalani prosedur
pneumektomi dan reseksi tumor berukuran
besar. CVP ini akan memberikan refleksi
terhadap kapasitan vena, volume darah, fungsi
ventrikel kanan, dan sebagai panduan dalam
memberikan terapi cairan.
3. Kateter arteri pulmonal diindikasikan pada
pasien dengan hipertensi pulmonal, cor
pulmonal, atau disfungsi ventrikel kiri.
I. Induksi anestesi:
1. Lakukan preoksigenasi yang adekuat sebelum
dilakukan induksi.
2. Pada kebanyakan kasuss, induksi dilakukan
dengan obat anestesi intravena dengan
pemilihan obat induksi didasarkan pada status
preoperatif pasien.
3. Laringoskopi direk dilakukan setelah dipastikan
anestesi telah dalam untuk mencegah reflek
bronkospasme dan mengurangi respon
kardiovaskular.
4. Lakukan pemasangan ETT double lumen
kemudian konfirmasi posisi ETT sudah pada
tempatnya.
5. Untuk mencegah atelektasis, pernafasan
paradoks, dan pergeseran mediastinal berikan
ventilasi kontrol tekanan positif.
J. Posisi
1. Prosedur operasi reseksi paru dilakukan
melalui torakotomi posterior dengan
memposisikan pasien pada posisi lateral
dekubitus.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 7/11
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 2. Pastikan posisi pasien yang benar untuk
menghindari cedera dan memfasilitasi
lapangan operasi yang baik.
3. Posisi lengan yang dibawah berada dalam
keadaan fleksi, sedangkan lengan yang di atas
dalam keadaan ekstensi di atas kepala pasien
sehingga kan menarik scapula untuk menjauh
dari lapangan operasi.
4. Tempatkan bantal di antara tungkai dan,
lengan, kemudian untuk mencegah cedera
pada pleksus brakialis maka letakkan
gulungan kassa atau kain yang lembut di
daera aksila yang dependen.
5. Pastikan tidak ada penekanan pada bola mata
dan telinga dependen.
K. Pemeliharaan Anestesi:
1. Pemeliharaan anestesi dapat dilakuakan
dengan memberikan kombinasi anestesi
inhalasi (halotan, isofluran, sevofluran, atau
desfluran) dan opioid.
2. Keuntungan memberikan anestesi inhalasi
halogenasi adalah adanya efek bronkodilatasi,
depresi reflek jalan nafas, memungkinkan
untuk memberikan oksigen inspirasi
konsentrasi tinggi, mudah untuk mengatur
kedalam anestesi, dan efek terhadap hypoxic
pulmonary vasoconstriction (HPV) yang
minimal.
3. Efek minimal anestesi inhalasi terhadap HPV
didapatkan pada konsentrasi < 1 MAC.
4. Keuntungan penggunaan opioid adalah
efeknya yang minimal terhadap
hemodinamik, depresi terhadap reflek-reflek
jalan nafas, dan efek analgesi residual
pascabedah.
5. Penggunaan N20 sebaiknya tidak diberikan
karena dapat menurunkan FiO2,
menghambat HPV, dan pada beberapa pasien
dapat menimbulkan eksaserbasi hipertensi
pulmonal.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 8. Kedua lumen ETT harus dilakukan suctioning
untuk memastikan tidak adanya kumpulan
darah/ sekret yang dapat menimbulkan
obstruksi.
9. Kemungkinan pneumotorak pada sisi
dependen harus dipertimbangkan dan
disingkirkan, keadaan ini biasanya dapat
timbul pada diseksi mediatinal yang ekstensif
atau akibat pemberian peak inspiratory
pressure yang tinggi.
M. Manajemen Pascaopearatif
1. Perawatan Umum
a. Sebagian besar pasien dilakukan
ekstubasi dini untuk menurunkan resiko
terjadinya barotrauma (terutama ruptur
pada jahitan bronchial) dan resiko infeksi
paru.
b. Pasien dengan reserve paru yang
marginal sebaiknya tetap dalam keadaan
terintubasi sampai dengan standar untuk
dilakukan ekstubasi terpenuhi. Bila pasien
tetap dipertahankan terintubasi maka ETT
double lumen harus diganti dengan ETT
single lumen pada saat akhir operasi.
c. Pasien harus diobservasi secara ketat di
ruang pemulihan (PACU), kemudian bila
stabil dipindahkan ke ICU atau ruang
perawatan intermediate paling tidak
selama 1 malam atau lebih.
d. Posisikan pasien pada posisi setengah
duduk ( >30 derajat) dan berikan
suplemen oksigen (40-50%).
e. Lakukan pemantauan ketat terhadap EKG
dan hemodinamik.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR f. Komplikasi pascabedah yang paling sering
terjadi adalah hipoksemia dan asidosis
respiratorik. Keadaan ini paling sering
disebabkan oleh atelektasis akibat
kompresi surgical pada paru, gangguan
pernapasan akibat nyeri operasi,
transudasi cairan akibat gravitasi pada
paru dependen.
g. Perhatikan tanda-tanda komplikasi
perdarahan pascabedah, yaitu:
peningkatan drainase chest tube (> 200
ml/ jam), hipotensi, takikardi, dan
penurunan hematokrit.
h. Lakukan evaluasi radiografik.
i. Nyeri pasca operasi harus diatasi secara
agresif
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 9. Pasien hepatitis akut yang akan menjalani
operasi emergensi harus dilakukan evaluasi
mengenai penggunaan obatobatan
sebelumnya, konsumsi alcohol, obat-obatan
intravena, transfusi dan tindakan anestesi
sebelumnya.
10. Dehidrasi dan gangguan elektrolit akibat mual
muntah harus dilakukan koreksi.
11. Koagulopati dikoreksi dengan memberikan
vitamin K atau FFP.
12. Pada umumnya tidak perlu dilakukan
premedikasi unuk meminimalkan pemberian
obat-obatan.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Tujuan manajemen intraoperatif adalah untuk
menjaga fungsi hepar dan menghindari faktor-
faktor yang memperburuk fungsi hepar.
