Anda di halaman 1dari 303

PANDUAN PELAYANAN MEDIS

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RS Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG
2012

PROSEDUR PELAYANAN ANESTESI DAN


TERAPI INTENSIF
No. Dokumen No. Revisi Halaman
RSUP Dr. Hasan Sadikin HSO6 B22.5.0029 - 1/2
Bandung
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Pelayanan medis dan operasional Anestesi dan
PENGERTIAN
Terapi Intensif di RS Hasan Sadikin
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN pemberian pelayanan Anestesi di RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung
Mengatur Pedoman Pelayanan Medis dan
KEBIJAKAN Prosedur Operasional, berikut penanggung jawab
masing-masing kegiatan pelayanan anestesi.
A. Uraian Umum
1. Pedoman Pelayanan Anestesi dan
TerapiIntensif meliputi
a. Pedoman Pelayanan Medis
1) Pelayanan dasar Anestesi
a) Persiapan prabedah
b) Penatalaksanaan selama
c) pembedahan
d) Penatalaksanaan pascabedah
e) Terapi cairan dan transfusi darah
f) Penatalaksanaan nyeri
g) Resusitasi
b. Pelayanan anestesi pada
1) Obstetrik
PROSEDUR 2) Pediatrik
3) Geriatrik
4) Telinga, Hidung dan
Tenggorokan(THT)
5) Trauma dan Luka Bakar
6) Bedah Jantung
7) Bedah Toraks dan vaskuler
8) Bedah Ortopedi
9) Bedah Onkologi
10)Bedah Digestif
11)Bedah Syaraf
12)Bedah Rawat Jalan
13)Tindakan Anestesi di luar kamar
bedah
14)ICU
PROSEDUR PELAYANAN ANESTESI DAN
PROSEDUR PELAYANAN ANESTESI DAN
TERAPI INTENSIF
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0029 - 2/2

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 15)Bedah Urologi
16)Laparaskopi
c. Pelayanan anestesi pada pasien dengan
penyakit penyerta :
1) Hipertensi
2) Diabetes Mellitus
3) CKD
4) Penyakit jantung koroner
5) Kelainan jantung bawaan
6) PPOK
7) Kelainan endokrin.
2. Prosedur Operasional
a. Tatacara konsul pasien swasta danpasien
reguler (kelas 1 sampai dengan kelas 3)
b. Prosedur pelayanan Anestesi
c. Penanggung jawab dari masing-masing
kegiatan pelayanan
d. Tatalaksana penentuan hari pembedahan
e. Tatalaksana pembatalan pembedahan
f. Tatalaksana konsultasi dengan bagian lain
g. Tatacara serah terima pasien dari setiap
peralihan tanggung jawab

UNIT TERKAIT
DOKUMEN TERKAIT
PANDUAN
PERSIAPAN
PRA-BEDAH
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 1/10
Ditetapkan,
Direktur Utama

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012

dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,


NIP 196203011990031004
1. Konsul dlakukan H-2
2. Indikasi kunjungan pre-operatif H-2 dan H-1
PENGERTIAN
3. Melakukan kunjungan pre-operatif H-2 untuk
mengevaluasi kelayakan operasi pasien
Sebagai acuan penerapan langkah-langkan untuk
mempersiapkan pasien pada kondisi fisiologis dan
TUJUAN mental yang optimal untuk menurunkan angka
kejadian morbiditas dan mortalitas yang dapat
diakibatkan oleh tindakan bedah dan anestesi
Penjadwalan operasi hanya dilakukan pada
pasien yang pada kunjungan pre-operatif H-2
KEBIJAKAN
dinilai sudah optimal untuk dilakukan tindakan
anestesi
A. Indikasi
1. Semua pasien yang direncanakan untuk
dilakukan tindakan pembedahan dengan
anestesi harus melalui konsul H-2 dan H-1
2. Prosedur
a. Semua pasien yang direncanakan untuk
dilakukan tindakan pembedahan
dengan anestesi harus melalui konsul
H-2.
b. Saat menerima konsul H-2, dokter
anestesi harus mempelajari rekam medis
PROSEDUR pasien terlebih dahulu.
c. Kunjungan pre-operatif dimulai dengan
memperkenalkan diri pemeriksa pada
pasien.
d. Evaluasi rutin pada saat kunjungan pre-
operatif adalah sebagai berikut:
1) Identifikasi penderita
2) Konfirmasi tindakan bedah yang
akan dilakukan
3) Anamnesa
a) Masalah medis saat ini
b) Penyakit penyerta
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 2/10

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR c) Riwayat pengobatan: obat-obatan
yang diminum saat ini, Intoleransi/
alergi obat
d) Kebiasaan/ habituasi, seperti:
merokok/ minum alkohol, adiksi
obat-obatan
e) Riwayat operasi dan anestesi
sebelumnya
f) A Riwayat penyakit dalam keluarga
g) Tinjauan sistem organ
1. Keseluruhan (termasuk level
aktivitas fisik)
2. Sistem respirasi
3. Kardiovaskular
4. Gastrointestinal
5. Renal
6. Hematologi
7. Endokrin
8. Muskuloskeletal
9. Psikiatrik
10. Dermatologi
4) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum
b) Tanda vital: Tekanan darah, Laju
c) nadi, Laju nafas, SpO2, Suhu
d) Jalan nafas (look, listen, feel)
e) Kardiovaskular (inspeksi, palpasi,
f) perkusi, auskutasi)
g) Paru-paru (inspeksi, palpasi,
h) perkusi, auskultasi)
i) Sistem digestif (inspeksi, palpasi,
j) perkusi, auskultasi)
k) Ekstremitas
l) h). Pemeriksaan neurologis
5) Pemeriksaan
Laboratorium/Penunjang Pedoman
untuk pemeriksaan rutin penunjang pra-
anestesi adalah sebagai berikut:
a) Anak 0-18 Tahun
1. Pemeriksaan: Darah tepi
a. Rekomendasi: Ya
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 3/10

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR b. Penjelasan : Pemeriksaan
darah tepi lengkap rutin
(Hb, Hi leukosit, hitung
jenis, trombosit) dilakukan
pada anak usia <5 tahun,
sedangkan pada anak
usia >5 tahun dilakukan
atas indikasi, yaitu pada
pasien yang diduga menderita
anemia, pasien dengan
penyakit jantung, ginjal, saluran
nafas atau infeksi, serta
tergantung jenis dan derajat
prosedur operasi.
2. Pemeriksaan: Kimia Darah
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Pemeriksaan
kimia darah dilakukan bila
terdapat resiko kelainan
ginjal, hati, endokrin, terapi
perioperatif, dan pemakaian
obat alternatif.
3. Pemeriksaan: Kadar Ureum dan
Elektrolit
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Kadar ureum dan
elektrolit tidak dibutuhkan rutin
pada pasien <50 tahun, akan
tetapi harus diambil pada
keadaan berikut:
1) Jika terdapat diare, muntah,
atau penyakit metabolik
2) Ada penyakit ginjal atau hepar,
diabetes, atau status nutrisi
abnormal
3) Pada pasien yang mendapat
terapi diuretik, antihipertensi,
steroid, atau obat
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 4/10

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR hipoglikemik
4. Pemeriksaan: Tes Fungsi Lever
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Hanya diperlukan
pada:
1. Penyakit hepar
2. Status nutrisi abnormal
atau penyakit metabolic
3. Riwayat konsumsi
alkohol dalam jumlah
banyak (>80gram/hari)
5. Pemeriksaan: Konsentrasi Gula
Darah
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Diperlukan pada
pasien dengan penyakit
diabetes atau penyakit
vaskular, atau sedang
mendapat terapi
kortikosteroid
6. Pemeriksaan: Analisa Gas Darah
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: AGD diperlukan
pada semua pasien dengan
dispneu saat istirahat dan
pada pasien dengan
rencana torakotomi elektif
7. Pemeriksaan: Hemostasis
a. Rekomendasi: Ya
b. Penjelasan: Pemeriksaan
hemostasis dilakukan
pada pasien dengan
riwayat atau kondisi klinis,
mengarah pada kelainan
koagulasi, akan menjalani
operasi yang dapat
menimbulkan gangguan
koagulasi, ketika
dibutuhkan hemostasis
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 5/10
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR yang adekuat (seperti
tonsilektomi), dan
kemungkinan perdarahan
pascabedah
8. Pemeriksaan. Urinalisis
a. Rekomendas : Tidak
b. Penjelasan : Pemeriksaan
urin rutin dilakukan pada
operasi yang melibatkan
manipulasi saluran kemih
dan pasien dengan gejala
infeksi saluran kemih
9. Pemeriksaan: Foto Toraks
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Hanya
dilakukan atas indikasi
10. Pemeriksaan: EKG
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Hanya
dilakukan atas indikasi
11. Pemeriksaan: Fungsi Paru
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Hanya
dilakukan atas indikasi
b) Dewasa >18 Tahun
1. Pemeriksaan: Darah tepi
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Pemeriksaan
darah tepi lengkap
dilakukan pada pasien
dengan penyakit hati,
pasien dalam kemoterapi,
diduga menderita anemia
oleh karena sebab apapun
(perdarahan, defisiensi, dll)
dan kelainan darah lainnya,
serta tergantung jenis dan
derajat prosedur operasi.
2. Pemeriksaan: Kimia Darah
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Pemeriksaan
kimia darah dilakukan bila
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 6/10
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR terdapat resiko kelainan ginjal,
hati, endokrin, terapi
perioperatif, dan pemakaian
obat alternatif.
3. Pemeriksaan: Kadar Ureum dan
Elektrolit
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Kadar ureum
dan elektrolit tidak dibutuhkan
rutin pada pasien < 50 tahun,
akan tetapi harus diambil pada
keadaan berikut:
1. Jika terdapat diare,
muntah, atau penyakit
metabolik
2. Ada penyakit ginjal atau
hepar, diabetes, atau
status nutrisi abnormal
3. Pada pasien yang
mendapat terapi diuretik,
antihipertensi, steroid, atau
obat hipoglikemik
4. Pemeriksaan: Tes Fungsi
Lever.
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Hanya diperlukan
pada:
1. Penyakit hepar
2. Status nutrisi abnormal
atau penyakit metabolik
3. Riwayat konsumsi alkohol
dalam jumlah banyak
(>80gram/hari)
4. Tumor dengan
kemungkinan metastase
ke hati
5. Pemeriksaan: Konsentrasi Gula
Darah
a. Rekomendasi: Tidak
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 7/10

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR b. Penjelasan : Diperlukan pada
pasien dengan penyakit
diabetes atau penyakit
vascular, atau sedang
mendapat terapi
kortikosteroid
6. Pemeriksaan : Anaslisa Gas
Darah
a. Rekomendasi : Tidak
b. Penjelasan : AGD diperlukan
pada semua pasien dengan
dispneu saat istirahat,
penyakit paru sedang-berat,
sakit kritis / sepsis, dan pada
pasien dengan rencana
torakotomi elektif
7. Pemeriksaan : Hemostasisi
a. Rekomendasi : Tidak
b. Penjelasan : Pemeriksaan
hemostasis dilakukan pada
pasien dengan riwayat
kelahiran koagulasi, atau
sedang memakai obat
antioagulan, pasien yang
memerlukan antioagulan
pascabedah, pasien yang
memiliki kelainan hati dan
ginjal
8. Pemeriksaan : Urinalisis
a. Rekomendasi : Tidak
b. Penjelasan : Pemeriksaan
urin rutin dilakukan pada
operasi yang melibatkan
manipulasi saluran kemih
dan pasien dengan gejala
infeksi saluran kemih
9. Pemeriksaan : Foto Toraks
a. Rekomendasi : Tidak
b. Penjelasan : Pemeriksaan
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 8/10

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR foto toraks hanya dilakukan
pada usia >60 tahun, pasien
dengan tanda penyakit
jantung dan atau paru, infeksi
saluran nafas, terdapat
kemungkinan metastasis dari
karsinoma, sebelum operasi
toraks
10. Pemeriksaan : EKG
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Pemeriksaan
EKG dilakukan pada pasien
dengan diabetes mellitus,
hipertensi, riwayat nyeri dada,
gagal jantung, riwayat
merokok, penyakit vaskular
perifer dan obesitas, yang
tidak memiliki hasil EKG
dalam 1 tahun terakhir tanpa
memperhatikan usia. Selain
itu EKG dilakukan pada
pasien dengan gejala
kardiovaskular periodik atau
tanda dan gejala penyakit
jantung tidak stabil, dan
semua pasien dengan usia
>40 tahun
11. Pemeriksaan : Echocardiografi
a. Rekomendasi: Tidak
b. Penjelasan: Dilakukan pada
pasien dengan penyakit
jantung dengan kelainan EKG
yang bermakna
12. Pemeriksaan : Fungsi Paru
a. Rekomendasi : Tidak
b. Penjelasan : Pasien
c. dengan penyakit paru sedang
sampai berat, seperti; PPOK,
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 9/10
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR bronkiektasis, penyakit paru
retriksi; semua pasien yang
akan menjalani bedah toraks/
reseksi paru, dan semua
pasien usia lanjut
6) Mempelajari hasil-hasil pemeriksaan
dan konsultasi dari bagian lain yang
diperlukan untuk melakukan
tindakan anestesi
7) Klasifikasi ASA.
8) Apabila dari hasil pemeriksaan H-2
didapatkan keadaan pasien yang
belum optimal atau pemeriksaan
laboratorium/penunjang yang belum
lengkap yang akan mempengaruhi
tindakan anestesi yang akan
dilakukan, maka pemeriksa harus
terlebih dahulu melakukan tindakan
koreksi ataupun pemeriksaan
pelengkap lainnya dan kalau
diperlukan dilakukan konsultasi ke
bagian lain untuk mengoptimalkan
keadaan pasien.
9) Semua pasien H-2 yang bermasalah
harus dilaporkan kepada konsulen
saat laporan sore.
10)Untuk kasus-kasus tertentu Bagian
Anestesi dapat meminta untuk
dilakukan Joint Conference terlebih
dahulu
11)Pasien yang memerlukan
optimalisasi atau pemeriksaan
lainnya disarankan untuk konsul
ulang H-2.
12)Penanggung jawab konsul H-2 harus
selalu mengikuti perkembangan
pasien selama periode optimalisasi
dan harus menyerahterimakan
pasiennya bila ia tidak lagi bertugas
H-2 di bagian tersebut.
13)Pasien yang dinilai sudah optimal
disetujui untuk dijadwalkan untuk
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF :
KUNJUNGAN PREOPERATIF H-2
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0030 - 10/10
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR kemudian dilakukan pemeriksaan
ulang H-1.
14)Semua hasil pemeriksaan pre-
operatif harus dibuat ke dalam status
anestesi pre-operatif
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Residen anestesi
3. Bagian lain yang terkait di lingkungan RSUP Dr.
Hasan Sadikin
DOKUMEN TERKAIT 1. Status pasien
2. Status anestesi pre-operatif
3. Surat izin operasi
4. Surat izin anestesi
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH
ELEKTIF:
KUNJUNGAN PRE-OPERATIF H-1
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0031 - 1/4
Ditetapkan,
Direktur Utama

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012

dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,


NIP 196203011990031004
Melakukan kunjungan pre-operatif H-1 untuk
PENGERTIAN
mengevaluasi ulang kelayakan operasi pasien
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
mempersiapkan pasien pada kondisi fisiologis dan
TUJUAN mental yang optimal untuk menurunkan angka
kejadian morbiditas dan mortalitas yang dapat
diakibatkan oleh tindakan bedah dan anestesi
Persetujuan operasi hanya dilakukan pada pasien
KEBIJAKAN yan pada kunjungan pre-operatif H-1 dinilai sudah
optimal untuk dilakukan tindakan anestesi
PROSEDUR A. Semua pasien yang telah dijadwalkan untuk
dilakukan tindakan pembedahan dengan anestesi
harus melalui konsul H-1.
B. Saat menerima konsul H-1, dokter anestesi harus
mempelajari rekam medis pasien terlebih dahulu
dan melihat hasil pemeriksaan hasil konsul H-2
yang telah dilakukan.
C. Kunjungan pre-operatif dimulai dengan
memperkenalkan diri pemeriksa pada pasien.
D. Evaluasi rutin pada saat kunjungan pre-operatif
adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi penderita
2. Konfirmasi tindakan yang akan dilakukan
3. Anamnesa
a. Masalah medis saat ini
b. Penyakit penyerta lainnya
c. Riwayat pengobatan: obat-obatan yang
diminum saat ini, intoleransi/alergi obat
d. Kebiasaan/habituasi, seperti:
merokok/minum alcohol
e. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya
f. Riwayat penyakit dalam keluarga
g. Tinjauan sistem organ
1) Keseluruhan (termasuk level aktivitas
fisik)
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH
ELEKTIF:
KUNJUNGAN PRE-OPERATIF H-1
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
HSO6 B22.5.0030 - 2/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 2) Sistem respirasi
3) Kardiovaskular
4) Gastrointestinal
5) Renal
6) Hematologi
7) Endokrin
8) Muskuloskeletal
9) Psikiatrik
10)Dermatologi
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
b. Tanda vital: Tekanan darah, Laju
c. nadi, Laju nafas, SpO2, Suhu
d. Jalan nafas (look, listen, feel)
e. Kardiovaskular (inspeksi, palpasi,
f. perkusi, auskutasi)
g. Paru-paru (inspeksi, palpasi,
h. perkusi, auskultasi)
i. Sistem digestif (inspeksi, palpasi,
j. perkusi, auskultasi)
k. Ekstremitas
l. Pemeriksaan neurologis
m. Pemeriksaan
n. laboratorium/penunjang: (Lihat
Pedoman untuk pemeriksaan rutin
penunjang pra-anestesi pada
Kunjungan pre-operatif H-2)
5. Mempelajari hasil-hasil pemeriksaan dan
konsultasi dari bagian lain yang diperlukan
untuk melakukan tindakan anestesi
6. Melakukan penilaian terhadap keadaan
pasien secara menyeluruh termasuk
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang mendukung
7. Melakukan identifikasi faktor-faktor resiko
anestesi, dan bila bermakna maka pasien
harus diberitahukan.
8. Klasifikasi ASA
9. Apabila dari hasil pemeriksaan H-1
didapatkan keadaan pasien yang belum
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH
ELEKTIF:
KUNJUNGAN PRE-OPERATIF H-1
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
HSO6 B22.5.0030 - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR Optimal atau pemeriksaan
laboratorium/penunjang yang belum
lengkap yang akan mempengaruhi tindakan
anestesi yang akan dilakukan, maka
pemeriksa harus terlebih dahulu melakukan
tindakan koreksi ataupun pemeriksaan
pelengkap lainnya dan kalau diperlukan
dilakukan konsultasi ke bagian lain untuk
mengoptimalkan keadaan pasien.
10. Tindakan anestesi tidak dapat disetujui
apabila pasien memerlukan waktu lebih
dari 1 hari untuk optimalisasi atau
pemeriksaan lainnya. Oleh karenanya
pasien disarankan untuk konsul ulang H-2
kembali.
11. Penjelasan operasi dan Informed consent.
Dokter anestesi yang merawat harus
menjelaskan kepada pasien / keluarga
pasien tentang operasi yang akan
dilakukan tindakan anestesi, resiko-resiko
dan keuntungan yang mungkin terjadi
akibat tindakan anestesi dan pembedahan
secara jelas dan lengkap. Apabila pasien /
keluarga pasien sudah mengerti dan
menyetujui / tidak menyetujui tindakan
anestesi yang akan dilakukan, kemudian
pasien / keluarga pasien harus
menandatangani surat persetujuan
tindakan anestesi, disertai tandatangan
saksi dari keluarga pasien dan dari pihak
perawat, serta tanda tangan dokter yang
memberikan keterangan.
12. Memberikan premedikasi yang tepat yang
diperlukan untuk melakukan tindakan
anestesi (dosis, cara, dan waktu
pemberian)
13. Memberikan instruksi puasa pre-operatif
14. Memberikan instruksi yang jelas tentang
obat-obatan yang harus diteruskan atau
dihentikan pada hari pembedahan.
PROSEDUR PERSIAPAN PRA-BEDAH
ELEKTIF:
KUNJUNGAN PRE-OPERATIF H-1
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
HSO6 B22.5.0030 - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 15. Menyusun rencana teknik anestesi dan
penatalaksanaan perioperatif seperti terapi
cairan dan transfusi darah
16. Semua hasil kunjungan pre-operatif harus
ditulis kedalam status anestesi pre-operatif
dan dilaporkan kepada konsulen saat
pertemuan laporan pagi.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Residen anestesi
3. Dokter Spesialis bedah
4. Dokter Spesialis penyakit dalam
5. Dokter Spesialis anak
6. Dokter Spesialis radiologi
7. Residen bedah
8. Residen anak
9. Residen penyakit dalam
10. Residen radiologi
11. Bagian lain yang terkait di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin
DOKUMEN TERKAIT 1. Status pasien
2. Status anestesi pre-operatif
3. Surat izin operasi
4. Surat izin anestesi
PROSEDUR TATA LAKSANA DAN ALUR
KONSUL PREOPERATIF PASIEN EMERGENSI
(PASIEN KELAS I-III)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0035 - 1/4
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
1. Pelayanan Anestesi/Persiapan Preoperatif untuk
pasien emergensi
2. Pelayanan medis terhadap pasien calon operasi
PENGERTIAN
yang meliputi diagnostik dan indikasi, penjelasan
operasi dan informed consent, penilaian kelaikan
operasi dan anestesi, konsultasi antara bagian
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
tatalaksana dan alur konsultasi calon pasien yang
akan menjalani operasi emergensi di bagian
TUJUAN Anestesiologi & Terapi Intensif RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung agar dapat dilakukan tindakan
pembedahan tepat waktu dan mencegah
morbiditas/ mortalitas
KEBIJAKAN
A. Penerimaan Konsul
1. Permintaan konsul preoperatif harus dilakukan
secara tertulis dengan menyertakan dokumen
status pasien secara lengkap.
2. Lembar konsul harus diterima langsung oleh
residen anestesi, kemudian pada lembar
konsul dicatat jam saat konsul diterima, dan
kemudian dicatat di buku penerimaan konsul
disertai dengan nama pengirim dan penerima
PROSEDUR
konsul.
B. Alur Konsultasi
1. Penerima konsul melaporkan permintaan
konsul kepada leader jaga.
2. Leader jaga menunjuk salah satu anggota tim
jaga untuk melakukan visite pre operatif.
3. Residen yang melakukan visite preoperatif
harus disesuaikan dengan ASA pasien.

PROSEDUR TATA LAKSANA DAN ALUR


PROSEDUR TATA LAKSANA DAN ALUR
KONSUL PREOPERATIF PASIEN EMERGENSI
(PASIEN KELAS I-III)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0035 - 2/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR Untuk pasien dengan ASA I-III visite
dilakukan oleh residen semester II/III).
Untuk pasien ASA IV-V, Visite harus
langsung dilakukan oleh leader jaga/chief
residen.
4. Residen melakukan visite pre-operatif
dengan melakukan pemeriksaan secara
menyeluruh dan lengkap (lihat pedoman
persiapan pre-operatif).
5. Hasil pemeriksaan harus dilaporkan
kepada leader jaga. Apabila dari laporan
didapatkan suatu masalah yang berat
sehingga berpotensi menimbulkan
morbiditas dan mortalitas, maka leader
jaga harus melakukan pemeriksaan pasien
ulang untuk konfirmasi.
6. Apabila leader jaga tidak dapat menangani
permasalahan pada pasien, maka leader
jaga harus melakukan konsultasi kepada
CR jaga.
7. CR jaga harus melakukan pemeriksaan
ulang apabila dari laporan didapatkan
keraguan tentang kondisi pasien.
Konsultasi ke bagian lain dapat dilakukan
bila apabila masalah yang dikonsultasikan
dapat mempengaruhi pertimbangan
rencana anestesi yang akan dilakukan
8. Leader/CR jaga dapat melakukan
konsultasi atas tindakan anestesi yang
akan dilakukan.
9. Leader/CR jaga dapat meminta
pemeriksaan laboratorium atau penunjang
lainnya sesuai indikasi apabila
pemeriksaan yang akan dilakukan dapat
mempengaruhi pertimbangan dan tindakan
anestesi yang dilakukan
10. Permasalahan yang tidak dapat
diselesaikan oleh CR jaga dikonsultasikan
kepada konsulen jaga dengan melaporkan
secara singkat, lengkap, dan jelas tentang
kondisi pasien dan rencana yang akan
dilakukan. Konsultasi kepada konsulen
PROSEDUR TATA LAKSANA DAN ALUR
KONSUL PREOPERATIF PASIEN EMERGENSI
(PASIEN KELAS I-III)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0035 - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR jaga harus dilakukan oleh CR jaga.
11. Kasus-kasus yang berpotensi masalah
yang dapat diselesaikan sendiri oleh CR
tetap harus dilaporkan kepada konsulen
jaga.
12. Untuk kasus-kasus yang beresiko untuk
menimbulkan morbiditas dan atau
mortalitas (gagal organ ≥1, gangguan
keseimbangan asam basa, gangguan
elektrolit) harus dikonsultasikan kepada
konsulen konsultan yang berkaitan dengan
sepengetahuan konsulen jaga.
C. Optimalisasi
1. Untuk kasus-kasus yang tidak memenuhi
kriteria true emergency (kasus yang
apabila ditunda untuk dilakukan tindakan
akan menyebabkan terjadinya mortalitas/
morbiditas, seperti: syok karena
perdarahan yang tidak tertangani, gawat
janin, penurunan kesadaran akibat EDH/
SDH/ICH) harus dilakukan optimalisasi
terlebih dahulu terhadap masalah yang
masih mungkin diperbaiki dalam waktu cepat
dan mempengaruhi morbiditas dan
mortalitas pasien.
2. Saran untuk perbaikan keadaan harus
ditulis secara rinci dan jelas dengan target
yang diharapkan.
3. Perbaikan keadaan harus dilakukan sendiri
oleh residen anestesi.
4. Leader jaga dapat memerintahkan residen
jaga di ruang resusitasi untuk melakukan
perbaikan keadaan pada pasien yang
berada di ruang IGD atau di ruangan
dengan memberikan instruksi yang jelas
5. Residen jaga resusitasi harus menjalankan
instruksi leader jaga dengan pengawasan
dan bimbingan senior jaganya di ruang
resusitasi.
6. Leader jaga harus terus memantau kondisi
pasien yang sedang dilakukan perbaikan,
dan segera mengerjakan pasien tersebut
PROSEDUR TATA LAKSANA DAN ALUR
KONSUL PREOPERATIF PASIEN EMERGENSI
(PASIEN KELAS I-III)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0035 - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR apabila pasien sudah optimal untuk
dikerjakan.
UNIT TERKAIT 1. Konsulen jaga anestesi
2. Residen jaga OK emergensi
3. Residen jaga Ruang Resusitasi
4. Konsulen/residen jaga bedah
5. Konsulen/residen Obgin
6. Konsulen/residen THT
7. Unit-unit terkait lainnya
DOKUMEN TERKAIT 1. Status pasien
2. Lembar konsul
3. Buku pencatatan konsul
PROSEDUR ALUR KONSUL PREOPERATIF
PASIEN ELEKTIF (PASIEN KELAS I-III)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0037 - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Pelayanan Anestesi/Persiapan Preoperatif untuk
pasien elektif
Pelayanan medis terhadap pasien calon operasi
PENGERTIAN
yang meliputi diagnostik dan indikasi, penjelasan
operasi dan informed consent, penilaian kelaikan
operasi dan anestesi, konsultasi antar bagian
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
tatalaksana dan alur konsultasi pada pasien calon
operasi elektif di bagian Anestesiologi & Terapi
TUJUAN
Intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung agar
dapat dilakukan tindakan pembedahan sesuai
rencana
KEBIJAKAN
PROSEDUR A. Tata Laksana dan Alur Konsul Pasien H-2
1. Tata laksana konsul H-2 dilakukan oleh
residen anestesi semester IV.
2. Residen anestesi melakukan tata laksana
konsul H-2 dengan melakukan kunjungan
pre-operatif H-2 dengan melakukan
pemeriksaan secara menyeluruh dan lengkap
(lihat Pedoman Pelayanan Dasar
Anestesi/Kunjungan Pre-operatif H-2).
3. Apabila dari hasil pemeriksaan didapatkan
kondisi pasien sudah optimal, maka residen
yang bertugas menyetujui pasien untuk
dijadwalkan disertai pemberian saran-saran
yang diperlukan.
4. Untuk pasien kelas 1 dan 2 harus
dilaporkan terlebih dahulu kepada
konsulen.
5. Apabila dari hasil pemeriksaan preoperatif H-
2 didapatkan bahwa pasien belum layak
dikerjakan yang memerlukan perbaikan
keadaan atau memerlukan suatu
pemeriksaan yang mempengaruhi rencana
anestesi maka residen anestesi yang
PROSEDUR ALUR KONSUL PREOPERATIF
PASIEN ELEKTIF (PASIEN KELAS I-III)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0037 - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR bertugas dapat memutuskan sendiri
tindakan selanjutnya apabila permasalahan
yang ada masih dalam kompetensi sesuai
semesternya.
6. Apabila dari hasil pemeriksaan didapatkan
suatu masalah yang berpotensi
menimbulkan morbiditas/ mortalitas di luar
kompetensinya maka residen yang
bertugas menjawab konsul H-2 harus
melakukan konsultasi kepada CR yang
bertugas di bagian yang sesuai dengan
kasus pasien yang dikonsulkan.
7. Apabila CR tersebut tidak dapat
menyelesaikan masalah yang ada atau
masalah tersebut berpotensi untuk
menimbulkan morbiditas dan mortalitas,
maka CR harus melakukan konsultasi
kepada konsulen.
8. Untuk kasus-kasus khusus pasien harus
dikonsultasikan kepada konsulen
konsultan.
9. Konsultasi pasien H-2 yang berpotensi
menimbulkan morbiditas/mortalitas dilakukan
pada saat laporan sore.
10. Pasien-pasien yang bermasalah tersebut
dapat dijadwalkan setelah ada persetujuan dari
konsulen / konsultan yang dikonsulkan.
B. Tatalaksana dan Alur Konsul Pasien H-1
1. Tatalaksana konsul H-1 dilakukan oleh
residen anestesi yang stase di bagian
sesuai kasus pasien yang dikonsulkan
(semester 1,2,3,4)
2. Semua pasien harus dilakukan
pemeriksaan ulang secara lengkap dan
menyeluruh (lihat Pedoman Pelayanan
Dasar Anestesi/Kunjungan Pre-operatif H-1
3. Semua pasien harus dilaporkan kepada leader
jaga, dan kemudian leader jaga melaporkan
kepada CR stase.
4. Pasien kelas 1 dan 2 harus dilaporkan
kepada konsulen yang sama pada saat
pasien tersebut dikonsulkan pada H-2 dan
PROSEDUR ALUR KONSUL PREOPERATIF
PASIEN ELEKTIF (PASIEN KELAS I-III)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0037 - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR setelah itu dilaporkan pada forum laporan
sore.
5. Pasien yang pada saat konsul H-2 pernah
bermasalah dan telah dikonsulkan kepada
konsulen, maka pasien tersebut harus
dilaporkan kembali kepada konsulen yang
sama.
6. Apabila pasien tersebut masih terdapat
masalah, maka leader kamar bertanggung
jawab untuk menyelesaikan masalahnya
dan apabila masalah tersebut tidak dapat
diselesaikan oleh leader kamar maka harus
dikonsultasikan kepada CR kamar.
7. Masalah yang berpotensi untuk
menimbulkan morbiditas dan mortalitas
harus dikonsulkan kepada konsulen (untuk
kasus khusus harus dilaporkan kepada
konsulen konsultan) oleh CR kamar. Dan
bila pasien tersebut pernah dikonsulkan
kepada konsulen sebelumnya, maka
konsultasi harus dilakukan dengan
konsulen yang sama dengan yang
sebelumnya.
8. Leader kamar dan CR kamar harus
melakukan pemeriksaan ulang terlebih dahulu
terhadap laporan juniornya sebelum
melakukan konsul kepada konsulen.
9. Pasien-pasien yang bermasalah tersebut
dapat disetujui untuk dikerjakan setelah
ada persetujuan dari konsulen/konsultan
yang dikonsulkan pada saat laporan sore.
UNIT TERKAIT 1. Residen stase
2. Leader kamar
3. CR stase
4. Konsulen/konsultan anestesi
5. Konsulen/residen bedah
6. Konsulen/residen Obgin
7. Konsulen/residen THT
8. Konsulen/residen BM
9. Unit terkait
DOKUMEN TERKAIT 1. Status pasien
2. Status jawaban konsul anestesi
PROSEDUR TATA LAKSANA SERAH TERIMA
PASIEN SISA JAGA CALON OPERASI
EMERGENSI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0036 - 1/2
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Tim jaga OK emergensi menyerahterimakan
PENGERTIAN semua dokumen pasien yang belum dikerjakan
kepada tim jaga OK emergensi berikutnya.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
serah terima pasien sisa jaga calon operasi
TUJUAN emergensi sehingga tidak menghambat
pelayanan terhadap calon pasien yang akan
menjalani operasi emergensi.
Serah terima dilakukan antara leader jaga dengan
KEBIJAKAN
dokumentasi serah terima yang jelas.
PROSEDUR A. Konsul dari bagian lain yang diterima oleh
anestesi pada jam jaga yang telah ditetapkan
merupakan tanggung jawab tim jaga yang
bertugas saat itu.
B. Konsul yang datang saat masih jam jaga suatu
tim merupakan tanggungjawab tim tersebut
untuk melakukan pemeriksaan atau konsul
yang diperlukan dan kemudian memberikan
jawaban atas permintaan konsul, dan tidak
dapat diserahterimakan bila konsul belum
dijawab.
C. Pasien sisa jaga yang dapat diserahterimakan
adalah pasien yang memang tidak sempat
dikerjakan oleh karena alasan waktu dan
keterbatasan personil tim jaga, dan pasien
yang memang harus dilakukan optimalisasi
terlebih dahulu dalam jangka waktu yang
seharusnya.
D. Serah terima dilakukan oleh antar leader tim
jaga.
E. Leader jaga menyerahterimakan pasien
dengan memberikan informasi: identitas
pasien, diagnosis, tindakan bedah yang akan
dilakukan, hasil pemeriksaan yang dilakukan,
masalah pada pasien tersebut, tindakan-
tindakan yang telah dilakukan untuk
PROSEDUR TATA LAKSANA SERAH TERIMA
PASIEN SISA JAGA CALON OPERASI
EMERGENSI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0036 - 2/2
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR menyelesaikan masalah, dan alasan pasien
belum dikerjakan.
F. Pasien sisa yang bermasalah harus sudah
dikonsultasikan kepada konsulen jaga
sebelumnya.
G. Apabila pasien disisakan tanpa alasan yang
telah ditetapkan di atas (poin 4.3), atau tim
yang menyerahterimakan memberikan
informasi yang tidak sesuai dengan kondisi
pasien yang sebenarnya, maka tim jaga
sebelumnya harus tetap bertanggungjawab
untuk menyelesaikan permasalahan dan
mengerjakan pasien tersebut sampai selesai.
H. Pasien sisa yang tidak diserahterimakan
merupakan tanggung jawab tim sebelumnya
untuk mengerjakannya.
I. Serah terima harus didokumentasikan kedalam
buku serah terima jaga yang ditandatangani
oleh kedua leader tim jaga.
UNIT TERKAIT 1. Residen jaga OK emergensi
2. Konsulen jaga anestesi
DOKUMEN TERKAIT 1. Status pasien
2. Buku serah terima pasien sisa jaga
PROSEDUR PANDUAN PERSIAPAN SEBELUM
TINDAKAN ANESTESI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0032 - 1/4
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Melakukan pemeriksaan terhadap ketersediaan
PENGERTIAN sarana dan peralatan anestesi yang tiap sebelum
memberikan tindakan anestesi.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
memenuhi kebutuhan fasilitas sarana dan
TUJUAN peralatan anestesi yang esensial untuk menjamin
keselamatan pasien dan tenaga anestesi selama
memberikan tindakan anestesi.
Tindakan anestesi hanya boleh dilakukan apabila
semua sarana dan peralatan esensial yang
KEBIJAKAN
dibutuhkan sudah tersedia dan berfungsi dengan
baik
PROSEDUR A. Sebelum memberikan tindakan anestesi,
dokter anestesi harus melakukan pemeriksaan
terhadap sarana yang dibutuhkan dan
memastikannya berfungsi dengan baik
1. Mesin Anestesi
a. Untuk setiap kamar operasi, minimal
harus ada satu unit mesin anestesi yang
dapat digunakan untuk pemberian
oksigen dan juga gas anestesi.
b. Vaporizer yang tersedia harus terkalibrasi
dan terisi dengan gas anestesi yang
dibutuhkan sesuai dengan kondisi pasien.
c. Siapkan sirkuit pernapasan dan
reservoir bag dengan ukuran yang
sesuai dengan pasien.
d. Pastikan mesin sudah terhubung
dengan gas medis yang sesuai (02,
N20, Air), dan pastikan gas yang tersedia
cukup dan dapat mengalir dengan baik ke
dalam mesin.
e. Pastikan CO2 absorber masih dalam
kondisi baik.
f. Lakukan pengecekan terhadap fungsi
mesin, pastikan tidak ada kebocoran
PROSEDUR PANDUAN PERSIAPAN SEBELUM
TINDAKAN ANESTESI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0032 - 2/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR pada sirkuit pernapasan, periksa kerja
flow meter, katup inspirasi dan ekspirasi
apakah berfungsi dengan baik, katup
APL (Adjusttable Pressure Limit),
reservoir bag, CO2 absorber canister
harus dipastikan sudah terpasang dan
berfungsi dengan baik.
g. Periksa apakah ada kebocoran gas atau
uap dalam sirkuit mesin.
2. Peralatan anestesi yang harus tersedia di
setiap kamar operasi:
a. Alat penghisap (suction unit) khusus untuk
anestesi dengan kateter yang berukuran
sesuai, pastikan alat penghisap berfungsi
dengan baik.
b. Alat-alat monitoring
1) Stetoskop
2) Alat ukur tekanan darah non invasive
3) EKG
4) Pulse oksimetri
5) Thermometer
6) Kapnograf (Untuk operasi tertentu)
7) Alat pemantau tekanan darah invasif
(untuk operasi tertentu)
c. Alat untuk manajemen jalan nafas dan
kelengkapannya:
1) Sungkup muka dengan beberapa
ukuran
2) Pipa orofaring/nasofaring, LMA/ETT
dengan berbagai ukuran, dan alat bantu
jalan nafas lainnya
3) Laringoskop dengan bilah berbagai
ukuran
4) Stilet/bougies
5) Spuite balon
6) Forsep magill
7) Plester
8) Jelly pelicin untuk ETT
9) Steteskop
10)Konektor pipa ETT dengan mesin
d. Alat untuk akses intra vena
1) Torniquet
PROSEDUR PANDUAN PERSIAPAN SEBELUM
TINDAKAN ANESTESI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0032 - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 2) Kanul intra vena dengan ukuran yang
sesuai, transfusi set dan cairan yang
dibutuhkan
e. Peralatan untuk melakukan regional
anestesi/ blok perifer (bila pasien
direncanakan untuk dilakukan tindakan
regional anestesi/ blok perifer).
f. Peralatan yang harus tersedia bila
dibutuhkan sewaktu-waktu:
1) Peralatan untuk menanggulangi
kesulitan intubasi yang telah
diperkirakan sebelumnya (missal:
bougie, LMA, fiber optik)
2) Defibrilator jantung
3) Penghangat pasien
g. Obat-obat anestesi
1) Obat-obatan untuk trias anestesi
yang dibutuhkan sesuai dengan
keadan pasien
2) Obat-obat untuk menanggulangi
keadaan emergensi:
a) Anafilaksis
b) Aritmia jantung
c) Henti jantung
d) Oedem paru
e) Hipotensi
f) Hipertensi
g) Bronkospasme
h) Depresi nafas
i) Hipo/hiperglikemi
j) Koagulopati
3) Obat-obatan emergensi yang harus
tersedia: oksigen, adrenalin, sulfas
atropin, efedrin, aminofilin,
antiaritmia (lidokain, amiodaron),
diuretik, inotropik, vasopresor
(norepinefrin), obat hipotensif
(nitrogliserin/nitroprusid), antikonvulsan
(seperti diazepam, thiopental),
antidotum (nalokson, antikolinesterase,
dan bila ada flumazenil, dantrolene)
4) Cairan kristaloid dan koloid (sesuai
PROSEDUR PANDUAN PERSIAPAN SEBELUM
TINDAKAN ANESTESI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0032 - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR yang dibutuhkan)
3. Persiapan Pasien
a. Identifikasi pasien
b. Lakukan kembali pemeriksaan ulang
terhadap kondisi terakhir pasien
c. Lakukan pengecekan terhadap
ketersediaan transfusi (pada pasien
sebelumnya diperkirakan memerlukan
transfusi)
d. Lakukan pemeriksaan terhadap
kelengkapan dokumen (status pasien,
Surat izin tindakan operasi, surat izin
tindakan anestesi)
e. Pasien hanya boleh dimasukkan ke
dalam kamar operasi apabila sudah
dipastikan semua persiapan alat/mesin,
obat, dan kelengkapan dokumen sudah
dilakukan dengan baik.
UNIT TERKAIT 1. Dokter Spesialis Anestesi
2. Residen anestesi
3. Perawat anestesi
4. Depo farmasi
DOKUMEN TERKAIT Kartu Cek lis kelengkapan peralatan dan obat-
obatan
PANDUAN MANAJEMEN
SELAMA PEMBEDAHAN
PROSEDUR MONITORING UMUM SELAMA
PEMBEDAHAN
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0033 - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Pemantauan oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, suhu,
PENGERTIAN
dan perfusi jaringan
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
mendeteksi perubahan klinis yang terjadi pada
TUJUAN pasien yang sedang menjalani anestesi sehingga
dapat diberikan intervensi dengan cepat bila
diperlukan
Monitoring secara kontinyu sejak awal hingga
KEBIJAKAN
operasi berakhir
PROSEDUR A. Monitoring harus dilakukan secara terus
menerus selama pemberian anestesi. Harus
selalu dilakukan evaluasi terhadap:
1. Oksigenasi
a. Pemantauan oksigenasi jaringan
dilakukan secara kontinyu.
b. Tujuan: Memastikan kadar oksigen
yang adekuat dalam darah selama
pemberian anestesi.
c. Metode:
1) Pengamatan visual dengan menilai
warna dengan pencahayaan pasien
yang adekuat.
2) Penilaian oksigenasi secara
kuantitatif dengan pulse oksimetri
dengan target SpO2 ≥94% dengan
udara ruangan.
2. Ventilasi
a. Pemantauan jalan nafas dan ventilasi
dilakukan secara kontinyu.
b. Tujuan: Untuk memastikan jalan nafas
dan ventilasi pasien yang adekuat
selama pemberian anestesi
c. Metode:
1) Tanda-tanda klinis kecukupan
ventilasi, antara lain: pengembangan
dada yang adekuat, pengamatan
gerakan kembang kempis kantung
PROSEDUR MONITORING UMUM SELAMA
PEMBEDAHAN
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0033 - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR pernafasan, dan auskutasi bunyi
napas (stetoskop prekordial pada
pediatrik).
2) Secara kuantitatif: kebutuhan
volume tidal (8 cc/kgbb), laju
respirasi 12-14x/menit untuk
mencapai volume semenit 100
cc/kgbb.
3. Sirkulasi
a. Pemantauan fungsi peredaran darah
yang kontinyu
b. Tujuan: Untuk memastikan kecukupan
fungsi peredaran darah pasien selama
anestesi.
c. Metode:
1) Evaluasi kontinyu terhadap laju
jantung dan irama jantung dengan
palpasi nadi, auskultasi bunyi
jantung (stetoskop prekordial pada
pediatrik), pulse oksimetri.
2) Pemantauan EKG secara kontinyu
sejak awal hingga anestesi berakhir.
3) Evaluasi EKG dilakukan terhadap:
a) Ritme
b) Laju jantung
c) ST segment
d) Ada tidaknya gelombang P
e) Perubahan bentuk gelombang P,
QRS, T
4) Perfusi jaringan dipantau secara
kontinyu dengan meraba suhu
perifer, capillary refill, pulse
oksimetri, diuresis.
5) Evaluasi tekanan darah dan laju jantung
paling tidak setiap lima menit
a) Pertahankan variasi perubahan
tekanan darah +20% dari base line.
b) Prosedur untuk mempertahankan
variasi tekanan darah tersebut
dilakukan sesuai dengan penyebab,
seperti: pemberian cairan,
pengaturan kedalaman
PROSEDUR MONITORING UMUM SELAMA
PEMBEDAHAN
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung HSO6 B22.5.0033 - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR anestesi, obat inotropik/ vasoaktif,
obat antihipertensi.
4. Suhu Tubuh
a. Tujuan: Untuk membantu
mempertahankan suhu tubuh yang
normotermi selama anestesi.
b. Metode: Dilakukan pemantauan suhu
tubuh inti secara kontinyu dengan
termometer
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Residen anestesi
3. Perawat anestesi
DOKUMEN TERKAIT a) Status Anestesi
PROSEDUR MONITORING ANESTESI:
ARTERIAL BLOOD PRESSURE
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 1/2
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Pemantauan sirkulasi pada pasien teranestesi
dilakukan dengan menggunakan non-invasive
arterial blood pressure (NIBP) dan atau invasive
PENGERTIAN
arterial blood pressure disesuaikan dengan
keadaan pasien (status fisik pasien) dan jenis
operasi yang dilakukan
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN pemantauan ketat sirkulasi pasien dalam keadaan
teranestesi selama operasi berlangsung
KEBIJAKAN
PROSEDUR A. Pertahankan mean arterial pressure (MAP) 65-
85mmHg.
(SBP)+2(DBP)
MAP = -----------------------
3
MAP = mean arterial pressure
DBP = diastolic blood pressure
SBP = systolic blood pressure
B. Perubahan tekanan darah yang dapat
ditoleransi pada orang normal adalah sebesar
+ 20% dari base line, sedangkan pada pasien
dengan gangguan fungsi jantung dan
kardiovaskular ditentukan <20% dari base line.
C. Perbedaan NIBP dan IBP yang dapat ditolerir
adalah 10%.
D. Non invasive arterial blood pressure
1. Lakukan pemasangan manset tekanan
darah pada lengan bagian atas dengan
ukuran yang sesuai dengan pasien (2/3
bagian tengah lengan atas).
2. Pengukuran dilakukan berulang dengan
interval 1 menit saat dilakukan induksi
anestesi umum dan interval 3 menit selama
operasi berlangsung.
3. Bila dilakukan regional anestesi
pengukuran tekanan darah dilakukan
dengan interval 1 menit setelah obat
PROSEDUR MONITORING ANESTESI:
ARTERIAL BLOOD PRESSURE
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/2
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR regional anestesi diberikan dan interval 3
menit selama operasi berlangsung.
E. Invasive arterial blood pressure (arteri radialis)
1. Supinasi dan ekstensi pergelangan tangan.
2. Spuit berisi heparin yang sudah diencerkan
(0,5-2 unit heparin/ml salin) beserta stop cock
sudah tersedia untuk membilas.
3. Pulsasi radial diraba dengan cara
penekanan ringan oleh jari telunjuk dan jari
tengah.
4. Bersihkan kulit tempat akan dilakukan
pemasangan menggunakan cairan
bakterisid.
5. Infiltrasi dengan 0,5 ml lidocain tepat di
atas arteri radialis menggunakan jarum no.
25 atau 27.
6. Gunakan jarum 18 untuk menyayat lokasi
penusukan.
7. Jarum 20 atau 22 disuntikkan dengan
sudut 45° terhadap permukaan kulit menuju
arteri radialis yang telah diraba.
8. Setelah timbul aliran darah balik arah jarum
diturunkan sampai 30°, kateter diinsersikan
9. Kateter dihubungkan dengan transducer
alat pemantau tekanan darah otomatis.
10. Fiksasi dan tutup daerah penusukan
menggunakan kasa steril dan plester.
UNIT TEKAIT 1. Dokter anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi &
perawatan intensif
3. Bagian lain yang terkait di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan rekam medik
2. Laporan/catatan anestesi
PROSEDUR MONITORING ANESTESI:
EKG
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 1/1
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Pemantauan EKG selama operasi berlangsung
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN memastikan fungsi listrik jantung pasien selama
anestesi adekuat
Mempertahankan irama sinus, laju nadi 60-80
x/menit (dewasa); mendeteksi dini gangguan
KEBIJAKAN
irama jantung, gangguan konduksi, iskemik
jantung, gangguan elektrolit
PROSEDUR A. Elektroda dipasangkan pada intercosta 1-2
sejajar papilla mammae kanan, intercosta 1-2
sejajar papilla mammae kiri, interkostal V kiri
pada garis aksilaris anterior.
B. Dihubungkan pada monitor EKG
C. Pemasangan elektroda ini berguna untuk
mendapat hasil pembacaan pada lead II
D. Lakukan evaluasi secara kontinyu terhadap:
1. Ritme
2. Laju jantung/ menit
3. ST segmen
4. Ada tidaknya gelombang P.
5. Perubahan bentuk gelombang P, QRS, T
UNIT TERKAIT 1. Dokter anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Bagian lain yang terkait di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan rekam medis
2. Laporan/catatan anestesi
PROSEDUR MONITORING ANESTESI:
PULSE OXIMETRY
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 1/1
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Pemantauan menggunakan pulse oximetry
PENGERTIAN
selama operasi berlangsung
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN memastikan oksigenasi yang adekuat selama
pasien teranestesi
Pertahankan saturasi oksigen di atas 94 %
KEBIJAKAN (dengan udara bebas) untuk mendapatkan PaO2
lebih dari 65mmHg
PROSEDUR A. Probe saturasi dipasang pada ujung jari pasien
dengan sinar infra merah pada bagian kuku jari
pasien.
B. Hindari pemaparan cahaya pada probe saturasi
untuk menghindari gangguan iluminasi sinar infra
merah
UNIT TERKAIT 1. Dokter anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Bagian/unit lain yang terkait di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan rekam medis
2. Laporan/catatan anestesi
PROSEDUR MONITORING ANESTESI:
TEMPERATUR
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 1/…
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Pemantauan temperatur tubuh pasien selama
PENGERTIAN
operasi berlangsung
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN
menjaga temperatur tubuh pasien selama operasi
Pertahankan temperatur tubuh pasien normotermi
KEBIJAKAN (36⁰-37,5⁰C). Hindari keadaan hipotermi (suhu
≤35⁰C)
PROSEDUR A. Probe temperatur dipasang pada nasopharyng
pasien yang menjalani anestesi umum dan
pada aksila pada pasien yang dilakukan
anestesi regional.
B. Probe dimasukkan ke nasofaring melalui mulut
agar menghindari trauma pada saluran hidung
C. Bila didapatkan suhu tubuh kurang dari 36°C
(terancam hipotermi), berikan maintenan
cairan menggunakan cairan kristaloid yang
sudah dihangatkan di lemari penghangat
kemudian berikan penghangat pada bagian
dalam kain penutup pasien.
UNIT TERKAIT 1. Dokter anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Bagian/unit lain yang terkait di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan rekam medis
2. Laporan/catatan anestesi
PROSEDUR MONITORING ANESTESI:
DIURESIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 1/1
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Menilai status volume cairan tubuh pasien dan
mempertahankan fungsi ginjal dengan cara
PENGERTIAN pemantauan diuresis pasien menggunakan
kateter urin dan kantung pengumpul urin selama
operasi berlangsung
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
menilai status volume cairan tubuh pasien dan
TUJUAN
mempertahankan fungsi ginjal baik selama dan
setelah operasi
Keadaan status volume cairan tubuh pasien dan
fungsi ginjal yang baik dapat dinilai dengan
KEBIJAKAN
diuresis lebih dari 1cc/kgBB per jam dengan
warna kuning jernih
PROSEDUR A. Dilakukan pemasangan kateter urin pada
pasien yang menjalani operasi lebih dari 2 jam
dalam anestesi umum.
B. Dilakukan pemasangan kateter urin pada
semua pasien yang mendapatkan anestesi
regional (spinal, epidural, kombinasi spinal
epidural, dan caudal) tanpa
mempertimbangkan lama operasi.
C. Jumlah urin inisial dicatat jumlahnya dan dinilai
warnanya.
D. Selama operasi berlangsung urin pasien
dikumpulkan dalam kantung pengumpul urin
dan dinilai jumlah serta wama.
UNIT TERKAIT 1. Dokter anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Bagian/unit lain yang terkait di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Status Pasien
2. Status anestesi
PROSEDUR INTUBASI DAN EKSTUBASI

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 1/6
Bandung
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Alat bantu nafas (pipa endotrakheal) yang dipasang
PENGERTIAN
melalui oral atau nasal menuju trakeal
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
mempertahankan jalan napas bebas pada
TUJUAN
prosedur operasi tertentu dan resusitasi jantung
paru
Sebagai bagian dari prosedur resusitasi jantung
paru di emergensi, salah satu fasilitasi operasi
KEBIJAKAN
dengan anastesi umum, bila pasien membutuhkan
bantuan nafas dengan ventilator
PROSEDUR A. Intubasi
1. Indikasi untuk intubasi
a. Operasi daerah leher dan wajah
b. Prosedur operasi thoracotomi
c. Prosedur operasi craniotomy
d. Prosedur operasi laparotomi
e. Teknik operasi laparoskopi
f. Pembedahan dengan sikap tidur miring
atau sikap telungkup (prone)
g. Operasi pada neonates.
h. Prosedur operasi yang lama (lebih dari
1 jam)
i. Teknik anestesi khusus: hipotensi,
hipotermi.
j. Pembedahan dimana dibutuhkan
banyak relaksasi atau dimana
pernapasan akan terganggu karena
relaksasi.
k. Semua pembedahan akut dimana
penderita diduga atau diragukan
lambungnya belum kosong.
l. Pada penderita dimana pemasangan
masker sulit dan tidak mungkin tanpa
kebocoran udara sehingga ventilasi
menjadi tidak adekuat.
m. Pada penderita gemuk yang sulit untuk
menguasai jalan napas dengan
PROSEDUR INTUBASI DAN EKSTUBASI

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 2/6
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR sungkup wajah (face mask).
n. Pada pasien trauma dengan kondisi
obstruksi jalan napas, hipoventilasi,
hipoksia berat, GCS ≤ 8, Cardiac arrest,
fraktur daerah wajah dengan perdarahan
yang sulit dikontrol.
o. Intubasi emergensi pada keadaan trauma
inhalasi pada keadaan luka bakar 40%,
GCS ≤ 8, luka bakar daerah muka derajat
sedang sampai berat, luka bakar
oropharingeal derajat sedang sampai berat,
cedera jalan napas derajat sedang dan
berat yg terlihat saat endoskopi.
2. Persiapan pasien
a. Persiapan terpenting untuk melakukan
intubasi adalah memeriksa kemungkinan
kesulitan intubasi dan resiko aspirasi dan
regurgitasi.
1) Bisa membuka mulut
2) Pemeriksaan mallampati
3) Kemampuan ekstensi leher
4) Jarak tyromental.
5) Pergerakan leher ke kanan dan ke
kiri (tidak ada kekakuan sendi leher)
6) Leher pendek, panjang, kaku
7) Adanya sikatrik di daerah leher,
8) Gigi ompong
9) Gigi yang hanya tinggal beberapa saja
10)Tanyakan kecukupan puasanya
(terutama pasien emergensi)
11)Wanita hamil selalu dianggap
lambung penuh.
3. Persiapan alat:
a. Pastikan seluruh alat yang diperlukan
berfungsi dengan baik
1) Sumber oksigen dan ambu bag
(UGD Ruangan ICU) mesin anestesi
yang sudah dipastikan berfungsi
dengan baik (kamar operasi)
2) Face mask atau sungkup wajah
PROSEDUR INTUBASI DAN EKSTUBASI

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 3/6
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 3) Langingoskope,
4) Pipa endotracheal 3 buah ( 1 lebih
besar dan 1 lebih kecil dari ukuran
standard).
5) Stylet (mandren)
6) Oropharyngeal airway 3 buah ( 1 lebih
besar dan 1 lebih kecil dari Ukuran
standard).
7) Spuit
8) Plester.
9) Bantal dengan tebal 10 cm.
10)Suction yang sudah siap pakai.
11)Stetoskop
12)12)Gunakan sarung tangan
4. Penatalaksanaan
a. Pastikan bahwa meja operasi sudah
terkunci dan tidak bergerak.
b. Posisikan pasien terlentang dengan posisi
head up.
c. Tinggi kepala pasien setinggi kartilago
xyphoid operator.
d. Letakkan kepala penderita dengan bagian
oksipital diletakkan di atas bantal dengan
tebal 10 cm.
e. Posisi kepala dalam satu garis antara
telinga dengan sternum (shiff position)
f. Berikan pasien oksigen 100% selama
kurang lebih 3-5 menit dengan
menggunakan sungkup wajah.
g. Berikan pasien anastetika hipnotik sedatif
intravena, dan opioid.
h. Pastikan pasien tertidur dengan memeriksa
reflek bulu mata negatif.
i. Berikan oksigen dengan gas anastetik
inhalasi 3 MAC memakai sungkup wajah.
j. Lakukan ventilasi dengan menggunakan
bag dengan tekanan tidak melebihi 30 cm
H20.
k. Bila dada dapat menggembang dan
pada saat melakukan ventilasi tidak ada
hambatan atau tahanan, berikan
pelumpuh otot.
PROSEDUR INTUBASI DAN EKSTUBASI

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 4/6
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR l. Lakukan ventilasi hingga seluruh obat
anestesi mencapai onsetnya.
m. Pegang handle laringoskope dengan
tangan sebelah kiri, tangan sebelah kanan
dapat memegang kepala pasien untuk
extensi atau membuka mulut dengan cara
cross finger.
n. Masukan blade dari ujung kanan bibir,
dorong hingga ke oropharyng sambil
menyisihkan lidah dari kanan ke kiri.
o. Telusuri terus hingga ujung blade
menyentuh vallecula
p. Pastikan gigi dan bibir bebas
q. Kemudian angkat handle menjauh dari
pasien sehingga terlihat pita suara
(vocal cord)
r. Persiapkan pipa endotrakheal di tangan
kanan
s. Masukan pipa endotacheal kearah pita
suara
t. Setelah pipa endotracheal terpasang
kembangkan balon dengan menggunakan
spuit sampai tidak lagi terdengar adanya
kebocoran, kemudian pastikan pipa
endotrakheal tidak begeser.
u. Setelah balon mengembang pastikan paru
kanan dan kiri mengembang sama besar
dengan menggunakan stetoskop.
v. Setelah memastikan letak pipa
endotracheal benar, plester pipa.
B. Ekstubasi
1. Persiapan alat
a. Sarung tangan
b. Suction
c. Spuit
d. Sunggup muka
2. Prosedur
a. Ekstubasi bangun penuh
1) Posisi pasien head up
2) Matikan seluruh gas
3) Pastikan efek pelumpuh otot sudah
hilang, kalau perlu berikan reverse
PROSEDUR INTUBASI DAN EKSTUBASI

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 5/6
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR pelumpuh otot
4) Pastikan pola nafas sudah regular
5) Bila vital kapasitas > 15 ml/kg,
adekuatnya otot pernafasan, tidak
ada retraksi dinding dada, SpO2 >95%
dengan udara luar.
6) Pasien dapat dibangunkan dan
dapat mengikuti perintah sederhana
(buka mata, buka mulut atau angkat
tangan)
7) Lakukan suction untuk
memberishkan dari liur atau darah di
rongga mulut
8) Berikan tekanan berkisar 5-15 cm
H2O untuk rangsang batuk.
9) Bila ada saat batuk tarik pipa
endotrakheal setelah balon
dikempiskan.
10)Berikan oksigen kanul 3 Um
b. Ekstubasi dalam anestesi
1) Seluruh gas anestesi tidak dimatikan
kecuali N20
2) Pastikan efek pelumpuh otot sudah
hilang, kalau perlu berikan reverse
pelumpuh otot.
3) Pastikan pola napas sudah regular.
4) Kapasitas vital >15 ml/kg, kekuatan
otot pernafasan adekuat.
5) Lakukan suction untuk
membersihkan dari sekret atau darah di
rongga mulut
6) Matikan seluruh gas anestesi berikan
oksigen 10 L/Menit
7) Tarik pipa endotrakheal setelah balon
dikempiskan.
8) Berikan pasien oksigen 10 L/Menit
melalui sungkup muka hingga
bangun.
9) Setelah pasien bisa melakukan
perintah sederhana (buka mata atau
angkat tangan) berikan oksigen
kanul 3 L/m.
PROSEDUR INTUBASI DAN EKSTUBASI

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 6 /6
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif di lingkungan RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan rekam medis
2. Lembar Informed consent
PROSEDUR KRITERIA EKSTUBASI

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 1/1
Bandung
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Persiapan dan kriteria klinis ekstubasi
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN pelaksanaan tindakan ekstubasi pada pasien yang
terintubasi
Ekstubasi dilakukan dengan persiapan peralatan
KEBIJAKAN pengelolaan jalan napas dan kriteria ekstubasi telah
terpenuhi
PROSEDUR 1. Kriteria klinis ekstubasi
1. Tidal volume: 26 ml/ kg
2. Kapasitas vital: 215 ml/ kg
3. Negative inspiratory force: 2-25 cmH2O
4. Kemampuan mengangkat kepala >5 detik
5. CNS: awake, responsif
6. Sistem respirasi:
a. Oksigenasi adekuat dengan FiO2 <0,4
b. Ventilasi adekuat
c. Laju nafas < 25 x/menit (pada dewasa)
7. Sistem kardiovaskular:
a. Tekanan darah adekuat untuk perfusi
keorgan vital
b. Tidak ada disritmia serius
yangsebelumnya tidak terjadi
8. Metabolik:
a. Normotermia
b. Kadar glukosa dan elektrolit normal
9. Hematologi
a. Hemostasis adekuat
b. Tidak ada koagulopati
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah
4. Dokter/residen IPD/IKA di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan rekam medis
2. Lembar informed consent
PROSEDUR PANDUAN PENATALAKSANAAN
ANESTESI DAN PEMBEDAHAN UNTUK PASIEN
DENGAN MASALAH PENGUASAAN
RSUP Dr. Hasan Sadikin JALAN NAFAS
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 1/4
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Semua pasien yang mempunyai kesulitan pada jalan
PENGERTIAN
napas
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN melakukan penatalaksanaan pasien dengan masalah
penguasaan jalan nafas
Penatalaksanaan harus sesuai dengan urutan dalam
KEBIJAKAN
algoritme difficult airway.
PROSEDUR A. Definisi: Tindakan anestesi dan pembedahan
untuk pasien dengan masalah penguasaan
jalan nafas.
B. Persiapan Perioperatif
1. Anamnesa
a. Riwayat penyakit sekarang dan
terdahulu.
b. Riwayat sesak napas, tidur
mendengkur, perubahan suara, gangguan
menelan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran, nadi, tekanan darah, laju
napas, SpO2
b. Wajah dan leher
1) Bentuk dan malformasi
2) Edema, hiperemis
3) Airway dan sistem respirasi
a) Buka mulut (pembukaan mulut
>3 jari pasien)
b) Gigi geligi (panjang gigi, gigi
palsu, gigi goyang)
c) Mallampati
d) Adanya perubahan struktur
dalam rongga mulut karena
kelainannya
e) Massa rapuh/mudah berdarah
atau tidak
f) Jarak mentum-tiroid, panjang
PROSEDUR PANDUAN PENATALAKSANAAN
ANESTESI DAN PEMBEDAHAN UNTUK PASIEN
DENGAN MASALAH PENGUASAAN
RSUP Dr. Hasan Sadikin JALAN NAFAS
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 2/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR leher, pergerakan dan ekstensi
leher
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium: darah rutin
(Hb, Ht, leukosit, trombosit), AGD, dan
elektrolit jika diperlukan.
b. Thorax foto, Rontgen jaringan lunak
leher, CT Scan daerah yang akan
dioperasi.
4. Klasifikasi ASA
5. Apabila diduga akan didapatkan kesulitan
dalam menguasai jalan napas yang
berkaitan dengan prosedur
pembedahannya, dilakukan pembicaraan/
diskusi (join conference) bersama terlebih
dahulu antara Departemen Anestesi dan
departemen lain yang terlibat.
6. Informed Consent dilakukan oleh dokter
Anestesi dan dokter Bedah (Onkologi,
Plastik, Bedah Mulut, THT-KL) terhadap
penderita dan keluarga penderita dengan
disaksikan (didampingi) oleh perawat
Anestesi/Bedah.
7. Penatalaksanaan
a. Bila kemungkinan penguasaan jalan
napas sulit, pikirkan untuk melakukan
intubasi dalam keadaan pasien tetap
sadar.
b. Berikan suplemen oksigen.
c. Persiapkan alat-alat bantu
1) Peralatan intubasi standar
(facemask, oropharyngeal atau
nasopharyngeal airway, laringoskop,
stylet, Magill forceps, suction)
2) LMA, ETT (biasa dan spiral) 3
ukuran (yang diperkirakan, 1 ukuran
lebih besar dan lebih kecil)
3) Peralatan intubasi khusus (stylet
Lightwand, laringoskop Mckoy,
bronkhoskop fiber optik)
4) Kapnograf atau end-tidal carbon
PROSEDUR PANDUAN PENATALAKSANAAN
ANESTESI DAN PEMBEDAHAN UNTUK PASIEN
DENGAN MASALAH PENGUASAAN
RSUP Dr. Hasan Sadikin JALAN NAFAS
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR dioxide detector
d. Persiapkan obat-obatan
1) Obat-obatan resusitasi : Adrenalin,
Sulfas Atropin
2) Obat-obatan suportif antisialogogue
(Sulfas Atropin), anestesi lokal
(topikal maupun injeksi)
3) Obat-obatan anestesi umum
e. Intubasi pasien sadar dapat dilakukan
dengan
1) Bronkoskopi fiber optik
2) Laringoskopi direk
3) Intubasi blind orotracheal atau
nasotracheal
4) Intubasi retrograde
5) Bantuan stylet khusus (lightwand)
6) Bronkoskopi rigid
7) Dilatasi trachea perkutan
f. Bila intubasi pasien sadar mengalami
kegagalan pertimbangkan untuk
dilakukan trakheostomi atau tunda
dahulu pasien untuk perencanaan
tindakan yang lebih baik.
g. Trakheostomi dilakukan preoperatif
pada penderita yang pascaoperasi
telah diperkirakan memerlukan
trakheostomi untuk mempertahankan jalan
napasnya.
h. Setiap tindakan trakheostomi di kamar
operasi harus didampingi dokter
Anestesi dengan persiapan difficult
airway management dan bronkhoskopi fiber
optic.
8. Pasca operasi
a. Perawatan di RR, lakukan observasi :
1) Tanda-tanda vital: kesadaran, nadi,
tekanan darah, laju napas, SpO2
b. Jika perlu observasi lebih lanjut maka
dipikirkan perawatan di HCU / ICU
PROSEDUR PANDUAN PENATALAKSANAAN
ANESTESI DAN PEMBEDAHAN UNTUK PASIEN
DENGAN MASALAH PENGUASAAN
RSUP Dr. Hasan Sadikin JALAN NAFAS
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter Spesialis Anestesi
2. Dokter Spesialis Bedah Onkologi
3. Dokter Spesialis Bedah Plastik
4. Dokter Spesialis Bedah Mulut
5. Dokter Spesialis THT-KL di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung.
DOKUMEN TERKAIT 1. Rekam medis pasien
2. Lembar Informed Consent
PROSEDUR PANDUAN INTUBASI DENGAN
FIBER OPTIK
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 1/2
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
1. Memahami indikasi intubasi dengan fiber optic
2. Melakukan persiapan dengan baik sebelum
PENGERTIAN
melakukan tindakan
3. Melakukan tindakan sesuai dengan urutan
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN pelaksanaan tindakan intubasi dengan menggunakan
fiber optic
Tindakan intubasi dengan fiber optik harus tetap
KEBIJAKAN
mengacu pada algoritma difficult airway
PROSEDUR A. Indikasi
B. Tindakan intubasi dengan fiber optic dilakukan
pada kasus-kasus pengelolaan jalan napas
yang memerlukan pemasangan pipa jalan
napas tetapi tidak mungkin/sulit untuk
dilakukan tindakan laringoskopi direk karena
dikarenakan oleh berbagai keadaan (seperti:
tidak bisa membuka mulut, gangguan
pergerakan leher oleh karena kekakuan sendi
atau kontraktur, trauma servikal, masa pada
jalan nafas, Malampati IV).
C. Persiapan
1. Persiapkan emergency kit.
2. Siapkan juga obat-obatan dan peralatan
anestesi umum.
3. Persiapkan untuk terjadinya komplikasi
tindakan dan obat yang diberikan.
4. Persiapkan fiber optic dan pastikan
berfungsi dengan baik.
5. Algoritma kesulitan jalan napas sudah
harus dipahami dengan baik
6. Hubungkan pasien dengan alat monitor
(nadi, tekanan darah, respirasi, SpO2)
7. Berikan obat antisialogogue (Sulfas
atropine, glikopirolat) bila diperlukan
8. Lakukan informed consent kepada pasiendan
keluarga tentang tindakan yang akan
dilakukan.
PROSEDUR PANDUAN INTUBASI DENGAN
FIBER OPTIK
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/2
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR D. Teknik intubasi dengan fiber optic
1. Pilih lubang hidung dengan aliran udara
yang lebih terbuka.
2. Berikan lubrikan pada fiber optic dan pipa
endotrakeal (ETT) yang akan digunakan.
3. Masukkan ETT melalui lubang hidung yang
telah dipilih.
4. Setelah ETT melewati nostril sepanjang
nasal, masukkan bronkoskop fiber optic ke
dalam lumen ETT.
5. Identifikasi epiglotis dan pita suara dengan
mengarahkan bronkoskop fiber optic ke
atas/ bawah atau ke kanan/kiri, kemudian
bila sudah teridentifikasi arahkan fiber optic
masuk melewati pita suara ke dalam trakea
sampai posisinya berada di atas karina.
6. Ketika mencapai trakea dorong ETT masuk
kedalam trakea dengan pipa fiber optic
sebagai panduannya.
7. Posisi ETT yang tepat dikonfirmasi dengan
terlihatnya karina tepat di bawah ujung ETT.
8. Kembangkan balon ETT.
9. Tarik bronkoskop fiber optic.
UNIT TERKAIT 1. Konsulen dan residen Anestesiologi dan terapi
intensif
2. Konsulen dan residen bedah di lingkungan RSHS
DOKUMEN TERKAIT 1. Status rawat pasien
2. Status anestesi
3. Surat izin operasi
4. Surat izin anestesi
PROSEDUR TATA LAKSANA REHIDRASI
PEDIATRIK
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 1/4
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
memperbaiki volume cairan dan pengaturan
TUJUAN
cairan pada bayi dan anak sebelum
berlangsungnya operasi
Memberikan pelayanan anestesi pada operasi
KEBIJAKAN
bayilanak secara aman dan benar
PROSEDUR A. Penentuan derajat dehidrasi
1. Untuk dapat memberikan rehidrasi yang tepat,
tentukan terlebih dahulu derajat dehidrasi dari
bayi dan anak.
Dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi
Ringan Sedang Berat (11-
(1-5%) (6-10%) 45%)
Kompos
Kesadaran Delirium Lethargy
mentis
Nadi Normal Meningkat Takikardia
Tekanan
Normal Normal Menurun
darah
Sangat
Mukosa Kering Kering
kering
Fontanel Normal Cekung Cekung
Hampir
Urin Normal Berkurang
tidak ada

2. Setiap selesai rehidrasi lakukan kembali


pemeriksaan terhadap nadi, tekanan darah,
mukosa fontanel dan urin. Terapi selanjutnya
diberikan sesuai dengan derajat dehidrasi
setelah rehidrasi.
B. Cara pemberian cairan
1. Dehidrasi Ringan
a. Pada keadaan dehidrasi ringan terjadi
kehilangan sekitar 1-5% cairan dari
tubuhnya.
b. Untuk neonates Total Body Water 75 80%
dari berat badan.
c. Untuk infant Total Body Water 70% dari
berat badan.
PROSEDUR TATA LAKSANA REHIDRASI
PEDIATRIK
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR d. Total Body Water * Berat Badan x Derajat
Dehidrasi (1-5%) = jumlah cairan yang
akan diberikan
e. Cara melakukan rehidrasi:
1) Rehidrasi dilakukan dengan
menggunakan KN 1B (neonates)
atau RL, NaCl 0,9% (pada anak)
selama 6 - 12 jam.
2) Dilanjutkan dengan cairan rumatan
sesuai berat badan.
2. Dehidrasi Sedang
a. Terjadi kehilangan sekitar 6-10% cairan
dari tubuhnya.
b. Untuk neonates Total Body Water 75-80%
dari berat badan.
c. Untuk infant Total Body Water 70% dari
berat badan.
d. Total Body Water x Berat Badan x Derajat
Dehidrasi (6-10%) = jumlah cairan yang
akan diberikan
e. Cara melakukan rehidrasi:
1) Rehidrasi dilakukan dengan
menggunakan KN 1B (neonatus) atau
RL, NaCl 0,9% (pada anak) selama 6 -
12 jam.
2) Setelah rehidrasi selesai lakukan
pemeriksaan ulang untuk menentukan
kembali derajat dehidrasi.
3) Bila masih pada keadaan dehidrasi
sedang, maka lakukan rehidrasi seperti
di atas.
4) Bila sudah menjadi dehidrasi ringan
hanya dilanjutkan dengan pemberian
cairan rumatan.
f. Rehidrasi cepat
1) Pada anak dapat diberikan RL 40
cc/kgBB diberikan selama 1-2 jam.
2) Bila masih dalam keadaan derajat
dehidrasi yang sama maka dapat
dilakukan pengulangan.
3) Bila sudah menjadi derajat ringan
maka hanya diberikan cairan
PROSEDUR TATA LAKSANA REHIDRASI
PEDIATRIK
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR rumatan.
3. Dehidrasi Berat
a. Terjadi kehilangan sekitar 11-15%
cairan dari tubuhnya.
b. Untuk neonates Total Body Water 75 80%
dari berat badan.
c. Untuk infant Total Body Water 70% dari
berat badan.
d. Total Body Water x Berat Badan x Derajat
Dehidrasi (11-15%) = jumlah cairan
yang akan diberikan
e. Cara melakukan rehidrasi
1) Rehidrasi dilakukan dengan
menggunakan KN 1B (neonatus)
atau RL, NaCl 0,9% (pada anak)
selama 6-12 jam.
2) Setelah rehidrasi selesai lakukan
pemeriksaan ulangan untuk
menentukan kembali derajat dehidrasi.
3) Bila masih dalam keadaan dehidrasi
berat maka rehidrasi seperti diatas
diulangi lagi.
4) Bila dehidrasi sudah mengalami
perbaikan menjadi derajat sedang maka
berikan setengah jumlah cairan
setengah dari jumlah cairan terapi
pertama.
5) Bila sudah dalam kondisi
dehidrasiringan maka cukup diberikan
cairan rumatan.
f. Rehidrasi cepat
1) Pada anak dilakukan pemberian RL
40 cc/kgBB dalam 1-2 jam.
2) Bila masih dalam keadaan derajat
dehidrasi yang sama maka
dilakukan pengulangan pemberian
cairan dengan penambahan 20-40 cc/kg
yang diberikan dalam 1-2 jam.
3) Bila dehidrasi sudah mengalami
perbaikan menjadi derajat ringan maka
cukup diberikan cairan rumatan.
PROSEDUR TATA LAKSANA REHIDRASI
PEDIATRIK
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR C. Cairan rumatan
1. Cairan rumatan diberikan dengan
menggunakan rumus Holiday Sigar:
a. 4 ml/kgBB/jam pada berat 10 kg pertama
b. 2 ml/kgBB/jam pada berat 10 kg kedua
c. 1 ml/kgBB/jam pada berat sisanya
d. Cairan yang diberikan;
1) Pada bayi D5%NaCl 0,9%
2) Pada anak Ringer laktat, NaCl 0,9%
D. Cairan pengganti puasa
1. Penghitungan cairan adalah cairan rumatan
sesuai berat badan x lama puasa pasien
2. Cara pemberian cairan
a. Jam 1: berikan 50% hasil perhitungan
cairan rumatan
b. Jam 2: berikan 25% hasil perhitungan
cairan rumatan
c. Jam 3: berikan 25% hasil perhitungan
cairan rumatan

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan
3. Terapi Intensif di lingkungan RSUP Dr. Hasan
4. Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan rekam medis
2. Lembar informed consent
PANDUAN MANAJEMEN
PASCAOPERATIF
PROSEDUR PENATALAKSANAAN
PASCABEDAH
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 1/5
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah
untuk penatalaksanaan pascaanestesi di
TUJUAN
ruang pemulihan pada pasien yang menjalani
pembedahan
Memberikan pelayanan pascaanestesi pada
pasien-pasien yang menjalani pembedahan
KEBIJAKAN sampai pasien dapat dipindahkan ke ruang
rawat, ruang ICU atau pasien dipulangkan pada
pasien ODS
PROSEDUR A. Pedoman meliputi
1. Syarat tata ruang pemulihan
2. Syarat alat-alat yang diperlukan di ruang
pemulihan
3. Syarat SDM yang diperlukan diruang
pemulihan
4. Pedoman medis penatalaksanaan pasien
pascaanestesi
B. Syarat tata ruang pemulihan
1. Ruang pemulihan sebaiknya berada dekat/
satu lokasi dengan ruang pembedahan,
dekat dengan fasilitas radiologi,
laboratorium, dan ICU.
2. Merupakan suatu ruang perawatan yang
terbuka, untuk memudahkan akses dan
pengawasan semua pasien yang dirawat
didalamnya.
3. Rasio jumlah tempat tidur di ruang
pemulihan adalah 1.5 kali jumlah kamar
bedah.
4. Setiap tempat tidur pasien mempunyai
sistem penerangan yang cukup, dilengkapi
dengan outlet 02, outlet udara (Air), suction
unit, infusion pump, standar infus, lampu
penghangat atau alat penghangat lainnya.
C. Syarat alat-alat medis yang diperlukan di ruang
pemulihan
PROSEDUR PENATALAKSANAAN
PASCABEDAH
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 1. Setiap tempat tidur dilengkapi dengan
pulse oksimetri, pengukur tekanan darah.
2. EKG diperlukan untuk pasien-pasien
dengan dengan riwayat gangguan jantung,
yang menunjukkan kelainan pada saat
pembedahan, dan pasien yang terancam
terjadi gangguan jantung selama
perioperatif.
3. Pada pasien yang diputuskan untuk tetap
terintubasi diperlukan EtCO2 dan T-piece.
4. Diperlukan alat untuk memonitor
temperatur.
5. Setiap ruang pemulihan mempunyai
persediaan alat-alat berupa: oropharyngeal
airway, ETT semua ukuran, Laringoskop,
LMA, Ambu bag, kanula nasal, Non
rebreathing mask, simple mask, dan kanula
nasal.
6. Tersedia ventilator non invasif (CPAP
mask, NIV), alat nebulizer.
D. Syarat SDM yang diperlukan di ruang pemulihan :
1. Ruang pemulihan anestesi berada di
bawah pengawasan seorang dokter
spesialis anestesiologi.
2. Dokter. anestesi harus melakukan
penatalaksanaan nyeri pascabedah sejak
di ruang pemulihan, masalah CVS, respirasi,
dan masalah metabolik.
3. Dokter spesialis bedak harus terlibat
menangani masalah yang terkait dengan
pembedahannya.
4. Dokter anestesi dibantu oleh perawat
yang sudah terlatih dan kompeten untuk
penatalaksanaan pasien di ruang
pemulihan anestesi.
5. Perawat yang bekerja di ruang pemulihan
mempunyai kemampuan/kompetensi yang
sama dengan perawat anestesi,
disyaratkan adalah perawat yang sudah
mempunyai sertifikat untuk resusitasi,
dapat menangani masalah airway termasuk
melakukan intubasi dan ventilasi manual,
PROSEDUR TATA LAKSANA REHIDRASI
PEDIATRIK
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR perawatan luka, menatalaksana kateter
urine, kateter drainase, dan mengatasi syok
karena perdarahan.
6. Perawat diruang pemulihan mampu
melakukan monitoring pasien dan bersama-
sama dengan dokter anestesi melakukan
penilaian kelayakan pasien yang akan
dipindahkan ke fasilitas perawatan lain.
7. Setiap 1 pasien dirawat oleh satu orang
perawat.
8. Terdapat panduan untuk melakukan konsultasi
ke disiplin ilmu lain.
9. Ruang pemulihan anestesi termasuk dalam
tugas pengawasan Chef d'clinique
anestesi.
E. Pedoman penatalaksanaan pasien pasca
anestesi
1. Dalam pedoman ini dikenal beberapa jenis
pelayanan yang harus diperhatikan :
a. Cara transportasi dari kamar pembedahan
ke ruang pemulihan,
b. Menilai emergence (bangun dari
anestesi)
c. Recovery rutin
d. Recovery dari anestesi regional
e. Mengatasi nyeri
f. Mengatasi agitasi pascabedah
g. Mengatasi mual muntah pascabedah
h. Mengatasi shivering pascabedah
i. Mengatasi hipertermi dan hipotermi
pascabedah
j. Kriteria pengeluaran pasien dari ruang
pemulihan
k. Kriteria pengeluaran pasien untuk pindah
ke ICU, dan cara transportasi pasien ke
ICU.
l. Kriteria pengeluaran pasien untuk pindah
ke ruang rawat biasa
m. Kriteria pengeluaran pasien untuk pulang
pada pasien ODS
n. Mengatasi komplikasi masalah
pernafasan: obstruksi jalan napas,
PROSEDUR TATA LAKSANA REHIDRASI
PEDIATRIK
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR hipoventilasi, hipoksemia.
o. Mengatasi komplikasi sirkulasi : hipotensi,
hipertensi, aritmia.
p. Dokter penanggung jawab pascabedah
dalam kaitannya dengan proses pendidikan
q. Konsultasi antar bagian yang diperlukan
pasca bedah
F. Prosedur
1. Pasien tidak boleh dipindahkan dari kamar
operasi kecuali jalan napas sudah dijamin
paten dan stabil, ventilasi dan oksigenasi
adekuat, serta hemodinamik stabil.
2. Pemindahan pasien ke ruang pemulihan
harus didampingi oleh dokter anestesi yang
memahami kondisi pasien.
3. Selama pemindahan dokter anestesi
bertanggung jawab terhadap jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi. Berikan bantuan
sesuai dengan kondisi pasien.
4. Oksigen suplemen harus diberikan saat
memindahkan pasien dengan resiko
hipoksemia.
5. Pasien yang tidak stabil harus tetap
terintubasi dan bila dipindahkan ke RR
harus termonitor dengan monitor portable,
dan harus tersedia obat-obat emergensi.
6. Pasien dengan resiko aspirasi atau
perdarahan saluran napas atas harus
dipindahkan dengan posisi lateral.
7. Setelah tiba di ruang pemulihan, segera
lakukan pemeriksaan patensi jalan napas,
tanda vital, dan oksigenasi.
8. Posisikan pasien dalam keadaan head up
(bila tidak ada kontra indikasi).
9. Lakukan serah terima pasien kepada
dokter anestesi/perawat yang bertugas di
ruang pemulihan dengan memberikan
informasi tentang kondisi prabedah dan
jalannya pembedahan (jenis anestesi,
tindakan pembedahan, perdarahan, jumlah
dan jenis cairan yang diberikan, komplikasi
operasi), kemungkinan masalah
PROSEDUR TATA LAKSANA REHIDRASI
PEDIATRIK
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 5/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR pascaoperasi, serta instruksi pascabedah.
10. Petugas ruang pemulihan melakukan
pemeriksaan ulang kondisi pasien bersama-
sama dengan pemberi anestesi.
11. Kondisi pasien setelah tiba di ruang
pemulihan harus dicatat.
12. Dokter anestesi yang melakukan
pemberian anestesi dapat meninggalkan ruang
pemulihan setelah melakukan serah
terima dengan petugas ruang pemulihan.
13. Pemantauan kesadaran, tekanan darah,
laju nadi, laju nafas, suhu, SpO2 di ruang
pemulihan dilakukan secara rutin setiap 5
menit pada 15 menit pertama atau sampai
stabil, kemudian setelah itu dilakukan tiap 15
menit.
14. Pantau adanya nyeri pascaoperasi, mual,
muntah, input-output cairan, drain, perdarahan.
Kemudian lakukan tindakan tatalaksana yang
sesuai.
15. Pada pasien yang mendapatkan tindakan
regional harus dilakukan pemeriksaan motorik
dan sensorik secara periodik, dengan
pemantauan hemodinamik yang lebih ketat.
16. Kriteria pengeluaran pasien dari ruang
pemulihan menggunakan kriteria Aldrette
Score dengan skor ≥9.
17. Dibuat laporan tertulis yang akurat tentang
pemantauan kondisi pasien di ruang
pemulihan

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Residen anestesi
3. Perawat ruang pemulihan
4. Petugas lain yang terkait.
DOKUMEN TERKAIT 1. Buku serah terima pasien
2. Status anestesi
3. Status pasien
PANDUAN ANESTESI
PADA PASIEN
PEDIATRIK
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
PYLORIC STENOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. 01 1/5
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Stenosis pylorus terjadi akibat hipertropi otot-otot
pada saluran keluar lambung sehingga
menyebabkan terjadinya obstruksi. Kelainan ini
merupakan salah satu kelainan pada
gastrointestinal tersering yang terjadi pada 3
PENGERTIAN bulan pertama setelah lahir. Stenosis pylorus
merupakan keadaan emergensi medikal akut dan
bukan keadaan emergensi surgikal, oleh karena
itu harus dilakukan persiapan optimalisasi
keadaan umum pasien terlebih dahulu untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
pediatri dengan pyloric stenosis yang akan
menjalani tindakan pembedahan
Stenosis pylorus merupakan keadaan emergensi
medikal akut dan bukan merupakan keadaan
emergensi surgikal, oleh karena itu harus
KEBIJAKAN
dilakukan optimalisasi keadaan umum pasien
terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang
lebih baik
PROSEDUR A. Insidensi dan etiologi:
1. Stenosis pylorus lebih sering terjadi pada bayi
laki-laki dibandingkan perempuan dengan
insidensi 4:1 yang terjadi pada usia 3 bulan
pertama setelah lahir.
2. Etiologi: Penyebab pasti sampai saat ini belum
diketahui, namun dari beberapa teori
menyatakan bahwa etiologi stenosis pylorus
adalah sebagai berikut:
a. Hipoganglionosis
b. Infeksi H. pylori
c. Hipergastrenemia dengan pilorospasme
B. Patofisiologi
1. Pasien dengan stenosis pylorus akan
mengalami berbagai gangguan elektrolit
dan metabolik. Gangguan elektrolit yang
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
PYLORIC STENOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR sering didapatkan adalah: hipokloremik,
hipokalemia, hipovolemia, hipokalsemia,
dan alkalosis metabolik hiponatremik.
2. Dalam keadaan normal setiap mEq asam
lambung yang disekresikan akan diikuti
dengan pelepasan satu mEq HCO3 dari
pankreas, sehingga terjadi penetralan
asam lambung yang melewati duodenum
oleh HCO3 yang disekresikan oleh
pankreas.
3. Hilangnya asam lambung pada keadaan
stenosis pylorus terjadi melalui vomitus
atau aspirat gastrik, sedangkan sekresi
HCO3 tetap terjadi sehingga kadarnya
dalam plasma akan terus meningkat.
Peningkatan ini lama kelamaan membuat
tubulus proksimal ginjal tidak mampu lagi
mengatasi kelebihan HCO3 dan akan
meningkatkan kadar NaHCO3 yang
diteruskan ke tubulus distal yang juga tidak
mampu mengabsorbsinya lagi. Akibatnya
ginjal akan mengekskresikan urin dengan
pH >7,0.
4. Terjadinya hal di atas mengakibatkan
deplesi cairan ekstra seluler akibat usaha
ginjal untuk melakukan konservasi Na*
melalui stimulasi sekresi aldosteron.
5. Hipokalemia terjadi akibat hilangnya kalium
melalui vomitus dan melalui urin akibat
pertukarannya dengan H* dalam usahanya
untuk melakukan konservasi terhadap Na*.
Hipokalemia juga terjadi akibat perpindahan k*
ke intra sel akibat pH yang bertambah alkali.
6. Hipokloremia terjadi akibat hilangnya CI
melalui sekresi lambung.
C. Gambaran klinis
1. Stenosis pylorus terjadi antara umur 3-5
minggu. Terdapat riwayat muntah-muntah
nonbilious yang progresif dan kemudian
menjadi proyektil.
2. Konstipasi
3. Jaundice; terjadi akibat defisiensi glukoronil
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
PYLORIC STENOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR transferase karena keadaan starvasi.
4. Bayi akan tampak dehidrasi dengan
gerakan peristaltis lambung yang dapat
terlihat.
5. Pada palpasi pada daerah epigastrium atau
hipokondrium kanan teraba massa tumor
(Olive Tumor).
6. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan:
a. Hemoglobin: hemokonsentrasi
b. Elektrolit: hipokalemia, hipokloremia,
hiponatremia, hipokalsemia
c. AGD; pada keadaan awal didapatkan
alkalosis metabolik sedangkan pada
keadaan lanjut akan didapatkan
asidosis metabolik.
7. Diagnosa dikonfirmasi melalui pemeriksaan
radiologi: USG abdomen
D. Manajemen preoperatif
1. Manajemen inisial yang harus dilakukan
bersifat medikal untuk melakukan
stabilisasi pasien sebelum dilakukan
prosedur koreksi. Manajemen yang
dilakukan adalah:
a. Pasang jalur intravena, kemudian ambil
sampel darah untuk melakukan
pemeriksaan Hb dan elektrolit.
b. Pasang NGT dan lakukan suctioning
secara kontinyu.
c. Lakukan rehidrasi sesuai dengan
derajat dehidrasi dan koreksi gangguan
elektrolit.
d. Pada dehidrasi berat (kehilangan cairan
>15%): berikan bolus normal salin, RL,
dan dapat pula diberikan koloid 20
ml/kg. Pemberian cairan selanjutnya
adalah sesuai dengan dehidrasi
sedang dengan memberikan defisit cairan
dalam 6-8 jam.
e. Dehidrasi ringan-sedang: berikan cairan
glukosa dalam salin (D5 0,45 NS
dengan 10 mEq KCL/500 ml) sebanyak
6-8 ml/kg/jam. Penambahan KCl hanya
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
PYLORIC STENOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/5

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR dilakukan apabila telah terjadi diuresis
yang cukup. Aspirat NGT juga harus
diganti dengan jumlah yang sama dengan
NS. Apabila target sudah tercapai berikan
maintenan dengan Do 0,225NS (1/4 NS)
sebanyak 4 ml/kg/jam.
f. Target Resusitasi
1) Klor serum ≥106 mmol/L
2) Na* serum ≥135 mmol/L
3) HCO3 serum ≤26 mmol/L
4) Cr urin >20 mmol/L
5) Diuresis >1 ml/ kg
E. Manajemen intraoperatif
1. Pastikan abnormalitas asam basa dan
dehidrasi sudah terkoreksi sebelum
memulai induksi.
2. Lakukan aspirasi kembali pada NGT
sebelum induksi dengan posisi bayi miring kiri,
kanan, dan supine.
3. Lakukan preoksigenasi sebelum induksi.
4. Induksi dilakukan dengan rapid sequence
induction, tetapi apabila diperkirakan
terdapat kesulitan pada jalan napas maka
sebaiknya lakukan intubasi dalam keadaan
awake.
5. Maintenan anestesi dapat diberikan dengan
halotan atau sevofluran dan N20, pelemas
otot, opioid, dengan memberikan ventilasi
IPPV, dan jaga agar temperatur tetap
normotermi.
6. Monitoring: EKG, pulse oximetry, NIBP,
EtCO2, temperatur, stetoskop prekordial.
7. Ekstubasi harus dilakukan dalam keadaan
benar-benar bangun dengan keadaan
lambung yang telah dikosongkan.
8. Saat akhir operasi dapat diberikan Bupivakain
0,25% secara infiltrasi pada daerah luka
operasi sebagai analgesia pascaoperasi.
F. Manajemen pascaoperasi
1. Berikan oksigen suplemen jika pulse oximetry
<95%
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
PYLORIC STENOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 5/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 2. Pada infant prematur atau riwayat kelahiran
prematur harus dilakukan monitoring
pernapasan terhadap kemungkinan apnoe
selama 6-12 jam pascaoperasi. Hal ini
dikarenakan terdapat kemungkinan
terjadinya apnoe akibat perubahan pH
pada LCS sebagai akibat sekunder dari
hiperventilasi dan alkalosis.
3. Monitor terhadap kemungkinan
hipoglikemia pascaoperasi.
4. Analgesia pascaoperatif dapat diberikan
parasetamol per-rektal dengan loading dose
30-40 mg/kg diikuti dengan dosis 15-20
mg/kg tiap 6 jam. Hindari opioid karena
dapat menambah resiko apnoe pascaoperatif.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter Residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedan anak
4. Dokter/residen IKA di lingkungan RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung.
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
OBSTRUKSI INTESTINAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Permasalahan pada obstruksi intestinal,
PENGERTIAN
manajemen perioperatif.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
pediatri dengan obstruksi intestinal yang akan
menjalani tindakan pembedahan.
Pasien dengan obstruksi intestinal harus dikelola
KEBIJAKAN
sebagai pasien dengan lambung penuh.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Lakukan penilaian defisit cairan berdasarkan
tanda dan gejala klinis.
2. Pada saat pemeriksaan fisik lakukan
pemeriksaan temperatur, laju nadi, tekanan
darah, perfusi perifer, turgor kulit, fontanela,
tekanan okular, derajatenopthalmus,
mukosa bibir, status mental, dan diuresis.
3. Lakukan penentuan derajat dehidrasi.
4. Tentukan besarnya defisit cairan dan
lakukan rehidrasi berdasarkan derajat
dehidrasi.
5. Pada keadaan hipovolemia berat berikan
cairan secara cepat untuk segera
melakukan restorasi sirkulasi dan fungsi
ginjal. Untuk resusitasi awal dapat diberikan
bolus RL 20 ml/kg. Koreksi defisit cairan ekstra
dan intrasel dan juga elektrolit diperbaiki
berikutnya dalam 24-72 jam.
6. Restorasi volume harus dipantau dengan
pemasangan kateter urin untuk menilai
diuresis.
7. Lakukan penilaian ulang secara lebih sering
terhadap status cairan dan elektrolit.
8. Pasang NGT dan lakukan suctioning.
9. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan:
kreatinin serum dan BUN (meningkat pada
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
OBSTRUKSI INTESTINAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR keadaan dehidrasi), leukosit (meningkat pada
keadaan infeksi), elektrolit lengkap (biasanya
abnormal), hemoglobin.
10. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
adalah fotopolos abdomen: air/fluid level.

B. Manajemen Intraoperatif
1. Pasien dengan obstruksi intestinal harus
dikelola sebagai pasien dengan lambung
penuh.
2. Lakukan induksi dengan rapid sequence
induction dengan penekanan pada krikoid atau
dengan intubasi awake.
3. Sebelum dilakukan induksi berikan
preoksigenasi dengan masker selama 3-5
menit.
4. Induksi inhalasi hanya dilakukan pada pasien
dengan status hidrasi yang baik, lokasi
obstruksi pada kolon bawah, tidak ada distensi
gaster(tidak ada muntah), dan belum
terpasang jalur intravena.
5. Induksi inhalasi dilakukan dengan memakai
sevofluran atau halotan.
6. Hindari pemakaian N2O karena akan
semakin menyebabkan distensi. Pilihan gas
yang lebih baik adalah campuran air dan
oksigen.
7. Berikan suplemen narkotik (misal: fentanil).
Tetapi hindari memberikan dosis besar pada
keadaan hemodinamik yang tidak stabil dan
pada bayi prematur yang beresiko besar
terjadinya apnoe pasca operatif.
8. Lakukan kontrol ventilasi untuk mengatasi
tekanan intra abdominal yang tinggi akibat
obstruksi dan monitoring end tidal CO2
secara ketat.
9. Pemberian cairan intravena tergantung
dari jumlah kebutuhan maintenan, defisit
cairan sebelumnya, dan kehilangan cairan ke
ruang ketiga/darah yang terjadi selama
operasi.
10. Cairan maintenan diberikan ½ NS
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
OBSTRUKSI INTESTINAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR sedangkan cairan pengganti diberikan
balanced salt solution (RL).
11. Kehilangan darah actual diganti dengan 3
ml cairan kristaloid untuk tiap 1 ml darah
yang hilang sampai dicapai maximum
allowable blood lose.
12. Lakukan pemeriksaan factor koagulasi apabila
actual blood lose melebihi estimated
blood volume.

C. Manajemen Pascaoperasi
1. Pada akhir operasi ETT tetap
dipertahankan sampai pasien benar-benar
bangun, ventilasi spontan adekuat,
temperatur inti normal, efek pelemas otot
dan obat-obatan lainnya telah benar-benar
hilang.
2. Bantuan ventilasi dan kardiovaskular
dipertimbangkan pada pasien dengan insisi
yang lebar, sepsis, kardiovaskular yang
tidak stabil, dan depresi pada sistem saraf
pusat.
3. Berikan oksigen suplemen jika pulse
oximetry < 95%
4. Pada infan prematur atau riwayat kelahiran
prematur harus dilakukan monitoring
pernapasan terhadap kemungkinan apnoe
selama 6-12 jam pasca operasi. Monitor
terhadap kemungkinan hipoglikemia pasca
operasi.
5. Transportasi pasien dilakukan dengan posisi
lateral.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/residen bedah anak
4. Dokter/residen IKA
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
TRACHEOESOPHAGEAL FISTULA (TEF)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Diagnosis, manajemen perioperatif.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
pediatri dengan kelainan TEF yang akan
menjalani tindakan pembedahan.
Tindakan pembedahan definitif ditunda sampai
pneumonia teratasi atau telah mengalami
KEBIJAKAN perbaikan dengan antibiotik. Kunci sukses
manajemen pasien TEF adalah penempatan
posisi ETT yang tepat.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Lakukan usaha untuk mencegah terjadinya
aspirasi pneumonia, yaitu dengan
memposisikan pasien dalam keadaan head-
up, hindari pemberian makan/minum,
kantung esophageal harus selalu bersih dari
sekret dengan memasang oral-esofageal
tube.
2. Lakukan chest physiotherapy
3. Berikan antibiotik
4. Gastrostomi untuk dekompresi lambung dan
pemberian nutrisi apabila operasi masih
ditunda. Gastrostomi dapat dilakukan dalam
anestesi lokal.
5. Pasien ini mempunyai kemungkinan yang
besar untuk terjadinya dehidrasi karena
asupan oral yang tidak cukup, oleh karena itu
segera lakukan rehidrasi dengan pemberian
cairan intravena.

B. Manajemen Intraoperatif
1. Tindakan pembedahan definitive ditunda
sampai pneumonia teratasi atau telah
mengalami perbaikan dengan antibiotik.
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
TRACHEOESOPHAGEAL FISTULA (TEF)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 2. Lakukan suctioning sekret faring pada
kantung esophageal secara berkala
sebelum dan selama pembedahan karena
pada pasien ini bertendensi untuk terjadi
sekresi yang banyak.
3. Pencegahan pneumonia aspirasi juga
dilakukan dengan melakukan suctioning
pada tube gastrostomi.
4. Pastikan pasien sudah dalam keadaan
euvolume.
5. Sebelum operasi dimulai pastikan sudah
terdapat persediaan darah apabila sewaktu-
waktu dibutuhkan transfusi segera.
6. Hindari memberikan ventilasi tekanan positif
sebelum dilakukan intubasi karena akan
menyebabkan distensi lambung yang akan
mengganggu pengembangan paru.
7. Intubasi dilakukan secara awake dan tanpa
pelumpuh atau dengan sedasi dan tetap
mempertahankan napas spontan untuk
menghindari distensi yang berlebihan pada
lambung sehingga meningkatkan resiko
terjadinya aspirasi dan gangguan respirasi.
8. Penggunaan pelumpuh otot untuk intubasi
dapat diberikan hanya setelah dilakukan
penilaian bahwa ventilasi yang kita berikan
secara hati-hati dapat menghasilkan
pergerakan dada yang adekuat tanpa
terjadinya distensi lambung.
9. Apabila terjadi distensi lambung pada
pasien yang telah terpasang gastrostomi
maka udara dari lambung harus dikeluarkan
dengan mengalirkan melalui tube
gastrostomi.
10. Kunci sukses manajemen pasien TEF
adalah penempatan yang tepat posisi ETT.
11. Idealnya ujung ETT harus berada di antara
fistula dan karina sehingga gas anestesi
dapat masuk ke dalam paru dan tidak ke
lambung. Untuk itu dapat dilakukan dengan
memasukkan ujung ETT ke dalam salah
satu bronkus, kemudian sambil dilakukan
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
TRACHEOESOPHAGEAL FISTULA (TEF)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR auskultasi dilakukan penarikan ETT.
Penarikan ETT dihentikan apabila bunyi
suara kedua paru telah sama yang
menandakan ujung ETT telah berada di
atas karina.
12. Lakukan pemasangan stetoskop prekordial.
13. Penurunan saturasi oksigen dapat merupakan
indikasi bahwa terjadi retraksi pada bagian
paru dan memerlukan tindakanuntuk re-
ekspansi.
14. Retraksi selama pembedahan juga dapat
menimbulkan penekanan pada pembuluh
darah besar, trakea, jantung, dan nervus
vagus yang ditandai dengan hipotensi dan
bradikardia. Lakukan monitoring tekanan
darah secara kontinyu dengan arterial line.
15. Padasaat menentukan fraksi oksigen yang
akan diberikan harus dipertimbangkan
adanya resiko terjadinya retinopathy of
prematurity (ROP).

C. Manajemen Pascaoperasi
1. Pertimbangkan untuk dilakukan ventilasi
pasca operasi pada pasien dengan
pneumoni aspirasi sebelumnya, atau
apabila pada anastomosis yang dilakukan
terjadi tension.
2. Berkurangnya kartilago trakea dapat
menyebabkan kolaps pada trakea setelah
dilakukan ekstubasi.
3. Hindari ekstensi pada leher dan tindakan
instrumentasi esophagus (misal: suctioning)
karena dapat menimbulkan kerusakan
daerah operasi.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/residen bedah anak
4. Dokter/residen IKA
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
GASTROSCHISIS dan OMPHALOCELE
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Gastroschisis dan Omphalocele merupakan
kelainan kongenital yang ditandai dengan defek
PENGERTIAN pada dinding abdomen sehingga terjadi herniasi
eksternal organ viscera.

Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk


pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
pediatri dengan kelainan gastroskisis yang akan
menjalani tindakan pembedahan.
Manajemen perioperatif difokuskan pada
KEBIJAKAN pencegahan terjadinya hipotermia, infeksi, dan
dehidrasi.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Manajemen preoperatif difokuskan pada
pencegahan terjadinya hipotermia, infeksi,
dan dehidrasi.
2. Lakukan dekompresi lambung dengan
memasang NGT.
3. Lakukan penilaian terhadap status hidrasi
dan elektrolit dan segera lakukan koreksi bila
belum optimal.
4. Terapi apabila terjadi infeksi, terutama pada
gastroschisis yang mempunyai resiko
infeksi yang lebih besar.
5. Cegah terjadinya hipotermia dengan
memberikan penghangat. Pasien dengan
gastroschisis dan omphalocele mempunyai
tendensi untuk kehilangan panas tubuh
melalui evaporasi.

B. Manajemen Intraoperatif.
1. Lakukan dekompresi melalui NGT sebelum
induksi.
2. Intubasi dapat dilakukan dengan pasien dalam
keadaan awake atau tidur, baik dengan
pelemas otot atau tidak.
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
GASTROSCHISIS dan OMPHALOCELE
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 3. Hindari penggunaan N20 untuk mencegah
distensi lebih lanjut pada usus.
4. Pemberian pelemas otot diperlukan saat
memasukkan usus ke dalam rongga
abdomen.
5. Penutupan satu tahap (perbaikan primer)
tidak selalu dianjurkan karena dapat
menyebabkan sindrom kompartemen
abdominal, sehingga dilakukan
pemasangan silastic silo untuk
meregangkan kulit dinding abdomen selama
beberapa hari kemudian dilakukan
penutupan secara komplit.
6. Penutupan primer yang menyebabkan
dinding abdomen menjadi tegang akan
menimbulkan kompresi aortokaval,
hipotensi berat, mengganggu aliran balik
vena dan menyebakan edema pada tubuh
bagian bawah.
7. Apabila terjadi sindrom kompartemen
abdomen, harus dilakukan pembukaan
kembali dinding abdomen yang telah
ditutup, kemudian berikan hidrasi yang
agresif dan inotropik.
8. Kriteria untuk menilai tekanan abdomen
yang aman untuk dilakukan penutupan,
adalah sebagai berikut:
a. Tekanan intragaster < 20 cmH2O
b. Tekanan intravesika < 20 cmH2O
c. End tidal CO2 < 50 mmHg
d. Peak inspiratory pressure < 35 cmH2O

C. Manajemen Pascaoperasi
1. Pasca operasi pasien dipertahankan tetap
dalam keadaan terintubasi.
2. Penyapihan dari ventilator dilakukan 1-2 hari
berikutnya.
3. 3. Cegah terjadinya hipotermi, dehidrasi, dan
infeksi.
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
GASTROSCHISIS dan OMPHALOCELE
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/residen bedah anak
4. Dokter/residen IKA
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
HERNIA DIAFRAGMA KONGENITAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Hernia diafragma kongengital terjadi karena
kegagalan penutupan diafragma pada masa
perkembangan fetus yang mengakibatkan
herniasi isi abdomen ke dalam toraks. Usus yang
PENGERTIAN
mengalami herniasi kedalam toraks akan
memberikan efek seperti space occupying lesion
dan menghambat perkembangan normal dari
paru.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi' pada pasien
TUJUAN
pediatri dengan penyakit sirosis hepatis yang
akan menjalani tindakan pembedahan.
Manajemen inisial yang harus dilakukan adalah
KEBIJAKAN melakukan stabilisasi pasien sebelum melakukan
prosedur koreksi.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
Manajemen inisial yang harus dilakukan adalah
melakukan stabilisasi pasien sebelum
melakukan prosedur koreksi. Manajemen yang
dilakukan adalah:
1. Lakukan dekompresi lambung dengan
memasang NGT
2. Posisikan pasien semi-recumbent dengan
bagian yang mengalami hernia pada sisi
bawah
3. Amankan jalan nafas untuk menjaga
keadaan tetap normokarbia. Lakukan
intubasi apabila terdapat depresi pernafasan
berat
4. Jangan lakukan ventilasi dengan masker,
hal ini akan menyebabkan lambung menjadi
distensi dan semakin mengganggu jalan
nafas. Lakukan intubasi dalam keadaan
awake.
5. Lakukan stabilisasi segera dengan sedasi,
paralisis dan hiperventilasi moderat
6. Apabila keadaan bayi memburuk dengan
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
HERNIA DIAFRAGMA KONGENITAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR PaCo2 yang tinggi, maka usahakan untuk
menurunkan PaCO2 < 40 mmHg. Hal ini akan
menurunkan PVR dan meningkatkan
oksigenasi.
7. Saat memberikan ventilasi harus selalu
diperhatikan untuk menghindari tekanan
inspirasi yang tinggi karena dapat
menyebabkan barotrauma.
8. Ventilasi dan oksigenisasi dapat dilakukan
dengan High Frequency Oscillatory Ventilation
(HFOV) dengan resiko barotrauma yang lebih
kecil.
9. Nitric oxide dapat diberikan untuk menurunkan
tekanan arteri pulmonal.
10. Jaga suhu pasien tetap normotermi.
11. Lakukan monitoring dan koreksi terhadap AGD
dan elektrolit. Hindari keadaan asidosis dan
hiperkarbia. Keadaan alkalosis dapat
memperbaiki aliran darah paru.
12. Tindakan pembedahan dini dapat dilakukan
apabila hipertensi pulmonal stabil dan shunting
dari kanan-kiri hanya sedikit.
13. Jika pasien gagal untuk distabilkan maka
stabilisasi dilakukan dengan extracorporeal
membrane oxygenation (ECMO), namun
fasilitas ini belum tersedia di RSHS.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Lakukan dekompresi lambung dengan
memasang NGT.
2. Posisikan pasien semi-recumbent dengan
bagian yang mengalami hernia pada sisi
bawah.
3. Lakukan preoksigenasi sebelum induksi.
4. Lakukan intubasi secara awake atau tanpa
bantuan pelemas otot.
5. Rumatan anestesi diberikan dengan volatile
konsentrasi rendah atau opioid, pelemas otot,
dan air sesuai dengan toleransi pasien.
6. Analgesi harus diberikan secara adekuat untuk
menumpulkan stress response sehingga
meminimalkan peningkatan PVR yang
mendadak dengan akibat shunting dari
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
HERNIA DIAFRAGMA KONGENITAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
kanan ke kiri.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/residen bedah anak
4. Dokter/residen IKA
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
PREMATUR
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/2
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Prematuritas didefinisikan sebagai kelahiran pada
usia kehamilan < 37 minggu. Keadaan ini harus
PENGERTIAN dibedakan dengan "small for gestational age"
dimana berat badan infant (cukup bulan atau
prematur) yang kurang dari fifth percentile.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
pediatri dengan prematuritas yang akan menjalani
tindakan pembedahan.
Perhatian khusus pengelolaan infant prematur
KEBIJAKAN dititikberatkan terhadap kontrol jalan nafas,
manajemen cairan, dan regulasi suhu tubuh
PROSEDUR A. Konsiderasi Anestesi
1. Perhatian khusus pengelolaan infant
premature dititikberatkan terhadap kontrol jalan
nafas, manajemen cairan, dan regulasi suhu
tubuh.
2. Resiko terjadinya retinopathy of prematurity
(ROP) akibat keadaan hiperoksia yang dapat
menyebabkan kebutaan.
3. Hindari pemberian oksigen dengan konsentrasi
tinggi karena dapat menyebabkan kebutaan.
Hal ini dapat dihindari dengan memakai
campuran oksigen dengan udara atau N20.
4. ROP diduga lebih diakibatkan oleh pemberian
oksigen dengan kadar yang fluktuatif
dibandingkan dengan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi.
5. Oksigenasi harus terus dimonitor secara
kontinyu dengan pulse oximetry terutama pada
infant dengan usia<44 minggu post konsepsi.
6. PaO2 normal pada neonates adalah 60-80
mmHg.
7. Kebutuhan anestetik pada neonates premature
akan berkurang.
8. Pemberian opioid agonis lebih disukai
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRIK:
PREMATUR
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 2/2
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR dibandingkan dengan volatile anestesi
dikarenakan efeknya bertendensi untuk
menimbulkan depresi miokardial.
9. Lakukan kontrol ventilasi dengan pelemas
otot.
10. Monitoring dilakukan dengan pulse oximetry,
EKG, NIBP, temperatur, kapnograf, dan
stetoskop prekordial.
11. Infant prematur dengan usia<50 minggu post
konsepsi mempunyai resiko yang sangat
besar untuk terjadinya apnoe yang bersifat
obstruktif maupun sentral selama 24 jam
12. Resiko lain untuk terjadinya apnoe pasca
anestesi adalah; anemia (ht<30%), hipotermi,
sepsis, dan kelainan neurologis.
13. Resiko apnoe pasca anestesi dapat dikurangi
dengan memberikan kafein 10 mg/kg atau
aminofilin.
14. Operasi elektif atau ODS harus ditunda sampai
usia infan minimal mencapai 50 minggu post
konsepsi.
15. Infant dengan usia 50-60 minggu post
konsepsi yang menjalani operasi harus di
monitor di PACU paling tidak selama 2 jam.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/residen bedah anak
4. Dokter/residen IKA
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
TETRALOGY OF FALLOT (TOF) PADA
PEMBEDAHAN NON KARDIAK
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/4
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Tetralogy of fallot merupakan kelainan kongengital
pada jantung yang terdiri atas: Ventricular septal
defect (VSD) yang berukuran besar, obstruksi aliran
darah ventrikel kanan (subvalvular, valvular,
PENGERTIAN
supravalvular, cabang arteri pulmonalis),
overriding aorta (kelainan posisi aorta sehingga
aorta menerima darah dari kedua ventrikel), dan
hipertropi ventrikel kanan.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
pediatri dengan TOF yang akan menjalani
tindakan pembedahan non kardiak.
Tujuan utama saat induksi adalah mencapai level
KEBIJAKAN anesthesia yang diperlukan untuk mencegah
meningkatnya shunt dari kanan-kiri.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Anamnesa riwayat hypercyanotic spell
(frekuensi serangan, beratnya serangan, dan
terapinya) dan riwayat terjadinya gagal
jantung.
2. Derajat berat ringannya penyakit jantung ini
dapat dilihat dari berat badan pasien,
pertumbuhan dan perkembangan, serta level
aktivitas pasien.
3. Hematokrit biasanya terjadi meningkat pada
pasien-pasien yang sianotik. Untuk mencegah
terjadinya komplikasi akibat polisitemia dapat
dilakukan plebotomi intraoperatif.
4. Jangan puasakan pasien terlalu lama untuk
menghindari keadaan dehidrasi atau lakukan
pemasangan jalur intravena sebelum pasien
dibawa ke kamar operasi.
5. Pada saat pemasangan jalur intravena hindari
adanya gelembung udara karena dapat
menyebabkan emboli udara sistemik.
6. Premedikasi oral direkomendasikan pada
PROSEDUR ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
TETRALOGY OF FALLOT (TOF) PADA
PEMBEDAHAN NON KARDIAK
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 2/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR anak-anak dengan riwayat hipersianotik.
Untuk anak>9 bulan dapat diberikan
midazolam 0,5-1 mg/kg per oral 10-20 menit
sebelum induksi, atau pentobarbital 2-4 mg/kg
45 menit sebelum induksi. Hindari pemberian
premedikasi secara intramuscular karena
dapat memicuhi persianotik spell.
7. Terapi propanolol 5-10 mcg/kg harus tetap
dilanjutkan sampai pada saat menjelang
operasi.
8. Manajemen Intraoperatif
9. Tujuan utama saat induksi adalah mencapai
level anesthesia yang diperlukan untuk
mencegah meningkatnya shunt dari kanan-kiri.
10. Stres pada saat induksi akan memicu
timbulnya hypercyanotic spell. Oleh karena itu
sasaran kita pada saat induksi adalah:
a. Menjaga SVR; hindari pemberian obat-
obatan yang menurunkan SVR dan lakukan
penatalaksanaan bila terjadi penurunan
tekanan darah dengan memberikan
vasokonstriktor.
b. Turunkan PVR untuk menjaga atau
meningkatkan aliran darah paru. Keadaan
yang dapat meningkatkan PVR adalah:
hiperkarbia, hipoksia, anestesi yang
dangkal, atelektasis, polisitemia, dan
asidosis. Sedangkan keadaan yang
menurunkan PVR adalah: hipokarbia,
anemia, alkalosis, oksigen konsentrasi
tinggi, dan anestesi yang dalam. PVR juga
dapat diturunkan dengan memakai obat-
obatan seperti: nitrogliserin, sodium
nitroprusid, pentolamin, tolazolin,
prostaglandin E1, atau nitric oksida
inhalasi.
c. Keadaan depresi myocardial ringan dan
euvolemia akan membantu mencegah atau
membatasi serangan hypercyanotic spell.
Semua volatile anesthesia menimbulkan
depresi miokardial terutama halotan.
PROSEDUR ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
TETRALOGY OF FALLOT (TOF) PADA
PEMBEDAHAN NON KARDIAK
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR d. Denyut jantung yang lambat akan
menurunkan kejadian spasme
infundibular.
11. Bila jalur intravena sudah terpasang induksi
dapat dilakukan dengan memberikan ketamin
1-2 mg/kg i.v. Ketamin akan meningkatkan
SVR dan meningkatkan aliran darah pulmoner
sehingga akan menurunkan derajat shunting.
12. Bila jalur intravena belum terpasang dapat
diberikan ketamin intramuskular 3-4 mg/kg,
terutama pada anak-anak yang akan
mengalami ketakutan bila diberikan inhalasi.
13. Induksi inhalasi dapat dilakukan pada pasien -
pasien yang tidak begitu sianosis (pink tet).
Efek inotropik negative halotan sangat
menguntungkan untuk mencegah dan
mengatasi spasme infundibular, disamping itu
halotan juga dapat menjaga SVR dibandingkan
volatile lainnya.
14. Intubasi dilakukan dengan fasilitas pelemas
otot vekuronium atau pankuronium 0,1-0,2
mg/kg. Hindari pemakaian pelemas otot yang
bersifat melepaskan histamin.
15. Maintenan anestesi dapat diberikan dengan
ketamin dikombinasikan dengan N20 untuk
tetap menjaga SVR. Namun pemakaian N20
mempunyai kerugian karena dapat
meningkatkan PVR dan mengurangi
konsentrasi oksigen yang diberikan. Untuk itu
pemakaian N2O dibatasi maksimal 50%.
16. Maintenan juga dapat dilakukan dengan
volatile, opioid ,oksigen murni atau oksigen
dengan udara. Hal ini tergantung derajat
sianosisnya.
17. Lakukan ventilasi kontrol dengan tidak
memberikan tekanan positif yang terlalu besar
karena dapat menurunkan aliran darah paru.
18. Hindari hipovolemia intraoperatif karena akan
meningkatkan shunt dari kanan-kiri. Obat a-
adrenergik agonis harus tersedia untuk
mengatasi penurunan tekanan darah yang
diakibatkan oleh penurunan SVR.
PROSEDUR ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
TETRALOGY OF FALLOT (TOF) PADA
PEMBEDAHAN NON KARDIAK
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 19. Bila terjadi hypercyanotic spell intraoperatif
lakukan penatalaksanaan dengan
mendalamkan anestesi, hiperventilasi dengan
oksigen 100%, berikan cairan intravena,
naikkan SVR dengan fenileprin 5 mcg/kg, dan
turunkan spasme infundibular dengan ß-
blocker.
20. Pemberian sodium bikarbonat untuk
mengkoreksi gangguan asam basa dapat
dilakukan pada keadaan hipoksemia berat
yang memanjang.
21. Monitoring standar: EKG, pulse oximetry,
NIBP, etCO2, temperature rektallesophageal,
dieresis, stetoskop prekordial.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/residen bedah anak
4. Dokter/residen IKA
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
VENTRIKEL SEPTAL DEFECT (VSD)
PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/2
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
VSD merupakan kelainan kongenital jantung yang
paling sering terjadi pada infant dan anak-anak.
Sebagian besar VSD akan menutup secara
spontan saat anak mencapai usia 2 tahun. Secara
anatomis lokasi VSD yang paling sering adalah
PENGERTIAN pada daerah membrane dari septum
intraventrikular (70%), 20% pada daerah muskular
septum, 5% di bawah katup aorta sehingga
menyebabkan regurgitasi aorta, dan 5% terdapat di
dekat persambungan antara katup mitral dan
trikuspid.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
pediatri dengan VSD yang akan menjalani
tindakan pembedahan non kardiak.
Bila fungsi miokardial masih baik maka induksi
dapat dilakukan dengan anestesi inhalasi maupun
KEBIJAKAN dengan anestesi intravena. Tetapi apabila fungsi
ventrikel kiri tidak begitu baik maka ketamin/opioid
adalah pilihan yang lebih baik
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Pemberian premedikasi tergantung dari derajat
disfungsi ventrikel.
2. Berikan antibiotic profilaksis untuk mencegah
terjadinya endokarditis infektif.
3. Hindari adanya gelembung udara dalam jalur
intravena karena dapat menyebabkan emboli
udara.

B. Manajemen Intraoperatif
1. Farmakokinetik dan farmakodinamik obat-
obatan anestesi intravena dan inhalasi tidak
berubah secara signifikan.
2. Peningkatan SVR secara akut dan persisten
serta penurunan PVR harus dihindari karena
akan memperbesar aliran shunting dari kiri
PROSEDUR ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
VENTRIKEL SEPTAL DEFECT (VSD)
PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 2/2
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR kanan, oleh karena itu pemakaian anestestik
volatile yang dapat menyebabkan penurunan
SVR serta pemberian ventilasi tekanan positif
yang dapat menyebabkan peningkatan PVR
dapat ditoleransi dengan baik pada pasien
VSD.
3. Bila fungsi miokardial masih baik maka induksi
dapat dilakukan dengan anestesi inhalasi
maupun anestesi intravena. Tetapi apabila
fungsi ventrikel kiri tidak begitu baik maka
ketamin/opioid adalah pilihan yang lebih baik.
4. Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk
mengurangi shunt dari kiri-kanan:
a. Ventilasi tekanan positif, meningkatkan
PVR sehingga mengurangi aliran darah
pulmoner.
b. Oksigen konsentrasi rendah; Oksigen
bersifat sebagai vasodilator pulmoner,
sehingga dengan mengurangi FiO2
diharapkan dapat mengurangi aliran darah
paru.
c. N20; membantu mengurangi konsentrasi
oksigen.
d. Agen inhalasi; mengurangi SVR dan
meningkatkan aliran darah sistemik.
e. Opioid; membantu memblok respon
terhadap stres.
f. Ketamin; akan meningkatkan shunt dari
kiri-kanan.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah anak
4. Dokter/residen IKA
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDURANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD) PADA
PEMBEDAHAN NON KARDIAK
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/2
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Berdasarkan lokasi, ASD terdiri atas 3 tipe yaitu:
1. Defek sekundum: lokasi pada daerah mid
atrium pada sisi foramen ovale.
2. Defek primum: lokasinya berdekatan dengan
katup atrioventrikular yang diakibatkan oleh
defek endocardial cushion.
3. Defek sinus venosus: pada cavoatrial junction
PENGERTIAN
Hampir 75% ASD merupakan tipe sekundum.
Pada tiap-tiap tipe ASD biasanya memiliki
kelainan jantung tambahan yang berbeda. Prolaps
katup mitral sering terjadi pada tipe sekundum
dan regurgitasi terjadi akibat adanya celah pada
bagian anterior katup mitral sering terjadi pada
ASD tipe primum.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
pediatri dengan ASD yang akan menjalani tindakan
pembedahan non kardiak.
Intervensi yang dapat meningkatkan tekanan atrial
KEBIJAKAN kanan melebihi atrial kiri dapat menyebabkan
aliran shunt berubah arah.
PROSEDUR Konsiderasi Anestesi
1. Hindari masuknya gelembung udara ke aliran
darah sistemik melalui jalur intravena.
2. Premedikasi dapat diberikan pada pasien ASD
yang asimptomatik.
3. Shunt yang dominan pada ASD adalah dari kiri-
kanan.
4. Shunt dari kiri-kanan pada ASD hanya
memberikan sedikit implikasi pada manajemen
anestesi yang akan diberikan.
5. Intervensi yang dapat meningkatkan tekanan atrial
kanan melebihi atrial kini seperti pemberian
ventilasi tekanan positif yang terlalu besar dan
valsava manufer (batuk) dapat menyebabkan
aliran shunt berubah arah.
PROSEDURANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD) PADA
PEMBEDAHAN NON KARDIAK
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 2/2
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 6. Keadaan hiperkarbia dan hipoksemia juga dapat
secara cepat merubah arah shunt.
7. Penggunaan FiO2 konsentrasi tinggi akan
menurunkan PVR sehingga meningkatkan aliran
darah paru dan shunt dari kiri-kanan.
8. Sebaliknya penurunan SVR akibat pemakaian
anestesi volatile atau peningkatan PVR karena
pemberian ventilasi tekanan positif pada paru,
bertendensi untuk menurunkan besarnya shunt
dari kiri-kanan.
9. Berikan antibiotik profilaksis bila ASD disertai
dengan kelainan katup.
10. Monitoring standar: EKG, pulse oximetry, NIBP,
etCO2, temperatur rektal/ esophageal, dieresis,
stetoskop precordial.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah anak
4. Dokter/residen IKA
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
PATENT DUCTUS ARTERIOSUS (PDA)
PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/2
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PDA terjadi karena kegagalan pada penutupan
duktus arteriosus. Duktus arteriosus berasal dari
PENGERTIAN bagian distal arteri subclavia kiri dan
menghubungkan aorta descending dengan arteri
pulmonal kiri.
Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan
anestesi pada pasien pediatri dengan PDA yang
TUJUAN
akan menjalani tindakan pembedahan non
kardiak.
Peningkatan SVR atau penurunan PVR harus
KEBIJAKAN dihindari karena akan meningkatkan besarnya
shunt dari kiri-kanan.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Pemberian premedikasi tergantung dari derajat
disfungsi ventrikel.
2. Berikan antibiotik profilaksis untuk mencegah
terjadinya endokarditis infektif.
3. Hindari adanya gelembung udara dalam jalur
intravena karena dapat menyebabkan emboli
udara.

B. Manajemen Intraoperatif
1. Penurunan SVR akibat pemakaian volatile
anestesi akan meningkatkan aliran darah
sistemik dengan menurunkan shunt dari kiri-
kanan.
2. Pemberian ventilasi tekanan positif juga
dapat ditoleransi dengan baik, karena
penignkatan pada tekanan arteri pulmonal
akan menurunkan perbedaan tekanan pada
PDA.
3. Peningkatan SVR atau penurunan PVR harus
dihindari karena akan meningkatkan besarnya
shunt dari kiri-kanan.
PROSEDUR ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
PATENT DUCTUS ARTERIOSUS (PDA)
PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 2/2
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 4. Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk
mengurangi shunt dari kiri-kanan:
a. Ventilasi tekanan positif, meningkatkan
PVR sehingga mengurangi aliran darah
pulmoner,
b. Oksigen konsentrasi rendah; Oksigen
bersifat sebagal vasodilator pulmoner,
sehingga dengan mengurangi FiO2
diharapkan dapat mengurangi aliran darah
paru.
c. N20; membantu mengurangi konsentrasi
oksigen.
d. Agen inhalasi; mengurangi SVR dan
meningkatkan aliran darah sistemik.
e. Opioid; membantu memblok respon
terhadap stres.
f. Ketamin; akan meningkatkan shunt dari
kiri-kanan.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah anak
4. Dokter/residen IKA
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRI:
ANESTESI PADA PEDIATRI:
MALROTASI INTESTINAL DAN VOLVULUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/2
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Malrotasi intestinal merupakan suatu abnormalitas
perkembangan saluran cerna dimana terjadi rotasi
spontan yang abnormal di daerah midgut di
PENGERTIAN
sekitar mesenterium. Mayoritas malrotasi terjadi
pada periode infansi dengan gejala-gejala
obstuksi saluran cerna akut maupun kronis.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
pediatri yang akan menjalani tindakan
pembedahan malrotasi intestinal dan volvulus.
Stabilisasi dari keadaan pasien, pemasangan pipa
KEBIJAKAN nasogastrik untuk dekompresi, antibiotik,
penggantian cairan dan elektrolit.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Bila terdapat tanda-tanda obstruksi tetapi
belum terjadi volvulus maka harus dilakukan
stabilisasi keadaan pasien terlebih dahulu.
2. Dekompresi abdomen dengan pemasangan
NGT atau OGT.
3. Lakukan rehidrasi dengan memberikan terapi
cairan dan koreksi gangguan elektrolit.
4. Berikan antibiotik spektrum luas.
5. Hindari hipotermia, berikan selimut
penghangat.

B. Manajemen Intraoperatif
1. Pasien ini mempunyai resiko yang tinggi untuk
terjadinya aspirasi paru selama induksi, oleh
karena itu sebaiknya intubasi dilakukan dalam
keadaan awake atau dengan teknik rapid
sequence induction.
2. Pasien dengan volvulus biasanya berada
dalam keadaan hipovolemik dan asidosis
sehingga mempunyai toleransi yang rendah
terhadap zat anestetik.
PROSEDUR ANESTESI PADA PEDIATRI:
ANESTESI PADA PEDIATRI:
MALROTASI INTESTINAL DAN VOLVULUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 2/2
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 3. Dalam keadaan tersebut maka ketamine
merupakan obat pilihan.
4. Pemeliharaan anestesi dapat dilakukan
dengan volatile konsentrasi rendah atau
opioid.
5. Perhatikan kemungkinan terjadinya edema
terhadap usus. Edema pada usus dapat
menyulitkan saat dilakukan penutupan
dinding abdomen dan dapat mengakibatkan
sindroma kompartemen abdomen.
6. Sindrom kompartemen abdomen akan
mengakibatkan gangguan ventilasi, gangguan
aliran balik vena, dan gangguan fungsi renal.
Pada keadaan ini harus dilakukan penutupan
sementara dinding abdomen dengan silastic
silo selama 24-48 jam.
7. Monitoring: pulse oksimetri, stetoskop
prekordial, EKG, tensimeter, temperatur.

C. Manajemen Pasca Operatif

1. Pasca bedah: pastikan pasien tidak


kedinginan & cukup hangat.
2. Bila masuk NICU/ PICU untuk dilakukan
ventilasi suportif dan lain-lain, maka transfer
pasien dilakukan dengan memakai kotak
penghangat yang dilengkapi oksigen dan
didampingi oleh dokter anestesi (residen yang
bertanggung jawab atas pasien yang
bersangkutan).

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah anak
4. Dokter/residen IKA
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PANDUAN
ANESTESI PADA
PASIEN ORTOPEDI
PROSEDUR ANESTESI :
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI
ORTOPEDI
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/7
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Konsiderasi pada pemakaian bone cement, tornikuet
pneumatik Deep Vein Thrombosis (DVT),
PENGERTIAN
tromboemboli. dan emboli lemak pada kasus
ortopedi.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien yang
akan menjalani tindakan pembedahan ortopedi.
Kenali faktor resiko dan lakukan tindakan
KEBIJAKAN
pencegahan.
PROSEDUR A. Bone Cement
1. Bone cement (polimetilmetakrilat) sering kali
dipergunakan pada prosedur artroplasti sendi
untuk melekatkan protesa dengan tulang.
2. Campuran serbuk polimer polimetakrilat
dengan cairan monomer metilmetakrilat akan
menyebabkan proses polimerisasi yang
merupakan reaksi eksotermik.
3. Reaksi eksotermik diikuti dengan proses
pengerasan semen dan ekspansi semen ke
komponen protesa akan mengakibatkan
terjadinya hipertensi intramedular (>500
mmHg) sehingga dapat menimbulkan
embolisasi lemak, sumsum tulang, semen dan
udara ke dalam celah-celah vena femoral.
4. Residu monomer metakrilat dapat
menyebabkan vasodilatasi dan penurunan
SVR.
5. Pelepasan tromboplastin dari jaringan dapat
mencetuskan agregasi trombosit,
pembentukan mikrotrombus di paru, dan
instabilitas kardiovaskular akibat dari substansi
vasoaktif yang beredar di sirkulasi.
6. Manifestasi klinis bone cement implantation
syndrome': hipoksia (akibat peningkatan
shunt pulmoner), hipotensi, disritmia,
PROSEDUR ANESTESI :
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI
ORTOPEDI
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 2/7
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
hipertensi pulmoner (peningkatan PVR), dan
penurunan cardiac output.
7. Emboli paling sering terjadi selama insersi
protesa femoral.
8. Untuk meminimalisir komplikasi akibat bone
cement terdapat beberapa usaha yang kita
lakukan, yaitu:
a. Meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi
sebelum pemasangan semen.
b. Pertahankan selalu keadaan euvolemia
c. Membuat lubang (vent hole) pada bagian
distal femur untuk menyalurkan tekanan
intramedular sehingga tidak terlalu tinggi.
d. Lakukan lavase dengan tekanan tinggi
pada femoral shaft untuk menghilangkan
sel-sel debris yang berpotensi
menimbulkan mikroemboli.

B. Tornikuet Pneumatik
1. Pemakaian tornikuet pneumatik pada
ekstremitas atas maupun bawah dipergunakan
untuk memfasilitasi daerah operasi dengan
menurunkan aliran aliran darah ke ekstremitas
tersebut.
2. Permasalahan yang dapat ditimbulkan akibat
pemakaian tornikuet pneumatik:
a. Perubahan hemodinamik
b. Nyeri
c. Perubahan metabolik
d. Tromboemboli arterial
e. Emboli paru
3. Tekanan inflasi yang diberikan kira-kira 100
mmHg di atas tekanan darah sistolik.
4. Inflasi yang telalu lama (> 2 jam) secara terus-
menerus dapat mengakibatkan disfungsi otot,
cedera saraf perifer yang permanen, bahkan
rhabdomiolisis.
5. Inflasi tornikuet pada pasien-pasien pediatrik
dapat mengakibatkan peningkatan suhu
tubuh.
6. Nyeri tornikuet selama operasi dengan teknik
PROSEDUR ANESTESI :
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI
ORTOPEDI
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 3/7
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR anestesi umum dapat dimar dengan
peningkatan secara gradual dari MAP
(mean arterial blood pressure) kira-kira setelah
45 menit - 1 jam setelah inflasi.
7. Tanda terjadinya aktivasi simpatis yang
progresif adalah: hipertensi, takikardia, dan
diaphoresis.
8. Kemungkinan terjadinya nyeri tornikuet
tergantung dari banyak faktor diantaranya
adalah tergantung dari teknik anestesi yang
kita pilih (anestesi regional intravena >
epidural > spinal > anestesi umum), intensitas
dan level blok anestesi regional, pilihan obat
anestesi lokal (spinal dengan tetrakain
hiperbarik > bupivakain hiperbarik), dan
suplementasi blok dengan opioid.
9. Sensasi nyeri tornikuet dan keadaan hipertensi
dapat segera hilang dengan melakukan deflasi
dari tornikuet.
10. Pada saat deflasi dari tornikuet dapat terjadi
penurunan signifikan dari CVP dan tekanan
darah arterial, laju nadi meningkat, temperatur
inti menurun, akumulasi zat-zat metabolit pada
daerah ekstremitas yang mengalami iskemik
akan meningkatkan PaCO2, ETCO2, laktat
serum, dan kadar kalium.
11. Perubahan metabolik ini akan meningkatkan
ventilasi semenit pada pasien yang tetap
bernapas spontan, dan kadang dapat
menimbulkan disritmia.
12. Deflasi dari tornikuet dapat menyebabkan
‘reperfusion injury' akibat terbentuknya lipid
peroksida saat terjadi reoksigenasi aliran
darah yang semakin memperburuk trauma
jaringan iskemik.
13. Reperfusion injury dapat semakin berat akibat
pemakaian propofol yang menghambat
pembentukan superoksida.
14. Iskemik pada ekstremitas bawah akibat
pemakaian tornikuet dapat menyebabkan
pembentukan thrombosis vena dalam (DVT/
PROSEDUR ANESTESI :
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI
ORTOPEDI
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 4/7
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR deep vein thrombosis).
15. Pemakaian tornikuet dikontraindikasikan
pada pasien dengan penyakit kalsifikasi
arterial.

C. Sindrom Emboli Lemak


1. Emboli lemak dapat terjadi pada semua kasus
fraktur tulang panjang.
2. Sindrom emboli lemak dapat terjadi dalam
waktu 72 jam setelah terjadi fraktur pada
tulang panjang atau pelvis, dengan gejala,
triad: dispnoe, konfusi, dan petechie.
3. Emboli lemak terjadi karena masuknya
globulus-globulus lemak yang dilepaskan
oleh sel-sel lemak ke dalam tulang yang
mengalami fraktur dan kemudian
memasuki sirkulasi melalui pembuluh darah
medular.
4. Manifestasi neurologis (agitasi, konfusi, stupor,
koma) kemungkinan dapat memberikan
gambaran bahwa telah terjadi kerusakan
kapiler pada sirkulasi serebral, edema
serebral, dan dapat mengalami eksaserbasi
akibat keadaan hipoksia.
5. Diagnosis sindrom emboli lemak dapat
ditegakkan dengan adanya petechie di daerah
dada, ekstremitas atas, aksila, dan
konjungtiva. Globulus lemak dapat dijumpai
pada retina, urin, atau sputum.
6. Abnormalitas faktor koagulasi seperti
trombositopenia atau pemanjangan waktu
pembekuan darah sering kali terjadi.
7. Gambaran paru didapatkan mulai dari
gambaran hipoksia ringan dengan foto
ronsen normal sampai dengan hipoksia berat
dengan gambaran ronsen berupa bercak
infiltrat yang difus.
8. Tanda adanya fat embolism syndrome selama
anestesi umum yaitu: penurunan EtCO2,
penurunan saturasi oksigen, atau peningkatan
tekanan arteri pulmonal. Pada gambaran EKG
PROSEDUR ANESTESI :
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI
ORTOPEDI
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 5/7
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR didapatkan tanda iskemik pada segmen ST.
9. Profilaksia emboli lemak dapat
dilakukan dengan stabilisasi dini pada daerah
fraktur.
10. Penatalaksanaan sindrom emboli lemak
adalah dengan terapi suportif, yaitu
dengan dengan memberikan terapi oksigen
dengan memberikan ventilasi dengan
CPAP Pemberian kortikosteroid dosis
tinggi mungkin dapat memberikan
keuntungan, terutama pada kasus dengan
edema serebral.

D. Deep Vein Thrombosis (DVT) & Tromboemboli


1. DVT dan Emboli paru merupakan penyebab
tersering terjadinya mortalitas dan morbiditas
pada operasi ortopedi daerah pelvis dan
ekstremitas bawah.
2. Faktor resiko terjadinya DVT dan emboli paru
adalah sebagai berikut:
a. Obesitas
b. Umur > 60 tahun
c. Lama operasi > 30 menit
d. Penggunaan tornikuet
e. Fraktur ekstremitas bawah
f. Immobilisasi > 4 hari
g. Faktor resiko tertinggi adalah pasien yang
menjalani prosedur operasi hip surgery dan
rekonstruksi lutut (angka kejadian DVT
sekitar 50%, emboli paru 20%).
3. Patofisiologi utama terjadinya DVT dan
emboli adalah terjadinya stasis vena dan
keadaan hiperkogulabel akibat proses
inflamasi sistemik dan lokal sebagai respon
terhadap operasi.
4. Tindakan profilaktik yang dapat dilakukan
untuk mencegah DVT dan emboli adalah
dengan pemberian antikoagulan dan
penggunaan kompresi pneumatik yang
intermiten (Intermetten Pneumatic
Compression/ IPC).
PROSEDUR ANESTESI :
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI
ORTOPEDI
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 6/7
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 5. Pada pasien dengan resiko tinggi dengan
resiko tinggi diberikan dosis rendah heparin
5000 u tiap 8 jam atau warfarin/ low dose
molecular weight heparin (LMWH), serta
pemakaian IPC
6. Pemberian antikoagulan pada pasien idak
tergolong resiko tinggi dapat dimulai dalam
beberapa jam setelah operasi untuk
mengurangi resiko perdarahan saat operasi.
7. Pemilihan teknik regional anestesi dapat
mengurangi resiko komplikasi tromboemboli.
8. Berkurangnya resiko tromboemboli pada
pemakaian teknik regional anestesi terjadi
melalui beberapa mekanisme, yaitu:
a. Simpatektomi; meningkatkan aliran darah
vena pada ekstremitas inferior
b. Efek anti-inflamasi sistemik dari local
anestesi
c. Penurunan reaktivitas platelet
d. Menekan peningkatan faktor VIII dan
factor von Willebrand pascaoperasi
e. Menekan penurunan antitrombin III
9. Pemakaian lidokain intravena telah dibuktikan
dapat mencegah trombosis, meningkatkan
fibrinolisis, dan menurunkan agregasi
trombosit.
10. Pemasangan kateter epidural pada pasien
yang mendapatkan profilaksis antikoagulan
tidak boleh dilakukan dalam waktu 6-8 jam
setelah pemberian 'minidose’ unfractional
heparin subkutan, atau dalam 12-24 jam
setelah pemberian LMWH.
11. Walaupun anestesi spinal mempunyai resiko
traumatik yang lebih kecil dibandingkan
epidural tetapi mempunyai resiko yang sama
besar untuk terjadinya spinal hematom pada
pasien yang mendapat profilaksis
antikoagulan.
PROSEDUR ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
PATENT DUCTUS ARTERIOSUS (PDA)
PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 7/7
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah
4. Dokter/residen IPD
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI :
FRAKTUR HIP
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Manajemen perioperatif.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
TUJUAN
fraktur hip yang akan menjalani tindakan
pembedahan.
Fraktur pada daerah hip dapat menyebabkan
KEBIJAKAN kehilangan darah yang signifikan dan tersamar dapat
sehingga volume mengganggu intravaskular.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Sebagian besar pasien yang akan menjalani
hip surgery adalah geriatri yang biasanya
memiliki co-existing disease seperti CAD, CVD,
COPD, atau DM.
2. Lakukan skrining terhadap kemungkinan
penyakit penyerta di atas dan lakukan
perbaikan keadaan terhadap penyakit penyerta
yang ada.
3. Pasien dengan fraktur hip biasanya dalam
keadaan dehidrasi karena asupan oral yang
tidak adekuat.
4. Lakukan rehidrasi dengan terapi cairan sesuai
dengan derajat dehidrasi yang ditemukan.
5. Fraktur pada daerah hip dapat menyebabkan
kehilangan darah yang signifikan dan tersamar
sehingga dapat mengganggu volume
intravaskular.
6. Kehilangan darah pada fraktur daerah
intrakapsular (sub kapital, transervikal)
biasanya lebih sedikit bila dibandingkan fraktur
pada daerah ekstrakapsular (basis dari femoral
neck, intertrochanter, subtrochanter).
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI :
FRAKTUR HIP
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
7. Hilangnya darah secara tersamar dapat
dikenali melalui pemeriksaan hematokrit
dimana didapatkan hemokonsentrasi.
8. Lakukan skrining terhadap kemungkinan
terjadinya emboli lemak dengan gejala hipoksia
preoperatif, atelektasis akibat tirah baring lama,
kongesti paru/efusi akibat gagal jantung
kongestif atau tanda konsolidasi akibat infeksi.
Keadaan tersebut dapat terjadi pada pasien
dengan fraktur hip.

B. Manajemen Intraoperatif
1. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa
pilihan teknik anestesi regional mempunyai
angka mortalitas pasca operasi yang lebih
rendah, hal ini dikarenakan menurunnya resiko
tromboemboli.
2. Pemilihan teknik epidural kontinyu dengan
atau tanpa anestesi umum memberikan
keuntungan tambahan untuk pengelolaan nyeri
pasca operasi.
3. Bila teknik spinal yang menjadi pilihan,
penggunaan obat hipobarik akan memudahkan
dalam pengaturan posisi pasien dimana
tindakan dapat dilakukan dengan posisi fraktur
di atas sehingga tidak perlu lagi dilakukan
perubahan posisi operasi.
4. Teknik operasi open reduction dan fiksasi
internal yang akan dilakukan mempengaruhi
konsiderasi anestesi. Teknik ini tergantung dari
sisi fraktur, derajat pergeseran, status
fungsional preoperatif, dan pertimbangan ahli
bedah.
5. Pada fraktur intrakapsular yang tidak
bergeser biasanya akan dilakukan tindakan
dengan cannulated screw fixation, sedang
pada fraktur intrakapsular yang mengalami
pergeseran akan dilakukan tindakan fiksasi
internal, hemiartroplasti, atau total hip
replacement.
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI :
FRAKTUR HIP
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 6. Pada prosedur hemiartroplasti dapat dilakukan
dengan semen atau tidak dengan semen..
Pada prosedur yang dilakukan dengan semen
perhatikan konsiderası terhadap perubahan-
perubahan akibat pemakaian bone cement
(lihat panduan anestesi: Konsiderasi khusus
pada operasi ortopedi).
7. Hemiartroplasti dan total hip replacement
merupakan operasi yang lebih lama dan lebih
invasive dibandingkan prosedur lainnya.
Biasanya dilakukan dengan posisi lateral
dekubitus dengan resiko perdarahan yang
lebih banyak sehingga terjadi perubahan
hemodinamik yang besar.
8. Konsiderasi yang dilakukan dengan resiko
tersebut adalah dengan melakukan monitoring
tekanan arterial secara direk, menyediakan
jalur intra vena berukuran besar untuk
transfusi, dan monitoring ketat hemodinamik
terutama pada orang tua.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah ortopedi
4. Dokter/residen IPD
5. Dokter/residen IKA
6. Dokter/residen radiologi
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL HIP ARTHROPLASTY
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/4
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Manajemen perioperatif.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien ortopedi
TUJUAN
yang akan menjalani tindakan pembedahan total hip
arthroplasty.
Pemilihan teknik regional anestesi dengan
KEBIJAKAN epidural dapat menurunkan insiden DVT dan
emboli paru
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Sebagian besar pasien yang akan menjalani
total hip replacement biasanya mempunyai
riwayat penyakit osteoarthritis, rheumatoid
arthritis, atau osteonekrosis (avascular
necrosis).
2. Pada osteoarthritis sering melibatkan proses
pada daerah tulang belakang sehingga waktu
melakukan pengaturan posisi leher saat akan
melakukan intubasi harus dilakukan secara
hati-hati untuk menghindari terjadinya kompresi
nerve root atau protrusi nucleus pulposus.
3. Terdapat 3 aspek yang harus kita perhatikan
pada Reumatoid arthritis, yaitu:
a. Destruksi sendi terjadi karena proses imun
dengan proses inflamasi kronis dan
progresif pada membran synovial.
b. Reumatoid arthritis dapat melibatkan
proses yang bersifat sistemik.
c. Rheumatoid arthritis melibatkan sendi yang
multipel.
4. Manifestasi sistemik yang terjadi pada
rheumatoid arthritis adalah aspek yang paling
penting bagi anestesiologis, oleh karena itu
pada persiapan preoperative harus dilakukan
skrining dengan teliti terhadap aspek tersebut.
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL HIP ARTHROPLASTY
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 2/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 5. Kasus rheumatoid arthritis yang ekstrim
melibatkan hampir semua membran synovial
termasuk cervical spine dan sendi
temporomandibular.
6. Perhatikan apakah terdapat gambaran
subluksasi atlantooksipital pada gambaran
radiologis. Pada keadaan terdapat subluksası
atlantooksipital dapat mengakibatkan terjadinya
protrusi prosesus odontoid kedalam foramen
magnum saat dilakukan intubasi, hal Ini akan
mengakibatkan terganggunya aliran darah
vertebral, dan menimbulkan kompresi spinal
cord atau batangotak.
7. Foto ronsen cervical spine pada posisi fleksi
dan ektensi harus dilakukan pada semua
pasien rheumatoid arthritis berat yang
mendapatkan terapi steroid atau metotreksat.
8. Bila dari gambaran radiologis didapatkan
instabilitas atlanto aksial melebihi 5 mm, maka
intubasi harus dilakukan dengan stabilisasi
leher dengan memakai teknik fiberoptik dalam
keadaan awake.
9. Terlibatnya sendi temporomandibular akan
menyebabkan terbatasnya pembukaan rahang
sehingga membutuhkan tindakan intubasi
dengan fiber optic melalui nasal.
10. Suara serak atau stridor inspirasi merupakan
tanda terdapatnya penyempitan pada
pembukaan glotik yang disebabkan oleh
arthritis krikoaritenoid. Pada keadaan ini
dibutuhkan ETT dengan nomor yang lebih kecil
dan terdapat kemungkinan terjadinya obstruksi
jalan nafas pasca ekstubasi.
11. Riwayat terapi pada pasien dengan
osteoarthritis atau rheumatoid arthritis biasanya
terdapat riwayat pengobatan nyeri dengan
NSAID. Efek samping dari penggunaan NSAID
dapat berupa perdarahan gastrointestinal,
toksisitas renal, dan disfungsi platelet yang
dapat mengancam nyawa pasien dan
mempengaruhi rencana anestesi yang akan
dilakukan.
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL HIP ARTHROPLASTY
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR A. Manajemen Intraoperatif
1. Total hip replacement dapat menimbulkan 3
komplikasi yang sangat berbahaya, yaitu:
a. Bone cement implantation syndrome
b. Perdarahan intra danpascaoperatit
c. Tromboemboli vena
2. Oleh karena itu direkomendasikan untuk
memakai monitoring arterial invasive pada
prosedur ini.
3. Fenomena emboli biasanya terjadi pada saat
insersi dari protesis femoral.
4. Tindakan preventif yang harus kita lakukan
adalah sebagai berikut:
a. Tingkatkan konsentrasi oksigen inspirasi
sebelum proses cementing.
b. Konfirmasi ahli bedah untuk membuat vent
hole pada bagian distal femur untuk
menghilangkan tekanan intramedular.
c. Lakukan lavase tekanan tinggi pada
femoral shaft untuk menyingkirkan
debris yang potensial menimbulkan
mikroemboli.
d. Gunakan komponen yang bersifat
uncemented.
5. Tromboemboli vena merupakan penyebab
mortalitas dan morbiditas yang paling
signifikan pada hip replacement surgery.
6. Pemilihan teknik regional anestesi dengan
epidural dapat menurunkan insiden DVT dan
emboli paru, oleh karenanya dianjurkan untuk
memakai teknik epidural baik dengan atau
tanpa kombinasi dengan anestesi umum bila
memungkinkan.
7. Tindakan lain yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya DVT adalah penggunaan alat
intermitten leg compression (ILC) dan
pemberian profilaksis antikoagulan dengan
dosis rendah.
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL HIP ARTHROPLASTY
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah ortopedi
4. Dokter/residen IPD/IKA
5. Dokter/residen radiologi
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL KNEE REPLACEMENT
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/2
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Manajemen perioperatif.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien ortopedi
TUJUAN
yang akan menjalani tindakan pembedahan total
knee replacement.
Bone cement implantation syndrome pada prosedur
ini masih mungkin terjadi walaupun kemungkinannya
KEBIJAKAN
lebih kecil bila dibandingkan dengan total hip
replacement.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Pasien yang akan menjalani total knee
replacement biasanya mempunyai keadaan
yang hampir sama dengan pasien pada total
hip replacement dimana penyakit yang
mendasari biasanya adalah osteoarthritis dan
rheumatoid arthritis.
(Untuk persiapan preoperative lihat panduan
anestesi pada ortopedi: total hip replacement).

B. Manajemen Intraoperatif
1. Durasi total knee artroplasti lebih singkat bila
dibandingkan dengan total hip replacement.
2. Pasien berada pada posisi supine dengan
resiko perdarahan yang hanya sedikit dengan
penggunaan tornikuet.
3. Pada pasien yang kooperatif dapat
mentoleransi pemilihan teknik regional
anestesi dengan sedasi intravena.
4. Bone cement implantation syndrome pada
prosedur ini masih mungkin terjadi walaupun
kemungkinannya lebih kecil bila dibandingkan
dengan total hip replacement.
5. Pada saat pelepasan tornikuet terdapat resiko
untuk terjadinya pelepasan emboli ke dalam
sirkulasi sistemik yang bertendensi untuk
terjadinya hipotensi.
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL KNEE REPLACEMENT
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 2/2
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
6. (lihat panduan konsiderasi khusus operasi
panduan anestesi pada ortopedi dan ortopedi:
total hip replacement)
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah ortopedi
4. Dokter/residen IPD/IKA
5. Dokter/residen radiologi
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
:
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI :
SCOLIOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/6
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Scoliosis merupakan suatu keadaan dimana
terdapat kurvatura tulang belakang kearah lateral
yang dapat bersifat struktural atau nonstruktural.
Scoliosis nonstruktural biasanya terjadi pada
daerah lumbal akibat dari perbedaan panjang
antara kedua tungkai yang biasanya akan hilang
bila pasien berada pada posisi supine atau
menggunakan alat suportif pada tungkai sehingga
PENGERTIAN tidak memerlukan tindakan koreksi. Sedangkan
pada scoliosis yang bersifat struktural terjadi
fleksibilitas tulang belakang yang tidak normal.
Kurvatura tulang belakang kearah lateral akan
menyebabkan rotasi pada vertebrae dan
menyebabkan deformitas pada rongga toraks.
Deformitas rongga toraks ini akan menyebabkan
penurunan secara signifikan dari volume total
paru.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
dengan scoliosis yang akan menjalani tindakan
pembedahan.
Lakukan identifikasi terhadap lokasi scoliosis, onset,
KEBIJAKAN
derajat, dan etiologi dari scoliosis.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Lakukan identifikasi terhadap
a. Lokasi kurvatura scoliosis: Lokasi scoliosis
sangat penting karena scoliosis yang terjadi
pada daerah torakal akan menyebabkan
gangguan fungsi paru. Skoliosis pada
daerah servikal akan menyebabkan
kesulitan pada pengelolaan jalan nafas dan
biasanya berhubungan dengan kelainan
lainnya.
b. Usia saat timbulnya scoliosis:
pertumbuhan dan perkembangan paru
terjadi sejak lahir sampai dengan usia 8
tahun, jumlah alveoli akan terus
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI :
SCOLIOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 2/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
bertambah sampai usia 4 tahun. Scoliosis
yang terjadi dalam kurun waktu tersebut
akan menyebabkan gangguan
perkembangan paru.
c. Derajat scoliosis: penentuan derajat
scoliosis adalah hal yang sangat penting
untuk memprediksi fungsi pernafasan.
Kurva toraks > 60 derajat pada umumnya
menyebabkan penurunan fungsi paru
secara signifikan. Kurva > 100 derajat
berhubungan erat dengan gangguan
pertukaran gas.
d. Etiologi scoliosis; pengetahuan tentang
penyebab scoliosis akan memberikan
gambaran tentang penyakit yang
mendasari (misal: distrofi muscular atau
serebral palsy) yang mungkin akan
mempengaruhi pengelolaan anestesi.
2. Anamnesa untuk menilai reserve
kardiopulmonal dengan menanyakan riwayat
bernafas pendek, sesak saat aktivitas, dan
toleransi terhadap aktivitas.
3. Gejala-gejala paru seperti wheezing atau batuk
dapat merupakan indikasi adanya penyakit
parenkim paru.
4. Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada
pemeriksaan jantung dan paru.
5. Auskultasi suara nafas berupa wheezing dan
ronkhi mengindikasikan kemungkinan penyakit
paru obstruktif atau penyakit parenkim paru.
Pada pemeriksaan jantung harus diperhatikan
adanya auskultasi murmur atau gallop, tanda
hipertensi pulmonal, dan hipertropi ventrikel
kanan. Hipertensi pulmonal akan
menyebabkan aksentuasi komponen pulmonik
pada bunyi jantung kedua. Bila didapatkan
gagal jantung kanan maka akan ditemukan
peningkatan JVP, pembesaran liver, dan
edema pada ekstremitas bawah.
6. Evaluasi jalan nafas secara teliti terhadap
adanya abnormalitas jalan nafas.
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI :
SCOLIOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 3/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 7. Lakukan penilaian terhadap fungsi neurologis.
Penentuan fungsi neurologis preoperatif harus
dilakukan untuk mengetahui bila terjadi
komplikasi neurologis pascaoperasi. Pada
pasien yang sebelumnya telah mengalami
defisit neurologis akan meningkatkan resiko
terjadinya spinal cord injury.
8. Pemeriksaan penunjang dilakukan
berdasarkan derajat scoliosis dan kondisi yang
mendasarinya. Bila dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik didapatkan penurunan fungsi
paru maka lakukan pemeriksaan tes fungsi
paru. Pemeriksaan AGD dilakukan bila vital
capacity turun secara signifikan.
9. Paseien dengan onset scoliosis pada umur < 8
tanun harus dilakukan pemeriksaan TFT, AGD,
dan EKG. Pemeriksaan ekhokardiografi
dilakukan bila pada pemeriksaan EKG
didapatkan abnormalitas ,seperti: hipertrofi
ventrikel kanan, pembesaran atrium kanan,
atau adanya kardiomiopati.
10. Lakukan pulmonary toilet secara agresif dan
atau terapi bronkodilator preoperatif pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif atau
penyakit parenkim paru.
11. Hindari pemberian premedikasi berat dan
opioid pada pasien dengan penyakit
neuromuscular, hipertensi pulmonal, gangguan
pertukaran gas, penurunan fungsi paru.