2. Pemilihan jenis dan dosis obat bersifat
individual.
3. Anestetik inhalasi lebih menjadi pilihan
dibandingkan obat anestesi intravena.
4. Dosis baku obat-obatan induksi anestesi
intavena masih dapat digunakan karena efek
obat tersebut lebih banyak dihentikan oleh
redistribusi dibandingkan dengan metabolism
atau ekskresi.
5. Pemanjangan durasi obat anestesi
intravena dapat dikurangi dengan
memberikan dosis yang besar atau dosis yang
berulang.
6. Obat anestesi inhalasi yang menjadi
pilihan utama adalah isofluran, hal
ini dikarenakan isofluran mempunyai
efek yang paling kecil terhadap aliran darah
hepar.
7. Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan
aliran darah hepar harus dihindari. Faktor-
faktor ini adalah: hipotensi, rangsangan
simpatis yang berlebihan, tahanan jalan nafas
yang terlalu besar pada saat melakukan
ventilasi kontrol.
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN
PENYAKIT LIVER (HEPATITIS AKUT)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 8. Teknik regional anestesi dapat dilakukan bila
tidak terdapat gangguan koagulasi dan
keadaan hipotensi.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Pasien dengan tanda-tanda kolesistitis akut
harus distabilkan terlebih dahulu dengan
medikamentosa sebelum dilakukan tindakan
kolesistektomi.
2. Terapi yang diberikan berupa: nasogastic
Suction, pemberian cairan intravena, antibiotik,
dan analgetik.
3. Apabila terjadi komplikasi: empyema,
perforasi, gangrene, hidrops, fistula, atau
gallstone ileus, maka dilakukan operasi
emergensi.
4. Kolesistitis akalkulus biasanya terjadi pada
pasien dengan penyakit kritis dan beresiko
tinggi untuk terjadinya gangrene dan
perforasi. Pada pasien seperti ini
merupakan indikasi untuk dilakukan operasi
emergensi.
5. Pasien dengan obstruksi ekstrahepatik
oleh sebab apapun akan mengalami
defisiensi vitamin K, oleh karena itu harus
diberikan vitamin K parenteral yang
membutuhkan waktu 24 jam untuk
memberikan respon penuh.
6. Pemberian FFP bila PT belum bias dikoreksi
sebelum pembedahan.
7. Hidrasi preoperatif harus adekuat untuk
mencegah kegagalan renal pascaoperasi
akibat kadar bilirubin yang tinggi.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Evaluasi prabedah dimulai dengan
mengumpulkan data-data untuk mengetahui
riwayat medis lengkap tentang keadaan
kondisi umum yang meliputi tanda manifestasi
dari uremia dan hasil pemeriksaan
laboratorium/ penunjang secara lengkap untuk
memastikan apakah pasien berada dalam
kondisi medis yang optimal. Semua
manifestasi urernia yang telah disebutkan di
atas harus dikontrol.
2. Pemeriksaan fisik dan evaluasi laboratorium
harus difokuskan pada pemeriksaan fungsi
jantung dan respirasi.
3. Perhatikan tanda-tanda hipovolemia atau
hipervolemia. Periksa kesadaran, membrane
mukosa, perubahan ortostatik terhadap laju
nadi dan tekanan darah, dieresis, laju nadi, isi
dan tekanan nadi, tekanan darah, dan turgor
kulit.
4. Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi
tanda-tanda hiperkalemia atau
hipokalsemia, iskemik, blok konduksi,
hipertropi ventrikel.
5. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
adalah darah rutin, waktu perdarahan dan
faktor koagulasi (terutama bila akan dilakukan
anestesi regional), serum elektrolit, BUN,
kreatinin, gula darah.
6. Pada pasien yang sesak sebaiknya diperiksa
AGD untuk mengetahui apakah terdapat
hipoksemia dan status asam basa.
7. Transfusi darah hanya diberikan pada pasien
dengan anemia berat (hb < 6-7 g/dL) atau bila
diperkirakan pada saat operasi akan terjadi
perdarahan yang banyak.
8. Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi tanda-
tanda hiperkalemia atau hipokalsemia,
iskemik, blok konduksi, hipertropi
ventrikel.Manajemen Preoperatif
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR c. Respon hipertensi terhadap intubasi
dapat ditumpulkan dengan menggunakan
opioid, beta bloker (esmolol), atau
lidokain.
d. Penggunann suksinilkolin sebagai
pelumpuh otot masih dapat ditolerir pada
kadar kalium < 5 meq/L.
e. Pemilihan pelumpuh otot pada pasien
dengan hiperkalemia adalah rocuronium
(0,6 mg/kg), cisatrakurium (0,15 mg/kg),
atrakurium (0,4 mg/kg), atau mivakurium
(0,15 mg/kg). Sebagai alternatif masih
mungkin untuk menggunakan vekuronium
0,1 mg/ kg dengan tetap memperhatikan
kemungkinan terjadinya efek obat yang
memanjang.
4. Pemeliharaan
a. Idealnya kita harus mampu mengontrol.
tekanan darah tanpa mempengaruhi
cardiac output.
b. Obat anestesi inhalasi yang menjadi
pilihan adalah gas yang metabolitnya
tidak memperburuk gangguan fungsi ginjal
yang telah ada, yaitu: isofluran dan
desfluran.
c. Penggunaan gas N2O harus hati-hati
pada pasien dengan fungsi ventrikel yang
tidak baik dan sebaiknya tidak digunakan
pada pasien dengan kadar hb yang
sangat rendah (<7 g/dL).
d. Hindari penggunaan meperidin, hal ini
dikarenakan terjadinya akumulasi
metabolit aktif normeperidin yang dapat
mencetuskan terjadinya kejang,
Penggunaan morfin masih memungkinkan
dengan kemungkinan efek yang akan
memanjang.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Pada operasi elektis pasien dengan PPOK
harus optimal terlebih dahulu (tidak ada
sesak, wheezing, dan batuk, atau dengan
sesak/ wheezing/ batuk minimal)
2. Lakukan intervensi untuk koreksi hipoksemia,
bronkospasme, mengurangi sekresi, dan bila
ada infeksi pada saluran nafas harus diberikan
terapi dengan antibiotic.