B. Manajemen Intraoperatif
1. Sebagian besar penderita dengan scoliosis
idiopatik merupakan pasien dewasa yang
sehat sehingga dapat mentoleransi anestesi
dan pembedahan dengan baik. Berbagai
teknik anestesi telah dipakai dengan
memberikan hasil yang memuaskan.
2. Hindari penggunaan suksinilkolin pada pasien
dengan gangguan otot dikarenakan dapat
menyebabkan hiperkalemia, aritmia, dan
mioglobinuria. Penggunaan pelemas otot
golongan non depolarisasi dapat di toleransi
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI :
SCOLIOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 5/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR sejumlah yang sama dengan jumlah darah
yang diambil.
a. Teknik hipotensi: Teknik ini dilakukan
dengan mempertahankan MAP 60-65
mmHg, tetapi besarnya penurunan
tergantung dari kondisi masing-masing
pasien dengan keberadaan penyakit
penyertanya. Dengan teknik ini dapat
menurunkan perdarahn sebanyak 30-50%.
6. Teknik yang dipergunakan intraoperasi untuk
menilai fungsi spinal cord adalah dengan
somatosensory evoked potentials dan wake up
test.
7. Bila pemeliharaan dilakukan dengan
memberikan inhalasi yang poten, maka
sebaiknya hentikan pemakaiannya 20 menit
sebelum dilakukan wake-up test.
8. Wake up test dilakukan untuk mengevaluasi
fungsi motorik spinal dan dilakukan dengan
mendangkalkan kedalaman anestesi
sehingga pasien dapat mengikuti perintah.
Pertama-tama perintahkan pasien untuk
menggenggam tangan pemeriksa yang
menandakan bahwa pasien sudah dalam
keadaan responsive. Kemudian perintahkan
pasien untuk menggerakkan kaki dan jarinya.
Bila pasien dapat menggenggam tangan
pemeriksa tetapi tidak dapat menggerakkan
kakinya, maka distraksi. tulang belakang
harus dikurangi sampai pada derajat yang
aman. Apabila pasien sudah dapat
menggerakkan kakinya segera dalamkan lagi
anestesinya dengan memberikan
obatanestesi secara intravena seperti
propofol, thiopental, atau benzodiazepin.
9. Monitoring minimal yang dibutuhkan pada
operasi posterior spine fusion, adalah:
tekanan darah, EKG, pulse oxymetri, EtCO2,
stetoskop esophageal, dan pengukuran
temperatur inti.
PROSEDUR ANESTESI PADA ORTOPEDI :
SCOLIOSIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 6/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR C. Manajemen Pascaoperatif
1. Keputusan untuk melakukan ventilasi mekanik
pascaoperasi biasanya telah diperkirakan pada
masa preoperatit. Pasien scoliosis tipe
idiopatik dengan gangguan paru ringan-
sedang dapat dilakukan ekstubasi di kamar
operasi.
2. Ventilasi mekanik pascaoperasi dilakukan
pada pasien dengan gangguan paru restriktif
berat (vital capacity < 30% normal) atau
abnormalitas pertukaran gas berat dengan
retensi CO2, juga pada pasien dengan
Duchene muscular dystrophy, disautonomia
familial, atau serebral palsy berat.
3. Parameter untuk dilakukan ekstubasi:
a. Vital capacity > 10 ml/ kg
b. Tidal volume > 5 ml/ kg
c. Laju nafas spontan < 30x menit
d. Negative inspiratory force> -30 cm H2O
4. Lakukan latihan batuk dan bernafas dalam.
5. Berikan bronkodilator pada pasien dengan
gangguan paru obstruktif.
6. Hindari pemberian narkotik yang berlebihan
karena dapat menimbulkan depresi nafas dan
mengurangi kemampuan pasien untuk batuk.
7. Perhatikan tanda-tanda terjadinya komplikasi
pascaoperasi.
8. Komplikasi pascaoperasi yang dapat terjadi
adalah:
a. Pneumotoraks
b. Atelektasis
c. Efusi pleura
d. Hematotoraks
e. Trauma neurologis
f. lleus paralitik
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter/residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/residen bedah
4. Dokter/residen IPD
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PANDUAN
ANESTESI PADA OPERASI
TELINGA, HIDUNG
DAN TENGGOROKAN (THT)
:
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung 1/6
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Tindakan-tindakan yang tergolong endoskopi
disini adalah: laringoskopi (diagnostik dan
PENGERTIAN
operatif), mikrolaringoskopi, esofagoskopi, dan
bronkoskopi.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien THT
yang akan menjalani tindakan endoskopi.
Tujuan utama pemberian anestesi pada prosedur
endoskopi adalah melakukan paralise otot untuk
merelaksasi muskulus masseter sehingga
memudahkan memasukkan laringoskop dan
KEBIJAKAN mendapatkan lapangan operasi yang baik,
ventilasi dan oksigenasi yang adekuat selama
dilakukan manipulasi pada jalan nafas, dan
menjaga stabilitas kardiovaskular selama
stimulasi terhadap jalan nafas.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Pasien yang akan menjalani prosedur
endoskopi harus dilakukan evaluasi terlebih
dahulu terhadap kemungkinan adanya keluhan
suara serak, stridor, dan hemoptisis
sebelumnya.
2. Apabila terdapat keluhan seperti di atas,
maka lakukan penelusuran lebih lanjut
terhadap beberapa kemungkinan sebagai
penyebabnya, yaitu: aspirasi benda asing,
trauma saluran aerodigestif, papillomatosis,
stenosis trakeal, obstruksi tumor, atau
disfungsi pita suara.
3. Lakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik
secara teliti terutama terhadap
kemungkinan adanya masalah potensial
pada jalan nafas untuk kemudian dapat
disusun rencana anestesi yang tepat.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 2/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 4. Biasanya pada pasien yang akan menjalani
prosedur ini telah menjalani laringoskopi
indirek di poliklinik, lakukan evaluasi dan
diskusi dengan operator terhadap temuan
pada pemeriksaan tersebut.
5. Hal yang terpenting harus dilakukan adalah
melakukan penilaian apakah pada saat
induksi pasien dapat dengan mudah
dilakukan ventilasi dengan masker dan
mudah untuk dilakukan intubasi dengan
laringoskopi direk.
6. Bila dari hasil penilaian didapatkan
kemungkinan kesulitan untuk dilakukan
ventilasi dan atau intubasi maka susunlah
rencana anestesi dan lakukan persiapan
sesuai dengan algoritme difficult airway.
(lihat algoritme: difficult airway).
7. Premedikasi dengan obat sedative
merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan obstruksi jalan nafas. Untuk
mengurangi sekresi pada jalan nafas dapat
diberikan glikopirolat 0,2-0,3 mg secara
intramuskular 1 jam sebelum operasi sehingga
visualisasi jalan nafas dapat lebih baik lagi.

B. Manajemen Intraoperatif
1. Tujuan utama pemberian anestesi pada
prosedur endoskopi adalah melakukan
paralise otot untuk merelaksasi muskulus
masseter sehingga memudahkan
memasukkan laringoskop dan mendapatkan
lapangan operasi yang baik, ventilasi
dan oksigenasi yang adekuat selama
dilakukan manipulasi pada jalan nafas, dan
menjaga stabilitas kardiovaskular selama
stimulasi terhadap jalan napas.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 3/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 2. Relaksasi otot intraoperatif dapat
dilakukan dengan memberikan suksinilkolin
dengan infus kontinyu atau pelemas otot
golongan nondepolarizing intermediate secara
intermiten.
3. Kerugian penggunaan drip suksinilkolin ·bila
terjadi pemanjangan prosedur adalah potensi
terjadinya blok fase II, sedangkan kerugian
penggunaan golongan nondepolarizing
intermediate dapat memperlambat kembalinya
reflek proteksi jalan nafas dan ekstubasi.
4. Relaksasi yang baik sangat diperlukan sampai
pada saat paling akhir dari prosedur, namun
pemulihan juga harus dilakukan secara cepat
dikarenakan prosedur endoskopi biasanya
dilakukan pada pasien-pasien ODS.
5. Teknik pilihan pada prosedur ini adalah
dengan intubasi memakai ETT untuk
mencegah aspirasi dan memudahkan
pemberian anestesi inhalasi serta monitoring
EtCO2 secara kontinyu.
6. Pada beberapa kasus, teknik intubasi. dengan
ETT dapat mengganggu visualisasi operator.
Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan insuflasi oksigen aliran tinggi
melalui kateter kecil yang ditempatkan di
trakea.
7. Meskipun dengan insuflasi dapat menjaga
oksigenasi dalam periode singkat pada pasien
dengan fungsi paru yang baik, tetapi ventilasi
tetap tidak adekuat pada prosedur yang lebih
panjang kecuali pasien tetap dibiarkan
bernafas secara spontan.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 4/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR
8. Kemungkinan teknik lain yang dapat
dilakukan adalah dengan teknik apnoe
intermiten. Pada teknik ini terdapat periode
ventilasi oksigen dengan masker atau ETT
yang bergantian dengan periode apnoe
selama prosedur dilakukan.
9. Durasi apnoe dapat dilakukan selama 2-3
menit, tergantung dari seberapa baik
pasien dapat menjaga saturasi oksigen yang
diukur dengan pulse oksimeter.
10. Teknik apnoe intermiten mempunyai resiko
untuk terjadinya hipoventilasi, hiperkarbia, dan
pneumonia aspirasi.
11. Pendekatan yang lebih modern lagi adalah
dengan pendekatan memakai manual jet
ventilator yang dihubungkan dengan side port
laringoskop. Selama inspirasi (1-2 detik)
akan dihantarkan oksigen tekanan tinggi
(30-50 psi) melalui pembukaan glotik dan
memasuki ruangan udara paru-paru (efek
venturi). Kemudian ekspirasi terjadi secara
pasif selama 4-6 detik. Hal yang krusial adalah
melakukan monitoring pergerakan dinding
dada secara konstan dan menjaga waktu yang
cukup untuk ekshalasi sehingga tidak terjadi
terperangkapnya udara dan barotrauma.
12. Variasi teknik di atas adalah dengan high
frequency jet ventilation dengan memakai
kanul kecil atau tube ke dalam trakea dan
kemudian gas akan diinjeksikan 80-300 kali
permenit.
13. High frequency jet ventilation membutuhkan
anestetik intravena.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 5/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR
14. Tekanan darah dan laju jantung sering
berfluktuasi pada prosedur endoskopi. Hal
ini dikarenakan sebagian besar pasien
adalah perokok berat dan peminum alkohol
yang merupakan faktor predisposisi dari
penyakit jantung, dan periode stress dari
laringoskopi dan intubasi yang diselingi
dengan periode dimana terjadi stimulasi
pembedahan yang minimal.

15. Pemberian anesthesia dengan level yang


konstan pada kondisi di atas akan
menyebabkan terjadinya interval hipertensi
dan hipotensi. Untuk Menghadapi keadaan ini
dapat diberikan anestesi dengan keadalaman
level baseline yang paling ringan dengan
menambahkan suplemen anestetik kerja
singkat (misal propofol, remifentanil) atau
antagonis simpatetik (misal: esmolol)
seperlunya selama periode terjadi peningkatan
stimulasi.

16. Teknik lain untuk menjaga stabilitas


hemodinamik tersebut adalah dengan
melakukan blok nervus regional pada n.
glossofaringeal, dan n. laringeus superior.

17. Penggunaan monitoring invasif dengan arterial


blood pressure dipertimbangkan pada pasien
dengan riwayat hipertensi atau penyakit
jantung koroner meskipun prosedur yang
dilakukan cukup singkat.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif
3. Dokter/ residen THT-KL
4. Dokter/ residen IPD/IKA
5. Dokter/ residen radiologi di lingkungan RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
No. Dokumen No. Revisi Halaman
RSUP Dr. Hasan Sadikin …… ….. - 6/6
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
DOKUMEN TERKAIT 3. Catatan Rekam medis
4. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
REKONSTRUKSI MAKSILOFASIAL DAN
OPERASI ORTHOGNATIK
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Rekonstruksi maksilofasial dilakukan untuk
koreksi pada kasus trauma (misal: fraktur lefort)
atau malformasi perkembangan, operasi kanker
PENGERTIAN radikal (misal: mandibulektomi), atau pada
obstructive sleep apnea. Prosedur
ortognatik misalkan Lefort osteotomi, mandibular
osteotomi.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien THT
TUJUAN
yang akan menjalani tindakan rekonstruksi
maksilofasial dan operasi orthognatik.
Apabila didapatkan tanda-tanda adanya
kemungkinan masalah pada saat dilakukan
ventilasi dengan masker atau intubasi trakeal,
maka jalan nafas harus diamankan terlebih dahulu
KEBIJAKAN sebelum dilakukan induksi. Tindakan yang dapat
dilakukan untuk mengamankan jalan nafas pada
keadaan tersebut adalah dengan melakukan intubasi
nasal/ oral dengan fiberoptik, atau dengan
trakeostomi.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Tantangan terbesar bagi anestesiolog pada
pasien yang akan menjalani prosedur
rekonstruksi maksilofasial adalah
permasalahan pada jalan nafas.
2. Evaluasi terhadap jalan nafas harusdilakukan
secara detil dan menyeluruh.
3. Pemeriksaan jalan nafas difokuskan pada
pembukaan rahang, mobilitas leher,
mikrognatia, retrognatia, protrusi maksila,
makroglosia, patologi geligi, patensi nasal,
adanya lesi atau debris intraoral, dan
kemungkinan untuk pemasangan masker pada
wajah.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
REKONSTRUKSI MAKSILOFASIAL DAN
OPERASI ORTHOGNATIK
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 4. Apabila didapatkan tanda-tanda adanya
kemungkinan masalah pada saat nanti
dilakukan ventilasi dengan masker atau
intubasi trakeal, maka jalan nafas harus
diamankan terlebih dahulu sebelum dilakukan
induksi.
5. Tindakan yang dapat dilakukan untuk
mengamankan jalan nafas pada keadaan
tersebut di atas adalah dengan melakukan
intubasi nasall oral dengan fiberoptik, atau
dengan trakeostomi. · Intubasi nasal harus
benar-benar dipertimbangkan pada kasus
dengan fraktur. LeFort II dan III dikarenakan
kemungkinan terdapat basilar skull fracture
dan cerebrospinal fluid rhinorrhea.

B. Manajemen Intraoperatif .
1. Operasi rekonstruksi dan ortognatik dapat
mengakibatkan hilangnya darah dalam jumlah
besar.
2. Strategi yang dapat dilakukan untuk
meminimalisasi perdarahan, adalah: posisi
sedikit head-up, kontrol hipotensi, dan infiltrasi
lokal dengan larutan epinefrin.
3. Pastikan terdapat minimal 2 jalur intravena
berukuran besar dimana salah satu jalur
mungkin akan dipergunakan untuk
memasukkan obat hipotensif.
4. Pergunakan pack orofaring untuk
meminimalisassi masuknya darah dan debris
ke dalam laring dan trakea.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
REKONSTRUKSI MAKSILOFASIAL DAN
OPERASI ORTHOGNATIK
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 5. Prosedur pada daerah kepala dan leher akan
menempatkan anestesiolog jauh dari jalan
napas pasien, hal ini dapat meningkatkan
terjadinya masalah yang serius pada jalan
napas selama operasi berlangsung, seperti:
ETT mengalami tertekuk, diskoneksi, atau
perforasi akibat instrumentasi bedah. Oleh
karena itu lakukan monitoring yang ketat pada
jalan nafas pasien dengan memantau EtCO2,
peak inspiratory pressure, dan stetoskop
esophageal breath sound.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen THT-KL
4. Dokter/ residen IPD/IKA
5. Dokter/ residen radiologi di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung.
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
OPERASI NASAL DAN SINUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Prosedur operasi pada daerah nasal dan sinus
yang dilakukan dapat berupa polipektomi,
PENGERTIAN operasi sinus dengan endoskopi, maksilari
sinusotomi (Caldwell-Luc procedure), rinoplasti,
septoplasti.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah
untuk pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
THT yang akan menjalani tindakan operasi nasal dan
sinus
Teknik yang dapat dipergunakan untuk
mengurangi perdarahan intraoperatif, yaitu:
suplementasi larutan lokal anestesi dengan
KEBIJAKAN
kokain atau epinefrin, memposisikan pasien
dengan kepala sedikit di atas, dan melakukan tenik
kontrol hipotensi ringan.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Pasien yang akan menjalani operasi nasal
atau sinus sering kali mengalami gangguan
obstruksi nasal yang disebabkan oleh
adanya polip, deviasi septum atau
kongesti mukosa akibat infeksi. Lakukan
evaluasi terhadap kemungkinan obstruksi
nasal preoperatif.
2. Adanya gangguan obstruksi nasal akan
menyebabkan kesulitan pada saat akan
dilakukan ventilasi, terlebih lagi apabila
terdapat kombinasi dengan
penyebabpenyebab kesulitan ventilasi
lainnya (misal: obesitas, deformitas
maksilofasial).
3. Polip nasal sering kali berhubungan dengan
gangguan alergi seperti asma.
4. Pasien dengan riwayat alergi terhadap aspirin
tidak boleh diberikan obat-obatan golongan
NSAID (misal: Ketorolac).
5. Tanyakan apakah ada riwayat gangguan
perdarahan
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
OPERASI NASAL DAN SINUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR B. Manajemen Intraoperatif
1. Sebagian prosedur pada daerah nasal
dapat dilakukan dalam anestesi lokal
dan sedasi dengan hasil yang cukup
memuaskan.
2. Modalitas sensorik pada daerah septum
dan dinding lateral hidung diinervasi
oleh n.ethmoidalis anterior dan
n.sfenopalatinus. Kedua nervus tersebut
dapat diblok dengan melakukan packing
pada hidung dengan memakai aplikator
kassa atau kapas yang telah diberikan
anestesi lokal selama 10 menit sebelum
dilakukan instrumentasi.
3. Untuk memperkuat efek analgesia dapat
diberikan suplementasi dengan injeksi
submukosa anestesi lokal.
4. Walaupun dapat dilakukan dengan teknik
anestesi lokal, namun teknik yang menjadi
pilihan adalah dengan anestesi umum. Hal ini
dikarenakan pemberian anestesi topikal
menyebabkan ketidaknyamanan dan blok yang
tidak sempurna.
5. Saat melakukan induksi sebaiknya
menggunakan oral airway selama melakukan
ventilasi dangan masker untuk mengatasi efek
obstruksi nasal, kemudian sebaiknya intubasi
dilakukan dengan memakai right-angle
endotracheal (RAE).
6. Disarankan untuk memakai pelemas otot
selama instrumentasi daerah sinus untuk
menghindari terjadinya pergerakan pasien
yang dapat menimbulkan komplikasi
kerusakan neurologis dan optalmik.
7. Teknik yang dapat dipergunakan untuk
mengurangi perdarahan intraoperatif, yaitu:
suplementasi larutan lokal anestesi dengan
kokain atau epinefrin, memposisikan pasien
dengan kepala sedikit di atas, dan melakukan
tenik kontrol hipotensi ringan.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
OPERASI NASAL DAN SINUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
8. Pergunakan pack pada daerah posterior
pharing untuk mengurangi resiko aspirasi
darah.
9. Observasi secara ketat terhadap kemungkinan
perdarahan yang banyak terutama pada
reseksi tumor-tumor vaskular (misal: juvenile
nasopharyngeal angiofibroma).
10. Ekstubasi harus dilakukan dengan smooth
untuk menghindari terjadinya batuk atau
straining yang dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan vena sehingga dapat
menyebabkan perdarahan pascaoperasi.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen THT-KL
4. Dokter/ residen IPD/IKA
5. Dokter/ residen radiologi di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA THT: OPERASI
KANKER PADA KEPALA DAN
LEHER
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Prosedur operasi kanker pada kepala dan leher
termasuk di dalamnya adalah: laringektomi,
PENGERTIAN
glosektomi, pharingektomi, parotidektomi,
hemimandibulektomi, dan diseksi leher radikal.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien THT
TUJUAN
yang akan menjalani tindakan operasi kanker pada
kepala dan leher.
Apabila terdapat keraguan yang serius terhadap
masalah yang potensial pada jalan nafas, maka
induksi dengan anestesi intravena harus dihindari.
Pada keadaan tersebut induksi dapat dilakukan
KEBIJAKAN dengan awake direct atau laringoskopi fiberoptik
pada pasien yang kooperatif, sedangkan pada
pasien yang tidak kooperatif dapat dilakukan induksi
inhalasi dengan tetap mempertahankan nafas
spontan.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Tipikal pasien yang akan menjalani operasi
ini adalah geriatri dengan riwayat perokok
berat dan peminum yang seringkali disertai
dengan penyakit penyerta seperti PPOK, CAD,
alkoholisme kronis, pneumonia aspirasi, dan
malnutrisi.
2. Lakukan evaluasi dan optimalisasi terlebih
dahulu apabila terdapat penyakit penyerta
pada pasien.
3. Pengelolaan jalan nafas pada kasus ini
sering kali kompleks akibat adanya lesi
yang bersifat obstruktif atau terapi radiasi
preoperatif yang telah dilakukan yang dapat
menimbulkan distorsi pada anatomi jalan
nafas.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT: OPERASI
KANKER PADA KEPALA DAN
LEHER
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 2/3

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 4. Apabila terdapat keraguan yang serius
terhadap masalah yang potensial pada jalan
nafas, maka induksi dengan anestesi intravena
harus dihindari.

5. Pada keadaan tersebut induksi dapat


dilakukan dengan awake direct atau
faringoskopi fiberoptik pada pasien yang
kooperatif, sedangkan pada pasien yang tidak
kooperatif dapat dilakukan induksi inhalasi
dengan tetap mempertahankan nafas spontan.

6. Pada kasus dengan problem potensial pada


jalan nafas harus selalu dipersiapkan peralatan
dan personil untuk kemunkinan dilakukannya
trakeostomi emergersi.

7. Sebagai alternatif pilihan adalah dengan


melakukan trakeostomi elektif dalam
anestesi lokal. terutama bila pada
pemeriksaan laringoskopi indirek terlihat
adanya lesi yang rentan terganggu pada saat
intubasi.

B. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
1. Prosedur yang akan dilakukan berpotensi
untuk terjadinya kehilangan darah dalam
jumlah yang besar. Pada pasien dengan
penyakit penyerta kardiopulmonal
dipertimbangkan untuk memakai kanulasi
arteri untuk monitoring tekanan darah, gas
darah, dan hematokrit.
2. Untuk menghadapi kemungkinan
perdarahan yang banyak maka
dibutuhkan minimal 2 jalur intravena berukuran
besar.
3. Teknik hipotensi ringan dapat membantu untuk
mengurangi perdarahan.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT: OPERASI
KANKER PADA KEPALA DAN
LEHER
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
4. Pemilihan teknik hipotensi harus
mempertimbangkan kondisi pasien. Pada
tumor yang melibatkan arteri karotis
(terjadi penurunkan tekanan arterial serebral),
atau melibatkan vena jugular (terjadi
peningkatkan tekanan vena serebral), maka
pemakainan teknik hipotensi akan
menyebabkan gangguan yang besar pada
perfusi serebral.
5. Mengurangi perdarahan dengan posisi sedikit
head up juga akan meningkatkan resiko
terjadinya emboli udara.
6. Pada operasi diseksi leher atau
parotidektomi kadang efek pelemas otot
harus dihilangkan apabila operator akan
melakukan identifikasi terhadap nervus
(misal spinal accessory, n.fasialis) dengan
melakukan stimulasi direk.
7. Manipulasi sinus karotis dan ganglion
stellata saat diseksi leher dapat
menyebabkan instabilitas hemodinamik,
bradikardi, aritmia, sinus arrest, dan
pemanjangan interval QT. Masalah ini
dapat dihilangkan dengan melakukan
infiltrasi pada carotid sheath dengan
abestesi local.
8. Diseksi leher bilateral dapat menyebabkan
hipertensi pascaoperatif dan hilangnya
hypoxic drive akibat denervasi sinus karotis
dan badan karotis.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen THT-KL
4. Dokter/ residen IPD/IKA
5. Dokter/ residen radiologi di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
OPERASI TELINGA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah
untuk pelaksanaan tindakan anestesi pada
TUJUAN
pasien THT yang akan menjalani tindakan operasi
telinga.
N20 harus dihindari selama timpanoplasti atau
KEBIJAKAN dihentikan 15-30 menit sebelum dilakukan
pemasangan graft.
PROSEDUR A. Manajemen Intraoperatif
1. Pada keadaan normal, perubahan tekanan
pada telinga tengah yang disebabkan oleh
N20 dapat ditoleransi dengan baik karena
adanya passive venting melalui tuba
eustachii. Tetapi pada pasien dengan riwayat
gangguan telinga kronis (misal: otitis media,
sinusitis) dapat terjadi obstruksi pada tuba
eustachii dan kadang dapat terjadi
hilangnya pendengaran atau ruptur
membrane timpani akibat pemakaian N20
selama anestesi walaupun kejadian ini jarang
terjadi.
2. Selama timpanoplasti, telinga tengah akan
terbuka terhadap atmosfer dan pada
keadaan tersebut tidak terjadi adanya
tekanan. Pada saat operator meletakkan
graft membran timpani maka telinga
tengah akan menjadi suatu ruangan yang
tertutup. Apabila pada saat itu kita
menggunakan N20 maka gas tersebut
akan berdifusi ke dalam ruangan ini
sehingga tekanan pada telinga tengah akan
meningkat dan dapat mengakibatkan graft
akan terlepas. Sebaliknya penghentian
N20 setelah peletakan graft akan
menimbulkan tekanan negatif pada telinga
tengah yang juga akan menyebabkan graft
terlepas.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
OPERASI TELINGA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/3

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 3. Oleh karena itu N2O harus dihindari selama
timpanoplasti atau dihentikan sebelum
dilakukan pemasangan graft.
4. Waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan
N20 tergantung dari beberapa faktor,
antara lain ventilasi alveolar dan fresh gas
flow, namun waktu yang direkomendasikan
adalah 15-30 menit sebelum pemasangan
graft.
5. Tindakan operasi mikro pada telinga
memang tidak menimbulkan perdarahan yang
banyak, namun perdarahan yang terjadi
dapat mengganggu lapangan pandang
operator.
6. Untuk mengurangi perdarahan yang terjadi
dapat dilakukan dengan sedikit elevasi
kepala (15 derajat), penggunaan epinefrin
(1:50.000 - 1:200.000) secara infiltrasi atau
topical, dan kontrol hipotensi.
7. Sebaiknya ekstubasi dilakukan dalam
keadaan anestesi masih dalam, hal ini
untuk menghindari terjadinya batuk yang
akan meningkatkan tekanan vena dan
menimbulkan perdarahan.
8. Telinga bagian dalam sangat berperanan
dalam menjaga kesimbangan, sehingga
pascaoperasi telinga dapat menyebabkan
timbulnya vertigo, mual, dan muntah. Induksi
dan pemeliharaan dengan menggunakan
propofol pada operasi telinga tengah telah
terbukti menurunkan mual dan muntah
pascaoperasi. Dan harus dipertimbangkan
pula untuk memberikan profilaksis dengan
memberikan decadron sebelum induksi dan
pemberian 5-HT3 bloker sebelum pasien
dibangunkan.
PROSEDUR ANESTESI PADA THT:
OPERASI TELINGA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen THT-KL
4. Dokter/ residen IPD/IKA
5. Dokter/ residen radiologi di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
TONSILEKTOMI DAN/ATAU ADENOIDEKTOMI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah
timbulnya komplikasi
KEBIJAKAN
PROSEDUR A. Preoperatif:
1. Pasien dengan tonsilitis mungkin mengalami
gejala obstructive sleep anea (OSA). Pasien
dengan OSA seringkali disebabkan oleh
obesitas dan berpotensi untuk terjadinya
kesulitan penguasaan jalan nafas (difficult
airway).
2. Premedikasi sedatif pada pasien seperti ini
harus dihindari.
3. Pada pasien pediatrik, seringkali disertai
dengan adanya infeksi saluran nafas atas.
Pada pasien yang akan menjalani
operasi elektif, keadaan infeksi saluran
nafas akut ini (sputum purulen, sekret
hidung, demam, dll) harus ditatalaksanai
terlebih dahulu. Operasi selayaknya ditunda
hingga gejalagejala tersebut diatas
tertanggulangi. Alasan penundaan tindakan
operasi tersebut adalah keadaan ini dapat
mengakibatkan infeksi menyebar ke saluran
nafas bawah, sekresi jalan nafas dapat
menyumbat ETT dan saluran nafas yang
kecil, merupakan suatu predisposisi
terjadinya laringospasme intraoperatif
maupun pasca operasi, dan penurunan
fungsi respirasi.
4. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai
indikasi.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
TONSILEKTOMI DAN/ATAU ADENOIDEKTOMI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/3

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR B. Intraoperatif:
1. Teknik anestesi umum dengan intubasi
trakea. Pada pasien dengan riwayat OSA
terjadi peningkatan sensitivitas terhadap
narkotik dan sedatif sehingga merupakan
indikasi untuk dilakukan intubasi awake
dengan fiber optic. Gunakan ETT berspiral
(non-kinking). Hemostasis diamankan
dengan pemasangan tampon laring.
2. Induksi: Preoksigenasi O2 100% dengan
sungkup selama 1-3 menit. Fentanyl pada
permulaan induksi 1-3 mcg/kg. Propofol 1.5 -
2.5 mg/KgBB IV secara perlahan dan
bertahap, Atracurium 0.3 – 0.5 mg/kg.
3. Pemasangan mouth gag: pada saat
pemasangan mouth gag harus
diperhatikan bahwa ETT mungkin tertarik,
tertekuk, ataupun terdorong. Oleh
karena itu, pengecekan kembali posisi ETT
setelah pemasangan mouth gag harus
dilakukan.
4. Pemeliharaan: 02 30-100%, N2O 0-70%,
Fentanyl 1-10 mcg/kg/jam, volatil, pelumpuh
otot tidak diperlukan.
5. Pengakhiran: Keluarkan tampon laring.
Ekstubasi dilakukan saat pasien sadar
penuh (fully awake) ketika semua refleks
mempertahankan jalan nafas sudah timbul.
Lakukan penyedotan (suctioning) dengan
hati-hati untuk mencegah perdarahan di area
operasi.
C. Pascaoperatif:
1. Posisi pasien: pasien diposisikan miring
dengan posisi kepala lebih rendah (tonsillar
position).
2. Monitoring: monitoring standar, perhatikan
tanda-tanda perdarahan.
3. Komplikasi pasca operasi, tampon tertinggal,
laringospasme/bronkospasme, perdarahan
tonsil (bleeding tonsil).
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
TONSILEKTOMI DAN/ATAU ADENOIDEKTOMI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
4. Penatalaksanaan nveri dengan Meperidine0.5-
1 mg/Kg/jam IV, Acetaminophen supp. 240 mg
(usia 4-5 tahun), 325 – 650 mg (usia 10-11
tahun) setiap 4-6 jam.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen THT-KL
4. Dokter/ residen IPD/IKA
5. Dokter/ residen radiologi di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PANDUAN ANESTESI
PADA PASIEN
UROLOGI
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: SISTOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/4
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien yang
akan menjalani tindakan pembedahan sistoskopi.
Pemantauan saturasi oksigen harus dilakukan secara
ketat pada pasien-pasien obes atau geriatri dengan
KEBIJAKAN
fungsi cadangan paru terbatas yang akan diposisikan
litotomi atau trendelenburg.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Manajemen preoperatif bervariasi. Sesuai
dengan umur, jenis kelamin pasien, dan
prosedur yang akan dilakukan.
2. Pada pasien usia tua difokuskan pada
perubahan fisiologi dan adanya
penyakitpenyerta.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Posisi Litotomi:
a. Kesalahan dalam mengatur posisi
pasiendapat menyebabkan trauma
iatrogenik.
b. Untuk menaikkan dan menurunkan tungkai
pasien harus dilakukan oleh 2 orang dan
dilakukan secara simultan.
c. Penyangga tungkai harus dilapisi dengan
pad dan kedua tungkai harus menggantung
secara bebas.
d. Trauma pada nervus peroneal komunis
akan mengakibatkan terjadinya
ketidakmampuan untuk melakukan
dorsofleksi kaki, hal ini diakibatkan oleh
penekanan bagian lateral dari strap support.
Sedangkan bila tungkai lebih menekan
pada bagian medial dari strap support akan
terjadi kompresi dari nervus safenus yang
akan memimbulkan rasa baal sepanjang
medial calf.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: SISTOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/4

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR e. Fleksi tungkai yang berlebihan dapat
menyebabkan trauma pada nervus
obturator dan kadang-kadang n. femoralis.
Posisi fleksi tungkai yang ekstrim juga
dapat menyebabkan peregangan pada n.
sciatic.
f. Posisi litotomi yang terlalu lama dilaporkan
dapat menyebabkan sindrom kompartemen
pada ekstremitas bawah dengan
rhabdomiolisis.
g. Posisi litotomi akan menyebabkan
perubahan fisiologis pada pasien,
yaitu: penurunan FRC yang menjadi
predisposisi untuk terjadinya atelectasis dan
hipoksia.
h. Efek ini akan diperkuat dengan posisi
trendelenburg (> 30 derajat).
i. Elevasi tungkai akan menyebabkan
peningkatan aliran balik darah vena secara
akut yang dapat mengeksaserbasi
terjadinya gagal jantung kongestif. Tekanan
darah rata-rata sering kali meningkat tetapi
curah jantung tidak berubah secara
signifikan.
j. Sebaliknya menurunkan tungkai secara
mendadak dapat menyebabkan penurunan
aliran darah balik vena yang mengakibatkan
terjadinya hipotensi. Keadaan hipotensi ini
akan diperberat oleh efek vasodilatasi dari
anestesi regional atau umum. Oleh karena
itu maka pemantauan tekanan darah
harusdilakukan segera setelah kaki
diturunkan.
C. Pilihan Teknik Anestesi:
1. Anestesi Umum:
a. Anestesi umum dengan menggunakan
LMA merupakan teknik yang paling sering
menjadi pilihan pada pasien yang akan
menjalani prosedur sistoskopi dikarenakan
durasi yang singkat (15-20 menit), dan
biasanya dilakukan pada pasien ODS.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: SISTOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR b. Pemantauan saturasi oksigen harus
dilakukan secara ketat pada pasien-
pasien obesitas atau geriatri dengan
cadangan fungsi paru terbatas yang
akan diposisikan litotomi atau
trendelenburg.
2. Anestesi Regional:
a. Pilihan anestesi regional dapat dilakukan
baik dengan spinal maupun epidural
dengan hasil yang sama-sama
memuaskan.
b. Sebagian besar anestesiolog lebih banyak
memilih teknik anestesi spinal
dibandingkan epidural dikarenakan
mula kerja lebih cepat (5 menit)
dibandingkan epidural (15-20 menit)
terutama pada prosedur yang tidak terlalu
lama.
c. Beberapa anestesiolog berpendapat
bahwa mengangkat tungkai untuk
memposisikan pasien dalam posisi
litotomi hanya boleh dilakukan setelah
blokade level sensorik tercapai, namun
penelitian-penelitian yang dilakukan tidak
dapat membuktikan bahwa elevasi
tungkai yang dilakukan segera
setelah injeksi intratekal akan
menyebabkan peningkatan level
anesthesia atau peningkatan kejadian
hipotensi berat.
d. Tindakan sistoskopi memerlukan blockade
sensoris setinggi T10.
e. Namun teknik anestesi regional tidak
dapat menghilangkan reflek obturator
(gerakan rotasi eksternal dan adduksi
sebagai akibat sekunder dari stimulasi
n. obturator oleh kauter elektrik pada
dinding lateral vesika).
f. Reflek obturator ini hanya dapat
dihilangkan dengan memakai pelemas otot
dalam anestesi umum.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: SISTOSKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen Urologi
4. Dokter/ residen IPD/IKA
5. Dokter/ residen radiologi di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/8
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Hipertropi prostat seringkali menimbulkan
keluhankeluhan akibat obstruksi pada saluran keluar
vesika urinaria yang sebagian besar terjadi pada laki-
laki pada usia > 60 tahun. Indikasi untuk dilakukan
tindakan operasi, adalah: adanya simptom traktus
urinarius bagian bawah (lower urinary tract
symptoms/ LUTS) moderat sampai berat yang tidak
memberikan respon terhadap terapi medikamentosa,
gross hematuri persisten, infeksi saluran urinari
PENGERTIAN persisten, insufisiensi renal, atau batu vesika.
Tindakan operasi transuretra biasanya dilakukan
pada pasien dengan volume kelenjar prostat kurang
dari 40-50 ml. TURP dilakukan dengan memakai alat
sistoskop (resektoskop) dengan irigasi kontinyu dan
visualisasi direk, kemudian jaringan prostat direseksi
dengan cutting current. Tindakan ini juga dilakukan
pada pasien karsinoma prostat untuk mengatasi
keluhan obstruksi urin.

Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk


pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN genitourinari yang akan menjalani tindakan
pembedahan TURP.

Bila dibandingkan dengan teknik anestesi umum,


maka teknik anestesi regional memberikan
keuntungan untuk mengurangi insiden thrombosis
pascaoperasi, dan dengan teknik ini tanda-tanda
terjadinya sindrom TURP atau perforasi vesika
urinaria lebih mudah dikenali.
KEBIJAKAN
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 2/8

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Pasien yang akan menjalani operasi prostat
harus dilakukan evaluasi yang ketat terhadap
kemungkinan penyakit penyerta pada jantung
dan paru seperti halnya evaluasi terhadap
disfungsi renal yang ada.
2. Hal ini dikarenakan umur pasien yang akan
menjalani operasi prostat biasanya relatif lanjut
(30-60%) yang merupakan prevalensi baik
kelainan kardiovaskular maupun paru.
3. Lakukan optimalisasi terhadap penyakit
penyerta sebelum operasi dilakukan.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Pilihan teknik anestesi untuk TURP dengan
anestesi regional spinall epidural memberikan
kondisi anestesi dan operasi yang sangat baik
sekali.
2. Target level sensoris yang diharapkan adalah
pada level T10.
3. Bila dibandingkan dengan teknik anestesi
umum, maka teknik anestesi regional
memberikan keuntungan untuk mengurangi
insiden thrombosis pascaoperasi, dan dengan
teknik ini maka tanda-tanda bila terjadi TURP
atau perforasi vesika urinaria lebih mudah
dikenali.
4. Tetapi dari penelitian yang telah dilakukan
didapatkan hasil bahwa tidak terdapat
perbedaan bermakna antara teknik anestesi
umum dengan anestesi regional terhadap
jumlah perdarahah, fungsi kognitif
pascaoperasi, dan mortalitas.
5. Apabila akan dilakukan teknik anestesi
regional pada pasien dengan karsinoma maka
harus terlebih dahulu dipastikan tidak adanya
metastase ke tulang vertebrae.
6. Bila pasien yang dilakukan TUPR dengan
anestesi umum mengalami kesulitan untuk
dibangunkan, maka harus dipikirkan
kemungkinan adanya hiponatremia.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 3/8
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 7. Evaluasi status mental pada pasien yang tetap
sadar merupakan cara monitoring yang terbaik
untuk mendeteksi secara dini terjadinya
sindrom TURP dan perforasi vesika urinaria.
8. Tanda dini apabila terjadi kelebihan cairan
adalah penurunan saturasi oksigen -arteri.
9. Lakukan pemantauan EKG secara ketat
terhadap kemungkinan terjadinya iskemik.
Insiden iskemik pada pasien yang menjalani
TURP bisa mencapai 18%.
10. Temperatur harus dipantau untuk mencegah
terjadinya hipotermia terutama pada prosedur
yang panjang.
11. Jumlah perdarahan pada TURP akan sulit
diukur dikarenakan pemakaian cairan irigasi.
Jumlah perdarahan diperkirakan 3-5 ml/ menit
saat reseksi dilakukan (biasanya perdarahan
total berkisar antara 200-300 ml). Biasanya
transfusi diperlukan bila volume prostat >:45 g
dan durasi > 90 menit.
C. Komplikasi Turp
1. Turp Syndrome
a. Tindakan TURP akan menyebabkan
terbukanya sinus venosus yang ekstensif,
hal ini potensial untuk menyebabkan
absorbs sistemik dari cairan irigasi.
b. Absorbsi cairan irigasi yang berlebihan (2
liter atau lebih) akan menimbulkan berbagai
gejala yang dinamakan dengan TURP
syndrome yang dapat terjadi selama atau
setelah operasi.
c. Gejala klinis dari TURP syndrome adalah
sakit kepala, lemas, konfusi, sianosis,
sesak, aritmia, hipotensi, kejang
d. Manifestasi TURP syndrome seperti
hiponatremia, hipoosmolalitas, kelebihan
cairan (gagal jantung kongestif, edema
paru, hipotensi), hemolisis, toksisitas solut;
hiperglisinemia, hiperammonia,
hiperglisinemia (glisin)ekspansi volume
intravaskular (manitol)
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 4/8
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR e. Manifestasi klinis di atas disebabkan oleh
beberapa kemungkinan seperti kelebihan
cairan pada sirkulasi, intoksikasi air,
toksisitas dari cairan irigasi
f. Besarnya jumlah cairan yang diabsorbsi
tergantung pada:
1) Tonisitas cairan irigasi, absorbs
terhadap cairan irigasi dapat terjadi
terhadap semua cairan irigasi yang
bersifat hipotonik yang digunakan,
misalkan: glisin 1,5% (230 mOsm/L),
atau: campuran sorbitol 2,7% dan
manitol 0,54% (195 mOsm), sorbitol
3,3%, mannitol 3%, dekstrosa 2,5-5%,
dan urea 1%.
2) Tekanan irigasi yang tinggi; semakin
tinggi tekanan akan mengakibatkan
jumlah cairan yang diabsorbsi semakin
besar.
3) Durasi reseksi; reseksi dengan TURP
biasanya membutuhkan waktu 45-60
menit, dengan rata-rata absorbs cairan
irigasi 20 ml/ menit.
g. Absorbsi cairan irigasi dalam jumlah besar
akan segera menyebabkan terjadinya
kongesti paru atau edema paru. Hal ini
terjadi terutama pada pasien dengan fungsi
jantung yang terbatas.
h. Hipotonisitas cairan irigasi akan
mengakibatkan hiponatremia akut
dan hipoosmolalitas yang akan
mengakibatkan manifestasi neurologis
yang serius.
i. Gejala-gejala akibat hiponatremia
biasanya terjadi bila kadar natrium
menurun di bawah 120 mEq/ L, dan
apabila terjadi hipotonis berat pada
plasma (natrium < 100 mEq/ L)
akan mengakibatkan hemolisis
intravaskular.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 5/8
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR j. Toksisitas dapat terjadi akibat absorbsi
dari solut cairan irigasi. Hiperglisinemia
terjadi pada penggunaan cairan irigasi
glisin bila konsentrasi glisin dalam plasma
melebihi 1000 mg/ L (normal: 13-17 mg/L)
yang akan mengakibatkan depresi
sirkulasi dan toksisitaas pada SSP. Glisin
akan didegradasi menghasilkan amoniak
sehingga dapat terjadi hiperammonemia
(normal: 5-50umoll L). Penggunaan
sorbitol dan dekstrosa akan mengakibatkan
hiperglikemia, sedangkan penggunaan
manitol akan meningkatkan ekspansi
volume intravascular dan mengeksaserbasi
kelebihan cairan.
k. Penatalaksanaan sindrom TURP:
1) Lakukan restriksi cairan
2) Berikan loop diuretik
3) Hiponatremia berat yang
menimbulkankejang dan koma
diterapi dengan memberikan salin
hipertonik.
4) Lakukan koreksi hiponatremia dengan
salin hipertonik (3% atau 5%)
berdasarkan konsentrasi natrium
dalam serum pasien sampai tercapai
level yang aman.
5) Salin hipertonik tidak boleh diberikan
melebihi 100 ml/ jam karena dapat
terjadi eksaserbasi kelebihan cairan
pada sirkulasi.
6) Atasi kejang dengan memberikan dosis
kecil midazolam (2-4 mg), diazepam (3
mg), atau thiopental (50-100 mg).
7) Pencegahan kejang diberikan fenitoin
intravena 10-20 mg/kg (tidak lebih dari
50 mg/ menit).
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 6/8
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 8) Pencegahan kejang diberikan fenitoin
intravena 10-20 mg/kg (tidak lebih dari 50
mg/ menit).
9) Disarankan untuk melakukan
pemasangan ETT selama kesadaran
pasien belum pulih untuk menghindari
terjadinya aspirasi
2. Hipotermia
a. Volume cairan irigasi dengan suhu kamar
yang diberikan dalam jumlah besar
merupakan penyebab utama hilangnya
panas dari tubuh pasien.
b. Untuk mencegah terjadinya hipotermia maka
cairan irigasi harus dihangatkan sampai suhu
tubuh terlebih dahulu sebelum dipakai.
c. Terjadinya menggigil akibat hipotermia
pascaoperasi harus dicegah karena dapat
mengakibatkan terlepasnya bekuan darah
/clot sehingga menimbulkan perdarahan
pascaoperasi.
3. Perforasi Vesika Urinaria
a. Perforasi dapat terjadi karena resektoskop
yang menembus dinding, vesika atau
distensi yang berlebihan pada vesika akibat
cairan irigasi.
b. Sebagian besar perforasi vesika terjadi
pada daerah retroperitoneal yang ditandai
dengan aliran balik cairan irigasi yang
sangat sedikit.
c. Perforasi yang terjadi pada pasien yang
tetap sadar akan mengalami keluhan
nausea, diaphoresis, dan nyeri pada
daerah retropubis atau abdomen bagian
bawah.
d. Perforasi yang berukuran besar pada
ekstraperitoneal atau intraperitoneal akan
mengakibatkan hipotensi (atau hipertensi)
yang terjadi secara mendadak disertai
dengan keluhan nyeri seluruh abdomen
(bila pasien sadar). Dugaan perforasi ini
akan semakin diperkuat apabila didapatkan
bradikardi yang disebabkan oleh vagal.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 7/8
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 4. Koagulopati
a. Disseminated intravascular coagulation
(DIC) yang terjadi pada TURP disebabkan
karena pelepasan tromboplastin dari
prostat kedalam sirkulasi selama
pembedahan.
b. Trombositopeni dilusional juga dapat terjadi
akibat absorbsi cairan irigasi.
c. Pada pasien dengan karsinoma terjadinya
koagulopati dikarenakan karena sekresi
enzim fibrinolitik oleh sel tumor sehingga
terjadi fibrinolisis,
d. Dugaan diagnosa DIC adalah apabila
terjadi perdarahan difus yang tidak
terkontrol, kemudian dugaan ini harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan
laboratorium.
e. Fibrinolisis. primer diterapi dengan
memberikan E-amino caproic acid (Amicar)
5 g dilanjutkan dengan 1 g/ jam secara
intravena.
5. Septikemia
a. Prostat sering menjadi tempat kolonisasi
bakteri dan dapat menyebabkan infeksi
kronis.
b. Manipulasi pembedahan yang ekstensif
bersamaan dengan terbukanya sinus
venosus dapat menyebabkan masuknya
organisme ke dalam aliran darah sehingga
terjadilah septicemia atau syok septik.
c. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
bakteriemia dan episode septik dapat
diberikan antibiotic profilaksis, seperti:
gentamisin, levofloksasin, atau sefazolin.
6. Manajemen Pascaoperasi
Pascaoperasi lakukan pemantauan terhadap
komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi akibat
TURP.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI
GENITOURINARI: TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 8/8
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen Urologi
4. Dokter/ residen IPD/IKA
5. Dokter/ residen radiologi di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PANDUAN
ANESTESI PADA
PASIEN OBSTETRI
PROSEDUR ANESTESI PADA
SECTIO CAESARIA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/5
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah
untuk pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
TUJUAN
hamil yang akan mejalani operasi sectio caesaria
(SC).
Pilihan teknik anestesi pada SC ditentukan oleh
banyak faktor, yaitu: indikasi operasi, urgensi,
KEBIJAKAN
pertimbangan pasien dan ahli kebidanan, serta
keterampilan dokter anestesi.
PROSEDUR A. Indikasi Sectio Caerasia
1. Resiko tinggi bagi ibu dan janin bila dilahirkan
pervaginam:
a. Peningkatan resiko ruptur uterus:
1) Riwayat SC sebelumnya.
2) Riwayat miomektomi yng ekstensif dan
rekonstruksi uterus.
b. Peningkatan resiko perdarahan:
1) Plasenta previa sentral atau parsial.
2) Abruptio plasenta.
3) Rekonstruksi vagina sebelumnya.
2. Distosia
a. Relasi fetopelvik abnormal:
1) Disproporsi fetopelvik.
2) Presentasi fetus abnormal.
b. Disfungsi aktivitas uterus.
3. Terminasi kehamilan segeral emergensi:
1. Fetal distress
2. Prolaps tali pusat
3. Perdarahan maternal
4. Amnionitis
5. Herpes genital dengan ruptur membrane
6. Ancaman kematian maternal.
B. Pilihan Teknik Anestesi
Pilihan teknik anestesi pada SC ditentukan oleh
banyak faktor, yaitu: indikasi operasi, urgensi,
pertimbangan pasien dan ahli kebidanan, serta
keterampilan dokter anestesi.
PROSEDUR ANESTESI PADA
SECTIO CAESARIA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR C. Anestesi Regional.
1. Spinal
a. Keuntungan
1) onset cepat
b. b. Kerugian
1) Potensial hipotensi
2) Penyebaran sulit dikontrol
3) Durasi terbatas
4) PDPH
2. Epidural
a. Keuntungan
1) Penyebarannya lebih mudah dikontrol
2) Penurunan tekanan darah lebih kecil
3) Durasi lebih lama
b. Kerugian
1) Onset lebih lama
2) Resiko toksisitas anestesi lokal lebih
besar
3. Teknik regional anestesi sering menjadi
pilihan. Hal ini dikarenakan tingginya mortalitas
ibu pada teknik anestesi umum akibat masalah
jalan napas, seperti kesulitan intubasi,
kesulitan ventilasi, atau pneumonia aspirasi.
4. Resiko mortalitas akibat regional anestes
biasanya diakibatkan blok neural yang
terlalutinggi atau toksisitas obat anestesi
5. Teknik anestesi apapun yang dipilih akan
menghasilkan Apgar score yang lebih rendah
dan AGD yang asidotik bila waktu yang
dibutukan untuk melahirkan bayi lebih dari 3
menit.
6. Kontraindikasi absolut anestesi regional:
a. Infeksi pada tempat suntikan
b. Hipovolemia berat
c. Pasien menolak
d. Gangguan koagulasi
7. Kontraindikasi relatif anestesi regional:
a. Gangguan neurologis
b. Riwayat sakit pinggang
c. Riwayat operasi pada tulang belakang
d. Infeksi sistemik
PROSEDUR ANESTESI PADA
SECTIO CAESARIA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/5

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
D. Prosedur umum teknik anestesi regional:
1. Persiapkan mesin anestesi, peralatan
resusitasi, alat dan obat-obatan untuk anestesi
umum.
2. Transportasi pasien dalam posisi miring kiri.
3. Berikan profilaksis aspirasi dengan 30 ml
sodium sitrat 30-45 menit sebelum induksi,
ranitidine 50 mg i.v, dan atau metoklopramid
10 mg 1-2 jam sebelum induksi.
4. Preloading 10-20 ml kgbb dengan cairan
kristaloid atau koloid.
5. Pasang monitor NIBP, EKG, dan pulse
oksimeter.
6. Berikan oksigen melalui nasal kanul atau
masker
7. Epidural
a. Setelah kateter epidural dipasang berikan
test dose terlebih dahulu.
b. Monitor tanda-tanda kemungkinan
injeksiintravaskular atau subarachnoid.
c. Setelah dipastikan posisi kateter sudah
benar kemudian masukkan obat anestesi
lokal secara bertahap 5 ml tiap 5 menit
dengan target ketinggian sampai dengan
level T4.
8. Spinal
a. Disarankan menggunakan jarum spinal
nomor kecil dengan tipe pencil point untuk
meminimalkan kemungkinan PDPH.
b. Masukkan 1,5-2 ml bupivakain 0,75%
hiperbarik.
c. Monitor tekanan darah setiap menit sampai
bayi lahir kemudian tiap 2 menit sampai
durasi obat 20 menit, dan setelah itu tiap 5
menit bila hemodinamik stabil.
d. Bila terjadi hipotensi berikan bolus kristaloid
250-500 ml dan efedrin dosis inkremental
mulai dari 5 mg sampai tekanan darah
kembali normal.
PROSEDUR ANESTESI PADA
SECTIO CAESARIA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
9. Anestesi Umum:
a. Keuntungan utama anestesi umum adalah
waktu preparasinya yang lebih singkat
dibandingkan anestesi regional dan tidak
adanya simpatektomi. Sedangkan kerugiannya
adalah kemungkinan terjadinya pneumonia
aspirasi yang lebih besar dan depresi janin
akibat obat anestesi.
b. Antisipasi terhadap kemungkinan kesulitan
intubasi endotrakeal. Lakukan evaluasi
terhadap leher, mandibula, gigi, dan orofaring
untuk memprediksi adanya masalah.
c. Pada pasien yang gemuk posisikan pasien
dengan elevasi bahu, fleksi servikal, dan
ekstensi sendi atlantooksipital.
d. Persiapkanrencana menghadapi kemungkinan
kesulitan intubasi. (lihat algoritme kesulitan
intubasi pada pasien obtetrik di bawah).
e. Teknik anestesi umum:
1) Persiapkan mesin anestesi, peralatan
resusitasi, alat dan obat-obatan untuk
anestesi umum.
2) Transportasi pasien dalam posisi miring kiri.
3) Berikan profilaksis aspirasi dengan 30 ml
sodium sitrat 30-45 menit sebelum induksi,
ranitidine 50 mg i.v, dan atau metoklo-
pramid 10 mg 1-2 jam sebelum induksi.
4) Pasang monitor NIBP, EKG, dan pulse
oksimeter.
5) Preoksigenasi dengan oksigen 100%
selama 3-5 menit.
6) Lakukan persiapan pada pasien dan
lakukan drapping.
7) Bila ahli bedah telah siap lakukan rapid
sequence induction dengan penekanan
krikoid menggunakan propofol 2 mg/kg
(atau pentotal 4 mg/kg), dan suksinil kolin
1.5 mg/kg atau rokuronium 0,9-1,2 mg/kg.
Pada keadaan hipovolemik atau pasien
asma dapat digunakan ketamin 1 mg/kg.
8) Operasi dapat dimulai bila sudah dipastikan
ETT berada pada posisi yang tepat.
PROSEDUR ANESTESI PADA
SECTIO CAESARIA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PRODUSER 9) Hindari hiperventilasi berlebihan karena
dapat menurunkan aliran darah uterus dan
menyebabkan asidosis.
10)Maintenan anestesi dengan 50% N20
dalam oksigen dengan volatile konsentrasi
rendah (< 0,75 MAC, misal 1% sevofluran,
0,75% isofluran, atau 3% desfluran) untuk
menghindari relaksasi uterus yang
berlebihan. Relaksasi otot dengan pelemas
otot durasi sedang.
11)Setelah bayi dan plasenta dilahirkan berikan
20-30 unit oksitosin dalam tiap liter cairan.
Konsentrasi N20 dapat ditingkatkan sampai
70% dan berikan opioid sebagai analgesia.
12)Bila kontraksi uterus tidak baik maka
hentikan pemakaian anestesi inhalasi dan
berikan opioid.
13)Metergin 0,2 mg dapat diberikan tetapi
harus dipertimbangkan pengaruh
peningkatan tekanan darah arterial pada
pasien.
14)Pada akhir operasi lakukan ekstubasi dalam
keadaan bangun bila sudah terpenuhinya
kriteria ekstubasi.
E. Komplikasi Perdarahan Pascaoperasi monitoring
1. Lakukan terhadap tanda-tanda perdarahan
pascaoperasi.
2. Diagnosa differensial perdarahan postpartum:
atoni uterus, sisa plasenta, laserasi vagina
atau servik, koagulopati.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi,


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif,
3. Dokter/ residen obgin,
4. Dokter/ residen IPD/IKA di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung.
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA PREEKLAMPSIA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin …… ….. - 1/7
Bandung
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
preeklampsia yang akan menjalani tindakan operasi.
Persiapan preoperatif yang baik akan mengurangi
KEBIJAKAN
resiko komplikasi pada pasien dengan resiko tinggi
PROSEDUR A. Klasifikasi
American College of Obstetricians and
Gynecologist mengklasifikasikan hipertensi pada
pregnansi kedalam 4 kelompok.
1. Hipertensi kronik; peningkatan tekanan darah
terjadi sebelum minggu ke-20 dari masa
gestasi.
2. Preeklampsia-eklampsia; manifest setelah
minggu ke-20. masa gestasi disertai dengan
proteinuria dan edema. Preeklampsia akan
menjadi eklampsia apabila terjadi kejang.
3. Hipertensi kronik dengan superimposed
preeklampsia.
4. Hipertensi gestasional: manifest setelah
minngu ke-20 masa gestasi tanpa adanya
tanda-tanda preeklampsia.