3. Hentikan merokok selama 6-8 minggu
sebelum operasi untuk mengurangi sekresi
dan komplikasi pascabedah. Paling
tidak pasien yang tidak merokok selama 24
jam akan meningkan Oxygen Carrying
capacity.
4. Fisioterapi pernafasan preoperative dengan
perkusi dan drainase postural.
5. Apabila didapatkan hipertensi pulmonal harus
diterapi dengan meningkatkan oksigenasi, dan
apabila terdapat corpulmonal dilakukan
digitalisasi terutama bila terdapat gagal jantung
kanan.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Regional anestesi (bila memungkinkan)
merupakan teknik pilihan untuk
mengurangi kemungkinan komplikasi
pascaoperasi.
2. Pemberian sedasi pada pasien yang
dilakukan regional anestesi diberikan secara
incremental oleh karena pada pasien ini
(terutama geriatric) sangant sensitive
terhadap efek depresan dari obatoobat
sedative.
3. Bila dilakukan anestesi umum maka pertama
kali harus dilakukan preoksigenasi untuk
mencegah terjadinya desaturasi oksigen yang
cepat.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PENGERTIAN 5. Pemeriksaan EKG pada obstruksi jalan nafas
yang berat ditandai dengan pulsus
paradoksus, perubahan ST-segment, right axis
deviation, dan RBBB.
6. Diagnosa banding asma adalah:
trakeobronkitis, sarkoidosis, rheumatoid
arthritis, epiglotitis, croup, gagal jantung
kongestif, emboli paru.
B. Terapi Farmakologi
Antiinflamasi:
1. Glukokortikoid; menurunkan responsivitas
jalan nafas dengan menurunkan inflamasi
pada jalan nafas dan meningkatkan
stabilitas pada membran. Pemberian
glukokortikoid sangat berguna baik pada
keadaan serangan akut maupun sebagai
terapi maintenan, tetapi membutuhkan
waktu beberapa jam untuk bekerja dengan
efektif.
2. Cromolyn; menghambat proses inflamasi
dengan menghambat pelepasan
mediatormediator kimia. Diberikan secara
inhalasi selama 7 hari sebelum terjadi paparan
terhadap allergen, dan tidak efektif apabila
dalam serangan.
3. Leukotien inhibitor
Bronkodilator:
1. Agonis B-adrenergik (misal: albuterol);
merupakan obat yang paling bermanfaat dan
paling sering digunakan. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah stimulasi simpatis
(takikardia, disritmia) dan perpindahan
potassium ke dalam sel.
2. Antikolinergik (iptratropium); efek
bronkodilatasinya disebabkan oleh aksi
antimuskariniknya dan dapat memblok reflek
bronkokonstriksi.
3. Methylxanthine; menghasilkan bronkodilatasi
dengan cara menghambat phosfodiesterase.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PENGERTIAN C. Terapi Status Asmatikus
1. B2-agonis tiap 15-20 menit (merupakan terapi
yang paling efektif pada saat emergensi)
2. Kortikosteroid; kortisol 2 mg/kg iv dilanjutkan
dengan 0,5 mg/ kg/ jam, atau metilprednisolon
60-125 mg iv tiap 6 jam
3. Oksigen suplemen
4. Intubasi trakealdan ventilasi mekanik dilakukan
apabila PaCo2 > 50 mmHg.
5. Terapi antibiotik
TUJUAN Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi
pada pasien dengan asma bronkial yang
akan menjalani tindakan pembedahan.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Anamnesa yang harus dilakukan adalah
tentang: onset terjadinya serangan,
pencetus, riwayat dirawat di rumah sakit
akibat asma, faktor alergi, batuk, sputum
(warna dan karakteristiknya), terapi
sebelumnya.
2. Keadaan yang optimal untuk operasi elektif
adalah apabila dari pemeriksaan tidak
didapatkan wheezing, batuk, dan sesak.
Pada keadaan operasi emergensi
harus diberikan terapi yang agresif
sebelumnya.
3. Pasien yang sering mengalami serangan
bronkospasme atau dalam kondisi kronik
harus mendapatkan terapi regimen
bronkodilator yang optimal.Terapi yang
dapat diberikan berupa B2-agonis dan
glukokortikoid.
4. Lakukan pemeriksaan ronsen toraks untuk
menilai adanya air trapping (hiperinflasi,
diafragma datar, jantung terlihat kecil, paru-
paru hiperlusen).
5. Lakukan pemeriksaan fungsi paru untuk
mengkonfirmasi keadaan klinis yang
didapatkan.
6. Pemeriksaan AGD hanya dilakukan apabila
kita meragukan adekuasi ventilasi atau
oksigenasi arterial.
7. Sedasi preoperatif dapat diberikan terutama
pada pasien yang penyakitnya dipengaruhi
oleh komponen emosional. Secara umum
benzodiazepine memberikan efek yang
memuaskan sebagai sedasi preoperatif pada
pasien asma.
8. Hindari pemberian premedikasi dengan opioid,
antikolinergik, dan antagonis H-2.
Antikolinergik diberikan apabila terdapat
sekresi yang kental atau apabila akan
memakai ketamin sebagai obat induksi.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 9. Premedikasi dengan antagonis H-2 karena
akan menyebabkan aktivitas H-1 lebih
dominan sehingga dapat terjadi
bronkokonstriksi.
10. Terapi asma harus tetap diberikan sampai
menjelang operasi
11. Pasien yang mendapatkan terapi
glukokortikoid jangka panjang harus
mendapatkan terapi suplemen untuk
mengkompensasi supresi adrenal. Terapi
suplemen yang paling sering diberikan
adalah hidrokortison 50-100 mg pada saat
preoperatif dan pada saat postoperatif
diberikan 100 mg tiap 8 jam selama 1-3 hari
berikutnya.