Preeklampsia Ringan
Hipertensi:
Sistolik  140 mmHg
 30 mmHg dari baseline
Diastolik  90 mmHg
 15 mmHg dari baseline
MAP  105 mmHg
 20 mmHg dari baseline

Proteinuria 1-2+ (dipstick)


 5g/24 jam
Edema General
Keluhan pasien
PROSEDUR ANESTESI PADA PREEKLAMPSIA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 2/7
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR Preeklampsia Ringan
Hipertensi:
Sistolik  160 mmHg

Diastolik  110 mmHg

MAP  120 mmHg

Proteinuria 3-4+ (dipstick)


 10/24 jam
Edema General
Keluhan pasien

B. Patofisiologi
1. Etiologi preeklamsia sampai saat ini belum
diketahui, namun faktor yang berperanan
penting adalah terjadinya iskemik
uteroplasenta yang kemungkinan terjadi akibat
perubahan imunitas sebagai reaksi graft
versus host.
2. Kemungkinan juga terjadi ketidakseimbangan
prostaglandin antara tromboksan dan
prostasiklin sehingga terjadilah preeklampsia.
Peningkatan jumlah tromboksan akan
menyebabkan vasokonstriksi dan agregasi
trombosit, serta gangguan aktivitas uterus
akibat penurunan aliran darah uteroplasenta.
3. Iskemia uteroplasenta mengakibatkan produksi
substan yang similar dengan renin dan
tromboplastin. Renin akan menyebabkan
pelepasan angiotensin dan aldosteron.
4. Peningkatan kadar renin, aldosteron, dan
katekolamin dalam sirkulasi akan menimbulkan
vasospasme, retensi sodium dan air, sehingga
terjadilah hipertensi dan kemudian berlanjut
menjadi edema.
5. Tromboplastin akan menginisiasi koagulopati
dan pada akhirnya dapat terjadi DIC.
PROSEDUR ANESTESI PADA PREEKLAMPSIA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 3/7
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR
Perubahan Patofisiologi pada Preeklampsia
CNS
 Edema serebral dan Vasospasme:
Sakit kepala, hiperreflek, penglihatan kabur,
kebutaan, kejang, koma.
 Perdarahan serebral

Pulmoner
 Edema jalan napas atas/ laring:
Kesulitan intubasi
 Predisposisi terhadap infeksi saluran napas atas
 Kebocoran kapiler paru:
Peningkatan gradien A-a

Kardiovaskular.
 Vasokonstriksi:
Hipertensi, gangguan perfusi jaringan, hipoksia
selular, peningkatan beban kerja jantung, gagal
jantung.
 Translokasi cairan:
Edema general, hipovolemia, hemokonsentrasi.
 Peningkatan viskositas darah Hipertrofi dan
disfungsi ventrikel kini

Renal:
 Penurunan aliran darah ginjal
 Penurunan GFR
 Penurunan creatinin clearance
 Peningkatan level asam urat yang berkorelasi
dengan beratnya penyakit.

Hepar:
 Perdarahan periportal
 Hematoma subkapsular
 Tes fungsi hati abnormal

Hematologi:
 Penurunan jumlah dan fungsi platelet
 Profil koagulasi abnormal (pemanjangan PTT).
 DIC
 HELLP sindrom

Uteroplasenta:
 Penurunan aliran darah intervillous
 Kelahiran premature
 Small plasenta
 Hiperaktivitas uterin
 Sensitivitas uterus terhadap oksitosin
 Abrupsio plasenta

C. Manajemen Hipertensi Pada Preeklampsia


Terapi hipertensi pada kehamilan terdiri dari: tirah
baring, sedasi, obat antihipertensi, dan
pencegahan kejang.

PROSEDUR ANESTESI PADA PREEKLAMPSIA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 5/7
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR OBAT MEKANISME KERJA KEUNTUNGAN
Hidralazin Vasodilator Onset + 10 menit
Meningkatkan aliran
darah ginjal Durasi 12
jam Hipotensi respon
terhadap pemberian
cairan
Propanolol Beta bloker Meningkatan aktivitas
antihipertensi hidralazin
Sodium Relaksasi otot polos direk Onset 1 menit Durasi 1-
Nitroprusid 10 menit
Nitrogliserin Relaksasi otot polos direk Onset 1-2 menit Durasi
10 menit
Meningkatkan aliran
darah uterin
Metildopa A2-agonis Maintenan yang baik
karena durasi yang
panjang
Captopril ACE inhibitor Tidak direkomendasikan
Diuretik Retensi sodium dan air Tidak direkomendasikan
Nifedipin Ca chanel blocker Relaksasi uterus
Meningkatkan aliran
darah ginjal
Klonidin A2-agonis Tidak ada data

OBAT KERUGIAN
Hidralazin Takikardia
Propanolol Bradikardia dan
hipoglikemia pada fetus
Sodium Fetal cyanide toxicity
Nitroprusid (dosis > 10 mcg/kg/mt)
Meningkatkan tekanan
intracranial matemal
Nitrogliserin Meningkatkan tekanan
intracranial matemal
Metildopa Neonatal tremor
Captopril Fetal death
Diuretik Hipotensi
Nifedipin Kombinasi dengan Mg
akan menyebabkan
hipotensi
Klonidin Hipoksia fetal
Peningkatan tonus
uterus (penurunan uterin
blood flow) Pada
umumnya tidak
direkomendasikan

D. Pencegahan Eklampsia
1. MgSO4 merupakan obat pilihan pertama untuk
mencegah terjadinya kejang yang bekerja
pada mioneural junction.

PROSEDUR ANESTESI PADA PREEKLAMPSIA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 5/7
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 2. Penurunan hiperrefleksia pada pemberian
MgSO4 merupakan akibat sekunder dari
inhibisi pelepasan asetilkolin pada
neuromuscular junction, penurunan sensitivitas
motor endplate terhadap asetilkolin, dan
penurunan eksitabilitas membran otot.
3. MgSO4 merupakan vasodilator ringan dan
menurunkan hiperaktivitas uterus sehingga
meningkatkan aliran darah uterus. MgSO4
juga menyebabkan vasodilatasi pada
pembuluh darah renal dan liver.
4. Level terapetik MgSO4 adalah 4
5. Gejala toksisitas magnesium neonatus:
depresi napas, apnoe, dan penurunan tonus
otot.
6. Toksisitas Mg pada ibu dan bayi dapat
diatasidengan pemberian kalsium.
7. MgSO4 diberikan secara i.v dengan dosis 8
mEq/ L. Di atas level ini akan menyebabkan
efek samping pada ibu dan janinnya.
8. MgSO4 akan menyebakan perubahan EKG
dan dapat menyebabkan cardiac dan
respiratory arrest. Efek samping yang
berbahaya ini tidak akan terjadi sampai
hilangnya reflek-reflek tendon dalam.
9. Oleh karena itu harus selalu dilakukan
monitoring terhadap kadar magnesium dan
deep tendon reflexes sehingga terhindar dari
efek yang membahayakan.
10. MgSO4 akan meningkatkan sensitivitas ibu
maupun janin terhadap pelemas otot baik
golongan depolarisasi maupun
nondepolarisasi.
11. Mg dapat masuk ke dalam plasenta sehingga
dapat pula menyebabkan toksisitas pada
neonatus.
12. Gejala toksisitas magnesium neonatus:
depresi napas, apnoe, dan penurunan tonus
otot.
13. Toksisitas Mg pada ibu dan bayi dapat diatasi
dengan pemberian kalsium.
PROSEDUR ANESTESI PADA PREEKLAMPSIA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 6/7
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 14. MgSO4 diberikan secara i.y dengan dosis awal
2-4 gram dalam 15 menit, diikuti pemberian
infus 1-3 gram perjam.
15. MgSO4 diekskresikan melalui ginjal, oleh
karena itu fungsi ginjal harus dimonitor secara
hati-hati, dan harus dilakukan penyesuaian
dosis pada pasien dengan penurunan fungsi
ginjal.
E. Anestesi Epidural Pada Preeklampsia
1. Keuntungan anestesi epidural pada
preeklampsia adalah terjadinya penurunan
atau eliminasi sensasi nyeri yang akan
mengurangi hiperventilasi, penurunan
pelepasan katekolamin) stress respon,
penurunan ansietas, dan peningkatan aliran
darah uteroplasenta. Penggunaan anestesi
regional juga akan mengurangi resiko
komplikasi aspirasi bila pasien dilakukan
dengan anestesi general.
2. Sebelum dilakukan pemasangan kateter
epidural harus dipastikan terlebih dahulu
tekanan darah dalam keadaan terkontrol,
volume intravaskular sudah cukup, dan profil
koagulasi normal.
3. Anestesi epidural merupakan pilihan utama
bila pada pasien tidak didapatkan gangguan
koagulasi.
4. Regional anestesi harus dihindari apabila
jumlah trombosit < 100 ribu.
5. Tekanan darah diastolik harus dipastikan <
110 mmHg sebelum dilakukan anestesi
neuraksial.
6. Pemberian loading cairan koloid 250-500 ml
sebelum epidural lebih efektif dibandingkan
kristaloid untuk mengkoreksi hipovolemia dan
mencegah hipotensi.
7. Selama anestesi harus dilakukan pengukuran
tekanan darah secara periodik.

PROSEDUR ANESTESI PADA PREEKLAMPSIA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 7/7
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 8. Parturien dengan penyakit hipertensi biasanya
mengalami deplesi cairan sehingga
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya
hipotensi.
9. Monitoring diuresis merupakan panduan dalam
pemberian cairan. Bila diuresis minimal atau
tidak keluar, lakukan fluid challenge 500-1000
ml dengan kristaloid isotonik. Bila diuresis
tetap tidak meningkat sebaiknya dilakukan
pemasangan CVC.
10. Hipotensi diatasi dengan pemberian dosis kecil
vasopresor (efedrin 5 mg) karena pasien ini
sangat sensitif terhadap agen tersebut.

F. Manajemen Pascaopearatif
1. Gejala-gejala akibat preeclampsia
membutuhkan waktu beberapa jam sampai
beberapa hari setelah plasenta dan fetus
dilahirkan untuk hilang secara komplit
sehingga pasien tetap beresiko untuk
terjadinya kejang.
2. Lakukan monitoring tekanan darah
pascaoperasi dan pemberian infus MgSO4
harus diteruskan minimal 24 jam pascaoperasi.
3. Kontrol nyeri pascaoperasi
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen obgin
4. Dokter/ residen IPD/IKA di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend

PROSEDUR PLASENTA PREVIA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin …… ….. - 1/2
Bandung
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
1. Plasenta previa merupakan kondisi dimana
posisi perlekatan plasenta terdapat pada bagian
bawah rahim sehingga menutupi internal servik.
Faktor predisposisi plasenta previa adalah:
PENGERTIAN
multiparitas, usia tua, dan riwayat SC
sebelumnya.
2. Plasenta plevia dapat bersifat marginal, parsial,
atau komplit
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
plasenta previa.
Pada keadaan dimana terdapat perdarahan yang
signifikan maka regional anestesi merupakan
KEBIJAKAN
kontraindikasi dan operasi harus dilakukan dengan
anestesi umum.
PROSEDUR A. Tanda Dan Gejala Plasenta Previa
1. Perdarahan akibat plasenta previa tidak
disertai nyeri dan biasanya terjadi secara
mendadak.
2. Jumlah perdarahan bervariasi dari ringan
sampai profuse dan mengancam jiwa.
3. Pada pemeriksaan USG tampak posisi
plasenta terhadap saluran interna dari
servikal.
4. Bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan USG
maka dilakukan pemeriksaan vaginal dengan
persiapan operasi emergensi SC apabila
terjadi perdarahaqn yang hebat akibat
pemeriksaan vaginal.
5. Adanya riwayat plasenta previa dan SC
sebelumnya akan meningkatkan resiko
terjadinya plasenta akreta, inkreta, dan
perkreta yang sulit dilepaskan dari uterus
sehingga menyebabkan perdarahan yang
banyak dan kemungkinan diperlukan tindakan
histerektomi untuk menghentikan perdarahan

PROSEDUR PLASENTA PREVIA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 2/2
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 6. Tindakan SC emergensi dilakukan apabila
terjadi episode perdarahan berulang atau
tanda fetal distress.
B. Manajemen Anestesia
1. Lakukan evaluasi terhadap kondisi maternal
dan fetal.
2. Bila tidak terdapat perdarahan maternal maka
pilihan anestesi regional masih dapat
dilakukan seperti biasanya.
3. Tim anestesi harus pula mempersiapkan
kemungkinan konversi menjadi anestesi umum
apabila kemudian terjadi perdarahan signifikan
dan ketidakseimbangan hemodinamik.
4. Pada keadaan dimana terdapat perdarahan
yang signifikan maka regional anestesi
merupakan kontraindikasi dan operasi harus
dilakukan dengan anestesi umum.
5. Sebelum dilakukan induksi pastikan terdapat
akses intravena yang adekuat. Lakukan
resusitasi cairan sedini mungkin.
6. Persiapkan dan crossmatching darah.
7. Induksi dilakukan dengan rapid sequence
induction dengan penekanan krikoid untuk
mencegah terjadinya aspirasi
8. Obat anestesi intravena pilihan pada pasien
dalam keadaan hipovolemik adalah etomidat
0,1-0,2 mg/ kg atau ketamin 1 mg/kg i.v
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen obgin
4. Dokter/ residen IPD/IKA di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend

PROSEDUR ABRUPTIO PLASENTA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin …… ….. - 1/2
Bandung
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Abruptio plasenta adalah separasi prematur dari
plasenta sebelum bayi dilahirkan. Insiden terjadinya
abruption plasenta meningkat seiring dengan
PENGERTIAN bertambahnya usia. Abruptio sering kali berhubungan
dengan keadaan hipertensi, multiparitas, trauma,
perokok, peminum alkohol, dan penyalahguna obat-
obatan.
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
TUJUAN pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
abruption plasenta.
Keadaan koagulopati dan hipovolemia akibat
perdarahan yang banyak merupakan
KEBIJAKAN kontraindikasi untuk dilakukan tindakan anestesi
regional, sehingga anestesi general merupakan
pilihan pada kasus ini
PROSEDUR A. Tanda Dan Gejala Abruptio Plasenta
1. Secara klasik abruption plasenta ditandai
dengan perdarahan disertai dengan rasa nyeri
yang hebat dan kontraksi uterus.
2. Perdarahan yang hebat akan mengakibatkan
syok hipovolemik maternal, fetal distress, atau
kematian janin.
3. DIC dapat terjadi pada abruption yang berat.
4. Pemeriksaan USG didapatkan klot
retroplasenta dan separasi plasenta dari
dinding uterus.
B. Manajemen Anestesia
1. Lakukan evaluasi terhadap kondisi maternal
dan fetal. Bila terdapat instabilitas maternal
dan atau fetal segera lakukan SC.
2. Keadaan koagulopati dan hipovolemia akibat
perdarahan yang banyak merupakan
kontraindikasi untuk dilakukan tindakan
anestesi regional, sehingga anestesi general
merupakan pilihan pada kasus ini.

PROSEDUR ABRUPTIO PLASENTA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 2/2
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 3. Sebelum dilakukan induksi pastikan terdapat
akses intravena yang adekuat. Lakukan
resusitasi cairan sedini mungkin.
4. Persiapkan dan crossmatching darah.
5. Induksi dilakukan dengan rapid sequence
induction dengan penekanan krikoid untuk
mencegah terjadinya aspirasi.
6. Obat anestesi intravena pilihan pada pasien
dalam keadaan hipovolemik adalah etomidat
0,1-0,2 mg/kg atau ketamin 1 mg/ kg i.v.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan Terapi
intensif
3. Dokter/ residen obgin
4. Dokter/ residen IPD/IKA di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR OPERASI NON-OBSTETRIK
PADA WANITA HAMIL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/7
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien hamil
TUJUAN
yang akan mejalani operasi non-obstetrik.

Persiapan preoperatif yang baik akan mengurangi


resiko komplikasi pada pasien dengan resiko
KEBIJAKAN
tinggi.

PROSEDUR A. Konsiderasi Anestesi


1. Pemberian tindakan anestesi pada wanita
hamil yang akan menjalani operasi
nonobstetrik harus mempertimbangkan dua
pasien secara simultan.
2. Konsiderasi maternal adalah dengan
memperhatikan perubahan fisiologis yang
terjadi pada wanita hamil terhadap tiap sistem
organ.
3. Pertimbangan terhadap fetus adalah terhadap
kemungkinan efek teratogenik dari obat
anestesi, mencegah terjadinya asfiksia fetal
intrauterin, dan mencegah terjadinya kelahiran
prematur.
B. Efek Teratogenik Anestesi
a. Efek teratogenik terjadi akibat pemberian
obat yang bersifat teratogenik pada dosis
tertentu yang diberikan pada masa-masa
kritis pembentukan organ janin. Masa
organogenesis ini terjadi pada hari ke-15
sampai dengan 60 hari masa gestasional,
sedangkan untuk perkembangan system
saraf pusat masih berlangsung sampai setelah
bayi dilahirkan.

PROSEDUR ANESTESI PADA PREEKLAMPSIA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 2/7
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR b. United States Food and Drug Administration
(FDA) mengeluarkan sistem klasifikasi untuk
membantu menentukan keuntungan dan
kerugian pemilihan obat untuk wanita hamil.
a. Kategori A: Tidak ada resiko
b. Kategori B: Tidak ada bukti beresiko pada
manusia.
c. Kategori C: Resiko belum dapat
disingkirkan. Pertimbangan pemilihan obat
golongan ini adalah apabila potensi
manfaatnya yang lebih besar.
d. Kategori D: Sangat berpotensi menimbulkan
resiko.
e. Kategori X: Kontraindikasi pada kehamilan.
f. Menurut FDA sebagian besar obat anestesi
(obat induksi intravena, anestesi local,
opioid, dan pelemas otot) termasuk dalam
klasifikasi kategori B atau C).
AGEN ANESTESI KLASIFIKASI FDA
Anestesi intravena
 Etomidat C
 Ketamin C
 Propofol B
 Tiopental C
Anestesi Inhalasi
 Desfluran B
 Enfluran B
 Halotan C
 Isofluran C
 Sevonfluran B
Anestesi Lokal
 Bupivakain C
 Lidokain B
 Ropivakain B
 Tetrakain C
 Kokain X
Opioid
 Alfentanil C
 Fentanil C
 Sufentanil C
 Meperidin B
 Morfin C
Pelemas Otot
 Atrakurium C
 Pankuronium C
 Rokuronium B
 Suksinilkolin C
 Vekuronium C

PROSEDUR ANESTESI PADA PREEKLAMPSIA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 3/7
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR Benzodiazepin
 Diazepam D
 Midazolam D
g. Sampai saat ini belum ada ata-data
penelitian yang membuktikan bahwa obat-
obat anestesi mengakibatkan efek
teratogenik. Penelitian menunjukkan bahwa
efek akibat operasi yang paling sering
adalah kelahiran prematur dengan angka
kejadian tertinggi pada prosedur
ginekologis.
h. Data-data penelitian juga menunjukkan
bahwa obat-obat anestesi bukanlah
merupakan penyebab terjadinya kelahiran
prematur.
C. Pencegahan Asfiksia Fetal Intrauterin
1. Asfiksia fetal intrauterin dihindari dengan
menjaga tekanan oksigen arterial maternal
(PaO2), PaCO2, dan aliran darah uterus tetap
dalam batas normal.
2. Hipoksia maternal akan menyebabkan
terjadinya hipoksemia fetal bahkan kematian
pada fetus.
3. Tekanan oksigen inspirasi tidak akan
mempengaruhi fetus walaupun diberikan
oksigen 100%.
4. Hiperkapnia dan hipokapnia maternal akan
menyebabkan perburukan pada fetus.
5. Hipokapnia berat terjadi akibat ventilasi
tekanan positif yang berlebihan yang
mengakibatkan peningkatan tekanan
intratorak, penurunan venous return, dan
penurunan aliran darah uterus.
6. Alkalosis maternal akibat hiperventilasi akan
menimbulkan penurunan aliran darah uterus
sebagai akibat vasokonstriksi dan menurunkan
penghantaran oksigen dengan pergeseran
kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri.
7. Hiperkapnia berat akan memperburuk janin
akibat asidosis fetal dan depresi miokardial.

PROSEDUR ANESTESI PADA PREEKLAMPSIA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 4/7
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 8. Baik obat maupun prosedur anestesi akan
mempengaruhi aliran darah uterus. Aliran
darah plasenta secara langsung proporsional
terhadap tekanan perfusi pada ruang
intervillous dan berbanding terbalik terhadap
resistensinya. Tekanan perfusi akan menurun
akibat hipotensi oleh karena penggunaan obat
anestesi, teknik regional spinal/ epidural,
kompresi aortokaval pada posisi supine, atau
akibat perdarahan.
9. Penurunan resistensi : vaskular dan
penurunan aliran darah uteroplasenta dapat
terjadi akibat penggunaan obat aadrenergik,
penurunan PaCo2, atau akibat peningkatan
katekolamin akibat nyeri dan anestesi yang
dangkal.
D. Pencegahan Kelahiran Prematur
1. Kelahiran prematur merupakan resiko yang
paling signifikan pada fetus.
2. Penggunaan obat yang mempunyai efek -
adrenergik agonis (misal: ketamin dan
fenilefrin) akan meningkatkan tonus
vaskular sehingga bila memungkinkan harus
dihindari.
3. Penggunaan anestesi inhalasi akan
memberi keuntungan dengan menurunkan
tonus uterus dan menghambat kontraksi
uterus.
4. Namun sampai saat ini belum ada penelitian
yang melaporkan bahwa pemakaian obat
anestesi dan teknik anestesi berhubungan
dengan tinggi rendahnya insiden kematian
janin atau kelahiran prematur.
5. Faktor resiko terbesar penyebab
terjadinya kelahiran prematur adalah
manipulasi uterus terutama pada prosedur
ginekologis.
6. Resiko terendah untuk kelahiran premature
adalah pada trimester kedua.
E. Konsiderasi Operasi Laparaskopi
1. Tidak ada perbedaan outcome antara teknik
laparaskopi dengan laparatomi.
PROSEDUR ANESTESI PADA PREEKLAMPSIA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 5/7
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 2. Konsiderasi anestesi spesifik pada laparaskopi
adalah menjaga keadaan tetap normokarbia,
pemasangan trokar tanpa menimbulkan
trauma pada rahim, dan menjaga tekanan
pneumoperitoneum < 15 mmHg sehingga
tidak menganggu tekanan
perfusi uterus.
F. Rekomendasi Umum Pemberian Anestesi Pada
Wanita Hamil Yang Akan Menjalani Prosedur
Non-Obstetrik
1. Sedapat mungkin hindari operasi selama
trimester 1.
2. Evaluasi bunyi denyut jantung janin sebelum
operasi.
3. Monitor tonus uterus dan bunyi denyut jantung
janin selama dan setelah operasi.
4. Hindari premedikasi.
5. Posisikan pasien pada posisi miring kiri
selama transportasi pasien untuk menghindari
kompresi aortokaval.
6. Pilihan teknik anestesi tergantung dari indikasi
maternal, daerah operasi, dan pengalaman
anestesiologist.
7. Bila memungkinkan dan tidak ada
kontraindikasi direkomendasikan teknik
anestesi regional untuk menguragi resiko
aspirasi dan paparan obat anestesi terhadap
janin.
8. Dosis semua obat anestesi harus dikurangi. ..
9. Profilaksis aspirasi pada kehamilan setelah
trimester pertama (antasid non partikulat,
H2 bloker, metoklopramid).
1. Jika dipilih teknik anestesi regional
a. Preloading cairan untuk menghindari
hipotensi.
b. Tatalaksana hipotensi dengan
pemberian cairan dan atau obat yang
mempunyai efek ß-adrenergik
predominan (misal: efedrin).

PROSEDUR ANESTESI PADA PREEKLAMPSIA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 6/7
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 2. Jika dipilih teknik anestesi umum
a. Preloading cairan untuk menghindari
hipotensi.
b. Denitrogenisasi dengan oksigen 100%
c. Rapid sequence induction dengan
penekanan krikoid.
d. Gunakan ETT dengan ukuran yang
lebih kecil dibandingkan pada pasien
yang tidak hamil.
e. Hindari pamakaian nasal airway dan
intubasi nasal.
f. Pilih obat-obatan yang relative aman.
g. Oksigenisasi adekuat dengan
konsentrasi oksigen minimal 50%.
h. Pertahankan keadaan normokarbia
i. Tatalaksana keadaan hipotensi dengan
pemberian cairan dan atau obat yang
mempunyai efek ß-adrenergik
predominan (misal: efedrin).
3. Informed consent pasien bahwa resiko
terhadap kemungkinan malformasi
kongengital pada janin belum diketahui dan
terdapat peningkatan resiko kelahiran
prematur dan kematian janin dalam
kandungan.
4. Hindari pemakaian NSAID karena dapat
menyebabkan penutupan dini pada duktus
arteriosus.
5. Teknik apapun yang dipilih harus
dipertahankan fisiologi intrauterin selalu
dalam keadaan normal dengan
menghindari terjadinya hipotensi,
hipoksemia, hipokarbi, hiperkarbi, dan
hipotermia

PROSEDUR ANESTESI PADA PREEKLAMPSIA

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 7/7
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen obgin
4. Dokter/ residen IPD/IKA di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PANDUAN
ANESTESI PADA
BEDAH TORAKS

PROSEDUR TEKNIK VENTILASI SATU PARU


(ONE LUNG VENTILATION)
DENGAN DOUBLE LUMEN TUBE
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/5
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
Teknik ventilasi satu paru dengan double lumen tube
adalah suatu teknik ventilasi untuk melakukan isolasi
PENGERTIAN pada salah satu paru atau untuk memfasilitasi
manajemen ventilasi pada beberapa kondisi dengan
menggunakan double lumen tube.
TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah
untuk pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien toraks yang akan menjalani tindakan operasi
dengan teknik ventilasi satu paru dengan double
lumen tube.
Pemilihan teknik regional anestesi dengan epidural
KEBIJAKAN
dapat menurunkan insiden DVT dan emboli paru
PROSEDUR A. Indikasi ventilasi satu paru
1. Indikasi pasien
a. Isolasi satu paru terhadap infeksi
b. Isolasi satu paru terhadap perdarahan
c. Separasi ventilasi dari masing-masing
paru:
1) Fistula bronkopleural
2) Disrupsi trakeobronkial
3) Kista atau bulla paru berukuran besar
d. Hipoksemia berat akibat penyakit paru
unilateral
2. Indikasi Bedah:
a. Repair aneurisma aorta torakal
b. Reseksi paru:
1) Pneumonektomi
2) Lobektomi
3) Reseksi segmental
c. Torakoskopi
d. Operasi esophageal
e. Transplantasi satu paru
f. Operasi vertebrae torakalis melalui
anterior
g. Lavase bronkoalveolar

PROSEDUR TEKNIK VENTILASI SATU PARU


(ONE LUNG VENTILATION)
DENGAN DOUBLE LUMEN TUBE
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 2/5

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR B. Prosedur Pemasangan Double Lumen Tube (Left
Sided)
1. Penggunaan bilah laringoskop Macintosh
biasanya memberikan visualisasi yang lebih
baik dibanding dengan bilah lurus.
Penggunaan bilah lurus sangat membantu
pada keadaan pasien dengan posisi laring
yang anterior.
2. Double lumen tube dimasukkan dengan
kurvatura distal dalam posisi konkaf kearah
anterior.
3. Setelah ujung tube melewati laring, dilakukan
rotasi 90 derajat kearah bronkus yang ingin
diintubasi (kearah kiri pada left sided)
4. Dorong tube sampai terasa ada tahanan.
Kedalaman rata-rata tube dari gigi adalah
sekitar 29 cm.
5. Kembangkan balon trakeal (5-10 ml udara)
6. Periksa bunyi nafas bilateral. Bunyi nafas
unilateral mengindikasikan bahwa tube terlalu
dalam sehingga bukaan trakeal berada di
bronchial.
7. Kembangkan balon bronchial (1-2 ml)
8. Klem lumen trakeal
9. Periksa suara nafas unilateral:
a. Bunyi nafas yang masih terdengar pada
paru kanan menandakan bahwa ujung
bronkial masih berada di atas karina. Pada
keadaan ini tube harus didorong lebih
dalam lagi.
b. Bila bunyi nafas terdengar unilateral pada
sisi kanan, mengindikasikan bahwa tube
masuk pada bronkus yang salah (bronkus
kanan).
c. Hilangnya suara nafas pada seluruh paru
kanan dan lobus kiri atas mengindikasikan
bahwa tube terlalu dalam bronkus kiri.
d. Lepaskan klem lumen trakeal dan lakukan
klem pada lumen bronchial.

PROSEDUR TEKNIK VENTILASI SATU PARU


(ONE LUNG VENTILATION)
DENGAN DOUBLE LUMEN TUBE
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR e. Periksa suara nafas unilateral pada sisi
anan. Tidak terdengarnya bunyi nafas
mengindikasikan bahwa tube kurang
masuk ke dalam sehingga balon bronkial
akan menyumbat aliran udara trakeal.
f. Malposisi double lumen tube
ditandakan dengan pengembangan paru
yang tidak baik dan udara ekshalasi yang
rendah
C. Komplikasi Pemasangan Double Lumen Tube
1. Hipoksemia, akibat dari penempatan tube yang
keliru atau oklusi.
2. Laringitis traumatic (terutama pada pemakaian
tube yang mempunyai hook)
3. Ruptur trakeobronkial akibat inflasi berlebihan
pada balon bronchial.
4. Terjahitnya tube pada bronkus secara
tidak sengaja pada saat penjahitan (ditandai
dengan tube yang tidak bisa ditarik saat
ekstubasi).
D. Manajemen Ventilasi Satu Paru
1. Resiko paling besar pada saat ventilasi satu
paru adalah terjadinya hipoksemia.
2. Untuk menurunkan resiko terjadinya
hipoksemia maka periode ventilasi satu paru
harus dibatasi seminimal mungkin dan harus
mempergunakan oksigen dengan konsentrasi
100%
3. Bila peak airway pressure meningkat secara
berlebihan (>30 cmH2O), maka tidal volume
harus dikurangi dengan memberikan volume 6-
8 ml/ kg dan frekuensi nafas ditingkatkan untuk
tetap mencapai ventilasi semenit.
4. Pulse oksimeter harus selalu dimonitoring
secara ketat, analisis gas darah dilakukan
secara periodic untuk memastikan ventilasi
yang adekuat. Pemantuan yang hanya
berdasarkan pada pengukuran end-tidal CO2
tidak dapat memberikan gambaran pasien
yang sebenarnya.

PROSEDUR TEKNIK VENTILASI SATU PARU


(ONE LUNG VENTILATION)
DENGAN DOUBLE LUMEN TUBE
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 4/5

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 5. Intervensi yang dilakukan bila terjadi
hipoksemia selama ventilasi satu paru:
a. Inflasi oksigen secara periodik pada paru
yang kolaps
b. Segera lakukan ligasi dan penjepitan arteri
pulmonal ipsilateral (selama pneumektomi)
c. Berikan CPAP (5-10 cmH2O) pada paru.
yang kolaps
d. Berikan PEEP (5-10 cmH2O) pada paru
yang diventilasi
e. Lakukan penyesuaian volume tidal dan
frekuensi nafas.
6. Tindakan yang pertama kali harus dilakukan
bila terjadi hipoksia pada saat ventilasi satu
paru (melalui pengukuran pulse oksimeter)
adalah dengan memberikan CPAP pada paru
yang kolaps, kemudian bila tidak terdapat
perbaikan maka berika PEEP pada paru yang
diventilasi.
7. Hipoksemia yang persisten harus
diatasi dengan segera melakukan re-ekspansi
pada paru yang kolaps. Lakukan kembali
konfirmasi posisi ETT yang kemungkinan
dapat berubah akibat manipulasil traksi
pembedahan.
8. Kedua lumen ETT harus dilakukan Suctioning
untuk memastikan tidak adanya kumpulan
darah/ sekret yang dapat menimbulkan
obstruksi.
9. Kemungkinan pneumotorak pada sisi
dependen harus dipertimbangkan dan
disingkirkan, keadaan ini biasanya dapat
timbul pada diseksi mediatinal yang ekstensif
atau akibat pemberian peak inspiratory
pressure yang tinggi.

PROSEDUR TEKNIK VENTILASI SATU PARU


(ONE LUNG VENTILATION)
DENGAN DOUBLE LUMEN TUBE
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 5/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan terapi
intensif
3. Dokter/ residen bedah thoraks
4. Dokter/ residen IPD/IKA di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/11
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien toraks
TUJUAN
yang akan menjalani tindakan reseksi paru

Persiapan preoperatif yang baik akan mengurangi


KEBIJAKAN resiko komplikasi pada pasien dengan resiko tinggi.

PROSEDUR A. Klasifikasi Tumor Paru


1. Tumor paru dapat bersifat jinak, ganas, atau
intermediate, yang baru dapat ditegakkan pada
saat operasi.
2. Tumor jinak yang paling banyak ditemukan
adalah hamartoma (90% tumor jinak) berupa
lesi pada perifer paru akibat disorganisasi
jaringan normal paru. Bronkial adenoma
merupakan lesi pada sentral paru yang pada
dasarnya bersifat jinak tetapi dapat bersifat
invasive secara local dan kadang mengalami
metastase.
3. Tumor yang termasuk jenis bronchial adenoma
adalah: pulmonary carsinoids, cylindroma, dan
mukoepidermoid adenoma. Jenis tumor
tesebut akan menimbulkan obstruksi pada
lumen bronchial dan menyebabkan pneumonia
rekuren pada bagian distal daerah obstruksi.
4. Karsinoid pulmonary dapat mensekresikan
hormon yang multipel, seperti: ACTH dan
arginine vasopresin
5. Tumor paru malignan terbagi menjadi dua
golongan, yaitu: small ("oat") cell carcinoma
(20% tumor maligna dengan 5-10% 5-year
survival), dan non-small cell carcinomas (80%
dari tumor maligna dengan 15-20% 5-year
survival).

PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:


RESEKSI PARU
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/11
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 6. Yang termasuk non-small cell ca adalah
squamous cell (epidermoid) tumor,
adenokarsinoma, dan large cell (anaplastic)
ca. Semua tipe tumor biasanya terjadi pada
perokok, kecuali adenokarsinoma. Epidermoid
dan small cell ca mempunyai massa di daerah
sentral dengan lesi bronchial. Adenokarsinoma
dan large cell ca biasanya mempunyai lesi di
daerah perifer yang sering melibatkan pleura
B. Manifestasi klinis:
1. Batuk
2. Hemptisis
3. Sesak
4. Wheezing
5. Kehilangan berat badan
6. Demam
7. Sputum produktif
8. Nyeri dada pleuritik atau efusi pleura (diduga
telah ekstensi ke pleura)
9. Bila massa telah melibatkan struktur
mediastinum: suara serak (kompresi n.
laringeus rekuren), Horner's syndrome, elevasi
hemidiafragma (kompresi n. phrenikus,
disfagia (kompresi esophagus), atau sindrom
vena cava superior.
10. Efusi pericardial atau kardiomegali bila telah
melibatkan jantung.
11. Nyeri bahu dan lengan menandakan ekstensi
apeks tumor yang menimbulkan penekanan
pleksus brakialis C7-T2 (Pancoast syndrome).
12. Ca paru (terutama small cell ca) dapat
menyebabkan sindrom paraneoplastik.
Sindrom ini terjadi karena produksi hormon
ektopik dan reaksi imunologis silang antara
tumor dan jaringan normal. Sekresi ACTH,
vasopressin dan hormon paratiroid akan
menyebabkan sindrom cushing, hiponatremia,
dan hiperkalsemia.
13. Sindroma paraneoplastik yang lain adalah:
osteoartropati hipertropi, degenerasi serebelar,
neuropati perifer, polimiositis, tromboplebitis,
dan karditis non bacterial.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/11
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR C. Penatalaksanaan
1. Terapi pilihan sebagai tindakan kuratif dari
kanker paru adalah dengan tindakan
pembedahan.
2. Reseksi surgikal dilakukan pada non-small cell
carcinoma yang belum melibatkan kelenjar
getah bening, ekstensi massa tumor ke struktur
mediastinum, atau metastase jauh.
3. Small cellca biasanya jarang diterapi dengan
tindakan pembedahan, karena pada saat
diagnosis dibuat saat tumor ditemukan
biasanya telah terjadi metastase. Tumor jenis ini
biasanya diterapi dengan kemoterapi dan
radiasi.
D. Resektabilitas
1. Resektabilitas ditentukan oleh keterlibatan
anatomis dari tumor, sedangkan operabilitas
tergantung dari ekstensivitas prosedur
danstatus fisiologis dari pasien.
2. Anatomic staging dilakukan dengan ronsen
toraks, CT scan, bronkoskopi, dan
mediastinoskopi.
3. Reseksi dapat dilakukan pada pasien dengan
lesi peribronkial ipsilateral atau dengan
metastase limfe nodus hilar ipsilateral.
Sedangkan reseksi pada lesi dengan
metastase ke limfe nodus mediastinal
ipsilateral atau subkarina masih menjadi
kontroversi.
4. Lesi yang tidak dapat direseksi (unresectable)
adalah lesi yang telah mengalami metastase
ke limfe nodus di skalenus, supraklavikula,
mediastinal kontralateral, atau hilar
kontralateral.
5. Ekstensivitas pembedahan selain
memaksimalkan usaha untuk mengobati
tumornya tetapi juga harus tetap
memperhitungkan untuk terjaganya fungsi paru
yang adekuat pascaoperasi.
6. Lobektomi melalui pendekatan torakotomi
posterior melalui celah interkostal ke 5 atau 6
merupakan prosedur pilihan untuk hampir
seluruh lesi.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/11
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 7. Reseksi segmental atau wedge resection
dilakukan pada pasien dengan lesi perifer yang
berukuran kecil dan fungsi paru yang tidak
baik.
8. Pneumonektomi merupakan terapi kuratif pada
lesi yang melibatkan cabang utama bronkus
kanan/kiri atau bila tumor telah meluas ke
hilum.
E. Operabilitas
1. Operabilitas merupakan suatu keputusan
klinis, tetapi dapat menggunakan tes fungsi
paru sebagai panduan.
2. Derajat gangguan tes, fungsi paru preoperatif
berbanding lurus dengan resiko operasi.
3. Kriteria laboratori preoperatif untuk dilakukan
pneumonektomi
TEST PASIEN RESIKO TINGGI
Analisa gas darah PaCo2 > 45 mm Hg (dengan udara bebas)
PaO2 < 50 mmHg
FEV1 <2L
(Predicted post operative FEV1) <0,8 L atau < 40% dari prediksi
FEV1/ FVC <50 % dari prediksi
Maximum breathing capacity < 50 % dari prediksi
Maximum VO2 < 10 ml kg/ menit
F. Manajemen Preoperatif
1. Mayoritas pasien yang akan menjalani operasi
paru memiliki dasar penyakit paru.
2. Pasien dengan tumor paru adalah perokok
berat yang biasanya memiliki penyakit
penyerta PPOK atau CAD.
3. Lakukan evaluasi terhadap kemungkinan
komplikasi akibat ekstensi tumor dan sindrom
paraneoplastik.
4. Analisa secara teliti terhadap hasil ronsen
toraks, CT, dan MRI.
5. Deviasi trakeal atau bronkial akan mempersulit
proses intubasi trakeal, disamping itu kompresi
pada jalan nafas akan mempersulit ventilasi
saat induksi.
6. Adanya konsolidasi pada paru, atelektasis, dan
efusi pleura yang besar akan menjadi
predisposisi terjadinya hipoksemia.
7. Pasien yang akan menjalani tindakan operasi
toraks akan meningkatkan resiko komplikasi
paru dan jantung pascaoperasi.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 5/11
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 8. Persiapan preoperatif yang baik akan
mengurangi resiko komplikasi pada pasien
dengan resiko tinggi.
9. Premedikasi sebaiknya tidak diberikan pada
pasien dengan gangguan respirasi sedang-
berat
G. Manajemen intraoperatif
1. Persiapan operasi yang optimal akan
membantu mengurangi potensi permasalahan
yang dapat terjadi pada bedah torak.
2. Pasien bedah toraks biasanya mempunyai
fungsi cadangan paru yang jelek, struktur
anatomi yang abnormal, atau gangguan pada
jalan nafas, dan kemungkinan membutuhkan
ventilasi satu paru sehingga merupakan
predisposisi untuk terjadinya hipoksemia dalam
waktu yang singkat. Untuk itu harus terlebih
dahulu disusun rencana dan persiapan yang
baik untuk menghadapi segala kemungkinan
yang dapat terjadi.
3. Persiapkan peralatan dasar untuk pengelolaan
jalan nafas sulit dan pastikan semua berfungsi
dengan baik.
4. Siapkan beberapa ukuran ETT single lumen
dan double lumen dalam beberapa ukuran,
bronkoskop fiberoptik fleksibel, "tube exchanger
diameter kecil, perangkat system continuous
positive airway pressure (CPAP), dan adapter
bronkodilator pada sirkuit anesthesia.
5. Apabila direncanakan untuk memberikan opioid
dan local anestesi melalui epidural untuk
analgesia pascabedah, maka kateter epidural
harus dipasang sebelum dilakukan induksi
anestesi dengan pasien dalam keadaan bangun
sehingga akan memfasilitasi pemasangan dan
lebih aman dibandingkan bila pemasangan
dilakukan saat pasien sudah teranestesi.
6. Pasang minimal 1 buah akses vena berukuran
besar (nomor 14 atau 16). Pertimbangkan
pemasangan CVC pada sisi pembedahan dan
perangkat penghangat darah bila diperkirakan
akan terjadi perdarahan yang banyak.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 6/11

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR H. Monitoring
1. Monitoring direk tekanan arterial
diindikasikan pada ventilasi satu paru,
reseksi tumor berukuran besar (terutama
tumor yang ekstensi ke mediastinum atau
dinding dada), dan pada tiap prosedur yang
dilakukan pada pasien dengan keterbatasan
funfsi paru dan penyakit kardiovaskular yang
signifikan.
2. Monitoring CVP sangat disarankan pada
pasien yang akan menjalani prosedur
pneumektomi dan reseksi tumor berukuran
besar. CVP ini akan memberikan refleksi
terhadap kapasitan vena, volume darah, fungsi
ventrikel kanan, dan sebagai panduan dalam
memberikan terapi cairan.
3. Kateter arteri pulmonal diindikasikan pada
pasien dengan hipertensi pulmonal, cor
pulmonal, atau disfungsi ventrikel kiri.
I. Induksi anestesi:
1. Lakukan preoksigenasi yang adekuat sebelum
dilakukan induksi.
2. Pada kebanyakan kasuss, induksi dilakukan
dengan obat anestesi intravena dengan
pemilihan obat induksi didasarkan pada status
preoperatif pasien.
3. Laringoskopi direk dilakukan setelah dipastikan
anestesi telah dalam untuk mencegah reflek
bronkospasme dan mengurangi respon
kardiovaskular.
4. Lakukan pemasangan ETT double lumen
kemudian konfirmasi posisi ETT sudah pada
tempatnya.
5. Untuk mencegah atelektasis, pernafasan
paradoks, dan pergeseran mediastinal berikan
ventilasi kontrol tekanan positif.
J. Posisi
1. Prosedur operasi reseksi paru dilakukan
melalui torakotomi posterior dengan
memposisikan pasien pada posisi lateral
dekubitus.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 7/11

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 2. Pastikan posisi pasien yang benar untuk
menghindari cedera dan memfasilitasi
lapangan operasi yang baik.
3. Posisi lengan yang dibawah berada dalam
keadaan fleksi, sedangkan lengan yang di atas
dalam keadaan ekstensi di atas kepala pasien
sehingga kan menarik scapula untuk menjauh
dari lapangan operasi.
4. Tempatkan bantal di antara tungkai dan,
lengan, kemudian untuk mencegah cedera
pada pleksus brakialis maka letakkan
gulungan kassa atau kain yang lembut di
daera aksila yang dependen.
5. Pastikan tidak ada penekanan pada bola mata
dan telinga dependen.
K. Pemeliharaan Anestesi:
1. Pemeliharaan anestesi dapat dilakuakan
dengan memberikan kombinasi anestesi
inhalasi (halotan, isofluran, sevofluran, atau
desfluran) dan opioid.
2. Keuntungan memberikan anestesi inhalasi
halogenasi adalah adanya efek bronkodilatasi,
depresi reflek jalan nafas, memungkinkan
untuk memberikan oksigen inspirasi
konsentrasi tinggi, mudah untuk mengatur
kedalam anestesi, dan efek terhadap hypoxic
pulmonary vasoconstriction (HPV) yang
minimal.
3. Efek minimal anestesi inhalasi terhadap HPV
didapatkan pada konsentrasi < 1 MAC.
4. Keuntungan penggunaan opioid adalah
efeknya yang minimal terhadap
hemodinamik, depresi terhadap reflek-reflek
jalan nafas, dan efek analgesi residual
pascabedah.
5. Penggunaan N20 sebaiknya tidak diberikan
karena dapat menurunkan FiO2,
menghambat HPV, dan pada beberapa pasien
dapat menimbulkan eksaserbasi hipertensi
pulmonal.

PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:


RESEKSI PARU
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 8/11

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012

PROSEDUR 6. Penggunaan N20 sebaiknya tidak


diberikan karena dapat menurunkan FiO2,
menghambat HPV, dan pada beberapa pasien
dapat menimbulkan eksaserbasi hipertensi
pulmonal.
7. Pemeliharaan dengan pelemas otot non
depolarisasi akan mempermudah mencapai
kedalaman anestesi sehingga akan pula
memfasilitasi saat operator meregangkan
tulang kostae.
8. Apabila pada saat manipulasi pembedahan
terjadi bradikardia akibat reflek vagal, maka
keadaan ini harus diatasi dengan memberikan
sulfas atropine intravena.
9. Pada saat rongga dada dibuka maka
tekanan negatif intratorakal akan hilang,
hal ini akan menyebabkan penurunan
aliran balik darah vena, keadaan ini dapat
diatasi dengan memberikan bolus cairan
intravena.
10. Pemberian cairan intravena pada pasien
yang akan menjalani reseksi paru pada
umumnya dibatasi dengan hanya
memberikan kebutuhan maintenan dan cairan
penggantian darah yang hilang.
Pemberian cairan yang berlebihan pada posisi
pasien lateral dekubitus akan mendorong
timbulnya "lower lung syndrome",
dimana terjadi transudasi cairan pada
paru bagian bawah akibat dari gravitasi.
Keadaan ini akan meningkatkan terjadinya
shunting intrapulmonary yang akan
memperbesar resiko terjadinya hipoksemia
terutama pada saat dilakukan ventilasi satu
paru.

PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:


RESEKSI PARU
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 9/11
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR L. Manajemen ventilasi satu paru.
1. Resiko paling besar pada saat ventilasi satu
paru adalah terjadinya hipoksemia.
2. Untuk menurunkan resiko terjadinya
hipoksemia maka periode ventilasi satu paru
harus dibatasi seminimal mungkin dan harus
mempergunakan oksigen dengan konsentrasi
100%.
3. Bila peak airway pressure meningkat secara
berlebihan ( >30 cmH2O), maka tidal volume
harus dikurangi dengan memberikan volume 6-
8 ml/ kg dan frekuensi nafas ditingkatkan untuk
tetap mencapai ventilasi semenit.
4. Pulse oksimeter harus selalu dimonitoring
secara ketat, analisis gas darah dilakukan
secara periodic untuk memastikan ventilasi
yang adekuat. Pemantuan yang hanya
berdasarkan pada pengukuran end-tidal CO2
tidak dapat memberikan gambaran pasien
yang sebenarnya.
5. Intervensi yang dilakukan bila terjadi
hipoksemia selama ventilasi satu paru:
a. Inflasi oksigen secara periodik pada paru
yang kolaps
b. Segera lakukan ligasi dan penjepitan arteri
pulmonal ipsilateral (selama pneumektomi)
c. Berikan CPAP (5-10 cmH2O) pada paru
yang kolaps
d. Berikan PEEP (5-10 cmH2O) pada paru
yang diventilasi
6. Tindakan yang pertama kali harus dilakukan
bila terjadi hipoksia pada saat ventilasi satu
paru (melalui pengukuran pulse oksimeter)
adalah dengan memberikan CPAP pada paru
yang kolaps, kemudian bila tidak terdapat
perbaikan maka berika PEEP pada paru yang
diventilasi.
7. Hipoksemia yang persisten harus diatasi
dengan segera melakukan re-ekspansi pada
paru yang kolaps. Lakukan kembali konfirmasi
posisi ETT dapat berubah akibat yang
kemungkinan manipulasi/ traksi pembedahan.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 10/11

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 8. Kedua lumen ETT harus dilakukan suctioning
untuk memastikan tidak adanya kumpulan
darah/ sekret yang dapat menimbulkan
obstruksi.
9. Kemungkinan pneumotorak pada sisi
dependen harus dipertimbangkan dan
disingkirkan, keadaan ini biasanya dapat
timbul pada diseksi mediatinal yang ekstensif
atau akibat pemberian peak inspiratory
pressure yang tinggi.
M. Manajemen Pascaopearatif
1. Perawatan Umum
a. Sebagian besar pasien dilakukan
ekstubasi dini untuk menurunkan resiko
terjadinya barotrauma (terutama ruptur
pada jahitan bronchial) dan resiko infeksi
paru.
b. Pasien dengan reserve paru yang
marginal sebaiknya tetap dalam keadaan
terintubasi sampai dengan standar untuk
dilakukan ekstubasi terpenuhi. Bila pasien
tetap dipertahankan terintubasi maka ETT
double lumen harus diganti dengan ETT
single lumen pada saat akhir operasi.
c. Pasien harus diobservasi secara ketat di
ruang pemulihan (PACU), kemudian bila
stabil dipindahkan ke ICU atau ruang
perawatan intermediate paling tidak
selama 1 malam atau lebih.
d. Posisikan pasien pada posisi setengah
duduk ( >30 derajat) dan berikan
suplemen oksigen (40-50%).
e. Lakukan pemantauan ketat terhadap EKG
dan hemodinamik.

PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:


RESEKSI PARU
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 11/11

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR f. Komplikasi pascabedah yang paling sering
terjadi adalah hipoksemia dan asidosis
respiratorik. Keadaan ini paling sering
disebabkan oleh atelektasis akibat
kompresi surgical pada paru, gangguan
pernapasan akibat nyeri operasi,
transudasi cairan akibat gravitasi pada
paru dependen.
g. Perhatikan tanda-tanda komplikasi
perdarahan pascabedah, yaitu:
peningkatan drainase chest tube (> 200
ml/ jam), hipotensi, takikardi, dan
penurunan hematokrit.
h. Lakukan evaluasi radiografik.
i. Nyeri pasca operasi harus diatasi secara
agresif

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi,


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif,
3. Dokter/ residen bedah toraks
4. Dokter/ residen IPD/IKA di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PANDUAN ANESTESI
PADA GERIATRI

PROSEDUR ANESTESI PADA GERIATRI

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin …… ….. - 1/3
Bandung
Ditetapkan,
Direktur Utama

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012

dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,


NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Geriatri merupakan populasi dengan batasan
umur ≥ 65 tahun. Proses penuaan akan
menyebabkan perubahan terhadap fungsi sistem
organ berupa penurunan functional reserve dan
ketidakmampuan untuk memberikan respon
terhadap stress, sehingga meningkatkan resiko
terjadinya morbiditas dan mortalitas apabila
dilakukan proses pembedahan.
Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan
anestesi pada pasien geriatri yang akan menjalani
TUJUAN
tindakan pembedahan.

KEBIJAKAN Pemilihan teknik anestesi dan obat anestesi yang


akan diberikan harus mempertimbangkan perubahan
fungsi system organ dan perubahan respon obat
akibat perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik.

PROSEDUR ANESTESI PADA GERIATRI

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 2/3
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Resiko terhadap pemberian anestesi lebih
dipengaruhi oleh co-existing disease yang ada
dibandingkan faktor usianya.
2. Oleh karena itu pada saat pemeriksaan
preoperatif harus lebih fokus untuk
mengidentifikasi adanya penyakit-penyakit
yang sering berhubungan dengan geriatri dan
juga evaluasi terhadap fungsi fisiologis yang
telah disebutkan di atas.
3. Geriatri biasanya mengkonsumsi obat-obatan
untuk pengobatan co-existing disease-nya.
Data obat yang sedang diminum harus
didapatkan secara lengkap karena
kemungkinan terjadinya interaksi dengan obat
anestesi yang akan diberikan.
4. Lakukan evaluasi preoperatif terhadap
functional reserve dan jalan nafas.
5. Osteoartritis atau rheumatoid arthritis pada
servikal akan mempersulit tindakan
laringoskopi-intubasi.
6. Insufisiensi arteri vertebrobasiler dapat
dievaluasi dengan melihat efek posisi kepala:
rotasi dan ekstensi terhadap status mental.
7. Pastikan status volume, biasanya geriatric
mempunyai kecenderungan terjadinya
hipovolemia preoperatif.
8. Premedikasi terbaik untuk geriatri
adalah dengan kunjungan preoperatif.
Jelaskan proses yang akan dijalani
selama perioperatif. Jika pasien masih tampak
cemas dapat diberikan golongan
benzodiazepine.
9. Premedikasi yang akan diberikan pada
geriatri membutuhkan dosis yang lebih
rendah.
10. Hindari memberikan premedikasi dengan
atropine karena dapat meningkatkan beban
kerja jantung, dan sering menimbulkan
confusion pascaoperatif.

PROSEDUR ANESTESI PADA GERIATRI

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 3/3
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 11. Pemberian metoklopramid dapat mempercepat
pengosongan lambung, tetapi pada pasien
geriatri resiko untuk terjadinya efek samping
gejala ekstrapiramidal juga meningkat.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Teknik anestesi regional maupun umum dapat
menjadi pilihan pada geriatri tergantung dari
kondisi fungsi sistem organ masing-masing
pasien dan jenis operasi yang akan dijalani.
2. Pemilihan obat-obatan juga harus
mempertimbangkan fungsi sistem organ dan
perubahan respon obat akibat berubahnya
farmakokinetik dan farmakodinamik pada
pasien
C. Manajemen Pascaoperatif
Direkomendasikan ambulasi dini untuk
menurunkan resiko terjadinya pneumonia dan
thrombosis vena dalam.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, dokter/ residen bedah
3. Dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PANDUAN
ANESTESI PADA
PASIEN
DENGAN CO-EXISTING
DISEASE

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN


PENYAKIT LIVER (HEPATITIS AKUT)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/4
Ditetapkan,
Direktur Utama

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012

dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,


NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Hepatitis akut memberikan gambaran berupa
trauma hepatoselular akut dengan nekrosis
selular pada sejumlah sel tersebut. Keadaan ini
biasanya disebabkan oleh infeksi virus,
reaksi obat, dan akibat toksin. Manifestasi klinis
pada umumnya tergantung dari beratnya
reaksi inflamasi dan banyaknya nekrosis.
Reaksi inflamasi ringan biasanya asimptomatik dan
hanya terjadi sedikit peningkatan serum
transaminase, sedangkan nekrosis hepatic massif
meerupakan gambaran dari suatu kegagalan
hepatic fulminan akut.

Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi


pada pasien dengan penyakit Hepatitis akut yang
TUJUAN
akan menjalani tindakan pembedahan.

KEBIJAKAN Hindari faktor-faktor yang menyebabkan perburukan


fungsi hepar

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN


PENYAKIT LIVER (HEPATITIS AKUT)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Pasien dengan hepatitis akut yang akan
menjalani operasi elektif harus ditunda
sampai penyakitnya mengalami perbaikan
yang ditandai dengan normalisasi fungsi
hati. Morbiditas dan mortalitas perioperatif
pada pasien dengan hepatitis akut yang
menjalani pembedahan sebesar 12% dan
10%.
2. Pasien dengan hepatitis mempunyai
resiko untuk terjadinya perburukan
fungsi hepar dan terjadinya komplikasi
akibat kegagalan hepar, seperti
encephalopati, koagulopati atau hepatorenal
sindrom.
3. Tindakan pembedahan pada pasien
dengan hepatitis akut hanya boleh
dilakukan pada pasien yang benar-benar
emergensi.
4. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
adalah BUN, elektrolit serum, kreatinin,
glukosa, transaminase, bilirubin, alkali
fosfatase, albumin, PT, dan trombosit.
Bila dimungkinkan dilakukan pemeriksaan
HbsAg.
5. Pada hepatitis yang disebabkan oleh virus
kadar SGOT biasanya lebih tinggi
dibandingkan dengan SGPT kecuali pada
pasien dengan hepatitis yang disebabkan
oleh alkohol.
6. Bilirubin dan alkali fosfatase sedikit meningkat
kacuali pada keadaan cholestasis.
7. Indikator terbaik untuk fungsi sintesa dari
hepar adalah PT, pemanjangan INR lebih dari
3 detik setelah pemberian vitamin K
merupakan indikasi terjadinya disfungsi hepar
yang berat.
8. Hipoalbumin biasanya tidak terjadi
kecuali pada kasus gangguan fungsi hepar
yang berat dengan malnutrisi atau penyakit
hepar kronis.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN


PENYAKIT LIVER (HEPATITIS AKUT)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/4

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 9. Pasien hepatitis akut yang akan menjalani
operasi emergensi harus dilakukan evaluasi
mengenai penggunaan obatobatan
sebelumnya, konsumsi alcohol, obat-obatan
intravena, transfusi dan tindakan anestesi
sebelumnya.
10. Dehidrasi dan gangguan elektrolit akibat mual
muntah harus dilakukan koreksi.
11. Koagulopati dikoreksi dengan memberikan
vitamin K atau FFP.
12. Pada umumnya tidak perlu dilakukan
premedikasi unuk meminimalkan pemberian
obat-obatan.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Tujuan manajemen intraoperatif adalah untuk
menjaga fungsi hepar dan menghindari faktor-
faktor yang memperburuk fungsi hepar.
2. Pemilihan jenis dan dosis obat bersifat
individual.
3. Anestetik inhalasi lebih menjadi pilihan
dibandingkan obat anestesi intravena.
4. Dosis baku obat-obatan induksi anestesi
intavena masih dapat digunakan karena efek
obat tersebut lebih banyak dihentikan oleh
redistribusi dibandingkan dengan metabolism
atau ekskresi.
5. Pemanjangan durasi obat anestesi
intravena dapat dikurangi dengan
memberikan dosis yang besar atau dosis yang
berulang.
6. Obat anestesi inhalasi yang menjadi
pilihan utama adalah isofluran, hal
ini dikarenakan isofluran mempunyai
efek yang paling kecil terhadap aliran darah
hepar.
7. Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan
aliran darah hepar harus dihindari. Faktor-
faktor ini adalah: hipotensi, rangsangan
simpatis yang berlebihan, tahanan jalan nafas
yang terlalu besar pada saat melakukan
ventilasi kontrol.
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN
PENYAKIT LIVER (HEPATITIS AKUT)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 8. Teknik regional anestesi dapat dilakukan bila
tidak terdapat gangguan koagulasi dan
keadaan hipotensi.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di
lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis


2. Lembat informed consend

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN PENYAKIT LIVER
(HEPATITIS KRONIS)
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/2
Ditetapkan,
Direktur Utama

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012

dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,


NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Hepatitis Kronis didefinisikan sebagai keadaan
inflamasi hepar persisten yang terjadi dalam
waktu > 6 bulan, hal ini dibuktikan dengan
peningkatan aminotransferase serum. Pasien dengan
hepatitis kronik aktif mengalami inflamasi hepar
kronis dengan destruksi struktur sel normal.
Penyebab tersering dari hepatitis kronis adalah
hepatitis B atau C.
TUJUAN Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan
anestesi pada pasien dengan penyakit Hepatitis
akut yang akan menjalani tindakan pembedahan.
KEBIJAKAN Hindari faktor-faktor yang menyebabkan penurunan
aliran darah hepar dan factor-faktor yang
memperburuk fungsi hepar.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN PENYAKIT LIVER
(HEPATITIS KRONIS)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/2
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR A. Manajemen Anestesi
1. Pada pasien dengan hepatitis kronik persisten,
manajemen anestesi sama dengan manajemn
pada hepatitis akut. (Lihat Panduan pelayanan
anestesi pada pasien dengan hepatitis akut)
2. Pasien dengan hepatitis kronik aktif dianggap
telah mengalami sirosis dan pengelolaan
anestesinya sama dengan pengelolaan pada
pasien dengan sirosis. (Lihat panduan
pelayanan anestesi pada pasien dengan
sirosis hepatis).
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/ residen bedah, dokters residen IPD di
lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis


2. Lembat informed consend

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN PENYAKIT HEPATOBILIER
(KOLELITIASIS & KOLESISTITIS)
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012

dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,


NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Penyakit hepatobilier biasanya ditandai dengan
adanya kolestasis yang menimbulkan gangguan
aliran empedu. Penyebab tersering adalah
obstruksi ekstrahepatik pada saluran empedu
(obstructive jaundice) akibat dari adanya batu
empedu, striktur, atau tumor. Pasien dengan
obstruksi yang komplit atau hampir. komplit
menunjukkan gejala jaundice yang progresif, urin
yang berwarna gelap, feses berwarna pucat, dan
pruritus.

Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi


pada pasien dengan penyakit Hepatobilier yang akan
TUJUAN
menjalani tindakan pembedahan.

KEBIJAKAN Hidrasi preoperatif harus adekuat untuk mencegah


kegagalan renal pascaoperasi akibat kadar bilirubin
yang tinggi.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN PENYAKIT HEPATOBILIER
(KOLELITIASIS & KOLESISTITIS)
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 2/3

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Pasien dengan tanda-tanda kolesistitis akut
harus distabilkan terlebih dahulu dengan
medikamentosa sebelum dilakukan tindakan
kolesistektomi.
2. Terapi yang diberikan berupa: nasogastic
Suction, pemberian cairan intravena, antibiotik,
dan analgetik.
3. Apabila terjadi komplikasi: empyema,
perforasi, gangrene, hidrops, fistula, atau
gallstone ileus, maka dilakukan operasi
emergensi.
4. Kolesistitis akalkulus biasanya terjadi pada
pasien dengan penyakit kritis dan beresiko
tinggi untuk terjadinya gangrene dan
perforasi. Pada pasien seperti ini
merupakan indikasi untuk dilakukan operasi
emergensi.
5. Pasien dengan obstruksi ekstrahepatik
oleh sebab apapun akan mengalami
defisiensi vitamin K, oleh karena itu harus
diberikan vitamin K parenteral yang
membutuhkan waktu 24 jam untuk
memberikan respon penuh.
6. Pemberian FFP bila PT belum bias dikoreksi
sebelum pembedahan.
7. Hidrasi preoperatif harus adekuat untuk
mencegah kegagalan renal pascaoperasi
akibat kadar bilirubin yang tinggi.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN PENYAKIT HEPATOBILIER
(KOLELITIASIS & KOLESISTITIS)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR B. Manajemen Intraoperatif
1. Kolesistektomi per laparoskopi dapat
mempercepat penyembuhan pasien tetapi
dengan berbagai kekurangan yang terjadi (lihat
panduan anestesi pada prosedur laparoskopi).
2. Pemberian opioid biasanya ditunda apabila
akan dilakukan tindakan kolangiogram karena
dapat menimbulkan spasme sehingga
didapatkan hasil positif palsu.
3. Pemberian obat yang diekskresikan lewat
saluran empedu akan menyebabkan efeknya
memanjang, oleh karenanya sebaiknya
memilih obat-obatan yang diekskresikan
melalui ginjal.
4. Diuresis harus dimonitoring ketat dengan
kateter.
5. Pasien dengan kolesistitis akalkulus dan
kolangitis berat adalah pasien dengan penyakit
kritis dengan mortalitas perioperatif yang
tinggi, oleh karena itu sebaiknya dipasang
monitoring hemodinamik invasif.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, dokter/ residen bedah
3. Dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung.
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN SIROSIS HEPATIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/4
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Sirosis hepatis merupakan penyakit yang diakibatkan
oleh penyakit hati yang kronis dan progresif yang
sebagian besar karena konsumsi alkohol yang
berlebihan dan hepatitis viral kronis.
TUJUAN Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi
pada pasien dengan penyakit sirosis hepatis yang
akan menjalani tindakan pembedahan.
KEBIJAKAN Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan aliran
darah hepar harus dihindari. Faktor-faktor ini adalah:
hipotensi, rangsangan simpatis yang berlebihan,
tahanan jalan nafas yang terlalu besar pada saat
melakukan ventilasi kontrol.
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Pasien dengan sirosis sangat
beresikomengalami perburukan fungsi hati
dikarenakan fungsi cadangannya yang
terbatas.
2. Identifikasi semua kemungkinan timbulnya
manifestasi akibat sirosis.
3. Apabila terdapat perdarahan gastrointestinal
harus dilakukan endoskopi untuk memastikan
perdarahan akibat pecahnya varises esogagus
atau ulkus peptikum/ gastritis. Varises
esophagus diterapi secara suportif dengan
memberikan cairan pengganti / transfusi atau
dengan skleroterapi. Apabila perdarahan tidak
dapat dihentikan maka merupakan indikasi
untuk dilakukan pembedahan darurat.
4. Pemberian transfusi harus dengan indikasi
yang ketat dikarenakan pemberian transfusi
yang masif akan meningkatkan kadar nitrogen
akibat pemecahan protein yang akan
mempresipitasi terjadinya ensefalopati.
5. Koagulopati harus dikoreksi sebelum operasi.
Faktor pembekuan harus diperbaiki dengan
memberikan produk darah yang sesuai,
misalnya FFP dan kriopresipitat. Transfusi
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN SIROSIS HEPATIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR trombosit bila < 100.000.
6. Bila PT memanjang berikan vitamin K
7. Lakukan pemeriksaan foto toraks dan AGD
8. Lakukan parasentesis pada pasien dengan
asites masif yang mengganggu pernafasan.
Parasentesis harus dilakukan dengan hati-hati
dikarenakan dapat menyebabkan kolaps
sirkulasi apabila dikeluarkan cairan asites yang
terlalu banyak.
9. Pastikan status volume intravaskular cukup,
lakukan koreksi apabila terdapat deficit cairan
intravaskular.
10. Restriksi cairan pada keadaan hiponatremia.
11. Lakukan koreksi terhadap ketidakseimbangan
elektrolitlainnya.
12. Hipoglikemia merupakan kondisi yang sangat
mungkin menyertai. Berikan larutan glukosa
untuk koreksi selama periode perioperatif.
13. Ensefalopati harus dikoreksi secara agresif
dengan melakukan koreksi terhadap factor
pencetus. Pemberian Laktulosa oral 30-50 ml
tiap 8 jam atau neomisin 4x500 mg berguna
untuk menurunkan absorbs ammonia.
14. Hindari pemberian sedasi pada pasien dengan
ensefalopati.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Hindari kontak langsung dengan darah dan
cairan tubuh pasien, hal ini dikarenakan
kemungkinan pasien menderita hepatitis B
atau C.
2. Pilihan obat-obatan dan teknik anestesi yang
tebaik pada pasien dengan sirosis tidaklah
diketahui.
3. Respon terhadap obat anestesi pada pasien
sirosis tidak dapat diperkirakan. Hal ini
dikarenakan terjadi perubahan pada
sensitivitās sāraf pusät, volumë distribusi,
ikatan proein, dan eliminasi obat.
4. Peningkatan volume distribusi pada obat
dengan struktur ion yang besar seperti
pelemas obat menyebabkan kebutuhan dosis
obat yang lebih besar, tetapi untuk obat-obatan
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN SIROSIS HEPATIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR yang metabolismenya terjadi di hati
(pancuronium, vecuronium, dan rocuronium)
harus dikurangi dosisnya.
5. Apabila kita memakai suksinilkolin sebagai
pelemas otot, terdapat resiko untuk
pemanjangan efek obat dikarenakan
penurunan kadar pseudokolinesterase.
6. Pada pasien sirosis telah terjadi penurunan
aliran darah vena porta. Hindari penurunan
perfusi hepar.
7. Induksi dengan menggunakan barbiturate atau
propofol dengan pemeliharaan memakai
isofluran dengan campuran oksigen dan air
merupakan teknik yang sering dipergunakan.
8. Lakukan intubasi awake atau rapid sequence
induction dengan penekanan krikoid pada
pasien yang tidak stabil atau dengan
perdarahan aktif dengan menggunakan
ketamin atau etomidat dan suksinilkolin.
9. Hindari penggunaan halotan.
10. Penggunaan suplemen opioid dapat
mengurangi pemakaian volatile sehingga
meminimalisasi penurunan MAP, tetapi waktu
paruh opioid akan memanjang secara
signifikan yang akan menyebabkan depresi
pernafasan yang memanjang.
11. Atrakurium merupakan pelumpuh otot pilihan
dikarenakan metabolismenya yang bersifat
nonhepatik.
12. Obat anestesi inhalasi yang menjadi pilihan
utama adalah isofluran, hal ini dikarenakan
isofluran mempunyai efek yang paling kecil
terhadap aliran darah hepar.
13. Faktor-faktor - yang menyebabkan penurunan
aliran darah hepar harus dihindari. Faktor-
faktor ini adalah: hipotensi, rangsangan
simpatis yang berlebihan, tahanan jalan nafas
yang terlalu besar pada saat melakukan
ventilasi kontrol.
14. Teknik regional anestesi dapat dilakukan bila
tidak terdapat gangguan koagulasi dan
keadaan hipotensi.
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN SIROSIS HEPATIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 15.Pada saat preoperatif kita sering melakukan
restriksi sodium, tetapi pada masa intraoperatif
prioritas kia adalah menjaga volume
intravascular dan dieresis.
16.Gunakan cairan predominan koloid untuk
menghindari kelebihan sodium dan untuk
meningkatkan tekanan onkotik.
17.Berikan manitol bila diuresis tidak mencukupi
secara persisten setelah sebelumnya diberikan
cairan intravascular yang cukup.
18.Pada pemberian transfusi terdapat
kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya
keracunan sitrat, hal ini dikarenakan
metabolismenya oleh hati yang terganggu
sehingga teradi hipokalsemia akiat kalsium
serum yang diikat oleh sitrat. Berikan kalsium
intravena untuk mencegah efek inotopik negatif
akibat penurunan konsentrasi kalsium ionisasi.
C. Monitoring
1. EKG
2. Pulse oksimetri
3. Pemeriksaan AGD untuk melakukan evaluasi
status asam basa
4. Intraarterial pressure (pada pasien dengan
resiko perdarahan dan perpindahan cairan ke
ruang ketiga yang banyak)
5. CVP
6. Urine output
D. Manajemen Pascaoperasi
1. Observasi terhadap kemungkinan perburukan
fungsi hepar akibat pemakian obat anestesi.
2. Pada pasien dengan kebiasaan minum alkohol
terdapat resiko alcohol withdrawal syndrome
setelah 48-72 jam dari waktu terakhir
mengkonsumsi alkohol.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/ residen bedah
4. Dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP Dr.Hasan
Sadikin Bandung
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN


CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/6
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Sindrom Uremia merupakan kumpulan keadaan klinis
yang berhubungan dengan ketidakseimbangan
elektrolit, hormonal, asam basa, serta kelainan
metabolic yang berkembang seiring dengan
terjadinya kerusakan ginjal.

TUJUAN Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi


pada pasien dengan CKD yang akan menjalani
tindakan pembedahan.

KEBIJAKAN 1. Mengelola kondisi. gangguan organ dan


keseimbangan (elektrolit, asam basa, hormonal)
2. Menentukan tindakan hemodialisa sesuai
Sindikasi
3. Mempertahankan aliran darah ginjal seoptimal
mungkin
4. Menentukan pemeriksaan penunjang yang
diperlukan

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN


CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/6

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Evaluasi prabedah dimulai dengan
mengumpulkan data-data untuk mengetahui
riwayat medis lengkap tentang keadaan
kondisi umum yang meliputi tanda manifestasi
dari uremia dan hasil pemeriksaan
laboratorium/ penunjang secara lengkap untuk
memastikan apakah pasien berada dalam
kondisi medis yang optimal. Semua
manifestasi urernia yang telah disebutkan di
atas harus dikontrol.
2. Pemeriksaan fisik dan evaluasi laboratorium
harus difokuskan pada pemeriksaan fungsi
jantung dan respirasi.
3. Perhatikan tanda-tanda hipovolemia atau
hipervolemia. Periksa kesadaran, membrane
mukosa, perubahan ortostatik terhadap laju
nadi dan tekanan darah, dieresis, laju nadi, isi
dan tekanan nadi, tekanan darah, dan turgor
kulit.
4. Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi
tanda-tanda hiperkalemia atau
hipokalsemia, iskemik, blok konduksi,
hipertropi ventrikel.
5. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
adalah darah rutin, waktu perdarahan dan
faktor koagulasi (terutama bila akan dilakukan
anestesi regional), serum elektrolit, BUN,
kreatinin, gula darah.
6. Pada pasien yang sesak sebaiknya diperiksa
AGD untuk mengetahui apakah terdapat
hipoksemia dan status asam basa.
7. Transfusi darah hanya diberikan pada pasien
dengan anemia berat (hb < 6-7 g/dL) atau bila
diperkirakan pada saat operasi akan terjadi
perdarahan yang banyak.
8. Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi tanda-
tanda hiperkalemia atau hipokalsemia,
iskemik, blok konduksi, hipertropi
ventrikel.Manajemen Preoperatif

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN


CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR B. Indikasi Haemodialisa
1. Hipervolemia
2. Hiperkalemia
3. Asidosis berat
4. Ensefalopati metabolic
5. Perikarditis
6. Koagulopati
7. Gejala gastrointestinal yang refrakter
8. Toksisitas obat
C. Manajemen Intraoperatif
1. Teknik anestesi dapat dilakukan dengan
anestesi umum atau anestesi regional
(disesuaikan dengan daerah operasi dan
kondisi masing-masing pasien).
2. Monitoring:
a. Alat monitoring standar: EKG, pulse
oxymetri, NIBP, temperature, kateter urin
dipergunakan pada operasi yang tidak lama
dan kehilangan cairan yang diperkirakan
hanya sedikit.
b. Monitor intraarterial, vena sentral, dan arteri
pulmonal diperlukan pada operasi yang
diperkirakan akan terjadi perdarahan/
perpindahan cairan yang banyak.
c. Arterial line juga diperlukan pada pasien
dengan hipertensi tidak terkontrol dimana
dapat terjadi perubahan tekanan darah
yang cepat.
3. Induksi:
a. Pertimbangkan induksi dengan teknik rapid
sequence induction dengan penekanan
krikoid pada pasien dengan riwayat mual,
muntah serta perdarahan gastrointestinal.
b. Dosis obat induksi pada pasien sakit berat
kritis harus dikurangi, dapat diberikan
thiopental 2-3 mg/ kg, propofol 1-2 mg/ kg,
sedangkan pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil dapat
diberikan etomidat 0,2-0,4 mg/ kg.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN


CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/6

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR c. Respon hipertensi terhadap intubasi
dapat ditumpulkan dengan menggunakan
opioid, beta bloker (esmolol), atau
lidokain.
d. Penggunann suksinilkolin sebagai
pelumpuh otot masih dapat ditolerir pada
kadar kalium < 5 meq/L.
e. Pemilihan pelumpuh otot pada pasien
dengan hiperkalemia adalah rocuronium
(0,6 mg/kg), cisatrakurium (0,15 mg/kg),
atrakurium (0,4 mg/kg), atau mivakurium
(0,15 mg/kg). Sebagai alternatif masih
mungkin untuk menggunakan vekuronium
0,1 mg/ kg dengan tetap memperhatikan
kemungkinan terjadinya efek obat yang
memanjang.
4. Pemeliharaan
a. Idealnya kita harus mampu mengontrol.
tekanan darah tanpa mempengaruhi
cardiac output.
b. Obat anestesi inhalasi yang menjadi
pilihan adalah gas yang metabolitnya
tidak memperburuk gangguan fungsi ginjal
yang telah ada, yaitu: isofluran dan
desfluran.
c. Penggunaan gas N2O harus hati-hati
pada pasien dengan fungsi ventrikel yang
tidak baik dan sebaiknya tidak digunakan
pada pasien dengan kadar hb yang
sangat rendah (<7 g/dL).
d. Hindari penggunaan meperidin, hal ini
dikarenakan terjadinya akumulasi
metabolit aktif normeperidin yang dapat
mencetuskan terjadinya kejang,
Penggunaan morfin masih memungkinkan
dengan kemungkinan efek yang akan
memanjang.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN


CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 5/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR e. Lakukan kontrol ventilasi untuk
menghindari terjadinya hiperkarbia karena
pernafasan yang tidak adekuat dan dapat
menyebabkan terjadinya asidosis
respiratorik yang akan memperberat
kondisi asidosis yang sudah ada, depresi
pernafasan, dan akan meningkatkan kadar
potassium serum.
f. Alkalosis repiratorik juga harus
dihindari karena akan menyebabkan
pergeseran ke kiri kurva disosiasi hb
dan akan menurunkan aliran darah
serebral.
5. Bila dilakukan anestesi regional harus
dipastikan terlebih dahulu tidak adanya
gangguan koagulasi. Keadaan asidosis dapat
menurunkan ambang kejang yang
berhubungan dengan pemakaian anestesi
lokal.
D. Manajemen Pascaoperasi
1. Pemantauan dilakukan di ruang intermediet
dengan monitoring standar untuk
mengevaluasi kesadaran, pernafasan,
hemodinamik, dan dieresis.
2. Penggunaan opioid sebagai analgetik
pascaoperasi harus dipantau terhadap
kemungkinan terjadinya penurunan kesadarn
dan hipoventilasi. Berikan nalokson jika terjadi
efek samping akibat pemakaian opioid.
3. Hindari penggunaan analgetik golongan
NSAID yang dapat memperburuk fungsi ginjal
4. Lakukan pemeriksaan EKG serial
untuk disritmia akibat mengevaluasi
hiperkalemia.
5. Berikan oksigen suplemen terutama pada
pasien dengan anemia dan perdarahan yang
memerlukan transfuse.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN


CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 6/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 6. Kesadaran dan pernafasan yang tidak
adekuat, asidosis berat dan hemodinamik yang
tidak stabil menendakan adanya kegagalan
organ dan merupakan indikasi untuk
perawatan di ruang intensif dan penilaian
untuk perlu tidaknya dilakukan hemodialisa
pascaoperatif.

UNIT TERKAIT 1. Anestesiologi dan terapi intensif


2. Ilmu penyakit dalam sub divisi ginjal dan
hipertensi
3. Kardiologi
4. Bedah di lingkungan RSHS.
DOKUMEN TERKAIT 1. Status rawat pasien
2. Status anestesi
3. Surat izin operasi
4. Surat izin anestesi

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PPOK


(BRONKITIS KRONIS DAN EMFISEMA)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/5
Ditetapkan,
Direktur Utama

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012

dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,


NIP 196203011990031004
PENGERTIAN A. Penyakit Paru Obstruktif Kronis adalah
penyakit pada paru-paru dengan karakteristik
berupa adanya hambatan terhadap aliran udara
yang berkembang progresif dan bersifat
irreversible. Terminologi PPOK lebih mengarah
kepada bronchitis obstruktif kronis obstruksi
pada small air way ), dan emfisema ( pelebaran
ruang udara dan destruksi parenkim paru,
hilangnya elastisitas paru, dan penutupan
dari small air way).
1. Tanda Klinis dan Diagnosis
Bronkitis kronis dan emfisema ditandai
dengan:
a. Riwayat merokok
b. Batuk produktif kronis (> 3 bulan)
c. Sesak
d. Keterbatasan aktivitas fisik karena sesak.
e. Pasien yang predominan bronchitis kronis
lebih dominan dengan gejala batuk
produktif kronis, sedangkan pada pasien
predominan emfisema lebih didominasi
dengan gejala sesak nafas.
f. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda
obstruksi jalan nafas saat ekspirasi dengan
masa ekspirasi yang memanjang
g. Pada pemeriksaan Tes Fungsi Paru
terdapat penurunan rasio FEV,/ FVC, dan
terdapat penurunan Forced Expiratory Flow
antara 25%-75% dari Vital Capacity.
Residual Volume meningkat, FRC dan
Kapasitas paru total dapat normal atau
meningkat.
h. Rongent toraks: Hiperlusen dan hiperinflasi

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PPOK


(BRONKITIS KRONIS DAN EMFISEMA)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR i. AGD: pada pasien Bronkitis kronis\
biasanya meningkat (>40 mmHg),
sedangkan pada emfisema PaCO2 normal
atau < 40 mmHg.
2. Evaluasi Faktor Resiko Komplikasi Paru
Pascaoperasi:
a. Pre-existing pulmonary disease
b. Operasi pada abdomen bagian atas atau
toraks
c. Merokok
d. Obesitas
e. Umur >60 tahun
f. Anestesi umum yang memanjang (>3 jam)

TUJUAN Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi


pada pasien dengan PPOK yang akan menjalani
tindakan pembedahan.
KEBIJAKAN Regional anestesi (bila memungkinkan) merupakan
teknik pilihan untuk mengurangi kemungkinan
komplikasi pascaoperasi.

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PPOK


(BRONKITIS KRONIS DAN EMFISEMA)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/5

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Pada operasi elektis pasien dengan PPOK
harus optimal terlebih dahulu (tidak ada
sesak, wheezing, dan batuk, atau dengan
sesak/ wheezing/ batuk minimal)
2. Lakukan intervensi untuk koreksi hipoksemia,
bronkospasme, mengurangi sekresi, dan bila
ada infeksi pada saluran nafas harus diberikan
terapi dengan antibiotic.
3. Hentikan merokok selama 6-8 minggu
sebelum operasi untuk mengurangi sekresi
dan komplikasi pascabedah. Paling
tidak pasien yang tidak merokok selama 24
jam akan meningkan Oxygen Carrying
capacity.
4. Fisioterapi pernafasan preoperative dengan
perkusi dan drainase postural.
5. Apabila didapatkan hipertensi pulmonal harus
diterapi dengan meningkatkan oksigenasi, dan
apabila terdapat corpulmonal dilakukan
digitalisasi terutama bila terdapat gagal jantung
kanan.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Regional anestesi (bila memungkinkan)
merupakan teknik pilihan untuk
mengurangi kemungkinan komplikasi
pascaoperasi.
2. Pemberian sedasi pada pasien yang
dilakukan regional anestesi diberikan secara
incremental oleh karena pada pasien ini
(terutama geriatric) sangant sensitive
terhadap efek depresan dari obatoobat
sedative.
3. Bila dilakukan anestesi umum maka pertama
kali harus dilakukan preoksigenasi untuk
mencegah terjadinya desaturasi oksigen yang
cepat.

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PPOK


(BRONKITIS KRONIS DAN EMFISEMA)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 4. Induksi harus dilakukan dengan smooth.
Reflek bronkospasme dapat ditekan dengan
memberikan tambahan thiopental (1-2 mg/kg),
ventilasi dengan volatile 2-3 MAC selama 5
menit, atau pemberian lidokain intravena
atau intratrakeal 1-2 mg/ kg 4. Pemilihan
obat-obatan harus menghindari obat yang
bersifat histamine release (kurare.
atrakurium, morfin, meperidin), atau bila
digunakan harus diberikan dengan sangat
perlahan.
5. Obat induksi golongan hipnotik yang dapat
dijadikan pilihan adalah propofol, etomidat, dan
pada pasien dengan hemodinamik yang tidak
stabil pilihannya adalah ketamine yang bersifat
sebagai bronkodilator.
6. Halotan dan sevofluran merupakan
obat pilihan induksi inhalasi yang paling
smooth.
7. Selama operasi harus dilakukan ventilasi
kontrol dengan tidal volume yang kecilsedang
dan frekuensi yang lambat untuk menghindari
“air trapping"
8. Penggunaan N2O harus dihindari pada pasien
dengan bullae dan hipertensi pulmanal.
9. Pengukuran kadar CO2 harus dilakukan
sebelumnya sebagai panduan dalam
melakukan ventilasi selama operasi.
10. Pada akhir operasi dilakukan ekstubasi
dengan smooth. Ekstubasi pada saat
anestesi dalam dapat menurunkan resiko
reflek bronkospasme, tetapi harus dipastikan
terlebih dahulu bahwa pernafasan pasien
sudah adekuat.

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PPOK


(BRONKITIS KRONIS DAN EMFISEMA)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 5/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR C. Manajemen Pascaoperasi
a. Intubasi trakeal dan ventilasi mekanik
dipertimbangkan untuk dilanjutkan pada
operasi abdominal dan intratorakal pada
pasien yang sebelumnya (preoperative)
didapatkan hasil pemeriksaan PCO, > 50
mmHg dan FEV1/FVC <0,5.
b. PaO2 harus dijaga pada rentang 60-100
mmHg dan PaCO2 harus berada pada rentang
yang mempertahankan pHa 7,35-7,45
c. Lakukan maneuver untuk ekspansi volume
paru (bernafas dalam, CPAP, spirometri
insentif)
d. Chest fisioterapi
e. Analgesia pascaoperasi yang adekuat
(neuraxial opioids, blok interkostal, PCA)

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN ASMA BRONKIAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/8
Ditetapkan,
Direktur Utama

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012

dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,


NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Asma merupakan penyakit kronis dengan
karakteristik berupa inflamasi dan hipereaktifitas pada
jalan nafas (bronkus) akibat berbagai stimulus yang
mengakibatkan terjadinya obstruksi aliran udara
ekspirasi yang reversibel.
A. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinis klasik asma adalah:
wheezing, batuk, dan sesak.
2. Beratnya derajat obstruksi terhadap ekspirasi
direfleksikan dari Forced exhaled volume in 1
second (FEV1) dan maximum mid expiratory
flow rate.
FEV1 FEF25-75
PaO2 PaCo2
Severity (%predict (%predict
(mmHg) (mmHg)
ed) ed)
Mild (asimptomatik) <40
65-80 60-75 >60
Moderat 50-64 45-59 >60 <45
Marked 35-49 30-44 <60 >50
Severe (status <60 >50
<35 <30
asthmaticus)
FEV1: Forced Expiratory Volume in 1 second; FEF25-75. Forced
Expiratory Flow 25-75% forced vital capacity

3. Asma yang ringan biasanya ditandai dengan


PaO2 normal dan PaCo2 normal atau
menurun. Takipnoe dan hiperventilasi selama
serangan asma akut lebih merupakan refleksi
dari reflek-reflek neural pada paru-paru
dibanding dengan hipoksia arterial. Pada
keadaan terjadi kelelahan pada otot-otot
pernafasan akan mengakibatkan terjadinya
hiperkarbia.
4. Nilai PaCo2 normal atau tinggi merupakan
indikasi bahwa pasien tidak dapat lebih lama
lagi mengkompensasi work of breathing dan
merupakan tanda impending respiratory
failure.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN ASMA BRONKIAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/8

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PENGERTIAN 5. Pemeriksaan EKG pada obstruksi jalan nafas
yang berat ditandai dengan pulsus
paradoksus, perubahan ST-segment, right axis
deviation, dan RBBB.
6. Diagnosa banding asma adalah:
trakeobronkitis, sarkoidosis, rheumatoid
arthritis, epiglotitis, croup, gagal jantung
kongestif, emboli paru.
B. Terapi Farmakologi
Antiinflamasi:
1. Glukokortikoid; menurunkan responsivitas
jalan nafas dengan menurunkan inflamasi
pada jalan nafas dan meningkatkan
stabilitas pada membran. Pemberian
glukokortikoid sangat berguna baik pada
keadaan serangan akut maupun sebagai
terapi maintenan, tetapi membutuhkan
waktu beberapa jam untuk bekerja dengan
efektif.
2. Cromolyn; menghambat proses inflamasi
dengan menghambat pelepasan
mediatormediator kimia. Diberikan secara
inhalasi selama 7 hari sebelum terjadi paparan
terhadap allergen, dan tidak efektif apabila
dalam serangan.
3. Leukotien inhibitor

Bronkodilator:
1. Agonis B-adrenergik (misal: albuterol);
merupakan obat yang paling bermanfaat dan
paling sering digunakan. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah stimulasi simpatis
(takikardia, disritmia) dan perpindahan
potassium ke dalam sel.
2. Antikolinergik (iptratropium); efek
bronkodilatasinya disebabkan oleh aksi
antimuskariniknya dan dapat memblok reflek
bronkokonstriksi.
3. Methylxanthine; menghasilkan bronkodilatasi
dengan cara menghambat phosfodiesterase.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN ASMA BRONKIAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/8

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PENGERTIAN C. Terapi Status Asmatikus
1. B2-agonis tiap 15-20 menit (merupakan terapi
yang paling efektif pada saat emergensi)
2. Kortikosteroid; kortisol 2 mg/kg iv dilanjutkan
dengan 0,5 mg/ kg/ jam, atau metilprednisolon
60-125 mg iv tiap 6 jam
3. Oksigen suplemen
4. Intubasi trakealdan ventilasi mekanik dilakukan
apabila PaCo2 > 50 mmHg.
5. Terapi antibiotik
TUJUAN Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi
pada pasien dengan asma bronkial yang
akan menjalani tindakan pembedahan.

KEBIJAKAN Target utama pemberian anestesi umum adalah


induksi dan emergence yang harus smooth.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN ASMA BRONKIAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/8

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR A. Manajemen Preoperatif
1. Anamnesa yang harus dilakukan adalah
tentang: onset terjadinya serangan,
pencetus, riwayat dirawat di rumah sakit
akibat asma, faktor alergi, batuk, sputum
(warna dan karakteristiknya), terapi
sebelumnya.
2. Keadaan yang optimal untuk operasi elektif
adalah apabila dari pemeriksaan tidak
didapatkan wheezing, batuk, dan sesak.
Pada keadaan operasi emergensi
harus diberikan terapi yang agresif
sebelumnya.
3. Pasien yang sering mengalami serangan
bronkospasme atau dalam kondisi kronik
harus mendapatkan terapi regimen
bronkodilator yang optimal.Terapi yang
dapat diberikan berupa B2-agonis dan
glukokortikoid.
4. Lakukan pemeriksaan ronsen toraks untuk
menilai adanya air trapping (hiperinflasi,
diafragma datar, jantung terlihat kecil, paru-
paru hiperlusen).
5. Lakukan pemeriksaan fungsi paru untuk
mengkonfirmasi keadaan klinis yang
didapatkan.
6. Pemeriksaan AGD hanya dilakukan apabila
kita meragukan adekuasi ventilasi atau
oksigenasi arterial.
7. Sedasi preoperatif dapat diberikan terutama
pada pasien yang penyakitnya dipengaruhi
oleh komponen emosional. Secara umum
benzodiazepine memberikan efek yang
memuaskan sebagai sedasi preoperatif pada
pasien asma.
8. Hindari pemberian premedikasi dengan opioid,
antikolinergik, dan antagonis H-2.
Antikolinergik diberikan apabila terdapat
sekresi yang kental atau apabila akan
memakai ketamin sebagai obat induksi.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN ASMA BRONKIAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 5/8

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 9. Premedikasi dengan antagonis H-2 karena
akan menyebabkan aktivitas H-1 lebih
dominan sehingga dapat terjadi
bronkokonstriksi.
10. Terapi asma harus tetap diberikan sampai
menjelang operasi
11. Pasien yang mendapatkan terapi
glukokortikoid jangka panjang harus
mendapatkan terapi suplemen untuk
mengkompensasi supresi adrenal. Terapi
suplemen yang paling sering diberikan
adalah hidrokortison 50-100 mg pada saat
preoperatif dan pada saat postoperatif
diberikan 100 mg tiap 8 jam selama 1-3 hari
berikutnya.
12. Berikan hidrasi perioperatif dengan cairan
kristaloid untuk menjaga hidrasi yang adekuat
dan mengurangi kekentalan sekret.
B. Manajemen Intraoperatif
1. Saat yang paling berbahaya pada pemberian
anestesi pada pasien asma adalah pada saat
akan dilakukan tindakan instrumentasi pada
jalar
2. Pemilihan teknik anestesi umum dengan
memakai masker atau regional anestesi akan
mengatasi masalah di atas, tetapi tetap tidak
menghilangkan resiko terjadinya serangan
bronkospame.
3. Target utama pada manajemen anestesi
umum adalah induksi dan emergence yang
smooth/ lancer.
4. Bronkospasme juga dapat dicetuskan
oleh stimulasi dalam keadaan anestesi
yang dangkal, nyeri, dan stress
emosional.
5. Pastikan kedalaman anestesi telah
tercapai sebelum dilakukan tindakan
laringoskopi-intubasi dan stimulasi bedah.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN ASMA BRONKIAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 6/8
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 6. Hindari penggunaan obat-obatan yang
menyebabkan pelepasan histaminekurare,
atrakurium, mivakurium, morfin, dan
meperidin) atau bila terpaksa digunakan
berikan dengan sangat perlahan.
7. Propofol dan etomidat merupakan pilihan obat
induksi yang relatif aman.
8. Ketamin merupakan satu-satunya obat induksi
yang mempunyai efek bronkodilator dan
merupakan pilihan yang baik pada pasien yang
juga dalam keadaan hemodinamik yang tidak
stabil. Jangan memberikan ketamin pada
pasien dengan level teofilin yang tinggi karena
interaksi kedua obat tersebut dapat memicu
terjadinya kejang.
9. Reflek bronkospasme akibat laringoskopi
intubasi dapat ditumpulkan dengan
sebelumnya memberikan tambahan dosis
thiopental (1-2 mg/kg), ventilasi dengan volatile
2-3. mac selama 5 menit, atau dengan
memberikan lidokain i.v 1-2 mg/ kg.
Pemberian antikolinergik (atropine 2 mg atau
glikopirolat. mg) dapat juga memblok reflek
bronkospasme kan tetapi dapat menyebabkan
takikardia.
10. Halotan dan sevofluran merupakan
pilihan obat induksi inhalasi pada anak yang
paling smooth. Isofluran dan desfluran juga
sebenarnya mempunyai efek bronkodilatasi
yang sama baiknya dengan halotan dan
sevofluran akan tetapi tidak cocok digunakan
untuk induksi inhalasi.
11. Maintenan anestesi dengan volatile
anestesi memberikan keuntungan pada
pasien asma karena mempunyai efek
bronkodilator.
12. Apabila isofluran dan desfluran dipergunakan
sebagai maintenan anestesi, maka
dosisnya harus ditingkatkan secara perlahan
agar tidak menimbulkan iritasi pada jalan
nafas.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN ASMA BRONKIAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 7/8
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 13. Hindari pemakaian halotan bersamaan
dengan aminofilin dan ß-agonis karena
akan menyebabkan sensitisasi pada
jantung.
14. Lakukan ventilasi kontrol dengan
gas humidifikasi yang telah dihangatkan.
Berikan tidal volume s 10 ml/ kg dengan
memanjangkan fase ekspirasi sehingga
dapat menyeragamkan distribusi aliran
udara kedua paru dan mencegah air
trapping.
15. Bronkospasme yang berat ditandai dengan
peningkatan peak inspiratory pressure dan
ekshalasi inkomplit.
16. Bila terjadi bronkospasme intraoperative akan
didapatkan tanda-tanda berpa wheezing,
peningkatan peak pressure, penurunan volume
tidal ekshalasi, atau terdapat bentuk
peningkatan gelombang kapnograf yang
melambat.
17. Tindakan yang dilakukan bila terjadi
bronkospasme intraoperatif adalah dengan
mendalamkan anestesi dengan meningkatkan
konsentrasi volatile.
18. Apabila bronkospasme tidak teratasi dengan
meningkatkan konsentrasi volatile maka harus
disingkirkan kemungkinankemungkinan lain
sebelum memberikan obat-obatan yang lebih
spesifik.
19. Kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas, seperti:
ETT yang tertekuk, sekret, overinflasi balon,
intubasi bronchial, edema paru, emboli paru,
atau pneumotoraks.
20. Kemudian bronkospasme harus diatasi dengan
memberikan ß-agonis dalam bentuk inhaler
atau metered dose melalui jalur inspirasi dari
sirkuit pernafasan, dan hidrokortison i.v. 1,5-2
mg/ kg terutama pada pasien yang
sebelumnya telah mendapatkan terapi
glukokortikoid.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN ASMA BRONKIAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 8/8
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 21. Pemberian reversal pelemas otot dengan
antikolinesterase tidak akan menyebabkan
bronkokonstriksi apabila disertai dengan
pemberian entikolinergik dengan dosis yang
tepat.
22. Lakukan ekstubasi dalam (bila tidak ada
kontraindikasi) untuk mencegah terjadinya
bronkokonstriksi saat pasien bangun.
23. Untuk menumpulkan reflek jalan nafas saat
ekstubasi dapat diberikan bolus lidokain 1,5-2
mg/ kg atau dengan infus kontinyu 1-2 mg/
menit.
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif :
3. Dokter/ residen bedah
4. Dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung.

DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis


2. Lembat informed consend

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN OBESITAS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/5
Ditetapkan,
Direktur Utama

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012

dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,


NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Overweight dan obesitas diklasifikasikan
menggunakan indeks massa tubuh (Body Mass
Index/ BMI). Overweight didefinisikan apabila BMI
224 kg/ m2, Obesitas bila BMI ≥ 30, dan morbid
obesity bila BMI ≥ 40. Resiko penyakit akan
semakin meningkat dengan meningkatnya derajat
obesitas.
TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
dengan obesitas yang akan menjalani tindakan
pembedahan.
KEBIJAKAN Obesitas biasanya disertai dengan penyakit penyerta
dan perubahan fisiologis pada pasien.
PROSEDUR A. Manifestasi Klinis
1. Obesitas biasanya berhubungan dengan
berbagai penyakit penyerta, seperti
a. Hipertensi sistemik ringan-sedang;
hipertensi pada pasien dengan abesitas
terjadi karena peningkatan volume cairan
ekstraselular, peningkatan cardiac output,
dan hiperinsulinemia. Pada keadaan
hipoksia arterial kronik) peningkatan
volume darah paru akan disertai dengan
hipertensi pulmonal.
b. Congestive heart failure; keadaan
hipertensi sistemik yang kronis akan
menyebabkan terjadinya hipertropi
konsentrik pada ventrikel kiri, bila disertai
dengan hipervolemia akan meningkatkan
resiko terjadinya congestive heart failure.
c. Diabetes mellitus; peningkatan jaringan
lemak akan meningkatkan resistensi
jaringan perifer terhadap efek insulin.
d. Penyakit hepatobillier; Pada pasien
obesitas sering ditemui tes fungsi
hati yang tidak normal dan infiltrasi fatty
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN OBESITAS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR liver.
e. Penyakit tromboembolik; resiko untuk
terjadinya deep vein thrombosis pada
pasien obesitas yang akan menjalani
pembedahan akan meningkat.
f. Sindrom metabolik: obesitas, hipertensi,
dan DM tipe II.
g. Walaupun tidak terdapat penyakit penyerta,
pada morbid obesity akan terjadi
perubahan fisiologis sebagai
konsekuensinya.
2. Perubahan Fisiologis pada pasien obesitas:
a. Perubahan fisologis yang terjadi dapat
berupa peningkatan laju metabolik yang
proporsional terhadap berat badan
sehingga terjadi peningkatan kebutuhan
oksigen, produksi CO2, dan ventilasi
alveolar.
b. Komplain, resistensi paru, dan work of
breathing; Jaringan lemak yang berlebihan
pada dinding dada akan menurunkan
komplain dinding dada, walaupun komplain
dari paru sendiri sebenarnya tidak berubah.
Work of breathing akan meningkat
sehingga pasien bernafas cepat dan
dangkal terutama pada posisi supine.
c. Peningkatan massa intraabdomen akan
mendesak diafragma ke sefalad sehingga
menyebabkan gambaran penyakit paru
restriksi.
d. Pengurangan volume paru akan bertambah
besar dengan posisi supine atau
trendelenburg.
e. Apabila FRC turun di bawah closing
capacity maka beberapa alveoli akan
menutup saat ventilasi dengan tidal
volume sehingga terjadi ketidaksesuaian
ventilasi) perfusi.
f. Pasien obesitas biasanya ditemukan
dalam keadaan hipoksik, apabila terjadi
keadaan hiperkapnik maka kita harus
waspada akan segera timbulnya
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN OBESITAS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR g. komplikasi.
h. Sindrom obesitas-hipoventilasi
( Pickwickian syndrome) merupakan
komplikasi dari morbid obesity yang
ditandai dengan hiperkapnia, sianosis,
polisitemia, gagal jantung kanan, dan
somnolen.
i. Pasien dengan Obstuctive Sleep Apnoe
Syndrome (OSAS) biasanya berhubungan
dengan komplikasi pascaoperasi:
hipertensi, hipoksia, aritmia, myocardial
infark, edema paru, dan stroke
j. Beban kerja jantung akan meningkat oleh
karena memberikan perfusi ke tambahan
ke simpanan lemak. Peningkatan cardiac
output dengan meningkatkan stroke volume
pada suatu saat akan menyebabkan
terjadinya hipertensi dan hipertropi ventrikel
kiri.
k. Peningkatan aliran darah pulmonal dan
vasokonstriksi pembuluh darah paru akibat
hipoksia yang persisten akan
menyebabkan hipertensi pulmonal dan cor
pulmonal. Obesitas menyebabkan
gangguan gastrointestinal berupa; hiatal
hernia, refluk gastroesofageal, gangguan
pengosongan lambung, hiperasiditas cairan
lambung, dan beresiko untuk terjadinya
kanker lambung.
B. Manajemen Preoperatif
1. Pasien obes beresiko untuk terjadinya
pneumonia aspirasi. Oleh karena itu
pertimbangkan untuk diberikan
premedikasi dengan antagonis H2 dan
metoklopramid.
2. Pemberian premedikasi dengan obat
yang dapat menimbulkan depresi
pernafasan harus dihindari pada pasien
yang sebelumnya sudah terdapat hipoksia,
hiperkapnia, dan obstructive sleep apnoe.
3. Pemeriksaan fisik pada pasien dengan

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN OBESITAS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR morbid obesity harus difokuskan pada fungsi
kardiopulmonal dengan didukung pemeriksaan
penunjang foto toraks, EKG, AGD, dan tes
fungsi paru.
4. Tekanan darah harus diukur dengan manset
yang berukuran tepat.
5. Perhatikan kemungkinan terdapatnya kesulitan
jalan nafas. Pasien obesity biasanya sulit
untuk dilakukan intubasi dikarenakan
pergerakan sendi temporomandibula dan
atlantooksipital yang terbatas, jalan nafas atas
yang sempit, dan pendeknya jarak antara
mandibula dengan lemak di sternum.
C. Manajemen Intraoperatif
1. Pilhan taknik dan obat anestesi yang terbaik
sampai saat ini tidak diketahui.
2. Bila dilakukan anestesi umum, harus
dipertimbangkan terdapatnya kesulitan
ventilasi dengan masker dan intubasi
trakeal (timbunan lemak pada wajah dan pipi,
leher pendek, lidah besar, jaringan lunak
palatal dan faring yang berlebihan, dada yang
besar).
3. Pasien obes mempunyai resiko yang tinggi
untuk terjadinya aspirasi pulmonal.
4. Jika diperkirakan terdapat kesulitan intubasi
maka sebaiknya intubasi dilakukan dalam
keadaan awake, direkomendasikan dengan
memakai bronkoskopi fiberoptik.
5. Pemakaian gas anestesi belum terbukti
menyebabkan lama bangun pada pasien
meskipun pada operasi yang lama, hal ini
dikarenakan distribusi gas anestesi ke jaringan
lemak yang begitu lambat.
6. Obat-obatan yang larut dalam lemak
(benzodiazepine, opioid) diberikan dengan
dasar berat badan aktual.
7. Obat-obatan yang larut dalam air (misal;
pelemas otot) diberikan dengan dosis
berdasarkan berat badan ideal untuk
menghindari kelebihan dosis.
8. Lakukan control ventilasi dengan
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN OBESITAS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 5/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR konsentrasi oksigen inspirasi yang relatif tinggi
untuk mencegah terjadinya hipoksia, terutama
bila pasien berada pada posisi litotomi,
trendelenburg, atau tengkurap.
9. Pemakaian abdominal pack yang diletakkan
pada daerah subdiafragma akan memperburuk
ventilasi pasien dan mengganggu venous
return.
10. Untuk meningkatkan oksigenasi dapat
dilakukan dengan memberikan PEEP saat
ventilasi. Namun pemberian PEEP pada
pasien dengan morbid obesity dapat
memperburuk keadaan hipertensi pulmonal
bila didapatkan sebelumnya.
D. Manajemen Pascaoperatif
1. Pasien harus tetap terintubasi sampai
pernafasan adekuat.
2. Ekstubasi dilakukan setelah tidak ada lagi efek
dari pelemas otot dan pasien sudah benar-
benar bangun.
3. Bila ektubasi dilakukan di kamar bedah,
berikan suplemen oksigen saat transportasi
pasien ke ruang pemulihan.
4. Posisikan pasien setengah duduk ( 45°) untuk
meningkatkan ventilasi dan oksigenasi.
5. Resiko terjadinya hipoksia dapat berlangsung
selama beberapa hari pascaoperasi, oleh
karenanya harus tetap dilakukan monitoring
walaupun pasien sudah di ruangan.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/ residen bedah
4. Dokter/ residen IPD
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN DIABETES MELLITUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/9
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Diabetes mellitus merupakan penyakit endokrin
dimana terjadi gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut maupun
relatif atau gangguan pada responsivitas insulin
yang menimbulkan keadaan hiperglikemia dan
glukosuria.
TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
diabetes yang akan menjalani tindakan pembedahan.
KEBIJAKAN Tujuan utama dalam manajemen untuk mengatasi
keadaan hiperglikemia adalah menghindari terjadinya
hipoglikemia
PROSEDUR A. Klasifikasi
1. Diabetes mellitus diklasifikasikan dalam 4
tipe, yaitu
a. Tipe I (IDDM): defisiensi insulin
absolutakibat gangguan imunitas atau
idiopatik, onset pada usia muda, resiko
terjadi ketosis, terdapat antibodi terhadap
sel islet.
b. Tipe 1 (NIDDM): resistensi insulin
walaupun sekresi insulin adekuat, onset
biasanya pada usia > 40 tahun, resistensi
ketosis, obesitas.
c. Tipe III (Diabetes Sekunder): tipe diabetes
mellitus spesifik sebagai akibat sekunder,
seperti: penyakit pankreas,
d. Tipe IV (gestasional): terjadi intoleransi
glukosa, onset 24-30 minggu usia
kehamilan.
B. MANIFESTASI KLINIS
1. IDDM: hiperglikemia, poliuria, polidipsia,
penurunan berat badan.
2. NIDDM: hiperglikemia, poliuria,
polidipsia,penurunan berat badan, gula darah
puasa >140 mg/dL, tes toleransi glukosa
peroral
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN DIABETES MELLITUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/9
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR abnormal.
3. DM gestasional: tes toleransi glukosa peroral
abnormal.
4. DM sekunder hiperglikemi, poliuria, polidipsia,
penurunan berat badan.
5. Pasien dengan NIDDM biasanya asimptomatik
atau hanya menunjukkan sedikit gejala ( 50%
tidak terdiagnosis).
C. KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS Dan
PENATALAKSANAANNYA
1. Terdapat 4 komplikasi dari DM, yaitu
a. Metabolik: ketoasidosis, hipoglikemia
b. Makrovaskular: CAD, CVD, peripheral
vascular disease.
c. Mikrovaskular: retinopati, nefropati.
d. Nervous system: neuropati otonom,
neropati perifer.
e. Komplikasi akut yang paling mengancam
jiwa adalah: Diabetik Ketoasidosis (DKA),
koma hyperosmolar nonketotik, dan
hipoglikemia.
D. Diabetik Ketoasidosis (Dka)
1. DKA merupakan komplikasi yang berhubungan
dengan DM tipe I.
2. Penurunan aktivitas insulin akan
menyebabkan katabolisme dari asam lemak
bebas menjadi benda keton (asetoasetat
dan B-hidroksibutirat) yang akan
berakumulasi menyebabkan anion gap
metabolic asidosis.
3. Penyebab tersering dari DKA adalah proses
infeksi
4. Manifestasi klinis DKA, yaitu: takipnoe
(sebagai kompensasi asidosis metabolic),
nyeri abdomen, nausea, dan muntah.
5. Penatalaksanaan DKA difokuskan pada
hipovolemia, hiperglikemia, dan deficit
potasium.
6. Target penurunan kadar glukosa darah pada
DKA yaitu 75-100 mg/ du jam atau 10% / jam,
dengan memberikan infuse insulin 0,1 u/
kg/jam atau Kadar glukosa
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN DIABETES MELLITUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/9
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR darah-60 X 0,1u1 jam, kecepatan koreksi bias
ditingkatkan apabila tidak terjadi penurunan
kadar gula darah.
7. Kadar gula darah, potassium, dan keton serum
harus diukur minimal tiap 2 jam dan bila
memungkinkan lebih baik lagi bila dilakukan
tiap jam.
8. Dehidrasi dikoreksi dengan memberikan cairan
normal saline; 1-2 liter pada 1 jam pertama
dilanjutkan dengan 200-500 ml/jam.
9. Hindari pemberian RL. Pada keadaan
hipoperfusi di jaringan maka akan terjadi
konversi laktat menjadi bikarbonat oleh liver.
Maka koreksi cairan yang paling aman adalah
dengan cairan normal saline.
10. Bila kadar glukosa sudah mencapai 250
mg/dL, tambahkan D5W pada infuse insulin
untuk menurunkan kemungkinan terjadinya
hipoglikemia dan menyediakan kebutuhan
glukosa untuk proses normalisasi metabolism
intrasefuiar.
11. Lakukan dekompresi lambung dengan
pemasangan NGT dan monitoring dieresis
dengan pemasangan kateter urin.
12. Koreksi asidosis berat (ph<7,1) dengan
bikarbonat tidak diperlukan. Koreksi cukup
dilakukan dengan ekspansi volume dan
normalisasi hiperglikemia.
E. Koma Hiperosmolar Non Ketotik
1. Pada keadaan ini terdapat sumber insulin
yang cukup sehingga tidak terbentuk benda
keton.
2. Keadaan hiperglikemik akan menimbulkan
diuresis yang menyebabkan terjadinya
dehidrasi dan hiperosmolalitas.
3. Dehidrasi berat akan mengakibatkan gagal
ginjal, asidosis laktat, dan predisposisi untuk
terjadinya thrombosis intravascular.
4. Hiperosmolal ( > 360 mOsm/ L) akan
menimbulkan gangguan keseimbangan air di
otak sehinggah dapat terjadi perubahan status
mental dan kejang.
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN DIABETES MELLITUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/9
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 5. Tiap 100 mg/dL. peningkatan glukosa plasma
akan menurunkan konsentrasi natriumn
sebesar 1,6 mEq/L, sehingga pada keadaan
hiperglikemia berat akan menyebabkana
terjadinya hiponatremia.
6. Penatalaksanaannya adalah dengan
memberikan resusitasi cairan dengan normal
saline, dosis kecil insulin, dan suplemen
potasium
F. Hipoglikemia
1. Hipoglikemia pada pasien diabetes disebabkan
karena kelebihan relative insulin terhadap
intaké karbohidrat.
2. Terlebih lagi pada pasien diabetic tidak bias
mengkompensasi keadaan hipoglikemia
dengan sekresi glucagon atau epinefrin
(counterregulatory failure).
3. Ketergantungan otak terhadap glukosa
sebagai sumber energi menyebabkan otak
menjadi sangat sensitive tehadap keadaan
hipoglikemia.
4. Jika hipoglikemia tidak teratasi akan terjadi
perubahan status mental dari keluhan kepala
yang melayang menjadi confusion,
konvulsidan koma yang permanen,
5. Hipoglikemia terjadi bila kadar gula
darah puasa < 50 mg/dL. Terapi hipoglikemia
adalah dengan memberikan dekstrosa
50% dimana tiap ml dari gukosa 50%
akan meningkatkan kadar glukosa darah
pasien dengan berat 70 kg kira-kira sebesar 2
mg/dL.
G. Manajemen Preoperatif
1. Level Hemoglobin Ate akan membantu untuk
mengidentifikasi pasien dengan resiko terbesar
untuk terjadinya hiperglikemia perioperatif
sehingga akan meningkatkan komplikasi dan
memperburuk outcome.
2. Morbiditas perioperatif pada pasien diabetic
berhubungan dengan kerusakan end-organ
preoperative akibat komplikasi DM. Oleh
karenanya tentukan gangguan target organ
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN DIABETES MELLITUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 5/9
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR preoperatif.
3. Lakukan pemeriksaan yang teliti
terhadap fungsi paru, kardiovaskular, dan
system renal.
4. Lakukan pemeriksaan ronsen toraks untuk
menilai adanya kemungkinan pembesaran
jantung, kongesti pembuluh darah paru, atau
efusi pleura.
5. Lakukan pemeriksaan EKG. Pada pasien
diabetes terjadi peningkatan abnormalitas
pada ST-segmen dan gelombang T. Lakukan
evaluasi apakah terdapat tanda iskemia
myocardial walaupun dari anamnesa tidak
didapatkan riwayat hal ini dikarenakan terdapat
resiko terjadinya silent myocardial ischemial
infarct.
6. Pasien DM yang disertai hipertensi mempunyai
50% kemungkinan untuk terjadinya neuropati
otonom.
7. Tanda-tanda neuropati otonom adalah:
hipertensi, painless myocardial ischemia,
nipotensi ortostatik, hilangnya variabilitas
denyut jantung (variabilitas denyut
jantung pada orang normal pada saat
bernafas dalam/ 6x permenit adalah lebih dari
10 denyut menit), resting takikardia,
neurogenic bladder tidak berkeringat,
impotensi.
8. Neuropati otonom akan membatasi
kemampuan kompensasi jantung terhadap
perubahan volume intravascular dan
merupakan factor predisposisi instabilitas
hemodinamik (hipotensi post induksi)
dan dapat menyebabkan kematian
mendadak. Insiden akan meningkat dengan
pemakaian ACE inhibitor.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN DIABETES MELLITUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 6/9
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 9. Neuropati otonom juga akan memperlambat
pengosongan lambung. Oleh karenanya
berikan premedikasi dengan antacid non
partikulat dan metoklopramid pada pasien
dengan tanda neuropati otonom.
10. Disfungsi renal pertama kali ditandai dengan
proteinuria dan diikuti peningkatan serum
kreatinin
11. Perhatikan tanda-tanda limited-mobility
joint syndrome yang terjadi akibat glikosilasi
protein jaringan pada keadaan hiperglikemia
kronik.
12. Lakukan evaluasi rutin terhadap gerakan sendi
temporomandibular dan mobilitas servikal
untuk mengantisipasi kesulitan intubasi.
13. Pemakaian obat-obat anti hiperglikemik
oral dapat terus diberikan sampai hari
operasi, KECUALI sulfonylurea dan
metformin yang memiliki waktu paruh yang
panjang.
14. Sulfonilurea dan metformin harus dihentikan
24-48 jam sebelum pembedahan, dan dapat
diberikan lagi pascaoperasi setelah pasien
boleh minum dan telah dipastikan fungsi ginjal
dan hati yang adekuat.
15. Perlu diperhatikan pula bahwa pada pasien
dengan penurunan fungsi ginjal akan terjadi
pemanjangan efek obat antihiperglikemia oral
dengan masa kerja yang singkat.
16. Manajemen gula darah preoperatif pada
pasien yang mendapatkan terapi insulin
dilakukan dengan memberikan setengah dari
dosis insulin (intermediate acting) yang
seharusnya diberikan pada pagi hari
menjelang operasi.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN DIABETES MELLITUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 7/9
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 17. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
hipoglikemia, maka pemberian insulin dapat
diberikan setelah dilakukan pemasangan jalur
intravena dengan pemberian cairan dekstrosa
5% (1,5 ml/ kg/ jam) dan pemeriksaan kadar
gula darah pagi.
H. Manajemen Intraoperatif
1. Target utama dari pengelolaan gula darah
adalah menghindari keadaan hipoglikemia.
Keadaan hiperglikemi sendiri berhubungan
dengan hiperosmolalitas, infeksi, gangguan
penyembuhan luka dan dapat memperburuk
fungsi neurologis
2. Hiperglikemia yang terjadi intraoperative
dikoreksi dengan memberikan regular insulin
intravena dengan metode sliding scale atau
dengan infuse kontinyu.
3. Keuntungan dengan metode infusa kontinyu
adalah dapat mengkontrol kadar gula darah
yang lebih presisi.
4. Infus insulin kontinyu dimulai dengan dosis 0,1
ul kg/ jam. Penyesuaian dosis berikutnya
mengikuti formula sebagai berikut:
a. Unit perjam = Glukosa plasma
(mg/dL) / 150
5. Target kadar gula darah intraoperative adalah
120-150 mg/dL
6. Untuk menghindari resiko terjadinya
hipokalemia karena perpindahan kalium
kedalam intrasel akibat pemberian insulin
maka harus diberikan tambahan 20 mEq KCL
untuk setiap liter cairan.

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN DIABETES MELLITUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 8/9
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 7. Teknik manajemen gula darah
perioperative :

Pemberian Bolus Infus Kontinyu


Preoperatif D5W (1,5 ml kg/ jam) D5W (1ml/ kg/ jam)
NPH insulin (setengah Regular insulin:
dosis pagi) Unitjam= Glukosa
plasmal 150
Intraoperatif Regular insulin (sliding = preoperatif
scale)

Pascaoperati Regular Insulin (sliding = preoperatif


f scale)

I. Manajemen Pascaoperatif
1. Monitoring gula darah harus dilanjutkan
post operatif karena terdapat variasi
individual dari onset dan duration of action dari
insulin (regular dan NPH), selain itu dapat
terjado progresi dari stress hiperglikemia saat
periode pemulihan.
2. Apabila durante operasi diberi banyak
Ringer Lactate (RL) gula darah biasanya
akan naik 24-48 jam postoperatif saat
hepar mengkonversi laktat menjadi
glukosa
3. Karakteristik dan bioavaibilitas dari insulin : |
Insulin type Onset Peak Duration
action
Short acting Lispro 10-20 min 30-90 min 4-6 hr
Regular, 15-30 min 1-3 hr 5-7 hr
Actrapid, 30-60 min 4-6 hr 12-16 hr
Velosulin
Semilente,
Semitard
Intermedi Lente, 2-4 hr 8-10 hr 18-24 hr
ate Lentard, NPH,
Monotard

Long Acting Ultralente, 4-5 hr 8-12 hr 25-36 hr


Ultratard, PZI

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN DIABETES MELLITUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 9/9
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/ residen bedah
4. Dokter/ residen IPD
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN HIPERTIROID
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/6
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Hipertiroid merupakan suatu keadaan disfungsi
kelenjar tiroid dengan produksi hormone triiodotironin
(T3) dan atau tiroksin (T4) yang berlebihan. Hormon
tiroid menyebabkan peningkatan metabolisme
karbohidrat dan lemak yang sangat berperanan
dalam kecepatan pertumbuhan dan metabolism.
Peningkatan metabolism akan menyebabkan
peningkatan konsumsi oksigen dan produksi CO2
yang secara tidak langsung meningkatkan ventilasi
semenit, denyut jantung, kontraktilitas, dan produksi
panas/ energi.

TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk


dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
dengan hipertiroid yang akan menjalani tindakan
pembedahan
KEBIJAKAN Pada operasi elektif pasien harus dalam keadaan
eutiroid dan gejala klinis yang sudah terkontrol.
PROSEDUR A. Manifestasi Klinis
1. Goiter
2. Takikardia
3. Ansietas
4. Tremor halus
5. Penurunan berat badan
6. Intoleransi terhadap panas.
7. Kelemahan otot
8. Fatigue
9. Eksoptalmus
10. Cardiac signs dapat berupa: sinus takikardia,
atrial fibrilasi, gagal jantung kongestif.
B. Diagnosis
Diagnosis hipertiroid ditegakkan dengan
pemeriksaan tes fungsi tiroid yang abnormal
dimana terjadi peningkatan kadar total (terikat dan
tidak terikat) T4, T3 serum dan T4 bebas (tidak
terikat).
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN HIPERTIROID
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR C. Terapi Hipertiroid
1. Terapi Medikamentosa
a. Inhibitor sintesa hormon: propiltiourasil,
metimazol
b. Inhibitor pelepasan hormon: potassium,
sodium iodide
c. Aktivitas adrenergik yang berlebihan diatasi
dengan antagonis ß- adrenergic, misal:
propanolol, nadolol, atenolol.
d. Pemberian antagonis ß -ademergik juga
akan menurunkan konversi T4 menjadi T3
di perifer.
e. Iodine radioaktif dapat menghancurkan
fungsi sel tiroid. Pemberian iodine
radioaktif ini dapat menyebabkan keadaan
hipotiroid dan dikontraindikasikan pada
wanita hamil.
f. Reflek-reflek hiperaktif
2. Terapi Pembedahan
a. Tiroidektomi subtotal merupakan alternative
dari terapi medikamentosa
b. Biasanya tindakan pembedahan ini
dilakukan pada struma multinodular
toksik yang berukuran besar, adenoma
soliter toksik, struma berukuran besar
yang dapat menimbulkan kompresi
trakea, atau untuk alasan kosmetik.
D. Manajemen Preoperatif
1. Semua prosedur operasi elektif harus ditunda
sampai gejala-gejala klinis terjadi perbaikan
dan pasien harus dalam keadaan eutiroid
dengan terapi medikamentosa.
2. Pada pemeriksaan preoperatif harus
dipastikan keadaan eutiroid dengan tes
fungsi tiroid yang normal dan
direkomendasikan laju nadi dalam keadaan
istirahat < 100 x menit.
3. Terapi antitiroid dan antagonis B tetap
diteruskan sampai saat pagi menjelang
operasi.
4. Pada keadaan emergensi pasien dapat

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN HIPERTIROID
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/6

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR dioptimalisasi dalam waktu kurang dari 1 jam
dengan mengkontrol keadaan sirkulasi yang
hiperdinamik menggunakan infus esmolol
secara titrasi dengan dosis 100-300 ug/ kg/
menit atau dengan propranolol dengan target
laju nadi < 100x/menit.
5. Lakukan evaluasi terhadap kemungkinan
obstruksi jalan nafas bagian atas.
6. Obat pilihan untuk sedasi preoperatif adalah
dengan obat golongan benzodiazepine.
7. Hindari obat antikolinergik sebagi premedikasi
status mental dan kejang.
E. Manajemen Intraoperatif
1. Teknik regional anestesi bila memungkinkan)
dapat memberikan keuntungan yang sangat
besar karena dapat memblokade system saraf
simpatis/stress response.
2. Bila dilakukan anestesi umum harus
dipilih obat-obatan induksi yang mempunyai
efek minimal terhadap kardiovaskular.
Tiopental merupakan pilihan yang terbaik
karena mempunyai efek antitiroid pada dosis
besar.
3. Hindari pemakaian ketamin, pankuronium,
dan obat-obatan yang dapat menstimulasi
sysiem sarai simpais Karena dapai
menyebabkan peningkatan laju nadi dan
tekanan darah.
4. Pastikan kedalaman anestesi yang
adekuat sudah tercapai sebelum
melakukan laringoskop/ intubasi atau saat
stimulasi/ pembedahan untuk menghindari
terjadinya takikardia, hipertensi, dan aritmia
ventrikel
5. Pastikan pasien dalam keadaan normovolum
sebelum induksi karena pasien-pasien
hipertiroid biasanya dalam keadaan
hipovolemik kronis dengan sirkuasi yang
cenderung mengalami vasodilatasi.
6. Mainte nance anestesi dapat dilakukan

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN HIPERTIROID
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR dengan isofluran, desfluran, atau sevofluran
dengan N20.
7. Keadaan hipertiroid tidak meningkatkan
kebutuhan anestetik.
8. Lakukan pemantauan ketat terhadap fungsi
kardiovaskular dan suhu tubuh untuk
mengetahui tanda-tanda badai tiroid/ thyroid
storm.
9. Lindungi mata pasien selama operasi dengan
baik, karena keadaan eksoptalmus akan
meningkatkan resiko terjadinua abrasi dan
ulkus kornea.
F. Krisis Tiroid/Thyroid Storm Dan
Penatalaksanaannya
1. Krisis tiroid merupaka keadaan emergensi
medikal yang memerlukan manajemen dan
monitoring yang agresif. Tanda dari krisis tiroid
adalah munculnya gejala-gejala hipertiroid
secara tiba-tiba akibat pelepasan hormon T3
dan T4 secara mendadak.
2. Tanda-tanda yang didapatkan berupa:
takikardia, hipertermia, agitasi/delirium/ koma,
kelemahan oto skeletal, gagal jantung
kongestif, dehidrasi, syok.
3. Krisis tiroid dapat terjadi pada periode
intraoperatif akan tetapi paling sering terjadi
pada saat 6-24 jam pascaoperasi.
4. Gejala krisis tiroid yang terjadi intraoperative
sangat mirip dengan malignant hyperthermia,
yang membedakannya adalah pada malignant
hyperthermia terjadi rigiditas otot, peningkatan
kreatinin kinase, dan asidosis respiratorik/
metabolik yang berat.
5. Penatalaksanaan krisis tiroid adalah
dengan hidrasi dan pendinginan dengan
menggunakan cairan infus yang dingin, infus
kontinyu esmolol atau propanolol (dosis
incremental dimulai dengan 0,5 mg sampai laju
nadi < 100/ menit), PTU (250500 mg tiap 6 jam
secara oral atau melalui NGT), sodium iodide
iig dalam 12 jam), dan lakukan koreksi
terhadap factor pencetus.
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN HIPERTIROID
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 5/6

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 6. Pemberian kortisol 100-200 mg tiap
8 jam direkomendasikan untuk mencegah
timbulnya komplikasi akibat supresi kelenjar
adrenal.
G. Manajemen Pascaoperatif
1. Lakukan monitoring terhadap tanda-tanda
krisis tiroid paling tidak selama 24 jam,
hal ini dikarenakan krisis tiroid paling
sering terjadi pada periode 6-24 jam
pascaoperasi.
2. Lakukan evaluasi terhadap terjadinya
komplikasi tiroidektomi subtotal, yaitu
a. Kerusakan nervus laryngeus recurrent; bila
unilateral ditandai dengan paralisis pita
suara dan suara serak, bilateral ditandai
dengan paralisis pita suara, afonia dan
stridor (obstruksi jalan nafas). Fungsi pita
suara dapat segera dinilai dengan
laringoskopi segera setelah dilakukan
ekstubasi dalam. Kegagalan 1 atau kedua
pita suara untuk bergerak memerlukan
tindakan intubasi untuk membebaskan
jalan nafas.
b. Perdarahan pascaoperatif pada
daerah leher; keadaan ini menimbulkan
hematom yang dapat menimbulkan
gangguan jalan nafas akibat kompresi
pada trakeal. Tindakan yang dilakukan
adalah dengan sesegera mungkin
membuka kembali luka insisi untuk
evakuasi bekuan darah.
c. Trakeomalasia; lakukan penilaian apakah
diperlukan tindakan intubasi.
d. Hipoparatiroid; terjadi karena kelenjar
paratiroid yang tidak sengaja terangkat.
Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya
hipokalsemia akut yang terjadi dalam 12-72
jam.
e. Pneumotoraks; dapat terjadi secara
tidak sengaja saat dilakukannya
eksplorasi pada daerah leher. Segera
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN HIPERTIROID
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 6/6
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR f. lakukan pemasangan CTT untuk
mengatasinya.
g. Hipotiroid permanen.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/residen bedah
4. Dokter/ residen IPD
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN HIPOTIROID
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/4
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Hipotiroid merupakan disfungsi kelenjar tiroid yang
ditandai dengan penurunan produksi hormone tiroid
T3 dan atau T4. Hipotiroid dapat disebabkan primer
oleh penyakit autoimun, tiroidektomi, pemakaian
iodine radioaktif, medikasi dengan antitiroid, defisiensi
iodine, atau sekunder akibat kegagalan hypothalamic-
pituitary axis.
TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
hipotiroid yang akan menjalani tindakan
pembedahan.
KEBIJAKAN Keadaan paling ideal untuk dilakukan operasi elektif
adalah eutiroid, tetapi hipotiroid ringansedang
bukanlah kontraindikasi absolute. Operasi elektif
ditunda pada hipotiroid berat (T4< 1mg/ dL)
PROSEDUR A. Manifestasi Klinis
1. Hipotiroid yang terjadi pada masa neonatal
akan mengakibatkan kretinism yang ditandai
dengan gangguan pertumbuhan fisik, dan
retardasi mental.
2. Pada dewasa gejala hipotiroid tidak begitu
jelas terlihat
3. Letargi
4. Peningkatan berat badan
5. Intoleransi terhadap dingin
6. Fatigue
7. Konstipasi
8. Hiporeflek
9. Depresi
10. Bradikardia
11. Kontraktilitas jantung, stroke volume, dan
cardiac output menurun.
12. Ekstremitas dingin dan mottled akibat
vasokonstriksi perifer
13. Atropi kortek adrenal
14. Hiponatremia
15. Kadang terdapat efusi pleural, abdominal,
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN HIPOTIROID
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/4

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR dan pericardial.
16. Pada keadaan hipotiroid subklinis gangguan
kardiovaskular jarang terjadi
B. Diagnosis
1. Diagnosis hipotiroid ditegakkan dengan kadar
T4 bebas yang rendah.
2. Hipotiroid primer dibedakan dengan hipotiroid
sekunder dengan peningkatan kadar TSH.
C. Terapi
1. Terapi pengganti dengan preparat hormone
tiroid (T4)
D. Permasalahan Perioperatif
1. Peningkatan sensitivitas terhadap obat yang
menimbulkan depresi
2. Hipodinamik kardiovaskular
3. Penurunan laju jantung
4. Penurunan cardiac output
5. Metabolisme obat menjadi lambat
6. Reflek baroreseptor yang tidak responsif
7. Kegagalan respon ventilasi terhadap
hipoksemia dan hiperkarbia
8. Hipovolemia
9. Gangguan pengosongan lambung
10. Hiponatremia
11. Hipotermia
12. Anemia
13. Hipoglikemia
14. Insufisiensi adrenal

E. Komplikasi Hipotiroid (Koma Myxedema)


1. Koma Myxedema merupakan komplikasi dari
hipotiroid yang ekstrim.
2. Gejalanya yaitu: penurunan kesadaran,
hipoventilasi, hipotermi, hiponatremia (akibat
sekresi ADH), kolaps kardiovaskular, koma,
dan dapat menyebabkan kematian.
3. Sering terjadi pada orang tua yang dicetuskan
oleh proses pembedahan, infeksi, atau trauma.
4. Penatalaksanaannya adalah dengan
memberikan hormon tiroid T3 atau T4

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN


DENGAN HIPOTIROID
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/4

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR intravena, dengan dosis awal levotiroksin
sodium 300-500 mg (pada pasien tanpa
penyakit jantung) diikuti dengan dosis
pemeliharaan 50 mg/ hari, steroid (misalnya
hidrokortison 100 mg tiap 8 jam). Selama
terapi lakukan pemantauan EKG terhadap
tanda-tanda iskemik atau aritmia.
5. Pertimbangkan bantuan ventilasi dan
pemanasan eksternal bila diperlukan.
F. Manajemen Preoperatif
1. Pasien yang akan menjalani operasi elektif
dengan keadaan hipotiroid berat (T4 < 1 mg/dl)
atau koma myxedema harus ditunda.
2. Pasien dengan hipotiroid berat (T4< 1 mg/ dL)
atau koma myxedema yang akan menjalani
operasi emergensi harus mendapatkan terapi
dengan hormone tiroid terlebih dahulu sebelum
operasi.
3. Keadaa preoperatif yang ideal adalah pasien
dalam keadaan eutiroid, tetapi keadaan
hipotiroid ringan-sedang bukan merupakan
kontraindikasi absolute untuk dilakukan
operasi.
4. Evaluasi semua permasalahan yang mungkin
ada akibat hipotiroid (poin no.8)
5. Berikan terapi pengganti hormon tiroid untuk
mencapai keadaan eutiroid pada saat operasi.
6. Berikan kortisol suplemen sebagai medikasi
preoperatif.
7. Pada keadaan hipotiroid pasien sangat sensitif
terhadap obat-obatan sedasi yang dapat
menimbulkan depresi jalan nafas dan pada
keadaan ini mereka tidak mampu
mengkompensasi hipoksia dengan
meningkatkan ventilasi semenit. Biasanya
pada pasien hipotiroid tidak memerlukan
sedasi preoperatif.
8. Berikan premedikasi dengan antagonis
histamine H-2 dan metoklopramid karena pada
pasien ini terjadi perlambatan pengosongan
lambung.
PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN
DENGAN HIPOTIROID
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
3. Dokter/ residen bedah
4. Dokter/ residen IPD
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PANDUAN
ANESTESI REGIONAL

PROSEDUR ANESTESI SPINAL

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin …… ….. - 1/6
Bandung
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Suatu teknik regional anestesi dengan melakukan |
blockade neuroaksial melalui penyuntikan obat
anestesi ke dalam sub arachnoid.
TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah
untuk pelaksanaan tindakan anestesi spinal
pada pasien yang akan menjalani tindakan
pembedahan.
KEBIJAKAN
PROSEDUR A. Penentuan Indikasi
Operasi abdomen bagian bawah, inguinal,
urogenital; rectal, dan ekstremitas bagian bawah

B. Kontra Indikasi
1. Absolut
a. infeksi pada daerah tempat tusukan
b. Pasien menolak
c. Koagulopati atau gangguan perdarahan
d. Hipovolemia berat
e. Peningkatan tekanan intracranial
f. Severe aortic/ mitral stenosis
2. Relatif
a. Sepsis
b. Pasien tidak kooperatif
c. Defisit neurologis sebelumnya
d. Severe spinal deformity
3. Kontroversi
a. Bekas operasi pada tempat tusukan
b. Pasien yang tidak bisa berkomunikasi
c. Prosedur operasi yang kompleks (durasi
lama, perdarahan banyak)
C. Persiapan Alat Obat
1. Sumber oksigen
2. Peralatan manajemen Jalan Nafas (lihat
pedoman persiapan pra-bedah)
3. Obat-obatan emergensi/ resusitasi
4. Monitor tekanan darah, pulse oximetry, EKG

PROSEDUR ANESTESI SPINAL

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 2/6
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 5. Regional set steril, bethadine, alkohol
6. Jarum spinal no. 25/27/29
7. Spuite 3cc/5cc
8. Obat anestesi local untuk spinal (hiperbarik
atau isobaric)
D. Persiapan Pasien
1. Pada prosedur pembedahan elektif pasien
tetap harus dipuasakan 6-8 jam sebelumnya
2. Dilakukan informed consent tentang prosedur
tindakan yang akan dilakukan, keuntungan,
dan kerugiannya
3. Sebaiknya diberikan sedasi untuk
memfasilitasi kooperasi pasien pada
tingkatan sedasi yang membuat
pasien nyaman tetapi tetap kooperatif dan
komunikatif
E. TEKNIK PELAKSANAAN
1. Dilakukan terlebih dahulu pengukuran tekanan
darah, laju nadi, dan saturasi oksigen perifer
2. Pemasangan jalur intravena dengan kateter
vena no. 18
3. Preloading cairan RL sebanyak 10-20 cc/ kgbb
15 menit sebelum penyuntikan spinal
4. Posisi pasien:
a. Lateral Decubitus
Pasien diposisikan tidur miring ke
salah satu sisi badan dengan
punggung yang paralel dengan meja
operasi. Sendi panggul dan lutut di-
fleksikan maksimal sehingga lutut
pasien berada dekat dengan abdomen
dan dada bagian bawah. Leher berda pada
posisi fleksi. Bahu dan panggul harus
berada dalam satu garis lurus sehingga
tidak terjadi rotasi pada tulang punggung.
Posisi dan kelengkungan pada tulang
belakang harus dipertahankan oleh
seorang asisten.
b. Posisi Duduk
Pasien diposisikan duduk dengan

PROSEDUR ANESTESI SPINAL

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 3/6
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR tungkai menggantung di sisi meja operasi
dan kaki ditopang dengan kursikootrest.
Bantal diletakkan di pangkuan pasien
dengan kedua lengan atas berada pada
posisi merangkul bantal. Kemudian pasien
diperintahkan untuk menunduk dan
melenkungkan ke depan tulang
belakangnya sambil memeluk bantal. Posisi
dan kelengkungan tulang belakang ini harus
dipertahankan oleh seorang asisten.

5. Dilakukan identifikasi ruang intervertebral


L2-3, L3-4, L4-5 dengan panduan Tuffier
Line
6. Untuk mengurangi resiko infeksi maka dokter
anestesi harus mencuci tangan terlebih dahulu
dengan prosedur cuci tangan yang telah
ditetapkan. Kemudian mengenakan sarung
tangan steril.
7. Dilakukan tindakan desinfeksi kulit pada
daerah tusukan dengan menggunakan
povidon iodine dan biarkan mongering.
Kemudian dibersihkan dengan kassa sehingga
daerah tusukan bersih dari zat antiseptik
8. Daerah tusukan ditutupi dengan kain/ duk
bolong steril.
9. Penusukan jarum spinal:
a. Midline approach:
1) Jarum spinal ditusukkan pada
garis tengah celah intervertebral
yang telah ditentukan dengan arah
angulasi sedikit sefalad dan sumbu
jarum searah dengan sumbu tulang
belakang pasien.
2) Jarum spinal akan menembus kulit, sub
kutis, ligamentum supra spinosus,
ligamentum interspinosus, dan
ligamentum flavum.
3) Bila tusukan berada pada arah yang
tepat, maka kita akan merasakan dua
perubahan tahanan.
PROSEDUR ANESTESI SPINAL

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 4/6
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 4) Tahanan pertama terjadi saat
kita menembus ligamentum flavum
dan tahanan kedua saat
menembus permukaan membrane dura
arachnoid.
5) Setelah tahanan yang kedua (terasa
seperti loss of resistance atau "pop"),
tusukan jarum dihentikan. Pada saat ini
ujung telah berada di ruang sub
arachnoid.
6) Tarik stylet dari jarum spinal sehingga
LCS mengalir bebas. Apabila LCS tidak
keluar maka dicoba untuk mendorong
jarum spinal.
7) Urutan tindakan di atas diulangi sampai
didaptkan LCS
b. Paramedian Approach
1) Biasanya dilakukan pada pasien pada
ligamentum interspinosus atau kesulitan
untuk memposisikan pasien pada posisi
fleksi.
2) Tentukan daerah tusukan dengan
menarik garis 2 cm ke lateral dari aspek
inferior dari prosesus spinosus superior
dari daerah yang diinginkan.
3) Jarum spinal ditusukkan dengan
membentuk sudut 10-25 derajat kearah
garis tengah.
4) Identifikasi ligamentum flavum pada
paramedian tidak begitu dapat kita
rasakan dibandingkan dengan
pendekatan median
5) Jika jarum membentur tulang pada
saat jarum masuk tidak begitu dalam,
maka biasanya jarum membentur
bagian medial dari lamina bagian
bawah. Untuk itu jarum harus diarahkan
kembali sedikit ke atas dan lebih ke
lateral.
6) Sebaliknya bila jarum membentur

PROSEDUR ANESTESI SPINAL

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 5/6
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR
tulang setelah jarum dimasukkan begitu
dalam, maka biasanya jarum
membentur bagian lateral dari lamina
bawah. Jarum harus diarahkan kembali
sedikit lebih ke atas dan medial dari
garis tengah.
7) Sebelum menghubungkan spuit dengan
hub dari jarum spinal, pastikan terlebih
dahulu tidak ada darah pada aliran LCS.
Tunggu sampai aliran LCS benar-benar
bening.
8) Lakukan barbotase dan kemudian
masukkan obat lokal anestesi dengan
kecepatan ...cc/detik. Dosis yang
dibutuhkan adalah sebagai berikut:

Dosis (mg)
Obat Perineum, Abdomen Abdomen
(hiperbarik Lower Bawah Atas
) Limbs
Procaine 75 125 200
Bupivacain 4-10 12-14 12-18
Tetracaine 4-8 10-12 10-16
Lidocaine 25-50 50-75 75-100
Ropivacain 8-12 12-16 16-18

9) Posisikan pasien sesuai dengan


kebutuhan prosedur operasi yang akan
dilakukan.
10)Pengukuran tekanan darah dan laju
nadi harus sesegera mungkin dilakukan
setelah obat disuntikkan.
11)Pengukuran dilakukan tiap menit pada
15 menit pertama kemudian tiap 3 menit
setelahnya.

PROSEDUR ANESTESI SPINAL

No. Dokumen No. Revisi Halaman


RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 6/6
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR dilakukan tiap menit pada 15 menit
pertama kemudian tiap 3 menit
setelahnya.
12)Bila terjadi hipotensi berikan
vasopressor (efedrin 5-10 mg) dan/
cairan
13)Sensasi suhu diperiksa dengan
menggunakan kapas alcohol, dan
distribusi blok sensoris dinilai dengan
tes pinprick
14)Selama operasi berikan suplemen
oksigen dengan nasal kanul 2-3 l/menit.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend
PANDUAN
ANESTESI PADA
PROSEDUR MINIMAL
INVASIF

PROSEDUR PELAYANAN ANESTESI PADA


LAPARASKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Persiapan tindakan anestesi umum, dan monitoring
selama tindakan laparaskopi.
TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
memberikan tindakan anestesi pada prosedur
laparaskopi.
KEBIJAKAN
PROSEDUR A. Persiapan Pra-Bedah
1. Lakukan kunjungan pre-operatif (lihat
Pedoman pelayanan dasar anestesi/
kunjungan preoperative H-2 dan H-1)
2. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan
adalah pemeriksaan darah rutin, urinalisis,
factor koagulasi, elekrolit, fungsin ginjal.
Pemeriksaan EKG, foto toraks dan Tes fungsi
paru (sesuai indikasi)
3. Informed consent tentang prosedur anestesi
yang akan dilakukan, keuntungan dan
kerugian yang mungkin terjadi, dan pasien
harus diberitahukan bahwa selalu terdapat
kemungkinan prosedur operasi dirubah
menjadi operasi terbuka apabila selama
operasi terdapat indikasi untuk dilakukan
prosedur pembedahan terbuka.
4. Sebelum menyetujui untuk dilakukan tindakan
laparoskopi, harus di analisa bahwa pasien
tidak merupakan kontra indikasi untuk
dilakukan laparoskopi. Kontra indikasi
laparoskopi atau sebaiknya dihindari pada
keadaan
a. Koagulopati
b. Hernia diafragmatika
c. Penyakit kardiovaskular berat
d. Penyakit paru berat
e. Peningkatan tekanan intracranial
f. Gangguan fungsi ginjal
g. Riwayat operasi besar atau perlengketan
sebelumnya
PROSEDUR PELAYANAN ANESTESI PADA
LAPARASKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/3

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR h. Morbid obesity
i. Sickle cell disease
j. Peritonitis
k. Massa intra abdomen yang besar
l. Shock hipovolemik
m. Pasien dengan VP shunt
n. Pasien menolak
5. Peralatan monitoring yang dibutuhkan: EKG,
NIBP, pulse oksimetri, kapnograf.
6. Persiapan alat dan obat (lihat pedoman
Persiapan Sebelum Tindakan Anestesi)
B. TEKNIK ANESTESI
1. Teknik anestesi yang menjadi pilihan pada
laparoskopi adalah teknik anestesi umum
dengan intubasi menggunakan endotracheal
cuff dengan balon, dan dilakukan ventilasi
control dengan tekanan positif.
2. Hampir semua kombinasi obat anestesi
(hipnotik, analgetik, dan relaksan) dapat
diberikan, tetapi gas Halotan sebaiknya
dihindari karena dapat menyebabkan aritmia
dengan adanya hiperkarbia.
3. Pemilihan obat anestesi disesuaikan dengan
kondisi masing-masing pasien.
4. Gas N20 dapat diberikan dengan konsentrasi
tidak lebih dari 50%
5. Setelah dilakukan induksi dan intubasi
dilakukan pemasangan NGT dan kateter urin
untuk dekompresi.
6. Pada saat insersi Veress needle dan kanula
pasien diposisikan trendelenburg
7. Posisi pasien selanjutnya disesuaikan dengan
prosedur operasi yang akan dijalani.
8. Perhatikan tanda-tanda vital pasien pada saat
dilakukan insuflasi gas CO2 terhadap
kemungkinan vagal reflek akibat peregangan
peritoneum
9. Apabila terjadi vagal reflek berikan obat
vagolitik
10. Tekanan intra abdominal saat insuflasi
dibatasi tidak lebih dari 15 mmHg untuk
PROSEDUR PELAYANAN ANESTESI PADA
LAPARASKOPI
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR mengurangi perubahan fisiologi akibat
pneumoperitoneum
11. Durante operasi dilakukan monitoring terhadap
tekanan darah, laju nadi, saturasi, diuresis,
EKG, dan end tidal CO2. Disamping
monitoring mekanik harus dilakukan pula
monitoring visual dan taktil dengan menilai
warna kulit, turgor kulit, capillary refill, edema
pada konjungtriva dan kornea akibat posisi,
emfisema sub kutan pada dada. Pemeriksaan
ini harus dilakukan secara periodic karena
selama laparoskopi dapat terjadi perubahan
yang mendadak.
12. Pada laparoskopi tidak terjadi evaporasi
dan perpindahan cairan yang besar ke
ruang ketiga, sehingga pemberian cairan
pengganti dibatasi dengan pemberian RL 2,5-4
ml/ kgbb/ jam ditambah dengan cairan
maintenan.
13. Selama operasi harus dipantau tanda
tanda adanya komplikasi emboli dan
pneumotoraks.
14. Berikan profilaksis terhadap PONV
15. Dokter anestesi harus memutuskan untuk
dilakukan konversi tindakan laparoskopi
menjadi laparotomi apabila durante operasi
terjadi perdarahan yang sulit untuk di atasi,
perforasi organ prosedur yang telah
berlangsung terlalu lama, keadaan pasien
yang memburuk, dan adanya penyakit lain
yang tidak diperkirakan sebelumnya.