12. Berikan hidrasi perioperatif dengan cairan
kristaloid untuk menjaga hidrasi yang adekuat
dan mengurangi kekentalan sekret.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Saat yang paling berbahaya pada pemberian
anestesi pada pasien asma adalah pada saat
akan dilakukan tindakan instrumentasi pada
jalar
2. Pemilihan teknik anestesi umum dengan
memakai masker atau regional anestesi akan
mengatasi masalah di atas, tetapi tetap tidak
menghilangkan resiko terjadinya serangan
bronkospame.
3. Target utama pada manajemen anestesi
umum adalah induksi dan emergence yang
smooth/ lancer.
4. Bronkospasme juga dapat dicetuskan
oleh stimulasi dalam keadaan anestesi
yang dangkal, nyeri, dan stress
emosional.
5. Pastikan kedalaman anestesi telah
tercapai sebelum dilakukan tindakan
laringoskopi-intubasi dan stimulasi bedah.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
I. Manajemen Pascaoperatif
1. Monitoring gula darah harus dilanjutkan
post operatif karena terdapat variasi
individual dari onset dan duration of action dari
insulin (regular dan NPH), selain itu dapat
terjado progresi dari stress hiperglikemia saat
periode pemulihan.
2. Apabila durante operasi diberi banyak
Ringer Lactate (RL) gula darah biasanya
akan naik 24-48 jam postoperatif saat
hepar mengkonversi laktat menjadi
glukosa
3. Karakteristik dan bioavaibilitas dari insulin : |
Insulin type Onset Peak Duration
action
Short acting Lispro 10-20 min 30-90 min 4-6 hr
Regular, 15-30 min 1-3 hr 5-7 hr
Actrapid, 30-60 min 4-6 hr 12-16 hr
Velosulin
Semilente,
Semitard
Intermedi Lente, 2-4 hr 8-10 hr 18-24 hr
ate Lentard, NPH,
Monotard
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR dioptimalisasi dalam waktu kurang dari 1 jam
dengan mengkontrol keadaan sirkulasi yang
hiperdinamik menggunakan infus esmolol
secara titrasi dengan dosis 100-300 ug/ kg/
menit atau dengan propranolol dengan target
laju nadi < 100x/menit.
5. Lakukan evaluasi terhadap kemungkinan
obstruksi jalan nafas bagian atas.
6. Obat pilihan untuk sedasi preoperatif adalah
dengan obat golongan benzodiazepine.
7. Hindari obat antikolinergik sebagi premedikasi
status mental dan kejang.
E. Manajemen Intraoperatif
1. Teknik regional anestesi bila memungkinkan)
dapat memberikan keuntungan yang sangat
besar karena dapat memblokade system saraf
simpatis/stress response.
2. Bila dilakukan anestesi umum harus
dipilih obat-obatan induksi yang mempunyai
efek minimal terhadap kardiovaskular.
Tiopental merupakan pilihan yang terbaik
karena mempunyai efek antitiroid pada dosis
besar.
3. Hindari pemakaian ketamin, pankuronium,
dan obat-obatan yang dapat menstimulasi
sysiem sarai simpais Karena dapai
menyebabkan peningkatan laju nadi dan
tekanan darah.
4. Pastikan kedalaman anestesi yang
adekuat sudah tercapai sebelum
melakukan laringoskop/ intubasi atau saat
stimulasi/ pembedahan untuk menghindari
terjadinya takikardia, hipertensi, dan aritmia
ventrikel
5. Pastikan pasien dalam keadaan normovolum
sebelum induksi karena pasien-pasien
hipertiroid biasanya dalam keadaan
hipovolemik kronis dengan sirkuasi yang
cenderung mengalami vasodilatasi.
6. Mainte nance anestesi dapat dilakukan
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 6. Pemberian kortisol 100-200 mg tiap
8 jam direkomendasikan untuk mencegah
timbulnya komplikasi akibat supresi kelenjar
adrenal.
G. Manajemen Pascaoperatif
1. Lakukan monitoring terhadap tanda-tanda
krisis tiroid paling tidak selama 24 jam,
hal ini dikarenakan krisis tiroid paling
sering terjadi pada periode 6-24 jam
pascaoperasi.
2. Lakukan evaluasi terhadap terjadinya
komplikasi tiroidektomi subtotal, yaitu
a. Kerusakan nervus laryngeus recurrent; bila
unilateral ditandai dengan paralisis pita
suara dan suara serak, bilateral ditandai
dengan paralisis pita suara, afonia dan
stridor (obstruksi jalan nafas). Fungsi pita
suara dapat segera dinilai dengan
laringoskopi segera setelah dilakukan
ekstubasi dalam. Kegagalan 1 atau kedua
pita suara untuk bergerak memerlukan
tindakan intubasi untuk membebaskan
jalan nafas.
b. Perdarahan pascaoperatif pada
daerah leher; keadaan ini menimbulkan
hematom yang dapat menimbulkan
gangguan jalan nafas akibat kompresi
pada trakeal. Tindakan yang dilakukan
adalah dengan sesegera mungkin
membuka kembali luka insisi untuk
evakuasi bekuan darah.
c. Trakeomalasia; lakukan penilaian apakah
diperlukan tindakan intubasi.
d. Hipoparatiroid; terjadi karena kelenjar
paratiroid yang tidak sengaja terangkat.
Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya
hipokalsemia akut yang terjadi dalam 12-72
jam.
e. Pneumotoraks; dapat terjadi secara
tidak sengaja saat dilakukannya
eksplorasi pada daerah leher. Segera
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN HIPERTIROID
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 6/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR f. lakukan pemasangan CTT untuk
mengatasinya.
g. Hipotiroid permanen.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR dan pericardial.
16. Pada keadaan hipotiroid subklinis gangguan
kardiovaskular jarang terjadi
B. Diagnosis
1. Diagnosis hipotiroid ditegakkan dengan kadar
T4 bebas yang rendah.
2. Hipotiroid primer dibedakan dengan hipotiroid
sekunder dengan peningkatan kadar TSH.
C. Terapi
1. Terapi pengganti dengan preparat hormone
tiroid (T4)
D. Permasalahan Perioperatif
1. Peningkatan sensitivitas terhadap obat yang
menimbulkan depresi
2. Hipodinamik kardiovaskular
3. Penurunan laju jantung
4. Penurunan cardiac output
5. Metabolisme obat menjadi lambat
6. Reflek baroreseptor yang tidak responsif
7. Kegagalan respon ventilasi terhadap
hipoksemia dan hiperkarbia
8. Hipovolemia
9. Gangguan pengosongan lambung
10. Hiponatremia
11. Hipotermia
12. Anemia
13. Hipoglikemia
14. Insufisiensi adrenal
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR intravena, dengan dosis awal levotiroksin
sodium 300-500 mg (pada pasien tanpa
penyakit jantung) diikuti dengan dosis
pemeliharaan 50 mg/ hari, steroid (misalnya
hidrokortison 100 mg tiap 8 jam). Selama
terapi lakukan pemantauan EKG terhadap
tanda-tanda iskemik atau aritmia.
5. Pertimbangkan bantuan ventilasi dan
pemanasan eksternal bila diperlukan.
F. Manajemen Preoperatif
1. Pasien yang akan menjalani operasi elektif
dengan keadaan hipotiroid berat (T4 < 1 mg/dl)
atau koma myxedema harus ditunda.
2. Pasien dengan hipotiroid berat (T4< 1 mg/ dL)
atau koma myxedema yang akan menjalani
operasi emergensi harus mendapatkan terapi
dengan hormone tiroid terlebih dahulu sebelum
operasi.
3. Keadaa preoperatif yang ideal adalah pasien
dalam keadaan eutiroid, tetapi keadaan
hipotiroid ringan-sedang bukan merupakan
kontraindikasi absolute untuk dilakukan
operasi.
4. Evaluasi semua permasalahan yang mungkin
ada akibat hipotiroid (poin no.8)
5. Berikan terapi pengganti hormon tiroid untuk
mencapai keadaan eutiroid pada saat operasi.
6. Berikan kortisol suplemen sebagai medikasi
preoperatif.
7. Pada keadaan hipotiroid pasien sangat sensitif
terhadap obat-obatan sedasi yang dapat
menimbulkan depresi jalan nafas dan pada
keadaan ini mereka tidak mampu
mengkompensasi hipoksia dengan
meningkatkan ventilasi semenit. Biasanya
pada pasien hipotiroid tidak memerlukan
sedasi preoperatif.
8. Berikan premedikasi dengan antagonis
histamine H-2 dan metoklopramid karena pada
pasien ini terjadi perlambatan pengosongan
lambung.
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN HIPOTIROID
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/ residen bedah
4. Dokter/ residen IPD
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PANDUAN
ANESTESI REGIONAL
B. Kontra Indikasi
1. Absolut
a. infeksi pada daerah tempat tusukan
b. Pasien menolak
c. Koagulopati atau gangguan perdarahan
d. Hipovolemia berat
e. Peningkatan tekanan intracranial
f. Severe aortic/ mitral stenosis
2. Relatif
a. Sepsis
b. Pasien tidak kooperatif
c. Defisit neurologis sebelumnya
d. Severe spinal deformity
3. Kontroversi
a. Bekas operasi pada tempat tusukan
b. Pasien yang tidak bisa berkomunikasi
c. Prosedur operasi yang kompleks (durasi
lama, perdarahan banyak)
C. Persiapan Alat Obat
1. Sumber oksigen
2. Peralatan manajemen Jalan Nafas (lihat
pedoman persiapan pra-bedah)
3. Obat-obatan emergensi/ resusitasi
4. Monitor tekanan darah, pulse oximetry, EKG
Dosis (mg)
Obat Perineum, Abdomen Abdomen
(hiperbarik Lower Bawah Atas
) Limbs
Procaine 75 125 200
Bupivacain 4-10 12-14 12-18
Tetracaine 4-8 10-12 10-16
Lidocaine 25-50 50-75 75-100
Ropivacain 8-12 12-16 16-18
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR h. Morbid obesity
i. Sickle cell disease
j. Peritonitis
k. Massa intra abdomen yang besar
l. Shock hipovolemik
m. Pasien dengan VP shunt
n. Pasien menolak
5. Peralatan monitoring yang dibutuhkan: EKG,
NIBP, pulse oksimetri, kapnograf.
6. Persiapan alat dan obat (lihat pedoman
Persiapan Sebelum Tindakan Anestesi)
B. TEKNIK ANESTESI
1. Teknik anestesi yang menjadi pilihan pada
laparoskopi adalah teknik anestesi umum
dengan intubasi menggunakan endotracheal
cuff dengan balon, dan dilakukan ventilasi
control dengan tekanan positif.
2. Hampir semua kombinasi obat anestesi
(hipnotik, analgetik, dan relaksan) dapat
diberikan, tetapi gas Halotan sebaiknya
dihindari karena dapat menyebabkan aritmia
dengan adanya hiperkarbia.
3. Pemilihan obat anestesi disesuaikan dengan
kondisi masing-masing pasien.
4. Gas N20 dapat diberikan dengan konsentrasi
tidak lebih dari 50%
5. Setelah dilakukan induksi dan intubasi
dilakukan pemasangan NGT dan kateter urin
untuk dekompresi.
6. Pada saat insersi Veress needle dan kanula
pasien diposisikan trendelenburg
7. Posisi pasien selanjutnya disesuaikan dengan
prosedur operasi yang akan dijalani.