UNIT TERKAIT 1. Dokter anestesi


2. Residen anestesi
3. Peñata anestesi
4. Konsulen dan Residen bagian lain yang terkait
DOKUMEN TERKAIT 1. Status pasien
2. SIO
3. Surat izin tindakan anestasi
4. Status preoperative anestesi
5. Status Anestesi
PANDUAN
ANESTESI PADA
BEDAH SARAF

PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI


CRANIOTOMY SOL SUPRATENTORIAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/4

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR e. Pemeriksaan EKG ( bila usia > 40 thn atau
ada indikasi)
f. Pemeriksaan MRI atau CT-Scan
g. Permeringsaan CT-Angiografi bila ada
indikasi ( tumor besar dengan kecurigaan
gangguan vaskuler)

B. Intra operatif
1. Premedikasi
a. Hindari penggunaan narkotik
b. Dapat diberikan diazepam 0.1-0.2 mg/kgbb
per oral, midazolaam 0.5-1 mg/kgbb atau
lorazepam 0.02-0,5 mg/kgbb.
c. Sebaiknya dilakukan dalam pengawasan
dokter anestesi atau dengan pemantauan
monitor.
2. Monitoring
a. Pemasangan monitoring rutin ( EKG, SpO2
dan tekanan darah non invasive)
b. Pemasangan CVP perifer atau central (bila
kemungkinan terjadinya perdarahan yang
banyak atau kemungkinan terjadinya
diabetes insipidus).
c. Pemasangan arteri line apabila
d. operasi memiliki resiko terjadinya
perubahan tekanan darah yang cepat,
e. hipotensi kendali,
f. penyakit sertaan tertentu
g. pemasangan kateter urine
3. Induksi
a. Posisikan pasien head up 30°
b. Berikan oksigen 3 L/menit selama 5 menit.
c. Berikan narkotik analgetik ( contoh Fentanil
1-3 pr/kgbb) secara perlahan selama 1
menit hindari terjadinya batuk.
d. Pasien diberikan pelumpuh otot non
depolarisasi 1/10 dosis dari jumlah dosis
yang akan diberikan.
e. Pasien diberikan hipnotik sedative
(contoh propofol 2-2,5 mg/kgbb

PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI


CRANIOTOMY SOL SUPRATENTORIAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR thiopental 2-5 mg/kgbb).
f. Selah reflex bulu mata hilang ( kecuali bila
GCS < 9).
g. Kemudian dilakukan ventilasi dengan
oksigen 6 L/menit dengan gas anestesi
(contoh : Sevoflurane 1,5 MAC atau
Isoflurane 1 MAC).
h. Setelah dipastikan pasien mampu untuk
dilakukan untuk ventilasi berikan sisa dari
pelumpuh otot (contoh: vecuronium 0.15
mg/kgbb, rocuronium 0.6 mg/kgbb atau
atracurium 0.5 mg/kgbb)
i. Berikan lidokain. 1-1,5 mg/kgbb yang di
berikan 3 menit sebelum dilakukannya.
intubasi. :D
j. Berikan setengah dosis ulangan hipnotik
sedative dari dosis induksi 30 detik
sebelum dilakukkannya intubasi.
k. Tekanan darah non invasive mengukur
selama 1 menit sekali selama induksi.
l. Dilakukan laringoskopi intubasi
m. Plester mata dengan menggunakan plester
kertas sebanyak 3 lapis yang terlebih
dahulu menggunakan salep mata.
n. Setelah selasai induksi dan pastikan posisi
pasien
o. Pastikan tidak adanya obstruksi vena
jugularis
p. Dilakukan pemasanga iv kateter nomor
besar, kateter urine dan CPV atau arteri
line bila diperlukan
q. Diberikan anestesi lokal bupivakain
sebelum dilakukan pemasangan head pin
r. Diberikan hipnotik sedative ( propofol atau
thiopenthal) secara kontiyu
s. Diberikan pelumpuh otot secara intermiten
atau kontiyu
t. Diberikan osmotik diuretik dan atau loop
diuretic pada saat dilakukan pengeboran
tulang
u. Pemberian kortikostreroid pada pasien

PANDUAN ANESTESI PADA KRANIOTOMI SOL


INFRATENTORIAL (FOSSA POSTERIOR)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/4

PROSEDUR TETAP Tanggal Terbit Ditetapkan,


16 Januari 2012 Direktur Utama
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Persiapan pre operative, intra operative dan
post operative serta komplikasi yang mungkin
terjadi.
TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
persiapan untuk craniotomy Intratentorial (Fossa
Posterior).
KEBIJAKAN Untuk memperbaiki outcome pasien dari operasi
tumor Intratentorial (Fossa Posterior).
PROSEDUR A. Pre-operatif
1. Anamnesa
a. Tanyakan pada pasien mengenai riwayat
penyakit yang menyertainya
b. Obat obatan yang dikonsumsi
c. Adakah gangguan penglihatan atau adanya
gangguan neurologis
d. Peningkatan tekanan intracranial
e. Operasi serebral sebelumnya
2. Pemeriksaan Fisik
a. Periksaan jalan nafas ( kemampuan pasien
untuk extensi,rotasi muka mulut, dan jarak
antara tiroid dengan mandibula)
b. Pemeriksaan pernafasan ( adakah ronki
atau whizzing)
c. Tanda vital (tekanan darah dan frekwensi
nadi)
d. Pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Scale)
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah rutin (Hb, Leukosit,
Trombosit, Ht)
b. Pemeriksaan gula darah (pada pasien yang
diberikan pengobatan kortikosteroid atau
gangguan endokrin)
c. Pemeriksaan elektrolit (bila pasien
mendapatkan terapi osmotik diuretic atau
loop diuretik)
d. Pemeriksaan foto thorak ( bila usia > 50
PANDUAN ANESTESI PADA KRANIOTOMI SOL
INFRATENTORIAL (FOSSA POSTERIOR)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/4

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR thn atau ada indikasi)
e. Pemeriksaan EKG ( bila usia > 40 thn atau
ada indikasi)
f. Pemeriksaan MRI atau CT-Scan
g. Permeringsaan CT-Angiografi bila ada
indikasi ( tumor besar dengan kecurigaan
gangguan vaskuler)
B. Intra operatif
1. Premedikasi
a. Hindari penggunaan narkotik analgesik
b. Dapat diberikan diazepam 0.1-0.2
mg/kgbb per oral, midazolaam 0.5-1
mg/kgbb atau lorazepam 0.02-0,5
mg/kgbb.
c. Sebaiknya dilakukan dalam pengawasan
dokter anestesi atau dengan pemantauan
monitor.
2. Monitoring
a. Pemasangan monitoring rutin ( EKG,
SpO2, tekanan darah non invasive dan end
tidal CO2)
b. Pemasangan CVP perifer atau central (bila
kemungkinan terjadinya perdarahan yang
banyak atau kemungkinan terjadinya
diabetes insipidus).
c. Pemasangan arteri line apabila
1) operasi memiliki resiko terjadinya
perubahan tekanan darah yang cepat,
2) hipotensi kendali,
3) penyakit sertaan tertentu
d. pemasangan kateter urine
3. Induksi
a. Posisikan pasien head up 30°
b. Berikan oksigen 3 L/menit selama 5
menit.
c. Berikan narkotik analgetik ( contoh Fentanil
1-3 pr/kgbb) secara perlahan selama 1
menit hindari terjadinya batuk.
d. Pasien diberikan pelumpuh otot non
depolarisasi 1/10 dosis dari jumlah dosis
yang akan diberikan.
PANDUAN ANESTESI PADA KRANIOTOMI SOL
INFRATENTORIAL (FOSSA POSTERIOR)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR e. Pasien diberikan hipnotik sedative (contoh
propofol 2-2,5 mg/kgbb thiopental 2-5
mg/kgbb).
f. Selah reflex bulu mata hilang ( kecuali bila
GCS < 9).
g. Kemudian dilakukan ventilasi dengan
oksigen 6 L/menit dengan gas anestesi
(contoh : Sevoflurane 1,5 MAC atau
Isoflurane 1 MAC).
h. Setelah dipastikan pasien mampu
untuk dilakukan untuk ventilasi berikan
sisa dari pelumpuh otot (contoh:
vecuronium 0.15 mg/kgbb,
rocuronium 0.6 mg/kgbb atau atracurium
0.5 mg/kgbb)
i. Berikan lidokain 1-1,5 mg/kgbb yang di
berikan 3 menit sebelum dilakukannya
intubasi.
j. Berikan setengah dosis ulangan hipnotik
sedative dari dosis induksi 30 detik
sebelum dilakukkannya intubasi.
k. Tekanan darah non invasive mengukur
selama 1 menit sekali selama induksi.
l. Dilakukan laringoskopi intubasi
m. Plester mata dengan menggunakan plester
kertas sebanyak 3 lapis yang terlebih
dahulu menggunakan salep mata.
n. Setelah selasai induksi dan pastikan posisi
pasien
o. Pastikan tidak adanya obstruksi vena
jugularis
p. Dilakukan pemasanga iv kateter nomor
besar, kateter urine dan CPV atau arteri
line bila diperlukan
q. Diberikan anestesi lokal bupivakain
sebelum dilakukan pemasangan head pin
r. Diberikan hipnotik sedative ( propofol atau
thiopenthal) secara kontiyu
s. Diberikan pelumpuh otot secara intermiten
atau kontiyu
t. Diberikan osmotik diuretik dan atau loop
diuretic pada saat dilakukan
PANDUAN ANESTESI PADA KRANIOTOMI SOL
INFRATENTORIAL (FOSSA POSTERIOR)
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR pengeboran tulang
u. Pemberian kortikostreroid pada pasien
tetap dilanjutkan.
4. Rumatan
a. Setelah dilakukan intubasi pasien di
berikan rumatan anestesi O2-
Airsevoflurane tidak lebih dari 1,5 MAC
atau isoflurane tidak lebih dari 1 MAC.
b. Diberikan hipnotik sedasi kontiyu (contoh:
propofol 50-150 ug/kgbb/menit atau
Thiopental 1-3 mg/kgbb/jam).
c. Pelumpuh otot diberikan secara kontiyu
atau secara berkala.
d. Cairan rumatan dengan menggunakan
NaCl 0,9% dan Ringger laktat dengan
pebandingan 3:1
e. Bila pasien mendapatkan osmotic diuretik
dan, atau loop diuretik cairan penganti
diberikan 1-1.5 cc/kgbb/jam atau 2/3 dari
jumlah diuresis/jam.
C. Post operatif
Pasien di. masukan ke ICU, bila pasien memenuhi
kriteria masuk ICU
1. Komplikasi
a. Pasien dilakukan pemantauan tekanan
darah, pernafasan, nadi dan cairan
drainase perdarahan.
b. Kemungkinan diabetes insipidus
c. Perdarahan ulang (rebleeding) yang
ditandai dengan
1) Penurunan kesadarah atau GCS
2) Pupil anisokor
3) Kejang

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend

PROSEDUR ANESTESI PADA KRANIOTOMI


NEUROENDOKRIN
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/5

PROSEDUR TETAP Tanggal Terbit Ditetapkan,


16 Januari 2012 Direktur Utama
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Persiapan pre operative, intra operative , post
operative serta komplikasinya.

TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk


persiapan untuk craniotomy neuroendocrine

KEBIJAKAN Untuk memperbaiki outcome pasien dari dari operasi


tumor neuroendokrine.
PROSEDUR A. Pre operatif
1. Anamnesa
a. Tanyakan pada pasien mengenai riwayat
penyakit yang menyertainya
b. Obat obatan yang dikonsumsi
c. Adakah gangguan penglihatan atau adanya
gangguan neurologis
d. Peningkatan tekanan intracranial ( mual,
muntah, nyeri kepala)
e. Operasi serebral sebelumnya
2. Pemeriksaan Fisik
a. Periksaan jalan nafas ( kemampuan pasien
untuk extensi,rotasi muka mulut, dan jarak
antara tiroid dengan mandibula)
b. Pemeriksaan pernafasan ( adakah ronki
atau whizzing)
c. Tanda vital (tekanan darah dan frekwensi
nadi)
d. Pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Scale
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah rutin (Hb, Leukosit,
Trombosit, Ht)
b. Pemeriksaan gula darah (pada pasien yang
diberikan pengobatan kortikosteroid atau
gangguan endokrin)
c. Pemeriksaan elektrolit ( bila pasien
mendapatkan terapi osmotik diuretic atau
loop diuretik)
d. Pemeriksaan foto thorak ( bila usia > 50
PROSEDUR ANESTESI PADA KRANIOTOMI
NEUROENDOKRIN
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/5

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR thn atau ada indikasi)
e. Pemeriksaan EKG ( bila usia > 40 thn atau
ada indikasi) f. Pemeriksaan MRI atau CT-
Scan
f. Permeringsaan CT-Angiografi bila ada
indikasi ( tumor besar dengan kecurigaan
gangguan vaskuler)
B. Intra operatif
1. Premedikasi
a. Hindari penggunaan narkotik analgetik
b. Dapat diberikan diazepam 0.1-0.2
mg/kgbb per oral, midazolaam 0.5-1
mg/kgbb atau lorazepam 0.02-0,5
mg/kgbb. Sebaiknya dilakukan dalam
pengawasan dokter anestesi atau dengan
pemantauan monitor.
2. Monitoring
a. Pemasangan monitoring rutin ( EKG, SpO2
dan tekanan darah non invasive)
b. Pemasangan end tidal CO2
c. Pemasangan CVP perifer atau central (bila
kemungkinan terjadinya perdarahan yang
banyak atau kemungkinan terjadinya
diabetes insipidus).
d. Pemasangan arteri line apabila
1) operasi memiliki resiko terjadinya
perubahan tekanan darah yang cepat,
2) hipotensi kendali,
3) penyakit sertaan tertentu
e. pemasangan kateter urine
3. Induksi
a. Posisikan pasien head up 30°
b. Berikan oksigen 3 L/menit selama 5 menit.
c. Berikan narkotik analgetik ( contoh Fentanil
1-3 pr/kgbb) secara perlahan selama 1
menit hindari terjadinya batuk.
d. Pasien diberikan pelumpuh otot non
depolarisasi 1/10 dosis dari jumlah dosis
yang akan diberikan.
e. Pasien diberikan hipnotik sedative

PROSEDUR ANESTESI PADA KRANIOTOMI


NEUROENDOKRIN
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR f. (contoh propofol 2-2,5 mg/kgbb thiopental
2-5 mg/kgbb).
g. g. Selah reflex bulu mata hilang ( kecuali
bila GCS < 9).
h. Kemudian dilakukan ventilasi dengan
oksigen 6 L/menit dengan gas anestesi
(contoh : Sevoflurane 1,5 MAC atau
Isoflurane 1 MAC).
i. Setelah dipastikan pasien mampu
untuk dilakukan untuk ventilasi berikan
sisa dari pelumpuh otot (contoh:
vecuronium 0.15 mg/kgbb, rocuronium
0.6 mg/kgbb atau atracurium 0.5
mg/kgbb)
j. Berikan lidokain 1-1,5 mg/kgbb yang di
berikan 3 menit sebelum dilakukannya
intubasi.
k. Berikan setengah dosis ulangan hipnotik
sedative dari dosis induksi 30 detik
sebelum dilakukkannya intubasi.
l. Tekanan darah non invasive mengukur
selama 1 menit sekali selama induksi. m.
m. Dilakukan laringoskopi intubasi
n. Plester mata dengan menggunakan
plester kertas sebanyak 3 lapis yang
terlebih dahulu menggunakan salep
mata.
o. Setelah selasai induksi dan pastikan posisi
pasien
p. Pastikan tidak adanya obstruksi vena
jugularis
q. Dilakukan pemasanga iv kateter nomor
besar, kateter urine dan CPV atau arteri
line bila diperlukan
r. Diberikan anestesi lokal bupivakain
sebelum dilakukan pemasangan head pin
s. Diberikan hipnotik sedative ( propofol atau
thiopenthal) secara kontiyu
t. Diberikan pelumpuh otot secara intermiten
atau kontiyu
u. Diberikan osmotik diuretik dan atau loop
diuretic pada saat dilakukan pengeboran
tulang
PROSEDUR ANESTESI PADA KRANIOTOMI
NEUROENDOKRIN
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/5

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR v. Pemberian kortikostreroid pada pasien
tetap dilanjutkan.
4. Rumatan
a. Setelah dilakukan intubasi pasien di
berikan rumatan anestesi O2-Air -
sevoflurane tidak lebih dari 1,5 MAC atau
isoflurane tidak lebih dari 1 MAC.
b. Diberikan hipnotik sedasi kontiyu (contoh:
propofol 50-150 ug/kgbb/menit atau
Thiopental 1-3 mg/kgbb/jam).
c. Pelumpuh otot diberikan secara kontiyu
atau secara berkala.
d. Cairan rumatan dengan menggunakan
NaCl 0,9% dan Ringger laktat dengan
pebandingan 3:1
e. Bila pasien mendapatkan osmotic diuretik
dan/ atau loop diuretik cairan penganti
diberikan 1-1.5 cc/kgbb/jam atau 2/3 dari
jumlah diuresis/jam.
f. Bila pasien dicurigai terjadinya diabetes
insipidus dengan danda sebagai berikut
g. Periksakan elektrolit intraoperatif
h. Bila terjadi hipernatremia dapat dikoreksi
dengan cairan yang mengandung dextrose
i. Dilakukan periksaan elektrolit dan gula
dearah sewaktu secara berkala ( 1 jam
sekali)
C. Post operatif
Pasien di masukan ke ICU, bila pasien memenuhi
kriteria masuk ICU
1. Komplikasi
a. Pasien dilakukan pemantauan tekanan
darah, pernafasan, nadi dan cairan
drainase perdarahan.
b. Kemungkinan diabetes insipidus
c. Perdarahan ulang (rebleeding) yang
ditandai dengan
1) Penurunan kesadarah atau GCS
2) Pupil anisokor
3) Kejang
PROSEDUR ANESTESI PADA KRANIOTOMI
NEUROENDOKRIN
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 5/5
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian anestesiologi dan terapi
intensif
DOKUMEN TERKAIT 1. Catatan Rekam medis
2. Lembat informed consend

PROSEDUR ANESTESI PADA KRANIOTOMI


SOL SUPRATENTORIAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3

PROSEDUR TETAP Tanggal Terbit Ditetapkan,


16 Januari 2012 Direktur Utama
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Daerah supratentorial adalah daerah yang dibatasi
oleh tentorium. Terletak di atas tentorium, dan terdiri
dari cerebrum.

TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk

A. Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan


pengaruh obat anestesi pada dinamika
intrakranial (neurofarmakologi).
B. Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan
mencegah timbulnya komplikasi.

KEBIJAKAN Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal


mungkin

PROSEDUR A. Pre operatif


1. Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat
medis lengkap keadaan kondisi umum seperti
kesadaran, respirasi, kardiovaskuler, dan
neurologis
2. Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP
(sakit kepala, mual, muntah, penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan). Adanya
kejang, defisit neurologis fokal akibat
penekanan lokal dari tumor. Riwayat operasi
sebelumnya,
3. Pemeriksaan Fisik : kesadaran, perhatikan
jalan nafas, paru, sistem kardiovaskuler, dan
SSP. Pemeriksaan neurologis, sensoris
/motoris.
4. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin
termasuk sel darah, kimia serum, dan
koagulasi, EKG, CT scan atau MRI.
5. Pemeriksaan crossmatch untuk
persiapan darah saat operasi

PROSEDUR ANESTESI PADA KRANIOTOMI


SOL SUPRATENTORIAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/3

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR B. Intraoperatif
1. Teknik operasi : anestesi umum dengan
pemasangan ETT non kingking
2. Induksi :
a. Adekuat anxiolisis preoperative di kamar
operasi
b. Furosemid 1 mg/kg
c. Preoksigenasi dan hiperventilasi, kemudian
Fentanyl 1-2 µg/kg
d. Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 -
2,25 mg/kg, atau etomidate 0,3
mg/kgsebagai hipnotik sedative
e. Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup
muka.
f. Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-
0,15 mg/kg atau rocuronium 0,6 0,8mg/kg
i.V
g. Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka
dengan O2 atau O2- Isofluran konsentrasi
terendah 0,5%.
h. Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi
lonjakan hemodinamik saat intubasi dan 42
dosis obat diberikan sebelum dilakukan
intubasi.
i. Kombinasi narkotik Fentanyi 5 ug/kg
diberikan sebagai analgetik.
j. Kontrol ventilasi (PaCO2- 35 mmHg)
k. Kemudian diintubasi dengan ETT non
kingking dengan ukuran sebesar mungkin
yang masih dapat disesuaikan dengan
ukuran pasien.
3. Pemeliharaan :
a. Infuse Penthotal kontinyu 0,2-0,3
mg/kg/mnt sampai dosis total 20-25
mg/kg atau propofol kontinyu 50-150
pg/kg/mnt dapat menurunkan CBF, atau
Sevofluran 0,5%-1,5%, atau Desfluran
3-6%.
b. Analgetik maintain Fentanyi 1-2µg/kg/jam.
Berikan bolus Fentanyl 2µ/kg (saat
pemasangan pin kepala, insisi kulit)
PROSEDUR ANESTESI PADA KRANIOTOMI
SOL SUPRATENTORIAL
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR c. Isofluran < 1 vol% dalam O 2. Umumnya
menghasilkan intrakranial dinamik yang
lebih stabil.
d. Posisi kepala : head up, vena jugularis
bebas.
e. Manitol : 0,5-0,75 gr/kg.
f. Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau
HES 6% - tidak RL secara regular)
4. Pengakhiran :
a. Keputusan diektubasi atau tidak tergantung
pada kondisi saat dilakukan operasi
b. ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam,
pasien belum bangun, perdarahan banyak
saat manipulasi.
5. Standar Monitor:
EKG, kapnometer; pulse oksimetri, tensimeter,
jalur tekanan arteri invasif, pemasangan CVP.

C. Pasca operatif
1. Komplikasi : Kejang, defisit neurologis,
perdarahan, pembengkakan dan peningkatan
tekanan intracranial
2. Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im,
metamizol 1000 iv, dan metamizol 2000 mg
drip 15 gtt/mnt.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensi

DOKUMEN TERKAIT 1. Status pasien


2. status anestesi
3. izin operasi
4. izin anestesi

PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI PADA


MEDULLA SPINALIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/4

PROSEDUR TETAP Tanggal Terbit Ditetapkan,


16 Januari 2012 Direktur Utama
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Daerah Medulla Spinalis merupakan bagian dari
Susunan Saraf Pusat. Terbentang dari foramen
magnum sampai L1. Kompresi pada medulla spinalis
bisa oleh karena tumor, abses, atau hematom.
Macam tumor yang dapat terjadi seperti, meningioma,
neurofibroma, atau kelainan pembuluh darah
arteriovenous malformation. Dapat mengalami
penekanan oleh massa ekstradural seperti limfoma
primer, tumor metastatic, epidural abses, atau
hematoma.

TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk

A. Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan


pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi).
B. Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan
mencegah timbulnya komplikasi.

KEBIJAKAN Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal


mungkin

PROSEDUR A. Pre operatif


1. Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat
medis lengkap keadaan kondisi umum seperti
kesadaran, respirasi, kardiovaskuler, dan
neurologis
2. Anamnesa : adanya gejala sakit kepala, mual
muntah dan askit kepala (tanda kenaikan ICP),
penurunan kesadaran, gangguan penglihatan.
Adanya defisit neurologis fokal akibat
penekanan local dari tumor, Riwayat operasi
sebelumnya.
3. Pemeriksaan Fisik : kesadaran, perhatikan
jalan nafas, paru, sistem kardiovaskuler, dan
SSP. Pemeriksaan neurologis,
sensoris/motoris.
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI PADA
MEDULLA SPINALIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/4

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 4. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin
termasuk sel darah, kimia serum, dan
koagulasi, EKG, CT scan atau MRI.
B. Intraoperatif
1. Teknik anestesi : anestesi umum dengan
pemasangan ETT non kingking.
2. Regional anestesi : bisa digunakan untuk
operasi di daerah di daerah lumbal. Posisi
pasien tergantung dari letak tumor dan
tergantung permintaan operator, Kebanyakan
posisi prone.
3. Induksi dilakukan dengan hati-hati karena
dapat terjadi gangguan jantung akibat spinal
shock, trauma jantung, atau hipovolemia.
4. Induksi :
a. Atropin (0,01-0,02mg/kg) sebelum intubasi
untuk mengurangi sekresi, spasme
bronkus, dan reflex bradikardi.
b. Preoksigenasi dan hiperventilasi, kemudian
Fentanyl 1-2 ug/kg
c. Sebagai hipnotik sedative digunakan
ketamin (1-2 mg/kg) merupakan
pilihan asal tidak tidak ada kontra
indikasi absolute. Hati-hati penggunaan
Thiopental, dapat menyebabkan hipotensi
berat.
d. Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup
muka.
e. Neuromuscular blockade : Pancuronium
(0,08-0,12 mg/kg)
f. Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka
dengan N2O-O2 atau 02 Isofluran
konsentrasi terendah 0,5%.
g. Kombinasi narkotik Fentanyi 5 mg/kg
diberikan sebagai analgetik.
h. Kemudian diintubasi dengan ETT non
kingking dengan ukuran sebesar mungkin
yang masih dapat disesuaikan dengan
ukuran pasien, diplester kuat pada
mandibula.

PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI PADA


MEDULLA SPINALIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 5. Pemasangan CVP untuk melihat status volume
karena perdarahan selama operasi bisa
banyak dan tiba-tiba, sehingga monitoring
tekanan darah harus ketat. Bila ada
kemungkinan perdarahan hebat dapat
dipasang arteri line.
6. Pemeliharaan:
a. Infus Propofol kontinyu 50-150 ug/kg/mnt
dapat menurunkan CBF, dapat memakai
ketamin. Dan dengan menggunakan
volatile N20. bila dapat ditolerir
volatile seperti Isofluran juga dapat
diberikan
b. Analgetik maintain Fentanyi 1 2µg/kg/jam.
Berikan bolus Fentanyl 2µ/kg (saat insisi
kulit)
c. Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau
HES 6% - tidak RL secara regular)
7. Pengakhiran :
a. Keputusan diektubasi atau tidak
tergantung pada kondisi saat dilakukan
operasi, fungsi respirasi, lokasi dan ukuran
tumor, durasi dan derajat kesulitan pada
operasi.
b. ETT dipertahankan bila : manipulasi luas,
pasien belum bangun, perdarahan banyak
saat manipulasi.

C. Standar Monitor
EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter,
jalur tekanan arteri invasif, pemasangan CVP,
thermometer.
D. Pasca operatif
1. Komplikasi : Kejang, defisit neurologis,
perdarahan, pembengkakan dan
peningkatan tekanan intrakranial
Penatalaksanaan nyeri : opioid (tramadol )

PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI PADA


MEDULLA SPINALIS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensi
DOKUMEN TERKAIT 1. Status pasien
2. status anestesi
3. izin operasi
4. izin anestesi

PROSEDUR ANESTESI OPERASI KRANIOTOMI


PADA PASIEN DENGAN ANEURISMA SEREBRAL
DAN MALFORMASI
RSUP Dr. Hasan Sadikin ARTERIOVENOSA
Bandung
No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Dua penyebab utama SAH (Subarachnoid
Hemorrhage) adalah pecahnya aneurisma serebral
atau malformasi arterivenosa (AVM).
TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
A. Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan
pengaruh obat anestesi pada dinamika
intrakranial (neurofarmakologi).
B. Mengatasi agar otak pulih dari efek SAH dan
mencegah rebleeding dan vasospasme.
C. Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan
mencegah timbulnya komplikasi.
KEBIJAKAN Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal
mungkin.
PROSEDUR A. Pre operatif
1. Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat
medis lengkap keadaan kondisi umum seperti
kesadaran, respirasi, kardiovaskuler, dan
neurologis
2. Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP, sakit
kepala hebat yan timbul secara akut, dengan
atau tanpa hilangnya kesadaran, demam.
Riwayat operasi sebelumnya.
3. Pemeriksaan Fisik : kesadaran, perhatikan
jalan nafas, paru, sistem kardiovaskuler, dan
SSP. Pemeriksaan neurologis,
sensoris/motoris.
4. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin
termasuk sel darah, kimia serum, dan
koagulasi, EKG, CT scan atau MRI.
5. Pemeriksaan crossmatch untuk persiapan
darah saat operasi
6. Pemberian sedative seperti benzodiazepine
atau barbiturate supaya pasien tenang.
7. Phenitoin untuk mencegah kejang.

PROSEDUR ANESTESI OPERASI KRANIOTOMI


PADA PASIEN DENGAN ANEURISMA SEREBRAL
DAN MALFORMASI
RSUP Dr. Hasan Sadikin ARTERIOVENOSA
Bandung
No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR B. Intraoperatif
1. Teknik operasi : anestesi umum dengan
pemasangan ETT non kingking.
2. Induksi :
a. Preoksigenasi O2 100% dengansungkup.
Kemudian Fentanyl 2-5 ug/kg
b. Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 -
2,25 mg/kg sebagai hipnotik sedative
c. Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup
muka.
d. Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-
0,15 mg/kg atau rocuronium 0,6 0,8mg/kg
iv
e. Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka
dengan O2 atau O2- Isofluran konsentrasi
terendah 0,5%.
f. Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi
lonjakan hemodinamik saat intubasi dan ½
dosis obat diberikan sebelum dilakukan
intubasi.
g. Kombinasi narkotik Fentanyi 5 ug/kg
diberikan sebagai analgetik.
h. Kontrol ventilasi (PaCO2 ~ 35 mmHg)
i. Kemudian diintubasi dengan ETT non
kingking dengan ukuran sebesar mungkin
yang masih dapat disesuaikan dengan
ukuran pasien.
3. Pemeliharaan :
a. Infuse Penthotal kontinyu 0,2-0,3
mg/kg/mnt sampai dosis total 20-25 mg/kg
atau propofol kontinyu 50-150 µg/kg/mnt
dapat menurunkan CBF, digabung dengan
Isofluran < 1,5%.
b. Analgetik maintain Fentanyi 1 2µg/kg/jam.
Berikan bolus Fentanyl 2µ/kg (saat
pemasangan pin kepala, insisi
kulit), dapat ditambahkan prnthotal 100-
200 mg

PROSEDUR ANESTESI OPERASI KRANIOTOMI


PADA PASIEN DENGAN ANEURISMA SEREBRAL
DAN MALFORMASI
RSUP Dr. Hasan Sadikin ARTERIOVENOSA
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
- - 3/3
PROSEDUR TETAP Tanggal Terbit
16 Januari 2012
PROSEDUR c. Isofluran < 1 vol% dalam O 2. Umumnya
menghasilkan intrakranial dinamik yang
lebih stabil.
d. Posisi kepala : head up, vena jugularis
bebas.
e. Manitol : 0,25-1 gr/kg, untuk menurunkan
ICP.
f. Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau
HES 6% - tidak RL secara regular)
4. Pengakhiran :
a. Keputusan dieklubasi atau tidak tergantung
pada kondisi saat dilakukan operasi
b. ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam,
pasien belum bangun, perdarahan banyak
saat manipulasi.
C. Standar Monitor
EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter,
jalur tekanan arteri invasif, pemasangan CVP.
D. Pasca operatif
1. Komplikasi : Kejang, defisit neurologis,
perdarahan, pembengkakan dan peningkatan
tekanan intracranial
Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im,
metamizol 1000 iv, dan metamizol 2000 mg
drip 15 gtt/mnt.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensi
3. Bagian/unit lain yang terkait
DOKUMEN TERKAIT 1. Status pasien
2. status anestesi
3. izin operasi
4. izin anestesi

PROSEDUR ANESTESI KRANIOTOMI PADA


PASIEN CEDERA KEPALA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/4

PROSEDUR TETAP Tanggal Terbit Ditetapkan,


Direktur Utama

16 Januari 2012

dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,


NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Kerusakan otak akibat cedera kepala dapat dibagi
ke dalam injuri primer dan injuri sekunder.
Injuri primer adalah yang terjadi ketika
terjadinya trauma. Efek yang segera dari trauma
adalah laserasi otak, robekan yang difus, robeknya
pembuluh darah, atau kerusakan neuron, axon, dan
dendrite. Injuri sekunder adalah injuri yang
terjadi setelah terjadinya trauma. Penyebab injuri
sekunder bisa sistemik atau intracranial. Penyebab
sistemik adalah hipoksemia, hiperkapni, arterial
hipotensi anemia, hipoglikemia, hiponatremia, dan
osmotic imbalance, hipertermia, sepsis, koagulopati,
hipertensi. Penyebab intracranial adalah
epidural/subdural hematom, kontusio/intracerebral
hematom, peningkatan ICP, edema serebral,
vasospasme cerebral, infeksi intracranial, epilepsi
post trauma.
TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
A. Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan
pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi).
B. Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan
mencegah timbulnya komplikasi.
KEBIJAKAN Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal
mungkin.
PROSEDUR A. Pre operatif
1. Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat
medis lengkap keadaan kondisi umum seperti
kesadaran, respirasi, kardiovaskuler, dan
neurologis
2. Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP (sakit
kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran,
gangguan penglihatan). Adanya kejang, defisit
neurologis fokal akibat penekanan lokal dari
trauma/hematom. Riwayat operasi
sebelumnya,
PROSEDUR ANESTESI KRANIOTOMI PADA
PASIEN CEDERA KEPALA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/4
PROSEDUR TETAP Tanggal Terbit
16 Januari 2012
PROSEDUR 3. Pemeriksaan Fisik : tanda-tanda vital harus
segera diperiksa, adakah tanda hipotensi dan
hipertensi, kesadaran, perhatikan jalan nafas,
paru, sistem kardiovaskuler, dan SSP.
Pemeriksaan neurologis, sensoris/motoris.
4. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin
termasuk sel darah, kimia serum, dan
koagulasi, EKG, CT scan atau MRI.
5. Pemeriksaan crossmatch untuk persiapan
darah saat operasi
B. Intraoperatif
1. Teknik operasi : anestesi umum dengan
pemasangan ETT non kingking
2. Induksi :
a. Preoksigenasi dengan memberi O2 100%,
sampai tercapai saturasi 100%. Kemudian
Fentanyl 1-4 ug/kg
b. b. Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 -
2,25 mg/kg sebagai hipnotik sedative
c. Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup
muka.
d. Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-
0,15 mg/kg (i.v) merupakan pilihan karena
kardiovaskuler stabil dan efek pada ICP
minimal.
e. Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka
dengan O2 atau O2 – Isofluran konsentrasi
terendah 0,5%.
f. Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi
lonjakan hemodinamik saat intubasi dan
Vzdosis obat diberikan sebelum dilakukan
intubasi.
g. Kombinasi narkotik Fentanyi 5 pg/kg
diberikan sebagai analgetik.
h. Kontrol ventilasi (PaCO2 - 35 mmHg)
i. Kemudian diintubasi dengan ETT non
kingking dengan ukuran sebesar mungkin
yang masih dapat disesuaikan dengan
ukuran pasien.
3. Pemeliharaan :
a. Harus mempunyai efek paling kecil
terhadap autoregulasi serebral dan
PROSEDUR ANESTESI KRANIOTOMI PADA
PASIEN CEDERA KEPALA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR b. kemampuan merespon CO2. Infus
Penthotal kontinyu 0,2-0,3 mg/kg/mnt
sampai dosis total 20-25 mg/kg atau
propofol kontinyu 50-150 pg/kg/mnt dapat
menurunkan CBF, atau Sevofluran 0,5%-
1,5%.
c. Analgetik maintain Fentanyi 1 2µg/kg/jam.
Berikan bolus Fentanyl 2µ/kg (saat
pemasangan pin kepala, insisi kulit)
d. Isofluran < 1 vol% dalam O 2. Umumnya
menghasilkan intrakranial dinámik yang
lebih stabil.
e. Posisi kepala : head up, vena jugularis
bebas.
f. Manitol : 0,5-0,75 gr/kg.
g. Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau
HES 6% - tidak RL secara regular)
4. Pengakhiran :
a. Keputusan diektubasi atau tidak tergantung
pada kondisi saat dilakukan operasi
b. ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam,
pasien belum bangun, perdarahan banyak
saat manipulasi.
C. Standar Monitor
EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter,
jalur tekanan arteri invasif, pemasangan CVP.
D. Pasca operatif
1. Komplikasi : Kejang, hipertensi, arritmia,
neurogenic pulmonary edema, emboli lemak,
emboli udara, defisit neurologis, perdarahan,
pembengkakan dan peningkatan tekanan
intracranial
Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im,
metamizol 1000 iv, dan metamizol 2000 mg drip
15 gtt/mnt.

PROSEDUR ANESTESI KRANIOTOMI PADA


PASIEN CEDERA KEPALA
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 4/4
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensi
3. Bagian/unit lain yang terkait
DOKUMEN TERKAIT 1. Status pasien
2. status anestesi
3. izin operasi
4. izin anestesi

PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI VP-


SHUNT PADA PASIEN DENGAN
HIDROSEFALUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung No. Dokumen No. Revisi Halaman
…… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012

dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,


NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Hydrocephalus dapat terjadi secara congenital atau
didapat, penyebabnya kelainan congenital,
neoplasma, peradangan, atau produksi yang
berlebihan dari LCS.
TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
A. Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan
pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi).
B. Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan
mencegah timbulnya komplikasi.
C. Menjaga kestabilan fungsi respirasi dan
kardiovaskuler.
KEBIJAKAN Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal
mungkin, mempertahankan CPP yang baik, relaksasi
otot yang baik, stabilisasi kardiovaskuler baik tekanan
darah atau irama.
PROSEDUR A. Prosedur Operasi
Termasuk ventriculoperitoneal shunt,
ventriculoatrial shunt, ventriculopleural shunt,
ventriculojugular shunt, dan ventriculostomy. Yang
paling sering adalah ventriculoperitoneal shunt.
B. Pre operatif
1. Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat
medis lengkap keadaan kondisi umum seperti
kesadaran, respirasi, kardiovaskuler, dan
neurologis
2. Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP
(sakit kepala, mual, muntah, penurunan
kesadaran, bradikardi, hipertensi). Adanya
kejang, defisit neurologis fokal akibat
penekanan lokal dari tumor. Riwayat operasi
sebelumnya.
3. Pemeriksaan Fisik : kesadaran, perhatikan
jalan nafas, paru, sistem kardiovaskuler,
dan SSP. Pemeriksaan neurologis,
PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI VP-
SHUNT PADA PASIEN DENGAN
HIDROSEFALUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin
No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung
- - 2/3

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR sensoris/motoris
4. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin
termasuk sel darah, kimia serum, dan
koagulasi, EKG, CT scan atau MRI.
5. Pemberian obat-obatan untuk cerebaral
vasokostriksi (barbiturate), dan diuretic
(manitol, dan furosemid) sampai operasi
dilakukan, untuk menurunkan ICP.
6. Premedikasi dengan antiemetik.
C. Intraoperatif
1. Teknik operasi : anestesi umum dengan
pemasangan ETT non kingking
2. Induksi :
a. Adekuat anxiolisis preoperative di kamar
operasi
b. Preoksigenasi dan hiperventilasi, kemudian
Fentanyl 1-2 µg/kg
c. Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 -
2,25 mg/kg, atau etomidate 0,3 mg/kg
sebagai hipnotik sedative
d. Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup
muka.
e. Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-
0,15 mg/kg atau rocuronium 0,6 0,8mg/kg
iv
f. Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka
dengan O2 atau O2 - Isofluran konsentrasi
terendah 0,5%. Hindari penggunaan N20.
g. Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi
lonjakan hemodinamik saat intubasi dan 2
dosis obat diberikan sebelum dilakukan
intubasi.
h. Kombinasi narkotik Fentanyi 5 µg/kg
diberikan sebagai analgetik.
i. Kontrol ventilasi (PaCO2- 35 mmHg)
j. Kemudian diintubasi dengan ETT non
kingking dengan ukuran sebesar mungkin
yang masih dapat disesuaikan dengan
ukuran pasien.

PROSEDUR ANESTESI PADA OPERASI VP-


SHUNT PADA PASIEN DENGAN
HIDROSEFALUS
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 3. Pemeliharaan :
a. Infuse Penthotal kontinyu 0,2-0,3
mg/kg/mnt sampai dosis total 20-25 mg/kg
atau propofol kontinyu 50-150 pg/kg/mnt
dapat menurunkan CBF, atau Sevofluran
0,5%-1,5%, atau Desfluran 3-6%.
b. Analgetik maintain Fentanyi 1-2µg/kg/jam.
Berikan bolus Fentanyl 2µ/kg (saat
pemasangan pin kepala, insisi kulit)
c. Isofluran < 1 vol% dalam O 2. Umumnya
menghasilkan intrakranial dinamik yang
lebih stabil.
d. Posisi kepala : head up, vena jugularis
bebas.
e. Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau
HES 6% - tidak RL secara regular)
4. Pengakhiran :
5. Keputusan diektubasi atau tidak tergantung
pada kondisi saat dilakukan operasi
6. Hemodinamik stabil, suhu > 35° C, reflex reflek
baik dapat dilakukan ekstubasi.
D. Standar Monitor
EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter,
jalur tekanan arteri invasif, pemasangan CVP.
E. Pasca operatif
Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im,
metamizol 1000 iv, dan metamizol 2000 mg drip
15 gtt/mnt.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensi
3. Bagian/unit lain yang terkait
DOKUMEN TERKAIT 1. Status pasien
2. status anestesi
3. izin operasi
4. izin anestesi

PROSEDUR NEUROANESTESI PADA PASIEN


PEDIATRIK
No. Dokumen No. Revisi Halaman
RSUP Dr. Hasan Sadikin …… ….. - 1/4
Bandung
Ditetapkan,
Direktur Utama

Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012

dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,


NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Pediatrik bukan merupakan bentuk kecil dari orang
dewasa. Terdapat fisiologi, patologi, dan farmakologis
yang berbeda dengan orang dewasa. Anak
mempunyai cadangan fisiologis yang terbatas dan
volume darah yang sedikit. Perkembangan SSP pada
bayi baru lahir belum lengkap, maturasi terjadi pada
tahun pertama.
TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
A. Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan
pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi) pada pediatrik.
B. Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan
mencegah timbulnya komplikasi.
C. Menjaga kestabilan fungsi respirasi dan
kardiovaskuler.
KEBIJAKAN Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal
mungkin, mempertahankan CPP yang baik, relaksasi
otot yang baik, stabilisasi kardiovaskuler baik tekanan
darah atau irama.
PROSEDUR A. Pre operatif
1. Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat
medis lengkap keadaan kondisi umum seperti
kesadaran, respirasi, kardiovaskuler, dan
neurologis.
2. Pastikan infuse terpasang dengan baik, aliran
lancar.
3. Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP
(sakit kepala, mual, muntah, penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan). Adanya
kejang, defisit neurologis fokal akibat
penekanan lokal dari tumor. Riwayat operasi
sebelumnya.
4. Pemeriksaan Fisik: kesadaran, perhatikan
jalan nafas, paru, sistem kardiovaskuler, dan
SSP. Pemeriksaan neurologis,
sensoris/motoris.
PROSEDUR NEUROANESTESI PADA PASIEN
PEDIATRIK
No. Dokumen No. Revisi Halaman
RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 2/4
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR 5. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin
termasuk sel darah, kimia serum, dan
koagulasi, evaluasi adanya elektrolit
imbalance, kadar glukosa darah.
6. Pemeriksaan penunjang CT scan atau MRI.
7. Pemberian premedikasi dengan antiemetik.
Hindari pemberian sedative.
8. Persiapan darah untuk keperluan saat operasi
dengan pemeriksaan crossmatch.
B. Intraoperatif
1. Pengunaan alas selimut penghangat.
2. Teknik operasi : anestesi umum dengan
pemasangan ETT non kingking
3. Induksi :
a. Pastikan akses infus lancar sebelum
induksi
b. Posisi kepala dan manajemen jalan nafas
(terutama pada encephalocele yang besar).
“Netral Position" pada pasien cedera
kepala.
c. Atropin (0,01-0,02mg/kg) sebelum intubasi
untuk mengurangi sekresi, spasme
bronkus, dan reflex bradikardi.
d. Preoksigenasi dan ventilasi, kemudian
Fentanyl 3-5 µg/kg diberikan sebagi
analgetik.
e. Pentotal 4-6 mg/kg, atau propofol 3 mg/kg
sebagai hipnotik sedative.
f. Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup
muka.
g. Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-
0,15 mg/kg atau rocuronium 1,2mg/kg i.v
h. Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka
dengan O2 atau O2 - Isofluran konsentrasi
terendah 0,5%. Hindari penggunaan N2O.
i. Lidocain 1 mg/kg untuk mengurangi
lonjakan hemodinamik saat intubasi dan
obat diberikan 15 detik sebelum dilakukan
intubasi.
j. Kontrol ventilasi (PaCO2 ~ 35 mmHg)

PROSEDUR NEUROANESTESI PADA PASIEN


PEDIATRIK
No. Dokumen No. Revisi Halaman
RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 3/4
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR k. Kemudian diintubasi dengan ETT non
kingking dengan ukuran sebesar mungkin
yang masih dapat disesuaikan dengan
ukuran pasien.
4. Pemeliharaan :
a. Infuse Penthotal kontinyu 0,2-0,3
mg/kg/mnt sampai dosis total 20-25 mg/kg
atau propofol kontinyu 50-150 ug/kg/mnt
dapat menurunkan CBF, atau Sevofluran
0,5%-1,5%.
b. Analgetik maintain Fentanyi 1-2µg/kg/jam.
Berikan bolus Fentanyl 2µ/kg (saat
pemasangan pin kepala, insisi kulit,
membuka tulang tengkorak)
c. Isofluran < 1 vol% dalam O 2 Umumnya
menghasilkan intrakranial dinamik yang
lebih stabil.
d. Posisi kepala : head up, vena jugularis
bebas.
e. Pastikan cairan adekuat dan hangat
penggunaan RL (kebutuhan cairan pada
anak untuk 10 kg pertama 4 ml/kgBB,
untuk 10 kg kedua 2 ml/kgBB, dan
selanjutnya 1 ml/kgBB). Pastikan EBV pada
pediatrik dan ganti perdarahan dengan
cairan kristaloid 3x jumlah perdarahan dan
bila menggunakan cairan koloid jumlah
sama dengan perdarahannya. Pada bayi-
bayi premature atau bayi baru lahir,
perdarahan harus diganti dengan
pemberian darah.
f. Monitor kadar gula darah (pada bayi kadar
gula darah lebih rendah) tiap 1-2 jam
sekali.
g. Manitol: 0,25-0,5 gr/kg selama 20-30
menit, bila dikombinasi dengan furosemid
dosis 0,3-0,4 mg/kgBB (untuk menurunkan
ICP).
5. Pengakhiran :
a. Keputusan diektubasi atau tidak
tergantung pada kondisi saat dilakukan
operasi
PROSEDUR NEUROANESTESI PADA PASIEN
PEDIATRIK
No. Dokumen No. Revisi Halaman
RSUP Dr. Hasan Sadikin - - 4/4
Bandung
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR b. ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam,
pasien belum bangun, pendarahan banyak
C. Standar Monitor
Precordial stetoskop, EKG, kapnomeer, pulse,
oksimetri, tensimeter, tempedature probe.
D. Pasca operatif
1. Komplikasi : kejang, deficit neurologis,
perdarahan, pembengkakan dan peningkatan
tekanan intracranial
2. Penataksanaan nyeri : metamizol bolus iv 10
mg/kgBB, dan metamizol deip 15-20 mg/kgBB
dalam cairan maintenance / 8 jam
UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensi
3. Bagian/unit lain yang terkait
DOKUMEN TERKAIT 1. Status pasien
2. status anestesi
3. izin operasi
4. izin anestesi
PROSEDUR ANESTESI PADA KRANIOTOMI
PADA PASIEN DENGAN KEHAMILAN
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung …… ….. - 1/3
Ditetapkan,
Direktur Utama
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
dr. Bayu Wahyudi,MPHM,SpOG,
NIP 196203011990031004
PENGERTIAN Operasi kraniotomi yang dilakukan pada pasien
dengan kehamilan
Memahami tipe, berat penyakit, dan lokasi tumor.
Pasien mengalami relaksasi otak, pengendalian
tanda vital.
Menjamin ICP yang adekuat
Teknik neuro anestesi diharapkan mampu
memfasilitasi operator dengan lapangan operasi yang
baik (tidak kembung) dan mempertahankan Cerebral
blood flow seoptimal mungkin
TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk
A. Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan
pengaruh obat anestesi pada dinamika
intrakranial (neurofarmakologi).
B. Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan
mencegah timbulnya komplikasi.
KEBIJAKAN Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal
mungkin
PROSEDUR A. Pre operatif
1. Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat
medis lengkap keadaan kondisi umum seperti
kesadaran, respirasi, kardiovaskuler, dan
neurologis
2. Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP (sakit
kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran,
gangguan penglihatan). Adanya kejang, defisit
neurologis fokal akibat penekanan lokal dari
trauma/hematom. Riwayat operasi
sebelumnya.
3. Pemeriksaan Fisik : tanda-tanda vital
harus segera diperiksa, adakah tanda
hipotensi dan hipertensi, kesadaran,
perhatikan jalan nafas, paru, sistem
kardiovaskuler, dan SSP. Pemeriksaan
neurologis, sensoris/motoris.
4. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan
PROSEDUR ANESTESI PADA KRANIOTOMI
PADA PASIEN DENGAN KEHAMILAN
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 2/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR rutin termasuk sel darah, kimia serum, dan
koagulasi, EKG, CT scan atau MRI.
5. Pemeriksaan crossmatch untuk persiapan
darah saat operasi
B. Intraoperatif
1. Teknik operasi : anestesi umum dengan
pemasangan ETT non kingking
2. Induksi :
a. Preoksigenasi dengan memberi O2 100 %,
sampai tercapai saturasi 100%. Kemudian
Fentanyl 1-4 ug/kg
b. Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 -
2,25 mg/kg sebagai hipnotik sedative
c. Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup
muka.
d. Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-
0,15 mg/kg (i.v) merupakan pilihan karena
kardiovaskuler stabil dan efek pada ICP
minimal.
e. Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka
dengan O2 atau O2 - Isofluran konsentrasi
terendah 0,5%.
f. Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi
lonjakan hemodinamik saat intubasi dan 42
dosis obat diberikan sebelum dilakukan
intubasi.
g. Kombinasi narkotik Fentanyi 5 mg/kg
diberikan sebagai analgetik. h. Kontrol
ventilasi (PaCO2 ~ 35 mmHg) i. Kemudian
diintubasi dengan ETT non kingking
dengan ukuran sebesar mungkin yang
masih dapat disesuaikan dengan ukuran
pasien.
3. Pemeliharaan :
a. Harus mempunyai efek paling kecil
terhadap autoregulasi serebral dan
kemampuan merespon CO2. Infus
Penthotal kontinyu 0,2-0,3 mg/kg/mnt
sampai dosis total 20-25 mg/kg
atau propofol kontinyu 50-150 mg/kg/mnt
dapat menurunkan CBF, atau
Sevofluran 0,5%-1,5%.
PROSEDUR ANESTESI PADA KRANIOTOMI
PADA PASIEN DENGAN KEHAMILAN
RSUP Dr. Hasan Sadikin No. Dokumen No. Revisi Halaman
Bandung - - 3/3
Tanggal Terbit
PROSEDUR TETAP
16 Januari 2012
PROSEDUR b. Analgetik maintain Fentanyi 1-2µg/kg/jam.
Berikan bolus Fentanyl 2p/kg (saat
pemasangan pin kepala, insisi kulit)
c. Isofluran < 1 vol% dalam O 2 Umumnya
menghasilkan intrakranial dinamik yang
lebih stabil.
d. Posisi kepala : head up, vena jugularis
bebas.
e. Manitol : 0,5-0,75 gr/kg. f. Pastikan cairan
adekuat (NaCl 0,9% atau HES 6% - tidak
RL secara regular)
4. Pengakhiran :
a. Keputusan diektubasi atau tidak tergantung
pada kondisi saat dilakukan operasi
b. ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam,
pasien belum bangun, perdarahan banyak
saat manipulasi.
C. Standar Monitor
EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter,
jalur tekanan arteri invasif, pemasangan CVP.
D. Pasca operatif
1. Komplikasi : Kejang, hipertensi, arritmia,
neurogenic pulmonary edema, emboli lemak,
emboli udara, defisit neurologis, perdarahan,
pembengkakan dan peningkatan tekanan
intracranial
2. Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im,
metamizol 1000 iv, dan metamizol 2000 mg
drip 15 gtt/mnt.

UNIT TERKAIT 1. Dokter spesialis anestesi


2. Dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensi
3. Bagian/unit lain yang terkait
DOKUMEN TERKAIT 1. Status pasien
2. status anestesi
3. izin operasi
4. izin anestesi

Anda mungkin juga menyukai