8. Perhatikan tanda-tanda vital pasien pada saat
dilakukan insuflasi gas CO2 terhadap
kemungkinan vagal reflek akibat peregangan
peritoneum
9. Apabila terjadi vagal reflek berikan obat
vagolitik
10. Tekanan intra abdominal saat insuflasi
dibatasi tidak lebih dari 15 mmHg untuk
PROSEDUR PELAYANAN ANESTESI PADA
LAPARASKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR mengurangi perubahan fisiologi akibat
pneumoperitoneum
11. Durante operasi dilakukan monitoring terhadap
tekanan darah, laju nadi, saturasi, diuresis,
EKG, dan end tidal CO2. Disamping
monitoring mekanik harus dilakukan pula
monitoring visual dan taktil dengan menilai
warna kulit, turgor kulit, capillary refill, edema
pada konjungtriva dan kornea akibat posisi,
emfisema sub kutan pada dada. Pemeriksaan
ini harus dilakukan secara periodic karena
selama laparoskopi dapat terjadi perubahan
yang mendadak.
12. Pada laparoskopi tidak terjadi evaporasi
dan perpindahan cairan yang besar ke
ruang ketiga, sehingga pemberian cairan
pengganti dibatasi dengan pemberian RL 2,5-4
ml/ kgbb/ jam ditambah dengan cairan
maintenan.
13. Selama operasi harus dipantau tanda
tanda adanya komplikasi emboli dan
pneumotoraks.
14. Berikan profilaksis terhadap PONV
15. Dokter anestesi harus memutuskan untuk
dilakukan konversi tindakan laparoskopi
menjadi laparotomi apabila durante operasi
terjadi perdarahan yang sulit untuk di atasi,
perforasi organ prosedur yang telah
berlangsung terlalu lama, keadaan pasien
yang memburuk, dan adanya penyakit lain
yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR e. Pemeriksaan EKG ( bila usia > 40 thn atau
ada indikasi)
f. Pemeriksaan MRI atau CT-Scan
g. Permeringsaan CT-Angiografi bila ada
indikasi ( tumor besar dengan kecurigaan
gangguan vaskuler)
B. Intra operatif
1. Premedikasi
a. Hindari penggunaan narkotik
b. Dapat diberikan diazepam 0.1-0.2 mg/kgbb
per oral, midazolaam 0.5-1 mg/kgbb atau
lorazepam 0.02-0,5 mg/kgbb.
c. Sebaiknya dilakukan dalam pengawasan
dokter anestesi atau dengan pemantauan
monitor.
2. Monitoring
a. Pemasangan monitoring rutin ( EKG, SpO2
dan tekanan darah non invasive)
b. Pemasangan CVP perifer atau central (bila
kemungkinan terjadinya perdarahan yang
banyak atau kemungkinan terjadinya
diabetes insipidus).
c. Pemasangan arteri line apabila
d. operasi memiliki resiko terjadinya
perubahan tekanan darah yang cepat,
e. hipotensi kendali,
f. penyakit sertaan tertentu
g. pemasangan kateter urine
3. Induksi
a. Posisikan pasien head up 30°
b. Berikan oksigen 3 L/menit selama 5 menit.
c. Berikan narkotik analgetik ( contoh Fentanil
1-3 pr/kgbb) secara perlahan selama 1
menit hindari terjadinya batuk.
d. Pasien diberikan pelumpuh otot non
depolarisasi 1/10 dosis dari jumlah dosis
yang akan diberikan.
e. Pasien diberikan hipnotik sedative
(contoh propofol 2-2,5 mg/kgbb
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR thn atau ada indikasi)
e. Pemeriksaan EKG ( bila usia > 40 thn atau
ada indikasi)
f. Pemeriksaan MRI atau CT-Scan
g. Permeringsaan CT-Angiografi bila ada
indikasi ( tumor besar dengan kecurigaan
gangguan vaskuler)
B. Intra operatif
1. Premedikasi
a. Hindari penggunaan narkotik analgesik
b. Dapat diberikan diazepam 0.1-0.2
mg/kgbb per oral, midazolaam 0.5-1
mg/kgbb atau lorazepam 0.02-0,5
mg/kgbb.
c. Sebaiknya dilakukan dalam pengawasan
dokter anestesi atau dengan pemantauan
monitor.
2. Monitoring
a. Pemasangan monitoring rutin ( EKG,
SpO2, tekanan darah non invasive dan end
tidal CO2)
b. Pemasangan CVP perifer atau central (bila
kemungkinan terjadinya perdarahan yang
banyak atau kemungkinan terjadinya
diabetes insipidus).
c. Pemasangan arteri line apabila
1) operasi memiliki resiko terjadinya
perubahan tekanan darah yang cepat,
2) hipotensi kendali,
3) penyakit sertaan tertentu
d. pemasangan kateter urine
3. Induksi
a. Posisikan pasien head up 30°
b. Berikan oksigen 3 L/menit selama 5
menit.
c. Berikan narkotik analgetik ( contoh Fentanil
1-3 pr/kgbb) secara perlahan selama 1
menit hindari terjadinya batuk.
d. Pasien diberikan pelumpuh otot non
depolarisasi 1/10 dosis dari jumlah dosis
yang akan diberikan.
PANDUAN ANESTESI PADA KRANIOTOMI SOL
INFRATENTORIAL (FOSSA POSTERIOR)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR e. Pasien diberikan hipnotik sedative (contoh
propofol 2-2,5 mg/kgbb thiopental 2-5
mg/kgbb).
f. Selah reflex bulu mata hilang ( kecuali bila
GCS < 9).
g. Kemudian dilakukan ventilasi dengan
oksigen 6 L/menit dengan gas anestesi
(contoh : Sevoflurane 1,5 MAC atau
Isoflurane 1 MAC).
h. Setelah dipastikan pasien mampu
untuk dilakukan untuk ventilasi berikan
sisa dari pelumpuh otot (contoh:
vecuronium 0.15 mg/kgbb,
rocuronium 0.6 mg/kgbb atau atracurium
0.5 mg/kgbb)
i. Berikan lidokain 1-1,5 mg/kgbb yang di
berikan 3 menit sebelum dilakukannya
intubasi.
j. Berikan setengah dosis ulangan hipnotik
sedative dari dosis induksi 30 detik
sebelum dilakukkannya intubasi.
k. Tekanan darah non invasive mengukur
selama 1 menit sekali selama induksi.
l. Dilakukan laringoskopi intubasi
m. Plester mata dengan menggunakan plester
kertas sebanyak 3 lapis yang terlebih
dahulu menggunakan salep mata.
n. Setelah selasai induksi dan pastikan posisi
pasien
o. Pastikan tidak adanya obstruksi vena
jugularis
p. Dilakukan pemasanga iv kateter nomor
besar, kateter urine dan CPV atau arteri
line bila diperlukan
q. Diberikan anestesi lokal bupivakain
sebelum dilakukan pemasangan head pin
r. Diberikan hipnotik sedative ( propofol atau
thiopenthal) secara kontiyu
s. Diberikan pelumpuh otot secara intermiten
atau kontiyu
t. Diberikan osmotik diuretik dan atau loop
diuretic pada saat dilakukan
PANDUAN ANESTESI PADA KRANIOTOMI SOL
INFRATENTORIAL (FOSSA POSTERIOR)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR pengeboran tulang
u. Pemberian kortikostreroid pada pasien
tetap dilanjutkan.
4. Rumatan
a. Setelah dilakukan intubasi pasien di
berikan rumatan anestesi O2-
Airsevoflurane tidak lebih dari 1,5 MAC
atau isoflurane tidak lebih dari 1 MAC.
b. Diberikan hipnotik sedasi kontiyu (contoh:
propofol 50-150 ug/kgbb/menit atau
Thiopental 1-3 mg/kgbb/jam).
c. Pelumpuh otot diberikan secara kontiyu
atau secara berkala.
d. Cairan rumatan dengan menggunakan
NaCl 0,9% dan Ringger laktat dengan
pebandingan 3:1
e. Bila pasien mendapatkan osmotic diuretik
dan, atau loop diuretik cairan penganti
diberikan 1-1.5 cc/kgbb/jam atau 2/3 dari
jumlah diuresis/jam.
C. Post operatif
Pasien di. masukan ke ICU, bila pasien memenuhi
kriteria masuk ICU
1. Komplikasi
a. Pasien dilakukan pemantauan tekanan
darah, pernafasan, nadi dan cairan
drainase perdarahan.
b. Kemungkinan diabetes insipidus
c. Perdarahan ulang (rebleeding) yang
ditandai dengan
1) Penurunan kesadarah atau GCS
2) Pupil anisokor
3) Kejang
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR thn atau ada indikasi)
e. Pemeriksaan EKG ( bila usia > 40 thn atau
ada indikasi) f. Pemeriksaan MRI atau CT-
Scan
f. Permeringsaan CT-Angiografi bila ada
indikasi ( tumor besar dengan kecurigaan
gangguan vaskuler)
B. Intra operatif
1. Premedikasi
a. Hindari penggunaan narkotik analgetik
b. Dapat diberikan diazepam 0.1-0.2
mg/kgbb per oral, midazolaam 0.5-1
mg/kgbb atau lorazepam 0.02-0,5
mg/kgbb. Sebaiknya dilakukan dalam
pengawasan dokter anestesi atau dengan
pemantauan monitor.
2. Monitoring
a. Pemasangan monitoring rutin ( EKG, SpO2
dan tekanan darah non invasive)
b. Pemasangan end tidal CO2
c. Pemasangan CVP perifer atau central (bila
kemungkinan terjadinya perdarahan yang
banyak atau kemungkinan terjadinya
diabetes insipidus).
d. Pemasangan arteri line apabila
1) operasi memiliki resiko terjadinya
perubahan tekanan darah yang cepat,
2) hipotensi kendali,
3) penyakit sertaan tertentu
e. pemasangan kateter urine
3. Induksi
a. Posisikan pasien head up 30°
b. Berikan oksigen 3 L/menit selama 5 menit.
c. Berikan narkotik analgetik ( contoh Fentanil
1-3 pr/kgbb) secara perlahan selama 1
menit hindari terjadinya batuk.
d. Pasien diberikan pelumpuh otot non
depolarisasi 1/10 dosis dari jumlah dosis
yang akan diberikan.
e. Pasien diberikan hipnotik sedative
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR v. Pemberian kortikostreroid pada pasien
tetap dilanjutkan.
4. Rumatan
a. Setelah dilakukan intubasi pasien di
berikan rumatan anestesi O2-Air -
sevoflurane tidak lebih dari 1,5 MAC atau
isoflurane tidak lebih dari 1 MAC.
b. Diberikan hipnotik sedasi kontiyu (contoh:
propofol 50-150 ug/kgbb/menit atau
Thiopental 1-3 mg/kgbb/jam).
c. Pelumpuh otot diberikan secara kontiyu
atau secara berkala.
d. Cairan rumatan dengan menggunakan
NaCl 0,9% dan Ringger laktat dengan
pebandingan 3:1
e. Bila pasien mendapatkan osmotic diuretik
dan/ atau loop diuretik cairan penganti
diberikan 1-1.5 cc/kgbb/jam atau 2/3 dari
jumlah diuresis/jam.
f. Bila pasien dicurigai terjadinya diabetes
insipidus dengan danda sebagai berikut
g. Periksakan elektrolit intraoperatif
h. Bila terjadi hipernatremia dapat dikoreksi
dengan cairan yang mengandung dextrose
i. Dilakukan periksaan elektrolit dan gula
dearah sewaktu secara berkala ( 1 jam
sekali)
C. Post operatif
Pasien di masukan ke ICU, bila pasien memenuhi
kriteria masuk ICU
1. Komplikasi
a. Pasien dilakukan pemantauan tekanan
darah, pernafasan, nadi dan cairan
drainase perdarahan.
b. Kemungkinan diabetes insipidus
c. Perdarahan ulang (rebleeding) yang
ditandai dengan
1) Penurunan kesadarah atau GCS
2) Pupil anisokor
3) Kejang
PROSEDUR ANESTESI PADA KRANIOTOMI
NEUROENDOKRIN
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 5/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR B. Intraoperatif
1. Teknik operasi : anestesi umum dengan
pemasangan ETT non kingking
2. Induksi :
a. Adekuat anxiolisis preoperative di kamar
operasi
b. Furosemid 1 mg/kg
c. Preoksigenasi dan hiperventilasi, kemudian
Fentanyl 1-2 µg/kg
d. Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 -
2,25 mg/kg, atau etomidate 0,3
mg/kgsebagai hipnotik sedative
e. Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup
muka.
f. Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-
0,15 mg/kg atau rocuronium 0,6 0,8mg/kg
i.V
g. Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka
dengan O2 atau O2- Isofluran konsentrasi
terendah 0,5%.
h. Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi
lonjakan hemodinamik saat intubasi dan 42
dosis obat diberikan sebelum dilakukan
intubasi.
i. Kombinasi narkotik Fentanyi 5 ug/kg
diberikan sebagai analgetik.
j. Kontrol ventilasi (PaCO2- 35 mmHg)
k. Kemudian diintubasi dengan ETT non
kingking dengan ukuran sebesar mungkin
yang masih dapat disesuaikan dengan
ukuran pasien.
3. Pemeliharaan :
a. Infuse Penthotal kontinyu 0,2-0,3
mg/kg/mnt sampai dosis total 20-25
mg/kg atau propofol kontinyu 50-150
pg/kg/mnt dapat menurunkan CBF, atau
Sevofluran 0,5%-1,5%, atau Desfluran
3-6%.
b. Analgetik maintain Fentanyi 1-2µg/kg/jam.
Berikan bolus Fentanyl 2µ/kg (saat
pemasangan pin kepala, insisi kulit)
PROSEDUR ANESTESI PADA KRANIOTOMI
SOL SUPRATENTORIAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR c. Isofluran < 1 vol% dalam O 2. Umumnya
menghasilkan intrakranial dinamik yang
lebih stabil.
d. Posisi kepala : head up, vena jugularis
bebas.
e. Manitol : 0,5-0,75 gr/kg.
f. Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau
HES 6% - tidak RL secara regular)
4. Pengakhiran :
a. Keputusan diektubasi atau tidak tergantung
pada kondisi saat dilakukan operasi
b. ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam,
pasien belum bangun, perdarahan banyak
saat manipulasi.
5. Standar Monitor:
EKG, kapnometer; pulse oksimetri, tensimeter,
jalur tekanan arteri invasif, pemasangan CVP.
C. Pasca operatif
1. Komplikasi : Kejang, defisit neurologis,
perdarahan, pembengkakan dan peningkatan
tekanan intracranial
2. Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im,
metamizol 1000 iv, dan metamizol 2000 mg
drip 15 gtt/mnt.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 4. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin
termasuk sel darah, kimia serum, dan
koagulasi, EKG, CT scan atau MRI.
B. Intraoperatif
1. Teknik anestesi : anestesi umum dengan
pemasangan ETT non kingking.
2. Regional anestesi : bisa digunakan untuk
operasi di daerah di daerah lumbal. Posisi
pasien tergantung dari letak tumor dan
tergantung permintaan operator, Kebanyakan
posisi prone.
3. Induksi dilakukan dengan hati-hati karena
dapat terjadi gangguan jantung akibat spinal
shock, trauma jantung, atau hipovolemia.
4. Induksi :
a. Atropin (0,01-0,02mg/kg) sebelum intubasi
untuk mengurangi sekresi, spasme
bronkus, dan reflex bradikardi.
b. Preoksigenasi dan hiperventilasi, kemudian
Fentanyl 1-2 ug/kg
c. Sebagai hipnotik sedative digunakan
ketamin (1-2 mg/kg) merupakan
pilihan asal tidak tidak ada kontra
indikasi absolute. Hati-hati penggunaan
Thiopental, dapat menyebabkan hipotensi
berat.
d. Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup
muka.
e. Neuromuscular blockade : Pancuronium
(0,08-0,12 mg/kg)
f. Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka
dengan N2O-O2 atau 02 Isofluran
konsentrasi terendah 0,5%.
g. Kombinasi narkotik Fentanyi 5 mg/kg
diberikan sebagai analgetik.
h. Kemudian diintubasi dengan ETT non
kingking dengan ukuran sebesar mungkin
yang masih dapat disesuaikan dengan
ukuran pasien, diplester kuat pada
mandibula.
C. Standar Monitor
EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter,
jalur tekanan arteri invasif, pemasangan CVP,
thermometer.
D. Pasca operatif
1. Komplikasi : Kejang, defisit neurologis,
perdarahan, pembengkakan dan
peningkatan tekanan intrakranial
Penatalaksanaan nyeri : opioid (tramadol )
16 Januari 2012
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR sensoris/motoris
4. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin
termasuk sel darah, kimia serum, dan
koagulasi, EKG, CT scan atau MRI.
5. Pemberian obat-obatan untuk cerebaral
vasokostriksi (barbiturate), dan diuretic
(manitol, dan furosemid) sampai operasi
dilakukan, untuk menurunkan ICP.
6. Premedikasi dengan antiemetik.
C. Intraoperatif
1. Teknik operasi : anestesi umum dengan
pemasangan ETT non kingking
2. Induksi :
a. Adekuat anxiolisis preoperative di kamar
operasi
b. Preoksigenasi dan hiperventilasi, kemudian
Fentanyl 1-2 µg/kg
c. Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 -
2,25 mg/kg, atau etomidate 0,3 mg/kg
sebagai hipnotik sedative
d. Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup
muka.
e. Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-
0,15 mg/kg atau rocuronium 0,6 0,8mg/kg
iv
f. Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka
dengan O2 atau O2 - Isofluran konsentrasi
terendah 0,5%. Hindari penggunaan N20.
g. Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi
lonjakan hemodinamik saat intubasi dan 2
dosis obat diberikan sebelum dilakukan
intubasi.
h. Kombinasi narkotik Fentanyi 5 µg/kg
diberikan sebagai analgetik.
i. Kontrol ventilasi (PaCO2- 35 mmHg)
j. Kemudian diintubasi dengan ETT non
kingking dengan ukuran sebesar mungkin
yang masih dapat disesuaikan dengan
ukuran pasien.
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012